33 BAB V KEPENTINGAN AKTOR SOSIAL

advertisement
33
BAB V
KEPENTINGAN AKTOR SOSIAL TERHADAP KONVERSI LAHAN
Tanah adalah faktor produksi utama bagi aktor pemanfaat sumber daya
agraria. Aktor pemanfaat sumberdaya agraria dibagi menjadi tiga yaitu
pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pada kasus konversi lahan sawah menjadi
non sawah (terminal tipe A) di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung,
Kabupaten Kuningan, aktor masyarakat adalah pemilik lahan yang dikonversikan
lahannya dan petani. Aktor pemerintah adalah pemerintah desa dan daerah yang
berkaitan dengan terjadinya konversi lahan sawah, dan aktor
swasta adalah
pemegang tender pembangunan terminal Tipe A. Aktor swasta tidak dikaji lebih
dalam pada penelitian ini. Hal ini disebabkan aktor swasta tidak memiliki
kepentingan secara langsung terhadap penguasaan dan pemanfaatan lahan. Pihak
swasta hanya sebagai aktor yang terlibat dalam menjalankan proyek pembangunan
Terminal Tipe A Kertawangunan.
Budiman (2009) menyatakan bahwa konversi lahan tidak bisa dilepaskan
dari proses transfer pemilikan lahan, khususnya proses jual beli. Kasus konversi
lahan sawah irigasi teknis di Desa Kertawangunan pun diawali dengan proses
transfer pemilikan lahan dari masyarakat pemilik lahan kepada pemerintah daerah,
melalui proses jual beli lahan dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.
5.1 Proses Pembebasan Lahan Sawah
Pembebasan lahan pertanian untuk pembangunan terminal di Desa
Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan terjadi pada
Tahun 2004. Lahan pertanian yang dibebaskan untuk pembangunan Terminal
Tipe A Kertawangunan adalah lahan sawah seluas 5,7 ha. Lahan sawah seluas
3,5 ha merupakan tanah bengok dan lahan sawah seluas 2,2 ha merupakan tanah
milik masyarakat Desa Kertawangunan. Lahan sawah ini menjadi sumber
penghasilan masyarakat Desa Kertawangunan. Lahan sawah yang digarap oleh
masyarakat merupakan hasil sewa maupun bagi hasil maro dengan pemilik sawah.
Proses pembebasan lahan sawah yang dijadikan Terminal Tipe A
Kertawangunan melalui beberapa tahapan diantaranya: musyawarah rencana
pembangunan, musyawarah penawaran harga, musyawarah keputusan harga, dan
34
pengalihan surat pajak tanah dari desa ke kabupaten. Proses pembebasan tanah
yang dilakukan berkaitan dengan pihak Pemerintah Desa Kertawangunan, Dinas
Perhubungan Kabupaten Kuningan yang berkaitan langsung dengan rencana
pembangunan terminal, Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan yang
sekarang berada dalam Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD)
mengenai inventaris tanah Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, dan
masyarakat pemilik tanah serta tokoh masyarakat. Tidak ada panitia khusus dari
desa untuk proses pembebasan lahan. Pihak pemerintah Desa Kertawangunan
hanya sebagai fasilitator antara masyarakat dengan Dinas Perhubungan dan
Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan.
Sebelum adanya musyawarah pertama di Desa Kertawangunan mengenai
rencana pembangunan terminal, Dinas Perhubungan mengutarakan rencana lokasi
untuk pembangunan terminal Tipe A di Desa Kertawangunan kepada pemerintah
desa. Setelah itu, pemerintah desa mengadakan musyawarah antara perangkat
desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), masyarakat pemilik tanah, dan tokoh-tokoh
masyarakat tentang rencana Dinas Perhubungan untuk pembangunan terminal tipe
A serta lokasi yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal tersebut.
Musyawarah kedua dan ketiga setelah ada kesepakatan lokasi antara
Pemerintah Daerah dalam hal ini berkaitan dengan Dinas Perhubungan dan
masyarakat Desa Kertawangunan, mengenai penawaran dan keputusan harga.
Penawaran harga yang diberikan oleh masyarakat pemilik lahan disesuaikan
dengan letak lahan dengan kedekatannya dari jalan raya.
Keputusan harga
merupakan harga yang ditawarkan dari pihak pemerintah daerah yang diwakili
dari Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan, yang sesuai dengan
kesepakatan dengan masyarakat pemilik lahan sawah. Harga yang ditawarkan
oleh pemilik lahan dan keputusan harga melalui kesepakatan adalah:
a. Lahan yang berdekatan dengan jalan raya
Harga penawaran warga per bata (14 m2) Rp 2.000.000,00
Harga kesepakatan per bata (14 m2)
Rp 1.750.000,00
b. Lahan berada di tengah-tengah
Harga penawaran warga per bata (14 m2) Rp 1.750.000,00
Harga kesepakatan per bata (14 m2)
Rp 1.500.000,00
35
c. Lahan yang di ujung (jauh dari jalan raya)
Harga penawaran warga per bata (14 m2) Rp 1.500.000,00
Harga kesepakatan per bata (14 m2)
Rp 1.250.000,00
Proses selanjutnya adalah pengalihan surat pajak tanah dari desa ke
kabupaten. Bagi pemilik tanah yang merupakan tanah milik pribadi, langsung di
proses di pemerintah daerah setelah adanya pemindahalihan surat pajak tanah.
Setelah melalui proses pengalihan surat tanah dari desa ke kabupaten, masyarakat
desa pemilik tanah langsung memproses penjualan tanahnya ke pemerintah daerah
bagian keuangannya, tidak ada kaitannya lagi dengan desa.
Berbeda dengan tanah milik perangkat desa yang merupakan tanah
bengkok, setelah adanya kesepakatan antara semua pihak untuk masalah
pembangunan terminal, dibuat peraturan Desa Kertawangunan. Peraturan Desa
yang dibuat adalah dengan persetujuan dari Badan Perwakilan Desa tentang Sewa
Menyewa Tanah Hak Pakai Desa Kertawangunan dengan Pemerintah Daerah.
Setelah ada Peraturan desa untuk pembangunan terminal yang sesuai dengan
kesepakatan semua pihak, peraturan desa ini kemudian diajukan ke Kabupaten.
Kemudian terbentuk Peraturan Desa Kertawangunan No 147/01-Perdes/2004
tentang sewa menyewa hak pakai Desa Kertawangunan dengan Pemerintah
Kabupaten Kuningan seluas 35.836 m2 yang terletak di Blok Parenca Persil 006
untuk pembangunan terminal.
5.2 Konversi Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Konversi lahan atau alih fungsi lahan mengandung pengertian perubahan
penggunaan lahan oleh manusia (Utomo, dkk., 1992). Alih fungsi lahan dapat
bersifat permanen dan juga bersifat sementara. Alih fungsi kawasan pertanian
lahan basah irigasi teknis menjadi fasilitas umum bersifat permanen. Hal ini
disebabkan pemanfaatan atau penggunaan tanah sebagai ruang pembangunan
untuk fasilitas umum (terminal) tidak dapat dijadikan sawah kembali.
Konversi lahan pertanian khususnya konversi lahan sawah irigasi teknis
menjadi non sawah (terminal) yang terjadi di Desa Kertawangunan tidak terlepas
dari faktor pendorong yang menjadikan lahan tersebut harus dikonversikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi
terminal di Desa Kertawangunan adalah faktor kebijakan pemerintah dan lokasi
36
sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Kedua faktor ini sama dengan
faktor-faktor konversi yang dinyatakan dalam penelitian Sumaryanto, dkk. (1994).
Kedua faktor ini satu sama lain saling berkaitan dalam rangka memajukan
Kabupaten Kuningan.
1) Kebijakan Pemerintah Daerah
Faktor pertama adalah kebijakan pemerintah daerah yang paling
berpengaruh terhadap terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi
Terminal Tipe A Kertawangunan. Pembangunan dan atau pengelolaan wilayah
Kabupaten/Kota menjadi kewenangan daerah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pemerintah daerah memiliki
kewenangan yang lebih besar dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya dengan tetap memelihara dan menjaga keseimbangan ekosistem dan
kelestarian lingkungan, sesuai dengan peraturan yang berlaku yang termasuk juga
di dalamnya mengenai penataan ruang. Wewenang pemerintah daerah dalam hal
penataan ruang adalah menyelenggarakan penataan ruang daerahnya yang terdiri
dari unsur perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pemerintah daerah dengan adanya kewenangan yang diberikan oleh Bupati
merencanakan dan memanfaatkan tanah untuk pembangunan Terminal Tipe A
Kertawangunan.
Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan ini adalah atas dasar
kebijakan pemerintah daerah dengan wewenang dari Bupati yang mendapat
pembiayaan dari pemerintah pusat untuk menjalankan pembangunan di
Kabupaten Kuningan. Pemanfaatan tanah sebagai ruang untuk pembangunan
Terminal Tipe A Kertawangunan belum terdapat dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan. Pembangunan Terminal Tipe A
Kertawangunan dibangun pada Tahun 2005-2006, sedangkan pada saat itu RTRW
Kabupaten Kuningan belum rampung. RTRW Kabupaten Kuningan baru dapat
dirampungkan pada Tahun 2008. Hal ini dituturkan oleh Bapak HDR Kepala
Bagian Tata Ruang:
“untuk pembangunan terminal Tipe A belum ditetapkan dalam tata
ruang. Setiap lima tahun sekali selalu ada revisi untuk RTRW, pada saat
itu RTRW Kabupaten Kuningan masih dibuat dan baru selesai pada
Tahun 2008.”
37
Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dapat terlaksana meskipun belum
direncanakan dalam RTRW Kabupaten Kuningan. Hal ini disebabkan adanya
kebijakan dari pemerintah daerah dan kewenangan Bupati untuk pembangunan
Terminal Tipe A Kertawangunan.
Luas lahan untuk terminal tipe A sekurang-kurangnya lima hektar.
Persyaratan luas lahan minimal lima hektar untuk pembangunan terminal ini,
mengharuskan pemerintah daerah mengambil alih tanah milik masyarakat dan
aparat Desa Kertawangunan untuk digunakan pembangunan terminal tipe A.
Kebutuhan tanah dalam rangka pembangunan terminal tipe A mengharuskan
terjadinya konversi lahan sawah yang berada di sekitar lokasi pembangunan
terminal. Tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal dibeli dari
masyarakat pemilik tanah pribadi dan disewa dari aparat Desa Kertawangunan
oleh pemerintah daerah. Tanah ini menjadi penguasaan dan inventaris dari
pemerintah daerah karena telah ada pemindahalihan kepemilikan.
Lahan sawah yang dikonversi untuk pelebaran terminal luasnya sebesar
5,7 ha. Lahan sawah ini merupakan kawasan pertanian lahan basah irigasi teknis.
Peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian konversi lahan
pertanian ke non pertanian diantaranya: Surat Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan/Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober
1994; dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27 Desember
1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis.
Cara yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk mengkonversikan lahan sawah
beririgasi teknis agar tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan yaitu
dengan mengkondisikan sawah beririgasi teknis menjadi tanah kering. Perizinan
dalam pembangunan terminal ini pun baru dibuat setelah pembangunan terminal
tipe A ini selesai.
2) Lokasi Sawah Terhadap Pusat Pertumbuhan Ekonomi
Faktor lain yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan
terminal adalah lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Sawah irigasi
yang digunakan lokasinya berdekatan dengan jalan raya dan berada di samping
terminal Ancaran (sebelum di bangun Terminal Tipe A Kertawangunan).
38
Terminal Ancaran merupakan terminal tipe C yang luasnya lebih kecil dan lebih
terbatas fasilitasnya dibandingkan dengan terminal tipe A. Di sekeliling Terminal
Ancaran merupakan lahan sawah irigasi teknis. Pembangunan Terminal Tipe A
Kertawangunan membutuhkan lahan sekurang-kurangnya lima hektar, oleh karena
itu sawah irigasi teknis di sekeliling Terminal Ancaran menjadi kebutuhan bagi
pembangunannya. Selain itu, sesudah dibangunnya terminal tipe A mulai banyak
berkembang pertokoan didekat terminal tersebut.
Sumaryanto, dkk. (1994) menyatakan bahwa panjang jalan aspal yang ada
di suatu desa dapat digunakan sebagai proksi dari kualitas prasarana transportasi
di desa tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin membaik aksesibilitas suatu
desa, kecenderungan terjadinya konversi lahan semakin tinggi. Pembangunan
Terminal Tipe A Kertawangunan tujuannya adalah untuk memperlancar
aksesibilitas dan keterjangkauan jarak antar kecamatan sebagai solusi dalam
pemerataan pembangunan transportasi. Rencana selanjutnya adalah pembangunan
jalan yang menghubungkan dengan kecamatan lain sebagai jalan masuk menuju
terminal. Pembangunan jalan ini pun akan mengakibatkan semakin bertambahnya
sawah irigasi yang terkonversikan. Sebagaimana penuturan Bapak DJDJ:
“agar dapat menembus jalur utara sudah ada rencana dari pemerintah
daerah untuk pembangunan jalan baru, untuk pembangunan jalan baru
tersebut sudah dilakukan pengecekan lahan oleh yang ahlinya yang
didatangkan dari pusat. Jalan tersebut akan langsung menuju daerah
Cirendang. Rencananya akan di bangun pada tahun ini, tapi sampai
sekarang belum terlaksana.”
Lahan untuk pembangunan jalan baru ini merupakan lahan sawah irigasi teknis
milik masyarakat Dusun Parenca. Lahan ini sudah melalui proses pembebasan
lahan, dan sekarang lahan tersebut sudah menjadi milik pemerintah daerah.
Menurut penuturan Bapak DSK:
“Yeuh neng, lahan sawah anu di Dusun Parenca anu caket jalan na
ngalewatan makam, anu bade ka kantor desa teh bade dianggo kangge
jalan anyar. Ari tanah na mah entos dipeser ku pemerintah daerah.”
“Lahan sawah yang di Dusun Parenca deket jalan yang melewati
pemakaman, jalan yang menuju kantor desa akan digunakan untuk
pembangunan jalan baru. Tanahnya sudah dibeli oleh pemerintah
daerah.”
39
Terdapatnya terminal tipe A di Desa Kertawangunan menyebabkan kebutuhan
akan aksesibilitas jalan semakin tinggi dan laju konversi lahan sawah irigasi teknis
pun semakin tinggi juga.
Pola konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan berdasarkan
faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat, dan prosesnya termasuk konversi
sistematik berpola ‘enclave’. Konversi lahan berpola ‘enclave’ adalah sehamparan
tanah yang terkonversi secara serentak, pemilik tanah terdiri dari beberapa orang.
Kasus konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan merupakan konversi
lahan secara serentak dalam waktu yang sama dimana tanah dibutuhkan untuk
pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan yaitu seluas 5,7 hektar. Luas
lahan sawah ini dimiliki oleh 17 orang yang terdiri dari sepuluh orang masyarakat
desa (pemilik tanah pribadi) dan tujuh orang aparat desa (pemilik tanah bengkok).
5.3 Kepentingan Pemerintah
Aktor pemerintah yang terlibat dalam pembebasan lahan sawah irigasi
teknis untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan adalah Pemerintah
Desa Kertawangunan, Dinas Perhubungan Kabupaten Kuningan, Pemerintah Desa
Kabupaten bagian Perlengkapan. Kepentingan pemerintah dalam pembebasan
lahan ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara pembangunan.
Kepentingan aparat desa dalam pelaksanaan sewa menyewa tanah hak
pakai Desa Kertawangunan yang digunakan pembangunan terminal untuk
menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Alasan lainnya untuk
menambah penghasilan/upah perangkat desa. Hal ini disebabkan upah perangkat
desa sebelum lahan disewakan untuk pembangunan terminal merupakan hasil
sewa dari masyarakat desa yang mengelola lahan tersebut. Hasil sewa yang
diperoleh dari masyarakat yang mengelola lahan tersebut jumlahnya lebih kecil
dibandingkan dengan harga sewa yang ditawarkan oleh pemerintah daerah.
Harga tanah yang disewakan perangkat desa kepada masyarakat (petani)
untuk dikelola sebesar Rp 400.000,00 sampai Rp 500.000,00/100 bata per tahun.
Besarnya sewa oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan sebagaimana
dituangkan dalam pasal empat dalam Peraturan Desa Kertawangunan tentang
Sewa Menyewa Tanah Hak Pakai Desa Kertawangunan dengan Pemerintah
Kabupaten Kuningan yang menyebutkan bahwa: “besarnya uang sewa adalah Rp
40
700.000,00/100 bata (tujuh ratus ribu rupiah) setiap tahunnya dan dimasukan ke
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) serta dituangkan dalam
surat perjanjian sewa menyewa.” Sebagaimana penuturan dari Kepala Desa
Kertawangunan Bapak DJDJ:
“Lahan sawah yang sekarang digunakan untuk terminal tadinya
disewakan kepada masyarakat untuk diolah. Biasanya harga sewa yang
diberikan antara Rp 400.000,00/100 bata sampai Rp 500.000,00/100 bata
per tahun. Pemerintah daerah memberikan harga sewa yang lebih besar
untuk pembangunan terminal sebesar Rp 700.000,00/100 bata per
tahun.”
Lahan sawah milik perangkat desa yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal
adalah tanah bengkok. Tanah bengkok merupakan tanah untuk gaji aparat desa dan
merupakan tanah aset daerah. Jadi, ketika tanah tersebut dibutuhkan kembali oleh
daerah untuk pembangunan, maka tanah tersebut harus dikembalikan. Data lahan
sawah aparat desa yang merupakan tanah bengkok terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Lahan Aparat Desa yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan
Pekerjaan di Desa Kertawangunan
No.
Nama
Pekerjaan
Luas Lahan
Terkonversi (m2)
1.
UH
Sekdes
4.900
2.
AWN
Ngabihi
8.400
3.
MKR
Ekbang
2.100
4.
ABL
Kesra
700
5.
SPM
Kadus 3
8.450
6.
JND
Kadus 2
7.100
7.
NNG
Kadus 1
3.500
Sumber: Peraturan Desa Kertawangunan, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, 2004
Tanah bagi pemerintah daerah memiliki nilai kepentingan umum yaitu
untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Kepentingan pemerintah
daerah dalam hal ini kaitannya dengan Dinas Perhubungan dalam rangka
pengembangan
wilayah.
Transportasi
memiliki
peranan
penting
dalam
pengembangan wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kuningan (2008) antara lain: a) mempermudah aksesibilitas dalam melakukan
interaksi
dan
proses
distribusi-koleksi
antar
wilayah,
sehingga
dapat
meningkatkan pengembangan manfaat sosial dan ekonomi, serta tata ruang
wilayah seperti peningkatan mobilitas penduduk dan pengembangan terhadap
sektor-sektor produktif regional; b) membuka peluang terhadap wilayah/sub
41
wilayah yang masih terisolasi, sehingga dapat memacu perkembangan pada
wilayah tersebut. Sistem jaringan transportasi dalam rencana struktur ruang
Kabupaten Kuningan meliputi: pengembangan jaringan jalan baru, peningkatan
jalan eksisting serta pengembangan dan pembangunan terminal dan halte.
Tujuan pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan adalah untuk
memperlancar aksessibilitas dan keterjangkauan jarak antar kecamatan sebagai
solusi dalam pemerataan pembangunan transportasi. Selama ini, titik pertemuan
dari segala arah untuk transportasi adalah di wilayah Utara (menuju terminal
Cirendang), maka untuk pemerataan pembangunan transportasi dialihkan ke
wilayah Timur (menuju Terminal Tipe A Kertawangunan). Sebagaimana konsep
peruntukkan terminal Kertawangunan adalah sebagai pengganti terminal
Cirendang yang selama ini menjadi titik simpul utama pelayanan angkutan umum
di Kabupaten Kuningan. Hal ini dituturkan pula oleh Bapak NN dari Dinas
Perhubungan yang menyatakan bahwa:
“lokasi yang dipilih untuk pembangunan terminal di wilayah Timur
karena di wilayah Utara sebagai titik pertemuan segala arah sudah padat
sehingga rawan kemacetan. Pembangunan terminal tipe A juga harus
memenuhi standar luas lahan seluas lima hektar. Di wilayah Utara
lahannya juga tidak memadai untuk pembangunan terminal Tipe A.”
Legalitas terminal Tipe A ini pun didasarkan pada Surat Keputusan Direktur
Jendral Perhubungan Darat Nomor: SK.787/AJ.106/DRJD/2004 tanggal 17 Mei
2004 tentang Penetapan Lokasi Terminal Penumpang Tipe A Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat.
5.4 Kepentingan Masyarakat
Aktor masyarakat adalah masyarakat pemilik lahan sawah yang sawahnya
digunakan untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dan petani yang
menggarap lahan sawah. Pemilik lahan sawah yang lahannya dikonversikan untuk
pembangunan terminal ini merupakan masyarakat yang sebagian besar
bermatapencaharian
sebagai
pedagang.
Pemilik
tanah
yang
dikonversikan terdiri dari sepuluh orang, dapat dilihat pada Tabel 5.
lahannya
42
Tabel 5. Luas Lahan Pribadi yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan Pekerjaan di
Desa Kertawangunan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Nama
DD
TMD
UJ
AL (Alm)
MSD (Alm)
STJ
JNL (Alm)
SPD
SHJ
MMN
Pekerjaan
Pedagang
Pedagang/Petani
Pedagang
Pensiunan
Pedagang/Petani
Pedagang
Pedagang
Wiraswasta
Pensiunan
Wiraswasta
Luas Lahan
Terkonversi (m2)
3.720
3.500
1.505
2.340
1.820
4.600
700
1.400
1.300
840
Pemilik lahan pada dasarnya tidak memiliki keinginan untuk menjual
tanah tersebut. Tanah yang mereka miliki sebagian besar dikelola dengan sistem
bagi hasil dengan petani. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik lahan dan
petani adalah sistem maro. Tanah milik mereka kemudian dijual karena
penawaran harga yang sesuai dengan kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemerintah daerah.
Tanah
yang
dibutuhkan
untuk
pembangunan
Terminal
Tipe
A
Kertawangunan diberikan penawaran harga dua kali lipat dari harga pasaran oleh
pemerintah daerah. Harga lahan yang lebih tinggi ini menyebabkan ketertarikan
pemilik lahan untuk menjual lahannya kepada pemerintah daerah. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu ERN menantu dari Bapak STJ:
“tanah warisan gaduh suami abdi nu diical kanggo ngabangun terminal
luasna 350 bata. Harga diicalna teh Rp 1.500.000,00/bata na. Ngical
tanah teh sami-sami nguntungkeun kanggo pamarentah oge sareng anu
ngicalna oge.”
“tanah warisan suami saya yang dijual untuk pembangunan terminal
seluas 350 bata. Harga jualnya Rp 1.500.000,00/ bata. Menjual tanah itu
sama-sama saling menguntungkan baik untuk pemerintah maupun untuk
pemilik tanah.”
Alasan lain penjualan tanah yang dilakukan oleh pemilik lahan yaitu menambah
modal usaha. Sebagian besar pemilik lahan sawah bermatapencaharian sebagai
pedagang. Penjualan lahan memberikan keuntungan bagi pemilik lahan untuk
43
modal usahanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak TMD yang
pekerjaannya sebagai pedagang sekaligus petani:
“ari nikmat na mah ngagarap sawah neng, lamun dari segi keuntungan
memang lebih untung icalan. Artos tina ngical tanah dianggo modal
icalan ayeuna.”
“sebenarnya nikmatnya memang mengelola sawah, walaupun dari segi
keuntungan lebih untung jualan. Uang hasil penjualan tanah digunakan
untuk modal usaha yang sekarang dijalankan.”
Ada pula yang menggunakan uang hasil menjual tanah untuk membeli tanah
kembali di daerah lain. Seperti yang dilakukan oleh Bapak DD dan Bapak MMN.
Bapak MMN menyatakan bahwa:
“Tanah abdi anu 50 bata upami henteu kacandak kanggo terminal moal
diical, kumargi nyaah tanahna sae kanggo pertanian, tanah kualitas no.1.
Artos tina hasil ngical tanah eta teh dianggo meser deui tanah di daerah
nu sanes.”
“Tanah saya yang 50 bata kalau tidak terambil untuk terminal tidak akan
dijual, karena sayang tanahnya bagus untuk pertanian tanah kualitas no.
1. Uang hasil menjual tanah digunakan lagi untuk membeli tanah di
daerah lain.”
Hasil penjualan lahan pun ada yang dibagikan kepada keluarganya dan digunakan
untuk kebutuhan sehari-hari.
Keputusan dibebaskannya lahan oleh pemilik lahan untuk pembangunan
Terminal Tipe A Kertawangunan disebabkan oleh penawaran harga yang sesuai,
modal usaha, dan pemilikan lahan baru yang lebih luas di daerah lain. Harga lahan
yang diperoleh pemilik lahan perorangan dan pemanfaatan hasil penjualan lahan
untuk pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan dapat dilihat pada Tabel 6.
Pemilik lahan perorangan yang dapat ditemui dilapangan sebanyak tujuh orang
dari sepuluh orang yang lahannya digunakan untuk pembangunan terminal. Dua
orang pemilik lahan sudah tidak berada di lingkungan Desa Kertawangunan yaitu
AL dan UJ. Satu orang pemilik lahan lainnya telah meninggal Bapak MSD,
informasinya telah di dapat dari DD yang merupakan putra Bapak MSD.
44
Tabel 6. Data Responden Mengenai Pekerjaan, Status Kepemilikan Tanah, Luas Tanah, Harga Tanah dan Pemanfaatan Hasil
Penjualan Tanah di Desa Kertawangunan
No. Responden Pekerjaan
Status
Luas tanah yang
Harga Tanah
Pemanfaatan hasil
dikonversikan
per bata
penjualan
1.
DD
putra Pedagang
Pemilik
Digunakan
untuk modal
• 200 bata
• Rp 1.750.000,00
Bapak MSD
• 200 bata
• Rp 1.500.000,00 usaha, dibagikan kepada
(Alm)
keluarganya
2.
TMD
Wiraswasta, Pemilik• 50 bata
• Rp 1.500.000,00 Membuat toko untuk
Petani
penggarap • 200 bata
• Rp 1.250.000,00 usaha, modal usaha
untuk
3.
ERN
Ibu Rumah Pemilik
• 350 bata
• Rp 1.500.000,00 Digunakan
membangun
rumah,
menantu
Tangga
STJ
modal usaha
4.
NN
anak Buruh
Pemilik
untuk
• 40 bata
• Rp 1.500.000,00 Digunakan
Bapak JNL Bangunan
keperluan sehari-hari
(Alm)
5.
SPD
Wiraswasta Pemilik
• 100 bata
• Rp 1.500.000,00 Digunakan untuk membeli
lahan di daerah lain
6.
SHJ
Pensiunan
Pemilik
kepada
• 100 bata
• Rp 1.250.000,00 Dibagikan
keluarganya
7.
MMN
Wiraswasta Pemilik
• 50 bata
• Rp 1.250.000,00 Digunakan untuk membeli
lahan di daerah lain
45
Dilain pihak, masyarakat bermatapencaharian sebagai petani yang
mengelola lahan di lahan pemilik tidak mendapatkan keuntungan dari
pembebasan lahan tersebut. Pada saat pembebasan lahan sawah terdapat suatu
penolakan dari masyarakat yang bergantung hidupnya pada lahan sawah.
Penolakan
pembebasan
lahan
untuk
pembangunan
Terminal
Tipe
A
Kertawangunan dilakukan oleh petani dan buruh karena kebutuhan mereka akan
lahan garapan. Akan tetapi, petani tidak memiliki kekuasaan terhadap lahan sawah
karena petani hanya menyewa dan menggarap lahan sawah bukan sebagai pemilik
lahan sawah. Pembebasan lahan tersebut menyebabkan petani kehilangan lahan
garapan. Secara tidak langsung, para petani menjadi kehilangan mata
pencahariannya. Seperti yang diutarakan oleh Bapak BHR (petani):
“lahan nu diperyogikeun kanggo terminal teh aya kontra neng ti
masyarakat, biasalah lamun pembangunan aya pro sareng kontrana.
Masalahna mah kumaha kanggo kelanjutan hirup masyarakat (petani),
saentos dibangun ieu terminal teh.”
“lahan yang dibutuhkan untuk terminal ada kontra dari masyarakat,
bisalah kalau pembangunan ada pro dan kontranya. Masalahnya
bagaimana kelanjutan hidup masyarakat (petani), setelah dibangunnya
terminal.”
Bagi petani yang dibutuhkan dengan adanya pembangunan terminal ini adalah
kesempatan kerja baru untuk keberlangsungan hidup mereka.
5.5 Peta Kepentingan Aktor
Merujuk pada hasil penelitian Tetiani (2002) dalam Nurjanah dan
Nilamsari (2002) dari kasus-kasus yang diteliti menunjukkan bahwa hubungan
antara pemerintah dan pengusaha selalu bersifat mutualistis, sebagai sesama
pelaku kapitalisme. Kedua aktor tersebut bersama-sama mendominasi masyarakat
(petani) dalam rangka mendominasi penguasaan sumber agraria yang sebelumnya
dimiliki atau dikuasai petani. Akibatnya akses petani terhadap sumber agraria
berkurang atau hilang sama sekali. Kekuatan kapitalis dalam hal ini menang
terhadap ekonomi subsisten.
Pada kasus proses konversi lahan sawah menjadi terminal Tipe A di Desa
Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan terlihat bahwa
terdapat kesamaan dengan penelitian Tetiani (2002) dalam Nurjanah dan
46
Nilamsari (2002) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria.
Perbedaannya adalah penelitian di Desa Kertawangunan tidak melibatkan swasta
sebagai subyek agraria, sehingga tidak ada hubungan mutualistis antara
pemerintah dan swasta. Hubungan penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan
sumber agraria tanah antara masyarakat (petani) dan pemerintah di Desa
Kertawangunan dapat dilihat pada Gambar 4.
Pemerintah Daerah
Petani
Sumber-sumber Agraria
Gambar 4. Hubungan-Hubungan Agraria di Desa Kertawangunan
Keterangan:
menunjukkan pengambilalihan terhadap penguasaan/pemilikan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria oleh pemerintah daerah, yang
sebelumnya dikuasai oleh masyarakat
menunjukkan hilangnya penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya
agraria dari masyarakat (petani)
hubungan konflik dari dominasi pemerintah daerah terhadap petani
dalam mengambil alih sumberdaya agraria yang dimiliki oleh
masyarakat
Pemerintah daerah dalam pembangunan fasilitas umum berupa Terminal
Tipe A Kertawangunan menggunakan kewenangannya untuk proses konversi
lahan sawah irigasi teknis. Pemilik lahan yang sebagian besar bermatapencaharian
sebagai pedagang mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan lahan. Dilain
pihak, masyarakat (petani) mengalami kerugian dengan hilangnya peran ekonomis
dari lahan yang mereka gunakan sebagai lahan pertanian. Pembebasan lahan
sawah irigasi teknis ini menyebabkan hilangnya penguasaan/pemilikan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria dari mayarakat (petani). Hubungan antara
masyarakat (petani) dan pemerintah daerah dengan kepentingan yang berbeda
menyebabkan benturan antara kedua belah pihak.
Benturan kepentingan ini terjadi ketika pemerintah daerah mengambil alih
lahan pertanian untuk dijadikan Terminal Tipe A Kertawangunan. Dilain pihak,
masyarakat (petani) memiliki kepentingan atas tanah tersebut dalam peran
47
ekonomis tanah. Lahan sawah irigasi teknis ini merupakan sumber kehidupan para
petani yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perbedaan kepentingan antara
pemerintah dan petani ini, sangat merugikan para petani. Sebagian besar petani
merasakan dampak negatif dari pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu NN (petani):
“ayeuna mah teu tiasa molah sawah, sawah nu dimana deui tuda tos teu
aya. Basa keur molah mah hoyong gaduh naon bae tiasa, ayeuna mah
sesah, beas bae kedah meser.”
“sekarang tidak bisa mengolah sawah lagi, sawahnya sudah tidak ada.
Dulu selagi ngolah sawah keinginan untuk punya apa saja bisa, tetapi
sekarang beras saja harus beli.”
Realisasi kepentingan pemerintah daerah menyebabkan lahan sawah irigasi teknis
harus dikonversikan. Masyarakat (petani) tidak dapat mengelola kembali lahan
yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
5.6 Ikhtisar
Tanah merupakan modal utama bagi para aktor pemanfaat sumberdaya
agraria. Aktor pemanfaat sumberdaya agraria tanah diantaranya: pemerintah,
swasta dan masyarakat. Pada kasus di Desa Kertawangunan, aktor yang dikaji
yaitu pemerintah dan masyarakat. Pihak swasta tidak dikaji lebih dalam pada
penelitian ini. Hal ini disebabkan aktor swasta tidak berkaitan langsung dengan
proses pembebasan lahan dan kepentingan terhadap lahan, melainkan hanya
sebagai pihak yang terlibat dalam menjalankan proyek pembangunan terminal
atau pihak pemegang tender pembangunan terminal.
Konversi lahan tidak dapat dilepaskan dari proses pembebasan lahan.
Proses pembebasan lahan di Desa Kertawangunan melibatkan pemerintah daerah
dalam hal ini terkait dengan Dinas Perhubungan dan Pemerintah Desa Kabupaten
bagian Perlengkapan, Aparat Desa Kertawangunan, tokoh masyarakat, dan
pemilik lahan. Aparat pemerintah Desa Kertawangunan dalam pembebasan lahan
bertindak sebagai fasilitator antar pemilik lahan dengan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah kaitannya dengan Dinas Perhubungan memiliki kepentingan
akan lahan untuk pembangunan terminal tipe A. Pembangunan Terminal Tipe A
Kertawangunan ditujukan untuk pengembangan wilayah. Transportasi memiliki
48
peran yang sangat penting dalam pengembangan wilayah. Lahan yang telah
dibebaskan dari kepemilikan ini, kemudian dicatat sebagai lahan aset pemeritah
daerah pada bagian Pemerintah Desa Kabupaten bagian Perlengkapan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Desa Kertawangunan
adalah kebijakan daerah dan lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan. Kebijakan
pemerintah daerah serta kewenangan Bupati mempermudah terlaksananya
pembangunan terminal tipe A, walaupun dalam RTRW belum direncanakan dan
belum ada perizinan untuk pembangunan terminal tersebut. Faktor lain yaitu
lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi, lokasi sawah irigasi teknis
yang dibutuhkan untuk pembangunan terminal tipe A berada dekat dengan jalan
raya. Pola konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan termasuk konversi
sistemik berpola ‘enclave’.
Konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan dipengaruhi pula oleh
kepentingan-kepentingan para aktor pemanfaat sumberdaya agraria. Pada kasus
Desa Kertawangunan terdapat dua aktor yang berkepentingan terhadap konversi
lahan yaitu antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini adalah
pemerintah desa dan daerah. Aparat Pemerintah Desa Kertawangunan pada
dasarnya memiliki kepentingan dalam pembebasan lahan untuk menambah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) serta menambah penghasilan
perangkat desa. Tujuan pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan bagi
pemerintah daerah, untuk memperlancar aksesibilitas dan keterjangkauan jarak
antar kecamatan sebagai solusi dalam pemerataan pembangunan transportasi.
Kepentingan pemilik lahan dalam pembebasan lahan sawah irigasi adalah
perolehan harga jual yang sesuai dari pemerintah daerah. Hasil penjualan tanah ini
digunakan juga untuk modal usaha karena sebagian besar pemilik lahan
bermatapencaharian sebagai pedagang dan digunakan untuk membeli lahan yang
lebih luas di daerah lain. Dilain pihak yaitu masyarakat yang bermatapencaharian
sebagai petani memerlukan pekerjaan yang baru dengan dikonversikannya lahan
tersebut. Hal ini disebabkan petani kehilangan lahan garapannya yang merupakan
tempat penghidupan mereka. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan benturan
antara masyarakat (petani) dengan pemerintah.
Download