9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Initial Public Offering (IPO) Pasar

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Initial Public Offering (IPO)
Pasar perdana merupakan tempat atau sarana bagi perusahaan
ketika pertama kali menawarkan saham atau obligasi ke masyarakat umum
(Samsul, 2006). Perusahaan yang ingin go public akan melangkah ke
pasar perdana untuk menawarkan IPO kepada para investor pertama
sebelum para investor tersebut meperjualbelikan saham tersebut di pasar
sekunder. Namun sebelum melangkah ke pasar perdana, banyak
persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan agar dapat melakukan IPO.
Syarat – syarat perusahaan yang ingin go public atau emiten diurus oleh
underwriter. Tidak hanya itu, underwriter bersama dengan emiten
berunding untuk mendapatkan harga saham perdana yang dirasa cukup
pantas untuk ditawarkan kepada publik. Harga yang terlalu tinggi akan
membuat investor ragu – ragu untuk membeli. Namun harga yang terlalu
rendah juga akan membuat investor tidak tertarik membeli, karena harga
dianggap terlalu murah. Harga tersebut merupakan cerminan keadaan
perusahaan, sehingga jika terlalu tinggi atau bahkan rendah maka akan
menjadi masalah. Oleh karena itu pihak emiten dan underwriter harus
benar – benar memikirkan harga yang cocok untuk melempar saham ke
pasar.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal makna go public adalah kegiatan penawaran saham
atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan penerbit saham)
9
10
kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar
Modal dan Peraturan Pelaksanaanya. Istilah Go Public ini digunakan oleh
perusahaan ketika pertama kali diperkenalkan ke masyarakat luas dengan
diikuti kegiatannya adalah IPO atau meluncurkan saham perdana.
Perusahaan yang memutuskan untuk go public akan mendapatkan
manfaat yang cukup besar, termasuk manfaat mendapatkan tambahan
modal. Berikut di bawah ini merupakan keuntungan yang didapat
perusahaan ketika memutuskan untuk go public menurut Jogiyanto (2003) :
1.
Kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang.
2.
Meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham.
3.
Nilai pasar perusahaan diketahui.
Akan sangat menguntungkan bagi perusahaan yang memutuskan
untuk go public. Perusahaan yang memutuskan go public akan berubah
dari perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka (tbk). Perusahaan
tersebut akan dikenal oleh masyarakat dan jika kinerja keuangan
perusahaan semakin membaik setelah melakukan IPO, maka nilai
perusahaan juga akan semakin meningkat.
2.2. Underpricing
Dalam kegiatan IPO terdapat kondisi – kondisi tertentu dimana
kondisi tersebut akan menentukan nilai perusahaan, yaitu underpricing dan
overpricing. Underpricing terjadi ketika harga awal lebih rendah jika
dibandingkan dengan harga pasar. Sebaliknya, overpricing terjadi ketika
harga awal lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Underpricing
merupakan biaya tidak langsung (indirect cost) bagi perusahaan yang
melakukan IPO (issuer). Leland dan Pyle (1977), menyatakan bahwa
11
underpricing
digunakan
oleh
perusahaan
penerbit
saham
untuk
memberikan sinyal atas kualitas penerbitan.
Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir
underpricing karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer
kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada investor (Beatty, 1989). Ketika
terjadi underpricing, investor mendapatkan initial return. Menurut Daldjono
(2000), initial return merupakan keuntungan yang didapatkan investor
karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana (saat IPO)
dengan harga jual saham yang bersangkutan di hari pertama di pasar
sekunder. Walaupun demikian, Brealy et al (2008) menyatakan bahwa
underpricing dianggap mampu menarik minat investor untuk membeli
saham pada suatu perusahaan karena secara tidak langsung harga saham
yang cenderung rendah akan membujuk para investor untuk membeli
saham pada suatu perusahaan dan mengurangi biaya pemasaran emisi
pada investor itu sendiri.
2.3. Informasi Asimetris (Asymetric Information)
Informasi Asimetris terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan
informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat pada saat IPO. Pihak
yang terlibat antara lain emiten, investor dan underwriter. Informasi
asimetris akan berdampak pada underpricing. Pernyataan tersebut sama
seperti yang diungkapkan Rock (1986), bahwa undepricing terjadi karena
informasi asimetris yang terjadi dalam IPO antara investor yang memiliki
informasi dan investor yang kurang memiliki informasi.
Rock (1986) mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis investor,
yaitu investor yang memiliki informasi dan investor yang tidak memiliki
12
informasi. Dalam pelaksanaan IPO, investor yang memiliki informasi lebih
mengenai saham IPO, hanya membeli saham yang sudah dipastikan
harganya akan naik setelah IPO. Sedangkan untuk investor yang tidak
memiliki informasi akan membeli sisanya atau dengan kata lain, membeli
secara sembarangan. Investor yang tidak memilliki informasi ini jelas akan
mengalami kerugian jika harga saham setelah IPO yang mereka beli
memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan dengan saat IPO terjadi.
Kejadian tersebut akan membuat para investor tanpa informasi untuk
meninggalkan pasar karena telah mengalami kerugian yang sangat besar.
Hal ini yang mendorong harga saham underpriced untuk mecegah para
investor tanpa informasi melangkah keluar dari pasar dan menutup
kerugian yang mereka alami.
Selain dari pihak investor, juga terdapat informasi asimetris dari
pihak emiten dan underwriter. Menurut Sasongko dan Juliarto (2014),
underwriter memiliki informasi yang lebih mengenai permintaan saham di
pasar dibandingkan dengan emiten. Situasi ini dimanfaatkan underwriter
untuk memperkecil resiko saham yang tidak terjual akibat harga yang
terlalu tinggi, sehingga underwriter mendorong agar harga saham IPO
dibuat underpriced. Keputusan ini berdampak pada emiten yang harus
menerima harga murah untuk saham yang diterbitkannya.
2.4. Teory Sinyal (Signalling Theory)
Signaling Theory dalam pelaksanaan IPO menjelaskan bahwa
perusahaan harus memberikan sinyal positif mengenai kualitas perusahaan
mereka untuk menghindari terjadinya informasi yang asimetris. Yatim
(2011) menyatakan bahwa emiten harus secara efektif mendemonstrasikan
13
nilai perusahaan kepada investor agar emiten dapat memaksimalkan harga
pada saat menjual saham.
Perusahaan yang go public biasanya merupakan perusahaan baru
yang belum mapan dan belum memiliki informasi publik yang dapat
digunakan investor untuk menilai kualitas suatu perusahaan dan membuat
para investor tertarik. Oleh karena itu, pihak manajemen dari perusahaan
yang akan go public menggunakan mekanisme tata kelola perusahaan
untuk memperlihatkan kepada publik kualitas perusahaan mereka. Pihak
manajemen harus menyakinkan para pengamat dan investor bahwa
perusahaan mereka memiliki kemampuan potesial jangka panjang. Artinya,
memberikan sinyal positif mengenai keadaan perusahaan kepada publik.
Dengan demikian, sesuai pernyataan yang dikeluarkan Lawless, Ferris dan
Bacon (1998), dapat diambil kesimpulan bahwa pihak manajemen
merupakan sumber dari informasi berkualitas mengenai potensi kinerja
perusahaan di masa depan.
Menurut Yatim (2011), sinyal positif yang akan dikeluarkan
perusahaan harus memiliki karakteristik. Sinyal dari emiten harus jelas dan
mudah
untuk
dipelajari.
Hal
ini
bertujuan
agar
investor
dapat
menggunakannya secara efektif untuk menilai kualitas perusahaan yang
akan go public. Selain hal tersebut di atas, sinyal dari emiten untuk publik
juga harus memiliki biaya yang tinggi serta unik agar tidak ditiru oleh
perusahaan lain yang memiliki kualitas yang lebih rendah.
Lebih lanjut, teori sinyal menjelaskan bahwa perusahaan yang
berkualitas baik akan sengaja memberikan sinyal kepada pasar, dengan
demikian pasar akan mengetahui dan membedakan perusahaan yang
14
berkualitas
baik
maupun
yang
kurang
baik
(Megginson,
1997).
Underpricing juga dapat dikatakan sebagai sinyal positif dari issuer kepada
calon investor. Menurut Grinblatt dan Hwang (1989), pada saat perusahaan
melakukan IPO, terjadi informasi yang asimetris seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Informasi asimetris terjadi antara issuer dengan
calon investor karena issuer memiliki informasi yang lebih mengenai
kondisi perusahaannya. Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan
informasi asimetris ini, maka issuer memberikan sinyal kepada calon
investor dengan melakukan underpricing.
2.5. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)
Tata Kelola Perusahaan merupakan seperangkat sistem yang
mengatur hubungan antara pihak manajemen, dewan-dewan, pemegang
saham dan pemangku kepentingan lainnya di dalam perusahaan dengan
tujuan
untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (Cadburry Comitte, 1992). Lebih lanjut lagi dijelaskan
bahwa
tata kelola perusahaan merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan jalannya perusahaan. Menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) ada beberapa prinsip yang harus dipegang oleh
perusahaan, yaitu:
1.
Transparansi
Prinsip transparansi berarti bersikap jujur kepada semua stakeholder
(semua pihak yang terlibat baik yang berhubungan langsung maupun
tidak langsung dengan perusahaan) dalam menjalankan perusahaan.
Transparansi ini tidak hanya jujur saat membuat laporan usaha saja,
namun juga jujur dengan informasi yang dimiliki perusahaan. Sebelum
15
investor membeli saham IPO pada perusahaan yang akan go public,
investor harus membaca prospektus yang disediakan oleh emiten.
Prospektus ini harus mengandung prinsip transparansi agar investor
mampu
menyerap
dan menganalisis informasi yang diberikan
perusahaan tersebut. Prinsip transparansi akan memberikan rasa
aman dan percaya dari pihak investor atas dana yang mereka
investasikan kepada perusahaan.
2.
Accountability
Artinya adalah perusahaan harus memperjelas fungsi, sistem, struktur
dan
pertanggungjawaban
semua
pihak
yang
terlibat
dalam
pengelolaan perushaaan. Perusahaan harus membuat job description
agar pihak-pihak pengelola mengetahui dengan jelas mengenai hak
dan kewajiban, fungsi dan tanggung jawab serta kewenangannya.
3.
Responsibility
Perusahaan harus menyadari bahwa pendirian perusahaan akan
berdampak pada masyarakat sekitar. Maka dari itu, perusahaan harus
memperhatikan amdal, keamanan lingkungan dan juga norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Perusahaan harus aktif dalam
menangani gejolak yang terjadi dalam masyarakat sekitar perusahaan
berdiri.
4.
Independensi
Independensi adalah keadaan dimana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa tekanan atau benturan kepentingan dari berbagai
pihak yang kemungkinan akan bertentangan dengan prinsip dan
undang-undang pengelolaan korporasi yang sehat. Independensi
16
sangat penting untuk pengambilan keputusan. Jika independensi
hilang dalam proses tersebut, maka kepentingan perusahaan yang
merupakan
prioritas
perusahaan
harus
masyarakat.
utama
akan
dikorbankan.
berjalan
tegak
dan
Keduanya
harus
Intinya
bergandengan
diuntungkan
agar
adalah
dengan
pengelolaan
perusahaan dapat terjaga dengan baik.
5.
Fairness
Kesetaraan atau perlakuan adil kepada semua stakeholder dalam
memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku. Perusahaan harus membuat sistem yang baik agar
semua pihak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan mereka
sehingga keadilan dalam pengelolaan perusahaan akan tercipta.
Teori mengenai tata kelola perusahaan sangat berkaitan dengan
teori keagenan sesuai dengan apa yang diungkapkan Jensen dan Meckling
(1976).
Teori
keagenan
menjelaskan
bahwa
terdapat
perbedaan
kepentingan antara agent dan principal. Agent disini merupakan pihak
manajemen sedangkan principal merupakan pemegang saham. Pemegang
saham memberikan wewenang kepada pihak manajemen untuk mengelola
perusahaan, namun yang seringkali terjadi adalah pihak manajemen tidak
bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh principal. Hal ini
disebabkan karena pihak manajemen juga memiliki kepentingan tersendiri,
yaitu guna memajukan kemakmuran pihak manajemen. Pihak agen yang
risk averse akan cenderung mementingkan diri mereka sendiri, sehingga
mereka akan mengalokasikan sumber daya untuk investasi yang mungkin
tidak akan mendatangkan nilai tambah (Siallagan dan Macfhoedz, 2006).
17
Mekanisme tata kelola perusahaan yang meliputi mekanisme
internal dan eksternal perusahaan akan mengurangi konflik keagenan yang
mungkin timbul antara pihak manajamen dengan pemegang saham
minoritas (Jensen dan Meckling, 1976). Tata kelola perusahaan yang baik
diharapkan mampu menjembatani perbedaan yang terjadi antara bebagai
pihak yang ada terlibat dalam pengelolaan perusahaan, sehingga biaya
keagenan akibat permasalahan ini dapat dikurangi. Tata kelola perusahaan
memiliki tiga area, yaitu struktur dewan, transparansi informasi dan struktur
kepemilikan. Stuktur dewan (board structure) yang merupakan bagian dari
mekanisme tata kelola perusahaan, memiliki tiga indikator penilaian. Hal ini
berdasarkan
penelitian
terdahulu
milik
Yatim (2011),
yaitu
board
independence, board size dan role duality. Dalam penelitian Yatim (2011)
ketiga indikator tersebut disertakan di dalam penelitian, itu karena sampel
penelitian yang digunakan merupakan perusahaan yang mengadopsi
sistem one-tier. Berbeda dengan di Indonesia yang mengadopsi sistem
two-tier atau kepemimpinan bertingkat. Sistem two-tier memisahkan tugas
dan peran antara pelaksana (dewan direksi) dan pengawas (dewan
komisaris) secara jelas.
2.5.1. Ukuran Dewan
Ukuran Dewan merupakan jumlah total dari direktur dalam
struktur dewan (Yatim, 2011). Investor yang memutuskan untuk
membeli saham suatu perusahaan akan melihat bagaimana
efektifitas kinerja anggota dewan dalam mengelola dan mengawasi
perusahaan. Carter (1990), Certo (2001), dan Yatim (2011)
berpendapat bahwa semakin banyak jumlah dewan, maka semakin
18
baik pula dampak yang ditimbulkan. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah dewan yang tinggi akan memberikan saran, pengetahuan
dan pengalaman yang lebih banyak dalam pengelolaan perusahaan
sehingga akan berdampak pada kinerja keuangan yang baik.
2.5.2. Independensi Dewan Komisaris
Independensi Dewan Komisaris merupakan komisaris yang
berasal dari luar perusahaan dan tidak ada hubungan usaha sama
sekali dengan perusahaan yang bersangkutan. Menurut Yatim
(2011), indikator penilaian untuk independensi dewan komisaris
adalah prosentase jumlah pengawas (komisaris) yang berasal dari
luar perusahaan di dalam struktur dewan. Semakin banyak jumlah
komisaris independen yang ditempatkan di suatu perusahaan maka
akan berdampak baik bagi perusahaan karena pengawasan yang
dilakukan akan semakin efektif.
Artinya, pengawasan
yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berasal dari luar perusahaan akan
semakin baik. Mereka tidak akan memihak pada salah satu baik itu
prinsipal
maupun
agen
karena
tujuan
utamanya
adalah
meningkatkan nilai perusahaan.
2.5.3. Reputasi Dewan Komisaris
Reputasi dewan merupakan salah satu indikator yang
penting bagi investor untuk menilai suatu perusahaan. Reputasi
dewan dilihat dari kemampuan, keterampilan serta pengalaman
yang dimiliki dewan tersebut dalam menjalankan peran dan
tugasnya. Penilaian reputasi dewan dilihat dari jumlah dewan yang
memiliki keanggotaan dewan di perusahaan lain (Yatim, 2011).
19
Reputasi merupakan sebuah kekayaan karena kepemilikan
status.
Pernyataan
ini
diungkapkan
oleh
D’Aveni
(1990).
Selanjutnya, menurutnya reputasi dewan memberikan sinyal
kualitas perusahaan dengan cara memfasilitasi hubungan antar
organisasi. Artinya, dewan (komisaris) yang berwibawa dan
bereputasi tinggi akan mampu membentuk hubungan yang baik
dengan orang ataupun organisasi (perusahaan) lain. Dengan
demikian dewan yang seperti uraian di atas akan mampu
berpartisipasi dan berbaur dalam pertemuan apapun dengan para
investor, pemasok, pelanggan dan yang paling utama adalah
perusahaan lain. Hal inilah yang memungkinkan dewan bereputasi
baik memiliki jabatan dewan di perusahaan lain.
2.5.4. Kualitas Auditor
Transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu
prinsip tata kelola perusahaan. Ketika perusahaan melakukan IPO,
transparansi informasi yang tinggi akan mengurangi informasi
asimetris yang terjadi antara pihak manajemen dan investor. Salah
satu bentuk keterbukaan dari perusahaan yang akan melakukan
IPO adalah dengan menerbitkan laporan keuangan. Laporan
keuangan dapat menjadi media pembuktian perusahaan mengenai
sistem tata kelola perusahaan. Laporan keuangan berfungsi
sebagai sumber informasi yang digunakan publik, terutama bagi
para investor dan kreditur untuk mengetahui keadaan perusahaan
pada
saat
laporan
keuangan
tersebut
diterbitkan.
Laporan
keuangan harus sesuai dengan keadaan perusahaan yang
20
sebenarnya,
sehingga
diperlukan
pemeriksaan
dalam
pencatatannya agar tidak timbul kesalahan saji baik disengaja
maupun tidak, dan kecurangan yang mungkin timbul dalam
penyajian materi laporan keuangan. Oleh karena itu, diperlukan
peran dari pihak luar perusahaan untuk mengaudit laporan
keuangan yang akan diterbitkan.
Perusahaan dapat menggunakan jasa auditor independen
untuk
memeriksa
laporan
keuangan.
Auditor
independen
merupakan auditor yang bertanggung jawab mengenai pemeriksaan
laporan keuangan perusahaan yang akan dipublikasikan serta
memberikan opini mengenai informasi yang diaudit (Arens dkk,
2003). Dengan menggunankan jasa auditor independen dalam
Kantor Akuntan Publik (KAP), kredibiltas dari laporan keuangan
yang diterbitkan perusahaan akan terjamin. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Arnan dkk (2009), bahwa auditor independen dapat
memberikan keyakinan yang bernilai mengenai informasi operasi,
keandalan dan keamanan sistem informasi, dan pengendalian
internal suatu entitas.
Kepercayaan
atau
keyakinan
investor
akan
laporan
keuangan yang diterbitkan perusahaan berkaitan dengan kualitas
auditor. Kualitas auditor dapat ditunjukkan dengan jumlah klien yang
ditangani oleh auditor tersebut. Kantor Akuntan Publik (KAP) yang
memiliki
reputasi
yang
tinggi
cenderung
akan
melakukan
pemeriksaan dengan lebih teliti, karena mereka tidak ingin
kehilangan klien dengan melakukan kesalahan audit.
21
2.6. Penelitian Terdahulu
Sebelum penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa penelitian yang
lebih dahulu dilakukan mengenai pengaruh tata kelola perusahaan
terhadap underpricing IPO. Arif Wahyu Hidayat dan Retno Kusumastuti
(2014) melakukan penelitian berdasarkan teori sinyal bahwa struktur tata
kelola perusahaan yang baik akan memberikan sinyal kualitas perusahaan
yang tinggi (sinyal positif) kepada investor potensial ketika perusahaan
melakukan IPO. Komponen struktur tata kelola perusahaan tersebut adalah
jumlah
dewan
komisaris,
jumlah
independensi
dewan
komisaris,
keberadaan komite audit dan di analisis dengan menggunakan model
regresi linier berganda. Sampel observasi untuk penelitian berjumlah 95
perusahaan yang melakukan IPO dan terdaftar di BEI dari tahun 20052012. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah jumlah anggota
dewan komisaris memiliki hubungan yang negatif dan berpengaruh
signifikan terhadap tingkat underpricing, sedangkan tingkat independensi
dan keberadaan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
underpricing.
Bangkit Sasongko dan Agung Juliarto (2014) menguji mengenai
pengaruh karakteristik tata kelola perusahaan terhadap tingkat underpricing
saham IPO. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang
melakukan IPO sebanyak 58 perusahaan dengan periode waktu dari tahun
2006 – 2013. Proksi yang digunakan untuk melakukan pengukuran tata
kelola perusahaan adalah ukuran dewan, jumlah komisaris independen,
konsentrasi kepemilikan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional.
Hasil dari penelitian ini adalah ukuran dewan dan kepemilikan institsional
22
memiliki pengaruh signifikan dengan korelasi negatif dengan tingkat
underpricing. Konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh signifikan dan
positif terhadap tingkat underpricing. Sedangkan jumlah dewan komisaris
independen dan kepemilikan manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap
tingkat underpricing.
Salim Darmadi dan Randy Gunawan (2013) melakukan penelitian
mengenai pengaruh corporate governance terhadap undepricing dengan
komponen untuk corporate governance adalah board size, board
independence, ownership concentration dan institutional ownership.
Penelitian ini diujikan pada perusahaan yang melakukan IPO yang tercatat
pada BEI pada periode 2003-2011 dengan jumlah sampel sebanyak 101
perusahaan. Hasil yang didapat oleh kedua peneliti ini adalah board size
dan institutional ownership memiliki pengaruh signifikan dan negatif
terhadap underpricing. Board independence berpengaruh signifikan dan
positif. Sedangkan ownership consentration merupakan satu – satunya
variabel yang ditolak. Artinya, ownership concentration tidak berpengaruh
signifikan terhadap underpricing.
Jin Zhou dan Lan – Jun Lao (2012) meneliti faktor – faktor yang
mempengaruhi tingkat underpricing di Bursa Saham Tiongkok, ChiNext.
Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang melakukan IPO
sebanyak 65 perusahaan yang terdaftar di ChiNext. Faktor yang diduga
mempengaruhi underpricing adalah firm age, retained rate, proportion of
state-owned shares, institutional investors shareholding ratio, firm size,
ownership concentration, equity balance, lot winning rate, growth rate of
business profit, return on equity, financial leverage, and offering P/E. Hasil
23
dari penelitian ini yang memiliki pengaruh terhadap tingkat undepricing
hanya offering P/E saja. Variabel tersebut memiliki pengaruh signifikan
dengan hubungan arah yang negatif. Sementara variabel lainnya tidak
memiliki pengaruh terhadap tingkat underpricing.
Penelitian terdahulu selanjutnya dilakukan oleh Puan Yatim (2011)
dengan variabel independen adalah board independence, board size,
board reputation dan dual leadership structure. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan IPO di negara
Malaysia pada periode dari tahun 1999-2008 dengan jumlah sebanyak 385
perusahaan. Hasil dari penelitian ini adalah board structure dan board
independence tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing,
sedangkan dua variabel independen lainnya berpengaruh signifikan dan
positif.
Lulus Kurniasih dan Arif Lukman Santoso (2011) juga melakukan uji
pengaruh corporate governance terhadap underpricing dengan sampel
penelitian sebanyak 100 perusahaan yang melakukan IPO pada periode
1994-2002. Indikator tata kelola perusahaan yang digunakan adalah jumlah
dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan istitusional dan
kualitas audit. Hasil yang diperoleh adalah kepemilikan manajerial dan
institusional serta kualitas audit memiliki hubungan positif dengan variabel
independen, namun tidak signifikan. Sedangkan untuk variabel jumlah
dewan komisaris berpengaruh negatif dan tidak signifikan.
Chih – Pin Lin dan Chen Min Chuang (2011) melakukan penelitian
yang sama dengan proksi tata kelola perusahaan adalah kepemilikan
manajer puncak, kepemilikan keluarga, kepemilikan institusional, dualitas
24
CEO, dan direksi independen luar. Penelitian ini menggunakan sampel
sebanyak 525 perusahaan yang melakukan IPO di Taiwan. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini adalah Kepemilikan institusional dan dualitas
CEO berpengaruh secara signifikan dan memiliki hubungan yang positif.
Kemudian dewan independen luar berpengaruh secara signifikan dan
negatif. Sedangkan untuk kepemilikan keluarga memiliki pengaruh yang
signifikan. Kepemilikan manajer puncak tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap underpricing.
Anis Mnif (2010) melakukan pengujian mengenai pengaruh struktur
dewan terhadap tingkat underpricing berdasarkan teori sinyal dan teori
agensi di Prancis. Struktur dewan yang baik akan memberikan sinyal positif
mengenai kualitas perusahaan untuk investor potensial ketika melakukan
IPO. Sampel observasi untuk data penelitian berjumlah 133 perusahaan
yang melakukan IPO di Prancis dalam periode waktu antara tahun 2000 –
2004. Komponen untuk struktur dewan yang digunakan adalah komposisi
dewan, ukuran dewan, struktur kepemimpinan (CEO Duality), dan
keberadaan komite audit. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah
ukuran dewan memiliki hubungan positif dan signifikan, sedangkan
komposisi dewan memiliki hubungan negatif dan signifikan. Dua variabel
lainnya, yaitu struktur kepemimpinan dan keberadaan komite audit tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing.
2.7. Hipotesis
2.7.1. Ukuran Dewan dengan Tingkat Underpricing Saham IPO
Berbagai penelitian telah dilakukan dan memberikan hasil
yang beragam. Sebagian peneliti berpendapat bahwa jumlah
25
dewan, baik dewan komisaris mapun dewan direksi, yang terlalu
banyak akan membuat pelakasanaan tugas dan peran dalam
perusahaan menjadi buruk, selain itu akan menyebabkan masalah
koordinasi
dan
pengambilan
keputusan.
Pernyataan
ini
diungkapkan oleh Lipton dan Lorsch (1992). Pendapat peneliti
tersebut didukung oleh Jensen (1993), yang berpendapat bahwa
jumlah dewan yang sedikit akan lebih efektif, karena jumlah dewan
yang besar cenderung menimbulkan masalah koordinasi pada
karyawan serta akan muncul masalah pengambilan keputusan.
Pendapat lainnya mengenai hubungan jumlah dewan dengan
underpricing
diungkapkan
oleh
Certo
et
al.
(2001).
Certo
mengungkapkan bahwa board size dan underpricing memiliki
hubungan yang negatif.
Selain
peneliti
di
atas,
beberapa
peneliti
lain
juga
berpendapat mengenai jumlah dewan dalam suatu perusahaan.
Peneliti tersebut anatar lain adalah Beiner, Drobetz, Schmid, dan
Zimmermann (2006), yang mengemukakan bahwa jumlah dewan
yang besar akan memberikan pengetahuan dan pengalaman serta
menawarkan
saran
yang
lebih
baik
dalam
pengelolaaan
perusahaan.
Sesuai dengan pernyataan Yatim (2011) bahwa
jumlah dewan yang lebih besar akan menguntungkan emiten
karena
dianggap
mampu
mengurangi
ketidakpastian
pada
perusahaan yang masih baru, maka hipotesis ketiga dapat
dirumuskan sebagai berikut :
26
H1 : Ukuran Dewan berpengaruh secara negatif terhadap
tingkat underpricing saham IPO
2.7.2. Independensi Dewan Komisaris dengan Tingkat Underpricng
Saham IPO
Independensi Dewan Komisaris merupakan salah satu
indikator untuk menentukan tata kelola perusahaan yang baik.
Independensi Dewan Komisaris berasal dari luar perusahaan dan
tidak memiliki hubungan apapun dengan perusahaan. Terdapat
anggapan bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris
independen,
maka
pengawasan
terhadap
manajemen
akan
semakin efektif. Pernyataan ini diungkapkan oleh Jensen dan
Meckling (1976).
Dewan Komisaris Independen berperan untuk menjembatani
pihak pemilik dan pengelola, dalam hal ini adalah pemegang saham
dan manajemen. Selain dua pihak tersebut, komisaris independen
juga berperan melindungi hak-hak pemegang saham minoritas.
Dengan menjembatani keinginan antara kedua belah pihak, maka
diharapkan
komisaris
independen
akan
mengurangi
konflik
kepentingan yang terjadi akibat adanya informasi asimetris dan
mengurangi tingkat underpricing pada saat melakukan IPO.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hipotesis pertama dapat
dirumuskan sebagai berikut :
H2 : Independensi Dewan Komisaris berpengaruh secara
negatif terhadap tingkat underpricing saham IPO
27
2.7.3. Reputasi Dewan Komisaris
dengan Tingkat Underpricng
Saham IPO
Reputasi Dewan Komisaris dapat digunakan emiten untuk
memberikan sinyal kepada para investor. Banyak peneliti yang
menganggap bahwa dewan komisaris yang memiliki beberapa
jabatan dewan di perusahaan lain merupakan dewan berkualitas
tinggi. Para dewan tersebut dapat memiliki jabatan sebagai dewan
lebih dari satu karena memiliki kemampuan dan pengalaman yang
banyak. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Certo
(2003) yang mengungkapkan bahwa wibawa dan reputasi dewan
didapat dari keterampilan, pengalaman, jaringan sosial dan jaringan
perusahaan.
Reputasi
Dewan
yang
tinggi
diharapkan
mampu
memberikan dampak positif pada saat perusahaan melakukan IPO.
Artinya, reputasi dewan yang tinggi akan memberikan sinyal positif
kepada investor potensial dan mengarah pada rendahnya tingkat
underpricing. Jika mengacu pada teori sinyal, maka seharusnya
reputasi dewan berhubungan negatif dengan tingkat underpricing
IPO. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan hipotesis
ketiga adalah sebagai berikut :
H3 :
Reputasi Dewan Komisaris berpengaruh secara negatif
terhadap tingkat underpricing saham IPO
28
2.7.4. Kualitas Auditor dengan Tingkat Underpricing Saham IPO
Kebenaran informasi laporan keuangan merupakan satu hal
yang sangat penting ketika perusahaan melakukan akan melakukan
IPO. Emiten cenderung memilih auditor yang memiliki reputasi
tinggi. Hal ini dilakukan agar perusahaan yang akan melakukan IPO
mendapatkan kepercayaan dari publik karena perusahaan dirasa
mampu menunjukkan nilai perusahaan yang sebenarnya. Kualitas
suatu auditor independen dapat dinilai dari berapa banyak
perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh suatu KAP.
Dengan menggunakan KAP yang memiliki reputasi yang tinggi,
kualitas auditor diduga akan menurunkan tingkat underpricing yang
mungkin terjadi ketika perusahaan menjual saham di pasar
perdana.
H4 : Reputasi Auditor berpengaruh secara negatif terhadap
tingkat underpricing saham IPO
29
2.8. Kerangka Penelitian
VARIABEL INDEPENDEN :
 Ukuran Dewan
 Independensi Dewan
Komisaris
 Reputasi Dewan Komisaris
 Kualitas Auditor
IPO UNDERPRICING
VARIABEL KONTROL :
 Ukuran Perusahaan
 Umur Perusahaan
 ROA
Gambar II.2
Kerangka Pemikiran Teoritis
Download