ASPEK HUKUM DALAM TRANSPARANSI PENGELOLAAN PERUSAHAAN BUMN/BUMD SEBAGAI UPAYA MEMBERANTAS KKN∗ Bismar Nasution∗∗ S ampai sekarang ini, pembicaraan good corporate governance, khususnya peningkatan transparansi dalam etos kerja pengelolaan perusahaan masih mampu untuk menarik perhatian banyak orang. Mengapa pembicaraan itu menarik ? tidak lain, oleh karena adanya pendapat, rupa-rupanya penerapan prinsip transparansi perusahaan sampai sekarang belum seluruhnya memuaskan. Berita-berita tentang inefficiency, KKN sebagai hidden enemy masih menghiasi berbagai media massa. Berdasarkan “Opacity Index” (“Indeks Keburaman”) yang pernah diturunkan majalah the Economist 3 Maret 2001, dimana Opacity Index tersebut mengukur ketidakjelasan sistim hukum dan pengaturan, kebijakan ekonomi makro dan perpajakan, standar praktek akuntansi serta korupsi di tiga puluh lima negara. Cina, Rusia, dan Indonesia merupakan negara yang paling buram. Apabila penerapan prinsip transparansi yang terdapat dalam strategi good corporate governance dikaitkan dengan upaya memberantas KKN, maka penekanan pelaksanaan prinsip keterbukaan menjadi penting. Sebab penerapan transparansi akan dapat meminimalisasi KKN tersebut. Apalagi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah memasukkan pula tanggung jawab korporasi. Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Dalam Pasal 20 ayat 3 Undang-Undang tersebut juga ditentukan bahwa dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Korupsi dalam Undang-Undang Nomor. Secara spesifik, penerapan prinsip transparansi itu berfungsi untuk mendukung jalannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dimana dalam konsideran peraturan perundang-undangan tersebut ditegaskan bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional yang membutuhkan efisiensi tinggi. Tulisan ini tidak membahas secara mendalam tentang KKN, hanya lebih menitikberatkan pembahasan kajiannya pada fungsi transparansi tersebut dalam kaitannya dengan good corporate governance. Good Corporate Governance Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah “pengelolaan perusahaan” (“corporate governance”) dari Ira M. Millstein, “The Evolution of Corporate Governance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.1 ∗ Disampaikan pada Semiloka Peran Masyarakat (Stakeholder) melalui lembaga pengawasan pengelolaan perusahaan dalam mendukung pelaksanaan good corporate governance di Sumatera Utara pada tanggal 30 April 2003. ∗∗ Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Pengajar pada USU/Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana USU. Dosen/penguji pada program doktor hukum Universitas Indonesia. /Pengajar pada Pasacasarjana Universitas Pancasila Jakarta. 1 Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal.3-4. 1 Istilah pengelolaan perusahaan juga dapat mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik, seperti juga audit juga kerja dari pasar untuk mengkontrol perusahaan. Istilah itu dapat juga mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktipan pemegang saham.2 Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini adalah pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut. Secara singkat, istilah pengelolaan perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms diuraikan dengan pandangan definisi luas dan terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, direktur dan pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum.3 Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coorperation and Development (OECD) mengenai Pengelolaan Perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan (corporate governance) dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada “apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.”Laporan tersebut diketua oleh, Ira M. Millstein (“Laporan Millstein”).4 Dalam Laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah , Pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham minoritas dan asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/bahan. Kedua, pengklarifikasi peran dan tangung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan direksi. Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat dalah bidang “transparansi,” 5 yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.6 Prinsip transparansi tersebut menyatakan, bahwa “kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akuran atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.”7 Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasr Modal Indonesia dibuat Bapepam , juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, bahwa agar good corporate governance dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama good corporate governance, termasuk prinsip keterbukaan.8 Upaya mencapai good corporate governance tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan good corporate governance dalam pengelolaan perusahaan.9 Fungsi Transparansi Prinsip “transparansi” (selanjutnya disebut “keterbukaan”) penting untuk mencegah penipuan (fraud) atau KKN. Sangat baik untuk dipahami ungkapan yang pernah diungkapkan Barry A.K Rider: “sun light is the Ibid. Ibid 4 Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets (April 1998). Diuraikan Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal.12. 5 Holly J.Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal. 12-13. 6 Ibid, hal. 14-16 7 Ibid, hal. 15. 8 Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999, hal.17. 9 Ibid. 2 3 2 best disinfectant and electric light the policeman.” Dengan perkataan lain, Rider mengatakan bahwa “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.”10 Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut tidak perlu lagi dibuktikan, tetapi lebih banyak tergantung informasi apa yang harus diungkapkan dan kepada siapa informasi itu disampaikan.11 Fungsi prinsip keterbukaan untuk mencegah penipuan tersebut adalah pendapat yang paling tua.12 Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam kegiatan perusahaan atau dunia pasar modal. Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti pengamatan Coffee tentang perlunya sistim keterbukaan wajib (mandatory disclosure system), dimana dengan teori yang lebih sederhana ia dapat menjelaskan bagaimana sistim keterbukaan difokuskan. Coffee, Jr mengatakan, bahwa ada dasar substansial untuk dipercaya bahwa ketidakefisienan yang lebih besar akan terjadi tanpa sistim keterbukaan wajib, karena biaya sosial yang berlebih akan dikeluarkan investor untuk mengejar laba perusahaan.13 Pengamatan Coffee tentang perlunya mempertahankan sistim keterbukaan wajib tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerapan keterbukaan bagi BUMN/BUMD. Gunanya untuk mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada investor atau stakeholders.14 Dengan perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan penerapan keterbukaan itu adalah untuk menhasilkan dokumen yang menceritakan kepada investor atau stakeholders, mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh mereka. Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan itu, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan investor atau stakeholders tidak memperoleh informasi atau fakta materiel. Sebaliknya, informasi itu juga sangat berfungsi karena berisi fakta materiel, yang dapat dibuat sebagai bahan untuk memberantas KKN dalam BUMN/BUMD. Standar Pemeriksaan Keuangan Perusahaan Publik Kejadian yang menimpa beberapa perusahaan publik dan dunia akuntan di pasar modal Amerika Serikat, yang pada mulanya dipicu dengan indikasi misrepresentation dalam laporan keuangan, seperti yang terjadi pada kasus Erron Corporation, Xerox, WordCom dan Merc, perlu dicermati. Oleh karena, setelah kejadiankejadian tersebut telah munculkan berbagai pendapat yang mengarah pada perlunya ditinjau kembali standar pemeriksaan keuangan oleh akuntan. Walaupun selama ini di pasar modal Amerika Serikat dianggap telah mempunyai standar yang ketat, namun tuntutan lebih memperketat standar tersebut telah menjadi wacana. Memang. masalah standar itu telah lama dibicarakan dalam pasar modal di Amerika Serikat, dimana disebutkan bahwa Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal tidak bebas bekerja tanpa suatu standar. Menurut Marc I Steinberg, para akuntan tetap dituntut bekerja dengan sangat hati-hati untuk melihat informasi yang diberikan emiten pada waktu due diligence sesuai dengan yang telah dalam “penelitian yang cukup” (“reasonable investigation”) . Standar reasonable investigation didasarkan pada standar berakal sehat dan bijaksana dalam mengurus harta milik pribadi (prudent man in the management of his own property). Steinberg menyebutkan pula, bahwa standar prudent man tidak hanya didasarkan kepada investigasi yang wajar, tetapi juga kepada kepercayaan yang wajar. Di Indonesia, standar pemeriksaan keuangan perusahaan di pasar modal sebagai dasar penerapan pertanggungjawaban akuntan yang melakukan pemeriksaan keuangan perusahaan masih belum cukup. Sedangkan permasalahan berkenaan dengan standar akuntansi tersebut paling perlu untuk mendapat perhatian. Penekanan terhadap permasalahan standar akuntansi itu sesuai dengan adanya pertanyaan yang berkembang pada sekitar pemberlakuan standar akuntansi bagi perusahaan yang akan go public. 10 Barry A.K. Rider, “Global Trens in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,” Dickinson Journal of International Law, (Spring, 1995), hal. 120. 11 Ibid, hal. 514. 12 Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,” International Review Law and Economic,” (Vol. 16, 1996), hal.418. 13 John C. Coffee, Jr, “Market Failure and the Econjomic Case for A Mandatory Disclosure System,” Virginia Law Review, (Vol. 79, 1984), hal. 721. 14 Bandingkan. Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr, Securities Regulation Cases and Materials, (New York: The Foundation Press Inc, 1987), hal. 63. 3 Pernyataan Menyesatkan Pernyataan menyesatkan, sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan prinsip keterbukaan. Sebab pada umumnya pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan terdiri dari pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya misrepresentation. Dalam pandangan hukum pasar modal pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan tersebut dikategorikan sebagai penipuan (fraud). Pelanggaran prinsip keterbukaan, yaitu pernyataan menyesatkan dalam bentuk misrepresentation, dapat terjadi apabila ada pernyataan yang secara jelas tidak sesuai dengan fakta. Artinya, pernyataan tersebut tidak benar sesuai dengan fakta dan terdapat suatu gambaran yang salah atau gambaran yang diterima oleh investor tersebut menciptakan suatu kondisi yang berlainan dengan keadaan yang sebenarnya, seperti perbuatan-perbuatan yang memberikan gambaran yang salah terhadap kualitas emiten, manajemen, potensi ekonominya, saham-saham yang ditawarkan atau fakta materiel. Oleh sebab itulah misrepresentation adakalanya disebut juga dengan misstatement, yaitu suatu perbuatan yang membuat pernyataan yang salah, khususnya berkaitan dengan data internal yang dapat menyesatkan bagi investor. Selain itu, pernyataan menyesatkan juga dapat muncul karena adanya omission, yaitu perbuatan penghilangan informasi fakta materiel, baik dalam dokumen-dokumen maupun dalam perdagangan saham. Dengan demikian pelanggaran prinsip keterbukaan dalam bentuk “pernyataan menyesatkan” harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Usul-Usul Dalam Pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Dan Undang-Undang Pasar Modal Dalam pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Pasar Modal perlu pencantuman hak-hak Komisaris dan Direktur independent tersebut. Perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham minoritas (yang bukan Pemegang Saham Pengendali) diusulkan agar tercermin dengan adanya wakil-wakil mereka yang duduk sebagai Komisaris dan Direksi. Diusulkan pula agar Pemegang Saham Non Pengendali ini dapat mengadakan RUPS tersendiri untuk hal-hal tertentu dan keputusannya dapat mengikat seluruh pemegang saham. Tugas Komisaris Independen antara lain : a. Menelaah kebijakan-kebijakan akuntansi yang penting dan praktek yang dilakukan oleh perseroan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan. b. Melakukan pembahasan dengan pemeriksa independen sehubungan dengan permasalahan hasil audit. c. Melakukan pengawasan keuangan internal perseroan. d. Melakukan pembahasan atau penelaahan atas efektifitas pengendalian internal perseroan. e. Dalam hal tertentu dapat menetapkan ruang lingkup dan jangka waktu pekerjaan pemeriksa independen. f. Menelaah organisasi dan independensi pemeriksa internal. g. Menelaah tingkat kepatuhan perseroan terhadap pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga ada yang mengusulkan Tugas dan Wewenang Direksi Independen untuk hal-hal tertentu. Umpamanya, perbuatan-perbuatan di bawah ini hanya dapat dilakukan oleh Direksi dengan persetujuan tertulis dari Direktur Independen: 1. Melepaskan atau menjaminkan aktiva tetap (fixed asset) dan aktiva lancar (current asset) perseroan. 2. Mengambil bagian baik sebagian atau seluruhnya atau ikut serta dalam perseroan atau badan-badan lain atau menyelenggarakan perusahaan baru. 3. Melepaskan sebagian atau seluruhnya penyertaan perseroan dalam perseroan atau badan-badan lain. 4. Menerima atau memberikan pinjaman jangka pendek, menengah, panjang baik yang bersifat operasional maupun tidak operasional yang melebihi jumlah tertentu yang ditetapkan oleh anggaran dasar. 5. Mengadakan perjanjian atau kerjasama lisensi, manajemen atau perjanjian sejenisnya dengan badan usaha atau pihak lain. 6. Mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga yang membawa konsekuensi keuangan perseroan secara material pada Perseroan. 4 7. Mengikat perseroan sebagai penjamin (borg atau avalist) yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan. 8. Untuk tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang. 9. Penghapusan persediaan barang yang melebihi jumlah tertentu yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan. 10. Mengeluarkan jumlah uang melebihi suatu jumlah tertentu yang ditentukan dalam anggaran dasar. 11. Mengembangkan proyek baru yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan. 12. Melakukan pengeluaran-pengeluaran non-rutin dan Perseroan. 13. Mengangkat staf manajemen dua tingkat dibawah Direksi. 14. Menentukan gaji staf manajemen dua tingkat dibawah Direksi. 15. Menunjuk konsultan hukum, akuntan dan penilai independen. 16. Menentukan jumlah bonus bagi karyawan. Disampai pembaharuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut, perlu pula pembaharuan Undang-Undang Pasar Modal. Antara lain diusulkan agar, umpamanya, Bapepam dapat mewajibkan Emiten untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila Perusahaan Publik tersebut akan melakukan tindakan yang mengandung benturan kepentingan dengan kepentingan pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali. Pemegang saham independen adalah pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan sehubungan dengan suatu transaksi tertentu serta bukan merupakan Pihak Terafiliasi dari direktur, komisaris atau Pemegang Saham Utama. Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis atau kepentingan lainnya dari Perusahaan dengan kepentingan ekonomis atau kepentingan lainnya dari pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama perusahaan. Usul-usul pencantuman pasal-pasal baru dalam Undang-Undang Pasar Modal tersebut diatas, dapat mendorong terlaksananya pengelolaan perusahaan dengan baik (good corporate governance), dengan adanya partisipasi Komisaris dan Direksi yang mewakili Pemegang Saham minoritas bukan pengendali. Partisipasi tersebut dalam bentuk persetujuan mereka terlebih dulu manakala perusahaan bermaksud mengambil keputusan-keputusan yang penting, umpamanya, sebagaimana diuraikan diatas. Penutup Bagi pihak manajemen perusahaan, khususnya manajemen BUMN/BUMD muklak memahami prinsip keterbukaan, agar dapat memahami apa yang telah ditetapkan dalam strategi good corporate governance, khususnyanya berkaitan dengan KKN. Pemahaman tersebut sekaligus berguna untuk lebih mendalami persoalan bagaimana menciptakan perusahaan yang efisien. Hal ini sejalan dengan tujuan prinsip keterbukaan, yaitu untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien, melindungi investor, dan membantu menetapkan harga pasar yang akurat. Peraturan yang mewajibkan prinsip keterbukaan harus ditegakkan, sebab peraturan kewajiban prinsip keterbukaan secara substansial memberikan informasi yang lengkap dan akurat pada saat-saat yang ditentukan. Selain itu, yang lebih penting lagi, bahwa peraturan prinsip keterbukaan tersebut mengatur pengawasan, waktu, tempat, dan dengan cara bagaimana perusahaan melakukan keterbukaan. Hal ini relevan dengan apa yang dikatakan Sangita, SN dalam Anti Corruption Strategies, bahwa penanggulangan korupsi membutuhkan paling tidak tiga faktor penting. Pertama, adequacy, comprehensiviness and compatibility of anti-corruption strategies to attack the causes of corruption. Kedua, political will to implement the strategis. Ketiga, social pressure and control to eradicate corruption.15 ~~~ooo~~~ 15 Muladi, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kerugian Negara dalam Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan Undang-Undang Korupsi di Indonesia,” makalah disampaikan dalam SeminarSehari Reposisi Keuangan Negara: Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pemeriksaan BUMN Menuju Good Governance,” Jakarta, tanggal 20 Februari 2003, hal. 4. 5 DAFTAR PUSTAKA Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999. Barry A.K. Rider, “Global Trens in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,” Dickinson Journal of International Law, (Spring, 1995). Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000. John C. Coffee, Jr, “Market Failure and the Econjomic Case for A Mandatory Disclosure System,” Virginia Law Review, (Vol. 79, 1984). Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets (April 1998). Muladi, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kerugian Negara dalam Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan UndangUndang Korupsi di Indonesia,” makalah disampaikan dalam SeminarSehari Reposisi Keuangan Negara: Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pemeriksaan BUMN Menuju Good Governance,” Jakarta, tanggal 20 Februari 2003. Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,” International Review Law and Economic,” (Vol. 16, 1996). Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr, Securities Regulation Cases and Materials, (New York: The Foundation Press Inc, 1987). 6