INTEGRASI PASAR OBLIGASI NEGARA DI ANTARA NEGARA–NEGARA ASEAN+6 OLEH SURYARISMAN PRATAMA H14053246 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN SURYARISMAN PRATAMA. Integrasi Pasar Obligasi Negara di antara Negara-negara ASEAN+6 (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI, Ph.D dan ANDRIANSYAH, S.Si, M.Fin.) Penelitian ini membahas mengenai sejauh mana hubungan pasar obligasi masing-masing negara ASEAN+6 di dalam perkembangan dan kemajuan dekade ini dimana sistem perekonomian saat ini semakin mengarah kepada pedagangan bebas. Berbagai bentuk kerja sama ekonomi dilakukan oleh beberapa negara yang dikenal dengan istilah integrasi ekonomi dimana salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah integrasi dalam bidang finansial. Pasar obligasi merupakan salah satu bagian dari pasar finansial yang dapat memberikan dana tambahan yang dibutuhkan oleh penerbit obligasi dan tempat berinvestasi untuk mendapatkan keuntungan oleh para investor. Dalam penelitian ini secara khusus membahas obligasi negara yang merupakan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah untuk memperoleh dana tambahan dalam melakukan kegiatan belanja negara dan sebagainya. Metode VECM yang digunakan memperlihatkan bahwa terdapat hubungan di antara negara-negara ASEAN+6 dimana terlihat adanya respon dalam bentuk fluktuasi yield obligasi dari negara-negara ASEAN+6 ketika terjadi guncangan dalam pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 tersebut. Selain itu dengan metode ini juga dapat diketahui seberapa besar kontribusi atau peranan negara-negara ASEAN+6 dalam mempengaruhi yield obligasi negara-negara ASEAN+6. Dengan metode ini terlihat bahwa dalam jangka pendek terjadi fluktuasi yield obligasi negara-negara ASEAN+6 dan terjadinya kestabilan dalam jangka panjang ketika terjadi guncangan di antara negara-negara ASEAN+6. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dilihat bagaimana hubungan antara pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dengan pasar obligasi Amerika Serikat yang merupakan negara dengan perekonomian besar sehingga dalam penelitian ini terdapat dua model yang diperoleh yaitu model di antara negara-negara ASEAN+6 dan model di antara negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat. Berdasarkan hasil analisis impulse response function (IRF) negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia terlihat bahwa pada beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Filipina,dan Thailand mengalami peningkatan yield obligasi negaranya akan tetapi lain halnya dengan yang terjadi pada yield obligasi negara Malaysia yang justru mengalami penurunan. Selain itu terlihat beberapa negara maju yang mengalami peningkatan yield obligasi negaranya yaitu Cina dan Korea Selatan sebagai respon yang terjadi akibat guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia sedangkan sebagian lagi negara maju yang lain mengalami penurunan yield obligasi negaranya yaitu Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mempertimbangkan pasar obligasi Amerika Serikat dimana kita ketahui bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki ukuran perekonomian yang relatif sangat besar. Berdasarkan hasil analisis IRF diketahui bahwa apabila terjadi guncangan pada pasar obligasi Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi maka beberapa negara meresponnya positif yaitu dengan mengalami peningkatan perubahan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang mengalami peningkatan perubahan yield obligasi negaranya antara lain Indonesia, Jepang, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Malaysia. Respon sebaliknya juga terjadi pada beberapa yield obligasi negara yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan mengalami perubahan penurunan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang mengalami hal ini antara lain adalah Australia, Selandia Baru dan Cina. Ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 ternyata beberapa negara di respon positif oleh yield obligasi negara Amerika Serikat dimana terjadi perubahan peningkatan yield obligasi negara Amerika Serikat. Beberapa negara yang direspon positif oleh yield obligasi negara Amerika Serikat adalah Australia, Jepang, Selandia Baru, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Cina. Respon sebaliknya juga terjadi pada yield obligasi negara Amerika yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan mengalami perubahan penurunan yield obligasi negara Amerika Serikat. Negaranegara yang direspon negatif dalam hal ini antara lain adalah Indonesia, Filipina, dan Singapura. Secara keseluruhan hasil analisis FEVD diketahui bahwa pasar obligasi negara yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negaranegara ASEAN+6 dan Amerika Serikat adalah Australia dimana dalam kawasan ASEAN+6 Australia dominan atas pasar obligasi Singapura, Jepang, Selandia Baru dan Thailand. Sedangkan dalam kawasan ASEAN+6 dan Amerika Serikat, pasar obligasi Australia dominan atas pasar obligasi Jepang, Amerika Serikat, Selandia Baru, Thailand dan Singapura. INTEGRASI PASAR OBLIGASI NEGARA DI ANTARA NEGARA–NEGARA ASEAN+6 Oleh SURYARISMAN PRATAMA H14053246 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Suryarisman Pratama Nomor Registrasi Pokok : H14053246 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Integrasi Pasar Obligasi Negara di antara Negara-negara ASEAN+6 dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Noer Azam Achsani, Ph.D. NIP. 19681229 199203 1 016 Andriansyah, S.Si, M.Fin. NIP. 060096996 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 19641023 198903 2 002 Tanggal kelulusan: PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, September 2009 Suryarisman Pratama H14053246 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Suryarisman Pratama lahir pada tanggal 30 Juli 1987 di Majene, sebuah kota kecil yang berada di Provinsi Sulawesi Barat. Penulis anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Mohammad Ismail dan Rafniah Husain. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Cendrawasih Makassar, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Makassar dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 3 Makassar dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan kota Makassar tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa / Pelajar Indonesia asal Sulawesi Selatan (IKAMI SULSEL). KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat, rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Integrasi Pasar Obligasi Negara di antara Negara-negara ASEAN+6” ini dengan baik serta tak lupa penulis curahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah S.A.W. Penulis melakukan penelitian ini karena isu pembentukan kerja sama regional dalam bidang perekonomian merupakan isu yang saat ini hangat dibahas oleh beberapa negara dan ekonom-ekonom karena diyakini mampu memperkuat daya tahan negara yang membentuk kerja sama ini terhadap krisis ekonomi yang terjadi. Obligasi negara di Indonesia pada khususnya merupakan instrumen investasi yang saat ini merupakan sumber pembiayaan anggaran pemerintah yang jumlahnya semakin besar dibandingkan dengan pinjaman langsung kepada negara lain. Oleh karena itu kerjasama ekonomi dalam pasar obligasi akan memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk memperoleh tambahan dana untuk membiayai keperluan fiskal pemerintah. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Noer Azam Achsani, Ph.D. dan Bapak Andriansyah, S.Si, M.Fin. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan dalam menyusun skripsi ini yang tidak hanya memberikan bimbingan secara teknis dan teoritis tetapi juga secara moril sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Bapak Tony Irawan, M.App.Ec selaku komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Bapak DS. Priyarsono, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. 5. Ayahanda Mohammad Ismail dan Ibunda Rafniah serta saudara penulis Armanto Dwi Cahyo yang telah memberikan doa, semangat, kasih sayang, dan dukungan kepada penulis. 6. Teman-teman satu bimbingan skripsi Khaerani Putri, Tia Rahmina, dan Amalia Ayuningtyas atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi ’42 (Vagha, Gerry, Bayu, Adrian, Riza, Lukman, Joger, Hengky, Budi, Lestari, Acun, Awi, Adit), 43,41, Ka Iqbal Irfany atas informasinya, Teh Heni dan Ka Ade Holis atas konsultasi dan bimbingannya. 8. Segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang dengan sabar membantu segala proses administrasi berkaitan dengan pengerjaan skripsi ini. 9. Rekan-rekan Asrama Mahasiswa Latimojong Bogor dan Mahasiswa asal Sulawesi Selatan atas kebersamaannya selama ini. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini. Bogor, September 2009 Suryarisman Pratama H14053246 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv DAFTAR ISTILAH .............................................................................................xv I. II. PENDAHULUAN .........................................................................................1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ..............................................................................3 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................13 1.4. Manfaat Penelitian ..............................................................................13 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................13 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................15 2.1. Obligasi .................................................................................................15 2.2. Yield ......................................................................................................22 2.3. Obligasi Negara ....................................................................................25 2.4. Integrasi Ekonomi ................................................................................29 2.5. Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN (RIAFin) .......................................................................................................31 2.6. Penelitian Terdahulu ............................................................................34 2.6. Kerangka Pemikiran .............................................................................38 III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 40 3.1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 40 3.2. Metode Analisis Data ........................................................................ 40 3.2.1. Vector Autoregression (VAR) ............................................. 41 3.2.2. Uji Granger Causality ..........................................................49 3.2.3. Ordering for Cholesky ..........................................................49 3.2.4. Impulse Response Function (IRF).........................................50 3.2.5. Forecasting Error Variance Decomposition (FEDV)........ ..50 IV. TRANSMISI YIELD OBLIGASI NEGARA-NEGARA ASEAN+6: PENDEKATAN VAR .......................51 . 4.1. Deskriptif Statistik Data ....................................................... 51 4.2. Unit Root Test .......................................................................54 4.3. Penentuan Lag Optimal........................................................56 4.4. Pengujian Stabilitas VAR .....................................................57 4.5. Uji Kointegrasi................................................... ...................58 4.6. Uji Granger Causality ..........................................................59 4.7. Hasil Empiris............................ ............................................59 4.6.1. Impulse Response Function (IRF)...............................60 4.6.2. Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)........................................................................65 V. PENUTUP ....................................................................................................75 5.1. Kesimpulan ...........................................................................75 5.2. Saran......................................................................................76 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................77 LAMPIRAN ..........................................................................................................80 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1.1. Rating Tingkat Risiko Negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat....12 2.1. Tahapan Integrasi Balassa ............................................................................31 4.1. Ringkasan Statistik Data Yield Harian Obligasi Negara-negara ASEAN+6............................................................................54 4.2. Uji Akar Unit pada Level .............................................................................55 4.3. Uji Akar Unit pada First Difference ............................................................56 4.4. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ASEAN+6 (dalam persen) ...........................................................................67 4.5. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ASEAN+6 dan Amerika Serikat (dalam persen) ........................................ 69 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.1. Defisit dan Pembiayaan APBN 1998-2009...................................................7 1.2. Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB 1996-2009 ................8 1.3. 5-year Government Bond Yield (dalam persen) ..........................................10 2.1. Kerangka Pemikiran ..................................................................................39 4.1. Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia ...............62 4.2. Respon yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 .......................65 4.3. Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Amerika Serikat .....69 4.4. Respon yield obligasi negara Amerika Serikat terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 .......................71 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Uji Lag Optimal ...............................................................................................81 2. Uji Stabilitas VAR ...........................................................................................82 3. Uji Kointegrasi .................................................................................................84 4. Estimasi VECM ...............................................................................................86 5. Uji Granger Causality .....................................................................................88 6. Impulse Response Function..............................................................................89 DAFTAR ISTILAH Credit Risk, risiko dimana penerbit obligasi tidak mampu membayar bunga dan pokok obligasi pada saat jatuh tempo. Credit risk ini sering juga disebut Default risk. Discount Bonds (zero coupon bonds), obligasi yang tidak memberikan kupon atau bunga, dijual dengan diskonto dan pada saat jatuh tempo obligasi dibayarkan atau dilunasi sesuai dengan nilai nominalnya. Diskonto obligasi, selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest) untuk obligasi dengan kupon. Financial market, pasar keuangan, kelompok pasar dimana instrumen jangka pendek dan jangka panjang diperdagangkan, meliputi pasar uang dan pasar modal. Fixed Rate Bonds, Obligasi yang memiliki suku bunga tetap sampai dengan jatuh tempo. Bunga dibayarkan setiap enam bulan pada tanggal 15 pada bulan yang telah ditentukan. Floating rate bonds (variable rate bonds), obligasi yang tingkat bunganya disesuaikan secara periodik berdasarkan tingkat bunga Treasury Bills atau ratarata deposito berjangka bank-bank tertentu. Obligasi bunga variable yang diterbitkan pemerintah dalam rangka rekap suku bunganya ditetapkan setiap 3 bulan berdasarkan tingkat bunga SBI 3 bulan. Hedge Bonds, obligasi yang suku bunganya ditetapkan berdasarkan tingkat bunga SIBOR (Singapore interbank offered rate) 3 bulan + 2% pada pokok yang diindeks dengan perubahan kurs rupiah terhadap US$. Obligasi ini dimaksudkan untuk menutup posisi devisa neto (net open position) bank-bank rekap. Instrumen investasi pendapatan tetap (fixed income asset), surat berharga yang menawarkan pendapatan yang tetap dari waktu ke waktu. Di Indonesia surat berharga dimaksud (biasanya obligasi) ditawarkan perusahaan sekuritas sebagai produk reksadana pendapatan tetap. Kupon, besarnya bunga yang dibayarkan secara reguler, yang dinyatakan dalam persentase terhadap nilai nominal obligasi. Lelang Surat Utang Negara, penjualan Surat Utang Negara dengan cara pengajuan penawaran pembelian secara kompetitif maupun nonkompetitif dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumukan sebelumnya. Obligasi Negara, Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara periodik dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Over-the-Counter, pasar Obligasi Negara yang dilakukan pelaku pasar melalui perdagangan di luar bursa. Paperless (scriptless), sekuritas atau surat berharga tanpa warkat. Pasar Perdana, kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. Pasar Sekunder, kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di pasar perdana. Primary market (pasar primer), kegiatan penawaran dan penjualan surat berharga (termasuk obligasi pemerintah) untuk pertama kali. Secondary market (pasar sekunder), kegiatan perdagangan surat berharga (termasuk obligasi negara) yang telah dijual di pasar primer. Setelmen, penyelesaian transaksi Surat Utang Negara yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan Surat Utang Negara. Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Surat Utang Negara (obligasi) dalam mata uang rupiah tanpa kupon yang dijual secara diskonto, berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dan pada saat jatuh tempo dilunasi dengan nilai nominalnya. Surat Utang Negara (SUN), surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Tenor, jangka waktu jatuh tempo obligasi. Time to maturity, waktu yang tersisa (umumnya dalam tahun) hingga suatu obligasi dilunasi atau jatuh tempo. Treasuries, surat pengakuan hutang Pemerintah Federal AS yang dijamin pembayarannya (full faith and credit), diterbitkan dalam berbagai jangka waktu jatuh tempo dan dapat diperdagangkan. Surat Berharga ini terdiri dari Treasury Bills, Treasury Notes dan Treasury Bonds. Treasury Bills, surat berharga yang berjangka waktu satu tahun atau kurang dijual dengan cara diskonto (at discount) dari nilai nominalnya melalui lelang.berjangka pendek yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) dengan diskonto dan pada saat jatuh tempo dibayarkan sesuai dengan nilai nominalnya. Treasury Bonds (T-Bonds), surat berharga berjangka waktu panjang yang jatuh temponya 10 tahun atau lebih yang diterbitkan dengan denominasi minimum USD 1.000. Treasury Notes (T-Notes), surat berharga berjangka waktu tempo menengah yaitu satu sampai dengan 10 tahun dijual dengan cara langsung (cash subscription) melalui penukaran utang pemerintah yang masih berjalan atau yang jatuh tempo, atau dengan melalui cara lelang. Denominasinya mulai dari USD 1000. Variable Rate Bonds, obligasi yang suku bunganya ditetapkan berdasarkan tingkat bunga SBI 3 bulan. Bunga dibayarkan setiap 3 bulan pada tanggal 25 pada bulan yang telah ditentukan. Yield (Imbal Hasil), keuntungan yang diharapkan oleh investor dalam persentase per tahun. Yield curve (kurva hasil), grafik yang menggambarkan hubungan antara tingkat keuntungan (rate of return) atau yield dengan berbagai jangka waktu jatuh tempo obligasi. Yield to maturity (YTM), tingkat keuntungan (rate of return) yang akan diterima investor dari suatu obligasi apabila dimiliki sampai dengan jatuh tempo. Sumber: http://www.dmo.or.id/dmodata/8Pojok_Edukasi/2Daftar_Istilah/Daftar_Istilah_S UN.pdf I. 1.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Obligasi negara merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk yang dapat diperdagangkan maupun tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Obligasi negara yang dapat diperdagangkan tidak berbeda jauh dengan dengan instrumen-instrumen investasi lainnya seperti deposito, investasi pada saham, investasi pada reksadana atau investasi pada instrumen keuangan lainnya. Obligasi yang diperdagangkan terdiri dari obligasi yang berdenominasi mata uang domestik dan obligasi yang berdenominasi mata uang asing. Tujuan penerbitan obligasi negara pada umumnya adalah untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Oleh karena itu semua obligasi negara dilindungi oleh undang-undang yang menyebabkan instrumen finansial ini relatif berisiko rendah bahkan tidak memiliki risiko sama sekali (Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2009). Perkembangan dan kemajuan politik, teknologi, dan finansial saat ini ternyata telah memfasilitasi terjadinya gelombang liberalisasi dalam pasar finansial global yang mengarah kepada peningkatan sifat saling ketergantungan terhadap pasar saham dan obligasi dunia (Laopodis, 2008). Perubahan yang besar dan signifikan telah terjadi pada pasar finansial internasional yang disebut integrasi pasar finansial (Jung, et al., 2004). Integrasi pasar finansial merupakan suatu proses yang mengarah kepada penghapusan atau penghilangan hambatanhambatan yang relevan yang terdapat dalam pasar. Dalam hal ini, suatu pasar terdiri dari seperangkat instrumen atau jasa finansial yang terintegrasi penuh. Pasar finansial terintegrasi dalam arti jika semua partisipan yang berpotensial menghasilkan beberapa karakteristik yang relevan sama misalnya menghadapi seperangkat peraturan tunggal ketika mereka memutuskan untuk bertransaksi dengan instrumen-instrumen atau jasa-jasa tersebut, memiliki akses yang sama terhadap instrumen-instrumen atau jasa-jasa finansial yang terdapat dalam pasar, dan diperlakukan sama ketika mereka aktif di dalam pasar (Jikang dan Xinhui, 2004). Menurut Bartram dan Dufey dalam Bartram,Taylor dan Wang (2004) integrasi pasar finansial telah lama menjadi isu yang menarik di sebagian besar para ekonom dalam bidang finansial dunia akademisi dan praktisi investasi, karena hal ini membawa banyak kendala dan peluang untuk investasi portofolio internasional dengan implikasi penting untuk alokasi portofolio dan harga aset. Berdasarkan teori, jika pasar finansial tidak terintegrasi, keperluan investasi yang berbeda dan rintangan-rintangan investasi akan mempengaruhi pilihan-pilihan portofolio investor dan keputusan pembiayaan bagi perusahaan. Dalam kasus nilai tukar, jika purchasing power parity tidak tetap, nilai tukar mempengaruhi biaya konsumsi di sepanjang negara, dan oleh sebab itu, risiko nilai tukar mempengaruhi harga aset-aset untuk investor luar negeri. Model-model harga aset internasional mengakui semua dampak ini dengan memasukkan risiko nilai tukar sebagai faktor-faktor harga (Solnik, 1974; Stulz, 1981; Adler dan Dumas, 1983) dan dapat digunakan secara empiris untuk menginvestigasi isu integrasi pasar finansial (Dumas dan Solnik, 1995). Berdasarkan teori, salah satu cara negara-negara berkembang dapat mempercepat pertumbuhan mereka adalah dengan menarik modal asing baik itu dalam bentuk investasi portofolio maupun foreign direct investment (FDI). Investasi portofolio dapat diperoleh negara berkembang dari pasar finansial internasional yang dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan menambah tabungan dan mengurangi biaya modal dengan sektor-sektor finansial domestik. Akan tetapi, integrasi keuangan internasional sendiri tidak mengarah kepada suatu bentuk konvergensi di antara negara-negara maju dan berkembang karena pada negara-negara maju terdapat banyak gangguan atau distorsi yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar finansial yang tidak kekal dimana dapat menghilang sepanjang waktu seiring dengan perkembangan pasar finansial. Tingkat pertumbuhan ekonomi utamanya ditentukan oleh produktivitas, bukan oleh gangguan yang dapat terjadi pada pasar modal (Jung, et al., 2004). Konsep integrasi pasar finansial merupakan integral dari pasar finansial internasional dan hal ini menjelaskan bahwa integrasi pasar finansial berubah berdasarkan kondisi ekonomi yang terjadi. Penjelasan ekonomi yang umumnya diterima adalah perubahan tingkat risk aversion dan para investor memerlukan kompensasi atas risiko dari aset-aset finansial (Lucey et al., 2004). 1.2. Rumusan masalah Pembentukan ASEAN pada tahun 1967 lebih ditujukan pada kerja sama yang berdasarkan urusan politik yang memiliki tujuan untuk menciptakan dan menjaga kestabilan kedamaian dan keamanan di wilayah Asia Tenggara. ASEAN yang pada awalnya terdiri dari lima negara anggota yang merupakan negara pendiri, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, kini telah berjumlah sepuluh negara yang bergabung kemudian, yaitu Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Myanmar dan Laos (1997), serta Kamboja (1999). Kemudian kerja sama regional yang awalnya berdasarkan kepentingan politik ini diperkuat oleh semangat pembangunan dan pencapaian stabilitas ekonomi dan sosial di kawasan Asia Tenggara yang dilakukan dalam bentuk usaha percepatan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan budaya dengan tetap memerhatikan kesetaraan dan kemitraan, sehingga menjadi landasan untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera dan damai (Arifin et al., 2008). Negara-negara ASEAN bekerja sama dengan semangat stabilitas ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan, efisiensi, dan ukuran sistem finansial mereka. Perhatian pemerintah ASEAN terhadap reformasi capital market secara dramatis meningkat sejak terjadinya Asian Currency Crisis pada tahun 1997. Beberapa tahun yang lalu, krisis keuangan yang menimpa negara-negara ASEAN menyebabkan negara-negara ASEAN berjuang menghadapi tantangan resolusi utang pada umumnya serta terjadi non-performing loan (NPLs) dan rekapitalisasi perbankan pada khususnya (Plummer dan Click, 2003). Usaha yang dilakukan setelah terjadinya krisis tersebut adalah memberikan prioritas pengembangan pasar obligasi negara-negara Asia. Hal ini disebabkan karena krisis mata uang yang kemudian menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi menjelaskan kenyataan bahwa keseluruhan perekonomian telah bergantung kepada sektor perbankan dan tidak memiliki daya tahan ketika sistem perbankan collapse. Pada saat krisis, ketergantungan yang berlebihan pada pinjaman perbankan untuk pembiayaan telah menjadi karakteristik khusus. Perbankan tersendiri, sebaliknya, telah sering bergantung pada dana pinjaman dalam mata uang dollar jangka pendek pada skala besar karena perbankan tidak mampu meningkatkan dana jangka panjang dalam mata uang masing-masing negara tersebut. Ekspektasi terhadap pengembangan pembiayaan langsung, khususnya pasar obligasi telah meningkat di negara-negara ASEAN+3 (sepuluh negara ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan, dan Cina) (Hirose et al, 2004). Asian Development Bank (ADB) dalam publikasinya dalam Plummer dan Click (2003) mencatat bahwa pada akhir tahun 1998 (masa sebelum krisis berakhir), dugaan biaya restrukturisasi perbankan di ASEAN-4 sebesar US$43 juta di Thailand (32 persen dari GDP), US$70 juta di Indonesia (29 persen dari GDP), US$13 juta di Malaysia (18 persen dari GDP), dan US$3 juta di Filipina (4 persen dari GDP). Biaya bunga tahunan pada penerbitan obligasi negara untuk membayar restrukturisasi perbankan dalam persentase GDP menjadi 3 persen, 3.5 persen, 1.3 persen, dan 0.5 persen di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina secara berturut-turut. Dugaan NPLs di keempat negara ini oleh IMF dalam persentase total utang (persentase GDP) menjadi 35 persen (70 persen), 70 persen (53 persen), 30 persen (42 persen) dan 15 persen (5 persen) secara berturut-turut. Singkatnya, hal ini jelas bahwa krisis pada 1997 telah sangat merugikan sistem finansial ASEAN-4. Dalam kasus yang lebih khusus untuk Indonesia, pentingnya obligasi negara bagi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1 dan Gambar 1.2. Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa pada tahun 1998 hingga tahun 2001 pembiayaan dengan surat berharga-neto tidak ada sedangkan pada tahun 2002 dan 2003 pembiayaan dengan surat berharga-neto terlihat negatif yang besarnya adalah -2 trilliun Rupiah (-0.2 persen terhadap PDB) dan -3 trilliun Rupiah (-0.3 persen terhadap PDB) secara berturut-turut dan setelah itu dimulai pada tahun 2004 hingga tahun 2009 pembiayaan dengan surat berharga-neto semakin meningkat dimana pada tahun 2004 hanya sebesar 7 trilliun Rupiah (0.9 persen terhadap PDB) sedangkan pada tahun 2009 mencapai 99 trilliun Rupiah (8 persen terhadap PDB). Hal yang sebaliknya justru terjadi pada pinjaman luar negeri-neto yang pada tahun 1998 hingga 2002 masih bernilai positif yaitu sebesar 21 trilliun Rupiah (1.7 persen terhadap PDB) pada tahun 1998 dan menurun pada tahun 2002 menjadi tujuh trilliun Rupiah (0.5 persen terhadap PDB) akan tetapi pada tahun 2004 hingga tahun 2009 bernilai negatif. Pada tahun 2004 pinjaman luar negerineto sebesar -28 trilliun Rupiah (-2 persen terhadap PDB) sedangkan pada tahun 2009 pinjaman luar negeri neto sebesar -14 trilliun Rupiah (-1 persen terhadap PDB). Terlihat bahwa kecenderungan untuk melakukan pembiayaan APBN dengan pinjaman utang luar negeri kini menurun dan surat berharga negara kini telah menjadi instrumen pembiayaan utama APBN. Catatan: + Realisasi sementara ++ APBN 2009 Stimulus Fiskal +++ Jumlah SBN Neto pada tahun 2009 sebesar Rp. 99.3 triliun sudah termasuk Pinjaman siaga yang akan digunakan sebesar Rp. 44.5 triliun. Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia (2009) Gambar 1.1. Defisit dan Pembiayaan APBN 1998-2009 Sedangkan pada Gambar 1.2. terlihat bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB dari tahun 1996 hingga 2009 mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya PDB Indonesia. Pada tahun 2004 dari keterangan yang terdapat pada Departemen Keuangan Republik Indonesia dijelaskan bahwa tambahan utang tahun 2004 hingga 2008 menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih besar, sehingga rasio utang menurun tajam dari 57 persen akhir 2004 dan diproyeksikan menjadi sekitar 32 persen akhir 2009 atau lebih baik dari sebelum krisis sekitar 38 persen. Jumlah utang pemerintah dalam bentuk pinjaman memiliki tren yang meningkat sepanjang tahun akan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah utang pemerintah yang melalui surat berharga negara dimana jumlah pinjaman pada tahun 1999 adalah 438 triliun Rupiah dan pada bulan Juni 2009 sebesar 644 triliun Rupiah sedangkan surat berharga negara pada tahun 1999 sebesar 502 triliun Rupiah dan pada bulan juni 2009 sebesar 961 triliun Rupiah. Catatan: *) **) Angka sementara Angka sangat sementara per Juni 2009 Angka PDB 2009 menggunakan asumsi PDB APBN Dokumen Stimulus Rasio pembayaran kewajiban = Bunga utang LN+Amortisasi pinjaman LN Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia (2009) Gambar 1.2. Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB 1996-2009 Kegiatan pembiayaan di sebagian besar negara dilakukan dengan menerbitkan surat berharga negara yang di Indonesia dikenal dengan surat perbendaharaan negara, surat utang negara, dan sukuk. Salah satu surat berharga negara yang menjadi sumber pembiayaan pemerintah adalah obligasi negara dimana di Indonesia dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN). Obligasi negara memiliki jangka waktu yang berbeda-beda. Tingkat jatuh tempo suatu surat obligasi negara dapat mencerminkan tingkat risiko investasi dari obligasi tersebut. Obligasi sebagai instrumen investasi tentunya memberikan pendapatan dimana tingkat pendapatan yang diharapkan dari obligasi dikenal dengan istilah yield. Salah satu jenis obligasi yang menjadi sumber pembiayaan pemerintah adalah obligasi yang berjatuh tempo lima tahun. Gambar 1.3 merupakan gambar data yield obligasi pemerintah yang berjatuh tempo lima tahun periode 25 Juli 2005 hingga 21 Maret 2007 dimana dapat dilihat pergerakan yield obligasi negara dari negara-negara ASEAN+6 (data obligasi negara India tidak tersedia) yang memiliki masa jatuh tempo lima tahun dimana sebagian besar bergerak sama dan relatif memiliki selisih yield yang tidak terlalu jauh. Akan tetapi Indonesia dan Filipina merupakan negara yang memiliki yield yang relatif lebih tinggi. Pada kasus Indonesia terlihat yield obligasi sangat tinggi pada sekitar bulan September dan Oktober dimana diketahui bahwa pada saat ini terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak yang memicu meningkatnya inflasi sehingga untuk meredam laju inflasi maka bank sentral melakukan kebijakan meningkatkan tingkat suku bunga dimana tingkat suku bunga memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan besarnya yield pada obligasi. Penjelasan yang relevan mengenai pergerakan yield obligasi negara ini juga dapat berdasarkan tingkat risiko dari tiap negara. Terlihat bahwa untuk Indonesia peringkat iklim bisnis berdasarkan penilaian Coface adalah C artinya bahwa lingkungan bisnis di Indonesia relatif sulit. Informasi finansial perusahaan kadang tidak tersedia dan ketika tersedia, informasi tersebut tidak reliable sedangkan rating berdasarkan Country @rating Indonesia memiliki peringkat standar B yang artinya outlook ekonomi dan politik Indonesia tidak pasti dan probabilitas gagal bayar perusahaan dapat terjadi (lihat tabel 1.1). 20 20 20 10 10 10 0 0 0 20 20 20 10 10 10 10 0 0 0 0 Cina 20 20 20 10 10 10 10 0 0 0 0 Korea Selatan Filipina 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Singapura 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Thailand 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Indonesia 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… 20 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Australia 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… 26-… 10-… 23-… 9-… 24-… 8-… 23-… 5-Jan-… Malaysia US Selandia Baru Jepang Sumber: CEIC (Diolah) Gambar 1.3. 5-year Government Bond Yield 10 Berdasarkan penjelasan sebelumnya, alasan penting untuk mengembangkan pasar obligasi menurut Plummer dan Click (2003) adalah (1) mengurangi tingkat ketergantungan terhadap perbankan dan mencegah ketidakseimbangan mata uang dan maturity pada masa lalu dan (2) karena sebagian besar negara-negara mengalami situasi yang sama maka pendekatan regional terhadap masalah ini yang tepat dilakukan. Selain itu alasan penting untuk mengembangkan pasar obligasi adalah untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri yang berasal dari usaha meminjam langsung kepada negara lain. Perkembangan pada pasar obligasi dikenal dengan istilah integrasi pasar obligasi yang merupakan salah satu bentuk perkembangan pasar finansial internasional secara khusus. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam kesempatan ini antara lain: 1. Bagaimanakah hubungan pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+ 6? 2. Negara manakah yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6? Tabel 1.1. Rating Tingkat Risiko Negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat Negara Business Climate Rating Country @rating Australia A1 A2 Selandia Baru A1 A2 India A4 A3 Jepang A1 A2 Cina B A3 Korea Selatan A2 A2 Indonesia C B Singapura A1 A2 Malaysia A3 A2 Thailand A3 A3 Filipina B B US A1 A2 Sumber: Coface (2009) Keterangan: Country @rating A1: Situasi ekonomi dan politik sangat baik. A2: Situasi ekonomi dan politik baik. A3: Perubahan yang terjadi pada umumnya baik akan tetapi perubahan pada volatilitas politik dan ekonomi dapat mempengaruhi perilaku pembayaran perusahaan. A4: Guncangan pada outlook politik dan ekonomi serta volatilitas secara relatif dapat mempengaruhi perilaku pembiayaan perusahaan. B: Kondisi politik dan ekonomi yang tidak jelas dan lingkungan yang kadangkadang sulit dapat mempengaruhi pembiayaan perusahaan. C: Lingkungan outlook politik dan ekonomi yang sangat tidak jelas dengan banyaknya kelemahan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku pembiayaan perusahaan. Business Climate Rating A1: Lingkungan bisnis sangat baik. A2: Lingkungan bisnis baik. A3: Lingkungan bisnis relatif baik. A4: Lingkungan bisnis dapat diterima. B: Lingkungan bisnis sedang/cukup. C: Lingkungan bisnis sulit 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya maka tujuan penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis hubungan pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+ 6. 2. Mengetahui negara yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya maka manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis dan masyarakat, dapat menambah pengetahuan mengenai bentuk kerja sama regional dalam bentuk integrasi ekonomi yaitu integrasi pasar obligasi. 2. Bagi pemerintah, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam usaha memperkuat sistem finansial. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai bentuk kerjasama yang merupakan bagian dari teori integrasi ekonomi yaitu dalam integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6 yang terdiri dari 10 negara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru yang secara geografis diketahui terletak dekat satu sama lain dan secara ekonomi memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dan merupakan mitra dagang satu sama lain. Penelitian ini juga membahas pergerakan yield dari obligasi negara di antara negara-negara ASEAN+6. Dengan terbentuknya integrasi pasar obligasi dalam kawasan ASEAN+6 diharapkan ketergantungan pembiayaan terhadap sektor perbankan berkurang dan pemerintah negara dapat memperoleh dana yang lebih banyak untuk pembiayaan dengan mudah. II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Obligasi Obligasi dalam istilah keuangan merupakan debt security dimana pihak yang menerbitkan obligasi berhutang sejumlah besar dana terhadap pihak yang memegang obligasi dan terdapat jangka waktu dari obligasi tersebut dimana penerbit obligasi diharuskan untuk membayar bunga (coupon) dan/atau membayar uang pokok pada masa jatuh tempo kepada pemegang obligasi. Hal ini merupakan kontrak resmi untuk membayar pinjaman dengan interval tingkat suku bunga fixed atau variabel. Jadi, obligasi merupakan utang, pihak yang menerbitkan merupakan pihak yang berhutang, pihak yang memegang obligasi adalah pihak yang memberi pinjaman dan coupon merupakan bunga dari pinjaman tersebut. Obligasi menyediakan dana eksternal bagi para peminjam untuk membiayai investasi jangka panjang mereka atau pada kasus obligasi negara, untuk membiayai pengeluaran pemerintah saat ini. Obligasi dan saham kedua-duanya merupakan securities, akan tetapi perbedaan besar di antara keduanya adalah pemegang saham memiliki hak kepemilikan atas aset dari penerbit misalnya dalam suatu perusahaan sedangkan pemegang obligasi hanya meminjamkan dana kepada pihak yang mengeluarkan obligasi. Obligasi diterbitkan oleh publik yang berwenang, institusi kredit, perusahaan dan institusi supranational dalam pasar primer. Proses yang paling umum dalam menerbitkan obligasi melalui underwriting. Dengan underwriting satu atau lebih perusahaan atau bank securities membentuk suatu kongsi (syndicate), membeli keseluruhan obligasi yang diterbitkan dari penerbit dan menjual ulang obligasi tersebut kepada para investor. Perusahaan security menanggung risiko tidak dapat terjualnya obligasi kepada para investor hingga waktu jatuh tempo. Sedangkan obligasi negara umumnya dilelang. Berikut ini merupakan fitur dari obligasi. Nominal, principal atau face of amount Jumlah dana yang dibayar oleh penerbit dan yang harus dibayar pada akhirnya. Issue price Harga dimana para investor membeli obligasi ketika pertama kali diterbitkan dimana pada umumnya kira-kira sama dengan besarnya jumlah nominal. Keuntungan bersih pendapatan yang diterima oleh penerbit adalah harga penerbitan dikurangi biaya pengeluaran. Maturity date Waktu dimana para penerbit harus membayar sejumlah nominal. Selama semua pembayaran telah dilakukan, para penerbit tidak memiliki lagi kewajiban terhadap para pemegang obligasi setelah masa jatuh tempo. Lamanya waktu hingga masa jatuh tempo sering dihubungkan dengan jangka waktu atau tenor atau maturity obligasi. Kebanyakan obligasi memiliki jangka waktu hingga 30 tahun. Beberapa obligasi diterbitkan dengan masa jatuh tempo hingga 100 tahun dan beberapa bahkan tidak memiliki waktu jatuh tempo sama sekali. Pada awal tahun 2005, suatu pasar dikembangkan dalam euro untuk obligasi dengan waktu jatuh tempo 50 tahun. Pada pasar U.S. Treasury securities terdapat tiga kelompok waktu jatuh tempo: 1) Short term (bills) : jatuh tempo hingga 1 tahun. 2) Medium term (notes) : jatuh tempo antara 1-10 tahun. 3) Long term (bonds) : jatuh tempo lebih dari 10 tahun. Akan tetapi terdapat jenis obligasi yang tidak memiliki maturity yaitu consol bond. Coupon Tingkat suku bunga yang dibayar oleh penerbit obligasi kepada pemegang obligasi. Tingkat suku bunga ini fixed dan juga variabel. Adapun cara untuk menghitung bunga berdasarkan publikasi Departemen Keuangan Republik Indonesia yaitu: Jika kupon 10% dibayarkan dua kali setahun, nominal Rp. 1.000.000,-, maka besarnya bunga per periode pembayaran bunga dihitung sebagai berikut: Bunga = 10% 2 x 1.000.000 = 50.000 High yield bonds adalah obligasi yang dinilai di bawah tingkat investasi oleh credit rating agencies. Karena obligasi ini lebih berisiko daripada investasi obligasi yang memiliki peringkat bagus, investor berharap untuk mendapatkan suatu yield yang lebih tinggi. Obligasi ini juga disebut junk bonds. Coupon dates Waktu dimana para penerbit obligasi membayar coupon kepada para pemegang obligasi. Di US dan UK serta Eropa, sebagian besar obligasi adalah semi-annual yang berarti mereka membayar suatu coupon setiap enam bulan sekali. Pasar obligasi merupakan suatu pasar keuangan dimana partisipan membeli dan menjual debt securities, yang biasanya dalam bentuk obligasi. Referensi-referensi pasar obligasi mengacu kepada pasar obligasi negara karena ukuran, likuiditas, rendahnya resiko kredit, dan sensitivitas terhadap tingkat suku bunga. Karena hubungan yang berlawanan antara bond valuation dan tingkat suku bunga, pasar obligasi sering digunakan untuk mengindikasikan perubahan pada tingkat suku bunga atau bentuk dari yield curve. Securities Industry and Financial Markets Association mengklasifikasikan pasar obligasi yang lebih luas ke dalam lima spesifik pasar obligasi yaitu : Perusahaan Obligasi perusahaan merupakan obligasi yang diterbitkan oleh suatu perusahaan. Hal ini merupakan obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan untuk meningkatkan jumlah dana atau modal dengan tujuan untuk mengekspansi bisnis perusahaan tersebut. Negara/Pemerintah Obligasi negara merupakan obligasi yang diterbitkan oleh suatu pemerintah negara yang didenominasi dalam mata uang domestik negara tersebut. Obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah nasional dalam mata uang asing secara normal lebih dikenal sebagai suatu sovereign bonds. Obligasi negara pertama kali diterbitkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1693 untuk meningkatkan uang dengan tujuan untuk membiayai perang melawan Perancis. Agency Agency debt merupakan suatu sekuriti, biasanya suatu obligasi, yang diterbitkan oleh suatu perwakilan sponsor pemerintah Amerika Serikat. Penawaran oleh perwakilan ini didukung oleh pemerintah tetapi tidak dijamin oleh pemerintah karena agen-agen tersebut merupakan swasta. Agen-agen tersebut dibentuk untuk mengizinkan beberapa orang tertentu untuk mengakses pembiayaan murah seperti pelajar dan pembeli rumah. Beberapa penerbit terkemuka sekuriti agen adalah Student Loan Marketing Association (Sallie Mae), Federal National Mortgage Association (Fannie Mae) dan Federal Home Loan Mortgage Corporation (Freddie Mac). Sekuriti agen biasanya dibebaskan dari pajak lokal dan negara tetapi bukan federal tax. Municipal Municipal bond merupakan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah kota atau lokal atau perwakilan mereka. Penerbit potensial municipal bonds meliputi kota, kabupaten, dan kesatuan pemerintah yang lain di bawah level negara bagian. Pendapatan bunga yang diterima oleh pemegang municipal bonds sering kali bebas dari pajak pendapatan federal dan dari pajak pendapatan negara bagian dimana obligasi tersebut diterbitkan. Untuk partisipan pasar yang memiliki obligasi, mengumpulkan coupon dan menahan hingga maturity tidak berhubungan dengan volatilitas pasar, pokok dan bunga diterima berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi para partisipan yang membeli dan menjual obligasi sebelum jatuh tempo terekspos pada berbagai risiko, yang terpenting perubahan pada tingkat suku bunga. Ketika tingkat suku bunga meningkat, nilai obligasi turun, karena penerbit baru membayar keuntungan yang lebih tinggi. Sebaliknya ketika tingkat suku bunga turun, nilai obligasi meningkat, karena penerbit yang baru membayar lebih rendah. Hal ini merupakan konsep fundamental dari volatilitas pasar obligasi: perubahan harga obligasi berbanding terbalik dengan perubahan pada tingkat suku bunga. Fluktuasi pada tingkat suku bunga merupakan bagian dari kebijakan moneter suatu negara dan volatilitas pasar obligasi merupakan respon terhadap kebijakan moneter yang diharapkan dan perubahan perekonomian. Menurut para ekonom, indikator-indikator ekonomi berlawanan dengan data aktual yang dikeluarkan dan berkontribusi terhadap volatilitas. Konsensus yang ketat umumnya direfleksikan pada harga obligasi dan terdapat pergerakan kecil pada harga pasar setelah dikeluarkan pada on-line data. Jika economic release berbeda dari pandangan konsensus pasar biasanya mengalami pergerakan harga yang pesat karena partisipan menginterpretasikan data tersebut. Ketidakpastian umumnya menyebabkan volatilitas yang lebih sebelum dan sesudah economic release. Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan maupun oleh pemerintah memiliki suatu penilaian atau rating tertentu yang menjelaskan tingkat risiko dari obligasi yang dihadapi oleh investor. Adanya penilaian atas risiko obligasi ini dikarenakan oleh investor ingin memastikan apakah kupon dan pokok atas obligasi dapat diperolehnya sesuai jadwal dan dalam jumlah yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan obligasi tersebut. Untuk melakukan riset mengenai hal ini sangat sulit dilakukan oleh individu oleh karena itu investor umumnya memanfaatkan suatu lembaga jasa pemeringkat untuk menentukan rating suatu institusi penerbit obligasi sehingga tingkat risiko dari obligasi dapat diukur. Tingkat risiko yang semakin tinggi dari suatu obligasi menjelaskan bahwa obligasi tersebut memiliki rating yang rendah begitu pula sebaliknya tingkat risiko yang semakin rendah menjelaskan bahwa obligasi tersebut memiliki rating yang tinggi. Tingkat yield suatu obligasi berbanding terbalik dengan rating dari suatu obligasi dimana hal ini dijelaskan bahwa semakin tinggi rating suatu obligasi maka tingkat yield obligasi tersebut rendah yang dikarenakan oleh tingkat risiko dari obligasi tersebut rendah begitupun sebaliknya. Tingkatan rating obligasi bermacam-macam dari suatu lembaga pemeringkat ke lembaga pemeringkat yang lain. Contohnya adalah Moody’s menggunakan Aaa untuk rating tertinggi, diikuti Aa, A, Baa, Ba, B, Caa, Ca, C, dan D untuk rating terendah. Sedangkan Standard & Poor’s menggunakan AAA untuk rating tertinggi, diikuti AA, A, BBB, BB, B, CCC, CC, dan C untuk yang terendah. Dua lembaga ini merupakan lembaga pemeringkat yang diterima di seluruh dunia. 2.2. Yield Yield merupakan tingkat keuntungan yang diperoleh oleh para investor. Yield obligasi terbagi menjadi dua jenis yaitu yield to maturity merupakan tingkat keuntungan dari investasi pada obligasi yang memiliki tingkat ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan current yield. Sedangkan current yield merupakan yield yang diukur dengan cara membagi tingkat kupon obligasi dengan harga beli obligasi tersebut. Selain itu yield to maturity juga merupakan tingkat diskon yang digunakan untuk mem-present value-kan cash flow obligasi di masa yang akan datang (baik itu kupon maupun pokok) sehingga sama dengan harga belinya. Dan jenis yield ini merupakan yield yang sering digunakan dalam istilah sehari-hari dimana interpretasi lain dari yield adalah juga harga dari uang. Adapun cara menghitung yield berdasarkan publikasi Departemen Keuangan Republik Indonesia ialah: Current yield Current yield mengukur tingkat pendapatan pada saat ini berdasarkan tingkat bunga kupon yang diterima dengan harga pasar saat ini. Obligasi negara seri FR0028 dengan tingkat kupon 10% dibeli pada harga 95 (artinya 95% dari nominal), maka current yield adalah sebesar: Current yield = Current yield = 𝑘𝑢𝑝𝑜𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖 𝐶𝑜𝑢𝑝𝑜𝑛 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 10% 𝑅𝑝 .1.000.000,− = 95% x 𝑅𝑝 .1.000.000,− = 10.526% Dengan demikian, tingkat keuntungan investor sebenarnya adalah sebesar 10.526% bukan 10% (kuponnya). Yield to maturity Yield to maturity mengukur tingkat pengembalian hasil investasi dari obligasi yang dipegang hingga masa jatuh temponya, termasuk pendapatan dari bunga kupon yang diinvestasikan kembali pada tingkat bunga yang besarnya sama dengan tingkat bunga kupon tersebut (Fakhruddin, 2008). Yield to maturity dapat dihitung sebagai berikut: YTM = C 1− 1 1+𝑖 𝑖 +𝑀 1 1+𝑖 𝑛 C = nominal pembayaran kupon semi-annually N = jumlah periode (jumlah tahun dikali 2) I = tingkat bunga periodik (i dibagi 2) M = nominal saat jatuh tempo Seorang investor membeli obligasi yang membayar bunga setiap tahun sekali sebesar 5% dari nominalnya. Nominal obligasi sebesar Rp. 1.000,-. Obligasi tersebut akan jatuh tempo tepat lima tahun mendatang dari saat dibelinya obligasi. Berapa harga obligasi (P) tersebut jika investor menghendaki yield to maturity 4%, 5%, atau 6%? Jika yield to maturity 4%, maka harga obligasi (P): 5%∗1.000 P= 1+4% + 5%∗1.000 1+4% 2 + 5%∗1.000 1+4% 3 + 5%∗1.000 1+4% 4 + 5%∗1.000 1+4% 5 + 5%∗1.000 1+4% 6 = 1.054,52 Dengan demikian, investor harus membayar Rp. 1.054,52 untuk memperoleh obligasi tersebut. Dengan perhitungan yang sama, jika yield to maturity yang diharapkan adalah 5% dan 6% maka harganya secara berturut-turut adalah Rp.1000,- dan Rp.957,87. Selain dari dua jenis yield diatas juga terdapat yield to call yang mengukur tingkat pengembalian hasil investasi atas obligasi yang dipegang hingga obligasi tersebut dibeli kembali oleh penerbit obligasi tersebut. Perhitungan yield to call berdasarkan kupon (coupon rate), jangka waktu hingga call, dan harga pasar (Fakhruddin, 2008). Pergerakan yield obligasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ekspektasi inflasi, persepsi risiko, kondisi likuiditas ekonomi, serta suku bunga acuan bank sentral. Ekspektasi inflasi, persepsi risiko, kondisi likuiditas ekonomi, serta suku bunga memiliki hubungan yang berbanding lurus atau positif dengan besarnya tingkat yield suatu obligasi. 2.3. Obligasi Negara Obligasi negara atau biasa disebut dengan obligasi pemerintah (government bond) merupakan instrumen investasi yang diterbitkan oleh pemerintah suatu negara yang bertujuan sebagai sumber pembiayaan fiskal pemerintah. Menurut laporan tahunan Bank Indonesia dalam Sasanti (2008) obligasi negara diterbitkan dalam denominasi mata uang domestik maupun mata uang asing yang biasa disebut dengan obligasi internasional (sovereign bond). Obligasi negara merupakan obligasi yang memiliki tingkat risiko rendah atau obligasi yang bebas risiko karena pemerintah dapat menaikkan pajak ataupun mencetak uang guna melunasi pembayaran obligasinya pada saat jatuh tempo. Terdapat catatan dimana obligasi pemerintah pernah mengalami gagal bayar seperti yang terjadi pada pemerintah Rusia, walaupun ini sangat langka terjadi. Di Indonesia menurut Departemen Keuangan Republik Indonesia dalam publikasinya (2009) tentang mengenal surat utang negara menjelaskan bahwa obligasi negara dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN) yang merupakan surat berharga negara yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Dasar hukum penerbitan SUN dan pengelolaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN). Tujuan dari penerbitan SUN adalah membiayai defisit APBN, menutupi kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola portofolio utang negara. Sedangkan manfaat dari penerbitan SUN diharapkan dapat menggali potensi pembiayaan APBN yang lebih besar dari investor pasar modal. Sebagai instrumen investasi dengan menyediakan alternatif investasi yang relatif bebas risiko gagal bayar dan memberikan peluang bagi investor dan pelaku investor untuk melakukan diversifikasi portofolionya guna memperkecil risiko investasi. Sebagai instrumen pasar keuangan, Surat Utang Negara dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan dan dapat dijadikan acuan (benchmark) bagi penentuan nilai instrumen keuangan lainnya. Obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah ada yang berupa Surat Utang Negara (SUN) dalam rangka program penjaminan dan pembiayaan kredit program, juga dalam bentuk obligasi negara dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Surat utang untuk program penjaminan dan kredit program bersifat tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) sedangkan dalam rangka rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap) umumnya dapat diperdagangkan (tradable) kecuali hedge bonds (Sasanti, 2008). Obligasi rekap yang diperdagangkan terbatas hanya pada jenis fixed rate bonds yang berseri dan jenis variable rate bonds berseri VR. Secara umum jenis SUN dalam publikasi Departemen Keuangan Republik Indonesia mengenai mengenal surat utang negara dapat dibedakan sebagai berikut: Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yaitu surat berharga negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Di beberapa negara SPN lebih dikenal dengan sebutan T-Bills atau Treasury Bills. Obligasi Negara (ON), yaitu berjangka waktu lebih dari 12 bulan baik dengan kupon atau tanpa kupon. Obligasi Negara dengan kupon memiliki jadwal pembayaran kupon yang periodik (tiga bulan sekali atau enam bulan sekali). Sementara Obligasi Negara tanpa kupon tidak memiliki jadwal pembayaran kupon, dijual pada harga diskon dan pokoknya akan dilunasi pada saat jatuh tempo. Sukuk merupakan obligasi yang diterbitkan berdasarkan syariah Islam. Sukuk dapat pula diartikan dengan Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, atau kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Berdasarkan tingkat kuponnya Obligasi Negara dapat dibedakan menjadi obligasi negara berbunga tetap, yaitu obligasi dengan tingkat bunga tetap setiap periodenya (atau Fixed Rate Bonds) dan obligasi berbunga mengambang yaitu obligasi dengan tingkat bunga mengambang (atau Variable Rate Bonds) yang ditentukan berdasarkan suatu acuan tertentu seperti tingkat suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Obligasi negara juga dapat dibedakan berdasarkan denominasi mata uangnya. Pemerintah Indonesia saat ini menerbitkan dalam Rupiah dan USD. Surat Utang Negara juga dapat diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat (scriplles). Surat Utang Negara yang saat ini beredar, diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat. Surat Utang Negara juga dapat diterbitkan dalam bentuk yang dapat diperdagangkan maupun yang tidak dapat diperdagangkan. Adapun jenis-jenis obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia adalah (Sasanti, 2008): Obligasi seri FR (Fixed Rate) adalah obligasi yang memiliki kupon dengan besaran tingkat bunga tetap, memiliki jangka waktu 3 sampai 10 tahun, yang dibayarkan setiap enam bulan, obligasi ini bertujuan untuk merekapitalisasi bank-bank dan meningkatkan CAR menjadi 4%. Obligasi seri VR (Variable Rate) adalah obligasi yang besaran tingkat bunga kuponnya sama dengan kisaran tingkat suku bunga acuan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) memiliki jangka waktu 3 sampai 10 tahun yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali yang bertujuan merekapitalisasi bank dan meningkatkan CAR bank yang negatif menjadi 0%. Obligasi pemerintah yang disebut HB (Hedge Bonds) yaitu obligasi yang dikaitkan dengan nilai USD yang bertujuan untuk menutup risiko kewajiban bank dalam valuta asing. Setiap triwulan dan pada saat jatuh tempo pembayaran bunga, dilakukan indeksasi terhadap nilai nominal HB atas dasar perkembangan Rupiah. Jenis HB ini tidak dapat diperdagangkan. ORI (Obligasi Ritel Indonesia) adalah obligasi negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan warga negara Indonesia melalui agen penjual. Adapun agen penjual yang dimaksud di sini adalah bank dan atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan ORI. Ketentuan mengenai penjualan ORI ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. Penerbitan ORI ini tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk mengembangkan pasar surat utang domestik, dan untuk mengurangi defisit APBN menurut Bank Indonesia dalam Sasanti (2008). 2.4. Integrasi Ekonomi Istilah “integrasi” dalam ranah ekonomi pertama kali digunakan dalam konteks organisasi suatu industri sebagaimana dikemukakan oleh Machlup dalam Jovanovic dalam bukunya tahun 2006 (Arifin et al, 2008). Integrasi digunakan untuk menggambarkan kombinasi atau penyatuan beberapa perusahaan dalam suatu industri baik secara vertikal maupun horizontal. Kemudian, istilah integrasi ekonomi dalam konteks negara, yang menggambarkan penyatuan beberapa negara dalam satu kesatuan, diawali dengan kemunculan teori Custom Union (CU) Viner. Namun, batasan definisi yang baku tentang integrasi ekonomi di antara para ekonom belum juga ditemukan hingga saat ini. Para ekonom mengembangkan berbagai definisi mengenai integrasi ekonomi dari berbagai sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Di tengah perbedaan tersebut, Jovanovic dalam Arifin et al (2008) dengan ringkas telah mendokumentasikan berbagai definisi integrasi yang berkembang hingga saat ini, antara lain definisi dikemukakan oleh Tinbergen, Balassa, Holzman, Kahneert, serta Menis dan Sauvant. Tinbergen dalam Arifin et al (2008) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi (negative integration) dan sebagai bentuk penyerahan kebijakan pada lembaga bersama (positive integration). Pada sisi lain, Balassa dalam Arifin et al (2008) membedakan integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara-negara yang berbeda, maupun dalam konteks yang statis dengan melihat ada tidaknya perbedaan dalam diskriminasi. Sementara Holzman dalam Arifin et al (2008) menyatakan integrasi ekonomi sebagai situasi di mana dua kawasan menjadi satu atau mempunyai satu pasar yang ditandai harga barang dan faktor produksi yang sama di antara dua kawasan tersebut. Definisi tersebut mengasumsikan tidak ada hambatan dalam pergerakan barang, jasa, dan faktor produksi di antara dua kawasan dan adanya lembagalembaga yang memfasilitasi pergerakan tersebut. Kompleksitas integrasi ekonomi dan tingkatan intensitas integrasi yang berbeda mendorong munculnya analisis untuk membedakan tahapan integrasi ekonomi. Sebagaimana disebutkan oleh Pelkman dalam Arifin et al (2008), pendekatan tahapan integrasi yang digunakan secara luas adalah tahapan integrasi oleh Balassa. Balassa dalam Arifin et al (2008) membagi tahapan integrasi dalam enam tahap (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Tahapan Integrasi Balassa Tahapan Keterangan Preferential Trading Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk Area (PTA) produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif namun tidak menghilangkannya sama sekali. Free Trade Area Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antara negara (FTA) anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota. Customs Union (CU) Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komoditi antarnegara anggota dan menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota. Common Market Merupakan CU yang juga meniadakan hambatan(CM) hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktorfaktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber yang efisien. Economic Union Merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural). Total Economic Penyatuan moneter, fiskal dan kebijakan sosial diikuti Integration dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota. 2.5. Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN (RIAFin) Dalam publikasi Departemen Keuangan Republik Indonesia yang berjudul Integrasi Ekonomi ASEAN (2009), dijelaskan bahwa pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur dilaksanakan pertemuan di antara para Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) yang membahas mengenai keinginan para Kepala Negara ASEAN untuk mentransformasikan ASEAN ke dalam suatu wilayah yang stabil, makmur, mempunyai kompetensi tinggi, mempunyai tingkat perkembangan ekonomi yang seimbang, dan tingkat kemiskinan dan disparitas sosial ekonomi yang rendah di antara negara-negara anggotanya. Keinginan tersebut dituangkan ke dalam sebuah dokumen yang disebut dengan ASEAN Vision 2020 dimana pada tahun 2020 merupakan target waktu untuk mengimplementasikan visi dari para Kepala Negara ASEAN yang dimaksud. Pada ASEAN Summit ke-12 di Cebu, Filipina, para Kepala Negara ASEAN kembali menegaskan komitmen mereka untuk melaksanakan integrasi ekonomi ASEAN dengan mempercepat pelaksanaan ASEAN Economic Community yang semula direncanakan pada tahun 2020 menjadi 2015. Beberapa sebab yang diduga telah mendorong hal ini dipecepat adalah: Kesadaran yang timbul dari masing-masing negara anggota bahwa dengan semakin terintegrasinya ekonomi di wilayah ASEAN maka diyakini bahwa akan lebih banyak manfaat yang dapat diperoleh; Percepatan integrasi ekonomi dalam kawasan ASEAN merupakan reaksi atas terbentuknya blok-blok ekonomi regional di Eropa dan Amerika karena diharapkan dengan membentuk suatu blok baru dapat meningkatkan kompetensi dalam perekonomian global dan dapat bersaing dengan blok yang telah terbentuk sebelumnya; Semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi di Cina dan India juga mendorong tekad untuk segera mewujudkan ASEAN Economic Community agar ASEAN lebih kompetitif baik dalam wilayah Asia sendiri maupun dalam lingkup global; Keinginan untuk saling menjaga dari potensi krisis yang dapat terjadi kapan saja dan yang dapat menjalar ke negara ASEAN lainnya seperti halnya yang terjadi pada krisis mata uang Asia pada tahun 1997. Dalam upaya memfasilitasi implementasi ASEAN Vision 2020 yang kemudian disepakati untuk dipercepat pada tahun 2015 menjadi ASEAN Economic Community, pada bulan Agustus 2003 dalam pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN (AFMM) ke-7 di Makati City, Filipina telah disepakati perumusan Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN (Ria-Fin) yang kemudian diluncurkan pada pertemuan para Kepala Negara ASEAN di Bali pada bulan Oktober 2003. Hal ini meliputi empat sektor yaitu: a) Pengembangan pasar modal yang tujuan utamanya adalah untuk memperdalam pasar finansial dan pencapaian kolaborasi lintas batas pasar modal di antara negara-negara anggota ASEAN. Beberapa hal yang diduga akan menjadi penghambat adalah kurangnya infrastruktur keuangan dan kurang terpenuhinya standar peraturan dan prudential supervision. b) Liberalisasi neraca modal yang tujuan utamanya adalah aliran neraca modal yang lebih bebas pada tahun 2020. Beberapa hal yang diduga akan menjadi penghambat adalah kemungkinan keterlambatan atau penundaan atas komitmen yang telah direncanakan sebelumnya karena adanya krisis keuangan dan kesulitan neraca pembayaran, ketidaklayakan infrastruktur keuangan, akuntansi, audit, diclosure practises, prudential regulation and supervision measures yang membatasi kemampuan sistem perbankan domestik untuk memonitor secara efisien dan efektif aliran modal dalam perekonomian. Selain itu hal yang dapat menjadi penghambat adalah kekurangan kapasitas institusional untuk menilai dan mengatur risiko yang terkait dengan aliran modal yang besar. c) Liberalisasi jasa keuangan yang tujuan utamanya adalah bebasnya aliran jasa keuangan pada tahun 2020. Beberapa keterbatasan yang diduga dapat menjadi penghambat adalah ketidaklayakan sarana infrastruktur, kondisi ekonomi dan keuangan yang tidak mendukung, dan kurangnya pemahaman dan teknik negosiasi liberalisasi sektor jasa keuangan dalam World Trade Organisation (WTO). d) Kerja sama nilai tukar yang tujuan utamanya adalah kerjasama nilai tukar yang lebih dekat untuk meningkatkan perdagangan dalam wilayah dan integrasi ekonomi dan keuangan pada tahun 2020. Hambatan yang dapat dihadapi dalam pembentukan kerjasama ini adalah kesulitan perilaku swasta untuk menyesuaikan dengan tingkat persaingan dagang yang semakin besar di dalam wilayah ASEAN. 2.6. Penelitian Terdahulu Laopodis (2008), menguji tingkat keterkaitan di antara pasar obligasi negara Euro dan non-Euro pada masa sebelum dan sesudah periode perkenalan Euro. Analisis multivariate cointegration mengindikasikan adanya kointegrasi di antara pasar obligasi Euro pada masa sebelum perkenalan Euro akan tetapi lemah dibandingkan dengan periode setelah masa perkenalan Euro. Sebaliknya terdapat bukti hubungan kointegrasi yang kuat di antara pasar obligasi negara-negara nonEuro pada periode setelah perkenalan Euro. Lebih jauhnya, pada periode setelah perkenalan Euro terdapat beberapa keterkaitan bivariate di antara pasar obligasi Euro. Akhirnya, pasar obligasi US muncul untuk menyatukan secara langsung Granger-cause semua pasar obligasi Eropa dalam kedua periode tersebut. Penemuan ini memiliki implikasi penting untuk para investor, dalam hal diversifikasi manfaat dan bagi pembuat kebijakan dan dalam hal melaksanakan kebijakan moneter umumnya dengan benar. Lucey et all (2005), menguji integrasi pasar modal Eropa sepanjang tahun 1985-2002 dengan menggunakan perangkat tiga teknik dinamis yang relatif baru untuk mengukur tingkat time-varying integrasi pasar modal dari perspektif komplementer. Ketiga teknik tersebut disepakati bahwa terdapat suatu peningkatan derajat integrasi di antara pasar modal Eropa khususnya periode tahun 1997-1998. Bukti ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa tahun mendemonstrasikan keinginan politik pemimpin-pemimpin negara Eropa untuk mengintegrasikan perekonomian mereka, hal ini tidak dilakukan hingga pembentukan European Monetary Union dan European Central Bank sepanjang tahun 1997-1998 dimana pasar dianggap bahwa integrasi Eropa pada kenyataannya terjadi. Lucey juga memperlihatkan bahwa meskipun hal ini meningkatkan integrasi, pasar modal Eropa masih lebih didominasi oleh pasar Amerika Serikat dan masih mengarah kepada pasar ini dibandingkan dengan suatu pengukuran internal umum. Plummer dan Click (2002), negara-negara ASEAN telah mencoba untuk mendiversifikasikan ketergantungan mereka pada sektor perbankan dalam kendaraan intermediasi keuangan yang baik, meliputi pasar saham dan fixedincome. Kondisi penawaran dan permintaan seperti ini seperti pasar obligasi khususnya akan semakin penting di negara-negara ini. Sebagian besar negara anggota telah meluncurkan inisiatif untuk mengembangkan pasar fixed-income mereka masing-masing. Lebih dari itu, kerjasama finansial sekarang dilakukan pada prioritas peran di dalam proses kerjasama ekonomi ASEAN. Tulisan ini mempertimbangkan apa yang dibutuhkan untuk memperkuat pasar obligasi individu di ASEAN, sebaik mengembangkan suatu kerangka di dalam dimana pasar obligasi regional dapat diterbitkan. Lucey et all (2004), menggunakan suatu perangkat teknik-teknik yang saling melengkapi untuk memeriksa tingkat time-varying integrasi pasar obligasi negara Eropa. Penelitian ini memperhitungkan return dan harga harian sepanjang periode 1998-2003. Hubungan contemporaneous dan dinamis ditemukan di antara pasar individual Uni Eropa dan pasar Jerman. Bagaimanapun, tidak terdapat bukti untuk ketiga pasar tambahan yaitu Republik Ceko, Hungaria, dan Polandia. Pasar obligasi Inggris juga dimasukkan dalam penelitian ini. Secara keseluruhan, derajat integrasi untuk negara tambahan lemah dan stabil meskipun integrasi politik meningkat. Bhamra (2002), dalam penelitiannya mempelajari efek-efek dari liberalisasi pasar saham pada risk premia ekuitas, volatilitas return saham dan korelasi return saham antar negara-negara. Pada dua negara, waktu yang berlanjut, dinamisasi ekonomi, Bhamra memecahkan ekuilibrium dalam bentuk yang relatif sama dengan pasar saham yang berbeda jenis dan derajat integrasinya. Bhamra menemukan bahwa pembukaan pasar saham hanya dalam satu negara untuk investor eksternal menghasilkan penurunan dalam risiko premium ekuitas dan volatilitas return pasar saham dan peningkatan dalam korelasi return saham antar negara. Volatilitas dari return saham meningkat pada negara yang tidak meliberalisasi pasar sahamnya. Ketika kedua negara membuka pasar sahamnya terhadap investor eksternal, risiko premia dan volatilitasnya berkurang pada kedua negara dan korelasinya meningkat. Lebih jauhnya, ketika negara yang membuka pasar sahamnya relatif kecil, menghasilkan penurunan dalam risiko premium besar. Sebaliknya efek dari volatilitasnya berkurang. Peningkatan korelasi besar ketika hanya satu negara dimana merupakan negara yang membuka pasar sahamnya dalam ukuran kecil terhadap investor eksternal tapi berkurang ketika dua negara yang berukuran tidak sama membuka kedua pasar sahamnya. Bhamra juga menunjukkan perubahan dinamis CAPM dengan tingkat integrasi pasar saham. Schulz dan Wolff (2008) menguraikan faktor pendorong yang berbeda dari integrasi sovereign bond market dengan mempelajari pergerakan yield negaranegara EMU, Inggris, dan Amerika dan 16 obligasi Jerman dalam 15 tahun terakhir. Pada suatu frekuensi mingguan yang rendah, integrasi pasar obligasi meningkat secara berangsur-angsur selama 15 tahun terakhir dalam negara-negara EMU, Inggris, Amerika, dan Jerman. Euro meningkat seiring dengan peningkatan aliran modal internasional, tampak mendorong integrasi frekuensi rendah. Sebaliknya penyesuaian yield untuk mengubah obligasi acuan Jerman pada frekuensi tinggi misalnya dua hari, masih relatif rendah hingga Oktober 2000 ketika suatu peningkatan tajam dalam integrasi dapat diobservasi dalam semua sampel. Peningkatan pada frekuensi integrasi dapat dihubungkan dengan program perdagangan elektronik menjadi fungsional. Perubahan mata uang nasional menjadi Euro tidak dapat menjelaskan peningkatan dramatis pada frekuensi tinggi integrasi. 2.7. Kerangka Pemikiran Pada saat ini dilakukan upaya perjanjian kerja sama perdagangan antara ASEAN dan negara mitra dagang, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru yang secara geografis terletak saling berdekatan guna meningkatkan daya saing tiap negara dalam menghadapi persaingan global. Bentuk kerja sama ini disebut dengan ASEAN + 6. Pada berbagai penelitian dan literatur mengenai pasar finansial dua hal penting yang selalu dibahas adalah mengenai return dan risiko akan tetapi dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai return. Pada penelitian ini akan melihat bagaimana pergerakan yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dan sebaliknya bagaimana pergerakan yield obligasi negara di antara negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia. Dalam penelitian ini juga diperhitungkan data yield Amerika Serikat dimana diketahui bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki perekonomian yang besar di dunia sehingga semua hal yang terjadi baik dalam perekonomian maupun non-ekonomi di Amerika Serikat akan direspon oleh hampir seluruh negara. Oleh karena itu data yang digunakan untuk Amerika Serikat ialah data yield obligasi negara Amerika Serikat pada t-1 dimana hal ini menjelaskan semua negara akan merespon kejadian atau kebijakan yang terjadi pada Amerika Serikat pada hari sebelumnya. Dan kemudian dalam penelitian akan melihat negara manakah yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6. ASEAN Jepang, Cina, Korea Selatan India, Australia, Selandia Baru ASEAN + 6 Return Indonesia Risiko Pasar Obligasi Negara-negara ASEAN+6 Integrasi Pasar Obligasi Negara yang Dominan dalam Sistem Integrasi Pasar Obligasi ASEAN+6 Keterangan: Fokus dalam skripsi ini Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran US III. 3.1. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yield obligasi negara yang memiliki masa jatuh tempo lima tahun untuk negara–negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina), Cina, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru serta Amerika Serikat yang diketahui sebagai negara yang memiliki perekonomian terbesar saat ini. India dalam penelitian ini tidak dimasukkan disebabkan oleh tidak tersedianya data. Data-data yang diperoleh memiliki beberapa kekurangan yang diakibatkan oleh ketersediaan data yang kurang lengkap dan sulitnya mendapatkan data indeks dari yield obligasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data perdagangan obligasi yang tidak lengkap diisi dengan data perdagangan terakhir. Data ini bersumber dari CEIC yang merupakan jenis data sekunder yang berupa gabungan dari deretan waktu (time series). Data yield obligasi negara ini berupa data harian pada periode 25 Juli 2005 hingga 21 Maret 2007. 3.2. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model analisis Vector Autoregression (VAR). Model ini memiliki analisis lanjutan yaitu impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD). Sebelum melakukan analisis model VAR/VECM terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu uji stasioneritas (unit root test), penentuan lag optimal, dan uji kointegrasi. 3.2.1. Vector Autoregression (VAR) Model VAR dikembangkan oleh Cristopher Sims (1980) dan dasarnya hampir sama dengan model untuk menguji Granger’s (1969) Causality (Enders, 2000). VAR adalah model a-priori terhadap teori ekonomi. Namun demikian model ini sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi di mana terjadi saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi. Dalam Pasaribu (2003) model ini juga menjadi dasar munculnya metode kointegrasi Johansen (1988, 1989) yang sangat baik dalam menjelaskan perilaku variabel dalam perekonomian. Ketika kita tidak yakin bahwa suatu variabel sebenarnya merupakan variabel eksogen, perluasan dasar analisis fungsi perubahan adalah untuk memperlakukan setiap variabel secara simetris (Enders, 2000). Model VAR dalam bentuk standar 𝑥𝑡 = 𝐴0 + 𝐴1 𝑥𝑡−1 + 𝑒𝑡 (1) dimana: 𝐴0 = 𝐵 −1 Γ0 𝐴1 = 𝐵 −1 Γ1 𝑒𝑡 = 𝐵 −1 𝜀𝑡 Untuk tujuan tertulis, kita dapat menetapkan 𝑎𝑖0 sebagai elemen i vektor 𝐴0 , 𝑎𝑖𝑗 sebagai elemen pada baris i dan kolom j dari matriks 𝐴1 , dan 𝑒𝑖𝑡 sebagai elemen i pada vektor 𝑒𝑖𝑡 . Hal ini penting untuk dicatat bahwa error terms 𝑒𝑖𝑡 merupakan shocks 𝜀𝑖𝑡 . Karena 𝜀𝑖𝑡 merupakan proses white-noise, hal tersebut mengikuti 𝑒𝑖𝑡 memiliki rataan nol, varians konstan, dan secara individual berturut-turut tidak berkorelasi. (Enders, 2004). Adapun model VAR yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 𝐼𝑁𝐷𝑡 𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑎14 𝑎15 𝑎16 𝑎17 𝑎18 𝑎19 𝑎20 𝐼𝑁𝐷𝑡−𝑘 𝜀1𝑡 𝑀𝐴𝐿𝑡 𝑎21 𝑎22 𝑎23 𝑎24 𝑎25 𝑎26 𝑎27 𝑎28 𝑎29 𝑎30 𝑀𝐴𝑌𝑡−𝑘 𝜀2𝑡 𝑎31 𝑎32 𝑎33 𝑎34 𝑎35 𝑎36 𝑎37 𝑎38 𝑎39 𝑎40 𝑇𝐻𝐴𝐼𝑡−𝑘 𝜀3𝑡 𝑇𝐻𝐴𝐼𝑡 𝑎41 𝑎42 𝑎43 𝑎44 𝑎45 𝑎46 𝑎47 𝑎48 𝑎49 𝑎50 𝑆𝐺𝑃𝑡−𝑘 𝜀4𝑡 𝑆𝑁𝐺𝑡 𝑎51 𝑎52 𝑎53 𝑎54 𝑎55 𝑎56 𝑎57 𝑎58 𝑎59 𝑎60 𝑃𝐻𝐼𝑡−𝑘 𝜀5𝑡 𝑃𝐻𝐼𝑡 = 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 + 𝜀 (2) 𝐶𝐻𝑁𝑡 𝐶𝐻𝑁𝑡−𝑘 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 6𝑡 𝑎71 𝑎72 𝑎73 𝑎74 𝑎75 𝑎76 𝑎77 𝑎78 𝑎79 𝑎80 𝑆𝐾𝑅𝑡−𝑘 𝜀7𝑡 𝐾𝑂𝑅𝑡 𝑎81 𝑎82 𝑎83 𝑎84 𝑎85 𝑎86 𝑎87 𝑎88 𝑎89 𝑎90 𝐽𝑃𝑁𝑡−𝑘 𝜀8𝑡 𝐽𝑃𝑁𝑡 𝑎91 𝑎92 𝑎93 𝑎94 𝑎95 𝑎96 𝑎97 𝑎98 𝑎99 𝑎100 𝑁𝑊𝑍𝑡−𝑘 𝜀9𝑡 𝑁𝑊𝑍𝑡 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝜀 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 10𝑡 𝐴𝑈𝑆𝑡 𝐴𝑈𝑆𝑡−𝑘 Keterangan: 𝐼𝑁𝐷𝑡 = yield obligasi negara Indonesia pada waktu t 𝑀𝐴𝐿𝑡 = yield obligasi negara Malaysia pada waktu t 𝑇𝐻𝐴𝐼𝑡 = yield obligasi negara Thailand pada waktu t 𝑆𝑁𝐺𝑡 = yield obligasi negara Singapura pada waktu t 𝑃𝐻𝐼𝑡 = yield obligasi negara Filipina pada waktu t 𝐶𝐻𝑁𝑡 = yield obligasi negara Cina pada waktu t 𝐾𝑂𝑅𝑡 = yield obligasi negara Korea Selatan pada waktu t 𝐽𝑃𝑁𝑡 = yield obligasi negara Jepang pada waktu t 𝑁𝑊𝑍𝑡 = yield obligasi negara Selandia Baru pada waktu t 𝐴𝑈𝑆𝑡 = yield obligasi negara Australia pada waktu t 𝜀𝑖𝑡 = Guncangan (shocks) yang terjadi pada suatu negara pada waktu t 𝑎𝑖𝑗 = elemen pada baris i dan kolom j dari matriks A Model di atas menjelaskan bahwa pergerakan yield obligasi negara Indonesia pada waktu t dipengaruhi oleh yield obligasi negara-negara ASEAN+6 lainnya pada waktu t-k sebesar a ditambah 𝜀𝑖𝑡 . Langkah awal yang dilakukan sebelum menganalisis dalam model VAR/ VECM adalah uji stasioneritas atau unit root test. Uji unit root dilakukan untuk menganalisis apakah data yang digunakan stasioner atau tidak sesuai dengan bentuk tren deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Jika stasioner maka tidak ada akar-akar unit, sebaliknya jika tidak stasioner maka ada akar-akar unit. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan VAR yaitu VAR dalam bentuk differences atau VECM. Standar pengujian Dickey Fuller dilakukan dengan mengestimasi persamaan 𝑦𝑡 = 𝜌𝑦𝑡−1 + 𝑥𝑡′ 𝛿 + 𝜖𝑡 setelah mengurangi dengan 𝑦𝑡−1 dari kedua sisi persamaan: ∆𝑦𝑡 = 𝛼𝑦𝑡−1 + 𝑥𝑡′ 𝛿 + 𝜖𝑡 , (3) dimana 𝛼 = 𝜌 − 1. Hipotesis nol dan hipotesis alternatif dapat ditulis sebagai berikut, 𝐻0 : 𝛼 = 0 𝐻1 : 𝛼 < 0 dan dievaluasi menggunakan nilai t-ratio untuk α: 𝑡𝛼 = 𝛼 𝑠𝑒 𝛼 dimana 𝛼 merupakan estimasi dari α dan se(𝛼 ) merupakan koefisien standar error. Dickey dan Fuller pada tahun 1979 menunjukkan bahwa dalam hipotesis nol ada akar–akar unit, t-statistics yang diperoleh tidak mengikuti Student’s t-distribution yang konvensional (Enders, 2000). Pada saat ini tabulasi yang sering digunakan adalah tabulasi dari MacKinnon (1991,1996) yang mengimplementasikan simulasi-simulasi yang lebih besar dan mendalam (Enders, 2000). Dalam banyak penelitian model pengujian unit root adalah model Augmented Dickey Fuller (ADF). Secara umum model ini dapat dijelaskan sebagai berikut: ∆𝑦𝑡 = 𝑘 + 𝛼𝑦𝑡−1 + 𝑐1 ∆𝑦𝑡−1 + 𝑐2 ∆𝑦𝑡−2 + … … … + 𝑐𝑝 ∆𝑦𝑡−𝑝 + 𝑇𝑟𝑒𝑛𝑑 + 𝜀𝑡 (4) Hipotesis yang diuji masih tetap sama dengan persamaan (3), namun dalam persamaan (4) ada penambahan lag dari variabel dependen, konstanta dan variabel trend. Langkah berikutnya yang dilakukan setelah uji unit root adalah penentuan lag optimal guna memperoleh panjang selang yang tepat akan dilakukan tiga bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle (Lutkepohl dalam Eviews 6 User’s Guide, 2007). Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yag tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quin Criterion (HQ). Mengacu pada Widyanti dalam Hanie (2006), perhitungan SC adalah sebagai berikut: SC = AIC (q) + 𝑞 𝑇 (log 𝑇 − 1) (5) dimana: q = jumlah variabel T = jumlah observasi AIC = Akaike Information Criterion Perhitungan Akaike Information Criterion (AIC) sebagai berikut: 𝐴𝐼𝐶 = 𝑙𝑜𝑔 Σε2t N + 2𝑘 𝑁 (6) dimana : Σ𝜀𝑡2 = jumlah residual kuadrat N = jumlah sampel yang beroperasi pada persamaan tersebut k = jumlah variabel yang beroperasi pada persamaan tersebut Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki nilai kriteria AIC yang terkecil. Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Pada tahap terakhir ini, nilai Adjusted 𝑅 2 variabel VAR dari masingmasing kandidat selang akan diperbandingkan, dengan penekanan pada variabelvariabel terpenting dari sitem VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai Adjusted 𝑅 2 terbesar pada variabel-variabel penting di dalam sistem. Langkah terakhir yang dilakukan sebelum melakukan analisis dalam model VAR/VECM adalah uji kointegrasi yang dapat menjelaskan bahwa variabel yang diamati dalam penelitian ini akan stabil pada jangka panjang. Esensi dari cointegration adalah bahwa series tidak dapat menyebar ke segala arah jauh dari satu sama lain dan menjelaskan bahwa keberadaan hubungan jangka panjang antara series ini dan series yang lain dapat ditulis pada suatu format Error Correction. Salah satu syarat agar tercapai keseimbangan jangka panjang adalah galat keseimbangan harus berfluktuasi sekitar nol dengan kata lain error term harus menjadi sebuah data time series. Berdasarkan definisi, pasar yang terkointegrasi menunjukkan common stochastic trends. Hal ini, sebaliknya malah membatasi jumlah variasi independen di antara pasar tersebut. Oleh karena itu berdasarkan pandangan para investor, pasar yang terkointegrasi akan menunjukkan peluang diversifikasi terbatas. Persyaratan untuk assets yang terkointegrasi pada suatu economic sense untuk membagi common stochastic factors yang mana merupakan definisi alternatif kointegrasi yang dimaksud oleh Chen dan Knez pada tahun 1995 dalam Lucey et al (2004). Terdapat dua metode primer yang muncul untuk menguji derajat kointegrasi di antara indeks. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat melihat Enders (2000). Pertama adalah metodologi Engle-Granger (Engle dan Granger (1987)) untuk menguji cointegration di antara dua variabel. Kedua adalah teknik Johansen-Juselius (Johansen (1998)) dan Johansen dan Juselius (1990) dalam Lucey et al (2004), untuk menguji cointegration di antara lebih dari dua variabel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan uji kointegrasi adalah Johansen Cointegration Test. Suatu data time series dikatakan terkointegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah didiferensiasi sebanyak d kali. Uji kointegrasi Johansen ditunjukkan oleh persamaan berikut: 𝑝 ∆𝑌𝑡 = 𝛽0 + 𝜋𝑌𝑡−1 Σ𝑖−1 Γ𝑖 Δ𝑌𝑡−1 + 𝜀𝑡 (7) Komponen dari vektor 𝑌𝑡 dikatakan terkointegrasi bila ada vektor β = (β1, β2,…, βn) sehingga kombinasi linier β𝑌𝑡 bersifat stasioner. Vektor β disebut vektor kointegrasi. Rank kointegrasi pada vektor 𝑌𝑡 adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Penelitian ini menggunakan asumsi trend ketiga yaitu linear deterministic trend intercept (no trend). Jika nilai trace statistic lebih besar daripada critical value 10 persen maka hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah kointegrasi diterima sehingga dapat diketahui berapa jumlah persamaan yang terkointegrasi dalam sistem. Tujuan dari uji pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah grup dari variabel yang tidak stasioner pada tingkat level memenuhi syarat proses integrasi yang berarti bahwa apakah terdapat hubungan jangka panjang pada pergerakan yield obligasi negara-negara ASEAN+6. Apabila keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi maka restriksi tambahan harus diberikan dan bentuk VAR yang terestriksi disebut VECM. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai istilah error, karena deviasi terhadap ekuilibrium jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Adapun persamaan VECM (Cointegrating-VAR) secara matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut menurut Verbeek dalam Nugraha (2006) 𝑘−1 𝑖=1 Γ1 Δ𝑌𝑡−𝑖 ∆𝑌𝑡 = − 𝛾𝛽𝑌𝑡−𝑖 + 𝜀𝑡 dimana, Г : koefisien hubungan jangka pendek β : koefisien hubungan jangka panjang γ : kecepatan menuju keseimbangan (speed adjustment) (8) 3.2.2. Uji Granger Causality Pengujian kausalitas multivariat ini dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas yang dapat terjadi di antara variabel-variabel yang terdapat dalam model. Penelitian ini menggunakan metode uji granger causality untuk melihat hubungan tersebut. Hipotesis nol yang diuji menyatakan tidak adanya kausalitas di antara variabel sedangkan hipotesis alternatifnya menyatakan adanya hubungan kausalitas di antara variabel. Untuk menolak atau menerima hipotesis nol, maka dapat melihat nilai probabilitasnya yang dibandingkan dengan tingkat kepercayaan yang pada penelitian ini menggunakan nilai kritis 10 persen. Jika nilai probabilitasnya lebih besar dari 10 persen maka hipotesis nol ditolak yang artinya terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel yang diuji. 3.2.3. Ordering for Cholesky Ordering for Cholesky dilakukan ketika melakukan analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) dengan memilih metode degree of freedom cholesky. Penelitian ini menggunakan uji granger causality dalam menentukan ordering. Negara yang dijadikan urutan pertama yakni negara dengan nilai signifikan paling banyak mempengaruhi negara lain berdasarkan uji granger causality. Jika terdapat lebih dari satu negara yang sama banyak dalam mempengaruhi negara lainnya maka selanjutnya dilihat hubungan antara kedua negara tersebut mana yang paling mempengaruhi negara lainnya. 3.2.4. Impulse Response Function Analisis impuls respons adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap guncangan (shocks) variabel tertentu. IRF juga digunakan untuk melihat guncangan dari satu variabel yang lain dan berapa lama pengaruh tersebut terjadi. IRF dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon dinamik variabel yield obligasi negara yang memiliki jatuh tempo lima tahun di antara negara-negara ASEAN+6. 3.2.5. Forecasting Error Variance Decomposition Analisis dekomposisi varian atau dikenal dengan Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk menghitung dan menganalisis seberapa besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variabel endogen. FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masingmasing inovasi acak atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap variabel lainnya dalam model VAR. Dalam penelitian ini, ukuran kuat lemahnya suatu variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya ditetapkan secara normatif. Ukuran kuatnya suatu variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya ditetapkan lebih besar dari 50 persen dan lemah lebih kecil dari 50 persen. IV. TRANSMISI YIELD OBLIGASI NEGARA DI ANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+6: PENDEKATAN VAR 4.1. Deskriptif Statistik Data Pada Tabel 4.1 disajikan ringkasan statistik data yield harian obligasi untuk setiap negara-negara ASEAN+6 yaitu means, standard deviation, skewness, kurtosis, Jarque-Bera statistic dan p-value untuk data yield harian obligasi negaranegara ASEAN+6 dilampirkan. Rataan yield tertinggi adalah Indonesia (11.845 persen) dan Filipina (8.467 persen) sedangkan yang terendah adalah Jepang (1.093 persen) dan Cina (2.347 persen). Yield obligasi negara harian ini juga terlihat lebih tinggi pada lima negara-negara ASEAN (6.461 persen) dibandingkan dengan lima negara non-ASEAN (4.007 persen). Hal ini menjelaskan bahwa negara-negara ASEAN memiliki tingkat risiko yang tinggi maka negara-negara ASEAN menawarkan tingkat yield yang lebih tinggi untuk mengkompensasi tingkat risiko yang dimilikinya yang salah satu indikatornya adalah tingkat perekonomiaannya relatif tidak stabil agar para investor tertarik untuk berinvestasi pada negara ASEAN sedangkan bagi negara maju, tingkat yield yang ditawarkan rendah karena tingkat risiko yang dimiliki relatif rendah yang salah satu penyebabnya bahwa keadaan perekonomiannya relatif stabil. Sebagai antisipasi, volatilitas (yang diukur dengan standar deviasi) juga lebih tinggi pada negara-negara ASEAN-5 dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Tingginya volatilitas yield pada negara-negara ASEAN-5 menjelaskan bahwa risiko dari return yang diharapkan oleh para investor pada periode berikutnya tinggi sedangkan rendahnya volatilitas pada negara-negara non ASEAN menjelaskan bahwa risiko dari return yang diharapkan oleh para investor pada periode berikutnya rendah. Pada negara-negara non-ASEAN volatilitasnya berdasarkan peringkat dimulai dari 0.2241 persen (Selandia Baru) hingga 0.4742 persen (Cina). Volatilitas diantara negara-negara non-ASEAN adalah 0.2979 persen. Standar deviasi dari kelima negara-negara ASEAN berdasarkan peringkat dimulai dari 0.2881 persen (Singapura) hingga 1.761 persen (Filipina). Pada negara-negara ASEAN, Singapura dan Malaysia merupakan negara-negara yang volatilitasnya paling rendah sedangkan Filipina dan Indonesia merupakan negara yang volatilitasnya tinggi. Volatilitas di antara negara-negara ASEAN adalah sebesar 0.8922 persen. Distribusi data yield obligasi negara terlihat tidak normal. Beberapa negara memiliki nilai skewness yang negatif dan positif. Nilai skewness yang positif menjelaskan bahwa data menjulur ke kanan, data cenderung menumpuk pada nilai rendah sedangkan nilai skewness yang negatif menjelaskan bahwa data menjulur ke kiri, data cenderung menumpuk pada nilai tinggi. Negara-negara yang memiliki nilai skewness yang positif antara lain Selandia Baru, Cina, Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, dan Filipina sedangkan negara-negara yang memiliki nilai skewness yang negatif antara lain Australia, Jepang, Thailand, dan Singapura. Bila dilihat secara umum, negara-negara ASEAN memiliki nilai skewness negatif sedangkan negara-negara non-ASEAN memiliki nilai skewness yang positif. Haung dan Yang, Tay dan Zhu dalam Worthington dan Higgs (2004), telah meneliti positif atau negatif skewness pada return saham-saham Asia. Nilai kurtosis merupakan ukuran keruncingan distribusi data, derajat atau ukuran tinggi rendahnya puncak suatu distribusi data terhadap distribusi normalnya data. Nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 disebut leptokurtosis (distribusi data yang puncaknya relatif tinggi), nilai kurtosis yang lebih kecil dari 3 disebut platikurtis (distribusi data yang puncaknya terlalu rendah sedangkan nilai kurtosis sama dengan 3 disebut mesokurtis (normal). Secara umum negaranegara ASEAN memiliki nilai kurtosis kurang dari 3 yang artinya data tersebut merupakan distribusi platikurtis. Sedangkan secara umum negara-negara nonASEAN memiliki nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 yang artinya merupakan distribusi leptokurtosis. Selain itu nilai kurtosis yang lebih dari 3 berarti bahwa data yield obligasi negara memiliki heavy tails dibandingkan dengan sebaran normal standar. Nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 merupakan gejala awal dari adanya heteroskedastisitas. Bekaert dan Harvey dalam Worthington dan Higgs (2004) telah meneliti mengenai excess kurtosis pada return saham. Statistik terakhir pada Tabel 4.1 adalah perhitungan statistik Jarque-Bera dan p-value yang digunakan untuk menguji hipotesis nol bahwa distribusi data yield obligasi terdistribusi normal. Secara umum data-data negara ASEAN dan non-ASEAN lebih kecil dari 0.1 maka tolak hipotesis nol yang berarti data tidak menyebar normal. Akan tetapi untuk Korea Selatan terlihat bahwa p-value yang dimiliki negara tersebut lebih besar dari 0.1 yang berarti bahwa data yield kedua negara tersebut telah terdistribusi normal. Sebelum melakukan pengolahan data dengan model VAR/VECM, terdapat beberapa hal yang terlebih dahulu harus dilakukan. Hal tersebut berupa pengujianpengujian pra-estimasi yang meliputi uji akar unit, (unit root test), pengujian stabilitas VAR, penentuan lag optimal, dan uji kointegrasi. Kegiatan pengujian ini penting karena sebagian besar data time series mengandung akar unit yang dapat mengakibatkan kurang baiknya model yang diestimasi misalnya hasil estimasi menjadi palsu dan tidak valid (Gujarati, 2003). Tabel 4.1. Ringkasan Statistik Data Yield Harian Obligasi Negara-negara ASEAN+6 AUS SB CHN JPG KOR NonASEAN IND MAL PHI THA SNG ASEAN5 4.2. Mean 5.588880 6.033072 2.347460 1.093303 4.971709 4.0068688 Std. Dev 0.306087 0.224118 0.474230 0.257871 0.226990 0.2978592 Skewness -0.171032 0.096140 1.825024 -0.604763 0.233582 0.2757902 Kurtosis 1.649759 1.905989 17.83080 2.245906 2.902133 5.3069174 JB-Stat 35.00370 22.26038 4208.679 36.65361 4.110266 861.341 p-Value 0.00000 0.000015 0.00000 0.00000 0.128076 0.0256182 11.84514 3.839594 8.467112 5.114875 3.037575 6.4608592 1.613882 0.357463 1.760718 0.440735 0.288178 0.8921952 0.109231 0.667135 0.002564 -0.256708 -1.214900 -0.1385356 2.235562 2.723054 1.680731 2.989882 3.761209 2.6780876 11.40397 33.40397 31.40146 4.757545 116.9708 39.607349 0.003339 0.000000 0.000000 0.092664 0.000000 0.0192006 Unit Root Test Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan pengolahan data dengan model VAR/VECM adalah menguji kestasioneran data variabel yang digunakan untuk masing-masing negara karena sebagian besar data time series mengandung akar unit. Uji unit root merupakan uji yang sangat populer untuk menguji kestasioneran data yang dikenalkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller. Uji ini dikenal juga sebagai uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Jika nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah stasioner yang artinya tidak mengandung akar unit. Apabila data pada level tidak stasioner maka pengujian dilakukan sampai dengan first difference. Hasil pengujian data pada level dengan menggunakan uji Augmented Dicky Fuller (ADF) disajikan dalam Tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2. Uji Akar Unit pada Level Negara Indonesia Malaysia Thailand Singapura Filipina Cina Korea Selatan Jepang Selandia Baru Australia US Keterangan: Nilai ADF -4.619273* -0.738163 -2.453776 -1.475734 -2.042508 -3.982699* -3.212863 -1.810004 -2.567372 -3.015550 -1.364795 Nilai Kritis MacKinnon 1% -3.980272 -3.979493 -3.979747 -3.979543 -3.979645 -3.979747 -3.979543 -3.979443 -3.979443 -3.979443 -3.979850 5% -3.420662 -3.420283 -3.420406 -3.420308 -3.420357 -3.420406 -3.420308 -3.420259 -3.420259 -3.420259 -3.420457 10% -3.133035 -3.132811 -3.132884 -3.132826 -3.132855 -3.132884 -3.132826 -3.132797 -3.132797 -3.132797 -3.132914 Keterangan Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner * stasioner pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10% Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa data yang digunakan sebagian besar masih tidak stasioner atau dalam arti masih memiliki akar-akar unit pada tingkat level. Hal ini dapat diketahui dari nilai t-ADF yang lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Karena sebagian besar data tersebut tidak stasioner pada tingkat level, maka pengujian dilakukan kembali pada tingkat first difference. Tetapi menurut Sims dalam Nugraha (2006) bahwa penggunaan data first difference tidak direkomendasikan karena hal ini akan menghilangkan informasi jangka panjang yang dimiliki. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3. Uji Akar Unit pada First Difference Negara Indonesia Malaysia Thailand Singapura Filipina Cina Korea Selatan Jepang Selandia Baru Australia US Keterangan: Nilai ADF -3.861332* -2.799174** -5.435319* -14.26980* -10.70369* -10.15730* -14.87241* -15.99288* -22.47325* -15.36790* -7.081948* Nilai Kritis MacKinnon 1% 5% 10% -3.445852 -3.445928 -3.445481 -3.445338 -3.445409 -3.445627 -3.445338 -3.445338 -3.445302 -3.445338 -3.445554 -2.868268 -2.868302 -2.868105 -2.868042 -2.868073 -2.868169 -2.868042 -2.868042 -2.868206 -2.868042 -2.868137 -2.570419 -2.570437 -2.570332 -2.570298 -2.570315 -2.570366 -2.570298 -2.570298 -2.570289 -2.570298 -2.570349 Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner * stasioner pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10% ** stasioner pada taraf nyata 10% Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa pada first difference semua data yang digunakan dalam penelitian ini telah stasioner pada taraf 10 persen yang juga berarti tidak memiliki akar-akar unit lagi dan data yang digunakan terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1). Karena penggunaan data pada first difference dapat menghilangkan informasi pada jangka panjang maka untuk menganalisisnya akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi VECM apabila data tersebut stasioner pada first difference dan terkointegrasi. 4.3. Penentuan Lag Optimal Penentuan lag optimum ini sangat penting dalam model VAR karena pengujian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan yang akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders dalam De Jong, 2005). Pengujian ini juga sangat berguna dalam mengatasi atau menghilangkan masalah autokorelasi yang sering terjadi pada data time series sehingga setelah melakukan pengujian ini dan diperoleh lag yang optimal maka diharapkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR dapat tidak muncul lagi. Penentuan lag optimal yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan informasi dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC) yang memiliki nilai terkecil. Dalam penelitian ini lag optimal yang dipilih adalah lag tiga karena memiliki nilai AIC terkecil. Dalam persamaan VAR first differences yang dilakukan terlihat bahwa lag dua yang memiliki nilai AIC lebih kecil akan tetapi karena lag optimal diperoleh dari model VAR first differences maka nilai lag optimal ditambahkan satu karena estimasi yang akan dilakukan dalam persamaan VAR/VECM dalam waktu t bukan t-1. Hasil dari pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 1. 4.4. Pengujian Stabilitas VAR Pengujian ini dilakukan karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan yang tidak stabil, maka IRF (Impulse Response Function) dan FEVD (Forecasting Error Variance Decomposition) menjadi tidak valid (Nugraha, 2006). Untuk menguji kestabilan atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Sistem dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Lutkepohl dalam Eviews 6 User’s Guide, 2007). Berdasarkan uji stabilitas VAR maka dapat diketahui bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan FEVD stabil. Hasil pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 2. 4.5. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi adalah fenomena dimana kombinasi linear dari dua variabel atau lebih yang tidak stasioner akan menjadi stasioner dimana kombinasi linear inilah yang disebut dengan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel Verbeek dalam Nugraha (2006). Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Johansen. Pengujian ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antara variabel yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu pada first differences atau I(0). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Kriteria pengujian kointegrasi pada penelitian ini didasarkan pada trace statistics. Apabila nilai trace statistics lebih besar daripada nilai lima persen maka hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah rank kointegrasi dapat diterima. Hasil pengujian dapat dilihat pada lampiran 3. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa untuk persamaan tersebut terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata sepuluh persen. Informasi jumlah rank kointegrasi ini akan digunakan sebagai model korelasi kesalahan (ECM) yang akan dimasukkan ke dalam model VAR menjadi VECM. 4.6. Granger Causality Test Pengujian ini dilakukan untuk menentukan ordering dengan cara mengurutkan negara-negara yang paling banyak mempengaruhi negara lainnya. Jika ada dua negara yang sama banyak dalam mempengaruhi negara lain, maka dilihat hubungan antara kedua negara tersebut mana yang dipengaruhi dan mana yang mempengaruhi. Hasil pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 5. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan diperoleh ordering sebagai berikut Australia-Indonesia-Filipina-Singapura-Jepang-Selandia Baru-ThailandMalaysia-Cina-Korea Selatan sedangkan ordering yang diperoleh setelah memperhitungkan Amerika Serikat yaitu Indonesia-Australia-Filipina-JepangAmerika Serikat-Selandia Baru-Thailand-Singapura-Korea Selatan-MalaysiaCina. 4.7. Hasil Empiris Estimasi VECM merupakan estimasi yang dilakukan untuk melihat analisis jangka panjang dan jangka pendek. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisis impuls respon (impulse response function/IRF) dengan melihat respons yield di antara masing-masing negara-negara ASEAN+6. Hasil estimasi VECM dapat dilihat pada lampiran 4. 4.7.1. Impulse Response Function (IRF) Berdasarkan hasil analisis impulse response function (IRF) negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia terlihat bahwa pada beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Filipina, dan Thailand mengalami peningkatan yield obligasi negaranya akan tetapi lain halnya dengan yang terjadi pada yield obligasi negara Malaysia yang justru mengalami penurunan. Pada hari pertama ketika terjadi gejolak pada pasar obligasi Indonesia, yield obligasi negara Singapura mengalami peningkatan sebesar 0.16 persen kemudian pada hari kelima mengalami penurunan sebesar 0.12 persen. Penurunan ini tidak berlangsung lama dimana pada hari berikutnya kembali mengalami peningkatan sebesar 0.13 persen. Yield obligasi negara Filipina mengalami peningkatan pada hari pertama terjadinya guncangan pada pasar obligasi Indonesia sebesar 1.79 persen. Kemudian mengalami penurunan pada hari ketiga sebesar 1.38 persen kemudian pada hari kelima kembali mengalami peningkatan sebesar 2.62 persen dan pada hari keenam kembali lagi mengalami penurunan sebesar 2.35 persen. Sedangkan yield obligasi negara Thailand pada hari pertama terjadinya guncangan pada pasar obligasi Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.29 persen. Kemudian pada hari kedua mengalami penurunan yang relatif besar yaitu 0.39 persen kemudian mengalami peningkatan pada hari keempat sebesar 0.29 persen. Selain itu terlihat beberapa negara non-ASEAN atau negara maju yang mengalami peningkatan yield obligasi negaranya yaitu Cina dan Korea Selatan sebagai respon yang terjadi akibat guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia sedangkan sebagian lagi negara maju yang lain mengalami penurunan yield obligasi negaranya yaitu Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Pada hari pertama setelah terjadi guncangan pada pasar obligasi Indonesia ternyata direspon negatif oleh yield obligasi negara Cina yang mengalami penurunan sebesar 0.29 persen kemudian pada hari kedua kembali mengalami penurunan yang relatif sangat rendah sebesar 0.33 persen. Akan tetapi pada hari ketiga terlihat bahwa yield mengalami peningkatan sebesar 0.17 persen dan kemudian terus meningkat hingga mencapai kestabilan dimana efek dari guncangan yang terjadi tidak terlihat lagi. Sedangkan pada hari pertama setelah terjadinya guncangan pada pasar obligasi Indonesia ternyata yield obligasi negara Korea Selatan terlihat bergerak positif yang mengalami peningkatan sebesar 0.11 persen. Akan tetapi pada hari kedua terjadi penurunan yang relatif rendah yaitu sebesar 0.22 persen tetapi penurunan ini tidak berlangsung lama karena pada hari keempat peningkatan kembali terjadi sebesar 0.2 persen dan terus mengalami peningkatan hingga efek dari guncangan tidak lagi terlihat dimana artinya yield telah mencapai kestabilan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut. Australia 0 Indonesia 0.2 1 4 7 1013161922 0 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.01 Filipina 0.05 Singapura 0.002 0 0 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 1013161922 Jepang 0 Selandia Baru 0 1 4 7 1013161922 -0.01 1 4 7 1013161922 -0.01 Thailand Malaysia 0 0 1 4 7 1013161922 -0.005 1 4 7 1013161922 -0.005 Cina Korea Selatan 0.01 0.01 0 0 -0.01 1 4 7 1013161922 -0.01 1 4 7 1013161922 Gambar 4.1. Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia Setelah mengamati bagaimana respon yield obligasi negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia, hal sebaliknya juga menarik untuk diamati yaitu bagaimana respon yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negaranegara ASEAN+6. Pada saat terjadi guncangan pada beberapa pasar obligasi negara-negara ASEAN yaitu Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia ternyata direspon positif oleh yield obligasi negara Indonesia dimana terjadi peningkatan pada besarnya yield obligasi negara Indonesia pada saat terjadi guncangan dalam pasar obligasi negara-negara tersebut. Sedangkan hal sebaliknya yaitu terjadinya penurunan yield obligasi ini terjadi dengan merespon guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Australia, Cina, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Pada hari pertama setelah terjadinya guncangan pada pasar obligasi Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia ternyata belum terlihat adanya perubahan yang terjadi pada yield obligasi negara Indonesia dimana perubahan baru terlihat terjadi pada hari kedua. Respon yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan yang terjadi di pasar obligasi Filipina yaitu pada hari kedua terjadi peningkatan sebesar 0.28 persen kemudian kembali mengalami peningkatan yang relatif tinggi sebesar 1.03 persen dan kemudian mengalami penurunan sebesar 0.78 persen. Sedangkan respon yield obligasi negara Indonesia pada saat terjadinya guncangan pada pasar obligasi Singapura pada hari kedua yaitu terjadi peningkatan yield sebesar 0.57 persen. Kemudian pada hari ketiga mengalami penurunan sebesar 0.51 persen akan tetapi penurunan ini tidak berlangsung lama karena pada hari keempat yield kembali mengalami peningkatan sebesar 0.70 persen dan terus befluktuasi pada kisaran 0.6 persen. Respon yield obligasi Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Thailand dan Malaysia sekilas terlihat sama bergerak pada kisaran perubahan sebesar satu persen. Pada hari kedua setelah terjadinya guncangan pada pasar obligasi Thailand ternyata direspon negatif oleh yield obligasi negara Indonesia yang turun sebesar 0.072 persen dan kemudian mengalami peningkatan pada hari berikutnya sebesar 0.98 persen. Sedangkan guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Malaysia ternyata pada hari kedua direspon positif oleh yield obligasi negara Indonesia sebesar 0.1 persen yang kemudian terus meningkat dimana pada hari ketujuh yield obligasi Indonesia mengalami perubahan sebesar 1 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.2. Australia 0 1 4 7 10 13 16 19 22 Indonesia 0.2 0 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.02 Filipina 0.02 0 Singapura 0.01 0 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Jepang 0 Selandia Baru 0 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.01 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.01 Thailand Malaysia 0.02 0.02 0 0 -0.02 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Cina 0 Korea Selatan 0 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.05 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.05 Gambar 4.2. Respon yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6. 4.7.2. Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk mengetahui bagaimana peranan pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dalam menjelaskan fluktuasi pergerakan yield obligasi negara di antara negara-negara ASEAN+6 serta berapa besar kontribusi masing-masing guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dalam mempengaruhi pasar obligasi negaranegara ASEAN+6. Dengan demikian hasil analisis ini akan menjawab permasalahan yang kedua dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis FEVD yang diperoleh terlihat bahwa semua yield obligasi negara masih dominan dipengaruhi oleh pasar obligasi negara itu sendiri. Selain dipengaruhi oleh pasar obligasi negara itu sendiri, dalam jangka panjang yaitu periode ke 24 yield obligasi negara Australia dipengaruhi oleh pasar obligasi Indonesia sebesar 3.29 persen, yield obligasi negara Indonesia dipengaruhi oleh pasar obligasi Cina sebesar 2.92 persen, yield obligasi negara Filipina dipengaruhi oleh pasar obligasi Malaysia sebesar 4.94 persen, yield obligasi negara Singapura dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 20.98 persen. Yield obligasi negara Jepang dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 14.03 persen, yield obligasi negara Selandia Baru dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 25.24 persen, yield obligasi negara Thailand dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 6.15 persen, yield obligasi negara Malaysia dipengaruhi oleh pasar obligasi Filipina sebesar 8.37 persen, yield obligasi negara Cina dipengaruhi oleh pasar obligasi Korea Selatan 9.04 persen dan yang terakhir yield obligasi negara Korea Selatan dipengaruhi oleh pasar obligasi Thailand sebesar 7.63 persen. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pasar obligasi yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6 adalah Australia. Australia dominan atas empat negara yang relatif besar yaitu Singapura, Jepang, Selandia Baru dan Thailand. Terlihat juga bahwa masing-masing pasar obligasi di negara-negara ASEAN+6 memiliki pengaruh yang relatif kecil sehingga dapat dikatakan hubungan antar pasar obligasinya masih relatif sangat lemah. Hasil analisis FEVD ini dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ASEAN+6 (dalam persen) AUS NWZ 92.53 0.18 AUS 25.2* 64.10 NWZ 14* 0.35 JPN 7.48 1.20 CHN 6.17 6.41 KOR 0.22 0.07 IND 8.12 0.27 MAL 1.99 1.19 FIL 6.15* 0.84 THAI 21* 1.41 SNG Keterangan: * Dominan JPN 1.48 1.29 71 1.23 1.75 0.14 0.14 3.16 2.63 0.29 CHN 1.22 0.04 1.30 67 4.06 *2.9 5.92 2.35 0.22 3.42 KOR 0.04 0.06 0.56 9* 68.2 2.85 0.01 1.02 1.02 0.14 IND 3.30* 5.06 5.73 0.07 0.71 92.25 1.06 1.62 0.07 0.22 MAL 0.23 0.25 0.57 2.27 0.16 0.62 71.71 4.94* 0.58 0.68 FIL 0.13 0.04 3.02 3.38 0.53 0.25 8.37* 82.85 0.06 0.77 THAI 0.19 3.9 3.04 5.74 7.63* 0.53 1.93 0.02 88.13 2.73 SNG 0.70 0.03 0.44 2.58 4.36 0.14 2.46 0.85 0.30 69.4 Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mempertimbangkan pasar obligasi Amerika Serikat yang sebagaimana kita ketahui bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki ukuran perekonomian yang relatif sangat besar. Dalam penelitian kali ini Amerika Serikat hanya sebagai pengontrol atau pembanding untuk melihat bagaimana tingkat integritas antara negara-negara ASEAN+6 terhadap Amerika Serikat dan sebaliknya yaitu untuk melihat bagaimana tingkat integritas yang terjadi antara Amerika Serikat terhadap negara-negara ASEAN+6. Berikut ini pada Gambar 4.3 merupakan hasil analisis impuls respon yield obligasi negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Amerika Serikat. Pada gambar terlihat bahwa apabila terjadi guncangan pada pasar obligasi Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi maka beberapa negara meresponnya positif yaitu dengan mengalami peningkatan perubahan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang mengalami peningkatan perubahan yield obligasi negaranya antara lain Indonesia, Jepang, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Malaysia. Akan tetapi respon sebaliknya juga terjadi pada beberapa yield obligasi negara yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan mengalami perubahan penurunan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang mengalami hal ini antara lain adalah Australia, Selandia Baru dan Cina. Indonesia 0.02 Australia 0 1 4 7 10 13 16 19 22 0 -0.02 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.01 Filipina Jepang 0.05 0.005 0 0 -0.05 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 US Selandia Baru 0.05 0.01 0 0 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.01 1 4 7 10 13 16 19 22 Thailand Singapura 0.02 0.01 0 0 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Korea Selatan Malaysia 0.02 0.01 0 0 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Cina 0.05 0 -0.05 1 4 7 10 13 16 19 22 Gambar 4.3. Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Amerika Serikat. Pada Gambar 4.4 berikut merupakan hasil analisis impuls respon yield obligasi negara Amerika Serikat ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negaranegara ASEAN+6. Berdasarkan gambar hasil analisis impuls respons di atas terlihat bahwa ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 ternyata beberapa negara di respon positif oleh yield obligasi negara Amerika Serikat dimana terjadi perubahan peningkatan yield obligasi negara Amerika Serikat. Beberapa negara yang direspon positif oleh yield obligasi negara Amerika Serikat adalah Australia, Jepang, Selandia Baru, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Cina. Akan tetapi respon sebaliknya juga terjadi pada yield obligasi negara Amerika yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan mengalami perubahan penurunan yield obligasi negara Amerika Serikat. Negara-negara yang direspon negatif dalam hal ini antara lain adalah Indonesia, Filipina, dan Singapura. Indonesia 0 1 4 7 10 13 16 19 22 Australia 0.04 0.03 0.02 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.02 Filipina 0 Jepang 0.01 1 4 7 10 13 16 19 22 0 1 4 7 10 13 16 19 22 -0.005 US Selandia Baru 0.05 0.01 0 0 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Korea Selatan Thailand 0.01 0.01 0 0 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Malaysia Singapura 0.005 0.002 0 0 -0.005 1 4 7 10 13 16 19 22 1 4 7 10 13 16 19 22 Cina 0.005 0 -0.005 1 4 7 10 13 16 19 22 Gambar 4.4. Respon yield obligasi negara Amerika Serikat terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6. Berikut ini merupakan hasil analisis forecasting error variance decomposition (FEVD) dari negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat dengan horizon waktu 24 hari. Terlihat bahwa dalam 24 hari yield obligasi negara dari masing-masing negara tersebut masih didominasi oleh pasar obligasi negara masingmasing. Selain itu dari hasil analisis FEVD yang dilakukan diperoleh informasi bahwa yield obligasi negara Indonesia dipengaruhi oleh pasar obligasi Korea Selatan sebesar 3.37 persen, yield obligasi negara Australia dipengaruhi oleh pasar obligasi Indonesia sebesar 6.88 persen, yield obligasi negara Filipina dipengaruhi oleh pasar obligasi Malaysia sebesar 6.17 persen, yield obligasi negara Jepang dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 11.90 persen, yield obligasi negara Amerika Serikat dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 49.33 persen, yield obligasi negara Selandia Baru dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 21.14 persen, yield obligasi negara Thailand dipengaruhi oleh pasar obligasi negara Australia sebesar 5.48 persen, yield obligasi negara Singapura dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 18 persen, yield obligasi negara Korea Selatan dipengaruhi oleh pasar obligasi Thailand sebesar 7.93 persen, yield obligasi negara Malaysia dipengaruhi oleh pasar obligasi Filipina sebesar 7.90 persen dan yield obligasi Cina dipengaruhi oleh pasar obligasi Amerika Serikat sebesar 7.85 persen. Berdasarkan hasil analisis FEVD diketahui bahwa pasar obligasi negara yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat adalah Australia dimana Australia dominan atas pasar obligasi Jepang, Amerika Serikat, Selandia Baru, Thailand dan Singapura. Tabel 4.5. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) ASEAN+6 dan Amerika Serikat (dalam persen). AUS NWZ 87.74 0.44 AUS 21.14* 62.44 NWZ 11.9* 0.54 JPN 6.48 1.5 CHN 6.28 4.91 KOR 0.02 0.14 IND 5.79 0.04 MAL 1.68 0.68 FIL 5.48* 0.16 THAI 17.99* 0.39 SNG 49.33* 1.07 US Keterangan: *Dominan JPN 1.28 2.17 73.5 5.84 1.85 0.02 0.03 2.67 3.04 4.46 4.16 CHN 0.72 0.24 0.02 58.24 1.77 0.01 0.14 0.15 0.06 0.28 0.02 KOR 0.25 0.22 1.04 7.03 71.2 3.37* 0.06 1.57 0.94 0.08 1.21 IND 6.88* 6.79 6.77 1.44 0.25 94.5 0.97 1.92 0.15 0.06 10.91 MAL 0.07 0.01 0.53 7.77 0.06 0.68 81.05 6.16* 0.48 0.54 0.03 FIL 0.12 0.05 2.91 1.05 0.45 0.33 7.9* 84.83 0.06 0.37 0.53 THAI 0.59 6.55 1.94 2.1 7.93* 0.21 0.91 0.03 84.12 3.31 2.71 SNG 0.7 0.14 0.55 0.71 1.39 0.16 2 0.22 0.38 65.78 0.13 US 1.22 0.25 0.32 7.85* 3.9 0.59 1.09 0.09 5.12 6.73 29.9 Pada hasil analisis IRF untuk semua negara yang terdapat pada lampiran terlihat bahwa pasar obligasi di antara negara-negara maju memiliki perilaku pasar yang relatif sama di antara sesama negara maju dalam jangka pendek terlihat bahwa terjadi pergerakan respon positif pada hampir semua yield obligasi negara-negara maju dalam ASEAN+6 tersebut. Sedangkan dalam jangka panjang terlihat perilaku pasar di antaranya relatif stabil. Hal yang sama juga terjadi pada sesama negara berkembang sebagaimana yang dapat dilihat pada hasil analisis IRF untuk semua negara yang terdapat pada lampiran dimana terlihat bahwa di antara sesama negara-negara berkembang memiliki perilaku pasar yang relatif sama di antara sesama negara berkembang dalam jangka pendek terlihat terjadi pergerakan respon positif pada hampir semua yield obligasi negara-negara berkembang dalam ASEAN+6 tersebut. Sedangkan dalam jangka panjang terlihat perilaku pasar di antaranya reatif stabil. Akan tetapi perilaku respon negatif dalam jangka pendek umumnya dijumpai terjadi apabila terjadi guncangan pada pasar obligasi negara maju terhadap pergerakan yield obligasi negara-negara berkembang ataupun sebaliknya terjadi guncangan pada pasar obligasi negara berkembang terhadap pergerakan yield obligasi negara maju. Analisis impuls respon selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6. V. 5.1. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis VECM yang telah dilakukan, pada analisis impulse response function (IRF) terlihat bahwa adanya hubungan di antara pasar obligasi negara-negara ASEAN+6. Dimana hal ini dijelaskan dengan adanya respon yang dapat dilihat berupa fluktuasi yield yang terjadi dalam jangka pendek akibat guncangan yang terjadi dalam pasar obligasi negara-negara ASEAN+6. Hal ini merupakan hubungan yang dinamis di antara negara-negara ASEAN+6. Sedangkan berdasarkan hasil analisis forecasting error variance decomposition untuk kawasan ASEAN+6 maupun dengan Amerika Serikat diketahui bahwa negara yang dominan dalam mempengaruhi fluktuasi yield obligasi negara dari negara-negara ASEAN+6 maupun Amerika Serikat adalah Australia. Dari hasil analisis FEVD dan IRF juga diketahui bahwa hubungan yang terjadi di antara masing-masing pasar obligasi negara ASEAN+6 adalah relatif sangat lemah. Hubungan yang relatif sangat lemah ini menimbulkan dugaan bahwa hal ini disebabkan akibat terlalu banyaknya pilihan bagi para investor untuk memindahkan dana investasinya pada negara-negara yang berada dalam kawasan ASEAN+6 jika terjadi guncangan dalam salah satu negara dalam kawasan ini Dengan terbentuknya integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6 ini diyakini bahwa hal ini akan memudahkan negara memperoleh dana dalam pembiayaan fiskalnya. Sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi tanpa harus mengandalkan sumber pembiayaan yang lebih berisiko misalnya dengan berhutang pada negara lain ataupun terlalu bergantung pada sektor perbankan. 5.2. Saran Saran yang ingin disampaikan dalam penelitian ini adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan, usaha untuk membentuk kerjasama integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6 belum dapat dilakukan dikarenakan oleh hubungan yang terjadi di antara negara-negara tersebut masih relatif lemah. Sedangkan saran yang ingin disampaikan untuk penelitian selanjutnya adalah hendaknya dilakukan penelitian mengenai risiko yang terdapat dalam pasar obligasi negara-negara ASEAN+6, selain itu dalam penelitian berikutnya juga mempertimbangkan dampak krisis yang terjadi dan data penelitian hendaknya merupakan data yang terbaru dan lebih lengkap. DAFTAR PUSTAKA Adam, K, T. Jappelli, A. Menichini, M. Padula, M. Pagano. 2002. Analyse, Compare, and Apply Alternative Indicators and Monitoring Methodologies to Measure the Evolution of Capital Market Integration in the European Union. Adler, M., dan B. Dumas. 1983. “ International portfolio choice and corporate finance: A Synthesis. Journal of Finance 38, 925-984. Arifin, S, R. A. Djaafara, dan A. S Budiman. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. PT Elex Media Komputindo: Jakarta Asian Development Bank, 1999. Rising to the Challenge in Asia: A Study of Financial Markets, Volume 2, Special Issues, p. 6. Baker, M, R. Greenwood, dan J. Wurgler. 2002. The Maturity of Debt Issues and Predictable Variation in Bond Returns. Bartram, S. M, S. J. Taylor dan Y. H. Wang. 2004. The Euro and European Finacial Market Integration. Bhamra, H. S. 2002. International Stock Market Integration: A Dynamic General Equilibrium Approach. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2009. Investasi pada Obligasi Negara. Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Jakarta. _____________________________________. 2009. Istilah Umum Terkait dengan Investasi pada Surat Utang Negara. Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Jakarta _____________________________________. 2009. Mengenal Surat Utang Negara. Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Jakarta. _____________________________________. 2009. Integrasi Ekonomi ASEAN. Pusat Kerja Sama Internasional Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta. De Jong, F. dan F. A. de Roon. 2001. Time-Varying Market Integration and Expected Returns in Emerging Markets. Tinbergen Institute Discussion Paper. TI 2001-113/2. Dumas, B and S. Bruno. 1995. The world price of foreign exchange risk.” Journal of Finance 2, 445-479. Eichengreen, B. 2004. The Development of Asian Bond Markets. BIS, 30. Enders, W. 2000. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd. New York, USA. Fair, Ray C. 2001. Shock Effects on Stocks, Bonds, dan Exchange Rates. Fama, E. 1991. "Efficient Capital Markets II". Journal of Finance, 46, pp. 1575-617. Fakhruddin, H. M. 2008. Istilah Pasar Modal A-Z.PT Elex Media Komputindo: Jakarta Ferson, W. E., and C. R. Harvey,1993, “The Risk and Predictability of International Equity Returns,” Review of Financial Studies 6 (3), 527-566. Ferson, W.E. and R.A. Korajczyk 1995, “Do arbitrage pricing models explain the predictability of stock returns?", Journal of Business 68, 309-349. Hale, G. 2003. Bonds or Loans? The effect of Macroeconomic Fundamentals. Cowless Foundation Discussion Paper No. 1403. Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal dan Riil diantara Negara-Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harvey, C. R. 1991. The world price of covariance risk. Journal of Finance 46, 111157. Hirose, M, T. Murakami dan Y. Oku. 2004. Development of the Asian Bond Markets and Business Opportunities. NRI Papers No. 82. Jikang, Z dan W. Xinhui. 2004.Financial Market Integration in Euro Area. The 4th Meeting of the European Studies Centers in Asia: EU Enlargement and Institutional Reforms and Asia. China Jung, Y, F. M Song dan S. C Jeon. Financial Integration in Northeast Asia: Prospek and Implications. Laopodis, N. T. 2008. Government Bond Market Integration within European Union. International Research Journal of Finance and Economics. Lucey,B. M, J. Kim dan E. Wu. 2004. Dynamics of Bond Market Integration between Existing And Accession EU Countries. IIIS Discussion Paper No. 25 Nugraha, F. W dan Noer A.A. 2008. Efek perubahan (pass-through effect) kurs terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 1 (1) : 90-109 Pasaribu, S. H. 2003. Modul Pelatihan (Paket C) EVIEWS untuk Analisis Runtut Waktu (Time Seires Analysis). Departemen Ilmu Ekonomi IPB, Bogor. Partisiwi, T. 2008. Analisis Kemungkinan Penyatuan Mata Uang (Currency Unification) Di ASEAN+3: Pendekatan Keragaman Exchange Rate [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Plummer, M. G dan R. Click. 2003. Bond Market Development and Integration in ASEAN. Working Paper Series Vol. 2003-07. Sasanti, N. Y. 2008. Analisis Pengaruh Variabel-variabel Makroekonomi terhadap Pertumbuhan Obligasi Pemerintah di Indonesia [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Schulz, A dan G. B. Wolff. 2008. Sovereign Bond Market Integration: The Euro, Trading Platforms And Globalization. Economic Papers 332. Solnik, B. 1974. An equilibrium model of the international capital market. Journal of Economic Theory 8, 500-524. Stulz, R. M. 1981. A model of international asset pricing. Journal of Financial Economics 9, 383-406. Worthington, A dan H. Higgs. 2004. Transmission of Equity and Volatility in ASIAN Developed and Emerging Markets: A Multivariate GARCH Analysis. International Journal of Financial Economic. 9: 71-80. 1. Uji Lag Optimal ASEAN+6 VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D_JPN D_THAI D_AUS D_IND D_PHI D_NWZ D_SGP D_MAY D_CHN D_SKR Exogenous variables: C Date: 07/02/09 Time: 11:49 Sample: 7/25/2005 3/21/2007 Included observations: 428 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 6474.526 6605.273 6710.158 6779.691 6842.272 NA 254.7727 199.4775 128.9933* 113.1721 3.60e-26 3.12e-26 3.05e-26* 3.52e-26 4.21e-26 -30.20807 -30.35174 -30.37457* -30.23220 -30.05734 -30.11323* -29.30851 -28.38294 -27.29218 -26.16893 -30.17061* -29.93972 -29.58799 -29.07105 -28.52164 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion ASEAN+6 dan Amerika VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: US AUSTRALIA CHINA INDONESIA JAPAN MALAYSIA NEWZEALAND PHILIPINES SINGAPORE SOUTHKOREA THAILAND Exogenous variables: C Date: 07/09/04 Time: 21:59 Sample: 7/26/2005 3/21/2007 Included observations: 428 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 579.8085 7646.397 7767.426 7850.579 7928.161 NA 13736.92 229.0507 153.0940* 138.8507 1.94e-15 1.56e-29* 1.56e-29 1.87e-29 2.30e-29 -2.657984 -35.11400 -35.11414* -34.93728 -34.73440 -2.553660 -33.86213* -32.71471 -31.39029 -30.03985 -2.616782 -34.61958* -34.16650 -33.53642 -32.88031 * indicates lag order selected by the criterion 2. Uji Stabilitas VAR ASEAN+6 Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D_JPN D_THAI D_AUS D_IND D_PHI D_NWZ D_SGP D_MAY D_CHN D_SKR Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 07/02/09 Time: 11:48 Root -0.069432 + 0.579856i -0.069432 - 0.579856i 0.506835 0.469531 + 0.143156i 0.469531 - 0.143156i 0.067906 + 0.431449i 0.067906 - 0.431449i -0.371813 - 0.047541i -0.371813 + 0.047541i -0.056405 - 0.302563i -0.056405 + 0.302563i 0.077073 + 0.295069i 0.077073 - 0.295069i -0.304414 0.006095 + 0.269143i 0.006095 - 0.269143i 0.228081 + 0.131520i 0.228081 - 0.131520i -0.155091 + 0.135769i -0.155091 - 0.135769i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Modulus 0.583998 0.583998 0.506835 0.490869 0.490869 0.436760 0.436760 0.374840 0.374840 0.307776 0.307776 0.304969 0.304969 0.304414 0.269212 0.269212 0.263284 0.263284 0.206123 0.206123 ASEAN+6 dan Amerika Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: US AUSTRALIA CHINA INDONESIA JAPAN MALAYSIA NEWZEALAND PHILIPINES SINGAPORE SOUTHKOREA THAILAND Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 07/09/04 Time: 21:59 Root 0.997449 0.993149 0.984814 - 0.023505i 0.984814 + 0.023505i 0.954662 - 0.024979i 0.954662 + 0.024979i 0.938628 0.922859 0.868911 - 0.014764i 0.868911 + 0.014764i 0.300502 - 0.228728i 0.300502 + 0.228728i 0.308741 -0.217261 0.143324 - 0.151323i 0.143324 + 0.151323i -0.196782 0.155223 + 0.015214i 0.155223 - 0.015214i -0.017228 - 0.111783i -0.017228 + 0.111783i 0.056446 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Modulus 0.997449 0.993149 0.985094 0.985094 0.954989 0.954989 0.938628 0.922859 0.869036 0.869036 0.377648 0.377648 0.308741 0.217261 0.208423 0.208423 0.196782 0.155967 0.155967 0.113103 0.113103 0.056446 3. Uji Kointegrasi ASEAN+6 Date: 07/02/09 Time: 11:59 Sample (adjusted): 7/29/2005 3/21/2007 Included observations: 429 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: JAPAN THAILAND AUSTRALIA INDONESIA PHILIPINES NEWZEALAND SINGAPORE MALAYSIA CHINA SOUTHKOREA Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8 At most 9 0.151103 0.126183 0.121425 0.076302 0.056190 0.048797 0.030696 0.020546 0.016900 0.000395 293.7623 223.4847 165.6192 110.0832 76.03366 51.22442 29.76246 16.38768 7.481437 0.169572 239.2354 197.3709 159.5297 125.6154 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466 0.0000 0.0013 0.0223 0.2969 0.5052 0.5839 0.7310 0.6847 0.5224 0.6805 Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values ASEAN+6 dan Amerika Date: 07/09/04 Time: 22:00 Sample (adjusted): 8/01/2005 3/21/2007 Included observations: 428 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: US AUSTRALIA CHINA INDONESIA JAPAN MALAYSIA NEWZEALAND PHILIPINES SINGAPORE SOUTHKOREA THAILAND Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8 At most 9 At most 10 0.166927 0.139864 0.127484 0.086333 0.069131 0.058784 0.043109 0.029476 0.023125 0.016694 0.000185 345.2175 267.0500 202.5655 144.1973 105.5537 74.89317 48.96387 30.10355 17.29833 7.284580 0.079340 285.1425 239.2354 197.3709 159.5297 125.6154 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466 0.0000 0.0014 0.0270 0.2499 0.4265 0.5474 0.6821 0.7137 0.6180 0.5448 0.7782 Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 4. Estimasi VECM ASEAN+6 Cointegrating Eq: CointEq1 AUSTRALIA(-1) 1.000000 INDONESIA(-1) 0.047549 (0.07336) [ 0.64817] PHILIPINES(-1) -0.100119 (0.06799) [-1.47262] SINGAPORE(-1) -0.701854 (0.32134) [-2.18415] JAPAN(-1) -0.207035 (0.42855) [-0.48311] NEWZEALAND(-1) -0.425824 (0.25331) [-1.68106] THAILAND(-1) 0.365691 (0.17304) [ 2.11335] MALAYSIA(-1) 0.556792 (0.28945) [ 1.92362] CHINA(-1) -1.026453 (0.12717) [-8.07164] SOUTHKOREA(-1) 0.743430 (0.25000) [ 2.97372] C -5.669795 ASEAN+6 dan Amerika Cointegrating Eq: CointEq1 INDONESIA(-1) 1.000000 AUSTRALIA(-1) 51.10469 (16.7205) [ 3.05641] PHILIPINES(-1) -0.100008 (1.71928) [-0.05817] JAPAN(-1) 31.37126 (18.6788) [ 1.67951] US(-1) -68.36102 (17.0600) [-4.00710] NEWZEALAND(-1) -7.633266 (13.6532) [-0.55908] THAILAND(-1) 3.501948 (4.95303) [ 0.70703] SINGAPORE(-1) 12.11848 (11.7068) [ 1.03516] SOUTHKOREA(-1) 29.86146 (8.47246) [ 3.52453] MALAYSIA(-1) 31.97994 (10.4230) [ 3.06820] CHINA(-1) -39.42235 (4.48336) [-8.79304] C -203.6973 5. Uji Granger Causality ASEAN+6 IND MAL 0.5660 0.6143 THA 0.0006 0.0082 0.2129 0.1107 0.0008 0.0506 0.0071 0.1200 0.0116 0.4840 0.0047 0.0132 0.0040 0.7246 0.0016 0.0043 0.0495 0.1155 0.1128 0.0730 IND MAL FIL SNG 0.0380 0.4760 0.1756 0.0686 CIN KOR THA FIL SNG CIN KOR 0.8629 0.0045 0.2372 0.2375 0.5033 0.0562 0.6934 0.3870 0.0142 0.1802 0.3735 0.0028 0.3170 0.1390 0.5981 0.3580 JPG 0.1897 0.1592 0.5416 0.6278 0.8008 0.0033 0.1891 0.8547 0.3868 0.8085 0.6479 0.0020 0.1902 0.1102 SB 0.9394 0.0460 AUS 0.0318 0.0980 0.7169 0.0269 0.2958 0.1507 0.9608 0.0221 0.5800 0.1094 0.1636 0.8961 0.3470 0.2349 0.8624 0.0043 0.6442 0.0916 JPG SB 0.1136 0.0310 0.0013 0.1719 0.0019 0.8321 AUS 0.1724 0.0163 0.1934 0.0323 0.3474 0.3933 0.2308 1.E-05 ASEAN+6 dan Amerika Serikat IND MAL THA FIL SNG IND MAL THA FIL SNG 0.5976 0.6034 0.0103 0.0005 0.0010 0.0503 0.0088 0.1193 0.0918 0.2133 0.4751 0.0380 0.0560 0.1766 0.7288 0.0037 0.1899 0.2705 0.0137 0.2124 0.0043 0.0016 0.5074 0.0570 CIN 0.4706 0.0146 0.0043 0.8820 0.1264 0.0474 0.3926 0.6973 0.0032 0.3751 KOR 0.0655 0.1131 JPG SB 0.5425 0.5864 0.8014 0.0031 0.1899 0.8541 0.3835 0.8099 0.1507 0.0013 0.0172 0.1738 0.3040 0.1518 0.1911 0.1469 0.5378 0.1136 CIN KOR JPG SB AUS US 0.0053 0.0137 0.1868 0.1906 0.1278 0.0307 0.0487 0.9470 0.3114 0.1377 0.5847 0.3899 0.0022 0.6481 0.0196 0.9646 0.1924 0.0314 AUS 0.0323 0.1125 0.7188 0.0256 0.8368 0.0019 0.1630 0.8962 0.3474 0.2362 0.8539 0.0040 0.6489 0.1031 0.3876 0.3454 0.2266 1.E-05 US 0.0043 0.5042 0.6557 0.0645 0.3735 0.0094 0.9867 0.3380 0.2047 0.9064 0.7456 0.0049 0.1022 0.2269 0.0946 0.2015 0.0011 0.0929 0.0248 0.4129 6. Impulse Response Function ASEAN+6 Respon terhadap Australia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to AUSTRALIA Response of INDONESIA to AUSTRALIA .041 Response of PHILIPINES to AUSTRALIA -.006 Response of SINGAPORE to AUSTRALIA .04 .0160 -.007 .040 .0155 .03 -.008 .0150 .039 -.009 .02 .0145 .038 -.010 .0140 .01 .037 -.011 .036 .0135 -.012 2 4 6 8 .00 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of JAPAN to AUSTRALIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .0130 2 Response of NEWZEALAND to AUSTRALIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to AUSTRALIA .013 .022 .020 .012 .020 .015 .011 .018 .010 .010 .016 .005 .009 .014 .000 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to AUSTRALIA .012 .010 .008 .006 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of CHINA to AUSTRALIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .004 .002 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to AUSTRALIA .04 .016 .015 .03 .014 .02 .013 .01 .012 .00 .011 -.01 .010 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Indonesia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to INDONESIA .000 Response of INDONESIA to INDONESIA .18 Response of PHILIPINES to INDONESIA .032 .16 -.002 Response of SINGAPORE to INDONESIA .0018 .0017 .028 .14 .0016 .024 -.004 .12 .0015 .020 .10 .0014 -.006 .016 .08 -.008 .06 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to INDONESIA -.002 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .000 .0012 2 Response of NEWZEALAND to INDONESIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to INDONESIA .000 -.002 -.004 .0013 .012 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to INDONESIA -.001 -.001 -.002 -.004 -.006 -.002 -.003 -.006 -.008 -.003 -.008 -.010 -.004 -.010 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to INDONESIA .004 -.004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to INDONESIA .006 .004 .002 .002 .000 .000 -.002 -.002 -.004 -.004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Filipina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to PHILIPINES Response of INDONESIA to PHILIPINES .0000 .012 -.0005 .010 -.0010 .008 -.0015 .006 Response of PHILIPINES to PHILIPINES .20 Response of SINGAPORE to PHILIPINES -.0005 -.0010 .19 -.0015 .18 -.0020 .17 -.0020 .004 -.0025 .002 -.0030 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.0030 .15 2 Response of JAPAN to PHILIPINES -.001 -.0025 .16 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to PHILIPINES .003 -.0035 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .002 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to PHILIPINES -.002 .002 -.002 2 Response of THAILAND to PHILIPINES -.004 .001 .001 -.003 -.006 .000 .000 -.004 -.008 -.001 -.001 -.005 -.010 -.002 -.006 -.003 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of CHINA to PHILIPINES .005 -.002 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.012 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES .0040 .000 .0035 -.005 .0030 -.010 .0025 -.015 -.020 .0020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Singapura Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to SINGAPORE .002 Response of INDONESIA to SINGAPORE .008 Response of PHILIPINES to SINGAPORE .005 .001 .000 .030 .006 .000 Response of SINGAPORE to SINGAPORE .031 -.005 .029 -.001 .004 -.010 .028 -.002 -.015 .002 -.003 .027 -.020 -.004 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to SINGAPORE -.025 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .026 2 Response of NEWZEALAND to SINGAPORE 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to SINGAPORE .005 .0012 .010 .004 .0008 .008 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to SINGAPORE .002 .000 -.002 .003 .0004 .006 .002 .0000 .004 .001 -.0004 .002 -.004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to SINGAPORE .005 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE .012 .000 .010 -.005 -.010 .008 -.015 .006 -.020 -.025 .004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.006 -.008 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Jepang Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to JAPAN .006 Response of INDONESIA to JAPAN .000 Response of PHILIPINES to JAPAN Response of SINGAPORE to JAPAN .00 .002 .005 -.002 -.01 -.004 -.02 -.006 -.03 -.008 -.04 .004 .001 .003 .002 .000 .001 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of JAPAN to JAPAN .029 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of NEWZEALAND to JAPAN .005 .028 -.001 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to JAPAN .012 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to JAPAN .0005 .010 .0000 .008 -.0005 .006 -.0010 .004 -.0015 .004 .027 .003 .026 .002 .025 .002 .024 .001 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to JAPAN .024 -.0020 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.0025 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to JAPAN .008 .020 .006 .016 .004 .012 .002 .008 .004 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Selandia Baru Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND .004 Response of INDONESIA to NEWZEALAND Response of PHILIPINES to NEWZEALAND .000 .024 -.001 .020 -.002 .016 -.003 .012 -.004 .008 -.005 .004 Response of SINGAPORE to NEWZEALAND .005 .004 .003 .003 .002 .002 .001 .000 -.006 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .034 .000 .032 .000 2 Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND .001 .001 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to NEWZEALAND .007 .006 .0020 .005 -.001 2 Response of THAILAND to NEWZEALAND .0015 .030 .004 -.002 .0010 .028 -.003 .003 .026 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to NEWZEALAND .014 .01 .012 .00 .010 -.01 .008 -.02 .006 -.03 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND .02 .004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .0005 .002 2 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Thailand Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to THAILAND Response of INDONESIA to THAILAND .0025 .016 .0020 .012 .0015 .008 .0010 .004 .0005 .000 .0000 -.004 Response of PHILIPINES to THAILAND .012 Response of SINGAPORE to THAILAND .008 .006 .008 .004 .004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 .008 .006 .006 -.002 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of NEWZEALAND to THAILAND .008 .000 -.004 2 Response of JAPAN to THAILAND .004 .002 .000 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to THAILAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to THAILAND .065 .007 .060 .006 .055 .005 .050 .004 .045 .003 .004 .002 .002 .000 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of CHINA to THAILAND .03 .040 4 6 8 .002 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to THAILAND .016 .02 .012 .01 .008 .00 -.01 .004 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Malaysia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to MALAYSIA .0005 Response of INDONESIA to MALAYSIA .020 Response of PHILIPINES to MALAYSIA .05 .0000 .015 Response of SINGAPORE to MALAYSIA .001 .04 .000 .03 -.001 .02 -.002 .01 -.003 -.0005 -.0010 .010 -.0015 .005 -.0020 -.0025 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of JAPAN to MALAYSIA .0028 .00 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to MALAYSIA .0000 .0024 -.004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to MALAYSIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to MALAYSIA .006 .034 .005 .032 .004 .030 .003 .028 .002 .026 -.0005 .0020 .0016 -.0010 .0012 .0008 -.0015 .001 .0004 .0000 -.0020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to MALAYSIA .02 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA .006 .005 .01 .004 .00 .003 .002 -.01 .001 -.02 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .024 .000 2 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .022 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap China Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to CHINA .005 Response of INDONESIA to CHINA .00 .004 Response of PHILIPINES to CHINA .01 .00 -.01 .003 Response of SINGAPORE to CHINA .000 -.002 -.01 -.02 -.004 .002 -.02 -.03 .001 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .000 -.04 2 Response of JAPAN to CHINA -.006 -.03 -.04 4 6 8 -.008 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of NEWZEALAND to CHINA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to CHINA .0000 .000 -.0005 -.001 -.0010 -.002 -.0015 -.003 -.0020 -.004 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to CHINA .000 -.002 -.001 -.004 -.002 -.006 -.003 -.008 -.004 -.010 -.005 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of CHINA to CHINA 4 6 8 -.012 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to CHINA .012 .25 .010 .20 .008 .15 .006 .10 .004 .05 .002 .00 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Korea Selatan Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA Response of INDONESIA to SOUTHKOREA Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA .0016 .00 .01 .0012 -.01 .00 .0008 -.02 -.01 .0004 -.03 -.02 .0000 -.04 -.03 Response of SINGAPORE to SOUTHKOREA .00150 .00125 .00100 .00075 .00050 .00025 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to SOUTHKOREA .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA .0015 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to SOUTHKOREA 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA .008 .0005 .0010 -.001 .00000 2 .006 .0005 .0000 -.002 .004 .0000 -.003 -.0005 .002 -.0005 -.0010 -.004 -.0010 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to SOUTHKOREA .04 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA .046 .044 .03 .042 .02 .040 .01 .038 .00 .036 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Australia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to AUSTRALIA Response of AUSTRALIA to INDONESIA Response of AUSTRALIA to PHILIPINES Response of AUSTRALIA to SINGAPORE .05 .05 .05 .05 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 2 Response of AUSTRALIA to JAPAN .00 -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.01 2 Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of AUSTRALIA to THAILAND .05 .05 .05 .05 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 2 Response of AUSTRALIA to CHINA 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA .05 .05 .04 .04 .03 .03 .02 .02 .01 .01 .00 4 6 .00 -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of AUSTRALIA to M ALAYSIA .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Indonesia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to AUSTRALIA Response of INDONESIA to INDONESIA Response of INDONESIA to PHILIPINES Response of INDONESIA to SINGAPORE .20 .20 .20 .20 .15 .15 .15 .15 .10 .10 .10 .10 .05 .05 .05 .05 .00 .00 .00 -.05 -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of INDONESIA to JAPAN .00 -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.05 2 Response of INDONESIA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of INDONESIA to THAILAND .20 .20 .20 .20 .15 .15 .15 .15 .10 .10 .10 .10 .05 .05 .05 .05 .00 .00 .00 -.05 -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of INDONESIA to CHINA .20 .15 .15 .10 .10 .05 .05 .00 .00 -.05 -.05 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of INDONESIA to SOUTHKOREA .20 2 4 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 -.05 2 4 Response of INDONESIA to MALAYSIA -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Filipina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of PHILIPINES to AUSTRALIA Response of PHILIPINES to INDONESIA Response of PHILIPINES to PHILIPINES Response of PHILIPINES to SINGAPORE .20 .20 .20 .20 .16 .16 .16 .16 .12 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .04 .00 .00 .00 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to JAPAN .00 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.04 2 Response of PHILIPINES to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of PHILIPINES to THAILAND .20 .20 .20 .20 .16 .16 .16 .16 .12 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .04 .00 .00 .00 .00 -.04 -.04 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to CHINA 2 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA .20 .20 .16 .16 .12 .12 .08 .08 .04 .04 .00 4 4 Response of PHILIPINES to MALAYSIA .00 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Singapura Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of PHILIPINES to AUSTRALIA Response of PHILIPINES to INDONESIA Response of PHILIPINES to PHILIPINES Response of PHILIPINES to SINGAPORE .20 .20 .20 .20 .16 .16 .16 .16 .12 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .04 .00 .00 .00 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to JAPAN .00 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.04 2 Response of PHILIPINES to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of PHILIPINES to THAILAND .20 .20 .20 .20 .16 .16 .16 .16 .12 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .04 .00 .00 .00 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to CHINA .20 .16 .16 .12 .12 .08 .08 .04 .04 .00 .00 -.04 -.04 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA .20 2 4 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 -.04 2 4 Response of PHILIPINES to MALAYSIA -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Jepang Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of JAPAN to AUSTRALIA Response of JAPAN to INDONESIA Response of JAPAN to PHILIPINES Response of JAPAN to SINGAPORE .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 2 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to JAPAN 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to THAILAND .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 Response of JAPAN to CHINA .03 .02 .02 .01 .01 .00 .00 -.01 -.01 4 6 8 4 6 8 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.01 2 10 12 14 16 18 20 22 24 6 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to SOUTHKOREA .03 2 -.01 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of JAPAN to MALAYSIA 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Selandia Baru Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of NEWZEALAND to AUSTRALIA Response of NEWZEALAND to INDONESIA Response of NEWZEALAND to PHILIPINES Response of NEWZEALAND to SINGAPORE .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to JAPAN .00 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.01 2 Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of NEWZEALAND to THAILAND .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to CHINA 2 .04 .04 .03 .03 .02 .02 .01 .01 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to MALAYSIA 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Thailand Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of THAILAND to AUSTRALIA Response of THAILAND to INDONESIA Response of THAILAND to PHILIPINES Response of THAILAND to SINGAPORE .08 .08 .08 .08 .06 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .02 .00 .00 .00 -.02 -.02 2 4 6 8 Response of THAILAND to JAPAN .00 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to THAILAND .08 .08 .08 .08 .06 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .02 .00 .00 .00 .00 -.02 -.02 -.02 -.02 2 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to CHINA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to MALAYSIA 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to SOUTHKOREA .08 .08 .06 .06 .04 .04 .02 .02 .00 .00 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Malaysia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of MALAYSIA to AUSTRALIA Response of MALAYSIA to INDONESIA Response of MALAYSIA to PHILIPINES Response of MALAYSIA to SINGAPORE .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to JAPAN 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to THAILAND .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 Response of MALAYSIA to CHINA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA .04 .04 .03 .03 .02 .02 .01 .01 .00 .00 -.01 -.01 -.02 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to MALAYSIA -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Cina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of CHINA to AUSTRALIA Response of CHINA to INDONESIA Response of CHINA to PHILIPINES Response of CHINA to SINGAPORE .3 .3 .3 .3 .2 .2 .2 .2 .1 .1 .1 .1 .0 .0 .0 .0 -.1 -.1 -.1 -.1 2 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to JAPAN 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to THAILAND .3 .3 .3 .3 .2 .2 .2 .2 .1 .1 .1 .1 .0 .0 .0 .0 -.1 -.1 -.1 -.1 2 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to CHINA .3 .2 .2 .1 .1 .0 .0 -.1 -.1 4 6 8 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to SOUTHKOREA .3 2 4 4 Response of CHINA to MALAYSIA 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Korea Selatan Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of SOUTHKOREA to AUSTRALIA Response of SOUTHKOREA to INDONESIA Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE .05 .05 .05 .05 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to JAPAN .00 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.01 2 Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to THAILAND .05 .05 .05 .05 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to CHINA 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA .05 .05 .04 .04 .03 .03 .02 .02 .01 .01 .00 4 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 -.01 2 4 Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Impulse Response Function Negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat Respon terhadap Indonesia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to INDONESIA .18 .16 Response of AUSTRALIA to INDONESIA Response of PHILIPINES to INDONESIA -.002 .032 -.004 .028 -.006 .024 -.008 .020 -.010 .016 Response of JAPAN to INDONESIA -.002 -.004 .14 .12 -.006 .10 .08 .06 -.012 2 4 6 8 .012 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to INDONESIA 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .000 -.002 -.004 -.010 2 Response of NEWZEALAND to INDONESIA -.004 -.008 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to INDONESIA .000 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to INDONESIA .0012 .0010 -.001 .0008 -.002 -.008 -.006 .0006 -.003 .0004 -.012 -.008 -.016 -.004 -.010 2 4 6 8 2 Response of SOUTHKOREA to INDONESIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to INDONESIA -.0015 .020 -.0020 .015 .000 -.0025 .010 -.002 -.0030 .005 -.004 -.0035 .000 -.006 -.0040 -.005 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to INDONESIA .002 4 .0000 2 .004 2 .0002 -.005 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Filipina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to PHILIPINES Response of AUSTRALIA to PHILIPINES .012 .0000 .010 -.0005 .008 -.0010 .006 Response of PHILIPINES to PHILIPINES Response of JAPAN to PHILIPINES .20 -.001 .19 -.002 .18 -.003 .17 -.004 -.0015 .004 -.0020 .002 -.0025 .000 .16 -.0030 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to PHILIPINES 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .003 -.0022 .002 -.006 2 Response of NEWZEALAND to PHILIPINES -.0020 -.005 .15 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .002 .001 -.0026 .000 -.0028 -.001 -.0030 -.002 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to PHILIPINES .0000 -.0005 .001 -.0024 2 Response of THAILAND to PHILIPINES -.0010 .000 -.0015 -.001 -.0032 -.003 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES .0036 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.0025 2 Response of MALAYSIA to PHILIPINES -.002 .0032 -.0020 -.002 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to PHILIPINES .004 -.004 .000 -.006 -.004 -.008 -.008 .0028 .0024 -.010 .0020 -.012 -.012 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.016 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Jepang Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to JAPAN Response of AUSTRALIA to JAPAN .0000 Response of PHILIPINES to JAPAN .005 Response of JAPAN to JAPAN .00 .029 -.0004 .004 -.0012 .003 -.0016 .002 .028 -.01 -.0008 .027 -.02 .026 -.0020 -.03 .001 .025 -.0024 -.0028 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.04 2 Response of US to JAPAN 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .024 2 Response of NEWZEALAND to JAPAN 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to JAPAN .009 .006 .008 .005 .007 .004 .006 .003 .005 .002 .0025 .004 .001 .0000 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to JAPAN .008 .0125 .007 .0100 .006 .0075 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to JAPAN .007 .005 .0050 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .004 .003 2 Response of MALAYSIA to JAPAN 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to JAPAN .0005 .032 .006 .0000 .028 .005 .024 -.0005 .004 .020 -.0010 .016 .003 .012 -.0015 .002 .008 .001 -.0020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Amerika Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to US .016 Response of AUSTRALIA to US .000 -.001 .012 Response of PHILIPINES to US .020 Response of JAPAN to US .0030 .0025 .015 -.002 .0020 .008 .010 -.003 .0015 .004 .005 -.004 .000 .0010 .000 -.005 -.004 -.006 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of US to US .010 .028 .008 .026 .006 .024 .004 .022 .002 .020 .000 .018 -.002 4 6 8 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .0000 2 Response of NEWZEALAND to US .030 2 .0005 -.005 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SOUTHKOREA to US 4 6 8 .010 .014 .009 .012 .008 .010 .007 .008 .006 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to US .01 .006 .010 .00 .009 .005 .008 -.01 .007 .004 -.02 .006 .005 .003 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .005 2 Response of MALAYSIA to US .011 4 Response of SINGAPORE to US .016 .006 2 2 Response of THAILAND to US 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Selandia Baru Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to NEWZEALAND Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND .002 .000 Response of PHILIPINES to NEWZEALAND Response of JAPAN to NEWZEALAND .004 .020 .001 .003 .015 .000 .002 .010 -.001 .001 .005 -.002 .000 .000 -.002 -.004 -.006 -.008 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of US to NEWZEALAND 4 6 8 2 Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND .005 -.003 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to NEWZEALAND .032 .004 .003 .004 .030 .002 .003 .002 .028 .000 .002 .001 .026 .001 .000 .024 2 4 6 8 .000 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to NEWZEALAND .0015 .012 -.004 2 Response of MALAYSIA to NEWZEALAND .014 -.002 .02 .01 .0010 .010 .00 .0005 .008 -.01 .0000 .006 -.02 -.0005 .004 .002 -.03 -.0010 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Thailand Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to THAILAND .012 Response of AUSTRALIA to THAILAND .004 Response of PHILIPINES to THAILAND .008 .006 .004 .003 .008 Response of JAPAN to THAILAND .005 .004 .003 .002 .002 .004 .002 .000 .001 .001 -.002 .000 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to THAILAND .008 .006 -.004 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .000 2 Response of NEWZEALAND to THAILAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to THAILAND .010 .065 .008 .060 .006 .055 .004 .050 .002 .045 .000 .040 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to THAILAND .008 .006 .004 .004 .002 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to THAILAND .016 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .002 .000 2 Response of MALAYSIA to THAILAND .0040 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to THAILAND .02 .0035 .012 .01 .0030 .008 .0025 .00 .0020 .004 .0015 .000 -.01 .0010 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Singapura Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to SINGAPORE .008 Response of AUSTRALIA to SINGAPORE Response of PHILIPINES to SINGAPORE .002 .000 .001 -.002 .000 -.004 -.001 -.006 -.002 -.008 -.003 -.010 -.004 -.012 Response of JAPAN to SINGAPORE .001 .006 .000 .004 -.001 .002 -.002 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to SINGAPORE .003 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to SINGAPORE 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to SINGAPORE .0020 .002 -.003 2 .004 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .030 .029 .002 .0015 4 Response of SINGAPORE to SINGAPORE .028 .001 .000 .0010 .027 .000 -.002 .026 .0005 -.001 -.002 -.004 .0000 2 4 6 8 2 Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE .007 .006 .025 -.006 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .024 2 Response of MALAYSIA to SINGAPORE 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to SINGAPORE .002 .03 .000 .02 -.002 .01 -.004 .00 .005 .004 .003 .002 -.006 2 4 6 8 -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Korea Selatan Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to SOUTHKOREA Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA .00 Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA .01 .0020 -.01 Response of JAPAN to SOUTHKOREA .000 -.001 .00 .0015 -.002 -.02 -.01 .0010 -.03 -.003 -.02 .0005 -.04 .0000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to SOUTHKOREA .005 -.004 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA .0020 -.005 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to SOUTHKOREA .008 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .0012 .0015 .004 2 Response of SINGAPORE to SOUTHKOREA .0010 .006 .0010 .0008 .003 .0005 .004 .0006 .002 .0000 .0004 .002 .001 -.0005 .000 .0002 -.0010 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .000 2 Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA .046 .0000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to SOUTHKOREA .040 .0005 .035 .044 .0000 .030 .042 .025 -.0005 .040 .020 -.0010 .038 .015 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Malaysia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to MALAYSIA .020 Response of AUSTRALIA to MALAYSIA Response of PHILIPINES to MALAYSIA .002 .015 .001 .010 .000 .005 -.001 .000 -.002 2 4 6 8 .0016 .0030 .05 .0025 .04 .0020 .03 .0015 .02 .0010 .01 .0005 .00 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of US to MALAYSIA Response of JAPAN to MALAYSIA .06 4 6 8 .0000 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of NEWZEALAND to MALAYSIA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to MALAYSIA .0008 .006 .0006 .005 .0004 .004 .0002 .003 .0000 .002 -.0002 .001 -.0004 .000 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to MALAYSIA .002 .001 .0012 .000 .0008 -.001 .0004 .0000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA 4 6 8 -.002 -.003 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of MALAYSIA to MALAYSIA .004 .034 .003 .032 .002 .030 .001 .028 .000 .026 -.001 .024 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to MALAYSIA .03 .02 .01 .00 -.002 .022 2 4 6 8 -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon terhadap Cina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to CHINA .004 Response of AUSTRALIA to CHINA .004 Response of PHILIPINES to CHINA .004 Response of JAPAN to CHINA .0015 .0010 .002 .003 .000 .0005 .000 .002 .0000 -.004 -.002 -.0005 .001 -.004 -.0010 -.008 -.006 .000 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.0015 2 Response of US to CHINA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of NEWZEALAND to CHINA .0005 .0000 .0000 -.0004 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of THAILAND to CHINA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to CHINA .003 .002 .002 .001 -.0008 -.0005 -.0012 .001 .000 -.0016 .000 -.001 -.001 -.002 -.0010 -.0015 -.0020 -.0020 -.0024 -.0025 -.0028 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.002 2 Response of SOUTHKOREA to CHINA .008 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.003 2 Response of MALAYSIA to CHINA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to CHINA .0000 .25 .006 -.0005 .20 .004 .002 .15 -.0010 .10 .000 -.0015 .05 -.002 -.004 -.0020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Indonesia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INDONESIA to INDONESIA Response of INDONESIA to AUSTRALIA Response of INDONESIA to PHILIPINES Response of INDONESIA to JAPAN .20 .20 .20 .20 .15 .15 .15 .15 .10 .10 .10 .10 .05 .05 .05 .05 .00 .00 .00 .00 -.05 -.05 -.05 -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of INDONESIA to US 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of INDONESIA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of INDONESIA to THAILAND .20 .20 .20 .20 .15 .15 .15 .15 .10 .10 .10 .10 .05 .05 .05 .05 .00 .00 .00 -.05 -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of INDONESIA to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .20 .20 .15 .15 .15 .10 .10 .10 .05 .05 .05 .00 .00 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 -.05 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of INDONESIA to CHINA .20 -.05 8 -.05 2 Response of INDONESIA to MALAYSIA 6 .00 -.05 2 4 Response of INDONESIA to SINGAPORE -.05 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Australia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of AUSTRALIA to INDONESIA Response of AUSTRALIA to AUSTRALIA Response of AUSTRALIA to PHILIPINES Response of AUSTRALIA to JAPAN .06 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .02 .00 .00 .00 .00 -.02 -.02 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of AUSTRALIA to US 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of AUSTRALIA to THAILAND .06 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .02 .00 .00 .00 .00 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .06 .06 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .00 .00 .00 -.02 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of AUSTRALIA to CHINA .06 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 Response of AUSTRALIA to MALAYSIA 4 Response of AUSTRALIA to SINGAPORE 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Filipina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of PHILIPINES to INDONESIA Response of PHILIPINES to AUSTRALIA Response of PHILIPINES to PHILIPINES Response of PHILIPINES to JAPAN .20 .20 .20 .20 .16 .16 .16 .16 .12 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .04 .00 .00 .00 .00 -.04 -.04 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to US 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of PHILIPINES to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of PHILIPINES to THAILAND .20 .20 .20 .20 .16 .16 .16 .16 .12 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .04 .00 .00 .00 -.04 -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to MALAYSIA .20 .20 .16 .16 .12 .12 .12 .08 .08 .08 .04 .04 .04 .00 .00 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 -.04 4 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of PHILIPINES to CHINA .16 2 8 -.04 2 .20 -.04 6 .00 -.04 2 4 Response of PHILIPINES to SINGAPORE -.04 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Jepang Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of JAPAN to INDONESIA Response of JAPAN to AUSTRALIA Response of JAPAN to PHILIPINES Response of JAPAN to JAPAN .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 -.01 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to US 4 6 8 -.01 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to THAILAND .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 -.01 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to SOUTHKOREA 4 6 8 Response of JAPAN to MALAYSIA .03 .03 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of JAPAN to CHINA .03 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.01 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of JAPAN to SINGAPORE 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Amerika Serikat Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of US to INDONESIA Response of US to AUSTRALIA Response of US to PHILIPINES Response of US to JAPAN .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to US 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of US to NEWZEALAND 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to THAILAND .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of US to SOUTHKOREA 6 8 .04 .04 .03 .03 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.02 4 6 8 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of US to CHINA .03 2 4 Response of US to MALAYSIA .04 -.02 6 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of US to SINGAPORE -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Selandia Baru Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of NEWZEALAND to INDONESIA Response of NEWZEALAND to AUSTRALIA Response of NEWZEALAND to PHILIPINES Response of NEWZEALAND to JAPAN .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to US -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to THAILAND 2 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .04 .04 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of NEWZEALAND to CHINA .04 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 Response of NEWZEALAND to MALAYSIA 4 Response of NEWZEALAND to SINGAPORE 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Thailand Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of THAILAND to INDONESIA Response of THAILAND to AUSTRALIA Response of THAILAND to PHILIPINES Response of THAILAND to JAPAN .08 .08 .08 .08 .06 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .02 .00 .00 .00 .00 -.02 -.02 -.02 -.02 2 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to US 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to THAILAND .08 .08 .08 .08 .06 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .02 .00 .00 .00 .00 -.02 -.02 -.02 -.02 2 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to SOUTHKOREA 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to MALAYSIA .08 .08 .06 .06 .06 .04 .04 .04 .02 .02 .02 .00 .00 .00 -.02 -.02 -.02 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 6 8 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of THAILAND to CHINA .08 2 4 4 Response of THAILAND to SINGAPORE 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Singapura Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of SINGAPORE to INDONESIA Response of SINGAPORE to AUSTRALIA Response of SINGAPORE to PHILIPINES Response of SINGAPORE to JAPAN .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to US 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SINGAPORE to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to THAILAND 2 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SINGAPORE to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SINGAPORE to MALAYSIA .03 .03 .03 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to CHINA -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of SINGAPORE to SINGAPORE 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Korea Selatan Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of SOUTHKOREA to INDONESIA Response of SOUTHKOREA to AUSTRALIA Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES Response of SOUTHKOREA to JAPAN .05 .05 .05 .05 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 2 4 6 8 Response of SOUTHKOREA to US .00 -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to THAILAND .05 .05 .05 .05 .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA .05 .05 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .00 .00 4 6 8 8 8 10 12 14 16 18 20 22 24 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 .00 -.01 2 6 6 Response of SOUTHKOREA to CHINA .05 -.01 4 4 Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE -.01 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Malaysia Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of MALAYSIA to INDONESIA Response of MALAYSIA to AUSTRALIA Response of MALAYSIA to PHILIPINES Response of MALAYSIA to JAPAN .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to US 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to THAILAND .04 .04 .04 .04 .03 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA 4 6 8 Response of MALAYSIA to MALAYSIA .04 .04 .03 .03 .03 .02 .02 .02 .01 .01 .01 .00 .00 .00 -.01 -.01 -.01 -.02 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of MALAYSIA to CHINA .04 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.02 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of MALAYSIA to SINGAPORE 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Respon Cina Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of CHINA to INDONESIA Response of CHINA to AUSTRALIA Response of CHINA to PHILIPINES Response of CHINA to JAPAN .3 .3 .3 .3 .2 .2 .2 .2 .1 .1 .1 .1 .0 .0 .0 .0 -.1 -.1 2 4 6 8 -.1 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to US 4 6 8 -.1 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to NEWZEALAND 4 6 8 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to THAILAND .3 .3 .3 .3 .2 .2 .2 .2 .1 .1 .1 .1 .0 .0 .0 .0 -.1 -.1 2 4 6 8 -.1 2 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to SOUTHKOREA 4 6 8 Response of CHINA to MALAYSIA .3 .3 .2 .2 .2 .1 .1 .1 .0 .0 .0 -.1 -.1 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Response of CHINA to CHINA .3 -.1 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 -.1 2 10 12 14 16 18 20 22 24 4 Response of CHINA to SINGAPORE 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24