BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Modal Salah satu kebijakan yang dibuat manajer keuangan dalam kaitannya dengan keberlangsungan perusahaan (going concern) adalah kebijakan struktur modal. Kebijakan tersebut antara lain kebijakan yang berkaitan dengan komposisi hutang, saham preferen, dan saham biasa yang merupakan sumber pendanaan bagi perusahaan untuk menjalankan operasinya (Susetyo, 2006). Struktur modal merupakan faktor fundamental keberhasilan suatu perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang penting didalam menjalankan aktivitas operasinya, mempertahankan, dan mengembangkan perusahaan. Menurut Riyanto (2001), struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dengan modal sendiri. Modal asing yang dimaksudkan adalah hutang baik jangka panjang maupun jangka pendek, sedangkan modal sendiri bisa terdiri dari laba ditahan (retained earning)dan bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan. Kebijakan struktur modal perusahaan antara lain menyangkut dengan keputusan tentang bentuk dan komposisi pendanaan yang akan dipergunakan oleh perusahaan. Kebijakan tersebut merupakan perimbangan tentang jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa. Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut Frank dan Goyalm (2007) ada 3 sumber pendanaan bagi perusahaan yaitu laba ditahan, hutang, dan ekuitas. Dari ketiga sumber tersebut yang lebih aman didalam pemilihan sumber pendanaan adalah laba ditahan. Hal ini terkait karena sumber pendanaan yang berasal dari laba ditahan mempunyai risiko yang kecil dibandingkan sumber pendanaan yang berasal dari hutang dan ekuitas. Tetapi jika dibandingkan antara tingkat hutang dan ekuitas, maka dari sudut pandang investor, bahwa ekuitas mempunyai tingkat risiko yang lebih besar dibandingkan dengan hutang walaupun kedua sumber pendanaan tersebut mempunyai tingkat risiko yang besar bagi perusahaan. Oleh karena itu, investor lebih mengharapkan suatu pengembalian yang besar dari ekuitas dibandingkan dengan hutang. Sedangkan dari sudut pandang perusahaan, laba ditahan merupakan sumber pendanaan yang lebih baik dibandingkan dengan pembiayaan yang berasal dari luar. Jika laba ditahan tidak cukup, maka hutang yang akan digunakan untuk membiayai. Sedangkan ekuitas merupakan jalan terakhir didalam membiayai pendanaan perusahaan. Ghosh, dkk (2000), mendefinisikan struktur modal sebagai perbandingan antara hutang perusahaan (total debt) dan total aktiva (total asset). Perbandingan ini dilihat dengan bagaimana distribusi aktiva perusahaan terhadap total kewajiban perusaahaan. Disamping itu, Sartono (1999) juga menjelaskan bahwa suatu perusahaan didalam menentukan struktur pendanaan terlebih dahulu menganalisa sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhinya dan kemudian menetapkan struktur modal yang ditargetkan. Target ini selalu berubah sesuai dengan perubahan kondisi, Universitas Sumatera Utara tetapi pada setiap manajemen perusahaan terdapat bayangan dari struktur modal yang ditargetkan tersebut. Jika tingkat hutang yang sesungguhnya berada dibawah target, mungkin perlu dilakukan ekspansi dengan melakukan pinjaman, sementara jika rasio hutang sudah melampaui target, barangkali saham perlu dijual. Kebijakan pendanaan atau struktur modal dikatakan optimal apabila terjadi keseimbangan antara risiko dan pengembalian sehingga dapat memaksimalkan harga saham (Brigham dan Houston, 2001)). Jika risiko lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengembalian maka struktur modal dikatakan kurang optimal dan sebaliknya. Pada prinsipnya struktur modal dapat diperoleh dalam dua sumber (Brigham dan Houston, 2001), yaitu: 1. Sumber internal perusahaan Dana yang berasal dari sumber internal perusahaan adalah dana yang dihasilkan sendiri didalam perusahaan, yaitu: a. Laba ditahan Yaitu dana yang berasal dari laba yang dihasilkan dari aktivitas operasi perusahaan periode sebelumnya yang tidak dibagikan kepada pemegang saham. b. Pinjaman dari pemilik perusahaan (owner’s) Yaitu hutang yang diberikan kepada pemilik perusahaan. Peristiwa ini jarang terjadi karena pemilik perusahaan lebih memilih membeli saham yang diterbitkan oleh perusahaan. 2. Sumber eksternal perusahaan Dana yang berasal dari sumber eksternal perusahaan adalah dana yang dihasilkan yang berasal dari luar perusahaan, yaitu: a. Hutang kepada kreditor Yaitu pinjaman yang diberikan berupa hutang kepada perusahaan yang memiliki jatuh tempo. b. Penerbitan surat berharga Yaitu penerbitan surat berharga yang menunjukkan kepemilikan seseorang didalam suatu perusahaan. Dengan demikian, kebijakan struktur modal merupakan kebijakan perusahaan yang bertujuan untuk menentukan sumber pembiayaan kegiatan operasi perusahaan Universitas Sumatera Utara baik itu dengan menggunakan dana yang berasal dari dalam perusahaan maupun dana yang berasal dari luar perusahaan. Disamping itu, hal tersebut merupakan tugas dari manajer keuangan didalam menentukan kebijakan pendanaan yang optimal bagi perusahaan. Banyak model yang digunakan untuk menjelaskan mengenai perilaku pendanaan perusahaan. Teori yang menjelaskan hal tersebut antara lain adalah teori pecking order (Myers, 1984), dan teori trade-off (Modigliani dan Miller, 1963). 2.1.1 Pecking Order Theory Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961, akan tetapi penamaan Pecking Order Theory dilakukan oleh Stewart C. Myers tahun 1984 dalam Journal of Finance volume 39 dengan judul The Capital Structure Puzzle. Teori ini menyatakan bahwa ada semacam tata urutan (pecking order) bagi perusahaan dalam menggunakan modal. Teori tersebut juga menjelaskan bahwa perusahaan lebih mengutamakan pendanaan ekuitas internal (menggunakan laba yang ditahan) daripada pendanaan ekuitas eksternal (menerbitkan saham baru). Berikut beberapa implikasi dari Myers (1984), terhadap perilaku pendanaan perusahaan didalam pecking order theory: 1. Perusahaan lebih menyukai sumber pendanaan internal (Laba Ditahan). Hal ini disebabkan penggunaan laba ditahan lebih murah dan tidak perlu mengungkapkan sejumlah informasi perusahaan (yang harus diungkapkan dalam prospektus saat menerbitkan obligasi dan saham baru); 2. Perusahaan menyesuaikan target rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio/DPR) kepada peluang investasi, meskipun dividen kaku (sticky) dan target rasio pembayaran hanya menyesuaikan secara bertahap terhadap pergeseran peluang investasi yang menguntungkan; 3. Kebijakan dividen yang kaku, ditambah dengan fluktuasi tingkat keuntungan dan peluang investasi yang tidak dapat diprediksi, menunjukkan bahwa arus kas yang dihasilkan secara internal dapat lebih atau kurang dari pengeluaran Universitas Sumatera Utara investasi. Jika arus kas internal kurang, perusahaan pertama kali mengurangi jumlah kas atau portofolio sekuritasnya; 4. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Perusahaan memulai dari hutang, kemudian hybrid securities seperti convertible bonds, kemudian ekuitas sebagai alternatif terakhir. Penerbitan saham baru menduduki urutan terakhir sebab penerbitan saham baru merupakan tanda atau sinyal bagi pemegang saham dan calon investor tentang kondisi perusahaan saat sekarang dan prospek mendatang yang tidak baik. Myers (1984), didalam pecking order theory menyatakan bahwa permasalahan utama keputusan struktur modal perusahaan adalah informasi yang tidak simetris (asymmetric information) diantara manajer dan investor mengenai kondisi internal perusahaan, serta argumentasi bahwa manajer berpihak kepada pemegang saham lama. Kedua permasalahan tersebut menyebabkan perusahaan memiliki hierarki pendanaan yang dimulai dari arus kas internal, hutang, kemudian saham. Shyam-Sunder dan Myers (1999), menguji teori ini dengan menganalisis hubungan antara defisit pendanaan internal dengan perubahan tingkat hutang perusahaan dan menemukan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan satusatu, yang menunjukkan bahwa defisit pendanaan internal akan selalu dibiayai melalui hutang, dan saham bukan merupakan alternatif pendanaan eksternal yang akan dipilih perusahaan. 2.1.2 Trade Off Theory Teori ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963 oleh Modigliani dan Miller dalam sebuah artikel American Economic Review 53 (1963, June) yang berjudul Corporate Income Taxes on the Cost of Capital: A Correction. Artikel ini Universitas Sumatera Utara merupakan perbaikan model awal mereka yang sebelumnya memperhitungkan adanya pajak perseroan (akan tetapi tetap mengabaikan pajak perorangan). Selanjutnya model tersebut dikenal dengan sebutan model MM-2 atau model MM dengan pajak perseroan (Brigham, and Ehrhardt, 2005:588-592). Dalam teori ini menjelaskan ide bahwa berapa banyak hutang perusahaan dan berapa banyak ekuitas perusahaan sehingga terjadinya keseimbangan antara biaya dan keuntungan. Teori ini menyatakan bahwa suatu perusahaan memiliki tingkat hutang yang optimal dan berusaha untuk menyesuaikan tingkat hutang aktualnya ke arah titik optimal, ketika perusahaan tersebut berada pada tingkat hutang yang terlalu tinggi (overlevered) atau terlalu rendah (underlevered). Pada kondisi yang stabil, perusahaan akan menyesuaikan tingkat hutangnya kepada tingkat rata-rata hutangnya dalam jangka panjang. Dari model MM-2, dapat dipetik dua hal utama yang berbeda dengan model MM-1 sebelumnya adalah (Brigham, and Ehrhardt, 2005:588-592): 1. Dalam model pertama, struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam kenyataan, struktur modal mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan: bertambahnya penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Dengan kata lain, pajak memberi manfaat dalam pendanaan yang berasal dari hutang, sebesar: Manfaat pajak dari penggunaan hutang diperoleh dari beban biaya bunga hutang yang dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya yang mengurangi besaran laba kena pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya. Jadi, perusahaan (seperti) menerima subsidi dari pemerintah atas penggunaan hutang untuk menambah modal. 2. Dengan adanya pajak perseroan, diperoleh dua manfaat penggunaan hutang yakni: hutang merupakan sumber modal yang lebih murah daripada ekuitas, dan biaya bunga menjadi elemen pengurang pajak. Dari model MM-1, diketahui bahwa penghematan dari penggunaan hutang yang lebih murah sepenuhnya digantikan oleh peningkatan biaya penggunaan ekuitas. Meskipun demikian, dalam situasi dengan adanya pajak perseroan, keuntungan yang Universitas Sumatera Utara diperoleh perusahaan dari penggunaan hutang lebih besar daripada peningkatan biaya ekuitas. Ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebanyak banyaknya. Suatu hal yang terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan kebangkrutan. Biaya tersebut terdiri dari 2 (dua) hal (Brigham dan Houstan, 2001:610) , yaitu : a. Biaya Langsung Yaitu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, atau biaya lainnya yang sejenis. b. Biaya Tidak Langsung Yaitu, biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal. Misalnya Suplier tidak akan mau memasok barang karena mengkwatirkan kemungkinan tidak akan membayar. Biaya lain dari peningkatan hutang adalah meningkatnya biaya keagenan antara pemegang hutang dengan pemegang saham akan meningkat, karena potensi kerugian yang dialami oleh pemegang hutang akan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan bisa dilakukan dalam bentuk biaya biaya monitoring dan bisa dalam bentuk kenaikan tingkat bunga. Setiap perusahaan memiliki tingkat hutang yang berbeda-beda, tergantung pada jenis industrinya. Perusahaan perangkat lunak (software) memiliki target leverage yang berbeda dengan perusahaan manufaktur karena karakteristik aset kedua perusahaan ini berbeda. Perusahaan perangkat lunak memiliki proporsi aset tak berwujud yang lebih besar dibandingkan perusahaan manufaktur dalam bentuk lisensi atau paten, sehingga penilaian asetnya menjadi lebih sulit. Karena itu, umumnya perusahaan manufaktur memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi daripada perusahaan perangkat lunak. Pendapat ini juga mendukung teori pecking order. Pada Universitas Sumatera Utara kasus lain, banyak perusahaan yang dibatasi oleh regulasi pemerintah dalam menentukan tingkat hutangnya. Perusahaan yang bergerak di bidang perbankan dibatasi oleh regulasi dalam menentukan tingkat hutangnya melalui penentuan CAR (capital adequacy ratio) oleh bank sentral. Di sisi lain, tingkat hutang yang terlalu tinggi menyebabkan perusahaan memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Permasalahan lain yang dapat timbul adalah perilaku substitusi aset berisiko lebih rendah kepada aset-aset berisiko tinggi. Perilaku ini timbul karena kerugian atas aset-aset berisiko tersebut berdampak lebih besar terhadap debtholders, bukan pemegang saham. Underinvestment juga merupakan perilaku yang mungkin timbul, dimana manajer akan melepaskan peluang-peluang investasi menguntungkan yang dimilikinya karena keuntungan dari investasi tersebut dinikmati lebih besar oleh debtholders, sehingga mengakibatkan pengalihan kesejahteraan dari pemegang saham kepada debtholders. Ketiga masalah ini menyebabkan biaya pendanaan yang lebih tinggi ketika perusahaan memiliki tingkat hutang yang terlalu besar. Tingkat hutang yang optimal adalah ketika keuntungan dari hutang sebanding dengan biaya yang ditimbulkannya. 2.2 Pertumbuhan Perusahaan Salah satu faktor yang menentukan struktur modal perusahaan adalah pertumbuhan perusahaan (Pandey, 2001). Hal ini dilihat bahwa perusahaan yang tumbuh membutuhkan dana didalam menjalankan aktivitas operasinya. Pertumbuhan Universitas Sumatera Utara perusahaan ini mencakup pertumbuhan penjualan, laba, dan aktiva. Pertumbuhan perusahaan ini dilihat dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan suatu perusahaan maka semakin baik juga perusahaan tersebut. Salah satu pengukuran pertumbuhan perusahaan adalah penjualan. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan penjualan perusahaan dari satu periode ke periode berikutnya. Adanya peningkatan penjualan maka akan terjadi juga peningkatan atas laba yang diperoleh. Pertumbuhan menurut Beaver, Ketter, dan Scholes (1970) didefinisikan sebagai perubahan tahunan dari total aktiva. Perubahan tersebut dilihat melalui peningkatan aktiva perusahaan dari setiap periodenya. Peningkatan aktiva tersebut menyebabkan perusahaan membutuhkan dana yang besar. Karena kebutuhan dana semakin besar maka perusahaan cenderung menahan sebagian besar pendapatannya. Semakin besar pendapatan yang ditahan menyebabkan semakin kecil dividen yang dibagikan kepada pemegang saham. Disamping itu, Kallapur dan Trombley (2001) menjelaskan bahwa pertumbuhan perusahaan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan ukuran perusahaan melalui peningkatan aktiva. Tingkat pertumbuhan yang semakin cepat mengindikasikan bahwa perusahaan sedang mengadakan ekspansi. Kegagalan yang disebabkan oleh ekspansi akan meningkatkan beban perusahaan karena perusahaan harus menutup pengembalian beban ekspansi. Hal ini menyebabkan pembagian dividen kepada pemegang saham menurun. Kondisi tersebut dapat menyebabkan investor tidak berminat lagi untuk menanamkan modalnya pada perusahaan sehingga cenderung akan menjual saham yang dimilikinya. Universitas Sumatera Utara Brigham dan Houston (2001), mendefinisikan pertumbuhan sebagai perubahan aset tahunan dari total aktiva. Hal ini dapat dibuktikan melalui perusahaan yang tumbuh dapat dilihat dari peningkatan aktiva untuk memperbesar ukuran perusahaan. Konsep ini didasarkan pada dua argumentasi Pertama, pertumbuhan aktiva berbeda dengan pertumbuhan penjualan yang setiap usaha yang dilakukan secara langsung membawa implikasi pada penerimaan. Pertumbuhan aktiva mencerminkan waktu yang lebih panjang dari pertumbuhan penjualan. Kedua, investasi pada aktiva membutuhkan waktu sebelum dioperasikan, sehingga aktifitas yang dilakukan tidak terkait dengan penerimaan (Kaaro, 2002). Disamping itu perusahaan yang tumbuh cenderung memiliki leverage dan kebijakan dividen yang lebih rendah dibandingkan perusahaan tidak tumbuh (Gaver dan Gaver, 1993). Karena perusahaan yang tumbuh memerlukan banyak dana untuk meningkatkan pertumbuhannya dibandingkan membayar dividen. Sedangkan menurut Porter (1980) dalam Fijrijanti dan Hartono (2001) menyatakan bahwa perusahaan yang tumbuh memiliki pertumbuhan laba dan penjualan yang tinggi. Penelitian yang dilakukan Jogiyanto, dkk (2002), menunjukkan bahwa pertumbuhan aset perusahaan merupakan suatu harapan yang diinginkan oleh pihak internal perusahaan yaitu manajemen maupun eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor. Pertumbuhan ini diharapkan dapat memberikan aspek yang positif bagi perusahaan seperti adanya suatu kesempatan berinvestasi di perusahaan tersebut. Prospek perusahaan yang tumbuh bagi investor merupakan suatu prospek yang menguntungkan, karena investasi yang ditanamkan diharapkan akan memberikan Universitas Sumatera Utara return yang tinggi. Sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Vogt (1997), menunjukkan bahwa perusahaan yang bertumbuh akan direspon positif oleh pasar. Disamping itu pada penelitian Porter (1980) dalam Fijrijanti dan Hartono (2001), merumuskan bahwa perusahaan yang tumbuh merupakan perusahaan yang memiliki pertumbuhan margin, laba dan penjualan yang tinggi. Kallapur dan Trombely (1999), juga menyatakan bahwa pertumbuhan laba pada perusahaan yang tumbuh lebih besar dibandingkan pada perusahaan tidak tumbuh, karena kesempatan investasi pada periode berikutnya semakin besar. Smith dan Watts (1992), menyatakan bahwa potensi pertumbuhan suatu perusahaan akan mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh perusahaan (seperti kebijakan pendanaan, dividen, dan kompensasi). Hal ini dapat dibuktikan pada perusahaan yang berpotensi untuk tumbuh mempunyai rasio debt to equity yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak tumbuh. Kecenderungan perusahaan mempunyai rasio debt to equity yang rendah dilakukan untuk mengurangi masalah agensi yang potensial berasosiasi dengan eksistensi hutang yang berisiko dalam struktur modal (Sriwardany, 2006). 2.3 Investment Opportunity Set (IOS) Kesempatan investasi (Investment Opportunity Set) merupakan faktor lain yang juga mempengaruhi kebijakan struktur modal selain faktor pertumbuhan perusahaan (Pandey, 2001). Faktor ini mempunyai nilai yang tidak berwujud karena Universitas Sumatera Utara merupakan opsi yang dilihat oleh suatu perusahaan dimasa depan yang akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Pada faktor ini, perusahaan harus mampu melihat kesempatan dibandingkan dengan perusahaan lain. Konsep ini pertama sekali diperkenalkan oleh Myers (1977). Menurut Myers (1977), Investment Opportunity Set merupakan kombinasi antara aset yang dimiliki perusahaan (asset in place) yang sifatnya tangible dengan pilihan investasi dimasa depan (future investment option) atau growth option yang sifatnya intangible. Future investment option mencerminkan kesempatan investasi saat ini yang akan menghasilkan keuntungan dimasa depan. Menurut Hartono (1999), kesempatan investasi adalah tersedianya alternatif investasi dimasa datang bagi perusahaan. Tersedianya alternatif investasi tersebut menyebabkan perusahaan lebih baik menyimpan laba yang diperoleh dari hasil operasi kedalam laba ditahan dibandingkan dengan membayar dividen. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kole (1991), menjelaskan bahwa nilai Investment Opportunity Set bergantung pada pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa depan (future discretionary expenditure) yang pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar dari biaya modal (cost of equity) dan dapat menghasilkan keuntungan. Faktor ini juga menggambarkan tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan, namun sangat tergantung pada pilihan pengeluaran perusahaan untuk kepentingan di masa yang akan datang. Universitas Sumatera Utara 2.4 Profitabilitas Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam kegiatan operasinya merupakan fokus utama dalam penilaian prestasi perusahaan (analisis fundamental perusahaan). Karena laba perusahaan selain merupakan indikator kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban bagi para penyandang dananya juga merupakan elemen dalam penciptaan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Laba adalah hasil dari suatu periode yang telah dicapai oleh perusahaan sebagaimana disebutkan dalam Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) No. 1. Laba merupakan salah satu informasi potensial yang terkandung di dalam laporan keuangan dan yang sangat penting bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan, untuk melakukan penaksiran earning power perusahaan dimasa yang akan datang. Munawir (1999) dan Riyanto (2001) mendefinisikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Sedangkan Chhim (1999), menyatakan profitabilitas merupakan tingkat keuntungan bersih yang mampu diraih oleh perusahaan pada saat menjalankan operasinya. Disamping itu Machfoedz (1994) mendefinisikan profitabilitas sebagai suatu indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Menurut Weston, dkk (1987) dalam Hosana (2005) profitabilitas merupakan hasil akhir bersih dari berbagai kebijaksanaan dan keputusan. Profitabilitas diukur dengan membandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal pada perusahaan Universitas Sumatera Utara tersebut. Profitabilitas sering digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal dalam suatu perusahaan dengan membandingkan antara modal yang dicapai dengan laba operasi. Rasio profitabilitas dimanfaatkan oleh investor untuk memprediksi seberapa besar perubahan nilai atas saham yang dimiliki. Rasio profitabilitas akan memberikan informasi bagi investor, misalnya, pemegang saham untuk melihat keuntungan yang benar-benar akan diterima dalam bentuk deviden. Sedangkan bagi kreditor, rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar pokok dan bunga pinjaman. Tingkat profitabilitas yang tinggi pada perusahaan akan meningkatkan daya saing antarperusahaan. Perusahaan yang memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi akan membuka lini atau cabang yang baru serta memperbesar investasi atau membuka investasi baru terkait dengan perusahaan induknya. Tingkat profitabilitas merupakan informasi tingkat keuntungan yang dicapai perusahaan. Informasi ini akan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai efektivitas operasional perusahaan. Untuk mengukur profitabilitas digunakan Return On Asset (ROA). 2.5 Risiko Bisnis Suatu perusahaan didalam menjalankan usahanya akan menanggung suatu risiko yaitu suatu peristiwa yang dialami suatu perusahaan diluar jangkauan dan tidak direncanakan (Susetyo, 2006). Hal ini dilihat dengan persaingan yang terjadi antar Universitas Sumatera Utara perusahaan memberikan tantangan untuk dapat berkembang dan menjadi perusahaan besar. Semakin besar suatu perusahaan didalam menjalankan aktivitas operasinya maka semakin besar juga risiko yang akan dialami (Susetyo, 2006). Risiko ini dilihat dengan semakin besar perusahaan tersebut maka perusahaan akan membutuhkan dana yang besar untuk menjalankan usahanya. Kebutuhan akan dana tersebut memberikan pilihan bagi perusahaan untuk memperoleh dana yang berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Sumber dana tersebut membawa risiko yang berbeda bagi perusahaan. Jika perusahaan lebih banyak memilih sumber pendanaan yang berasal dari eksternal perusahaan, maka semakin besar pula risiko bisnis yang terjadi bagi perusahaan. Brigham dan Houston (2001: 178), mendefinisikan risiko sebagai peluang atau kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa yang tidak menguntungkan. Risiko bisnis merupakan ketidakpastian yang dihadapi perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Risiko bisnis tersebut menurut Hamada (dalam Moh'd, Perry dan Rimbey, 1998) merupakan risiko yang mencakup intrinsic business risk, financial leverage risk, dan operating leverage risk. Beberapa pengukuran terhadap risiko bisnis yang digunakan dalam studi yang berbeda. Seperti deviasi standar dari laba terhadap penjualan (Booth dkk, 2001), deviasi standar terhadap perbedaan yang pertama dalam arus kas operasi dibagi dengan total aktiva (Wald, 1999). Dalam penelitian ini, risiko bisnis diproxy dengan menggunakan varian dari laba sebelum pajak (Titman & Wessels, 1988). Universitas Sumatera Utara 2.6 Ukuran Perusahaan Suatu perusahaan yang mapan dan besar memiliki akses yang lebih mudah ke pasar modal, dibandingkan perusahaan kecil. Kemudahan aksesibilitas ke pasar modal dapat diartikan adanya fleksibilitas dan kemampuan perusahaan untuk menciptakan hutang atau memunculkan dana yang lebih besar dengan catatan perusahaan tersebut memiliki rasio pembayaran dividen yang lebih tinggi daripada perusahaan yang lain. Ukuran perusahaan mempunyai pengaruh penting terhadap integrasi antar bagian dalam perusahaan. Hal ini disebabkan karena ukuran perusahaan yang besar memiliki sumber daya pendukung yang lebih besar dibanding perusahaan yang lebih kecil. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Jiang, (2001) menjelaskan bahwa perusahaan besar cenderung melakukan diversifikasi usaha lebih banyak daripada perusahaan kecil. Oleh karena itu, kemungkinan kegagalan dalam menjalankan usaha atau kebangkrutan akan lebih kecil. Ukuran perusahaan sering dijadikan indikator bagi kemungkinan terjadinya kebangkrutan bagi suatu perusahaan, dimana perusahaan dengan ukuran lebih besar dipandang lebih mampu menghadapi krisis dalam menjalankan usahanya. Hal ini akan mempermudah perusahaan dengan ukuran lebih besar untuk memperoleh pinjaman atau dana eksternal. Pada penelitian yang dilakukan Machfoedz (1994), menunjukkan bahwa penentuan ukuran perusahaan didasarkan pada total asset perusahaan. Semakin besar ukuran total aset maka akan mencerminkan keadaan perusahaan yang semakin kuat. Universitas Sumatera Utara Fama dan French (2002), menjelaskan bahwa perusahaan kecil sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi dan cenderung kurang menguntungkan. Elton dan Grubber dalam Damayanti (2000), juga menyatakan bahwa perusahaan dengan ukuran yang lebih besar akan mudah mengakses ke pasar modal dibandingkan dengan perusahaan dengan ukuran kecil. Di samping itu, saham perusahaan kecil tingkat frekuensi perdagangannya tidak secepat dan semudah saham perusahaan besar. Menurut Rajan dan Zingales (1995), perusahaan yang lebih besar cenderung untuk mengungkapkan lebih banyak informasi kepada investor luar daripada perusahaan kecil. 2.7 Struktur Aktiva Berdasarkan cara dan lamanya perputaran, kekayaan suatu perusahaan dapat dibedakan antara aktiva lancar dan aktiva tetap. Perbandingan atau perimbangan antara kedua aktiva tersebut akan menentukan struktur kekayaan atau lebih dikenal dengan struktur aktiva. Struktur aktiva menurut Riyanto ,(2001) adalah perimbangan atau perbandingan baik dalam artian absolut maupun dalam artian relatif antara aktiva lancar dengan aktiva tetap. Sedangkan Ghosh, dkk (2000) mendefinisikan struktur aktiva sebagai perbandingan antara hutang jangka panjang perusahaan (long term debt) dengan total aktiva (total assets). Pengukuran struktur aktiva dilakukan dengan melakukan perbandingan antara total hutang perusahaan dengan total aktiva yang dimiliki. Universitas Sumatera Utara Pemenuhan kebutuhan dana akan diutamakan dari modal sendiri jika perusahaan menggunakan sumber pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan sedangkan modal asing hanya sebagai pelengkap (Mayangsari, 1996). Hal ini disebabkan oleh penggunaan aktiva tetap akan menimbulkan adanya beban tetap yang berupa fixed cost. Apabila perusahaan memakai modal asing, untuk membelanjakan aktiva tetapnya maka cost tetap yang akan ditanggungnya juga akan besar. (Mayangsari, 1996). Haris dan Raviv (1991) menyatakan bahwa perusahaan dengan level fixed assets yang rendah mempunyai lebih banyak masalah asymmetric information dibandingkan perusahaan dengan level fixed asset yang tinggi. Perusahaan dengan level fixed assets yang tinggi umumnya adalah perusahaan yang besar, yang dapat menerbitkan saham dengan harga yang fair sehingga tidak menggunakan hutang untuk mendanai investasinya. Dengan demikian diharapkan asset tangibility berpengaruh terhadap leverage. 2.8 Operating Leverage Leverage merupakan penggunaan assets dan sumber dana (sources of founds) oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham. Jika semua biaya bersifat variabel, maka akan memberikan kepastian bagi perusahaan dalam menghasilkan laba. Tapi karena sebagai biaya perusahaan bersifat biaya tetap, maka untuk Universitas Sumatera Utara menghasilkan laba diperlukan tingkat penjualan minimum tertentu. Oleh sebab itu, biaya-biaya yang ditanggung perusahaan dapat dibagi atas dua jenis, yaitu: biaya tetap dan biaya variable. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap atau tida berubah dalam kisaran produksi tertentu. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah berdasarkan jumlah output yang dihasilkan. Operating leverage merupakan keadaan dimana perusahaan mempunyai biaya tetap yang harus ditanggung oleh unit yang dihasilkan. Dengan kata lain bahwa operating leverage terjadi ketika perusahaan harus menanggung biaya tetapnya berdasarkan output yang dihasilkan (Husnan, 2001). Houston dan Brigham (2001), menyatakan bahwa operating leverage menunjukkan seberapa besar biaya tetap operasi perusahaan yang merupakan bagian dari biaya total operasi suatu perusahaan. Sedangkan pada artikel yang ditulis oleh Bucicino dan Mckinley (1997) mendefinisikan operating leverage sebagai dampak dari perubahan didalam pendapatan dari keuntungan atau arus kas. Ketika suatu perusahaan dapat meningkatkan pendapatannya tanpa suatu peningkatan proporsional didalam beban operasi. Kas dialokasikan untuk meningkatkan pendapatan, seperti pemasaran dan pengeluaran pengembangan bisnis yang cepat. Perusahaan menggunakan operating leverage bertujuan agar keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya assets dan sumber dananya, dengan demikian akan meningkatkan keuangan pemegang saham. Disamping itu, leverage juga menigkatkan variabilitas (risiko) keuntungan, karena jika perusahaan ternyata Universitas Sumatera Utara mendapatkan keuntungan yang lebih rendah dari biaya tetapnya maka penggunaan leverage akan menurunkan keuntungan pemegang saham. Dengan menggunakan operating leverage, perusahaan berharap dengan adanya perubahan penjualan akan mengakibatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar. Multiplier effect hasil penggunaan biaya operasi tetap terhadap laba sebelum bunga dan pajak disebut dengan degree of operating leverage atau disingkat menjadi DOL. Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa operating leverage terjadi pada saat adanya biaya tetap yang harus ditutupi oleh besarnya volume yang dihasilkan. 2.9 Pertumbuhan Perusahaan dan Struktur Modal Perusahaan yang tumbuh memerlukan banyak dana didalam menjalankan aktivitas perusahaan. Hal ini dilihat melalui perusahaan yang terus-menerus tumbuh akan lebih banyak membutuhkan dana didalam menjalankan aktivitas operasinya untuk mencapai tujuan perusahaan. Menurut Kieso (2004) perusahaan dapat tumbuh menjadi lebih besar dengan cara meminjam uang untuk diinvestasikan dalam proyek baru. Demikian juga, perusahaan dapat menerbitkan saham baru untuk perluasan. Bagi perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan penjualan dan laba yang tinggi cenderung menggunakan utang sebagai sumber dana yang berasal dari eksternal dibandingkan dengan perusahaan–perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan penjualan yang rendah. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh Thies dan Klock (1992), yang menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan perusahaan berpengaruh positif dan signifikan dengan leverage. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baskin (1989) yang menemukan tingkat pertumbuhan penjualan berhubungan positif dengan utang. Menurut Sriwardany, (2006) tingkat pertumbuhan suatu perusahaan akan menunjukkan sampai seberapa jauh perusahaan akan menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya. Dalam hubungannya dengan leverage, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya agar tidak terjadi biaya keagenan (agency cost) antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan. Sebaliknya, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah sebaiknya menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena penggunaan hutang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara teratur. Sedangkan Myers (1977) menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan yang tinggi memberikan lebih banyak pilihan yang riil untuk investasi dimasa yang akan datang dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang rendah. Jika pertumbuhan suatu perusahaan tinggi maka memerlukan tambahan pembiayaan pendanaan yang cukup tinggi untuk pembiayaan dimasa yang akan datang. Perusahaan yang memiliki kesempatan pertumbuhan yang tinggi tidak mungkin mengeluarkan utang pada tempat pertama, dan diharapkan berhubungan negatif dengan kesempatan pertumbuhan. Pernyataan diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan Jensen dan Meckling (1976) yaitu leverage meningkat dengan Universitas Sumatera Utara berkurangnya kesempatan pertumbuhan. Sebaliknya penelitian yang dilakukan Pandey, (2001) menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan struktur modal. Ini berarti semakin besar pertumbuhan perusahaan maka semakin besar pula perusahaan membutuhkan dana yang berasal dari hutang untuk mendanai pertumbuhannya tersebut. Hasil penelitian Mayangsari, (1996) menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan penjualan dan laba yang tinggi cenderung menggunakan hutang sebagai sumber dana eksternal yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualannya rendah. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Baskin (1989) yang juga menemukan tingkat pertumbuhan penjualan berpengaruh positif dengan hutang. 2.10 Investment Opportunity Set (IOS) dan Struktur Modal Investment Opportunity Set (IOS) merupakan salah satu faktor lain yang mempengaruhi struktur modal. Adanya harapan yang dimiliki oleh perusahaan untuk tetap going concern merupakan salah satu faktor yang memotivasi perusahaan lebih banyak melihat kesempatan dan peluang yang dapat diperoleh untuk memperoleh keuntungan. Kesempatan investasi telah terbukti memiliki hubungan dengan kebijakan struktur modal dan kebijakan dividen melalui proksi-proksinya. Hasil penelitian Smith & Watts, (1992) dan Gaver & Gaver, (1993) menunjukkan bahwa level Universitas Sumatera Utara kesempatan investasi yang bervariasi antar perusahaan merupakan salah satu penentu perbedaan keputusan kebijakan struktur modal dan dividen antar perusahaan. Mereka menggunakan proksi IOS untuk menentukan klasifikasi tingkat pertumbuhan perusahaan dan menemukan bukti bahwa perusahaan yang bertumbuh memiliki leverage dan kebijakan deviden yaitu devidend payout yang lebih rendah dibanding perusahaan tidak bertumbuh. Berbagai penelitian tentang kesempatan investasi telah berhasil membuktikan bahwa kesempatan investasi berhubungan dengan berbagai variabel kebijakanan perusahaan, yaitu antara lain kebijakan pendanaan atau struktur utang, kebijakan dividen, kebijakan leasing, dan kebijakan kompensasi. Sami, dkk (1999) menunjukkan bahwa teori kesempatan investasi memiliki explanatory power yang lebih tinggi dalam hal kebijakan pendanaan dan kompensasi daripada aspek dividen. Apabila kondisi perusahaan sangat baik maka pihak manajemen akan cenderung lebih memilih investasi baru daripada membayar dividen yang tinggi. Dana yang seharusnya dapat dibayarkan sebagai dividen tunai kepada pemegang saham akan digunakan untuk pembelian investasi yang menguntungkan, bahkan untuk mengatasi masalah underinvestment. Sebaliknya, perusahaan yang mengalami pertumbuhan lambat cenderung membagikan dividen lebih tinggi untuk mengatasi masalah overinvestment. Penelitian yang dilakukan oleh Pakaryaningsih, (2004) tentang pengaruh pertumbuhan perusahaan yang diproksi dengan investment opportunity set (IOS) dengan utang yang menunjukkan hasil yang signifikan. Sejalan dengan hasil Universitas Sumatera Utara penelitian yang dilakukan oleh Al Najjar dan Belkaoui (2001), Lestari (2004) menunjukkan pengaruh yang signifikan negatif, tetapi penelitian yang dilakukan oleh Pagalung (2002) menunjukkan pengaruh yang signifikan positif antara kebijakan utang dan Investment Opportunity Set (IOS). Sedangkan penelitian yang dilakukan Pandey (2001) menunjukkan bahwa IOS berpengaruh negatif terhadap kebijakan struktur modal perusahaan. Pada penelitian yang dilakukan Isnaeni, (2001) dan Ratnawati (2000) menunjukkan bahwa proxy dari Investment Opportunity Set memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap kebijakan struktur modal. 2.11 Profitabilitas dan Struktur Modal Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur modal perusahaan adalah profitabilitas. Hal ini dikarenakan perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi cenderung menggunakan hutang relatif kecil karena keuntungan atau laba yang diperoleh perusahaan tidak semua dibayarkan pada investor dalam bentuk dividen tetapi juga disimpan dalam bentuk laba ditahan yang merupakan sumber pendanaan internal bagi perusahaan. Sesuai dengan Pecking Order Theory, yang menjelaskan bahwa perusahaan akan lebih memilih sumber pendanaan yang berasal dari internal perusahaan dibandingkan dengan eksternal perusahaan. Menurut Brigham dan Houston (2001) perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang relatif kecil karena tingkat pengembalian tinggi memungkinkan perusahaan untuk membiayai Universitas Sumatera Utara sebagian besar pendanaan dengan dan interal. Arifin (2001) juga menyatakan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal. Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sawitri (2001) yang menunjukkan bahwa profitabilitas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal. Peningkatan hutang akan mempengaruhi besar kecilnya laba bagi perusahaan. Hal ini dilihat dengan laba yang dihasilkan perusahaan akan terlebih dahulu diprioritaskan untuk membayar bunga serta angsuran hutang perusahaan. Semakin besar hutang perusahaan maka semakin besar pula kewajiban yang akan dibayar oleh perusahaan. Sehingga setiap pertumbuhan laba yang terjadi pada perusahaan tumbuh tidak terlalu cepat. Bringham dan Houston (2001), menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang relatif kecil. Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan secara internal. Pernyataan tersebut didukung juga oleh penelitian yang dilakukan Mayangsari (1996), yang menyatakan bahwa perusahaan dengan rate of return tinggi cenderung menggunakan proporsi utang yang relatif kecil, Karena dengan rate of return yang tinggi, kebutuhan dana dapat diperoleh dari laba ditahan. Beberapa bukti penelitian (Baskin 1989, Titman dan Wessels 1988, Thies dan Klock 1992), menunjukkan bahwa perusahaan yang tingkat pengembalian keuntungan pada investasi tinggi menggunakan hutang yang relatif kecil. Sedangkan Universitas Sumatera Utara Jensen (1986), menyatakan terdapat hubungan positif antara leverage dengan profitability jika pasar dalam mengontrol perusahaan efektif. Sebaliknya, jika pasar dalam mengontrol perusahaan tidak efektif terdapat hubungan negatif antara profitability dengan leverage perusahaan. Perusahaan dengan tingkat keuntungan yang lebih besar memiliki sumber pendanaan internal yang lebih besar dan memiliki kebutuhan untuk melakukan pembiayaan investasi melalui pendanaan eksternal yang lebih kecil. Karena itu, pecking order theory memprediksi hubungan yang berkebalikan antara profitabilitas dengan tingkat hutang jangka panjang. Sehingga penelitian ini mengganggap bahwa terdapat pengaruh negatif antara profitability dengan leverage untuk Pecking Order Theory. Artinya, perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah mempunyai tingkat leverage yang tinggi. Sebaliknya Sofiati (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa profitabilitas mempengaruhi struktur modal secara positif signifikan dan juga menyatakan bahwa hutang mempengaruhi ekuitas secara positif signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2001) untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal pada perusahaan elektronika yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta sejak tahun 1992 sampai tahun 1999. Hasil pengujian menunjukkan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal. Karena perusahaan yang mempunyai profit yang tinggi akan lebih menyimpan labanya sebagai laba ditahan yang akan digunakan sebagai sumber pendanaan internal perusahaan. Universitas Sumatera Utara Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Mayangsari (1996), menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pendanaan. Penelitian yang dilakukan oleh Harjanti dan Tandelilin (2007), juga membuktikan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan struktur modal. 2.12 Risiko Bisnis dan Struktur Modal Kebijakan struktur modal akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya dan juga akan berpengaruh terhadap risiko bisnis itu sendiri. Jika perusahaan meningkatkan leverage maka perusahaan ini dengan sendirinya akan meningkatkan risiko bisnis perusahaan. Oleh karena itu, manajer tidak sepenuhnya mendanai perusahaannya dengan modal tetapi juga disertai penggunaan dana melalui hutang baik itu hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang karena terkait dengan sifat penggunaan dari hutang tersebut yaitu bersifat mengurangi pajak. Struktur modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Keputusan struktur modal secara langsung berpengaruh terhadap besarnya risiko yang ditanggung pemegang saham serta besarnya tingkat pengembalian atau keuntungan yang diharapkan (Brigham dan Houston, 2001). Penentuan kebijakan struktur modal merupakan tugas dari manajer keuangan untuk menentukan komposisi struktur modal perusahaan. Manajer Universitas Sumatera Utara keuangan harus mengusahakan agar perusahaan memperoleh dana yang diperlukan dengan biaya minimal dan syarat-syarat yang paling menguntungkan. Dalam perusahaan, risiko bisnis akan meningkat jika menggunakan hutang yang tinggi. Hal ini juga akan meningkatkan kemungkinan kebangrutan. Hasil penelitian membuktikan bahwa perusahaan dengan risiko yang tinggi seharusnya menggunakan hutang yang lebih sedikit untuk menghindari kemungkinan kebangrutan (Titman & Wessels, 1988). Keputusan pendanaan keuangan perusahaan akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya dan juga akan berpengaruh terhadap risiko bisnis itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Pandey (2001), yang meneliti tentang karakteristik perusahaan dan struktur modal, menunjukkan hasil bahwa risiko bisnis berpengaruh negatif terhadap struktur modal. 2.13 Ukuran Perusahaan dan Struktur Modal Suatu perusahaan yang besar memerlukan dana yang besar didalam menjalankan aktivitas operasinyta. Oleh karena itu, terdapat pengaruh ukuran perusahaan (size) terhadap kebijakan struktur modal dimana perusahaan tersebut membutuhkan dana untuk melakukan kegiatan operasi. Hal ini disebabkan oleh perusahaan besar memiliki kebutuhan dana yang besar, dan salah satu pemenuhan kebutuhan akan dana tersebut berasal dari internal dan eksternal perusahaa. Universitas Sumatera Utara Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kebijakan struktur modal suatu perusahaan dipengaruhi oleh ukuran besar suatu perusahaan dan menyatakan bahwa besar ukuran perusahaan berhubungan positif terhadap rasio utang. Semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk memiliki utang kepada pihak eksternal. Sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan Marsh (1982) menemukan bahwa perusahaan besar lebih sering memiliki hutang jangka panjang sedangkan perusahaan kecil memilih utang jangka pendek. Perusahaan yang memiliki ukuran yang besar memungkinkan memperoleh keuntungan dalam skala ekonomi dengan melakukan pinjaman hutang jangka panjang. Suatu ukuran perusahaan juga menjadi alternatif untuk informasi yang dimiliki oleh pihak eksternal. Fama and Jensen (1983) mengatakan bahwa perusahaan besar cenderung untuk memberikan lebih banyak informasi kepada lender dari yang kecil. Pada penelitian yang dilakukan Rajan dan Zingales (1995), juga mengatakan bahwa perusahaan yang lebih besar cenderung untuk mengungkapkan lebih banyak informasi kepada investor luar dari pada perusahaan kecil. Penelitian empirik yang dilakukan Marsh (1982), Rajan dan Zingales (1995), Wald (1999), dan Booth, dkk (2001), menemukan bahwa leverage berkorelasi secara positif dengan ukuran perusahaan. Tetapi, pada penelitian yang dilakukan Rajan dan Zingales (1995) dan Wald (1999) menemukan bahwa perusahaan yang lebih besar di Jerman cenderung memiliki utang lebih kecil. Universitas Sumatera Utara 2.14 Struktur Asset dan Struktur Modal Pecking Order Theory menyatakan bahwa permasalahan utama penentuan struktur modal adalah informasi yang tidak simetris (Myers, 1984). Hal ini karena asset tangibility merupakan variabel yang sangat menentukan besar kecilnya masalah ini. Aset tidak berwujud yang semakin besar akan menyebabkan penilaiannya menjadi semakin sulit disebabkan karena aset tersebut sangat dipengaruhi oleh peluang investasi perusahaan dimasa depan, yang besarnya sulit diestimasi oleh investor. Sifat dari aset ini akan menyebabkan permasalahan asimetri informasi yang semakin besar antara manajer perusahaan dengan investor, sehingga teori ini memprediksi hubungan yang berkebalikan antara asset tangibility dengan tingkat hutang jangka panjang. Sebaliknya, teori hutang konvensional memprediksi bahwa semakin tinggi proporsi aset berwujud menunjukkan kemampuan pengembalian pinjaman yang lebih baik, sehingga perusahaan akan memiliki tingkat hutang yang lebih tinggi. Semakin banyak assets tangibility suatu perusahaan berarti semakin banyak collateral assets untuk bisa mendapatkan sumber dana eksternal berupa hutang. Hal ini dikarenakan pihak kreditur akan meminta collateral assets untuk memback-up hutang. Berdasar pada Trade Off Theory, assets tangibility berpengaruh positif terhadap leverage. Harris dan Raviv (1991) menyatakan perusahaan dengan level fixed assets yang rendah mempunyai lebih banyak masalah asymetric information dibandingkan perusahaan dengan level fixed assets yang tinggi. Perusahaan dengan level fixed assets yang tinggi umumnya adalah perusahaan yang besar, yang dapat menerbitkan Universitas Sumatera Utara saham dengan harga yang fair sehingga tidak menggunakan hutang untuk mendanai investasi. Dengan demikian berdasar pada teori Pecking Order Theory, tangibility assets berpengaruh negatif terhadap leverage. Hasil Penelitian dari Harris dan Raviv (1991) menyimpulkan bahwa Tangibility Of Assets berpengaruh positif terhadap pemakaian hutang. Hasil penelitian Masidonda, Maski, dan Idrus (2001) menunjukkan hal yang serupa yakni struktur aktiva mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur modal. Namun dalam penelitian Arifin (2001) menunjukkan bahwa struktur aktiva berpengaruh tidak signifikan terhadap struktur modal. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Nasruddin (2001) bertujuan untuk menguji pengaruh struktur aktiva terhadap struktur modal perusahaan pada perusahaan manufaktur di Indonesia yang terdaftar Bursa Efek Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur aktiva berpengaruh signifikan terhadap struktur modal perusahaan. Penelitian yang dilakukan Chen dan Jiang (2001), menunjukkan struktur aktiva berkorelasi positif terhadap hutang. Sedangkan penelitian yang dilakukan Pandey (2001), menunjukkan bahwa struktur aktiva berpengaruh negatif terhadap struktur modal. 2.15 Operating Leverage dan Struktur Modal Konsep operating leverage pada awalnya dikembangkan untuk digunakan dalam penganggaran modal. Operating leverage merupakan kepekaan EBIT terhadap Universitas Sumatera Utara penjualan perusahaan (Sawir, 2004). Sedangkan menurut Gitosudarmo (2000), mengatakan bahwa keadaan dimana perusahaan memiliki biaya tetap yang harus ditanggung oleh output yang dihasilkan dinamakan dengan operating leverage. Kebijakan menggunakan operating leverage dalam kegiatan operasinya adalah untung rugi. Dikatakan untung rugi dengan asumsi bahwa jika manager perusahaan memutuskan menggunakan mesin dalam produksinya, ini berarti biaya mempunyai pengaruh yang kuat atau dengan kata lain biaya tetap merupakan leverage yang menghasilkan pendapatan yang besar jika terjadi peningkatan dalam volume penjualan sebaliknya mengakibatkan kerugian apabila pemasaran menjadi terhambat. Secara teori, operating leverage dapat berpengaruh secara positif maupun negatif terhadap struktur modal. Hal ini dapat dilihat apabila perusahaan menggunakan operating leverage yang tinggi, maka perubahan kecil yang terjadi dapat mempengaruhi pendapatan perusahaan sebelum pajak. Apabila pemasaran atas output yang dihasilkan baik, maka pendapatan pun akan semakin besar. Sebaliknya apabila perubahan operating leverage menyebabkan penjualan yang menurun, maka akan menyebabkan pendapatan perusahaan sebelum pajak menjadi turun ataupun merugi. Jadi, apabila operating leverage perusahaan kecil cenderung perusahaan akan memperbesar financial leverage. Pada akhirnya, operating leverage perusahaan merupakan faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap keputusan struktur modal (Brigham dan Houstan, 2001) Universitas Sumatera Utara 2.16 Penelitian Sebelumnya Banyak penelitian yang meneliti tentang struktur modal, salah satunya yang dilakukan Mayangsari (1996), yang meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pendanaan perusahaan: pengujian Pecking Order Hyphotesis menunjukkan bahwa besaran perusahaan, profitabilitas, struktur asset dan perubahan modal kerja berpengaruh signifikan terhadap kebijakan eksternal perusahaan. Disamping itu, penelitian Ratnawati (2000) yang meneliti pengaruh langsung dan tidak langsung faktor ekstern, kesempatan investasi dan pertumbuhan asset terhadap keputusan pendanaan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta menghasilkan kesimpulan bahwa sebelum krisis pengaruh langsung faktor eksternal adalah positif signifikan dan pengaruh tidak langsung melalui kesempatan investasi adalah negatif signifikan. Pada saat krisis faktor eksternal tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap keputusan pendanaan, bagaimanapun pengaruh tidak langsung adalah negatif signifikan. Penelitian tentang faktor-faktor penentu struktur modal pada perusahaan Belanda yang diteliti oleh Chen dan Jiang (2001) menyimpulkan bahwa provision ratio dan financial flexibility memiliki hubungan negatif dengan leverage. Sebaliknya tangibility memiliki korelasi positif dengan leverage perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Isnaeni (2001) tentang analisis hubungan Investment Opportunity Set (IOS) dengan realisasi pertumbuhan serta perbedanaan perusahaan tumbuh dan tidak tumbuh terhadap kebijakan pendanaan dan kebijakan dividen di Bursa Efek Jakarta menunjukkan bahwa variabel – variabel IOS Universitas Sumatera Utara mempunyai korelasi yang berbeda terhadap semua unsur realisasi pertumbuhan perusahaan baik untuk perusahaan yang tumbuh maupun perusahaan yang tidak tumbuh. Rasio market to debt to equity tidak signifikan terhadap kebijakan pendanaan. Rasio dividend payout mempunyai korelasi yang tidak signifikan terhadap kebijakan dividen perusahaan. Disamping itu, penelitian yang dilakukan oleh Pandey (2001) tentang capital structure and the firm characteristics: evidence from an emerging market menunjukkan bahwa pertumbuhan dan ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap nilai buku dan pasar dari hutang. Sedangkan profitabilitas, Investment Opportunity Set, tangibility, dan risiko bisnis berpengaruh negatif signifikan terhadap terhadap rasio hutang. Dan penelitian pengaruh firm size, tangible asset, growt opportunity, profitability dan business risk pada struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia menyimpulkan bahwa variabel ukuran perusahaan berhubungan positif signifikan terhadap leverage perusahaan. Tangible asset tidak berpengaruh signifikan terhadap leverage perusahaan. Penelitian ini tidak menemukan bukti adanya pengaruh kesempatan bertumbuh terhadap leverage perusahaan. Profitabilitas berhubungan negatif signifikan terhadap leverage perusahaan. Dan sebaliknya, penelitian ini tidak pengaruh signifikan antara risiko bisnis dengan leverage perusahaan. Penelitian tentang struktur modal juga dilakukan oleh Harjanti dan Tandelilin (2007) yang berjudul pengaruh firm size, tangible asset, growth opportunity, profitability dan business risk pada struktur modal perusahaan manufaktur di Universitas Sumatera Utara Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa firm size berhubungan positif dan signifikan terhadap leverage perusahaan. Sedangkan variabel Tangible asset tidak berpengaruh signifikan terhadap leverage perusahaan. Penelitian ini tidak menemukan bukti adanya pengaruh growth opportunity terhadap leverage perusahaan. Profitability berhubungan negatif signifikan terhadap leverage perusahaan. Penelitian ini juga tidak menemukan pengaruh business risk terhadap leverage perusahaan. Dan penelitian terdahulu dalam penelitian ini yang berkaitan dengan struktur modal dilakukan oleh Nugroho (2006), menunjukkan bahwa variabel operating leverage, current ratio, pertumbuhan perusahaan, PER dan ROA berpengaruh signifikan terhadap struktur modal. Sedangkan struktur aktiva berpengaruh tidak signifikan terhadap struktur modal perusahaan. Penelitian terdahulu diatas dapat dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 2.1 Hasil Deskripsi Penelitian Terdahulu No 1. Nama Peneliti/Tahun Mayangsari (1996) Judul Penelitian Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pendanaan Perusahaan: Pengujian Pecking Order Hyphotesis Hasil Penelitian Variabel – variabel yang secara statistis signifikan mempengaruhi kebijakan pendanaan eksternal adalah besaran perusahaan, profitabilitas, struktur asset dan prubahan modal kerja. Universitas Sumatera Utara 2. Ratnawati (2000) Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Faktor Ekstern, Kesempatan Investasi dan Pertumbuhan Assets Terhadap Keputusan Pendanaan Perusahaan yang Terdaftar Pada Bursa Efek Jakarta Sebelum krisis pengaruh langsung faktor eksternal adalah positif signifikan dan pangaruh tidak langsung melalui kesempatan investasi adalah negatif signifikan. Pada saat krisis faktor eksternal tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap keputusan pendanaan, bagaimanapun pengaruh tidak langsung adalah negatif signifikan. Pengaruh langsung faktor eksternal terhadap kesempatan investasi. 3. Chen (2001) Faktor-Faktor Penentu Struktur Modal pada Perusahaan Belanda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa provision ratio dan financial flexibility memiliki hubungan negatif dengan leverage. Sebaliknya tangibility memiliki korelasi positif dengan leverage perusahaan. Penelitian ini juga menemukan bahwa growth bukanlah faktor yang berpengaruh signifikan terhadap leverage perusahaan. 4 Isnaeni (2001) Analisis Hubungan Investment Opportunity Set (IOS) Dengan Realisasi Pertumbuhan Serta Perbedaan Perusahaan yang Tumbuha dan Tidak Tumbuh Terhadap Kebijakan Pendanaan dan Kebijakan Dividen di Bursa Efek Jakarta Variabel – variabel Investmet Opportunity Set (IOS) mempunyai korelasi yang berbeda terhadap semua unsur realisasi pertumbuhan perusahaan baik untuk perusahaan yang tumbuh maupun perusahaan yang tidak tumbuh. Rasio market debt to equity tidak signifikan terhadap kebijakan pendanaan. Rasio dividen payout mempunyai korelasi yang tidak signifikan terhadap kebijakn dividen perusahaan. 5. Pandey (2001) Capital Structure And The Firm Characteristics: Evidence From An Emerging Market Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertumbuhan dan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai buku dan pasar dari hutang. Sedangkan profitabilitas, Investment Opportunity Set, Tangibility, dan risiko berpengaruh negatif terhadap rasio hutang. dan Jiang Universitas Sumatera Utara 6. Harjanti dan Tandelilin (2007) Pengaruh firm size, tangible asset, growth opportunity, profitability dan business risk pada struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia. Variabel firm size berhubungan positif dan signifikan terhadap leverage perusahaan. Tangible asset tidak berpengaruh signifikan terhadap leverage perusahaan. Penelitian ini tidak menemukan bukti adanya pengaruh growth opportunity terhadap leverage perusahaan. Profitability berhubungan negatif signifikan terhadap leverage perusahaan. Penelitian ini tidak menemukan pengaruh business risk terhadap leverage perusahaan. 7 Nugroho, 2006 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan property yang go-public di Bursa Efek Jakarta Variabel operating leverage, current ratio, pertumbuhan perusahaan, PER, dan ROA berpengaruh signifikan terhadap struktur modal. Sedangkan variabel struktur aktiva berpengaruh tidak signifikan terhadap struktur modal perusahaan Universitas Sumatera Utara