EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO, ADAS DAN SIRIH MERAH DALAM MENGHAMBAT INFEKSI VIRUS AI PADA AYAM PEDAGING MASDA ADMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 14 Desember 2011 Masda Admi NRP.B351090041 iii iv ABSTRACT MASDA ADMI. The Effectiveness of Ethanolic Extracts of Sambiloto, Adas and Sirih Merah Against Avian Influenza Virus on Broiler Chicken. Under direction of AGUS SETIYONO and IETJE WIENTARSIH. The use of antiviral drugs had been caused resistance against H5N1 avian influenza virus, thus it was crucial to find more effective alternative medicine. The objective of this research was to study the effect of different concentration of ethanol extract formula of sambiloto, adas, and sirih merah in broiler infected with avian influenza virus. Samples were divided into two groups, vaccinated and unvaccinated. Each groups consist of five treatment, F1-5%, F2-7,5%, F3-10%, F4-simplisia, and control. All broilers were challenged with H5N1 AI virus after treated with herb ethanol-extract. Observations were done on performances, leukocyte differentiation, antibody titer, survival, and antigen distribution in lymphoid organ, liver, and intestine. The results showed that the body weight were statistically not significant (P>0.05) in the 4th and 6th week of old. Evaluation on leukocyte differentiation was also shown not significant statistically. The high level of antibody titer and survival bird was found in broiler treated with 5% ethanol extract of sambiloto, adas, and sirih merah, and vaccinated (II-FI 5%). Antigen distribution in the lymphoid organ, liver, and intestine was quite high in the vaccinated broiler, and vice versa. Keywords : H5N1 AI Virus, Limphoid Organ, Medicinal Plants, AI Vaccine, Broiler Chicken. v vi RINGKASAN MASDA ADMI. Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan IETJE WIENTARSIH. Avian Influenza (AI) atau flu burung merupakan penyakit viral pada unggas yang menyita perhatian dunia, karena memiliki dampak ekonomi yang penting dalam industri perunggasan dan kesehatan manusia. Upaya pencegahan penyebaran penyakit AI H5N1 pada unggas dilakukan dengan vaksinasi AI terhadap ayam peliharaan, namun saat ini dilaporkan menggunakan beberapa vaksin AI sudah tidak efektif untuk mencegah penyakit AI (Swayne 2009). Pemerintah Indonesia menetapkan oseltamivir carboxylate (Tamiflu®) sebagai obat untuk penderita AI yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, namun oseltamivir dilaporkan telah memicu resistensi pada virus (de Jong et al. 2005). Sementara obat lain yang ditetapkan pemerintah adalah amantadine dan rimantadine, dilaporkan telah mengalami resistensi terhadap virus AI strain H5N1 (Bright et al. 2006). Resistensi virus AI terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah dan tidak efektifnya vaksin AI yang tersedia, sehingga perlu ditemukan obat alternatif anti AI yang lebih efektif untuk mengobati penderita AI, yang biayanya relatif murah dan dapat menggunakan bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di Indonesia. Beberapa tanaman obat dikenal memiliki potensi sebagai imunomodulator maupun antimikroba seperti sambiloto, adas dan sirih merah. Penelitian secara in vivo dengan menggunakan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 2.5% dapat menghambat infeksi virus AI H5N1 mencapai 46,7% ayam hidup dari total populasi hingga hari ke-4 pasca infeksi (Setiyono et al. 2009). Pada penelitian ini, dengan menggunakan kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan formula konsentrasi bertingkat diharapkan dapat menemukan kekuatan daya hambat infeksi virus AI H5N1 yang lebih baik. Jenis tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah Sambiloto (Andrographis paniculata Ness), adas (Foeniculum vulgare Mill) dan sirih merah (Piper crocatum Ruiz). Penyiapan ekstrak tanaman obat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor. Formula (F) ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah disusun berdasarkan dugaan kandungan setara zat aktif dengan konsentrasi masing-masing 5%, 7.5%, 10% dan formula simplisia. Penelitian ini menggunakan 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging strain Cobb dengan bobot badan rata-rata 38g, dibagi dalam 2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 5 (lima) perlakuan dengan masingmasing kelompok perlakuan berjumlah 8 ekor anak ayam. Semua kelompok perlakuan dipelihara dengan pemberian pakan standar dan minum ad libitum. Metode pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7.5%, F3 - 10% dan F4-simplisia terhadap ayam kelompok perlakuan dilakukan pada ayam berumur 4-25 hari. Ayam kelompok perlakuan I tidak dilakukan vaksinasi AI H5N1, sedangkan ayam kelompok perlakuan II dilakukan vaksinasi AI H5N1 pada umur 21 hari. Setelah 19 hari pemberian ekstrak etanol tanaman obat, ayam ditantang virus AI H5N1 dengan dosis 106 EID50/0.1 ml/ekor. Pengamatan daya tahan hidup ayam dilakukan selama vii 6 hari setelah ayam ditantang dengan virus AI H5N1. Berdasarkan setiap tahapan penelitian dilakukan pemeriksaan terhadap performance ayam perlakuan dari ayam umur 1-6 minggu, pemeriksaan diferensial leukosit dan pengukuran titer antibodi pada ayam umur 21 hari dan 44 hari. Ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1 dilakukan pembedahan (nekropsi) untuk diambil organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) yang selanjutnya dianalisa menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin dan imunohistokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tahan hidup ayam setelah ditantang dengan virus AI H5N1 memberikan hasil yang baik pada kelompok perlakuan yang diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 5% dan ayam divaksin AI H5N1 (kelompok perlakuan II-F15%) dengan total ayam bertahan hidup 100% hingga hari terakhir masa pengamatan. Hasil pemeriksaan titer antibodi AI menunjukkan adanya titer antibodi AI pada ayam yang dilakukan vaksinasi sedangkan ayam yang tidak dilakukan vaksinasi AI tidak menunjukkan adanya titer antibodi AI yang protektif. Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensiasi leukosit ayam setelah pemberian ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi tidak menunjukkan adanya perubahan jumlah relatif leukosit ayam perlakuan. Pemeriksaan terhadap performance ayam selama penelitian tidak menunjukkan adanya pengaruh pemberian ekstrak tanaman obat terhadap berat badan ayam pada semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tanaman obat tidak berefek negatif terhadap kesehatan ayam, salah satunya termasuk pertumbuhan berat badan ayam penelitian. Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin terlihat organ bursa Fabricius, limpa dan timus secara umum menunjukkan adanya deplesi sel limfoid, kongesti, edema, nekrotik folikel limfoid skunder, deplesi pulpa putih, deplesi sel limfoid kortek timus dan nekrotik fokus medula timus. Hasil pengamatan antigen AI pada organ limfoid dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia menunjukkan deteksi antigen AI pada ayam kelompok perlakuan yang tidak divaksin lebih sedikit daripada ayam perlakuan yang divaksin. Hal ini diduga virus tantang yang masuk kedalam tubuh ayam menyebabkan kerusakan sel limfoid dan kemungkinan virus telah menyebar ke organ atau jaringan lain. Sebaliknya organ yang mendapat vaksin AI H5N1 menunjukkan jejak antigen pada organ limfoid lebih banyak. Hal ini dimungkinkan oleh antigen virus vaksin yang masih bisa terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimia. Dugaan lain adalah kemungkinan antigen virus tantang yang tidak ternetralisasi antibodi hasil vaksinasi AI. Kata kunci : Avian Influenza, organ limfoid, tanaman obat, vaksin AI, ayam pedaging viii ©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB ix x EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO, ADAS DAN SIRIH MERAH DALAM MENGHAMBAT INFEKSI VIRUS AI PADA AYAM PEDAGING MASDA ADMI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 xi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet xii Judul Tesis : Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging Nama : Masda Admi NRP : B351090041 Disetujui : Komisi Pembimbing drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Ketua Dr. dra. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Tanggal Ujian : 14 Desember 2011 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Tanggal Lulus : xiii xiv PRAKATA Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, puji syukur kehadhirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa risalah kebenaran Islam kepada umatnya, juga kepada keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Atas rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 dengan judul Efektivitas Ekstrak Etanol Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dalam Menghambat Infeksi Virus AI pada Ayam Pedaging. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet, sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. dra. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyempurnaan penulisan ini sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam tesis ini. Penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada orang tua Ayahanda M. Thahir (Alm) dan Ibunda Nurhayati atas kasih sayang dan do’a yang tak pernah henti-hentinya mengiringi perjuangan penulis. Kepada Adinda Nasrul Effendi dan Ihksan serta Kakanda Safriadi yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan, serta terimakasih tak terhingga kepada Dr. drh Darmawi, M.Si beserta keluarga yang telah banyak membantu penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Buatnya Mardiana, SPdi, terimakasih atas dukungan do’a dan kasih sayang serta penantian panjang selama berlangsungnya pendidikan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D, APVet, Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo P, MS, APVet, Dr. drh. Dewi Ratih, APVet, Dr. drh. Wiwin Winarsih, APVet, Dr. drh. Eva Herlina, M.Si, APVet, drh. Hernomoadi, MVS, APVet, Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet, yang senantiasa selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada para dosen pengasuh mata kuliah di Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekanrekan mahasiswa seangkatan dan sejawat yang setia dan penuh pengorbanan drh. Mawar Subangkit, drh. Ibenu Ramadani, drh. Fakhrul Ulum, drh. Riki Siswandi dan terima kasih juga kepada, drh. Faisal Jamin, M.Si, drh. Siti Aisyah, M.Si, drh. Sri Wahyuni, M.Si, dan Dr. drh. Mustafa Sabri, MP. yang dengan setia menemani penulis di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan di tulisan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Terima kasih kepada adek-adek sepenelitian (Yanda, Sinta, Hazar, Ita dan Laras), kawan-kawan mantan Acehkost (Ayi, Andi, Ijal dan Rijal) dan kawankawan di IKAMAPA, IMTR, dan Asrama Leuser Aceh di Bogor, serta terima kasih juga kepada Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Endang, Mba Kiki, Mba Yanti dan Mas Koko yang sangat banyak membantu selama berlangsungnya penelitian, dan tidak xv lupa juga kepada berbagai pihak atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, dan semoga Allah SWT memberi rahmat bagi kita semua. Amin Bogor, 14 Desember 2011 Penulis xvi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kutablang, Aceh Selatan pada tanggal 26 November 1981 sebagai putera Pertama (tiga bersaudara) dari pasanga M. Thahir (Alm) dan Nurhayati. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA Negeri 1 Samadua pada Tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala melalui UMPTN, lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 2005 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan jenjang pendidikan Magister pada program Ilmu Biomedis Hewan, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan biaya sendiri. Penulis xvii xviii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxv PENDAHULUAN Latar Belakang........................................................................................ 1 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3 Manfaat Penelitian .................................................................................. 3 Hipotesis ................................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA Avian Influenza……………………………………..………............. ... 5 Vaksin Avian Influenza…………………………………..…………. ... 8 Tanaman Obat ……………………………….…………………….... .. 9 Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ........................................... 11 Sirih Merah (Piper crocatum) ……………………..……………….. ... 14 Adas (Foeniculum vulgare)…………………………………………. ... 16 Organ Limfoid …………………………………………………….... ... 18 Bursa Fabricius ...................................................................................... 18 Limpa ...................................................................................................... 19 Timus ...................................................................................................... 20 Leukosit .................................................................................................. 21 Heterofil .................................................................................................. 22 Eosinofil ................................................................................................. 22 Basofil..................................................................................................... 22 Monosit ................................................................................................... 23 Limfosit .................................................................................................. 23 xix BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 25 Materi ..................................................................................................... 25 Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar ................................................ 26 Pembuatan Formula ................................................................................ 27 Metode .................................................................................................... 27 Uji Perlakuan Ekstrak Tanaman Obat dalam Formula ke Ayam ........... 27 Pemeriksaan Performance Ayam Perlakuan .......................................... 28 Pengambilan Sampel Darah ................................................................... 29 Uji Tantang dengan Virus AI H5N1 ...................................................... 30 Pembuatan Preparat Histopatologi ......................................................... 30 Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ..................................................... 30 Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ....................................................... 31 Analisa Data ........................................................................................... 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan.................................................... 33 Titer Antibodi AI H5N1 pada Ayam Perlakuan ..................................... 35 Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N.................. 37 Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia .................................. 39 Performance Ayam Perlakuan ............................................................... 43 Tanaman Obat sebagai Pendukung (Prekursor) Vaksin ........................ 49 KESIMPULAN ................................................................................................ 53 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55 xx DAFTAR TABEL Halaman 1. Metode Pemberian Formula Ekstrak Etanol Tanaman Sambiloto, Adas dan Sirih Merah dengan Konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7,5%, F3 - 10% dan F4-Simplisia terhadap Ayam pada Kelompok Perlakuan ................................................................................................... 28 2. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 21 Hari Selama Pemberian Ekstrak Tanaman Obat………… ............................................ 33 3. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 44 Hari Sebelum Ditantang Virus AI H5N1………… ......................................................... 34 4. Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Berumur 51 Hari, Setelah Ditantang Virus AI H5N1 ......................................................................... 35 5. Hasil Uji Titer Antibodi AI H5N1 terhadap Ayam Perlakuan Berumur 21, 44 dan 51 Hari ...................................................................... 36 6. Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 Dosis 0.1 ml (106EID50), Selama 6 Hari Masa Pengamatan ..................... 38 7. Distribusi Antigen Virus AI H5N1 pada Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa dan Timus) Ayam yang Mati Setelah Ditantang Virus AI H5N1 .......................................................................................... 40 8. Berat Badan Ayam Perlakuan Umur 1-6 Minggu (g/ekor) ....................... 44 9. Distribusi Antigen Virus AI H5N1 pada Organ Hati dan Usus Ayam yang Mati Setelah Ditantang Virus AI H5N1 ................................ 47 xxi xxii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ilustrasi Virus Avian Influenza (AI) ......................................................... 7 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ............................................. 12 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz) .......................................................... 15 4. Adas (Foeniculum vulgare Mill)............................................................... 17 5. Pewarnaan HE terhadap Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa dan Timus) Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok Perlakuan II-F2-75% ............................................................... 42 6. Pewarnaan IHK terhadap Organ Limfoid (Bursa Fabricius, Limpa dan Timus), Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok Perlakuan II-F1-5%.......... ....................................................... 42 7. Grafik Rataan Berat Badan Ayam Pedaging Per Minggu (gr/ekor) Umur 1-6 Minggu ..................................................................................... 45 8. Pewarnaan HE terhadap Organ Hati dan Usus Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok II-Kontrol ............................. 48 9. Pewarnaan IHK terhadap Organ Hati dan Usus Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 pada Kelompok Perlakuan II-F1-5% .............. 48 xxiii xxiv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prosedur Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar ................................... 63 2. Prosedur Pembuatan Blok Parafin ............................................................ 64 3. Prosedur Pewarnaan Hematoksillin-Eosin (HE) ....................................... 65 4. Prosedur Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) ........................................... 66 xxv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Flu burung adalah penyakit viral disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) tipe A strain H5N1 dari famili Orthomyxoviridae. Dalam sejarah kesehatan, penyakit AI sempat menyita perhatian dunia karena menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar. Penyakit AI pada unggas di Indonesia merupakan subtipe H5N1 sudah mulai menyebar pada tahun 2003 (Dharmayanti et al. 2005). Pada awalnya virus AI H5N1 hanya menyerang unggas, namun saat ini telah menyerang manusia, anjing, babi dan kucing. Hal ini dikarenakan adanya mutasi virus yang memicu munculnya strain virus baru yang lebih patogen. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bila terjadi mutasi virus AI di Indonesia maka dapat menyebabkan pandemi dan menimbulkan jumlah korban jiwa lebih besar. Pencegahan penyakit AI pada ayam dapat dilakukan dengan vaksinasi, penggunaan vaksin AI dengan strain virus vaksin AI sesuai subtipe virus AI kasus lapang dapat memberikan hasil vaksinasi yang efektif (Frame 2000). Vaksin AI yang tersedia selama ini, dikhawatirkan tidak efektif dalam beberapa waktu kedepan, karena virus AI merupakan virus yang memiliki banyak strain, diantaranya 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9), sehingga vaksin AI yang tersedia saat ini tidak sesuai dengan strain virus yang terjangkit di lapangan. Seperti dilaporkan Swayne (2009), bahwa penggunaan beberapa vaksin sudah tidak efektif untuk dijadikan sebagai upaya mencegah penyakit AI. Pemerintah Indonesia menetapkan Oseltamivir carboxylate (Tamiflu®) sebagai obat untuk penderita AI, Obat ini bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium verum), namun Oseltamivir dilaporkan telah memicu resistensi pada virus AI (de Jong et al. 2005). Penyediaan bahan baku oseltamivir harus diimpor dari Vietnam atau Cina dengan biaya relatif mahal. Obat lain yang ditetapkan pemerintah adalah amantadine dan rimantadine, yang juga dilaporkan mengalami resistensi terhadap virus AI strain H5N1 (Bright et al. 2006). 2 Penggunaan beberapa obat anti AI seperti amantadine, rimantadine dan oseltamivir telah menimbulkan resistensi virus AI H5N1 (Arnold et al. 2008). Berdasarkan kenyataan resistensi virus AI, maka dipandang perlu ditemukan obat alternatif anti AI yang lebih efektif dengan biaya relatif murah serta menggunakan bahan baku tanaman obat yang mudah diperoleh di Indonesia. Mengingat secara empiris tanaman obat telah banyak digunakan untuk menangani berbagai penyakit pada hewan dan manusia. Beberapa tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat diantaranya berasal dari temu-temuan, sirih-sirihan, sambiloto dan adas. Penggunaan tanaman obat dengan formulasi yang tepat berpeluang sebagai feed additive dan imunomodulator untuk meningkatkan nafsu makan dan kekebalan tubuh pada hewan dan manusia . Setiyono et al. (2007) menyatakan melalui studi in vitro, penggunaan campuran ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan sirih merah memiliki potensi sebagai penghambat pertumbuhan virus H5N1 pada jaringan sel lestari (cell line). Kombinasi sambiloto dan temu ireng merupakan hasil yang lebih baik dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada cell line. Penelitian dengan menggunakan bahan tunggal ekstrak temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) secara in vitro telah terbukti memiliki potensi yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahan obat alternatif AI, sedangkan penggunaan bahan tunggal ekstrak adas (Foeniculum vulgare Mill) secara in vitro menunjukkan potensi yang kurang kuat dalam menghambat infeksi AI. Hasil uji secara in vitro sering kali tidak sama ketika diujikan secara in vivo, hal ini disebabkan kompleks reaksi yang ditimbulkan oleh tubuh makhluk hidup dan faktor-faktor yang berperan dalam tubuh seperti enzim, sistem kekebalan tubuh dan reaksi kimia lainnya (Nurbara 2009). Penelitian yang sama juga di lakukan oleh Taha (2009) terhadap penggunaan bahan tunggal ekstrak tanaman sambiloto secara in vitro terhadap hambatan pertumbuhan virus AI, hasil yang dilaporkan bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak sambiloto dapat menghambat perlekatan (attachment) virus ke sel lestari. Penelitian secara in vivo pada ayam telah dilakukan dengan memberikan kombinasi ekstrak tanaman sambiloto, temu ireng, adas dan sirih merah dalam masing-masing pelarut heksana, etil asetat dan etanol dengan konsentrasi 2.5%, 3 menunjukkan hasil yang baik dalam menghambat infeksi virus H5N1, jumlah ayam yang hidup mencapai 46,7% dari total populasi sampai hari ke-4 pasca infeksi (Setiyono et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian penggunaan ekstrak tanaman obat di atas, maka dipandang perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan kombinasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan formula konsentrasi bertingkat untuk menemukan kekuatan daya hambat virus AI H5N1 yang lebih baik. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui konsentrasi dan formula efektif ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus H5N1 pada ayam pedaging yang telah ditantang virus AI H5N1. 2. Mengetahui gambaran darah ayam pedaging yang diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah. 3. Mengetahui distribusi antigen AI H5N1 pada organ pertahanan ayam (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan menggunakan metode imunohistokimia. 4. Mengetahui pengaruh infeksi virus AI H5N1 terhadap keamanan pangan karkas ayam pedaging. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi tentang konsentrasi efektif formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam pedaging. 2. Memberikan informasi tentang peran konsentrasi yang efektif dari formula ekstrak etanol tanaman obat dalam meningkatkan daya tahan tubuh ayam pedaging terhadap infeksi virus AI H5N1. 3. Memberikan informasi kepada masyakarat tentang keamanan karkas ayam pedaging yang terpapar virus H5N1. Hipotesis Konsentrasi dan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto (setara dengan zat aktif andrografolide), adas (setara dengan zat aktif anetol) dan sirih merah (setara dengan zat aktif piperin) dapat meningkatkan daya tahan tubuh ayam pedaging yang ditantang virus AI H5N1. 4 5 TINJAUAN PUSTAKA Avian Influenza Virus Avian Influenza (AI) adalah virus Ribo Nucleic Acid (RNA) berpolaritas negatif tergolong dalam famili Ortomyxoviridae, dan diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu A, B dan C. Setiap tipe dari virus ditentukan oleh struktur antigenik protein nuklei dan matriks antigen yang saling berhubungan erat diantara virus AI tertentu. Virus AI tipe B dan C hanya ditemukan pada manusia, sedangkan tipe A ditemukan pada unggas serta dapat menginfeksi berbagai macam spesies lainnya. Virus AI tipe A diklasifikasikan dalam beberapa subtipe berdasarkan pada kemampuan antigenitas dua protein permukaan seperti haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), secara antigenik virus AI tipe A memiliki 16 HA (H1-H16) dan 9 NA (N1-N9) (Fouchier et al. 2005). Pengelompokan antigen virus berguna untuk penentuan identitas serologik virus influenza dengan memakai nomor kombinasi H dan N yang sesuai dalam menandai virus, seperti H5N1, H7N2, H1N1 dan jenis virus lainnya. Wabah penyakit AI yang melanda Indonesia pada tahun 2003 disebabkan oleh Virus AI subtipe H5 dan kemungkinan besar merupakan subtipe H5N1 yang sangat patogen pada unggas (Wiyono et al. 2004). Virus AI tipe A dapat menjadi pandemik karena virus ini bermutasi, baik pergeseran struktur antigen virus (antigenic shift) atau perubahan struktur antigen pada virus (antigenic drift) yang menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat dikenali oleh antibodi. Sehingga memudahkan virus strain baru untuk menyebar dalam populasi yang tidak punya kekebalan. Perubahan struktur antigen pada virus AI menjadikan virus ini dapat menyebar luas dan bersifat zoonosis (Claas 2000). Pertengahan tahun 2005, virus AI telah mengakibatkan korban meninggal dunia di Indonesia. Data sekuen asam amino pada GenBank, sekuen asam amino di daerah cleavage site yang berasal dari korban manusia di Indonesia merupakan pertanda patogenisitas virus AI H5N1 (Dharmayanti et al. 2007). Penyakit AI dapat dikenal dalam dua bentuk yaitu AI bentuk sangat patogenik atau highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan bentuk AI yang kurang patogenik atau low pathogenic avian influenza (LPAI). Virus HPAI 6 menyebabkan penyakit sistemik dengan kematian pada beberapa spesies rentan dapat mencapai 100%, sedangkan virus LPAI menyebabkan infeksi yang terlokalisasi dengan tidak menampakkan gejala klinis atau hanya sedikit gejala klinis (Horimoto dan Kawaoka 2001). Infeksi virus AI saat ini terjadi subklinis, yaitu hewan yang terserang virus terlihat sehat tetapi sebenarnya hewan tersebut terinfeksi virus atau sakit. Infeksi virus AI yang tidak terdeteksi dengan tepat menyebabkan meluasnya penyebaran penyakit AI di lapangan. Tingginya tingkat infeksi virus AI memungkinkan virus ini bertahan dan memunculkan strain virus yang lebih patogen melalui proses mutasi dan/atau genetic reassortment (Claas 2000). Mekanisme mutasi pada virus AI meliputi insersi asam amino dasar atau substitusi asam amino nonbasic pada HA proteolitic cleavage site. Kehilangan glycosilasin site menghasilkan virus dengan cleavage site yang tidak terlindungi, atau insersi sejumlah besar RNA. Berdasarkan studi filogenetik virus AI tampak bahwa perubahan virulensi dari rendah ketinggi, mengindikasikan virus HPAI yang memiliki pohon filogenik sama dengan virus LPAI dengan strain H7 yang tidak virulen. Kejadian mutasi virus tidak terprediksi dan dapat berlangsung singkat setelah virus menginfeksi unggas maupun setelah bersirkulasi dalam tubuh unggas peliharaan. Dengan demikian peredaran LPAI subtipe H5 dan H7 juga perlu diperhatikan karena virus LPAI tersebut merupakan prekursor HPAI (Capua dan Maragon 2007). Kejadian infeksi virus influenza diawali dengan penempelan partikel virus pada reseptor permukaan sel induk semang, kemudian diikuti dengan internalisasi yang diperantarai oleh reseptor. Fusi virus dan membran endosomal diikuti oleh transfer nukleokapsid ke dalam sitoplasma (Dharmayanti et al. 2007). Pada sel epitel saluran pernafasan dan saluran pencernaan, hemaglutinin dari semua virus influenza yang masuk dipotong oleh protease inang, mengaktifasi terjadinya fusi dan masuknya virus ke dalam sel. Patogenesa AI pada unggas berbeda dengan patogenesa AI pada mamalia, dalam hal ini replikasi virus di saluran pencernaan sama baiknya dengan replikasi virus di saluran pernafasan. Infeksi dari strain yang sangat virulen menimbulkan viremia, dilatasi sel-sel limfoid, multifokal 7 nekrosis dan menimbulkan pankreatitis, miokarditis, miositis dan ensefalitis (Murphy et al. 1999). Pengendalian penyebaran virus AI di lapangan dapat dilakukan melalui pengawasan daerah yang dicurigai terserang AI dengan tujuan mendeteksi penyakit HPAI pada unggas secara dini, sehingga dapat ditentukan zona bebas, terancam dan tertular, dapat ditentukan subtipe virus, dan dapat dideteksi virus HPAI pada spesies selain unggas serta dapat ditetapkan status bebas ditingkat peternakan. Berdasarkan monitoring penyakit HPAI yang dilakukan Damayanti et al. (2005) dengan metode imunohistokimia pada bulan Juni dan September 2004 terhadap sampel yang berasal dari Provinsi Jawa barat, Jawa timur dan Banten, tidak terdeteksi adanya Virus AI, sedangkan monitoring bulan September 2004 di Provinsi DKI Jakarta berhasil dideteksi virus AI, namun pada bulan September 2004 hingga Februari 2005 berhasil dideteksi virus AI di daerah yang sebelumnya sudah tidak terdeteksi virus AI yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan DKI Jakarta. Kebijakan Pemerintah melalui surat keputusan Departemen pertanian telah melarang peredaran unggas dari daerah endemik ke daerah non endemik untuk menghindari penularan virus AI ke wilayah Indonesia yang masih bebas penularan AI (Ditkeswan 2005). Setyawati (2010) menyatakan bahwa anak ayam umur satu hari telah terinfeksi virus AI dengan gejala subklinis dan anak ayam umur satu hari ini berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya penularan AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah bebas AI. Gambar 1. Ilustrasi Virus Avian Influenza (AI) 8 Vaksin Avian Influenza Vaksin adalah suspensi bibit penyakit yang hidup tetapi telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin berfungsi untuk menimbulkan kekebalan (antibodi) pada hewan yang divaksinasi sehingga dapat berguna untuk melindungi hewan dari serangan penyakit secara klinis, perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, dan perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksin terdiri dari dua jenis yaitu: 1. vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung partikel virus yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat virulensinya, 2. vaksin inaktif adalah vaksin dengan partikel virus yang sudah dimatikan tetapi masih memiliki sifat imunitasnya (Tizard 1988). Virus aktif yang digunakan dalam vaksin terdiri dari tiga jenis virus yaitu; virus yang diisolasi dari hewan sehat sebagai virus yang secara alamiah tidak virulen, virus yang mulanya virulen tetapi setelah dipasase berkali kali di laboratorium dengan biakan jaringan atau hewan percobaan, virus-virus tersebut menjadi tidak virulen dan tetap imunogenik, dan virus-virus yang memiliki kesamaan antigen sehingga antara antibodi yang satu dengan antigen yang lainnya dapat saling menetralisasi. Virus pada vaksin inaktif berasal dari virus virulen yang diinaktifkan dengan menggunakan bahan kimia seperti formaldehida, βpropiolakton, asetiletilenimin, etilen oksida, etilenamin. Upaya meningkatkan daya imunogenik vaksin inaktif biasanya ditambah dengan adjuvan yang merupakan bahan campuran vaksin untuk meningkatkan respon imun, baik secara humoral maupun seluler. Adjuvan yang sering dicampurkan dalam vaksin adalah lemak nabati, minyak mineral dan Al (OH)3 (Malole 1987). Prinsip dasar pemakaian virus vaksin adalah harus homolog dengan subtipe H atau N virus asal lapang. Menurut regulasi Office International Des Epizooties (OIE), vaksin harus mempunyai komposisi genetik yang stabil, memiliki proses inaktivasi sempurna (uji laboratorik), bebas pencemaran agen infeksius lainnya dan mengandung konsentrasi antigen yang tinggi, menggunakan adjuvan berkualitas tinggi dan memiliki tingkat keamanan, berpotensi serta efektifitas yang tinggi (uji laboratorik dan uji lapang) (Suarez 2005). Vaksin AI subtipe H5N1 yang sesuai dengan subtipe virus kasus lapang telah banyak diproduksi dan dipasarkan secara komersial, saat ini umumnya digunakan dalam 9 program vaksinasi untuk pencegahan penyakit AI subtipe H5N1 pada berbagai ternak unggas di Indonesia (Dharmayanti et al. 2006). Pemerintah telah menetapkan obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus H5N1 seperti amantadine dan rimantadine serta oseltamivir carboxilate (Tamiflu®) dan Zanamivir (Relenza®). Oseltamivir merupakan salah satu obat yang bekerja sebagai inhibitor neuraminidase sedangkan amantadine bekerja sebagai ion chanel blocker. Menurut laporan Arnold et al. (2008), virus AI H5N1 resisten terhadap beberapa obat anti AI seperti oseltamivir dan amantadine. Berdasarkan resistensi virus terhadap obat anti AI yang ditetapkan pemerintah serta kurang efektifnya vaksin yang terjadi saat ini, maka perlu ditingkatkan pengembangan obat anti virus yang baru dengan menggunakan bahan baku tanaman obat asal Indonesia (Canopus Biopharma 2009). Tanaman Obat Secara empiris tanaman obat banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala. Penggunaan tanaman obat dapat mencegah berbagai jenis penyakit, sehingga tanaman obat banyak digunakan dalam berbagai jenis jamu yang dipasarkan di masyarakat. Tanaman obat atau obat tradisional yang digunakan untuk pencegahan penyakit dikenal dengan nama Jamu. Industri obat tradisional di Indonesia berkembang sangat cepat. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terdapat ribuan industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri, baik yang berskala besar maupun berskala kecil. Perkembangan industri obat yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat dapat menjadi gambaran tingginya konsumsi obat tradisional di Indonesia. Kendala utama dalam penggunaan tanaman obat adalah kurang atau tidak stabilnya kandungan zat aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman obat. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak sering kali dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh lokasi penanaman, waktu pemanenan, jenis varietas, dan metode ekstraksi yang digunakan, sehingga diperlukan cara untuk mengatasi variasi kualitas dan kuantitas kandungan zat aktif dari tanaman obat. Apabila hal ini dilakukan maka kualitas zat aktif tanaman obat dapat diseragamkan (Wijayakusuma et al. 1994). 10 Beberapa penggunaan tanaman obat sebagai anti viral seperti yang dilakukan negara Thailand, tentang penelitian khasiat tanaman obat Maeng Lak Kha (Hyptis suaveolens) yang telah memasuki pengujian klinis tahap kedua, diuji pada 1.000 orang sukarelawan. Pada pengujian tahap pertama, telah terbukti dapat membunuh virus AI pada 10 orang sukarelawan. Di Laos, tanaman yang sedang diteliti adalah Man On Ling (Poligonum multiforum), yang memiliki daya kerja neuraminidase inhibitor, dan menghambat atau mencegah terjadinya cytokine storm, yang dapat berakibat fatal. Negara lain seperti Cina dan Korea tidak kalah gencarnya meneliti tentang tanaman obat yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan obat AI (WHO 2007). Di Indonesia ketersediaan bahan tanaman obat sangat mudah didapatkan karena Indonesia sebagai negara tropis, mempunyai berbagai jenis tanaman obat yang berpotensi digunakan sebagai salah satu sumber bahan obat untuk menggantikan obat AI yang tidak mampu mengatasi infeksi virus AI H5N1. Pemanfaatan tanaman obat sebagai obat alternatif terhadap infeksi AI sangat membantu dalam pengendalian penyakit AI pada manusia. Ketergantungan obat AI dari luar selama ini dapat dikurangi, memiliki ketersediaan yang memadai membuat pemberian obat AI pada penderita menjadi lebih cepat, terutama bila terjadi pada penderita yang berada di daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah pusat. Tanaman obat juga dapat menjadi obat alternatif karena dapat dimanfaatkan sebagai profilaksis, atau pemberian obat sebelum terinfeksi AI. Pemberian obat sebagai profilaksis dilakukan pada masyarakat penderita AI, yang bertujuan untuk meminimalisir jumlah orang yang tertular AI. Tindakan ini dapat menghemat persediaan obat AI dan biaya pembelian obat AI dari luar negri (Sugarman 2005). Pemberian obat sedini mungkin merupakan suatu tindakan yang sangat efektif dalam penanganan AI. Selama ini yang menjadi masalah utama dalam penanganan AI adalah keterlambatan dalam pemberian obat bagi penderita AI, dikarenakan lokasi penderita berada di daerah yang jauh dari pusat penanganan AI, sehingga menyebabkan kematian pada penderita. Dengan adanya penemuan obat alternatif yang berbahan dasar tanaman obat diharapkan penanganan dan pengobatan pada penderita AI dapat ditanggulangi dengan cepat dan segera, serta dapat 11 meminimalisasi biaya produksi obat AI, sehingga dapat meningkatkan jumlah sediaan obat dan mudah dalam mendapatkan obat. Kandungan tanaman obat yang telah diidentifikasi memiliki aktivitas antiviral adalah flavonoid, terpenoid, lignin, sulfide, polifenol, kumarin, saponin, senyawa furil, alkaloid, polin, tiopen, protein dan peptide (Manoi 2007; Paparanza dan Marianto 2003; Rusmin dan Melati 2007). Meskipun memiliki kemampuan antiviral yang tinggi, namun komposisi kombinasi yang tepat belum banyak diketahui dalam menghambat infeksi virus (Jassim dan Naji 2003). Pengembangan penelitian terhadap mekanisme kerja dari bahan aktif yang terkandung dalam tanaman obat terus dilakukan, sehingga ditemukan beberapa bahan aktif dalam tanaman obat yang memiliki mekanisme kerja yang saling melengkapi, termasuk efek antiviral menghambat pembentukan DNA atau RNA virus atau menghambat aktivitas reproduksi virus (Ahmad 2006). Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Tanaman sambiloto merupakan salah satu sumber bahan tanaman obat yang banyak dipakai di Indonesia. Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi. Habitat asli sambiloto adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, semak-semak, ataupun rumpun. Sambiloto memiliki batang berkayu dengan bentuk bulat dan persegi serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk seperti pedang (lanset) dengan tepi daun rata dan permukaannya halus berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulat panjang) dengan pangkal dan ujungnya lancip. Di India, bunga dan buah dapat diamati pada bulan Oktober atau antara bulan Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah dapat diamati antara bulan Nopember sampai Juni tahun berikutnya, sedangkan di Indonesia karena merupakan daerah tropis, maka bunga dan buah tanaman sambiloto dapat ditemukan sepanjang tahun (Hariana 2006). Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh Indonesia dan dikenal dengan berbagai nama dalam bahasa daerah. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutnya dengan nama bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo, paitan, dan sambiloto, masyarakat Jawa Barat menyebutnya dengan nama kioray, 12 takila, atau ki peurat, sedangkan masyarakat Bali lebih mengenal dengan nama samiroto. Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu menyebutnya dengan nama pepaitan atau ampadu. Sambiloto di Cina disebut dengan nama chuan xin lian, yi jianxi, dan lan he lian, di India disebut dengan nama kalmegh, kirayat, dan kirata, di Vietnam dikenal dengan nama xuyen tam lien dan congcong, negara Arab menyebutny dengan nama quasabhuva, di Persia dengan sebutan nainehavandi, serta di Inggris menyebutnya dengan nama green chiretta dan king of bitter. Wijayakusuma et al. (1994) menyebutkan taksonomi tanaman sambiloto adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermathophyta Kelas : Dycotyledonae Ordo : Personales Family : Acanthaceae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Ness Gambar 2. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Tanaman sambiloto mempunyai sifat khas seperti rasa pahit yang berasal dari bagian daun, batang dan akar. Rasa pahit yang dihasilkan oleh sambiloto diduga berasal dari kandungan andrografolide yang terdapat didalamnya. Semua bagian dari sambiloto seperti batang, daun dan akar dapat dimanfaatkan sebagai obat. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dalam obat tradisional seperti jamu adalah daun dan batang. Sambiloto dapat berguna untuk menurunkan suhu 13 tubuh dan membersihkan darah serta sebagai obat anti diuretik, anti diabetik, anti inflamasi, anti tukak lambung, anti histamin (gatal-gatal), menurunkan tekanan darah, anti rematik, anti analgetik, imunomodulator, melindungi kerusakan hati dan jantung yang reversibel, anti spermatogenik/androgenik (Niranjan et al. 2008). Komponen utama sambiloto adalah andrografolide yang memiliki multi efek farmakologis. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker pada hati, payudara dan prostat. Efek farmakologisnya mampu merangsang daya tahan seluler dan memproduksi antibodi. Di samping itu hasil pengujian pra klinis sambiloto menunjukkan bahwa andrografolide, memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan telah dikembangkan sebagai obat modern anti virus dengan nama Androvir® (Maat 2001: Prapanza dan Marianto 2003). Kandungan bahan aktif sambiloto secara kimia yaitu flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen utamanya adalah andrografolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Zat aktif tanaman obat ini dapat ditentukan dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography [HPLC] (Hu 1982). Analisa kandungan zat aktif yang terdapat dalam tanaman sambiloto adalah lakton dan glikosida, andrografolide, deoksiandrografolide, 11, 14-didehidro-14-deoksi andrografolide, dan neoandrografolide. Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto juga terdapat komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan dammar (Paparanza dan Marianto 2003). Penelitian pada hewan percobaan dengan pemberian andrografolide menunjukkan bahwa setelah 48 jam, komponen ini tersebar luas ke seluruh organ tubuh, diantaranya jumlah konsentrasi yang terdapat di otak sebesar 20,9%, limpa 14,9%, jantung 11,1%, paruparu 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati 5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, dan usus halus sebesar 3,2% (Niranjan et al. 2008). Distribusi yang luas di jaringan dan organ tubuh serta adanya khasiat yang mengatur dan meningkatkan sistem imun menyebabkan sambiloto menjadi calon ideal untuk mencegah berbagai penyakit. Secara empiris, sambiloto dimanfaatkan 14 sebagai anti oksidan, anti diabetes, anti fertilitas, anti human immunodeficiency virus (HIV-1), anti flu, anti adesi intraperitoneal, anti malaria, anti diare, anti hepatoprotektif, anti koleretik, dan anti kolekinetik. Sambiloto sebagai salah satu obat tradisional sudah di uji, baik praklinis maupun uji klinis. Berdasarkan uji toksikologi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa andrografolide dan senyawa lain yang terkandung dalam tanaman sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah (Birdane 2007). Ekstrak sambiloto dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen baik yang spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan non spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil dan basofil untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya (Wibudi 2006). Sirih Merah (Piper crocatum) Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Disamping itu sirih merah juga memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi, termasuk dalam suatu elemen penting yang harus disediakan dalam setiap rangkaian acara adat di Yogyakarta (Manoi 2007). Tanaman sirih merah tumbuh menjalar seperti sirih hijau, batangnya bersulur dan beruas dengan setiap buku tumbuh bakal akar, daunnya bertangkai berbentuk jantung dengan bagian atas meruncing, mempunyai warna yang khas yaitu permukaan atas hijau gelap berpadu dengan tulang daun berwarna merah hati keunguan, daun berasa pahit, berlendir, serta mempunyai bau yang khas seperti sirih (Duryatmo 2005). Budidaya sirih merah dapat dilakukan secara vegetatif dengan penyetekan atau pencangkokan, karena tanaman ini tidak berbunga. Penyetekan dapat dilakukan dengan menggunakan sulur yang panjangnya 20-30 cm. Sulur sebaiknya dipilih dari yang telah mengeluarkan akar dan mempunyai 2-3 daun atau 2-3 buku. Untuk mengurangi penguapan, daun dikurangi sebagian atau dibuang seluruhnya. Sulur diambil dari tanaman yang sehat dan telah berumur lebih dari setahun. Penanaman di lapangan sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan, sirih merah dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah dan tidak terlalu sulit dalam pemeliharaannya. Selama ini sirih merah tumbuh tanpa 15 dilakukan pemupukan, tetapi pertumbuhan di lapangan tergantung pada jumlah air dan cahaya matahari yang cukup yaitu berkisar 60-75% (Manoi 2007). Sirih merah menurut Backer (1963) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monochlamydeae Ordo : Piperales Family : Piperaceae Genus : Piper Spesies : Piper crocatum Gambar 3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz) Sirih merah mengandung senyawa aktif yakni alkaloid, saponin, tanin, flavonoid dan minyak atsiri. Sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes melitus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, prostatitis, radang mata, keputihan, tukak lambung, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak sirih merah hingga dosis 20g/kg berat badan, menunjukkan aman untuk dikonsumsi dan tidak bersifat toksik (Manoi 2007). Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan obat kimia. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat modern. 16 Senyawa flavonoid dan tanin bersifat anti kanker, anti oksidan, anti septik dan anti inflamasi (Ziaran et al. 2005) Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstra seluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat bersifat sebagai koagulator protein. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri, dengan dugaan mekanisme kerjanya adalah mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson et al. 1991). Tanin memiliki aktivitas toksisitas yang dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan pembentukan kompleks antara ikatan tanin terhadap ion logam dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama 2001). Kandungan minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan mengalami peruraian yang cepat, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel yang menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein sedangkan pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan lisisnya membran sel (Parwata et al. 2008). Adas (Foeniculum vulgare) Adas (Foeniculum vulgare) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia untuk digunakan sebagai bumbu makanan atau sering juga digunakan sebagai obat. Secara empiris tanaman adas dimanfaatkan untuk mengobati sakit perut, perut kembung, mual, muntah dan diare, sakit kuning, batuk, flu sesak nafas (asma), nyeri haid, hernia batu empedu dan lain-lain. Di negara-negara lain adas digunakan sebagai obat tradisional, seperti di Cina digunakan sebagai antitusiv dan di India sebagai antelmentika, anti inflamasi, anti fungal, anti mikroba dan mencegah influenza (David 2002). 17 Taksonomi dari buah adas adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Apiales Family : Apiaceae Genus : Foeniculum Spesies : Foeniculum vulgare Mill (Bean dan Russo 1988) Gambar 3. Adas (Foeniculum vulgare Mill) Adas terdiri dari dua varietas, yaitu adas pahit (Varietas vulgare) dan adas manis (Varietas ducle). Tanaman adas dengan ciri tinggi, tanaman 1-2 meter dan memiliki banyak percabangan, batang beralur, daun berbagi menyirip berbentuk bulat telur sampai segitiga dengan panjang 0.3 cm, bunga berwarna kuning membentuk payung yang besar dan terdiri dari 15-40 payung kecil dengan panjang tangkai bunga 1-6 cm. Buah adas yang biasa digunakan adalah buah adas yang kering berwarna cokelat. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam buah adas adalah minyak atsiri yang mengandung anethole atau phenylphropanoid sebanyak 0.1-36%, α-pinene (1–21%), limonene (1–17%) dan ά-terpinene (<1– 4%) (Edoardo et al. 2010). Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap adas diketahui bahwa adas memiliki beberapa efek farmakologis, diantaranya minyak atsiri dari buah adas dapat menurunkan kadar gula darah dan glutation perioksidase serta memperbaiki 18 abnormalitas yang terjadi pada ginjal dan pankreas tikus diabetes (El-soud et al. 2011). Kandungan senyawa trans dan cis-anetol serta estragol yang terdapat dalam adas juga bermanfaat sebagai anti jamur (Mironescu et al. 2010). Tanaman adas (Foeniculum vulgare) diduga memiliki efek anti inflamasi, namun jumlah persentase zat aktif yang bekerja sebagai anti inflamasi belum dapat ditentukan (Albano et al. 2010). Organ Limfoid Organ limfoid secara umum dapat diklasifikasi berdasarkan perannya dalam menghasilkan limfosit, mengatur produksi limfosit dan menyiapkan kondisi lingkungan untuk interaksi antara antigen yang sudah diproses dengan sel peka antigen. Organ limfoid unggas dibagi dalam dua kelompok besar yaitu organ limfoid primer yang berfungsi mengatur produksi dan diferensial limfosit, yang termasuk dalam organ limfoid ini adalah timus dan bursa Fabricius. Organ limfoid sekunder bersifat responsif terhadap stimulasi antigenik, organ limfoid ini kaya akan makrofag dan sel dendritik yang menangkap serta memproses antigen dan limfosit T dan B, yang memperantarai reaksi kebal. Termasuk dalam organ limfoid sekunder adalah limpa, simpul limfe, saluran respirasi, saluran urogenital dan limfonodul pada saluran gastrointestinal (Tizzard 1987). Bursa Fabricius Bursa berkembang secara cepat pada unggas muda dan mencapai ukuran maksimum antara minggu ke 4 sampai 12 minggu. Pada umumnya, unggas mengalami regresi bursa dengan cepat setelah 20 sampai 24 minggu. Involusi bursa Fabricius dimulai pada umur 14 minggu hingga 5 bulan. Struktur bursa Fabricius adalah permukaan dalamnya terdiri dari lipatan longitudinal (plika) besar dan kecil. Lipatan-lipatan ini terdiri dari folikel bursa dan dibawahnya terdapat matriks jaringan ikat, seperti lipatan bursa untuk tiap folikel yang disebut lumen bursa. Lipatan epitel longitudinal dibentuk pada permukaan dalam kantung dan epitel kulumnar menutupi plika berproliferasi dan membentuk pertumbuhan ke arah luar dari pucuk epitel ke dalam lamina propia yang berada dibawahnya (Ruddle 1999) 19 Korteks dan medula merupakan bagian dari bursa Fabricius, kedua bagian ini dipisahkan oleh membran basal yang berhubungan dengan permukaan epitel. Permukaan medula dari membran basal folikular terdiri dari lapisan sel epitel squamous atau kubus. Stroma jaringan epitel secara ekstensif terdapat di dalam medula. Akibat kerja dari jaringan ini, kehadiran limfosit dan makrofag sulit untuk dilihat. Bagian korteks terdiri dari sel-sel limfosit, sel plasma dan makrofag, sedangkan bagian medulanya hanya berisi sel limfosit. Sel plasma kaya akan ribosom yang akan menghasilkan antibodi dan kemampuan mengenali suatu rentetan partikel yang mempunyai ukuran menengah diantara linfosit dan sel plasma. Sel plasma sebenarnya sel efektor yang mengsekresi immunoglobulin dan menetralisir antigen. Sel plasma kaya akan ribosom yang akan menghasilkan antibodi, aparat golgi yang besar sebagai tempat keluarnya antibodi (Eerola et al. 1987 dan Tizzard 1987). Bursa Fabricius mempunyai fungsi sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari sistem pembentuk antibodi. Bursa juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi dan juga mengandung sebuah pusat kecil sel T tepat di belakang lubang salurannya (Tizzard 1987). Limpa Secara histologis, limpa terdiri dari stroma (kapsula, trabekula) dan parenkim (pulpa limpa). Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai kelenjar-kelenjar limfe. Kapsul limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri atas serat kolagen, serat elastin dan beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang besar arteri dan vena spenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam organ Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif, sehingga apabila dilihat secara makroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk membentuk antibodi. Dengan pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada jumlah sel darah yang banyak mengisi ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta 20 pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi), patologi yang terjadi pada limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan deposit lain (Thomas 2006). Limpa merupakan organ pertahanan ayam yang berfungsi untuk memproduksi sel-sel limfosit. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah memiliki fungsi “menyaring” darah,dan sebagai tempat penyimpanan sel darah merah, penjeratan antigen dan eritropoietis pada fetus, sedangkan bagian pulpa putih merupakan sebagai tempat terjadinya tanggap kebal (Tizzard 1988). Timus Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitel yang tersusun longgar dan setiap lobus dibatasi oleh kapsul jaringan ikat. Bagian tengah tiap lobus disebut medula sedangkan bagian tepinya disebut korteks. Korteks timus paling utama terdiri dari retikulum epitel dan lmfosit. Sel epitel timus memiliki inti lonjong, besar dan pucat dengan penjuluran bercabang panjang yang mengandung banyak filament mikro dan saling berhubungan kuat melalui desmosom organel tidak jelas. Sel-sel epitel membentuk balutan berkesinambungan pada tepi lobus dan sekitar ruang perivaskuler. Ini merupakan bagian penting dari barier antara darah dan timus (Dellman dan Brown 1989). Ukuran timus sangat bervariasi, ukuran relatif paling besar terdapat pada hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada saat hewan pubertas (Tizzard 1987). Pada hewan umur muda, timus bersifat sangat aktif yang secara normal mengalami involusi menjelang pubertas dan bertambahnya umur. Proses involusi ditandai dengan berkurangnya secara bertahap limfosit terutama di daerah korteks, pembesaran dari sel-sel epitel retikuler dan parenkim diganti oleh sel lemak. Pada hewan dewasa, timus terdiri dari jalur-jalur tipis parenkim di mana banyak sel-sel retikuler epitel membesar yang dikelilingi jaringan lemak (Dellman dan Brown 1989). Timus berfungsi sebagai kelenjar endokrin, bermacam-macam hormone disekresikan oleh sel epitelial timus, diantara yang terpenting adalah timosin, timopoetin dan FTS (facteur thymique serique). Timosin adalah campuran dari 21 polipeptida kecil yang bekerja pada sel sumsum tulang untuk pematangan sel T. Timoepoetin adalah polipeptida yang menyebabkan pendahulu sel T berdiferensiasi dan mempertinggi fungsi sel T dengan menekan tingkat AMP siklik. FTS adalah peptide yang disekresi oleh sel epithelial yang mampu mengembalikan sebagian fungsi sel T pada hewan yang mengalami timektomi (Tizzard 1987). Leukosit Leukosit atau sel darah putih memiliki peran utama dalam sistem pertahanan tubuh melawan infeksi. Kebanyakan sel leukosit di dalam aliran darah bersifat non fungsional karena hanya diangkut ke jaringan ketika dibutuhkan (Franson 1992). Jumlah leukosit jauh dibawah jumlah eritrosit dan bervariasi tergantung jenis hewannya. Jumlah leukosit yang tinggi dipengaruhi oleh genetik, hormon, status nutrisi yang bervariasi antara individu hewan. Fluktuasi jumlah leukosit pada setiap individu cukup besar pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya stres, aktivitas fisiologis, gizi dan umur (Tizzard 1987) Fungsi leukosit adalah menghancurkan agen infeksi dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (kekebalan). Pengamatan terhadap leukosit merupakan suatu cara untuk mendiagnosis suatu kondisi atau status kekebalan tubuh. Respon pertahanan atau kekebalan tubuh yang tertekan disebabkan oleh rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk atau mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan misalnya, bursa Fabricius, limpa, timus, sumsum tulang dan jaringan lainnya, karena pada jaringan tersebut dibentuk sel pertahanan tubuh yaitu leukosit (Unandar 2003). Leukosit atau sel darah putih terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu, granulosit dan agranulosit. Sel darah putih yang termasuk ke dalam kelompok granulosit adalah heterofil, basofil dan eosinofil. Neutrofil pada unggas dikenal dengan nama heterofil. Monosit dan limfosit termasuk ke dalam kelompok agranulosit atau leukosit yang tidak bergranul (Guyton 2008). Respon kekebalan ayam dirangsang oleh pemaparan antigen yang stukturnya dikenali oleh sistem kekebalan sebagai suatu benda asing (non-self). Antigen dapat disuguhkan kepada sistem kekebalan sebagai kompleks multi antigen (partikulat) misalnya: virus, bakteri, parasit, fungi dan partikel artifisal 22 atau sebagai antigen tunggal misalnya protein dan polisakarida (Leanears dan Hendriksen 2005). Komponen-komponen yang mendasar dalam mekanisme respon kekebalan antigen-spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T, sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil (heterofil), monosit (didalam jaringan disebut makrofag), eosinofil dan basofil, dari semua komponen dasar yang berperan dalam mekanisme kekebalan tersebut berasal dari stem sel (Roitt dan Delves 2001). Heterofil Heterofil dibentuk di sumsum tulang dan dideposit di sumsum tulang hingga dibutuhkan oleh tubuh, jumlah total heterofil dalam leukosit sebanyak 1540% dari total leukosit yang bersirkulasi pada tubuh makhluk hidup secara umum (Jain 1986). Heterofil akan muncul pada saat peradangan, jumlah heterofil dapat digunakan untuk mendiagnosis keadaan stres pada unggas (Sturkie 1976). Fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis, heterofil merupakan garis pertahanan utama tubuh dalam melawan infeksi bakteri, virus dan agen yang merugikan tubuh (Meyer and Harvey 2009). Sel-sel heterofil ketika memasuki jaringan sudah merupakan selsel dewasa/matang sehingga dapat langsung memulai fagositosis, sebuah sel heterofil dapat memfagositosis 5-20 bakteri. Sel heterofil mempunyai sejumlah besar enzim lisosom yang berisi enzim preteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan-bahan protein asing (Guyton 1986). Eosinofil Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah dan menunjukkan fenomena kemotaksis. Jumlah eosinofil normalnya mencakup 1.5-6% dari jumlah total leukosit (Jain 1986). Eosinofil diduga berfungsi pada reaksi antigen antibodi dan meningkat pada serangan asma, reaksi obat-obatan dan infestasi parasit tertentu (Price et al. 1995). Basofil Basofil mengangkut heparin, faktor-faktor pengaktifan histamin dan platelet dalam granula-granulanya untuk menimbulkan peradangan pada jaringan. 23 Jumlah basofil paling sedikit 1.7% dari total jumlah leukosit (Sturkie 1976). Keadaan jumlah basofil yang meningkat ditemukan pada gangguan mieloproliferatif, yaitu gangguan proliferatif dari sel-sel pembentuk darah (Price et al. 1995). Monosit Monosit dibentuk di sumsum tulang dan disimpan sampai diperlukan di sistem sirkulasi. Monosit meninggalkan sirkulasi dan menjadi makrofag jaringan serta merupakan sebagian dari system monosit makrofag. Monosit memiliki fungsi fagosit, membuang sel-sel nekrosis, fragmen-fragmen sel dan mikroorganisme (seperti pada endokarditis bakterial) (Price et al. 1995). Struktur monosit secara histologis terlihat memiliki ukuran terbesar 15-20 mikron, inti yang bulat atau menyerupai tapal kuda, dan sitoplasma basofilik tidak bergranul (Clark et al. 2009). Limfosit Limfosit paling banyak terdapat di jaringan limfogen khususnya di kelenjar limfe. Limfosit juga dapat dijumpai dalam jaringan limfoid khusus seperti limpa, timus, tonsil, dan berbagai jaringan limfoid lainnya yaitu Plak Peyer di bawah epitel usus dan sumsum tulang. Limfosit memiliki fungsi utama sebagai pembentuk antibodi terhadap antigen yang berkembang dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson 1992). Limfosit juga berfungsi sebagai penghasil antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag (Ganong 1995). Fungsi lain dari limfosit adalah sebagai inti dari suatu imun spesifik karena limfosit memiliki kemampuan menyingkirkan antigen setelah mengalami aktivasi (Kresno et al. 2001). Jumlah limfosit dalam tubuh unggas sebesar 45-70% dari total leukosit yang bersirkulasi di seluruh tubuh (Jain 1986). Rata-rata jumlah limfosit pada unggas menurut Davis et al. (2008) adalah 63%, sedangkan Lavinia et al. (2009) menyebutkan jumlah limfosit ayam pada umur 3 sampai 6 minggu adalah 65.55%. Secara histologis, limfosit terlihat memiliki inti sel heterokromatik berbentuk lonjong hingga bulat, sitoplasma yang bersifat basofilik tidak bergranul, dan terbagi menjadi limfosit kecil dan besar (Clark et al. 2009). 24 Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan. Dua bentuk limfosit yang aktif dapat dikenali sebagai limfosit T yang menghasilkan sel T, yang berasal dari timus dan limfosit B berasal dari sel B dihasilkan oleh bursa Fabricius (Dellman dan Brown 1989). Pada bangsa unggas prekusor yang ditemukan banyak pada bursa Fabricius dan struktur limfoid dekat kloaka, ditransformasi ke limfosit yang bertanggung jawab sebagai imunitas humoral atau limfosit B (Ganong 1995). 25 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 - April 2011. Ekstraksi tanaman obat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), pemeliharaan ayam dilakukan di kandang FKH IPB, dan uji tantang virus Avian Influenza H5N1 dilakukan di Laboratorium Biosafety Level 3 (BSL3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri, Bogor. Pemeriksaan patologi dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Materi Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging dengan bobot badan rata-rata 38g, dipelihara dengan pemberian pakan dan minum ad libitum. Pemberian Vaksin Newcastle Disease (ND) pada umur 4 hari dan pemberian vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) pada umur 11 hari. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital, penggiling, tabung steril, gelas ukur, corong pisah, sentrifus, labu penyuling, inkubator, vorteks, penangas air, tabung elenmeyer, blender, kapas, tissue, tabung kromatografi, tabung destruksi, labu penyaring, alat penyaring, pipa kapiler, kandang dan kelengkapannya, alat peniup, alat pengering, pendingin tegak, ekstraktor, spuit, seperangkat alat bedah, kaset histologi, gelas piala, gelas objek, cover glass, pipet, mikropipet, mikrotip, mikrotom rotari, dan mikroskop. Bahan yang digunakan adalah virus AI subtipe H5N1/Legok/2003, tanaman Sambiloto, Adas dan Sirih Merah, metanol, etanol, aseton dingin, etil asetat, kloroform, aquades, asetat hidrat dan H2SO4, larutan Giemsa, Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 95%, 96% dan alkohol absolut), xilol, parafin, sitrat buffer, PhosphateBuffered Saline (PBS), akuades Destilated Water (DW), Tween20 0.1%, H2O2 26 3%, antibodi primer (monoclonal anti-AI H5N1 antibody), antibodi sekunder (rabbit anti-chicken IgG), diaminobenzidine (DAB), entelan, hematoksilin dan eosin. Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar Jenis tanaman obat yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian adalah : 1. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) 2. Adas (Foeniculum vulgare Mill) 3. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz) Bahan baku tanaman obat untuk ekstraksi dipanen dari koleksi plasma nutfah tanaman obat di lingkup kebun BALITTRO. Ekstraksi dipersiapkan dengan mengikuti prosedur standar pembuatan sediaan berupa simplisia yang meliputi : Sortasi yaitu tanaman yang telah dipanen sebelum dicuci masingmasing bahan disortir dengan tujuan untuk memisahkan bagian tanaman yang baik dengan yang rusak. Pencucian yaitu masing-masing bahan yang telah disortir (yang baik) dicuci dengan air mengalir sampai bersih, lalu ditiriskan. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari dan ditutup kain hitam dilanjutkan dengan oven pada suhu 400C hingga kering (kadar air ±10%). Masing-masing bahan digiling dengan menggunakan alat penggiling. Ekstraksi Tanaman Obat Ekstraksi dilakukan di BALITTRO. Masing-masing bahan yang sudah digiling dan diayak lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam alat ekstraktor, kemudian ditambah etanol 95% sebanyak 5 kali berat bahan dengan perbandingan 1: 5 (bahan : pelarut) dan diaduk selama 2 jam dengan pengaduk listrik, kemudian didiamkan satu malam. Keesokan harinya disaring dengan kain flanel untuk mendapatkan filtrat. Ampas dari hasil saringan direndam kembali dengan etanol sebanyak 3 kali jumlah bahan dan diaduk selama 30 menit, lalu disaring. Filtrat dari hasil saringan pertama dan kedua disatukan. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan vacuum rotary evaporator (alat penguap) dengan tekanan putaran rendah sehingga didapatkan ekstrak kental, kemudian dilanjutkan penimbangan ekstrak untuk membuat formula yang digunakan dalam penelitian. 27 Pembuatan Formula Formula yang digunakan dalam penelitian dibuat dengan cara mencampurkan ekstrak etanol sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin. Perbandingan konsentrasi kandungan zat aktif yang setara dalam masing-masing ekstrak tanaman obat disusun berdasarkan metode penelitian yang dilakukan Setiyono et al. (2010). Variasi konsentrasi ekstrak tanaman obat disusun dalam formula sebagai berikut : 1. Sambiloto setara dengan zat aktif Andrografolide : 5%; 7.5%; 10% 2. Adas setara dengan zat aktif Anetol : 5%; 7.5%; 10% 3. Sirih merah setara dengan zat aktif Piperin : 5%; 7.5%; 10% 4. Simplisia Sambiloto, Adas dan Sirih merah Semua bahan formula ditambah dengan emulsifer tween-80, antioksidan, asam askorbat sebagai penstabil, pengencer digunakan air bersih. Total formula yang diperlukan dalam perlakuan adalah 6 liter. Untuk mengetahui komposisi kimia formula, dilakukan analisis dengan Gas Chromatography Massa Spectrophotometry (GCMS). Metode Pemeliharaan Hewan Coba Sebanyak 80 ekor ayam day old chick (DOC) pedaging dengan berat badan rata-rata 38g, dibagi dalam 2 (dua) kelompok (kelompok ayam tidak divaksin AI H5N1 dan kelompok ayam yang divaksin AI H5N1) dan terdiri dari 5 (lima) perlakuan dengan masing-masing kelompok perlakuan berjumlah 8 ekor anak ayam, semua ayam kelompok perlakuan dipelihara dengan pemberian pakan standar dan minum ad libitum. Uji Perlakuan Ekstrak Etanol Tanaman Obat dalam Formula ke Ayam : Kelompok perlakuan diberi ekstrak tanaman obat dengan komposisi formula sebagai berikut : Formula 1 (F1 - 5%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 5% 28 Formula 2 (F2 - 7.5%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 7.5% Formula 3 (F3 - 10%) = Formula ekstrak etanol tanaman sambiloto setara dengan zat aktif andrografolide, adas setara dengan zat aktif anetol dan sirih merah setara dengan zat aktif piperin dengan konsentrasi masing-masing 10% Formula 4 (F4 - simplisia) = Formula Simplisia tanaman sambiloto, adas dan sirih merah Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah terhadap ayam perlakuan selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Metode pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi F1 - 5%, F2 - 7.5%, F3 - 10% dan F4simplisia terhadap ayam pada kelompok perlakuan Jenis perlakuan Kelompok Perlakuan Jumlah ayam (ekor) Tanaman Obat (umur 4 s/d 25 hari) Vaksinasi AI (umur 21 hari) I-F1- 5% 8 + I-F2- 7.5% 8 + I-F3- 10% 8 + I-F4-simplisia 8 + I-K 8 II-F1- 5% 8 + II-F2- 7.5% 8 + II-F3- 10% 8 + II-F4-simplisia 8 + II-K 8 Keterangan : F = formula ekstrak dengan konsentrasi, (+) = diberikan, (-) = tidak diberikan + + + + + K = kontrol Tantang virus AI H5N1 (umur 44 hari) + + + + + + + + + + Pemeriksaan Performance Ayam Perlakuan Penimbangan berat badan ayam perlakuan dilakukan seminggu sekali selama berlangsungnya penelitian. Penimbangan ayam dilakukan secara individu mulai dari minggu pertama sampai dengan minggu ke enam. Tujuan penimbangan ayam adalah untuk mengetahuhi pengaruh pemberian formula konsentrasi ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi terhadap berat badan ayam perlakuan. 29 Pengambilan Sampel Darah Pengambilan darah ayam pada kelompok perlakuan (I dan II) dilakukan sebanyak tiga kali diantaranya, pada saat ayam berumur 21 hari, ayam berumur 44 hari dan saat ayam berumur 51 hari. Tujuan pengambilan darah adalah untuk dilakukan pemeriksaan diferensial leukosit dan uji titer antibodi AI. Darah diambil sebanyak 1-2 ml melalui vena brachialis, kemudian diletakkan pada suhu ruang selama lebih kurang satu jam atau sampai serum terpisah dari darah. Serum yang diperoleh disimpan dalam tempat penyimpanan dengan suhu 4 0C. Pemeriksaan yang dilakukan dari sampel darah meliputi : Pemeriksaan Diferensial Leukosit Pemeriksaan diferensial leukosit terhadap sampel darah dilakukan dengan cara meletakkan setetes darah pada objek gelas dan mengulas tipis, dilakukan pewarnaan dengan Giemsa dan diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui jumlah sel leukosit yang terdapat dalam darah kemudian dilakukan perhitungan terhadap 100 sel leukosit yang meliputi sel limfosit, monosit, heterofil, eosinofil dan basofil dengan menggunakan pembesaran 1.000 X. Uji Hemaglutinin Inhibisi (HI) Uji HI dilakukan dengan mengambil sebanyak 0.025 ml Phosphate Buffered Saline (PBS) pH 7.2 dimasukkan ke dalam lubang-lubang cawan mikro yang terdiri dari 96 lubang. Kemudian ditambahkan 0.025 ml serum sampel dan serum positif pada lubang pertama lalu ditambahkan serial kelipatan 2 dari lubang pertama hingga lubang ke-11 dan lubang ke-12 dipergunakan sebagai kontrol sel darah merah. Selanjutnya 0.025 ml antigen virus AI H5N1 sebesar 4 Haemaglutination Unit (HAU) ditambahkan ke dalam setiap lubang kecuali pada lubang ke-12 yang berisi sel darah merah ditambahkan dengan 0.025 PBS dan selanjutnya dicampur dengan alat pencampur selama 30 detik sebelum diinkubasi pada suhu 200C selama 30 menit. Selanjutnya 0.025 ml sel darah merah 1% (SDM) ditambahkan ke dalam setiap lubang, kemudian dicampur dengan alat pencampur selama 30 detik dan diinkubasi pada suhu 20 0C selama 40 menit. Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi yang masih memberikan inhibisi (penghambatan) aglutinasi pada antigen 4 HAU. Inhibisi ditetapkan dengan melakukan pengamatan sel darah merah pada lubang- 30 lubang cawan mikro, apabila cawan mikro dimiringkan terlihat sel darah merah mengendap yang serupa dengan sel darah merah kontrol. Uji Tantang dengan Virus AI H5N1 Ayam yang telah diberi formula ekstrak etanol tanaman obat selama 21 hari dan diadaptasikan selama 19 hari kemudian dibawa ke Laboratorium Biosafety Level 3 (BSL3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri, Bogor untuk dilakukan uji tantang virus AI H5N1 secara intranasal dengan dosis 0.1 ml (106 EID50) per ekor. Pengamatan daya tahan hidup ayam dilakukan selama 6 hari setelah semua ayam ditantang dengan virus AI H5N1. Ayam yang mati pada hari pengamatan setelah ditantang dengan virus AI, atau ditemukan semua ayam masih hidup sampai hari ke-6 setelah ditantang dengan virus AI, maka ayam tersebut dimatikan dan diambil organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan membedah (nekropsi) ayam yang mati tersebut untuk dievaluasi dengan pembuatan preparat histopatologi menggunakan perwarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dan Imunohistokimia (IHK). Pembuatan Preparat Histopatologi Organ terpilih dimasukkan kedalam BNF 10% untuk difiksasi, kemudian dilakukan dehidrasi menggunakan mesin tissue processor dengan alkohol bertingkat, selanjutnya direndam dalam parafin cair sebelum diblok. Selanjutnya proses embedding dalam parafin dan didinginkan pada suhu kamar sehingga menjadi blok parafin kemudian dipotong dengan mikrotom setebal 3-4 µm lalu ditempelkan pada objek gelas (preparat) yang sebelumnya dilapisi dengan gelatin dan kromium potasium sulfat (CrK(SO4)). Selanjutnya, preparat dideparafinisasi dan rehidrasi sebelum dilakukan pewarnaan secara imunohistokimia dan hematoksilin eosin. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) Pewarnaan HE dilakukan untuk melihat perubahan patologis organ limfoid (organ pertahanan) ayam pedaging akibat virus AI. Proses awal pewarnaan jaringan melakukan deparafinisasi yaitu jaringan direndam dalam xylol I,II,III, lalu dilanjutkan ke dalam absolut sampai ke alkohol 70% masing-masing selama 3 menit. Kemudian dicuci dengan air kran atau destillated water (DW) selama 5 31 menit. Kemudian direndam dalam hematoksilin selama 1 menit, lalu dicuci dengan air kran atau DW selama 5 menit. Selanjutnya direndam dalam eosin selama 2 menit, lalu dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70% sampai alkohol absolut dan dilanjutkan dengan clearing dengan xylol I, II, III. Kemudian mounting dengan entelen dan ditutup dengan cover glass dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop. Hasil dari pewarnaan HE akan terlihat inti sel berwarna kebiruan dan sitoplasma terlihat berwarna merah muda. Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) Metode pewarnaan deteksi antigen AI ini mengacu pada metode Temasek Laboratorium Singapura dengan menggunakan citrat buffer untuk unmasking antigen. Blocking aktifitas endogenus menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) 3% selama 20 menit, kemudian dicuci dengan PBS tween selanjutnya direndam dengan skim milk 0.1% dalam PBS selama 30 menit untuk meminimalisir reaksi non-spesifik dan dicuci kembali dengan PBS tween. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi monoklonal H5N1 (Astawa et al. 2001) dan diinkubasi selama 24 jam di suhu 40C. Setelah 24 jam preparat dibilas dengan PBS tween kemudian ditambahkan antibodi sekunder (chicken anti IgG) yang akan berikatan dengan antibodi primer, dan selanjutnya diinkubasi selama 1 jam. Sebagai kromogen digunakan diamino benzidine (DAB), dilakukan setelah antibodi sekunder, dibilas dengan DW. Counterstain menggunakan Lillie Mayer Hematoksilin untuk mendapatkan warna kebiruan sebagai latar belakang jaringan dan antigen AI yang telah terwarnai dengan kromogen akan berwarna coklat kemerahan. Pemeriksaan dinyatakan positif apabila ditemukannya antigen AI yang berwarna kecoklatan dan negatif apabila tidak ditemukan antigen AI H5N1. Dalam penelitian ini pemeriksaan antigen AI dilakukan dengan obyektif 20X, berdasarkan jumlah antigen per satu lapang pandang per organ, dengan memberikan skor sebagai berikut : + (untuk 1-20 antigen/satu lapang pandang), ++ (untuk 21-40 antigen/satu lapang pandang) dan +++ (untuk lebih dari 41 antigen/satu lapang pandang) sedangkan – (untuk yang tidak ditemukan antigen per satu lapang pandang/negatif). 32 Analisa Data Data hasil pemeriksaan diferensial leukosit, dan performance dianalisa secara statistik menggunakan analisa sidik ragam (ANOVA) dengan menggunakan software SPSS 17. Jika terdapat perbedaan pada masing-masing kelompok perlakuan maka dilakukan uji Duncan. Hasil pemeriksaan HI, HE dan IHK dianalisa secara deskriptif. 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Pemeriksaan diferensial leukosit ayam broiler dalam kelompok perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian berlangsung. Pemeriksaan tahap pertama dilakukan pada ayam berumur 21 hari, yaitu semua ayam kelompok perlakuan kecuali kelompok kontrol, diberikan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah selama 16 hari. Hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam umur 21 hari disajikan pada Tabel 2 di bawah. Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat Kelompok Perlakuan Pengamatan diferensial leukosit (%) Heterofil Monosit I-F1-5% 75.0±5.04e Limfosit 16.4±4.39cd 6.0±2.23b Eosinofil 1.4±0.89ab 1.4±0.89ab Basofil II-F2-7.5% 77.4±48.20e 14.4±7.16c 3.4±2.30ab 2.6±2.07ab 2.2±2.28ab III-F3-10% 77.2±2.58e 16.0±2.44cd 4.4±1.14ab 1.0±0.70ab 1.4±1.51ab IV-F4-simplisia 77.8±7.69e 19.2±4.54cd 0.8±0.83ab 2.2±3.89ab 0.0±0.00a K-(kontrol) Nilai referensi* 77.6±6.87e 63.0 20.8±7.25d 30.1 0.8±0.44ab 4.0 0.8±0.44ab 2.5 0.0±0.00a 0.1 Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), * Davis et al. 2008. Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam berumur 21 hari pada tahap pertama (Tabel 2), secara umum menunjukkan jumlah rataan leukosit ayam tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing-masing kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lavinia et al. (2009), bahwa pemberian ekstrak tanaman obat dan minyak esensial tidak berpengaruh terhadap gambaran darah tepi (darah perifer) ayam broiler. Jumlah rataan limfosit dalam penelitian ini adalah 75.0-77.8%, Menurut Davis et al. (2008) jumlah rataan limfosit pada ayam adalah 63.0% dalam keadaan normal. Perbedaan antara rataan jumlah limfosit ayam perlakuan dengan rataan jumlah limfosit ayam pada referensi (menurut Davis) diduga akibat dari respon fisiologis tubuh ayam yang diamati, serta akibat perbedaan lingkungan tempat berlangsungnya penelitian. Pemeriksaan diferensial leukosit tahap kedua dilakukan pada umur 44 hari setelah semua ayam perlakuan diberikan formula ekstrak etanol tanaman 34 sambiloto, adas dan sirih merah selama 21 hari. Adapun tujuan dari pemeriksaan pada tahap kedua ini adalah untuk mengamati perbedaan respon leukosit ayam yang tidak divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan I) dengan ayam yang divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan II). Hasil pemeriksaan diferensial leukosit tahap kedua terhadap ayam perlakuan berumur 44 hari disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 44 hari sebelum ditantang virus AI H5N1 Kelompok Perlakuan Pengamatan diferensial leukosit (%) Limfosit Heterofil h Eosinofil 0.2±0.44a I-F2- 7.5% 73.6±9.76h 15.0±8.74cdefg 9.8±3.11abcdef 0.2±0.44a 1.4±3.13a I-F3- 10% 82.8±3.27h 5.2±2.16abc 12.0±4.0abcdefg 0.0±0.00a 0.0±0.00a I-F4-simplisia 75.2±9.17h 12.8±5.35cdefg 7.2±6.72abcd 4.6±5.45ab 0.2±0.44a ab 0.0±0.00a 21.4±13.83 4.2±2.58 ab 0.2±0.44 Basofil a 72.8±9.52 fg 8.0±2.54 abcde I-F1- 5% h 18.8±11.09 Monosit defg I-K 71.2±11.84 3.2±1.92 II-F1- 5% 81.0±5.91h 10.6±3.91abcdef 4.6±3.71ab 0.0±0.00a 3.8±2.28ab II-F2- 7.5% 74.4±12.87h 20.4±11.58efg 2.4±2.50ab 1.6±1.67a 1.2±2.68a II-F3- 10% 75.2±10.49h 17.6±8.50cdefg 4.2±3.11ab 3.0±3.74ab 0.0±0.00a II-F4-simplisia 74.8±16.75h 23.4±15.05g 1.2±1.64a 0.6±0.89a 0.0±0.00a II-K 72.8±27.36h 18.2±29.29g 6.8±6.90abcd 1.4±2.07a 0.8±1.09a Nilai referensi* 65.55±2.33 30.65±0.63 3.05±0.63 2.55±0.21 1.05±0.21 Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), * Lavinia et al. 2009 Berdasarkan hasil pengamatan diferensial leukosit pada ayam berumur 44 hari (Tabel 3) menunjukkan jumlah limfosit pada kelompok perlakuan I tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan jumlah limfosit ayam pada kelompok perlakuan II. Jumlah rataan limfosit dalam penelitian ini berkisar antara 71.2-82.8%. Hal ini berbeda dengan rataan jumlah limfosit yang dilaporkan oleh Lavinia et al. (2009), bahwa rata-rata persentase limfosit ayam broiler pada umur 3 sampai 6 minggu adalah 65.5%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh sistem dan lingkungan pemeliharaan yang berbeda. Namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap penelitian yang dilakukan. Formula ekstrak etanol tanaman obat yang diberikan pada ayam perlakuan, masing-masing mengandung bahan aktif flavonoid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ziaran et al. (2005) bahwa flavonoid dapat berperan sebagai imunosupresan. Sinergisme flavonoid dalam 35 herbal memiliki efek imunosupresor terhadap respon limfo proliferatif, hal ini disebabkan oleh nitrit oksida yang dihasilkan oleh makrofag. Pemeriksaan diferensial leukosit tahap ketiga dilakukan pada ayam perlakuan yang bertahan hidup setelah ditantang dengan virus AI H5N1. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan jumlah leukosit pada ayam perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masingmasing kelompok perlakuan. Tabel 4. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 51 hari, setelah ditantang virus AI H5N1 Kelompok Perlakuan Pengamatan diferensial leukosit Limfosit Heterofil c 39.0±23.80 Monosit bc 0.0±0.00 Eosinofil a 5.4±12.07 Basofil a 0.0±0.00a II-F1- 5% 55.6±22.87 II-F2- 7.5% 55.8±14.09c 41.6±15.07bc 1.0±1.73a 1.6±3.57a 0.0±0.00a II-F3- 10% 49.8±22.06c 43.6±22.91bc 0.2±0.44a 6.4±7.63a 0.0±0.00a II-F4-simplisia 40.2±15.83c 54.8±19.94bc 0.0±0.00a 5.0±6.00a 0.0±0.00a II-K 57.2±15.89c 37.0±17.90b 2.2±2.48a 3.6±5.94a 0.0±0.00a Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05). Berdasarkan hasil pengamatan diferensial leukosit ayam setelah ditantang dengan virus AI H5N1 (Tabel 4), menunjukkan penurunan jumlah limfosit dan peningkatan jumlah heterofil. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari infeksi virus AI H5N1 dan pengaruh dari hormon glukokortikoid (hormon yg berperan dalam stres), yang meningkatkan jumlah persentase neutrofil (heterofil), dan menurunkan jumlah persentase limfosit (Davis et al. 2008). Titer Antibodi AI H5N1 pada Ayam Perlakuan Pemeriksaan titer antibodi AI saat umur ayam 21 hari menunjukkan bahwa tidak ada kelompok ayam yang mempunyai kekebalan protektif terhadap infeksi H5N1 yang ditandai dengan hasil titer antibodi AI rata-rata 0 (nol). Dengan demikian data penelitian ini dapat diyakini terhindar dari bias akibat adanya maternal antibodi terkontaminasi. AI atau keterpaparan virus dari lingkungan yang Sebelum pengujian titer antibodi AI pada tahap ini, semua kelompok perlakuan (I dan II) telah diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi bertingkat sesuai dengan 36 masing-masing kelompok perlakuan. Formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah yang diberikan pada kelompok perlakuan I dan II tidak menunjukkan pengaruh terhadap titer antibodi AI pada semua serum darah ayam. Hal ini disebabkan karena semua ayam perlakuan tidak divaksinasi AI sebelum ayam umur 21 hari. Adanya titer antibodi virus AI dalam populasi atau flok unggas menandakan suatu populasi ayam tersebut mengalami infeksi virus AI (Easterday et al. 1997) Pemeriksaan titer antibodi AI dilakukan ketika ayam berumur 44 hari atau menjelang ayam perlakuan ditantang dengan virus AI H5N1, Kelompok perlakuan I dan II telah diberikan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah selama 21 hari secara berturut-turut dari ayam berumur 4 hari sampai ayam berumur 25 hari. Pemeriksaan titer antibodi pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi yang dilakukan pada kelompok perlakuan II ketika ayam berumur 21 hari, serta untuk mengetahui keadaan titer antibodi pada kelompok perlakuan I yang tidak divaksinasi AI. Hasil pengujian titer antibodi AI H5N1 terhadap ayam dalam kelompok perlakuan, selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil uji titer antibodi AI H5N1 terhadap ayam perlakuan berumur 21, 44 dan 51 hari. Rataan Titer Antibodi terhadap Virus AI (GMT) Kelompok perlakuan I-F1- 5% I-F2- 7.5% I-F3- 10% I-F4-simplisia I-K II-F1- 5% II-F2- 7.5% II-F3- 10% II-F4-simplisia II-K Keterangan: Ayam umur 21 hari Ayam umur 44 hari Ayam umur 51 hari 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6.1 < 2.0 < 2.0 < 2.0 4.0 Tdu* Tdu Tdu Tdu Tdu 7.0 4.0 4.0 4.3 6.5 Kelompok perlakuan I ayam tidak divaksin AI H5N1 Kelompok perlakuan II ayam divaksin AI H5N1 (*) = tidak dilakukan uji titer antibodi karena ayam sudah mati Berdasarkan hasil uji titer antibodi (Tabel 5) pada kelompok perlakuan I tidak menunjukkan titer antibodi AI yang protektif terhadap infeksi virus AI, hal ini disebabkan pada kelompok perlakuan I semua ayam tidak divaksin AI, 37 sedangkan pada kelompok perlakuan II menunjukkan respon vaksinasi AI yang protektif terhadap infeksi AI karena semua ayam pada kelompok perlakuan II dilakukan vaksinasi AI pada umur 21 hari. Respon vaksinasi AI dengan nilai rataan titer antibodi yang baik ditunjukkan pada kelompok perlakuan II-F1-5% dengan rataan titer 6.1 (log 2) dan kelompok kontrol II-K dengan rataan titer 4.3 (log 2), sedangkan kelompok II-F2-7.5%, II-F3 -10% dan II-F4-simplisia menunjukkan respon vaksinasi yang kurang baik, yaitu masing-masing kelompok perlakuan hanya memiliki rataan titer 2 (log 2). Besaran rataan titer antibodi AI yang diperoleh dalam serum ayam sebelum dilakukan tantang dengan virus AI H5N1 secara intranasal, dengan dosis 106 EID50 terlihat kisaran titer antibodi AI dari 4 log 2 sampai 6.1 log 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dharmayanti et al. (2004), ayam kampung dan burung puyuh yang mempunyai titer antibodi AI lebih atau sama dengan 3 log 2 mampu memproteksi terhadap virus AI H5N1, sedangkan ayam dan burung puyuh yang mempunyai rataan titer antibodi AI kurang dari 3 log 2 serta ayam kontrol yang tidak mempunyai titer antibodi AI terlihat tidak mampu memproteksi diri dari serangan virus AI H5N1 dengan partikel virus tantang sebesar 10 6 EID50 yang diinfeksikan secara intramuskular. Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1 Daya tahan hidup ayam diamati setelah ditantang dengan virus AI H5N1 menunjukkan adanya kematian berturut-turut pada hari ke-3, 4 dan 5 pasca infeksi (pi). Data daya tahan hidup ayam selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Kematian ayam terjadi karena infeksi virus AI H5N1 dalam waktu 16 jam dapat membuat nekrotik sel epitel dan mukosa saluran pernafasan, sementara itu replikasi virus dapat dideteksi pada organ otak, kulit dan organ visceral dalam waktu 24 jam, kemudian virus menyebabkan lesi yang parah diseluruh organ tubuh dalam waktu 48 jam, selanjutnya akan menyebabkan kematian pada ayam yang terinfeksi (Pantin-Jakwood 2008) Hasil pengamatan daya tahan tubuh ayam terhadap infeksi AI H5N1 pada kelompok perlakuan I diantaranya, kelompok perlakuan I-F2-7.5% (formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, sirih merah dan adas dengan konsentrasi 7.5% 38 dan ayam tidak divaksin) menunjukkan ayam mampu bertahan hidup hanya 1 ekor (12.5%) dari total 8 ekor (100%) sampai hari ke-6 pi. Sedangkan kelompok perlakuan I-1, I-3, I-4 dan I-K dari total ayam 8 ekor, tidak ada ayam yang bertahan hidup sampai hari terakhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa formula ekstrak etanol sambiloto, adas, dan sirih merah hanya sebagai prekursor obat anti virus yang masih memerlukan sintesa dengan bahan aktif tanaman obat lainnya. Data daya tahan hidup ayam setelah ditantang virus AI H5N1 selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Daya tahan hidup ayam setelah ditantang virus AI H5N1 dosis 0.1ml (106 EID50 ), selama 6 hari masa pengamatan Kelompok Perlakuan I-F1- 5% I-F2- 7.5% I-F3- 10% I-F4-simplisia I-K II-F1- 5% II-F2- 7.5% II-F3- 10% II-F4-simplisia II-K Total Ayam (ekor) 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 Jumlah ayam yang bertahan hidup hari keI II III IV V VI 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 4 2 1 3 5 8 7 6 8 8 1 1 0 1 1 8 7 5 8 8 0 1 0 0 0 8 6 4 8 8 0 1 0 0 0 8 6 4 7 7 Total Ayam yang hidup (ekor) 0 1 0 0 0 8 6 4 7 7 Berdasarkan hasil pengamatan daya tahan hidup ayam setelah diinfeksi dengan virus AI H5N1 pada kelompok II (Tabel 6) dapat dijelaskan bahwa; pada kelompok perlakuan II-F1-5%, dari total 8 ekor ayam, terbukti tidak ada ayam yang mati hingga hari keenam pi (100%) ; Pada kelompok perlakuan II-F2-7.5%, hanya 6 ekor yang mampu bertahan hidup (75%); Pada kelompok perlakuan IIF3-10% ada 4 ekor ayam yang bertahan hidup (60%); dan pada kelompok perlakuan II-F4-simplisia, hanya 7 ekor ayam yang bertahan hidup (87.5%); Sedangkan pada kelompok kontrol II-K ayam hanya bertahan sebanyak 7 ekor (87.5%). Hasil penelitian pada kelompok perlakuan II secara umum menunjukkan ayam dapat bertahan hidup sampai akhir masa pengamatan karena pengaruh dari pemberian formula ekstrak tanaman sambiloto, adas dan sirih merah serta vaksinasi terhadap ayam perlakuan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa daya tahan hidup ayam terhadap infeksi virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan (Tabel 6), 39 menunjukkan daya tahan hidup ayam pada kelompok perlakuan II lebih baik dibandingkan dengan kelompok perlakuan I. Hal ini diduga karena semua ayam pada kelompok perlakuan II mendapatkan vaksinasi AI. Kejadian ini diperkuat dengan pernyataan Swayne et al. (2000) yang menjelaskan bahwa vaksinasi AI mencegah dan melindungi ayam dari infeksi virus AI H5N1 yang sering berubah setiap tahunnya. Ayam yang divaksinasi dan diberi formula ekstrak tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 5% (kelompok perlakuan II-F2-5) lebih baik daya tahan hidupnya dibandingkan dengan ayam yang hanya divaksinasi (Kelompok II-Kontrol). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa ayam pada kelompok II-F2-5% dapat bertahan hidup 100% hingga hari ke-6 pi, sementara ayam yang hanya divaksinasi (kelompok II-K) mengalami kematian 1 (satu) ekor ayam pada hari ke-6 pi. Setiyono et al. (2010) menyatakan bahwa formula ekstrak tanaman obat dapat berperan sebagai perkusor (pendukung) imunomodulator untuk menjadi sediaan anti viral. Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia Hasil pemeriksaan dengan menggunakan pewarnaan HE terhadap organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) pada ayam kelompok perlakuan secara umum (kelompok perlakuan I dan II) menunjukkan adanya deplesi sel limfoid, kongesti, edema, nekrotik folikel limfoid skunder, deplesi pulpa putih, deplesi kortek dan nekrotik fokus medula. Perubahan pada organ bursa, limpa dan timus berkaitan dengan patogenesis virus AI H5N1 yang diinfeksikan melalui intranasal. Perubahan pada organ limfoid yang menyebabkan edema terjadi akibat peningkatan daya dorong cairan dari pembuluh darah menuju jaringan antar sel. Sedangkan perubahan yang menyebabkan kongesti terjadi bila aliran darah mengalami gangguan yang timbul dari daya kerja tubuh, dalam upaya memobilisasi sel-sel darah dengan meningkatkan tekanan vascular. Sementara itu perubahan yang menyebabkan deskuamasi sel epitel terjadi akibat daya kerja virus yang patogen dalam merusak sel epitel, sehingga virus dapat masuk ke jaringan dan menyebabkan infeksi sistemik. Pada kondisi perubahan yang menyebabkan deplesi folikel limfoid terjadi akibat berkurangnya jumlah sel-sel limfosit pada 40 folikel limfoid. Sementara, perubahan yang menyebabkan nekrosis terjadi akibat antigen virus masuk ke sel sehingga menyebabkan depresi hebat terhadap aktifitas metabolisme seluler akibat replikasi virus (Pringgoutomo 2002). Hasil pemeriksaan imunohistokimia terhadap organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus), secara umum terdeteksi antigen virus AI H5N1 sudah menyebar di organ limfoid ayam pada semua kelompok perlakuan (kelompok perlakuan I dan II). Hal ini terjadi karena virus diinfeksi secara intranasal. Radji (2006) menyatakan virus AI H5N1 yang masuk melalui saluran pernafasan hospes akan menyebar memasuki submukosa melalui sistem peredaran darah atau sistem limfatik, serta menginfeksi berbagai macam tipe sel organ. Penyebaran virus melalui sel endotel pembuluh darah dan sistem limfatik dalam waktu 48 jam akan menyebabkan lesi yang parah di seluruh organ tubuh, yang selanjutnya akan menyebabkan kematian (Pantin-Jakwood 2008). Data distribusi antigen pada organ limfoid ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi antigen virus AI H5N1 pada organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1 Kelompok perlakuan I-F1- 5% I-F2- 7.5% I-F3- 10% I-F4-simplisia I-K II-F1- 5% II-F2- 7.5% II-F3- 10% II-F4-simplisia II-K Keterangan Antigen virus AI H5N1 pada organ Limfoid Bursa Fabricius Limpa Timus + ++ ++ + ++ + + ++ + + ++ +++ ++ ++ + ++ +++ + + +++ ++ + +++ ++ + +++ +++ + ++ ++ : (+) ringan, (++) sedang, (+++) tinggi dan (-) tidak ditemukan Pemeriksaan histopatologi terhadap organ bursa Fabricius dengan pewarnaan HE pada semua kelompok perlakuan (I dan II), menunjukkan organ bursa Fabricius terjadi edema, deplesi folikel limfoid, nekrotik folikel limfoid dan kongesti. Pemeriksaan imunohistokimia organ bursa Fabricius menunjukkan hanya dua kelompok perlakuan ((I-K(-) dan II-F1-5%) yang pemaparan antigen dalam jumlah sedang (++) sedangkan kelompok perlakuan lainnya menunjukkan 41 pemaparan antigen dalam jumlah rendah (+). Antigen yang terdeteksi diduga karena organ bursa Fabricius merupakan tempat pendewasaan dan diferensiasi sel pembentuk antibodi, selain itu bursa Fabricius juga dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi (Tizzard 1987). Banyaknya antigen yang terdeteksi pada organ bursa Fabricius sangat tergantung dari jumlah antibodi yang dihasilkan oleh organ tersebut, hal ini ditunjukkan pada kelompok perlakuan II-F1-5%, dimana ayam perlakuan memiliki titer antibodi yang tinggi (Tabel 5) sehingga ayam dapat bertahan hidup hingga hari ke-6 pi (Tabel 6). Hasil pengamatan histopatologi dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya kongesti, dan deplesi pulpa putih pada organ limpa. Antigen di organ limpa terdeteksi dalam jumlah sedang (++) pada kelompok perlakuan I (Tabel 7). Sedangkan pada kelompok perlakuan II terdeteksi antigen dalam jumlah tinggi (+++) di organ limpa. Hal ini disebabkan karena parenkim limpa memiliki pulpa merah sebagai penyaring darah dan pulpa putih sebagai tanggap kebal. Patichimasiri et al. (2007) menyatakan bahwa distribusi antigen pada limpa menunjukkan derajat sedang (++). Hal yang sama juga disebutkan oleh Damayanti et al. (2004) bahwa distribusi antigen pada organ limpa terdeteksi dalam jumlah tinggi (+++) dan tersebar dalam sel-sel yang terdapat disekitar pulpa merah yang mengalami nekrosis, dengan sebaran antigen yang soliter maupun kelompok. Hasil pemeriksaan histopatologi terhadap organ timus pada kelompok perlakuan I menunjukkan terjadi edema, kongesti, deplesi kortek, nekrotik fokus medula dan multi fokus nekrotik. Sedangkan pada kelompok perlakuan II organ timus rata-rata tidak menunjukkan lesion spesifik dan hanya kongesti ringan. Distribusi antigen pada organ timus telihat dalam jumlah sedang (++), hal ini diduga karena timus merupakan organ limfatik primer. Timus berfungsi menjaga lingkungan sel bibit (stem cells) yang bermigrasi dari sumsum tulang pascanatal berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi limfosit T (Dellman 1989). Gambaran histopatologi organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan pewarnaan HE disajikan pada Gambar 5. Sementara distribusi antigen AI H5N1 yang terdeteksi pada organ limfoid ayam disajikan pada Gambar 6. 42 Gambar 5. Pewarnaan HE terhadap organ limfoid (A. bursa Fabricius, B. Limpa dan C. Timus), ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F2-75%. 1. Deplesi folikel limfoid, 2. Nekrosis sel folikel. Gambar 6. Pewarnaan IHK terhadap organ limfoid (A. Bursa Fabricius; B. Limpa dan C. Timus), ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F1-5%. Tanda panah menunjukkan distribusi antigen virus AI H5N1. 43 Berdasarkan hasil pengamatan antigen AI pada organ limfoid ayam menggunakan pewarnaan imunohistokimia pada semua kelompok perlakuan (Tabel 7) dapat dijelaskan bahwa kelompok perlakuan I menunjukkan deteksi antigen AI pada organ limfoid dalam jumlah sedikit. Hal ini diduga karena ayam yang tidak divaksinasi tidak mampu melindungi tubuh dari infeksi virus dan menyebabkan rusaknya organ limfoid, kemungkinan lain virus telah menyebar ke organ atau jaringan lain sehingga ketika dilakukan pewarnaan imunohistokimia terlihat sedikit antigen yang terdeteksi pada organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus). Kelompok perlakuan II, ayam yang mendapat vaksin AI menunjukkan jejak antigen pada organ limfoid lebih banyak. Hal ini dimungkinkan antigen virus vaksin yang masih bisa terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimia. Dugaan lain adalah kemungkinan antigen virus tantang yang tidak ternetralisasi antibodi hasil vaksinasi AI terdeteksi dalam jumlah banyak pada sel limfoid dengan pewarnaan imunohistokimia. Performance Ayam Perlakuan Pemberian formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi terhadap ayam perlakuan secara statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05) berat badan ayam perlakuan pada minggu ke-1 dan minggu ke-2 selama pengamatan dibandingkan dengan kontrol (Tabel 8). Hal ini terlihat berat badan ayam pada kelompok perlakuan I-F3-10% lebih rendah dibandingkan dengan berat badan ayam pada kelompok kontrol I (I-K). Sementara itu berat badan ayam pada kelompok perlakuan II-F3-10% juga lebih rendah dibandingkan dengan berat badan ayam kelompok kontrol II (II-K). Hal ini diduga karena formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 10% bersifat kental, menyebabkan proses absorbsi formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dalam pencernaan ayam mengalami gangguan, sehingga ayam mengalami penurunan nafsu makan. Menurut Scott et al. (1982), bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ayam akan diabsorbsi untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan jaringan dan energi dalam melaksanakan aktivitas fisik. Hasil pengamatan berat badan ayam kelompok perlakuan dari umur 1 sampai 6 minggu selengkapnya disajikan pada Tabel 8. 44 44 Tabel 8. Berat badan ayam perlakuan umur 1-6 minggu (g/ekor) Kelompok Perlakuan I-F1- 5% I-F2- 7.5% I-F3- 10% I-F4-Simplisia I-K II-F1- 5% II-F2- 7.5% II-F3- 10% II-F4-Simplisia II-K Referensi* a b Keterangan: I 214.25±25.77abc 234.87±28.75bc 210.75±23.39ab 237.13±25.28bc 246.12±31.32c 213.62±27.75abc 222.75±18.97abc 197.38±43.38a 232.38±14.83bc 237.25±35.41bc 157.00 175.40 II 410.75±73.56ab 422.25±64.35ab 436.62±35.97abc 462.12±71.44bc 470.00±68.33bc 439.88±60.76abc 416.38±47.63ab 386.38±88.60a 457.00±70.58abc 506.62±34.65c 413.00 486.60 Pengamatan Minggu keIII IV a 770.25±137.45 1313.6±239.97ab 788.62±105.11ab 1366.9±158.24ab 758.25±133.01a 1319.1±200.62ab 791.88±132.96ab 1401.8±129.94ab 819.25±127.46ab 1373.4±237.78ab 754.13±141.62a 1261.3±219.90a 817.38±86.35ab 1361.9±136.86ab 791.38±86.34ab 1333.4±90.74ab 921.50±86.76ab 1517.8±153.37b 839.38±131.78ab 1505.8±149.60b 832.00 1382.00 931.80 1467.30 V 1821.1±237.60a 1929.6±263.82a 1923.1±195.84a 1772.0±288.63a 2000.4±183.05a 1744.1±282.26a 1852.4±230.68a 1820.6±178.99a 1990.7±170.08a 1876.4±305.96a 1996.00 2049.20 VI 2049.4±372.57a 2188.2±230.61a 2187.6±291.90a 2108.0±227.33a 2252.9±332.05a 2043.6±139.15a 2230.0±255.49a 2034.9±207.55a 2256.6±188.16a 2144.8±368.86a 2604.00 2633.70 Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), a. Cobb 2008, b. Anonimous 2010 45 Hasil pengamatan berat badan ayam pada minggu ke-3 terhadap semua kelompok perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan hasil pengamatan berat badan ayam pada minggu ke-4 menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) berat badan ayam. Hal ini terlihat pada kelompok perlakuan II-F2-5%, dimana berat badan ayam lebih rendah dibandingkan pada kelompok perlakuan IIF-simplisia dan kontrol II (II-K). Perbedaan berat badan ayam diduga karena pengaruh pemberian vaksin yang menyebabkan ayam mengalami stres dan turunnya nafsu makan. Berat badan ayam pada minggu ke-5 dan ke-6 (Tabel 8) tidak berbeda nyata (P>0.05) pada masing-masing kelompok perlakuan (I dan II), semua ayam kelompok perlakuan menunjukkan adanya peningkatan berat badan ayam perminggu seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan ayam. Hal ini sesuai dengan pernyataan North and Bell (1990) bahwa peningkatan berat badan ayam pedaging tidak terjadi secara seragam dalam kelompok perlakuan, dan setiap minggu pertumbuhan ayam mengalami peningkatan pertumbuhan maksimal setelah itu mengalami penurunan. hingga mencapai Data pertambahan berat badan ayam kelompok perlakuan per minggu selengkapnya disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Grafik rataan berat badan ayam pedaging per minggu (g/ekor) umur 1-6 minggu 46 Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan ayam yang mati pada semua kelompok perlakuan sebelum ditantang virus AI H5N1. Semua ayam perlakuan diberikan ekstrak tanaman obat selama pemeliharaan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya sebelum di tantang virus AI H5N1. Menurut Niranjan et al. (2008), sambiloto (Andrographis paniculata) memiliki aktivitas farmakologi sebagai anti inflamasi, antioksidan, antidiabetik, anti leishmaniasis, anti diare, anti fertilitas, anti venom, anti HIV, anti malaria, anti filarisidal, anti bakterial, serta sebagai anti flu dan demam. Birdane (2007), menyatakan pemberian ekstrak etanol adas (Foeniculum vulgare) sebanyak 300 mg pada tikus dapat mengurangi kerusakan pada pada mukosa lambung. Ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) yang diberikan pada ayam diduga memiliki aktivitas farmakologi sebagai anti inflamasi, anti konvulsan dan anti karsiogenik serta sebagai anti bakteri gram positif dan gram negatif (Sudjarwo 2005). Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu bagian organ yang sering dikonsumsi oleh masyarakat adalah organ hati dan usus. Upaya pengawasan produk makanan yang berasal dari ayam dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia terhadap organ hati dan usus untuk mendeteksi jumlah antigen AI sebagai informasi terhadap keamanan produk daging/karkas asal unggas yang terinfeksi AI H5N1. Berdasarkan pemeriksaan HE, pada organ hati, semua kelompok perlakuan menunjukkan kongesti sedangkan degenerasi sel lemak hanya terjadi pada kelompok perlakuan I-K, II-F2-7.5% dan II-F4-simplisia. Kerusakan yang terlihat pada organ hati merupakan dampak dari infeksi virus AI H5N1, sesuai dengan pernyataan Damayanti et al. (2005), bahwa ayam yang terinfeksi virus HPAI H5N1 menunjukkan kerusakana pada hati. Hasil pemeriksaan HE terhadap organ usus pada semua kelompok perlakuan menunjukkan adanya enteritis kataralis pada kelompok perlakuan I-F15%, I-K dan II-K, sedangkan pada kelompok perlakuan lainnya tidak ditemukan adanya lesio spesifik. Hal ini diduga efek dari pemberian formula ekstrak etanol tanaman obat, salah satunya sambiloto yang senyawa aktifnya andrografolid 47 berkhasiat sebagai hepatoprotektor (Niranjan et al. 2008). Hasil pewarnaan HE pada organ hati dan usus disajikan pada Gambar 8. Distribusi antigen AI H5N1 pada organ hati dan usus ayam setelah ditantang dengan virus AI H5N1 selengkapnya disajikan pada Tabel 9. Semua ayam kelompok perlakuan diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas, sirih merah dan ayam tidak divaksin AI H5N1 menunjukkan antigen AI terdeteksi dalam jumlah sedikit (+) dan hanya pada kelompok perlakuan I-K, antigen AI terdeteksi dalam jumlah sedang (++) di organ usus. Deteksi antigen AI pada kelompok perlakuan yang diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas, sirih merah dan ayam divaksin AI H5N1 menunjukkan distribusi antigen yang berbedabeda, yaitu kelompok perlakuan II-F2-7.5%, menunjukkan jumlah antigen rendah (+), kelompok perlakuan II-F1-5%, II-F3-10% dan II-K, menunjukkan antigen AI pada organ usus dalam jumlah sedikit (+) dan organ hati dalam jumlah sedang (++). Sedangkan pada kelompok perlakuan II-F4-simplisia terdeteksi jumlah antigen AI dalam jumlah sedang (++) pada organ hati dan organ usus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handayani (2009), bahwa usus itik yang diinfeksi dengan virus AI H5N1 secara intranasal dan tidak divaksin AI memiliki distribusi antigen yang cukup banyak. Hasil pewarnaan IHK pada organ hati dan usus ayam yang ditantang virus AI H5N1 disajikan pada Gambar 9. Tabel 9. Distribusi antigen virus AI H5N1 pada organ Hati dan Usus ayam setelah ditantang virus AI H5N1 Kelompok Perlakuan I-F1- 5% I-F2- 7.5% I-F3- 10% I-F4-simplisia I-K II-F1- 5% II-F2- 7.5% II-F3- 10% II-F4-simplisia II-K Antigen virus AI H5N1 pada Hati dan Usus Hati Usus + + + + + + + + + ++ ++ + + + ++ + ++ ++ ++ + Keterangan : (+) ringan, (++) sedang, (+++) tinggi dan (-) tidak ditemukan 48 Gambar 8. Pewarnaan HE terhadap organ Hati dan Usus ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-Kontrol : (A). Organ Hati dan (B). Organ Usus, terlihat 1. Kongesti, 2. Dilatasi sel hepatosit, 3. Erosi epitel usus Gambar 9. Pewarnaan IHK terhadap organ Hati dan Usus ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F1-5% :( A). Organ Hati dan (B). Organ Usus. Tanda panah menunjukkan distribusi antigen virus AI H5N1 Berdasarkan hasil pemeriksaan IHK pada organ hati dan usus ayam setelah ditantang virus AI H5N1 (Tabel 9), menunjukkan jumlah antigen AI yang terdistribusi pada hati dan usus, terlihat dalam jumlah sedikit (+) dan sedang (++) serta tidak ditemukan jumlah distribusi antigen AI pada kedua organ ini dalam jumlah tinggi (+++), sehingga dapat dikatakan pemberian ekstrak tanaman sambiloto, adas dan sirih merah memberi pengaruh terhadap jumlah distribusi antigen AI pada organ hati dan usus. Antigen AI yang terdeteksi pada organ hati terdapat di pembuluh darah (vascular), sinusoid hati dan pada sel-sel hati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nakatani et al. (2005), bahwa antigen AI pada organ hati didistribusikan ke dalam endotel sinusoid dan arteri sebagai pusat nekrosis, sedangkan pada organ usus antigen AI yang terdeteksi terletak di vili dan lapisan mukosa. antigen AI juga ditemukan pada lapisan musculus cecum, dimana pusat nekrosis terdapat pada lamina propia dan sel epitel usus. 49 Pemanfaatan ayam pedaging sebagai sumber pangan yang mengandung protein perlu memperhatikan beberapa cara penyajian sebelum dikonsumsi, seperti membersihkan karkas yang akan digunakan dan memasak bagian karkas secara matang pada suhu 700C selama 15 menit sesuai dengan rekomendasi dari WHO bahwa pada suhu yang tinggi, virus AI menjadi tidak aktif untuk menyebabkan infeksi (WHO 2005). Tanaman Obat sebagai Pendukung (prekursor) Vaksin Berdasarkan hasil pengamatan terhadap data kematian ayam setelah ditantang dengan virus AI H5N1 (Tabel 6). Ayam yang diberi formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi dan ayam tidak divaksin AI (kelompok perlakuan I), menunjukkan tidak ada ayam yang hidup hingga akhir masa pengamatan (hari ke-6) post infeksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subowo (2006) bahwa tanaman obat hanya bekerja melalui pengaturan sistem imunitas dan tidak bekerja sebagai efektor langsung dalam menghadapi infeksi. Pemberian formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi dan ayam divaksinasi AI (kelompok perlakuan II), menunjukkan banyak ayam perlakuan bertahan hidup hingga hari ke-6 post infeksi. Hal ini menunjukkan pemberian tanaman obat dan vaksin pada ayam dapat meningkatkan kekebalan ayam terhadap infeksi. Penggunaan tanaman obat sambiloto, adas dan sirih merah secara umum masing-masing memiliki potensi sebagai bahan pendukung (prekursor) untuk menangkal infeksi virus AI H5N1 ke sel target pada organ ayam (Setiyono et al. 2009). Tanaman obat berperan sebagai pendukung sistem imun non-spesifik. Pemberian formula ekstrak etanol tanaman obat mampu meningkatkan jumlah limfosit terhadap ayam perlakuan jika dibandingkan dengan ayam perlakuan yang tidak mendapatkan formula ekstrak tanaman obat atau kontrol (Tabel 3). Untuk menginaktifkan antigen, antibodi memerlukan bantuan sistem komplemen. Sistem komplemen merupakan sistem imun non-spesifik berupa enzim yang terdapat dalam plasma maupun cairan tubuh. Reaksi sistem komplemen terhadap antigen yang masuk kedalam tubuh berupa aktifitas untuk memobilisasi fagosit, menstimulasi terjadinya fagositosis (opsonisasi), menginaktifkan antigen secara 50 langsung dan mengeliminasi agregat-agregat imunitas. Tanaman obat yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk meningkatkan kerja komplemen yang menunjang respon imun spesifik sehingga menstimulasi antibodi (Hargono 2006 dalam Bermawi et al. 2008). Berbagai macam zat aktif yang terkandung dalam tanaman obat memiliki peranan masing-masing dan saling mendukung dalam melawan infeksi virus. Penggunaan ekstrak tanaman sebagai obat alternatif memiliki beberapa faktor yang berperan dalam tubuh, seperti reaksi kimiawi, enzim dan sistem kekebalan tubuh dalam hal ini adalah limfosit. Hasil pengamatan leukosit ayam yang diberi formula ekstrak etanol tanaman obat, menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05) jumlah rataan limfosit ayam pada semua kelompok perlakuan (I dan II) (Tabel 3). Limfosit merupakan inti dari sistem imun spesifik karena limfosit memiliki kemampuan menetralisir antigen setelah mengalami aktivasi (Kresno et al. 2001). Pengaruh vaksinasi AI H5N1 terhadap ayam perlakuan dapat diketahui dengan pemeriksaan titer antibodi AI pada kelompok perlakuan (I dan II). Hasil pemeriksaan titer antibodi AI dan pengamatan daya tahan tubuh ayam setelah ditantang virus AI H5N1, telihat pada kelompok perlakuan I tidak ditemukan adanya titer antibodi AI (Tabel 5). Sehingga kelompok perlakuan I hampir tidak ditemukan ayam bertahan hidup setelah ditantang dengan virus AI H5N1 hingga hari ke-6 pi (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman obat tidak bisa menggantikan vaksin dalam mencegah infeksi virus AI H5N1, namun penggunaan tanaman obat pada ayam yang divaksin AI (kelompok perlakuan II) menunjukkan titer antibodi AI yang protektif untuk mencegah infeksi virus AI (Tabel 5). Kelompok perlakuan II-1 dengan rataan titer antibodi 6.1 log 2 terlihat ayam mampu bertahan hidup 100% (8 ekor ayam hidup), ketika ditantang virus AI H5N1 hingga hari terakhir masa pengamatan (Tabel 6). Keberadaan titer antibodi dalam serum dapat menggambarkan kondisi organ limfoid, dalam hal ini organ bursa Fabricius, limpa dan timus (Kawai dan Akira 2006). Pemeriksaan dengan pewarnaan HE organ limfoid pada semua kelompok perlakuan mengalami kongesti, deplesi, edema dan nekrosis. Kerusakan yang terjadi pada organ limfoid disebabkan oleh infeksi virus H5N1 sehingga 51 terjadinya gangguan fungsi organ limfoid untuk memproduksi sel-sel limfosit. Pada keadaan yang berlangsung lama akan terjadi imunosupresi sehingga berisiko terhadap serangan infeksi serta dapat menyebabkan kematian. Pemeriksaan imunohistokimia terhadap organ limfoid pada semua kelompok perlakuan (I dan II) (Tabel 7), menunjukkan distribusi antigen dalam jumlah sedikit/rendah (+) dan sedang (++) pada kelompok perlakuan I. Sedangkan distribusi antigen pada kelompok perlakuan II terlihat dalam jumlah sedikit (+), sedang (++) dan parah (+++). Antigen yang terdeteksi tersebut, merupakan rangkaian proses penyebaran virus H5N1 melalui darah dan sistem limfatik yang menyebabkan kematian pada ayam. Jumlah antigen AI yang terdeteksi dalam jumlah sedikit diduga karena virus escape (keluar) meninggalkan sel yang rusak akibat infeksi. Keberadaan antigen AI dalam jumlah lebih banyak mungkin disebabkan virus sedang bereplikasi pada sel target, dan dengan pewarnaan imunohistokimia virus terdeteksi dan berikatan dengan antibodi yang diberikan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian formula ekstrak etanol sambiloto, adas, sirih merah dengan konsentrasi 5% dan ayam divaksin AI (kelompok perlakuan II-F1-5%), merupakan hasil yang efektif dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam pedaging. Pemberian ekstrak etanol tanaman obat dengan berbagai konsentrasi pada ayam pedaging tidak mempengaruhi keadaan fisiologis tubuh ayam. Pemanfaatan karkas ayam yang tertular virus AI H5N1 atau ayam yang divaksinasi AI H5N1 pada saat pemeliharaan, sebagai sumber protein sebaiknya harus memperhatikan tatacara penyajian sebelum dikonsumsi. Karena dari hasil pemeriksaan, imunohistokimia pada ayam kelompok kontrol yang divaksinasi AI (II-K) terdeteksi antigen AI dalam jumlah sedang pada organ hati. Untuk keamanan konsumsi karkas atau produk asal unggas sebaiknya dimasak pada suhu 70 0C selama 15 menit. 52 53 KESIMPULAN 1. Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi setara 5% bahan aktif andrografolid, anetol dan piperin terhadap ayam pedaging yang divaksin dapat meningkatkan daya tahan tubuh ayam dalam melawan infeksi virus AI H5N1. 2. Pemberian formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi pada ayam pedaging tidak memberikan pengaruh terhadap diferensial leukosit, baik pada ayam divaksin AI maupun tidak divaksin AI. 3. Pengamatan imunohistokimia terhadap organ limfoid ayam yang tidak divaksin AI, diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi dan ditantang virus AI H5N1, terdeteksi antigen AI H5N1 dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan ayam yang divaksin dan diberi ekstrak etanol tanaman obat. 4. Keberadaan antigen virus AI H5N1 di organ hati dan usus ayam yang divaksin AI, terdeteksi dalam jumlah sedang (++) dibandingkan dengan ayam yang tidak divaksin AI setelah ditantang virus AI H5N1. 54 55 DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2010. Standart For Broiler Feed Intake Charoen Phokphan Indonesia Tbk. Percut Sei Tuan, Deliserdang-Sumatera Utara. Ahmad I. 2006. Herbal medicines prospects and constraints. Mod. Phytomed. 345 : 56-89. Akiyama H, Fujii K, Yamasaki O, Oono T, Iwatsuki T. 2001. Antibacterial Action of Several Tannins Agains Staphylococcus aureus, J. Antimicrobiol. Chemother. (48) : 91-487. Albano MS, Miguel GM. 2010. Biological activities of extracts of plants grown in Portugal. Indus. Crops. Prod. (33) 338–343. Arnold S, Monto MD. 2008. Antivirals and Influenza Frequency of Resistance. J. Pediatr. Infect. Dis. (27). S110. Astawa NM, Winaya IBO, Agustini LP, Hartaningsih N. 2007. Immunological detection of avian influenza virus in infected ducks by monoclonal antibodies Against AIV-H5N1. Mikrobiologi Indonesia. p. 119-124 Backer CA, Den Brink Van BJR. 1963, Flora of Java, Published under the auspices of the rijksherbarium, Leyden. p : 167. Basuno E, 2008. Review Dampak Wabah dan Kebijakan Pengendalian AI di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 6. (4) : 314-334 Bean C, Russo MJ. 1988. Element Stewardship Abstract for Foeniculum vulgare. [Online]. Available: [Oktober 2010] http://www.tncweeds.ucdavis.edu/esadocs/documnts/foenvul.html Bermawie N, Raharjo D, Wahyuno dan Ma’mun. 2008. Status teknologi budidaya dan pasca panen panaman kunyit dan temulawak sebagai penghasil kurkumin. http: balitro.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com. [18 Juli 2011] Birdane FM, Cemek M, Birdane YO, Gulcin I, Buyukokuroglu ME. (2007). Beneficial effects of Foeniculum vulgare on ethanol-induced acute gastric mucosal injury in rats. WJG : 13 (4) : 607-611. Bright RA, Shay DK, Shu B, Cox NJ, Klimov AI. 2006. Adamantane resistance among influenza A viruses isolated early during the 2005-2006 influenza season in the United States. JAMA. 22 (8) : 295-891. [Canopus Biopharma]. 2009. Canopus Biopharma dan Penelitian Terkemuka Cina Obati Flu Unggas, Cegah Kemungkinan Mewabah. http://www.prnewswire.com/mnr/canopusbiopharma/indonesia [Januari 2011] 56 Capua I and Maragon S. 2007. The challenge of controlling notifiable Avian Influenza by means of vaccination. Avian. Dis. 51: 317-322. Claas ECJ. 2000. Pandemic infuenza is a zoonosis, as it requires introduction of avian-likegene segments in the human population. Vet. Microbiol. (74) : 133-139 Clark P, Boardman WSJ, Raidal SR. 2009. Atlas of Clinical Avian Hematology. Oxford: Blackwell Scientific. Cowan MM. 1999, Plant Products as Antimicrobial Agents, Clin. Microbiol. Rev. 12 (4) : 82-564. Damayanti R, Dharmayanti NLPI, Indriani R, Wiyono A, Darminto. 2004. Deteksi virus avian influenza subtipe H5N1 pada organ ayam yang terserang flu burung sangat patogenik di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan teknik imunohistokimia. JITV. (9) : 202-208 Damayanti R, Dharmayanti NLPI, Indriani R, Wiyono A, Adjid RMA. 2005. Monitoring Kasus Penyakit Avian Influenza Berdasarkan Deteksi Antigen Virus subtipe H5N1 secara Imunohistokimiawi. JITV. 10 (4) : 322-330 David BL. 2002. Medicine at your feet plants and food. http://www.Medicine at your feet.com/foeniculum vulgare.htm [7 Oktober 2010]. Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Review. Funct. Ecol. (22) : 760–772. de Jong et al. 2005. Oseltamivir Resistance during Treatment of Influenza A (H5N1) Infection. N Engl J Med : 353 (25) : 2667-2672 Dellman HD, Brown EM. 1989. Texbook of Veterinary Histology. Ed. 3 Jakarta. Iowa State University. Ames Iowa. Terjemahan. UI Press. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 0854/Menkes/SK/VI/1995 Tentang Sentral Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional. Jakarta. Depkes. Dharmayanti NLPI, Damayanti R, Indriani R, Wiyono A, dan Adjid RMA. 2005. Karakteristik Molekuler Virus Avian Influenza Isolat Indonesia. JITV. 10 (2) : 127-133. Dharmayanti NLPI, Indriani R. 2006. Deteksi Virus Avian subtipe H5 pada beberapa jenis burung di Jakarta dan Sukabumi, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veterinari : 723 : 727 57 Dharmayanti NLPI, Indriani R. 2007. Patogenesis Molekuler Virus Avian Influenza (AI) di Jakarta, Banten dan Jawa Barat pada Wabah AI tahun 2005. MKH. 23 (2) : 68-72. [Ditkeswan]. Direktorat Kesehatan Hewan 2005. Kebijakan Pengendalian Dan Situasi Avian Influenza Pada Unggas Di Indonesia. Disampaikan pada workshop Nasional Avian Influenza. Cisarua. [2-5 Mei 2005] Duryatmo S. 2005. Dulu Hiasan Kini Obat. Trubus. (4) : 23-37 Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta. Eerola E, Veromaa T, Toivanen P. (1987). Special Features In The Structural Organisation Of The Avian Lymphoid System. In Avian Immunology: Basis and Practice (eds A. Toivanen and P. Toivanen), CRC Press Inc. Boca Raton. FL. pp. 9–21. Easterday BC, Hinshaw VS, Halvorson DA. (1997). Influenza. dalam Diseases of poultry. 10 th ed. Iowa State University Press Ames, Iowa, USA. pp. 583605 Edoardo M, Curcuruto NG, Ruberto G. 2010. Screening the essential oil Composit composition of wild Sicilian fennel. Italy. Biochem. Syst. Ecol. (38) : 213–223. El-soud AN, El-Laithy N, El-Saeed G, Wahby SH, Khalil M, Morsy F and Shaffie N. 2011. Antidiabetic Activities of Foeniculum Vulgare Mill. Essential Oil in Streptozotocin-Induced Diabetic Rats. Maced. J. Med. Sci. 4 (2) : 139-146. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B dan Praseno K, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Phisiology Farm Animal, 4th Ed. Fouchier RAM, Munster V, Wallensten A. 2005. Characterization of a novel influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained from blackheaded. Gulls. J.Virol. 79 (5) : 2814-2822. Frame D. 2000. H7N3 Outbreak Halted By Vaccine In Word I Poultry Special PP. 20-21. Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusuma MD dkk., penerjemah. Jakarta: EGC. Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Tengadi AK, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Guyton AC. 1986. Textbook of medical physiology. Ed ke-5. Terjemahan. EGC Jakarta. 58 Handayani KS. 2009. Distribusi Virus Influenza (H5N1) pada Jaringan Tubuh Itik dengan Metode Imunohistokimia [Tesis] Pascasarjana IPB, Bogor Hariana A. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya. Jakarta Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin. Microbiol. Rev.14 (1) : 49- 129. Hu, CQ. dan Zhou BN. 1982. Isolation and Structure of Two New Diterpenoid Glucosides from Andrographis paniculata Nees. Yao Xue Xue Bao. 17 (6) : 435–440. Jain NC. 1986. Schalm’s Veteriner Hematology, 4th Ed. Philadelphia: Lea and Febiger. Jassim SAA, Naji MA. 2003. Novel Antiviral agents : a medicinal plant perspective [Ulasan]. J. Appl. Microbiol. (95) : 412-427. Kawai T, Akira S. 2006. Innate Immune Recognition Of Viral Infection. Nat. Immunol. (7) : 131-137. Kresno, Boedina S. 2001. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi Ke-4, Pen. FK-UI. Jakarta. Hlm 431-437. Lavinia et al. 2009. The effect of medicinal plants and plant extracted oils on broiler Duodenum morphology and immunological profile. Rom Biotechnol Lett. 14 (4) : 4606-4614 Leenaars M, Hendriksen CFM. 2005. Critical Steps in the Production of Polyclonal and Monoclonal Antibodies: Evaluation and Recommendations, J. ILAR. 46: 269-279. Maat S. 2001. Manfaat Tanaman Obat Asli Indonesia Bagi Kesehatan. Prosiding Forum Koordinasi Kelembagaan Produksi Aneka Tanaman. Jakarta. Jakarta 13-16 November 2001 Malole MB. 1987. Virologi. Bogor. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Manoi F 2007. Sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi. Warta Puslitbangbun. 13 (2) : 17-19 Meyer DJ, Harvey JW. 2009. Veterinary Laboratory and Medicine: Interpretation and Diagnosis, 3rd Ed. Washington: Saunders. Mironescu M, Georgescu C. 2010. Activity of some essential oils against common spoilage fungi of buildings. Acta Universitatis Cibiniensis Series E. Food. Technol. 14 (2) : 14-19 59 Murphy FA, Gibbs EP, Horzinek MC, Studdert MJ. 1999. Veterinery Virology. Academic Press. San Diego, California Nakatani H, Nakamura K, Yamamoto Y, Yamada M, Yamamoto Y. 2005. Epidemiology, Pathology, and Immunohistochemistry of Layer Hens Naturally Affected with H5N1 Highly Pathogenic Avian Influenza in Japan. Avian Dis (49) : 436-441. Niranjan A, Tewari SK, Lehri L. 2008. Biological activities of Kalmegh (Andrographis paniculata Ness) and active principles-A review. Indian J Nat Prod Resour. 1 (2) : 125-135. North MO, Bell D. 1990. Commercial Chicken Production. Ed ke-4. Manual. New York. Hapman and Hall. Nurbara SFD. 2009. Kajian Potensi Ektrak Etanol Adas (Foeniculum vulgare Mill) dan Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Sebagai Obat Alternatif Flu Burung [Thesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Pantin MJ, Jackwood. 2008. Immunohistochemical Staining for The Detection of The Avian Influenza Virus in Tissues. http://www.spingerlink.com/content/m1355577101098n/ [Februari 2011] Patichimasiri et al. 2007. Histology and Immunohistochemistry of Tigers and Pathogenic Avian Influenza Virus in Thailand. JARQ 41 (3) : 247-252. Parwata IMOA, Dewi PFS. 2008. Isolasi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L) JIK. 2 (2) : 4-10. Prapanza I, Marianto LA. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto. Raja Pahit Penakluk Penyakit. Cetakan Pertama, Jakarta : Agro Media Pustaka. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. Ke-4. Peter Anugrah, penerjemah. Jakarta. EGC. Pringoutomo S, Himawan S, Tjarta A. 2002. Patologi Umum. Sagung seto, Jakarta. Radji M. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Pathogenesis, pencegahan dan penyebaran pada manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (2) : 55-65 Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, ITB, Bandung pp : 132-136 Roitt IM, Delves PJ. 2001. Roitt’s Esential Immunology. Tenth Edition Oxford: Blackwell. Sci. Ltd. pp : 1-147. Ruddle NH, 1999. Lymphoid neo-organogenesis: lymphotoxin’s role in inflammation and development. Immunol. Res. (19) : 119–125. 60 Rusmin D dan Melati. 2007. Adas (Foeniculum vulgare Mill) Tanaman yang Berpotensi dikembangkan sebagai Bahan Obat Alami. Warta Puslitbangbun. 13 (02) : 21-23 Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2007. Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung : Studi In Vitro pada Kultur Sel Vero. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2009. Potensi Tanaman Obat Untuk Penanggulangan Flu Burung : Studi In Vivo dan Gambaran Perubahan Patologi dan Immunohistokimia. Laporan akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Setiyono A, Bermawie N. 2010. Peningkatan efektivitas ekstrak tanaman obat (50%) setara senyawa aktif andrografolid, piperin dan anetol dengan 510% untuk penanggulangan flu burung. Laporan akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Setyawati S, Soejoedono RD, Handharyani E, Sumiarto B. 2010. Deteksi Virus Avian Influenza H5N1 pada Anak Ayam Umur Satu Hari dengan Teknik Immunohistokimia. J.Vet.. 11 (4) : 203-209. Scott ML, Nesheim MC, Young RJ. 1982. Nutrion of The Chicken. Ed ke-3. New York : ML Scott and associates Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. Ed 3. New York. Spinger verlag Suarez DL. 2005. Overview of avian influenza DIVA test strategies. Biologicals 33:221-226. http://amadeo.com/lit.php?id=16257543 [9 oktober 2010] Subowo. 1996. Efek Imunomodulator dari Tumbuhan Obat. Warta tumbuhan obat Indonesia. 3 (01) : 1-3 Sudjarwo SA. 2005. The Potency of Piperine as Antiinflamatory and Analgesic in Rats and Mice. Airlangga University School of Medicine. 41 (3):190-194 Sugarman Y. 2005. Margono menangkal virus AI lewat ramuan jamu tradisional. Harian Umum Sinar Harapan 24 Agustus 2005. [17 Desember 2010] Swayne DE, Suarez DI. 2000. Highly Pathogenic Influenza. Rev.Sci.Tech. Int. Epiz. (19) : 463-482. Swayne DE, Perdue ML, Beck JR, Garcial M, Suarez DL. 2000. Vaccines protect chickens against H5 highly pathogenic avian infuenza in the face of genetic changes in field viruses over multiple years. Vet. Microbiol. (74) : 165-172. 61 Swayne DE. 2009. Avian influenza vaccines and therapies for poultry. Department of Agriculture. Comp. Immunol. Microbiol. Infec. Dis. (32) : 351–363 Taha SR. 2009. Kajian Potensi Ekstrak Tanaman Obat Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) dan Beluntas (Pluchea indica Less) Sebagai Alternatif Bahan Obat Flu Burung [Thesis] Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thomas PG, Keating R, Hulse-Post DJ, Doherty PC. (2006). – Cell-Mediated Protection In Influenza Infection. Emerg. infect. Dis. 12 (1) : 48-54 Tizard IR. 1988. Pengantar Immunology Veteriner. Terjemahan : Dr. Masduki Partodirejo. Surabaya. Airlangga University. Tizard IR. 1987. Pengantar Immunology Veteriner. Edisi II, Terjemahan : Dr. Masduki Partodirejo. Surabaya. Airlangga University. Unandar T. 2003. Kegagalan Respon pada Ayam. pp. 4. Http://www.ciptapangan.com/epbuletin/0106. htm. [6 September 2011]. Wibudi A. 2006. Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrograhis paniculata Ness) Sebagai Anti Diabetes [Disertasi] Pascasarjana IPB. Bogor [WHO] World Health Organization. 2007. WHO interim protocol: rapid operation to contain the initial emergence of pandemic influenza. http:///www.who.int/crs/disease/avian_influenza/guidelines/draftprotocol/e n/index.html. [Maret 2010] [WHO] World Health Organization. 2005. Surveillance for influenza. http://www.who.int/emcdocuments/influenza/docs/animalinfluenza/html/surveillance.htm. [Agustus 2010] Wijayakusuma HMS, Dalimartha AS, Wirian. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jakarta : Pustaka Kartini. Wiyono A, Indriani R, Dharmayanti NLPI, Damayanti R, Darminto. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly Pathogenic Avian Influenza subtipe H5 dari ayam asal wabah di Indonesia. JITV. 9 (1) : 60-71 Ziaran HR, Rahmani HR, Pourezza J. 2005. Effect of dietary extract of propolis on immune response and broiler performance. Pak. J. Biol. Sci. 8 (10) : 1485-1490 62 63 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar Ekstraksi dipersiapkan dengan mengikuti prosedur pembuatan sediaan berupa simplisia yang meliputi : 1. Sortasi tanaman yang telah dipanen sebelum dicuci masing-masing bahan di sortir dengan tujuan untuk memisahkan bagian tanaman yang baik dengan yang rusak 2. Pencucian, masing-masing bahan yang telah disortir (yang baik) dicuci dengan air mengalir sampai bersih, lalu ditiriskan. 3. Pengeringan bahan dijemur di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam dilanjutkan dengan oven pada suhu 40 0C hingga kering (kadar air ±10%) 4. Penggilingan masing-masing bahan digiling dengan menggunakan alat penggiling. 5. Ekstraksi Bahan baku tanaman obat dikeringkan pada suhu 45 0C sesuai dengan Standar operasinoal prosedur (SOP) sampai kadar air ±10 %, kemudian digiling dan diayak dengan ukuran ayak 60 mesh. Masing-masing bahan yang sudah digiling dan diayak lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam alat ekstraktor, kemudian ditambah etanol 95% sebanyak 5 kali berat bahan dengan perbandingan 1: 5 (bahan : pelarut) dan diaduk selama 2 jam dengan pengaduk listrik, kemudian didiamkan satu malam. Keesokan harinya disaring dengan kertas saring untuk mendapatkan filtrat. Ampas dari hasil saringan direndam kembali dengan etanol sebanyak 3 kali jumlah bahan dan di aduk selama 30 menit, lalu di saring. Filtrat dari hasil saringan pertama dan kedua disatukan. Selanjutnya filtrat di uapkan dengan vacuum rotary evaporator (alat penguap) dengan tekanan putaran rendah sehingga didapatkan ekstrak kental. 64 Lampiran 2. Prosedur Pembuatan Blok Parafin Organ-organ hasil nekropsi dimasukkan kedalam BNF 10 % sebagai bahan fiksasi, kemudian dilakukan blok parafin. Tahap awal adalah dehidrasi yaitu organ direndam dalam larutan alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut (I, II, III) masing-masing selama 1 jam pada suhu kamar, dilanjutkan dengan proses kliring dengan xilol (I, II, III) masing-masing 0,5 – 1 jam. Kemudian proses infiltrasi dengan parafin (I,II) masing-masing selam 30 menit dengan suhu kamar 54 – 56 0C, selanjutnya proses embedding dalam parafin dan didinginkan dalam suhu kamar. Dilanjutkan dengan proses penyayatan dengan ketebalan 3-4 µl (mikron) serta diletakkan pada gelas objek, dan dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37 0C satu malam. Kemudian preparat ini siap untuk dilakukan pewarnaan. 65 Lampiran 3. Prosedur Pewarnaan Hematoksillin-Eosin (HE) Pewarnaan HE adalah pewarnaan standar yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai struktur umum sel dan jaringan normal serta perubahan (kerusakan) umum yang disebabkan oleh penyakit. Adapun prosedur pewarnaan HE adalah: 1. Proses awal pewarnaan jaringan melakukan deparafinisasi yaitu slide preparat di rendam dalam xylol I,II,III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 100% (alkohol absolut I, II, III), 95%, 90%, 80%, 70% masing-msing selama 3-5 menit. 3. Slide preparat dibilas dengan air mengalir (air kran) selama 10-15 menit dan selanjutnya dimasukkan dalam aquadest (DW) selama 5-10 menit. 4. Preparat diwarnai dengan pewarna hematoksillin selama 10-15 detik. 5. Preparat dibilas dengan air mengalir (air kran) selama 10 menit dan selanjutnya dimasukkan dalam aquadest (DW) selama 5 menit. 6. Preparat diwarnai dengan pewarna eosin selama 1-2 menit. 7. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95% dan 100% (alkohol absolut I, II, III) masing-masing selama 3-5 menit. 8. Preparat dijernihkan (clearing) dengan xylol I, II, III masing-masing selama 3-5 menit. 9. Proses terakhir adalah mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan gelas penutup (cover glass) dengan bahan perekat balsem Canada atau Entellan. 10. Pengamatan di mikroskop. Hasil : inti berwarna biru keunguan (menyerap warna hematoksilin), sedangkan sitoplasma, jaringan ikat, keratin dan eritrosit berwarna merah (menyerap warna eosin). 66 Lampiran 4. Prosedur Pewarnaan Imunohistokimia Pewarnaan imunohistokimia (IHK) adalah metode pewarnaan bahan aktif pada suatu jaringan. Prinsip dasar dari teknik Imunohistokimia adalah terjadinya interaksi antara Antibodi spesifik dengan epitop dari Antigen spesifiknya pada suatu jaringan, maka teknik IHK dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit (sebagai antigen), bahkan boleh dikatakan bahwa IHK mempunyai spesifisitas yang tinggi sebagai alat diagnosa penyakit. Adapun prosedur pewarnaan IHK: 1. Proses awal pewarnaan jaringan melakukan deparafinisasi yaitu slide preparat di rendam dalam xylol I,II,III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 100% (alkohol absolut I, II, III), 95%, 90%, 80%, 70% masing-msing selama 3-5 menit. 3. Slide preparat dibilas dalam aquadest (DW) selama 5-10 menit. 4. Preparat dibilas dalam Phosphat buffered saline (PBS) selama 5-10 menit. 5. Preparat dipanaskan dalam citrat buffer (1,05 gram citric acid dalam 1 liter aquadest) dengan suhu 90-95oC selama 30-45 menit. 6. Kemudian preparat diinkubasi dalam citrat buffer pada suhu kamar selama 20 menit. 7. Preparat dibilas dengan PBS sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit. 8. Preparat direndam dalam H2O2 3% untuk memblok aktifitas endogenous selama 20 menit pada suhu kamar. 9. Preparat dibilas dengan PBST (phosphat buffered saline tween) sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit. 10. Preparat direndam dalam skim milk 10% (0,1 gr dalam 100 ml PBS) atau 10% normal goat serum selama 30 menit. 11. Preparat dibilas dengan PBST (phosphat buffered saline tween) sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit. 12. Sayatan jaringan dilingkari dengan Dako Pen. 67 13. Preparat diinkubasi dengan antibodi primer (monoclonal/polyclonal antibody: AB I) selama 1-2 jam dalam suhu kamar atau overnight pada suhu 4oC (refrigerator). 14. Preparat dibilas dengan PBST sebanyak 3 kali, masing-masing 3 menit. 15. Preparat diinkubasi dengan antibodi sekunder (AB II) selama 30 – 60 menit. 16. Preparat dibilas dengan DW 3 - 60 menit. 17. Preparat diwarnai dengan larutan kromogen DAB selama 30 – 90 detik. 18. Dilakukan counterstaining dengan hematoksillin selama 5 – 10 detik. 19. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat, dimulai dari 70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 3-5 menit. 20. Clearing preparat dengan xylol I, II, III masing-masing selama 3-5 menit. 21. Proses terakhir adalah mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan gelas penutup (cover glass) dengan bahan perekat balsem Canada atau Entellan. 22. Pengamatan di mikroskop. Hasil : reaksi positif antara antigen-antibodi ditunjukkan dengan warna kecoklatan