bab ii tinjauan pustaka

advertisement
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sifat Akustik
Akustik menurut ilmu fisika didefinisikan sebagai penyalur, transmisi, dan
penerima dari energi gelombang akibat getaran, gesekan, atau pukulan (Sejati
2008). Sementara itu menurut Tsoumis (1991), kayu dapat bertindak sebagai
sumber suara. Akibat benturan langsung, bunyi yang dihasilkan oleh sumber lain
dipancarkan melalui udara dan mempengaruhi kayu dalam bentuk gelombang
bunyi. Nada suara baik rendah atau tinggi, tergantung pada frekuensi getaran,
sedangkan frekuensi getaran dipengaruhi oleh dimensi, kerapatan, dan elastisitas
(modulus elastisitas).
Berdasarkan medianya, gelombang dibagi menjadi dua yaitu gelombang
elektromagnetik dan gelombang mekanis. Gelombang elektromagnetik tidak
memerlukan media atau zat antara dalam perambatannya sedangkan gelombang
mekanis memerlukan media atau zat antara dalam perambatannya (Young 2003).
Gelombang bunyi yang dihasilkan kayu merupakan gelombang mekanis.
Berdasarkan frekuensi gelombangnya, bunyi dibagi ke dalam gelombang
infrasonik (frekuensi kurang dari 20 Hz ), audiosound (frekuensi 20 Hz – 20 KHz)
yang merupakan gelombang yang dapat didengar oleh manusia, dan supersonik
atau ultrasonik dengan frekuensi lebih dari 20 KHz (Bucur 2006). Gelombang
ultrasonik (ultrasonic waves) merupakan gelombang mekanik longitudinal dengan
frekuensi di atas 20 kHz yaitu daerah batas pendengaran manusia. Gelombang
ultrasonik dapat merambat dalam medium padat, cair dan gas. Hal ini disebabkan
gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi dan momentum mekanik.
Rambatan energi ini berinteraksi tergantung pada molekul dan sifat inersia
medium yang dilaluinya (Sitompul 2006).
Oliveira et al. (2002) dan Bucur (2006) mengemukakan bahwa beberapa
variabel yang mempengaruhi kecepatan gelombang dalam media kayu (variasi
dalam satu jenis) diantaranya :
1. Kadar air yang tinggi cenderung memperlambat kecepatan rambatan
gelombang
4
2. Arah serat; kecepatan gelombang lebih cepat pada arah longitudinal (searah
serat), diikuti arah radial, dan yang terlama adalah pada arah tangensial.
3. Panjang serat; semakin panjang serat maka semakin cepat rambatan
gelombang mengalir.
4. Dinding sel dengan porositas dan permeabilitas yang tinggi akan
memperlambat kecepatan gelombang ultrasonik.
5. Daerah kristalin pada dinding sel lebih cepat mengalirkan gelombang
ultrasonik dibandingkan dengan daerah amorph. Kecepatan gelombang
semakin cepat pada dinding sel yang mengandung derajat polimerisasi (DP)
yang tinggi hal ini karena semakin besarnya kontinuitas elastis dan kristalin
bahan. Untuk itu kecepatan gelombang terbesar terjadi pada lapisan selulosa
(DP 1000-1500) diikuti hemiselulosa (DP 5-200) dan paling lambat ketika
melewati lapisan lignin (DP 5-60) (Oliveira et al. 2002)
6. Struktur lingkaran tumbuh; proporsi antara kayu awal (earlywood) dan kayu
akhir (latewood). Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kecepatan
gelombang pada kayu akhir lebih cepat dibandingkan pada kayu awal (Bucur
2006).
Gelombang sonik merupakan sinyal suara musik, karena kisaran gelombang
suara musik sama dengan kisaran gelombang sonik yaitu berkisar 20 Hz - 20 KHz.
Suara yang ditransmisikan oleh kayu secara berangsur-angsur teredam yang
menyebabkan hilangnya getaran suara. Kapasitas peredaman kayu (sound
damping) bervariasi sesuai jenis, kadar air, arah getaran (longitudinal, transversal,
torsional (puntiran), dan cara getaran (Tsoumis 1991).
Menurut Bucur (2006), kayu yang memiliki kualitas akustik yang bagus
dikenal dengan istilah resonance wood. Parameter akustik yang dapat digunakan
untuk menilai kualitas alat musik dan peredam suara yaitu kecepatan gelombang
suara (velocity), sound (acoustic) radiation, logarithmic decrement (sound
damping atau loss coefficient (δ)), sound absorption, coefficient of attenuation,
characteristic impedance, emmision ratio, dan loudness indeks.
Bahan yang digunakan untuk keperluan alat musik harus memiliki nilai
kecepatan gelombang yang tinggi, dengan nilai sound damping rendah. Apabila
nilai kecepatan gelombang rendah dan nilai sound damping yang tinggi maka
5
bahan tersebut cocok digunakan sebagai peredam suara. Parameter-parameter
tersebut dipengaruhi oleh sifat kayu itu sendiri yaitu sifat fisis dan mekanis,
dimana komponen struktur kayu ikut mempengaruhinya (anatomi dan kimia).
Syarat dari resonance wood antara lain memiliki kekakuan yang tinggi,
kecepatan gelombang suara yang tinggi, kerapatan kayu yang tinggi, memiliki
internal friksi yang rendah, serta memiliki tekstur dan struktur anatomi yang
homogen.
2.2. Sifat Anatomi
Sifat anatomi kayu dapat diamati melalui pengamatan makroskopik (sifat
kasar kayu) dan pengamatan mikroskopik. Selain kedua sifat itu, terdapat sifat
yang lebih detail yaitu sifat ultrastruktur kayu.
2.2.1. Sifat Makroskopik
Sifat makroskopik kayu adalah sifat yang terlihat pada kayu tanpa harus
menggunakan mikroskop atau bila perlu dibantu dengan lup (Tsoumis 1991).
Yang termasuk sifat makroskopik adalah lingkaran tumbuh, penampang kayu
teras-kayu gubal, dan tekstur kayu.
2.2.1.1. Lingkaran Tumbuh
Lingkaran tumbuh adalah batas sel-sel yang dibentuk akibat perubahan
musim, namun tidak mesti dalam satu tahun. Lingkaran tumbuh berbeda dengan
lingkaran tahun dalam hal waktu pembentukannya. Pengelompokkan suatu jenis
kayu berdasarkan lingkaran tumbuh atau lingkaran tahun dibagi dua, yaitu kayu
berbatas lingkar tumbuh jelas dan kayu berbatas lingkar tidak jelas atau tidak ada.
Kayu yang mempunyai batas lingkar tumbuh yang jelas, yaitu kayu yang
mempunyai perubahan struktur yang mendadak pada batas antara kayu awal dan
kayu akhir. Biasanya termasuk perubahan pada ketebalan dinding sel dan atau
perubahan pada diameter radial seratnya. Kayu yang mempunyai batas lingkar
tumbuh yang tidak jelas atau tidak ada, yaitu lingkar tumbuh yang samar yang
ditandai oleh perubahan struktur yang terjadi secara berangsur pada zona tertentu,
atau sama sekali tidak dapat dilihat jelas.
6
2.2.1.2. Kayu Teras dan Kayu Gubal
Menurut Haygreen et al. (2003), pada pengamatan suatu potongan
melintang batang sering menampakkan bagian tengah yang gelap yang dikelilingi
bagian luar yang muda warnanya. Bagian tengah yang gelap disebut kayu teras,
sedangkan bagian yang muda disebut kayu gubal. Dalam kayu gubal terdapat selsel yang hidup. Kayu teras secara fisiologis tidak berfungsi lagi tetapi berfungsi
untuk menunjang pohon secara mekanis.
2.2.1.3. Tekstur
Istilah tekstur kayu berkenaan dengan kualitas permukaan yang ditentukan
oleh ukuran relatif sel-sel penyusun. Tekstur suatu jenis kayu dikatakan halus jika
ukuran sel-selnya sangat kecil. Diameter sel serabut kurang dari 30 mikron
dikatakan bertekstur halus, diameter antara 30-45 mikron bertekstur sedang
sedangkan diameter lebih dari 45 mikron bertekstur kasar (Pandit dan Kurniawan
2008).
2.2.2. Sifat Mikroskopik
Sifat mikroskopik adalah sifat-sifat objektif dari kayu yang baru jelas dilihat
apabila mata kita dibantu dengan mikroskop. Sifat mikroskopik umumnya bersifat
struktural, termasuk di dalammya adalah diameter, frekuensi, penyebaran, dan
susunan sel penyusun kayu (Pandit dan Kurniawan 2008).
Struktur hardwood ditandai oleh adanya pembuluh, jari-jari, serabut (serat),
dan parenkim. Pembuluh, yang sangat bervariasi dalam ukuran, berfungsi sebagai
jaringan penyalur. Trakeida dan serabut berfungsi sebagai jaringan penyedia
tenaga mekanis. Serabut merupakan sel yang dominan dengan volume mencapai
60% dari volume kayu. Parenkim, baik longitudinal maupun jari-jari, dapat
mencapai 20-30 % volume kayu. Fungsinya adalah sebagai jaringan penyimpanan
makanan. Pada jenis kayu softwood strukturnya hanya ditandai dengan adanya
trakeida, serabut, dan parenkim.
2.2.2.1. Sel Pembuluh (Pori)
Menurut Tsoumis (1991), sel pembuluh atau pori hanya terdapat pada kayu
daun lebar. Dalam batang, sejumlah sel pori tersusun secara bertingkat
membentuk satu kesatuan ke arah longitudinal menyerupai pipa (saluran) yang
7
panjangnya bervariasi. Jaringan yang demikian lebih dikenal sebagai jaringan
pembuluh.
Wheeler et al. (1989) menyebutkan ciri-ciri pembuluh yang digunakan
sebagai dasar identifkasi, antara lain :
1) Sebaran pori (porositas)
Berdasarkan sebaran porinya, kayu dapat dikelompokkan menjadi tiga
golongan, yaitu :
a) Kayu berpori tata lingkar (ring porous)
Kayu berpori tata lingkar adalah kayu dimana letak pori besar terpisah dari
pori kecilnya dalam satu riap sehingga membentuk zona pemisahan yang
jelas. Pada kayu yang demikian terdapat perubahan yang mendadak dari
kayu awal ke kayu akhir.
b) Kayu pori semi tata lingkar
Berpori semi tata lingkar atau disebut juga berpori setengah tata lingkar
apabila zonasi pemisahan antara pori besar dan pori kecil tidak begitu
jelas. Kayu semi tata lingkar dapat terbentuk dari kepadatan porinya,
misalnya pada kayu awal keberadaan pori lebih banyak atau lebih rapat
(jumlah per satuan luasnya lebih banyak) dari pada keberadaan pori pada
kayu akhirnya. Dengan kata lain, kayu yang termasuk semi tata lingkar
yaitu kayu-kayu yang mempunyai susunan pori pertengahan antara kayu
berpori tata lingkar dengan kayu berpori tersebar (diffuse).
c) Kayu berpori tata baur (diffuse)
Kayu berpori tata baur apabila pori besar dan pori kecil tersebar merata
pada permukaan kayu atau tidak ada perbedaan lokasi pori besar dan pori
kecil dalam satu riap tumbuh atau tidak ada perbedaan ukuran pori dalam
satu lingkaran tahun. Kelompok ini hampir mencakup seluruh jenis kayu
dari tropis dan juga kebanyakan kayu dari daerah sub tropis.
2) Pengelompokan pori
a) Pori hampir seluruh soliter, yaitu pori secara keseluruhan terpisah satu
dengan lainnya karena dikelilingi oleh jaringan lain, misalnya 90% atau
lebih tidak berhubungan antar pori.
8
b) Kebanyakan berkelompok secara radial dari empat atau lebih, yaitu pori
yang saling berdekatan bergabung empat atau lebih.
c) Kebanyakan membentuk cluster, yaitu pori sering terlihat membentuk
grup-grup dari tiga atau lebih dan terjadi kontak baik pada bidang radial
maupun tangensial.
3) Diameter pembuluh
Diameter pori diukur pada bidang lintang. Pembuluh yang diukur harus
mewakili semua ukuran sel pembuluh yang ada. Diameter tangensial lumen
pembuluh-pembuluh termasuk dinding selnya diukur pada bagian terlebar dari
terowongan pembuluh. Nilai diameter pembuluh merupakan nilai dari rataan
sebanyak minimal 25 serat.
4) Jumlah atau frekuensi pembuluh per mm²
Jumlah pembuluh per satuan luas permukaan lintang dapat mempunyai nilai
yang cukup besar di dalam identifikasi kayu. Setiap individu dihitung sebagai
satuan individu.
5) Tilosis dan bahan endapan di dalam pori
Tilosis dikatakan ada jika terdapat suatu bahan (gelembung, tonjolan) yang
keluar dari dinding pori yang berasal dari sel parenkim jari-jari maupun
parenkim aksial melalui ceruk, sehingga sebagian maupun keseluruhannya
menyumbat lumen pori tersebut. Tilosis ini sering terdapat pada bagian kayu
teras.
Klasifikasi jumlah dan ukuran pori menurut Den Berger (1925) dalam
Pandit dan Prihatini (2005) yaitu :
1) Jumlah pori
a) Sangat jarang
: kurang dari 2 per mm²
b) Jarang
: 2-5 per mm²
c) Agak jarang
: 6-10 per mm²
d) Agak banyak
: 10-20 per mm²
e) Banyak
: 20-40 per mm²
f) Sangat banyak
: lebih dari 40 per mm²
2) Ukuran pori
a) Luar biasa kecil
: kurang dari 20 µm
9
b) Sangat kecil
: 20 – 50
c) Kecil
: 50 – 100 µm
d) Agak kecil
: 100 – 200 µm
e) Agak besar
: 200 – 300 µm
f) Besar
: 300 – 400 µm
g) Sangat besar
: lebih dari 400 µm
µm
2.2.2.2. Serat
Sel-sel penyusun kayu yang berbentuk panjang langsing dikenal dengan
nama serat. Serat dikatakan berdinding sangat tebal jika lumen atau rongga selnya
hampir seluruhnya terisi dengan lapisan-lapisan dinding. Dari ciri inilah dapat
dipahami bahwa serat berfungsi sebagai penguat batang pohon (Mandang dan
Pandit 1997). Trakeida kayu daun jarum umumnya memiliki panjang sekitar 3-5
mm dengan diameter trakeida sekitar 0,03 mm, sedangkan serat kayu daun lebar
umumnya memiliki panjang sekitar panjang sekitar 1 mm dengan diameter serat
0,02 mm (Casey 1980).
2.2.2.3. Parenkim
Parenkim merupakan jaringan yang berfungsi untuk menyimpan serta
mengatur bahan makanan cadangan. Menurut penyusunnya, parenkim dibedakan
menjadi 2 macam yaitu parenkim aksial yang tersusun vertikal dan parenkim jarijari yang tersusun secara horisontal.
Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), berdasarkan distribusinya pada
penampang lintang kayu parenkim dibagi atas 2 bagian besar yaitu :
1) Parenkim apotrakeal
Pada parenkim apotrakeal sel-sel atau kumpulan sel-sel parenkim berdiri
terpisah dari pembuluh (pori) kayu.
2) Parenkim paratrakeal
Pada parenkim paratrakeal sel-sel atau kumpulan sel-sel parenkim terletak
bersinggungan dengan pembuluh secara sepihak atau seluruhnya.
2.2.2.4. Jari – Jari
Sel jari – jari berfungsi sebagai jalan angkutan bagi cairan pohon dalam arah
horisontal dari dan ke lapisan floem. Sel jari-jari diproduksi dari pembelahan sel
10
inisial jari-jari dalam kambium. Inisial jari-jari sendiri berasal dari pembelahan
inisial jari-jari sendiri atau yang lain atau dari pembelahan yang tidak sama dari
inisial bentuk kumparan (Haygreen et al. 2003).
Klasifikasi sel jari-jari berdasarkan jumlahnya (Den Berger 1925 dalam
Pandit dan Prihatini 2005) :
1) Sangat jarang, jika jumlah jari-jari kurang dari sama dengan 3 per mm
2) Jarang, jika jumlah jari-jari 4-5 per mm
3) Agak jarang, jika jumlah jari-jari 6-7 per mm
4) Agak banyak, jika jumlah jari-jari 8-10 per mm
5) Banyak, jika jumlah jari-jari 11-15 per mm
6) Sangat banyak, jika jumlah jari-jari lebih dari sama dengan 15 per mm
2.2.3. Sifat Ultrastruktur Kayu
Sifat yang lebih detail dalam kayu berupa sifat ultrastruktur. Sifat
ultrastruktur kayu dapat dilihat dalam bentuk sudut mikrofibril dan kondisi noktah
kayu. Pada sifat ultrastruktur kayu yang terpenting adalah besar sudut mikrofibril
lapisan S2 dimana hal ini dapat diukur dengan memakai mikroskop biasa.
Mikrofibril lapisan S2 membentuk sudut yang kecil dan hampir sejajar dengan
sumbu sel (Fengel dan Wegener 1995).
Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), dinding S1 secara keseluruhan
tebalnya sekitar 16 % dengan orientasi sudut mikrofibril (MFA) sekitar 50-70º
terhadap sumbu panjang sel. Dinding S2 merupakan lapisan paling tebal, yaitu
sekitar 74 % dengan orientasi sudut MFA sekitar 10-30º terhadap sumbu panjang
sel, sedangkan dinding S3 lebih tipis dibanding S1 dan tebalnya sekitar 8 %
dengan orientsi MFA sekitar 60-90º.
Sanjaya (2001) mengemukakan bahwa indeks kristalinitas merupakan
luasan daerah kristalit yaitu perbandingan antara luasan daerah kristalin dengan
daerah amorf. Semakin kecil indeks kristalinitas pada kayu, maka semakin kecil
pula selulosa dalam dinding sel yang terbentuk kristalit dan amorfnya lebih besar.
2. 3. Sifat Kimia
Menurut Fengel dan Wegener (1995), kimia kayu dan komponenkomponennya tidak dapat dipisahkan dari strukturnya. Kayu tidak hanya
11
merupakan senyawa kimia, atau jaringan anatomi, atau bahan tetapi merupakan
gabungan dari ketiganya. Kesemuanya ini merupakan hasil hubungan yang erat
dari komponen-komponen kimia yang membentuk unsur-unsur ultrastruktur, yang
kemudian bergabung menjadi suatu sistem yang berderajat tinggi yang
membentuk dinding sel yang akhirnya membentuk jaringan kayu.
Secara garis besar komponen kimia terbagi dua yaitu komponen
makromolekul dan komponen minor dengan molekul rendah. Komponen
makromolekul terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terdapat pada
semua kayu. Komponen minor dengan berat molekul rendah terdiri dari zat
ekstraktif dan zat-zat mineral yang biasanya terdapat pada jenis kayu tertentu
dalam jumlah yang berbeda. Karakteristik dasar dari setiap komponen kimia
penyusun kayu tersebut mampu mempengaruhi sifat-sifat kayu secara keseluruhan.
Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang sifat-sifat kimia
kayu agar pemanfaatan bahan baku kayu dapat dilakukan secara optimal sesuai
dengan sifat-sifat dasarnya.
Apabila dikaitkan dengan lama penyimpanan kayu, komponen selulosa
adalah komponen kimia yang kadarnya paling stabil. Lignin memiliki sifat yang
relatif stabil terhadap proses oksidasi. Selain itu komponen hemiselulosa
merupakan komponen yang paling tidak stabil karena mudah terhidrolisis (Bucur
2006).
Selulosa adalah homo-polisakarida yang tersusun atas unit-unit monomer ßD-glukopiranosa yang terikat satu sama lainnya dengan ikatan-ikatan glikosida.
Molekul-molekul
selulosa
seluruhnya
berbentuk
linier
dan
mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan inter molekul.
Berkas-berkas molekul selulosa membentuk agregat bersama-sama membentuk
mikrofibril yang mengandung tempat-tempat yang sangat teratur (kristalin),
diselingi dengan tempat-tempat yang kurang teratur (amorph). Mikrofibril
membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat selulosa (Sjostrom 1991).
Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena tersusun atas berbagai gula
yang heterogen dan memiliki rantai molekul yang lebih pendek serta bercabang.
Unit-unit gula yang membentuk hemiselulosa umumnya berasal dari kelompokkelompok pentosa, heksosa, asam heksuronat dan deoksiheksosa. Rantai utama
12
hemiselulosa dapat berupa homopolimer, misalnya xilan, atau heteropolimer,
misalnya glukomanan. Beberapa unit gula seringkali menjadi gugus samping bagi
rantai utama hemiselulosa, misalnya asam 4-O-metilglukoronat dan galaktosa.
Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa gabungan antara kadar
selulosa dan hemiselulosa dinyatakan sebagai kadar holoselulosa. Holoselulosa
berpengaruh terhadap sifat keteguhan dan kekakuan serat, sehingga sulit
didegradasi oleh fungi. Selain itu holoselulosa juga memiliki sifat afinitas yang
besar terhadap air.
Lignin adalah suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi,
tersusun atas unit-unit fenilpropana. Lignin terdapat diantara sel-sel dan diantara
dinding sel. Lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel agar tetap
bersama-sama. Keberadaan lignin dalam dinding sel sangat erat hubungannya
dengan selulosa yang berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel dan juga
berpengaruh dalam memperkecil dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air
kayu (Haygreen et al. 2003). Achmadi (1990) menyebutkan bahwa lignin dapat
dibagi dalam kelompok menurut unsur strukturalnya, yaitu :
1. Lignin guaiasil : terdapat pada kayu daun jarum (23-32%), dengan prazat
koniferil alkohol.
2. Lignin guaiasil-siringil : merupakan ciri kayu daun lebar (20-28%), pada
kayu tropis > 30%), dengan prazat koniferil alkohol : sinapil alkohol, nisbah
4:1 sampai 1:2.
Zat ekstraktif meliputi sejumlah besar senyawa organik yang berbeda
dengan berat molekul yang kecil yang dapat diekstraksi dari kayu dengan
menggunakan pelarut polar ataupun non polar. Fengel dan Wegener (1995)
menggolongkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstraktif kayu menjadi
kelompok-kelompok terpena dan terpenoid, lemak dan zat lilin, senyawa-senyawa
fenolat serta senyawa-senyawa lainnya.
Komponen anorganik kayu seluruhnya terdapat dalam abu setelah seluruh
bahan organik kayu dibakar. Abu menunjukkan kadar bahan inorganik dalam
kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Kadar bahan
mineral kayu temperate berkisar 0,1 – 1,0% sedangkan kayu tropis dapat
mencapai 5%. Komponen utama abu kayu adalah kalsium, kalium, dan
13
magnesium, dalam jumlah yang lebih sedikit Mn, Na dan P. Pada kayu tropis
umumnya lebih banyak mengandung silika dibanding kayu temperate.
2. 4. Karakteristik Kayu yang Diteliti
2.4.1. Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.)
Kayu afrika berasal dari famili Rhamnaceae dengan nama latin Maesopsis
eminii Engl. Kayu afrika merupakan jenis pohon cepat tumbuh. Kayu afrika
memiliki kekuatan sedang sampai kuat, dan cocok untuk kayu konstruksi, kotak,
serta tiang. Jenis ini banyak ditanam untuk sumber kayu bakar. Daunnya
digunakan untuk pakan ternak karena kadar bahan keringnya mencapai 35% dan
dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp
sebagai jenis kayu keras umumnya. Pada pola agroforestry ditanam sebagai
penaung coklat, kopi, kapulaga dan teh, juga ditanam untuk pengendali erosi.
Walaupun merupakan koloni yang agresif di areal semak dan areal terganggu di
hutan, jenis ini kurang dapat bersaing dengan alang-alang tinggi (Joker 2002).
2.4.2. Kayu Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese
Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), kayu pinus termasuk famili
Pinaceae. Kayu pinus memiliki tekstur agak kasar, tidak berpori, memiliki saluran
damar aksial tetapi sangat jarang. Jari-jari dari kayu pinus ini sangat halus dan
sempit terdiri dari satu seri, kadang-kadang ada yang fusiform jumlahnya sekitar
4-15 sel. Selain itu, kayu pinus memiliki BJ 0,55 (0,40-0,75), kelas awet IV dan
kelas kuat III. Kayu pinus dapat digunakan sebagai bahan baku korek api, papan
partikel, pulp dan kertas, vinir, perabot rumah tangga, pensil, kotak, kerangka
pintu dan jendela, serta mainan anak. Menurut Widiyati (2008), kayu ini juga
digunakan sebagai komponen kecil (small parts) pada bagian dalam badan gitar
yang berfungsi sebagai akustik/peredam suara.
2.4.3. Kayu Pinus insularis Endlich
Pinus insularis Endlich termasuk kedalam famili Pinaceae. Pinus insularis
End banyak tersebar didaerah pegunungan pulau Luzon Filipina, pegunungan
Zambades. Kayu pinus ini memiliki pohon yang ramping, lurus, tingginya hingga
60 m serta sedikit diatas tanah, besarnya 1 m. Pinus ini dapat hidup dengan baik
pada ketinggian 1000 sampai 2700 m dpl. Pemanfaatan kayunya jarang sekali atau
14
tidak pernah dipakai untuk bangunan rumah (Mirov 1967). Pinus ini memiliki
berat jenis 0,55 dan termasuk kelas kuat III, kelas awet III (Seng 1990)
2.4.4. Kayu Mangium (Acacia mangium Willd)
Mandang dan Pandit (1997) menyatakan bahwa kayu mangium masuk ke
famili Leguminosae. Kayu teras alami berwarna coklat pucat sampai coklat tua,
kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, sedangkan kayu gubal
berwarna kuning sampai kuning jerami. Coklat polos atau alur berwarna gelap dan
terang bergantian pada bidang radial dengan tekstur halus sampai agak kasar dan
merata. Kayu mangium memiliki BJ rata-rata 0,61 (0,43-0,66) dengan kelas awet
III dan kelas kuat II-III.
Kegunaan kayu mangium sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat,
rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga, lantai, papan dinding, tiang,
gerobak dan rodanya, pemeras minyak, alat pertanian, kotak dan batang korek api,
dan lain-lain (Pandit dan Kurniawan 2008).
2.4.5. Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.)
Menurut Martawijaya et al. (1981), mahoni termasuk kedalam suku
Meliaceae, meliputi dua jenis yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun
besar) dan Swietenia mahagoni Jacq. (mahoni daun kecil). Daerah penyebarannya
yaitu seluruh jawa dengan tinggi pohon dapat mencapai 35 m dan diameter 125
cm. Kayu mahoni termasuk kedalam kelas kuat II – III, sedangkan untuk kelas
awetnya mahoni termasuk kedalam kelas III. Kayu mahoni ini juga memiliki
tekstur agak halus, susunan pori soliter dan bergabung 2-3 arah radial, diameter
pori 100-200 µm, jumlah pori 30-65/mm², sedangkan jumlah jari-jari 5-10/mm
dengan susunan multiseriat/heteroselular. Kegunaan kayu mahoni antara lain
untuk perabot rumah tangga, kayu lapis, barang kerajinan, komponen alat musik,
dan lain-lain.
2.4.6. Kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)
Sonokeling termasuk kedalam famili Papilionaceae dengan nama latin
Dalbergia latifolia Roxb. Daerah penyebarannya yaitu seluruh jawa, tajuk
berbentuk bulat dan berdaun jarang. Tinggi pohon mencapai 43 m dengan panjang
batang bebas cabang 3 – 5 m. Diameternya mencapai 150 cm, dengan batang
15
umumnya tidak lurus (kebanyakan berlekuk) dan tidak berbanir. Kulit luar
berwarna putih mengelupas kecil-kecil (Martawijaya et al. 1981).
Sonokeling termasuk kedalam kelas kuat II dengan berat jenis 0,83 (0,77 –
0,86), untuk kelas awet termasuk kedalam kelas awet II. Susunan pori sonokeling
yaitu terdiri dari sebagian besar pori soliter atau soliter dan bergabung 2 – 4 dalam
arah radial, diameter pori 100-300 µm, frekuensi pori 2-6/mm², sedangkan jari-jari
kayu sonokeling homogen, seluruhnya terdiri dari sel baring, frekuensi jari-jari 710/mm (Martawijaya et al. 1981). Menurut Widiyati (2008) pada perusahaan alat
musik, kayu ini digunakan sebagai bahan finger gitar yang berfungsi sebagai
tumpuan untuk menekan senar gitar.
Download