TANAMAN GAMAL (GLIRICIDIA SEPIUM) DAN POTENSI

advertisement
TANAMAN GAMAL (GLIRICIDIA SEPIUM) DAN POTENSI PEMANFAATANNYA SEBAGAI PAKAN
TERNAK DAN FUNGSI LAINNYA DALAM USAHATANI
DI NUSA TENGGARA TIMUR
Jacob Nulik dan D. Kana Hau
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT
ABSTRAK
Tanaman Gamal (Gliricidia sepium) diintroduksikan ke Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak sekitar
tahun 1970-an, dan saat ini telah menyebar ke berbagai pelosok, baik perkotaan dan pedesaan NTT
dengan pemanfaatan yang cukup beragam (sebagai pagar hidup kawasan perumahan, perkebunan,
ladang dan tanaman penghijauan serta konservasi, dan manfaat lainnya seperti bahan obat tradisional
dan moderen). Paper ini selanjutnya menguraikan lebih mendalam tentang tanaman ini dan
pemanfaatannya di berbagai tempat di dunia yang diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran yang
baik bagi kita di NTT dalam memanfaatkan tanaman ini, yang terbukti sudah dapat beradaptasi dengan
baik di berbagai tempat di daerah ini.
Kata kunci : Gamal, pakan ternak, usaha tani, Nusa Tenggara Timur
PENDAHULUAN
Gliricidia sepium (gamal) adalah tanaman leguminosa pohon yang dapat tumbuh dengan cepat di
daerah tropis. Dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dan pH rendah sampai tinggi (4.5-6.9) serta tahan
terhadap curah hujan rendah sampai tinggi. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) pengembangan tanaman ini
diutamakan sebagai tanaman pagar dan penghijauan dilahan kritis serta sebagai salah satu alternatif
hijauan pakan ternak.
Sebagai hijuan pakan ternak ruminansia keberadaanya cukup berpotensi, tetapi belum banyak
peternak yang memanfaatkannya kecuali sebagai pakan ternak kambing dengan alasan ternak sapi tidak
menyukai karena baunya yang spesifik, dan masih sebatas pada pendapat dan pengalaman petani
maupun petugas lapangan bahwa ternak sapi tidak menyukai gamal.
Ketersediaan bahan pakan hijauan baik kuantitas maupun kualitasnya secara berkesinambungan
sepanjang tahun merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan produktifitas ternak terutama
ternak ruminansia. Kenyataannya di NTT ketersediaan dan mutu bahan pakan hijauan sangat
berfluktuatif mengikuti kondisi iklim yang terjadi di mana pada musim hujan ketersediaan pakan cukup
dan sebaliknya pada musim kemarau terjadi kekurangan pakan. Kondisi demikian berakibat antara lain
tingginya kematian anak sapi (terutama pada sapi Bali Timor), panjangnya interval kelahiran ternak sapi
Ongole dan menurunnya berat badan ternak sapi secara nyata selama musim kemarau (Wirdahayati,
1994).
Beberapa hasil penelitian di luar negeri dan dalam negeri memperlihatkan bahwa daun gamal
bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi, selain mempunyai nilai nutrisi yang tinggi (protein kasar),
pakan ini juga mempunyai kandungan tanin yang rendah. Sat ini penyebaran G.sepium telah cukup luas
di NTT, walaupun belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Yang sering terlihat adalah
pemanfaatanya sebagai pakan ternak kambing. Namun demikian telah pula digunakan sebagai pakan
ternak di Bali dan Sumbawa (Nulik,1996).
Teramati bahwa produksi biomas G.Sepium yang sangat banyak selama musim hujan di NTT
merupakan suatu potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai pakan ternak. Namun informasi
tentang potensinya sebagai pakan ternak perlu kita sebarluaskan dan pahami tentang sifat-sifat
tumbuhnya, respon terhadap perlakuan pemangkasan dan penggunaannya sebagai pakan ternak dan
pengaruhnya pada palatabilitas dan respon pertumbuhan ternak, yang diamati dalam berbagai penelitian
dan pengkajian serta pengalaman–pengalaman baik dari petani maupun oleh petugas lapang yang
pernah memanfaatkan G.sepium sebagai pakan ternak dan penggunaan lainnya yang terintegrasi
dengan usaha ternak.
PEMBAHASAN
Mengenal Tanaman Gamal
Genus Gliricidia terdiri dari tiga species, termasuk dalam suku (tribe) Robineae, sub keluarga
Papilionoideae dalam keluarga (family) Leguminosae. Genera lain yang cukup dikenal dalam suku ini
adalah Sesbania dan Robinia. Genus Gliricidia sering diasosiasikan sebagai G.Sepium karena distribusi
dan budidayanya yang luas dari species ini. Dari ketiga species Glliricidia, G.maculata dan G.brengii,
kurang dikenal dibandingkan dengan G.sepium, dan tidak dikenal diluar dearah asalnya yaitu di daerah
tropis Amerika. Gliricidia breningii mudah dibedakan dari G.sepum, namun cukup sulit untuk
membedakan G.maculata dari G.sepium. Yang membedakan G.breningii adalah daunnya yang lebih kecil
dibanding dengan G.sepium dan G.maculata. Sedang G.maculata mempunya bentuk daun dengan ujung
yang lebih tumpul dibanding G.sepium. Gliricidia maculata mempunyai bunga yang berwarna merah
muda (pink), namun kadang bisa sebaliknya, sehingga ciri lainnya seperti bentuk daun harus diperhatikan
dengan baik untuk dapat membedakan keduanya.
Namun dari pengamatan dan ciri warna bunga serta bentuk daun dari jenis yang ada di NTT
maka dapat dikatakan bahwa Gliricidia yang banyak ditanam di NTT adalah G.sepium.
Manfaat Tanaman Gamal dalam Sistem Usahatani
Pemanfaatan gamal dalam sistem usahatani sangat banyak, antara lain: sebagai pagar hidup
atau pembatas kebun dan lahan, sebagai pupuk hijau, sebagai pakan ternak, sebagai tanaman
pelindung, sebagai kayu bakar dan kayu bahan bangunan sederhana (misalnya untuk membuat kandang
ternak, lumbung sederhana untuk menyimpan pakan, atau membuat rumah berteduh di ladang atau
kebun).
Penggunaan tanaman gamal sebagai pagar hidup saat ini merupakan salah satu cara perluasan
penanaman tanaman gamal yang cukup menyebar di NTT. Biasanya tanaman pagar ini ditanam dalam
jarak dari 0.5 s/d 2 m antar tanaman dengan maksud tertentu. Jika dimaksudkan untuk perlindungan
terhadap tanaman yang ada di lokasi yang dipagar dari gangguan ternak, maka jarak tanam akan
digunakan yang rapat untuk mencegah masuknya ternak, bahkaan sampai dengan jarak 0.1 m telah
digunakan terutama untuk melindungi atau memagari tanaman sayuran dari gangguan ternak ayam dan
babi. Penggunaan sebagai pagar untuk tanaman pangan biasanya akan dipangkas jika naungan
mempengaruhi tanaman yang diusahakan sehingga terjadi penurunan produksi. Biasanya tanaman pagar
dipangkas antara 1-3 tahun sekali, yang dapat digunakan untuk bahan pagar hidup pada lahan-lahan
yang akan diusahakan atau untuk memperbaiki pagar hidup yang ada. CATIE, 1986 yang dikutip
Steward (1996) melaporkan bahwa penggunaan tanaman gamal sebagai pagar hidup juga sangat umum
dilakukan di Amerika Tengah.
Keuntungan penggunaan gamal sebagai pupuk hijau diketahui bermanfaat untuk: meningkatkan
bahan organik tanah dan nitrogen, perbaikan karateristik fisik tanah, aerrasi dan drainase, mengurangi
erosi permukaan tanah, menurunkan temperatur tanah, dan mengurangi penguapan air tanah
(Steward,1996). Penggunaan sebagai pupuk hijau banyak ditemukan dalam bentuk penanaman dengan
model tanaman lorong atau Alley cropping ataupun untuk perladangan berpindah (Kang et al; 1990).
Lidjang et al; (1992) melaporkan bahwa daun gamal merupakan tanaman yang sangat cepat dan banyak
menghasilkan bahan organik dibanding dengan 2 jenis tanaman lainnya seperti Acasia villosa, dan
Sesbania grandiflora (Tabel 1).
Tabel 1. Analisis kandungan bahan organik pada tanah terbuka dan tanah dibawah beberapa jenis
tanaman leguminosa (umur 3 tahun) pada tanah Bobonaro Clay, Camplong1.
Uraian
Kandungan bahan organik (%)
Tanah terbuka (kontrol)
1.14
Tanah dibawah pertanaman S.grandiflora
2.30
Tanah dibawah pertanaman G.sepium
3.56
Tanah dibawah pertanaman Acasia villosa
2.50
Respon Tanaman Gamal Terhadap Pemangkasan
Menurut ekologinya, G.sepium berbunga dalam musim kemarau, ketika daunnya gugur
(Simons,1996). Hal ini juga dapat kita amati terjadi di sekitar kota Kupang. Namun demikian perlakuan
pemangkasan menunjukkan bahwa jika dipangkas pada waktu tertentu, yaitu pada saat pertengahan
atau akhir musim hujan dapat memperpanjang masa pertumbuhan vegetatif dan menghambat
pembungaannya.
Hasil penelitian Nulik et al; (2002) pada 2 lokasi dengan karateristik fisik tanah yang berbeda,
yaitu pada lahan alluvial dengan kandungan liat tinggi dan kandungan air tanah yang lebih baik di lokasi
Naibonat, dan tanah merah (alfisol) dengan drainase yang baik dan kandungan air tanah yang kurang
pada musim kemarau yaitu di lokasi Camplong II diperoleh hasil bahwa untuk menghasilkan biji gamal
yang lebih baik sebagai benih pakan maka pemangkasan tanaman gamal pada pagar hidup sebaiknya
dilakukan pada awal musim hujan, sementara jika diinginkan adalah produksi daun maka sebaiknya
pemangkasan dilakukan pada akhir musim hujan atau segera setelah musim hujan berakhir, yaitu ketika
kandungan air tanah mulai berkurang, namun masih cukup untuk memberikan pertumbuhan kembali.
Daun baru yang tumbuh kembali dari tanaman gamal yang dipangkas pada saat ini masih dapat
dipertahankan sampai ke pertengahan atau puncak musim kemrau, dengan jumlah daun yang gugur
pada musim kemarau relatif lebih sedikit. Diperoleh juga bahwa pada lokasi dengan kandugan air tanah
yang lebih baik pada musim kemarau, pemangkasan baik pada awal musim hujan maupun pada akhir
musim hujan akan memperpanjang masa pertumbuhan vegetatif tanaman gamal tetapi tidak
menghasilkan biji.
Tanaman gamal mempunyai produksi daun yang cukup melimpah selama musim penghujan.
Lidjang et al; (1992) memperoleh bahwa tanaman gamal yang berumur hampir 3 tahun, yang ditanam
sebagai hedge row pada pertanaman lorong dapat memberikan produksi hijauan sampai 30 ton per ha
(Tabel 2).
Tabel 2. Produksi biomasa beberapa tanaman leguminosa pohon pada lahan
Bobonaro Clay
Jenis Leguminosa pohon
Tinggi (m)
Daun segar (t/ha)
Kayu segar (t/ha)
G.sepium
4.03
30.65
13.65
Acacia villosa
3.12
10.30
1.00
Sesbania grandiflora
4.95
5.70
4.17
Daun Gamal Sebagai Pakan Ternak
Evaluasi nilai nutrisi dan daya cerna daun G.sepium menunjukkan kandungan protein yang tinggi,
rendah kandungan serat kasar dan tinggi daya cernanya (Tabel 3).
Tabel 3.Nilai Nutrisi daun G. sepium (Glover,1989)
Komponen
Gross energi (Kcal kg-1)
Daya cerna invitro (%)
Protein kasar (%)
Acid Detergen Fibre (ADF) (%)
Neutral Detergen Fibre (NDF) (%)
Serat kasar (%)
Ekstrak ether (%)
Abu (%)
Kalsium (%)
Phospor (%)
Kisaran
4.600- 5.000
48-77
18-30
18-34
27-50
13-30
4-8
6-10
1-2
0.2-0.3
Gliricidia sepium juga diketahui mempunyai kandungan tanin yang rendah, baik yang diukur
dengan metoda acid-butanol assay untuk condensed tannins (Potter et al., 1986), maupun dengan
metode Radial diffusion untuk protein precipitation activity (Hagerman,1987). Hugges (1998),
mengatakan bahwa walaupun belum ada kesepakatan secara universal tentang pengaruh yang nyata
dan level yang pasti keberadaan tanin dalam hijauan pakan ternak, namun secara umum ditemukan
bahwa tanin menurunkan daya cerna karena adanya ikatan tanin–protein yang kompleks yang
menyebabkan tidak tersedianya protein bagi pencernaan dalam rumen. Namun demikian bagi hijauan
dengan kandungan protein yang tinggi seperti Lecucaena leucephala, proteksi sebagian protein terhadap
degradasi dalam rumen ternak oleh mikroba rumen, dapat menyediakan protein baypass yang kemudian
dapat diabsorbsi di dalam usus halus. Sementara protein yang tinggi dan berlebihan dalam pakan hijauan
yang tidak terproteksi oleh tanin dapat terdegradasi secara cepat dan menjadi amonia dan dilepas dalam
bentuk urea (Norton et al.,1995; Wheeler at al.,1995). Bebeberapa anggapan bahwa kombinasi antara
pakan dengan kandungan protein tinggi dan mempunyai tanin rendah dengan pakan yang mengandung
tanin dalam jumlah yang cukup besar dapat memperbaiki tingkatan protein terproteksi sehingga dapat
diserap oleh usus halus dan tentunya diharapkan akan memperoleh respon pertambahan berat badan
ternak ruminansia yang lebih baik dibandingkan dengan jika diberikan tanpa kombinasi.
Ademosum et al; (1985) melaporkan bahwa pencernaan bahan kering G.sepium dapat
ditingkatkan dengan penambahan pakan sumber karbohidrat, seperti ubi kayu, sebaliknya daya cerna
pakan jelek (dengan serat kasar yang relatif tinggi) dapat ditingkatkan dengan penambahan G.sepium.
Nulik et al., (2001) telah menggunakan beberapa perlakuan dalam memanfaatkan daun G.
sepium sebagai pakan ternak, yaitu antara lain dengan membuat silase dan cubes. Silase dilakukan
dengan mencampurkan daun gamal yang segar yang dilayukan semalam (untuk meningkatkan
persentase BK) dengan rumput alam yang dipanen segera setelah akhir musim hujan (rumput telah
berbunga dan mulai mengalami penurunan nilai nutrisi) dengan campuran 40 % rumput dan 60 % daun
G. sepium. Cubes dibuat dengan cara mengeringkan daun G. sepium, digiling menjadi tepung dan
dicampur dengan adonan tepung ubikayu dengan campuran 15-20 % tepung ubi (yang dibuat adonan
kental), sedikit air garam, dan 80-85% tepung daun gamal, dicampur merata dan dicetak secara manual
atau menggunakan mesin menjadi cubes-cubes kecil. Hasil analisi kimia (proksimat analisis) bahan
pakan tersebut dapat diikuti pada Tabel berikut.
Pengaruh G. sepium pada Ternak Ruminansia
Glricidia sepium biasanya digunakan sebagai pakan suplemen untuk pakan kualitas rendah
seperti rumput, jerami padi dan lain produk ikutan tanaman pangan walaupun kadangkala diberikan
secara tunggal; misalnya seperti yang dilaporkan oleh Parera (1992) di mana G. sepium digunakan
sebagai pakan tunggal untuk ternak kambing selama musim kemarau di Srilanka. Menurut Kabija dan
Smith (1989), G.sepium dapat menyediakan hampir semua mineral yang dibutuhkan oleh ternak
ruminansia jika diberikan sebagai pakan tunggal, kecuali untuk Copper dan phospor, yang perlu
ditambahkan kedalam ransum. Penggunaan G.sepium secara tunggal biasanya sangat jarang, walaupun
selama muisim kemarau. Liyanage dan Wijaratne (1987) menemukan di Srilanka bahwa campuran antar
G. sepium dan rumput Brachiaria miliiformis masing-masing 50 %, memberikan pertambahan berat
badan yang lebih besar dibandingkan dengan G.sepium secara tunggal. Sementara di Columbia Preston
dan Leng (1987) mendapatkan respon pertumbuhan sapi betina muda yang terbaik pada kandungan 30
% G. sepium ketika dicampurkan dengan King Grass. Hasil ini sejalan dengan kebanyakan hasil-hasil
penelitian lain yang mendapatkan bahwa level 30 % G.sepium dalam campuran dengan pakan
berkualitas rendah merupakan suatu level terbaik. Adalah merupakan hal yang tidak ekonomis untuk
menggunakan level yang lebih tinggi dari bahan pakan protein tinggi ketika ratio nitrogen:energi menjadi
terlalu tinggi, karena protein yang berlebihan akan digunakan untuk membentuk energi metabolik melalui
proses glukoneogenesis daripada menyumbang asam amino untuk sintesa protein baru (dalam jaringan
air susu dan lain sebagainya). Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa jika level dari G.sepium
ditingkatkan lebih dari 30 % pada ternak kambing maka perlu ditambahkan sumber energi
(Hughes,1996).
Pengaruh G.sepium pada Ternak Non Ruminansia
Sebaliknya dari pengaruh positif yang diperoleh dari pemberian G. sepium pada ternak
ruminansia, ternak non ruminansia tidak bertahan pada pemberian pakan G.sepium, bahkan
memperlihatkan tanda-tanda keracunan yang nyata. Ahn (1990), menemukan bahwa tikus yang diberikan
20 % daun kering G.sepium menunjukkan konsumsi pakan yang menurun, kehilangan berat badan dan
kematian janin. Hal ini sejalan dengan pendapat Norton (1994), bahwa non ruminansia umumnya lebih
peka terhadap pakan yang mengandung racun dibandingkan dengan ruminansia yang dapat
dimetabolisir di dalam rumen. Beberapa studi pada berbagai ternak seperti ayam, kelinci, dan itik
memberikan hasil yang mengecewakan, antara lain terjadi penurunan konsumsi, kehilangan berat badan,
bahkan pada level hanya 10 % (Hughes,1996). Efek negatif tersebut kemungkinan disebabkan oleh
faktor anti nutrisi semacam asam amino non protein (Cheeke dan Rahardjo,1987) atau oleh senyawa
coumarin (senyawa fenolik dengan berat molekul rendah, yang terdapat dalam daun segar sampai level
0,7 % BK) (Wina et al; ) yang merupakan pemicu produksi phyto-oestrogen yang dapat menyebabkan
kemandulan dan aborsi pada ternak domba (Cox dan Braden,1974).
Palatabilitas
Tingginya nilai nutrisi G.sepium dan pengaruh positif terhadap produksi ternak ruminansia
menempatkannya sebagai pakan ternak yang ideal. Namun demikian masih banyak permasalahan yang
dihadapi dalam penerimaannya oleh ternak ruminansia diberbagai daerah tropis. Tidak ada bukti-bukti
yang telah ditemukan tentang masalah keracunan G.sepium pada ternak ruminansia, namun presepsi
tentang platabilitasnya sangat bervariasi di berbagai belahan bumi, dan banyak laporan tentang
keterbatasan penggunaannya karena “tidak disukai oleh ternak”. Di Columbia dan Srilanka tidak ada
masalah dengan palatabilitas di mana G.sepium merupakan pakan penting selama musim kemarau
(Steward,1996). Demikian pula di Bali dan di Seneo, Dompu, Sumbawa di mana G.sepium merupakan
pakan penting untuk ternak sapi, yang diberikan dalam bentuk segar.
Penyebab rendahnya palatabilitas G.sepium pada ternak sapi sebenarnya tidak diketahui dengan
pasti, namun diduga disebabkan oleh bau dari daunnya yang kurang disenangi oleh ternak sapi dan
bukan karena rasanya. Salah satu senyawa yang berperan dalam karateristik bau adalah “coumarin”.
Bau ini menurut beberapa pengamatan akan berkurang dengan signifikan jika dilakukan pelayuan untuk
beberapa jam sebelum diberikan pada ternak.
Cara lain untuk memberikan G. sepium sebagai pakan ternak sapi adalah dengan membiasakan
ternak. Hal ini telah dilakukan pada suatu pengkajian di BPTP NTT stasiun kebun percobaan Lili. Di
mana anak sapi yang baru mulai mengenal makanan dilatih untuk makan daun G.sepium. Pada
percobaan ini anak yang dikandangkan dipisahkan dari induknya dan ditahan di dalam kandang serta
diberikan daun G.sepium yang masih segar. Dalam beberapa hari ternak mulai mencoba memakannya
dan selanjutnya menjadi suatu kebiasaan. Ketika induknya kembali dari padang dan melihat anaknya
sedang makan G.sepium induknya juga mulai mencoba memakan dan akhirnya juga terbiasa dengan
memakan daun G.sepium yang masih segar tanpa pelayuan.
Dalam hal platabilitas, senyawa coumarin hanya mempengaruhi bau saja dan tidak pada daya
cerna daun G.sepium. Wina et al., (1993) menemukan bahwa senyawa coumarin telah dimetabolisir
semuanya dalam waktu 48 jam secara in vitro olebh bakteri rumen ternak domba, dan tambahan
coumarin tidak mempengaruhi daya cernanya.
Pengawetan G.sepium
Salah astu strategi untuk meningkatkan ketersediaan pakan selam musim kemarau adalah
dengan mengadakan pengawetan daun G.sepium, baik dalam bentuk basah maupun kering. Hal ini
terutama sangat penting karena umumnya G.sepium mengalami gugur daun pada musim kemarau,
dimana saat ini sangat dibutuhkan pakan yang berkualitas tinggi dengan jumlah yang cukup, sebaliknya
menghasilkan hijauan yang sangat banyak pada musim hujan.
Jika memungkinkan pengawetan pakan ternak sebaiknya dilakukan dalam bentuk basah (silase),
karena nilai nutrisinya secara umum akan lebih baik dibandingkan dengan pengawetan dalam bentuk
kering (hay) (regan, 2001). Kass dan Rodriguez (1987), yang dikutip Steward (1996) menemukan bahwa
fraksi nitrogen yang banyak terdapat dalam silase G.sepium adalah dalam bentuk volatil (ammonia) yang
dapat hilang selama proses fermentasi, yang menyebabknan rendahnya kandungan asam laktat. Untuk
mencegah hal ini maka penambahan karbohidrat dapat menekan amonia dan meningkatkan jumlah
asam laktat. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan molases sebanyak 2% telah cukup dalam
pembuatan silase G.sepium. Silase yang dibuat ini sangat digemari ternak kambing (Pezo et al., 1990
yang dikutip Steward,1996). Pengamatan yang telah dilakukan di Kebun Percobaan Lili, BPTP NTT
memperlihatkan bahwa silase yang dibuat dari G.sepium dan G.sepium + rumput alam cukup disukai
ternak. Pemberian silase dilakukan pada sore hari hingga pagi ketika ternak sapi dikandangkan.
Manfaat Lain G. sepium
Selain fungsinya sebagai tanaman pagar, tanaman pelindung, sebagai sumber pupuk hijau,
sebagai kayu bakar, bahan bangunan sederhana dan furniture, menyediakan bahan arang, pencegah
erosi, untuk kepentingan penghijauan lahan kritis, sebagai pakan ternak, maka G. sepium juga dilaporkan
digunakan dalam kepentingan lainnya seperti: daunnya digunakan sebagai pakan ikan (Ajayi, 2005),
pengusir caplak dan sejenis lalat pada ternak (Miranda et al., 1999), pengobatan penyakit kudis pada kulit
manusia (Banez, 1999); air dari perasan daun, kulit batang dan akar digunakan untuk mengobati gatal-
gatal pada kulit, mengbati luka dan daun yang dihaluskan digunakan dalam pengobatan rematik dan
patah tulang (Anonimous, 2007). Rojas (2006) menemukan bahwa ethanol ekstrak dari G. sepium cukup
aktif dalam menghambat kerja antimikroba dari jenis Bacillus cereus, Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus. Gliricidia sepium juga ditemukan mengandung ekstrak yang bersifat antifungal
yang aktif menhambat kerjanya Candida albicans dan Cladosporium cucumerinum (Hostettmann dan
Marston, 1994).
SIMPULAN
•
•
•
•
•
Tanaman gamal mempunyai banyak manfaaat dalam sistem usahatani: sebagai kayu bakar, kayu
untuk pembuatan kandang ternak, sebagai pupuk hijau, sebagai tanaman peneduh, digunakan dalam
sistem tanaman lorong dan yang tidak kalah penting dapat merupakan salah satu alternatif pakan
ternak ruminansia.
Pengaturan waktu pangkas yang tepat dapat menghasilkan daun yang cukup dan menghasilkan biji
untuk keperluan pengembangan tanaman pakan ternak.
Daun gamal mempunyai nilai nutrisi dan daya cerna yang layak untuk dijadikan pakan ternak,
walaupun masih kurang dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi, kurang digemari ternak . Juga
daun gamal mempunyai kandungan tanin yang rendah. Senyawa tanin dalam pakan dapat
mengurangi daya cerna pakan jika terdapat dalam jumlah yang cukup tinggi.
Respon ternak ruminansia terhadap pemberian daun gamal rupanya tidak cocok untuk diberikan
pada ternak non ruminansia.
Masalah palatabilitas daun gamal sebagai pakan ternak dapat diatasi dengan beberapa cara antara
lain seperti pelayuan, pembiasaan kepada ternak dan juga dapat dengan mengawetkan terlebih
dahulu seperti dalam bentuk silase atau hay.
DAFTAR PUSTAKA
Ajayi, O.C., F. Place, F. Kwesiga, P. Mafongoya and S. Franzel (2005). Impact of Fertilizer Tree Fallows
in Eastern Zambia. World Agroforestry Centre, Nairobi, Kenya United Nations Avenue, Gigiri | PO
Box 30677-00100 Nairobi, Kenya.
Anonimous, 2007. Gliricidia sepium (Jacq) Steud. Kakauati.
Bañez, J.A., Rowena C. Nazareno, M.D. and Ruth B. Medel, M.D. (1999). Clinical Trial on the
Effectiveness of Gliricidia sepium in Treating Patients with Scabies in the Antipolo CBHP. (Phil J
Microbiol Infect Dis 1999; 28(4):147-153.)
Hostettmann, K and A. Marston (1994). Search For New Anti-Fungal Compounds From Higher Plants.
Pure &App/. Chern., Vol. 66, Nos lO/ll, pp. 2231-2234.
Miranda, Y., S. Lozano, J. Vaquedano, W. Romero, J.D. Vellojín, and D. Suárez. 1999 (unpublished).
Comparacíon De Productos Químicos Y Extractos Naturales (Gliricidia Sepium Y Lippia Alba)
Para El Control De Ecto Y Endoparásitos. Escuela de Agricultura de la Región Tropical Húmeda,
Guácimo, Costa Rica.
Rojas, J.J., Veronica J Ochoa, Saul A Ocampo and John F Muñoz (2006). Screening For Antimicrobial
Activity Of Ten Medicinal Plants Used In Colombian Folkloric Medicine: A Possible Alternative In
The Treatment Of Non-Nosocomial Infections. This Article Is Available from:
http://www.biomedcentral.com/1472-6882/6/2
Download