epistemologi keilmuan dalam islam: kajian terhadap

advertisement
EPISTEMOLOGI KEILMUAN DALAM ISLAM:
KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN M. AMIN ABDULLAH
Musliadi
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Abstrak
Artikel ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang problematika
epistemologi dalam wacana filsafat ilmu; peran dan pengaruh epistemologi keilmuan
dalam Islam, serta tawaran model konstruksi epistemologi keilmuan Islam dalam
konteks pemikiran Amin Abdullah. M. Amin Abdullah adalah peletak epistemologi Islam
integratif-interkonektif. Epistemologi integratif-interkonektif ini dapat dipahami sebagai
upaya membangun jembatan keilmuan berbagai disiplin yang sebelumnya mengalami
kesenjangan (normatif dan historis), baik agama, sosial, humaniora, maupun kealaman
(natural science).
Kata Kunci: Islamic Studies, Epistemologi Islam, integratif-interkonektif.
Abstract
This article tries to answer the fundamental questions regarding epistemological problems
in philosophical science discourses; the role and the influence of epistemological science
in Islam and the offering constructional models of Islamic epistemological science of Amin
Abdullah thinking context. Amin Abdullah is the founder of integrative-inter-connective
Islamic epistemology. This integrative-inter-connective can be understood as an attempt
to build a bridge knowledge of various disciplines which previously experienced a gap
(normative and historical), whether religious, social, humanities, and of natural science.
A. Pendahuluan
Muhammad ‘Abid al-Jabiri salah seorang pemikir kontemporer Islam telah berupaya
menyusun konstruksi epistemologi studi keislaman kepada epistemologi bayani, burhani dan irfani.1
Ketiga kluster sistem epistemologi ‘Ulum al-Din ini masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam
prakteknya hampir-hampir tidak pernah seiring-sejalan. Pola pikir tekstual bayani lebih dominan
Muhammad ‘Abid Al-Jabiri (asal Maroko) dalam bukunya Post Tradisionalisme Islam (terjemahan),
mengemukakan tiga konsep pemikiran Islam. Pertama, bayani, yaitu pemahaman secara tekstual normatif. Nalar bayani
ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-usul al-arba‘ah: Alquran, Sunah, ijmak dan
kias) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah. Kedua, ‘irfani (spiritual-intuitif), yaitu disiplin gnotisisme
yang didasarkan pada wahyu dan pandangan dalam—dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi‘i, penafsiran esoterik
terhadap Alquran, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, burhani, yaitu suatu penalaran rasional-demontsratif yang
didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Muhammad Abed Al
Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), xiv-xvii
1
m u s l i a di
dari dua lainnya, dan secara hegemonik membentuk mainstream pemikiran keislaman. Akibatnya,
pola pemikiran keagamaan Islam menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang
dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi usul al-fiqh klasik lebih diunggulkan daripada sumber
otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kawniyyah), akal (‘aqliyyah) dan intuisi
(wijdaniyyah). Dominasi pola pikir bayani yang bersifat tekstual-ijtihadiyyah menjadikan sistem
epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat
kontekstual-batiniyyah.
Kelemahan epistemologi bayani atau tradisi berpikir tekstual-keagamaan, yaitu ketika
ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa
atau masyarakat beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen
berpikir keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik,
defensif, apologis, dan polemis. Itulah jenis pengetahuan keagamaan yang biasa disebut sebagai
al-‘ilm al-tawqifi. Pola berpikir ini meminjam istilah Muhammad Arkun, yang menimbulkan sikap
pensakralan pemikiran keagamaan. Akibatnya, hanya lantaran perbedaan kerangka teori, metodologi,
epistemologi serta variasi dan kedalaman literatur yang digunakan, umat Islam mudah sekali saling
murtad-memurtadkan bahkan saling kafir mengkafirkan.2
Fakta tersebut di atas merupakan problem tersendiri bagi umat Islam, karena selain akan
terus memelihara dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum, juga akan berdampak pada pembentukan
pemikiran umat. Dari keadaan itu, secara otomatis dan alami terjadi proses kekeringan dan bahkan
pengeringan sumber mata air dinamika keilmuan keislaman yang merupakan jantung dan prasyarat bagi
pengembangan keilmuan Islamic Studies dan ‘Ulum al-Din, khususnya dalam menghadapi tantangantantangan baru yang muncul ke permukaan. Pada gilirannya, hal ini mengakibatkan terpencilnya Islamic
Studies dan ‘Ulum al-Din dari wilayah pergaulan keilmuan dan sulitnya upaya pengembangan wilayah
(contribution to knowledge) bagi Islamic Studies itu sendiri. Dengan munculnya problema terhadap
pola dan model pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang dikotomis, selama ini terkesan berjalan di
tempat karena minimnya etos progresivitas dan dinamika keilmuan yang rahmah li al-‘alamin.
Di Indonesia sejak tahun 1970-an telah bermunculan para pemikir, intelektual Muslim yang
menawarkan paradigma baru dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman dewasa ini, meskipun dalam
kenyataannya harus melawan mainstream pemikiran keagamaan yang anti-pembaharuan. Salah seorang
Cendekiawan Muslim yang paling concern dalam melakukan pembaruan dalam bidang keilmuan
Islam adalah M. Amin Abdullah (selanjutnya dalam penulisan ini disebut Amin Abdullah).3
Amin Abdullah, “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif Hermeneutika Sosial dan Budaya”
Jurnal Tarjih edisi VI (LPPI-UMY dan Majelis Tarjih & PPI PP Muhammadiyah), Juli 2003.
3
M. Amin Abdullah, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Menamatkan Kulliyat AlMu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor Ponorogo 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada
Institut Pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di Pesantren yang sama. Menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen
Agama dan Pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Department
of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Mengikuti
Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada (1997-1998). Disertasinya, The Idea of University of Ethical
Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya
2
28
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
Dalam sejumlah tulisannya yang beredar dalam bentuk buku dan makalah hasil seminar,
Amin Abdullah berulangkali mengkritisi nalar keagamaan yang berkembang di Indonesia, sembari
menyuguhkan konsep Studi Agama sebagai sebuah model baru dalam mendekati Islam. Melalui
tawaran ini, Amin Abdullah hendak merubah tradisi pengajian agama bercorak normatif-doktriner
ke pendekatan studi agama yang bercorak sosio-historis yang dilanjutkan dengan rasional-filosofis.
Menurut Amin Abdullah saat ini perlu pembacaan ulang dan penyegaran ijtihad dalam pengembangan
ilmu-ilmu keislaman yang konteksnya dewasa ini menuntut kepada kebutuhan integratif dan
interkonektif keilmuan. Istilah-istilah pergumulan dan pertautan antara normativitas dan historisitas,
teks dan konteks, kritik tadisi dan hermeneutis, modern dan kontemporer, kontekstualisasi dan
reaktualisasi, jaringan laba-laba keilmuan dan integrasi epistemologi keilmuan, al-nusus mutanahiyyah
wa al-waqa’i‘ ghayr mutanahiyyah–tidak asing ketika membaca berbagai buku dan makalah yang
dihasilkannya, istilah-istilah tersebut semacam ciri khas yang terlihat kental dan dominan mewarnai
pemikiran Amin Abdullah.
Kehadiran Amin Abdullah di pentas diskursus pemikiran Islam, baik di Indonesia maupun
dunia internasional sekarang ini tentunya bukan tanpa interaksi, transformasi dan kontak dengan
para pemikir dunia Islam lainnya. Bila dicermati dengan seksama, para pemikir dunia Islam yang
menginspirasinya turut memperkaya setiap argumen dalam berbagai karya tulisnya, sebut saja buah
pikiran Muhammad Arkun, Hasan Hanafi, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Fadl al- Rahman dan lain-lain
selalu meramaikan dan menjadi alat penguat bagi ketajaman analisis dan integrasi pemandangan
setiap tulisannya.
Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif dalam gelanggang cendekiawan muslim
Indonesia. Amin tidak hanya mampu mensintesiskan di antara sekian banyak argumen yang
bertentangan, tetapi juga lebih dari itu ia mampu melahirkan sebuah konsep cerdas dan akomodatif,
sehingga sebuah konsep dapat menjadi sebuah jawaban atas permasalahan yang dimunculkan.
B. Pembahasan
1. Problematika filsafat ilmu-ilmu keislaman modern
Dalam pandangan Amin Abdullah, problematika epistemologi dalam ilmu-ilmu keislaman
dan pemikiran Islam pada umumnya semakin menjadi sasaran kritik secara akademik. Amin Abdullah mensinyalir sarjana-sarjana Muslim seangkatan Fadl al-Rahman yang mengambil posisi serupa,
justru lebih radikal, yaitu Muhammad Arkun.4 Banyak artikel dan buku-bukunya yang diterbitkan
yang diterbitkan, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana
Keislaman Kontemporer (Bandung, Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan,
2002) serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya
terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta:
Rajawali, 1985); Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989). www.wikipedia bahasa Indonesia
ensiklopedia bebas.com. Lihat juga, www.Profil M. Amin Abdullah.com.
4
Muhammad Arkun menulis buku-bukunya dalam bahasa Prancis, namun beberapa di antaranya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris. Lihat Common Questions to Uncommons Unswer, diterjemahkan
oleh Robert D. Lee, (Boulder, Colorado: Markaz al-Inma’ wa al-Qawm, 1987); Ayna Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu’ashir,
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
29
m u s l i a di
tahun-tahun belakangan ini secara konsisten dan terus-menerus menyatakan perlunya mengkritisi
secara epistemologis bangunan konstruksi dan isi pemikiran Islam. Arkun menggambarkan problem
pemikiran Islam kontemporer sebagai berikut:
“Riset mengenai Islam sebagai agama telah terhenti karena orang-orang Muslim semakin
lama semakin menjadi subyek bulan-bulanan dari pertentangan/pertikaian politis,
budaya, dan psikologis yang berkembang di dalam masyarakat mereka, sementara itu
para ahli ilmu keislaman (Islamolog) sembari terkagum-kagum dengan efektivitas gerakan
‘fundamentalis’ secara politis, menunjukkan preseden adanya upaya mengkombinasikan
antara ilmu politik dan sosiologis politik untuk menjelaskan pandangan mereka terhadap
apa-apa yang dikategorikan sebagai trend jangka pendek, tetapi tidak sampai menyentuh
telaah ulang pada kerangka kerja epistemologi sistem penalaran Islam untuk keperluan
jangka panjang, yang sebenarnya justru sangat diperlukan”.5
Problem rasionalitas dan historisitas dalam pemikiran Islam dan ilmu-ilmu keislaman saat
ini sedang mendapat tantangan dan kritik tajam, khususnya dari sarjana-sarjana Muslim masa kini.
Beberapa di antara para pemikir itu dapat disebut antara lain Muhammad ‘Abid al-Jabiri,6 Nasr Hamid
Abu Zayd,7 Muhammad Syahrur,8 dan ‘Abd Allah Ahmad al-Na‘im.9 Meskipun demikian, menurut
pengamatan Amin Abdullah yang harus diuji lebih lanjut, belum ada satupun dari generasi pemikirpemikir Islam saat ini yang mencoba menjelaskan relevansi penerapan teori-teori dan metodologi
ilmiah, yang merupakan inti sarinya filsafat ilmu, pada wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka
mengkritisi seluruh konstruksi ilmu-ilmu keislaman dan pemikiran Islam yang begitu luas. Selagi
ilmu-ilmu keislaman dan studi-studi keislaman dapat disebut sebagai “science” maka Amin Abdullah
berpendapat bahwa, usaha untuk mempertemukan teori-teori dan metodologi ilmiah dengan
bangunan ilmu-ilmu keislaman tersebut adalah suatu langkah yang valid untuk dilakukan, sehingga
akan terjadi interaksi dan dialog yang kreatif di antara komponen-komponen tersebut dengan acuan
dasar filsafat ilmu.10
terj. Hasyim Salih, (London and Beirut: Dar al-Saqi, 1993); al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Salih (Beirut:
Markaz al-Inma’ wa al-Qawm, 1990).
5
Mohammed Arkoun, “Topicality of the Problem of the Person in Islamic Thought”, dalam International Social
Science Journal, August 1988, 407-21, khususnya 420-21. Lihat juga artikelnya, “The Unity of Man in Islamic Thought”,
Diogenes 140 (1987); 68. Lihat juga, Robert D. Lee, Overcoming Tradition and Modernity: The Search For Islamic
Authenticity (Bouler, Colorado: Westview Press, 1997), 149 dan 162-3.
6
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasat Tahliliyyah Naqdiyyah li al-Nuzumi fi al-Ma‘rifah fi
al-Thaqafat al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdat al-Arabiyyah, 1990); Al-Aql al-Siyasi al-‘Arabi dan Takwin al-‘Aql
al-‘Arabi, oleh penulis dan penerbit yang sama.
7
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: al-Hay’at al-Misriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, 1990) dan Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina li al-Nasyr, 1993).
8
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu‘asirah (Kairo: Sina Publisher, 1992).
9
‘Abd Allah Ahmad al-Na‘im, Toward an Islamic Reformation: Civic liberties, Human Right and International Law
(New York: Syracuse University Press, 1990).
10
Dalam pandangan Amin Abdullah, hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan telah mengambil keuntungan
dari adanya diskusi yang menggairahkan dalam filsafat ilmu. Biologi, filsafat, geologi, ekonomi, sosiologi, politik, sejarah
dan teologi menyambut secara positif perkembangan yang terjadi sebagai dampak dari adanya diskusi yang hangat
mengenai epistemologi dalam filsafat ilmu. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca pada Garry Gutting, (ed.), Paradigms
abd Revolutions: Appraisal and Application of Thomas Kuhn’s Philosophy of Science (Notre Dame: University of Notre
Dame, 1980).
30
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
Amin Abdullah membagi keilmuan agama Islam ke dalam tiga wilayah;11 Pertama, wilayah
praktik keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa
oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat dan para ahli pada bidangnya dan oleh anggota masyarakat
pada umumnya. Wilayah praktik ini umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoretik
keilmuan. Yang dipentingkan di sini adalah pengamalan. Pada level ini perbedaan antara agama dan
tradisi, agama dan budaya, antara belief dan habits of mind sulit dipisahkan.
Kedua, wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya
oleh para ilmuan, para ahli, para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang disebut
‘ulum al-tafsir, ‘ulum al-hadith, Islamic Thought (kalam, falsafah dan tasawuf), hukum dan pranata sosial
(fikih), sejarah dan peradaban Islam, pemikiran Islam, dan dakwah Islam ada pada wilayah ini. Apa yang
ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama Islam
yang diabstraksikan baik secara deduktif dari nas-nas atau teks-teks wahyu maupun secara induktif
dari praktek-praktek keagamaan yang hidup dalam masyarakat Muslim era kenabian, Sahabat, Tabi’un
maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat Muslim di mana pun mereka berada.
Ketiga, adalah telaah kritis, yang lebih populer disebut meta discourse, terhadap sejarah
perkembangan jatuh bangunnya teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis
kedua. Lebih-lebih jika teori-teori pada disiplin tertentu, ‘ulum al-Qur’an umpamanya, didialogkan
dengan teori-teori yang biasa berlaku pada wilayah lain, ‘ulum al-hadith, sejarah Peradaban Islam
dan seterusnya. Teori yang berlaku pada wilayah kalam didialogkan dengan teori yang berlaku pada
wilayah tasawuf, dan begitu selanjutnya.
Belum lagi jika teori-teori yang berlaku dalam wilayah Islamic Studies pada lapis kedua
dihadapkan dan didialogkan dengan teori-teori di luar disiplin keilmuan agama Islam seperti disiplin
ilmu kealaman, ilmu budaya, ilmu sosial dan religious studies. Wilayah pada lapis ketiga yang kompleks
dan sophicticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.12
Amin Abdullah berpendapat bahwa lapis ketiga studi keislaman pada level filsafat keilmuan
semakin hari semakin dirasakan perlunya untuk dikembangkan karena beberapa faktor:
1. Ilmu-ilmu Keislaman atau Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup. Ia
merupakan disiplin ilmu yang terbuka. Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah adalah bangunan
keilmuan biasa yang harus diuji ulang validitasnya lewat perangkat konsistensi, koherensi dan
korespondensi oleh kelompok ilmuan sejenis.
2. Agama Islam bukan satu-satunya agama yang hidup (living religion) pada saat sekarang ini.
Dalam dunia sekarang ini terdapat banyak living tradition yang mempunyai sistem tata pikir dan
Amin Abdullah, “Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Kajian Pendahuluan”, dalam Seminar Nasional Pengujian Teori,
STAIN Kudus, 12 Maret 2001. Lihat juga, “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman: Tajdid dalam Perspektif
Filsafat Ilmu”, dalam M. Amin Abdullah, Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban (Yogyakarta: MTPPI dan
UAD Press, 2005), 27-45.
12
Penulis-penulis Muslim kontemporer dalam wilayah Islamic Studies yang menekuni wilayah ini dapat disebut
beberapa, antara lain Mohammed Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Muhammad Shahrur, Nasr Hamid Abu Zayd,
Hasan Hanafi dan lain-lain. Deretan nama-nama ini jelas sekali berbeda dari deretan nama-nama seperti Imam al-Syafi‘i,
Imam Malik, Imam Hanbali bahkan juga berbeda dari deretan nama-nama seperti Sayyid Qutb, Hasan al-Banna dan
sebagainya.
11
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
31
m u s l i a di
seperangkat nilai dan keyakinan sama persis yang dipraktikkan oleh umat Islam, hanya saja kitab
suci, bahasa yang digunakan, nabi atau rasul yang dijadikan tokoh kharismatik dan panutannya,
tata ritual peribadatannya serta letak geografis dan pemeluknya berbeda.13
3. Semakin dekatnya hubungan dan kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik, ras,
suku dan agama sebagai akibat dari teknologi, transportasi, komunikasi dan informasi yang
canggih sehingga memperpendek jarak dan tapal batas ruang dan waktu yang biasa dipikirkan
dan diimajinasikan oleh umat beragama pada abad-abad sebelumnya. Setiap saat, lewat media
elektronik dan media cetak, apa yang terjadi pada belahan dunia lain menembus, menerobos dan
mempengaruhi tata cara berpikir umat beragama dan membangkitkan emosi mereka di mana pun
mereka berada.14
Kualitas keimanan dan keyakinan yang selama ini dipegang teguh oleh kelompok lapis pertama
dan ditopang serta dibekal argumen dan dalilnya oleh seperangkat teori yang disajikan oleh lapis
kedua perlu dijernihkan kembali dan diklarifikasi ulang oleh kelompok lapis ketiga. Apa yang disebut
sebagai ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu-ilmu keagamaan pada umumnya dan ilmuilmu keagamaan Islam khususnya perlu menyadari adanya tiga peringkat keilmuan tersebut. Jika
tidak, maka akan terjadi tumpang tindih antara yang satu dengan yang lainnya dan pada gilirannya
akan memunculkan anomali-anomali dan bahkan ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan
beragama.15
Dalam pandangan Amin Abdullah, mendalami isu-isu yang terkait dengan filsafat ilmuilmu keislaman sebaiknya tidak hanya terhenti pada level teoritis dan abstrak semata. Jika kajian
itu dikemas dengan bagus secara metodologis dengan dilengkapi kerangka teori dan berbagai
pendekatan yang interdisiplin dan multi disiplin, maka diskursus tersebut akan mempunyai dampak
langsung terhadap praktik sosial keagamaan Islam. Ia akan melatih, memupuk dan membentuk nalar
kritis terhadap realitas pola perilaku umat Islam di mana pun mereka berada. Nalar komunal yang
beraroma politis memang selalu menghindar dari diskusi filsafat ilmu. Hal itu terjadi sejak era Plato13
Dalam tinjauan Amin Abdullah, uraian yang cukup bagus tentang hubungan dialog antara Islamic Studies
yang bersifat partikular dan Religious Studies yang bersifat universal dapat dijumpai dalam karya Richard C. Martin (ed.),
Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985) khusus bagian pendahuluan
dalam tulisan berjudul “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay”, 1-18.
14
Menurut Amin Abdullah, Apa yang pernah terjadi di Afghanistan dengan kelompok serta program-program
pemerintahnya dengan mudah dapat diikuti di Indonesia dan berbagai tempat di seluruh dunia. Kompas tanggal 3/3/2001
menulis berita bahwa pemerintahan Taliban-Afghanistan akan menghancurkan seluruh patung Budha yang berukuran
raksasa, sebagai peninggalan sejarah abad pertama Masehi karena dianggap bertentangan dengan prinsip akidah Islam.
Para pemimpin dunia, termasuk ketua PBB Kofi Anan ketika itu, menolak keras rencana pemerintah Taliban, juga negaranegara lain termasuk Mesir.
15
Di Timur Tengah, sebagai sumber penyebar agama Islam, telah tumbuh keberanian sebagian cendekiawan
Muslimnya untuk mempertajam teori yang membedakan antara al-din dan al-afkar al-diniyyah seperti yang diungkapkan
oleh Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Naqd al-Khitab al-Dini; antara believer (mukmin) dan ilmuan agama (historians)
yang diungkap oleh Muhammad Arkun dalam bukunya Tarikhiyyat al-Fikr al-Islami. Dan Ummu al-Kitab dan al-Kitab
seperti yang diungkap oleh Muhammad Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa al-Sunnah. Di samping itu ada yang membuat
pola-pola pikir keislaman menurut kecenderungan jenis epistemologi yang dipergunakan, seperti epistemologi bayani,
burhani dan ‘irfani dengan bahasa-bahasa keilmuan yang relatif baru oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri dalam bukunya
Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi. Menurut Amin Abdullah, buku-buku dan temuan-temuan baru ini secara relatif belum dapat
diakses oleh ilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN apalagi di kalangan perguruan tinggi umum.
32
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
Aristoteles hingga John Rawl dan Gadamer; sejak al-Farabi, Ibn Rusyd, Mulla Sadra, sampai Fadl
al-Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi dan seterusnya.
Ada baiknya jika agenda reformulasi dan rekonstruksi filsafat ilmu-ilmu keislaman perlu
dikedepankan terlebih dahulu, sebelum melangkah ke wilayah ilmu-ilmu keislaman atau sebaliknya
mempelajari ilmu-ilmu keislaman terlebih dahulu dan tidak cepat puas dan berhenti disitu, tetapi
dilanjutkan dan diakhiri dengan filsafat ilmu-ilmu keislaman agar supaya dapat utuh dan komprehensif
dalam melihat persoalan keagamaan dan keislaman sekaligus.16
Pada saat sekarang ini, filsafat Islam dan pemikiran Islam kontemporer dihadapkan pada
situasi dan konteks yang sama sekali berbeda dari situasi ketika ia semula dibangun, dipikirkan,
dirancang dan disistematisasikan oleh para pengarang, pencetus, penyusun dan penulisnya. Ketika
ilmu-ilmu keislaman dirancang dan disitematisasikan, para perancangnya belum mengenal semiotika,
linguistik modern, hermeneutika, critical-social-science dan begitu seterusnya.
Ide pembaruan dalam filsafat Islam dan pemikiran keislaman kontemporer terletak pada
sejauh mana ilmu-ilmu tersebut mampu berinteraksi dan berdialog dengan perkembangan baru
dalam diskursus keislaman. Jika saja, ilmu-ilmu itu tetap bertahan, pada pola lama untuk menjaga
“orisinalitas”-nya, maka ide-ide segar yang disumbangkan oleh metodologi ilmu-ilmu baru tersebut
akan tertolak dengan sendirinya. Sedangkan jika mereka secara apresiatif-kreatif menyeleksi dan
mengawinkan metodologi keilmuan baru dengan ilmu-ilmu keislaman, maka pembaruan dalam
filsafat Islam dan pemikiran keislaman akan tampak dengan sendirinya.
2. Epistemologi ilmu-ilmu keislaman: gerak lingkar hermeneutis
Hampir seluruh bangunan keilmuan agama Islam, baik menyangkut materi maupun metodologi
yang diajarkan masih mencerminkan episteme klasik-skolastik lantaran semuanya disusun era prascientific.17 Maka sesungguhnya amat menarik mencermati hubungan antara agama dan ilmu dalam
dunia pemikiran Islam. Menurut Iqbal, pemikiran Islam hampir tidak bergerak selama 500 tahun.18
Sedang menurut Arkun, sejak abad 12 sampai 19 bangunan pemikiran Islam tidak berubah sama
sekali.
Era saintific, yang semula diawali dari Roger Bacon, oleh Iqbal diklaim cara berpikirnya
dipengaruhi oleh Ibn Haytham dan Ibn Hazm19 yang kemudian memengahasilkan temuan-temuan
ilmu pengetahuan yang begitu dahsyat, tampak tidak berpengaruh sama sekali dalam perumusan
ulang pemikiran Islam. Jika science, pada ujungnya memunculkan teknologi, filsafat, dan teologi
(dari revelation, ke natural theology, kemudian bergeser ke moral dan religious experience)20 serta
social science, maka dalam epistemologi keagamaan Islam, agaknya, kurang begitu memperhatikan
M. Amin Abdullah, Islamic Studies…, 91.
Mohammed Arkoun, The Concept of Authority in Islamic Thought: “La Hukma ill Lillah” dalam Islam, State
and Society, K. Ferdinand and M. Mozaffer (ed.) (London: Curzon Press, 1988), 53-73, khususnya, 64-5.
18
Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Ralidi (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), 24.
19
Iqbal, Pembangunan…,183-184.
20
Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion (New York: Harper Torchbook, 1966), 114.
16
17
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
33
m u s l i a di
akibat yang ditimbulkan oleh temuan-temuan science dalam diskursus Islam. Padahal, semua rancang
bangun epistemologi ilmu-ilmu agama Islam yang dipelajari sekarang ini, dulunya juga merupakan
respon para cerdik pandai dan ulama ketika mereka merespon dan bergumul dengan tantangantantangan era klasik-skolastik.
Kuliah agama yang bersifat kontekstual di Perguruan Tinggi Umum, menurut hemat Amin
Abdullah, perlu terus-menerus mencermati implikasi dan konsekuensi dari kecenderungan ketidaksaling-terpengaruhan antara materi dan metodologi ilmu-ilmu agama Islam–aspek historisitas
espitemologinya–dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Ketidakterpautan antara keduanya, cepat
atau lambat, akan dapat mengancam “relevansi” diskursus epistemologi Islam.
Menurut Amin Abdullah, filsafat ilmu yang dikembangkan di dunia Barat seperti Rasionalisme,
Empirisme dan Pragmatisme–tidak begitu cocok untuk dijadikan kerangka teori analisis terhadap
pasang surut dan perkembangan Islamic Studies. Perdebatan, pergumulan dan perhatian epistemologi
keilmuan di Barat tersebut lebih terletak pada wilayah natural sciences dan sebagian pada wilayah
humanities dan social sciences, sedangkan Islamic Studies dan ‘Ulum al-din, khususnya syariah,
akidah, tasawuf, ‘ulum al-Qur’an dan ‘ulum al-hadith lebih terletak pada wilayah classical humanities.
Untuk itu, menurut Amin Abdullah, diperlukan perangkat kerangka analisis epistemologis yang khas
untuk pemikiran Islam, yakni apa yang disebut oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri dengan epistemologi
bayani, burhani dan ‘irfani.21
Dengan berpijak dari dua buku al-Jabiri, yakni Takwin al-‘Aql al-‘Arabi dan Bunyat al-‘Aql
al-‘Arabi: Dirasat al-Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma‘rifah fi al-Thaqafah al-‘Arabiyyah untuk
sementara dianggap Amin Abdullah cukup representatif untuk melihat struktur fundamental
kefilsafatan ilmu kajian-kajian keislaman dalam dataran humanities, sedangkan buku ketiganya al‘Aql al-Siyasi al-Arabi,22 merupakan pengejewantahan dari konsep-konsep dan paradigma humanities
dalam pemikiran keislaman dalam wilayah kehidupan sosial-politik yang kongkrit dalam masyarakat
Muslim. Dengan begitu buku ketiga tersebut lebih terkait dengan operasionalisasi atau social
application dari konsep-konsep humanities dalam pemikiran keislaman.
Amin Abdullah telah memodifikasikan di sana-sini sesuai perkembangan telaah epistemologi
dalam tradisi ilmu pengetahuan, Amin Abdullah ingin memperlihatkan struktur fundamental ilmuilmu keislaman (‘Ulum al-Din) dalam perspektif epistemologi bayani sekaligus perbandingannya
dengan epistemologi ‘irfani dan burhani. Menurut al-Jabiri, corak epistemologi bayani didukung
oleh pola pikir fikih dan Kalam. Dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN, begitu juga
pengajaran agama Islam di Perguruan Tinggi Umum negeri dan swasta, dan lebih-lebih di pesantrenpesantren, corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik
sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi ‘irfani dan burhani. Corak pemikiran ‘irfani
M. Amin Abdullah, “Al-Takwin al-‘Ilmiy: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, dalam M. Amin
Abdullah, dkk. Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta, Panitia Dies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ke 50, tahun 2001 dengan Kurnia Kalam Semesta, Th. 2002), 1-37.
22
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-Aql al-Siyasi al-Arabi: Muhaddidatuhu wa Tajalliyatuhu (Beirut: Markaz al-Thaqafi
al-Arabi, 1991).
21
34
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
(tasawuf intuitif al-‘atifi) kurang begitu disukai oleh tradisi berpikir keilmuan bayani (fikih dan kalam)
yang murni, lantaran bercampur-aduknya bahkan dikaburkannya tradisi berpikir keilmuan ‘irfani
dengan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi tarekat dengan syatahat-syatahat-nya serta
kurang dipahaminya struktur fundamental epistemologi dan pola pikir ‘irfani berikut nilai manfaat
yang terkandung di dalamnya.23
Menurut Amin Abdullah, sebenarnya ketiga kluster sistem epistemologi ‘Ulum al-Din ini
adalah masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam prakteknya hampir-hampir tidak pernah mau
akur. Bahkan tidak jarang saling kafir-mengkafirkan, murtad-memurtadkan dan sekuler-mensekulerkan antar masing-masing penganut tradisi epistemologi ini. Oleh karena itu, pola pikir tekstual bayani
lebih dominan secara politis dan membentuk mainstream pemikiran keislaman yang hegemonik. Sebagai akibatnya pola pemikiran keagamaan Islam model bayani menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks
dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi usul al-fiqih klasik lebih diunggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti alam (kawniyyah), akal (‘aqliyyah) dan
intuisi (wijdaniyyah). Dari hasil pencermatan Amin Abdullah, pengembangan pola pikir bayani hanya
dapat dilakukan jika ia mampu memahami, berdialog dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental
yang dimiliki oleh pola pikir ‘irfani maupun pola pikir burhani dan begitu pula sebaliknya.24
Dengan mengutip Farid Esack, Amin Abdullah memperkuat tesisnya bahwa, kelemahan yang
paling mencolok dari tradisi nalar bayani atau tradisi berpikir tekstual-keagamaan adalah ketika ia harus
berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat
yang beragama lain.25 Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen berpikir
keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif,
apologis, dan bahkan polemis, dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or wrong my
country”. Itulah jenis pengetahuan keagamaan yang biasa disebut-sebut sebagai al-‘ilm al-tawqifi, yang
dibedakan dari al-‘ilm al-huduri dan al-‘ilm al-husuli dalam tradisi pemikiran Islam klasik.
Untuk menghindari kekakuan dan rigiditas dalam berpikir keagamaan yang menggunakan
teks sebagai sumber utamanya, epistemologi pemikiran keagamaan Islam, sesungguhnya telah
23
Dalam pantauan Amin Abdullah, sejak dari dulu pola pikir bayani lebih mendahulukan dan mengutamakan
qiyas (qiyas al-‘illah untuk fikih dan qiyas al-dalalah untuk kalam) dan bukannya mantiq lewat silogisme dan premispremis logika. Epistemologi tekstual-lughawiyyah (al-asl wa al-far‘; al-lafz wa al-ma‘na) lebih diutamakan dari epistemologi
kontekstual-bahthiyyah maupun spiritualitas-‘irfaaiyyah-batiniyyah. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu
mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa
wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa
nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat. Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabi…,
29-30.
24
Amin Abdullah menunjukkan kekhawatirannya – jika saja masing-masing sistem kefilsafatan ilmu keagamaan
dalam Islamic Studies atau Ulumuddin ini berdiri sendiri-sendiri, tidak bersentuhan antara satu dan lainnya sebagaimana
yang tercermin dengan kokohnya dinding-dinding pembatas fakultas di lingkungan IAIN dan STAIN, belum lagi tembok
pembatas antara keilmuan umum dan keilmuan agama–maka agak sulit dibayangkan akan terjadi pengembangan ilmuilmu keislaman dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi…, 202-203.
25
Studi yang cukup mendalam tentang ini, direkomendasikan Amin Abdullah untuk membaca Farid Esack,
“Mendefinisikan kembali Diri Sendiri dan Orang Lain: Iman, Islam, dan Kufur”, juga “Al-Qur’an dan Kaum Lain:
Pluralisme dan Keadilan” dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Al-Qur’an, Liberalisme,
Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas (Bandung: Mizan, 2001).
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
35
m u s l i a di
mempunyai dan menyediakan mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari alam (internal control)
lewat epistemologi irfani. Pola epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks.
Menurut sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik di Persi maupun Yunani jauh sebelum datangnya
teks-teks keagamaan baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam.
Status dan keabsahan ‘irfani selalu dipertanyakan baik oleh tradisi berpikir bayani atau
burhani. Epistemologi bayani mempertanyakan keabsahannya karena dianggap terlalu liberal
dan tidak mengikuti pedoman-pedoman yang diberikan teks, sedangkan epistemologi burhani
mempertanyakan keabsahannya karena dianggap tidak mengikuti aturan-aturan dan analisis yang
berdasarkan logika. Apalagi dalam tradisi sejarah pemikiran Islam, apa yang disebut intuisi, ilham,
qalb, damir, psikognosis telah terlanjur dikembangkan atau diinstitusionalisasikan menjadi apa yang
disebut sebagai “tarekat” dengan wirid-wirid dan syatahat-syatahat yang mengiringinya.26
Menurut Amin Abdullah, agak sulit mengembalikan citra positif epistemologi ‘irfani dalam
pangkuan gugus epistemologi Islam yang lebih komprehensif-utuh integrated karena kecelakaan
sejarah dalam hal kedekatannya dengan perkumpulan tarekat. Padahal tarekat itu sendiri tidak lain
dan tidak bukan adalah institutional atau organizational expression dari tradisi gnosis (tasawuf) dalam
budaya Islam. Fadl al-Rahman bahkan pernah menyebutnya sebagai “religion within religion.”27
Jika sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah “teks” (wahyu), maka
sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir ‘irfani adalah “experience” (pengalaman).
Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya, merupakan pelajaran yang tak ternilai
harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya
yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat Yang Maha Suci dan Maha Segalanya. Untuk
mengetahui Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, orang tidak perlu menunggu turunnya
“teks”28 Pengalaman konkrit pahitnya konflik, kekerasan dan disintegrasi sosial dan akibat yang
ditimbulkannya dapat dirasakan oleh siapa pun, tanpa harus dipersyaratkan mengenal jenis-jenis
teks-teks keagamaan yang biasa dibacanya.
Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam, otentik, fitri, dan hampir tidak bisa
terungkap oleh logika dan bahasa inilah yang disebut-sebut sebagai al-‘ilm al-huduri (direct experience)
oleh tradisi isyraqi di Timur atau preverbal, prereflective consciousness atau prelogical knowledge29
oleh tradisi eksistensialis di Barat. Semua pengalaman otentik tersebut dapat ‘dirasakan’ secara
langsung oleh seluruh umat manusia apa pun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya,
tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan “bahasa” maupun “logika.”
Lebih lanjut lihat Fazlur Rahman, Islam, 132-133; 135.
Kritik cukup keras datang dari Fazlur Rahman, lihat Islam, 150.
28
Dalam tradisi pemikiran Kalam, istilah “qabl al-bi‘thah” atau sebelum turunnya wahyu kenabian sangat tipikal
dan menjadi topik yang menarik dalam pemikiran keislaman sejak dari dahulu hingga sekarang. Dalam telaah antropologi
agama, permasalahan ini dibahas dalam pokok bahasan Literae dan Non-Literate Religions. Lebih lanjut Jarich Oasten,
“Cultural Anthropological Approaches” dalam Frank Whaling (ed.), Contemporary Approaches to the Study of Religion,
vol. II (Berlin: Mouton Publishers, 1985), 245-52.
29
Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: the Existentialis and Their Nineteent-Century
Backgrounds (New York: Harper & Row Publisher, 1972), 255; 263.
26
27
36
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
Dalam pandangan Amin Abdullah, validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat
dirasakan dan dihayati secara langsung (al-ru’yat al-mubasyarah; direct experience), intuisi, al-dhawq
atau psiko-gnosis. Sekat-sekat formalitas lahiriah yang diciptakan oleh tradisi epistemologi bayani
maupun burhani, baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan, kultur, tradisi, yang
ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpersonal antar umat manusia, ingin
diketepikan oleh tradisi berpikir orisinal ‘irfani.30 Untuk itulah prinsip memahami keberadaan orang,
kelompok dan penganut agama lain dengan cara menumbuh-suburkan sikap empati, simpati, social
skill, serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip universal reciprocity (bila merasa sakit dicubit,
maka janganlah mencubit orang lain) akan mengantarkan tradisi epistemologi ‘irfani pada pola pikir
yang lebih bersifat unity in difference, tolerant dan pluralist.31
Untuk itu, kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka berpikir epistemologi ‘irfani
perlu terus-menerus digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami secara praktis-funsional. Agamaagama dunia yang tidak memiliki pola pikir ‘irfani akan sangat sulit menghadapi realitas pluralitas
keberagamaan umat manusia baik internal maupun eksternal. Menurut Amin Abdullah, hanya pola
pikir epistemologi ‘irfani inilah yang dapat mendekatkan hubungan sosial antar umat beragama,
meskipun secara sosiologis mereka tetap saja sah untuk tersekat-sekat dalam entitas dan identitas
sosial-kultural mereka sendiri-sendiri lewat tradisi formal-tekstual keagamaannya. Dalam tradisi
epistemologi ‘irfani, istilah “‘arif” lebih diutamakan dari pada istilah “‘alim”, karena “‘alim” lebih
merujuk pada nalar bayani, sedang “ ‘arif” (diambil dari akar kata yang serupa ‘a-r-f) lebih merujuk
pada tradisi ‘irfani. Secara sosiologis, budaya dan masyarakat Indonesia juga lebih menghormati
karakter “‘arif” dan bukannya ‘alim untuk hal-hal yang terkait dengan kompleksitas pergaulan sosial,
budaya dan keagamaan.
Epistemologi pemikiran keagamaan Islam yang ketiga adalah epistemologi burhani. Ibn
Rusyd sebagai tokoh filosof Muslim Klasik, telah menyebut-nyebut jenis epistemologi ini.32 Namun,
hegemoni epistemologi bayani menjadikan corak epistemologi burhani dan juga ‘irfani tersingkir dari
panggung sejarah pemikiran keislaman. Oleh karena keduanya, yakni epistemologi burhani dan ‘irfani
cukup vital perannya dalam pemikiran keislaman, maka keduanya perlu direkonstruksi ulang dengan
pemaknaan-pemaknaan yang baru (al-qira’at al-muntijah), untuk mendampingi epistemologi bayani.
30
Di sinilah perlunya rekonstruksi dan pemahaman ulang arti istilah ittihad, fana’ dan juga hulul yang biasa
diambil dari khazanah pemikiran tasawuf klasik yang sering dikritik oleh para fukaha dan mutakallimin baik klasik
maupun kontemporer. Konsep wihdat al-wujud bukannya berarti “manunggaling kawulo gusti,” secara fisik, tetapi
lebih berarti unity in multiplicity atau unity in difference. Baik wihdat al-wujud, hulul maupun ittihad bukannya berarti
menyatukan unsur ketuhanan dan kemanusiaan, tetapi lebih mengandung arti menyatunya basic human need (kebutuhan
sandang, pangan, papan, afilitas keagamaan atau religiositas, makna kehidupan yang paling dalam atau spiritualitas,
kebutuhan untuk aktualitas diri dan begitu seterusnya), tanpa terlalu memandang perbedaan ras, kulit, etnis dan agama.
Itulah pemahaman baru tentang apa yang disebut-sebut sebagai ittihad al-‘arif wa al-ma’ruj. Istilah bi la wasitah (tanpa
perantara) dan bila hijab (tanpa sekat) bahkan juga kasyf al-mahjub hanya dapat dipahami dengan mencairnya batas-batas
formal antar agama, etnis, kelamin, ras dan seterusnya.
31
Lebih lanjut lihat Hasan Askari & John Avery, Towards A Spiritual Humanism: A Muslim Humanist Dialogue
(Ledds: Seven Mirrors Publishing House Limited, 1991), khususnya Bab 6, 69-90.
32
Ibn Ruysd, Tahafut al-Tahafut, (Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1981), 787; juga Oliver Leaman, Averroes and His
Philosophy, (Oxford: Clarendron Press, 1988), khususnya Bab Philosophy and Syari’a, 144-160. Bahasan yang mendalam
adalah Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi…, 383-482.
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
37
m u s l i a di
3. Paradigma integratif-interkonektif dan relevansinya bagi ilmu-ilmu keagamaan
Dalam sejarah ilmu, keilmuan umum dan agama telah berdiri sendiri dan memiliki sumber
epistemologi yang kuat, sehingga akan terjadi permasalahan ketika usaha integrasi dilakukan.33 Dalam
pandangan Amin Abdullah, integrasi keilmuan memiliki kesulitan, yaitu kesulitan memadukan antara
studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh
karena itu diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Dalam hal interkoneksitas
menurut Amin Abdullah adalah:
“Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dijalani manusia, sehingga
setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (Islam, Kristen, Budha, dan
lain-lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri…
maka dibutuhkan kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan
saling keterhubungan antar disiplin ilmu.34
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak akan saling
melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan
Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak, yaitu paralel, linier dan sirkular.35 Pendekatan
integrative-interkonektif adalah pendekatan yang berusaha saling menghargai; karena keilmuan
umum dan agama sadar akan keterbatasan masing-masing dalam memecahkan persoalan manusia.
Hal ini akan melahirkan sebuah kerja sama, setidaknya saling memahami pendekatan (approach) dan
metode berpikir (process and procedur) antar kedua keilmuan tersebut.36
Dalam hal inilah Amin Abdullah merumuskan bangunan keilmuan yang berwatak
teoantroposentris-integralistik yang kemudian munculnya horizon keilmuan dalam bentuk skema
jaring laba-laba, seperti gambar di bawah ini:
Contoh yang paling kentara pada usaha integrasi sains dan agama. Ada tiga tipologi dan pendekatan hubungan
antara sains dan agama. Pertama, pendekatan konflik, yaitu di mana suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan
agama tidak dapat dirujukkan. Kedua, pendekatan kontras, di mana suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan
yang sungguh-sungguh Karena agama dan sains memberikan tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Ketiga,
pendekatan kontak, di mana upaya dialog, interaksi dan kemungkinan adanya penyesuaian antara sains dan agama
dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis dan,
Keempat, pendekatan konfirmatif, yaitu di mana suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting. Perspektif ini
mempengaruhi cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama (Bandung: Mizan, 2004), 1-2.
34
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi…, vii-viii.
35
Hubungan antara keilmuan umum dan agama dapat didekati dalam tiga pendekatan. Pertama, corak pararel,
di mana masing-masing corak keilmuan umum dan agama akan berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan
persentuhan antara yang satu dengan yang lain. Kedua, bercorak linier, di mana salah satu dari keduanya akan menjadi
primadona sehingga ada kemungkinan berat sebelah dan, Ketiga, sirkular, di mana masing-masing corak keilmuan dapat
memahami, keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia
mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan
untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,
219-223.
36
Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pendekatan
Dikotomis-Atomistis ke Arah Integratif-Interdisiplinary,” dalam Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama (Bandung:
Mizan, 2005), 242.
33
38
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
Jika dilihat dari skema spider web (jaring laba-laba) yang ditawarkan Amin Abdullah merupakan
peta konsep, di mana dapat dimaknai bahwa setiap item yang terdapat dalam peta tersebut memiliki
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, inilah yang disebut oleh Amin Abdullah dengan
keilmuan integratif. Kemudian dari jaringan laba-laba tersebut bisa dipahami bahwa, keilmuan itu
berpusat pada Alquran dan Sunah yang secara hirarkis berkaitan dengan sejumlah pengetahuan sesuai
dengan tingkat abstraksi dan aplikasinya. Item-item yang terdapat satu lapis lingkaran menunjukan
kesetaraan dilihat dari tingkat teoritisnya.
Satu hal yang sangat menarik dari teori spider web (jaringan laba-laba) keilmuan tersebut
adalah penempatan Alquran di tengah kompeksitas perkembangan keilmuan. Hal merupakan
penegasan yang sangat penting bagi setiap Muslim, karena bagi umat Islam Alquran diyakini sebagai
sumber kebenaran, etika, hukum, dan pengetahuan.
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum yang tergabung dalam ilmu alam, ilmu sosial
dan humaniora. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif adalah menjadikan keilmuan di
Universitas Islam Negeri (UIN), dalam istilah Kuntowijoyo – mengalami proses objektivikasi di mana
keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non-Muslim sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya),
tidak sebagai perbuatan keagamaan. walaupun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa
tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi
rahmat bagi semua orang.37
Pendekatan keilmuan integratif-interkonektif menegaskan bahwa antara keilmuan umum dan
agama (Islamic Studies) akan saling tegur sapa dalam hal materi, metodologi, dan pendekatannya.
Kedua keilmuan tersebut tidak akan merasa asing satu sama lainnya, di mana Islamic Studies yang ada
dalam Fakultas Dakwah, Tarbiyah, Syariah, Adab dan Ushuluddin akan selalu berhubungan dengan
keilmuan sosial, humaniora ataupun sains.
Usaha integratif-interkonektif antara keilmuan umum dalam Islamic Studies di UIN sebenarnya
sudah ada modalnya. Modal ini menurut Azyumardi Azra ada tiga. Pertama, kajian-kajian keislaman
di UIN bersifat non-mazhab, sehingga kajian non-mazhab tidak memihak mazhab manapun dalam
37
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 62.
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
39
m u s l i a di
Islam dan kajian-kajiannya cenderung lebih objektif. Kedua, terjadinya pergeseran kajian Islam
dari kajian normatif ke kajian-kajian yang bersifat historis, sosiologis dan empiris. Ketiga, orientasi
keilmuan yang lebih luas, di mana keilmuan di UIN tidak hanya berkiblat ke Timur Tengah, tetapi
juga ke dunia Barat.38
Penggunaan teori sosial dan humaniora selama tiga puluh tahun terakhir di IAIN sebenarnya
bukan barang yang baru lagi. Mahasiswa IAIN sudah biasa menganalisis kasus-kasus keagamaan
dengan menggunakan pisau analisa antropologi, sosiologi, sejarah, hukum, linguistik dan ilmu
politik. Hal ini dapat menjadi modal bagi pengembangan pendekatan integratif-interkonektif dalam
Islamic Studies. Hal ini berbeda dengan tradisi pendekatan sains di UIN yang masih agak kaku. Maka
diperlukan usaha yang keras agar sains di UIN bukan hanya sekedar tempelan belaka.39
Sebenarnya di masa lalu pendekatan sosial humaniora dalam Islamic Studies sudah memiliki
contohnya, sebut saja pendekatan dalam perbandingan agama yang digagas oleh A. Mukti Ali seperti
“religio-scientific atau scientific-cum doctrine atau ‘ilmiah agamis,”40 yang merupakan usaha untuk
memahami gejala agama lewat pendekatan historis, arkeologis, filosofis, sosiologis, fenomenologis,
tipologis tanpa melupakan aspek normatif. Harapannya, dengan pendekatan keilmuan modern,
doktrin di dalam ajaran Islam masih terpelihara dan tidak mengalami relativitas.41
Pengembangan dan konversi IAIN ke UIN kata Amin Abdullah adalah “proyek keilmuan,”42
sehingga rancang bangun dengan adanya interkoneksitas antara keilmuan Islam dan umum dapat
dilakukan dengan rancang bangun kurikulum UIN yang dirubah, seperti Fakultas Syariah yang mulai
membuka diri untuk mata kuliah baru yang mengandung muatan humanis kontemporer dan keilmuan
sosial seperti hermeneutika, cultural dan religious studies, HAM, sensitivitas gender, filsafat ilmu
dan seterusnya.43 Begitu juga dengan Fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin. Perlu juga
38
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2002),
171-172.
Menurut Amin Abdullah, merupakan kecelakaan sejarah ketika bangunan keilmuan natural science menjadi
terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu agama. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik…,
256. Dalam sejarahnya, kemajuan Islam selalu dibarengi dengan deretan nama-nama ilmuan Islam yang mumpuni dalam
ilmu kealaman dan sains. Lihat Mehdi Nakosten, History of Islamic Origins of Western Educations (Colorado: University
Colorado Press, 1964), 23.
40
A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 79.
41
Studi keislaman dengan pendekatan kritis, analitis, empiris, historis ini sudah biasa digunakan oleh
mahasiswa dan dosen-dosen di IAIN, sebut saja tesis dan disertasi dosen-dosen IAIN dalam mengkaji masalah keagamaan
dengan keilmuan sosial dan humanitas, baik dibuuat di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Ahmad Daudy,
Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Sejarah, Karya, Sanggahan terhadap Wujudiah di Aceh), (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
Aqib Suminto, Politik Islam India Belanda (Jakarta: INIS, 1996); Mukti Ai, Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan
(Bandung: Mizan, 1998). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998); Hasan Muarif Ambary, Penemuan
Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos, 1998); Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S, 1996). Bachtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998). Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama:
Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 19999); Ratna Lukito, Islamic Law and Adat
Encounter: The Experience of Indonesia (Jakarta: Logos, 2001); Akh. Minhaji, Ahmad Hasan and Islamic Legal Reform
in Indonesia (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002).
42
Amin Abdullah, Islamic Studies…., 339.
43
Gelombang ketika dimulai tahun 70-an, gelombang ketiga adalah gelombang revolusi informasi, dimana
39
40
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
dimasukkan muatan-muatan pembelajaran agama yang merujuk pada pembentukan masyarakat
madani atau civil society. Isu-isu semacam transparansi (keterbukaan) dalam wilayah publik, public
accountability, solidaritas, toleransi, demokrasi, kesalehan sosial dan lain sejenisnya adalah untuk
dapat bergaul dalam masyarakat modern.44
Sudah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities),
apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yang tunggal (single entity). Tingkat peradaban kemanusiaan saat
ini yang ditandai dengan semakin melesatnya kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, tidak
memberi alternatif lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik
itu pada level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud Amin Abdullah
dengan pola pendekatan integratif-interkonektif. Apabila tidak memungkinkan dilakukan proses
integrasi, maka dengan menggunakan pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya.45 Hal ini
perlu dilakukan guna menghindari teralienasinya ilmu-ilmu keislaman dari komunitas keilmuan
global.
C. Penutup
Peran dan pengaruh epistemologi dalam keilmuan Islam memiliki urgensi dan signifikansi
yang tidak bisa diremehkan. Persoalan epistemologi merupakan inti setiap pandangan dunia
manapun. Epistemologi Islam dalam sejarahnya, terbukti mampu mengantarkan zaman klasik Islam
menuju pada kemampuan membangun ilmu dan kebudayaan yang tidak dikotomik. Pengembangan
sains yang berakar pada epistemologi dan sistem nilai Islam menjadi sebuah sains yang dapat
diinternalisasikan dan bisa mengekspresikan tanggung jawab sosial kaum Muslim. Epistemologi
Islam dibangun di atas berbagai pendekatan, mulai pendekatan tekstual yang menjadikan teks-teks
kitab suci dan hadis sebagai titik tolak pertama dan penentu kebenaran (bayani), kemudian diperkaya
dengan pendekatan kalam dan filsafat yang bersifat spekulatif-rasional (burhani), dan pada akhirnya
diperhalus dengan pendekatan mistis (‘irfani). Kesemua pendekatan tersebut pada dasarnya dapat
digunakan secara bersamaan (jama‘i), kendati mungkin karena alasan objek yang beragam terkadang
satu pendekatan lebih dominan dibanding yang lain. Akan tetapi, yang jelas, berbagai pendekatan
itu pada kurun sejarah Islam yang sangat panjang telah memengaruhi para ilmuan dalam memahami
berbagai entitas keilmuan dalam Islam.
Tawaran model konstruksi epistemologi keilmuan Islam dalam konteks pemikiran M.
Amin Abdullah adalah epistemologi Islam dengan pendekatan integratif-interkonektif. Konstruksi
teknologi berbasis informasi menjadi kiblat peradaban. Walaupun di Indonesia belum mencapai gelombang ketiga,
mungkin masih gelombang pertama yaitu peradaban pertanian atau peradaban kedua yaitu industri. Tapi kini, peradaban
berbasis informasi telah menjadi menu keseharian hidup masyarakat Indonesia. Abdullah Hadi dan Toto Suharto,
Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), viii.
44
Adanya internet dan alat komunikasi mempermudah manusia untuk berhubungan antar wilayah dan antar
bangsa. Di sinilah hakikat globalisasi, di mana semua bangsa di dunia akan mengecil jaraknya karena kemudahan
komunikasi dan menjadikan dunia seperti kampung global (global village). Rusli. “Media Global dan Internet Implikasinya
terhadap Agama dan Komunitas,” dalam Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Volume 5, Nomor 2 Juli-Desember
2006, 358.
45
Amin Abdullah, Islamic Studies,…, vii.
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
41
m u s l i a di
epistemologi integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak akan saling melumatkan
dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan yang digunakan tidak lagi berbentuk
paralel dan linier, melainkan sirkular, yaitu di mana masing-masing corak keilmuan dapat memahami,
keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus
bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain
serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri. Konstruksi
epistemologi integratif-interkonektif adalah pendekatan yang berusaha saling menghargai; karena
keilmuan umum dan agama sadar akan keterbatasan masing-masing dalam memecahkan persoalan
manusia. Hal ini akan melahirkan sebuah kerja sama, setidaknya saling memahami pendekatan
(approach) dan metode berpikir (process and procedur) antar kedua keilmuan tersebut. Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan
Islam dan keilmuan umum yang tergabung dalam ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora, sehingga
Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.
Gagasan epistemologi keilmuan Interkonektif-Integratif M. Amin Abdullah merupakan
sebuah jalan keluar, yang memungkinkan para pemikir dan cendikiawan muslim dapat lebih
secara konfrehensif melihat agamanya kemudian mereka dapat menjawab berbagai persoalan dan
memberikan solusi berbagai problematika umat Islam kontemporer.
Paradigma baru yang dibangun oleh Amin Abdullah dengan integratif-interkonektif ini sangat
relevan dengan kebutuhan zaman saat ini. Koneksitas ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan
dalam keilmuan Islam dan lebih jauh lagi dapat menjawab kompleksitas problem kemanusiaan di
era globalisasi. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan, hal ini bisa dilihat ketika
paradigma ini coba diterapkan dalam pengembangan perguruan tinggi agama yang mengejawantah
dengan perubahan IAIN menjadi UIN ternyata banyak menimbulkan kerancuan terutama bagi
program-program studi yang muncul kemudian, untuk itu harus segera dicarikan solusi, sehingga
tujuan ideal dari integrasi dan interkoneksi ini dapat terwujud.
Daftar Pustaka
Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civic liberties, Human Right and
International Law. New York: Syracuse University Press, 1990.
Abdullah, Amin. “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari
Pendekatan Dikotomis-Atomistis ke Arah Integratif-Interdisiplinary”, dalam Zainal Abidin
Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung: Mizan, 2005.
Abdullah, M. Amin. “Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Kajian Pendahuluan”, dalam Seminar Nasional
Pengujian Teori. STAIN Kudus, 12 Maret 2001.
Abdullah, M. Amin. “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman: Tajdid dalam Perspektif
Filsafat Ilmu”, dalam, Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban. Yogyakarta:
MTPPI dan UAD Press, 2005.
Abdullah, M. Amin. “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif Hermeneutika Sosial dan
42
Jurnal Ilmiah Islam Futura
E P I S T E M O L O G I K E I LMUAN D ALAM I S LAM
Budaya” Jurnal Tarjih Edisi VI. LPPI-UMY dan Majelis Tarjih & PPI PP Muhammadiyah, Juli
2003.
Al Jabiri, Muhammad Abed. Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Ali, A Mukti, Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan, 1998.
Ali, A. Mukti. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. Al-Aql al-Siyasi al-‘Arabi: Muhaddidatuhu wa Tajalliyatuhu. Beirut: Markaz
al-Thaqafi al-‘Arabi, 1991.
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li al-Nuzum fi alMa‘rifah fi al-Thaqafat al-‘Arabiyyah. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdat al-‘Arabiyyah, 1990.
Ambary, Hasan Muarif. Penemuan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta:
Logos, 1998.
Arkoun, Mohammed .“Topicality of the Problem of the Person in Islamic Thought”, dalam International
Social Science Journal, August (1988), 407-421.
Arkun, Muhammad. Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, terj. Hasyim Salih. Beirut: Markaz al-Inma’
wa al-Qawm, 1990.
Arkun, Mohammad. Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Mu‘asir, terj. Hasyim Salih. London and Beirut:
Dar al-Saqi, 1993.
Arkoun, Mohammed. Common Questions to Uncommons Unswer, diterjemahkan oleh Robert D.
Lee. Boulder, Colorado: Markaz al-Inma’ wa al-Qawmi, 1987.
Arkoun, Mohammed. The Concept of Authority in Islamic Thought: “La Hukma ill Lillah” dalam
Islam, State and Society, K. Ferdinand and M. Mozaffer (ed.). London: Curzon Press, 1988.
Askari, Hasan & John Avery, Towards A Spiritual Humanism: A Muslim Humanist Dialogue. Ledds:
Seven Mirrors Publishing House Limited, 1991.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos,
2002.
Barbour, Ian G. Issues in Science and Religion. New York: Harper Torchbook, 1966.
Daudy, Ahmad. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Sejarah, Karya, Sanggahan terhadap Wujudiah di Aceh).
Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Dhofier, Zamakhsyarie. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S,
1996.
Effendi, Bachtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Jakarta: Paramadina, 1998.
Hadi, Abdullah dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Haught, John F. Perjumpaan Sains dan Agama. Bandung: Mizan, 2004.
Iqbal, Muhammad. Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Ralidi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1983.
Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 19999.
Volume XIII, No. 2, Februari 2014
43
m u s l i a di
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Leaman, Oliver. Averroes and His Philosophy. Oxford: Clarendron Press, 1988.
Lukito, Ratna. Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia. Jakarta: Logos, 2001.
Minhaji, Akh. Ahmad Hasan and Islamic Legal Reform in Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2002.
Nakosten, Mehdi. History of Islamic Origins of Western Educations. Colorado: University Colorado
Press, 1964.
Oasten, Jarich. “Cultural Anthropological Approaches” dalam Frank Whaling (ed.), Contemporary
Approaches to the Study of Religion, vol. II. Berlin: Mouton Publishers, 1985.
Rusli. “Media Global dan Internet Implikasinya terhadap Agama dan Komunitas”, dalam Hermeneia:
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Volume 5, Nomor 2 Juli-Desember (2006), 358.
Rusyd, Ibn. Tahafut al-Tahafut. Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1981.
Solomon, Robert C. From Rationalism to Existentialism: the Existentialis and Their Nineteent-Century
Backgrounds. New York: Harper & Row Publisher, 1972.
Suminto, Aqib. Politik Islam India Belanda. Jakarta: INIS, 1996.
Syahrur, Muhammad. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu‘asirah. Kairo: Sina Publisher, 1992.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nas: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al‘Ammah li al-Kitab, 1990.
44
Jurnal Ilmiah Islam Futura
Download