Keanekaragaman Dan Dispersal Amphibia Pada

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkebunan dan Biodiversitas
2.1.1 Perkebunan dan Konservasi Biodiversitas
Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi dunia akan menyebabkan perluasan
lahan perkebunan yang sebagian besar terjadi pada negara-negara berkembang di
daerah tropis. Hal ini di khawatirkan akan menyebabkan hilangnya biodiversitas,
sementara penelitian mengenai dampak budidaya pertanian terhadap biodiversitas
belum banyak diketahui (Wanger 2009). Saat ini Indonesia merupakan negara
penting dalam pengekspor hasil perkebunan utama di dunia seperti kelapa sawit
(kedua di dunia) (Wakker 2006), karet (ke-2) (Gouyon 2003) kakao (ke-2), kopi
(ke-3) (Alimi, 2011) dan teh (ke-6) (Van der Wal 2006). Hal ini nampaknya
sejalan dengan hilangnya hutan 0.3% per tahunnya (Wanger 2009).
Di antara komoditas perkebunan lainnya, kelapa sawit dicurigai merupakan
ancaman utama bagi banyak spesies yang menjadi objek konservasi. Perkebunan
kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang tinggi, tanah yang relatif datar dan
ketinggian di bawah 200 mdpl. Kondisi ini persis sama dengan hutan hujan tropis
dataran rendah dipterocarp. Konsekuensinya, perkebunan kelapa sawit memiliki
peranan yang penting dalam pembersihan lahan hutan dan diasosiasikan dengan
masalah lingkungan (Maddox et al. 2007).
Survei pada keseluruhan bentang alam di sekitar tanaman sawit menyatakan
bahwa terdapat 38 spesies mammalia berukuran sedang dan besar. Dimana 25
spesies di antaranya dilindungi undang-undang dan 18 di antaranya termasuk
dalam daftar merah (red list) IUCN, termasuk harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae, IUCN: Kritis atau Critically Endangered). 90% dari jumlah spesies
tersebut juga ditemukan pada daerah yang sangat terdegradasi, yaitu areal di
dalam konsesesi perkebunan yang tidak ditanami (Maddox et al. 2007).
Perkebunan sawit bukan habitat yang sesuai bagi sebagian besar spesies yang
hidup di hutan dan matriks yang dibentuknya bisa berfungsi sebagai penghalang
bagi pergerakan mamalia (Maddox et al. 2007; Struebig et al. 2008), sedangkan
pada fragmen hutan yang disekitarnya memiliki kekayaan jenis yang rendah pada
6
taksa serangga (Bruhl et al. 2003; Benedick et al. 2006). Pergerakan satwa pada
potongan suatu habitat bukan hanya berdasarkan pada kemauan satwa itu sendiri
namun juga bergantung pada tipe lanskap yang sesuai untuk bergerak
(Tischendorf & Fahrig 2000).
Satu batang pohon sawit membutuhkan 10-12 liter air per hari untuk
menopang hidupnya yang berakar serabut. Kebutuhan air dalam jumlah besar
tersebut dipastikan membuat sungai-sungai yang ada di sekitar perkebunan kelapa
sawit mengalami penurunan jumlah debit air, bahkan sebagian sungai tersebut
mengalami kekeringan (Gindo 2009). Tata guna lahan yang berbatasan dengan
lahan basah akan mempengaruhi pola hidrologi dan fluktuasi tinggi muka badan
air yang dihasilkan akan mempengaruhi kekayaan jenis amphibia (Richter &
Azous 1997). Meski banyak perdebatan yang menentang perluasannya, peran
yang semakin penting dari kelapa sawit, baik dalam ekonomi Indonesia maupun
dunia, telah memastikan bahwa kelapa sawit akan menjadi bagian yang signifikan
dari bentang alam di masa depan (Maddox et al. 2007).
2.1.2. Perkebunan dengan Pola Pengelolaan Berkelanjutan.
Pengelolaan perkebunan yang lebih baik dengan menyeimbangkan performa
ekonomi tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial dan dan lingkungan,
merupakan model yang ingin dicapai oleh perkebunan yang berkelanjutan.
Banyaknya perkebunan kelapa sawit yang tidak dikelola secara berkelanjutan
menjadi perhatian yang serius bagi berbagai kalangan. Pengembangan perkebunan
baru yang dihasilkan dari konversi areal hutan bernilai konservasi penting dalam
skala besar telah mengancam kekayaan biodiversitas di dalam sistem tersebut.
Penggunaan api dalam pembersihan lahan telah berkontribusi sebagai penyebab
kebakaran hutan pada akhir 1990-an.
Ekspansi dari perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan konflik sosial
antara komunitas lokal dengan pengelola perkebunan. Dari berbagai jenis tanaman
perkebunan di Indonesia, baru kelapa sawit dan karet yang serius digarap dengan
pola pengelolaan berkelanjutan. Perkembangan ini telah mendorong perkebunan
sawit untuk dapat terus memenuhi permintaan pasar dengan perkebunan sawit
yang berkelanjutan. Untuk mewadahi permasalahan ini didirikan Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO) (RSPO 2004). RSPO telah mengadopsi High
7
Conservation Value sebagian dari prinsip dan kriteria yang ditetapkan oleh RSPO
untuk memenuhi standar sertifikasi yang akan diterbitkan (Colchester 2009).
Sementara perkebunan karet menggunakan sistem ekolabel dalam pengelolaannya
(Gouyon 2003)
Setiap hutan memiliki nilai sosial dan lingkungan. Nilai-nilai ini mungkin juga
menyangkut keberadaan spesies langka, situs rekreasi atau sumberdaya yang
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal, dimana nilai tersebut dipertimbangkan
memiliki kepentingan yang signifikan atau kritis. Demikian juga halnya dengan
hutan yang bisa didefinisikan sebagai hutan bernilai konservasi penting (HCVF)
(Jennings et al. 2003). Nilai konservasi mungkin bervariasi secara spasial pada
lanskap terfragmen dan heterogen. Namun ekosistem alam atau yang mendekati
alami seperti lahan basah, hutan dan sistem sungai lebih mampu mewujudkan
makna konservasi bila dibandingkan dengan wilayah yang secara intensif di
eksploitasi seperti lahan pertanian, daerah urban dan jaringan jalan (Zanini 2006).
Nilai konservasi dari suatu lanskap digambarkan melalui kapasitasnya dalam
mempertahankan kekayaan alam sepanjang waktu. Untuk itu dibutuhkan konsep
evaluasi general untuk menentukan tujuan konservasi dan kriteria yang dapat
memenuhi persyaratannya (Geneletti 2002). Kriteria evaluasi baru seperti
konektivitas dan potongan attribute dalam beberapa dekade terakhir telah
dihubungkan dengan ekologi lanskap karena perannya dalam melihat hubungan
antara pola spasial (komposisi dan konfigurasi lanskap) dan proses-proses ekologi
yang menjadi basis dalam kemampuan spesies untuk terus bertahan (Forman &
Godron 1986).
Suatu kawasan dapat dikategorikan bernilai konservasi penting bila memiliki
atribut atau salah satunya yang dijabarkan oleh Jennings et al. (2003) sebagai
berikut:
1. Wilayah tersebut mengandung konsentrasi nilai-nilai biodiversitas dalam
skala global, regional atau nasional (seperti: endemik, spesies langka dll).
2. Hutan atau area yang memiliki lanskap hutan yang besarannya signifikan,
memiliki
unit
manajemen,
kebanyakan
populasinya
viable
atau
keberadaaan spesies yang eksis terjadi secara alamiah serta memiliki pola
distribusi dan kelimpahan alami.
8
3. Hutan/areal yang memiliki ekosistem yang langka atau terancam.
4. Hutan/areal yang menyediakan jasa dasar alamiah bagi situasi-situasi kritis
(perlindungan cadangan air, pengontrol erosi dll).
5. Hutan/areal yang secara fundamental berguna untuk memenuhi kebutuhan
dasar bagi komunitas lokal (subsisten, kesehatan dll).
6. Hutan/areal yang memiliki nilai kritis bagi komunitas lokal
sebagai
identitas budaya (Areal budaya, ekologi, ekonomi atau religius penting
bagi komunitas lokal).
2.1.3. Amphibia Dalam Kawasan Perkebunan
Perubahan iklim global, pertanian intensif dan deforestasi menyebabkan
terjadinya perubahan pada habitat amphibia. Amphibia seperti satwa lainnya juga
memiliki keterikatan dengan beberapa faktor-faktor dalam habitatnya, baik berupa
faktor fisik, biologi lingkungan maupun dengan interaksi manusia dalam
lingkungannya. Perubahan dari faktor-faktor ini turut menyebabkan terjadinya
pergeseran dengan kesesuaian habitat dan amphibia sangat sensitif dalam
merespon perubahan dalam habitatnya (Weyrauch & Grubb 2003).
Amphibia diketahui merupakan salah satu kelas yang mendapatkan pengaruh
buruk atas kerusakan dan fragmentasi habitat serta polusi bahan kimia, hal yang
umum ditemukan di perkebunan. Amphibia sangat sensitif terhadap tekanan
lingkungan dikarenakan kulitnya yang permeabel dan siklus hidup dalam dua fase
(akuatik dan terestrial). Faktor yang dapat mempengaruhi populasi amphibia skala
lokal melibatkan faktor kerusakan habitat, bahan kimia pertanian dan polusi bahan
kimia lainnya (Blaustein & Kiesecker 2002). Meskipun demikian habitat yang
terfragmen dianggap lebih baik dari pada hanya satu potongan habitat saja, karena
area yang lebih besar seharusnya memiliki mikrohabitat yang lebih banyak dan
seiring bertambahnya luasan maka probabilitas kehadiran suatu spesies pada
mikrohabitat tersebut juga turut meningkat (Mann et al. 1999).
Dispersal memfasilitasi konektivitas antara subpopulasi dan ini akan
membantu spesies untuk melawan efek negatif dari demografi dan osilasi
lingkungan (Begon et al. 2006). Disamping jarak antar potongan habitat dan
konfigurasinya,
konektivitas
antara
subpopulasi
amphibia
atau
habitat
musimannya bergantung pada resistensinya terhadap pengaruh lanskap sekitarnya
9
(Tischendorf & Fahrig 2000). Resistensi lanskap itu sendiri merupakan derajat
pada kapasitas dan keinginan untuk dispersal satwa pada lanskap yang
merintanginya. Intensifikasi pertanian dan urbanisasi menyebabkan penurunan
konektivitas antar potongan dari populasi amphibia melalui degradasi dan
hilangnya habitat dan intensifnya pengaruh matriks sekitar (Loman & Lardner
2009).
Farikhin (2010) melakukan pengamatan efek daerah tepi bagi amphibia.
Hanya Fejervarya cancrivora yang hidup terspesialisasi pada daerah kebun dan
10 spesies lainnya hidup generalist dari total 19 jenis amphibia yang ditemukan di
dalam areal penelitiannya yang meliputi hutan pantai, hutan dataran rendah dan
kebun. Namun hanya tiga spesies yang mampu mengakses daerah peralihan
dengan hutan dataran rendah yaitu Occidozyga sumatrana, Polypedates
leucomystax dan Fejervarya limnocharis.
Penemuan ini berbeda dengan teori efek tepi yang menyatakan bahwa jumlah
jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di daerah peralihan
daripada di komunitas yang mengapitnya. Hal ini dikarenakan luasan daerah
peralihan lebih sempit dibandingkan dengan daerah yang mengapitnya sehingga
habitat tersebut hanya dapat menampung jenis yang lebih sedikit dibandingkan
dengan daerah yang mengapitnya. Amphibia di lahan perkebunan cenderung
hidup berkelompok dan bergantung pada preferensinya pada
tipe
habitat
(Kolozsvary & Swihart 1999).
Mulianty (2010) melakukan penelitian mengenai mikrohabitat dari amphibia
di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Selama penelitian tercatat 548
individu meliputi 23 spesies (hutan: 350 individu; perkebunan: 98 individu).
Kebun sawit yang berumur
satu tahun merupakan habitat dengan kondisi
lingkungan relatif ekstrim (tidak terbentuk kanopi, tidak terdapat vegetasi lain
yang tumbuh) dan memiliki tingkat keanekeragaman spesies terendah, baik
jumlah spesies maupun jumlah individu.
Wanger et al. (2009) melakukan penelitian mengenai pengukuran nilai
konservasi dari agrofrestri kakao di Sulawesi dan menemukan 6 spesies amphibia
dengan jumlah total 90 individu (lima diantaranya spesialis hutan). Perkebunan
kakao menyebabkan penurunan dan cenderung merupakan gangguan bagi spesies
10
spesialis hutan. Dalam penelitian ini lingkungan merupakan penentu utama bagi
kehadiran spesies. Untuk itu, agar nilai konservasi dari perkebunan kakao dapat di
perkaya ada beberapa variabel yang harus dikelola yaitu ketebalan serasah,
bebatuan dan batang kayu yang telah mati; suhu udara; dan rasio antara tutupan
serasah dan semak. Faktor ini dianggap sebagai varibel yang dibutuhkan untum
membangun mikrohabitat bagi amphibia dalam kawasan kakao.
2.2 . Fragmentasi Habitat
2.2.1 Teori Biogeografi Pulau
Teori biogeografi pulau (TBP) telah menyediakan model konsep dasar untuk
memahami habitat yang terfragmentasi. Studi empiris dari lanskap yang
terfragmen seringkali menunjukkan kekayaan spesies dipengaruhi dengan kuat
oleh area yang terfragmen dan terisolasi (MacArthur 1972). Teori ini
memprediksi bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada suatu pulau akan
mencapai ekuilibrium yang berhubungan positif dengan ukuran pulau (pulau yang
lebih besar akan memiliki lebih banyak spesies) dan berhubungan negatif dengan
jarak dari daratan utama (jumlah spesies yang lebih sedikit ditemukan pada pulau
yang jaraknya lebih jauh dari daratan utama dan sumber koloni baru) (Turner et
al. 2001).
Kekayaan spesies pada suatu masa ditentukan oleh dua proses dinamik yaitu
imigrasi propagul dan kepunahan populasi. Laju imigrasi dari spesies baru akan
berkurang pada suatu pulau yang memiliki peningkatan jumlah spesies yang
sudah mantap dan mencapai jumlah total spesies pada daratan utama sebagai
sumber individu, sedangkan laju kepunahan akan meningkat bila jumlah spesies
telah mencapai batas (semakin banyak spesies yang ada akan menyebabkan
semakin tinggi resiko kepunahan karena berhubungan dengan demografi atau
faktor kejadian ekologi) ( Burel & Baudry 2003)
Relevansi dari TBP dalam memahami ekosistem yang terfragmen juga
terbatas pada beberapa hal: Pertama, TBP hanya menyediakan sedikit prediksi
mengenai bagaimana komposisi komunitas pada daerah yang terfragmen berubah
sepanjang waktu. Kedua, efek tepi bisa menjadi faktor pengarah penting dalam
kepunahan spesies lokal dan perubahan ekosistem, namun hal ini tidak di
11
pertimbangkan dalam TPB. Ketiga, hal yang juga diabaikan oleh TPB adalah
matriks dari vegetasi yang termodifikasi di sekitar wilayah terfragmen bisa sangat
mempengaruhi dalam konektivitas fragmen. Hal ini akan mempengaruhi
demografi, genetik dan daya bertahan hidup spesies lokal terhadap kepunahan.
Keempat, kebanyakan lanskap yang terfragmentasi juga dipengaruhi oleh
perubahan yang dilakukan faktor antropogenik seperti perburuan, penebangan liar,
kebakaran dan polusi yang berinteraksi secara sinergis dengan habitat
terfragmentasi. Dan yang terakhir, fragmentasi berdampak yang beragam pada
propertis ekosistem seperti dinamika dinamika gap-kanopi, cadangan karbon dan
struktur komunitas tropik yang tidak dipertimbangkan dalam TBP (Laurence
2008).
2.2.2. Dampak Fragmentasi Terhadap Biodiversitas
Fragmentasi habitat, fragmentasi hutan dan hilangnya habitat adalah tiga hal
yang berbeda. Perbedaan antara hutan dan habitat sangat bergantung pada focal
spesies: Pada spesies yang menggunakan hutan sebagai habitat, maka hutan dan
habitat dapat dianggap sebagai sinonim; Pada fragmentasi habitat, secara definisi
baru dapat dikelompokan sebagai habitat yang terfragmentasi bila memenuhi tiga
komponen yaitu: hilangnya habitat asli, reduksi ukuran potongan dan peningkatan
isolasi habitat potongan; dan digolongkan sebagai hilangnya habitat bila
memenuhi dua kategori yang terakhir saja (Fahrig 1999).
Fragmentasi habitat melibatkan dua proses yang jelas berbeda namun saling
berhubungan yaitu jumlah total habitat yang asli berkurang dan habitat yang
tersisa terpotong-potong dengan ukuran yang bervariasi dan lambat laun terisolasi
(Fahrig 2003). Ukuran dari potongan merupakan karakteristik penting dari suatu
lanskap. Potongan yang lebih besar akan mampu menyokong jumlah spesies yang
lebih tinggi dari pada potongan yang lebih kecil. Blok yang terfragmentasi lebih
kecil akan lebih menurunkan densitas populasi dan menyebabkan ancaman
kepunahan meningkat (McGarigal & Marks 1994). Perbedaan ukuran gap juga
akan menghasilkan komposisi spesies yang berbeda (Moody & Woodcock 1995).
Pertanyaan yang paling penting yang sering diajukan dalam dunia konservasi
adalah seberapa besar habitat yang dibutuhkan agar satwa persisten sepanjang
waktu. Jawaban dari pertanyaan ini bergantung pada demografi potensial dari
12
organisme tersebut dan laju keberlangsungan hidup dari suatu organisme ketika
melintasi matriks atau wilarah yang bukan habitatnya. Semakin besar demografi
potensialnya dan matriks habitat yang lebih bersahabat, maka akan semakin
sedikit luasan habitat yang dibutuhkan oleh organisme untuk dapat bertahan hidup
(Bascompte & Sole 1996).
2.3. Dampak Fragmentasi Habitat Bagi Amphibia
2.3.1 Amphibia pada Wilayah Terfragment.
Amphibia secara dramatis telah mengalami penurunan populasi di banyak
tempat di seluruh dunia. Penurunan ini semakin memburuk dalam 25 tahun
terakhir dan amphibia saat ini memiliki tingkat keterancaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan satwa lainnya seperti mamalia atau burung. Perbandingan
lebih lanjut dengan taksa lainnya terkendala akan kurangnya data (Trevor et al.
2005).
Bender et al. (1998) menyatakan bahwa kepadatan populasi memiliki
hubungan yang positif dengan ukuran potongan hutan untuk spesies interior dan
berhubungan negatif dengan spesies yang memanfaatkan daerah tepi: Pada spesies
generalist yang bisa menggunakan daerah tepi dan bagian interior potongan
habitat. Penurunan pada ukuran populasi yang berasosiasi dengan rusaknya
habitat dihitung sebagai kehilangan habitat saja; Pada spesies interior, penurunan
ukuran populasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh habitat fragmentasi
dibandingkan dengan yang murni hanya disebabkan oleh hilangnya habitat; dan
pada spesies tepi, penurunan populasi tidak akan terlalu berpengaruh bila hanya
disebabkan oleh hilangnya habitat saja.
Amphibia memiliki kerentanan terhadap fragmentasi habitat dikarenakan
adanya dinamika spasial dalam populasinya. Sub populasi dari banyak spesies
filopatrik dengan areal potongan-potongan yang basah dan daerah hutan (Wind
1999). Habitat fragmentasi menyebabkan pengurangan ukuran potongan, input
dari genetika dari aktifitas imigrasi, meningkatkan isolasi, resiko demografi serta
mengurangi kesempatan rekolonisasai setelah terjadi kepunahan dalan skala lokal
(Cushman 2006). Keterisolasian habitat dapat menyebabkan perbedaan komposisi
yang signifikan pada amphibia. Komposisi amphibia dipengaruhi oleh habitatnya,
13
dan habitat amphibia bervariasi berdasarkan tingkatan keterisolasiannya (Wattling
& Donnely 2008). Respon amphibia terhadap fragmentasi habitat dapat berbeda
pada lokasi yang berbeda, hal ini dikarenakan adanya variasi frekuensi gangguan
pada habitat dan keanekaragaman habitat yang terbatas (Silva et al. 2003).
2.3.2 Dispersal Amphibia dan Elemen Lanskap
Konektivitas merupakan kata kunci paling utama bagi fungsi koridor. Untuk
itu, untuk membangun konektivitas yang baik sebuah koridor harus memenuhi
kriteria-kriteria kebutuhan pokok dari spesies objek (Beier & Noss 1998).
Burbrink et al. (1998) melakukan penelitian mengenai zona riparia potensial
sebagai koridor bagi amphibia dan reptil. Hasil penelitian tersebut menemukan
hanya 37% spesies dari jumlah total spesies yang ditemui di area inti, dapat
ditemukan pada koridor riparian, dan lebar dari riparian tidak berpangaruh kepada
kekayaan jenis spesies yang lebih besar.
Jarak dengan area inti serta heterogenitas habitat menunjukan penjelasan
terbaik mengenai kekayaan spesies. Tidak adanya habitat yang sesuai
menyebabkan terhalangnya spesies lain untuk dapat berdispersal pada koridor
riparian. Faktor yang menyebabkan keterbatasan banyak spesies pada koridor
dikarenakan kurangnya akses dari hutan ke koridor yang telah diubah menjadi
kawasan pertanian. Untuk merancang koridor yang baik, setidaknya untuk spesies
riparian, heterogenitas habitat harus dikelola untuk dapat memenuhi kebutuhan
spesies target. Perbedaan jenis matriks yang mengisolasi potongan hutan juga
dapat mempengaruhi struktur komposisi amphibia pada potongan hutan yang
terfragmen. Perbedaan ini menyebabkan adalanya ragam dalam laju pergerakan
pada amphibia (Lehtinen & Rahmanmanjato 2006).
Download