Hakikat Telaah Sastra

advertisement
Pendahuluan: Hakikat, Fungsi, Tujuan, dan
Ruang Lingkup Telaah Sastra
Oleh: Audi Yundayani, Frimadhona Syafri,
Lidwina Sri Ardiasih, dan Arini Noor Izzati
Abstrak
Tulisan ini mengulas hakikat, fungsi, tujuan dan ruang lingkup telaah
sastra. Sastra merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Sastra adalah cara yang dilakukan pengarang untuk
mengungkapkan kehidupan lewat media bahasa sebagai jembatan yang
menghubungkan antara pengarang dan pembacanya. Telaah sastra
merupakan studi atau kajian sastra yang dapat dilihat dari tiga aspek,
teori satra, kritik sastra dan sejarah sastra.
Kata kunci: hakikat, fungsi, tujuan, ruang lingkup telaah sastra.
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan sebuah pengungkapan kehidupan yang bersumber dari
lingkungan, kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar bahkan dibaca oleh
pengarang, kemudian disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dengan
menggunakan bahasa sebagai media untuk menghubungkan keduanya. Pada
dasarnya sastra terbagi menjadi dua konsep besar, yaitu 1) sastra itu sendiri yang
dilihat sebagai sebuah karya yang dapat diapresiasi dan 2) sastra sebagai studi atau
sebagai sebuah kajian, artinya sastra dapat dilihat dari tiga aspek, teori satra, kritik
sastra dan sejarah sastra. Makalah ini akan membahas tentang sastra sebagai sebuah
studi atau kajian berikut ruang lingkupnya.
B. Pembahasan
1. Hakikat dan Telaah Sastra
Ditinjau dari etimologinya, kata sastra dalam bahasa Indonesia dan literature dalam
bahasa Inggris berasal dari bahasa latin “litteratura”
1
yang berarti bagian terkecil dari
alfabet. Sastra kemudian didefinisikan sebagai “suatu kegiatan kreatif sebuah karya
1
Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies,( London&New York: Routledge, 2004), h. 1
1
seni”.
2
Klarer menggambarkan sastra sebagai “the entirety of written expression, with
the restriction that not every written document can be categorized as literature in the
more exact sense of the word”.
3
Definisi tersebut mengacu pada sastra sebagai
ungkapan tertulis dimana tidak semua bentuk tulisan atau teks termasuk pada kategori
tulisan
ini.
Klarer
menambahkan
bahwa
kata
„aesthetic‟
(keindahan)
dan
„artistic‟(bersifat seni) merupakan kata yang menggambarkan karakteristik dari sastra
dibandingkan dengan jenis teks atau tulisan lainnya seperti buku, koran, dokumen
resmi, atau karya tulis yang bersifat akademik. Namun demikian sastra tidak terbatas
pada karya tulis saja, Klarer menjelaskan bahwa sastra juga melibatkan “the acoustic
element, the spoken word, is an integral part of literature, for the alphabet translates
spoken words into signs”
4
yang kita kenal beberapa bentuknya seperti drama,
pembacaan puisi dan prosa secara lisan di mana menurut Klarer “visual and acoustic
elements are being reintroduced into literature, on the other hand, media, genres, text
types, and discourses are being mixed. Artinya, seiring perkembangan teknologi, karya
sastra dalam bentuk visual maupun audio atau gabungan kedua unsur tersebut juga
mulai berkembang untuk lebih memudahkan penyampaian pesan kepada pembaca
atau pendengarnya.
Sebagai bandingannya, dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa
Sansekerta. Akar katanya adalah sas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra menunjukkan alat atau sarana. Oleh karena itu
sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi petunjuk, buku instruksi atau
pengajaran di mana dalam prosesnya sangat erat kaitannya dengan berbagai macam
teori sastra. Sebagai contohnya Silpasastra yang berarti buku arsitektur atau
Kamasastra yang merupakan buku petunjuk mengenai cinta. Selanjutnya, di samping
teori sastra itu sendiri terdapat juga istilah “studi sastra” yang kemudian dikenal dengan
istilah “telaah sastra” atau “kajian sastra”. Studi sastra ini merupakan salah satu cabang
ilmu pengetahuan. Perbedaan kedua kategori tersebut adalah bahwa teori sastra
meliputi studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan studi sastra
berhubungan
2
Rene Wellek, Austin Warren, h.3
Mario Klarer, Op.Cit., h. 1
4
Mario Klarer, Op.Cit., h. 2
3
2
dengan penjelasan, pengajian atau analisis karya-karya konkrit yang dikenal dengan
istilah kritik sastra dan sejarah sastra.
Wellek
5
menyatakan bahwa muncul pendapat yang berusaha memisahkan sejarah
sastra dari teori sastra dan kritik sastra. Batteson
6
merupakan salah satu tokoh yang
mengatakan bahwa sejarah sastra menunjukkan A berasal dari B, sedangkan kritik
sastra menunjukkan A lebih baik dari B. Hubungan yang pertama dapat dibuktikan,
sedangkan yang kedua tergantung pada pendapat dan keyakinan. Tidak ada satu data
dalam sejarah sastra yang sepenuhnya netral. Oleh karena itu, pada hakikatnya telaah
sastra adalah menelaah, mengaji, atau meneliti karya sastra ditinjau dari berbagai
macam aspek atau sudut pandang dalam rangka menjelaskan dan menerangkan serta
menjembatani atau membimbing pemahaman yang ditawarkan pengarang dengan
pemahaman yang ditangkap oleh si pembaca dalam karya sastra.
Penilaian tiap periode memiliki perbedaan konsepsi penilaian dan konvensi sastra
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa periode sastra menjadi
salah satu acuan dalam melaksanakan suatu kajian sastra yang akan dijabarkan pada
penjelasan berikut ini.
Telaah atau studi sastra tidak bisa terlepas dari perkembangan sastra itu sendiri
karena masing-masing masa perkembangan sastra memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Bagian ini membahas sejarah perkembangan sastra yang muncul di
Inggris, Amerika, dan Indonesia. Perkembangan sastra berbahasa Inggris menimbulkan
berbagai perbedaan pendapat, beberapa istilah dan kriteria klasifikasi yang telah
ditetapkan berdasarkan standar dalam kritik sastra Anglo-Amerika. Pengelompokkan
periodisasi sastra tidak harus berdasarkan kriteria yang umum seperti berdasarkan
struktur, isi atau tanggal publikasi. Kriteria pengelompokkan di dapat berdasarkan
sejarah bahasa (Bahasa Inggris lama dan Bahasa Inggris pertengahan), sejarah
nasional (masa kolonial), politik dan agama (masa pemerintahan Ratu Elizabeth I dan
masa Puritan/masa Gereja Protestan di abad 16 dan 17) dan seni (Renaissance dan
pandangan modern).
5
6
Rene Wellek, h. 39
Ibid.
3
Secara umum, masa perkembangan sastra yang terjadi di Inggris dan di Amerika
digambarkan sebagai berikut. 7
No
Periode
Masa Inggris Kuno/ Old
1.
English/ Anglo Saxon
2.
Masa Inggris
Pertengahan/Middle
English
3.
Masa Renaissance
7
Abad
ke-5 – ke-11
Penjelasan/Contoh
 Merupakan periode awal dari sastra
Inggris
 Sastra Latin merupakan satu budaya
klasik yang dikembangkan menjadi
sastra nasional
 Ecclesiastical History of the English
People (AD 731) karya Beda Venerabilis
(673-735)
 Teks pertama ditulis
 Tidak banyak teks yang dihasilkan
(mantra tidak bernama, teka-teki)
 Puisi: “The Seafarer” (abad ke-9) atau
“The Wanderer” (abad ke-10),
 Syair seperti mitologi/dongeng Beowulf
(abad ke-8) dibuat berdasarkan fakta
sejarah
ke-12 – ke-  Perpecahan budaya dan sastra terjadi
15
 Sejumlah teks dari berbagai genre sastra
sudah dilindungi
 Puisi religi  Piers Plowman (1367-70)
dari William Langland,
 Kisah Percintaan/sastra naratif  aliran
baru jenis sekuler misalnya Gawain and
the Green Knight (abad ke-14) dan Le
Morte d‟Arthur (1470) karya Thomas
Malory‟s (1408-71)
 Munculnya seni pertunjukkan dengan
nilai religi  mempengaruhi zaman
Renaissance
ke-16 – ke-  Masa Inggris baru yang berfokus pada
17
sejarah bahasa dan masa pemerintahan
Ratu Elizabeth I
 Bangkitnya
genre
klasik,
contoh:
dongeng Faerie Quenes (1590-1596)
karya Edmund Spencer
dan drama
modern Willian Shakespeare
 Genre prosa bebas, contoh John Lyly
dengan Roman Euphues
 Drama Court Masque yang melibatkan
Mario Klarer, Op.Cit., h. 67-73
4
4.
Masa Pengikut
Kelompok/Agama
tertentu (Puritan)
(Mulai munculnya sastra
di Amerika)
5.
Masa
Bebas/Neoclassical/
Golden/Augustan
6.
Masa Romantisme
7.
Masa Victorian
rancangan arsitektur
 Diakhiri dengan perkumpulan pengikut
Oliver Cromwell
Ke-17 – Ke-  Dipengaruhi nilai religi
18
 Termasuk sastra baru di Benua Amerika
Utara
 Meningkatnya ketertarikan dari para
budak Afrika-Amerika
 Contoh: Poems and Various Subjects
(1773) karya Philis Wheatley
Ke-18
 Budaya penulis kontemporer (John
Dryden, Alexander Pope, dan Joseph
Addison
 Mulai
menerjemahkan
karya-karya
sastra, genre bervariasi, esai teoretik
 Perkembangan novel sebagai genre
baru, termasuk koran dan majalah
 Robinson Crusoe (1719) karya Daniel
Defoe, Pamela (1740-1741) dan Clarissa
(1748-49) karya Samuel Richardson
Akhir ke-18
A. Inggris
dan ke-19
 Gaya kesusasteraan yang bersifat
romantis
 Lyrical Ballads (1798) karya William
Wordsworth (1770-1850) dan Samuel
Taylor Coleridge
 Gaya romantisme untuk alam dan
idealisme
Jerman
(bentuk
reaksi
perubahan politik)
B. Amerika
 Gaya
sastra
romantis
dan
transcendentalism sebagai sastra yang
bebas
 Pemahaman filosofi terhadap alam
 Cerita pendek Moby Dick (1851) karya
Herman Melville dan puisi Walt Whitman
dalam Leaves of Grass (1855-92)
Pertengahan  Paham realis dan naturalis dapat
ke-19
ditemukan di Amerika dan Inggris
 Paham
realis
menggambarkan
kehidupan nyata melalui bahasa
 Paham
naturalis
menggambarkan
dengan sebenarnya efek sosial dan
lingkungan yang akan mempengaruhi
5
8.
Masa Modern
Perang
Dunia I –
Perang
Dunia II
9.
Masa Postmodern
Tahun 1960
-1970
10.
Tahun 1980
karakter
 Trend yang terjadi di Inggris lebih banyak
drama dan di Amerika lebih banyak fiksi
 Penulis novel Amerika seperti Mark
Twaini dan penulis Inggris Charles
Dickens, William M. Thackeray (1811-63)
 Reaksi terhadap gerakan realis di abad
ke-19
 Kesusasteraan modern menemukan
teknik naratif inovatif seperti stream of
consciousness, atau bentuk struktur,
seperti kubus sastra dan kolase.
 Inovasi sastra dekade pertama abad ke20, manisfestasi pengaruh psikoanalisis
dan fenomena sejarah budaya lain
 Ulysses (1922) dan Finnegans Wake
(1939) karya James Joyce, Mrs Dalloway
(1925) dan To the Lighthouse (1927)
karya Virginia Woolf, dll.
 Tema naratif yang inovatif dan di
adaptasi di bidang akademik
 Pengaruh Nazi dan serangan nuklir PD II
 Alur dan percobaan dalam teks
cetak/tipografi.
 Contoh: John Barth yang berjudul Lost in
the funhouse (1968), The Crying of Lot
49 (1966) karya Thomas Phynchon
(1937).
 Perintis karya postmodern  sastra
minoritas dan perempuan
 Terkadang kembali kepada genre dan
teknik naratif yang lebih tradisional
 Contoh: Four and Five (1980), Margaret
Atwood yang berjudul The Handmaid‟s
Tale (1985)
Berikut penjelasan rinci pembahasan perkembangan sastra pada tabel di atas.
1) Masa Inggris kuno (old English) - Abad ke-5 sampai abad ke-11
Inggris kuno dikenal sebagai masa Anglo-Saxon yang merupakan periode awal
dari sastra Inggris. Dimulai dengan serangan ke negara Kerajaan Inggris Raya
yang dilakukan oleh bangsa Jerman (Anglo-Saxon) pada abad ke 5 AD
dan
berakhir sampai serangan Perancis tahun 1066.
6
Pada awalnya satra Inggris ditemukan di periode pertengahan Latin (Latin Middle
Age), ketika biara dijadikan garda terdepan untuk mempertahankan budaya klasik.
Teks sastra Latin yang terpenting adalah Ecclesiastical History of the English
People (AD 731) karya Beda Venerabilis (673-735). Seperti di bagian lain Eropa,
sastra nasional dikembangkan sama dengan sastra latin.
Teks pertama ditulis antara abad ke-8 dan abad ke-11 yang disebut Inggris Kuno
(Old English) atau “Anglo-Saxon”. Jumlah teks yang diturunkan dari periode ini
sangat sedikit, terdiri dari mantra yang tidak bernama, teka-teki dan puisi seperti
“The Seafarer” (abad ke-9) atau “The Wanderer” (abad ke-9 – ke-10), syair seperti
mitologi/dongeng Beowulf (abad ke-8) atau The Boule of Maldon (AD 1000) yang
dibuat berdasarkan fakta sejarah.
2) Masa Inggris pertengahan (Middle English) – Abad ke-12 sampai abad ke-15
Ketika penduduk asli Normandia yang berbahasa Perancis menaklukan Inggris di
abad ke-11, perpecahan budaya dan sastra terjadi. Dari setengah akhir masa
Inggris pertengahan, sejumlah teks dari berbagai genre sastra sudah dilindungi,
termasuk lirik puisi dan syair puisi panjang dengan isi religi , seperti Piers
Plowman
(1367-70) yang dianggap berasal dari William Langland. Kisah
percintaan, aliran baru dari jenis sekuler, berkembang di masa ini, termasuk Sir
Gawain and the Green Knight (abad ke-14) dan Le Morte d‟Arthur (1470) karya
Thomas Malory‟s (1408-71) . Bentuk ini secara tidak langsung mempengaruhi
perkembangan novel di abad ke-18. Sastra Inggris pertengahan juga membuat
sastra Naratif, seperti Canterbury Tales (1387) karya Geoffrey Chaucer, serupa
dengan I Decamerone (1349-51) karya Giovanni Boccaccio di Italy yang
merupakan model penting untuk cerita pendek di abad ke-19 dan dapat dijadikan
pembanding. Diantara berbagai inovasi sastra yang terjadi di masa Inggris
pertengahan, yang mengejutkan adalah munculnya seni pertunjukan dengan nilai
religi dan secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan drama modern di
zaman Renaissance.
7
3) Masa Renaissance – Abad ke-16 sampai abad ke-17
Masa ini dikenal dengan masa Inggris baru yang berfokus pada sejarah bahasa
dan masa pemerintahan Ratu Elizabeth I atau masa Raja James (Jacobean) yang
dibuat berdasarkan aturan politik. Fokus pada periode ini adalah bangkitnya genre
klasik, seperti dongeng karya Edmund Spencer yang berjudul Faerie Quenes
(1590-1596), serta drama modern dengan William Shakespeare, Christopher
Marlowe dan lainnya. Bangkitnya genre Greco-Roman mempengaruhi dan
mendominasi sejarah sastra Inggris selanjutnya. Selain adaptasi drama dan
dongeng, masa ini juga menghasilkan genre prosa bebas, sebagai contohnya
John Lyly (1554-1606) yang berupa Roman Euphues (1578) atau Roman Arcadia
karya Philip Sidney. Terdapat bentuk sastra yang cukup berbeda dan memiliki
daya tarik, yaitu bentuk sastra drama yang berjudul Court Masque dengan
melibatkan rancangan arsitektur. Periode ini berakhir dengan didirikannya sebuah
perkumpulan dibawah bimbingan pengikut Oliver Cromwell. Penampilan drama
religi tersebut menjadi puncak sejarah perkembangan satra Inggris, yang ditandai
dengan munculnya sastra yang memukau berjudul Oeuvres karya John Milton
(1608-1974). Dalam sejarah sastra masa sesudah terbentuknya
negara
persekutuan atau a democratic republic mengacu pada restorasi dengan istilah
Baroque.
4) Masa abad ke-18
Periode ini dikenal dengan masa bebas yang juga dikenal dengan Neoclassical,
Golden atau masa Augustan. Pada masa ini sastra diadaptasi dengan
meyesuaikan pada budaya penulis kontemporer, seperti John Dryden, Alexander
Pope, Joseph Addison (1672-1719) dan Jonathan Swift yang menulis terjemahan,
esai teoretik dan teks-teks sastra dalam genre yang beragam atau bervariasi.
Pada masa ini terjadi perubahan yang mempengaruhi penyebaran teks, termasuk
perkembangan novel sebagai genre baru dan pengenalan koran dan majalah
sastra, seperti Tatler (1709-11) dan the Spectator (1711-14). Beberapa novel yang
mengawali masa novel sebagai genre sastra baru antara lain Robinson Crusoe
(1719) karya Daniel Defoe, Pamela (1740-1741) dan Clarissa (1748-49) karya
8
Samuel Richardson. Tom Jones (1749) karya Henry Fielding
serta Tristram
Shandy (1759-68) karya Lawrence Sterne.
5) Masa Puritan atau masa penjajahan – Abad ke-17 – abad ke-18
Perkembangan karya sastra di Amerika pada abad ke-17 dan abad ke-18
dipengaruhi oleh nilai religi yang tergolong sebagai fenomena sastra baru di
Benua Amerika Utara. Diary Cotoon Mather dan John Winthrop serta puisi Anne
Bradstreet merupakan sumber yang terpenting untuk memahami masa kolonial
baru. Di awal tahun terdapat ketertarikan yang meningkat dari para budak AfrikaAmerika, seperti Poems and Various Subjects (1773) karya Philis Wheatley. Teks
ini menggambarkan sosial kondisi masa ini dari perspektif orang yang bukan
penduduk Eropa.
6) Masa Kesusasteraan Romantis – Pertengahan pertama abad ke-19
Di akhir abad ke-18, gaya kesusasteraan yang bersifat romantis mengawali masa
awal sejarah satra Inggris tradisional. Edisi pertama dari Lyrical Ballads (1798)
karya William Wordsworth (1770-1850) dan Samuel Taylor Coleridge dianggap
sebagai munculnya masa ini dengan karya sastra yang bersifat alami dan individu
serta
berdasarkan
pengalaman
hidup
memegang
peran
penting.
Gaya
kesusasteraan yang bersifat romantis dilihat sebagai sebuah bentuk reaksi
terhadap perubahan politik yang terjadi di seluruh benua Eropa dan Amerika pada
akhir abad ke-18. Selain Wiliam Blake dan John Keats, sastrawan terpenting yang
mewakili masa romantisme Inggris adalah William Blake, JohnKeats, Percy
Bysshe
dan
Mary
Shelley
(1797-1851).
Sementara
di
Amerika,
gaya
kesusasteraan yang bersifat romantis dan transcendentalism (luar biasa) kurang
lebih sama.
Dipengaruhi oleh antusiasme gaya romantisme terhadap alam dan idealime
Jerman, transcendentalism Amerika di bangun sebagai gerakan merdeka di
pertengahan awal abad ke-19. Tulisan filsafat karya Ralph Waldo Emerson (180382), termasuk the essay nature (1836), dibuat sebagai landasan untuk sejumlah
karya yang masih dianggap sebagai acuan perkembangan tradisi sastra Amerika
9
yang
bebas.
pemahaman
Dalam
transcendentalism,
alam
menyediakan
kunci
untuk
secara filosofi. Dari perspektif ini, manusia tidak harus menerima
begitu saja terhadap fenomena yang alami tetapi lebih kepada menambahkan visi
yang menyeluruh secara filosofi. Di tengah-tengah gerakan yang berpusat pada
teks, selain tulisan filsafat Ralph Waldo Emerson, terdapat juga cerita pendek
Nathaniel Hawthorne (1804-64), novel Henry David Thoreau (1817-62), berjudul
Walden (1854), Herman Melville (1819-91) berjudul Moby Dick (1851) dan puisi
Walt Whitman dalam Leaves of Grass (1855-92). Bartens menambahkan bahwa
pada pertengahan abad ke-19 di masyarakat di negara-negara barat mulai
menggaungkan liberalisme atau kebebasan yang tercermin syair puisi dan fiksi
realistik di mana karakter yang dimunculkan pada novel dipengaruhi oleh situasi
sosial dan politik pada saat itu. 8
7) Masa Victorian – Pertengahan kedua abad ke-19
Untuk masa berikutnya, Amerika dan Inggris masih sebagai acuan gerakan sastra
internasional yang sangat penting. Di akhir abad ke-19, paham realis dan naturalis
dapat ditemukan di Amerika dan Inggris. Paham realis digambarkan sebagai
gerakan yang mencoba untuk menggambarkan kenyataan secara benar melalui
bahasa. Sementara paham naturalis menggambarkan dengan sebenarnya efek
sosial dan lingkungan yang akan mempengaruhi karakter. Tren yang terjadi di
Amerika lebih banyak ke arah fiksi, sementara di Inggris lebih terkenal dengan
drama termasuk karya George Bernard. Penulis novel Amerika seperti Mark
Twaini, Henry James (1843-1916) dan Kate Chopin (1851-1904) dan penulis
Inggris seperti Charles Dickens, William M. Thackeray (1811-63), Charlotte dan
Emily Bronte dan George Eliot adalah sastrawan hebat di masa ini, yang dalam
kesusateraan Inggris disebutkan sebagai masa kejayaan atau Victorian age.
8) Masa Modern – Perang Dunia I sampai Perang Dunia ke II
Kesusasteraan modern di Amerika dan Inggris dapat dilihat sebagai sebuah reaksi
terhadap gerakan realis di abad ke-19. Ketika realis dan naturalis fokus pada
8
Hans Bartens, Literary Theory: The Basic, (New York: Routledge), 2001, h. 6
10
realita kehidupan, maka kesusasteraan modern menemukan teknik naratif inovatif
seperti stream of consciousness, atau bentuk struktur, seperti kubus sastra dan
kolase. Kesusasteraan modern merupakan istilah lapisan yang meliputi inovasi
sastra dalam dekade pertama abad ke-20 yang merupakan manisfestasi pengaruh
psikoanalisis dan fenomena sejarah budaya lainnya. Hasil karya masa ini antara
lain Ulysses (1922) dan Finnegans Wake (1939) karya James Joyce, Mrs
Dalloway (1925) dan To the Lighthouse (1927) karya Virginia Woolf, Three Lives
(1909) karya Gertrude Stein, The Cantos (1915-70) karya Ezra Pound, The
Wasteland (1922) karya T.S. Eliot dan William Faulkner yang berjudul The Sound
and the Fury (1929).
9) Masa Postmodern – Tahun 1960 sampai 1970
Dalam postmodern, kaum modern mengangkat tema naratif yang inovatif dan di
adaptasi di bidang akademik, terkadang dengan cara yang formal. Gerakan sastra
di bagian kedua abad ke-20 secara tidak langsung terdapat pengaruh kekejaman
Nazi dan serangan nuklir di perang dunia ke-2. Teknik narative memiliki perspektif
yang banyak, alur yang menurun dan dan merupakan awal penggunaan teks
cetak/tipografi. Karya John Barth yang berjudul Lost in the Funhouse (1968), The
Crying of Lot 49 (1966) karya Thomas Phynchon (1937), Double or Nothing (1971)
karya Raymond Federman (1928) dan John Fowles (1926) dengan karya The
Fench Lieutenant‟s Woman (1969) yang mendukung gerakan dalam kritik sastra.
Termasuk drama yang tidak masuk akal/absurd, termasuk karya Samuel Beckett
yang berjudul Waiting for Godot (1952) dan Tom Stoppard dengan karya yang
berjudul Travesties (1974) dan film postmodern yang mengadapatasi banyak
elemen dari puisi post-modern dan fiksi yang sesuai dengan media mereka.
Tahun 1980, banyak perintis karya post-modern yang saat ini menjadi besar
dengan sastra minoritas dan perempuan, karya satra ditulis oleh kelompok
marginalitas termasuk perempuan, gay atau etnis minoritas yang banyak diwakili
oleh bangsa Afrika Amerika, Chicanos dan Chicanas. Sastra ini menjadi sangat
penting beberapa dekade ini, terkadang kembali kepada genre dan teknik naratif
yang lebih tradisional, sering terkait dengan pesan sosiopolitik daripada akademik,
11
kejenakaan struktural. Tulisan perempuan, seperti Sylvia Plath (1932-63) yang
berjudul The Bell Jar (1963), Doris Lessing (1919) yang berjudul The Marriages
Between Zones Three, Four and Five (1980), Erica Jong (1942) dengan karyanya
Fear of Flying (1973) atau Margaret Atwood yang berjudul The Handmaid‟s Tale
(1985) dan sastra Afrika Amerika, termasuk Richard Wright (1908-60) berjudul
Native Son (1940), Alice Walker (1944) yang berjudul The Color Purple (1980),
serta karya Tom Morrison yang berjudul Beloved (1987) atau karya penulis ChinaAmerika seperti karya Maxine Hong Kingston yang berjudul The Woman Warrior
yang menguatkan teks yang banyak berbicara tentang perempuan dan kelompok
minoritas dalam zaman kritik sastra.
Selain kesusasteraan perempuan, sastra pada masa post-colonial menjadi
pusat perhatian lain. Teks yang berbentuk luas dikelompokkan berdasarkan
kesusateraan commonwealth (kebanyakan) kesusateraan dalam bahasa Inggris
atau kesusasteraan Anglophone. Kesusasteraan dari penduduk Inggris yang
pertama seperti penduduk Karibia, Afrika, India atau Australia memberikan
kontribusi untuk merubah sastera kontemporer/ sastra masa ini. Dalam banyak
hal, dimensi isi berperan kembali dan berfungsi sebagai penyeimbang secara
akademik masa modern dan post-modern. Salman Rushdie (1947) dengan karya
Satanic Verses (1988), Omeros (19990) karya Derek Walcott, Chinua Achebe
dengan karya Things Fall Apart (1958) dan An Angel at My Table (1984) karya
Janet Frame yang merupakan contoh dari kesusasteraan Anglophone dari Asia,
Karibia, Afrika dan Selandia Baru. Sebagian yang mempengaruhi trend secara
umum terlihat dalam teknik naratif yang lebih tradisional yang tidak terlalu
kompleks dan jelas, tetapi lebih berfokus pada isi daripada yang sebelumnya yang
berbentuk naratif berlebihan.
Tinjauan secara umum dari gerakan sastra yang paling penting di Inggris
hanya sampai tataran permukaan dari topik yang kompleks dan mendalam.
Survey dari sejarah kesusasteraan berhadapan dengan issue apakah klasifikasi
atau pengelompokkan pengarang dan karyanya adalah memungkinkan: karena
harus berdasarkan kesepakatan karena tidak terdapat pedoman. Karena hal ini,
maka pengarang seperti Aphra Behn (1640-89), Edgar Allan dan John Steinbeck
12
(1902-68)
tidak
disebutkan
dalam
survey,
karena
mereka
tidak
bisa
dikelompokkan pada masa dan pergerakan yang jelas.
Perkembangan sastra di Indonesia digambarkan sebagai berikut. 9
Tabel 3: Perbedaan Masyarakat Lama & Masyarakat Baru
Jenis Perbedaan
Sifat
Pengaruh
Pendidikan
Hukum/Norma
Lama
Statis, perubahan sangat lambat
Kesetiaan terhadap adat istiadat
Pendidikan belum maju, tiap
individu harus menyesuaikan diri
dengan masyarakat
Hukum/norma, berlaku bahwa
kepercayaan dan agama
merupakan hal yang terpenting
Baru
Dinamis, perubahan
sangat cepat
Hubungan dengan dunia
luar
Pendidikan maju dengan
berusaha mengubah
konsep tradisional ke
arah kemajuan
Hukum yang tertulis
dianggap lebih penting
Tabel 4: Perbedaan Karangan Kesusasteraan Lama dan Kesusasteraan Baru
Jenis Perbedaan
Sifat Karya
Sastra
Pokok Isi
Bahasa
Gaya
Sifat Isi
9
Lama
Statis, baik dalam bentuk
maupun tema
Berpusat pada kehidupan di
istana
Bahasa Melayu
Banyak menggunakan bahasa
klise
Khayal dan fantastis
Pengarang
Anonim, sebagian besar nama
pengarang tidak disebutkan
Penyajian
Lisan dan tulisan
Baru
Dinamika sesuai dengan
pribadi
pengarang/sastrawan
Berpusat pada kehidupan
di masyarakat
Bahasa Indonesia
Menggunakan gaya
bahasa dan ungkapan
masing-masing
pengarang
Disesuaikan dengan
realita kehidupan
Nama pengarang
disebutkan, baik nama
asli atau samaran
Hampir semuanya tertulis
Kinayat Djojosuroto. 2007. Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
13
Tabel 5: Perbandingan Karangan Sastra Indonesia Berdasarkan Angkatan
Perbandingan
Angkatan 20
Angkatan 30
Angkatan 45
Angkatan 66
Angkatan 7080-an
Bahasa
Bahasa
Melayu
Bahasa
Indonesia
Bahasa
Indonesia
Bahasa
Indonesia
Bahasa
Indonesia
Bentuk
Bahasa dan
Isi
Bentuk
bahasa
lebih
penting
daripada isi
Mayoritas
adat istiadat
dan kawin
paksa
Sama-sama
penting
Isi lebih
penting,
bahasa
bebas
Isi lebih
penting,
bahasa
bebas
Isi lebih
penting,
bahasa
bebas
Kehidupan
masyarakat
(emansipasi
, intelektual
dll)
Pengaruh
barat lebih
besar ,
melahirkan
kebudayaan
yang
bersifat
nasional
Perjuangan
melawan
penjajah
Perjuangan
melawan
tirani dan
kekejaman
Hidup dan
kehidupan
Pengaruh
pujangga
dunia yang
ingin
memunculk
an
kebudayaan
yang
bersifat
universal/int
ernasional
Realisme
Pengaruh
pujangga
dunia tetapi
dengan
tetap
mempertah
ankan
martabat diri
sebagai
bangsa
Pengaruh
pujangga
dunia tetapi
dengan tetap
mempertahan
kan martabat
diri sebagai
bangsa
Idealisme
Membentuk
sesuatu
yang baru
diatas
reruntuhan
yang lama
Membuat
karya
sejujurnya
Impresionistis
dan
Ekspresionistis
Membuat
karya
berdasarkan
realita
kehidupan
Tema
Pengaruh
Pengaruh
tradisi dan
sastra
daerah,
sehingga isi
karya sastra
terkait adat
istiadat
suatu
daerah
Aliran
Romantisme
Idealisme
Proses
Perubahan
sedikit
sekali dari
zaman
sebelumnya
Meramu
yang lama
menjadi
baru
2. Fungsi Telaah Sastra
Telaah sastra sebagai suatu usaha pengkajian karya sastra mempunyai fungsi
sebagai berikut. Pertama, telaah sastra dapat berfungsi sebagai panduan dalam
analisis karya sastra dengan tata kerja yang sistematis dan memenuhi kriteria ilmiah.
Kedua, telaah sastra dapat berfungsi sebagai alat analisis yang menjelaskan
14
kekuatan dan kelemahan sebuah karya sastra kepada masyarakat sastra. Ketiga,
telaah sastra dapat sebagai umpan balik bagi pengarang dalam menghasilkan karya
sastranya. Keempat, telaah sastra dapat digunakan sebagai alat pengungkap
berbagai persoalan kehidupan di dalam karya sastra seperti persoalan pendidikan,
sosial, politik, hukum, dan lainnya. Selanjutnya, telaah sastra dapat dijadikan sebagai
pendekatan penelitian sastra bagi masyarakat akademik untuk menulis skripsi, tesis,
atau disertasi. Seperti yang diungkapkan oleh Sugira Wahid fungsi telaah sastra
pada kritik sastra adalah, memelihara dan menyelamatkan pengalaman manusiawi
serta menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan struktur yang bermakna.10
3. Tujuan Telaah Sastra
Sesuai dengan uraian di atas telaah sastra memiliki tujuan teoretis dan tujuan
praktis. Secara teoretis telaah sastra bertujuan untuk mengembangkan ilmu sastra
yang khusus teraplikasikan dalam genre sastra seperti puisi, prosa, dan drama
secara ilmiah dengan analisis yang dipergunakan seperti analisis struktur, semiotik,
resepsi, hermeneutik dan lainnya. Secara praktis telaah sastra bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memahami sastra dan karya sastra,
yaitu mahasiswa sebagai ilmuan dan masyarakat umumnya yang berminat terhadap
pemahaman dan penghayatan karya sastra.
4. Ruang Lingkup Sastra
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sementara itu, studi
sastra merupakan cabang ilmu pegetahuan. Ada yang mengatakan bahwa tidak
mungkin dapat mempelajari Alexander Pope tanpa mencoba membuat puisi dengan
bentuk heroic couplets, atau kita harus belajar mengarang drama dalam bentuk blank
verse. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya
dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan
rasional.sejumlah teoritikus menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah
ilmu dan menganjurkan “penciptaan ulang” (second creation) sebagai gantinya
seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan John Addington Symonds (penyair
10
Sugira Wahid, Kapita Selekta Kritik Sastra. (Universitas Negeri Makassar : CV. Berkah Utama), h. 43
15
Inggris abad ke-19) mencoba memindahkan lukisan terkenal karya Leonardo da
Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. John Addington Symonds (kritikus Inggris
sezaman dengan Pater) mengulas karya sastra dengan gaya bahasa sastra yang
berbunga-bunga.
Cara ilmiah untuk mendekati karya seni sastra adalah dengan menerapkan
(mentransfer) metode-metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi
sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti objektivitas, kepastian, dan sikap tidak
terlibat. Usaha lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal,
dan penyebab (metode genetik). Secara lebih ketat, kausalitas ilmiah semacam ini
dipakai untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi,
sosial, dan politik sebagai faktior–faktor penyebab. Statistik, grafik, dan peta, yang
biasanya dipakai dalam ilmu eksakta juga dipakai dalam pendekatan ini. Akhirnya
perlu dicatat juga penggunaan konsep biologis dalam menelusuri evolusi sastra.
Bagaimanapun, kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari
penerapan ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Ada suatu kawasan tempat dua
metodologi tersebut saling bersinggungan atau bahkan bertumpang tindih. Metodemetode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, dan perbandingan sudah
umum dipakai di setiap jenis ilmu pengetahuan yang sistematis, termasuk dalam
studi sastra. Jika kita hendak membahas perbedaan kedua ilmu di atas secara
menyeluruh, barangkali kita perlu menentukan lebih dulu sikap kita mengenai
berbagai macam masalah klasifikasi ilmu, filsafat sejarah, dan teori ilmu
pengetahuan.
Ada dua jalan keluar yang ekstrim untuk membedakan sastra dan studi sastra.
Pertama adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan sekadar
mengumpulkan fakta-fakta atau menyusun “hukum-hukum” sejarah yang sangat
umum. Cara kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas, serta
keunikan karya sastra. Tetapi cara yang kedua ini diterapkan secara ekstrim. “intuisi”
pribadi dapat mengarah pada “apresiasi” yang bersifat emosional saja, suatu
subjektivitas total. Penekanan pada “individualitas” dan “keunikan” karya sastra
walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main generalisasi dapat
16
membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus persen
“unik”.
Akhirnya, perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum
dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus.
Yang dimaksud dengan individual di sini tidak sama dengan seratus persen unik atau
khusus. Seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada
umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan
rekan-rekan seprofesinya setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas, tetapi
juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni lain.sedangkan kritik sastra
dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah karya sastra,
seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional tertentu.
Ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin dapat mempelajari Alexander Pope
tanpa mencoba membuat puisi dengan bentuk heroic couplets, atau kita harus
belajar mengarang drama dalam bentuk blank verse. Seorang penelaah sastra harus
dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat
menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional. Sejumlah teoritikus menolak
mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu dan menganjurkan “penciptaan
ulang” (second creation) sebagai gantinya seperti yang dilakukan oleh Walter Pater
dan John Addington Symonds (penyair Inggris abad ke-19) mencoba memindahkan
lukisan terkenal karya Leonardo da Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. John
Addington Symonds (kritikus Inggris sezaman dengan Pater) mengulas karya sastra
dengan gaya bahasa sastra yang berbunga-bunga.
Cara ilmiah untuk mendekati karya seni sastra adalah dengan menerapkan
(mentransfer) metode-metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi
sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti objektivitas, kepastian, dan sikap tidak
terlibat. Usaha lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal,
dan penyebab (metode genetik). Secara lebih ketat, kausalitas ilmiah semacam ini
dipakai untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi,
sosial, dan politik sebagai faktior –faktor penyebab. Statistik, grafik, dan peta, yang
biasanya dipakai dalam ilmu eksakta juga dipakai dalam pendekatan ini. Akhirnya
perlu dicatat juga penggunaan konsep biologis dalam menelusuri evolusi sastra.
17
Bagaimanapun, kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari
penerapan ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Ada suatu kawasan tempat dua
metodologi tersebut saling bersinggungan atau bahkan bertumpang tindih. Metodemetode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, dan perbandingan sudah
umum dipakai di setiap jenis ilmu pengetahuan yang sistematis, termasuk dalam
studi sastra. Jika kita hendak membahas perbedaan kedua ilmu di atas secara
menyeluruh, barangkali kita perlu menentukan lebih dulu sikap kita mengenai
berbagai macam masalah klasifikasi ilmu, filsafat sejarah, dan teori ilmu
pengetahuan.
Ada dua jalan keluar yang ekstrim untuk membedakan sastra dan studi sastra.
Pertama adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan sekadar
mengumpulkan fakta-fakta atau menyusun “hukum-hukum” sejarah yang sangat
umum. Cara kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas, serta
keunikan karya sastra. Tetapi cara yang kedua ini diterapkan secara ekstrim. “intuisi”
pribadi dapat mengarah pada “apresiasi” yang bersifat emosional saja, suatu
subjektivitas total. Penekanan pada “individualitas” dan “keunikan” karya sastra
walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main generalisasi dapat
membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus persen
“unik”.
Akhirnya, perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum
dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus.
Yang dimaksud dengan individual di sini tidak sama dengan seratus persen unik atau
khusus. Seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada
umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan
rekan-rekan seprofesinya setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas, tetapi
juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni lain.sedangkan kritik sastra
dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah karya sastra,
seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional tertentu.
Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah
berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles (384-322 SM) menulis
bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah
18
poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain
oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literature, oleh W.H. Hudson,
Theory of Literature Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre
Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga
disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam
perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga
disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian
sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping
itu,pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra
hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu.
Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan
periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat
kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat
berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam
praktiknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga
disiplin ilmu tersebut saling terkait. 11
Genre juga merupakan salah satu bagian sastra yang dapat menjadi objek
penelitian atau pengajian karya sastra. Kata “Genre” merupakan istilah Perancis
yang berasal dari bahasa Latin genus, generis, yang berarti "jenis", "seperti itu," atau
"baik." Ini menunjuk pada bentuk atau jenis sastra menjadi karya yang
diklasifikasikan menurut apa yang mereka miliki bersama, baik dalam formal mereka
struktur atau dalam perlakukan mereka terhadap materi pelajaran atau keduanya.
Terdapat dua kategori karya sastra ditinjau dari genre yaitu fiksi dan nonfiksi.
Dalam proses telaah sastra, beberapa pendekatan dapat digunakan dengan
berbagai orientasi antara lain pendekatan sastra berorientasi pada teks, pengarang,
pembaca, maupun konteksnya.
11
Rene Wellek &Austin Warren. Teori Kesustraan.(Terjemahan). Jakarta: PT.Gramedia. 1995.
A Teew. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988. h.38
19
C. Penutup
Dalam usaha menjelaskan dan membimbing pemahaman yang ditawarkan pengarang
agar mudah ditangkap oleh si pembaca dalam karya sastra diperlukan suatu pengajian
terhadap karya sastra itu sendiri. Istilah telaah yang dipergunakan dalam „telaah sastra‟
sepadan dengan kata pengkajian, penyelidikan, dan penelitian. Dalam prosesnya,
telaah sastra akan melibatkan berbagai macam pendekatan serta ditinjau dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Selain itu, telaah sastra sangat erat kaitannya dengan
periode
perkembangan
karya
sastra
karena
masing-masing
periode
memiliki
karakternya masing-masing.
Daftar Pustaka
Bartens, H. 2001. Literary Theory: The Basics. (New York: Routledge)
Djojosuroto, K. Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta,
2007
Klarer, M. 2004. An Introduction to Literary Studies. ( London&New York: Routledge)
Wellek, R. dan Warren, A. 1995. Teori Kesustraan. (Terjemahan). Jakarta:
PT.Gramedia
20
Download