F KEPRIHATINAN G KEPRIHATINAN Suatu Jalan Menuju Keadilan Sosial Oleh Nurcholish Madjid Tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat, kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita itu pada kehidupan bernegara kita. Ia merupakan sumber tujuan sebenarnya Republik yang merdeka ini, dan merupakan sumber semangat bagi mereka yang hendak berdarma kepada rakyat. Sebagai cita-cita resmi yang terkandung dalam konstitusi, maka yang pertama kali berkewajiban mengembangkannya ialah mereka yang memperoleh kepercayaan rakyat untuk mengemudikan kapal Republik, yaitu Pemerintah beserta semua unsurnya. Maka wajar dan patutlah bila kita berharap, karena Kepala Negara sering mengingatkan kita, rakyat Indonesia, akan nilai mulia itu. Umpamanya, dapat kita sebutkan bahwa Kepala Negara terakhir kali mengemukakan hal itu pada kesempatan memperingati Nuzulul Qur’an, dan juga pada pidato menyambut Hari Raya Lebaran. Value Judgement Penggunaan Kekayaan Setelah kita semua menyakini keadilan sosial sebagai nilai dan citacita, maka tinggallah memikirkan bagaimana melaksanakannya. Dan karena cita-cita itu tidak merupakan monopoli kita sendiri, bangsa Indonesia, melainkan akhir-akhir ini juga merupakan bahan pembahasan yang terhormat di kalangan bangsa-bangsa di D1E F NURCHOLISH MADJID G dunia, maka banyaklah sekarang buku dan karangan dibuat orang yang mencoba menjelaskan cara-cara mewujudkan keadilan sosial itu. Tetapi, George Bernarnd Shaw menasihatkan agar kita tidak membaca sebaris pun buku-buku dan karangan-karangan itu, sebelum kita mendiskusikan dengan kawan-kawan terdekat kita sendiri. Kemudian mengambil kesimpulan sebaik mungkin tentang bagaimana seharusnya kekayaan nasional dibagi di antara seluruh rakyat di dalam suatu negara beradab dan terhormat. Hal demikian itu terjadi, karena setiap pikiran tentang pelaksanaan cita-cita itu tidak lebih daripada pikiran. Dan pikiranpikiran orang-orang lain belum tentu lebih baik daripada pikiranpikiran kita sendiri, dan begitu pula sebaliknya. Berapakah kita harus memperoleh bagian dari harta kekayaan yang ada ini, dan berapa pula yang harus diperoleh oleh tetangga kita? Bagaimana jawaban Anda sendiri? Karena menjawab pertanyaan tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, maka kita harus terlebih dahulu membersihkan benak kita dari gambaran yang tertanam sejak masa kanak-kanak, bahwa lembaga-lembaga di mana kita hidup sekarang ini, termasuk cara-cara yang sah dalam membagikan pendapat dan mengizinkan seseorang memiliki harta, adalah sesuatu yang memang sudah semestinya terjadi secara alamiah sebagaimana halnya udara di sekeliling kita. Hal itu tidaklah demikian, karena pola-pola yang melembaga itu kita dapati di mana-mana — kemudian kita anggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya bahwa hal-hal itu memang telah ada dan harus ada untuk selama-lamanya — timbul dengan sendirinya. Hal ini merupakan suatu kekeliruan yang berbahaya. Lembagalembaga itu sepenuhnya dapat diubah. Dan memang, mereka berada dalam proses perubahan terus-menerus sepanjang masa. Banyak sekali dari pola-pola itu yang akan tidak diikuti atau ditaati oleh “orang-orang baik” sekalipun, jika tidak ada polisi yang dapat segera dihubungi, dan ancaman hukuman penjara yang selalu terbayang. D2E F KEPRIHATINAN G Salah satu hal yang dapat kita pikirkan perubahannya ialah polapola dan value judgement tentang bagaimana kita menggunakan kekayaan kita. Yah, sekalipun, dan justru, kekayaan itu adalah milik sah kita sendiri, kemudian sebagai contoh sederhana kita memiliki kekayaan sebesar seribu rupiah (di sini harus dianggap bahwa mempunyai seribu rupiah sudah termasuk kaya), maka menurut rasa keadilan sosial, kekayaan sebesar itu dapatkah kita pergunakan untuk belanja kita sendiri dan keluarga kita, seluruhnya atau kurang dari seribu rupiah? Atau bagaimana jika suatu cara lain dapat diperoleh? Di atas telah disebutkan tentang value judgement. Memang, suatu pola penggunaan harta menyangkut tata nilai seseorang. Hal itu tidak selalu berhubungan dengan persoalan benar-salah, tetapi terutama menyangkut rasa tata hormat dan tidak terhormat, bahagia dan tidak bahagia. Umpamanya, jika kita berpandangan bahwa kehormatan dan kebahagiaan terletak pada kekayaan yang tampak dan dapat dilihat orang lain (lebih-lebih jika mampu menerbitkan rasa iri hati pada mereka), maka sudah tentu pola penggunaan harta yang kita anut ialah pola penggunaan harta yang maksimal. Bahkan mungkin kita akan berusaha menunjukkan kekayaan lebih dari kemampuan kita sendiri, sehingga pengeluaran mejadi lebih besar daripada pemasukan, sekalipun menurut ukuran masyarakat, sebetulnya kita termasuk kaya dan mampu. Pola penggunanan harta yang amat konsumtif itu, oleh para ahli, disebut (dalam istilah asing) demonstration effect. Mereka mensinyalir bahwa hal itu merupakan halangan terbesar dalam usaha mewujudkan masyarakat “adil dan mamkmur”. Dan memang, kita tidak sulit untuk mengetahui ketidakbenaran pola itu, sebab tidak sesuai dengan “hati nurani” kita sendiri. Sayangnya, dalam masyarakat terdapat kecenderungan yang mendorong semakin kuatnya pola demonstration effect itu, khususnya bagi mereka yang untuk pertama kalinya menikmati apa artinya merdeka yang berupa keleluasaan dan fasilitas-fasilitas. Dan juga anak muda memahami sinyalemen D3E F NURCHOLISH MADJID G para ahli itu, karena demonstration effect akan mendorong seseorang untuk memperkaya diri sendiri dengan merugikan orang lain. Tetapi, tidaklah berarti bahwa hal sebaliknya sama sekali adalah baik. Sebab kepelitan, dalam bentuknya yang ekstrem, tidak kurang berbahayanya bagi cita-cita masyarakat adil dan makmur. Jika kita pelit pada diri sendiri, tentunya kita akan lebih pelit lagi kepada orang-orang lain khususnya kepada pihak yang paling memerlukan perhatian dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, yaitu kaum tak mampu. Dan usaha-usaha di bidang sosial, jika semua orang kaya menganut pola ini, akan tidak berjalan, seperti panti-panti asuhan, rumah-rumah perawatan orang sakit, wisma penyantunan orangorang cacat, dan lain-lain. Dengan demikian, kekayaan yang ada di tangan orang-orang penganut demonstration effect akan kehilangan fungsi sosialnya, karena habis untuk menuruti nafsu pamernya sendiri. Begitu pula, harta itu pun akan kehilangan fungsi sosialnya di tangan orang-orang pelit, karena harta itu disimpannya rapat-rapat untuk memuaskan nafsu menghitung-hitung harta dan menumpuknumpuknya, seakan-akan ia akan hidup kekal dengan hartanya itu. Pola Tengah Penggunaan Kekayaan Jika demikian, bentuk pertengahan harus ditumbuhkan. Meski agak bersifat klise, tetapi hal ini sungguh akan kita katakan. Harus kita ingat bahwa arti semula kata adil (Arab: ‘adl) itu sendiri ialah sesuatu yang sedang, seimbang, atau wajar. Begitu pula, arti kata just (bahasa Inggris) ialah wajar, dan dengan demikian, arti justice (keadilan) ialah kewajaran. Pola tengah pengguanaan kekayaan ini harus sedemikian, sehingga kekayaan memenuhi kewajaran: suatu keadaan yang dapat diterima oleh semua orang dengan penuh kerelaan dan kelegaan. Pola tersebut ialah pola prihatin. Dalam kepribadian dan keprihatinan terdapat unsur dan semangat solidaritas sosial: suatu sikap yang selalu memperhitungkan dan memperhatikan D4E F KEPRIHATINAN G keadaan dan kepentingan orang banyak; tidak egois atau berpusat pada diri sendiri. Dengan keprihatinan, harta kita sendiri kita gunakan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar, tak lebih dan tak kurang, menyisihkan sebagian untuk mendorong produktivitas masyarakat (umpamanya, dengan sistem tabungan), dan mengeluarkan sebagian lagi untuk kepentingan langsung sosial. Dengan menekan penampakan mencolok kekayaan, satu lagi hal didapat: mengurangi sumber ketegangan-ketegangan sosial yang amat berbahaya. Tentang pola prihatin ekonomi ini, agama memberi petunjuk: Sebetulnya ada petunjuk keagamaan untuk pola ekonomi yang tertera dalam surat al-Furqān/25: 67, ialah: “Dan mereka (orangorang beriman), jika menggunakan harta mereka, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan, berada di antara keduanya.” Wajarlah bila kita, bangsa Indonesia, menempuh cara hidup prihatin dan disertai solidaritas sosial sebagai salah satu jalan menuju Keadilan Sosial. Beberapa negara telah menempuh jalan itu. [] D5E