Buruh Belum Bebas Berserikat Kesadaran Pekerja Juga Masih Rendah KOMPAS/IWAN SETIYAWAN / Kompas Images Sejumlah pekerja memasang konstruksi kubah di ketinggian di proyek pembangunan sebuah masjid di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (15/4). Para pekerja konstruksi seperti ini selayaknya mengutamakan prosedur keselamatan dan mendapat jaminan asuransi karena rawan mengalami kecelakaan kerja. Rabu, 16 April 2008 | 02:00 WIB Jakarta, Kompas - Kebebasan berserikat bagi buruh dan pekerja di Indonesia masih lemah. Hal tersebut terlihat di antaranya dari jumlah serikat buruh dan pekerja di perusahaan yang minim, yaitu 5,8 persen dari total 189.000 perusahaan di Indonesia. Demikian salah satu hasil kajian dari Lembaga Penelitian dan Pendidikan Ketenagakerjaan Indonesia (LPPKI) dan ILO Actrav Norwegia mengenai kebebasan berserikat, outsourcing, dan ketenagakerjaan muda yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (15/4). Berdasarkan data LPPKI, hanya sekitar 11.000 perusahaan dari 189.000 perusahaan yang telah memiliki serikat buruh dan pekerja. Sementara itu, jumlah serikat buruh atau pekerja saat ini adalah 87 serikat di tingkat pusat dan ratusan serikat di tingkat daerah. LPPKI merupakan aliansi dari tiga konfederasi, yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Koordinator kampanye KSBSI, Andy Sinaga, mengemukakan, hasil survei terhadap 144 pekerja dari 110 perusahaan di kawasan industri Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, Juni 2007, menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan menentang keberadaan serikat pekerja dengan melakukan intimidasi dan membentuk serikat pekerja tandingan. Padahal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah mengatur hak pekerja dan buruh untuk berserikat, serta sanksi pidana bagi pelanggarnya. ”Pelaksanaan kebebasan berserikat masih minim. Ironisnya, belum terlihat sanksi pidana terhadap pelanggaran kebebasan berserikat,” kata Andy. Enam kasus Komite Kebebasan Berserikat Organisasi Buruh Internasional (ILO) Geneva mencatat, jumlah kasus pelanggaran kebebasan berserikat di Indonesia yang telah dilaporkan ke ILO hingga 2007 mencapai enam kasus. Menurut Andy, serikat pekerja atau buruh sangat diperlukan dalam menjembatani penyelesaian konflikkonflik industrial. Namun, sebagian perusahaan masih memiliki kekhawatiran terhadap pembentukan serikat pekerja atau buruh karena dianggap akan merugikan perusahaan. Persoalan itu diperparah dengan pengawasan terhadap ketenagakerjaan yang minim, khususnya di daerah. Dari sekitar 700 tenaga pengawas di 33 provinsi, lebih dari 50 persen pengawas ketenagakerjaan bukan berasal dari bidang kepengawasan. Kepala Seksi Organisasi Pekerja Departemen Tenaga Kerja Agus Salim menuturkan, penempatan tenaga pengawas yang tidak sesuai bidangnya menyebabkan banyak persoalan ketenagakerjaan terabaikan. Meski demikian, tahun ini sudah ada upaya meminta komitmen gubernur dan bupati/wali kota se-Indonesia untuk melakukan revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan. Persoalan lain yang juga menghambat tenaga kerja adalah sistem kerja kontrak (outsourcing) yang mengabaikan kepastian masa kerja dan hak-hak buruh. Minim kesadaran Ketua Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman mengemukakan, minimnya pembentukan serikat pekerja atau buruh disebabkan masih rendahnya kesadaran dari buruh atau pekerja untuk berserikat. Tenaga kerja, lanjut Hasanuddin, memiliki hak untuk membentuk maupun tidak membentuk serikat pekerja atau buruh. Sementara itu, dunia usaha kesulitan untuk mendorong buruh atau pekerja dalam membentuk serikat pekerja atau buruh. Karena itu, diperlukan upaya tripartit (pemerintah, pengusaha, dan konfederasi serikat pekerja) untuk menyosialisasikan pembentukan serikat buruh atau pekerja di perusahaan. Berkaitan dengan kontrak kerja, Hasanuddin mengatakan sistem itu telah sesuai dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu kerja kontrak maksimum dua tahun dan perpanjangan maksimum satu tahun. (lkt)