Bab V Penutup A. Kesimpulan Perbedaan paham

advertisement
Bab V
Penutup
A. Kesimpulan
Perbedaan paham antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah merupakan
persoalan dalam konflik Sampang. Mayoritas masyarakat Sampang yang sejak dulu
telah menganut Sunni, sangat menolak perbedaan ajaran dari kelompok Syi’ah yang
mulai hadir di Dusun Nangkernang sejak tahun 2003. Perbedaan ajaran tersebut
menjadi prasangka, sehingga proses komunikasi yang terbangun antara kelompok
Syi’ah dan anti Syi’ah memburuk atau terjadi penolakan antarkelompok.
Selain itu, pada konflik Sampang juga terjadi ketimpangan kekuasaan, akibat
adanya perbedaan sikap atau cara pandang. Kelompok anti Syi’ah sebagai pihak
mayoritas, tidak menerima dengan paham baru yang disebarkan oleh kelompok
Syi’ah. Kelompok anti Syi’ah sangat menekan agar kelompok Syi’ah kembali
mengikuti ajaran Sunni. Namun pemaksaan sikap tersebut berulang kali mendapat
pertentangan dari kelompok Syi’ah. Oleh karena itu akumulasi prasangka, dan
ketimpangan sikap inilah kemudian yang berakibat terhadap perilaku komunikasi
divergen untuk menolak dan menyerang kelompok lawan. Puncak buruknya perilaku
komunikasi divergen ditandai terjadinya serangan fisik terhadap kelompok Syi’ah,
yang sekaligus menjadi klimaks dalam konflik Sampang.
Adapun mengenai faktor-faktor penyebab gagalnya komunikasi dalam konflik
Sampang menghasilkan catatan penting yang perlu disimpulkan. Pertama, gagalnya
komunikasi antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah sampai menjadi konflik,
disebabkan prasangka yang kuat terhadap kelompok lain yang berbeda aliran agama.
Prasangka ini timbul karena pemahaman yang kaku antara hubungan Syi’ah dan anti
Syi’ah, atas dasar membandingkan dengan kelompoknya sendiri-sendiri (in group).
Prasangka yang terbangun antara kedua kelompok, sehingga dapat menimbulkan
138
perasaan terancam terhadap keberadaan kelompok lain (out group) yang berbeda
ajaran dengan kelompolnya.
Secara umum bentuk prasangka dalam konflik Sampang ada dua, yaitu adanya
penolakan terhadap ajaran agama yang berbeda, dan saling menyalahkan ibadah yang
diyakini kelompok lain yang tidak sesuai dengan kelompoknya. Salah satu bentuk
prasangka yang tampak dalam komunikasi sehari-hari, yaitu cara pandang pengikut
Syi’ah yang selalu menyalahkan ajaran kelompok anti Syi’ah, dan begitu sebaliknya
kelompok anti Syi’ah menilai Syi’ah sebagai ajaran yang sesat. Intinya prasangka
telah membuat mereka menilai ajaran kelompok lain salah, karena berbeda dengan
ajaran atau paham yang diyakininya.
Masyarakat anti Syi’ah menolak keberadaan kelompok Syi’ah, karena adanya
perbedaan ajaran dalam hal syahadat, Rukun Iman, Rukun Islam, menggugat keaslian
Al Quran yang sekarang diyakini banyak orang dan tidak mengakui Khalifah selain
Ali bin Abi Thalib. Semua perbedaan ajaran yang diyakini kelompok Syi’ah, menjadi
persoalan bagi kelompok Syi’ah karena dikhawatirkan mengganggu keyakinan
masyarakat Sampang yang sejak awal menganut ajaran Sunni. Tentu saja ajaran
kelompok Syi’ah bertolak belakang dengan masyarakat Omben yang mayoritas
Sunni, sehingga hampir keseluruhan menolak ajaran baru yang dibawa oleh Tajul
Muluk. Adanya ajaran baru dilingkungan Desa Karang Gayam, pada kenyataannya
menimbulkan keresahan bagi muslim di Sampang. Masyarakat yang mayoritas anti
Syi’ah menilai, bahwa Tajul Muluk telah mengajak pada masyarakat untuk sesat. Hal
ini karena secara keyakinan (aqidah) terhadap Islam, apabila rukun Islam dan rukun
Iman yang ada tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist, dengan demikian itu berarti
keluar dari ajaran Islam. Oleh karena itu kelompok anti Syi’ah berpandangan agar
selalu mempertahankan ajaran Sunni bagi masyarakat Sampang, dengan cara
menolak Syi’ah disebarkan diwilayah Sampang. Padahal selama ini penyesatan
terhadap ajaran Syi’ah dengan mengatasnamakan Islam terjadi, karena selalu
membandingkan dengan kebenaran yang diyakini kelompoknya sendiri.
139
Perbedaan ajaran semacam ini juga terbangun atas prasangka kuat kelompok
Syi’ah untuk menyalahkan ajaran Sunni yang dianut kelompok anti Syi’ah. Pada
kenyataannya meskipun sebagai minoritas, kelompok Syi’ah tetap membangun
prasangka dengan menganggap ajarannya sebagai yang paling benar. Pandangan
bahwa Syi’ah merupakan ajaran yang paling benar sendiri sering diungkapkan oleh
Tajul Muluk, sehingga memicu perselisihan ditingkatan tokoh agama berserta
pengikutnya. Salah satu pandangan Tajul Muluk, yaitu meyakini hanya pengikut
Syi’ah yang dapat langsung membawa ke surga, karena doa yang dikirimkan
langsung ke Ahlul Bait yang berarti ke Nabi Muhammad, dan dari situ langsung
disampaikan ke Allah. Berbeda dengan kelompok anti Syi’ah yang tidak meyakini
dua belas imam sebagaimana dalam ajaran Syi’ah, sehingga setiap doanya tidak
memiliki perantara dan sulit diterima sampai ke Allah. Pandangan Tajul Muluk yang
merendahkan Sunni sebagai aliran yang tidak benar berulangkali sering diutarakan.
Bahkan pandangan buruk terhadap kelompok anti Syi’ah tidak hanya ditataran
pimpinan atau elit kelompok saja, namun pengikut Syi’ah sering menyalahkan ajaran
Sunni dihadapan pengikut anti Syi’ah.
Oleh sebab itu tidak bisa dipungkiri, munculnya prasangka yang saling
menyalahkan keyakinan antarkelompok telah membuka ruang konflik. Berbagai
prasangka yang menyangkut subtansi kepercayaan antara dua kelompok tersebut,
merupakan faktor penghambat dalam membangun komunikasi yang efektif.
Prasangka terhadap ajaran kelompok lawan, membuat masing-masing pengikutnya
saling memandang buruk dan menyalahkan keyakinan kelompok lawan. Cara
pandang yang kaku dalam menilai ajaran kelompok lain telah mengabaikan prinsip
masyarakat majemuk yang menghargai perbedaan dan saling terbuka dialektika
hubungan yang toleran. Forum pertemuan untuk memediasi kedua kelompok masih
saja menjadi ajang untuk membandingkan ajaran kelompoknya yang terbaik
dibandingkan kelompok aliran agama lain. Pihak Syi’ah sebagai kelompok minoritas
sekalipun, menampilkan cara pandang yang menyerang atau menyalahkan tentang
140
ajaran pengikut Sunni. Hal ini tampak dalam beberapa pengajian internalnya, bahwa
pengikut Syi’ah dilarang belajar mengaji kepada tokoh Sunni karena dianggap
ajarannya telah banyak diubah oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Begitupun
sebaliknya, kelompok anti Syi’ah kemudian berulang kali menekankan perbedaan
rukun Iman, rukun Islam dan Syhadat mencerminkan bahwa Syi’ah sebagai ajaran
yang menyesatkan bagi masyarakat Sampang.
Selain itu, prasangka juga terjadi dalam bentuk menyalahkan perbedaan
ibadah antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah. Prasangka ini menilai
bahwa setiap kegiatan ibadah yang dilakukan kelompok lawan adalah menyimpang.
Kelompok anti Syi’ah tidak sepaham dan menolak perbedaan konsep ibadah yang
diamalkan antara kelompok Syi’ah. Begitupun kelompok Syi’ah seringkali
menyalahkan konsep ibadah dari kelompok anti Syi’ah. Adapun perbedaan ibadah
yang semakin membuat kedua kelompok saling berselisih yaitu saling menyalahkan
konsep acara perayaan Maulid Nabi, perbedaan lantunan adzan, pengabaian sholat
tarawih bagi pengikut Syi’ah, dan perbedaan jumlah ibadah sholat wajib.
Diakui oleh masyarakat Nangkernang, bahwa salah satu penyebab terjadinya
konflik Sampang yaitu adanya cara pandang yang kaku terhadap perayaan Maulid
Nabi yang berbeda antara kelompok Syi’ah dan masyarakat anti Syi’ah. Suami Nyai
Hanifah yakni Roisul Hukuma, tidak sepakat dengan inisiatif Ustad Tajul Muluk
yang menyuruh masyarakat berhenti merayakan Maulid Nabi di setiap rumah. Bagi
pemimpin Syi’ah ini, perayaan demikian dianggap terlalu boros dan menjadi
persoalan bagi masyarakat yang tidak mampu. Dengan alasan tersebut, sehingga pada
tahun 2005 Tajul Muluk menyampaikan kepada masyarakat khususnya yang Syi’ah
agar merayakan Maulid Nabi bersama-sama di Masjid.
Sebenarnya dalam proses komunikasi, agar pesan dapat tersampaikan dan
mendapatkan respon yang baik, salah satunya harus mempertimbangkan konteks
lingkungan komunikasi. Termasuk dalam kasus ini Tajul Muluk mengenyampingkan
suatu kebiasaan masyarakat Madura yang sangat mengapresiasi ritual perayaan
141
Maulid Nabi di masing-masing rumahnya. Padahal bagi sebagian besar masyarakat
Sampang, kebiasaan merayakan Maulid Nabi di masing-masing rumah memiliki arti
penting, terutama sebagai wujud ketulusannya terhadap Rasul Muhammad.
Kebiasaan perayaan Maulid Nabi yang telah lama dilaksanakan masyarakat, sekaligus
sebagai kesempatan untuk mengumpulkan seluruh keluarga besar agar dapat
bersilaturahmi bersama-sama.
Oleh karena itu, konteks sosial budaya menjadi elemen penting untuk
membangun komunikasi dengan pengikut anti Syi’ah di Sampang. Himbauan yang
disampaikan Tajul Muluk ke masyarakat Nangkernang, bahkan berbalik menjadi
penolakan terhadap kegiatan kelompok Syi’ah yang memusatkan perayaan Maulid
Nabi di masjid Banyuarrum. Masyarakat kembali berprasangka bahwa himbauan
Tajul Muluk tersebut sebagai doktrin agar masyarakat Sunni tidak lagi fanatic
memuliakan Nabi Muhammad. Terlebih himbauan ini disampaikan oleh seorang
pimpinanan Syi’ah, yang mana telah terjadi prasangka dalam memandang ajarannya
yang telah dianggap buruk bagi masyarakat Sampang.
Berikutnya, perbedaan ibadah lainnya yang menimbulkan prasangka untuk
menyalahkan adalah mengenai lantunan adzan pengikut Syi’ah sangat menjunjung
seorang wali yakni Ali bin Abi Thalib. Adapun perbedaan adzan yang dipersoalkan
kelompok anti Syi’ah sebagai berikut; “Asyhadu An-laa Ilaaha Illallaah, wa Asyhadu
Anna Muhammadar Rasulullah, wa asyhadu anna Aliyyan Waliyullah wa asyhadu
anna Aliyyan Hujjatullaah.‖ Kelompok Syi’ah menyertakan nama Ali dalam
menyerukan kalimat adzan. Kalimat ini sekaligus sebagai bentuk pengakuan bahwa
hanyalah Ali satu-satunya khalifah pasca Nabi meninggal. Tentu kemudian
menyinggung kelompok anti Syi’ah yang mengakui ada tiga khalifah selain Ali.
Lantunan adzan ini semakin menguatkan cara pandang negative kelompok anti Syi’ah
kepada kelompok Syi’ah. Terlebih selama ini masyarakat Sampang dapat
digolongkan dalam penganut Islam tradisional, sehingga adanya lantunan adzan yang
142
berbeda dari biasanya dianggap sangat kontroversial dalam ibadah sehari-hari. Maka
dari itu, kelompok anti Syi’ah sangat menentang kerasa perbedaan adzan tersebut.
Selain perayaan Maulid Nabi dan adzan, penolakan kembali terjadi dalam
Ibadah sholat yang dilakukan kelompok Syi’ah. Selama ini kelompok Syi’ah
memiliki perbedaan tata cara dan waktu sholat dengan masyarakat Sampang.
Perbedaan praktik dan waktu sholat pernah disampaikan Muna’i, bahwa waktu sholat
pengikut Syi’ah biasanya hanya tiga kali, sehingga berbeda dengan masyarakat
Sampang yang lima waktu sholat dalam sehari semalam. Sholat kelompok Syi’ah
biasanya
menggabungkan
waktu
sholat
dhuhur
dengan
ashar,
kemudian
menggabungkan ibadah sholat maghrib dengan isya’, dan sholat subuh memiliki
waktu yang sendiri. Bahkan akibat perbedaan sholat, terjadi perselisihan, yang mana
Muna’i pernah saling gugat menyalahkan dengan salah satu pengikut Syi’ah yang
bernama Busa’i. Busa’i menganggap ajaran sholat yang disampaikan oleh Tajul
Muluk adalah yang benar, dan menyalahkan ibadah sholat yang dilakukan oleh
masyarakat Sampang yang menganut Sunni.
Segala bentuk prasangka negatif yang terbangun antara kelompok Syi’ah
dengan anti Syi’ah membuat komunikasi yang terbangun menjadi buruk. Perbedaan
ajaran menjadi hal yang mendasar dan sulit untuk ditawar bagi kelompok Syi’ah dan
terlebih anti Syi’ah. kedua kelompok ini mencerminkan Islam yang tradisional,
sehingga sangat fanatik dan tidak bisa terbuka menerima perbedaan dengan kelompok
aliran Islam lainnya. Meskipun Syi’ah sebagai ajaran baru yang diterima sebagian
masyarakat Kecamatan Omben, namun tidak menjamin kelompok tersebut bisa
menerima perbedaaan dari ajaran lama yang telah dianut. Kelompok Syi’ah
menganggap ajaran baru dapat menjamin ibadah yang lebih baik dihadapan Allah,
karena hanya doktrin yang dibangun oleh Tajul Muluk. Oleh karena itu, kedua
pengikut yang berbeda sebenarnya tergolong masih belum rasional dan hanya
mengikuti arahan dari pemimpin atau tokoh agamanya semata.
143
Berikutnya yang kedua, faktor penghambat komunikasi antara kelompok
Syi’ah dan anti Syi’ah, disebabkan oleh ketimpangan kekuasaan terhadap sikap
kelompok Syi’ah sebagai minoritas. Pihak anti Syi’ah sebagai kelompok mayoritas
menolak sikap dari kelompok minoritas Syia’ah. Kelompok Syi’ah seringkali
terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari oleh dominasi masyarakat yang anti
Syi’ah. Pandangan ini terbentuk karena Syi’ah dinilai sebagai ajaran baru dan
berbeda dengan cara pandang masyarakat Sampang yang telah menganut ajaran Islam
Sunni. Kondisi yang paling ironis mengenai sikap, yakni pengikut Syi’ah dipaksa
untuk kembali menganut ajaran Sunni. Ketika keinginan tidak dituruti maka
kelompok mayoritas memberikan konsekuensi yang tidak humanis kepada kelompok
Syi’ah. Salah satunya yang terjadi yaitu, pengusiran kelompok Syi’ah keluar dari
desa tempat tinggalnya. Berbagai bentuk tekanan sikap semacam ini menciptakan
komunikasi yang tidak setara, dan pada akhirnya kelompok mayoritas anti Syi’ah
tidak mengakui perbedaan dari kelompok Syi’ah. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi,
bahwa ketimpangan antar sikap ini menjadi penghalang hubungan antara kelompok
anti Syi’ah dan kelompok Syi’ah.
Apalagi banyak keburukan dalam bentuk dominasi yang dilakukan pihak anti
Syi’ah terhadap kelompok Syi’ah. Salah satu diantaranya tekanan masyarakat agar
pengikut Syi’ah meninggalkan ajarannya dan kembali kepada ajaran Sunni. Tekanan
ini untuk memaksa kelompok Syi’ah kembali ajaran Sunni terjadi berulang kali.
Pemaksaan agar kembali ke Sunni paling tampak dialami oleh pimpinan Syi’ah yakni
Tajul Muluk. Pasca bentrokan antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah pada perayaan
Maulid Nabi tahun 2006, tokoh-tokoh Kyai di Sampang mengundang Tajul Muluk
untuk membahas persoalan Syi’ah. Dalam forum tersebut para Kyai lokal di Sampang
secara terbuka menekan Tajul Muluk agar menghentikan penyebaran ajaran Syi’ah ke
masyarakat. Tentu saja keinginan para Kyai tersebut ditolak oleh Tajul Muluk.
Sehingga ketegangan-ketegangan antara kedua kelompok masih sering terjadi.
144
Bahkan pemaksaan agar kembali ke ajaran Sunni berulang kali terjadi, dan juga
menimpa seluruh pengikut Syi’ah di Sampang.
Permasalahan yang muncul di lapangan adalah kurangnya toleransi akibat
timbulnya kecurigaan dan minimnya pengetahuan di tataran masyarakat Sampang.
Apalagi keputusan tokoh-tokoh Kyai dan Pemerintah yang menjadi patron bagi
masyarakat sangat mempengaruhi masyarakat. Kondisi ini semakin buruk lagi, ketika
Majelis Ulama Indonesia Cabang Sampang mengeluarkan fatwa tentang Syi’ah
sebagai ajaran sesat. Fatwa MUI Sampang ini tertuang dalam surat keputusan
bernomor A-035/MUI/spg/2012. Keputusan ini berdampak besar karena seperti
melegalkan tindakan masyarakat agar mengusir kelompok Syi’ah keluar dari
Sampang. ketidakhumanisan sikap ini semakin menyingkirkan kelompok Syi’ah dari
lingkungan sosialnya. Kelompok Syi’ah sebagai pihak sub ordinat, yang terus
tertekan karena ajarannya yang berbeda dengan masyarakat yang mayoritas anti
terhadap Syi’ah.
Apalagi tekanan semacam ini tidak hanya terbentuk dalam konteks perbedaan
pemahaman, namun juga terjadi ketimpangan hubungan sosial dalam kehidupan
sehari-hari antarkelompok Syi’ah dengan pihak anti Syi’ah. Apalagi relasi kuasa ini
semakin timpang, ketika dimanfaakan oleh Pemerintah untuk berpihak kepada
kelompok mayoritas. Tekanan yang kuat untuk menyingkirkan ajaran Syi’ah ini
kemudian membuat pengikutya melakukan perlawanan, meskipun ditengah hegemoni
kelompok anti Syi’ah. Akibatnya pertarungan sikap antara kelompok minoritas dan
kelompok mayoritas yang penguasa, semakin memperlebar jurang konflik Sampang.
Ketiga, terjadinya konflik Sampang juga disebabkan oleh perilaku komunikasi
divergen antara kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah. dari serangkaian aspek prasangka
dan ketimpangan sikap yang sangat memburuk, akhirnya juga berimbas pada perilaku
komunikasi yang bersifat perang. Penggunaan bahasa verbal dan nonverbal
disampaikan untuk menjauhkan hubungan antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti
Syi’ah. Hal ini karena komunikasi divergen antara kelompok Syi’ah dan kelompok
145
anti Syi’ah menonjolkan berbagai perbedaan identitas dalam perilaku komunikasi
verbal dan nonverbal. Kedua kelompok tersebut kaku terhadap perbedaan identitas,
maka mereka akan menolak dan menonjolkan simbol-simbol identitas sebagai upaya
eksistensi yang mengarah pada perilaku negatif kepada kelompok yang berbeda.
Pada konteks komunikasi verbal, masing-masing kelompok Syi’ah dan anti
Syi’ah menggunakan komunikasi untuk saling menyindir dan merendahkan
antarkelompok. Sedangkan kondisi hubungan terburuk antara kelompok Syi’ah dan
anti Syi’ah terjadi dalam konteks komunikasi nonverbal. Puncak dalam konflik
Sampang, ditandai dengan terjadinya penyerangan fisik terhadap kelompok Syi’ah.
Penyerangan fisik dalam konflik Sampang merupakan akumulasi intensitas
memandang buruk kelompok lain antara pengikut Syi’ah dan pengikut anti Syi’ah
dalam kehidupan sehari-hari. Serangan fisik tersebut bertujuan untuk menghilangkan
eksistensi atau keberadaan kelompok Syi’ah dari struktur sosial masyarakat Sampang.
Dalam konflik Sampang penyerangan fisik pihak anti Syi’ah terhadap kelompok
Syi’ah sampai terjadi sebanyak tiga kali, yaitu perayaan Maulid Nabi pada tahun
2006, 29 Desember 2011, dan yang terakhir hingga ada korban nyawa terjadi pada 29
Agustus 2012. Serangan fisik tersebut menjadi puncak prasangka kelompok anti
Syi’ah, yang mana menjadi cermin buruknya hubungan antara kedua kelompok dalam
menerima perbedaan ajaran agama.
Terlebih sampai saat ini konflik Sampang masih bergejolak. Sembilan bulan
pasca dari serangan fisik tahun 2012, kelompok Syi’ah kembali dipaksa untuk keluar
dari wilayah Kabupaten Sampang. Lebih tepatnya pada tanggal 19 Juni 2013,
rombongan kelompok anti Syi’ah yang dipimpin oleh Kyai Karrar dan Kyai Bukhori
Maksum mendatangi tempat pengungsian di GOR Sampang. Pimpinan kelompok anti
Syi’ah ini mendesak agar kelompok Syi’ah keluar dari wilayah Madura, dan bersedia
pindah ke tempat pengungsian baru di rumah susun Agro Puspa Sidoarjo. Terjadi
negosiasi yang alot antara kelompok Syi’ah dengan kelompok anti Syi’ah, sehingga
membuat pemimpin Syi’ah yaitu Ustad Iklil pingsan. Usaha untuk tetap bertahan bagi
146
kelompok Syi’ah gagal. Akhrinya pada hari itu juga kelompok Syi’ah harus
dipindahkan keluar dari tanah kelahirannya, dengan penjagaan ketat dari aparat Polres
Sampang.
Dalam konteks kejadian ini mencerminkan intoleransi beragama masih
menjadi persoalan. Pengikut Syi’ah harus meninggalkan segala hak baik itu mengenai
tempat tinggal, pendidikan, dan lahan pertanian. Begitupun berikutnya, tidak ada
yang menjamin kelompok Syi’ah benar-benar diterima di lingkungan barunya. Maka
dari itu, konflik Sampang bukan tidak mungkin akan menjalar apabila tetap tidak ada
mediasi yang konsisten terhadap kelompok Syi’ah dan anti Syi’ah di Sampang.
Oleh karena itu, berbagai kejadian buruk yang mencakup prasangka,
ketimpangan sikap, dan perilaku komunikasi divergen merupakan faktor yang
menyebabkan konflik Sampang. Ketiga faktor penghambat inilah yang kemudian
menimbulkan ketidaksepahaman, penolakan sikap, saling merendahkan, menghina
dan kekerasan fisik antarakelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah. Akibatnya
konflik ini yang berujung pada kerugian materi, korban nyawa, dan menorehkan cela
dalam kehidupan beragama di Indonesia. Tentu saja konflik semacam ini bukan
cermin masyarakat Madura, yang seharusnya sangat memegang teguh tali
persaudaraan kepada siapapun sesuai dengan berpedoman pada nilai-nilai.
B. Saran
Dalam menangani konflik antar kelompok aliran agama di Sampang,
dibutuhkan strategi resolusi konflik yang partisipatif. Kedua kelompok baik Syi’ah
dan anti Syi’ah harus diperlakukan sebagai aktor yang berpartisipasi menyelesaikan
konflik tersebut. Hal ini sangat penting, sehingga kedua kelompok bisa saling
memahami perbedaan satu sama lain, dan dapat mengurangi prasangka.
Berikutnya, juga dibutuhkan pihak ketiga yang bertugas mendampingi dan
mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas masing-masing pengikut Syi’ah
sehingga memahami pentingnya kebersamaan, dan kesetaraan di dalam perbedaan
dalam beragama dan bermasyarakat. Tentunya semua penyelesaian konflik Sampang,
147
tetap memperhatikan adat lokal dalam masyarakat Sampang, sehingga segala langkah
penanganan konflik bisa saling diterima oleh kedua kelompok.
Pendekatan melalui komunikasi juga dapat menjadi terapi sosial terhadap
anggota kelompok Syi’ah maupun anggota kelompok anti Syi’ah. Selama ini figur
Kyai dapat menjadi sumber rujukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat Madura.
Oleh karena itu untuk membangun ruang dialog yang saling menghargai antara dua
kelompok, maka dibutuhkan Kyai berkharisma dan berani mengajak kelompok yang
berkonflik untuk saling menghargai perbedaan paham. Langkah semacam ini dapat
dilakukan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nadhalatul Ulama (NU), yang mana
organisasi ini dinilai memiliki integritas dan mampu memperjuangkan nilai-nilai
pluralisme khususnya diinternal umat Islam sendiri. Apalagi mayoritas masyarakat
Sampang tergolong basis dari organisasi NU. Dengan demikian ruang dialog dapat
lebih mudah dilakukan, khususnya melalui Kyai-Kyai ternama dari NU yang turut
andil membangun mediasi dalam konflik agama di Sampang.
148
Download