The Effectiveness Of Ethanolic Extracts Of

advertisement
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO, ADAS DAN
SIRIH MERAH DALAM MENGHAMBAT INFEKSI VIRUS AI
PADA AYAM PEDAGING
MASDA ADMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Ekstrak Etanol
Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam
Pedaging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 14 Desember 2011
Masda Admi
NRP.B351090041
iii
iv
ABSTRACT
MASDA ADMI. The Effectiveness of Ethanolic Extracts of Sambiloto, Adas and
Sirih Merah Against Avian Influenza Virus on Broiler Chicken. Under direction of
AGUS SETIYONO and IETJE WIENTARSIH.
The use of antiviral drugs had been caused resistance against H5N1 avian
influenza virus, thus it was crucial to find more effective alternative medicine. The
objective of this research was to study the effect of different concentration of
ethanol extract formula of sambiloto, adas, and sirih merah in broiler infected with
avian influenza virus. Samples were divided into two groups, vaccinated and
unvaccinated. Each groups consist of five treatment, F1-5%, F2-7,5%, F3-10%,
F4-simplisia, and control. All broilers were challenged with H5N1 AI virus after
treated with herb ethanol-extract. Observations were done on performances,
leukocyte differentiation, antibody titer, survival, and antigen distribution in
lymphoid organ, liver, and intestine. The results showed that the body weight were
statistically not significant (P>0.05) in the 4th and 6th week of old. Evaluation on
leukocyte differentiation was also shown not significant statistically. The high
level of antibody titer and survival bird was found in broiler treated with 5%
ethanol extract of sambiloto, adas, and sirih merah, and vaccinated (II-FI 5%).
Antigen distribution in the lymphoid organ, liver, and intestine was quite high in
the vaccinated broiler, and vice versa.
Keywords : H5N1 AI Virus, Limphoid Organ, Medicinal Plants, AI Vaccine,
Broiler Chicken.
v
vi
RINGKASAN
MASDA ADMI. Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah
dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging. Dibimbing oleh AGUS
SETIYONO dan IETJE WIENTARSIH.
Avian Influenza (AI) atau flu burung merupakan penyakit viral pada unggas
yang menyita perhatian dunia, karena memiliki dampak ekonomi yang penting
dalam industri perunggasan dan kesehatan manusia. Upaya pencegahan penyebaran
penyakit AI H5N1 pada unggas dilakukan dengan vaksinasi AI terhadap ayam
peliharaan, namun saat ini dilaporkan menggunakan beberapa vaksin AI sudah
tidak efektif untuk mencegah penyakit AI (Swayne 2009). Pemerintah Indonesia
menetapkan oseltamivir carboxylate (Tamiflu®) sebagai obat untuk penderita AI
yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, namun oseltamivir dilaporkan telah
memicu resistensi pada virus (de Jong et al. 2005). Sementara obat lain yang
ditetapkan pemerintah adalah amantadine dan rimantadine, dilaporkan telah
mengalami resistensi terhadap virus AI strain H5N1 (Bright et al. 2006).
Resistensi virus AI terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah dan
tidak efektifnya vaksin AI yang tersedia, sehingga perlu ditemukan obat alternatif
anti AI yang lebih efektif untuk mengobati penderita AI, yang biayanya relatif
murah dan dapat menggunakan bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di
Indonesia. Beberapa tanaman obat dikenal memiliki potensi sebagai
imunomodulator maupun antimikroba seperti sambiloto, adas dan sirih merah.
Penelitian secara in vivo dengan menggunakan formula ekstrak etanol tanaman
sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 2.5% dapat menghambat
infeksi virus AI H5N1 mencapai 46,7% ayam hidup dari total populasi hingga hari
ke-4 pasca infeksi (Setiyono et al. 2009). Pada penelitian ini, dengan menggunakan
kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan formula
konsentrasi bertingkat diharapkan dapat menemukan kekuatan daya hambat infeksi
virus AI H5N1 yang lebih baik.
Jenis tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness), adas (Foeniculum vulgare Mill) dan
sirih merah (Piper crocatum Ruiz). Penyiapan ekstrak tanaman obat dilakukan di
Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor.
Formula (F) ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah disusun berdasarkan
dugaan kandungan setara zat aktif dengan konsentrasi masing-masing 5%, 7.5%,
10% dan formula simplisia. Penelitian ini menggunakan 80 ekor ayam day old
chick (DOC) pedaging strain Cobb dengan bobot badan rata-rata 38g, dibagi dalam
2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 5 (lima) perlakuan dengan masingmasing kelompok perlakuan berjumlah 8 ekor anak ayam. Semua kelompok
perlakuan dipelihara dengan pemberian pakan standar dan minum ad libitum.
Metode pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan
sirih merah dengan konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7.5%, F3 - 10% dan F4-simplisia
terhadap ayam kelompok perlakuan dilakukan pada ayam berumur 4-25 hari. Ayam
kelompok perlakuan I tidak dilakukan vaksinasi AI H5N1, sedangkan ayam
kelompok perlakuan II dilakukan vaksinasi AI H5N1 pada umur 21 hari. Setelah 19
hari pemberian ekstrak etanol tanaman obat, ayam ditantang virus AI H5N1 dengan
dosis 106 EID50/0.1 ml/ekor. Pengamatan daya tahan hidup ayam dilakukan selama
vii
6 hari setelah ayam ditantang dengan virus AI H5N1. Berdasarkan setiap tahapan
penelitian dilakukan pemeriksaan terhadap performance ayam perlakuan dari ayam
umur 1-6 minggu, pemeriksaan diferensial leukosit dan pengukuran titer antibodi
pada ayam umur 21 hari dan 44 hari. Ayam yang mati setelah ditantang virus AI
H5N1 dilakukan pembedahan (nekropsi) untuk diambil organ limfoid (bursa
Fabricius, limpa dan timus) yang selanjutnya dianalisa menggunakan pewarnaan
hematoksilin eosin dan imunohistokimia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tahan hidup ayam setelah
ditantang dengan virus AI H5N1 memberikan hasil yang baik pada kelompok
perlakuan yang diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah
dengan konsentrasi 5% dan ayam divaksin AI H5N1 (kelompok perlakuan II-F15%) dengan total ayam bertahan hidup 100% hingga hari terakhir masa
pengamatan. Hasil pemeriksaan titer antibodi AI menunjukkan adanya titer antibodi
AI pada ayam yang dilakukan vaksinasi sedangkan ayam yang tidak dilakukan
vaksinasi AI tidak menunjukkan adanya titer antibodi AI yang protektif.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensiasi leukosit ayam setelah pemberian
ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi tidak
menunjukkan adanya perubahan jumlah relatif leukosit ayam perlakuan.
Pemeriksaan terhadap performance ayam selama penelitian tidak menunjukkan
adanya pengaruh pemberian ekstrak tanaman obat terhadap berat badan ayam pada
semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tanaman obat
tidak berefek negatif terhadap kesehatan ayam, salah satunya termasuk
pertumbuhan berat badan ayam penelitian.
Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan
pewarnaan hematoksilin eosin terlihat organ bursa Fabricius, limpa dan timus
secara umum menunjukkan adanya deplesi sel limfoid, kongesti, edema, nekrotik
folikel limfoid skunder, deplesi pulpa putih, deplesi sel limfoid kortek timus dan
nekrotik fokus medula timus. Hasil pengamatan antigen AI pada organ limfoid
dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia menunjukkan deteksi antigen AI
pada ayam kelompok perlakuan yang tidak divaksin lebih sedikit daripada ayam
perlakuan yang divaksin. Hal ini diduga virus tantang yang masuk kedalam tubuh
ayam menyebabkan kerusakan sel limfoid dan kemungkinan virus telah menyebar
ke organ atau jaringan lain. Sebaliknya organ yang mendapat vaksin AI H5N1
menunjukkan jejak antigen pada organ limfoid lebih banyak. Hal ini dimungkinkan
oleh antigen virus vaksin yang masih bisa terdeteksi dengan pewarnaan
imunohistokimia. Dugaan lain adalah kemungkinan antigen virus tantang yang
tidak ternetralisasi antibodi hasil vaksinasi AI.
Kata kunci : Avian Influenza, organ limfoid, tanaman obat, vaksin AI, ayam
pedaging
viii
©Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
x
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO, ADAS DAN
SIRIH MERAH DALAM MENGHAMBAT INFEKSI VIRUS AI
PADA AYAM PEDAGING
MASDA ADMI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
xi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet
xii
Judul Tesis
: Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah
dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging
Nama
: Masda Admi
NRP
: B351090041
Disetujui :
Komisi Pembimbing
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Ketua
Dr. dra. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc
Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi
Ilmu Biomedis Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Tanggal Ujian : 14 Desember 2011
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Lulus :
xiii
xiv
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahiim.
Alhamdulillah, puji syukur kehadhirat Allah SWT, Tuhan semesta alam,
yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat
manusia. Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW, yang telah
membawa risalah kebenaran Islam kepada umatnya, juga kepada keluarga, para
sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Atas rahmat dan karunia Allah
SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni
2010 dengan judul Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah
dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih
yang setinggi-tingginya kepada drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet, sebagai
ketua komisi pembimbing dan Dr. dra. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc, sebagai
anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan arahan mulai dari
penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyempurnaan penulisan ini
sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang
dalam tesis ini.
Penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada orang tua
Ayahanda M. Thahir (Alm) dan Ibunda Nurhayati atas kasih sayang dan do’a yang
tak pernah henti-hentinya mengiringi perjuangan penulis. Kepada Adinda Nasrul
Effendi dan Ihksan serta Kakanda Safriadi yang selalu memberikan motivasi
kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan, serta terimakasih tak terhingga
kepada Dr. drh Darmawi, M.Si beserta keluarga yang telah banyak membantu
penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Buatnya
Mardiana, SPdi, terimakasih atas dukungan do’a dan kasih sayang serta penantian
panjang selama berlangsungnya pendidikan penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D, APVet, Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo P,
MS, APVet, Dr. drh. Dewi Ratih, APVet, Dr. drh. Wiwin Winarsih, APVet, Dr.
drh. Eva Herlina, M.Si, APVet, drh. Hernomoadi, MVS, APVet, Dr. drh. Sri
Estuningsih, M.Si, APVet, yang senantiasa selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada para dosen
pengasuh mata kuliah di Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi.
Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekanrekan mahasiswa seangkatan dan sejawat yang setia dan penuh pengorbanan
drh. Mawar Subangkit, drh. Ibenu Ramadani, drh. Fakhrul Ulum, drh. Riki
Siswandi dan terima kasih juga kepada, drh. Faisal Jamin, M.Si, drh. Siti Aisyah,
M.Si, drh. Sri Wahyuni, M.Si, dan Dr. drh. Mustafa Sabri, MP. yang dengan setia
menemani penulis di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih yang
dapat penulis sampaikan di tulisan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.
Terima kasih kepada adek-adek sepenelitian (Yanda, Sinta, Hazar, Ita dan
Laras), kawan-kawan mantan Acehkost (Ayi, Andi, Ijal dan Rijal) dan kawankawan di IKAMAPA, IMTR, dan Asrama Leuser Aceh di Bogor, serta terima kasih
juga kepada Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Endang, Mba Kiki, Mba Yanti dan Mas
Koko yang sangat banyak membantu selama berlangsungnya penelitian, dan tidak
xv
lupa juga kepada berbagai pihak atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis
mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, dan semoga Allah SWT memberi
rahmat bagi kita semua. Amin
Bogor, 14 Desember 2011
Penulis
xvi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kutablang, Aceh Selatan pada tanggal 26 November
1981 sebagai putera Pertama (tiga bersaudara) dari pasanga M. Thahir (Alm) dan
Nurhayati. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA Negeri 1 Samadua pada Tahun
1999 penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah
Kuala melalui UMPTN, lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 2005 dan
memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis
melanjutkan jenjang pendidikan Magister pada program Ilmu Biomedis Hewan,
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dengan menggunakan biaya sendiri.
Penulis
xvii
xviii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xxv
PENDAHULUAN
Latar Belakang........................................................................................
1
Tujuan Penelitian ....................................................................................
3
Manfaat Penelitian ..................................................................................
3
Hipotesis .................................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA
Avian Influenza……………………………………..………............. ...
5
Vaksin Avian Influenza…………………………………..…………. ...
8
Tanaman Obat ……………………………….…………………….... ..
9
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ........................................... 11
Sirih Merah (Piper crocatum) ……………………..……………….. ... 14
Adas (Foeniculum vulgare)…………………………………………. ... 16
Organ Limfoid …………………………………………………….... ... 18
Bursa Fabricius ...................................................................................... 18
Limpa ...................................................................................................... 19
Timus ...................................................................................................... 20
Leukosit .................................................................................................. 21
Heterofil .................................................................................................. 22
Eosinofil ................................................................................................. 22
Basofil..................................................................................................... 22
Monosit ................................................................................................... 23
Limfosit .................................................................................................. 23
xix
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 25
Materi ..................................................................................................... 25
Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar ................................................ 26
Pembuatan Formula ................................................................................ 27
Metode .................................................................................................... 27
Uji Perlakuan Ekstrak Tanaman Obat dalam Formula ke Ayam ........... 27
Pemeriksaan Performance Ayam Perlakuan .......................................... 28
Pengambilan Sampel Darah ................................................................... 29
Uji Tantang dengan Virus AI H5N1 ...................................................... 30
Pembuatan Preparat Histopatologi ......................................................... 30
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ..................................................... 30
Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ....................................................... 31
Analisa Data ........................................................................................... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan.................................................... 33
Titer Antibodi AI H5N1 pada Ayam Perlakuan ..................................... 35
Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N.................. 37
Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia .................................. 39
Performance Ayam Perlakuan ............................................................... 43
Tanaman Obat sebagai Pendukung (Prekursor) Vaksin ........................ 49
KESIMPULAN ................................................................................................ 53
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55
xx
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Metode Pemberian Formula Ekstrak Etanol Tanaman Sambiloto,
Adas dan Sirih Merah dengan Konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7,5%, F3
- 10% dan F4-Simplisia terhadap Ayam pada Kelompok
Perlakuan ...................................................................................................
28
2. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 21 Hari Selama
Pemberian Ekstrak Tanaman Obat………… ............................................
33
3. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 44 Hari Sebelum
Ditantang Virus AI H5N1………… .........................................................
34
4. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 51 Hari, Setelah
Ditantang Virus AI H5N1 .........................................................................
35
5. Hasil Uji Titer Antibodi AI H5N1 terhadap Ayam Perlakuan
Berumur 21, 44 dan 51 Hari ......................................................................
36
6. Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1
Dosis 0.1 ml (106EID50), Selama 6 Hari Masa Pengamatan .....................
38
7. Distribusi Antigen Virus AI H5N1 pada Organ Limfoid (Bursa
Fabricius, Limpa dan Timus) Ayam yang Mati Setelah Ditantang
Virus AI H5N1 ..........................................................................................
40
8. Berat Badan Ayam Perlakuan Umur 1-6 Minggu (g/ekor) .......................
44
9. Distribusi Antigen Virus AI H5N1 pada Organ Hati dan Usus
Ayam yang Mati Setelah Ditantang Virus AI H5N1 ................................
47
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ilustrasi Virus Avian Influenza (AI) .........................................................
7
2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) .............................................
12
3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz) ..........................................................
15
4. Adas (Foeniculum vulgare Mill)...............................................................
17
5. Pewarnaan HE terhadap Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa
dan Timus) Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada
Kelompok Perlakuan II-F2-75% ...............................................................
42
6. Pewarnaan IHK terhadap Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa
dan Timus), Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada
Kelompok Perlakuan II-F1-5%.......... .......................................................
42
7. Grafik Rataan Berat Badan Ayam Pedaging Per Minggu (gr/ekor)
Umur 1-6 Minggu .....................................................................................
45
8. Pewarnaan HE terhadap Organ Hati dan Usus Ayam Setelah
Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok II-Kontrol .............................
48
9. Pewarnaan IHK terhadap Organ Hati dan Usus Ayam Setelah
Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok Perlakuan II-F1-5% ..............
48
xxiii
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar ...................................
63
2. Prosedur Pembuatan Blok Parafin ............................................................
64
3. Prosedur Pewarnaan Hematoksillin-Eosin (HE) .......................................
65
4. Prosedur Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ...........................................
66
xxv
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Flu burung adalah penyakit viral disebabkan oleh virus Avian Influenza
(AI) tipe A strain H5N1 dari famili Orthomyxoviridae. Dalam sejarah kesehatan,
penyakit AI sempat menyita perhatian dunia karena menimbulkan dampak
ekonomi yang sangat besar. Penyakit AI pada unggas di Indonesia merupakan
subtipe H5N1 sudah mulai menyebar pada tahun 2003 (Dharmayanti et al. 2005).
Pada awalnya virus AI H5N1 hanya menyerang unggas, namun saat ini telah
menyerang manusia, anjing, babi dan kucing. Hal ini dikarenakan adanya mutasi
virus yang memicu munculnya strain virus baru yang lebih patogen. Food and
Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bila terjadi mutasi virus AI di
Indonesia maka dapat menyebabkan pandemi dan menimbulkan jumlah korban
jiwa lebih besar.
Pencegahan penyakit AI pada ayam dapat dilakukan dengan vaksinasi,
penggunaan vaksin AI dengan strain virus vaksin AI sesuai subtipe virus AI kasus
lapang dapat memberikan hasil vaksinasi yang efektif (Frame 2000). Vaksin AI
yang tersedia selama ini, dikhawatirkan tidak efektif dalam beberapa waktu
kedepan, karena virus AI merupakan virus yang memiliki banyak strain,
diantaranya 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9), sehingga vaksin AI yang
tersedia saat ini tidak sesuai dengan strain virus yang terjangkit di lapangan.
Seperti dilaporkan Swayne (2009), bahwa penggunaan beberapa vaksin sudah
tidak efektif untuk dijadikan sebagai upaya mencegah penyakit AI.
Pemerintah Indonesia menetapkan Oseltamivir carboxylate (Tamiflu®)
sebagai obat untuk penderita AI, Obat ini bekerja sebagai inhibitor
neuraminidase, yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium
verum), namun Oseltamivir dilaporkan telah memicu resistensi pada virus AI (de
Jong et al. 2005). Penyediaan bahan baku oseltamivir harus diimpor dari Vietnam
atau Cina dengan biaya relatif mahal. Obat lain yang ditetapkan pemerintah
adalah amantadine dan rimantadine, yang juga dilaporkan mengalami resistensi
terhadap virus AI strain H5N1 (Bright et al. 2006).
2
Penggunaan beberapa obat anti AI seperti amantadine, rimantadine dan
oseltamivir telah menimbulkan resistensi virus AI H5N1 (Arnold et al. 2008).
Berdasarkan kenyataan resistensi virus AI, maka dipandang perlu ditemukan obat
alternatif anti AI yang lebih efektif dengan biaya relatif murah serta menggunakan
bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di Indonesia. Mengingat secara
empiris tanaman obat telah banyak digunakan untuk menangani berbagai penyakit
pada hewan dan manusia.
Beberapa tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat
diantaranya berasal dari temu-temuan, sirih-sirihan, sambiloto dan adas.
Penggunaan tanaman obat dengan formulasi yang tepat berpeluang sebagai feed
additive dan imunomodulator untuk meningkatkan nafsu makan dan kekebalan
tubuh pada hewan dan manusia . Setiyono et al. (2007) menyatakan melalui studi
in vitro, penggunaan campuran ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan
sirih merah memiliki potensi sebagai penghambat pertumbuhan virus H5N1 pada
jaringan sel lestari (cell line). Kombinasi sambiloto dan temu ireng merupakan
hasil yang lebih baik dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada cell line.
Penelitian dengan menggunakan bahan tunggal ekstrak temu ireng
(Curcuma aeruginosa Roxb) secara in vitro telah terbukti memiliki potensi yang
cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahan obat alternatif AI, sedangkan
penggunaan bahan tunggal ekstrak adas (Foeniculum vulgare Mill) secara in vitro
menunjukkan potensi yang kurang kuat dalam menghambat infeksi AI. Hasil uji
secara in vitro sering kali tidak sama ketika diujikan secara in vivo, hal ini
disebabkan kompleks reaksi yang ditimbulkan oleh tubuh makhluk hidup dan
faktor-faktor yang berperan dalam tubuh seperti enzim, sistem kekebalan tubuh
dan reaksi kimia lainnya (Nurbara 2009). Penelitian yang sama juga di lakukan
oleh Taha (2009) terhadap penggunaan bahan tunggal ekstrak tanaman sambiloto
secara in vitro terhadap hambatan pertumbuhan virus AI, hasil yang dilaporkan
bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak sambiloto dapat menghambat
perlekatan (attachment) virus ke sel lestari.
Penelitian secara in vivo pada ayam telah dilakukan dengan memberikan
kombinasi ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan sirih merah dalam
masing-masing pelarut heksana, etil asetat dan etanol dengan konsentrasi 2.5%,
3
menunjukkan hasil yang baik dalam menghambat infeksi virus H5N1, jumlah
ayam yang hidup mencapai 46,7% dari total populasi sampai hari ke-4 pasca
infeksi (Setiyono et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian penggunaan ekstrak
tanaman obat di atas, maka dipandang perlu melakukan penelitian lebih lanjut
tentang penggunaan kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih
merah dengan formula konsentrasi bertingkat untuk menemukan kekuatan daya
hambat virus AI H5N1 yang lebih baik.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui konsentrasi dan formula efektif ekstrak etanol tanaman
sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus H5N1 pada
ayam pedaging yang telah ditantang virus AI H5N1.
2. Mengetahui gambaran darah ayam pedaging yang diberi formula ekstrak
etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah.
3. Mengetahui distribusi antigen AI H5N1 pada organ pertahanan ayam (bursa
Fabricius, limpa dan timus) dengan menggunakan metode imunohistokimia.
4. Mengetahui pengaruh infeksi virus AI H5N1 terhadap keamanan pangan
karkas ayam pedaging.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang konsentrasi efektif formula ekstrak etanol
tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus AI
H5N1 pada ayam pedaging.
2. Memberikan informasi tentang peran konsentrasi yang efektif dari formula
ekstrak etanol tanaman obat dalam meningkatkan daya tahan tubuh ayam
pedaging terhadap infeksi virus AI H5N1.
3. Memberikan informasi kepada masyakarat tentang keamanan karkas ayam
pedaging yang terpapar virus H5N1.
Hipotesis
Konsentrasi dan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto (setara dengan
zat aktif andrografolide), adas (setara dengan zat aktif anetol) dan sirih merah
(setara dengan zat aktif piperin) dapat meningkatkan daya tahan tubuh ayam
pedaging yang ditantang virus AI H5N1.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Avian Influenza
Virus Avian Influenza (AI) adalah virus Ribo Nucleic Acid (RNA)
berpolaritas negatif tergolong dalam famili Ortomyxoviridae, dan diklasifikasikan
menjadi tiga tipe yaitu A, B dan C. Setiap tipe dari virus ditentukan oleh struktur
antigenik protein nuklei dan matriks antigen yang saling berhubungan erat
diantara virus AI tertentu. Virus AI tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia,
sedangkan tipe A ditemukan pada unggas serta dapat menginfeksi berbagai
macam spesies lainnya. Virus AI tipe A diklasifikasikan dalam beberapa subtipe
berdasarkan pada kemampuan antigenitas dua protein permukaan seperti
haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), secara antigenik virus AI tipe A
memiliki 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9) (Fouchier et al. 2005).
Pengelompokan antigen virus berguna untuk penentuan identitas serologik virus
influenza dengan memakai nomor kombinasi H dan N yang sesuai dalam
menandai virus, seperti H5N1, H7N2, H1N1 dan jenis virus lainnya. Wabah
penyakit AI yang melanda Indonesia pada tahun 2003 disebabkan oleh Virus AI
subtipe H5 dan kemungkinan besar merupakan subtipe H5N1 yang sangat patogen
pada unggas (Wiyono et al. 2004).
Virus AI tipe A dapat menjadi pandemik karena virus ini bermutasi, baik
pergeseran struktur antigen virus (antigenic shift) atau perubahan struktur antigen
pada virus (antigenic drift) yang menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat
dikenali oleh antibodi. Sehingga memudahkan virus strain baru untuk menyebar
dalam populasi yang tidak punya kekebalan. Perubahan struktur antigen pada
virus AI menjadikan virus ini dapat menyebar luas dan bersifat zoonosis (Claas
2000). Pertengahan tahun 2005, virus AI telah mengakibatkan korban meninggal
dunia di Indonesia. Data sekuen asam amino pada GenBank, sekuen asam amino
di daerah cleavage site yang berasal dari korban manusia di Indonesia merupakan
pertanda patogenisitas virus AI H5N1 (Dharmayanti et al. 2007).
Penyakit AI dapat dikenal dalam dua bentuk yaitu AI bentuk sangat
patogenik atau highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan bentuk AI yang
kurang patogenik atau low pathogenic avian influenza (LPAI).
Virus HPAI
6
menyebabkan penyakit sistemik dengan kematian pada beberapa spesies rentan
dapat mencapai 100%, sedangkan virus LPAI menyebabkan infeksi yang
terlokalisasi dengan tidak menampakkan gejala klinis atau hanya sedikit gejala
klinis (Horimoto dan Kawaoka 2001). Infeksi virus AI saat ini terjadi subklinis,
yaitu hewan yang terserang virus terlihat sehat tetapi sebenarnya hewan tersebut
terinfeksi virus atau sakit. Infeksi virus AI yang tidak terdeteksi dengan tepat
menyebabkan meluasnya penyebaran penyakit AI di lapangan. Tingginya tingkat
infeksi virus AI memungkinkan virus ini bertahan dan memunculkan strain virus
yang lebih patogen melalui proses mutasi dan/atau genetic reassortment (Claas
2000).
Mekanisme mutasi pada virus AI meliputi insersi asam amino dasar atau
substitusi asam amino nonbasic pada HA proteolitic cleavage site. Kehilangan
glycosilasin site menghasilkan virus dengan cleavage site yang tidak terlindungi,
atau insersi sejumlah besar RNA. Berdasarkan studi filogenetik virus AI tampak
bahwa perubahan virulensi dari rendah ketinggi, mengindikasikan virus HPAI
yang memiliki pohon filogenik sama dengan virus LPAI dengan strain H7 yang
tidak virulen. Kejadian mutasi virus tidak terprediksi dan dapat berlangsung
singkat setelah virus menginfeksi unggas maupun setelah bersirkulasi dalam
tubuh unggas peliharaan. Dengan demikian peredaran LPAI subtipe H5 dan H7
juga perlu diperhatikan karena virus LPAI tersebut merupakan prekursor HPAI
(Capua dan Maragon 2007).
Kejadian infeksi virus influenza diawali dengan penempelan partikel virus
pada reseptor permukaan sel induk semang, kemudian diikuti dengan internalisasi
yang diperantarai oleh reseptor. Fusi virus dan membran endosomal diikuti oleh
transfer nukleokapsid ke dalam sitoplasma (Dharmayanti et al. 2007). Pada sel
epitel saluran pernafasan dan saluran pencernaan, hemaglutinin dari semua virus
influenza yang masuk dipotong oleh protease inang, mengaktifasi terjadinya fusi
dan masuknya virus ke dalam sel. Patogenesa AI pada unggas berbeda dengan
patogenesa AI pada mamalia, dalam hal ini replikasi virus di saluran pencernaan
sama baiknya dengan replikasi virus di saluran pernafasan. Infeksi dari strain
yang sangat virulen menimbulkan viremia, dilatasi sel-sel limfoid, multifokal
7
nekrosis dan menimbulkan pankreatitis, miokarditis, miositis dan ensefalitis
(Murphy et al. 1999).
Pengendalian penyebaran virus AI di lapangan dapat dilakukan melalui
pengawasan daerah yang dicurigai terserang AI dengan tujuan mendeteksi
penyakit HPAI pada unggas secara dini, sehingga dapat ditentukan zona bebas,
terancam dan tertular, dapat ditentukan subtipe virus, dan dapat dideteksi virus
HPAI pada spesies selain unggas serta dapat ditetapkan status bebas ditingkat
peternakan. Berdasarkan monitoring penyakit HPAI yang dilakukan Damayanti
et al. (2005) dengan metode imunohistokimia pada bulan Juni dan September
2004 terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Jawa barat, Jawa timur dan
Banten, tidak terdeteksi adanya Virus AI, sedangkan monitoring bulan September
2004 di Provinsi DKI Jakarta berhasil dideteksi virus AI, namun pada bulan
September 2004 hingga Februari 2005 berhasil dideteksi virus AI di daerah yang
sebelumnya sudah tidak terdeteksi virus AI yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa
Timur, Banten dan DKI Jakarta.
Kebijakan Pemerintah melalui surat keputusan Departemen pertanian telah
melarang peredaran unggas dari daerah endemik ke daerah non endemik untuk
menghindari penularan virus AI ke wilayah Indonesia yang masih bebas
penularan AI (Ditkeswan 2005).
Setyawati (2010) menyatakan bahwa anak
ayam umur satu hari telah terinfeksi virus AI dengan gejala subklinis dan anak
ayam umur satu hari ini berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya
penularan AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke
daerah bebas AI.
Gambar 1. Ilustrasi Virus Avian Influenza (AI)
8
Vaksin Avian Influenza
Vaksin adalah suspensi bibit penyakit yang hidup tetapi telah dilemahkan
atau dimatikan. Vaksin berfungsi untuk menimbulkan kekebalan (antibodi) pada
hewan yang divaksinasi sehingga dapat berguna untuk melindungi hewan dari
serangan penyakit secara klinis, perlindungan terhadap serangan virus yang
virulen, dan perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksin terdiri dari dua jenis
yaitu: 1. vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung partikel virus yang sudah
dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya, 2. vaksin inaktif adalah
vaksin dengan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi masih memiliki sifat
imunitasnya (Tizard 1988).
Virus aktif yang digunakan dalam vaksin terdiri dari tiga jenis virus yaitu;
virus yang diisolasi dari hewan sehat sebagai virus yang secara alamiah tidak
virulen, virus yang mulanya virulen tetapi setelah dipasase berkali kali di
laboratorium dengan biakan jaringan atau hewan percobaan, virus-virus tersebut
menjadi tidak virulen dan tetap imunogenik, dan virus-virus yang memiliki
kesamaan antigen sehingga antara antibodi yang satu dengan antigen yang lainnya
dapat saling menetralisasi. Virus pada vaksin inaktif berasal dari virus virulen
yang diinaktifkan dengan menggunakan bahan kimia seperti formaldehida, βpropiolakton, asetiletilenimin, etilen oksida, etilenamin. Upaya meningkatkan
daya imunogenik vaksin inaktif biasanya ditambah dengan adjuvan yang
merupakan bahan campuran vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik secara
humoral maupun seluler. Adjuvan yang sering dicampurkan dalam vaksin adalah
lemak nabati, minyak mineral dan Al (OH)3 (Malole 1987).
Prinsip dasar pemakaian virus vaksin adalah harus homolog dengan
subtipe H atau N virus asal lapang. Menurut regulasi Office International Des
Epizooties (OIE), vaksin harus mempunyai komposisi genetik yang stabil,
memiliki proses inaktivasi sempurna (uji laboratorik), bebas pencemaran agen
infeksius lainnya dan mengandung konsentrasi antigen yang tinggi, menggunakan
adjuvan berkualitas tinggi dan memiliki tingkat keamanan, berpotensi serta
efektifitas yang tinggi (uji laboratorik dan uji lapang) (Suarez 2005). Vaksin AI
subtipe H5N1 yang sesuai dengan subtipe virus kasus lapang telah banyak
diproduksi dan dipasarkan secara komersial, saat ini umumnya digunakan dalam
9
program vaksinasi untuk pencegahan penyakit AI subtipe H5N1 pada berbagai
ternak unggas di Indonesia (Dharmayanti et al. 2006).
Pemerintah telah menetapkan obat untuk penyakit yang disebabkan oleh
virus H5N1 seperti amantadine dan rimantadine serta oseltamivir carboxilate
(Tamiflu®) dan Zanamivir (Relenza®). Oseltamivir merupakan salah satu obat
yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase sedangkan amantadine bekerja
sebagai ion chanel blocker. Menurut laporan Arnold et al. (2008), virus AI H5N1
resisten terhadap beberapa obat anti AI seperti oseltamivir dan amantadine.
Berdasarkan resistensi virus terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah
serta kurang efektifnya vaksin yang terjadi saat ini, maka perlu ditingkatkan
pengembangan obat anti virus yang baru dengan menggunakan bahan baku
tanaman obat asal Indonesia (Canopus Biopharma 2009).
Tanaman Obat
Secara empiris tanaman obat banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia
sejak zaman dahulu kala. Penggunaan tanaman obat dapat mencegah berbagai
jenis penyakit, sehingga tanaman obat banyak digunakan dalam berbagai jenis
jamu yang dipasarkan di masyarakat. Tanaman obat atau obat tradisional yang
digunakan untuk pencegahan penyakit dikenal dengan nama Jamu. Industri obat
tradisional di Indonesia berkembang sangat cepat. Menurut Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) terdapat ribuan industri obat tradisional yang
memiliki izin usaha industri, baik yang berskala besar maupun berskala kecil.
Perkembangan industri obat yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat dapat
menjadi gambaran tingginya konsumsi obat tradisional di Indonesia.
Kendala utama dalam penggunaan tanaman obat adalah kurang atau tidak
stabilnya kandungan zat aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman obat.
Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak sering kali dipengaruhi oleh
jenis pelarut yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh lokasi penanaman,
waktu pemanenan, jenis varietas, dan metode ekstraksi yang digunakan, sehingga
diperlukan cara untuk mengatasi variasi kualitas dan kuantitas kandungan zat aktif
dari tanaman obat. Apabila hal ini dilakukan maka kualitas zat aktif tanaman obat
dapat diseragamkan (Wijayakusuma et al. 1994).
10
Beberapa penggunaan tanaman obat sebagai anti viral seperti yang
dilakukan negara Thailand, tentang penelitian khasiat tanaman obat Maeng Lak
Kha (Hyptis suaveolens) yang telah memasuki pengujian klinis tahap kedua, diuji
pada 1.000 orang sukarelawan. Pada pengujian tahap pertama, telah terbukti
dapat membunuh virus AI pada 10 orang sukarelawan. Di Laos, tanaman yang
sedang diteliti adalah Man On Ling (Poligonum multiforum), yang memiliki daya
kerja neuraminidase inhibitor, dan menghambat atau mencegah terjadinya
cytokine storm, yang dapat berakibat fatal. Negara lain seperti Cina dan Korea
tidak kalah gencarnya meneliti tentang tanaman obat yang memiliki kemungkinan
untuk dijadikan obat AI (WHO 2007). Di Indonesia ketersediaan bahan tanaman
obat sangat mudah didapatkan karena Indonesia sebagai negara tropis,
mempunyai berbagai jenis tanaman obat yang berpotensi digunakan sebagai salah
satu sumber bahan obat untuk menggantikan obat AI yang tidak mampu
mengatasi infeksi virus AI H5N1.
Pemanfaatan tanaman obat sebagai obat alternatif terhadap infeksi AI
sangat
membantu
dalam
pengendalian
penyakit
AI
pada
manusia.
Ketergantungan obat AI dari luar selama ini dapat dikurangi, memiliki
ketersediaan yang memadai membuat pemberian obat AI pada penderita menjadi
lebih cepat, terutama bila terjadi pada penderita yang berada di daerah yang sulit
dijangkau oleh pemerintah pusat.
Tanaman obat juga dapat menjadi obat
alternatif karena dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis, atau pemberian obat
sebelum terinfeksi AI.
Pemberian obat sebagai profilaksis dilakukan pada
masyarakat penderita AI, yang bertujuan untuk meminimalisir jumlah orang yang
tertular AI.
Tindakan ini dapat menghemat persediaan obat AI dan biaya
pembelian obat AI dari luar negri (Sugarman 2005).
Pemberian obat sedini
mungkin merupakan suatu tindakan yang sangat efektif dalam penanganan AI.
Selama ini yang menjadi masalah utama dalam penanganan AI adalah
keterlambatan dalam pemberian obat bagi penderita AI, dikarenakan lokasi
penderita berada di daerah yang jauh dari pusat penanganan AI, sehingga
menyebabkan kematian pada penderita. Dengan adanya penemuan obat alternatif
yang berbahan dasar tanaman obat diharapkan penanganan dan pengobatan pada
penderita AI dapat ditanggulangi dengan cepat dan segera, serta dapat
11
meminimalisasi biaya produksi obat AI, sehingga dapat meningkatkan jumlah
sediaan obat dan mudah dalam mendapatkan obat.
Kandungan tanaman obat yang telah diidentifikasi memiliki aktivitas
antiviral adalah flavonoid, terpenoid, lignin, sulfide, polifenol, kumarin, saponin,
senyawa furil, alkaloid, polin, tiopen, protein dan peptide (Manoi 2007; Paparanza
dan Marianto 2003; Rusmin dan Melati 2007). Meskipun memiliki kemampuan
antiviral yang tinggi, namun komposisi kombinasi yang tepat belum banyak
diketahui
dalam
menghambat
infeksi
virus
(Jassim
dan
Naji
2003).
Pengembangan penelitian terhadap mekanisme kerja dari bahan aktif yang
terkandung dalam tanaman obat terus dilakukan, sehingga ditemukan beberapa
bahan aktif dalam tanaman obat yang memiliki mekanisme kerja yang saling
melengkapi, termasuk efek antiviral menghambat pembentukan DNA atau RNA
virus atau menghambat aktivitas reproduksi virus (Ahmad 2006).
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
Tanaman sambiloto merupakan salah satu sumber bahan tanaman obat
yang banyak dipakai di Indonesia. Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah
sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat
asli sambiloto adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti
kebun, tepi sungai, semak-semak, ataupun rumpun. Sambiloto memiliki batang
berkayu dengan bentuk bulat dan persegi serta memiliki banyak cabang
(monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk seperti pedang (lanset)
dengan tepi daun rata dan permukaannya halus berwarna hijau. Bunganya
berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulat panjang) dengan pangkal dan
ujungnya lancip. Di India, bunga dan buah dapat diamati pada bulan Oktober atau
antara bulan Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah dapat diamati antara
bulan Nopember sampai Juni tahun berikutnya, sedangkan di Indonesia karena
merupakan daerah tropis, maka bunga dan buah tanaman sambiloto dapat
ditemukan sepanjang tahun (Hariana 2006).
Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh Indonesia dan dikenal
dengan berbagai nama dalam bahasa daerah. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur menyebutnya dengan nama bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo,
paitan, dan sambiloto, masyarakat Jawa Barat menyebutnya dengan nama kioray,
12
takila, atau ki peurat, sedangkan masyarakat Bali lebih mengenal dengan nama
samiroto.
Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu
menyebutnya dengan nama pepaitan atau ampadu. Sambiloto di Cina disebut
dengan nama chuan xin lian, yi jianxi, dan lan he lian, di India disebut dengan
nama kalmegh, kirayat, dan kirata, di Vietnam dikenal dengan nama xuyen tam
lien dan congcong, negara Arab menyebutny dengan nama quasabhuva, di Persia
dengan sebutan nainehavandi, serta di Inggris menyebutnya dengan nama green
chiretta dan king of bitter. Wijayakusuma et al. (1994) menyebutkan taksonomi
tanaman sambiloto adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermathophyta
Kelas
: Dycotyledonae
Ordo
: Personales
Family
: Acanthaceae
Genus :
Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Ness
Gambar 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
Tanaman sambiloto mempunyai sifat khas seperti rasa pahit yang berasal
dari bagian daun, batang dan akar. Rasa pahit yang dihasilkan oleh sambiloto
diduga berasal dari kandungan andrografolide yang terdapat didalamnya. Semua
bagian dari sambiloto seperti batang, daun dan akar dapat dimanfaatkan sebagai
obat. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dalam obat tradisional seperti
jamu adalah daun dan batang. Sambiloto dapat berguna untuk menurunkan suhu
13
tubuh dan membersihkan darah serta sebagai obat anti diuretik, anti diabetik, anti
inflamasi, anti tukak lambung, anti histamin (gatal-gatal), menurunkan tekanan
darah, anti rematik, anti analgetik, imunomodulator, melindungi kerusakan hati
dan jantung yang reversibel, anti spermatogenik/androgenik (Niranjan et al.
2008). Komponen utama sambiloto adalah andrografolide yang memiliki multi
efek farmakologis. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker
pada hati, payudara dan prostat. Efek farmakologisnya mampu merangsang daya
tahan seluler dan memproduksi antibodi. Di samping itu hasil pengujian pra
klinis sambiloto menunjukkan bahwa andrografolide, memiliki aktivitas sebagai
anti virus, dan telah dikembangkan sebagai obat modern anti virus dengan nama
Androvir® (Maat 2001: Prapanza dan Marianto 2003).
Kandungan bahan aktif sambiloto secara kimia yaitu flavonoid dan lakton.
Pada lakton, komponen utamanya adalah andrografolide, yang juga merupakan
zat aktif utama dari tanaman ini. Zat aktif tanaman obat ini dapat ditentukan
dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography
[HPLC] (Hu 1982). Analisa kandungan zat aktif yang terdapat dalam tanaman
sambiloto adalah lakton dan glikosida, andrografolide, deoksiandrografolide, 11,
14-didehidro-14-deoksi andrografolide, dan neoandrografolide.
Daun dan
percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen
flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin,
panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain lakton dan
flavonoid, pada tanaman sambiloto
juga terdapat komponen alkane, keton,
aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan dammar (Paparanza
dan Marianto 2003).
Penelitian pada hewan percobaan dengan pemberian andrografolide
menunjukkan bahwa setelah 48 jam, komponen ini tersebar luas ke seluruh organ
tubuh, diantaranya jumlah konsentrasi yang terdapat di otak sebesar 20,9%, limpa
14,9%, jantung 11,1%, paruparu 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati 5,6%,
uterus 5,1%, ovarium 5,1%, dan usus halus sebesar 3,2% (Niranjan et al. 2008).
Distribusi yang luas di jaringan dan organ tubuh serta adanya khasiat yang
mengatur dan meningkatkan sistem imun menyebabkan sambiloto menjadi calon
ideal untuk mencegah berbagai penyakit. Secara empiris, sambiloto dimanfaatkan
14
sebagai anti oksidan, anti diabetes, anti fertilitas, anti human immunodeficiency
virus (HIV-1), anti flu, anti adesi intraperitoneal, anti malaria, anti diare, anti
hepatoprotektif, anti koleretik, dan anti kolekinetik. Sambiloto sebagai salah satu
obat tradisional sudah di uji, baik praklinis maupun uji klinis. Berdasarkan uji
toksikologi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa andrografolide dan
senyawa lain yang terkandung dalam tanaman sambiloto memiliki toksisitas yang
sangat rendah (Birdane 2007).
Ekstrak sambiloto dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen baik
yang spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya
peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan
non spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil
dan basofil untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya (Wibudi 2006).
Sirih Merah (Piper crocatum)
Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial
yang sejak lama diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan
berbagai jenis penyakit. Disamping itu sirih merah juga memiliki nilai-nilai
spiritual yang tinggi, termasuk dalam suatu elemen penting yang harus disediakan
dalam setiap rangkaian acara adat di Yogyakarta (Manoi 2007). Tanaman sirih
merah tumbuh menjalar seperti sirih hijau, batangnya bersulur dan beruas dengan
setiap buku tumbuh bakal akar, daunnya bertangkai berbentuk jantung dengan
bagian atas meruncing, mempunyai warna yang khas yaitu permukaan atas hijau
gelap berpadu dengan tulang daun berwarna merah hati keunguan, daun berasa
pahit, berlendir, serta mempunyai bau yang khas seperti sirih (Duryatmo 2005).
Budidaya sirih merah dapat dilakukan secara vegetatif dengan penyetekan
atau pencangkokan, karena tanaman ini tidak berbunga.
Penyetekan dapat
dilakukan dengan menggunakan sulur yang panjangnya 20-30 cm. Sulur
sebaiknya dipilih dari yang telah mengeluarkan akar dan mempunyai 2-3 daun
atau 2-3 buku. Untuk mengurangi penguapan, daun dikurangi sebagian atau
dibuang seluruhnya. Sulur diambil dari tanaman yang sehat dan telah berumur
lebih dari setahun. Penanaman di lapangan sebaiknya dilakukan pada awal musim
hujan, sirih merah dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah dan tidak
terlalu sulit dalam pemeliharaannya.
Selama ini sirih merah tumbuh tanpa
15
dilakukan pemupukan, tetapi pertumbuhan di lapangan tergantung pada jumlah air
dan cahaya matahari yang cukup yaitu berkisar 60-75% (Manoi 2007).
Sirih merah menurut Backer (1963) diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monochlamydeae
Ordo
: Piperales
Family
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum
Gambar 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz)
Sirih merah mengandung senyawa aktif yakni alkaloid, saponin, tanin,
flavonoid dan minyak atsiri. Sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar,
simplisia maupun ekstrak.
Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan
berbagai jenis penyakit seperti diabetes melitus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan
kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, prostatitis, radang mata,
keputihan, tukak lambung, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Hasil
uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak sirih merah hingga dosis 20g/kg
berat badan, menunjukkan aman untuk dikonsumsi dan tidak bersifat toksik
(Manoi 2007). Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center sebagai
ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan obat
kimia.
Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar
sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat modern.
16
Senyawa flavonoid dan tanin bersifat anti kanker, anti oksidan, anti septik dan anti
inflamasi (Ziaran et al. 2005)
Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa
kompleks terhadap protein ekstra seluler yang mengganggu integritas membran
sel bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan
senyawa fenol yang dapat bersifat sebagai koagulator protein. Alkaloid memiliki
kemampuan sebagai antibakteri, dengan dugaan mekanisme kerjanya adalah
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga
lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel
tersebut (Robinson et al. 1991). Tanin memiliki aktivitas toksisitas yang dapat
merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat menginduksi
pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan
pembentukan kompleks antara ikatan tanin terhadap ion logam dapat menambah
daya toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama 2001).
Kandungan minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya
mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil.
Turunan fenol
berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absorbsi yang melibatkan ikatan
hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan
yang lemah dan mengalami peruraian yang cepat, diikuti penetrasi fenol ke dalam
sel yang menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein sedangkan pada kadar
tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan lisisnya membran sel (Parwata et
al. 2008).
Adas (Foeniculum vulgare)
Adas (Foeniculum vulgare) merupakan salah satu jenis tanaman yang
banyak dibudidayakan di Indonesia untuk digunakan sebagai bumbu makanan
atau sering juga digunakan sebagai obat.
Secara empiris tanaman adas
dimanfaatkan untuk mengobati sakit perut, perut kembung, mual, muntah dan
diare, sakit kuning, batuk, flu sesak nafas (asma), nyeri haid, hernia batu empedu
dan lain-lain. Di negara-negara lain adas digunakan sebagai obat tradisional,
seperti di Cina digunakan sebagai antitusiv dan di India sebagai antelmentika, anti
inflamasi, anti fungal, anti mikroba dan mencegah influenza (David 2002).
17
Taksonomi dari buah adas adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Apiales
Family
: Apiaceae
Genus
: Foeniculum
Spesies
: Foeniculum vulgare Mill (Bean dan Russo 1988)
Gambar 3. Adas (Foeniculum vulgare Mill)
Adas terdiri dari dua varietas, yaitu adas pahit (Varietas vulgare) dan adas
manis (Varietas ducle). Tanaman adas dengan ciri tinggi, tanaman 1-2 meter dan
memiliki banyak percabangan, batang beralur, daun berbagi menyirip berbentuk
bulat telur sampai segitiga dengan panjang 0.3 cm, bunga berwarna kuning
membentuk payung yang besar dan terdiri dari 15-40 payung kecil dengan
panjang tangkai bunga 1-6 cm. Buah adas yang biasa digunakan adalah buah adas
yang kering berwarna cokelat. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam buah
adas adalah minyak atsiri yang mengandung anethole atau phenylphropanoid
sebanyak 0.1-36%, α-pinene (1–21%), limonene (1–17%) dan ά-terpinene (<1–
4%) (Edoardo et al. 2010).
Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap adas diketahui bahwa adas
memiliki beberapa efek farmakologis, diantaranya minyak atsiri dari buah adas
dapat menurunkan kadar gula darah dan glutation perioksidase serta memperbaiki
18
abnormalitas yang terjadi pada ginjal dan pankreas tikus diabetes (El-soud et al.
2011). Kandungan senyawa trans dan cis-anetol serta estragol yang terdapat
dalam adas juga bermanfaat sebagai anti jamur (Mironescu et al. 2010). Tanaman
adas (Foeniculum vulgare) diduga memiliki efek anti inflamasi, namun jumlah
persentase zat aktif yang bekerja sebagai anti inflamasi belum dapat ditentukan
(Albano et al. 2010).
Organ Limfoid
Organ limfoid secara umum dapat diklasifikasi berdasarkan perannya
dalam menghasilkan limfosit, mengatur produksi limfosit dan menyiapkan kondisi
lingkungan untuk interaksi antara antigen yang sudah diproses dengan sel peka
antigen. Organ limfoid unggas dibagi dalam dua kelompok besar yaitu organ
limfoid primer yang berfungsi mengatur produksi dan diferensial limfosit, yang
termasuk dalam organ limfoid ini adalah timus dan bursa Fabricius. Organ
limfoid sekunder bersifat responsif terhadap stimulasi antigenik, organ limfoid ini
kaya akan makrofag dan sel dendritik yang menangkap serta memproses antigen
dan limfosit T dan B, yang memperantarai reaksi kebal. Termasuk dalam organ
limfoid sekunder adalah limpa, simpul limfe, saluran respirasi, saluran urogenital
dan limfonodul pada saluran gastrointestinal (Tizzard 1987).
Bursa Fabricius
Bursa berkembang secara cepat pada unggas muda dan mencapai ukuran
maksimum antara minggu ke 4 sampai 12 minggu. Pada umumnya, unggas
mengalami regresi bursa dengan cepat setelah 20 sampai 24 minggu. Involusi
bursa Fabricius dimulai pada umur 14 minggu hingga 5 bulan. Struktur bursa
Fabricius adalah permukaan dalamnya terdiri dari lipatan longitudinal (plika)
besar dan kecil. Lipatan-lipatan ini terdiri dari folikel bursa dan dibawahnya
terdapat matriks jaringan ikat, seperti lipatan bursa untuk tiap folikel yang disebut
lumen bursa. Lipatan epitel longitudinal dibentuk pada permukaan dalam kantung
dan epitel kulumnar menutupi plika berproliferasi dan membentuk pertumbuhan
ke arah luar dari pucuk epitel ke dalam lamina propia yang berada dibawahnya
(Ruddle 1999)
19
Korteks dan medula merupakan bagian dari bursa Fabricius, kedua bagian
ini dipisahkan oleh membran basal yang berhubungan dengan permukaan epitel.
Permukaan medula dari membran basal folikular terdiri dari lapisan sel epitel
squamous atau kubus. Stroma jaringan epitel secara ekstensif terdapat di dalam
medula. Akibat kerja dari jaringan ini, kehadiran limfosit dan makrofag sulit
untuk dilihat.
Bagian korteks terdiri dari sel-sel limfosit, sel plasma dan
makrofag, sedangkan bagian medulanya hanya berisi sel limfosit. Sel plasma
kaya akan ribosom yang akan menghasilkan antibodi dan kemampuan mengenali
suatu rentetan partikel yang mempunyai ukuran menengah diantara linfosit dan sel
plasma. Sel plasma sebenarnya sel efektor yang mengsekresi immunoglobulin
dan menetralisir antigen. Sel plasma kaya akan ribosom yang akan menghasilkan
antibodi, aparat golgi yang besar sebagai tempat keluarnya antibodi (Eerola et al.
1987 dan Tizzard 1987).
Bursa Fabricius mempunyai fungsi sebagai tempat pendewasaan dan
diferensiasi bagi sel dari sistem pembentuk antibodi.
Bursa juga berfungsi
sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk
antibodi dan juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang
salurannya (Tizzard 1987).
Limpa
Secara histologis, limpa terdiri dari stroma (kapsula, trabekula) dan
parenkim (pulpa limpa).
Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari
banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai
kelenjar-kelenjar limfe. Kapsul limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri atas serat
kolagen, serat elastin dan beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang
mengandung cabang-cabang besar arteri dan vena spenikus (lienalis) berjalan dari
kapsula ke bagian dalam organ
Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh
respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif,
sehingga apabila dilihat secara makroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi
pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk
membentuk antibodi. Dengan pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada jumlah
sel darah yang banyak mengisi ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta
20
pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi), patologi yang terjadi pada
limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah
dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel
dan deposit lain (Thomas 2006).
Limpa merupakan organ pertahanan ayam yang berfungsi untuk
memproduksi sel-sel limfosit. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa
merah dan pulpa putih. Pulpa merah memiliki fungsi “menyaring” darah,dan
sebagai tempat penyimpanan sel darah merah, penjeratan antigen dan eritropoietis
pada fetus, sedangkan bagian pulpa putih merupakan sebagai tempat terjadinya
tanggap kebal (Tizzard 1988).
Timus
Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitel yang tersusun longgar
dan setiap lobus dibatasi oleh kapsul jaringan ikat. Bagian tengah tiap lobus
disebut medula sedangkan bagian tepinya disebut korteks. Korteks timus paling
utama terdiri dari retikulum epitel dan lmfosit. Sel epitel timus memiliki inti
lonjong, besar dan pucat dengan penjuluran bercabang panjang yang mengandung
banyak filament mikro dan saling berhubungan kuat melalui desmosom organel
tidak jelas. Sel-sel epitel membentuk balutan berkesinambungan pada tepi lobus
dan sekitar ruang perivaskuler. Ini merupakan bagian penting dari barier antara
darah dan timus (Dellman dan Brown 1989).
Ukuran timus sangat bervariasi, ukuran relatif paling besar terdapat pada
hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada saat hewan
pubertas (Tizzard 1987). Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang
secara normal mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur.
Proses involusi ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di
daerah korteks, pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh
sel lemak. Pada hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di
mana banyak sel-sel retikuler epitel membesar yang dikelilingi jaringan lemak
(Dellman dan Brown 1989).
Timus berfungsi sebagai kelenjar endokrin, bermacam-macam hormone
disekresikan oleh sel epitelial timus, diantara yang terpenting adalah timosin,
timopoetin dan FTS (facteur thymique serique). Timosin adalah campuran dari
21
polipeptida kecil yang bekerja pada sel sumsum tulang untuk pematangan sel T.
Timoepoetin
adalah
polipeptida
yang
menyebabkan
pendahulu
sel
T
berdiferensiasi dan mempertinggi fungsi sel T dengan menekan tingkat AMP
siklik. FTS adalah peptide yang disekresi oleh sel epithelial yang mampu
mengembalikan sebagian fungsi sel T pada hewan yang mengalami timektomi
(Tizzard 1987).
Leukosit
Leukosit atau sel darah putih memiliki peran utama dalam sistem
pertahanan tubuh melawan infeksi. Kebanyakan sel leukosit di dalam aliran darah
bersifat non fungsional karena hanya diangkut ke jaringan ketika dibutuhkan
(Franson 1992). Jumlah leukosit jauh dibawah jumlah eritrosit dan bervariasi
tergantung jenis hewannya. Jumlah leukosit yang tinggi dipengaruhi oleh genetik,
hormon, status nutrisi yang bervariasi antara individu hewan. Fluktuasi jumlah
leukosit pada setiap individu cukup besar pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya
stres, aktivitas fisiologis, gizi dan umur (Tizzard 1987)
Fungsi leukosit adalah menghancurkan agen infeksi dengan proses
fagositosis dan membentuk antibodi (kekebalan). Pengamatan terhadap leukosit
merupakan suatu cara untuk mendiagnosis suatu kondisi atau status kekebalan
tubuh. Respon pertahanan atau kekebalan tubuh yang tertekan disebabkan oleh
rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk atau
mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan misalnya, bursa
Fabricius, limpa, timus, sumsum tulang dan jaringan lainnya, karena pada
jaringan tersebut dibentuk sel pertahanan tubuh yaitu leukosit (Unandar 2003).
Leukosit atau sel darah putih terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu,
granulosit dan agranulosit. Sel darah putih yang termasuk ke dalam kelompok
granulosit adalah heterofil, basofil dan eosinofil. Neutrofil pada unggas dikenal
dengan nama heterofil.
Monosit dan limfosit termasuk ke dalam kelompok
agranulosit atau leukosit yang tidak bergranul (Guyton 2008).
Respon kekebalan ayam dirangsang oleh pemaparan antigen yang
stukturnya dikenali oleh sistem kekebalan sebagai suatu benda asing (non-self).
Antigen dapat disuguhkan kepada sistem kekebalan sebagai kompleks multi
antigen (partikulat) misalnya: virus, bakteri, parasit, fungi dan partikel artifisal
22
atau sebagai antigen tunggal misalnya protein dan polisakarida (Leanears dan
Hendriksen 2005).
Komponen-komponen yang mendasar dalam mekanisme respon kekebalan
antigen-spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T, sedangkan
kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil
(heterofil), monosit (didalam jaringan disebut makrofag), eosinofil dan basofil,
dari semua komponen dasar yang berperan dalam mekanisme kekebalan tersebut
berasal dari stem sel (Roitt dan Delves 2001).
Heterofil
Heterofil dibentuk di sumsum tulang dan dideposit di sumsum tulang
hingga dibutuhkan oleh tubuh, jumlah total heterofil dalam leukosit sebanyak 1540% dari total leukosit yang bersirkulasi pada tubuh makhluk hidup secara umum
(Jain 1986). Heterofil akan muncul pada saat peradangan, jumlah heterofil dapat
digunakan untuk mendiagnosis keadaan stres pada unggas (Sturkie 1976).
Fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui
proses fagositosis, heterofil merupakan garis pertahanan utama tubuh dalam
melawan infeksi bakteri, virus dan agen yang merugikan tubuh (Meyer and
Harvey 2009). Sel-sel heterofil ketika memasuki jaringan sudah merupakan selsel dewasa/matang sehingga dapat langsung memulai fagositosis, sebuah sel
heterofil dapat memfagositosis 5-20 bakteri. Sel heterofil mempunyai sejumlah
besar enzim lisosom yang berisi enzim preteolitik untuk mencerna bakteri dan
bahan-bahan protein asing (Guyton 1986).
Eosinofil
Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah dan menunjukkan fenomena
kemotaksis. Jumlah eosinofil normalnya mencakup 1.5-6% dari jumlah total
leukosit (Jain 1986). Eosinofil diduga berfungsi pada reaksi antigen antibodi dan
meningkat pada serangan asma, reaksi obat-obatan dan infestasi parasit tertentu
(Price et al. 1995).
Basofil
Basofil mengangkut heparin, faktor-faktor pengaktifan histamin dan
platelet dalam granula-granulanya untuk menimbulkan peradangan pada jaringan.
23
Jumlah basofil paling sedikit 1.7% dari total jumlah leukosit (Sturkie 1976).
Keadaan
jumlah
basofil
yang
meningkat
ditemukan
pada
gangguan
mieloproliferatif, yaitu gangguan proliferatif dari sel-sel pembentuk darah (Price
et al. 1995).
Monosit
Monosit dibentuk di sumsum tulang dan disimpan sampai diperlukan di
sistem sirkulasi. Monosit meninggalkan sirkulasi dan menjadi makrofag jaringan
serta merupakan sebagian dari system monosit makrofag. Monosit memiliki
fungsi
fagosit,
membuang
sel-sel
nekrosis,
fragmen-fragmen
sel
dan
mikroorganisme (seperti pada endokarditis bakterial) (Price et al. 1995). Struktur
monosit secara histologis terlihat memiliki ukuran terbesar 15-20 mikron, inti
yang bulat atau menyerupai tapal kuda, dan sitoplasma basofilik tidak bergranul
(Clark et al. 2009).
Limfosit
Limfosit paling banyak terdapat di jaringan limfogen khususnya di
kelenjar limfe. Limfosit juga dapat dijumpai dalam jaringan limfoid khusus
seperti limpa, timus, tonsil, dan berbagai jaringan limfoid lainnya yaitu Plak
Peyer di bawah epitel usus dan sumsum tulang. Limfosit memiliki fungsi utama
sebagai pembentuk antibodi terhadap antigen yang berkembang dalam darah atau
dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson 1992). Limfosit juga berfungsi
sebagai penghasil antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi
antigen yang melekat pada makrofag (Ganong 1995). Fungsi lain dari limfosit
adalah sebagai inti dari suatu imun spesifik karena limfosit memiliki kemampuan
menyingkirkan antigen setelah mengalami aktivasi (Kresno et al. 2001).
Jumlah limfosit dalam tubuh unggas sebesar 45-70% dari total leukosit
yang bersirkulasi di seluruh tubuh (Jain 1986). Rata-rata jumlah limfosit pada
unggas menurut Davis et al. (2008) adalah 63%, sedangkan Lavinia et al. (2009)
menyebutkan jumlah limfosit ayam pada umur 3 sampai 6 minggu adalah 65.55%.
Secara histologis, limfosit terlihat memiliki inti sel heterokromatik berbentuk
lonjong hingga bulat, sitoplasma yang bersifat basofilik tidak bergranul, dan
terbagi menjadi limfosit kecil dan besar (Clark et al. 2009).
24
Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan. Dua bentuk limfosit
yang aktif dapat dikenali sebagai limfosit T yang menghasilkan sel T, yang
berasal dari timus dan limfosit B berasal dari sel B dihasilkan oleh bursa
Fabricius (Dellman dan Brown 1989). Pada bangsa unggas prekusor yang
ditemukan banyak pada bursa Fabricius dan struktur limfoid dekat kloaka,
ditransformasi ke limfosit yang bertanggung jawab sebagai imunitas humoral atau
limfosit B (Ganong 1995).
25
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 - April 2011. Ekstraksi
tanaman obat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik (BALITTRO), pemeliharaan ayam dilakukan di kandang FKH IPB, dan
uji tantang virus Avian Influenza H5N1 dilakukan di Laboratorium Biosafety
Level 3 (BSL3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri,
Bogor.
Pemeriksaan patologi dilaksanakan di Laboratorium Patologi,
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Materi
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging
dengan bobot badan rata-rata 38g, dipelihara dengan pemberian pakan dan minum
ad libitum. Pemberian Vaksin Newcastle Disease (ND) pada umur 4 hari dan
pemberian vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) pada umur 11 hari.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, penggiling, tabung
steril, gelas ukur, corong pisah, sentrifus, labu penyuling, inkubator, vorteks,
penangas air, tabung elenmeyer, blender, kapas, tissue, tabung kromatografi,
tabung destruksi, labu penyaring, alat penyaring, pipa kapiler, kandang dan
kelengkapannya, alat peniup, alat pengering, pendingin tegak, ekstraktor, spuit,
seperangkat alat bedah, kaset histologi, gelas piala, gelas objek, cover glass, pipet,
mikropipet, mikrotip, mikrotom rotari, dan mikroskop.
Bahan yang digunakan adalah virus AI subtipe H5N1/Legok/2003,
tanaman Sambiloto, Adas dan Sirih Merah, metanol, etanol, aseton dingin, etil
asetat, kloroform, aquades, asetat hidrat dan H2SO4, larutan Giemsa, Buffered
Neutral Formaline (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%,
80%, 95%, 96% dan alkohol absolut), xilol, parafin, sitrat buffer, PhosphateBuffered Saline (PBS), akuades Destilated Water (DW), Tween20 0.1%, H2O2
26
3%, antibodi primer (monoclonal anti-AI H5N1 antibody), antibodi sekunder
(rabbit anti-chicken IgG), diaminobenzidine (DAB), entelan, hematoksilin dan
eosin.
Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar
Jenis tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah :
1. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
2. Adas (Foeniculum vulgare Mill)
3. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz)
Bahan baku tanaman obat untuk ekstraksi dipanen dari koleksi plasma
nutfah tanaman obat di lingkup kebun BALITTRO.
Ekstraksi dipersiapkan
dengan mengikuti prosedur standar pembuatan sediaan berupa simplisia yang
meliputi : Sortasi yaitu tanaman yang telah dipanen sebelum dicuci masingmasing bahan disortir dengan tujuan untuk memisahkan bagian tanaman yang
baik dengan yang rusak.
Pencucian yaitu masing-masing bahan yang telah
disortir (yang baik) dicuci dengan air mengalir sampai bersih, lalu ditiriskan.
Pengeringan dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari dan ditutup
kain hitam dilanjutkan dengan oven pada suhu 400C hingga kering (kadar air
±10%). Masing-masing bahan digiling dengan menggunakan alat penggiling.
Ekstraksi Tanaman Obat
Ekstraksi dilakukan di BALITTRO. Masing-masing bahan yang sudah
digiling dan diayak lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam alat ekstraktor,
kemudian ditambah etanol 95% sebanyak 5 kali berat bahan dengan perbandingan
1: 5 (bahan : pelarut) dan diaduk selama 2 jam dengan pengaduk listrik, kemudian
didiamkan satu malam. Keesokan harinya disaring dengan kain flanel untuk
mendapatkan filtrat. Ampas dari hasil saringan direndam kembali dengan etanol
sebanyak 3 kali jumlah bahan dan diaduk selama 30 menit, lalu disaring. Filtrat
dari hasil saringan pertama dan kedua disatukan. Selanjutnya filtrat diuapkan
dengan vacuum rotary evaporator (alat penguap) dengan tekanan putaran rendah
sehingga didapatkan ekstrak kental, kemudian dilanjutkan penimbangan ekstrak
untuk membuat formula yang digunakan dalam penelitian.
27
Pembuatan Formula
Formula
yang digunakan
dalam
penelitian
dibuat
dengan
cara
mencampurkan ekstrak etanol sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide,
adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin.
Perbandingan konsentrasi kandungan zat aktif yang setara dalam masing-masing
ekstrak tanaman obat disusun berdasarkan metode penelitian yang dilakukan
Setiyono et al. (2010). Variasi konsentrasi ekstrak tanaman obat disusun dalam
formula sebagai berikut :
1. Sambiloto setara dengan zat aktif Andrografolide
: 5%; 7.5%; 10%
2. Adas setara dengan zat aktif Anetol
: 5%; 7.5%; 10%
3. Sirih merah setara dengan zat aktif Piperin
: 5%; 7.5%; 10%
4. Simplisia Sambiloto, Adas dan Sirih merah
Semua bahan formula ditambah dengan emulsifer tween-80, antioksidan,
asam askorbat sebagai penstabil, pengencer digunakan air bersih. Total formula
yang diperlukan dalam perlakuan adalah 6 liter. Untuk mengetahui komposisi
kimia formula, dilakukan analisis dengan Gas Chromatography Massa
Spectrophotometry (GCMS).
Metode
Pemeliharaan Hewan Coba
Sebanyak 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging dengan berat
badan rata-rata 38g, dibagi dalam 2 (dua) kelompok (kelompok ayam tidak
divaksin AI H5N1 dan kelompok ayam yang divaksin AI H5N1) dan terdiri dari 5
(lima) perlakuan dengan masing-masing kelompok perlakuan berjumlah 8 ekor
anak ayam, semua ayam kelompok perlakuan dipelihara dengan pemberian pakan
standar dan minum ad libitum.
Uji Perlakuan Ekstrak Etanol Tanaman Obat dalam Formula ke Ayam :
Kelompok perlakuan diberi ekstrak tanaman obat dengan komposisi
formula sebagai berikut :
Formula 1 (F1 - 5%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara dengan
zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara
dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 5%
28
Formula 2 (F2 - 7.5%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara
dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih
merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 7.5%
Formula 3 (F3 - 10%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara
dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih
merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 10%
Formula 4 (F4 - simplisia) = Formula Simplisia tanaman sambiloto, adas dan
sirih merah
Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih
merah terhadap ayam perlakuan selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Metode pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan
sirih merah dengan konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7.5%, F3 - 10% dan F4simplisia terhadap ayam pada kelompok perlakuan
Jenis perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Jumlah
ayam (ekor)
Tanaman Obat
(umur 4 s/d 25 hari)
Vaksinasi AI
(umur 21 hari)
I-F1- 5%
8
+
I-F2- 7.5%
8
+
I-F3- 10%
8
+
I-F4-simplisia
8
+
I-K
8
II-F1- 5%
8
+
II-F2- 7.5%
8
+
II-F3- 10%
8
+
II-F4-simplisia
8
+
II-K
8
Keterangan : F = formula ekstrak dengan konsentrasi,
(+) = diberikan,
(-) = tidak diberikan
+
+
+
+
+
K = kontrol
Tantang virus
AI H5N1
(umur 44 hari)
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Pemeriksaan Performance Ayam Perlakuan
Penimbangan berat badan ayam perlakuan dilakukan seminggu sekali
selama berlangsungnya penelitian. Penimbangan ayam dilakukan secara individu
mulai dari minggu pertama sampai dengan minggu ke enam.
Tujuan
penimbangan ayam adalah untuk mengetahuhi pengaruh pemberian formula
konsentrasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan
berbagai konsentrasi terhadap berat badan ayam perlakuan.
29
Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan darah ayam pada kelompok perlakuan (I dan II) dilakukan
sebanyak tiga kali diantaranya, pada saat ayam berumur 21 hari, ayam berumur
44 hari dan saat ayam berumur 51 hari. Tujuan pengambilan darah adalah untuk
dilakukan pemeriksaan diferensial leukosit dan uji titer antibodi AI.
Darah
diambil sebanyak 1-2 ml melalui vena brachialis, kemudian diletakkan pada suhu
ruang selama lebih kurang satu jam atau sampai serum terpisah dari darah. Serum
yang diperoleh disimpan dalam tempat penyimpanan dengan suhu 4 0C.
Pemeriksaan yang dilakukan dari sampel darah meliputi :
Pemeriksaan Diferensial Leukosit
Pemeriksaan diferensial leukosit terhadap sampel darah dilakukan dengan
cara meletakkan setetes darah pada objek gelas dan mengulas tipis, dilakukan
pewarnaan dengan Giemsa dan diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui
jumlah sel leukosit yang terdapat dalam darah kemudian dilakukan perhitungan
terhadap 100 sel leukosit yang meliputi sel limfosit, monosit, heterofil, eosinofil
dan basofil dengan menggunakan pembesaran 1.000 X.
Uji Hemaglutinin Inhibisi (HI)
Uji HI dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.025 ml Phosphate
Buffered Saline (PBS) pH 7.2 dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan mikro
yang terdiri dari 96 lubang. Kemudian ditambahkan 0.025 ml serum sampel dan
serum positif pada lubang pertama lalu ditambahkan serial kelipatan 2 dari lubang
pertama hingga lubang ke-11 dan lubang ke-12 dipergunakan sebagai kontrol sel
darah merah.
Selanjutnya 0.025 ml antigen virus AI H5N1 sebesar 4
Haemaglutination Unit (HAU) ditambahkan ke dalam setiap lubang kecuali pada
lubang ke-12 yang berisi sel darah merah ditambahkan dengan 0.025 PBS dan
selanjutnya dicampur dengan alat pencampur selama 30 detik sebelum diinkubasi
pada suhu 200C selama 30 menit. Selanjutnya 0.025 ml sel darah merah 1%
(SDM) ditambahkan ke dalam setiap lubang, kemudian dicampur dengan alat
pencampur selama 30 detik dan diinkubasi pada suhu 20 0C selama 40 menit.
Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi yang
masih memberikan inhibisi (penghambatan) aglutinasi pada antigen 4 HAU.
Inhibisi ditetapkan dengan melakukan pengamatan sel darah merah pada lubang-
30
lubang cawan mikro, apabila cawan mikro dimiringkan terlihat sel darah merah
mengendap yang serupa dengan sel darah merah kontrol.
Uji Tantang dengan Virus AI H5N1
Ayam yang telah diberi formula ekstrak etanol tanaman obat selama 21
hari dan diadaptasikan selama 19 hari kemudian dibawa ke Laboratorium
Biosafety Level 3 (BSL3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung
Putri, Bogor untuk dilakukan uji tantang virus AI H5N1 secara intranasal dengan
dosis 0.1 ml (106 EID50) per ekor. Pengamatan daya tahan hidup ayam dilakukan
selama 6 hari setelah semua ayam ditantang dengan virus AI H5N1. Ayam yang
mati pada hari pengamatan setelah ditantang dengan virus AI, atau ditemukan
semua ayam masih hidup sampai hari ke-6 setelah ditantang dengan virus AI,
maka ayam tersebut dimatikan dan diambil organ limfoid (bursa Fabricius, limpa
dan timus) dengan membedah (nekropsi) ayam yang mati tersebut untuk
dievaluasi dengan pembuatan preparat histopatologi menggunakan perwarnaan
Hematoksilin Eosin (HE) dan Imunohistokimia (IHK).
Pembuatan Preparat Histopatologi
Organ terpilih dimasukkan kedalam BNF 10% untuk difiksasi, kemudian
dilakukan dehidrasi menggunakan mesin tissue processor dengan alkohol
bertingkat, selanjutnya direndam dalam parafin cair sebelum diblok. Selanjutnya
proses embedding dalam parafin dan didinginkan pada suhu kamar sehingga
menjadi blok parafin kemudian dipotong dengan mikrotom setebal 3-4 µm lalu
ditempelkan pada objek gelas (preparat) yang sebelumnya dilapisi dengan gelatin
dan kromium potasium sulfat (CrK(SO4)). Selanjutnya, preparat dideparafinisasi
dan rehidrasi sebelum dilakukan pewarnaan secara imunohistokimia dan
hematoksilin eosin.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Pewarnaan HE dilakukan untuk melihat perubahan patologis organ limfoid
(organ pertahanan) ayam pedaging akibat virus AI. Proses awal pewarnaan
jaringan melakukan deparafinisasi yaitu jaringan direndam dalam xylol I,II,III,
lalu dilanjutkan ke dalam absolut sampai ke alkohol 70% masing-masing selama 3
menit. Kemudian dicuci dengan air kran atau destillated water (DW) selama 5
31
menit. Kemudian direndam dalam hematoksilin selama 1 menit, lalu dicuci
dengan air kran atau DW selama 5 menit. Selanjutnya direndam dalam eosin
selama 2 menit, lalu dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai
dari alkohol 70% sampai alkohol absolut dan dilanjutkan dengan clearing dengan
xylol I, II, III. Kemudian mounting dengan entelen dan ditutup dengan cover glass
dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop. Hasil dari pewarnaan HE akan
terlihat inti sel berwarna kebiruan dan sitoplasma terlihat berwarna merah muda.
Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
Metode pewarnaan deteksi antigen AI ini mengacu pada metode Temasek
Laboratorium Singapura dengan menggunakan citrat buffer untuk unmasking
antigen. Blocking aktifitas endogenus menggunakan hidrogen peroksida (H2O2)
3% selama 20 menit, kemudian dicuci dengan PBS tween selanjutnya direndam
dengan skim milk 0.1% dalam PBS selama 30 menit untuk meminimalisir reaksi
non-spesifik dan dicuci kembali dengan PBS tween.
Antibodi primer yang
digunakan adalah antibodi monoklonal H5N1 (Astawa et al. 2001) dan diinkubasi
selama 24 jam di suhu 40C. Setelah 24 jam preparat dibilas dengan PBS tween
kemudian ditambahkan antibodi sekunder (chicken anti IgG) yang akan berikatan
dengan antibodi primer, dan selanjutnya diinkubasi selama 1 jam.
Sebagai
kromogen digunakan diamino benzidine (DAB), dilakukan setelah antibodi
sekunder, dibilas dengan DW.
Counterstain menggunakan Lillie Mayer
Hematoksilin untuk mendapatkan warna kebiruan sebagai latar belakang jaringan
dan antigen AI yang telah terwarnai dengan kromogen akan berwarna coklat
kemerahan. Pemeriksaan dinyatakan positif apabila ditemukannya antigen AI
yang berwarna kecoklatan dan negatif apabila tidak ditemukan antigen AI H5N1.
Dalam penelitian ini pemeriksaan antigen AI dilakukan dengan obyektif
20X, berdasarkan jumlah antigen per satu lapang pandang per organ, dengan
memberikan skor sebagai berikut : + (untuk 1-20 antigen/satu lapang pandang),
++ (untuk 21-40 antigen/satu lapang pandang) dan +++ (untuk lebih dari 41
antigen/satu lapang pandang) sedangkan – (untuk yang tidak ditemukan antigen
per satu lapang pandang/negatif).
32
Analisa Data
Data hasil pemeriksaan diferensial leukosit, dan performance dianalisa
secara
statistik
menggunakan
analisa
sidik
ragam
(ANOVA)
dengan
menggunakan software SPSS 17. Jika terdapat perbedaan pada masing-masing
kelompok perlakuan maka dilakukan uji Duncan. Hasil pemeriksaan HI, HE dan
IHK dianalisa secara deskriptif.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan
Pemeriksaan diferensial leukosit ayam broiler dalam kelompok perlakuan
dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian berlangsung. Pemeriksaan tahap
pertama dilakukan pada ayam berumur 21 hari, yaitu semua ayam kelompok
perlakuan kecuali kelompok kontrol, diberikan formula ekstrak etanol tanaman
sambiloto, adas dan sirih merah selama 16 hari. Hasil pemeriksaan diferensial
leukosit ayam umur 21 hari disajikan pada Tabel 2 di bawah.
Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian
ekstrak tanaman obat
Kelompok
Perlakuan
Pengamatan diferensial leukosit (%)
Heterofil
Monosit
I-F1-5%
75.0±5.04e
Limfosit
16.4±4.39cd
6.0±2.23b
Eosinofil
1.4±0.89ab
1.4±0.89ab
Basofil
II-F2-7.5%
77.4±48.20e
14.4±7.16c
3.4±2.30ab
2.6±2.07ab
2.2±2.28ab
III-F3-10%
77.2±2.58e
16.0±2.44cd
4.4±1.14ab
1.0±0.70ab
1.4±1.51ab
IV-F4-simplisia
77.8±7.69e
19.2±4.54cd
0.8±0.83ab
2.2±3.89ab
0.0±0.00a
K-(kontrol)
Nilai referensi*
77.6±6.87e
63.0
20.8±7.25d
30.1
0.8±0.44ab
4.0
0.8±0.44ab
2.5
0.0±0.00a
0.1
Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
hasil berbeda nyata (P<0.05), * Davis et al. 2008.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam berumur 21 hari
pada tahap pertama (Tabel 2), secara umum menunjukkan jumlah rataan leukosit
ayam tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing-masing kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lavinia et al. (2009),
bahwa pemberian ekstrak tanaman obat dan minyak esensial tidak berpengaruh
terhadap gambaran darah tepi (darah perifer) ayam broiler. Jumlah rataan limfosit
dalam penelitian ini adalah 75.0-77.8%, Menurut Davis et al. (2008) jumlah
rataan limfosit pada ayam adalah 63.0% dalam keadaan normal. Perbedaan
antara rataan jumlah limfosit ayam perlakuan dengan rataan jumlah limfosit ayam
pada referensi (menurut Davis) diduga akibat dari respon fisiologis tubuh ayam
yang diamati, serta akibat perbedaan lingkungan tempat berlangsungnya
penelitian.
Pemeriksaan diferensial leukosit tahap kedua dilakukan pada umur 44 hari
setelah semua ayam perlakuan diberikan formula ekstrak etanol tanaman
34
sambiloto, adas dan sirih merah selama 21 hari. Adapun tujuan dari pemeriksaan
pada tahap kedua ini adalah untuk mengamati perbedaan respon leukosit ayam
yang tidak divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan I) dengan ayam yang
divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan II). Hasil pemeriksaan diferensial
leukosit tahap kedua terhadap ayam perlakuan berumur 44 hari disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 44 hari sebelum ditantang
virus AI H5N1
Kelompok
Perlakuan
Pengamatan diferensial leukosit (%)
Limfosit
Heterofil
h
Eosinofil
0.2±0.44a
I-F2- 7.5%
73.6±9.76h
15.0±8.74cdefg
9.8±3.11abcdef
0.2±0.44a
1.4±3.13a
I-F3- 10%
82.8±3.27h
5.2±2.16abc
12.0±4.0abcdefg
0.0±0.00a
0.0±0.00a
I-F4-simplisia
75.2±9.17h
12.8±5.35cdefg
7.2±6.72abcd
4.6±5.45ab
0.2±0.44a
ab
0.0±0.00a
21.4±13.83
4.2±2.58
ab
0.2±0.44
Basofil
a
72.8±9.52
fg
8.0±2.54
abcde
I-F1- 5%
h
18.8±11.09
Monosit
defg
I-K
71.2±11.84
3.2±1.92
II-F1- 5%
81.0±5.91h
10.6±3.91abcdef
4.6±3.71ab
0.0±0.00a
3.8±2.28ab
II-F2- 7.5%
74.4±12.87h
20.4±11.58efg
2.4±2.50ab
1.6±1.67a
1.2±2.68a
II-F3- 10%
75.2±10.49h
17.6±8.50cdefg
4.2±3.11ab
3.0±3.74ab
0.0±0.00a
II-F4-simplisia
74.8±16.75h
23.4±15.05g
1.2±1.64a
0.6±0.89a
0.0±0.00a
II-K
72.8±27.36h
18.2±29.29g
6.8±6.90abcd
1.4±2.07a
0.8±1.09a
Nilai referensi*
65.55±2.33
30.65±0.63
3.05±0.63
2.55±0.21
1.05±0.21
Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
hasil berbeda nyata (P<0.05), * Lavinia et al. 2009
Berdasarkan hasil pengamatan diferensial leukosit pada ayam berumur 44
hari (Tabel 3) menunjukkan jumlah limfosit pada kelompok perlakuan I tidak
berbeda nyata (P>0.05) dengan jumlah limfosit ayam pada kelompok perlakuan II.
Jumlah rataan limfosit dalam penelitian ini berkisar antara 71.2-82.8%. Hal ini
berbeda dengan rataan jumlah limfosit yang dilaporkan oleh Lavinia et al. (2009),
bahwa rata-rata persentase limfosit ayam broiler pada umur 3 sampai 6 minggu
adalah 65.5%.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh
sistem dan
lingkungan pemeliharaan yang berbeda. Namun hal tersebut tidak berpengaruh
terhadap penelitian yang dilakukan. Formula ekstrak etanol tanaman obat yang
diberikan pada ayam perlakuan, masing-masing mengandung bahan aktif
flavonoid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ziaran et al. (2005) bahwa
flavonoid dapat berperan sebagai imunosupresan. Sinergisme flavonoid dalam
35
herbal memiliki efek imunosupresor terhadap respon limfo proliferatif, hal ini
disebabkan oleh nitrit oksida yang dihasilkan oleh makrofag.
Pemeriksaan diferensial leukosit tahap ketiga dilakukan pada ayam
perlakuan yang bertahan hidup setelah ditantang dengan virus AI H5N1. Hasil
selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan
jumlah leukosit pada ayam perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masingmasing kelompok perlakuan.
Tabel 4. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 51 hari, setelah ditantang
virus AI H5N1
Kelompok
Perlakuan
Pengamatan diferensial leukosit
Limfosit
Heterofil
c
39.0±23.80
Monosit
bc
0.0±0.00
Eosinofil
a
5.4±12.07
Basofil
a
0.0±0.00a
II-F1- 5%
55.6±22.87
II-F2- 7.5%
55.8±14.09c
41.6±15.07bc
1.0±1.73a
1.6±3.57a
0.0±0.00a
II-F3- 10%
49.8±22.06c
43.6±22.91bc
0.2±0.44a
6.4±7.63a
0.0±0.00a
II-F4-simplisia
40.2±15.83c
54.8±19.94bc
0.0±0.00a
5.0±6.00a
0.0±0.00a
II-K
57.2±15.89c
37.0±17.90b
2.2±2.48a
3.6±5.94a
0.0±0.00a
Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
hasil berbeda nyata (P<0.05).
Berdasarkan hasil pengamatan diferensial leukosit ayam setelah ditantang
dengan virus AI H5N1 (Tabel 4), menunjukkan penurunan jumlah limfosit dan
peningkatan jumlah heterofil. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari infeksi
virus AI H5N1 dan pengaruh dari hormon glukokortikoid (hormon yg berperan
dalam stres), yang meningkatkan jumlah persentase neutrofil (heterofil), dan
menurunkan jumlah persentase limfosit (Davis et al. 2008).
Titer Antibodi AI H5N1 pada Ayam Perlakuan
Pemeriksaan titer antibodi AI saat umur ayam 21 hari menunjukkan bahwa
tidak ada kelompok ayam yang mempunyai kekebalan protektif terhadap infeksi
H5N1 yang ditandai dengan hasil titer antibodi AI rata-rata 0 (nol). Dengan
demikian data penelitian ini dapat diyakini terhindar dari bias akibat adanya
maternal
antibodi
terkontaminasi.
AI
atau
keterpaparan
virus
dari
lingkungan
yang
Sebelum pengujian titer antibodi AI pada tahap ini, semua
kelompok perlakuan (I dan II) telah diberi formula ekstrak etanol tanaman
sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi bertingkat sesuai dengan
36
masing-masing kelompok perlakuan. Formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan
sirih merah yang diberikan pada kelompok perlakuan I dan II tidak menunjukkan
pengaruh terhadap titer antibodi AI pada semua serum darah ayam. Hal ini
disebabkan karena semua ayam perlakuan tidak divaksinasi AI sebelum ayam
umur 21 hari. Adanya titer antibodi virus AI dalam populasi atau flok unggas
menandakan suatu populasi ayam tersebut mengalami infeksi virus AI (Easterday
et al. 1997)
Pemeriksaan titer antibodi AI dilakukan ketika ayam berumur 44 hari atau
menjelang ayam perlakuan ditantang dengan virus AI H5N1,
Kelompok
perlakuan I dan II telah diberikan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas
dan sirih merah selama 21 hari secara berturut-turut dari ayam berumur 4 hari
sampai ayam berumur 25 hari. Pemeriksaan titer antibodi pada tahap ini bertujuan
untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi yang dilakukan pada kelompok
perlakuan II ketika ayam berumur 21 hari, serta untuk mengetahui keadaan titer
antibodi pada kelompok perlakuan I yang tidak divaksinasi AI. Hasil pengujian
titer antibodi AI H5N1 terhadap ayam dalam kelompok perlakuan, selengkapnya
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji titer antibodi AI H5N1 terhadap ayam perlakuan berumur 21, 44
dan 51 hari.
Rataan Titer Antibodi terhadap Virus AI (GMT)
Kelompok perlakuan
I-F1- 5%
I-F2- 7.5%
I-F3- 10%
I-F4-simplisia
I-K
II-F1- 5%
II-F2- 7.5%
II-F3- 10%
II-F4-simplisia
II-K
Keterangan:
Ayam umur 21 hari
Ayam umur 44 hari
Ayam umur 51 hari
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.1
< 2.0
< 2.0
< 2.0
4.0
Tdu*
Tdu
Tdu
Tdu
Tdu
7.0
4.0
4.0
4.3
6.5
Kelompok perlakuan I ayam tidak divaksin AI H5N1
Kelompok perlakuan II ayam divaksin AI H5N1
(*) = tidak dilakukan uji titer antibodi karena ayam sudah mati
Berdasarkan hasil uji titer antibodi (Tabel 5) pada kelompok perlakuan I
tidak menunjukkan titer antibodi AI yang protektif terhadap infeksi virus AI, hal
ini disebabkan pada kelompok perlakuan I semua ayam tidak divaksin AI,
37
sedangkan pada kelompok perlakuan II menunjukkan respon vaksinasi AI yang
protektif terhadap infeksi AI karena semua ayam pada kelompok perlakuan II
dilakukan vaksinasi AI pada umur 21 hari. Respon vaksinasi AI dengan nilai
rataan titer antibodi yang baik ditunjukkan pada kelompok perlakuan II-F1-5%
dengan rataan titer 6.1 (log 2) dan kelompok kontrol II-K dengan rataan titer 4.3
(log 2), sedangkan kelompok II-F2-7.5%, II-F3 -10% dan II-F4-simplisia
menunjukkan respon vaksinasi yang kurang baik, yaitu masing-masing kelompok
perlakuan hanya memiliki rataan titer 2 (log 2).
Besaran rataan titer antibodi AI yang diperoleh dalam serum ayam
sebelum dilakukan tantang dengan virus AI H5N1 secara intranasal, dengan dosis
106 EID50 terlihat kisaran titer antibodi AI dari 4 log 2 sampai 6.1 log 2. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Dharmayanti et al. (2004), ayam kampung dan burung
puyuh yang mempunyai titer antibodi AI lebih atau sama dengan 3 log 2 mampu
memproteksi terhadap virus AI H5N1, sedangkan ayam dan burung puyuh yang
mempunyai rataan titer antibodi AI kurang dari 3 log 2 serta ayam kontrol yang
tidak mempunyai titer antibodi AI terlihat tidak mampu memproteksi diri dari
serangan virus AI H5N1 dengan partikel virus tantang sebesar 10 6 EID50 yang
diinfeksikan secara intramuskular.
Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1
Daya tahan hidup ayam diamati setelah ditantang dengan virus AI H5N1
menunjukkan adanya kematian berturut-turut pada hari ke-3, 4 dan 5 pasca infeksi
(pi).
Data daya tahan hidup ayam selengkapnya disajikan pada Tabel 6.
Kematian ayam terjadi karena infeksi virus AI H5N1 dalam waktu 16 jam dapat
membuat nekrotik sel epitel dan mukosa saluran pernafasan, sementara itu
replikasi virus dapat dideteksi pada organ otak, kulit dan organ visceral dalam
waktu 24 jam, kemudian virus menyebabkan lesi yang parah diseluruh organ
tubuh dalam waktu 48 jam, selanjutnya akan menyebabkan kematian pada ayam
yang terinfeksi (Pantin-Jakwood 2008)
Hasil pengamatan daya tahan tubuh ayam terhadap infeksi AI H5N1 pada
kelompok perlakuan I diantaranya, kelompok perlakuan I-F2-7.5% (formula
ekstrak etanol tanaman sambiloto, sirih merah dan adas dengan konsentrasi 7.5%
38
dan ayam tidak divaksin) menunjukkan ayam mampu bertahan hidup hanya 1
ekor (12.5%) dari total 8 ekor (100%) sampai hari ke-6 pi. Sedangkan kelompok
perlakuan I-1, I-3, I-4 dan I-K dari total ayam 8 ekor, tidak ada ayam yang
bertahan hidup sampai hari terakhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa
formula ekstrak etanol sambiloto, adas, dan sirih merah hanya sebagai prekursor
obat anti virus yang masih memerlukan sintesa dengan bahan aktif tanaman obat
lainnya. Data daya tahan hidup ayam setelah ditantang virus AI H5N1
selengkapnya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Daya tahan hidup ayam setelah ditantang virus AI H5N1 dosis 0.1ml
(106 EID50 ), selama 6 hari masa pengamatan
Kelompok
Perlakuan
I-F1- 5%
I-F2- 7.5%
I-F3- 10%
I-F4-simplisia
I-K
II-F1- 5%
II-F2- 7.5%
II-F3- 10%
II-F4-simplisia
II-K
Total Ayam
(ekor)
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
Jumlah ayam yang bertahan hidup hari keI
II
III
IV
V
VI
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
4
2
1
3
5
8
7
6
8
8
1
1
0
1
1
8
7
5
8
8
0
1
0
0
0
8
6
4
8
8
0
1
0
0
0
8
6
4
7
7
Total Ayam
yang hidup
(ekor)
0
1
0
0
0
8
6
4
7
7
Berdasarkan hasil pengamatan daya tahan hidup ayam setelah diinfeksi
dengan virus AI H5N1 pada kelompok II (Tabel 6) dapat dijelaskan bahwa; pada
kelompok perlakuan II-F1-5%, dari total 8 ekor ayam, terbukti tidak ada ayam
yang mati hingga hari keenam pi (100%) ; Pada kelompok perlakuan II-F2-7.5%,
hanya 6 ekor yang mampu bertahan hidup (75%); Pada kelompok perlakuan IIF3-10% ada 4 ekor ayam yang bertahan hidup (60%); dan pada kelompok
perlakuan II-F4-simplisia, hanya 7 ekor ayam yang bertahan hidup (87.5%);
Sedangkan pada kelompok kontrol II-K ayam hanya bertahan sebanyak 7 ekor
(87.5%). Hasil penelitian pada kelompok perlakuan II secara umum menunjukkan
ayam dapat bertahan hidup sampai akhir masa pengamatan karena pengaruh dari
pemberian formula ekstrak tanaman sambiloto, adas dan sirih merah serta
vaksinasi terhadap ayam perlakuan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa daya tahan hidup ayam
terhadap infeksi virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan (Tabel 6),
39
menunjukkan daya tahan hidup ayam pada kelompok perlakuan II lebih baik
dibandingkan dengan kelompok perlakuan I. Hal ini diduga karena semua ayam
pada kelompok perlakuan II mendapatkan vaksinasi AI. Kejadian ini diperkuat
dengan pernyataan Swayne et al. (2000) yang menjelaskan bahwa vaksinasi AI
mencegah dan melindungi ayam dari infeksi virus AI H5N1 yang sering berubah
setiap tahunnya.
Ayam yang divaksinasi dan diberi formula ekstrak tanaman sambiloto,
adas dan sirih merah dengan konsentrasi 5% (kelompok perlakuan II-F2-5) lebih
baik daya tahan hidupnya dibandingkan dengan ayam yang hanya divaksinasi
(Kelompok II-Kontrol). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa ayam pada
kelompok II-F2-5% dapat bertahan hidup 100% hingga hari ke-6 pi, sementara
ayam yang hanya divaksinasi (kelompok II-K) mengalami kematian 1 (satu) ekor
ayam pada hari ke-6 pi. Setiyono et al. (2010) menyatakan bahwa formula ekstrak
tanaman obat dapat berperan sebagai perkusor (pendukung) imunomodulator
untuk menjadi sediaan anti viral.
Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan pewarnaan HE terhadap organ
limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) pada ayam kelompok perlakuan secara
umum (kelompok perlakuan I dan II) menunjukkan adanya deplesi sel limfoid,
kongesti, edema, nekrotik folikel limfoid skunder, deplesi pulpa putih, deplesi
kortek dan nekrotik fokus medula. Perubahan pada organ bursa, limpa dan timus
berkaitan dengan patogenesis virus AI H5N1 yang diinfeksikan melalui intranasal.
Perubahan pada organ limfoid yang menyebabkan edema terjadi akibat
peningkatan daya dorong cairan dari pembuluh darah menuju jaringan antar sel.
Sedangkan perubahan yang menyebabkan kongesti terjadi bila aliran darah
mengalami gangguan yang timbul dari daya kerja tubuh, dalam upaya
memobilisasi sel-sel darah dengan meningkatkan tekanan vascular. Sementara itu
perubahan yang menyebabkan deskuamasi sel epitel terjadi akibat daya kerja virus
yang patogen dalam merusak sel epitel, sehingga virus dapat masuk ke jaringan
dan menyebabkan infeksi sistemik. Pada kondisi perubahan yang menyebabkan
deplesi folikel limfoid terjadi akibat berkurangnya jumlah sel-sel limfosit pada
40
folikel limfoid. Sementara, perubahan yang menyebabkan nekrosis terjadi akibat
antigen virus masuk ke sel sehingga menyebabkan depresi hebat terhadap aktifitas
metabolisme seluler akibat replikasi virus (Pringgoutomo 2002).
Hasil pemeriksaan imunohistokimia terhadap organ limfoid (bursa
Fabricius, limpa dan timus), secara umum terdeteksi antigen virus AI H5N1
sudah menyebar di organ limfoid ayam pada semua kelompok perlakuan
(kelompok perlakuan I dan II).
Hal ini terjadi karena virus diinfeksi secara
intranasal. Radji (2006) menyatakan virus AI H5N1 yang masuk melalui saluran
pernafasan hospes akan menyebar memasuki submukosa melalui sistem peredaran
darah atau sistem limfatik, serta menginfeksi berbagai macam tipe sel organ.
Penyebaran virus melalui sel endotel pembuluh darah dan sistem limfatik dalam
waktu 48 jam akan menyebabkan lesi yang parah di seluruh organ tubuh, yang
selanjutnya akan menyebabkan kematian (Pantin-Jakwood 2008). Data distribusi
antigen pada organ limfoid ayam yang mati setelah ditantang virus AI
H5N1selengkapnya disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Distribusi antigen virus AI H5N1 pada organ limfoid (bursa Fabricius,
limpa dan timus) ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1
Kelompok perlakuan
I-F1- 5%
I-F2- 7.5%
I-F3- 10%
I-F4-simplisia
I-K
II-F1- 5%
II-F2- 7.5%
II-F3- 10%
II-F4-simplisia
II-K
Keterangan
Antigen virus AI H5N1 pada organ Limfoid
Bursa Fabricius
Limpa
Timus
+
++
++
+
++
+
+
++
+
+
++
+++
++
++
+
++
+++
+
+
+++
++
+
+++
++
+
+++
+++
+
++
++
: (+) ringan, (++) sedang, (+++) tinggi dan (-) tidak ditemukan
Pemeriksaan histopatologi terhadap organ bursa Fabricius dengan
pewarnaan HE pada semua kelompok perlakuan (I dan II), menunjukkan organ
bursa Fabricius terjadi edema, deplesi folikel limfoid, nekrotik folikel limfoid dan
kongesti. Pemeriksaan imunohistokimia organ bursa Fabricius menunjukkan
hanya dua kelompok perlakuan ((I-K(-) dan II-F1-5%) yang pemaparan antigen
dalam jumlah sedang (++) sedangkan kelompok perlakuan lainnya menunjukkan
41
pemaparan antigen dalam jumlah rendah (+). Antigen yang terdeteksi diduga
karena organ bursa Fabricius merupakan tempat pendewasaan dan diferensiasi sel
pembentuk antibodi, selain itu bursa Fabricius juga dapat menangkap antigen dan
membentuk antibodi (Tizzard 1987). Banyaknya antigen yang terdeteksi pada
organ bursa Fabricius sangat tergantung dari jumlah antibodi yang dihasilkan
oleh organ tersebut, hal ini ditunjukkan pada kelompok perlakuan II-F1-5%,
dimana ayam perlakuan memiliki titer antibodi yang tinggi (Tabel 5) sehingga
ayam dapat bertahan hidup hingga hari ke-6 pi (Tabel 6).
Hasil pengamatan histopatologi dengan pewarnaan HE menunjukkan
adanya kongesti, dan deplesi pulpa putih pada organ limpa. Antigen di organ
limpa terdeteksi dalam jumlah sedang (++) pada kelompok perlakuan I (Tabel 7).
Sedangkan pada kelompok perlakuan II terdeteksi antigen dalam jumlah tinggi
(+++) di organ limpa. Hal ini disebabkan karena parenkim limpa memiliki pulpa
merah sebagai penyaring darah dan pulpa putih sebagai tanggap kebal.
Patichimasiri et al. (2007) menyatakan bahwa distribusi antigen pada limpa
menunjukkan derajat sedang (++). Hal yang sama juga disebutkan oleh
Damayanti et al. (2004) bahwa distribusi antigen pada organ limpa terdeteksi
dalam jumlah tinggi (+++) dan tersebar dalam sel-sel yang terdapat disekitar
pulpa merah yang mengalami nekrosis, dengan sebaran antigen yang soliter
maupun kelompok.
Hasil pemeriksaan histopatologi terhadap organ timus pada kelompok
perlakuan I menunjukkan terjadi edema, kongesti, deplesi kortek, nekrotik fokus
medula dan multi fokus nekrotik. Sedangkan pada kelompok perlakuan II organ
timus rata-rata tidak menunjukkan lesion spesifik dan hanya kongesti ringan.
Distribusi antigen pada organ timus telihat dalam jumlah sedang (++), hal ini
diduga karena timus merupakan organ limfatik primer. Timus berfungsi menjaga
lingkungan sel bibit (stem cells) yang bermigrasi dari sumsum tulang pascanatal
berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi limfosit T (Dellman 1989).
Gambaran
histopatologi organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus)
dengan pewarnaan HE disajikan pada Gambar 5. Sementara distribusi antigen AI
H5N1 yang terdeteksi pada organ limfoid ayam disajikan pada Gambar 6.
42
Gambar 5. Pewarnaan HE terhadap organ limfoid (A. bursa Fabricius, B. Limpa dan C. Timus),
ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F2-75%. 1.
Deplesi folikel limfoid, 2. Nekrosis sel folikel.
Gambar 6. Pewarnaan IHK terhadap organ limfoid (A. Bursa Fabricius; B. Limpa dan C. Timus),
ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F1-5%. Tanda
panah menunjukkan distribusi antigen virus AI H5N1.
43
Berdasarkan hasil pengamatan antigen AI pada organ limfoid ayam
menggunakan pewarnaan imunohistokimia pada semua kelompok perlakuan
(Tabel 7) dapat dijelaskan bahwa kelompok perlakuan I menunjukkan deteksi
antigen AI pada organ limfoid dalam jumlah sedikit. Hal ini diduga karena ayam
yang tidak divaksinasi tidak mampu melindungi tubuh dari infeksi virus dan
menyebabkan rusaknya organ limfoid, kemungkinan lain virus telah menyebar ke
organ atau jaringan lain sehingga ketika dilakukan pewarnaan imunohistokimia
terlihat sedikit antigen yang terdeteksi pada organ limfoid (bursa Fabricius, limpa
dan timus).
Kelompok perlakuan II, ayam yang mendapat vaksin AI
menunjukkan jejak antigen pada organ limfoid lebih banyak.
Hal ini
dimungkinkan antigen virus vaksin yang masih bisa terdeteksi dengan pewarnaan
imunohistokimia. Dugaan lain adalah kemungkinan antigen virus tantang yang
tidak ternetralisasi antibodi hasil vaksinasi AI terdeteksi dalam jumlah banyak
pada sel limfoid dengan pewarnaan imunohistokimia.
Performance Ayam Perlakuan
Pemberian formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan
berbagai konsentrasi terhadap ayam perlakuan secara statistik menunjukkan
adanya perbedaan nyata (P<0.05) berat badan ayam perlakuan pada minggu ke-1
dan minggu ke-2 selama pengamatan dibandingkan dengan kontrol (Tabel 8). Hal
ini terlihat berat badan ayam pada kelompok perlakuan I-F3-10% lebih rendah
dibandingkan dengan berat badan ayam pada kelompok kontrol I (I-K). Sementara
itu berat badan ayam pada kelompok perlakuan II-F3-10% juga lebih rendah
dibandingkan dengan berat badan ayam kelompok kontrol II (II-K). Hal ini
diduga karena formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah
dengan konsentrasi 10% bersifat kental, menyebabkan proses absorbsi formula
ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dalam pencernaan ayam
mengalami gangguan, sehingga ayam mengalami penurunan nafsu makan.
Menurut Scott et al. (1982), bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ayam
akan diabsorbsi untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan jaringan
dan energi dalam melaksanakan aktivitas fisik. Hasil pengamatan berat badan
ayam kelompok perlakuan dari umur 1 sampai 6 minggu selengkapnya disajikan
pada Tabel 8.
44
44
Tabel 8. Berat badan ayam perlakuan umur 1-6 minggu (g/ekor)
Kelompok
Perlakuan
I-F1- 5%
I-F2- 7.5%
I-F3- 10%
I-F4-Simplisia
I-K
II-F1- 5%
II-F2- 7.5%
II-F3- 10%
II-F4-Simplisia
II-K
Referensi*
a
b
Keterangan:
I
214.25±25.77abc
234.87±28.75bc
210.75±23.39ab
237.13±25.28bc
246.12±31.32c
213.62±27.75abc
222.75±18.97abc
197.38±43.38a
232.38±14.83bc
237.25±35.41bc
157.00
175.40
II
410.75±73.56ab
422.25±64.35ab
436.62±35.97abc
462.12±71.44bc
470.00±68.33bc
439.88±60.76abc
416.38±47.63ab
386.38±88.60a
457.00±70.58abc
506.62±34.65c
413.00
486.60
Pengamatan Minggu keIII
IV
a
770.25±137.45
1313.6±239.97ab
788.62±105.11ab 1366.9±158.24ab
758.25±133.01a
1319.1±200.62ab
791.88±132.96ab 1401.8±129.94ab
819.25±127.46ab 1373.4±237.78ab
754.13±141.62a
1261.3±219.90a
817.38±86.35ab
1361.9±136.86ab
791.38±86.34ab
1333.4±90.74ab
921.50±86.76ab
1517.8±153.37b
839.38±131.78ab
1505.8±149.60b
832.00
1382.00
931.80
1467.30
V
1821.1±237.60a
1929.6±263.82a
1923.1±195.84a
1772.0±288.63a
2000.4±183.05a
1744.1±282.26a
1852.4±230.68a
1820.6±178.99a
1990.7±170.08a
1876.4±305.96a
1996.00
2049.20
VI
2049.4±372.57a
2188.2±230.61a
2187.6±291.90a
2108.0±227.33a
2252.9±332.05a
2043.6±139.15a
2230.0±255.49a
2034.9±207.55a
2256.6±188.16a
2144.8±368.86a
2604.00
2633.70
Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05),
a. Cobb 2008, b. Anonimous 2010
45
Hasil pengamatan berat badan ayam pada minggu ke-3 terhadap semua
kelompok perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan hasil
pengamatan berat badan ayam pada minggu ke-4 menunjukkan berbeda nyata
(P<0.05) berat badan ayam. Hal ini terlihat pada kelompok perlakuan II-F2-5%,
dimana berat badan ayam lebih rendah dibandingkan pada kelompok perlakuan IIF-simplisia dan kontrol II (II-K). Perbedaan berat badan ayam diduga karena
pengaruh pemberian vaksin yang menyebabkan ayam mengalami stres dan
turunnya nafsu makan.
Berat badan ayam pada minggu ke-5 dan ke-6 (Tabel 8) tidak berbeda
nyata (P>0.05) pada masing-masing kelompok perlakuan (I dan II), semua ayam
kelompok perlakuan menunjukkan adanya peningkatan berat badan ayam perminggu seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan ayam. Hal ini sesuai
dengan pernyataan North and Bell (1990) bahwa peningkatan berat badan ayam
pedaging tidak terjadi secara seragam dalam kelompok perlakuan, dan setiap
minggu
pertumbuhan
ayam
mengalami
peningkatan
pertumbuhan maksimal setelah itu mengalami penurunan.
hingga
mencapai
Data pertambahan
berat badan ayam kelompok perlakuan per minggu selengkapnya disajikan pada
Gambar 7.
Gambar 7. Grafik rataan berat badan ayam pedaging per minggu (g/ekor) umur 1-6 minggu
46
Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan ayam yang mati pada
semua kelompok perlakuan sebelum ditantang virus AI H5N1. Semua ayam
perlakuan diberikan ekstrak tanaman obat selama pemeliharaan untuk
meningkatkan daya tahan tubuhnya sebelum di tantang virus AI H5N1. Menurut
Niranjan et al. (2008), sambiloto (Andrographis paniculata) memiliki aktivitas
farmakologi sebagai anti inflamasi, antioksidan, antidiabetik, anti leishmaniasis,
anti diare, anti fertilitas, anti venom, anti HIV, anti malaria, anti filarisidal, anti
bakterial, serta sebagai anti flu dan demam.
Birdane (2007), menyatakan
pemberian ekstrak etanol adas (Foeniculum vulgare) sebanyak 300 mg pada tikus
dapat mengurangi kerusakan pada pada mukosa lambung. Ekstrak etanol sirih
merah (Piper crocatum) yang diberikan pada ayam diduga memiliki aktivitas
farmakologi sebagai anti inflamasi, anti konvulsan dan anti karsiogenik serta
sebagai anti bakteri gram positif dan gram negatif (Sudjarwo 2005).
Daging ayam
merupakan sumber protein hewani
yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu bagian organ yang sering dikonsumsi
oleh masyarakat adalah organ hati dan usus. Upaya pengawasan produk makanan
yang berasal dari ayam dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pewarnaan imunohistokimia terhadap organ hati dan usus untuk mendeteksi
jumlah antigen AI sebagai informasi terhadap keamanan produk daging/karkas
asal unggas yang terinfeksi AI H5N1.
Berdasarkan pemeriksaan HE, pada organ hati, semua kelompok perlakuan
menunjukkan kongesti sedangkan degenerasi sel lemak hanya terjadi pada
kelompok perlakuan I-K, II-F2-7.5% dan II-F4-simplisia. Kerusakan yang terlihat
pada organ hati merupakan dampak dari infeksi virus AI H5N1, sesuai dengan
pernyataan Damayanti et al. (2005), bahwa ayam yang terinfeksi virus HPAI
H5N1 menunjukkan kerusakana pada hati.
Hasil pemeriksaan HE terhadap organ usus pada semua kelompok
perlakuan menunjukkan adanya enteritis kataralis pada kelompok perlakuan I-F15%, I-K dan II-K, sedangkan pada kelompok perlakuan lainnya tidak ditemukan
adanya lesio spesifik. Hal ini diduga efek dari pemberian formula ekstrak etanol
tanaman obat, salah satunya sambiloto yang senyawa aktifnya andrografolid
47
berkhasiat sebagai hepatoprotektor (Niranjan et al. 2008). Hasil pewarnaan HE
pada organ hati dan usus disajikan pada Gambar 8.
Distribusi antigen AI H5N1 pada organ hati dan usus ayam setelah
ditantang dengan virus AI H5N1 selengkapnya disajikan pada Tabel 9. Semua
ayam kelompok perlakuan diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas, sirih
merah dan ayam tidak divaksin AI H5N1 menunjukkan antigen AI terdeteksi
dalam jumlah sedikit (+) dan hanya pada kelompok perlakuan I-K, antigen AI
terdeteksi dalam jumlah sedang (++) di organ usus. Deteksi antigen AI pada
kelompok perlakuan yang diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas, sirih
merah dan ayam divaksin AI H5N1 menunjukkan distribusi antigen yang berbedabeda, yaitu kelompok perlakuan II-F2-7.5%, menunjukkan jumlah antigen rendah
(+), kelompok perlakuan II-F1-5%, II-F3-10% dan II-K, menunjukkan antigen AI
pada organ usus dalam jumlah sedikit (+) dan organ hati dalam jumlah sedang
(++).
Sedangkan pada kelompok perlakuan II-F4-simplisia terdeteksi jumlah
antigen AI dalam jumlah sedang (++) pada organ hati dan organ usus. Hal ini
sesuai dengan pernyataan
Handayani (2009), bahwa usus itik yang diinfeksi
dengan virus AI H5N1 secara intranasal dan tidak divaksin AI memiliki distribusi
antigen yang cukup banyak. Hasil pewarnaan IHK pada organ hati dan usus ayam
yang ditantang virus AI H5N1 disajikan pada Gambar 9.
Tabel 9. Distribusi antigen virus AI H5N1 pada organ Hati dan Usus ayam setelah
ditantang virus AI H5N1
Kelompok Perlakuan
I-F1- 5%
I-F2- 7.5%
I-F3- 10%
I-F4-simplisia
I-K
II-F1- 5%
II-F2- 7.5%
II-F3- 10%
II-F4-simplisia
II-K
Antigen virus AI H5N1 pada Hati dan Usus
Hati
Usus
+
+
+
+
+
+
+
+
+
++
++
+
+
+
++
+
++
++
++
+
Keterangan : (+) ringan, (++) sedang, (+++) tinggi dan (-) tidak ditemukan
48
Gambar 8. Pewarnaan HE terhadap organ Hati dan Usus ayam setelah ditantang virus AI H5N1
pada kelompok perlakuan II-Kontrol : (A). Organ Hati dan (B). Organ Usus, terlihat
1. Kongesti, 2. Dilatasi sel hepatosit, 3. Erosi epitel usus
Gambar 9. Pewarnaan IHK terhadap organ Hati dan Usus ayam setelah ditantang virus AI H5N1
pada kelompok perlakuan II-F1-5% :( A). Organ Hati dan (B). Organ Usus. Tanda
panah menunjukkan distribusi antigen virus AI H5N1
Berdasarkan hasil pemeriksaan IHK pada organ hati dan usus ayam setelah
ditantang virus AI H5N1 (Tabel 9), menunjukkan jumlah antigen AI yang
terdistribusi pada hati dan usus, terlihat dalam jumlah sedikit (+) dan sedang (++)
serta tidak ditemukan jumlah distribusi antigen AI pada kedua organ ini dalam
jumlah tinggi (+++), sehingga dapat dikatakan pemberian ekstrak tanaman
sambiloto, adas dan sirih merah memberi pengaruh terhadap jumlah distribusi
antigen AI pada organ hati dan usus. Antigen AI yang terdeteksi pada organ hati
terdapat di pembuluh darah (vascular), sinusoid hati dan pada sel-sel hati. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Nakatani et al. (2005), bahwa antigen AI pada organ
hati didistribusikan ke dalam endotel sinusoid dan arteri sebagai pusat nekrosis,
sedangkan pada organ usus antigen AI yang terdeteksi terletak di vili dan lapisan
mukosa. antigen AI juga ditemukan pada lapisan musculus cecum, dimana pusat
nekrosis terdapat pada lamina propia dan sel epitel usus.
49
Pemanfaatan ayam pedaging sebagai sumber pangan yang mengandung
protein perlu memperhatikan beberapa cara penyajian sebelum dikonsumsi,
seperti membersihkan karkas yang akan digunakan dan memasak bagian karkas
secara matang pada suhu 700C selama 15 menit sesuai dengan rekomendasi dari
WHO bahwa pada suhu yang tinggi, virus AI menjadi tidak aktif untuk
menyebabkan infeksi (WHO 2005).
Tanaman Obat sebagai Pendukung (prekursor) Vaksin
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap data kematian ayam setelah
ditantang dengan virus AI H5N1 (Tabel 6). Ayam yang diberi formula ekstrak
etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi dan ayam
tidak divaksin AI (kelompok perlakuan I), menunjukkan tidak ada ayam yang
hidup hingga akhir masa pengamatan (hari ke-6) post infeksi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Subowo (2006) bahwa tanaman obat hanya bekerja melalui
pengaturan sistem imunitas dan tidak bekerja sebagai efektor langsung dalam
menghadapi infeksi. Pemberian formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih
merah dengan berbagai konsentrasi dan ayam divaksinasi AI (kelompok
perlakuan II), menunjukkan banyak ayam perlakuan bertahan hidup hingga hari
ke-6 post infeksi. Hal ini menunjukkan pemberian tanaman obat dan vaksin pada
ayam dapat meningkatkan kekebalan ayam terhadap infeksi. Penggunaan tanaman
obat sambiloto, adas dan sirih merah secara umum masing-masing memiliki
potensi sebagai bahan pendukung (prekursor) untuk menangkal infeksi virus AI
H5N1 ke sel target pada organ ayam (Setiyono et al. 2009).
Tanaman obat berperan sebagai pendukung sistem imun non-spesifik.
Pemberian formula ekstrak etanol tanaman obat mampu meningkatkan jumlah
limfosit terhadap ayam perlakuan jika dibandingkan dengan ayam perlakuan yang
tidak mendapatkan formula ekstrak tanaman obat atau kontrol (Tabel 3). Untuk
menginaktifkan antigen, antibodi memerlukan bantuan sistem komplemen. Sistem
komplemen merupakan sistem imun non-spesifik berupa enzim yang terdapat
dalam plasma maupun cairan tubuh. Reaksi sistem komplemen terhadap antigen
yang masuk kedalam tubuh berupa aktifitas untuk memobilisasi fagosit,
menstimulasi terjadinya fagositosis (opsonisasi), menginaktifkan antigen secara
50
langsung dan mengeliminasi agregat-agregat imunitas.
Tanaman obat yang
digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk meningkatkan kerja komplemen
yang menunjang respon imun spesifik sehingga menstimulasi antibodi
(Hargono 2006 dalam Bermawi et al. 2008).
Berbagai macam zat aktif yang terkandung dalam tanaman obat memiliki
peranan masing-masing dan saling mendukung dalam melawan infeksi virus.
Penggunaan ekstrak tanaman sebagai obat alternatif memiliki beberapa faktor
yang berperan dalam tubuh, seperti reaksi kimiawi, enzim dan sistem kekebalan
tubuh dalam hal ini adalah limfosit. Hasil pengamatan leukosit ayam yang diberi
formula ekstrak etanol tanaman obat, menunjukkan tidak ada perbedaan nyata
(P>0.05) jumlah rataan limfosit ayam pada semua kelompok perlakuan (I dan II)
(Tabel 3). Limfosit merupakan inti dari sistem imun spesifik karena limfosit
memiliki
kemampuan
menetralisir
antigen
setelah
mengalami
aktivasi
(Kresno et al. 2001).
Pengaruh vaksinasi AI H5N1 terhadap ayam perlakuan dapat diketahui
dengan pemeriksaan titer antibodi AI pada kelompok perlakuan (I dan II). Hasil
pemeriksaan titer antibodi AI dan pengamatan daya tahan tubuh ayam setelah
ditantang virus AI H5N1, telihat pada kelompok perlakuan I tidak ditemukan
adanya titer antibodi AI (Tabel 5). Sehingga kelompok perlakuan I hampir tidak
ditemukan ayam bertahan hidup setelah ditantang dengan virus AI H5N1 hingga
hari ke-6 pi (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman obat tidak bisa
menggantikan vaksin dalam mencegah infeksi virus AI H5N1, namun penggunaan
tanaman obat pada ayam yang divaksin AI (kelompok perlakuan II) menunjukkan
titer antibodi AI yang protektif untuk mencegah infeksi virus AI (Tabel 5).
Kelompok perlakuan II-1 dengan rataan titer antibodi 6.1 log 2 terlihat ayam
mampu bertahan hidup 100% (8 ekor ayam hidup), ketika ditantang virus AI
H5N1 hingga hari terakhir masa pengamatan (Tabel 6).
Keberadaan titer antibodi dalam serum dapat menggambarkan kondisi
organ limfoid, dalam hal ini organ bursa Fabricius, limpa dan timus (Kawai dan
Akira 2006). Pemeriksaan dengan pewarnaan HE organ limfoid pada semua
kelompok perlakuan mengalami kongesti, deplesi, edema dan nekrosis. Kerusakan
yang terjadi pada organ limfoid disebabkan oleh infeksi virus H5N1 sehingga
51
terjadinya gangguan fungsi organ limfoid untuk memproduksi sel-sel limfosit.
Pada keadaan yang berlangsung lama akan terjadi imunosupresi sehingga berisiko
terhadap serangan infeksi serta dapat menyebabkan kematian.
Pemeriksaan imunohistokimia terhadap organ limfoid pada semua
kelompok perlakuan (I dan II) (Tabel 7), menunjukkan distribusi antigen dalam
jumlah sedikit/rendah (+) dan sedang (++) pada kelompok perlakuan I. Sedangkan
distribusi antigen pada kelompok perlakuan II terlihat dalam jumlah sedikit (+),
sedang (++) dan parah (+++). Antigen yang terdeteksi tersebut, merupakan
rangkaian proses penyebaran virus H5N1 melalui darah dan sistem limfatik yang
menyebabkan kematian pada ayam. Jumlah antigen AI yang terdeteksi dalam
jumlah sedikit diduga karena virus escape (keluar) meninggalkan sel yang rusak
akibat infeksi. Keberadaan antigen AI dalam jumlah lebih banyak mungkin
disebabkan virus sedang bereplikasi pada sel target, dan dengan pewarnaan
imunohistokimia virus terdeteksi dan berikatan dengan antibodi yang diberikan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian formula
ekstrak etanol sambiloto, adas, sirih merah dengan konsentrasi 5% dan ayam
divaksin AI (kelompok perlakuan II-F1-5%), merupakan hasil yang efektif dalam
menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam pedaging. Pemberian ekstrak
etanol tanaman obat dengan berbagai konsentrasi pada ayam pedaging tidak
mempengaruhi keadaan fisiologis tubuh ayam.
Pemanfaatan karkas ayam yang tertular virus AI H5N1 atau ayam yang
divaksinasi AI H5N1 pada saat pemeliharaan, sebagai sumber protein sebaiknya
harus memperhatikan tatacara penyajian sebelum dikonsumsi. Karena dari hasil
pemeriksaan, imunohistokimia pada ayam kelompok kontrol yang divaksinasi AI
(II-K) terdeteksi antigen AI dalam jumlah sedang pada organ hati. Untuk
keamanan konsumsi karkas atau produk asal unggas sebaiknya dimasak pada suhu
70 0C selama 15 menit.
52
53
KESIMPULAN
1.
Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah
dengan konsentrasi setara 5% bahan aktif andrografolid, anetol dan piperin
terhadap ayam pedaging yang divaksin dapat meningkatkan daya tahan
tubuh ayam dalam melawan infeksi virus AI H5N1.
2.
Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah
dengan berbagai konsentrasi pada ayam pedaging tidak memberikan
pengaruh terhadap diferensial leukosit, baik pada ayam divaksin AI maupun
tidak divaksin AI.
3.
Pengamatan imunohistokimia terhadap organ limfoid ayam yang tidak
divaksin AI, diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih
merah dengan berbagai konsentrasi dan ditantang virus AI H5N1, terdeteksi
antigen AI H5N1 dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan ayam yang
divaksin dan diberi ekstrak etanol tanaman obat.
4.
Keberadaan antigen virus AI H5N1 di organ hati dan usus ayam yang
divaksin AI, terdeteksi dalam jumlah sedang (++) dibandingkan dengan
ayam yang tidak divaksin AI setelah ditantang virus AI H5N1.
54
55
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2010. Standart For Broiler Feed Intake Charoen Phokphan Indonesia
Tbk. Percut Sei Tuan, Deliserdang-Sumatera Utara.
Ahmad I. 2006. Herbal medicines prospects and constraints. Mod. Phytomed.
345 : 56-89.
Akiyama H, Fujii K, Yamasaki O, Oono T, Iwatsuki T. 2001. Antibacterial
Action of Several Tannins Agains Staphylococcus aureus, J.
Antimicrobiol. Chemother. (48) : 91-487.
Albano MS, Miguel GM. 2010. Biological activities of extracts of plants grown
in Portugal. Indus. Crops. Prod. (33) 338–343.
Arnold S, Monto MD. 2008. Antivirals and Influenza Frequency of Resistance. J.
Pediatr. Infect. Dis. (27). S110.
Astawa NM, Winaya IBO, Agustini LP, Hartaningsih N. 2007. Immunological
detection of avian influenza virus in infected ducks by monoclonal
antibodies Against AIV-H5N1. Mikrobiologi Indonesia. p. 119-124
Backer CA, Den Brink Van BJR. 1963, Flora of Java, Published under the
auspices of the rijksherbarium, Leyden. p : 167.
Basuno E, 2008. Review Dampak Wabah dan Kebijakan Pengendalian AI di
Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 6. (4) : 314-334
Bean C, Russo MJ. 1988. Element Stewardship Abstract for Foeniculum
vulgare.
[Online].
Available:
[Oktober
2010]
http://www.tncweeds.ucdavis.edu/esadocs/documnts/foenvul.html
Bermawie N, Raharjo D, Wahyuno dan Ma’mun. 2008. Status teknologi
budidaya dan pasca panen panaman kunyit dan temulawak sebagai
penghasil
kurkumin.
http:
balitro.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com. [18 Juli 2011]
Birdane FM, Cemek M, Birdane YO, Gulcin I, Buyukokuroglu ME. (2007).
Beneficial effects of Foeniculum vulgare on ethanol-induced acute
gastric mucosal injury in rats. WJG : 13 (4) : 607-611.
Bright RA, Shay DK, Shu B, Cox NJ, Klimov AI. 2006. Adamantane resistance
among influenza A viruses isolated early during the 2005-2006 influenza
season in the United States. JAMA. 22 (8) : 295-891.
[Canopus Biopharma]. 2009. Canopus Biopharma dan Penelitian Terkemuka Cina
Obati
Flu
Unggas,
Cegah
Kemungkinan
Mewabah.
http://www.prnewswire.com/mnr/canopusbiopharma/indonesia [Januari
2011]
56
Capua I and Maragon S. 2007. The challenge of controlling notifiable Avian
Influenza by means of vaccination. Avian. Dis. 51: 317-322.
Claas ECJ. 2000. Pandemic infuenza is a zoonosis, as it requires introduction of
avian-likegene segments in the human population. Vet. Microbiol. (74) :
133-139
Clark P, Boardman WSJ, Raidal SR. 2009. Atlas of Clinical Avian Hematology.
Oxford: Blackwell Scientific.
Cowan MM. 1999, Plant Products as Antimicrobial Agents, Clin. Microbiol. Rev.
12 (4) : 82-564.
Damayanti R, Dharmayanti NLPI, Indriani R, Wiyono A, Darminto. 2004.
Deteksi virus avian influenza subtipe H5N1 pada organ ayam yang
terserang flu burung sangat patogenik di Jawa Timur dan Jawa Barat
dengan teknik imunohistokimia. JITV. (9) : 202-208
Damayanti R, Dharmayanti NLPI, Indriani R, Wiyono A, Adjid RMA. 2005.
Monitoring Kasus Penyakit Avian Influenza Berdasarkan Deteksi
Antigen Virus subtipe H5N1 secara Imunohistokimiawi. JITV. 10 (4) :
322-330
David BL. 2002. Medicine at your feet plants and food. http://www.Medicine at
your feet.com/foeniculum vulgare.htm [7 Oktober 2010].
Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure
stress in vertebrates: a review for ecologists. Review. Funct. Ecol. (22) :
760–772.
de Jong et al. 2005. Oseltamivir Resistance during Treatment of Influenza A
(H5N1) Infection. N Engl J Med : 353 (25) : 2667-2672
Dellman HD, Brown EM. 1989. Texbook of Veterinary Histology. Ed. 3 Jakarta.
Iowa State University. Ames Iowa. Terjemahan. UI Press.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
:
0854/Menkes/SK/VI/1995 Tentang Sentral Pengembangan dan
Penerapan Pengobatan Tradisional. Jakarta. Depkes.
Dharmayanti NLPI, Damayanti R, Indriani R, Wiyono A, dan Adjid RMA. 2005.
Karakteristik Molekuler Virus Avian Influenza Isolat Indonesia. JITV. 10
(2) : 127-133.
Dharmayanti NLPI, Indriani R. 2006. Deteksi Virus Avian subtipe H5 pada
beberapa jenis burung di Jakarta dan Sukabumi, Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veterinari : 723 : 727
57
Dharmayanti NLPI, Indriani R. 2007. Patogenesis Molekuler Virus Avian
Influenza (AI) di Jakarta, Banten dan Jawa Barat pada Wabah AI tahun
2005. MKH. 23 (2) : 68-72.
[Ditkeswan]. Direktorat Kesehatan Hewan 2005. Kebijakan Pengendalian Dan
Situasi Avian Influenza Pada Unggas Di Indonesia. Disampaikan pada
workshop Nasional Avian Influenza. Cisarua. [2-5 Mei 2005]
Duryatmo S. 2005. Dulu Hiasan Kini Obat. Trubus. (4) : 23-37
Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta.
Eerola E, Veromaa T, Toivanen P. (1987). Special Features In The Structural
Organisation Of The Avian Lymphoid System. In Avian Immunology:
Basis and Practice (eds A. Toivanen and P. Toivanen), CRC Press Inc.
Boca Raton. FL. pp. 9–21.
Easterday BC, Hinshaw VS, Halvorson DA. (1997). Influenza. dalam Diseases of
poultry. 10 th ed. Iowa State University Press Ames, Iowa, USA. pp. 583605
Edoardo M, Curcuruto NG, Ruberto G. 2010. Screening the essential oil
Composit composition of wild Sicilian fennel. Italy. Biochem. Syst. Ecol.
(38) : 213–223.
El-soud AN, El-Laithy N, El-Saeed G, Wahby SH, Khalil M, Morsy F and Shaffie
N. 2011. Antidiabetic Activities of Foeniculum Vulgare Mill. Essential
Oil in Streptozotocin-Induced Diabetic Rats. Maced. J. Med. Sci. 4 (2) :
139-146.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B dan
Praseno K, penerjemah.
Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr.
Terjemahan dari: Anatomy and Phisiology Farm Animal, 4th Ed.
Fouchier RAM, Munster V, Wallensten A. 2005. Characterization of a novel
influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained from blackheaded. Gulls. J.Virol. 79 (5) : 2814-2822.
Frame D. 2000. H7N3 Outbreak Halted By Vaccine In Word I Poultry Special
PP. 20-21.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusuma MD dkk.,
penerjemah. Jakarta: EGC.
Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Tengadi AK,
penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical
Physiology.
Guyton AC. 1986. Textbook of medical physiology. Ed ke-5.
Terjemahan. EGC
Jakarta.
58
Handayani KS. 2009. Distribusi Virus Influenza (H5N1) pada Jaringan Tubuh
Itik dengan Metode Imunohistokimia [Tesis] Pascasarjana IPB, Bogor
Hariana A. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya. Jakarta
Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A
viruses. Clin. Microbiol. Rev.14 (1) : 49- 129.
Hu, CQ. dan Zhou BN. 1982. Isolation and Structure of Two New Diterpenoid
Glucosides from Andrographis paniculata Nees. Yao Xue Xue Bao. 17
(6) : 435–440.
Jain NC. 1986. Schalm’s Veteriner Hematology, 4th Ed. Philadelphia: Lea and
Febiger.
Jassim SAA, Naji MA. 2003. Novel Antiviral agents : a medicinal plant
perspective [Ulasan]. J. Appl. Microbiol. (95) : 412-427.
Kawai T, Akira S. 2006. Innate Immune Recognition Of Viral Infection. Nat.
Immunol. (7) : 131-137.
Kresno, Boedina S. 2001. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.
Edisi Ke-4, Pen. FK-UI. Jakarta. Hlm 431-437.
Lavinia et al. 2009. The effect of medicinal plants and plant extracted oils on
broiler Duodenum morphology and immunological profile. Rom
Biotechnol Lett. 14 (4) : 4606-4614
Leenaars M, Hendriksen CFM. 2005. Critical Steps in the Production of
Polyclonal
and
Monoclonal
Antibodies:
Evaluation
and
Recommendations, J. ILAR. 46: 269-279.
Maat S. 2001. Manfaat Tanaman Obat Asli Indonesia Bagi Kesehatan. Prosiding
Forum Koordinasi Kelembagaan Produksi Aneka Tanaman. Jakarta.
Jakarta 13-16 November 2001
Malole MB. 1987. Virologi. Bogor. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian
Bogor
Manoi F 2007. Sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi. Warta
Puslitbangbun. 13 (2) : 17-19
Meyer DJ, Harvey JW.
2009.
Veterinary Laboratory and Medicine:
Interpretation and Diagnosis, 3rd Ed. Washington: Saunders.
Mironescu M, Georgescu C. 2010. Activity of some essential oils against
common spoilage fungi of buildings. Acta Universitatis Cibiniensis
Series E. Food. Technol. 14 (2) : 14-19
59
Murphy FA, Gibbs EP, Horzinek MC, Studdert MJ. 1999. Veterinery Virology.
Academic Press. San Diego, California
Nakatani H, Nakamura K, Yamamoto Y, Yamada M, Yamamoto Y. 2005.
Epidemiology, Pathology, and Immunohistochemistry of Layer Hens
Naturally Affected with H5N1 Highly Pathogenic Avian Influenza in
Japan. Avian Dis (49) : 436-441.
Niranjan A, Tewari SK, Lehri L. 2008. Biological activities of Kalmegh
(Andrographis paniculata Ness) and active principles-A review. Indian J
Nat Prod Resour. 1 (2) : 125-135.
North MO, Bell D. 1990. Commercial Chicken Production. Ed ke-4. Manual.
New York. Hapman and Hall.
Nurbara SFD. 2009. Kajian Potensi Ektrak Etanol Adas (Foeniculum vulgare
Mill) dan Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Sebagai Obat
Alternatif Flu Burung [Thesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor
Pantin MJ, Jackwood. 2008. Immunohistochemical Staining for The Detection of
The
Avian
Influenza
Virus
in
Tissues.
http://www.spingerlink.com/content/m1355577101098n/ [Februari 2011]
Patichimasiri et al. 2007. Histology and Immunohistochemistry of Tigers and
Pathogenic Avian Influenza Virus in Thailand. JARQ 41 (3) : 247-252.
Parwata IMOA, Dewi PFS. 2008. Isolasi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak
Atsiri Dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L) JIK. 2 (2) : 4-10.
Prapanza I, Marianto LA. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto. Raja Pahit
Penakluk Penyakit. Cetakan Pertama, Jakarta : Agro Media Pustaka.
Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed. Ke-4. Peter Anugrah, penerjemah. Jakarta. EGC.
Pringoutomo S, Himawan S, Tjarta A. 2002. Patologi Umum. Sagung seto,
Jakarta.
Radji M. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Pathogenesis, pencegahan dan
penyebaran pada manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (2) : 55-65
Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, ITB, Bandung
pp : 132-136
Roitt IM, Delves PJ. 2001. Roitt’s Esential Immunology. Tenth Edition Oxford:
Blackwell. Sci. Ltd. pp : 1-147.
Ruddle NH, 1999. Lymphoid neo-organogenesis: lymphotoxin’s role in
inflammation and development. Immunol. Res. (19) : 119–125.
60
Rusmin D dan Melati. 2007. Adas (Foeniculum vulgare Mill) Tanaman yang
Berpotensi dikembangkan sebagai Bahan Obat Alami. Warta
Puslitbangbun. 13 (02) : 21-23
Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2007. Potensi Tanaman Obat
untuk Penanggulangan Flu Burung : Studi In Vitro pada Kultur Sel Vero.
Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2009. Potensi Tanaman Obat
Untuk Penanggulangan Flu Burung : Studi In Vivo dan Gambaran
Perubahan Patologi dan Immunohistokimia. Laporan akhir Penelitian
Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Setiyono A, Bermawie N. 2010. Peningkatan efektivitas ekstrak tanaman obat
(50%) setara senyawa aktif andrografolid, piperin dan anetol dengan 510% untuk penanggulangan flu burung. Laporan akhir Penelitian
Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor
Setyawati S, Soejoedono RD, Handharyani E, Sumiarto B. 2010. Deteksi Virus
Avian Influenza H5N1 pada Anak Ayam Umur Satu Hari dengan Teknik
Immunohistokimia. J.Vet.. 11 (4) : 203-209.
Scott ML, Nesheim MC, Young RJ. 1982. Nutrion of The Chicken. Ed ke-3. New
York : ML Scott and associates
Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. Ed 3. New York. Spinger verlag
Suarez DL. 2005. Overview of avian influenza DIVA test strategies. Biologicals
33:221-226. http://amadeo.com/lit.php?id=16257543 [9 oktober 2010]
Subowo. 1996. Efek Imunomodulator dari Tumbuhan Obat. Warta tumbuhan obat
Indonesia. 3 (01) : 1-3
Sudjarwo SA. 2005. The Potency of Piperine as Antiinflamatory and Analgesic in
Rats and Mice. Airlangga University School of Medicine. 41 (3):190-194
Sugarman Y. 2005. Margono menangkal virus AI lewat ramuan jamu tradisional.
Harian Umum Sinar Harapan 24 Agustus 2005. [17 Desember 2010]
Swayne DE, Suarez DI. 2000. Highly Pathogenic Influenza. Rev.Sci.Tech. Int.
Epiz. (19) : 463-482.
Swayne DE, Perdue ML, Beck JR, Garcial M, Suarez DL. 2000. Vaccines protect
chickens against H5 highly pathogenic avian infuenza in the face of
genetic changes in field viruses over multiple years. Vet. Microbiol. (74)
: 165-172.
61
Swayne DE. 2009. Avian influenza vaccines and therapies for poultry.
Department of Agriculture. Comp. Immunol. Microbiol. Infec. Dis. (32) :
351–363
Taha SR. 2009. Kajian Potensi Ekstrak Tanaman Obat Sambiloto (Andrographis
paniculata Ness) dan Beluntas (Pluchea indica Less) Sebagai Alternatif
Bahan Obat Flu Burung [Thesis] Program Studi Kesehatan Masyarakat
Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Thomas PG, Keating R, Hulse-Post DJ, Doherty PC. (2006). – Cell-Mediated
Protection In Influenza Infection. Emerg. infect. Dis. 12 (1) : 48-54
Tizard IR. 1988. Pengantar Immunology Veteriner. Terjemahan : Dr. Masduki
Partodirejo. Surabaya. Airlangga University.
Tizard IR. 1987. Pengantar Immunology Veteriner. Edisi II, Terjemahan : Dr.
Masduki Partodirejo. Surabaya. Airlangga University.
Unandar
T.
2003.
Kegagalan
Respon
pada
Ayam.
pp.
4.
Http://www.ciptapangan.com/epbuletin/0106. htm. [6 September 2011].
Wibudi A. 2006. Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrograhis paniculata Ness)
Sebagai Anti Diabetes [Disertasi] Pascasarjana IPB. Bogor
[WHO] World Health Organization. 2007. WHO interim protocol: rapid operation
to contain the initial emergence of pandemic influenza.
http:///www.who.int/crs/disease/avian_influenza/guidelines/draftprotocol/e
n/index.html. [Maret 2010]
[WHO] World Health Organization. 2005. Surveillance for influenza.
http://www.who.int/emcdocuments/influenza/docs/animalinfluenza/html/surveillance.htm.
[Agustus 2010]
Wijayakusuma HMS, Dalimartha AS, Wirian. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di
Indonesia. Jakarta : Pustaka Kartini.
Wiyono A, Indriani R, Dharmayanti NLPI, Damayanti R, Darminto. 2004. Isolasi
dan Karakterisasi Virus Highly Pathogenic Avian Influenza subtipe H5
dari ayam asal wabah di Indonesia. JITV. 9 (1) : 60-71
Ziaran HR, Rahmani HR, Pourezza J. 2005. Effect of dietary extract of propolis
on immune response and broiler performance. Pak. J. Biol. Sci. 8 (10) :
1485-1490
62
63
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar
Ekstraksi dipersiapkan dengan mengikuti prosedur pembuatan sediaan
berupa simplisia yang meliputi :
1.
Sortasi tanaman yang telah dipanen sebelum dicuci masing-masing bahan di
sortir dengan tujuan untuk memisahkan bagian tanaman yang baik dengan
yang rusak
2.
Pencucian, masing-masing bahan yang telah disortir (yang baik) dicuci
dengan air mengalir sampai bersih, lalu ditiriskan.
3.
Pengeringan bahan dijemur di bawah sinar matahari dengan ditutup kain
hitam dilanjutkan dengan oven pada suhu 40 0C hingga kering (kadar air
±10%)
4.
Penggilingan masing-masing bahan digiling dengan menggunakan alat
penggiling.
5.
Ekstraksi
Bahan baku tanaman obat dikeringkan pada suhu 45 0C sesuai dengan
Standar operasinoal prosedur (SOP) sampai kadar air ±10 %, kemudian digiling
dan diayak dengan ukuran ayak 60 mesh. Masing-masing bahan yang sudah
digiling dan diayak lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam alat ekstraktor,
kemudian ditambah etanol 95% sebanyak 5 kali berat bahan dengan perbandingan
1: 5 (bahan : pelarut) dan diaduk selama 2 jam dengan pengaduk listrik, kemudian
didiamkan satu malam. Keesokan harinya disaring dengan kertas saring untuk
mendapatkan filtrat. Ampas dari hasil saringan direndam kembali dengan etanol
sebanyak 3 kali jumlah bahan dan di aduk selama 30 menit, lalu di saring. Filtrat
dari hasil saringan pertama dan kedua disatukan. Selanjutnya filtrat di uapkan
dengan vacuum rotary evaporator (alat penguap) dengan tekanan putaran rendah
sehingga didapatkan ekstrak kental.
64
Lampiran 2. Prosedur Pembuatan Blok Parafin
Organ-organ hasil nekropsi dimasukkan kedalam BNF 10 % sebagai
bahan fiksasi, kemudian dilakukan blok parafin. Tahap awal adalah dehidrasi
yaitu organ direndam dalam larutan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol
absolut (I, II, III) masing-masing selama 1 jam pada suhu kamar, dilanjutkan
dengan proses kliring dengan xilol (I, II, III) masing-masing 0,5 – 1 jam.
Kemudian proses infiltrasi dengan parafin (I,II) masing-masing selam 30 menit
dengan suhu kamar 54 – 56 0C, selanjutnya proses embedding dalam parafin dan
didinginkan dalam suhu kamar. Dilanjutkan dengan proses penyayatan dengan
ketebalan 3-4 µl (mikron) serta diletakkan pada gelas objek, dan dimasukkan
kedalam inkubator pada suhu 37 0C satu malam. Kemudian preparat ini siap
untuk dilakukan pewarnaan.
65
Lampiran 3. Prosedur Pewarnaan Hematoksillin-Eosin (HE)
Pewarnaan HE adalah pewarnaan standar yang bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai struktur umum sel dan jaringan normal serta
perubahan (kerusakan) umum yang disebabkan oleh penyakit. Adapun prosedur
pewarnaan HE adalah:
1. Proses awal pewarnaan jaringan melakukan deparafinisasi yaitu slide
preparat di rendam dalam xylol I,II,III masing-masing selama 3-5 menit.
2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol bertingkat
dengan konsentrasi 100% (alkohol absolut I, II, III), 95%, 90%, 80%, 70%
masing-msing selama 3-5 menit.
3.
Slide preparat dibilas dengan air mengalir (air kran) selama 10-15 menit
dan selanjutnya dimasukkan dalam aquadest (DW) selama 5-10 menit.
4. Preparat diwarnai dengan pewarna hematoksillin selama 10-15 detik.
5. Preparat dibilas dengan air mengalir (air kran) selama 10 menit dan
selanjutnya dimasukkan dalam aquadest (DW) selama 5 menit.
6. Preparat diwarnai dengan pewarna eosin selama 1-2 menit.
7. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 70%,
80%, 90%, 95% dan 100% (alkohol absolut I, II, III) masing-masing
selama 3-5 menit.
8. Preparat dijernihkan (clearing) dengan xylol I, II, III masing-masing
selama 3-5 menit.
9. Proses terakhir adalah mounting dilakukan dengan penutupan preparat
dengan gelas penutup (cover glass) dengan bahan perekat balsem Canada
atau Entellan.
10. Pengamatan di mikroskop.
Hasil : inti berwarna biru keunguan (menyerap warna hematoksilin), sedangkan
sitoplasma, jaringan ikat, keratin dan eritrosit berwarna merah (menyerap
warna eosin).
66
Lampiran 4. Prosedur Pewarnaan Imunohistokimia
Pewarnaan imunohistokimia (IHK) adalah metode pewarnaan bahan aktif
pada suatu jaringan. Prinsip dasar dari teknik Imunohistokimia adalah terjadinya
interaksi antara Antibodi spesifik dengan epitop dari Antigen spesifiknya pada
suatu jaringan, maka teknik IHK dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu
penyakit (sebagai antigen), bahkan boleh dikatakan bahwa IHK mempunyai
spesifisitas yang tinggi sebagai alat diagnosa penyakit.
Adapun prosedur pewarnaan IHK:
1.
Proses awal pewarnaan jaringan melakukan deparafinisasi yaitu slide
preparat di rendam dalam xylol I,II,III masing-masing selama 3-5 menit.
2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol bertingkat
dengan konsentrasi 100% (alkohol absolut I, II, III), 95%, 90%, 80%, 70%
masing-msing selama 3-5 menit.
3. Slide preparat dibilas dalam aquadest (DW) selama 5-10 menit.
4. Preparat dibilas dalam Phosphat buffered saline (PBS) selama 5-10 menit.
5. Preparat dipanaskan dalam citrat buffer (1,05 gram citric acid dalam 1
liter aquadest) dengan suhu 90-95oC selama 30-45 menit.
6. Kemudian preparat diinkubasi dalam citrat buffer
pada suhu kamar
selama 20 menit.
7. Preparat dibilas dengan PBS sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3
menit.
8. Preparat direndam dalam H2O2 3% untuk memblok aktifitas endogenous
selama 20 menit pada suhu kamar.
9. Preparat dibilas dengan PBST (phosphat buffered saline tween) sebanyak
3 kali, masing-masing selama 3 menit.
10. Preparat direndam dalam skim milk 10% (0,1 gr dalam 100 ml PBS) atau
10% normal goat serum selama 30 menit.
11. Preparat dibilas dengan PBST (phosphat buffered saline tween) sebanyak
3 kali, masing-masing selama 3 menit.
12. Sayatan jaringan dilingkari dengan Dako Pen.
67
13. Preparat diinkubasi dengan antibodi primer (monoclonal/polyclonal
antibody: AB I) selama 1-2 jam dalam suhu kamar atau overnight pada
suhu 4oC (refrigerator).
14. Preparat dibilas dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit.
15. Preparat diinkubasi dengan antibodi sekunder (AB II) selama 30 – 60
menit.
16. Preparat dibilas dengan DW 3 - 60 menit.
17. Preparat diwarnai dengan larutan kromogen DAB selama 30 – 90 detik.
18. Dilakukan counterstaining dengan hematoksillin selama 5 – 10 detik.
19. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat, dimulai dari 70%, 80%,
90%, 95% dan alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 3-5 menit.
20. Clearing preparat dengan xylol I, II, III masing-masing selama 3-5 menit.
21. Proses terakhir adalah mounting dilakukan dengan penutupan preparat
dengan gelas penutup (cover glass) dengan bahan perekat balsem Canada
atau Entellan.
22. Pengamatan di mikroskop.
Hasil : reaksi positif antara antigen-antibodi ditunjukkan dengan warna kecoklatan
Download