Kasus Pasar Kayu Manis

advertisement
BAB II
KONSEPSI TEORI KE ARAH PENDEKATAN MASALAH
Studi tentang pemasaran dan pasar nagari di Sumatera Barat ini akan
dimulai dengan tinjauan kepustakaan mengenai teori-teori dan fakta empiris tentang
proses pertukaran atau pemasaran dan pasar dalam lingkup makro. Tinjauan ini
dimaksudkan sebagai landasan teoritis dan empiris dalam merumuskan “hipotesis
pengarah” tentang aktivitas ekonomi dari individu di pasar, dalam pemasaran
ataupun dalam pertukaran sebagai gejala sosial/tindakan sosial atau relasi sosial
yang melekat di dalam masyarakat secara keseluruhan dan berkaitan dengan orang
lain, kelompok, atau institusi.
Dalam perjalanan sejarahnya, kompleksitas, perwujudan dan analisis tentang
pasar pertama kali dilihat dalam kajian ilmu ekonomi, yang diawali oleh pemikiran
ekonomi Adam Smith hingga pemikiran ekonomi yang paling akhir yaitu aliran New
Institutional Economy. Namun semua pemikiran ekonomi yang mendiskusikan
tentang pasar dianggap masih sangat sedikit dan tidak memadai bahkan dapat
dikatakan dalam literatur ekonomi sangat sedikit diskusi tentang institusi pasar
dimunculkan, malahan dalam sejumlah literatur, institusi pasar dilihat hanya sebagai
bagian dari diskusi tentang supply-demand dan nilai (Marshall, 1961 dalam Smelser
dan Swedberg, 1994).
Sub bab berikut akan menjelaskan bagaimana pasar dalam perspektif
sosiologi ekonomi. Tentunya dengan menelusuri pemikiran tentang pasar, akan
semakin dipahami, bagaimana sosiologi ekonomi muncul membawa warna lain
dalam menganalisis pasar sebagai sebuah institusi khusus yang memiliki hakhaknya sendiri dan tidak hanya sebagai mekanisme pembentuk harga (price-making
mechanism)—sebagaimana pemikiran ekonomi melihat sebelumnya.
2.1. Pasar Sebuah Tinjauan Konseptual
Pasar telah di deskripsikan dalam sejumlah fenomena yang berbeda dan
memiliki perjalanan semantik yang panjang. Istilah pasar awalnya berasal dari
bahasa latin “mercatus”, yang berarti berdagang atau tempat berdagang. Ada tiga
makna yang berbeda di dalam pengertian tersebut: 1) pasar dalam artian secara
fisik; 2) dimaksudkan sebagai tempat mengumpulkan; 3) hak atau ketentuan yang
legal tentang suatu pertemuan pada suatu marketplace. Dikatakan bahwa pasar
pada abad ke-16 mulai digunakan di dalam pengertian “membeli dan menjual secara
umum”, juga diartikan sebagai penjualan (interaksi pertukaran) yang dikontrol oleh
demand dan supply (Oxford English Dictionary, 1989; 385 dalam Swedberg, 1995;
255). Nampaknya definisi yang terakhir inilah yang kemudian digunakan ilmu
ekonomi hingga sekarang ini.
Pada abad ke-17, istilah pasar telah mulai diperluas, meliputi area geografis
yang di dalamnya ada suatu permintaan terhadap produk tertentu. Ahli ekonomi
kemudian menambahkan arti pasar itu sendiri sebagai mekanisme pembentuk harga
(price-making mechanism) yang abstrak, yang memusatkan perhatiannya pada
alokasi sumberdaya dalam ekonomi. Istilah pasar juga dalam jangka panjang telah
mempunyai suatu beban ideology, yang direfleksikan dalam suatu slogan politik “the
magic of the market” (Swedberg, 1994). Berbeda dengan makna yang diberikan
oleh ahli ekonomi, para sosiolog memberikan makna yang lain, yakni pasar tidak
hanya sebagai price-making mechanism, tetapi juga sebagai sebuah marketplace
yang memiliki makna sosial-ekonomi, budaya dan politik yang membentuk sebuah
relasi sosial (Swedberg, 1994, 2002).
Dalam perjalanan sejarahnya, tidak diketahui kapan pasar pertama kali
muncul, walaupun sejumlah pendapat mengatakan bahwa pasar telah bersamaan
dengan munculnya perdagangan antara suku bangsa yang berbeda. Bahkan dari
sejumlah penemuan arkeologi menunjukkan bahwa paling tidak sekitar 5000 tahun
sebelum masehi, perdagangan telah hadir dimuka bumi ini (pada bangsa Sumeria,
Babylonia dan Mesopotamia). Penjualan, dengan alat tukar batu obsidian dalam
lingkup yang terbatas sudah ada saat itu, dan terjadi di tepi pantai, pinggir-pinggir
sungai, atau di daerah padang pasir, disini suku bangsa pengembara telah bertemu
dan duduk-duduk dalam waktu yang lama (Braudel, 1979 dalam Swedberg, 1994).
Perdagangan telah mewakili salah satu bentuk minoritas interaksi antara
masyarakat manusia yang pertama. Pasar kelihatannya telah dihormati sebagai
wilayah netral dan secara khas diposisikan di daerah perbatasan kedua masyarakat.
Di pasar, penawaran secara tajam telah diperbolehkan dengan orang asing, tetapi
biasanya tidak diizinkan di dalam komunitas sendiri, yang mempertukarkan barang
10
dengan sifat yang berbeda (Braudel, 1979, 1985 seperti yang dikutip Swedberg,
1994).
Dalam sejarah ekonomi Barat, pasar secara langsung dihubungkan dengan
pertumbuhan ekonomi yang dinamis, bukan semata-mata sebagai tempat
pertukaran, namun berkaitan dengan kemajuan tekhnologi dan dihubungkan dengan
revolusi industri, perubahan maha besar telah terjadi pada pasar, sepanjang abad
ke-17 dan abad ke-18. Sebagai contoh, pasar nasional pertama, telah diciptakan
melalui revolusi politik di Inggris. Dengan mulainya orang bekerja di pabrik-pabrik
dan pindah ke kota-kota besar, pasar semakin berubah dalam bentuk dan fungsinya.
Dan kemudian sebagai masyarakat kapitalis moderen, pasar telah tampil ke dalam
bentuk: pasar uang, pasar konsumen, pasar tenaga kerja, dan pasar industri.
Kondisi ini, telah membawa dampak secara sosial, ekonomi, politik dan keamanan
dalam masyarakat Barat di abad pertengahan ini, dan selanjutnya membawa
dampak terhadap daerah-daerah yang didatanginya dalam berbagai aspek.
Dalam bentuk lain, dari sudut pandang antropologi, Geertz (1963),
mendefinisikan pasar—dilihat dari asal katanya—berasal dari kata Parsi “bazaar”
(lewat bahasa Arab) yaitu suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu
gaya hidup dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat
dan suatu dunia sosial-budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya. Jadi pasar
dilihat sebagai sebuah gejala alami dan gejala kebudayaan dan dimana secara
keseluruhan kehidupan masyarakat pendukungnya dibentuk oleh pasar. Jadi bagi
Geertz, pasar memiliki arti yang sangat luas. Sehingga untuk melihatnya harus dari
tiga sudut pandang yaitu:
1. Pasar sebagai arus barang dan jasa menurut pola-pola tertentu;
2. Pasar sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan
mengatur arus barang dan jasa, dan;
3. Pasar sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu
tertanam (Geertz, 1963; 30-31).
2. 2. Model Pasar yang Dikembangkan dalam Teori Ekonomi
Tulisan ini menjelaskan bagaimana model tentang pasar digunakan dan
dikembangkan oleh ahli ekonomi guna menjelaskan harga dari barang dan jasa.
Begitu
kompleksnya
ruang
ekonomi,
maka
para
ekonom
memilih
untuk
11
mengabtraksikan kompleksitas dunia riil dengan membangun model yang sederhana
untuk menangkap essensinya.
Beberapa model ekonomi dimulai dari asumsi bahwa para aktor ekonomi
(individu, perusahaan, dan rumah tangga) yang dipelajari adalah bersifat rasional
dalam mencapai tujuannya yakni memaksimumkan keuntungan (profit). Model
tentang pasar dalam teori ekonomi dimulai dari teori tentang nilai komoditi (theory of
value). Karena secara umum cenderung antara “value” disinonimkan dengan “price”,
maka para ekonom sejak awal telah membedakan antara market price dari komoditi
dengan valuenya. Istilah value kemudian dipikirkan sebagai sesuatu yang sinonim
dengan “importance”, “essentially” atau kadang-kadang “godliness”. Sejak “price”
dan “value” merupakan konsep yang terpisah, berbeda, akibatnya pada diskusi awal
tentang ekonomi terfokus kepada perbedaan ini, terutama sejak zaman physiocrat
seperti St.Thomas Aquinas, sampai Adam Smith (Nicholson, 1998).
Selama akhir abad ke-18, para philosof ekonomi telah mulai melakukan
pendekatan ”scientific” pada ilmu ekonomi. Publikasi “The Wealth of Nations” oleh
Adam Smith (1723–1790) telah dijadikan tonggak sejarah dimulainya teori ekonomi
moderen. Dalam karya besarnya ini, Smith telah meletakkan fondasi untuk pemikiran
tentang ‘kekuatan pasar’ dalam suatu aturan dan cara yang sistematik. Adam Smith
dan para pengikutnya kemudian seperti David Ricardo (1772–1823) terus
membedakan antara “value” dan “price”. Bagi Smith, ‘nilai’ dari komoditi berarti nilai
dalam penggunaannya (value in use) dimana harga (price) mewakili nilainya dalam
pertukaran (value in exchange). Pembedaan kedua konsep ini telah diilustrasikan
oleh para ekonom yang terkenal dengan “water diamond paradox”. Air yang memiliki
nilai yang sangat besar dalam kegunaannya, memiliki sedikit nilai dalam
pertukarannya (mempunyai harga yang rendah), tetapi “diamond” dalam prakteknya
sedikit gunanya, tetapi memiliki nilai yang besar dalam pertukarannya.
Dalam
perkembangan
selanjutnya
konsep
tentang
nilai
dalam
penggunaannya telah ditinggalkan oleh ahli ekonomi dalam perdebatannya, dan
lebih
memfokuskan
perhatian
untuk
menjelaskan
penentuan
nilai
dalam
pertukarannya “value in exchange” (yakni penjelasan relative price). Salah satu
penjelasan yang ada adalah berasal dari teori tenaga kerja tentang nilai pertukaran
“labor theory of exchange” (David Ricardo) bahwa nilai pertukaran dari barang
adalah ditentukan oleh berapa biaya untuk menghasilkanya (what it costs to produce
12
them). Biaya produksi terutama dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja (labor costs).
Muncul teori tenaga kerja tentang nilai (labor theory of value), sehingga “diamond”
relatif mahal karena dalam memproduksi mereka dibutuhkan input tenaga kerja yang
lebih banyak dibandingkan dengan input tenaga kerja untuk mendapatkan air.
Selanjutnya bagaimana penjelasan tentang nilai pertukaran diaplikasikan,
dapat diterapkan pada sumberdaya produksi lainnya? Bagaimana pembayaran sewa
(rent) dan peralatan kapital dimasukkan ke dalam penentuan harga? Ricardo
menjawab persoalan ini dengan analisis yang masuk akal, bahwa biaya penggunaan
kapital
dapat
juga
diperhatikan
sebagai
“labor
costs”.
Ricardo
kemudian
menjelaskan tentang “rent” dengan menteorikan bahwa “rent” bukanlah faktor
penentu harga. Ia percaya bahwa nilai pertukaran dalam jangka panjang sematamata ditentukan oleh labor cost dari produksi.
Selama tahun 1870-an para ekonom telah mengusulkan bahwa bukanlah
total penggunaan sepenuhnya komoditi yang membantu untuk menentukan nilai
pertukarannya, tetapi lebih dari itu adalah penggunaan sepenuhnya dari unit terakhir
yang dikonsumsi. Pemikiran ini dalam sejarah teori ekonomi dikenal dengan masa
revolusi kaum marginalist “marginalist revolution” dalam usaha untuk menjelaskan
“water diamond paradox” sebelumnya. Kaum marginalist (seperti Alfred Marshall
1842 –1924) mendefinisikan kembali konsep tentang nilai dalam penggunaan
dengan menggunakan suatu ide penggunaan sepenuhnya secara keseluruhan
kepada penggunaan marginal (unit terakhir yang dikonsumsi), atau peningkatan
penggunaan sepenuhnya dari suatu tambahan unit dari komoditi. Tambahan
penggunaan dari suatu unit komoditi yang dikonsumsi, akan memperlihatkan sifat
kelangkaan (scarcity) dari sumberdaya (resource) yang digunakan.
Konsep tentang permintaan sebuah peningkatan unit dari output sekarang
telah dipertentangkan dengan analisis Ricardo tentang biaya produksi (production
costs) dalam rangka untuk menurunkan suatu gambaran yang komprehensif
tentang penentuan harga. Ricardo pada awalnya telah menyediakan suatu langkah
pertama yang penting dalam diskusinya tentang rent. Ricardo telah menteorikan
bahwa sebagaimana produksi “jagung” (sebagai contoh) telah meningkat, lahan
dengan kualitas inferior akan digunakan, dan ini akan menyebabkan harga “jagung “
akan meningkat. Di dalam argumen Ricardo ini, secara implisit telah mengingatkan
bahwa itu adalah marginal cost- yakni biaya untuk menghasilkan unit tambahan –
13
yang relevan pada harga. Teori tentang nilai tenagakerja dari Ricardo ini merupakan
penjelasan bagaimana harga (price) ditentukan dari sisi penawaran (supply).
Sementara penjelasan kaum marginalis tentang penentuan harga, merupakan
penjelasan penentuan harga dari sisi permintaan (demand).
Jadi, pernyataan yang lebih jelas dari prinsip marginalis telah dikemukakan
oleh Alfred Marshall dalam publikasinya “Principles of Economics”, (1890). Marshall
telah memperlihatkan bahwa permintaan dan penawaran secara simultan telah
beroperasi untuk menentukan harga. Sebagaimana Marshall katakan bahwa “anda
tidak dapat mengatakan sisi gunting yang mana yang telah memotong kertas” atau
anda tidak dapat mengatakan masing-masing demand atau supply yang
menentukan harga secara sendiri-sendiri” harga ditentukan oleh keseimbangan
permintaan dan penawaran, sehingga inilah yang melahirkan konsep tentang pasar
dalam ilmu ekonomi. Marshall (kaum marginalis) kemudian yang dianggap telah
membawa konsep moderen tentang pasar dalam pemikiran ekonomi.
Model supply dan demand dari Marshall telah menyelesaikan kembali
“water–diamond paradox” harga mencerminkan evaluasi marginal para konsumen
(demander) terhadap suatu barang pada suatu tempat dan waktu, dan marginal cost
mencerminkan produksi dari suatu barang pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Dipandang dengan cara ini, disini tidak ada paradox, bahwa air lebih rendah
harganya karena air memiliki “marginal value” dan “marginal cost” yang lebih rendah.
Sementara ”diamond” lebih tinggi harganya karena ia memiliki marginal value yang
lebih tinggi (karena orang bersedia untuk membayar semakin banyak butirnya) dan
marginal cost produksi yang lebih tinggi.
Model dasar supply-demand inilah yang mendasari analisis ekonomi tentang
pasar, dimana keseimbangan supply-demand yang menentukan harga, dan dalam
analisis teori ekonomi ini adalah keseimbangan partial, (partial equilibrium) yang
membentuk pasar. Artinya pasar dalam teori ekonomi dilihat sebagai partial
equilibrium
dalam
sistem
pertukaran
barang
dan
jasa,
dimana
terdapat
keseimbangan supply dan demand atas barang dan jasa. Keseimbangan ini ditandai
oleh penentuan harga dan kuantitas komoditi yang sesuai dengan keinginan masingmasing demander dan supplier. Dimana terdapat keseimbangan antara harga yang
ditetapkan produsen dengan jumlah komoditi yang diinginkan konsumen, maka
terbentuk harga pasar (market clearing prices) (Nicholson, 1998;3-29).
14
Artinya, pasar di dalam teori ekonomi bukan hanya mengacu kepada suatu
lokasi dan waktu dimana terdapat keseimbangan supply dan demand dari suatu
komoditi, tetapi lebih dari itu, essensinya adalah terdapatnya keseimbangan
permintaan barang dan jasa melalui mekanisme harga, sehingga pasar bisa ada
dimana saja dan waktu kapan saja. Oleh karena itu, dalam ilmu ekonomi berbeda
antara pengertian pasar sebagai “tempat transaksi” (market place) dengan pasar
sebagai “market clearing price”, yang terakhir inilah yang lebih sering menjadi
perbincangan dalam teori ekonomi (Nicholson, 1998; 3-20).
Walaupun model Marshall (partial equilibrium model) telah menjadi peralatan
yang berguna sepenuhnya dalam menjelaskan tentang pasar dalam ilmu ekonomi,
tetapi hanya mampu menjelaskan pasar dalam perspektif yang relatif sempit dan
analisis yang sederhana, dimana hanya mampu menjelaskan gejala ekonomi dalam
satu komoditi, kemudian bagaimana pengaruhnya terhadap aktifitas ekonomi lain,
komoditi lain, dalam keseluruhan aktifitas dan agen ekonomi, model keseimbangan
partial tidak mampu menjawabnya.
Karenanya, teori ekonomi kemudian mengembangkan model keseimbangan
umum (general equilibrium) yang telah dikemukakan oleh ekonom Prancis Leon
Walras (1831-1910). Walras telah menghasilkan dasar bagi penyelidikan moderen
dalam ilmu ekonomi. Metodanya telah mewakili ekonomi dengan sejumlah besar
bentuk persamaan simultan yang menjadi dasar untuk memahami saling hubungan
secara implisit dalam analisis keseimbangan umum (general equilibrium analysis).
Walras telah mengingatkan bahwa kita tidak dapat membicarakan tentang pasar
tunggal (single market) dalam keadaan terisolasi, yang dibutuhkan adalah suatu
model yang menjelaskan pengaruh perubahan suatu pasar yang diikuti oleh
perubahan pada pasar lainnya. Sebagai contoh, jika harga kacang (peanuts)
meningkat (dalam contoh Marshall), analisis Mashallian hanya akan melihat kondisi
supply demand dari kacang pada pasar kacang. Analisis keseimbangan umum
bukan hanya akan melihat pada pasar kacang tersebut tetapi juga gaungnya pada
pasar yang lainnya, seperti pasar mentega kacang, pasar lahan petani kacang,
bahkan pasar mobil dan furniture akan berubah karena peningkatan harga kacang
akan berpengaruh kepada pendapatan petani kacang, dan akan menyebabkan
pendapatan mereka menjadi meningkat, sehingga kemampuannya untuk membeli
furniture dan mobil akan meningkat pula.
15
Jadi
dalam
teori
ekonomi
tentang
pasar,
telah
mengacu
kepada
keseimbangan supply dan demand dalam satu komoditi dan keseimbangan umum
antara permintaan dan penawaran dalam keseluruhan aktifitas ekonomi. Sehingga
pasar dapat juga diartikan dalam keseimbangan parsial dan keseimbangan umum
tentang permintaan dan penawaran barang dan jasa, dalam area yang lebih luas.
Perkembangan teori ekonomi tentang konsep pasar ini, telah banyak
mendapat kritikan dari para ekonom sendiri maupun dari ilmuwan dari luar disiplin
ekonomi yang melihat bahwa teori ekonomi dengan segala asumsinya memiliki
banyak kelemahan, karena tidak mampu lagi menjelaskan fenomena riil di tengah
kondisi ekonomi yang lebih luas. Sehingga di dalam teori ekonomi sendiri juga telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Para ekonom klassik yang telah berhasil meletakkan fondasi bagi analisis
ekonomi yang mampu menyamai kemajuan ilmu-ilmu fisik pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19, dengan analisis tentang keseimbangan pasarnya bahwa
harga ditentukan oleh kekuatan pasar.
“Invisible hand’ dari Adam Smith telah menjadi postulat yang sulit untuk
dibantah. Tetapi kemudian ketika terjadinya depressi ekonomi dunia sesudah
Perang Dunia II, penjelasan gejala ekonomi yang didasarkan atas keseimbangan
pasar, telah mendapat sorotan tajam terutama dari para ekonom misalnya, dengan
mengatakan bahwa terjadi kegagalan pasar, (market failure) dalam pembangunan
ekonomi di suatu negara atau suatu wilayah. Sehingga orang beranggapan teori
ekonomi telah gagal di dalam menangkap realitas kehidupan ekonomi. Bahkan
sesungguhnya, para ekonom melihat bahwa tidak tercapainya keseimbangan pasar
atau terjadinya market failure disebabkan oleh adanya kerugian (eksternalitas) yang
diderita oleh aktor ekonomi lain, sebagai akibat dari aktifitas yang ditimbulkan oleh
aktor ekonomi di dalam memanfaatkan sumberdaya untuk mencapai maksimal
utilitynya. Dan juga disebabkan oleh adanya barang publik yang mengalami “open
access” sebagaimana disinyalir oleh Garet Hardin (1968) dengan “Tragedy of the
Common’nya. Kerugian yang diderita oleh aktor ekonomi lain ini tidak tercermin di
dalam pasar. Seperti biaya kerusakan lingkungan, sebagai akibat aktor ekonomi
tertentu yang mengekploitasi sumberdaya alam (resource) secara berlebihan. Oleh
karena itu, pasar gagal di dalam mentransaksikan biaya-biaya yang ditimbulkan oleh
16
aktor ekonomi di dalam mengeksploitasi sumberdaya untuk memaksimumkan
manfaatnya.
Itulah sebabnya pasar tidak boleh dibiarkan dalam keadaan persaingan
sempurna, karena akan menimbulkan eksternalitas bagi masyarakat lain yang tidak
melakukan transaksi. Untuk itu diperlukan campurtangan pemerintah di dalam
menjaga agar pasar dapat mencapai persaingan sempurna (perfect competitive
markets) melalui pengaturan, agar tidak terjadi eksternalitas negatif yang
menimbulkan biaya bagi aktor ekonomi lainnya.
Dalam perspektif teori ekonomi, kegagalan pasar sebenarnya terjadi karena
asumsi untuk terjadinya pasar persaingan sempurna, tidak dapat terpenuhi, yakni
diantaranya masing-masing pihak (aktor) yang bertukar harus memiliki informasi
yang sama (symmetric information) terhadap kualitas dan harga barang dan jasa
yang akan ditransaksikan tersebut, sehingga di dalam pertukaran secara adil dapat
dilakukan, artinya para aktor ekonomi akan menemukan harga yang wajar (just
price); yakni 1 harga pasar mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya yang
dipertukarkan, semakin langka sumberdaya, dan semakin tinggi biaya untuk
mengekstraksinya, semakin tinggi harganya dalam pertukaran, demikian sebaliknya.
Persyaratan lain, agar pasar berjalan dengan baik atau terjadi persaingan
sempurna (free competition) adalah kejelasan hak–hak atas sumberdaya yang
ditransaksikan
(secure
property
rights).
Penegasan
hak
akan
mengurangi
ketidakpastian (uncertainty), karena ketidakpastian akan menimbulkan perilaku aktor
yang opportunistik, sehingga melahirkan perilaku ekonomi yang tidak lagi rasional,
menimbulkan biaya-biaya transaksi yang lebih tinggi, sehingga harga pasar menjadi
terdistorsi, karena tidak mampu lagi mencerminkan tingkat kelangkaan sumberdaya
yang ada, pada gilirannya harga pasar tidak memberikan tanda (signal) yang benar
bagi alokasi sumberdaya yang efisien.
Jadi, di dalam perspektif teori ekonomi mekanisme pasar akan tetap berjalan
apabila persyaratan dan asumsinya dapat dipenuhi, bekerjanya mekanisme pasar
akan menjamin sumberdaya teralokasi secara efisien tetap menjadi acuan di dalam
1
Penjelasan tentang assymmetric information dalam pasar, lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan,
Akerlof “Market for Lemon” (1970).
17
tujuan pembangunan ekonomi, jika pemerintah akan ikut campur tangan di dalam
perekonomian. Hal ini adalah dengan membantu mengatasi kelemahan asumsi yang
diisyaratkan, misalnya adanya informasi harga yang dapat diterima oleh semua aktor
ekonomi yang bertukar, penegasan property right yang jelas dan aman, sehingga
sumberdaya tidak mengalami “open access” yang menjurus kepada pengurasan
sumberdaya, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pemikiran bahwa diperlukan campur tangan pemerintah di dalam mengatasi
kegagalan pasar, karena adanya biaya-biaya eksternalitas negatif yang harus
ditanggung oleh aktor ekonomi lain yang menderita kerugian, sebagai akibat
transaksi ekonomi di pasar, dan adanya barang publik yang mengalami “open
access” sehingga menimbulkan kerusakan dan menipisnya sumberdaya (dissipation
resources), telah muncul terutama sejak karya John Maynard Keynes (1883 – 1946)
“A Treatise on Money (1971) dan the General Theory and Employment, Interest and
Money, (1936) (Pressman, 2000).
Pemikiran perlunya campur tangan pemerintah di dalam pengaturan
keseimbangan agregate demand dan agregate supply ini telah menyebabkan pasar
telah diatur oleh pemerintah--melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiscalnya.
Namun kemudian, ketika hal ini telah menjadi populer karena berhasil membawa
beberapa negara terutama di Eropa dan USA keluar dari krisis ekonominya,
kemudian di dalam prakteknya juga mengalami beberapa kelemahan yakni:
penguasaan dan pengaturan alokasi sumberdaya (resource) oleh pemerintah telah
menyebabkan terjadinya aktifitas ekonomi yang disebut dengan rent seeking
behaviour (North, 1990). Dalam aktifitas ekonomi di pasar dikenal dengan istilah
kegiatan untuk mencari profit tanpa melalui transaksi di pasar (profit seeking), dan
DUP (direct unproductivity). Artinya terjadi korupsi yang luas dikalangan pejabat
pemerintah yang mengendalikan pasar melalui kebijakan moneter dan kebijakan
fiscal. Sehingga puncaknya akan terjadi “government failure”, yaitu terjadinya krisis
moneter dan dilanjutkan dengan krisis ekonomi yang melanda negara-negara
berkembang di mulai dari negara Amerika Latin dengan “Drama Argentina”,
menyusul drama krisis di Asia, khususnya di Asia Tenggara di mulai di negara
Thailand dan kemudian terus sampai ke Indonesia yang dikenal dengan “krismon”
dan krisis ekonomi Indonesia, yang telah menyebabkan perekonomian Indonesia
18
ambruk ketitik yang paling rendah, sehingga kemajuan ekonomi yang diperoleh
selama ini ternyata hanyalah semu (economic of bubble) (Chacholiades, 1978).
Pandangan tentang perlunya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan
mengorbankan pemerataan ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya
distorsi ekonomi pasar, dikenal dengan dalil fundamental ekonomi pertama (first
fundamental economic) dalam teori ekonomi kesejahteraan (welfare economic),
adalah konsep temuan Simon Kuznets (1966): kurva U-terbalik yang menyatakan
bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, untuk mengejar pertumbuhan
perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off). Hal ini telah memberi
legitimasi
dominasi
peranan
pemerintah
untuk
memusatkan
pengalokasian
sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam
menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. dimana di dalam mengejar pertumbuhan
ekonomi dikorbankan pemerataan (distribusi) keuntungan ekonomi pada wilayah
yang kurang memiliki kelimpahan sumberdaya alam (resource endowment). Namun
kemudian lahir pula dalil fundamental ekonomi kesejahteraan kedua (second
fundamental economic theorem), bahwa pertumbuhan (efisiensi) dan pemerataan
(equity) dapat dicapai secara bersamaan dengan adanya campurtangan pemerintah
kepada pengalokasian barang dan jasa di pasar terutama pada barang milik publik
(common resources) melalui mekanisme perpajakan, transfer, dan subsidi.
Artinya, mekanisme pasar tetap berjalan dan akan mencapai efisiensi di
dalam pemanfaatan sumberdaya, terutama pada transaksi barang dan jasa milik
individu (private property) yang telah jelas hak-hak kepemilikannya, tetapi untuk
pentransaksian barang-barang dan jasa milik umum (common property); yang
sesungguhnya bukan berarti tidak ada hak, seperti yang dinterpretasikan oleh Garret
Hardin (1968), melainkan ada hak masyarakat komunal lokal di dalamnya tetapi
sering tidak diakui oleh pemerintah, diperlukan campurtangan pemerintah untuk
mengaturnya.
Berpijak kepada pemikiran Keyness bahwa pemerintah dapat mengendalikan
kebijakan moneter dan kebijakan fiscal agar pasar berjalan dengan baik, dimana
keputusan ekonomi agar alokasi sumberdaya menjadi efisien ditentukan oleh
kebijakan moneter melalui instrumen suku bunga, dan tabungan (saving), dan
kebijakan fiscal melalui instrumen perpajakan, subsidi dan quota. Kebijakan ini
sangat berhasil di dalam mengatasi depressi ekonomi (1930) di negara Barat
19
umumnya, karena sistem pemerintahan yang diterapkan adalah “clean government”.
Pemerintah
telah
bertindak
sebagai
“benevolent
institution”
(institusi
yang
mengutamakan kepentingan bersama/rakyat).
Ternyata di dalam prakteknya, telah juga mengalami distorsi karena dengan
kekuasaan yang besar pada pemerintah di dalam hal ini adalah pejabat pemerintah
(birokrat) sebagai pengambil keputusan (decision makers), telah melahirkan aktifitas
ekonomi yang disebut dengan perilaku mencari rente sumberdaya (rent seeking
behaviour), DUP, profit seeking, free rider problems, main curang (cheating),
melalaikan kewajiban (shirking), opportunism, yang terutama terjadi di negaranegara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan ekonomi lebih ditentukan oleh
keinginan untuk mencari rente dan komisi, dengan mengorbankan efisiensi ekonomi,
izin-izin
pemanfatan
sumberdaya
seperti
lahan
hutan
diberikan
tanpa
memperhatikan kelangkaan dan kapasitas dari sumberdaya tersebut. Pejabat
pemerintah hanya mengejar rente dari pungutan aktifitas ekstraksi sumberdaya yang
dilakukan, tetapi apakah kegiatan ekstraksi itu menjamin kelestarian sumberdaya
tidak lagi menjadi pertimbangan. Pada gilirannya terjadi korupsi yang luas, kebijakan
yang salah arah (misleading policy). Timbul penyakit dan anggapan bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat dipicu dengan salah satu komoditi andalan (outward
looking strategies), sehingga semua aktifitas dikerahkan untuk menopang komoditi
unggulan ini, pandangan ini di dalam ekonomi disebut dengan “Dutch Diseases”.
Akibatnya terjadi degradasi sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.
Semua kebijakan yang salah arah ini, dan sifat rent seeking, Dutch disease,
telah menimbulkan di dalam teori ekonomi apa yang disebut dengan “kegagalan
pemerintah” (government failure) yang ditandai dengan lemahnya kelembagaan
pemerintah
di
dalam
melaksanakan
kekuasaan
pengaturan
untuk
alokasi
sumberdaya agar mencapai pengaturan yang efisien dan berkeadilan (efficient dan
equity). Terutama kelemahan kelembagaan ekonomi ini dialami oleh negara-negara
berkembang, karena sistem pemerintahnya yang masih bersifat otokratis, dimana
kekuasaan pemerintah yang besar di dalam mengatur perekonomian telah
melahirkan korupsi secara besar-besaran, sehingga menimbulkan ekonomi biaya
tinggi (biaya transaksi) yang hampir mendekati kemustahilan. Pemerintah tidak
memiliki kekuatan dan tidak cukup kapasitas untuk memaksakan kebijakankebijakan
yang
telah
ditetapkan
sehingga
menimbulkan
salah
urus
20
(mismanagement). Sumberdaya menjadi terkuras sementara pertumbuhan ekonomi
menjadi
rendah,
keuntungan
dan
manfaat
yang
diperoleh
tidak
dapat
mengkonservasi kembali sumberdaya yang digunakan, pada gilirannya terjadi
kerusakan-kerusakan dan degradasi sumberdaya dan lingkungan, yang kembali
menimbulkan biaya-biaya ekonomi tinggi untuk memperbaikinya; terutama untuk
sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources).
Terjadinya government failure di dalam mengatur perekonomian, kembali
menyentakkan semua orang termasuk para ekonom pendukung kelompok moneteris
dan menuduh bahwa teori ekonomi tidak mampu menangkap kenyataan (realitas)
di tengah masyarakat. Campur tangan pemerintah hanya diperlukan terutama pada
masalah-masalah yang menyangkut dengan kepentingan publik, dan pemerintah
perlu campur tangan di dalam masalah common resources, tetapi pada sumberdaya
yang dapat ditransaksikan di pasar, pemerintah tidak boleh campur tangan, karena
akan menimbulkan biaya-biaya transaksi yang tinggi.
Analisis dari teori ekonomi terhadap kegagalan pemerintah ini telah dilakukan
oleh para ekonom mutakhir pada awal abad ini. Salah satunya adalah Douglass C.
North (1990), yang melihat adanya biaya transaksi (transaction cost) yang tinggi,
sebagai akibat kelemahan kelembagaan pemerintah. Kegagalan pemerintah lebih
disebabkan oleh kelemahan kelembagaan pemerintah dalam memaksakan aturan
dan kesempatan yang telah dibuat untuk pengalokasian sumberdaya ekonomi.
Menurut North (1990) biaya transaksi adalah kunci untuk memahami kinerja
(performance) ekonomi di dalam suatu negara. Biaya transaksi diukur dalam suatu
masyarakat dimana ada kepadatan jaringan sosial (social network of interaction)
yang sangat rendah. Cheating, shirking, opportunism, semuanya telah mendasari
teori organisasi ekonomi.
Dalam
rangka
untuk
mencegah
tindakan
demikian,
maka
struktur
kelembagaan telah menjadi sorotan dan harus menggambarkan kendala partisipan
dan meminimumkan biaya-biaya transaksi melalui penyusunan kontrak (contractual
arrangement), mengikat peserta pasar (bonding participant), jaminan (guarantees),
merek dagang (brand names), dan menjelaskan sistem monitoring, serta
memperkuat sistem atas hak-hak kepemilikan yang tegas. Artinya, mempertegas
sistem kepemilikan (property right system).
21
Menyangkut dengan masalah pertukaran antar individu, keperluan untuk
sistem kelembagaan yang kuat dalam rangka agar mampu merealisasikan
keuntungan produktifitas dalam hubungan pertukaran impersonal yang dikerangkai
oleh keseluruhan perkembangan produk yang efisien dan pasar faktor dari
pertukaran dengan gambaran yang jelas (reliable). Penetapan property right akan
memberikan kesempatan kepada individu dalam suatu situasi saling hubungan yang
sangat kompleks untuk mampu memiliki kepercayaan diri mereka dalam berhadapan
dengan orang-orang yang tidak mereka ketahui dan dengan siapa mereka
melakukan pertukaran (exchange), dan saling hubungan pertukaran yang tengah
berjalan.
Jadi di dalam analisis ekonomi kelembagaan ada beberapa hasil yang
diharapkan yakni: 1). Mengembangkan adanya kelompok ketiga di dalam pertukaran
di pasar, dalam hal ini adalah pemerintah, yang menspesifikasi property rights dan
memperkuat kontrak-kontrak yang telah dibuat (enforced contract) melalui aturan
main yang jelas (rules of the games). 2). Penegasan norma tingkah laku yang
mengendalai kelompok-kelompok yang berinteraksi di dalam transaksi pasar, yang
telah menyebabkan tingginya biaya transaksi di dalam pertukaran--karena perilaku
cheating, dan shirking dalam melakukan transaksi pasar. Untuk mengatasi perilaku
yang menyebabkan biaya transaksi menjadi tinggi adalah dengan mengembangkan
informasi yang sama diantara pelaku pasar.
Oleh karena itu, kelembagaan menurut North (1990), diartikan sebagai
aturan main (rule of the game), yang memperkuat karakteristik dari aturan, dan
norma tingkah laku yang mengkerangkai perulangan interaksi diantara pelaku pasar
agar tetap berperilaku sesuai dengan sifat aslinya yaitu rasional, dan ingin untuk
memaksimumkan keuntungannya (profit motive), tanpa melakukan penipuan,
melalaikan kewajibannya. Artinya seseorang yang mendapat keuntungan dan
merasa lebih baik (well off) tanpa menyebabkan orang lain merasa dirugikan (worse
off). Penegakan aturan dan memperkuat sistem kepemilikan (property right system)
inilah yang menjadi tugas utama pemerintah di dalam sistem perekonomian.
Jadi, mekanisme pasar tetap harus berjalan sesuai dengan market clearing
mechanism, tetapi pemerintah berkewajiban untuk tidak membiarkan pasar
terdistorsi oleh tindakan-tindakan pelaku pasar yang melakukan shirking dan
cheating, mempertegas hak-hak kepemilikan agar sumberdaya dapat ditransaksikan
22
dipasar. Oleh karena itu, sistem pertukaran ekonomi dapat dilakukan melalui dua
cara yakni: 1) melalui mekanisme pasar sesuai dengan mainstream ekonomi klassik
terutama pada sumberdaya yang telah tegas hak-haknya, dan; 2) melalui
kelembagaan non pasar (non market institutions), terutama sumberdaya yang hakhak kepemilkannya masih lemah dan tidak tegas (common property), transaksi
dilakukan melalui penyusunan kontrak (contractual arrangement), sehingga
pertukaran dapat dilakukan dengan prinsip sama-sama menguntungkan kedua belah
pihak yang bertukar. Penyusunan kontrak dapat mengurangi biaya-biaya transaksi
yang timbul. Dengan kata lain, untuk tercapainya kontrak diantara pelaku pasar
(players) diperlukan interaksi terus menerus diantara agen ekonomi, sehingga
perilaku shirking akan berkurang, keseimbangan Nash dapat dicapai (Nash
Equilibrium); dimana perubahan strategi seorang agent tidak akan dapat merubah
strategi aktor lainnya di dalam pertukaran (permainan), karena perubahan strategi
apapun dari masing-masing kedua agent tersebut tidak akan mendatangkan
keuntungan (pay off) yang tinggi. Sehingga tercapai kesepakatan dan permainan
akan dimenangkan oleh kedua belah pihak yang melakukan pertukaran (permainan)
inilah yang disebut dengan (cooperative games). Keadaan keseimbangan inilah
yang disebut dengan keseimbangan Nash. Kemudian apabila keseimbangan Nash
ini dapat terus dipertahankan, maka inilah yang membentuk aturan main (rule of the
games) sebagai istilah lain dari kelembagaan di dalam ekonomi (North, 1990;
Hudgson, 1996).
Analisis ekonomi kelembagaan ini dapat dilakukan dengan pendekatan teori
permainan (games theory approach)), yang merupakan teori yang masih sulit
dipahami oleh kebanyakan para ekonom klassik, peralatan analisis ini telah
menyebabkan perkembangan teori ekonomi telah berhasil keluar dari kesulitan dan
tekanan terhadap epistimologinya yang kebanyakan diserang oleh kaum kritis. Hal
ini disebabkan karena, analisis kelembagaan ekonomi ini telah membawa ilmu
ekonomi untuk bersinggungan kembali dengan ilmu-ilmu sosial terutama di dalam
melihat penyebab kegagalan pemerintah (government failure), artinya kelemahan
pembangunan ekonomi selama ini adalah karena kelemahan kelembagaan, dan
kelemahan negara berkembang di dalam pembangunan ekonominya adalah karena
keterbelakangan kelembagaannya (the biggest laggard) yang tidak efisien,
kelembagaannya tidak mampu menekan biaya-biaya transaksi yang tinggi,
23
kelembagaan ekonomi negara berkembang tidak mampu membuat informasi
menjadi symmetric; sebagai syarat terjadinya pasar yang efisien (Swedberg, 1994).
Jadi
ekonomi
kelembagaan
baru
(new
instituional
economic)
yang
diperkenalkan North (1990), telah menekankan bahwa kegagalan pasar itu lebih
disebabkan oleh adanya biaya transaksi yang sangat tinggi (transaction cost theory),
seperti biaya informasi, negosiasi, atau biaya pemaksaan, bahkan biaya-biaya ini
pada kenyataannya tidak tercermin di dalam pembentukan harga atau dalam
transaksi di pasar. Biaya-biaya inilah menurut North yang perlu dianalisis dalam
kelembagaan (new institutional economic).
Perhatian terhadap kelembagaan ekonomi inilah yang telah menyebabkan
sebagian ahli ekonomi melihat bahwa ilmu ekonomi telah kembali bersinggungan
dengan ilmu sosial lainnya yang sama-sama fokus terhadap masyarakat (society).
Pada hal sesungguhnya, analisis ekonomi tetap pada asumsi bahwa individu bersifat
rasional, walaupun rasional yang terbatas (boundedly rationality), dan selalu
mengutamakan keuntungannya untuk melakukan interaksi dengan manusia lain,
analisisnya tetap terpusat pada individu yang memiliki kebebasan untuk memilih
(choice of preference) di dalam memaksimalkan utilitynya. Masalahnya adalah
apakah ia akan bertransaksi pada pasar persaingan atau pada non-pasar melalui
penyusunan kontrak, pilihan itu sangat tergantung pada hak-hak kepemilikan yang
dia kuasai.
2.3. Pasar dalam Perspektif Sosiologi Ekonomi
Dalam pandangan sosiologi, pasar adalah sebuah institusi yang tidak pernah
bisa didefinisikan secara sederhana. Pasar adalah suatu kejadian/peristiwa publik
yang dapat dilihat, yang terjadi pada waktu dan tempat yang reguler, dengan
bangunan-bangunan, aturan-aturan, institusi-institusi yang mengatur (governing
institutions), dan struktur sosial yang lainnya (Slater dan Tonkiss, 2001; 9-13).
Pasar adalah sebuah institusi, tempat pertemuan antara para pembeli dan
penjual; suatu peristiwa yang berbentuk dan memiliki budaya yang khas yang
melibatkan banyak orang dalam tindakan dan hubungan sosial, yang membentang
pada sejumlah tingkatan (Slater dan Tonkiss, 2001; 9-13). Pasar merupakan institusi
sosial yang diatur dengan norma-norma dan sanksi-sanksi dan dibentuk melalui
interaksi sosial. Dengan demikian pasar dianggap sebagai sebuah mekanisme
24
sosial yang didalamnya sumber-sumberdaya ekonomi di alokasikan dan dengan
demikian pasar merupakan sebuah konstruksi sosial (Berger dan Luckman, 1984
seperti dikutip Nugroho, 2001).
Terdapat enam ciri/karakteristik pasar sebagai sebuah marketplace (Slater
dan Tonkiss, 2001; 9-13), yaitu:
1. Pasar sebagai tempat berlangsungnya komunikasi; seperti komunikasi
politik, sosial, religi, bahkan terminologi komersil.
2. Pasar sebagai tempat sentralitas sosial.
3. Pasar sebagai kompleksitas hubungan local-urban governance.
4. Pasar sebagai hubungan kultural, identitas, dan kekuasaan lokal, dimana
masyarakat dengan mudah menyerap saling hubungan dan perubahan yang
terjadi.
5. Pasar sebagai sistem/tempat yang memiliki aturan tersendiri (highly
regulated).
6. Pasar sebagai milik orang banyak/umum (publicness); dimana semua orang
dapat akses kesana, tetapi sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki.
Dalam bentuk lain dikatakan bahwa, pasar adalah sebuah institusi sosial,
dimana sejumlah besar bursa komoditas dari suatu jenis yang spesifik, yang
berlangsung secara teratur, dan sampai pada taraf tertentu dimudahkan dan
disusun/diatur oleh institusi tersebut. Pertukaran yang terjadi melibatkan persetujuan
sesuai kesepakatan dan pertukaran hak milik. Pasar berisikan mekanisme struktur,
pengorganisasian, dan sahnya aktivitas tersebut. Artinya pasar mengorganisir dan
melembagakan pertukaran. Penekanannya disini adalah bahwa pasar membantu ke
arah pengaturan kesepakatan atas harga, jumlah, para pembeli dan para penjual
potensial. Semua institusi pasar dihubungkan dengaan pertukaran dan kesepakatan
di dalam suatu pengertian yang berkenaan dengan unsur, sistem dan kebiasaan
yang mengurus kesepakatan (Hodgson, 1988; 173-174).
Selanjutnya, merujuk pada definisi yang diberikan Weber, bahwa pasar
diketahui sangat sulit untuk didefinisikan dan memiliki suatu struktur yang tak
berbentuk (berobah-obah), namun Weber memberikan suatu gambaran yang jelas
tentang apa yang membangun suatu pasar dari perspektif sosiologi, yaitu sebuah
pasar memiliki suatu “kehidupan sosial” dan itu secara tipikal dapat ditemukan dalam
tempat tertentu. Sebuah organisasi mungkin ya atau tidak dibebankan pada pasar.
25
“kehidupan sosial” itu bagaimanapun terdiri dari perulangan tindakan dari sebuah
pertukaran—yaitu interaksi yang secara simultan diarahkan pada dua tipe aktor yang
berbeda. Pertukaran diarahkan pada satu partner pertukaran (dengan siapa
seseorang bertransaksi) dan pada satu kompetitor (siapa yang menawar), yang
dimulai pada saling kontak (perjuangan atas harga), dan kemudian saling hubungan
antara kompetitor (perjuangan diantara kompetitor) (Swedberg, 1994).
Lebih jauh dikatakan bahwa, dalam analisisnya Weber juga menyinggung
persoalan regulasi pasar, dalam artian bahwa regulasi pasar dapat berasal dari
sejumlah cara: dengan hukum, dengan tradisi, dan dengan konvensi, yang terakhir
ini disebut Weber dengan istilah sebuah keteraturan yang dipelihara melalui sanksi
sosial dan mendekati pada apa yang sekarang disebut dengan norma. Tipe lain dari
regulasi yaitu regulasi secara sukarela, yang menarik bahwa itu bisa eksis jika pasar
secara formal bebas dari kehadiran seorang aktor yang kuat di pasar. Contoh
penting dari regulasi sukarela adalah harga kartel dan kesepakatan kuota --yang
mana itu adalah umum terjadi di Jerman ketika “economy and society” di tulis.
Selanjutnya, Weber menjelaskan, jika ingin mempertahankan kekuatan
pasar, ia harus dipisahkan dari “monopoli status grup”, tetapi pasar yang rasional
juga menghasilkan sendiri “monopoli kapitalistik”. Dikatakan bahwa yang membuat
pasar rasional bertentangan dengan ide status grup, adalah karena mereka (pasar
rasional) tidak memiliki perhatian pada kualitas personal atau pada kehormatan—
semua masalah adalah hanya pada apa yang telah dipertukarkan. Pasar dan
prosesnya tidaklah menempatkan seseorang ke dalam perhitungan--kepertingan
“impersonal” yang mendominasinya. Bagi Weber, dalam pasar rasional, doktrin
agama dan doktrin etika yang dilakukan seseorang pada yang lainnya,
memperlakukan orang lain sebagai saudara sendiri dalam bertransaksi dalam pasar
rasional tidak dapat diterima. Pasar yang demikian adalah sebuah “abomination” –
sesuatu yang sangat tidak disukai pada setiap sistem dari etik fraternal (etika
persaudaraan) (Swedberg, 1998).
Dalam sosiologi analisis tentang
pasar harus dilihat sebagai sebuah
fenomena sosial yang kompleks di dalam hak dan caranya sendiri. Disamping itu
analisisnya Weber telah menekankan peran “konflik” dan “regulasi sosial” dalam
pembentukan struktur pasar, dan yang harus diperhitungkan adalah bahwa pasar
tidaklah secara sederhana terdiri dari ruang yang homogen, dimana pembeli dan
26
penjual masuk ke dalam pertukaran dengan satu sama lainnya, tetapi pasar akan
jadi berbeda bila jaringan kerja dan interaksinya juga berbeda (Swedberg, 1994).
Untuk memahami bagaimana jaringan kerja “bermain” di pasar--sebagai
sebuah struktur dalam sebuah marketplace --Baker (1981, dalam Swedberg, 1994)
menjelaskannya dalam bentuk dua tipe yang berbeda yakni tipe jaringan kerja luas
dan tipe jaringan kerja sempit. Pada tipe jaringan kerja sempit terdapat pelaku pasar
yang berkelompok atau klik (clique members) yang membentuk jaringan kerja
sesama mereka, dan ada pula pelaku pasar yang terisolasi (isolate) dari klik atau
kelompok di pasar, tetapi hanya memiliki interaksi dengan salah satu saja dari
anggota klik/kelompok. Sedangkan pada tipe jaringan kerja luas terdapat dua atau
lebih kelompok/klik pelaku pasar yang saling berinteraksi dengan anggota kliknya
dan dengan anggota klik lain, bahkan mereka juga dapat berinteraksi dengan pelaku
pasar yang terisolasi, kelompok pelaku pasar perantara (liason), dan anggota
kelompok yang berpasangan.
Bentuk Jaringan kerja di pasar sangat ditentukan oleh seberapa besar
anggota suatu klik dan seberapa besar jumlah klik yang ada, serta seberapa banyak
klik dan anggota klik membangun jaringan dengan pelaku di luar kelompoknya
seperti dengan pelaku pasar yang berada di luar anggota klik melalui perantara;
dalam hal ini disebut dengan pelaku pasar yang terisolasi, yang tak kalah pentingnya
dalam melihat jaringan kerja di pasar ini adalah peran dari pelaku pasar yang
bertindak sebagai pemberi isyarat (tree node), dan anggota kelompok yang
berpasangan (dyad member).
Jadi pada kedua tipe jaringan kerja tersebut sebenarnya terdapat lima
kelompok yang bermain di pasar yang saling berinteraksi dalam melakukan
pertukaran yaitu: 1) anggota klik dari suatu kelompok, interaksinya berlangsung
dalam banyak arah, mulai dari sesama anggota klik sampai dengan anggota dari klik
yang lain bahkan dengan kelompok perantara, kelompok pemberi isyarat dan
kelompok yang berpasangan. Pada dasarnya pelaku pasar dari anggota klik inilah
yang mendominasi sistem pertukaran di dalam suatu pasar; 2) pelaku pasar yang
terisolasi dari suatu klik, interaksinya hanya dengan salah satu anggota dari satu
kelompok klik; 3) pelaku pasar yang bertindak sebagai perantara antara suatu klik
dengan pelaku pasar yang terisolasi. Interaksinya dilakukan dengan anggota suatu
klik dengan anggota suatu klik yang lain, tetapi ia bukan anggota dari kedua klik
27
yang dihadapinya; 4) pelaku pasar yang bertindak sebagai pemberi isyarat dalam
transaksi antara anggota klik dengan pelaku pasar yang terisolasi dari suatu klik.
Interaksinya sangat jarang dengan pelaku pasar lainnya, hanya dengan individual
anggota klik; 5) pelaku pasar yang berpasangan yang berada di luar dari anggota
suatu klik. Pada umumnya interaksinya dengan pelaku pasar lain sangat jarang.
Oleh karena itu, dalam mengkaji jaringan kerja pada pasar, maka akan dapat
memperlihatkan bahwa semakin besar tipe jaringan kerja yang terbentuk, semakin
banyak pihak atau aktor yang terlibat di dalamnya, begitu juga sebaliknya. Tentunya
sebagaimana yang dikatakan bahwa jaringan kerja yang terbentuk itu sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan seperti, politik, pasar, latar belakang
masyarakat dan tehnologinya. Inilah yang dikatakan aliran sosiologi ekonomi baru
sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam
jaringan-jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor
(Swedberg, 1994, Damsar, 1997, 1998).
2.4. Perspektif Sosiologi Tentang Ekonomi
Sosiologi ekonomi—menggunakan istilah yang diperkenalkan Weber dan
Durkheim—didefinisikan secara sederhana sebagai suatu pengaplikasian perspektif
sosiologi dalam fenomena ekonomi. Sosiologi ekonomi adalah aplikasi dari acuan,
variabel, dan model sosiologi yang bersifat menjelaskan berbagai aktivitas yang
kompleks dan terkait dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barangbarang dan jasa yang langka (Smelser dan Swedberg, 1994; 3).
Perspektif sosiologi dimaksudkan adalah seperti interaksi antar pribadi,
kelompok-individu, kelompok-kelompok struktur sosial (institusi), dan kontrol sosial
(seperti, yang memfokuskan pada sanksi-sanksi, norma, dan nilai-nilai). Bahkan
secara khusus sosiologi ekonomi juga memfokuskan pada jaringan sosial, gender,
dan konteks sosial-kultural setempat (Granovetter, 1985; Zelizer, 1989a dalam
Smelser dan Swedberg, 1994).
Stinchcombe (dalam Smelser dan Swedberg, 1994, 2003) kemudian
melengkapi definisi tersebut dengan menambahkan variabel atau perspektif ekologi.
Dikatakan bahwa dari sudut pandang sosiologi, kehidupan ekonomi titik fokusnya
adalah cara produksi (mode of production) yang merupakan transaksi dengan alam.
Dari konsep pelaku terlihat bahwa bila titik awal analisis ekonomi adalah individu,
28
maka dalam sosiologi titik awal analisisnya adalah kelompok, kelembagaan
(institusi) dan masyarakat. Pelaku dalam pandangan sosiologi adalah sebagai
bangunan sosial suatu entitas, sebagai “pelaku dalam interaksi” atau “pelaku dalam
masyarakat”. Disini terlihat bahwa sosiologi mengambil aras kelompok dan struktur
sosial
sebagai
fenomena
sui
generis
dan
tidak
memandangnya
atau
mempertimbangkan individu sebagai pelaku semata. Bahkan kalau dalam analisis
mikro ekonomi pelaku tidak dikaitkan dengan pelaku lainnya, maka dalam analisis
sosiologi ekonomi pelaku diasumsikan berhubungan dan dipengaruhi oleh pelaku
lainnya.
Dilihat dari segi tindakan ekonomi, dalam ekonomi (mikro), pelaku
diasumsikan mempunyai kondisi yang tetap (stabil) dan ditentukan oleh satuan
pilihannya dan alternatif tindakan untuk memaksimalkan utility atau profit. Ini
dikatakan sebagai tindakan/pilihan rasional (rational choice). Berbeda dengan
sosiologi, karena pelaku memiliki berbagai kemungkinan dalam melakukan tindakan,
seperti yang diillustrasikan Weber, bahwa tindakan ekonomi dapat berarti rasional,
tradisional, atau spekulatif (irrational). Hal ini penting, karena ilmu ekonomi tidak
memberi tempat pada tindakan tradisional (Smelser dan Swedberg, 1994).
Selanjutnya tindakan ekonomi dilakukan dengan efisien yang berkaitan
dengan sumberdaya yang langka. Sedangkan sosiologi memiliki pandangan yang
lebih luas, sebagaimana yang dikemukakan Weber, bahwa secara konvensional
memaksimalkan ‘utility’ dikatakan sebagai terminologinya kuantitatif atau dianggap
sebagai “rasional formal”. Dalam sosiologi, juga dikenal “rasional substantif”, yang
mengacu pada pengalokasian dengan sejumlah prinsip seperti loyalitas komunal
atau nilai-nilai yang luhur. Sehingga disini rasionalitas dipandang oleh ahli ekonomi
sebagai sebuah asumsi, sedangkan dalam sosiologi, rasionalitas dipandang sebagai
sebuah variabel (Smelser, 1963; Smelser dan Swedberg, 1994; 4).
2.5. Tindakan Ekonomi dalam Sosiologi Ekonomi VS Teori Pertukaran
Sosiologi ekonomi dimaksudkan; menjelaskan berbagai aktivitas yang
kompleks dan terkait dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barangbarang dan jasa yang langka (Smelser and Swedberg, 1994; 3). Definisi ini
mengisyaratkan adanya proses pengaliran barang atau jasa dari pihak produsen ke
pihak konsumen. Dan ini tentunya melibatkan pihak yang sarat dengan perilaku dan
29
interaksi sosial. Dalam ilmu ekonomi, proses mengalirnya barang atau jasa dari
produsen ke konsumen melalui proses pertukaran
inilah yang disebut dengan
pemasaran (Kotler, 1988; Soekartawi, 1994).
Di sisi lain, untuk memahami proses pemasaran sebagai sebuah aliran
pertukaran yang terjadi di pasar, juga dapat didekati dengan perspektif teori
pertukaran (Exchange Theory) yang dalam sosiologi pertama kali dikembangkan
oleh Homan dan Blau—yang menurut Turner (1998) dianggap sebagai fase
pematangan 2 . Dalam melihat proses pertukaran, Homans mengajukan beberapa
proposisi yang erat kaitannya dengan perilaku sosial yang dikaitkan dengan
penghargaan (reward). Ritzer (1992: 92) mengartikannya dengan “ganjaran” yang
diterima seseorang. Ada enam proposisi yang diajukan Homans dalam teori
pertukarannya (Turner, 1998), yaitu:
1. Proposisi Keberhasilan (Success Proposition),
dalam artian pada semua
tindakan yang dilakukan oleh seseorang, semakin sering suatu tindakan khusus
oleh seseorang diberi penghargaan (reward), semakin mungkin orang tersebut
mengulang atau membentuk tindakannya seperti itu.
2. Proposisi Ransangan (Stimulus Proposition), maksudnya jika kejadian yang
sudah lewat dari tindakan seseorang memperoleh penghargaan (reward), dalam
konteks stimulus, maka semakin besar kemungkinan kejadian atau tingkah laku
yang memiliki hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau
dilakukan.
3. Proposisi Nilai (Value Proposition); yaitu semakin bernilai yang dihasilkan
seseorang dari tindakan atau aksinya, semakin mungkin seseorang itu
menampilkan aksinya.
4. Proposisi Perampasan/Pencabutan (Deprivation/Satiation Proposition); semakin
sering seseorang menerima reward tertentu pada masa lampau, semakin
berkurang nilai suatu unit dari penghargaan bagi orang itu karena ia mengalami
kejenuhan.
2
Dalam perkembangannya yang dianggap sebagai periode awal dari teori pertukaran (Exchange
Theory) adalah pemikiran yang dikemukakan Simmel dalam karyanya “the Philosophy of Money”
yang merupakan kritikan terhadap tulisan Marx yang berjudul “Value theory of Labor”, namun ini
dikatakan sebagai awal pemikiran dari teori pertukaran sosial (social exchange). Simmel
mengemukakan sejumlah proposisi yang kemudian dikenal dengan prinsip-prinsip pertukaran Simmel
(Simmel’s Exchange Principles). Lihat Turner, 1998.
30
5. Proposisi Penyerangan/Persetujuan (Aggression/Aproval Proposition); ketika
tindakan seseorang tidak menerima penghargaan yang diharapkan atau
menerima hukuman tidak seperti yang diharapkan, dia akan marah dan mungkin
menjadi bertingkah laku menyerang, hasil dari perilaku menjadi lebih bernilai
untuk orang tersebut. Apabila tindakan seseorang mengharapkan menerima
reward, secara khusus lebih besarnya reward dari yang diharapkan atau tidak
menerima hukuman yang diharapkan, ia akan menjadi senang dan menjadi lebih
mungkin untuk membentuk tingkah laku yang disetujui/diinginkan. Hasil dari
tingkah laku demikian lebih bernilai bagi seseorang.
6. Proposisi rasionalitas (Rationality Proposition); dalam memilih antara tindakan
alternatif, seseorang akan memilih sesuatu itu dimana seperti dirasakannya
ketika nilai dari hasil dikalikan dengan kemungkinan hasil tersebut adalah lebih
besar.
Nampaknya Homans meletakkan tekanan pada proposisi yang ketiga, dari
teori pertukarannya, pada point tersebut dijelaskan bahwa makin bernilai bagi
seseorang tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya, makin besar
kemungkinan, atau makin sering ia akan mengulangi tingkah lakunya itu. Dan
pertukaran kembali tentu akan terjadi. Namun reward yang diberikan terhadap orang
lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi
mempunyai nilai lebih bagi orang yang diberi.
Pertukaran (exchange) tidak akan terjadi kalau nilai sesuatu yang
dipertukarkan itu sama, karena itu exchange hanya akan terjadi bila cost yang
diberikan akan menghasilkan yang lebih besar dan kedua belah pihak sama-sama
merasa mendapat untung, dan keuntungan itu mengandung unsur psikologis
(Turner, 1998 dan Ritzer 1992).
Blau nampaknya juga mendukung/menerima proposisi yang diajukan
Homans. Blau mendukung bahwa perilaku (behavioristic) adalah merupakan dasar
dari proses sosial, dan kebutuhan untuk saling tukar dan untuk mendapatkan
keuntungan dan dalam kerangka tetap menerima pelayanan dari mereka adalah
merupakan suatu ‘mekanisme awal’ dari interaksi sosial (Turner, 1998).
Untuk memperkuat pernyataan tersebut, Blau (dalam Turner, 1998)
mengemukakan sejumlah proposisi yang kemudian dikenal dengan ‘Blau’s Implicit
31
Exchange Principles’ yang secara garis besar dikelompokkan kedalam lima
proposisi yakni:
1) Prinsip Rasionalitas (Rationality Principle), dalam artian semakin beruntung
sebagaimana yang diharapkan dari orang lain, semakin memungkinkan bagi
mereka untuk memperluas aktifitasnya.
2) Prinsip Timbal-balik/Tukar-menukar (Reciprocity Principle) yaitu: semakin besar
reward yang didapatkan seseorang dari pertukaran dengan orang lain, semakin
mungkin pertukaran yang dianggap berharga itu muncul, dan membimbing
pertukaran berikutnya di antara mereka. Semakin dilanggar hubungan timbak
balik dari suatu hubungan pertukaran, kelompok yang dirugikan akan
memberikan sanksi negatif terhadap si pelanggar norma tersebut.
3) Prinsip Keadilan (Justice Principles). Semakin stabil hubungan pertukaran,
semakin mungkin bagi mereka untuk diatur oleh norma-norma dari pertukaran
yang adil. Semakin sedikit norma-norma kewajaran direalisasikan di dalam suatu
pertukaran, semakin ditempatkan si pelaku pada sanksi yang negatif oleh orangorang yang merasa dirugikan.
4) Prinsip Kegunaan Marginal (Marginal Utility Principle) dalam artian, semakin
besar reward yang diharapkan diterima, semakin luas suatu aktivitas dilakukan,
semakin sedikit dinilai suatu aktivitas, semakin sedikit disebarkan aktivitas
tersebut.
5) Prinsip Ketidakseimbangan (Imbalance Principle) maksudnya, semakin stabil
dan seimbang suatu pertukaran diantara unit-unit sosial, semakin mungkin
hubungan pertukaran lainnya menjadi tidak seimbang dan tidak stabil.
Merujuk pada proposisi yang diajukan Homans dan Blau, jelas terlihat bahwa
keduanya bergerak dalam lingkup aras yang berbeda, namun apa yang
dikemukakan Blau kelihatannya merupakan perluasan/pengembangan dari aras
yang diajukan Homans. Dengan kata lain Homans telah menyatukan prinsip
psikologi behavioral dengan sosiologi pada ‘aras mikroskopik’, sedangkan Blau
mencoba menyatukannya pandangan paradigma fakta sosial dengan paradigma
perilaku sosial pada ‘aras makrokospik’ (Tunner, 1998 dan Ritzer, 1992).
Dengan melihat proposisi yang diajukan Homans dan Blau, diketahui bahwa
asumsi dasar teori pertukaran itu lebih dekat pada ekonomi rasional,
sedangkan New Economy Sociology (NES) memiliki asumsi dasar ekonomi
32
moral. Mengetahui bahwa ke dua aliran ini memiliki asumsi dasar yang berbeda,
kiranya akan semakin memperkuat kedudukan (posisi) peneliti dalam penelitian ini,
yakni lebih kuat pada asumsi dasar New Sociology Economy dengan variannya
ekonomi moral. Dengan demikian kiranya dapat dilihat dan dipahami bahwa
tindakan
ekonomi
yang
terjadi
di
pasar,
dan
bagaimana
pemasaran
terbentuk/dilakukan. Artinya bagaimana cara individu atau masyarakat memenuhi
kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa dan bagaimana proses
pertukaran terjadi dan dimaknai oleh aktor yang melakukan pertukaran, yang
dimaknai tidak hanya sebagai tindakan ekonomi yang berdiri sendiri tetapi juga
sebagai tindakan sosial, yang disituasikan secara sosial, dan dikonstruksi secara
sosial dan melekat (embedded) dalam suatu jaringan sosial tertentu (Granovetter
dan Swedberg, 1992; Swedberg, 1994).
Ini sejalan dengan pandangan Skidmore (1979), bahwa pertukaran
(exchange) tidak selalu dimaksudkan untuk menukarkan sesuatu yang nyata, tetapi
pertukaran juga meliputi sesuatu yang tidak nyata seperti, harga diri atau
penghargaan, saling keterkaitan, bantuan, dan dalam bentuk persetujuan.
Pertukaran juga dimaksudkan untuk menghindari sesuatu seperti, penderitaan,
biaya, keadaan yang memalukan dan lainnya, dan juga pertukaran meliputi
kesempatan, keuntungan, atau aspek-aspek komparatif dari hubungan antar
manusia (human relations).
Di sini Skidmore (1979), menekankan bahwa ide-ide dari pertukaran
(exchange) memiliki pengertian yang sangat luas dan tidak terbatas hanya untuk
memberi dan menerima dari sesuatu yang bersifat kongrit. Pandangan yang sama
sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Malinowski bahwa pertukaran tidak hanya
dalam bentuk material tetapi juga dalam bentuk non-material (Turner, 1998. cf.
Anderson, 1995; 80-96 ).
Mengacu pada persoalan pasar dan pemasaran maka pertukaran yang
terjadi antara si penjual dan pembeli tentunya juga harus dilihat dalam kerangka
yang tidak hanya berbentuk material atau sesuatu yang nyata tetapi juga meliputi
sesuatu yang bersifat nonmateri atau yang tidak nyata, sebagaimana yang
33
diungkapkan Skidmore dan Malinowski 3 . Untuk melihat gejala-gejala atau
kecenderungan tersebut tentunya diperlukan disini paradigma “definisi sosial” yang
melihat bahwa tindakan sosial adalah tindakan individual yang bercorak sosial,
memiliki arti subjektif bagi dirinya sendiri, yang kemudian disusun individu dalam
bentindak dengan sadar dan rasional 4 dan untuk mengetahuinya diperlukan
pemahaman dan penghayatan dari dalam (Verstehen) (Veeger, 1992; Ritzer, 1992;
Weber, 1964 dan 1978, cf. Geertz, 1987; Morrison, 1995; Hardiman, 2003).
2.6. Tindakan Ekonomi, Pertukaran dalam Sosiologi Ekonomi dan
Sistem Nilai Budaya
Weber (1964; 158-164; Swedberg, 1998; Boudon dan Cherkaoui, 2000, 303308), telah menjelaskan bagaimana kategori sosiologi tentang tindakan ekonomi.
Bagi Weber, tindakan akan dikatakan menjadi “berorientasi secara ekonomi”
(economically oriented), sepanjang itu sesuai dengan makna subjektifnya, yang
difokuskan pada pemenuhan terhadap suatu kebutuhan atau utility. Juga dikatakan
bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan yang oleh aktor dianggap aman bagi
kontrol aktor atas sumberdaya, terutama yang berorientasi ekonomi. Untuk
memahami bagaimana sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan
ekonomi, Weber (1964) merumuskannya sebagai berikut :
3
Lebih jauh lihat Skidmore (1979), Theoretical Thinking in Sociology, Cambridge University Press,
London. Anderson, (1995; 80-98), “Retorical Objectivity in Malinowski’s Argonnaouts,” University
of Illinois Press, Urbana and Chicago.
4
Rasional adalah suatu konsep kunci dalam karya Weber yang digunakan untuk merujuk pada suatu
standar dari tindakan sosial yang memiliki substansi yang didasarkan pada pembobotan makna dan
tujuan akhir. Weber secara essensial menggunakan bentuk deskripsi pada suatu orientasi realitas
dimana bobot makna secara sistematik dan tujuan akhir yang tepat (efficacy) dan pencapaian praktis
dari tujuan. Weber percaya bahwa tipe yang berbeda dari rasionalitas menjadi dominan pada tahap
yang berbeda dari perkembangan masyarakat dan ini cenderung untuk menghapus orientasi lain dari
realitas seperti magic, beribadah atau pertimbangan oracular. Berkaitan dengan sosial action,
rasionalitas dapat dibedakan menjadi dua tipe, pertama subjective rasionality, yang merujuk pada
tingkat evaluasi dari dalam, dimana aktor terdorong di dalam berfikir sebelum bertindak. Kedua
Rasionalitas objektif, yang merujuk pada tingkat dimana tindakan melekat pada prinsip rasional,
dengan penolakan pada norma formal atau pada pemaknaan khusus pada kalkulasi akhir. Weber
mengidentifikasi pada empat tipe rasionalitas. 1). Instrument; 2). Nilai; 3). Afektif; 4). tradisional.
Kempat tipe rasionalitas ini berbeda dalam penekanannya pada derajad pertimbangan tertentu untuk
makna dan derajad kalkulasi dalam pencapaian tujuan akhir (untuk lebih jelasnya lihat Weber, 1964,
Morrison, 1995; Veeger, 1993).
34
1. Aktifitas atau tindakan ekonomi dari seorang individu dapat dikatakan sebagai
tindakan sosial 5 , sejauh tindakan tersebut memperhitungkan tingkah laku orang
lain. Jadi secara umum dalam bentuk formal, tindakan tersebut menjadi tindakan
sosial (social action), sejauh kontrol aktual aktor atas barang ekonomi (economic
goods) adalah berkaitan dengan orang lain.
2. Definisi dari tindakan ekonomi harus memungkinkan dan menghasilkan fakta
bahwa semua proses dan objek ekonomi adalah dicirikan sebagai suatu
keseluruhan pemaknaan tentang tindakan manusia (human action)
dalam
sejumlah peran, makna, hambatan, dan produksi. Sekalipun dibolehkan secara
sepintas untuk mengatakan bahwa, kadang kala tindakan ekonomi adalah
sebuah fenomena fisik. Namun, barang yang dihasilkan, harga, atau penilaian
yang subjektif dari barang, bila mereka adalah secara empirik berproses, itu
tidak hanya sekedar atau jauh dari fenomena fisik semata.
3. Tindakan yang dianalisis dalam sosiologi adalah pada awalnya diasumsikan
secara rasional. Namun, jika realitas empirik tidak sesuai (tidak tepat), model
rasional dan bentuk penjelasan yang lain harus ditonjolkan, seperti tindakan
tradisional atau tindakan lain yang mempengaruhinya (cf. Swedberg, 1998; 2253 dan 162-172).
4. Semua tindakan ekonomi dipengaruhi oleh tindakan non-ekonomi dan tindakan
yang bermanfaat, kesemuanya dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi.
5. bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan (violence) atau kejahatan,
mungkin berorientasi ekonomi. Seperti peperangan, perampokan ekspedisi dan
perang/kejahatan perdagangan, yang seperti ini membuat “makna ekonomi”
menjadi “makna politik”.
6. Penting untuk memasukkan pengelolaan/pengaturan (disposal) dan kontrol
kekuasaan (power of control) dalam konsep sosiologi tentang “tindakan
ekonomi”, jika tidak ditemukan alasan-alasan lain dari pertukaran ekonomi—
yang melibatkan suatu jaringan kerja yang komplit dari saling hubungan
kontraktual, yang berasal dari proses yang direncanakan dengan baik dalam
memperoleh kontrol kekuasaan.
5
Untuk jelasnya konsep tentang tindakan sosial dan tipe-tipe dari tindakan sosial (social action) lihat
Weber, 1964; 112-118, bandingkan dengan Morrison, 1995 dan Damsar, 1997.
35
7. Konsep tentang kontrol kekuasaan (power of control) , dan disposal, disini akan
dilakukan dengan memasukkan kemungkinan adanya kontrol atas kekuasaan
tenaga kerja dari aktor itu sendiri, apakah dalam sejumlah cara telah diperkuat
atau hanya semata-mata ada didalam fakta saja.
8. Yang terpenting, dalam analisis tindakan ekonomi, dalam sosiologi difokuskan
pada tipe “tindakan” yang dicirikan hasil dari aktifitas aktor dan perhitungan
aktor, yang kemudian mampu menghasilkan analisis yang berbeda dari ilmu
ekonomi tentang tindakan ekonomi.
Secara garis besar, Weber (1922, 1964, 1978, c.f. Damsar, 1997) melihat
bahwa tindakan ekonomi—yang membedakannya dengan teori ekonomi—adalah :1)
sebuah tindakan sosial; 2) selalu melibatkan makna; 3) selalu memperhatikan
kekuasaan.
Lebih jauh weber menjelaskan bagaimana perbedaan antara ilmu ekonomi
dengan sosiologi ekonomi dalam menganalisis tindakan ekonomi.
Dalam
pandangan Weber, teori ekonomi menganalisis situasi di dalam mana aktor lebih
mengutamakan kepentingan materi dan mengutamakan pada utility, tetapi tidak
menempatkan perilaku aktor lain di dalam perhitungannya (economic action).
Sedangkan sosiologi melihat pada tindakan yang diarahkan oleh kepentingan ideal
dan materi, dan juga ditujukan pada perilaku aktor lain (social action). Berbeda
dengan sosiologi ekonomi yang lebih fokus pada tindakan sosial ekonomi
(economic social action) yang melihat tindakan lebih diarahkan pada kepentingan
materi, yang berorientasi pada utility, dan menempatkan aktor lain dalam
perhitungannya. Tindakan sosial dan tindakan sosial ekonomi juga dapat diarahkan
oleh kebiasaan (habit) atau tradisi, dan emosi, khususnya dalam kombinasi dengan
kepentingan. Dengan demikian jelas bahwa Weber dalam sosiologinya berusaha
untuk
mengkombinasikan
kepentingan
dan
mengarahkan
analisis
kepada
menempatkan perilaku sosial ke dalam perhitungan (Swedberg, 1998).
Pembedaan Weber atas kepentingan, yakni kepentingan ideal dan
kepentingan material, ini salah satunya yang membedakan sosiologi ekonomi Weber
dengan aliran sosiologi ekonomi baru. Analisis sosiologi ekonomi baru cenderung
memandang kepentingan ideal sebagai sebagai milik sosiologi dan kepentingan
material dianggap sebagai milik ekonomi.
36
Selanjutnya, jka dilihat bagaimana saling hubungan antara sosiologi ekonomi
dan teori ekonomi, terutama dalam mengkonsepkan tindakan rasional dan tujuan
dari tindakan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Tabel 2 The Subject Areas of Economic Theory and Economic Sociology
Goal
Exclusively economic goals
Not exclusively economic goals
Rational economic action
Economic theory/economic
sociology
Economic sociology
Non-rasional economic
action
Economic sociology
Economic sociology
Sumber: Max Weber, “Economy and Society”, 1978; Swedberg, 1998).
Selanjutnya untuk melihat bagaimana pertukaran terjadi di pasar, Weber
melihatnya dari berbagai sudut pandang. Dijelaskan bahwa di dalam pasar sebagai
sebuah marketplace, pasar diorganisir dalam cara yang berbeda dan tempat yang
berbeda. Di dalam pasar akan ditemui adanya bentuk spekulasi, dimensi politis,
dalam artian akan terlihat ada “makna kekuasaan” di dalam perjuangan ekonomi,
dimana harga yang terbentuk harus dari perjuangan ekonomi (perjuangan harga).
Ada dua konsep yang harus dipisahkan dalam melihat perjuangan atas harga
(struggle over the price) di pasar, Pertama, “keinginan untuk berjuang” di dalam
pasar antar dua kelompok yang benar-benar telah bekerja di dalam suatu
pertukaran. Kedua, “kompetisi perjuangan”, dimana yang terjadi antara semua
kelompok, aktor atau mereka yang berpotensi tertarik di dalam suatu pertukaran
pada awal terjadinya proses (Swedberg, 1994). Dalam hal ini Weber terlihat
memunculkan dan memberikan pembedaan secara konseptual antara “kompetisi”
dan “pertukaran”, walaupun demikian bagi Weber, peristiwa kompetisi dan
pertukaran inilah yang dikatakan sebagai “tindakan sosial” di pasar. Maksudnya
dimulai dari sebuah tindakan sosial di pasar, sebagai sebuah “kompetisi”, tetapi
kemudian berakhir dengan “pertukaran”-- yang diatur dengan kesepakatan hanya
dengan partner yang terakhir (Swedberg, 1994).
Weber, menjelaskan bahwa, pertukaran di pasar adalah selain sebagai
representasi dari bentuk-bentuk perhitungan dan alat dari tindakan sosial yang
memungkinkan antar dua orang yang berbeda, pertukaran juga sebagai representasi
dari suatu gambaran dari semua “tindakan sosial yang rasional” dan dibangun
sebagai suatu ketidaksenangan atau kejengkelan pada setiap sistem dari etika
persaudaraan (Weber, 1922,1978; Swedberg, 1994).
37
Yang menarik di sini adanya unsur perjuangan, kompetisi yang dikatakan
menimbulkan kejengkelan atau ketidaksenangan, dalam pandangan Weber, ini
dilihat sebagai adanya unsur konflik di pasar. Namun dijelaskan bahwa unsur
konflik tersebut dimaknai sebagai sebuah perjuangan yang terjadi di pasar yakni
perjuangan antara manusia berhadapan dengan manusia. Kompetisi, sebagai
sebuah “kedamaian”, di mana konflik sebagai suatu usaha formal yang penuh
kedamaian. Sedangkan pertukaran, dikatakan sebagai suatu kompromi minat pada
pihak lain selama barang-barang atau keuntungan lainnya dijalani sebagai kepuasan
timbal balik (reciprocal compensation).
Menurut analisis Weber, pasar adalah berisikan gagasan pokok yang
menyangkut sebuah bentuk tindakan ekonomi yaitu “pertukaran” yang secara
simultan diorientasikan pada dua arah yang berbeda, yakni yang diarahkan pada
seorang mitra pertukaran dalam bentuk perjuangan atas harga (struggle over the
price), dan diarahkan pada para pesaing atau perjuangan antara pesaing (struggle
between competitors). Ini yang dikatakan Weber sebagai pertukaran melalui
penawaran/tawar-menawar (exchange through bargaining). Juga dikatakan proses
pertukaran ini memperlihatkan dinamika saling hubungan sosial di pasar yang bisa
berbetuk “terbuka” atau “tertutup” (Swedberg, 1998). Dan pasar dikatakan dapat
eksis, bila disana ada kompetisi, disamping adanya kesempatan untuk pertukaran
antar banyak orang atau kelompok potensial. Secara fisik merupakan orang-orang
yang berkumpul pada suatu tempat (Swedberg, 1994).
Dengan demikian jelas,
bahwa Weber telah melihat pasar dari sudut pandang pemahaman aktor
(verstehen).
Selanjutnya, dalam menganalisis tindakan ekonomi, sosiologi ekonomi
mengalami evolusi pemikiran, dan dalam beberapa hal membuatnya berbeda
dengan analisis yang diperkenalkan Weber pada awalnya dalam sosiologi ekonomi.
Perbedaan yang sangat populer adalah diperkenalkannya konsep “embeddedness”
oleh Granovetter—sebagai salah seorang pembawa aliran Sosiologi ekonomi
Baru—dalam menganalisis tindakan ekonomi aktor. Tingkah laku ekonomi bagi
Granovetter adalah sangat “melekat” dalam “jaringan kerja sosial” dari saling
hubungan interpersonal.
Dibandingkan antara sosiologi ekonomi Weber dengan pendekatan sosiologi
ekonomi baru, memiliki perbedaan secara mendasar dari segi :
38
1. Tingkah laku ekonomi selalu melekat (embedded) 6 dalam struktur sosial.
2. Ekonomi dan institusi ekonomi dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu bentuk
dari konstruksi sosial--pemahaman tentang konstruksi sosial berasal dari tokoh
terkemuka sosiologi, Berger dan Luckmann, yang kemudian menjadi populer
dalam sosiologi ekonomi baru. Ekonomi dapat secara sosial dikonstruksi melalui
jaringan kerja (network), juga melalui struktur sosial lain.
3. Rasionalitas tidak layak sebagai suatu faktor dalam analisis sosiologi ekonomi
karena rasionalitas membuat asumsi tidak realistik—analisis pilihan rasional
adalah dibangun atas asumsi unrealistic, karena aktor diisolasi dari yang lainnya,
dan memiliki informasi yang sempurna. Kebutuhan struktur sosial menjadi
diperkenalkan dalam menganalisis ekonomi.
4. Kebenaran utama dari sosiologi ekonomi harus menjadi fenomena ekonomi yang
dianalisis dengan kurangnya penekanan pada fenomena yang bersinggungan
dengan ekonomi dan bagian masyarakat lainnya; dalam perbincangan yang
berlawanan dengan sosiologi ekonomi yang lalu, itu telah dikemukakan bahwa
sosiologi ekonomi dan ekonomi harus menuju problem yang sama, yakni pada
persoalan pokok seperti harga dan tipe pasar yang berbeda.
Lebih jelasnya, menurut Swedberg (1998, 2002), secara garis besar ada tiga
area sentral dalam sosiologi ekonomi baru (kontemporer) yaitu:
1. Jaringan kerja (network) sosial dalam ekonomi;
2. Organisasi ekonomi (economic organizations);
3. Aspek kultural dari ekonomi (cultural aspect of economic).
6
Konsep ini telah dipopulerkan oleh Granovetter, akan tetapi awalnya konsep embeddednes berasal
dari karya Polanyi, yang melihat tentang kemunculan dan perkembangan suatu masyarakat yang
didominasi oleh pasar. Polanyi menggunakan konsep embeddedness untuk mengungkapkan bahwa
ekonomi manusia terlekat atau melekat dalam institusi-institusi ekonomi dan non-ekonomi. Dalam
membahas “keterlekatan” (embeddedness), ekonomi dalam masyarakat Polanyi membaginya ke dalam
tiga bentuk proses ekonomi, yakni resiprositas, redistribusi dan pertukaran. Yang pertama dan kedua
menurut Polanyi tindakan ekonomi melekat di dalam institusi-institusi non-ekonomi, seperti religi dan
pemerintah, dan ini terjadi pada masyarakat pra-industri. Sedangkan dalam masyarakat modern
(masyarakat industri), kehidupan ekonomi diatur oleh pasar, jadi tindakan ekonomi dalam masyarakat
terlepas dari institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Namun pandangan ini dibantah oleh
Granovetter, dengan alasan bahwa dalam masyarakat modern, (tindakan) ekonomi juga melekat dalam
institusi-non ekonomi, sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat pra-industri, akan tetapi dengan
tingkat dan derajad yang berbeda (untuk jelasnya lihat Granovetter dan Swedberg, 1992; cf. Damsar,
1997, yang juga memberikan kritikkannya atas pandangan Polanyi).
39
Ada tiga proposisi kunci yang dikemukakan Granovetter dan Swedberg
(1992; 6-19) dalam sosiologi ekonomi, terutama dalam melihat tindakan ekonomi
aktor, yaitu:
1. Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk dari tindakan sosial;
2. Tindakan ekonomi disituasikan secara sosial; dan
3. Institusi-institusi ekonomi adalah sebuah konstruksi sosial.
Lebih jauh, aliran sosiologi ekonomi baru, menjelaskan bahwa konsep
“keterlekatan” (embeddedness), dimaksudkan untuk menganalisis tindakan ekonomi
yang disituasikan secara sosial dan melekat di dalam jaringan-jaringan sosial
personal yang sedang berlangsung diantara para aktor, disamping juga di level
institusi dan kelompok. Jaringan sosial yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dalam
suatu masyarakat dimaksudkan sebagai rangkaian hubungan yang khas diantara
sejumlah orang. Berbeda dengan argumen di atas, DiMagio (1990, 1994) melihat
bahwa “keterlekatan” tindakan ekonomi atau perilaku ekonomi, tidak hanya dalam
struktur sosial tetapi juga secara memaksa melekat di dalam budaya (culture).
Namun ini dikritik oleh Damsar (1997) yang melihat bahwa budaya tidaklah
memaksa tetapi aspek-aspek budaya dapat memampukan orang atau individu untuk
serta dalam tindakan ekonomi dan dapat juga menghambatnya.
Disamping itu, untuk melihat semua persoalan yang dimaksud, seperti yang
dikemukakan oleh aliran “Sosiologi Ekonomi Baru” bahwa tindakan ekonomi adalah
suatu bentuk dari tindakan sosial, maka keberadaan aspek budaya dan jaringan
kerja (hubungan sosial) dari aktor ekonomi perlu mendapat tempat. Berbicara
masalah budaya dan hubungan sosial aktor ekonomi, berarti yang akan dilihat
adalah bagaimana dia bersikap atau memandang sesuatu dan apa yang
mempengaruhinya dalam bersikap dan bertindak. Ini jelas erat kaitannya dengan
sistem nilai budaya yang dianut aktor, kelompok atau masyarakat.
Sistem nilai budaya adalah perilaku yang menjiwai serta memotori setiap
gerakan seseorang atau masyarakat. Dengan kata lain adalah berupa konsepsikonsepsi mengenai apa yang dianggap penting dan yang tidak penting dalam
kehidupan masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1971). Sedangkan sikap adalah
kecenderungan asal dalam diri manusia untuk berkelakuan sesuai dengan suatu
pola tertentu, terhadap objek tertentu, akibat pendirian dan perasaannya terhadap
obyek tersebut yang bisa dipengaruhi oleh unsur-unsur nilai budaya. Ini akan
40
mempengaruhi sikap, tindakan individu dan masyarakat dalam kehidupan seharihari.
Mueller (1986) mengatakan bahwa sikap adalah, (1). pengaruh atau
penolakan; (2), penilaian: (3). suka atau tidak suka; (4). kapasitas atau kenegatifan
terhadap suatu objek. Bagi Koentjaraningrat (1971), sikap adalah merupakan
kecondongan yang berasal dari dalam diri si individu untuk berkelakuan menurut
suatu pola tertentu terhadap suatu obyek berupa manusia, hewan, atau benda
sebagai akibat pendirian dan perasannya terhadap obyek tersebut. Selanjutnya
dikatakan bahwa sikap terhadap suatu obyek dipengaruhi bisa juga dipengaruhi oleh
unsur-unsur nilai budaya, sehingga sikap juga secara langsung mempengaruhi
tindakan dan cara berfikir individu.
Kluckhon (1961, dalam Koentjaraningrat, 1971), menjelaskan lima masalah
dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia, yaitu :
a. Masalah mengenai hakekat hidup manusia;
b. Masalah mengenai hakekat karya manusia;
c. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu;
d. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
e. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Cara pandang demikian berarti aktor ekonomi atau tindakan ekonomi di
interpretasikan (verstehen) secara keseluruhan dalam sistem hubungan sosial yang
sedang berlangsung (Damsar, 1997).
Dari nuansa yang berbeda, Scott (1981), melihat bahwa tindakan ekonomi
merupakan refleksi langsung dari “ekonomi moral” si petani itu sendiri, yaitu manusia
bertindak sebatas tidak keluar dari etika subsistensinya. Sebaliknya Evers, melihat
bahwa tindakan ekonomi merupakan sintesis dari ekonomi moralnya –yaitu
kewajiban moral untuk membantu teman-teman dan kerabat-kerabat –yang ada dan
kepentingan ekonomi yang dimiliki yaitu akumulasi modal dalam bentuk barang dan
uang.
Evers mengajukan sintesisnya berupa lima solusi yang akan dilakukan oleh
pedagang
dalam
menghadapi
dilemanya
berupa
pengaruh
nilai
budaya
masyarakat/lingkungannya. Dalam hal ini Scott dan Evers (1994; cf. Damsar, 1997)
secara tidak langsung telah menggambarkan “keterlekatan” aktor ekonomi (petanipedagang) dalam ikatan budaya, kebiasaan dan norma yang berlaku di tengah
41
masyarakatnya, yang berimplikasi kepada tindakan ekonominya. “Keterlekatan” ini
juga berimplikasi kepada usaha “permainan aspek ruang dan waktu” dan “strategi
tawar-menawar” bagi aktor ekonomi di pasar.
2. 7. Ekonomi Moral 7 dan Ekonomi Rasional
Terdapat perbedaan pandangan dalam hal memaknai tindakan ekonomi.
Pertama–dalam
kajian
antropologi—melihat
bahwa
tindakan
ekonomi
yang
dilakukan individu (petani) selalu memiliki dimensi moral. Di sini pertimbangan
ekonomi di dalam pengambilan keputusan selalu diputuskan berdasarkan nilai-nilai
moral. Jelasnya, ekonomi moral muncul dari pengertian bahwa masyarakat petani
telah mengembangkan norma-norma sendiri di luar konteks dominasi agriculture
state atau landlords. Norma-norma tersebut menekankan kerjasama komunitas di
dalam aktivitas produksi, distribusi, konsumsi dan tukar-menukar di desa (Scupin
dan DeCorse, 1998 dalam Effendi, 2001; 67). Ekonomi moral dalam masyarakat
petani berawal dari dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah
tangga petani yang sebahagian besar hidupnya begitu dekat dengan batas
subsistensi, dan menjadi sasaran permainan cuaca (unsur ekologi), serta tuntutantuntutan dari pihak luar, sehingga ruang gerak mereka sangat terbatas dan tidak
banyak memiliki peluang untuk melakukan perhitungan untung-rugi. Tujuan
utamanya adalah “dahulukan selamat” (safety first). Inilah yang kemudian
memunculkan pengaturan tehnis, sosial, dan moral dalam tatanan masyarakat
agraris pra-kapitalis (Scott, 1981; 7).
Berkaitan dengan institusi pasar, Scott berpendapat bahwa ekonomi moral
petani digambarkan sebagai rasa senang terlibat dalam ekonomi pasar, asalkan
7
Peneliti disini cenderung menggunakan terminologinya Putra (2003; 23) yang melihat akan lebih
tepat penggunaan istilah ekonomi moral dari pada istilah moral ekonomi. Sesungguhnya, terdapat
kekeliruan dalam menterjemahkan konsep yang diperkenalkan Scott (1981) dalam bukunya The Moral
Economy of Peasent” . Buku tersebut bila di Indonesiakan seharusnya menjadi ‘Ekonomi Moral
Petani’, bukan ‘Moral Ekonomi Petani’. Kekeliruan ini ternyata berlansung hingga sekarang, bahkan
mungkin sama sekali tidak diketahui (?) Hingga sekarang terminologi yang populer di kalangan
ilmuwan sosial adalah ‘Moral Ekonomi’. Padahal dalam moral ekonomi, yang menjadi fokus adalah
aspek moralnya. Sedangkan dalam konteks ekonomi moral, penekanannya ada pada aspek ekonomi
(lihat, Ahimsa Putra (2003; 26) dalam bukunya “Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri
Kecil Di Jawa”, Kepel Press, Yogyakarta. Memang, dalam melakukan tindakan ekonomi, aktor
merasa perlu mengembangkan norma-norma sendiri di luar konteks dominasi tindakan yang berada di
luar komunitasnya. Jadi tindakan ekonomi yang mempertimbangkan kewajiban moral sebagai wujud
dari kesadaran individu dalam mempertahankan dirinya adalah bahagian dari komunitasnya.
42
mereka merasa aman dalam melakukannya. Artinya, pertama, petani ingin
mengkombinasikan usaha-usaha pertanian subsistensi dengan produksi untuk
pasar. Kedua, petani akan terlibat dalam pasar apabila kesuksessan ekonomi
mereka tidak ditentukan dan tergantung pada pasar (Effendi, 2001; 68). Bahkan
Hayami dan Kikuchi (1981; 22-23) juga melihat bahwa petani tradisional telah
memandang pasar sebagai institusi yang menguntungkan dari pada institusi nonpasar.
Menurut penganut ekonomi moral, pasar merupakan tempat perlindungan
terakhir bagi petani, sebab pasar dipandang kurang memberikan kepastian dalam
memenuhi kebutuhan subsistensi dibandingkan institusi lainnya (Putra, 2003). Jadi
ekonomi pasar (pasar kapitalis) dianggap telah menghancurkan institusi-institusi
tradisional. Di satu sisi, pasar sesungguhnya telah menghubungkan sejumlah
komunitas yang letaknya terpencar-pencar seperti lingkaran dimana pasar sebagai
pusatnya (Wolf, 1983).
Hadirnya ekonomi kapitalistik dalam kehidupan petani atau masyarakat
pedesaan, menurut kaum ekonomi moral akan mengancam tatanan kehidupan desa
yang komunal, yang mampu memberikan jaminan subsistensi (Putra, 2003). Petani
akan berbondong-bondong memasuki pasar dan menjual tenaga kerja, karena
adanya kekuatan luar yang memaksa (Scott, 1981). Namun ini dibantah oleh Popkin
(1989), yang menganggap pasar bagi petani di pedesaan bukanlah suatu ancaman,
tetapi suatu peluang yang menjadikan produk mereka dapat dijual dengan harga
yang lebih baik dan pasar mampu menyediakan bahan pangan sepanjang waktu.
Dalam kaitannya dengan kajian ini, inti dari pendekatan ekonomi moral
adalah menempatkan nilai-nilai sosial sebagai faktor yang berpengaruh dalam
sistem ekonomi; bahwa perilaku ekonomi masyarakat diatur oleh moralitas tertentu.
Seperti masyarakat petani di pedesaan dikenal dengan etika subsistensi (Scott,
1981), sedangkan pendekatan ekonomi rasional menempatkan perhitungan untung
rugi di dalam setiap tindakan ekonominya. Artinya petani tradisional didominasi oleh
tindakan dan prinsip-prinsip rasional, yang hasilnya akan memberi manfaat secara
individu ataupun sosial (Popkin, 1989). Berbeda dengan Scott, dalam pandangannya
Popkin jelas terlihat mengutamakan perilaku individu yang lebih jeli melihat
kesempatan. Studi ini ingin mengungkapkan ekonomi moral, nilai-nilai sosial yang
mempengaruhi pemasaran dan pasar sebagai marketplace dan berbagai gejala
43
yang turut mempengaruhi jaringan kerja yang terbentuk dalam aktivitas ekonomi
aktor.
Pasar—dari kacamata sosiologi—merupakan institusi sosial yang berisikan
norma-norma dan sanksi-sanksi dan dibentuk melalui interaksi sosial. Pedagang dan
petani memiliki posisi penting dalam interaksi pasar. Aktivitas mereka dapat
memperkuat ekspansi pasar, atau sebaliknya ekspansi pasar dapat mengarahkan
perdagangan. Oleh karena itu terjadi saling mempengaruhi antara ke dua belah
pihak di pasar (Nugroho, 2001; 30).
Menyimak dan memahami pembahasan berbagai wacana persoalan pasar,
pemasaran, tindakan/perilaku ekonomi dan perspektif sistem nilai budaya dalam
pemahaman/sudut pandang sosiologi, nampaknya persoalan pasar, pemasaran dan
tindakan ekonomi yang cenderung “melekat” dalam
sistem nilai budaya/norma-
norma yang dimilikinya atau melekat pada ekonomi moralnya sendiri (yaitu ekonomi
moral pedagang dan ekonomi moral petani), sehigga aktor dihadapkan pada
persoalan yang sangat dilematis, dan ini membuat aktor ekonomi harus mencari
solusi atau mengembangkan norma-norma tersendiri--di luar kekuatan yang
mendominasinya--demi kelangsungan aktivitas mereka dan keberadaannya sebagai
bagian dari komunitasnya sendiri .
Dari sudut perspektif sosiologi ekonomi, konsep ekonomi moral, pertamakali
diperkenalkan oleh Evers dan Schrader (1994; cf. Damsar, 1997), yang dimunculkan
dalam karyanya “the Moral Economy of Trade”. Sejalan dengan apa yang dikatakan
Scott tentang ekonomi moral petani, Ever juga memandang bahwa munculnya
ekonomi moral pada para pedagang juga dikarenakan mereka dalam melakukan
tindakan ekonomi mengalami “dilema”. Persoalan dilematis muncul dalam diri para
pedagang, di saat mereka dihadapkan pada pilihan antara kewajiban moral untuk
berbagi hasil dengan tetangga dan kerabat-kerabatnya, di sisi lain ada kewajiban
untuk mengakumulasi modal dan barang (Evers, 1994; cf. Damsar, 1997; 91 dan
Effendi, 2001; 68).
Dikatakan, ada sejumlah persoalan mendasar yang dihadapi para pedagang
, yang melatarbelakangi mereka harus menciptakan ekonomi moral, yaitu: 1)
pedagang mungkin harus membeli berbagai komoditas dari petani
yang masuk
anggota komuniti mereka sendiri, tetapi kemudian harus menjualnya kepada pihakpihak lain di luar komunitas mereka (diluar desa mereka). Di desa mereka sendiri,
44
harga-harga dipengaruhi oleh suatu ekonomi moral. 2) di luar desanya, pedagang
dihadapkan pada tuntutan anonim yang sering bersifat anarkhis dan berasal dari
pasar terbuka dengan fluktuasi harga yang liar. Pedagang cenderung terjebak dalam
situasi ini (Damsar, 1997; 90-91).
Menghadapi dilema tersebut, para pedagang dalam masyarakat petani
menurut Evers (1994; cf. Damsar, 1997, 2005 dan Effendi, 2001)), ada lima solusi
yang berbeda yang bisa dilakukan para pedagang yaitu: 1) migrasi dan Imigrasi
pedagang minoritas; 2) pembentukan kelompok-kelompok etnis atau religius; 3)
akumulasi status kehormatan (modal sosial) dan modal budaya; 4) munculnya
perdagangan kecil dengan ciri “ada uang ada barang”; 5) dipersonalisasi
(disembedding) dalam relasi-relasi ekonomi 8 .
Untuk aras makro, ekonomi moral juga memiliki korelasi dengan sepak
terjangnya
kelompok
bisnis.
Sebagai
suatu
variabel,
ekonomi
moral
dioperasionalisasikan untuk memahami level tertentu dari pelaku-pelaku bisnis
(Granovetter, 1994). Namun Granovetter melihat bahwa eksistensi ekonomi moral
dalam kelompok bisnis kelihatannya mengikuti pola substansial dari solidaritas dan
kohesi internal yang harus memasukkan ikatan horizontal yang kuat dan perlu/tidak
perlu diiringi oleh koordinasi vertikal yang kuat (Effendi, 2001, cf. Granovetter,1992;
233-257; 1994; 470).
2.8. Pasar Nagari Di Minangkabau: Nexus Lokal-Supra Lokal
Masyarakat Minangkabau dalam tatanan sebuah nagari yang memiliki
otonomi yang luas dalam sistem pemerintahan, ekonomi dan sosial kultural. Nagari
adalah kesatuan sosial utama yang dominan dan menjadi ciri khas masyarakat
Minangkabau. Nagari juga merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang
otonom, sehingga dianggap sebagai sebuah “republik-republik kecil” (Manan, 1995).
Lazimnya sebuah nagari di Minangkabau harus memiliki diantaranya :
1. Terdiri dari paling kurang empat himpunan suku, yakni: Suku Koto, Piliang, Bodi
dan Caniago, yang kemudian berkembang menjadi 10 s/d 15 buah suku dalan
8
Untuk jelasnya lima solusi yang diajukan Evers (1994) sebagai jalan keluar bagi pedagang dalam
menghadapi dilema antara kewajiban moralnya dengan tujuan untuk akumulasi modal bagi pedagang
itu sendiri, baca Evers dan Schrader, 1994. The moral economy of trade; Ethnicity and developing
markets, cf. Damsar, 1997; 90-100; dan Effendi, 2001; 68-69.
45
suatu nagari. Biasanya nagari yang berbelahan ditandai dengan hubungan
kepala sukunya, sehingga adalah wajar jika sebuah nagari merupakan
pengembangan dari nagari asalnya.
2. Memiliki mesjid tempat ibadah dan balai adat tempat bersidang; keduanya selalu
di pusat nagari.
3. Memiliki pasar (disebut “balai” atau “pakan”) tempat penduduk memperoleh
kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. Disamping itu juga berfungsi sebagai
tempat memasarkan hasil pertanian masyarakat nagari. Nama pasar atau pakan
setiap nagari tergantung pada hari keramaian pasar/pakan. Seperti pakan Rabaa
(Pasar Rabu), Pakan Akaik (Pasar Minggu), atau Balai Jumaik (Pasar Jum’at)
dan lain-lain (Mestika, 1983). Setiap balai/pakan berbeda hari keramaiannya
dengan maksud untuk memudahkan penduduk dalam melakukan aktivitas
pertukaran dalam satu minggu tersebut.
4. Memiliki Labuah (jalan raya), sarana olah raga atau lapangan bermain bagi anak
nagari.
5. Terakhir, sebuah nagari selalu memiliki tempat pemandian umum. Namun yang
terakhir ini untuk perkembangan saat ini sudah mulai sepi dari pengunjung yang
akan mandi, ini sesuai dengan kemajuan dalam sanitasi dan berkembangnya
proyek-proyek air bersih sampai ke desa-desa. Meskipun demikian lokasi
pemandian umum ini masih tetap dipertahankan oleh sebagian warga taratak
dan koto dalam nagari (lebih rincinya ciri-ciri sebuah nagari di Minangkabau, lihat
Oki, 1977).
Pasar nagari merupakan sub-bagian dari kelembagaan ekonomi masyarakat
nagari yang berfungsi sebagai market association and consumers societies, or
producers co-ops (Osmet, et al. 1994; 133) yang telah tumbuh dan berkembang
sepanjang sejarah, bersamaan dengan kehadiran sebuah nagari. Pasar nagari
merupakan salah satu institusi ekonomi masyarakat nagari yang tidak saja
mendatangkan pendapatan bagi kas pemerintahan nagari melalui pungutan pajak
pasar, uang pasar, dan pajak bantai (pajak pemotongan hewan/daging) (Oki, 1977;
21), tetapi juga lebih berfungsi sebagai tempat pemasaran produk pertanian
masyarakat nagari; yang telah terbukti baik sebelum masuknya Belanda ataupun
sesudah Belanda menerapkan Sistem Pengaturan Perdagangan Kopi sejak tahun
1847. Pasar nagari tetap memiliki peran sangat menentukan dalam menghidupkan
46
gerak roda perekonomian masyarakat nagari, sehingga pada gilirannya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari.
Pada saat pemerintahan kolonial Belanda menerapkan kebijakan Tanam
Paksa Kopi (The Coffee Cultivation System) tahun 1847 (Graves, 1981; 60), wilayah
Minangkabau umumnya dan nagari-nagari yang perekonomiannya berbasis
pertanian perkebunan seperti kopi, merica, kayu manis dan tembakau, yang pada
umumnya terletak di dataran tinggi seperti di lereng gunung Merapi, Singgalang dan
gunung Sago. Juga seperti halnya kabupaten Tanah Datar (dengan nagarinya
Salimpaung, Rao-Rao, Supayang, Tabek Patah dan Tanjung Alam, kabupaten 50
Kota (dengan nagarinya Halaban, Suliki, Guguak, dan Sari Lamak, di kabupaten
Agam (dengan nagarinya Matur, Maninjau, Palembayan dan Baso) semua nagari
tersebut
merupakan
pusat
perdagangan
bagi
tanaman
perkebunan
yang
dibudidayakan Belanda (Dobbin, 1992 dan Mestika, 1983). Maka dalam hal ini pasar
nagari sangat ramai dan merupakan gudang-gudang pengumpulan sementara bagi
Belanda, setelah dibeli dari petani, dan pedagang setempat untuk diangkut dan
dimuat ke Padang maupun ke Sungai Siak dan Kampar guna diekspor (Graves,
1981, Dobbin, 1992, dan Zed, 1983).
Ternyata dalam perjalanan sejarahnya, pemanfaatan pasar nagari disamping
telah memacu produksi tanaman perkebunan rakyat, pada dasarnya nagari-nagari
yang terletak di dataran tinggi ini—yang merupakan daerah Darek Minangkabau—
juga telah diperkenalkan pada pola perekonomian global, yang terlibat langsung
dengan kegiatan ekspor Belanda. Tentu saja kesejahteraan masyarakatnya jauh
lebih baik dari dataran rendah yang tidak cocok untuk tanaman perkebunan ini.
Dengan demikian terlihat bahwa masyarakat Minangkabau pada abad ke-19
telah terlibat langsung dengan mekanisme ekonomi global saat itu-- melalui pasar
lokal (pasar nagari). Konsekwensinya secara bersamaan tiga cara produksi (mode
of production) hadir sekaligus dengan cara dan orientasi yang berbeda. yaitu cara
produksi subsistensi, petty commodity, dan cara produksi kapitalis9 .
9
Produksi subsistensi terlihat dari cara produksi (mode of production) hasil pertanian tanaman pangan
dengan hubungan produksi yang terbatas dalam lingkup keluarga inti dan hubungan keluarga yang
bersifat egaliter. Petty commodity dimaksudkan sebagai cara produksi yang sudah berorientasi pasar
dengan hubungan produksi telah menunjukkan adanya gejala eksploitasi surplus melalui ikatan
kekerabatan dan hubungan sosial antar pekerja. Cara Produksi kapitalis dimaksudkan sebagai usaha
yang padat modal dengan orientasi pasar, dimana hubungan produksi mencakup struktur majikan-
47
Satu hal yang menarik adalah dengan semakin besarnya peranan pasar
nagari sebagai akibat keterlibatannya sebagai tempat penyimpanan/pengumpulan
hasil perkebunan untuk komoditi ekspor Belanda ini, ternyata telah menciptakan
berbagai jenis pekerjaan baru bagi penduduk setempat seperti; tukang angkat, toke,
tukang sortir/pungut, juru timbang (karani), juru tulis gudang dan lain sebagainya
(Zed, 1983).
Para pelaku perdagangan di pasar nagari disamping pedagang asing; seperti
Belanda dan Cina yang memiliki gudang, juga ada petani dan pedagang lokal
(pedagang perantara). Pada mulanya hasil pertanian rakyat dijual oleh petani ke
pasar kepada para pedagang lokal (toke), baru kemudian para pedagang lokal
menjualnya ke gudang-gudang Belanda dan China yang ada di Sungai Tarab,
Tanah Datar dan kemudian dengan sistem perdagangan beranting dibawa ke para
pialang pantai di Pariaman, Padang dan Tiku, untuk selanjutnya dibeli oleh para
pedagang asing, seperti pedagang Belanda, India dan Cina (Dobbin, 1992, Graves,
1981; 55). Kehadiran gudang penyimpanan ini justru telah merubah keberfungsian
pasar nagari dalam memacu produksi tanaman perkebunan rakyat saat itu.
Artinya secara sosiologis historis, pemanfaatan pasar nagari di samping telah
memacu produksi tanaman perkebunan rakyat, terutama di daerah yang terletak di
dataran tinggi, juga telah memperkenalkan dan melibatkan rakyat dan pasar nagari
dalam perekonomian global. Sebagaimana yang diungkapkan Dobbin (1992), untuk
pertama kalinya sebagai akibat sifat internasional perdagangan lada dan komodoti
pertanian lainnya, dan perannya dalam ekonomi internasional, mengakibatkan
pelabuhan-pelabuhan Minangkabau jatuh ditangan orang asing dan suatu sistem
monopoli dipaksakan hanya terhadap tanaman yang cash-crop. Juga dikatakan
bahwa dengan semakin meningkatnya permintaan akan komoditi hasil pertanian
Minangkabau di pasaran internasional, orang-orang Inggris mendorong pedagangpedagang Agam untuk membawa akasia (sebutan untuk kayu manis saat itu) ke
pelabuhan. Akibatnya pada tahun 1760, terjadi ledakan permintaan akasia
Minangkabau, dipasaran Eropa terutama di kota London. Dan pada tahun 1762,
buruh atau hubungan dalam bentuk owner dan laborer. (Lebih jauh lihat Khan (1980), bandingkan
dengan temuan Sitorus (2004). Bandingkan juga dengan Nugroho (2001; 23) yang melihat telah
terjadinya rasionalisasi dalam kehidupan ekonomi yang menempatkan semangat “cost-benefit
calculation” sebagai landasan utama berperilaku. Ini dikatakan sebagai sesuatu yang berubah dari cara
produksi subsistensi yang berorientasi ‘kecukupan’.
48
akasia dinyatakan sebagai tanaman monopoli kompeni, dan dicari sampai ke Kerinci
Selatan dan Tapanuli Utara (Dobbin, 1992).
Namun bila dilihat dari segi harga yang ditetapkan terhadap hasil komodoti
pertanian ini, seperti akasia, kopi, lada dan gambir, saat itu (sekitar abad ke-17
hingga abad ke-19) terlihat sangat dipengaruhi oleh: jumlah barang yang tersedia,
kondisi keamanan pada jalur perdagangan di daerah pedalaman Minangkabau
sampai ke daerah pelabuhan, dan jumlah pedagang asing yang terlibat dalam
transaksi atau jumlah pedagang asing yang datang ke pantai. Semakin banyak
pedagang asing yang berlabuh maka posisi tawar para pialang 10 dan pedagang
perantara di pedalaman semakin tinggi, ini jelas berimplikasi pada meningkatnya
harga komoditi pertanian di tingkat petani.
Selanjutnya, dengan semakin besarnya peran pasar nagari sebagai akibat
keterlibatan pasar sebagai gudang (tempat) pengumpulan komoditi ekspor (oleh
Belanda), selain telah menciptakan berbagai jenis pekerjaan sebagaimana yang
diungkapkan di atas, juga membuat pasar nagari semakin memperlihatkan fungsinya
sebagai; 1) tempat menjual hasil pertanian masyarakat nagari dan sebagai tempat
untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari; 2) sebagai media interaksi sosial yang
sangat efektif bagi masyarakat nagari sehingga dapat dikatakan hari “pakan” adalah
sebagai
tempat berlangsungnya
“pesta” ekonomi anak nagari dan masyarakat
sekitarnya (Effendi, 1999).
Pada saat sekarang dengan semakin tingginya mobilitas masyarakat nagari,
dalam arti semakin “berkembangnya” sistem pemasaran produk pertanian masyarakat
nagari, dan semakin lengkapnya infrastruktur perekonomian pedesaan, kelihatannya
peranan pasar nagari juga mengalami perubahan yang bergerak mengikuti denyut
perekonomian nagari. Artinya, terjadi perubahan fungsi dan peranan pasar nagari, yang
10
Pialang, adalah sebutan untuk para pedagang perantara yang biasanya berdomisili di pantai, dan
selain sebagai pedagang dalam skala besar dan sebagai perantara antara pedagang pedalaman dengan
pedagang asing, mereka juga dikenal sebagai importir yang memasok kebutuhan masyarakat
Minangkabau akan kain yang berasal dari India, Cina, Inggris, Perancis dan Belanda. Biasanya mereka
ini adalah juga sebagai penghulu di kaumnya, dan juga dianggap oleh Belanda sebagai pengendali dan
penentu dalam perdagangan dari pedalaman hingga ke pantai (Untuk mengetahui bagaimana
keterlibatan pasar di Minangkabau dalam perdagangan internasional dan bagaimana pasar
mengintegrasikan berbagai zona ekologi Minangkabau yang berbeda ke dalam pranata pasar, serta
bagaimana keterlibatan kekuasaan dan pedagang perantara di dalam sistem pasar yang selalu berubah
dari waktu ke waktu karena berubahnya permintaan konsumen internasional, baca Dobbin, 1992.
“Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah; Sumatera Tengah, 1784-1847, Seri
INIS, Jilid XII, INIS, Jakarta.
49
semula secara tradisional sebagai wadah penyaluran output dan input pertanian atau
sebagai satu-satunya “outlet” bagi pendistribusian produk pertanian masyarakat nagari,
di samping sebagai tempat, media interaksi sosial yang sangat efektif. Faktanya,
sekarang ini fungsi dan peran pasar nagari telah mengalami perubahan. Pasar nagari
sekarang ini telah sepi dari produk pertanian, rakyat terutama dalam skala yang besar.
Ini ditandai dengan kondisi pasar nagari yang hanya cenderung dijadikan sebagai
“outlet” memasarkan produk-produk pertanian dalam skala kecil, sedangkan transaksi
dalam jumlah yang besar tidak lagi terlihat. Apakah fenomena ini juga berlaku untuk
pemasaran kayu manis? Mungkinkah telah terjadi “permainan aspek ruang dan aspek
waktu”11
oleh aktor ekonomi? Bagaimana ekonomi moral pedagang yang
sesungguhnya. Tentunya ini perlu untuk ditelusuri. Berbicara tentang konteks ekonomi
moral
12
berarti yang harus dilihat adalah:
1. Derajat/tingkat solidaritas dan sistem/orientasi nilai yang dibentuk di antara aktor
yang melakukan tindakan ekonomi (yang melakukan pertukaran).
2.
Social relationship yang terbentuk antara pedagang dengan petani dan antar
sesama pedagang, baik secara horizontal maupun secara vertikal.
3. Jaringan kerja (networking) sosial personal yang dibentuk di antara para aktor yang
terlibat dalam tindakan ekonomi (pertukaran).
4. Hubungan kekerabatan mempengaruhi proses
tawar-menawar,
pertukaran,
pemasaran dan proses pembentukan harga di tingkat petani maupun antar sesama
pedagang.
5. Ikatan horizontal dan koordinasi vertikal di tingkat lokal dan supra lokal dan relasinya
dengan ekonomi moral aktor.
Sejauh ini kajian terhadap perilaku aktor di pasar, proses transaksi atau
pemasaran (para pedagang) masih merupakan kajian yang termarginal. Padahal
11
Bagaimana “permainan aspek ruang dan aspek waktu” pada aktivitas ekonomi di pedesaan, lihat
Damsar (1997; 122-127).
12
Dalam membahas ekonomi moral, Scoot (1994), Evers (1994), Damsar (1997 dan 1998) lebih
banyak berbicara sekitar persoalan orientasi nilai, jaringan kerja, terbentuknya harga, saling hubungan
sosial. Sementara Etzioni (1988), mengemukakan ada dimensi moral dalam tindakan ekonomi dalam
arti ndividu mampu bertindak rasional, mendahulukan diri atau “aku” mereka, tetapi kemampuan
mereka untuk berbuat demikian sangat dipengaruhi oleh sejauh mana mereka tertanam di dalam
komunitas tersebut dan didukung oleh keteguhan moral dan fondasi personal yang emotif. Etzioni
lebih menekankan bahwa dalam melakukan tindakan ekonomi, manusia memiliki komitmen moral
tertentu dan mengaggap pertimbangan moral lebih penting dari pada keinginannya/petimbangan logisempiris.
50
mereka adalah pelaku utama dari proses ekonomi pasar yang memiliki andil besar
dalam proses transformasi ekonomi tradisional pedesaan yang indigenous ke bentuk
ekonomi pasar yang berorientasi cash-crops dan profit oriented.
2.9. Beberapa Studi Tentang Pasar dan Posisi Penelitian Diantara Penelitian
Terdahulu
Studi tentang pasar dan pemasaran pada saat sekarang ini belum begitu
banyak mendapat perhatian di dalam kajian sosiologi. Dapat dikatakan kajian
tentang pasar dalam perjalanannya—termasuk di Indonesia--hingga sekarang masih
didominasi oleh ilmu ekonomi. Akan tetapi dalam kajian sosiologi-- sekalipun masih
sedikit—sudah mulai menjadi perhatian kembali. Bidang kajian yang relatif baru ini,
sebetulnya bila dirunut kebelakang, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya
kajian tentang pasar sudah dirintis oleh Simmel (1907, 1977, 1950 dalam
Swedberg, 1994) yang lebih menekankan perhatiannya pada peranan uang sebagai
alat pertukaran di pasar, di dalam masyarakat modern. Simmel melihat bahwa uang
adalah sebagai instrumen yang bebas dari motif-motif subyektif karena nilai
kuantitatif yang terkandung di dalamnya. Di dalam karyanya
“The philosophi of
Money”, Simmel mengemukakan sejumlah proposisi yang kemudian dikenal dengan
prinsip-prinsip pertukaran. Bagi Simmel penggunaan uang dalam transaksi sosialekonomi telah menciptakan hubungan-hubungan sosial yang berjarak, artinya
menjadi impersonal dan obyektif dan bersifat aritmatik. Dengan uang individu dapat
membebaskan diri dari berbagai kewajiban sosial dan kewajiban sosial itu dapat
diuangkan dalam hitungan satuan uang tersebut (Simmel, 1977 dalam Nugroho,
2001, Turner, 1998; 258-260 ).
Selanjutnya,
Weber
(dalam
Nugroho,
2001),
sebagaimana
telah
dikemukakan pada sub bab terdahulu juga telah memperlihatkan perhatian yang
sangat besar terhadap kajian tentang pasar. Dalam kaitannya dengan uang, Weber
berpendapat bahwa uang dapat dijadikan sebagai “entry point” untuk memahami
proses rasional dalam masyarakat. Uang tidak hanya memiliki kapasitas
pengkalkulasian secara abstrak suatu obyek, tetapi juga sebagai suatu instrumen
yang impersonal. Uang adalah sarana yang paling akurat untuk transaksi dan
interaksi sosial-ekonomi.
51
Weber juga memperlihatkan ketertarikkannya terhadap pasar yakni dengan
meneliti
tentang
pasar
bursa
(Swedberg,
1994).
Hasil
penelitian
Weber
memperlihatkan ketertarikkannya pada bentuk spekulasi dan bagaimana pasar
bursa telah diorganisir di dalam cara yang berbeda, pada tempat yang berbeda,
ditemukan bahwa pasar bursa yang berada di New York dan London, telah
diorganisir secara eksklusif, sedangkan pasar bursa yang berada di Paris,
diorganisir secara demokratis. Weber juga menemukan adanya dimensi politis dari
bursa saham, ada makna kekuasaan di dalam perjuangan ekonomi (antar negara).
Weber sampai pada kesimpulan bahwa, pasar akan lebih rasional bila ia semakin
sedikit diatur secara formal dan derajad tertinggi dari “kebebasan pasar” atau
“rasionalitas pasar” di capai di dalam masyarakat kapitalistik, dimana unsur-unsur
yang paling tidak logis telah disingkirkan (Weber, 1964, 1978; Swedberg, 1994,
2002).
Studi berikutnya dilakukan oleh Polanyi, dalam karyanya yang sangat
terkenal “The Great Transformation” (1944, 1957; Damsar, 1977) dalam dimensi
yang berbeda--dan lebih diarahkan pada kelahiran dan perkembangan masyarakat
yang didominasi oleh pasar—menjelaskan bahwa pasar telah mengalami evolusi.
Dalam karyanya ini, Polanyi menggunakan perdagangan dan pasar sebagai konsepkonsep pokok teorinya tentang “transformasi Pasar”. Dengan membedakan antara
perilaku reciprocity, redistribusi dan tukar menukar di pasar, yang ketiganya adalah
merupakan “transformasi besar” yang terjadi selama revolusi industri di Eropa
(Inggris). Proses penyebaran bentuk pertukaran yang terakhir (tukar-menukar di
pasar) dikatakan adalah merupakan bentuk atau ciri khas dalam ekonomi kapitalis
modern, dan kemudian menjadi menyebar keseluruh dunia dan telah menimbulkan
“pencabutan” atau pemisahan hubungan timbal balik baik hubungan sosial maupun
hubungan ekonomi pada daerah-daerah yang disebarinya (Evers, 1988, 1994).
Selanjutnya, perhatian terhadap pasar dan tindakan ekonomi diberikan oleh
Parsons (1932, 1949, Savage, 1978; dan 1956, Damsar, 1997), yang melihat
bahwa tindakan ekonomi adalah merupakan totalitas khusus dari sebuah subsistem
yang merupakan bahagian dari sebuah sistem yang lebih besar (sistem sosial). Jadi
pada dasarnya Parsons melihat sistem ekonomi merupakan bahagian dari sistem
sosial secara keseluruhan. Sedangkan posisi tindakan ekonomi adalah sebagai
sebuah sub sistem, yang didalamnya memiliki empat unsur fungsional yang
52
imperatif. Ke empat unsur fungsional itu adalah: Adaptasi (A), Pencapaian tujuan
(G), Pola-pola pemeliharaan laten /Pengelolaan (L), dan Integratif (I). Konsep
Parsons tentang saling hubungan ekonomi dan non-ekonomi dipandang sebagai
suatu cara yang membangun formula yang baik tentang struktur masyarakat.
Ekonomi adalah sub sistem utamanya yang fokus pada empat fungsional imperatif.
Menurut Parsons, keempat sub sistem fungsional yang imperatif tersebut cenderung
bergerak ke arah keseimbangan. Bila terjadi kekacauan norma-norma, maka sistem
akan mengadakan penyesuaian dan mencoba kembali ke keadaan normal. Teori
Parsons tentang ekonomi ini adalah sebuah usaha untuk mengelaborasi secara
teoritis untuk menerima saling hubungan ekonomi dan non-ekonomi dengan
pemahaman atas: diferensiasi struktural dan subsistem fungsional.
Sekalipun
Parsons
telah
berusaha
memperlihatkan
bahwa
bahasan
persoalan ekonomi dan sosial itu bisa di integrasikan dalam suatu cara yang
dianggap berhasil, namun pandangan Parsons ini mendapat kritikan yang tajam dari
Savage (1978) yang mengganggap bahwa konsep Parsons tentang sosiologi
ekonomi termasuk salah satu konsep yang membingungkan atau mengganggu
bahkan secara teoritis tidak layak, terutama tentang : 1) differensiasi struktural; 2)
direction cultural. Susah untuk mencari ciri khusus dari teori ekonomi struktural
fungsional Parsons ini 13 .
Berikutnya, sepanjang tahun 1950-an hingga awal tahun 1970, dikatakan
hampir tidak ditemukan kajian sosiologi tentang pasar. Para sosiolog mulai tertarik
kembali untuk mempelajari pasar diawali dengan munculnya gagasan Polanyi
tentang pasar, yang kemudian telah mendorong suatu debat panjang di dalam kajian
antropologi, sosiologi dan sejarah. Kemudian dengan munculnya essei Bernard
Barber yang berjudul “Obsolutization of the Market”. Kemudian muncul sejumlah
studi tentang pasar yang melihat dari berbagai aspek, seperti, antara lain munculnya
karya Granovetter (1974); Wallerstein (1974); DiMagio (1977, 1978); Ronald Burt
(1982, 1983); Zelizer, (1979); Horison White (1981); Powell (1990); Wayne Baker
(1984), Evers (1994) Etzioni (1988), Nugroho (1993) Damsar (1998), dan Effendi
13
Savage dalam Hindess (1978) dengan panjang lebar berusaha mengulas teori struktural fungsional
ekonomi Parsons. Bahkan hampir setiap halaman Hindess memberikan komentarnya seputar ketidak
konsistenan Parsons dalam memposisikan dirinya. Malah dikatakan Parsons telah semakin
mengaburkan. Bagaimana pemikiran Parsons tentang ekonomi secara detail, lihat Savage (1978).
Talcott Parsons and the structural – functionalist theory of the economy.
53
(1999); sejumlah studi yang dilakukan oleh kaum Austrian-Weberian, seperti Hayek,
Mises, Storr, Boettke dan lainnya, dan sebagian dari temuan mereka sudah
dijelaskan dalam sub bab terdahulu.
Berikutnya, studi tentang pasar dilakukan oleh kaum Austrian-Weberianyang
menganggap
diri
mereka
sebagai
aliran
ekonomi
Austrian,
namun
menggunakan metode verstehennya Weber. Aliran ini mencoba untuk melihat
persoalan ekonomi (pasar) dengan penekanan pada tindakan ekonomi, politik dan
masyarakat dan saling hubungan diantara ke tiganya. Aliran ini termasuk aliran
yang menentang asumsi-asumsi teori ekonomi standar. Dalam pandangan ekonomi
Neo-Austrian Weberian (Austrian School), melihat pasar sebagai sebuah proses.
Artinya, pasar adalah suatu proses yang digerakkan oleh tindakan individu yang
saling mempengaruhi, dan bekerja sama di bawah pembagian kerja (Mises, 1949
dalam Swedberg, 1994). Dalam aliran ini pasar juga dikatakan terdiri atas suatu
jaringan dari sejumlah interrelasi ekonomi yang dijalin (Hayek, 1976 dalam
Swedberg).
Sebagai seorang ekonom Neo-Austrian Weberian, Chamlee-Wright (2000),
melakukan studi tentang “Market Woman” di Zimbabwe dan Ghana, yang ingin
melihat tentang saling hubungan yang kompleks antara politik, masyarakat dan
ekonomi,
dengan
mengembangkan
dan
berhasil
merangkul
konsep
“embeddedness” yang kemudian mampu memberikan informasi yang kaya tentang
analisis “embededdness” bagi “market women” di Zimbabwe dan Ghana. ditemukan
bahwa hambatan sosial-ekonomi, budaya, politik telah menyebabkan entrepreneur
perempuan susah untuk berkembang, dan bahkan sama sekali tidak memberi
tempat bagi perempuan untuk berhasil di kota Harare. Dikatakan bahwa di
Zimbabwe, diantara orang-orang Shona yang diteliti, adalah masih umum bagi si
pelamar laki-laki untuk menawarkan keluarga bakal calon istrinya pada “Labola”,
yaitu untuk membayar harga diri: “calon suami diharapkan untuk memberikan
pengorbanan yang berarti untuk keluarga calon istrinya. Secara tradisional, sebuah
perkawinan masyarakat Shona ditempatkan dalam suatu proses yang panjang
Besar kecilnya hadiah yang diberikan mengindikasikan derajad perhatiannya,
kemudian diikuti oleh pembayaran/pemberian dalam bentuk ternak lembu, dalam
rangka untuk memperoleh hak seksual dan terakhir hak untuk kebanggaan
tambahan tenaga kerja sebagaimana si istri bergerak ke rumah suaminya”. Budaya
54
seperti ini ditemukan secara umum di dalam masyarakat patrilineal di sepanjang
Afrika sub Sahara. Selanjutnya Wright mengemukakan, Karena Implikasi ekonomi
dari perkawinan, bagi keluarga si wanita--tidak seperti matrilineal society dimana
sesudah perkawinan itu sama sekali masih mungkin wanita untuk terus berkontribusi
secara ekonomi pada keluarga dimana ia dilahirkan-- disekitar wilayah Shona,
antara keluarga dan harga diri menjadi hal yang kedua (sekunder) setelah ia
menikah. “Labola” kelihatannya dapat dibayar dalam masyarakat Shona, karenanya
dipandang sebagai suatu kompensasi bagi keluarga wanita untuk kehilangan materi
yang mereka derita sesudah menikah, karena diberikan pada “Labola”. Sehingga
dikatakan bahwa implikasi sosial dan politik dari fenomena yang dikondisikan secara
ekonomi ini adalah amat besar. Otonomi politik dan ekonomi wanita, kapasitasnya
untuk berespon pada penyalahgunaan atau pengabaian oleh suaminya dan kontrol
si wanita atas sumberdaya yang dimilikinya dan anak-anaknya semuanya sangat
ditentukan oleh labola yang dibayar dan membentuk perkawinan mereka. Sehingga
Labola juga bertindak, sebagai penghalang pada perkembangan dinamika kelompok
wanita entrepreneur di Zimbabwe dan Ghana (Wright, 2000 dalam Boettke dan
Storr, 2002).
Peneliti lain adalah yang dilakukan Boettke (2001), yang meneliti tentang
bagaimana ekonomi, politik dan masyarakat adalah “ter-embedded” dalam satu
sama lainnnya. Ini dilakukan pada suatu pengujian tentang enterpreneurship dan
privatisasi yang terjadi di Unisoviet. Dimana pertukaran pasar dan enterpreneurship
ada dalam pemahaman umum melalui periode Unisoviet, dan terus ada pada priode
sesudah Unisoviet bubar. Dari hasil penelitian di temukan bahwa penampilan
ekonomi yang miskin dari masing-masing sistem di Unisoviet atau sesudah
Unisoviet adalah bukan karena kurangnya spirit enterprenurial, tetapi adalah
dikarenakan bentuk aktifitas enterprenurial itu yang sangat erat kaitannya dengan
aspek sosial-kultural, politik legal, yang mengatur kesempatan ekonomi dimana ia
berada.
Problem Rusia sesungguhnya adalah sebuah konsekwensi dari konteks
sosio-kultural dan politik legal yang mengarahkan aktifitas ekonomi. Implikasi dari
argumen ini adalah bahwa ketidakhadiran dari suatu setting kelembagaan yang
dispesifikasi secara tertentu (aturan formal dan norma informal), transaksi yang
55
berlangsung, telah menghasilkan konsekwensi yang menghancurkan (destruktif)
bagi kerjasama yang lebih luas pada masyarakat.
Studi berikutnya, dilakukan oleh Damsar (1998), yang ingin melihat tentang
“pasar loak” di negara Jerman. Damsar memfokuskan kajiannya pada bagaimana
pasar loak dikonstruksi dan bagaimana ia tumbuh. Siapa aktor yang bermain di
pasar loak. Siapa yang mengatur pasar loak. Terakhir yang ingin dilihat adalah
bagaimana pasar loak “melekat” dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Damsar menemukan bahwa ditemukan sejumlah tipe pasar loak yang berbeda yaitu:
municipal
fleamarket,
initiative
market,
dan
commercial
fleamarket,
yang
pembagiannya berdasarkan pada aktor yang terlibat di pasar loak, artinya bentuk
pasar loak di Jerman sangat ditentukan oleh: jenis aktor yang terlibat, tujuan dari
aktor; dan jumlah atau jenis biaya/ongkos yang harus dibayarkan. Damsar juga
menjelaskan dari hasil temuannya bahwa pasar loak di Jerman adalah merupakan
suatu cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan, karena dengan
mengikutsertakannya dalam perdagangan, memeliharanya, dan adanya pasar loak,
Jerma dapat menyelesaikan persoalan tertentu yang berkaitan dengan waktu
senggang, kontak sosial, hobi, sosialisasi dari nilai-nilai Jerman, uang, dan juga
dapat membersihkan barang-barang yang sudah tidak terpakai oleh pemiliknya.
Disimpulkan bahwa pasar loak di Jerman di konstruksi secara budaya yang
mencakup konsep-konsep, naskah-naskah, dan strategi-strategi budaya Jerman
seperti: perspektif tentang waktu luang, romantisme Jerman, gerakan hijau, dan
ekonomi moral (Damsar, 1998, 160-166).
Khusus untuk kasus Indonesia, studi empiris yang berkaitan dengan bidang
kajian sosiologi ekonomi tentang pasar, dilakukan oleh Nugroho (1993 dan 2001), di
komunitas pedesaan Jawa, dan difokuskan pada pasar dalam kaitannya dengan
fenomena uang, rentenir dan hutang piutang. Nugroho lebih menitik beratkan
kajiannya pada fenomena uang sebagai gejala sosiologis yang memiliki dua wajah
yaitu wajah normatif dan wajah pragmatis. Dengan demikian ia dapat melihat
bagaimana persepsi masyarakat tentang uang, dan kemudian bagaimana kaitannya
dengan rentenir yang merupakan bagian dalam masyarakat yang sedang dalam
transisi.
Disamping itu juga dilihat bagaimana institusi hutang piutang dilembagakan,
dimodifikasi sehingga menimbulkan manfaat sosial-ekonomi dalam masyarakat
56
setempat. Akhirnya Nugroho sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi
perubahan “wajah” rentenir yaitu dari “lintah darat” ke “agen pembangunan”, artinya
fungsi rentenir yang selama ini dianggap sebagai “lintah darat” sebagaimana yang
digambarkan oleh masyarakat awam, justru sekarang yang terjadi sebaliknya,
mereka justru menjalankan peran penting dalam masyarakat yaitu sebagai “agen
perkembangan”. Uang yang selama ini dipahami sebagai instrumen pertukaran
ekonomi ternyata sekarang telah dipahami sebagai realitas yang kompleks dan
memiliki multi dimensi yakni, dimensi ekonomi, dimana uang sebagai medium
pertukaran dan instrumen penghitung dalam aktifitas perdagangan dan pinjammeminjam uang. Dimensi sosiologis, dimana uang dipahami sebagai alat untuk
penyelenggaraan ritual, upacara-upacara keagamaan, dan sebagai kompensasi
untuk membebaskan orang dari kewajiban sosial. Dimensi politis, uang digunakan
sebagai alat untuk mempengaruhi orang lain atau untuk menyuap pejabat atau
pihak-pihak tertentu. Dengan demikian monetisasi tidak hanya berakibat pada
realitas ekonomi tetapi juga pada bidang-bidang kehidupan sosial (Nugroho, 2001;
235-251).
Studi berikutnya, dilakukan oleh Effendi (1999), yang melihat pasar di
pedesaan Minangkabau. Kajiannya difokuskan pada fungsi, peran dan sistem dari
pasar di dalam masyarakat Minangkabau. Lebih jauh Effendi mencoba melihat
institusi pasar seperti pasar pedesaan, khususnya dalam komunitas lokal. Studinya
juga melihat transformasi sosial dari komunitas lokal pada level yang lebih luas.
Hasil studi Effendi (1999) memperlihatkan bahwa pasar tidak hanya
berfungsi sebagai tempat pertukaran ekonomi dan telah dilihat sebagai suatu
fenomena sosial. Lebih dari itu, pasar dilihat telah tertransformasi ke dalam prinsip
keputusan untuk bertindak. Sebagai akibatnya Minangkabau sering mengalami
pertentangan prinsip pada saling hubungan sosial dalam kaitannya dengan hukum
adat dan nilai –nilai agama Islam. Minangkabau masih bangga dengan adat dan
kepercayaan yang mereka miliki yang menjadi karakteristik sosial utama mereka dan
rujukan utama bagi moralitas masyarakatnya. Kebanggaan ini untuk beberapa hal
mewakili cara-cara konservatif mereka dalam memelihara identitas etnik mereka.
Selanjutnya, studi tentang pasar, juga dilakukan oleh para antropolog.
Khusus untuk kasus Indonesia, ahli antropologi Barat (Amerika Serikat) seperti
Dewey (1962), telah memunculkannya dengan judul “Peasant Marketing in Java,
57
yang memfokuskan studinya di desa Modjokuto. Dari awal tulisannya Dewey sudah
menekankan bahwa penelitiannya tidak ditujukan pada komunitas secara utuh,
tetapi ditujukan pada tipe aktifitasnya, pertukaran, dan masyarakat yang terlibat di
pasar. Dewey melihat semua masyarakat mengabdi pada sistem pasar yang
merupakan bahagian dari sebuah unit ekonomi dan sistem sosial yang lebih besar.
Dewey menjelaskan pada kita bagaimana satu sama lain individu, atau aktor yang
ada dipasar memainkan peran dan tugas masing-masingnya di pasar. Sebagai
seorang etnografer, Dewey secara detail menjelaskan bagaimana faktor-faktor sosial
sangat berpengaruh pada struktur ekonomi; dengan menjelaskan bahwa struktur
sosial masyarakat Jawa sangat berpengaruh kepada struktur ekonomi yang ada.
Disamping itu Dewey juga menjelaskan bentuk dan pola pertukaran yang ada di
pasar, dan tipe pedagang, persaingan di pasar, skala perdagangan, kemudian
Dewey juga membandingkannya dengan perdagangan atau pasar yang ada di
Malaya (Malaysia), Afrika Barat, dan di Guatemala, terutama dibandingkan dari segi
skala usaha, pelaku dan jenis barang yang diperdagangkan. Dijelaskan kalau di
Malaya, perdagangan dalam skala kecil cenderung dilakukan oleh ibu-ibu di pasar,
namun dari segi waktu, mereka di pasar tidak seharian penuh, hanya bersifat parttime, dan barang yang dibawa adalah barang-barang hasil tanaman kebunnya yang
diangkut dengan bakul. Sedangkan pedagang dengan skala usaha besar, umumnya
dilakukan oleh laki-laki, dengan waktu seharian penuh, dan barang yang dibawa
biasanya dengan mobil atau truk truk besar. Untuk perdagangan tanaman eksport
(cash-crops) hampir semua didominasi oleh penduduk non-pribumi, seperti orang
China, Eropa, atau orang Arab dan India.
Berikutnya, studi Geertz (1963), yang diberi judul “Peddlers and Princes;
Social Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns”. Adalah juga
studi yang mencoba menjelaskan tentang pasar. Hasil studi Geertz ini, lebih bersifat
studi etnografi—yang menggunakan perspektif Weberian dalam memahami aktivitas
ekonomi
dikalangan
santri
di
Jawa
dan
golongan
ningrat
di
Bali--yang
menginformasikan tentang berbagai aktivitas ekonomi pada tingkat lokal di
Indonesia. Studi ini lebih memfokuskan perhatiannya pada kehidupan masyarakat
pedagang dan masyarakat ningrat yang masing-masingnya tinggal di Mojokuto dan
Tabanan. Kedua golongan masyarakat ini meskipun memiliki latar belakang yang
sangat berbeda, tetapi tampak memiliki pola pertumbuhan yang serupa sebagai
58
golongan “entrepreneurs” yang muncul ditengah masyarakat Indonesia yang sedang
menghadapi transisi ke arah modernisasi.
Geertz, selain bermaksud mendeskripsikan tentang perubahan sosial dan
modernisasi ekonomi di dua kota tersebut, juga menjelaskan tentang bagaimana
sikap para pelaku ekonomi (pedagang) dalam sistem ekonomi “bazaar” yang
berkembang di pasar-pasar tradisional—meskipun bersifat tradisional dan mengikuti
adat kebiasaan berdagang dalam masyarakatnya, namun para pedagang (dalam
tipe ekonomi “bazaar”) tetap memiliki perhitungan-perhitungan bisnis, serta
memperhitungkan perubahan yang harus dihadapi yang mengarah pada tipe
ekonomi firma, yang merupakan kegiatan usaha dagang yang bersifat sistematis
pada usaha toko atau perusahaan. Dalam proses perubahan tersebut, Geertz
menyimpulkan bahwa kelompok pelaku usaha yang innovatif dalam kegiatan usaha
dan kepemimpinan ekonomi akan berhasil dalam proses perubahan sosial dan
modernisasi ekonomi. Namun diakui Geertz, meskipun terlihat ada usaha pedagang
untuk membangun ekonomi tipe firma dari tipe ekonomi bazaar, mereka masih
berdagang dalam skala kecil. Akhirnya Geertz sampai pada kesimpulan bahwa
kedua kota memiliki corak yang berbeda bentuk dan sifat pelaku pasar. Kalau di
Tabanan, keraton yang memberi watak pada kota, artinya para bangsawanlah
(Ningrat Brahmana) yang memberikan corak atau pengaruh pada kota, bukan pasar,
sebaliknya di Mojokuto, pasar yang memberi watak atau corak pada kota. Sehingga
muncul kecenderungan ke arah masyarakat yang sangat mementingkan pasar, dan
itu tercermin juga dalam evolusi struktur sosial di Mojokuto.
Dengan nada pesimis Geertz mengungkapkan bahwa sekalipun ada usaha
dari sejumlah pedagang untuk bangkit dan masuk kedalam tipe ekonomi firma
dengan menciptakan pranata-pranata produksi dan distribusi yang lebih efisien,
tetapi mereka hampir tenggelam dalam arus ratusan pedagang kecil (tipe ekonomi
“bazaar”) yang secara kecil-kecilan berusaha mendapatkan nafkah sekedarnya dari
perdagangan tradisional. Mojokuto yang meskipun sibuk, dan ramai, terus bergerak,
“berpandangan ke depan”, namun pada dasarnya tidak dinamis, dan terdampar
diantara warisan masa lalu dan kemungkinan hari esok (Geertz, 1963 dan 1977).
59
2. Kerangka Pemikiran
Sebuah nagari tidak hanya mencerminkan sebuah tatanan masyarakat hukum
adat, tetapi nagari juga mengacu kepada sebuah tatanan ekonomi masyarakat, karena
pada dasarnya nagari memiliki otonomi penuh sebagai sebuah institusi sosial ekonomi
masyarakat (social economic body) (Oki, 1977; 7). Paling kurang ada tiga aspek yang
melekat dalam sebuah nagari sebagai “republik-republik kecil” yakni: 1) nagari sebagai
sebuah sistem sosial-kultural; 2) nagari sebagai sebuah organisasi politik, hukum, dan
kekuasaan; 3) nagari sebagai organisasi ekonomi masyarakat yang juga memiliki aturan
dan norma-norma sendiri, yang berbeda pada setiap nagari (Oki, 1977).
Sebagai sebuah sistem perekonomian masyarakat nagari, kegiatan pasar
menandakan adanya aktivitas perekonomian nagari, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
kekuatan pasar sangat ditentukan oleh sejumlah faktor lingkungan , diantaranya adalah
faktor politik dan yuridis, kekuatan sosio-kultural, dan faktor kekuatan ekonomi.
Kesemua faktor tersebut jelas akan mempengaruhi eksistensi dan perkembangan pasar
selanjutnya. Namun dengan berjalannya waktu, faktanya, pasar nagari yang dahulunya
sangat ramai dan menjadi satu-satunya “outlet” bagi hasil-hasil pertanian masyarakat
nagari, sekarang ini telah mengalami perubahan. ekonomi dunia (global) ternyata
telah mempengaruhi aktivitas, fungsi dan peran pasar nagari sebelumnya. Namun di
satu sisi, untuk pemasaran hasil perkebunan, seperti kayu manis, pasar nagari masih
memperlihatkan kekuatannya. Hal ini ditandai dengan ramainya transaksi kayu manis di
pasar nagari. Dengan demikian, dalam kondisi semakin besarnya kekuatan ekonomi
supra lokal (global) memasuki aktivitas ekonomi masyarakat nagari, semakin jauhnya
monetisme memasuki rumahtangga petani atau masyarakat nagari, akan semakin
berpengaruh terhadap aktivitas “individu” di pasar.
Mengacu pada konsep tindakan ekonomi Weber (tindakan sosial ekonomi)
(1964), dan konsep “embeddedness”nya Granovetter (pemikiran New Economic
Sociology) tindakan ekonomi individu atau aktor di pasar akan dapat ditelusuri. Dalam
kaitannya dengan bagaimana regulasi pasar dibentuk, dan bagaimana jaringan sosial
personal berlangsung di pasar, bagaimana kekuatan, kekuasaan (politik) bermain
didalamnya, konsep Baker (1981 dalam Swedberg, 1994) tentang “pasar sebagai
sebuah jaringan kerja” digunakan. Bagaimana aktor ekonomi mengambil keputusan
dalam melakukan tindakan ekonominya, konsep ekonomi moralnya Evers (1994), akan
mejelaskannya. Sedangkan untuk aspek sosial budaya dan kaitannya dengan tindakan
60
ekonomi aktor di pasar didekati dengan konsep Granovetter 1992, 1994, Swedberg
(1994, 1996, 1998 dan 2002), Holton (1992) dan Hodgson (1998).
Sehubungan dengan persoalan di atas, untuk lebih jelasnya bagaimana konsep
yang dimaksud mampu mengarahkan peneliti dilapangan ada baiknya kita lihat alur pikir
penelitian ini di bawah ini.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Tentang Ketahanan (Persistence) Pasar Nagari
Dalam Ekonomi Dunia (supra lokal)
61
Download