pendidikan kaum perempuan

advertisement
PENDIDIKAN KAUM PEREMPUAN
PERSPEKTIF HUMANIS RELIGIUS
Oleh :
Muis Sad Iman, M.Ag.
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Mahasiswa
Program Doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)
(+62856 2876 642)
Abstrak
Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menuntut ilmu termasuk kaum
perempuan. Ilmu tersebut diperoleh melalui pendidikan sebagai bekal kehidupan
bagi setiap orang untuk mencapai derajat ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, Allah Swt. Taqwa ini yang akan menjadi fondasi untuk berperan serta dalam
pembangunan bangsa. Untuk itu diperlukan pendidikan bagi kaum perempuan yang
lebih humanis dan religius sesuai kodratnya sebagai perempuan. Pendidikan
humanis religius bagi kaum perempuan adalah pendidikan yang memandang kaum
perempuan sebagaimana kodratnya. Ada kemakluman-kemakluman bagi kaum
perempuan sebab tugas kaum perempuan lebih berat dari pada kaum laki-laki. Inilah
pentingnya pendidikan humanis religius bagi kaum perempuan agar mereka
bertaqwa dan dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa, sebagaimana
tertera dalam Q.S. Al A’raf (7) : 96-97.
Keyword : Humanis Religius, Taqwa, Pembangunan Bangsa.
A. Pendahuluan
Dalam Al Qur‟an, surah Al Hujurat (49) : 13, Allah Swt berfirman :
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Seorang intelektual Iran yang tersohor, Ali Syariati mengatakan bahwa
manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memilih bagi dirinya sendiri.
Pilihannya itu dapat bertentangan dengan instinknya, dengan alam, dengan
masyarakat, ataupun juga bertentangan dengan dorongan-dorongan yang bersifat
fisiologis dan psikologisnya. Kebebasan memilih atau kemampuan ibadahnya
itulah yang dapat menolong manusia dalam mencapai taraf tertinggi dari proses
menjadi manusia dengan realitas kemanusiaannya. (A.Malik Fadjar, 1998 : 6364).
Dalam Islam semua hamba Allah Swt adalah sama, yang membedakan
adalah kemampuan menggunakan kebebasan untuk memilih atau kemampuan
ibadahnya dalam rangka menuju pada ketaqwaan atau mulia disisiNya.
Berangkat dari pemikiran tersebut maka setiap orang, baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai hak yang sama untuk menjadi orang yang bertaqwa.
Persamaan tersebut juga terdapat dalam pendidikan. Sudah merupakan kewajiban
bagi seorang muslim (laki-laki dan perempuan) untuk mendapatkan pengetahuan
dan pendidikan. Pendidikan menjadi sebuah bekal dan hal substansial bagi umat
manusia untuk mengetahui, mengerti dan memahami sesuatu yang tentunya akan
bermanfaat bagi kehidupan dan keberlangsungan hidupnya. Pendidikan merupakan
sarana yang penting bagi setiap individu (manusia), laki-laki dan perempuan
karena
dengan
pendidikanlah
manusia
dapat
mengetahui
Dzat
yang
menciptakannya dan seluruh makhluk hidup ciptaanNya, serta menguatkan
hubungan denganNya. ( Hasan Langgulung, 1989: 77 ). Pendidikan berguna untuk
meningkatkan ibadahnya dalam menggapai kebenaran dan pengetahuan dalam
kehidupan ini, serta usaha untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang
sempurna, yang telah diberi akal oleh Tuhan yang digunakan untuk berfikir secara
dinamis. (George R. Knight, 2007: 77, 99).
Dalam kaitannya dengan ilmu, Islam tidak membedakan antara laki – laki
dan perempuan, mereka semua mendapat kewajiban dan hak yang sama dalam
menuntut ilmu, bahkan kaum hawa adalah tempat pendidikan pertama bagi
anaknya sebelum pendidikan yang lain diperoleh. Karena itu sering dikatakan
bahwa :
‫األم مدرسة األولى‬
trainya : ibu itu adalah sekolah yang pertama.
Ilmu pengetahuan dapat menjadi bekal beramal sholeh dan berbakti
kehadirat Allah Swt. Namun kaum perempuan mengalami ketertinggalan dalam
memperoleh ilmu pengetahuan tersebut. Karena itu kaum perempuan kurang
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi ini
lebih disebabkan oleh norma dan nilai sosial budaya di masyarakat.
Untuk era postmodernisme, yang menurut Ernest Gellner ditandai dengan
fundamentalism, relativism dan deconstructionism, kajian agama secara akademikilmiah semakin diperlukan orang. Kajian atau studi agama secara akademik bukan
dikandung maksud untuk membedah hal-hal yang berada di luar jangkauan akal,
tetapi lebih dimaksudkan untuk meneliti, memahami, menerangkan implikasi dan
konsekuensi
pemilikan
pemikiran
teologis
secara
khusus
dan
realitas
keberagamaan manusia secara umum. (M. Amin Abdullah, 1996 :23).
Dalam Al-Qur‟an disebutkan :
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(An-Nahl: 97).
Manusia berada dalam kerugian jika dalam hidupnya tidak memiliki iman
dan amal saleh, maka sudah tentu setiap orang berkeinginan untuk beramal saleh,
sebagai bukti keimanannya kepada Allah Swt, baik laki-laki maupun perempuan.
Kata amal saleh disini mengandung makna yang luas. Oleh karena itu diperlukan
pendidikan untuk beramal saleh. Dengan demikian pendidikan itu diperlukan oleh
setiap orang baik laki-laki maupun perempuan agar dapat beramal saleh sebagai
realitas keberagamaan manusia secara umum yang dilandasi oleh keimanan
kepada Allah Swt.. Dalam ayat lainnya Al-Qur‟an surat Al-Mujadilah ayat 11,
niscaya Allah akan memberikan derajat yang tinggi serta penghargaan kepada
orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan. Al-Qur‟an surat AliImran ayat 18 memasukkan orang-orang yang berilmu diantara mereka yang
menyatakan tentang Keesaan Allah. Apalagi bahwa seseorang yang pergi belajar
mencari ilmu, dianggap sedang berada di jalan Allah (berjihad) sampai kembali
lagi.
Namun demikian kondisi pembelajaran antara kaum laki-laki dan perempuan
tidak harus sama. Dalam pengajaran pada kaum hawa perlu diberikan ruang dan
waktu khusus, ketika materi pembelajarannya sangat pribadi bagi mereka sehingga
mereka dapat leluasa dalam menyampaikan permasalahan yang terjadi pada
mereka, dan hal ini akan sangat berbeda ketika mereka bersama-sama dengan
kaum laki-laki.
Eksistensi dan peran kaum perempuan sering kali menimbulkan multi
persepsi. Sebagian kalangan yang ekstrim tetap menjadikan perempuan sebagai
individu tak bernilai dan hanya berperan seputar rumah, anak dan suami. Ada
banyak persoalan dalam pendidikan bagi kaum perempuan. Mulai dari kedudukan
perempuan perspektif agama, perlunya pendidikan bagi kaum perempuan,
haruskah perempuan meniti sebuah karier ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
berkaitan erat dengan beberapa tantangan yang dihadapi oleh kaum perempuan
seiring dengan perkembangan zaman. Diantara tantangan tersebut adalah perlunya
harkat dan martabat bagi kaum perempuan. Termasuk tantangan yang pernah
muncul pada zaman sebelum kemerdekaan dalam konteks Indonesia, yaitu ada
semacam kepercayaan yang tumbuh di masyarakat bahwa seorang perempuan,
pada akhirnya akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi
urusan dapur (memasak), sumur (mencuci), dan tempat tidur. Menurut Rahmah,
seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi
kaum perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan
masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu, dapat diberikan melalui
pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik).
Bagi Rahmah, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan
kaum laki-laki. Bahkan dibandingkan laki-laki, perempuan juga mampu memiliki
kecerdasan yang tak kalah hebat. Persoalannya, hanya terletak pada akses
pendidikan. (http://www.republika.co.id/ dunia-islam /12/04/07). Selain itu juga
tantangan adat dan kebudayaan setempat. Kalau laki-laki boleh mencari ilmu atau
mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, maka perempuan dalam hal
pendidikan sering dihambat oleh adat dan kebudayaan setempat sehingga untuk
memperoleh pendidikan seakan-akan masih dibatasinya. Perempuan tidak perlu
menempuh pendidikan tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka berada di dapur.
Perempuan tidak diberi kesempatan yang luas untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa status sosial kaum perempuan
dalam masyarakat tradisional Indonesia memang rendah. Mereka dianggap warga
negara kelas dua. Meskipun sudah dilakukan upaya emansipasi oleh tokoh-tokoh
seperti Raden Dewi Sartika dan R.A. Kartini sejak seabad yang lalu, tetapi hingga
kini stigma menomorduakan kaum perempuan masih sangat membekas hingga
peran kaum perempuan di dunia politik terkendala. Salah satu usaha untuk
memberdayakan peran perempuan Indonesia di bidang politik adalah dengan
memberi kuota dan mengubah sikap mental masyarakat yang menomorduakan
kaum perempuan dengan membuang mitos-mitos lama yang kontraproduktif dan
menggantikannya dengan etos kerja yang positif. (Nina Herlina Lubis, mengutip :
Ricklefs, M.C. 1991).
Kaum perempuan sebenarnya juga berkemampuan untuk berperan tak
ubahnya kaum laki-laki. Hal ini telah dicontohkan dalam sejarah Islam seperti
Aisyah r a, dan di Negara kita seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, dan lainlainnya. Sampai ada yang mampu menyamai bahkan melebihi kaum laki-laki yaitu
perempuan berkemampuan dalam memimpin sebuah Negara.
Uraian di atas menunjukkan beberapa persoalan mengenai pendidikan kaum
perempuan. Adapun tinjauan dari perspektif humanis religius yang dimaksudkan
adalah bagaimanakah humanism dan religiusitas pendidikan bagi kaum
perempuan.
Tinjauan humanis religious ini sangat penting. Sebagai alternative dari
konsep pendidikan yang telah berjalan selama ini perlu ada penawaran tentang
konsep pengembangan keilmuan dan ilmu pendidikan yang berdimensi religius
etik. Hal ini disebabkan oleh munculnya kekhawatiran yang amat serius tentang
semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam
segala aktivitas kehidupan manusia. Pesatnya perkembangan sains dan teknologi
disatu sisi memang telah menghantarkan manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan materielnya. Tetapi disisi lain paradigm sains dan teknologi modern
dengan berbagai pendekatan non-metafisik dan netral etik telah memaksa manusia
pada kegersangan dan kebutuhan dimensi-dimensi religius. (Ed. Imam Machali, dkk.
2010 ; 98. Lihat juga : Mujamil Qomar, 2005: 125).
Ada dua konsep pendidikan yang membentuk pengertian pendidikan
humanis religius, yaitu pendidikan humanis di satu sisi dan pendidikan religius di
sisi yang lain. Pendidikan humanis merupakan tanggapan dan kritik terhadap
praktik
pendidikan
tradisional.
Praktik
pendidikan
humanis
bertujuan
memanusiakan manusia muda sehingga seluruh potensinya dapat tumbuh secara
penuh dan menjadi pribadi utuh yang bersedia memperbaiki kehidupan.
Sedangkan Tujuan pendidikan religius untuk meninggikan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai religius
dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan
siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati. (Mohamad Ali, megutip
Zamakhsyari Dhofier, 1994: 21).
Menurut Sodiq A Kuntoro, integrasi dan sinergi keduanya dapat melahirkan
konsep pendidikan yang ideal sesuai falsafah bangsa Indonesia. Pendidikan
humanis religius adalah pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang
baik (akhlakul karimah) dan menumbuhkan kapasitas (kemampuan) diri secara
penuh sehingga mampu merealisasikan tujuan kehidupan secara produktif. Dengan
penuh keyakinan, praktik pendidikan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa
ini adalah pendidikan yang bercorak humanis religius. Konsep ini diambil dari
bunyi teks Pancasila, terutama sila pertama dan kedua. Melalui praktik pendidikan
humanis religius diharapkan mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa,
menumbuhkan
kehidupan
yang
demokratis,
dan
mewujudkan
kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara mengakui
pluralitas agama sekaligus bertanggung jawab mendidik warga agar menjadi
pemeluk agama yang taat. Orang-orang yang taat beragama diharapkan dapat
memantulkan cahaya religiusitasnya itu ke dalam sikap dan perilaku yang terpuji.
(http://www.solopos.com/2012/05/25). (Lihat juga : Jusuf Amir Faisal, 1995 ; 174175).
Dalam perspektif humanis religius, pendidikan agama disuguhkan untuk
memupuk sikap positif terhadap kehidupan, memahami kenyataan sosial dan
kontradiksi yang ada dalam masyarakat dan merangsang siswa untuk
mengamalkan iman dalam seluruh dimensi kehidupan. (Mohamad Ali; Lihat juga :
Marcel A Boisard, 1980 : 93-96, 117-119). Sebagaimana dikemukakan di atas,
tidak begitu mengejutkan bahwa praktik pendidikan di sekolah kita cenderung
tidak humanis. Pendidikan kita selama ini lebih banyak menampilkan ciri
pendidikan tradisional, seperti: guru cenderung otoriter, menekankan buku teks,
siswa merekam informasi dari guru, mengutamakan hukuman fisik atau menakutnakuti siswa dalam membangun kedisiplinan. Ini menumbuhkan kepatuhan semu,
alias manusia hipokrit. Harus ada keberanian untuk membangun suasana sekolah
yang lebih humanis dengan jalan melibatkan siswa dalam proses kegiatan belajar
mengajar, dan evaluasi belajar. Mencermati karakter dan prinsip-prinsip
pendidikan humanis religius, sebagaimana uraian di atas, sudah saatnya kita
melirik dan mencoba mengimplementasikan model ini di lingkungan kita masingmasing. Menurut Mohamad Ali pendidikan humanis religius bisa menjadi salah
satu pintu masuk untuk mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini. Dalam
sebuah hadits riwayat Thabrani dikatakan :
Maukah kuberitahukan kepadamu sesuatu yang dengannya Allah meninggikan
gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang? Para sahabat
menjawab,”Baik wahai Rasulullah. “Beliau bersabda, “Berlapang dadalah
engkau terhadap orang yang membodohimu; engkau suka memaafkan orang yang
telah menganiayamu; engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah
memberikan sesuatu kepadamu; dan engkau mau bersilaturrahim kepada orang
yang telah memutuskan hubungan denganmu.” (HR. Thabrani).
Secara normatif, gagasan pendidikan humanis religius sudah tepat, termasuk
kebijakan dalam hal pendidikan agama.
B. Pembahasan
1. Kedudukan Perempuan dalam Islam
Menurut Marcel A Boisard, Islam melindungi kaum perempuan.
(1980: 119). Bahkan al-Qur‟an membawa perbaikan yang sangat besar terhadap
status perempuan Arab sebelum Islam. Kedudukan perempuan dalam Islam
menurut Syaikh Ibnu Baz. memiliki kedudukan yang tinggi dan pengaruh
yang besar dalam kehidupan. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam
membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk AlQur‟an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan
setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal. Kesesatan dan
penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari
petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul-Nya.
Rasulullah bersabda;
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat
selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.”
(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III).
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kedudukan-wanita-dalam-islam.html.
Di dalam Al-Qur‟an betapa pentingnya peran perempuan, baik sebagai ibu,
istri, saudara perempuan, maupun sebagai anak. (Q.S. An-Nisa : 1, Al-Baqarah:
223). Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajibankewajibannya. Adanya hak-hak tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah
Rasul. Peran perempuan dikatakan penting karena banyak beban-beban berat
yang harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh
pria. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih kepada
ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya. Kedudukan ibu
terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini
disebutkan dalam firman Allah;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibubapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan
kembali.” (QS. Luqman: 14).
Begitu pula dalam firman-Nya,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya.
Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”
(QS. Al-Ahqaf: 15).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah dan berkata;
“Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku
bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi,
“Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya
lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu
bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.”
HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ashShalah no. 2548.
Dari hadits di atas, hendaknya bakti kita kepada ibu dilebihkan dari bakti kita
kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan pengaruhnya terhadap
ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an. Allah
berfirman;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk
kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.”
(QS. Ar-Rum: 21).
Ibnu Katsir menjelaskan pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah”
bahwa mawaddah adalah rasa cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.
(http://muslimah.or.id). Termasuk Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah
memberikan andil besar dalam menenangkan rasa takut Rasulullah ketika
beliau didatangi malaikat Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa
Hira‟. Nabi pulang ke rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata
kepada Khadijah;
“Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi
melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau, “Tenanglah.
Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan dirimu. Engkau
adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim, senantiasa
berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa yang belum pernah
dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela kebenaran.” (HR.
Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab al-Iman no. 160).
Dan juga peran „Aisyah. Banyak para sahabat, baik yang laki-laki maupun yang
perempuan, menerima hadits darinya berkenaan dengan hukum-hukum agama.
2. Keikutsertaan Perempuan dalam Pendidikan
Ada beberapa variabel yang menyebabkan mengapa banyak perempuan
yang tidak memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya.
Pertama, pandangan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Dia
adalah tulang rusuk lelaki, sehingga posisinya dalam relasi antara lelaki dan
perempuan adalah relasi yang tidak seimbang. Lelaki lebih superior sementara
perempuan lebih inferior. Pandangan ini ada yang diangkat dari teks ajaran
agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin adalah kaum lelaki sementara
perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Kedua, pandangan sosiologis, bahwa
perempuan dalam banyak hal diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak
berada di dalam ketimbang urusan publik. Masih banyak pandangan sosiologis,
yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Ketiga,
pandangan psikhologis, bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk
berpendidikan karena posisinya lebih banyak menjadi isteri. Di dalam tradisi
kita, masih banyak anggapan bahwa perempuan harus cepat dikawinkan.
Keempat, pandangan budaya, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan
sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan
tinggi. Di dalam hal ini, maka perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Ada
ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu, suwargo nunut neroko
katut”. Artinya bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking, atau kawan di
belakang atau di dalam rumah. Kelima, pandangan ekonomi, bahwa banyak
perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan
ekonomi. Jika misalnya ada dua anak: lelaki dan perempuan, maka yang
diminta untuk melanjutkan adalah yang lelaki, sementara yang perempuan
sesegera mungkin dikawinkan agar terlepas dari beban ekonomi keluarga.
(http://nursyam.ac.id/?p=871).
Pendidikan yang tinggi memang bukan suatu syarat mutlak untuk mencapai
kesuksesan. Tetapi, paling tidak pendidikan dapat memberikan jaminan bagi
kehidupan seseorang. Pendidikan secara tidak langsung dapat mempengaruhi
pola pikir dan perilaku seseorang. Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa
perempuan tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi? Anggapan seperti
itu masih ada dalam masyarakat. “Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi,
karena pada akhirnya kaum perempuan hanya akan bekerja di dapur .” Apakah
anggapan seperti itu benar? Kewajiban seorang perempuan memang mengurus
rumah tangga dan tentunya menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, itu
telah menjadi kodratnya dalam kehidupan. Lalu, apa dengan alasan itu
perempuan tidak perlu berpendidikan? Apakah sia-sia bila seorang perempuan
berpendidikan tinggi? Sedikit banyak kita ketahui, zaman telah mulai berubah.
Dahulu, seorang laki-laki identik dengan tugasnya yang mencari nafkah untuk
keluarga, sedangkan seorang perempuan berkewajiban untuk mengurus dan
mendidik anak, serta menjadi seorang ibu rumah tangga. Tetapi, zaman
sekarang perempuan juga bisa melakukan tugas seorang laki-laki untuk mencari
nafkah tanpa mengesampingkan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah
tangga. Perempuan tentunya juga berhak untuk mengenyam pendidikan yang
tinggi. Jadi, tidak ada anggapan bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan itu
sia-sia. Pendidikan bagi perempuan juga dapat menjadi bekal di masa
mendatang.
Islam telah memberikan ruang bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam
sebuah proses pencapaian ilmu dan pemerolehan pendidikan, tanpa pernah
melupakan fungsinya dalam kehidupan keluarga. Hal tersebut juga terdapat
dalam berbagai kebijakan pemerintah seputar hak perempuan dalam
pendidikan. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
serta Pancasila dan UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2 berbunyi : (1) Setiap
warga Negara berhak dan layak mendapatkan pendidikan, dan (2) Setiap warga
Negara bebas memilih pendidikan. Diantara tujuan lain keikut sertaan kaum
perempuan dalam pendidikan, agar mereka tetap mempunyai keimanan dalam
hati, betapapun beratnya dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam hadits
Rasulullah Saw berpesan;
Barang siapa yang dihatinya masih terdapat iman sekecil apapun, tidak akan
masuk neraka. Dan barang siapa yang di hatinya terdapat kesombongan
sekecil apapun, tidak akan masuk surga. Salah seorang sahabat berseru :
Wahai Rasulullah, seseorang sangat suka jika pakaian dan sandalnya bagus !
(Sahabat tersebut berseru karena khawatir temannya terjerumus pada sikap
sombong)., Rasulullah dengan bijak mengatakan, “Allah Maha indah dan
mencintai keindahan, (yang disebut) kesombongan adalah (sikap) seseorang
yang menolak kebenaran dan meremehkan manusia, “. (HR. Ibnu Hibban
dalam Shahih Ibnu Hibban, dikutip Afzalur Rahman, 2009 : 26).
3. Peran Perempuan dalam Pembangunan Bangsa
Di lingkup keluarga, masih banyak diskriminasi terhadap perempuan dalam
sebuah pendidikan yang menyebabkan lemahnya posisi perempuan akibat
rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh. Hal tersebut ditengarai oleh
beberapa hal seperti kesalahan persepsi masyarakat terkait eksistensi wanita,
minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan atau
keputusan dan lain sebagainya.
Perempuan mempunyai peran besar dalam menyiapkan generasi-generasi
bangsa yang unggul, bermoral, beriman dan bertakwa serta berakhlak.
Pendidikan hadir untuk menjadi bekal dan kebutuhan setiap manusia dalam
membangun regenerasi demi perkembangan dan kemajuan Negara. Tujuan
sekolah di dirikan bukan untuk mengejar selembar surat ijazah. Sekolah
merupakan cerminan tempat pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana
tertulis dalam notes R.A Kartini tentang pendidikan humaniora. Di jelaskan
bahwa, kecerdasan otak yang tinggi bukanlah untuk pemmerolehan sertifikat
pengakuan maupun ijazah melainkan bertujuan keluhuran budi pekerti. Di
tambahkan pula oleh tokoh kebangkitan perempuan tersebut kepandaian
merupakan capaian mulia dalam hidup dalam makna aktualisasi pribadi untuk
berbuat baik dan luhur. Berarti setiap kepandaian yang di peroleh setiap orang
harus membawa maslahat bagi semua orang.
Kiprah kaum perempuan dalam pembangunan sangatlah diperlukan.
Mengapa demikian? Menurut Hj. Sri Surya Widati selain argumentasi normatif,
yang memperlihatkan bahwa kaum perempuan memiliki hak dan kesempatan
yang sama, terdapat suatu kenyataan bahwa "beban" yang kini dihadapi oleh
kaum perempuan amatlah berat. Kasus angka kematian ibu melahirkan atau
masalah akses terhadap layanan kesehatan yang baik, angka buta huruf atau
keterbelakangan dalam pendidikan, masalah kemiskinan dan kelangkaan
lapangan pekerjaan bagi perempuan, sampai dengan masalah kekerasan yang
kerapkali menimpa kaum perempuan, baik kekerasan dalam rumah tangga
ataupun kekerasan lain di luar rumah. Untuk itulah kaum perempuan hendaknya
mengambil peran strategis dalam proses pembangunan, sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Bung Karno, agar kaum perempuan ikut memastikan arah
gerak negara, sehingga kaum perempuan mendapatkan hak dasarnya sebagai
manusia yang mulia. Dengan keterlibatan kaum perempuan, maka kepentingan
kaum perempuan akan lebih tersalurkan dan lebih dari itu, kebijakan-kebijakan
yang muncul akan mencerminkan suatu kebijakan yang berorientasi pada
kesetaraan gender.
Beberapa kebijakan yang mulai memperlihatkan suatu kesadaran tentang
kesetaraan gender, tentu perlu diperluas, berorientasi pada usaha membangun
tata kehidupan yang sejalan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan dan
ideologi bangsa, yakni Pancasila. (http://www.pdiperjuangan.or.id).
Ketertinggalan kaum perempuan ternyata menjadi permasalahan yang tidak
saja merugikan perempuan itu sendiri, akan tetapi juga merugikan
pembangunan
nasional/daerah
secara
keseluruhan.
Jumlah
penduduk
perempuan adalah hampir sama dengan penduduk laki-laki, karena itu peran
perempuan sangat berarti. Menurutnya bahwa lambatnya pembangunan
Indonesia disebabkan karena kaum perempuan kurang berperan dalam
pembangunan, baik nasional maupun daerah. Kaum perempuan Indonesia,
menurut pengamatannya, bila diberi kesempatan akan mampu meningkatkan
kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, dan kita harus terus
melakukan strategi kesetaraan gender dalam pembangunan nasional agar
mereka tidak menjadi beban pembangunan. Melalui peningkatan pendidikan,
sosialisasi, serta kiprah kaum perempuan diharapkan masyarakat akan memiliki
komitmen, sikap, pandangan dan penghormatan yang lebih baik terhadap peran
perempuan di berbagai bidang profesi dan pembangunan. Hari Ibu yang
diperingati dengan tema “ Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki Dalam
Pembangunan Nasional “ mengandung arti pengarusutamaan gender dalam
kehidupan bernegara. (Meutia Hatta Swasono : http://www.setneg.go.id).
Bangsa Indonesia harus mampu melakukan refleksi dan evaluasi kesetaraan
gender yang makin ditingkatkan melalui dua segi, yaitu; membandingkan
kesetaraan gender dan pengarusutamaan kaum perempuan dengan masa lalu
dan dengan negara berkembang lainnya, serta memberikan kesetaraan
kesempatan dalam profesi, baik di parlemen maupun dunia bisnis.
Islam juga mendorong kaum perempuan agar ikut berperan dalam
pembangunan bangsa. Perempuan adalah tiang negara. Apabila rusak, maka
rusaklah negara. Dan apabila baik, maka baiklah negara. (Al Hikmah). Dengan
baiknya akhlak perempuan di berbagai lini kehidupan maka itu sudah ikut
berperan dalam pembangunan bangsa.
C. Kesimpulan
1. Pendidikan kaum perempuan ditinjau dari humanis religius sama keadaannya
dengan pendidikan bagi kaum laki-laki. Hanya saja dalam implementasinya
terdapat mater-materi tertentu yang disampaikan dalam ruang dan waktu yang
terpisah dari kaum laki-laki. Disamping itu juga terdapat kemaklumankemakluman bagi kaum perempuan sebab tugas kaum perempuan lebih berat
dari pada kaum laki-laki. Misalnya ada cuti melahirkan, ketika datang bulan,
dan sebagainya. Karena itu kaum laki-laki tidak boleh menambah beban berat
kaum perempuan karena hal itu tidak humanis dan tidak religius. Islam
memberikan persamaan hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu bagi
perempuan sebagaimana laki-laki, dan memperlakukan kaum perempuan
sebagaimana kodratnya.
2. Melibatkan peran perempuan dalam pembangunan keluarga, masyarakat dan negara
adalah sikap yang humanis dan religius.
3. Pendidikan bagi kaum perempuan sangat dibutuhkan juga demi mengangkat harkat dan
martabat kaum perempuan.
D. Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, 1996. Studi Agama Normativitas atau Historisitas ?,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, ).
Al-‟Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bary Juz 13
Al-Sakhawiy. Al Maqashidul Hasanah Juz 1.Al Maktabah al Syamilah.
Boisard, Marcel A, 1980., Humanisme Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, ).
Dhofier, Zamakhsyari, 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiai, (Jakarta: LP3ES,).
Fadjar, A.Malik., 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI),).
Feisal, Jusuf Amir, 1995. Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta : Gema Insani
Press, ).
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Gama Media, ).
Kuntowijoyo. 1988. Sejarah Wanita: Dari Sejarah Androsentris ke Sejarah
Androgynous. Makalah dalam Seminar Wanita. Yogyakarta: MSI Cabang
Yogyakarta.
Machali, Imam dkk (ed)., 2010. Antologi Kependidikan Islam, ( Yogyakarta :
Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga, ).
C, Ricklefs M.. 1991.Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Langgulung, Hasan, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, (Jakarta : Pustaka Al-Husna,).
Lubis, Nina Herlina, Makalah : PEMBERDAYAAN PERAN PEREMPUAN DI
BIDANG POLITIK; DALAM PERSPEKTIF HISTORIS, diakses 21 Mei 2010
Qomar, Mujamil, 2005. Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik, (Jakarta : Erlangga, ).
Rahman, Afzalur., 2009. Ensiklopedi Muhammad, Muhammad Sebagai Pendidik,
(Bandung : Pelangi Mizan). Pen. Anton Kurnia dan Miftahuljannah Saleh.
Internet
http://www.solopos.com/2012/05/25/melirik-pendidikan-humanis-religius-188458
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/07/m232borahmah-elyunusiyah-perintis-sekolah-wanita-islam
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kedudukan-wanita-dalam-islam.html
http://artikel77.blogspot.com/2010/05/inilah-penyebab-wanita-malas.html
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2260&It
emid=219
http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=299:peran-perempuan-dan-pembangunan-nasional
Download