Dibalik Penguatan Rupiah1

advertisement
Nanang Hendarsah
Biro Kebijakan Moneter
Dibalik Penguatan Rupiah1
Oleh :
Nanang Hendarsah
Peneliti Ekonomi Madya - Bank Indonesia
Dalam tempo kurang dari lima bulan sejak kurs rupiah terhempas ke 11.000 pada
akhir Agustus 2005, sejak awal September 2005 sampai dengan akhir Januari 2006
rupiah mengalami penguatan lebih dari 10%. Beberapa kalangan mulai mencemaskan
penguatan ini dapat menghantam kinerja ekspor. Tapi kecemasan tersebut barangkali
tidak perlu kalau kita melihat sisi lain dalam perekonomian yang diuntungkan dari
penguatan rupiah ini. Misalnya, mengurangi tekanan kenaikkan inflasi dan suku bunga.
Selain itu, kurs bukanlah satu-satunya penentu daya saing ekspor. Banyak, beberapa
kelemahan struktural pada industri berbasis ekspor yang sebenarnya membuat komoditas
ekspor Indonesia sulit bersaing di pasar global.
Penguatan rupiah tidak akan menjadi persoalan besar apabila kita memandang
naik turunya kurs sebagai hal yang wajar. Apabila kurs ditentukan pasar, ia akan bergerak
menyesuaikan dengan kondisi permintaan dan penawaran valas di pasar, yang
merepresentasikan kondisi ekonomi yang terjadi. Barangkali yang penting adalah agar
proses penyesuaian kurs tersebut tidak terlalu fluktuatif dan menimbulkan ketidakpastian.
Dengan demikian, apabila kondisi fundamentalnya rupiah dalam jangka panjang memang
harus melemah, penyesuaian yang terjadi berjalan mulus tanpa disertai gejolak.
Permintaan valuta asing terus meningkat
Ibarat harga di pasar barang yang ditentukan permintaan dan penawaran, kurs pun
ditentukan permintaan dan penawaran valas. Seiring dengan menggeliatnya kembali
kegiatan usaha, permintaan valas sejak awal 2003 terus meningkat. Tingginya permintaan
valas terutama akibat besarnya kandungan impor dalam struktur produksi industri
domestik, sehingga setiap terjadi ekspansi usaha atau peningkatan produksi dibarengi
peningkatan impor barang modal dan bahan baku. Sebagai contoh, sejak awal 2003
pembelian valas perusahaan-perusahaan yang bergerak di
industri otomotif terus
meningkat sejalan dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor.
Selain itu, ekspansi ekonomi juga mengakibatkan konsumsi BBM meningkat,
sedangkan harga minyak terus melambung tinggi. Akibatnya, sejak awal 2004 impor
minyak meningkat tajam. Di pihak lain, ekspor minyak mentah semakin menurun
terutama karena semakin terbatasnya kapasitas produksi minyak di dalam negeri.
Ladang-ladang minyak banyak yang sudah tua dan upaya penemuan ladang baru sangat
lamban, antara lain karena hambatan regulasi otonomi daerah yang kurang kondusif bagi
investasi asing. Sungguh ironis, sebagai anggota OPEC Indonesia sejak 2004 menjadi
1
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
1
Nanang Hendarsah
Biro Kebijakan Moneter
net-importir minyak dan ini tercermin dari terus meningkatnya pembelian valas
Pertamina selama 2004 dan 2005
Pasokan Valas Kurang Memadai
Dari sisi penawaran, pasokan valas pun tidak mengalami peningkatan berarti.
Sumbangan devisa dari sektor industri berbasis ekspor belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan valas akibat tingginya impor. Meskipun ekspor non-migas meningkat,
peningkatannya pun sesungguhnya masih marginal apabila melihat besarnya potensi
pasar global yang dapat ditembus industri domestik. Indonesia selalu kehilangan
kesempatan untuk meraup pasar global pada saat ekonomi dunia mengalami booming.
Ekspor Indonesia saat ini hanya berkutat pada komoditas primer dengan nilai tambah
rendah dan nasibnya tergantung pada fluktuasi harga komoditas di pasar dunia. Ini
karena lemahnya ’daya saing’ industri domestik dalam skala global bahkan dalam skala
regional pun.
Kenyataanya, dunia usaha lebih banyak bertarung untuk memperebutkan pasar
domestik yang semakin sempit, dan banyak menggunakan bahan baku impor. Ini berarti
setiap terjadi ekspansi usaha untuk memenuhi target penjualan di pasar dalam negeri akan
disertai dengan peningkatan impor dan kebutuhan valas. Dari monitoring di pasar valas
menunjukkan begitu gencarnya aksi borong valas oleh beberapa korporasi sejak awal
2003 terkait dengan impor bahan baku dan barang modal. Padahal dengan lebih banyak
menjual di pasar domestik bearti tidak banyak menghasilkan devisa atau meningkatkan
pasokan valas. Jelas sekali, dukungan dan kejelasan arah kebijakan Pemerintah dalam
meningkatkan daya saing industri domestik ini tidak dapat ditawar lagi.
Di lihat dari strukturnya, komposisi pasokan valas pun sebenarnya sangat rentan.
Aliran masuk modal asing jangka pendek atau sering disebut hot money justru
mendominasi sisi pasokan valas. Sedangkan aliran masuk FDI masih penuh dengan
ketidakpastian karena iklim investasi yang masih buruk. Komposisi modal asing
demikian tentu menyimpan masalah, karena jenis modal hot money ini mudah masuk dan
mudah berbalik keluar. Berbaliknya hot money pada pertengahan tahun 2004 dan 2005
yang memicu kepanikkan pelaku pasar domestik dan sempat menghempaskan kurs rupiah
menembus 10.000 merupakan contoh betapa bahayanya jenis modal demikian.
Ibaratnya, kita membenci hot money pada saat keluar, tetapi tetap sangat
merindukannya karena menjadi sumber pasokan valas penting. Rupiah yang kembali
menguat pada awal tahun 2006 ini pun berkat gelontoran valas dari hot money yang
masuk ke beberapa instrument pasar seperti saham, obligasi, dan SBI. Memang, imbal
hasil yang ditawarkan instrument-instrument tersebut cukup menggiurkan investor asing.
Bagaimana tidak, dengan imbal hasil di atas 12%, siapa yang tidak tertarik
menanamkannya dalam Rupiah. Bahkan, imbal hasil yang ditawarkan rupiah masih lebih
tinggi dari peso Pilipina yang hanya sekitar 8-9%, dengan risiko penanaman yang lebih
tinggi. Selain itu, para pemburu imbal hasil internasional saat ini banyak berpaling ke
emerging market seperti Indonesia karena kurva imbal hasil di negara maju yang
condong negatif (inverted yield curve).
2
Nanang Hendarsah
Biro Kebijakan Moneter
Besarnya Peran Modal Portofolio Asing
Dari pemaparan di atas jelas bahwa dari sisi fundamental, sejatinya kita selalu
dihadapkan dengan berlebihnya permintaan valas. Untungnya saja, berlebihnya
permintaan tersebut untuk saat ini ditutup dengan gelontoran valas yang masuk dari
investor asing yang haus mencari imbal hasil tinggi. Tentunya, masih perlu dilihat apakah
mereka memarkir uangnya berlama-lama. Seberapa lama uang mereka akan diparkir,
tergantung pada seberapa besar mereka yakin dengan prospek ekonomi Indonesia dan
seberapa bagus terpeliharanya kestabilan makroekonomi ke depan, yang didukung
dengan fondasi yang semakin kokoh. Ini penting, karena sekali aliran masuk portofolio
asing tertanam sustainable di pasar keuangan domestik, lambat laun akan diikuti dengan
masuknya investor asing yang menanamkan uangnya di sektor riil, yang selama ini kita
idam-idamkan.
Salah satu kunci yang menentukan masuknya investor tersebut lagi-lagi realisasi
kebijakan yang selama ini dicanangkan Pemerintah misalnya, proyek infrastruktur yang
terdengar sangat fenomenal namun sampai saat ini miskin realisasi. Termasuk
didalamnya, seberapa serius Pemerintah secara konkrit memberantas berbagai distorsi
yang membuat ekonomi biaya tinggi. Disamping itu, mereka juga berharap agar bank
sentral yang berada di garda depan sebagai pemberantas inflasi, tetap menjalankan
kebijakannya secara konsisten dan kredibel. Niscaya, apabila semua ini menjadi
kenyataan, meskipun kurs rupiah akan selalu bergerak menyesuaikan dengan kondisi
ekonomi yang terjadi, pergerakannya akan lebih stabil dari saat ini. Ujungnya,
masyarakat termasuk pengusaha akan memperoleh faedahnya karena merasa lebih pasti
dalam menjalankan usaha..
3
Download