PENDIDIKAN KAUM PEREMPUAN PERSPEKTIF HUMANIS RELIGIUS Oleh : Muis Sad Iman, M.Ag. Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) (+62856 2876 642) Abstrak Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menuntut ilmu termasuk kaum perempuan. Ilmu tersebut diperoleh melalui pendidikan sebagai bekal kehidupan bagi setiap orang untuk mencapai derajat ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt. Taqwa ini yang akan menjadi fondasi untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa. Untuk itu diperlukan pendidikan bagi kaum perempuan yang lebih humanis dan religius sesuai kodratnya sebagai perempuan. Pendidikan humanis religius bagi kaum perempuan adalah pendidikan yang memandang kaum perempuan sebagaimana kodratnya. Ada kemakluman-kemakluman bagi kaum perempuan sebab tugas kaum perempuan lebih berat dari pada kaum laki-laki. Inilah pentingnya pendidikan humanis religius bagi kaum perempuan agar mereka bertaqwa dan dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa, sebagaimana tertera dalam Q.S. Al A’raf (7) : 96-97. Keyword : Humanis Religius, Taqwa, Pembangunan Bangsa. A. Pendahuluan Dalam Al Qur‟an, surah Al Hujurat (49) : 13, Allah Swt berfirman : ”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Seorang intelektual Iran yang tersohor, Ali Syariati mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memilih bagi dirinya sendiri. Pilihannya itu dapat bertentangan dengan instinknya, dengan alam, dengan masyarakat, ataupun juga bertentangan dengan dorongan-dorongan yang bersifat fisiologis dan psikologisnya. Kebebasan memilih atau kemampuan ibadahnya itulah yang dapat menolong manusia dalam mencapai taraf tertinggi dari proses menjadi manusia dengan realitas kemanusiaannya. (A.Malik Fadjar, 1998 : 6364). Dalam Islam semua hamba Allah Swt adalah sama, yang membedakan adalah kemampuan menggunakan kebebasan untuk memilih atau kemampuan ibadahnya dalam rangka menuju pada ketaqwaan atau mulia disisiNya. Berangkat dari pemikiran tersebut maka setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk menjadi orang yang bertaqwa. Persamaan tersebut juga terdapat dalam pendidikan. Sudah merupakan kewajiban bagi seorang muslim (laki-laki dan perempuan) untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan. Pendidikan menjadi sebuah bekal dan hal substansial bagi umat manusia untuk mengetahui, mengerti dan memahami sesuatu yang tentunya akan bermanfaat bagi kehidupan dan keberlangsungan hidupnya. Pendidikan merupakan sarana yang penting bagi setiap individu (manusia), laki-laki dan perempuan karena dengan pendidikanlah manusia dapat mengetahui Dzat yang menciptakannya dan seluruh makhluk hidup ciptaanNya, serta menguatkan hubungan denganNya. ( Hasan Langgulung, 1989: 77 ). Pendidikan berguna untuk meningkatkan ibadahnya dalam menggapai kebenaran dan pengetahuan dalam kehidupan ini, serta usaha untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang sempurna, yang telah diberi akal oleh Tuhan yang digunakan untuk berfikir secara dinamis. (George R. Knight, 2007: 77, 99). Dalam kaitannya dengan ilmu, Islam tidak membedakan antara laki – laki dan perempuan, mereka semua mendapat kewajiban dan hak yang sama dalam menuntut ilmu, bahkan kaum hawa adalah tempat pendidikan pertama bagi anaknya sebelum pendidikan yang lain diperoleh. Karena itu sering dikatakan bahwa : األم مدرسة األولى trainya : ibu itu adalah sekolah yang pertama. Ilmu pengetahuan dapat menjadi bekal beramal sholeh dan berbakti kehadirat Allah Swt. Namun kaum perempuan mengalami ketertinggalan dalam memperoleh ilmu pengetahuan tersebut. Karena itu kaum perempuan kurang berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi ini lebih disebabkan oleh norma dan nilai sosial budaya di masyarakat. Untuk era postmodernisme, yang menurut Ernest Gellner ditandai dengan fundamentalism, relativism dan deconstructionism, kajian agama secara akademikilmiah semakin diperlukan orang. Kajian atau studi agama secara akademik bukan dikandung maksud untuk membedah hal-hal yang berada di luar jangkauan akal, tetapi lebih dimaksudkan untuk meneliti, memahami, menerangkan implikasi dan konsekuensi pemilikan pemikiran teologis secara khusus dan realitas keberagamaan manusia secara umum. (M. Amin Abdullah, 1996 :23). Dalam Al-Qur‟an disebutkan : "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97). Manusia berada dalam kerugian jika dalam hidupnya tidak memiliki iman dan amal saleh, maka sudah tentu setiap orang berkeinginan untuk beramal saleh, sebagai bukti keimanannya kepada Allah Swt, baik laki-laki maupun perempuan. Kata amal saleh disini mengandung makna yang luas. Oleh karena itu diperlukan pendidikan untuk beramal saleh. Dengan demikian pendidikan itu diperlukan oleh setiap orang baik laki-laki maupun perempuan agar dapat beramal saleh sebagai realitas keberagamaan manusia secara umum yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah Swt.. Dalam ayat lainnya Al-Qur‟an surat Al-Mujadilah ayat 11, niscaya Allah akan memberikan derajat yang tinggi serta penghargaan kepada orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an surat AliImran ayat 18 memasukkan orang-orang yang berilmu diantara mereka yang menyatakan tentang Keesaan Allah. Apalagi bahwa seseorang yang pergi belajar mencari ilmu, dianggap sedang berada di jalan Allah (berjihad) sampai kembali lagi. Namun demikian kondisi pembelajaran antara kaum laki-laki dan perempuan tidak harus sama. Dalam pengajaran pada kaum hawa perlu diberikan ruang dan waktu khusus, ketika materi pembelajarannya sangat pribadi bagi mereka sehingga mereka dapat leluasa dalam menyampaikan permasalahan yang terjadi pada mereka, dan hal ini akan sangat berbeda ketika mereka bersama-sama dengan kaum laki-laki. Eksistensi dan peran kaum perempuan sering kali menimbulkan multi persepsi. Sebagian kalangan yang ekstrim tetap menjadikan perempuan sebagai individu tak bernilai dan hanya berperan seputar rumah, anak dan suami. Ada banyak persoalan dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Mulai dari kedudukan perempuan perspektif agama, perlunya pendidikan bagi kaum perempuan, haruskah perempuan meniti sebuah karier ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan beberapa tantangan yang dihadapi oleh kaum perempuan seiring dengan perkembangan zaman. Diantara tantangan tersebut adalah perlunya harkat dan martabat bagi kaum perempuan. Termasuk tantangan yang pernah muncul pada zaman sebelum kemerdekaan dalam konteks Indonesia, yaitu ada semacam kepercayaan yang tumbuh di masyarakat bahwa seorang perempuan, pada akhirnya akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan dapur (memasak), sumur (mencuci), dan tempat tidur. Menurut Rahmah, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi kaum perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu, dapat diberikan melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik). Bagi Rahmah, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan dibandingkan laki-laki, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat. Persoalannya, hanya terletak pada akses pendidikan. (http://www.republika.co.id/ dunia-islam /12/04/07). Selain itu juga tantangan adat dan kebudayaan setempat. Kalau laki-laki boleh mencari ilmu atau mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, maka perempuan dalam hal pendidikan sering dihambat oleh adat dan kebudayaan setempat sehingga untuk memperoleh pendidikan seakan-akan masih dibatasinya. Perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka berada di dapur. Perempuan tidak diberi kesempatan yang luas untuk memperoleh pendidikan yang tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa status sosial kaum perempuan dalam masyarakat tradisional Indonesia memang rendah. Mereka dianggap warga negara kelas dua. Meskipun sudah dilakukan upaya emansipasi oleh tokoh-tokoh seperti Raden Dewi Sartika dan R.A. Kartini sejak seabad yang lalu, tetapi hingga kini stigma menomorduakan kaum perempuan masih sangat membekas hingga peran kaum perempuan di dunia politik terkendala. Salah satu usaha untuk memberdayakan peran perempuan Indonesia di bidang politik adalah dengan memberi kuota dan mengubah sikap mental masyarakat yang menomorduakan kaum perempuan dengan membuang mitos-mitos lama yang kontraproduktif dan menggantikannya dengan etos kerja yang positif. (Nina Herlina Lubis, mengutip : Ricklefs, M.C. 1991). Kaum perempuan sebenarnya juga berkemampuan untuk berperan tak ubahnya kaum laki-laki. Hal ini telah dicontohkan dalam sejarah Islam seperti Aisyah r a, dan di Negara kita seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, dan lainlainnya. Sampai ada yang mampu menyamai bahkan melebihi kaum laki-laki yaitu perempuan berkemampuan dalam memimpin sebuah Negara. Uraian di atas menunjukkan beberapa persoalan mengenai pendidikan kaum perempuan. Adapun tinjauan dari perspektif humanis religius yang dimaksudkan adalah bagaimanakah humanism dan religiusitas pendidikan bagi kaum perempuan. Tinjauan humanis religious ini sangat penting. Sebagai alternative dari konsep pendidikan yang telah berjalan selama ini perlu ada penawaran tentang konsep pengembangan keilmuan dan ilmu pendidikan yang berdimensi religius etik. Hal ini disebabkan oleh munculnya kekhawatiran yang amat serius tentang semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Pesatnya perkembangan sains dan teknologi disatu sisi memang telah menghantarkan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan materielnya. Tetapi disisi lain paradigm sains dan teknologi modern dengan berbagai pendekatan non-metafisik dan netral etik telah memaksa manusia pada kegersangan dan kebutuhan dimensi-dimensi religius. (Ed. Imam Machali, dkk. 2010 ; 98. Lihat juga : Mujamil Qomar, 2005: 125). Ada dua konsep pendidikan yang membentuk pengertian pendidikan humanis religius, yaitu pendidikan humanis di satu sisi dan pendidikan religius di sisi yang lain. Pendidikan humanis merupakan tanggapan dan kritik terhadap praktik pendidikan tradisional. Praktik pendidikan humanis bertujuan memanusiakan manusia muda sehingga seluruh potensinya dapat tumbuh secara penuh dan menjadi pribadi utuh yang bersedia memperbaiki kehidupan. Sedangkan Tujuan pendidikan religius untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai religius dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati. (Mohamad Ali, megutip Zamakhsyari Dhofier, 1994: 21). Menurut Sodiq A Kuntoro, integrasi dan sinergi keduanya dapat melahirkan konsep pendidikan yang ideal sesuai falsafah bangsa Indonesia. Pendidikan humanis religius adalah pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang baik (akhlakul karimah) dan menumbuhkan kapasitas (kemampuan) diri secara penuh sehingga mampu merealisasikan tujuan kehidupan secara produktif. Dengan penuh keyakinan, praktik pendidikan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini adalah pendidikan yang bercorak humanis religius. Konsep ini diambil dari bunyi teks Pancasila, terutama sila pertama dan kedua. Melalui praktik pendidikan humanis religius diharapkan mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, menumbuhkan kehidupan yang demokratis, dan mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara mengakui pluralitas agama sekaligus bertanggung jawab mendidik warga agar menjadi pemeluk agama yang taat. Orang-orang yang taat beragama diharapkan dapat memantulkan cahaya religiusitasnya itu ke dalam sikap dan perilaku yang terpuji. (http://www.solopos.com/2012/05/25). (Lihat juga : Jusuf Amir Faisal, 1995 ; 174175). Dalam perspektif humanis religius, pendidikan agama disuguhkan untuk memupuk sikap positif terhadap kehidupan, memahami kenyataan sosial dan kontradiksi yang ada dalam masyarakat dan merangsang siswa untuk mengamalkan iman dalam seluruh dimensi kehidupan. (Mohamad Ali; Lihat juga : Marcel A Boisard, 1980 : 93-96, 117-119). Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak begitu mengejutkan bahwa praktik pendidikan di sekolah kita cenderung tidak humanis. Pendidikan kita selama ini lebih banyak menampilkan ciri pendidikan tradisional, seperti: guru cenderung otoriter, menekankan buku teks, siswa merekam informasi dari guru, mengutamakan hukuman fisik atau menakutnakuti siswa dalam membangun kedisiplinan. Ini menumbuhkan kepatuhan semu, alias manusia hipokrit. Harus ada keberanian untuk membangun suasana sekolah yang lebih humanis dengan jalan melibatkan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi belajar. Mencermati karakter dan prinsip-prinsip pendidikan humanis religius, sebagaimana uraian di atas, sudah saatnya kita melirik dan mencoba mengimplementasikan model ini di lingkungan kita masingmasing. Menurut Mohamad Ali pendidikan humanis religius bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini. Dalam sebuah hadits riwayat Thabrani dikatakan : Maukah kuberitahukan kepadamu sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang? Para sahabat menjawab,”Baik wahai Rasulullah. “Beliau bersabda, “Berlapang dadalah engkau terhadap orang yang membodohimu; engkau suka memaafkan orang yang telah menganiayamu; engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu; dan engkau mau bersilaturrahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan denganmu.” (HR. Thabrani). Secara normatif, gagasan pendidikan humanis religius sudah tepat, termasuk kebijakan dalam hal pendidikan agama. B. Pembahasan 1. Kedudukan Perempuan dalam Islam Menurut Marcel A Boisard, Islam melindungi kaum perempuan. (1980: 119). Bahkan al-Qur‟an membawa perbaikan yang sangat besar terhadap status perempuan Arab sebelum Islam. Kedudukan perempuan dalam Islam menurut Syaikh Ibnu Baz. memiliki kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang besar dalam kehidupan. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk AlQur‟an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal. Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul-Nya. Rasulullah bersabda; “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III). http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kedudukan-wanita-dalam-islam.html. Di dalam Al-Qur‟an betapa pentingnya peran perempuan, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, maupun sebagai anak. (Q.S. An-Nisa : 1, Al-Baqarah: 223). Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajibankewajibannya. Adanya hak-hak tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul. Peran perempuan dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah; “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibubapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14). Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata; “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ashShalah no. 2548. Dari hadits di atas, hendaknya bakti kita kepada ibu dilebihkan dari bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an. Allah berfirman; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21). Ibnu Katsir menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang. (http://muslimah.or.id). Termasuk Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira‟. Nabi pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada Khadijah; “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau, “Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160). Dan juga peran „Aisyah. Banyak para sahabat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, menerima hadits darinya berkenaan dengan hukum-hukum agama. 2. Keikutsertaan Perempuan dalam Pendidikan Ada beberapa variabel yang menyebabkan mengapa banyak perempuan yang tidak memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya. Pertama, pandangan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Dia adalah tulang rusuk lelaki, sehingga posisinya dalam relasi antara lelaki dan perempuan adalah relasi yang tidak seimbang. Lelaki lebih superior sementara perempuan lebih inferior. Pandangan ini ada yang diangkat dari teks ajaran agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin adalah kaum lelaki sementara perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Kedua, pandangan sosiologis, bahwa perempuan dalam banyak hal diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada di dalam ketimbang urusan publik. Masih banyak pandangan sosiologis, yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Ketiga, pandangan psikhologis, bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan karena posisinya lebih banyak menjadi isteri. Di dalam tradisi kita, masih banyak anggapan bahwa perempuan harus cepat dikawinkan. Keempat, pandangan budaya, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Di dalam hal ini, maka perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Ada ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu, suwargo nunut neroko katut”. Artinya bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking, atau kawan di belakang atau di dalam rumah. Kelima, pandangan ekonomi, bahwa banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan ekonomi. Jika misalnya ada dua anak: lelaki dan perempuan, maka yang diminta untuk melanjutkan adalah yang lelaki, sementara yang perempuan sesegera mungkin dikawinkan agar terlepas dari beban ekonomi keluarga. (http://nursyam.ac.id/?p=871). Pendidikan yang tinggi memang bukan suatu syarat mutlak untuk mencapai kesuksesan. Tetapi, paling tidak pendidikan dapat memberikan jaminan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan secara tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang. Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa perempuan tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi? Anggapan seperti itu masih ada dalam masyarakat. “Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, karena pada akhirnya kaum perempuan hanya akan bekerja di dapur .” Apakah anggapan seperti itu benar? Kewajiban seorang perempuan memang mengurus rumah tangga dan tentunya menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, itu telah menjadi kodratnya dalam kehidupan. Lalu, apa dengan alasan itu perempuan tidak perlu berpendidikan? Apakah sia-sia bila seorang perempuan berpendidikan tinggi? Sedikit banyak kita ketahui, zaman telah mulai berubah. Dahulu, seorang laki-laki identik dengan tugasnya yang mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan seorang perempuan berkewajiban untuk mengurus dan mendidik anak, serta menjadi seorang ibu rumah tangga. Tetapi, zaman sekarang perempuan juga bisa melakukan tugas seorang laki-laki untuk mencari nafkah tanpa mengesampingkan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Perempuan tentunya juga berhak untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Jadi, tidak ada anggapan bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan itu sia-sia. Pendidikan bagi perempuan juga dapat menjadi bekal di masa mendatang. Islam telah memberikan ruang bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam sebuah proses pencapaian ilmu dan pemerolehan pendidikan, tanpa pernah melupakan fungsinya dalam kehidupan keluarga. Hal tersebut juga terdapat dalam berbagai kebijakan pemerintah seputar hak perempuan dalam pendidikan. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Pancasila dan UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2 berbunyi : (1) Setiap warga Negara berhak dan layak mendapatkan pendidikan, dan (2) Setiap warga Negara bebas memilih pendidikan. Diantara tujuan lain keikut sertaan kaum perempuan dalam pendidikan, agar mereka tetap mempunyai keimanan dalam hati, betapapun beratnya dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam hadits Rasulullah Saw berpesan; Barang siapa yang dihatinya masih terdapat iman sekecil apapun, tidak akan masuk neraka. Dan barang siapa yang di hatinya terdapat kesombongan sekecil apapun, tidak akan masuk surga. Salah seorang sahabat berseru : Wahai Rasulullah, seseorang sangat suka jika pakaian dan sandalnya bagus ! (Sahabat tersebut berseru karena khawatir temannya terjerumus pada sikap sombong)., Rasulullah dengan bijak mengatakan, “Allah Maha indah dan mencintai keindahan, (yang disebut) kesombongan adalah (sikap) seseorang yang menolak kebenaran dan meremehkan manusia, “. (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban, dikutip Afzalur Rahman, 2009 : 26). 3. Peran Perempuan dalam Pembangunan Bangsa Di lingkup keluarga, masih banyak diskriminasi terhadap perempuan dalam sebuah pendidikan yang menyebabkan lemahnya posisi perempuan akibat rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh. Hal tersebut ditengarai oleh beberapa hal seperti kesalahan persepsi masyarakat terkait eksistensi wanita, minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan dan lain sebagainya. Perempuan mempunyai peran besar dalam menyiapkan generasi-generasi bangsa yang unggul, bermoral, beriman dan bertakwa serta berakhlak. Pendidikan hadir untuk menjadi bekal dan kebutuhan setiap manusia dalam membangun regenerasi demi perkembangan dan kemajuan Negara. Tujuan sekolah di dirikan bukan untuk mengejar selembar surat ijazah. Sekolah merupakan cerminan tempat pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana tertulis dalam notes R.A Kartini tentang pendidikan humaniora. Di jelaskan bahwa, kecerdasan otak yang tinggi bukanlah untuk pemmerolehan sertifikat pengakuan maupun ijazah melainkan bertujuan keluhuran budi pekerti. Di tambahkan pula oleh tokoh kebangkitan perempuan tersebut kepandaian merupakan capaian mulia dalam hidup dalam makna aktualisasi pribadi untuk berbuat baik dan luhur. Berarti setiap kepandaian yang di peroleh setiap orang harus membawa maslahat bagi semua orang. Kiprah kaum perempuan dalam pembangunan sangatlah diperlukan. Mengapa demikian? Menurut Hj. Sri Surya Widati selain argumentasi normatif, yang memperlihatkan bahwa kaum perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama, terdapat suatu kenyataan bahwa "beban" yang kini dihadapi oleh kaum perempuan amatlah berat. Kasus angka kematian ibu melahirkan atau masalah akses terhadap layanan kesehatan yang baik, angka buta huruf atau keterbelakangan dalam pendidikan, masalah kemiskinan dan kelangkaan lapangan pekerjaan bagi perempuan, sampai dengan masalah kekerasan yang kerapkali menimpa kaum perempuan, baik kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan lain di luar rumah. Untuk itulah kaum perempuan hendaknya mengambil peran strategis dalam proses pembangunan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Bung Karno, agar kaum perempuan ikut memastikan arah gerak negara, sehingga kaum perempuan mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia yang mulia. Dengan keterlibatan kaum perempuan, maka kepentingan kaum perempuan akan lebih tersalurkan dan lebih dari itu, kebijakan-kebijakan yang muncul akan mencerminkan suatu kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan gender. Beberapa kebijakan yang mulai memperlihatkan suatu kesadaran tentang kesetaraan gender, tentu perlu diperluas, berorientasi pada usaha membangun tata kehidupan yang sejalan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan dan ideologi bangsa, yakni Pancasila. (http://www.pdiperjuangan.or.id). Ketertinggalan kaum perempuan ternyata menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, akan tetapi juga merugikan pembangunan nasional/daerah secara keseluruhan. Jumlah penduduk perempuan adalah hampir sama dengan penduduk laki-laki, karena itu peran perempuan sangat berarti. Menurutnya bahwa lambatnya pembangunan Indonesia disebabkan karena kaum perempuan kurang berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah. Kaum perempuan Indonesia, menurut pengamatannya, bila diberi kesempatan akan mampu meningkatkan kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, dan kita harus terus melakukan strategi kesetaraan gender dalam pembangunan nasional agar mereka tidak menjadi beban pembangunan. Melalui peningkatan pendidikan, sosialisasi, serta kiprah kaum perempuan diharapkan masyarakat akan memiliki komitmen, sikap, pandangan dan penghormatan yang lebih baik terhadap peran perempuan di berbagai bidang profesi dan pembangunan. Hari Ibu yang diperingati dengan tema “ Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki Dalam Pembangunan Nasional “ mengandung arti pengarusutamaan gender dalam kehidupan bernegara. (Meutia Hatta Swasono : http://www.setneg.go.id). Bangsa Indonesia harus mampu melakukan refleksi dan evaluasi kesetaraan gender yang makin ditingkatkan melalui dua segi, yaitu; membandingkan kesetaraan gender dan pengarusutamaan kaum perempuan dengan masa lalu dan dengan negara berkembang lainnya, serta memberikan kesetaraan kesempatan dalam profesi, baik di parlemen maupun dunia bisnis. Islam juga mendorong kaum perempuan agar ikut berperan dalam pembangunan bangsa. Perempuan adalah tiang negara. Apabila rusak, maka rusaklah negara. Dan apabila baik, maka baiklah negara. (Al Hikmah). Dengan baiknya akhlak perempuan di berbagai lini kehidupan maka itu sudah ikut berperan dalam pembangunan bangsa. C. Kesimpulan 1. Pendidikan kaum perempuan ditinjau dari humanis religius sama keadaannya dengan pendidikan bagi kaum laki-laki. Hanya saja dalam implementasinya terdapat mater-materi tertentu yang disampaikan dalam ruang dan waktu yang terpisah dari kaum laki-laki. Disamping itu juga terdapat kemaklumankemakluman bagi kaum perempuan sebab tugas kaum perempuan lebih berat dari pada kaum laki-laki. Misalnya ada cuti melahirkan, ketika datang bulan, dan sebagainya. Karena itu kaum laki-laki tidak boleh menambah beban berat kaum perempuan karena hal itu tidak humanis dan tidak religius. Islam memberikan persamaan hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu bagi perempuan sebagaimana laki-laki, dan memperlakukan kaum perempuan sebagaimana kodratnya. 2. Melibatkan peran perempuan dalam pembangunan keluarga, masyarakat dan negara adalah sikap yang humanis dan religius. 3. Pendidikan bagi kaum perempuan sangat dibutuhkan juga demi mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. D. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, 1996. Studi Agama Normativitas atau Historisitas ?, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, ). Al-‟Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bary Juz 13 Al-Sakhawiy. Al Maqashidul Hasanah Juz 1.Al Maktabah al Syamilah. Boisard, Marcel A, 1980., Humanisme Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, ). Dhofier, Zamakhsyari, 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES,). Fadjar, A.Malik., 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI),). Feisal, Jusuf Amir, 1995. Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, ). Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Gama Media, ). Kuntowijoyo. 1988. Sejarah Wanita: Dari Sejarah Androsentris ke Sejarah Androgynous. Makalah dalam Seminar Wanita. Yogyakarta: MSI Cabang Yogyakarta. Machali, Imam dkk (ed)., 2010. Antologi Kependidikan Islam, ( Yogyakarta : Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, ). C, Ricklefs M.. 1991.Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Langgulung, Hasan, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka Al-Husna,). Lubis, Nina Herlina, Makalah : PEMBERDAYAAN PERAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK; DALAM PERSPEKTIF HISTORIS, diakses 21 Mei 2010 Qomar, Mujamil, 2005. Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta : Erlangga, ). Rahman, Afzalur., 2009. Ensiklopedi Muhammad, Muhammad Sebagai Pendidik, (Bandung : Pelangi Mizan). Pen. Anton Kurnia dan Miftahuljannah Saleh. Internet http://www.solopos.com/2012/05/25/melirik-pendidikan-humanis-religius-188458 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/07/m232borahmah-elyunusiyah-perintis-sekolah-wanita-islam http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kedudukan-wanita-dalam-islam.html http://artikel77.blogspot.com/2010/05/inilah-penyebab-wanita-malas.html http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2260&It emid=219 http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id =299:peran-perempuan-dan-pembangunan-nasional