v. perkembangan komposisi anggaran pemerintah

advertisement
V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN
PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN
KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu
instrumen kebijakan fiskal Indonesia. Komposisi APBN menunjukkan arah,
kebijakan dan politik anggaran yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan-tujuan pembangunan. Idealnya komposisi APBN disusun berdasarkan
permasalahan dan tujuan prioritas pembangunan yang sedang dihadapi. Dengan
demikian kebijakan anggaran mampu berperan optimal dalam menstimulus
perekonomian.
Struktur APBN Indonesia mengalami perubahan mendasar sejak tahun
2001. Sebelum tahun 2001, struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk
scrontro yaitu sisi pendapatan negara diletakkan berdampingan dengan sisi
belanja negara. Bentuk ini dikenal dengan istilah T-Account.
Mulai tahun
anggaran 2001 struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk staffel, yaitu
komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom.
Komponen pendapatan di bagian atas, sedangkan komponen bagian belanja
ditempatkan di bawahnya. Selain itu juga terdapat komponen pembiayaan
sehingga dengan format ini dapat terlihat adanya surplus atau defisit anggaran,
serta sumber pembiayaannya dari dalam negeri maupun luar negeri. Bentuk ini
dikenal dengan istilah I-Account. Dalam format baru tersebut juga dilakukan
pengelompokan kembali (reklasifikasi) terhadap pos-pos pendapatan dan belanja
negara sehingga sesuai dengan struktur dan format Goverment Finance Statistics
(GFS). Dengan demikian struktur dan format APBN telah disesuaikan dan
106
mengarah kepada standar internasional dalam statistik keuangan Pemerintah.
Demikian juga periode tahun anggaran disesuaikan yang semula menggunakan
tahun anggaran (April-Maret) menjadi tahun kalender (Januari Desember).
Selain perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account,
mulai APBN tahun anggaran 2005 dilakukan perubahan format APBN yaitu
perubahan substansial terhadap format belanja negara khususnya format anggaran
belanja pemerintah pusat. Perubahan tersebut intinya mencakup 2 (dua) hal yaitu :
1.
Penerapan sistem penganggran secara terpadu (unified budget), melalui
penyatuan anggaran rutin dan anggaran belanja pembangunan yang
sebelumnya dipisahkan.
2.
Reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis
belanja, yang sebelumnya dirinci menurut sektor dan jenis belanja.
Penerapan sistem penganggaran secara terpadu pertama kali digunakan
pada APBN tahun anggran 2005. Beberapa catatan penting berkaitan dengan
perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara secara terpadu
yaitu: (1) dalam format dan struktur I-Account yang baru, belanja negara tetap
dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, karena pos
belanja ke daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, (2) semua pengeluaran negara yang sifatnya
bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi,
(3) semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang
tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru
diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.
107
Tabel 20. Konversi APBN dalam I-Account
Format Lama
Format Baru
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan
Pajak
II. Penerimaan Hibah
B. Belanja Negara
I.
Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutin
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Barang
c. Pembayaran Bunga Utang
d. Subsidi
e. Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Pengeluaran Pembangunan
II.
Belanja Ke Daerah
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran
E. Pembiayaan
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan
Pajak
II. Penerimaan Hibah
B. Belanja Negara
I. Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Bunga Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Bantuan Sosial
8. Belanja Lainnya
II.
Belanja Ke Daerah
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran
E. Pembiayaan
Sumber : Sekretariat Jendral DPR RI, 2010
Perubahan format anggaran belanja negara yang mendasar dimaksud untuk
mencapai 2 (dua) sasaran. Pertama, untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan belanja negara, melalui : (1) minimalisasi duplikasi
rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara, dan (2) meningkatkan
antara keterkaitan antara keluaran (output) dan hasil (outcomes) yang dicapai
dengan penganggaran organisasi atau yang disebut anggaran berbasis kinerja
(performance based budget). Kedua, untuk menyesuaikan dengan klasifikasi yang
digunakan secara internasional.
108
Perubahan struktur anggaran diharapkan mampu mengoptimalkan peran
kebijakan fiskal dalam memberikan stimulus perekonomian, terutama dalam
mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan
kemiskinan. Dalam bab ini akan dideskripsikan mengenai perkembangan
komposisi APBN Indonesia antar periode waktu, yaitu periode sebelum krisis
ekonomi 1997 dan periode setelah krisis ekonomi 1997. Disamping profil belanja
pemerintah, juga akan diulas kinerja perekonomian dalam periode waktu yang
sama. Dengan demikian akan mendapatkan gambaran dan perbandingan antara
kebijakan komposisi belanja pemerintah dengan kinerja pertumbuhan ekonomi,
kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan antara periode sebelum krisis
ekonomi dan periode setelah krisis ekonomi 1997.
5.1.
Periode Sebelum Krisis Ekonomi, Tahun 1969/1970-1996/1997
Pada periode sebelum krisis ekonomi 1997, dimulai sejak periode
pemerintahan orde baru. Pada masa pemerintahan orde baru kebijakan
pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka
Menengah-Panjang
(RPJM/RPJP).
Target
pencapaian
RPJM
dan
RPJP
dilaksanakan secara periodik melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Pembangunan Jangka Panjang Pertama, dimulai dari Pelita I sampai dengan Pelita
V, dimana Pelita I (1969/1970 – 1973/1974), Pelita II (1974/1975-1978/1979)
Pelita III (1979/1980-1983/1984), Pelita IV (1984/1985 – 1988/1989), Pelita V
(1989/1990-1994/1995). Pembangunan Jangka Panjang kedua mustinya dimulai
dari Pelita VI (1995/1996 – 1996/1997). Namun, Pelita VI belum tuntas
dilaksanakan, karena terjadinya krisis ekonomi 1997 yang menyebabkan
109
pergantian rezim pemerintahan yang diikuti perubahan kebijakan pembangunan
ekonomi.
Dokumen RPJM yang dijadikan acuan perencanaan dan pentahapan
pembangunan dalam setiap Pelita. Pada masa orde baru masing-masing Pelita
memiliki prioritas pembangunan yang akan dicapai melalui tahapan perencanaan
pembangunan selama 5 tahun. Pelita I menitikberatkan pada sektor pertanian dan
industri yang mendukung sektor pertanian serta stabilisasi ekonomi dengan
melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang.
Prioritas Pelita II menitik beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Sasaran yang hendak
dicapai adalah peningkatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
(pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana) melalui upaya peningkatan
ketersediaan lapangan kerja. Fokus Pelita III adalah pada sektor pertanian menuju
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi. Kebijakan yang diambil pada masa ini melalui program
Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang diikuti stabilisasi dan
pemerataan. Pada masa itu dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar proses
transisi ekonomi dari sektor pertanian ke industri. Selanjutnya pada pelita IV,
menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri.
Kebijakan ini diiringi dengan peningkatan kemampuan ekonomi dalam negeri
dengan mengurangi ketergantungan pada sektor ekspor migas dan mendorong
ekspor non-migas. Selanjutnya pada Pelita V, pemerintah lebih menitik beratkan
pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan
110
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pada
masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi. Pembangunan
ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Periodisasi kebijakan pembangunan ekonomi pada masa orde baru tersebut
seharusnya diiring dengan kebijakan fiskal pemerintah, yang tercermin dalam
kebijakan anggaran pemerintah. Prioritas pembangunan pada masing-masing
periode tersebut seharusnya terealisasi dalam dokumen Anggaran Penerimaan dan
Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan APBN merupakan acuan bagi
pelaksanaan program-program pemerintah dalam mewujudkan sasaran dan
prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan.
5.1.1. Realisasi Penerimaan Negara
Pada periode Pelita I, porsi terbesar penerimaan pemerintah berasal dari
pajak, yaitu sebesar Rp 513 miliar atau sekitar 60 persen. Kontributor utama
adalah pajak dalam negeri yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan PPNBM. Sedangkan proporsi pajak perdagangan internasional sebesar 22.87 persen
atau sekitar Rp117.36 miliar, terbesar berasal dari pajak bea masuk sebesar
Rp85,14 miliar. Pada Pelita II, terjadi pergeseran penerimaan negara, dimana
penerimaan dari pajak turun 40.66 persen atau Rp2.9 triliun. Penerimaan bukan
pajak meningkat menjadi 59.34 persen. Peningkatan penerimaan bukan pajak
bersumber dari pendapatan migas yang mencapai Rp 1.6 triliun. Perkembangan
realisasi penerimaan Pemerintah selama periode orde baru atau sebelum krisis
ditunjukkan dalam Gambar 20.
111
Pada Pelita III penerimaan masih didominasi oleh penerimaan bukan pajak
sekitar 71.04 persen yang berasal dari Penerimaan Migas. Pada periode ini terjadi
momentum booming oil, dimana harga minyak dunia tinggi dan posisi Indonesia
sebagai negara eksportir migas sehingga mendongkrak penerimaan pemerintah.
Penerimaan dari sektor migas mencapai Rp7.8 triliun atau meningkat hampir 7
kali lipat dari periode Pelita II. Tingginya penerimaan migas masih berlanjut
sampai awal pelita IV. Namun secara keseluruhan, pada pelita IV penerimaan
pajak dan bukan pajak cenderung berimbang. Penerimaan dari pajak sekitar 42.13
persen dan 57.87 persen berasal dari penerimaan bukan pajak. Penerimaan negara
bukan pajak selain bersumber dari penerimaan migas, juga bersumber dari laba
BUMN yang meningkat hampir 4 kali lipat dari pelita III.
50.000,00
45.000,00
40.000,00
35.000,00
30.000,00
25.000,00
20.000,00
15.000,00
10.000,00
5.000,00
Pelita I
Pelita II
Pelita III
Penerimaan Perpajakan
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
Penerimaan Bukan Pajak
Sumber : Nota Keuangan RI, Periode 1969/1970-1996/1997
Gambar 20. Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Sebelum Krisis
Pada Pelita V, terjadi pergeseran sumber penerimaan negara, dimana
penerimaan kembali didominasi oleh penerimaan pajak sebesar 58.65 persen,
karena turunnya penerimaan migas. Penerimaan negara bukan pajak yang
112
bersumber dari laba BUMN meningkat hampir 3 kali lipat dibandingkan pelita
dari periode sebelumnya. Sementara itu, proporsi penerimaan pajak dalam negeri
terhadap total penerimaan negara meningkat dari pelita IV. Kontributor terbesar
penerimaan pajak dalam negeri adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 10,2
triliun (39,31 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp 9,6 triliun (36,94
persen). Sedangkan penerimaan dari Bea Masuk mengalami peningkatan yang
cukup besar menjadi Rp 2,8 triliun pada Pelita V.
Tabel 21. Komposisi Penerimaan Negara pada Masa Sebelum Krisis, Tahun
1969/1970 – 1996/1997
(%)
Pelita
I
Pelita
II
Pelita
III
Pelita
IV
Pelita
V
Pelita
VI
Penerimaan Dalam Negeri
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
1. Penerimaan Perpajakan
a. Penerimaan Pajak DN
i. Pajak Penghasilan (PPh)
ii. PPN dan PPn-BM
59.99
37.12
15.65
10.89
40.7
29.0
42.1
58.7
29.2
23.0
36.3
52.1
13.3
12.0
14.1
23.1
8.4
5.0
14.3
21.7
65.7
61.6
29.7
23.7
iii. PBB dan BPHTB
iv. Cukai
v. Pajak Lainnya
b. Pajak Perdag. Internsonal
i. Bea Masuk
ii. Pajak Ekspor
2. Penerimaan Bukan Pajak
1.53
7.61
1.45
22.87
16.59
6.28
40.0
2.1
0.9
1.2
2.2
4.8
4.7
5.3
4.5
0.5
0.3
1.3
0.6
11.5
6.0
5.9
6.6
8.5
4.2
5.3
6.5
3.0
1.7
0.5
0.1
59.3
71.0
57.9
41.3
a. Migas
b. PBPB Lainnya
c. LBM
30.16
4.17
5.68
54.5
68.0
50.0
33.5
4.3
3.0
6.9
6.8
0.6
0.0
1.0
1.0
Penerimaan
2.7
4.9
0.6
4.1
4.0
0.2
34.3
22.3
10.9
1.1
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
Pada periode Pelita VI, penerimaan negara mencapai Rp 74.44 triliun,
dimana 65.70 persen bersumber dari pajak. Proporsi penerimaan migas semakin
menurun. Kontributor terbesar penerimaan pajak bersumber dari Pajak
Penghasilan (PPh) sebesar Rp 22.14 triliun (45.27 persen), diikuti oleh PPN dan
PPN-BM sebesar Rp 17.97 triliun (36.09 persen). Sedangkan proporsi pajak
113
perdagangan internasional mengalami penurunan dari periode sebelumnya yaitu
sebesar 4.13 persen (Rp3.07 triliun). Penerimaan negara dari Bea Masuk hanya
mengalami peningkatan kecil, dari Rp 2.8 triliun pada Pelita V menjadi Rp 2.9
triliun pada Pelita VI.
5.1.2. Realisasi Belanja Negara
Komposisi belanja Pemerintah selama periode sebelum krisis ditunjukkan
Gambar 21. Pada Pelita I, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan relatif
seimbang dengan belanja rutin. Proporsi pengeluaran rutin sekitar 683 persen dan
pengeluaran pembangunan sebesar 31.7 persen. Belanja pembangunan dalam
Pelita II rata-rata sebesar Rp 1.83 triliun dan belanja rutin sebesar Rp 1.49 triliun.
Pada Pelita III belanja pembangunan meningkat mencapai Rp 7.03 triliun (47.47
persen) sedangkan belanja rutin sebesar Rp 6.35 triliun (52.53 persen). Pada pelita
IV, belanja pembangunan mulai mengalami penurunan dibandingkan Pelita III.
60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
Pelita I
Pelita II
Belanja Rutin
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
Belanja Pembangunan
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
Gambar 21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode
Sebelum Krisis
114
Belanja pembangunan dalam Pelita III mencapai Rp 10,25 triliun (40
persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 15.29 triliun (60 persen). Pada
pelita V, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan sedikit meningkat
dibandingkan proporsi pada pelita IV. Belanja pembangunan mencapai Rp 22.41
triliun (41 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 31.69 triliun (59
persen). Pada Pelita VI proporsi anggaran untuk belanja pembangunan menurun
cukup signifikan. Belanja pembangunan pada Pelita VI hanya mencapai Rp 31.8
triliun (37 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 52.73 triliun (63
persen). Komposisi detail belanja Pemerintah ditunjukkan Tabel 22.
5.1.2.1. Belanja Pegawai
Pengeluaran anggaran rutin terbesar pada pelita I adalah untuk belanja
pegawai sebesar 29.7 persen. Proporsi ini semakin meningkat pada Pelita II,
belanja pegawai menjadi 49.71 persen. Seiring dengan peningkatan penerimaan
dari Migas, total belanja pemerintah meningkat cukup signifikan, sehingga
proporsi belanja pegawai menurun menjadi sekitar 38.98 persen. Penurunan
proporsi ini tidak berarti terjadi penurunan belanja pegawai, namun lebih
disebabkan oleh peningkatan belanja subsidi BBM yang meningkat karena
tingginya harga minyak dunia. Selanjutnya sejak Pelita IV, proporsi untuk belanja
pegawai kembali relatif stabil sekitar 45 persen.
5.1.2.2. Belanja Barang
Pengeluaran pemerintah untuk belanja barang pada Pelita I dan Pelita II
relatif cukup tinggi yaitu sebesar 33.4 persen dan 25.48 persen. Belanja barang
terutama dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan peralatan operasional dan
115
pemeliharaan peralatan. Seiring dengan meningkatnya investasi pemerintah pada
barang-barang modal maka belanja pemeliharaan juga meningkat. Disamping itu,
dengan adanya inflasi yang cukup tinggi pada pelita I dan II menyebabkan belanja
peralatan juga meningkat. Namun karena meningkatnya belanja subsidi BBM
maupun subsidi Non BBM pada pelita III dan Pelita IV, maka porsi belanja
barang menurun cukup drastis. Padahal belanja barang penting untuk mendukung
kegiatan operasional birokrasi. Belanja barang dapat dialokasikan dengan
pembelian peralatan-peralatan yang mengikuti perkembangan tehnologi. Dengan
tehnologi yang modern, maka fungsi pelayanan dari pemerintah akan lebih cepat,
mudah, murah dan efisien.
Tabel 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Sebelum Krisis,
Tahun 1969/1970 – 1996/1997
(%)
Jenis Belanja
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Bunga Utang
i. Dalam negeri
ii. Luar Negeri
4. Subsidi
i. BBM
ii. Non-BBM
5. Lainnya
Pelita
I
Pelita
II
Pelita
III
Pelita
IV
Pelita
V
Pelita
VI
43.52
33.40
3.60
0.00
3.60
2.48
49.71
25.48
6.74
0.00
6.74
12.41
38.98
16.27
10.97
0.00
10.97
30.48
45.53
13.42
29.72
0.00
29.72
9.56
45.95
12.90
29.09
0.00
29.09
9.79
47.28
20.78
22.86
0.00
22.86
3.83
0.00
2.48
3.82
8.59
24.81
5.67
3.05
6.51
7.54
2.25
2.48
1.35
17.01
5.66
3.30
1.78
2.28
5.25
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
5.1.2.3. Belanja Subsidi
Porsi belanja subsidi pada Pelita I hanya untuk subsidi non BBM, yaitu
subsidi pangan sebesar 1.7 persen. Pada pelita II mulai muncul subsidi BBM
sebesar Rp 51.84 miliar. Subsidi beras dan gandum mencapai tingkat tertinggi
dalam tahun anggaran 1980/1981 yaitu sebesar Rp 281.7 miliar. Tingginya subsidi
116
pangan dalam tahun anggaran 1980/1981 terutama disebabkan oleh kenaikan
harga beras di luar negeri dan meningkatnya impor beras karena terbatasnya
produksi di dalam negeri. Seiring tercapainya swasembada beras dan semakin
meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak 1983/1984, alokasi pengeluaran
rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Namun disisi lain terjadi
peningkatan pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan
karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda
perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM diberikan sejak tahun
anggaran 1977/1978, kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan
sejak
awal Pelita III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus
meningkat dengan cukup cepat.
Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam
negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh
karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan
BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah
konsumsi BBM di dalam negeri. Selain itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh
biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak
mentah, biaya pengolahan, dan biaya
distribusi BBM. Mengingat biaya
pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan
BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan
semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang
sulit diduga arahnya.
117
Pelita IV beban subsidi BBM mengalami penurunan yang cukup drastis,
dari Rp 1.3 triliun (24.81 persen) pada Pelita III menjadi Rp 288 miliar (3.05
persen) pada Pelita IV. Penurunan proporsi ini selain karena terjadi penurunan
subsidi BBM akibat penurunan harga rninyak mentah dunia, juga lebih
disebabkan adanya peningkatan yang cukup besar pada pembayaran bunga utang.
Bahkan dalam tahun anggaran 1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh
lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh Laba Bersih
Minyak (LBM) sebesar Rp 1 010.8 miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam
tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp 3 305.7 miliar. Besarnya subsidi
BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar
internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya
konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi.
Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin,
penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan
energi dan mendukung kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala
telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM
di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama
Pelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan 1993.
Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan
penurunan harga minyak mentah pada rakhir pelita V, maka realisasi subsidi
BBM dalam tahun 1991-1993 mengalami penurunan. Dalam tahun anggaran
1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp 487.6 miliar. Sementara itu dalam APBN
1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh
karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan
118
subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan
tahun anggaran 1996/1997.
5.1.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang
Pada Pelita I pembayaran untuk bunga utang masih relatif sangat kecil
hanya sekitar 2.5 persen. Pada Pelita II. pemerintah sudah mulai mengeluarkan
anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 91.5 miliar.
Komposisi belanja antara pengeluaran rutin dan pembangunan sampai Pelita III
relatif proporsional. Namun seiiring berakhirnya era boom oil. Indonesia mulai
tergantung pada pembiayaan yang bersumber utang luar negeri. Alhasil
pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok meningkat.
Sebagai konsekuensinya porsi anggaran pembayaran bunga utang meningkat
cukup tajam. Sementara pada pelita IV. peningkatan belanja rutin disebabkan
terjadi peningkatan beban bunga utang mencapai puncaknya yaitu meningkat
hampir 5 kali lipat. dari Rp 582 miliar (10.97persen) pada Pelita III menjadi Rp
2.8 triliun (30persen) pada Pelita IV.
5.1.2.5. Belanja Pembangunan
Pada periode ini ada penambahan program pembangunan di daerah berupa
Inpres Kesehatan/Puskesmas sebesar Rp 11.94 miliar, Inpres Pasar Rp 520 juta.
dan Inpres Penghijauan/Reboisasi Rp 15.3 miliar. Pada III ada penambahan
program pembangunan di daerah berupa Inpres Penunjang Jalan sebesar Rp 37.6
miliar. Selain itu, anggaran pembangunan berupa Inpres SD juga mengalami
peningkatan signifikan menjadi Rp 327.9 miliar. Pada pelita IV, peningkatan
signifikan pada belanja pembangunan terjadi pada karena Inpres Penunjang Jalan
yakni sebesar Rp 120 miliar. Pada Pelita VI tidak ada lagi alokasi anggaran
119
berupa Inpres Penunjang Jalan, dan digantikan dengan Inpres Desa Tertinggal
sebesar Rp 473.37 triliun. Pada periode ini memasuki permulaan krisis, dimana
beban pemerintah untuk membayar bunga utang serta pokok utang mencapai
puncaknya. Ditambah lagi kondisi defisit neraca pembayaran yang menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan mata uang dolar, yang pada periode selanjutnya
akan membawa pada situasi sulit.
5.1.2.6. Belanja Transfer Daerah
Selama orde baru komposisi didominasi belanja pemerintah pusat dan
yang langsung ke daerah relatif kecil. Namun mayoritas anggaran yang di daerah
berupa anggaran pembangunan. Komposisi anggaran belanja daerah antara lain
terdiri dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur melalui Inpres. Pada Pelita
I, anggaran belanja belanja daerah baru mencapai Rp 67.28 miliar atau 11.54
persen. Namun demikian, hampir seluruh belanja ke daerah dialokasikan untuk
belanja pembangunan dalam bentuk anggaran program dan proyek berupa dana
bagi hasil dari Ipeda/PBB; Dana Alokasi Umum yang terdiri dari Inpres
Desa/Inpres Kabupaten/Dati II dan Inpres Propinsi/Dati I; Dana Alokasi Khusus
berupa Inpres SD.
Pada Pelita II, anggaran belanja daerah meningkat cukup signikan menjadi
Rp635 miliar atau 20.59 persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja
untuk daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus
yang
ditujukan
untuk
Inpres
Kesehatan/Puskesmas
dan
Inpres
Penghijauan/Reboisasi. Pada pelita III, secara nominal anggaran belanja daerah
meningkat menjadi Rp2.1 triliun, namun secara proporsi turun menjadi 17.40
persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat untuk
pembayaran bunga utang luar negeri yang mencapai Rp 528.86 miliar serta untuk
120
Subsidi BBM sebesar Rp 1.3 triliun. Padahal pada Pelita II, subsidi untuk BBM
baru mencapai Rp 51 miliar.
60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
Belanja Pusat
Pelita I
515,62
Pelita II
2.453,12
Pelita III
10.339,5
Pelita IV
17.627,2
Pelita V
36.464,7
Pelita VI
51.855,6
Belanja Daerah
67,28
635,98
2.178,12
4.054,16
8.712,32
16.096,5
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
Gambar 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama
Periode Sebelum Krisis 1997
Pada Pelita IV, anggaran belanja daerah sebesar Rp4 triliun atau 18.70
persen. Demikian juga pada Pelita V, untuk anggaran belanja daerah sebesar Rp
8.7 triliun (19.28 persen). Selanjutnya pada Pelita VI, terjadi peningkatan yang
cukup besar pada belanja daerah melalui belanja pembangunan Inpres Penunjang
Jalan mencapai 8 kali lipat sebesar Rp 832 miliar. Selain itu, pada pelita V sudah
tidak ada lagi alokasi anggaran untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang.
5.1.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan
Selama orde baru, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan anggaran
berimbang, pada kenyataannya besarnya penerimaan dalam negeri tidak
mencukupi kebutuhan belanja pemerintah. Tabel 23 menunjukkan kekurangan
sumber pembiayaan yang ditutup dengan utang. Selama Pelita I sampai dengan
Pelita III, kekurangan pembiayaan untuk belanja pemerintah atau defisit anggaran
121
masih cukup rendah. Pada Pelita I defisit anggaran baru mencapai Rp 69.80 miliar
dan ditutup dengan utang luar negeri. Namun seiring dengan membengkaknya
belanja rutin pemerintah, mulai pelita III defisit anggaran semakin meningkat
menjadi 1 triliun yang diikuti peningkatan penarikan utang baru. Peningkatan
utang baru terbesar terjadi pada pelita IV, terutama ketika era oil boom telah
berakhir. Kondisi ini sangat ironis, disaat penerimaan negara meningkat cukup
besar karena peningkatan penerimaan dari migas, disisi lain utang luar negeri
justru meningkat cukup besar. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan belanja
belanja rutin akibat besarnya beban subsidi. Jadi akibat meningkatnya harga
minyak mentah dunia, maka pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi BBM
untuk menekan harga minyak di dalam negeri tidak naik.
Tabel 23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan
Uraian
Pelita
I
Pelita
II
Pelita
III
Pelita
IV
Pelita
V
Pelita
VI
Surplus/Defisit Anggaran
Pembiayaan
1. Pembiayaan Dalam Negeri
a. Perbankan Dalam Negeri
b. Non Perbankan DN
-69.8
69.8
-16.8
-11.9
-4.9
-148.0
148.0
-71.8
-63.6
-8.2
-1 003.8
1 003.8
-60.9
-21.0
-39.9
-1 801.3
1 801.3
-126.8
-101.2
-25.7
-926.1
926.1
-471.4
-266.8
-204.6
6 491.3
-6 491.3
-2 633.6
-529.3
-2 104.3
2. Pembiayaan Luar Negeri
a. Penarikan Pinjaman LN
b. Pembayaran Pokok Utang
LN
86.6
110.9
219.8
334.8
1 064.7
1 600.7
1 928.1
5 160.6
1 397.5
9 707.5
-3 857.7
10 248.9
-24.3
-115.1
-536.0
-3 232.5
-8 309.9
-14 106.6
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
Disamping menimbulkan beban subsidi, kenaikkan harga minyak dunia
juga memicu terjadinya inflasi. Sebagai akibat tingginya harga minyak,
penerimaan negara dari ekspor migas meningkat secara signifikan. Hal ini
berdampak pada peningkatan belanja pemerintah, terutama porsi belanja rutin
pemerintah untuk gaji pegawai. Peningkatan gaji ini yang mendorong terjadinya
122
inflasi akibat mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Peningkatan porsi
belanja rutin ini yang selanjutnya menciptakan peningkatan defisit anggaran dan
ketergantungan pada utang luar negeri. Pada periode selanjutnya beban
pembayaran bunga mendominasi komposisi belanja rutin pemerintah. Ironisnya
Gambar 23 menunjukkan bahwa mulai Pelita V Indonesia sudah mengalami net
negatif transfer untuk penarikan utang luar negeri baru. Artinya besarnya
penarikan utang baru lebih besar dari beban pembayaran total bunga dan cicilan
pokok. Hasilnya walaupun kebijakan anggaran defisit, namun tidak ada sumber
pembiayaan
tambahan
untuk
meningkatkan
belanja
pemerintah
dalam
menstimulus perekonomian.
25.000,00
20.000,00
15.000,00
10.000,00
5.000,00
(5.000,00)
Pelita I
Pelita II
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
(10.000,00)
(15.000,00)
Total Bunga & Cicilan Pokok
(miliar Rp)
Bunga & Cicilan Pokok
Penarikan Pinjaman LN
Net Transfer
Pelita
I
37
111
74
Penarikan Pinjaman LN
Pelita
II
207
335
128
Pelita
III
1,119
1,601
482
Pelita
IV
6 045
5 161
-885
Net Transfer
Pelita
V
13 648
9 707
-3 941
Pelita
VI
20 563
10 249
-10 314
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
Gambar 23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum
Krisis Tahun 1997
123
5.1.4. Kinerja Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi selama Pelita I sampai II cukup tinggi, dimana ratarata 7 persen pertahun, tabungan pemerintah meningkat, penerimaan devisa
meningkat terutama berasal dari sektor migas. Gambar 24 mengilustrasikan
bahwa pada pertengahan era 1970-an perekonomian Indonesia mengalami
gangguan harga minyak dunia turun dan kuota produksi minyak juga turun.
Akibatnya ekspor neto turun 38 persen dan ekspor nonmigas turun 30 persen,
sedangkan impor nonmigas meningkat. Neraca berjalan defisit US$ 2.7 miliar
pada tahun 1981 dan US$6.7 miliar pada tahun 1982, sehingga pertumbuhan
ekonomi hanya 2.24 persen pada tahun 1982. Implikasinya terjadi penghematan
angaran belanja pada tahun 1983-1984, disertai peningkatan pinjaman luar negeri
dan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun 1983. Juga dilakukan penjadwalan
ulang proyek pemerintah dan kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun 1984
serta pengurangan subsidi pupuk/pestisida.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu produksi beras mengalami kenaikan
rata-rata 4 persen setahun. Hal ini terjait dengan alokasi belanja pemerintah untuk
mendorong berdirinya industri pupuk, semen, dan tekstil. Disamping itu juga
dialokasikan belanja untuk perbaikan infrastruktur jalan raya dan banyak
dibangun pusat-pusat tenaga listrik dan disertai semakin meningkatnya anggaran
untuk sektor pendidikan. Pada Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan
pendapatan per kapita rata-rata penduduk 7 persen. Alokasi belanja banyak
diperuntukkan perbaikan irigasi, jalan dan jembatan. Pelita III program untuk
mendukung terciptanya swa-sembada pangan gencar dilaksanakan. Alhasil pada
tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25.8 ton dan
mencapai swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO
124
(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985, dan merupakan
prestasi besar bagi Indonesia.
35
30
25
20
15
10
5
Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
1974
1973
1972
1971
1970
0
Penduduk Miskin
Sumber : Biro Pusat Statistik
Gambar 24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat
Kemiskinan Selama Periode Pelita I – Pelita III
Namun prestasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama
pelita I sampai pelita III tersebut tidak diikuti oleh penurunan tingkat
pengangguran dan tingkat kemiskinan yang signifikan. Gambar 24 menunjukkan
jumlah penduduk miskin tetap tinggi dengan tingkat pengurangan yang relatif
lambat, rata-rata pertahun hanya berkurang 1.5 persen. Pertumbuhan ekonomi
hanya berdampak kecil terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Pada awal
Pelita I jumlah penduduk miskin sekitar 25.8 persen, namun pada 1980 justru
meningkat menjadi 28.7 persen. Upaya penurunan tingkat pengangguran lebih
ironis lagi. Pada Pelita I dan II tingkat pengangguran justru mengalami
peningkatan, jika pada awal pelita I tahun 1970 tingkat pengangguran sebesar 3.8
125
persen, maka pada tahun 1973 meningkat menjadi 10.4 persen, dan baru tahun
1980 tingkat pengangguran turun hingga 1.7 persen. Namun selama tahun 19731976 pengangguran sangat tinggi, rata-rata sebesar persen 8.4 persen. Pada tahun
1979/1980 tingkat pengangguran baru mengalami penurunan yang cukup berarti.
Gambar 25 menunjukkan menginjak Pelita IV, pemerintah menerapkan
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, dampaknya pada Pelita V perekonomian
Indonesia tumbuh 6.7 persen/tahun. Selama PJP I pertumbuhan ekonomi sebesar
6.7 persen per tahun, pendapatan perkapita naik dari US$70 pada tahun 1969
meningkat menjadi US$770 pada tahun 1993. Sebagai dampaknya, penduduk
miskin pada pelita IV berkurang hingga 14.55 persen. Namun pada pelita V
jumlah penduduk miskin kembali meningkat menjadi 19.7 persen. Demikian juga
tingkat pengangguran, selama pelita IV sampai pelita V justru terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 1995 tingkat pengangguran mencapai 7.2 persen.
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Penduduk Miskin
Sumber : Biro Pusat Statistik
Gambar 25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat
Kemiskinan Selama Periode Pelita IV – Pelita VI
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0,00
126
Secara umum dapat disimpulkan, selama periode sebelum krisis ekonomi
keberhasilan program swasembada pangan telah berdampak signifikan pada
penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin menurun
drastis sampai dengan tahun 1992/1993. Namun disisi lain angka penganguran
justru meningkat, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Kondisi ini
dapat diartikan bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu
menciptakan kesempatan kerja. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa
belanja pemerintah tidak mampu menstimulus kinerja sektor riil yang mampu
menciptakan lapangan kerja baru.
5.2.
Periode Setelah Krisis Ekonomi Tahun 1997 – 2010
5.2.1. Realisasi Penerimaan Negara
Pada periode setelah krisis ekonomi, sumber penerimaan negara terbesar
berasal dari penerimaan perpajakan. Gambar 26 menunjukkan pada tahun 2005,
realisasi penerimaan dari pajak sebesar Rp347 triliun dengan tax ratio sebesar
12.7 persen terhadap PDB. Pada tahun yang sama, penerimaan negara yang
berasal dari bukan pajak sebesar Rp146.9 triliun. Kemudian pada tahun-tahun
berikutnya, penerimaan pajak terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun
2008 penerimaan pajak mencapai Rp6 587 triliun, lalu pada tahun 2009
mengalami penurunan menjadi Rp 619.9 triliun. Sedangkan penerimaan negara
bukan pajak mengalami fluktuasi dari tahun 2005 sampai tahun 2009.
Penerimaan perpajakan masih ditopang oleh penerimaan pajak dalam
negeri, terutama dari pajak penghasilan nonmigas yang pada tahun 2005 sebesar
Rp 140.4 triliun dan terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun 2009
mencapai Rp267.6 triliun. Jika dilihat dari tax ratio, penerimaan dari pajak masih
127
tergolong sangat rendah. Seyongganya Pemerintah mampu mendorong reformasi
administrasi perpajakan serta langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi
perpajakan yang berkelanjutan sehingga tax ratio dapat meningkat menjadi sekitar
14 persen.
800
700
600
500
400
300
200
100
0
P. Perpajakan
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
71 102 113 116 186 210 242 281 347 409 491 659 620 743
P. Bukan Pajak 41
54
75
89
115
88
P. Perpajakan
99
123 147 227 215 321 227 247
P. Bukan Pajak
Sumber: Kementerian Keuangan, 2011
Gambar 26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis
Tahun 1997-2010
Penerimaan pajak masih didominasi oleh pajak penghasilan dan pajak PPn
sebagaimana terlihat dalam Gambar 27. Pajak perdagangan internasional terutama
dalam bentuk bea masuk mengalami peningkatan pada tahun 2005 hingga tahun
2008, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor akibat
krisis keuangan global. Sementara penerimaan pajak ketiga berasal dari cukai,
khususnya cukai dari industri hasil tembakau.
128
400,0
350,0
300,0
250,0
200,0
150,0
100,0
50,0
PPh
PPn
Cukai
PBB & BPHTB
Bea Masuk
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
-
Pajak Lainnya
Sumber: Kementerian Keuangan, 2011
Gambar 27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis, Tahun
1997-2010
5.2.2. Realisasi Belanja Negara
Dalam kurun waktu pasca krisis (2000-2010), anggaran belanja
pemerintah pusat terus mengalami kenaikan dan tumbuh rata-rata 16.7 persen per
tahun menjadi sebesar Rp628.8 triliun pada tahun 2009, dan dalam APBN-P tahun
2010 mencapai Rp781.5 triliun. Peningkatan volume belanja pemerintah pusat
dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah
perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah
Indonesia (ICP) yang mempengaruhi besaran belanja subsidi khususnya subsidi
energi. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perkembangan belanja
pemerintah pusat yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang memiliki
pengaruh terhadap pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, faktor internal
yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat misalnya kenaikan
129
gaji pegawai ataupun meningkatnya jumlah pegawai negeri yang disebabkan oleh
bertambahnya jumlah lembaga non-struktural.
Selama enam tahun terakhir (2005-2010), sebagian besar dari realisasi
anggaran belanja pemerintah pusat merupakan belanja operasional yaitu belanja
pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai
73.5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Proporsi terbesar dalam belanja
pemerintah pusat yaitu subsidi, yang pada tahun 2005 sebesar Rp120.8 triliun
menjadi sebesar Rp201.3 triliun pada APBN-P tahun 2010. Alokasi belanja
terbesar kedua yaitu belanja pegawai sebesar Rp54.3 triliun pada tahun 2005,
menjadi sebesar Rp162.7 triliun pada APBN-P tahun 2010.
Tabel 24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, 2000 –
2010.
(%)
Jenis Belanja
2000
2001
2002
2004
2005
2007
2008
2009
2010
Subsidi
33.3
29.7
17.9
30.8
33.4
29.8
39.7
22.0
25.8
Belanja Pegawai
15.7
14.9
17.6
17.7
15.0
17.9
16.3
20.3
20.8
Pemb. Bunga Utang
26.6
33.5
39.1
21.0
18.1
15.8
12.8
14.9
13.5
Belanja Barang
5.1
3.8
5.7
5.2
8.1
10.8
8.1
12.8
14.4
Belanja Modal
13.7
16.0
16.7
20.7
9.1
12.7
10.5
12.1
12.2
5.6
2.2
3.0
4.6
16.3
13.0
12.7
17.9
13.4
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
Belanja Lain-Lain
Belanja Pusat
Sumber : LKPP, Kementerian Keuangan RI, Tahun 2000-2010
Alokasi belanja terbesar ketiga yaitu pembayaran bunga utang yang selalu
meningkat setiap tahunnya, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar
Rp105.7 triliun pada APBN-P tahun 2010. Selanjutnya, belanja barang ternyata
juga mengambil proporsi yang cukup besar dalam belanja pemerintah pusat,
bahkan cenderung lebih besar dibandingkan pembayaran bunga utang pada
130
periode dua tahun terakhir ini yaitu Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010
menjadi Rp137.8 triliun dalam APBN 2011.
5.2.2.1. Belanja Pegawai
Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu
2005-2010 mengalami peningkatan rata-rata 24.6 persen per tahun, yaitu dari
Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun dalam APBN-P
tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp180.8 triliun dalam APBN tahun 2011.
Sementara itu, proporsi belanja pegawai terhadap belanja pemerintah pusat juga
cenderung mengalami peningkatan, dan mengambil porsi yang cukup besar yaitu
sekitar 21.61 persen pada APBN tahun 2011.
Besaran anggaran belanja pegawai tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun (beserta
keluarga yang ditanggung), komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta
beberapa kebijakan pemerintah misalnya terkait kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri
serta kenaikan pokok pensiun yaitu sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2006
dan 2007, sebesar rata-rata 20 persen pada tahun 2008, sebesar rata-rata 15 persen
pada tahun 2009, dan rata-rata 5 persen pada tahun 2010.
5.2.2.2. Belanja Barang
Dalam periode 2005-2010, anggaran belanja barang secara nominal terus
mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 31 persen per tahun, yaitu dari Rp29.2
triliun pada tahun 2005 menjadi Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010, dan
diperkirakan mencapai Rp137.8 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu,
perkembangan proporsi belanja barang terhadap belanja pemerintah pusat juga
131
terus mengalami peningkatan, yaitu 8.1 persen pada tahun 2005, menjadi 14.4
persen pada APBN tahun 2010, dan diperkirakan mencapai 16.47 persen pada
APBN tahun 2011. Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun
waktu tersebut, antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah satuan kerja
baru atau lembaga non-struktural yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan
akan barang dan aset milik pemerintah termasuk biaya pemeliharaannya.
Disamping itu, kegiatan pemilu pada tahun 2009 juga telah menyebabkan
peningkatan belanja barang.
5.2.2.3. Belanja Subsidi
Dalam rentang waktu 2000-2010, realisasi anggaran belanja subsidi
mengalami peningkatan sebesar Rp80.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10.8 persen
per tahun, dari sebesar Rp120.8 triliun (33.43 persen) pada tahun 2005, menjadi
Rp138.1 (21.96 persen) triliun pada tahun 2009. Disamping itu, persentase belanja
subsidi terhadap total belanja pemerintah pusat relatif besar, sekitar 20 hingga 40
persen. Belanja subsidi tersebut terdiri dari subsidi energi dan subsidi non-energi,
dan porsi terbesar adalah untuk belanja subsidi energi khususnya subsidi BBM.
Beberapa hal yang menyebabkan terus meningkatnya belanja subsidi diantaranya
yaitu (1) meningkatnya harga minyak mentah dunia, (2) fluktuasi nilai tukar
rupiah, (3) meningkatnya konsumsi BBM nasional sebagai akibat penetrasi
industri otomotif, (4) ketidakmampuan perusahan migas negara dalam memenuhi
kebutuhan energi dalam negeri sehingga harus impor. Jika belanja subsidi ini terus
meningkat dan tidak dapat diatasi maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan
pembangunan nasional.
132
Belanja subsidi didominasi oleh subsidi energi yang terdiri dari subsidi
BBM dan subsidi Listrik. Dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal
mengalami peningkatan sebesar Rp39.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6.6 persen
per tahun, dari sebesar Rp104.4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp201.3
triliun pada tahun 2010, dan mencapai Rp187.6 triliun pada tahun 2011.
Realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar
Rp6.7 triliun, atau menurun rata-rata 1.4 persen per tahun, dari sebesar Rp95.6
triliun pada tahun 2005, menjadi Rp88.9 triliun pada tahun 2010, dan
diperkirakan mencapai Rp95.9 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran
subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46.3 triliun,
atau tumbuh rata-rata 44.2 persen per tahun, dari sebesar Rp8.9 trilliun pada
tahun 2005, menjadi Rp55.1 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai
Rp40.7 triliun pada tahun 2011.
Tabel 25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011
Uraian
2005
Subsidi Energi
104.4
1. Subsidi BBM
95.6
2. Subsidi Listrik
8.9
Subsidi NonEnergi
16.3
1. Subsidi Pangan
6.4
2. Subsidi Pupuk
2.5
3. Subsidi Benih
0.1
4. PSO
0.9
5. Kredit Program
0.1
6.Minyak Goreng
7. Subsidi Kedele
8. Subsidi Pajak
6.2
9. Subsidi Lainnya
Jumlah
120.8
Sumber: Kementerian Keuangan
(Triliun Rupiah)
2009
2010
2006
2007
2008
94.6
64.2
30.4
116.9
83.8
33.1
223
139.1
83.9
94.6
45
49.5
144
88.9
55.1
12.8
5.3
3.2
0.1
1.8
0.3
1.9
0.3
107.4
33.3
6.6
6.3
0.5
1
0.3
0
17.1
1.5
150.2
52.3
12.1
15.2
1
1.7
0.9
0.2
0.1
21
275.3
43.5
13
18.3
1.6
1.3
1.1
8.2
138.1
57.3
13.9
18.4
2.3
1.4
2.9
18.4
201.3
133
Di sisi lain. perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang
waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40.9 triliun,
atau tumbuh rata-rata 28.5 persen per tahun, dari sebesar Rp16.3 triliun pada
tahun 2005, menjadi Rp43.5 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai
Rp51 triliun pada tahun 2011. Dengan mempertimbangkan masih tingginya
jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebaiknya subsidi non-energi agar lebih
ditingkatkan lagi khususnya subsidi pangan, karena terkait kebutuhan dasar
masyarakat.
5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang
Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal
terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp40.5 triliun atau tumbuh rata-rata
12.8 per tahun, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7
triliun pada tahun 2010. Dari realisasi pembayaran bunga utang, lebih dari 65
persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga
utang dalam negeri dan sisanya digunakan untuk pembayaran utang luar negeri.
Pembayaran bunga utang yang terus meningkat sebagai akibat kebijakan defisit
anggaran yang sangat bergantung dari utang.
Dalam periode 2005-2011, defisit APBN berada pada level kurang dari 2
persen terhadap PDB. Pada tahun 2005, defisit APBN mencapai Rp14.4 triliun
(0.5 persen terhadap PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar
Rp495.2 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp509.6 triliun. Pada tahuntahun selanjutnya, defisit APBN terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun
2007 defisit APBN mencapai Rp49.8 triliun (1.3 persen terhadap PDB), yang
134
bersumber dari realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707.9 triliun dan
belanja negara sebesar Rp757.6 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun
2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional
terutama harga minyak dunia sehingga mengakibatkan meningkatnya beban
belanja subsidi. Selanjutnya, di tahun 2008 defisit APBN justru mengalami
penurunan menjadi Rp4.1 triliun (0.1 persen terhadap PDB). Penurunan defisit
anggaran pada tahun 2008 disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja
Kementerian Negara/Lembaga (K/L), serta lonjakan penerimaan perpajakan yang
jauh lebih besar dari yang direncanakan. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN
kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88.6 triliun (1.6 persen dari PDB)
dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp848.8 triliun dan belanja
negara sebesar Rp937.4 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2009
dipengaruhi penurunan realisasi penerimaan negara baik dari penerimaan pajak
maupun penerimaan bukan pajak, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan
perekonomian sebagai dampak krisis ekonomi dunia.
5.2.2.5. Belanja Modal
Dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara
nominal juga mengalami peningkatan, rata-rata 23.6 persen per tahun, yaitu dari
sebesar Rp32.9 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp95 triliun pada tahun
2010, dan diperkirakan mencapai Rp135.9 triliun pada APBN tahun 2011.
Sementara itu, proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat masih
relatif lebih yaitu hanya sebesar 9.11 persen pada tahun 2005 dan menjadi sebesar
16.24 persen pada APBN tahun 2011. Proporsi tersebut masih sangat kecil jika
135
dibandingkan proporsi belanja pegawai dan belanja subsidi. Padahal, belanja
modal sangat penting guna mendorong pertumbuhan, utamanya dalam mengatasi
permasalahan bottleneck infrastuktur melalui pembangunan infrastruktur sehingga
diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi serta
meningkatkan domestic conectivity.
5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah
Realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan yang sangat
signifikan sebagaimana ditunjukkan Gambar 28. Realisasi belanja negara pada
tahun 2005 sebesar Rp509.6 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat
sebesar Rp361.2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp150.5 triliun. Dalam
kurun waktu lima tahun terakhir (2006-2010), anggaran belanja pemerintah
daerah terus mengalami kenaikan, yaitu dari 258.9 triliun pada tahun 2007
menjadi sebesar Rp443.5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh makin
banyaknya jumlah daerah otonom baru hasil dari pemekaran daerah, tercatat pada
tahun 2005 ada sekitar 389 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan pada tahun
2011 telah bertambah menjadi 524 daerah.
Dana transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Jumlah dana
perimbangan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 sebesar
Rp143.2 triliun dan meningkat menjadi Rp334.3 triliun pada APBN 2011.
Sedangkan untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian juga terus mengalami
kenaikan, pada tahun 2005 sebesar Rp7.2 triliun dan meningkat menjadi Rp58.7
triliun pada APBN 2011. Terus meningkatnya Dana Otsus dan Penyesuaian
merupakan konsekuensi logis atas adanya ketetapan UU No.35 Tahun 2008 yang
136
mengharuskan alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU
Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat serta 2 persen dari DAU Nasional
untuk Provinsi NAD. Sehingga peningkatan Dana Alokasi Umum akan sejalan
dengan peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian.
1.200
1.000
345
292
800
253
600
226
Belanja Pemerintah Pusat
2009
440 505
693 629
2008
2005
2004
2003
2002
2001
21
76
361
27
261 224 256 297
202
188
146
2007
2000
98
2006
33
1998
30
120
1997
200
1999
81
130
782
2010
150
400
0
309
Belanja Daerah
Sumber: Kementerian Keuangan, 2011
Gambar 28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah
Paska Krisis, Tahun 1997-2010
Periode
Berdasarkan data pada Gambar 28, menunjukkan bahwa sejak tahun 2005
secara nominal besarnya dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun
sebenarnya secara riil jumlah dana perimbangan tersebut semakin berkurang dari
tahun ke tahun. Saat ini hampir 70 persen dana APBN digunakan untuk belanja
pemerintah pusat termasuk untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan
bunga serta untuk subsidi. Gejala ini barangkali bisa dimaknai sebagai tandatanda kembalinya sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat akan semakin
137
dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah
tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: (1) mengurangi kesenjangan fiskal
antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal
fiscal imbalance), (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan
mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, (3) meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan (4) mendukung kesinambungan
fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.
Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum
sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk
membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan
jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi
terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar
28.50 persen. Terakhir Dana
Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi
yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk
pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus
tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata.
5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan
Sejak terjadi perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account,
dimana komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom,
dapat langsung diketahui ABPN dalam keadaan surplus ataupun defisit. Dengan
format ini juga langsung terlihat sumber pembiayaan defisit anggaran, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri. Sejak pasca krisis ekonomi 1997, defisit
anggaran pemerintah terus membengkak, dimana pada tahun 2009 dan 2010
138
defisit anggaran mencapai Rp112 triliun dan Rp133 triliun. Pada periode
sebelumnya defisit anggaran paling besar hanya mencapai Rp40 triliun.
Tabel 26. Perkembangan Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode
Pasca Krisis Ekonomi
(Rp Miliar)
Uraian
Surplus/Defisit Anggaran
Pembiayaan
1. Pembiayaan Dalam Negeri
1999
2000
2001
2002
2003
2004
-43 884
-16 132
-40 485
-23 652
-35 109
-23 810
43 884
16 232
40 485
23 652
35 109
20 796
14 497
5 937
30 218
17 024
34 562
48 553
a. Perbankan Dalam Negeri
-2 117
-12 964
-1 228
-8 140
10 705
22 713
b. Non Perbankan DN
16 613
18 900
31 445
25 164
23 857
25 841
29 388
10 196
10 267
6 628
575
-28 057
49 584
178 184
26 152
18 887
20 360
18 434
-20 196
-7 623
-15 885
-12 259
-19 812
-46 491
2008
2009
-112
583
2010
-133
748
133 748
133 903
2. Pembiayaan Luar Negeri
a. Penarikan Pinjaman LN
b. Pembayaran Pokok Utang LN
Uraian
2005
2006
2007
-14 408
-29 142
-49 844
-4 121
11 219
29 416
42 457
84 072
21 491
55 982
66 309
102 478
112 583
128 133
a. Perbankan Dalam Negeri
-2 453
18 913
8 420
16 159
41 057
45 477
b. Non Perbankan DN
23 942
37 069
57 889
86 318
87 076
88 426
-10 272
-26 566
-23 852
-19 100
-15 550
-156
58 662
-68 031
Surplus/Defisit Anggaran
Pembiayaan
1. Pembiayaan Dalam Negeri
2. Pembiayaan Luar Negeri
a. Penarikan Pinjaman LN
b. Pembayaran Pokok Utang LN
26 840
26 115
34 070
44 074
50 219
-37 112
-52 681
-57 923
-63 175
-63 435
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 1999-2010.
Sementara itu, sejak tahun 2001 sumber pembiayaan defisit anggaran
terjadi pergeseran yang signifikan. Gambar 29 menunjukkan sebelum krisis
sumber pembiayaan defisit didominasi oleh utang luar negeri beralih bersumber
dari utang dalam negeri. Perubahan kebijakan ini didorong oleh terjadinya
fluktuasi nilai tukar yang cukup tinggi sehingga berdampak pada peningkatan stok
utang dan besarnya beban cicilan dan bunga utang. Sumber pembiayaan dalam
negeri dipilih, disamping untuk mengoptimalkan potensi pendanaan dalam negeri,
juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Permasalahannya, karena besarnya
139
kebutuhan pendanaan pemerintah untuk menutup defisit anggaran menyebabkan
suku bunga obligasi dan Surat Utang Negara menjadi sangat tinggi.
Pada
akhirnya perubahan kebijakan sumber pembiayaan defisit ini tidak berpengaruh
signifikan terhadap pengurangan beban pembayaran bunga utang.
200.000
150.000
100.000
50.000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(50.000)
(100.000)
Total Bunga & Cicilan Pokok
Penarikan Pinjaman LN
Net Transfer
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, 1999-2010.
Gambar 29. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum
Krisis Tahun 1997
5.2.4. Kinerja perekonomian
Pasca krisis ekonomi 1997, kinerja perekonomian yang tercermin dari
tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang sangat signifikan.
Pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum krisis mencapai 7-8 persen, pada tahun
1998 pertumbuhan mengalami minus sekiatar 13 persen. Gambar 30
menunjukkan, selama 2000-2003 pertumbuhan hanya mencapai sekitar 4 persen.
Pada tahun 2004-2006 pertumbuhan mengalami kenaikkan mencapai sekitar 5
140
persen. Pada tahun 2007-2008, pertumbuhan ekonomi relatif menuju pemulihan,
yaitu mencapai 6 persen. Namun pada tahun 2009, ketika terjadi krisis keuangan
global pertumbuhan ekonomi kembali turun menjadi 4,59 persen. Ironisnya
pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berhasil menciptakan lapangan kerja yang
memadai. Terbukti tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Pada tahun 2005 dan 2006 tingkat pengangguran terbuka justru
meningkat mencapai 11.2 persen dan 10.3 persen. Demikian jumlah penduduk
miskin hanya mengalami berkurang rata-rata sebesar 4.1 persen. Artinya
prosentase pengurangan jumlah penduduk miskin ini lebih kecil dari rata-rata
tingkat pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak
mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin
secara signifikan.
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
-10,00
1998
-5,00
1997
0,00
-15,00
-20,00
Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Penduduk Miskin
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 1999-2010.
Gambar
30. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat
Kemiskinan Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi
(Persen)
Download