STATISTIK DAN ILMU POLITIK Ilmu politik merupakan cabang dari ilmu sosial yang sudah berkembang seusia dengan peradaban manusia. Karakter dasar manusia sebagai makhluk politik sudah sangat dikenal, dengan istilah manusia adalah Zoon Politicon. Yakni manusia memiliki hasrat dasar untuk mencari, berkuasa, dan mempertahankan kekuasaan. Banyak ahli menguraikan makna ilmu politik, baik dalam dataran aktor, maupun prosesnya. Dalam dataran aktor politik senantiasa diartikan dalam konteks siapa pelaku politik itu sendiri. Namun dalam dataran proses, politik difahami sebagai cara melakukan aktivitas politik. Politik yang sebelum banyak difahami dalam konteks naluriah, mulai dibakukan untuk menjadi kajian khusus yang kemudian dikenal dengan ilmu politik. Sebelum kita membahas tentang politik dalam konteks ilmu, maka mari kita fahami makna politik itu sendiri. Dalam pandangan Meriam Budiharjo politik minimal memiliki beberapa makna: 1) Politik senantiasa berkaitan dengan proses distribusi. Pemahaman ini pertama kali diungkap oleh David Easton yang menyatakan politics is authoritative alocation for values.” Distribusi ini tidak bisa dilepaskan dari tarik mnarik kepentingan manusia atas politik yang tidak terbatas dengan sumber-sumber politik yang terbatas. 2) Politik senantiasa berhubungan dengan kekuasaan. Artinya ketika kita berbincang politik maka setiap aktor politik pasti berfikir bagaimana memperoleh kekuasaan, memelihara dan mempertahankan. Sehingga tidak berlebihan kiranya seorang eksponen kelompok realis, Hans J. Morgenthau yang menyatakan politics is struggles for power. Dengan orientasi seperti ini tidak berlebihan pula seorang Lord Acton menyatakan, politics tends to corrupt. 3) Politik senantiasa berhubungan dengan negara. Pandangan ini setidak terefleksikan pasca perjanjian West-phalia 1648, di mana negara merupakan entitas formal yang mendapatkan hak eksklusif dan sebagai sandaran loyalitas utama dari masyarakat dan individu. Kondisi ini memungkinkan negara menjadi aktor utama dalam arus-arus kekuasaan. 4) Politik senantiasa berhubungan dengan proses pengambilan keputusan. Pandangan ini setidaknya terwakili dalam pemikiran Easton, Almond, Sidney Verba yang menyatakan bahwa dalam setiap proses politik pada hakekatnya adalah proses pengambilan keputusan. Sedemikian urgennya pengambilan keputusan ini membuat banyak fihak berkepentingan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Dari sinilah kemudian studi demokrasi berkembang dengan sangat pesat, yakni bagaimana memberikan formula bagi proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak fihak. Demokrasi pada akhirnya mengkritisi sistem sebelumnya seperti plutokrasi, di mana pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh para pedagang, aristokrasi di mana proses pengambilan keputusan dilakukan oleh para tuan tanah. Atau monarkhi dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh seorang raja. 5) Politik berkaitan erat dengan kebijaksanaan. Dalam ruang ini mengasumsikan politik memberikan ruang bagi elit politik atas nama kekuasaan mengambil keputusan secara unik, demi tercapainya tujuan bersama. Kata kebijaksanaan ini sedikit banyak memiliki konotasi, bagaimana strategisnya elit politik bisa mengambil keputusan dengan mengatasnamakan negara dana masyarakat. Sedangkan politik dalam konteks ilmu lebih difahami sebagai proses pembakuan dari gejala politik yang memungkinkan untuk dipelajari secara luas. Agar gejala politik bisa difahami sebagai ilmu maka gejala tersebut harus diproses melalui tahap-tahap; 1) Gejala tersebut harus disusun secara sistematis dan baku agar bisa difahami oleh siapa saja 2) Susunan yang sistematis tersebut harus bisa diuji siapa saja, atau diverifikasi 3) Barulah jika dua tahap ini dilalui, gejala tersebut dapat difahami sebagai ilmu. Berbincang ilmu politik dalam ilmu, para pemikir politik memiliki sudut pandang yang berbeda. Terdapat kelompok yang menyatakan politik lebih sebagai seni menegosiasikan kepentingan. Sehingga terlalu berlebihan jika memahami politik dalam konteks keilmuan meski telah disusun sedemikian rupa. Namun di sebagian besar pemikir politik , proses bernegosiasi sebagai bagian dari seni, ternyata dapat ditranformasikan kepada banyak fihak yang memungkinkannya menjadi kajian keilmuan. Kaitan dengan tradisi statistik, 5 makna politik di atas, dalam tradisi politik di Yunani sudah menunjukkan bahwa Ilmu politikpun sudah banyak berinteraksi dengan disiplin ilmu statistik. Akan tetapi memang akselerasi pemakaian ilmu ini tidak sekuat tradisi ilmu-ilmu eksakta maupun ekonomi. Bagaimana masyarakat Yunani yang mendesain masyarakat yang terbuka, dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pemilihan, mau tidak mau juga harus menggunakan statistik. Statistik dalam dimensi ilmu hitung, memungkinkan demokrasi langsung yang dikembangkan waktu itu menjadi relatif terukur. Jika ilmu politik menyatakan sebagai disiplin ilmu yang membicarakan proses pembuatan keputusan melalui penarikan kesimpulan-kesimpulan yang logis dan rasional maka kita juga bisa menyatakan bahwa secara filsafati bahwa ilmu statistik dan ilmu politik sangat berdekatan dan erat hubungannya. Demikian pula jika dalam prinsipprinsip statistik mempergunakan filsafat logika agar diperoleh penghitungan yang akurat dan konsisten, maka ilmu politikpun banyak mengembangkan proses berfikir dalam pengambilan keputusanpun juga banyak menggunakan prinsip-prinsip logika. Jika kita juga memaklumi bahwa ilmu politik membicarakan proses alokasi sumber daya politik yang terbatas yang dihadapkan kepada tingkat kepentingan yang tidak terbatas, maka ilmu statitikpun akan bisa memberikan solusi untuk proses politik ini. Akan tetapi dalam kenyataannya ilmu politik khususnya paradigma idialistradisionalis tidak banyak mengelaborasi metode-metode statistik dalam penjelasannya. Alasan utama yang sering disodorkan adalah bagaimana melakukan kuantifikasi kepentingan manusia sebagai basis ilmu politik secara fair ?. Penjelasan ini akan menjadi teramat sulit jika disepakati bahwa manusia dan kepentingannya merupakan bagian dari variavel diskrit dan bukan variabel kontinum. Maka aspek historisitas dan kelembagaan dalam paradigma tradisionalis ini tidak banyak mempercayai penjelasan statistik. Akan tetapi ketika kita menengok tradisi positivistik dalam ilmu sosial yang diperkenalkan oleh August Comte maka kita akan menemukan bahwa tradisi positivistik sangat memberikan apresiasi yang tinggi. Bahkan untuk melakukan proses kuantifikasi dan generalisasi Comte banyak berharap dari disiplin statistik. Inilah yang kemudian mengilhami keraguannya untuk menamakan ilmu sosiologi dengan istilah eksakta “fisika sosial”. Ilmu sosiologi yang sangat positivitik ini kemudian banyak mempengaruhi cabang ilmu sosial lainnya. Tradisi ilmu politik sebagai dasar rumpun ilmu hubungan internasionalpun pada mazhab behavioralis juga banyak menggunakan tradisi berfikir dengan menggunakan statistik. Paradigma behavioralis yang cenderung menggunakan pendekatan kuantitatif amat memerlukan sttatitik dalam proses pengumpulan data, pengolahan data, maupun dalam proses penarikan kesimpulannya. Dengan proses kuantifikasi, memungkinkan setiap data kualitatif yang selama ini sulit untuk difahami dapat diolah, dan akhirnya dapat dipergunakan untuk penarikan kesimpulan. Dalam batas tertentu pula, data kualitatif yang sebelumnya sangat eksklusif dengan nilai-nilai yang melekat padanya, mampu dirubah menjadi data yang bersifat inklusif. Memang pendekatan behavioralis mendapatkan kritik yang sangat tajam, dari mazhab New Left, yang mencoba memahami fenomena sosial sebagai fenomena yang padat dengan nilai. Adalah terlalu gegabah manakala memaknai fakta sosial, dengan menggunakan proses kunatifikasi. Kalaupun bisa dipergunakan dalam proses penarikan kesimpulan, akan rentan dengan gejala yang manipulatif, bahkan sangat bias terhadap nilai. Akan tetapi dengan semaraknya paradigma post-modernisme sekarang, semua pendekatan berhak mengutarakan penjelasan sesuai dengan basis logika yang dibangun. Yang paling penting lebih pada persoalan bagaimana sumbangan suatu pendekatan agar mampu memberikan penjelasan yang semakin baik dan rigid. Baik mazhab kualitatif dan kuantitatif sama-sama memiliki peluang yang egaliter untuk berkompetisi, atau bahkan saling bisa memberikan energi baru untuk memberikan penjelasan dalam realitas sosial. Dalam dataran politik praktis, statistik memang memberikan kontribusi besar dalam konteks perencanaan, pelaksanaan dan pengorganisasian serta evaluasi. Berkembangnya organisasi politik yang semakin beragam menuntut proses pengelolaan organisasi politik perlu dikelola secara rasional. Dan statistik cenderung difahami sebagai salah satu alat ukur organisasi tersebut apakah menjalankan fungsi secara rasional atau tidak. Pengadopsian pengelolaan organisasi ekonomi yang sarat dengan konsep POAC (Planning, Organizing, Actuating, Evaluating) ke dalam organisasi politik mau tidak mau mempergunakan statistik. Bahkan dalam melakukan kompetisi dengan organisasi politik lainnya dalam konteks politik praktis akan banyak mempergunakan angka statistik dan metodenya untuk membuat manuver baik dalam melemparkan issue dan menangkis issue. Statistik yang sebelumnya banyak dipergunakan dalam tehnologi periklanan guna mempengaruhi perilaku membeli dalam konteks demonstration effects juga telah diserap oleh organisasi politik untuk mempengaruhi perilaku memilih konstituen.