BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Initial Public Offering (IPO) Pasar perdana merupakan tempat atau sarana bagi perusahaan ketika pertama kali menawarkan saham atau obligasi ke masyarakat umum (Samsul, 2006). Perusahaan yang ingin go public akan melangkah ke pasar perdana untuk menawarkan IPO kepada para investor pertama sebelum para investor tersebut meperjualbelikan saham tersebut di pasar sekunder. Namun sebelum melangkah ke pasar perdana, banyak persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan agar dapat melakukan IPO. Syarat – syarat perusahaan yang ingin go public atau emiten diurus oleh underwriter. Tidak hanya itu, underwriter bersama dengan emiten berunding untuk mendapatkan harga saham perdana yang dirasa cukup pantas untuk ditawarkan kepada publik. Harga yang terlalu tinggi akan membuat investor ragu – ragu untuk membeli. Namun harga yang terlalu rendah juga akan membuat investor tidak tertarik membeli, karena harga dianggap terlalu murah. Harga tersebut merupakan cerminan keadaan perusahaan, sehingga jika terlalu tinggi atau bahkan rendah maka akan menjadi masalah. Oleh karena itu pihak emiten dan underwriter harus benar – benar memikirkan harga yang cocok untuk melempar saham ke pasar. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal makna go public adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan penerbit saham) 9 10 kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaanya. Istilah Go Public ini digunakan oleh perusahaan ketika pertama kali diperkenalkan ke masyarakat luas dengan diikuti kegiatannya adalah IPO atau meluncurkan saham perdana. Perusahaan yang memutuskan untuk go public akan mendapatkan manfaat yang cukup besar, termasuk manfaat mendapatkan tambahan modal. Berikut di bawah ini merupakan keuntungan yang didapat perusahaan ketika memutuskan untuk go public menurut Jogiyanto (2003) : 1. Kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang. 2. Meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham. 3. Nilai pasar perusahaan diketahui. Akan sangat menguntungkan bagi perusahaan yang memutuskan untuk go public. Perusahaan yang memutuskan go public akan berubah dari perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka (tbk). Perusahaan tersebut akan dikenal oleh masyarakat dan jika kinerja keuangan perusahaan semakin membaik setelah melakukan IPO, maka nilai perusahaan juga akan semakin meningkat. 2.2. Underpricing Dalam kegiatan IPO terdapat kondisi – kondisi tertentu dimana kondisi tersebut akan menentukan nilai perusahaan, yaitu underpricing dan overpricing. Underpricing terjadi ketika harga awal lebih rendah jika dibandingkan dengan harga pasar. Sebaliknya, overpricing terjadi ketika harga awal lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Underpricing merupakan biaya tidak langsung (indirect cost) bagi perusahaan yang melakukan IPO (issuer). Leland dan Pyle (1977), menyatakan bahwa 11 underpricing digunakan oleh perusahaan penerbit saham untuk memberikan sinyal atas kualitas penerbitan. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada investor (Beatty, 1989). Ketika terjadi underpricing, investor mendapatkan initial return. Menurut Daldjono (2000), initial return merupakan keuntungan yang didapatkan investor karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana (saat IPO) dengan harga jual saham yang bersangkutan di hari pertama di pasar sekunder. Walaupun demikian, Brealy et al (2008) menyatakan bahwa underpricing dianggap mampu menarik minat investor untuk membeli saham pada suatu perusahaan karena secara tidak langsung harga saham yang cenderung rendah akan membujuk para investor untuk membeli saham pada suatu perusahaan dan mengurangi biaya pemasaran emisi pada investor itu sendiri. 2.3. Informasi Asimetris (Asymetric Information) Informasi Asimetris terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat pada saat IPO. Pihak yang terlibat antara lain emiten, investor dan underwriter. Informasi asimetris akan berdampak pada underpricing. Pernyataan tersebut sama seperti yang diungkapkan Rock (1986), bahwa undepricing terjadi karena informasi asimetris yang terjadi dalam IPO antara investor yang memiliki informasi dan investor yang kurang memiliki informasi. Rock (1986) mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis investor, yaitu investor yang memiliki informasi dan investor yang tidak memiliki 12 informasi. Dalam pelaksanaan IPO, investor yang memiliki informasi lebih mengenai saham IPO, hanya membeli saham yang sudah dipastikan harganya akan naik setelah IPO. Sedangkan untuk investor yang tidak memiliki informasi akan membeli sisanya atau dengan kata lain, membeli secara sembarangan. Investor yang tidak memilliki informasi ini jelas akan mengalami kerugian jika harga saham setelah IPO yang mereka beli memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan dengan saat IPO terjadi. Kejadian tersebut akan membuat para investor tanpa informasi untuk meninggalkan pasar karena telah mengalami kerugian yang sangat besar. Hal ini yang mendorong harga saham underpriced untuk mecegah para investor tanpa informasi melangkah keluar dari pasar dan menutup kerugian yang mereka alami. Selain dari pihak investor, juga terdapat informasi asimetris dari pihak emiten dan underwriter. Menurut Sasongko dan Juliarto (2014), underwriter memiliki informasi yang lebih mengenai permintaan saham di pasar dibandingkan dengan emiten. Situasi ini dimanfaatkan underwriter untuk memperkecil resiko saham yang tidak terjual akibat harga yang terlalu tinggi, sehingga underwriter mendorong agar harga saham IPO dibuat underpriced. Keputusan ini berdampak pada emiten yang harus menerima harga murah untuk saham yang diterbitkannya. 2.4. Teory Sinyal (Signalling Theory) Signaling Theory dalam pelaksanaan IPO menjelaskan bahwa perusahaan harus memberikan sinyal positif mengenai kualitas perusahaan mereka untuk menghindari terjadinya informasi yang asimetris. Yatim (2011) menyatakan bahwa emiten harus secara efektif mendemonstrasikan 13 nilai perusahaan kepada investor agar emiten dapat memaksimalkan harga pada saat menjual saham. Perusahaan yang go public biasanya merupakan perusahaan baru yang belum mapan dan belum memiliki informasi publik yang dapat digunakan investor untuk menilai kualitas suatu perusahaan dan membuat para investor tertarik. Oleh karena itu, pihak manajemen dari perusahaan yang akan go public menggunakan mekanisme tata kelola perusahaan untuk memperlihatkan kepada publik kualitas perusahaan mereka. Pihak manajemen harus menyakinkan para pengamat dan investor bahwa perusahaan mereka memiliki kemampuan potesial jangka panjang. Artinya, memberikan sinyal positif mengenai keadaan perusahaan kepada publik. Dengan demikian, sesuai pernyataan yang dikeluarkan Lawless, Ferris dan Bacon (1998), dapat diambil kesimpulan bahwa pihak manajemen merupakan sumber dari informasi berkualitas mengenai potensi kinerja perusahaan di masa depan. Menurut Yatim (2011), sinyal positif yang akan dikeluarkan perusahaan harus memiliki karakteristik. Sinyal dari emiten harus jelas dan mudah untuk dipelajari. Hal ini bertujuan agar investor dapat menggunakannya secara efektif untuk menilai kualitas perusahaan yang akan go public. Selain hal tersebut di atas, sinyal dari emiten untuk publik juga harus memiliki biaya yang tinggi serta unik agar tidak ditiru oleh perusahaan lain yang memiliki kualitas yang lebih rendah. Lebih lanjut, teori sinyal menjelaskan bahwa perusahaan yang berkualitas baik akan sengaja memberikan sinyal kepada pasar, dengan demikian pasar akan mengetahui dan membedakan perusahaan yang 14 berkualitas baik maupun yang kurang baik (Megginson, 1997). Underpricing juga dapat dikatakan sebagai sinyal positif dari issuer kepada calon investor. Menurut Grinblatt dan Hwang (1989), pada saat perusahaan melakukan IPO, terjadi informasi yang asimetris seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Informasi asimetris terjadi antara issuer dengan calon investor karena issuer memiliki informasi yang lebih mengenai kondisi perusahaannya. Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan informasi asimetris ini, maka issuer memberikan sinyal kepada calon investor dengan melakukan underpricing. 2.5. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) Tata Kelola Perusahaan merupakan seperangkat sistem yang mengatur hubungan antara pihak manajemen, dewan-dewan, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya di dalam perusahaan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (Cadburry Comitte, 1992). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa tata kelola perusahaan merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan jalannya perusahaan. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) ada beberapa prinsip yang harus dipegang oleh perusahaan, yaitu: 1. Transparansi Prinsip transparansi berarti bersikap jujur kepada semua stakeholder (semua pihak yang terlibat baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan) dalam menjalankan perusahaan. Transparansi ini tidak hanya jujur saat membuat laporan usaha saja, namun juga jujur dengan informasi yang dimiliki perusahaan. Sebelum 15 investor membeli saham IPO pada perusahaan yang akan go public, investor harus membaca prospektus yang disediakan oleh emiten. Prospektus ini harus mengandung prinsip transparansi agar investor mampu menyerap dan menganalisis informasi yang diberikan perusahaan tersebut. Prinsip transparansi akan memberikan rasa aman dan percaya dari pihak investor atas dana yang mereka investasikan kepada perusahaan. 2. Accountability Artinya adalah perusahaan harus memperjelas fungsi, sistem, struktur dan pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perushaaan. Perusahaan harus membuat job description agar pihak-pihak pengelola mengetahui dengan jelas mengenai hak dan kewajiban, fungsi dan tanggung jawab serta kewenangannya. 3. Responsibility Perusahaan harus menyadari bahwa pendirian perusahaan akan berdampak pada masyarakat sekitar. Maka dari itu, perusahaan harus memperhatikan amdal, keamanan lingkungan dan juga norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Perusahaan harus aktif dalam menangani gejolak yang terjadi dalam masyarakat sekitar perusahaan berdiri. 4. Independensi Independensi adalah keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa tekanan atau benturan kepentingan dari berbagai pihak yang kemungkinan akan bertentangan dengan prinsip dan undang-undang pengelolaan korporasi yang sehat. Independensi 16 sangat penting untuk pengambilan keputusan. Jika independensi hilang dalam proses tersebut, maka kepentingan perusahaan yang merupakan prioritas perusahaan harus masyarakat. utama akan dikorbankan. berjalan tegak dan Keduanya harus Intinya bergandengan diuntungkan agar adalah dengan pengelolaan perusahaan dapat terjaga dengan baik. 5. Fairness Kesetaraan atau perlakuan adil kepada semua stakeholder dalam memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan harus membuat sistem yang baik agar semua pihak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan mereka sehingga keadilan dalam pengelolaan perusahaan akan tercipta. Teori mengenai tata kelola perusahaan sangat berkaitan dengan teori keagenan sesuai dengan apa yang diungkapkan Jensen dan Meckling (1976). Teori keagenan menjelaskan bahwa terdapat perbedaan kepentingan antara agent dan principal. Agent disini merupakan pihak manajemen sedangkan principal merupakan pemegang saham. Pemegang saham memberikan wewenang kepada pihak manajemen untuk mengelola perusahaan, namun yang seringkali terjadi adalah pihak manajemen tidak bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh principal. Hal ini disebabkan karena pihak manajemen juga memiliki kepentingan tersendiri, yaitu guna memajukan kemakmuran pihak manajemen. Pihak agen yang risk averse akan cenderung mementingkan diri mereka sendiri, sehingga mereka akan mengalokasikan sumber daya untuk investasi yang mungkin tidak akan mendatangkan nilai tambah (Siallagan dan Macfhoedz, 2006). 17 Mekanisme tata kelola perusahaan yang meliputi mekanisme internal dan eksternal perusahaan akan mengurangi konflik keagenan yang mungkin timbul antara pihak manajamen dengan pemegang saham minoritas (Jensen dan Meckling, 1976). Tata kelola perusahaan yang baik diharapkan mampu menjembatani perbedaan yang terjadi antara bebagai pihak yang ada terlibat dalam pengelolaan perusahaan, sehingga biaya keagenan akibat permasalahan ini dapat dikurangi. Tata kelola perusahaan memiliki tiga area, yaitu struktur dewan, transparansi informasi dan struktur kepemilikan. Stuktur dewan (board structure) yang merupakan bagian dari mekanisme tata kelola perusahaan, memiliki tiga indikator penilaian. Hal ini berdasarkan penelitian terdahulu milik Yatim (2011), yaitu board independence, board size dan role duality. Dalam penelitian Yatim (2011) ketiga indikator tersebut disertakan di dalam penelitian, itu karena sampel penelitian yang digunakan merupakan perusahaan yang mengadopsi sistem one-tier. Berbeda dengan di Indonesia yang mengadopsi sistem two-tier atau kepemimpinan bertingkat. Sistem two-tier memisahkan tugas dan peran antara pelaksana (dewan direksi) dan pengawas (dewan komisaris) secara jelas. 2.5.1. Ukuran Dewan Ukuran Dewan merupakan jumlah total dari direktur dalam struktur dewan (Yatim, 2011). Investor yang memutuskan untuk membeli saham suatu perusahaan akan melihat bagaimana efektifitas kinerja anggota dewan dalam mengelola dan mengawasi perusahaan. Carter (1990), Certo (2001), dan Yatim (2011) berpendapat bahwa semakin banyak jumlah dewan, maka semakin 18 baik pula dampak yang ditimbulkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah dewan yang tinggi akan memberikan saran, pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dalam pengelolaan perusahaan sehingga akan berdampak pada kinerja keuangan yang baik. 2.5.2. Independensi Dewan Komisaris Independensi Dewan Komisaris merupakan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dan tidak ada hubungan usaha sama sekali dengan perusahaan yang bersangkutan. Menurut Yatim (2011), indikator penilaian untuk independensi dewan komisaris adalah prosentase jumlah pengawas (komisaris) yang berasal dari luar perusahaan di dalam struktur dewan. Semakin banyak jumlah komisaris independen yang ditempatkan di suatu perusahaan maka akan berdampak baik bagi perusahaan karena pengawasan yang dilakukan akan semakin efektif. Artinya, pengawasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berasal dari luar perusahaan akan semakin baik. Mereka tidak akan memihak pada salah satu baik itu prinsipal maupun agen karena tujuan utamanya adalah meningkatkan nilai perusahaan. 2.5.3. Reputasi Dewan Komisaris Reputasi dewan merupakan salah satu indikator yang penting bagi investor untuk menilai suatu perusahaan. Reputasi dewan dilihat dari kemampuan, keterampilan serta pengalaman yang dimiliki dewan tersebut dalam menjalankan peran dan tugasnya. Penilaian reputasi dewan dilihat dari jumlah dewan yang memiliki keanggotaan dewan di perusahaan lain (Yatim, 2011). 19 Reputasi merupakan sebuah kekayaan karena kepemilikan status. Pernyataan ini diungkapkan oleh D’Aveni (1990). Selanjutnya, menurutnya reputasi dewan memberikan sinyal kualitas perusahaan dengan cara memfasilitasi hubungan antar organisasi. Artinya, dewan (komisaris) yang berwibawa dan bereputasi tinggi akan mampu membentuk hubungan yang baik dengan orang ataupun organisasi (perusahaan) lain. Dengan demikian dewan yang seperti uraian di atas akan mampu berpartisipasi dan berbaur dalam pertemuan apapun dengan para investor, pemasok, pelanggan dan yang paling utama adalah perusahaan lain. Hal inilah yang memungkinkan dewan bereputasi baik memiliki jabatan dewan di perusahaan lain. 2.5.4. Kualitas Auditor Transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu prinsip tata kelola perusahaan. Ketika perusahaan melakukan IPO, transparansi informasi yang tinggi akan mengurangi informasi asimetris yang terjadi antara pihak manajemen dan investor. Salah satu bentuk keterbukaan dari perusahaan yang akan melakukan IPO adalah dengan menerbitkan laporan keuangan. Laporan keuangan dapat menjadi media pembuktian perusahaan mengenai sistem tata kelola perusahaan. Laporan keuangan berfungsi sebagai sumber informasi yang digunakan publik, terutama bagi para investor dan kreditur untuk mengetahui keadaan perusahaan pada saat laporan keuangan tersebut diterbitkan. Laporan keuangan harus sesuai dengan keadaan perusahaan yang 20 sebenarnya, sehingga diperlukan pemeriksaan dalam pencatatannya agar tidak timbul kesalahan saji baik disengaja maupun tidak, dan kecurangan yang mungkin timbul dalam penyajian materi laporan keuangan. Oleh karena itu, diperlukan peran dari pihak luar perusahaan untuk mengaudit laporan keuangan yang akan diterbitkan. Perusahaan dapat menggunakan jasa auditor independen untuk memeriksa laporan keuangan. Auditor independen merupakan auditor yang bertanggung jawab mengenai pemeriksaan laporan keuangan perusahaan yang akan dipublikasikan serta memberikan opini mengenai informasi yang diaudit (Arens dkk, 2003). Dengan menggunankan jasa auditor independen dalam Kantor Akuntan Publik (KAP), kredibiltas dari laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan akan terjamin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arnan dkk (2009), bahwa auditor independen dapat memberikan keyakinan yang bernilai mengenai informasi operasi, keandalan dan keamanan sistem informasi, dan pengendalian internal suatu entitas. Kepercayaan atau keyakinan investor akan laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan berkaitan dengan kualitas auditor. Kualitas auditor dapat ditunjukkan dengan jumlah klien yang ditangani oleh auditor tersebut. Kantor Akuntan Publik (KAP) yang memiliki reputasi yang tinggi cenderung akan melakukan pemeriksaan dengan lebih teliti, karena mereka tidak ingin kehilangan klien dengan melakukan kesalahan audit. 21 2.6. Penelitian Terdahulu Sebelum penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa penelitian yang lebih dahulu dilakukan mengenai pengaruh tata kelola perusahaan terhadap underpricing IPO. Arif Wahyu Hidayat dan Retno Kusumastuti (2014) melakukan penelitian berdasarkan teori sinyal bahwa struktur tata kelola perusahaan yang baik akan memberikan sinyal kualitas perusahaan yang tinggi (sinyal positif) kepada investor potensial ketika perusahaan melakukan IPO. Komponen struktur tata kelola perusahaan tersebut adalah jumlah dewan komisaris, jumlah independensi dewan komisaris, keberadaan komite audit dan di analisis dengan menggunakan model regresi linier berganda. Sampel observasi untuk penelitian berjumlah 95 perusahaan yang melakukan IPO dan terdaftar di BEI dari tahun 20052012. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah jumlah anggota dewan komisaris memiliki hubungan yang negatif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing, sedangkan tingkat independensi dan keberadaan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Bangkit Sasongko dan Agung Juliarto (2014) menguji mengenai pengaruh karakteristik tata kelola perusahaan terhadap tingkat underpricing saham IPO. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO sebanyak 58 perusahaan dengan periode waktu dari tahun 2006 – 2013. Proksi yang digunakan untuk melakukan pengukuran tata kelola perusahaan adalah ukuran dewan, jumlah komisaris independen, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional. Hasil dari penelitian ini adalah ukuran dewan dan kepemilikan institsional 22 memiliki pengaruh signifikan dengan korelasi negatif dengan tingkat underpricing. Konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat underpricing. Sedangkan jumlah dewan komisaris independen dan kepemilikan manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat underpricing. Salim Darmadi dan Randy Gunawan (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh corporate governance terhadap undepricing dengan komponen untuk corporate governance adalah board size, board independence, ownership concentration dan institutional ownership. Penelitian ini diujikan pada perusahaan yang melakukan IPO yang tercatat pada BEI pada periode 2003-2011 dengan jumlah sampel sebanyak 101 perusahaan. Hasil yang didapat oleh kedua peneliti ini adalah board size dan institutional ownership memiliki pengaruh signifikan dan negatif terhadap underpricing. Board independence berpengaruh signifikan dan positif. Sedangkan ownership consentration merupakan satu – satunya variabel yang ditolak. Artinya, ownership concentration tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Jin Zhou dan Lan – Jun Lao (2012) meneliti faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing di Bursa Saham Tiongkok, ChiNext. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO sebanyak 65 perusahaan yang terdaftar di ChiNext. Faktor yang diduga mempengaruhi underpricing adalah firm age, retained rate, proportion of state-owned shares, institutional investors shareholding ratio, firm size, ownership concentration, equity balance, lot winning rate, growth rate of business profit, return on equity, financial leverage, and offering P/E. Hasil 23 dari penelitian ini yang memiliki pengaruh terhadap tingkat undepricing hanya offering P/E saja. Variabel tersebut memiliki pengaruh signifikan dengan hubungan arah yang negatif. Sementara variabel lainnya tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat underpricing. Penelitian terdahulu selanjutnya dilakukan oleh Puan Yatim (2011) dengan variabel independen adalah board independence, board size, board reputation dan dual leadership structure. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan IPO di negara Malaysia pada periode dari tahun 1999-2008 dengan jumlah sebanyak 385 perusahaan. Hasil dari penelitian ini adalah board structure dan board independence tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing, sedangkan dua variabel independen lainnya berpengaruh signifikan dan positif. Lulus Kurniasih dan Arif Lukman Santoso (2011) juga melakukan uji pengaruh corporate governance terhadap underpricing dengan sampel penelitian sebanyak 100 perusahaan yang melakukan IPO pada periode 1994-2002. Indikator tata kelola perusahaan yang digunakan adalah jumlah dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan istitusional dan kualitas audit. Hasil yang diperoleh adalah kepemilikan manajerial dan institusional serta kualitas audit memiliki hubungan positif dengan variabel independen, namun tidak signifikan. Sedangkan untuk variabel jumlah dewan komisaris berpengaruh negatif dan tidak signifikan. Chih – Pin Lin dan Chen Min Chuang (2011) melakukan penelitian yang sama dengan proksi tata kelola perusahaan adalah kepemilikan manajer puncak, kepemilikan keluarga, kepemilikan institusional, dualitas 24 CEO, dan direksi independen luar. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 525 perusahaan yang melakukan IPO di Taiwan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Kepemilikan institusional dan dualitas CEO berpengaruh secara signifikan dan memiliki hubungan yang positif. Kemudian dewan independen luar berpengaruh secara signifikan dan negatif. Sedangkan untuk kepemilikan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan. Kepemilikan manajer puncak tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap underpricing. Anis Mnif (2010) melakukan pengujian mengenai pengaruh struktur dewan terhadap tingkat underpricing berdasarkan teori sinyal dan teori agensi di Prancis. Struktur dewan yang baik akan memberikan sinyal positif mengenai kualitas perusahaan untuk investor potensial ketika melakukan IPO. Sampel observasi untuk data penelitian berjumlah 133 perusahaan yang melakukan IPO di Prancis dalam periode waktu antara tahun 2000 – 2004. Komponen untuk struktur dewan yang digunakan adalah komposisi dewan, ukuran dewan, struktur kepemimpinan (CEO Duality), dan keberadaan komite audit. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ukuran dewan memiliki hubungan positif dan signifikan, sedangkan komposisi dewan memiliki hubungan negatif dan signifikan. Dua variabel lainnya, yaitu struktur kepemimpinan dan keberadaan komite audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing. 2.7. Hipotesis 2.7.1. Ukuran Dewan dengan Tingkat Underpricing Saham IPO Berbagai penelitian telah dilakukan dan memberikan hasil yang beragam. Sebagian peneliti berpendapat bahwa jumlah 25 dewan, baik dewan komisaris mapun dewan direksi, yang terlalu banyak akan membuat pelakasanaan tugas dan peran dalam perusahaan menjadi buruk, selain itu akan menyebabkan masalah koordinasi dan pengambilan keputusan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Lipton dan Lorsch (1992). Pendapat peneliti tersebut didukung oleh Jensen (1993), yang berpendapat bahwa jumlah dewan yang sedikit akan lebih efektif, karena jumlah dewan yang besar cenderung menimbulkan masalah koordinasi pada karyawan serta akan muncul masalah pengambilan keputusan. Pendapat lainnya mengenai hubungan jumlah dewan dengan underpricing diungkapkan oleh Certo et al. (2001). Certo mengungkapkan bahwa board size dan underpricing memiliki hubungan yang negatif. Selain peneliti di atas, beberapa peneliti lain juga berpendapat mengenai jumlah dewan dalam suatu perusahaan. Peneliti tersebut anatar lain adalah Beiner, Drobetz, Schmid, dan Zimmermann (2006), yang mengemukakan bahwa jumlah dewan yang besar akan memberikan pengetahuan dan pengalaman serta menawarkan saran yang lebih baik dalam pengelolaaan perusahaan. Sesuai dengan pernyataan Yatim (2011) bahwa jumlah dewan yang lebih besar akan menguntungkan emiten karena dianggap mampu mengurangi ketidakpastian pada perusahaan yang masih baru, maka hipotesis ketiga dapat dirumuskan sebagai berikut : 26 H1 : Ukuran Dewan berpengaruh secara negatif terhadap tingkat underpricing saham IPO 2.7.2. Independensi Dewan Komisaris dengan Tingkat Underpricng Saham IPO Independensi Dewan Komisaris merupakan salah satu indikator untuk menentukan tata kelola perusahaan yang baik. Independensi Dewan Komisaris berasal dari luar perusahaan dan tidak memiliki hubungan apapun dengan perusahaan. Terdapat anggapan bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris independen, maka pengawasan terhadap manajemen akan semakin efektif. Pernyataan ini diungkapkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Dewan Komisaris Independen berperan untuk menjembatani pihak pemilik dan pengelola, dalam hal ini adalah pemegang saham dan manajemen. Selain dua pihak tersebut, komisaris independen juga berperan melindungi hak-hak pemegang saham minoritas. Dengan menjembatani keinginan antara kedua belah pihak, maka diharapkan komisaris independen akan mengurangi konflik kepentingan yang terjadi akibat adanya informasi asimetris dan mengurangi tingkat underpricing pada saat melakukan IPO. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hipotesis pertama dapat dirumuskan sebagai berikut : H2 : Independensi Dewan Komisaris berpengaruh secara negatif terhadap tingkat underpricing saham IPO 27 2.7.3. Reputasi Dewan Komisaris dengan Tingkat Underpricng Saham IPO Reputasi Dewan Komisaris dapat digunakan emiten untuk memberikan sinyal kepada para investor. Banyak peneliti yang menganggap bahwa dewan komisaris yang memiliki beberapa jabatan dewan di perusahaan lain merupakan dewan berkualitas tinggi. Para dewan tersebut dapat memiliki jabatan sebagai dewan lebih dari satu karena memiliki kemampuan dan pengalaman yang banyak. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Certo (2003) yang mengungkapkan bahwa wibawa dan reputasi dewan didapat dari keterampilan, pengalaman, jaringan sosial dan jaringan perusahaan. Reputasi Dewan yang tinggi diharapkan mampu memberikan dampak positif pada saat perusahaan melakukan IPO. Artinya, reputasi dewan yang tinggi akan memberikan sinyal positif kepada investor potensial dan mengarah pada rendahnya tingkat underpricing. Jika mengacu pada teori sinyal, maka seharusnya reputasi dewan berhubungan negatif dengan tingkat underpricing IPO. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan hipotesis ketiga adalah sebagai berikut : H3 : Reputasi Dewan Komisaris berpengaruh secara negatif terhadap tingkat underpricing saham IPO 28 2.7.4. Kualitas Auditor dengan Tingkat Underpricing Saham IPO Kebenaran informasi laporan keuangan merupakan satu hal yang sangat penting ketika perusahaan melakukan akan melakukan IPO. Emiten cenderung memilih auditor yang memiliki reputasi tinggi. Hal ini dilakukan agar perusahaan yang akan melakukan IPO mendapatkan kepercayaan dari publik karena perusahaan dirasa mampu menunjukkan nilai perusahaan yang sebenarnya. Kualitas suatu auditor independen dapat dinilai dari berapa banyak perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh suatu KAP. Dengan menggunakan KAP yang memiliki reputasi yang tinggi, kualitas auditor diduga akan menurunkan tingkat underpricing yang mungkin terjadi ketika perusahaan menjual saham di pasar perdana. H4 : Reputasi Auditor berpengaruh secara negatif terhadap tingkat underpricing saham IPO 29 2.8. Kerangka Penelitian VARIABEL INDEPENDEN : Ukuran Dewan Independensi Dewan Komisaris Reputasi Dewan Komisaris Kualitas Auditor IPO UNDERPRICING VARIABEL KONTROL : Ukuran Perusahaan Umur Perusahaan ROA Gambar II.2 Kerangka Pemikiran Teoritis