Pendahuluan: Hakikat, Fungsi, Tujuan, dan Ruang Lingkup Telaah Sastra Oleh: Audi Yundayani, Frimadhona Syafri, Lidwina Sri Ardiasih, dan Arini Noor Izzati Abstrak Tulisan ini mengulas hakikat, fungsi, tujuan dan ruang lingkup telaah sastra. Sastra merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sastra adalah cara yang dilakukan pengarang untuk mengungkapkan kehidupan lewat media bahasa sebagai jembatan yang menghubungkan antara pengarang dan pembacanya. Telaah sastra merupakan studi atau kajian sastra yang dapat dilihat dari tiga aspek, teori satra, kritik sastra dan sejarah sastra. Kata kunci: hakikat, fungsi, tujuan, ruang lingkup telaah sastra. A. Pendahuluan Karya sastra merupakan sebuah pengungkapan kehidupan yang bersumber dari lingkungan, kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar bahkan dibaca oleh pengarang, kemudian disampaikan oleh pengarang kepada pembaca dengan menggunakan bahasa sebagai media untuk menghubungkan keduanya. Pada dasarnya sastra terbagi menjadi dua konsep besar, yaitu 1) sastra itu sendiri yang dilihat sebagai sebuah karya yang dapat diapresiasi dan 2) sastra sebagai studi atau sebagai sebuah kajian, artinya sastra dapat dilihat dari tiga aspek, teori satra, kritik sastra dan sejarah sastra. Makalah ini akan membahas tentang sastra sebagai sebuah studi atau kajian berikut ruang lingkupnya. B. Pembahasan 1. Hakikat dan Telaah Sastra Ditinjau dari etimologinya, kata sastra dalam bahasa Indonesia dan literature dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin “litteratura” 1 yang berarti bagian terkecil dari alfabet. Sastra kemudian didefinisikan sebagai “suatu kegiatan kreatif sebuah karya 1 Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies,( London&New York: Routledge, 2004), h. 1 1 seni”. 2 Klarer menggambarkan sastra sebagai “the entirety of written expression, with the restriction that not every written document can be categorized as literature in the more exact sense of the word”. 3 Definisi tersebut mengacu pada sastra sebagai ungkapan tertulis dimana tidak semua bentuk tulisan atau teks termasuk pada kategori tulisan ini. Klarer menambahkan bahwa kata „aesthetic‟ (keindahan) dan „artistic‟(bersifat seni) merupakan kata yang menggambarkan karakteristik dari sastra dibandingkan dengan jenis teks atau tulisan lainnya seperti buku, koran, dokumen resmi, atau karya tulis yang bersifat akademik. Namun demikian sastra tidak terbatas pada karya tulis saja, Klarer menjelaskan bahwa sastra juga melibatkan “the acoustic element, the spoken word, is an integral part of literature, for the alphabet translates spoken words into signs” 4 yang kita kenal beberapa bentuknya seperti drama, pembacaan puisi dan prosa secara lisan di mana menurut Klarer “visual and acoustic elements are being reintroduced into literature, on the other hand, media, genres, text types, and discourses are being mixed. Artinya, seiring perkembangan teknologi, karya sastra dalam bentuk visual maupun audio atau gabungan kedua unsur tersebut juga mulai berkembang untuk lebih memudahkan penyampaian pesan kepada pembaca atau pendengarnya. Sebagai bandingannya, dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Akar katanya adalah sas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra menunjukkan alat atau sarana. Oleh karena itu sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi petunjuk, buku instruksi atau pengajaran di mana dalam prosesnya sangat erat kaitannya dengan berbagai macam teori sastra. Sebagai contohnya Silpasastra yang berarti buku arsitektur atau Kamasastra yang merupakan buku petunjuk mengenai cinta. Selanjutnya, di samping teori sastra itu sendiri terdapat juga istilah “studi sastra” yang kemudian dikenal dengan istilah “telaah sastra” atau “kajian sastra”. Studi sastra ini merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan. Perbedaan kedua kategori tersebut adalah bahwa teori sastra meliputi studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan studi sastra berhubungan 2 Rene Wellek, Austin Warren, h.3 Mario Klarer, Op.Cit., h. 1 4 Mario Klarer, Op.Cit., h. 2 3 2 dengan penjelasan, pengajian atau analisis karya-karya konkrit yang dikenal dengan istilah kritik sastra dan sejarah sastra. Wellek 5 menyatakan bahwa muncul pendapat yang berusaha memisahkan sejarah sastra dari teori sastra dan kritik sastra. Batteson 6 merupakan salah satu tokoh yang mengatakan bahwa sejarah sastra menunjukkan A berasal dari B, sedangkan kritik sastra menunjukkan A lebih baik dari B. Hubungan yang pertama dapat dibuktikan, sedangkan yang kedua tergantung pada pendapat dan keyakinan. Tidak ada satu data dalam sejarah sastra yang sepenuhnya netral. Oleh karena itu, pada hakikatnya telaah sastra adalah menelaah, mengaji, atau meneliti karya sastra ditinjau dari berbagai macam aspek atau sudut pandang dalam rangka menjelaskan dan menerangkan serta menjembatani atau membimbing pemahaman yang ditawarkan pengarang dengan pemahaman yang ditangkap oleh si pembaca dalam karya sastra. Penilaian tiap periode memiliki perbedaan konsepsi penilaian dan konvensi sastra yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa periode sastra menjadi salah satu acuan dalam melaksanakan suatu kajian sastra yang akan dijabarkan pada penjelasan berikut ini. Telaah atau studi sastra tidak bisa terlepas dari perkembangan sastra itu sendiri karena masing-masing masa perkembangan sastra memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Bagian ini membahas sejarah perkembangan sastra yang muncul di Inggris, Amerika, dan Indonesia. Perkembangan sastra berbahasa Inggris menimbulkan berbagai perbedaan pendapat, beberapa istilah dan kriteria klasifikasi yang telah ditetapkan berdasarkan standar dalam kritik sastra Anglo-Amerika. Pengelompokkan periodisasi sastra tidak harus berdasarkan kriteria yang umum seperti berdasarkan struktur, isi atau tanggal publikasi. Kriteria pengelompokkan di dapat berdasarkan sejarah bahasa (Bahasa Inggris lama dan Bahasa Inggris pertengahan), sejarah nasional (masa kolonial), politik dan agama (masa pemerintahan Ratu Elizabeth I dan masa Puritan/masa Gereja Protestan di abad 16 dan 17) dan seni (Renaissance dan pandangan modern). 5 6 Rene Wellek, h. 39 Ibid. 3 Secara umum, masa perkembangan sastra yang terjadi di Inggris dan di Amerika digambarkan sebagai berikut. 7 No Periode Masa Inggris Kuno/ Old 1. English/ Anglo Saxon 2. Masa Inggris Pertengahan/Middle English 3. Masa Renaissance 7 Abad ke-5 – ke-11 Penjelasan/Contoh Merupakan periode awal dari sastra Inggris Sastra Latin merupakan satu budaya klasik yang dikembangkan menjadi sastra nasional Ecclesiastical History of the English People (AD 731) karya Beda Venerabilis (673-735) Teks pertama ditulis Tidak banyak teks yang dihasilkan (mantra tidak bernama, teka-teki) Puisi: “The Seafarer” (abad ke-9) atau “The Wanderer” (abad ke-10), Syair seperti mitologi/dongeng Beowulf (abad ke-8) dibuat berdasarkan fakta sejarah ke-12 – ke- Perpecahan budaya dan sastra terjadi 15 Sejumlah teks dari berbagai genre sastra sudah dilindungi Puisi religi Piers Plowman (1367-70) dari William Langland, Kisah Percintaan/sastra naratif aliran baru jenis sekuler misalnya Gawain and the Green Knight (abad ke-14) dan Le Morte d‟Arthur (1470) karya Thomas Malory‟s (1408-71) Munculnya seni pertunjukkan dengan nilai religi mempengaruhi zaman Renaissance ke-16 – ke- Masa Inggris baru yang berfokus pada 17 sejarah bahasa dan masa pemerintahan Ratu Elizabeth I Bangkitnya genre klasik, contoh: dongeng Faerie Quenes (1590-1596) karya Edmund Spencer dan drama modern Willian Shakespeare Genre prosa bebas, contoh John Lyly dengan Roman Euphues Drama Court Masque yang melibatkan Mario Klarer, Op.Cit., h. 67-73 4 4. Masa Pengikut Kelompok/Agama tertentu (Puritan) (Mulai munculnya sastra di Amerika) 5. Masa Bebas/Neoclassical/ Golden/Augustan 6. Masa Romantisme 7. Masa Victorian rancangan arsitektur Diakhiri dengan perkumpulan pengikut Oliver Cromwell Ke-17 – Ke- Dipengaruhi nilai religi 18 Termasuk sastra baru di Benua Amerika Utara Meningkatnya ketertarikan dari para budak Afrika-Amerika Contoh: Poems and Various Subjects (1773) karya Philis Wheatley Ke-18 Budaya penulis kontemporer (John Dryden, Alexander Pope, dan Joseph Addison Mulai menerjemahkan karya-karya sastra, genre bervariasi, esai teoretik Perkembangan novel sebagai genre baru, termasuk koran dan majalah Robinson Crusoe (1719) karya Daniel Defoe, Pamela (1740-1741) dan Clarissa (1748-49) karya Samuel Richardson Akhir ke-18 A. Inggris dan ke-19 Gaya kesusasteraan yang bersifat romantis Lyrical Ballads (1798) karya William Wordsworth (1770-1850) dan Samuel Taylor Coleridge Gaya romantisme untuk alam dan idealisme Jerman (bentuk reaksi perubahan politik) B. Amerika Gaya sastra romantis dan transcendentalism sebagai sastra yang bebas Pemahaman filosofi terhadap alam Cerita pendek Moby Dick (1851) karya Herman Melville dan puisi Walt Whitman dalam Leaves of Grass (1855-92) Pertengahan Paham realis dan naturalis dapat ke-19 ditemukan di Amerika dan Inggris Paham realis menggambarkan kehidupan nyata melalui bahasa Paham naturalis menggambarkan dengan sebenarnya efek sosial dan lingkungan yang akan mempengaruhi 5 8. Masa Modern Perang Dunia I – Perang Dunia II 9. Masa Postmodern Tahun 1960 -1970 10. Tahun 1980 karakter Trend yang terjadi di Inggris lebih banyak drama dan di Amerika lebih banyak fiksi Penulis novel Amerika seperti Mark Twaini dan penulis Inggris Charles Dickens, William M. Thackeray (1811-63) Reaksi terhadap gerakan realis di abad ke-19 Kesusasteraan modern menemukan teknik naratif inovatif seperti stream of consciousness, atau bentuk struktur, seperti kubus sastra dan kolase. Inovasi sastra dekade pertama abad ke20, manisfestasi pengaruh psikoanalisis dan fenomena sejarah budaya lain Ulysses (1922) dan Finnegans Wake (1939) karya James Joyce, Mrs Dalloway (1925) dan To the Lighthouse (1927) karya Virginia Woolf, dll. Tema naratif yang inovatif dan di adaptasi di bidang akademik Pengaruh Nazi dan serangan nuklir PD II Alur dan percobaan dalam teks cetak/tipografi. Contoh: John Barth yang berjudul Lost in the funhouse (1968), The Crying of Lot 49 (1966) karya Thomas Phynchon (1937). Perintis karya postmodern sastra minoritas dan perempuan Terkadang kembali kepada genre dan teknik naratif yang lebih tradisional Contoh: Four and Five (1980), Margaret Atwood yang berjudul The Handmaid‟s Tale (1985) Berikut penjelasan rinci pembahasan perkembangan sastra pada tabel di atas. 1) Masa Inggris kuno (old English) - Abad ke-5 sampai abad ke-11 Inggris kuno dikenal sebagai masa Anglo-Saxon yang merupakan periode awal dari sastra Inggris. Dimulai dengan serangan ke negara Kerajaan Inggris Raya yang dilakukan oleh bangsa Jerman (Anglo-Saxon) pada abad ke 5 AD dan berakhir sampai serangan Perancis tahun 1066. 6 Pada awalnya satra Inggris ditemukan di periode pertengahan Latin (Latin Middle Age), ketika biara dijadikan garda terdepan untuk mempertahankan budaya klasik. Teks sastra Latin yang terpenting adalah Ecclesiastical History of the English People (AD 731) karya Beda Venerabilis (673-735). Seperti di bagian lain Eropa, sastra nasional dikembangkan sama dengan sastra latin. Teks pertama ditulis antara abad ke-8 dan abad ke-11 yang disebut Inggris Kuno (Old English) atau “Anglo-Saxon”. Jumlah teks yang diturunkan dari periode ini sangat sedikit, terdiri dari mantra yang tidak bernama, teka-teki dan puisi seperti “The Seafarer” (abad ke-9) atau “The Wanderer” (abad ke-9 – ke-10), syair seperti mitologi/dongeng Beowulf (abad ke-8) atau The Boule of Maldon (AD 1000) yang dibuat berdasarkan fakta sejarah. 2) Masa Inggris pertengahan (Middle English) – Abad ke-12 sampai abad ke-15 Ketika penduduk asli Normandia yang berbahasa Perancis menaklukan Inggris di abad ke-11, perpecahan budaya dan sastra terjadi. Dari setengah akhir masa Inggris pertengahan, sejumlah teks dari berbagai genre sastra sudah dilindungi, termasuk lirik puisi dan syair puisi panjang dengan isi religi , seperti Piers Plowman (1367-70) yang dianggap berasal dari William Langland. Kisah percintaan, aliran baru dari jenis sekuler, berkembang di masa ini, termasuk Sir Gawain and the Green Knight (abad ke-14) dan Le Morte d‟Arthur (1470) karya Thomas Malory‟s (1408-71) . Bentuk ini secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan novel di abad ke-18. Sastra Inggris pertengahan juga membuat sastra Naratif, seperti Canterbury Tales (1387) karya Geoffrey Chaucer, serupa dengan I Decamerone (1349-51) karya Giovanni Boccaccio di Italy yang merupakan model penting untuk cerita pendek di abad ke-19 dan dapat dijadikan pembanding. Diantara berbagai inovasi sastra yang terjadi di masa Inggris pertengahan, yang mengejutkan adalah munculnya seni pertunjukan dengan nilai religi dan secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan drama modern di zaman Renaissance. 7 3) Masa Renaissance – Abad ke-16 sampai abad ke-17 Masa ini dikenal dengan masa Inggris baru yang berfokus pada sejarah bahasa dan masa pemerintahan Ratu Elizabeth I atau masa Raja James (Jacobean) yang dibuat berdasarkan aturan politik. Fokus pada periode ini adalah bangkitnya genre klasik, seperti dongeng karya Edmund Spencer yang berjudul Faerie Quenes (1590-1596), serta drama modern dengan William Shakespeare, Christopher Marlowe dan lainnya. Bangkitnya genre Greco-Roman mempengaruhi dan mendominasi sejarah sastra Inggris selanjutnya. Selain adaptasi drama dan dongeng, masa ini juga menghasilkan genre prosa bebas, sebagai contohnya John Lyly (1554-1606) yang berupa Roman Euphues (1578) atau Roman Arcadia karya Philip Sidney. Terdapat bentuk sastra yang cukup berbeda dan memiliki daya tarik, yaitu bentuk sastra drama yang berjudul Court Masque dengan melibatkan rancangan arsitektur. Periode ini berakhir dengan didirikannya sebuah perkumpulan dibawah bimbingan pengikut Oliver Cromwell. Penampilan drama religi tersebut menjadi puncak sejarah perkembangan satra Inggris, yang ditandai dengan munculnya sastra yang memukau berjudul Oeuvres karya John Milton (1608-1974). Dalam sejarah sastra masa sesudah terbentuknya negara persekutuan atau a democratic republic mengacu pada restorasi dengan istilah Baroque. 4) Masa abad ke-18 Periode ini dikenal dengan masa bebas yang juga dikenal dengan Neoclassical, Golden atau masa Augustan. Pada masa ini sastra diadaptasi dengan meyesuaikan pada budaya penulis kontemporer, seperti John Dryden, Alexander Pope, Joseph Addison (1672-1719) dan Jonathan Swift yang menulis terjemahan, esai teoretik dan teks-teks sastra dalam genre yang beragam atau bervariasi. Pada masa ini terjadi perubahan yang mempengaruhi penyebaran teks, termasuk perkembangan novel sebagai genre baru dan pengenalan koran dan majalah sastra, seperti Tatler (1709-11) dan the Spectator (1711-14). Beberapa novel yang mengawali masa novel sebagai genre sastra baru antara lain Robinson Crusoe (1719) karya Daniel Defoe, Pamela (1740-1741) dan Clarissa (1748-49) karya 8 Samuel Richardson. Tom Jones (1749) karya Henry Fielding serta Tristram Shandy (1759-68) karya Lawrence Sterne. 5) Masa Puritan atau masa penjajahan – Abad ke-17 – abad ke-18 Perkembangan karya sastra di Amerika pada abad ke-17 dan abad ke-18 dipengaruhi oleh nilai religi yang tergolong sebagai fenomena sastra baru di Benua Amerika Utara. Diary Cotoon Mather dan John Winthrop serta puisi Anne Bradstreet merupakan sumber yang terpenting untuk memahami masa kolonial baru. Di awal tahun terdapat ketertarikan yang meningkat dari para budak AfrikaAmerika, seperti Poems and Various Subjects (1773) karya Philis Wheatley. Teks ini menggambarkan sosial kondisi masa ini dari perspektif orang yang bukan penduduk Eropa. 6) Masa Kesusasteraan Romantis – Pertengahan pertama abad ke-19 Di akhir abad ke-18, gaya kesusasteraan yang bersifat romantis mengawali masa awal sejarah satra Inggris tradisional. Edisi pertama dari Lyrical Ballads (1798) karya William Wordsworth (1770-1850) dan Samuel Taylor Coleridge dianggap sebagai munculnya masa ini dengan karya sastra yang bersifat alami dan individu serta berdasarkan pengalaman hidup memegang peran penting. Gaya kesusasteraan yang bersifat romantis dilihat sebagai sebuah bentuk reaksi terhadap perubahan politik yang terjadi di seluruh benua Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-18. Selain Wiliam Blake dan John Keats, sastrawan terpenting yang mewakili masa romantisme Inggris adalah William Blake, JohnKeats, Percy Bysshe dan Mary Shelley (1797-1851). Sementara di Amerika, gaya kesusasteraan yang bersifat romantis dan transcendentalism (luar biasa) kurang lebih sama. Dipengaruhi oleh antusiasme gaya romantisme terhadap alam dan idealime Jerman, transcendentalism Amerika di bangun sebagai gerakan merdeka di pertengahan awal abad ke-19. Tulisan filsafat karya Ralph Waldo Emerson (180382), termasuk the essay nature (1836), dibuat sebagai landasan untuk sejumlah karya yang masih dianggap sebagai acuan perkembangan tradisi sastra Amerika 9 yang bebas. pemahaman Dalam transcendentalism, alam menyediakan kunci untuk secara filosofi. Dari perspektif ini, manusia tidak harus menerima begitu saja terhadap fenomena yang alami tetapi lebih kepada menambahkan visi yang menyeluruh secara filosofi. Di tengah-tengah gerakan yang berpusat pada teks, selain tulisan filsafat Ralph Waldo Emerson, terdapat juga cerita pendek Nathaniel Hawthorne (1804-64), novel Henry David Thoreau (1817-62), berjudul Walden (1854), Herman Melville (1819-91) berjudul Moby Dick (1851) dan puisi Walt Whitman dalam Leaves of Grass (1855-92). Bartens menambahkan bahwa pada pertengahan abad ke-19 di masyarakat di negara-negara barat mulai menggaungkan liberalisme atau kebebasan yang tercermin syair puisi dan fiksi realistik di mana karakter yang dimunculkan pada novel dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik pada saat itu. 8 7) Masa Victorian – Pertengahan kedua abad ke-19 Untuk masa berikutnya, Amerika dan Inggris masih sebagai acuan gerakan sastra internasional yang sangat penting. Di akhir abad ke-19, paham realis dan naturalis dapat ditemukan di Amerika dan Inggris. Paham realis digambarkan sebagai gerakan yang mencoba untuk menggambarkan kenyataan secara benar melalui bahasa. Sementara paham naturalis menggambarkan dengan sebenarnya efek sosial dan lingkungan yang akan mempengaruhi karakter. Tren yang terjadi di Amerika lebih banyak ke arah fiksi, sementara di Inggris lebih terkenal dengan drama termasuk karya George Bernard. Penulis novel Amerika seperti Mark Twaini, Henry James (1843-1916) dan Kate Chopin (1851-1904) dan penulis Inggris seperti Charles Dickens, William M. Thackeray (1811-63), Charlotte dan Emily Bronte dan George Eliot adalah sastrawan hebat di masa ini, yang dalam kesusateraan Inggris disebutkan sebagai masa kejayaan atau Victorian age. 8) Masa Modern – Perang Dunia I sampai Perang Dunia ke II Kesusasteraan modern di Amerika dan Inggris dapat dilihat sebagai sebuah reaksi terhadap gerakan realis di abad ke-19. Ketika realis dan naturalis fokus pada 8 Hans Bartens, Literary Theory: The Basic, (New York: Routledge), 2001, h. 6 10 realita kehidupan, maka kesusasteraan modern menemukan teknik naratif inovatif seperti stream of consciousness, atau bentuk struktur, seperti kubus sastra dan kolase. Kesusasteraan modern merupakan istilah lapisan yang meliputi inovasi sastra dalam dekade pertama abad ke-20 yang merupakan manisfestasi pengaruh psikoanalisis dan fenomena sejarah budaya lainnya. Hasil karya masa ini antara lain Ulysses (1922) dan Finnegans Wake (1939) karya James Joyce, Mrs Dalloway (1925) dan To the Lighthouse (1927) karya Virginia Woolf, Three Lives (1909) karya Gertrude Stein, The Cantos (1915-70) karya Ezra Pound, The Wasteland (1922) karya T.S. Eliot dan William Faulkner yang berjudul The Sound and the Fury (1929). 9) Masa Postmodern – Tahun 1960 sampai 1970 Dalam postmodern, kaum modern mengangkat tema naratif yang inovatif dan di adaptasi di bidang akademik, terkadang dengan cara yang formal. Gerakan sastra di bagian kedua abad ke-20 secara tidak langsung terdapat pengaruh kekejaman Nazi dan serangan nuklir di perang dunia ke-2. Teknik narative memiliki perspektif yang banyak, alur yang menurun dan dan merupakan awal penggunaan teks cetak/tipografi. Karya John Barth yang berjudul Lost in the Funhouse (1968), The Crying of Lot 49 (1966) karya Thomas Phynchon (1937), Double or Nothing (1971) karya Raymond Federman (1928) dan John Fowles (1926) dengan karya The Fench Lieutenant‟s Woman (1969) yang mendukung gerakan dalam kritik sastra. Termasuk drama yang tidak masuk akal/absurd, termasuk karya Samuel Beckett yang berjudul Waiting for Godot (1952) dan Tom Stoppard dengan karya yang berjudul Travesties (1974) dan film postmodern yang mengadapatasi banyak elemen dari puisi post-modern dan fiksi yang sesuai dengan media mereka. Tahun 1980, banyak perintis karya post-modern yang saat ini menjadi besar dengan sastra minoritas dan perempuan, karya satra ditulis oleh kelompok marginalitas termasuk perempuan, gay atau etnis minoritas yang banyak diwakili oleh bangsa Afrika Amerika, Chicanos dan Chicanas. Sastra ini menjadi sangat penting beberapa dekade ini, terkadang kembali kepada genre dan teknik naratif yang lebih tradisional, sering terkait dengan pesan sosiopolitik daripada akademik, 11 kejenakaan struktural. Tulisan perempuan, seperti Sylvia Plath (1932-63) yang berjudul The Bell Jar (1963), Doris Lessing (1919) yang berjudul The Marriages Between Zones Three, Four and Five (1980), Erica Jong (1942) dengan karyanya Fear of Flying (1973) atau Margaret Atwood yang berjudul The Handmaid‟s Tale (1985) dan sastra Afrika Amerika, termasuk Richard Wright (1908-60) berjudul Native Son (1940), Alice Walker (1944) yang berjudul The Color Purple (1980), serta karya Tom Morrison yang berjudul Beloved (1987) atau karya penulis ChinaAmerika seperti karya Maxine Hong Kingston yang berjudul The Woman Warrior yang menguatkan teks yang banyak berbicara tentang perempuan dan kelompok minoritas dalam zaman kritik sastra. Selain kesusasteraan perempuan, sastra pada masa post-colonial menjadi pusat perhatian lain. Teks yang berbentuk luas dikelompokkan berdasarkan kesusateraan commonwealth (kebanyakan) kesusateraan dalam bahasa Inggris atau kesusasteraan Anglophone. Kesusasteraan dari penduduk Inggris yang pertama seperti penduduk Karibia, Afrika, India atau Australia memberikan kontribusi untuk merubah sastera kontemporer/ sastra masa ini. Dalam banyak hal, dimensi isi berperan kembali dan berfungsi sebagai penyeimbang secara akademik masa modern dan post-modern. Salman Rushdie (1947) dengan karya Satanic Verses (1988), Omeros (19990) karya Derek Walcott, Chinua Achebe dengan karya Things Fall Apart (1958) dan An Angel at My Table (1984) karya Janet Frame yang merupakan contoh dari kesusasteraan Anglophone dari Asia, Karibia, Afrika dan Selandia Baru. Sebagian yang mempengaruhi trend secara umum terlihat dalam teknik naratif yang lebih tradisional yang tidak terlalu kompleks dan jelas, tetapi lebih berfokus pada isi daripada yang sebelumnya yang berbentuk naratif berlebihan. Tinjauan secara umum dari gerakan sastra yang paling penting di Inggris hanya sampai tataran permukaan dari topik yang kompleks dan mendalam. Survey dari sejarah kesusasteraan berhadapan dengan issue apakah klasifikasi atau pengelompokkan pengarang dan karyanya adalah memungkinkan: karena harus berdasarkan kesepakatan karena tidak terdapat pedoman. Karena hal ini, maka pengarang seperti Aphra Behn (1640-89), Edgar Allan dan John Steinbeck 12 (1902-68) tidak disebutkan dalam survey, karena mereka tidak bisa dikelompokkan pada masa dan pergerakan yang jelas. Perkembangan sastra di Indonesia digambarkan sebagai berikut. 9 Tabel 3: Perbedaan Masyarakat Lama & Masyarakat Baru Jenis Perbedaan Sifat Pengaruh Pendidikan Hukum/Norma Lama Statis, perubahan sangat lambat Kesetiaan terhadap adat istiadat Pendidikan belum maju, tiap individu harus menyesuaikan diri dengan masyarakat Hukum/norma, berlaku bahwa kepercayaan dan agama merupakan hal yang terpenting Baru Dinamis, perubahan sangat cepat Hubungan dengan dunia luar Pendidikan maju dengan berusaha mengubah konsep tradisional ke arah kemajuan Hukum yang tertulis dianggap lebih penting Tabel 4: Perbedaan Karangan Kesusasteraan Lama dan Kesusasteraan Baru Jenis Perbedaan Sifat Karya Sastra Pokok Isi Bahasa Gaya Sifat Isi 9 Lama Statis, baik dalam bentuk maupun tema Berpusat pada kehidupan di istana Bahasa Melayu Banyak menggunakan bahasa klise Khayal dan fantastis Pengarang Anonim, sebagian besar nama pengarang tidak disebutkan Penyajian Lisan dan tulisan Baru Dinamika sesuai dengan pribadi pengarang/sastrawan Berpusat pada kehidupan di masyarakat Bahasa Indonesia Menggunakan gaya bahasa dan ungkapan masing-masing pengarang Disesuaikan dengan realita kehidupan Nama pengarang disebutkan, baik nama asli atau samaran Hampir semuanya tertulis Kinayat Djojosuroto. 2007. Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. 13 Tabel 5: Perbandingan Karangan Sastra Indonesia Berdasarkan Angkatan Perbandingan Angkatan 20 Angkatan 30 Angkatan 45 Angkatan 66 Angkatan 7080-an Bahasa Bahasa Melayu Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia Bentuk Bahasa dan Isi Bentuk bahasa lebih penting daripada isi Mayoritas adat istiadat dan kawin paksa Sama-sama penting Isi lebih penting, bahasa bebas Isi lebih penting, bahasa bebas Isi lebih penting, bahasa bebas Kehidupan masyarakat (emansipasi , intelektual dll) Pengaruh barat lebih besar , melahirkan kebudayaan yang bersifat nasional Perjuangan melawan penjajah Perjuangan melawan tirani dan kekejaman Hidup dan kehidupan Pengaruh pujangga dunia yang ingin memunculk an kebudayaan yang bersifat universal/int ernasional Realisme Pengaruh pujangga dunia tetapi dengan tetap mempertah ankan martabat diri sebagai bangsa Pengaruh pujangga dunia tetapi dengan tetap mempertahan kan martabat diri sebagai bangsa Idealisme Membentuk sesuatu yang baru diatas reruntuhan yang lama Membuat karya sejujurnya Impresionistis dan Ekspresionistis Membuat karya berdasarkan realita kehidupan Tema Pengaruh Pengaruh tradisi dan sastra daerah, sehingga isi karya sastra terkait adat istiadat suatu daerah Aliran Romantisme Idealisme Proses Perubahan sedikit sekali dari zaman sebelumnya Meramu yang lama menjadi baru 2. Fungsi Telaah Sastra Telaah sastra sebagai suatu usaha pengkajian karya sastra mempunyai fungsi sebagai berikut. Pertama, telaah sastra dapat berfungsi sebagai panduan dalam analisis karya sastra dengan tata kerja yang sistematis dan memenuhi kriteria ilmiah. Kedua, telaah sastra dapat berfungsi sebagai alat analisis yang menjelaskan 14 kekuatan dan kelemahan sebuah karya sastra kepada masyarakat sastra. Ketiga, telaah sastra dapat sebagai umpan balik bagi pengarang dalam menghasilkan karya sastranya. Keempat, telaah sastra dapat digunakan sebagai alat pengungkap berbagai persoalan kehidupan di dalam karya sastra seperti persoalan pendidikan, sosial, politik, hukum, dan lainnya. Selanjutnya, telaah sastra dapat dijadikan sebagai pendekatan penelitian sastra bagi masyarakat akademik untuk menulis skripsi, tesis, atau disertasi. Seperti yang diungkapkan oleh Sugira Wahid fungsi telaah sastra pada kritik sastra adalah, memelihara dan menyelamatkan pengalaman manusiawi serta menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan struktur yang bermakna.10 3. Tujuan Telaah Sastra Sesuai dengan uraian di atas telaah sastra memiliki tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis telaah sastra bertujuan untuk mengembangkan ilmu sastra yang khusus teraplikasikan dalam genre sastra seperti puisi, prosa, dan drama secara ilmiah dengan analisis yang dipergunakan seperti analisis struktur, semiotik, resepsi, hermeneutik dan lainnya. Secara praktis telaah sastra bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memahami sastra dan karya sastra, yaitu mahasiswa sebagai ilmuan dan masyarakat umumnya yang berminat terhadap pemahaman dan penghayatan karya sastra. 4. Ruang Lingkup Sastra Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sementara itu, studi sastra merupakan cabang ilmu pegetahuan. Ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin dapat mempelajari Alexander Pope tanpa mencoba membuat puisi dengan bentuk heroic couplets, atau kita harus belajar mengarang drama dalam bentuk blank verse. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional.sejumlah teoritikus menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu dan menganjurkan “penciptaan ulang” (second creation) sebagai gantinya seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan John Addington Symonds (penyair 10 Sugira Wahid, Kapita Selekta Kritik Sastra. (Universitas Negeri Makassar : CV. Berkah Utama), h. 43 15 Inggris abad ke-19) mencoba memindahkan lukisan terkenal karya Leonardo da Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. John Addington Symonds (kritikus Inggris sezaman dengan Pater) mengulas karya sastra dengan gaya bahasa sastra yang berbunga-bunga. Cara ilmiah untuk mendekati karya seni sastra adalah dengan menerapkan (mentransfer) metode-metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti objektivitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat. Usaha lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal, dan penyebab (metode genetik). Secara lebih ketat, kausalitas ilmiah semacam ini dipakai untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik sebagai faktior–faktor penyebab. Statistik, grafik, dan peta, yang biasanya dipakai dalam ilmu eksakta juga dipakai dalam pendekatan ini. Akhirnya perlu dicatat juga penggunaan konsep biologis dalam menelusuri evolusi sastra. Bagaimanapun, kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari penerapan ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Ada suatu kawasan tempat dua metodologi tersebut saling bersinggungan atau bahkan bertumpang tindih. Metodemetode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, dan perbandingan sudah umum dipakai di setiap jenis ilmu pengetahuan yang sistematis, termasuk dalam studi sastra. Jika kita hendak membahas perbedaan kedua ilmu di atas secara menyeluruh, barangkali kita perlu menentukan lebih dulu sikap kita mengenai berbagai macam masalah klasifikasi ilmu, filsafat sejarah, dan teori ilmu pengetahuan. Ada dua jalan keluar yang ekstrim untuk membedakan sastra dan studi sastra. Pertama adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan sekadar mengumpulkan fakta-fakta atau menyusun “hukum-hukum” sejarah yang sangat umum. Cara kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas, serta keunikan karya sastra. Tetapi cara yang kedua ini diterapkan secara ekstrim. “intuisi” pribadi dapat mengarah pada “apresiasi” yang bersifat emosional saja, suatu subjektivitas total. Penekanan pada “individualitas” dan “keunikan” karya sastra walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main generalisasi dapat 16 membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus persen “unik”. Akhirnya, perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus. Yang dimaksud dengan individual di sini tidak sama dengan seratus persen unik atau khusus. Seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan rekan-rekan seprofesinya setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas, tetapi juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni lain.sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah karya sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional tertentu. Ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin dapat mempelajari Alexander Pope tanpa mencoba membuat puisi dengan bentuk heroic couplets, atau kita harus belajar mengarang drama dalam bentuk blank verse. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional. Sejumlah teoritikus menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu dan menganjurkan “penciptaan ulang” (second creation) sebagai gantinya seperti yang dilakukan oleh Walter Pater dan John Addington Symonds (penyair Inggris abad ke-19) mencoba memindahkan lukisan terkenal karya Leonardo da Vinci, Mona Lisa, dalam bentuk tulisan. John Addington Symonds (kritikus Inggris sezaman dengan Pater) mengulas karya sastra dengan gaya bahasa sastra yang berbunga-bunga. Cara ilmiah untuk mendekati karya seni sastra adalah dengan menerapkan (mentransfer) metode-metode yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah seperti objektivitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat. Usaha lain adalah meniru metode ilmu-ilmu alam melalui studi sumber, asal, dan penyebab (metode genetik). Secara lebih ketat, kausalitas ilmiah semacam ini dipakai untuk menjelaskan fenomena sastra dengan mengacu pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik sebagai faktior –faktor penyebab. Statistik, grafik, dan peta, yang biasanya dipakai dalam ilmu eksakta juga dipakai dalam pendekatan ini. Akhirnya perlu dicatat juga penggunaan konsep biologis dalam menelusuri evolusi sastra. 17 Bagaimanapun, kita harus kembali pada masalah-masalah yang muncul dari penerapan ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Ada suatu kawasan tempat dua metodologi tersebut saling bersinggungan atau bahkan bertumpang tindih. Metodemetode dasar seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, dan perbandingan sudah umum dipakai di setiap jenis ilmu pengetahuan yang sistematis, termasuk dalam studi sastra. Jika kita hendak membahas perbedaan kedua ilmu di atas secara menyeluruh, barangkali kita perlu menentukan lebih dulu sikap kita mengenai berbagai macam masalah klasifikasi ilmu, filsafat sejarah, dan teori ilmu pengetahuan. Ada dua jalan keluar yang ekstrim untuk membedakan sastra dan studi sastra. Pertama adalah mengikuti metode-metode ilmiah atau ilmu sejarah, dengan sekadar mengumpulkan fakta-fakta atau menyusun “hukum-hukum” sejarah yang sangat umum. Cara kedua adalah menekankan subjektivitas dan individualitas, serta keunikan karya sastra. Tetapi cara yang kedua ini diterapkan secara ekstrim. “intuisi” pribadi dapat mengarah pada “apresiasi” yang bersifat emosional saja, suatu subjektivitas total. Penekanan pada “individualitas” dan “keunikan” karya sastra walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main generalisasi dapat membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya sastra pun yang seratus persen “unik”. Akhirnya, perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi individual dan umum sekaligus. Yang dimaksud dengan individual di sini tidak sama dengan seratus persen unik atau khusus. Seperti setiap manusia yang memiliki kesamaan dengan umat manusia pada umumnya, dengan sesama jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan rekan-rekan seprofesinya setiap karya sastra mempunyai ciri-ciri yang khas, tetapi juga mempunyai sifat-sifat yang sama dengan karya seni lain.sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra sama-sama mencoba mencirikan kekhasan sebuah karya sastra, seorang pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional tertentu. Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles (384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah 18 poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literature, oleh W.H. Hudson, Theory of Literature Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw. Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu,pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam praktiknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait. 11 Genre juga merupakan salah satu bagian sastra yang dapat menjadi objek penelitian atau pengajian karya sastra. Kata “Genre” merupakan istilah Perancis yang berasal dari bahasa Latin genus, generis, yang berarti "jenis", "seperti itu," atau "baik." Ini menunjuk pada bentuk atau jenis sastra menjadi karya yang diklasifikasikan menurut apa yang mereka miliki bersama, baik dalam formal mereka struktur atau dalam perlakukan mereka terhadap materi pelajaran atau keduanya. Terdapat dua kategori karya sastra ditinjau dari genre yaitu fiksi dan nonfiksi. Dalam proses telaah sastra, beberapa pendekatan dapat digunakan dengan berbagai orientasi antara lain pendekatan sastra berorientasi pada teks, pengarang, pembaca, maupun konteksnya. 11 Rene Wellek &Austin Warren. Teori Kesustraan.(Terjemahan). Jakarta: PT.Gramedia. 1995. A Teew. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988. h.38 19 C. Penutup Dalam usaha menjelaskan dan membimbing pemahaman yang ditawarkan pengarang agar mudah ditangkap oleh si pembaca dalam karya sastra diperlukan suatu pengajian terhadap karya sastra itu sendiri. Istilah telaah yang dipergunakan dalam „telaah sastra‟ sepadan dengan kata pengkajian, penyelidikan, dan penelitian. Dalam prosesnya, telaah sastra akan melibatkan berbagai macam pendekatan serta ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda. Selain itu, telaah sastra sangat erat kaitannya dengan periode perkembangan karya sastra karena masing-masing periode memiliki karakternya masing-masing. Daftar Pustaka Bartens, H. 2001. Literary Theory: The Basics. (New York: Routledge) Djojosuroto, K. Dasar-dasar Teori Apresiasi Prosa. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2007 Klarer, M. 2004. An Introduction to Literary Studies. ( London&New York: Routledge) Wellek, R. dan Warren, A. 1995. Teori Kesustraan. (Terjemahan). Jakarta: PT.Gramedia 20