integrasi pasar obligasi negara di antara negara

advertisement
INTEGRASI PASAR OBLIGASI NEGARA
DI ANTARA NEGARA–NEGARA ASEAN+6
OLEH
SURYARISMAN PRATAMA
H14053246
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
SURYARISMAN PRATAMA. Integrasi Pasar Obligasi Negara di antara
Negara-negara ASEAN+6 (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI, Ph.D dan
ANDRIANSYAH, S.Si, M.Fin.)
Penelitian ini membahas mengenai sejauh mana hubungan pasar obligasi
masing-masing negara ASEAN+6 di dalam perkembangan dan kemajuan dekade
ini dimana sistem perekonomian saat ini semakin mengarah kepada pedagangan
bebas. Berbagai bentuk kerja sama ekonomi dilakukan oleh beberapa negara yang
dikenal dengan istilah integrasi ekonomi dimana salah satu bentuk integrasi
ekonomi adalah integrasi dalam bidang finansial. Pasar obligasi merupakan salah
satu bagian dari pasar finansial yang dapat memberikan dana tambahan yang
dibutuhkan oleh penerbit obligasi dan tempat berinvestasi untuk mendapatkan
keuntungan oleh para investor. Dalam penelitian ini secara khusus membahas
obligasi negara yang merupakan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah untuk
memperoleh dana tambahan dalam melakukan kegiatan belanja negara dan
sebagainya. Metode VECM yang digunakan memperlihatkan bahwa terdapat
hubungan di antara negara-negara ASEAN+6 dimana terlihat adanya respon
dalam bentuk fluktuasi yield obligasi dari negara-negara ASEAN+6 ketika terjadi
guncangan dalam pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 tersebut.
Selain itu dengan metode ini juga dapat diketahui seberapa besar
kontribusi atau peranan negara-negara ASEAN+6 dalam mempengaruhi yield
obligasi negara-negara ASEAN+6. Dengan metode ini terlihat bahwa dalam
jangka pendek terjadi fluktuasi yield obligasi negara-negara ASEAN+6 dan
terjadinya kestabilan dalam jangka panjang ketika terjadi guncangan di antara
negara-negara ASEAN+6. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dilihat
bagaimana hubungan antara pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dengan pasar
obligasi Amerika Serikat yang merupakan negara dengan perekonomian besar
sehingga dalam penelitian ini terdapat dua model yang diperoleh yaitu model di
antara negara-negara ASEAN+6 dan model di antara negara-negara ASEAN+6
dan Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil analisis impulse response function (IRF) negara-negara
ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia terlihat
bahwa pada beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Filipina,dan Thailand
mengalami peningkatan yield obligasi negaranya akan tetapi lain halnya dengan
yang terjadi pada yield obligasi negara Malaysia yang justru mengalami
penurunan. Selain itu terlihat beberapa negara maju yang mengalami peningkatan
yield obligasi negaranya yaitu Cina dan Korea Selatan sebagai respon yang terjadi
akibat guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia sedangkan sebagian
lagi negara maju yang lain mengalami penurunan yield obligasi negaranya yaitu
Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
mempertimbangkan pasar obligasi Amerika Serikat dimana kita ketahui bahwa
Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki ukuran perekonomian yang
relatif sangat besar. Berdasarkan hasil analisis IRF diketahui bahwa apabila terjadi
guncangan pada pasar obligasi Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi maka
beberapa negara meresponnya positif yaitu dengan mengalami peningkatan
perubahan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang mengalami peningkatan
perubahan yield obligasi negaranya antara lain Indonesia, Jepang, Thailand,
Singapura, Korea Selatan, dan Malaysia. Respon sebaliknya juga terjadi pada
beberapa yield obligasi negara yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi
Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan
mengalami perubahan penurunan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang
mengalami hal ini antara lain adalah Australia, Selandia Baru dan Cina.
Ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6
ternyata beberapa negara di respon positif oleh yield obligasi negara Amerika
Serikat dimana terjadi perubahan peningkatan yield obligasi negara Amerika
Serikat. Beberapa negara yang direspon positif oleh yield obligasi negara Amerika
Serikat adalah Australia, Jepang, Selandia Baru, Thailand, Korea Selatan,
Malaysia, dan Cina. Respon sebaliknya juga terjadi pada yield obligasi negara
Amerika yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara
ASEAN+6 sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan
mengalami perubahan penurunan yield obligasi negara Amerika Serikat. Negaranegara yang direspon negatif dalam hal ini antara lain adalah Indonesia, Filipina,
dan Singapura.
Secara keseluruhan hasil analisis FEVD diketahui bahwa pasar obligasi
negara yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negaranegara ASEAN+6 dan Amerika Serikat adalah Australia dimana dalam kawasan
ASEAN+6 Australia dominan atas pasar obligasi Singapura, Jepang, Selandia
Baru dan Thailand. Sedangkan dalam kawasan ASEAN+6 dan Amerika Serikat,
pasar obligasi Australia dominan atas pasar obligasi Jepang, Amerika Serikat,
Selandia Baru, Thailand dan Singapura.
INTEGRASI PASAR OBLIGASI NEGARA
DI ANTARA NEGARA–NEGARA ASEAN+6
Oleh
SURYARISMAN PRATAMA
H14053246
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa
: Suryarisman Pratama
Nomor Registrasi Pokok
: H14053246
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Integrasi Pasar Obligasi Negara
di antara Negara-negara ASEAN+6
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Noer Azam Achsani, Ph.D.
NIP. 19681229 199203 1 016
Andriansyah, S.Si, M.Fin.
NIP. 060096996
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D.
NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Suryarisman Pratama
H14053246
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Suryarisman Pratama lahir pada tanggal 30 Juli 1987 di
Majene, sebuah kota kecil yang berada di Provinsi Sulawesi Barat. Penulis anak
pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Mohammad Ismail dan Rafniah
Husain. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan
sekolah dasar pada SDN Cendrawasih Makassar, kemudian melanjutkan ke SLTP
Negeri 1 Makassar dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMUN 3 Makassar dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan
penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan
pola pikir, sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan
kota Makassar tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Ikatan Kekeluargaan
Mahasiswa / Pelajar Indonesia asal Sulawesi Selatan (IKAMI SULSEL).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat, rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Integrasi
Pasar Obligasi Negara di antara Negara-negara ASEAN+6” ini dengan baik
serta tak lupa penulis curahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita
Rasulullah S.A.W.
Penulis melakukan penelitian ini karena isu pembentukan kerja sama
regional dalam bidang perekonomian merupakan isu yang saat ini hangat dibahas
oleh beberapa negara dan ekonom-ekonom karena diyakini mampu memperkuat
daya tahan negara yang membentuk kerja sama ini terhadap krisis ekonomi yang
terjadi. Obligasi negara di Indonesia pada khususnya merupakan instrumen
investasi yang saat ini merupakan sumber pembiayaan anggaran pemerintah yang
jumlahnya semakin besar dibandingkan dengan pinjaman langsung kepada negara
lain. Oleh karena itu kerjasama ekonomi dalam pasar obligasi akan memberikan
kemudahan bagi pemerintah untuk memperoleh tambahan dana untuk membiayai
keperluan fiskal pemerintah. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Noer Azam Achsani, Ph.D. dan Bapak Andriansyah, S.Si, M.Fin.
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan
dalam menyusun skripsi ini yang tidak hanya memberikan bimbingan
secara teknis dan teoritis tetapi juga secara moril sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
2. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D. selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam
penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Tony Irawan, M.App.Ec selaku komisi pendidikan yang telah
memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat dalam
penyempurnaan skripsi ini.
4. Bapak DS. Priyarsono, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan kepada penulis.
5. Ayahanda Mohammad Ismail dan Ibunda Rafniah serta saudara penulis
Armanto Dwi Cahyo yang telah memberikan doa, semangat, kasih sayang,
dan dukungan kepada penulis.
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi Khaerani Putri, Tia Rahmina, dan
Amalia Ayuningtyas atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
7. Teman-teman Ilmu Ekonomi ’42 (Vagha, Gerry, Bayu, Adrian, Riza,
Lukman, Joger, Hengky, Budi, Lestari, Acun, Awi, Adit), 43,41, Ka Iqbal
Irfany atas informasinya, Teh Heni dan Ka Ade Holis atas konsultasi dan
bimbingannya.
8. Segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang dengan sabar
membantu segala proses administrasi berkaitan dengan pengerjaan skripsi
ini.
9. Rekan-rekan Asrama Mahasiswa Latimojong Bogor dan Mahasiswa asal
Sulawesi Selatan atas kebersamaannya selama ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang secara langsung
maupun tidak langsung telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini.
Bogor, September 2009
Suryarisman Pratama
H14053246
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH .............................................................................................xv
I.
II.
PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1.
Latar Belakang ......................................................................................1
1.2.
Perumusan Masalah ..............................................................................3
1.3.
Tujuan Penelitian ................................................................................13
1.4.
Manfaat Penelitian ..............................................................................13
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................13
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................15
2.1. Obligasi .................................................................................................15
2.2. Yield ......................................................................................................22
2.3. Obligasi Negara ....................................................................................25
2.4. Integrasi Ekonomi ................................................................................29
2.5. Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN (RIAFin) .......................................................................................................31
2.6. Penelitian Terdahulu ............................................................................34
2.6. Kerangka Pemikiran .............................................................................38
III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 40
3.1.
Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 40
3.2.
Metode Analisis Data ........................................................................ 40
3.2.1.
Vector Autoregression (VAR) ............................................. 41
3.2.2. Uji Granger Causality ..........................................................49
3.2.3. Ordering for Cholesky ..........................................................49
3.2.4. Impulse Response Function (IRF).........................................50
3.2.5. Forecasting Error Variance Decomposition (FEDV)........ ..50
IV. TRANSMISI YIELD OBLIGASI
NEGARA-NEGARA ASEAN+6: PENDEKATAN VAR .......................51
.
4.1.
Deskriptif Statistik Data ....................................................... 51
4.2.
Unit Root Test .......................................................................54
4.3.
Penentuan Lag Optimal........................................................56
4.4.
Pengujian Stabilitas VAR .....................................................57
4.5.
Uji Kointegrasi................................................... ...................58
4.6.
Uji Granger Causality ..........................................................59
4.7.
Hasil Empiris............................ ............................................59
4.6.1. Impulse Response Function (IRF)...............................60
4.6.2. Forecasting Error Variance Decomposition
(FEVD)........................................................................65
V.
PENUTUP ....................................................................................................75
5.1.
Kesimpulan ...........................................................................75
5.2.
Saran......................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................77
LAMPIRAN ..........................................................................................................80
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Rating Tingkat Risiko Negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat....12
2.1.
Tahapan Integrasi Balassa ............................................................................31
4.1.
Ringkasan Statistik Data Yield Harian Obligasi
Negara-negara ASEAN+6............................................................................54
4.2.
Uji Akar Unit pada Level .............................................................................55
4.3.
Uji Akar Unit pada First Difference ............................................................56
4.4.
Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
ASEAN+6 (dalam persen) ...........................................................................67
4.5.
Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
ASEAN+6 dan Amerika Serikat (dalam persen) ........................................ 69
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1.
Defisit dan Pembiayaan APBN 1998-2009...................................................7
1.2.
Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB 1996-2009 ................8
1.3.
5-year Government Bond Yield (dalam persen) ..........................................10
2.1.
Kerangka Pemikiran ..................................................................................39
4.1.
Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6
terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia ...............62
4.2.
Respon yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan
yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 .......................65
4.3.
Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6
terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Amerika Serikat .....69
4.4.
Respon yield obligasi negara Amerika Serikat terhadap guncangan
yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 .......................71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Uji Lag Optimal ...............................................................................................81
2. Uji Stabilitas VAR ...........................................................................................82
3. Uji Kointegrasi .................................................................................................84
4. Estimasi VECM ...............................................................................................86
5. Uji Granger Causality .....................................................................................88
6. Impulse Response Function..............................................................................89
DAFTAR ISTILAH
Credit Risk, risiko dimana penerbit obligasi tidak mampu membayar bunga dan
pokok obligasi pada saat jatuh tempo. Credit risk ini sering juga disebut Default
risk.
Discount Bonds (zero coupon bonds), obligasi yang tidak memberikan kupon
atau bunga, dijual dengan diskonto dan pada saat jatuh tempo obligasi dibayarkan
atau dilunasi sesuai dengan nilai nominalnya.
Diskonto obligasi, selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest) untuk
obligasi dengan kupon.
Financial market, pasar keuangan, kelompok pasar dimana instrumen jangka
pendek dan jangka panjang diperdagangkan, meliputi pasar uang dan pasar modal.
Fixed Rate Bonds, Obligasi yang memiliki suku bunga tetap sampai dengan jatuh
tempo. Bunga dibayarkan setiap enam bulan pada tanggal 15 pada bulan yang
telah ditentukan.
Floating rate bonds (variable rate bonds), obligasi yang tingkat bunganya
disesuaikan secara periodik berdasarkan tingkat bunga Treasury Bills atau ratarata deposito berjangka bank-bank tertentu. Obligasi bunga variable yang
diterbitkan pemerintah dalam rangka rekap suku bunganya ditetapkan setiap 3
bulan berdasarkan tingkat bunga SBI 3 bulan.
Hedge Bonds, obligasi yang suku bunganya ditetapkan berdasarkan tingkat bunga
SIBOR (Singapore interbank offered rate) 3 bulan + 2% pada pokok yang
diindeks dengan perubahan kurs rupiah terhadap US$. Obligasi ini dimaksudkan
untuk menutup posisi devisa neto (net open position) bank-bank rekap.
Instrumen investasi pendapatan tetap (fixed income asset), surat berharga yang
menawarkan pendapatan yang tetap dari waktu ke waktu. Di Indonesia surat
berharga dimaksud (biasanya obligasi) ditawarkan perusahaan sekuritas sebagai
produk reksadana pendapatan tetap.
Kupon, besarnya bunga yang dibayarkan secara reguler, yang dinyatakan dalam
persentase terhadap nilai nominal obligasi.
Lelang Surat Utang Negara, penjualan Surat Utang Negara dengan cara
pengajuan penawaran pembelian secara kompetitif maupun nonkompetitif dalam
suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumukan sebelumnya.
Obligasi Negara, Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan dengan pembayaran bunga secara periodik dan/atau dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
Over-the-Counter, pasar Obligasi Negara yang dilakukan pelaku pasar melalui
perdagangan di luar bursa.
Paperless (scriptless), sekuritas atau surat berharga tanpa warkat.
Pasar Perdana, kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk
pertama kali.
Pasar Sekunder, kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di
pasar perdana.
Primary market (pasar primer), kegiatan penawaran dan penjualan surat
berharga (termasuk obligasi pemerintah) untuk pertama kali.
Secondary market (pasar sekunder), kegiatan perdagangan surat berharga
(termasuk obligasi negara) yang telah dijual di pasar primer.
Setelmen, penyelesaian transaksi Surat Utang Negara yang terdiri dari setelmen
dana dan setelmen kepemilikan Surat Utang Negara.
Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Surat Utang Negara (obligasi) dalam
mata uang rupiah tanpa kupon yang dijual secara diskonto, berjangka waktu
sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dan pada saat jatuh tempo dilunasi dengan
nilai nominalnya.
Surat Utang Negara (SUN), surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga
dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
Tenor, jangka waktu jatuh tempo obligasi.
Time to maturity, waktu yang tersisa (umumnya dalam tahun) hingga suatu
obligasi dilunasi atau jatuh tempo.
Treasuries, surat pengakuan hutang Pemerintah Federal AS yang dijamin
pembayarannya (full faith and credit), diterbitkan dalam berbagai jangka waktu
jatuh tempo dan dapat diperdagangkan. Surat Berharga ini terdiri dari Treasury
Bills, Treasury Notes dan Treasury Bonds.
Treasury Bills, surat berharga yang berjangka waktu satu tahun atau kurang dijual
dengan cara diskonto (at discount) dari nilai nominalnya melalui lelang.berjangka
pendek yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) dengan
diskonto dan pada saat jatuh tempo dibayarkan sesuai dengan nilai nominalnya.
Treasury Bonds (T-Bonds), surat berharga berjangka waktu panjang yang jatuh
temponya 10 tahun atau lebih yang diterbitkan dengan denominasi minimum USD
1.000.
Treasury Notes (T-Notes), surat berharga berjangka waktu tempo menengah yaitu
satu sampai dengan 10 tahun dijual dengan cara langsung (cash subscription)
melalui penukaran utang pemerintah yang masih berjalan atau yang jatuh tempo,
atau dengan melalui cara lelang. Denominasinya mulai dari USD 1000.
Variable Rate Bonds, obligasi yang suku bunganya ditetapkan berdasarkan
tingkat bunga SBI 3 bulan.
Bunga dibayarkan setiap 3 bulan pada tanggal 25 pada bulan yang telah
ditentukan.
Yield (Imbal Hasil), keuntungan yang diharapkan oleh investor dalam persentase
per tahun.
Yield curve (kurva hasil), grafik yang menggambarkan hubungan antara tingkat
keuntungan (rate of return) atau yield dengan berbagai jangka waktu jatuh tempo
obligasi.
Yield to maturity (YTM), tingkat keuntungan (rate of return) yang akan diterima
investor dari suatu obligasi apabila dimiliki sampai dengan jatuh tempo.
Sumber:
http://www.dmo.or.id/dmodata/8Pojok_Edukasi/2Daftar_Istilah/Daftar_Istilah_S
UN.pdf
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obligasi negara merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh
pemerintah dalam bentuk yang dapat diperdagangkan maupun tidak dapat
diperdagangkan di pasar sekunder. Obligasi negara yang dapat diperdagangkan
tidak berbeda jauh dengan dengan instrumen-instrumen investasi lainnya seperti
deposito, investasi pada saham, investasi pada reksadana atau investasi pada
instrumen keuangan lainnya. Obligasi yang diperdagangkan terdiri dari obligasi
yang berdenominasi mata uang domestik dan obligasi yang berdenominasi mata
uang asing. Tujuan penerbitan obligasi negara pada umumnya adalah untuk
membiayai defisit anggaran pemerintah. Oleh karena itu semua obligasi negara
dilindungi oleh undang-undang yang menyebabkan instrumen finansial ini relatif
berisiko rendah bahkan tidak memiliki risiko sama sekali (Departemen Keuangan
Republik Indonesia, 2009).
Perkembangan dan kemajuan politik, teknologi, dan finansial saat ini
ternyata telah memfasilitasi terjadinya gelombang liberalisasi dalam pasar
finansial global yang mengarah kepada peningkatan sifat saling ketergantungan
terhadap pasar saham dan obligasi dunia (Laopodis, 2008). Perubahan yang besar
dan signifikan telah terjadi pada pasar finansial internasional yang disebut
integrasi pasar finansial (Jung, et al., 2004). Integrasi pasar finansial merupakan
suatu proses yang mengarah kepada penghapusan atau penghilangan hambatanhambatan yang relevan yang terdapat dalam pasar.
Dalam hal ini, suatu pasar terdiri dari seperangkat instrumen atau jasa
finansial yang terintegrasi penuh. Pasar finansial terintegrasi dalam arti jika semua
partisipan yang berpotensial menghasilkan beberapa karakteristik yang relevan
sama misalnya menghadapi seperangkat peraturan tunggal ketika mereka
memutuskan untuk bertransaksi dengan instrumen-instrumen atau jasa-jasa
tersebut, memiliki akses yang sama terhadap instrumen-instrumen atau jasa-jasa
finansial yang terdapat dalam pasar, dan diperlakukan sama ketika mereka aktif di
dalam pasar (Jikang dan Xinhui, 2004).
Menurut Bartram dan Dufey dalam Bartram,Taylor dan Wang (2004)
integrasi pasar finansial telah lama menjadi isu yang menarik di sebagian besar
para ekonom dalam bidang finansial dunia akademisi dan praktisi investasi,
karena hal ini membawa banyak kendala dan peluang untuk investasi portofolio
internasional dengan implikasi penting untuk alokasi portofolio dan harga aset.
Berdasarkan teori, jika pasar finansial tidak terintegrasi, keperluan investasi yang
berbeda dan rintangan-rintangan investasi akan mempengaruhi pilihan-pilihan
portofolio investor dan keputusan pembiayaan bagi perusahaan. Dalam kasus nilai
tukar, jika purchasing power parity tidak tetap, nilai tukar mempengaruhi biaya
konsumsi di sepanjang negara, dan oleh sebab itu, risiko nilai tukar
mempengaruhi harga aset-aset untuk investor luar negeri. Model-model harga aset
internasional mengakui semua dampak ini dengan memasukkan risiko nilai tukar
sebagai faktor-faktor harga (Solnik, 1974; Stulz, 1981; Adler dan Dumas, 1983)
dan dapat digunakan secara empiris untuk menginvestigasi isu integrasi pasar
finansial (Dumas dan Solnik, 1995).
Berdasarkan teori, salah satu cara negara-negara berkembang dapat
mempercepat pertumbuhan mereka adalah dengan menarik modal asing baik itu
dalam bentuk investasi portofolio maupun foreign direct investment (FDI).
Investasi portofolio dapat diperoleh negara berkembang dari pasar finansial
internasional yang dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan
menambah tabungan dan mengurangi biaya modal dengan sektor-sektor finansial
domestik. Akan tetapi, integrasi keuangan internasional sendiri tidak mengarah
kepada suatu bentuk konvergensi di antara negara-negara maju dan berkembang
karena pada negara-negara maju terdapat banyak gangguan atau distorsi yang
disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar finansial yang tidak kekal dimana dapat
menghilang sepanjang waktu seiring dengan perkembangan pasar finansial.
Tingkat pertumbuhan ekonomi utamanya ditentukan oleh produktivitas, bukan
oleh gangguan yang dapat terjadi pada pasar modal (Jung, et al., 2004).
Konsep integrasi pasar finansial merupakan integral dari pasar finansial
internasional dan hal ini menjelaskan bahwa integrasi pasar finansial berubah
berdasarkan kondisi ekonomi yang terjadi. Penjelasan ekonomi yang umumnya
diterima adalah perubahan tingkat risk aversion dan para investor memerlukan
kompensasi atas risiko dari aset-aset finansial (Lucey et al., 2004).
1.2.
Rumusan masalah
Pembentukan ASEAN pada tahun 1967 lebih ditujukan pada kerja sama
yang berdasarkan urusan politik yang memiliki tujuan untuk menciptakan dan
menjaga kestabilan kedamaian dan keamanan di wilayah Asia Tenggara. ASEAN
yang pada awalnya terdiri dari lima negara anggota yang merupakan negara
pendiri, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, kini telah
berjumlah sepuluh negara yang bergabung kemudian, yaitu Brunei Darussalam
(1984), Vietnam (1995), Myanmar dan Laos (1997), serta Kamboja (1999).
Kemudian kerja sama regional yang awalnya berdasarkan kepentingan politik ini
diperkuat oleh semangat pembangunan dan pencapaian stabilitas ekonomi dan
sosial di kawasan Asia Tenggara yang dilakukan dalam bentuk usaha percepatan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan budaya dengan tetap memerhatikan
kesetaraan dan kemitraan, sehingga menjadi landasan untuk tercapainya
masyarakat yang sejahtera dan damai (Arifin et al., 2008).
Negara-negara ASEAN bekerja sama dengan semangat stabilitas ekonomi
dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan, efisiensi, dan ukuran sistem
finansial mereka. Perhatian pemerintah ASEAN terhadap reformasi capital market
secara dramatis meningkat sejak terjadinya Asian Currency Crisis pada tahun
1997. Beberapa tahun yang lalu, krisis keuangan yang menimpa negara-negara
ASEAN menyebabkan negara-negara ASEAN berjuang menghadapi tantangan
resolusi utang pada umumnya serta terjadi non-performing loan (NPLs) dan
rekapitalisasi perbankan pada khususnya (Plummer dan Click, 2003).
Usaha
yang dilakukan
setelah terjadinya
krisis
tersebut
adalah
memberikan prioritas pengembangan pasar obligasi negara-negara Asia. Hal ini
disebabkan karena krisis mata uang yang kemudian menyebabkan perlambatan
pertumbuhan ekonomi menjelaskan kenyataan bahwa keseluruhan perekonomian
telah bergantung kepada sektor perbankan dan tidak memiliki daya tahan ketika
sistem perbankan collapse. Pada saat krisis, ketergantungan yang berlebihan pada
pinjaman perbankan untuk pembiayaan telah menjadi karakteristik khusus.
Perbankan tersendiri, sebaliknya, telah sering bergantung pada dana pinjaman
dalam mata uang dollar jangka pendek pada skala besar karena perbankan tidak
mampu meningkatkan dana jangka panjang dalam mata uang masing-masing
negara tersebut. Ekspektasi terhadap pengembangan pembiayaan langsung,
khususnya pasar obligasi telah meningkat di negara-negara ASEAN+3 (sepuluh
negara ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan, dan Cina) (Hirose et al, 2004).
Asian Development Bank (ADB) dalam publikasinya dalam Plummer dan
Click (2003) mencatat bahwa pada akhir tahun 1998 (masa sebelum krisis
berakhir), dugaan biaya restrukturisasi perbankan di ASEAN-4 sebesar US$43
juta di Thailand (32 persen dari GDP), US$70 juta di Indonesia (29 persen dari
GDP), US$13 juta di Malaysia (18 persen dari GDP), dan US$3 juta di Filipina (4
persen dari GDP). Biaya bunga tahunan pada penerbitan obligasi negara untuk
membayar restrukturisasi perbankan dalam persentase GDP menjadi 3 persen, 3.5
persen, 1.3 persen, dan 0.5 persen di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina
secara berturut-turut. Dugaan NPLs di keempat negara ini oleh IMF dalam
persentase total utang (persentase GDP) menjadi 35 persen (70 persen), 70 persen
(53 persen), 30 persen (42 persen) dan 15 persen (5 persen) secara berturut-turut.
Singkatnya, hal ini jelas bahwa krisis pada 1997 telah sangat merugikan sistem
finansial ASEAN-4.
Dalam kasus yang lebih khusus untuk Indonesia, pentingnya obligasi
negara bagi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1 dan Gambar 1.2. Pada
Gambar 1.1 terlihat bahwa pada tahun 1998 hingga tahun 2001 pembiayaan
dengan surat berharga-neto tidak ada sedangkan pada tahun 2002 dan 2003
pembiayaan dengan surat berharga-neto terlihat negatif yang besarnya adalah -2
trilliun Rupiah (-0.2 persen terhadap PDB) dan -3 trilliun Rupiah (-0.3 persen
terhadap PDB) secara berturut-turut dan setelah itu dimulai pada tahun 2004
hingga tahun 2009 pembiayaan dengan surat berharga-neto semakin meningkat
dimana pada tahun 2004 hanya sebesar 7 trilliun Rupiah (0.9 persen terhadap
PDB) sedangkan pada tahun 2009 mencapai 99 trilliun Rupiah (8 persen terhadap
PDB). Hal yang sebaliknya justru terjadi pada pinjaman luar negeri-neto yang
pada tahun 1998 hingga 2002 masih bernilai positif yaitu sebesar 21 trilliun
Rupiah (1.7 persen terhadap PDB) pada tahun 1998 dan menurun pada tahun 2002
menjadi tujuh trilliun Rupiah (0.5 persen terhadap PDB) akan tetapi pada tahun
2004 hingga tahun 2009 bernilai negatif. Pada tahun 2004 pinjaman luar negerineto sebesar -28 trilliun Rupiah (-2 persen terhadap PDB) sedangkan pada tahun
2009 pinjaman luar negeri neto sebesar -14 trilliun Rupiah (-1 persen terhadap
PDB). Terlihat bahwa kecenderungan untuk melakukan pembiayaan APBN
dengan pinjaman utang luar negeri kini menurun dan surat berharga negara kini
telah menjadi instrumen pembiayaan utama APBN.
Catatan:
+
Realisasi sementara
++
APBN 2009 Stimulus Fiskal
+++
Jumlah SBN Neto pada tahun 2009 sebesar Rp. 99.3 triliun sudah
termasuk Pinjaman siaga yang akan digunakan sebesar Rp. 44.5 triliun.
Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia (2009)
Gambar 1.1. Defisit dan Pembiayaan APBN 1998-2009
Sedangkan pada Gambar 1.2. terlihat bahwa rasio utang Indonesia
terhadap PDB dari tahun 1996 hingga 2009 mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya PDB Indonesia. Pada tahun 2004 dari keterangan yang terdapat
pada Departemen Keuangan Republik Indonesia dijelaskan bahwa tambahan
utang tahun 2004 hingga 2008 menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih
besar, sehingga rasio utang menurun tajam dari 57 persen akhir 2004 dan
diproyeksikan menjadi sekitar 32 persen akhir 2009 atau lebih baik dari sebelum
krisis sekitar 38 persen.
Jumlah utang pemerintah dalam bentuk pinjaman memiliki tren yang
meningkat sepanjang tahun akan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah utang pemerintah yang melalui surat berharga
negara dimana jumlah pinjaman pada tahun 1999 adalah 438 triliun Rupiah dan
pada bulan Juni 2009 sebesar 644 triliun Rupiah sedangkan surat berharga negara
pada tahun 1999 sebesar 502 triliun Rupiah dan pada bulan juni 2009 sebesar 961
triliun Rupiah.
Catatan: *)
**)
Angka sementara
Angka sangat sementara per Juni 2009
Angka PDB 2009 menggunakan asumsi PDB APBN Dokumen Stimulus
Rasio pembayaran kewajiban = Bunga utang LN+Amortisasi pinjaman LN
Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia (2009)
Gambar 1.2. Perkembangan Rasio Utang Indonesia terhadap PDB 1996-2009
Kegiatan pembiayaan di sebagian besar negara dilakukan dengan
menerbitkan surat berharga negara yang di Indonesia dikenal dengan surat
perbendaharaan negara, surat utang negara, dan sukuk. Salah satu surat berharga
negara yang menjadi sumber pembiayaan pemerintah adalah obligasi negara
dimana di Indonesia dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN). Obligasi negara
memiliki jangka waktu yang berbeda-beda. Tingkat jatuh tempo suatu surat
obligasi negara dapat mencerminkan tingkat risiko investasi dari obligasi tersebut.
Obligasi sebagai instrumen investasi tentunya memberikan pendapatan dimana
tingkat pendapatan yang diharapkan dari obligasi dikenal dengan istilah yield.
Salah satu jenis obligasi yang menjadi sumber pembiayaan pemerintah adalah
obligasi yang berjatuh tempo lima tahun.
Gambar 1.3 merupakan gambar data yield obligasi pemerintah yang
berjatuh tempo lima tahun periode 25 Juli 2005 hingga 21 Maret 2007 dimana
dapat dilihat pergerakan yield obligasi negara dari negara-negara ASEAN+6 (data
obligasi negara India tidak tersedia) yang memiliki masa jatuh tempo lima tahun
dimana sebagian besar bergerak sama dan relatif memiliki selisih yield yang tidak
terlalu jauh. Akan tetapi Indonesia dan Filipina merupakan negara yang memiliki
yield yang relatif lebih tinggi. Pada kasus Indonesia terlihat yield obligasi sangat
tinggi pada sekitar bulan September dan Oktober dimana diketahui bahwa pada
saat ini terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak yang memicu meningkatnya
inflasi sehingga untuk meredam laju inflasi maka bank sentral melakukan
kebijakan meningkatkan tingkat suku bunga dimana tingkat suku bunga memiliki
hubungan yang berbanding lurus dengan besarnya yield pada obligasi. Penjelasan
yang relevan mengenai pergerakan yield obligasi negara ini juga dapat
berdasarkan tingkat risiko dari tiap negara. Terlihat bahwa untuk Indonesia
peringkat iklim bisnis berdasarkan penilaian Coface adalah C artinya bahwa
lingkungan bisnis di Indonesia relatif sulit. Informasi finansial perusahaan kadang
tidak tersedia dan ketika tersedia, informasi tersebut tidak reliable sedangkan
rating berdasarkan Country @rating Indonesia memiliki peringkat standar B yang
artinya outlook ekonomi dan politik Indonesia tidak pasti dan probabilitas gagal
bayar perusahaan dapat terjadi (lihat tabel 1.1).
20
20
20
10
10
10
0
0
0
20
20
20
10
10
10
10
0
0
0
0
Cina
20
20
20
10
10
10
10
0
0
0
0
Korea Selatan
Filipina
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
Singapura
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
Thailand
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
20
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
Indonesia
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
20
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
Australia
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
26-…
10-…
23-…
9-…
24-…
8-…
23-…
5-Jan-…
Malaysia
US
Selandia Baru
Jepang
Sumber: CEIC (Diolah)
Gambar 1.3. 5-year Government Bond Yield
10
Berdasarkan
penjelasan
sebelumnya,
alasan
penting
untuk
mengembangkan pasar obligasi menurut Plummer dan Click (2003) adalah (1)
mengurangi
tingkat
ketergantungan
terhadap
perbankan
dan
mencegah
ketidakseimbangan mata uang dan maturity pada masa lalu dan (2) karena
sebagian besar negara-negara mengalami situasi yang sama maka pendekatan
regional terhadap masalah ini yang tepat dilakukan. Selain itu alasan penting
untuk mengembangkan pasar obligasi adalah untuk mengurangi ketergantungan
pemerintah terhadap utang luar negeri yang berasal dari usaha meminjam
langsung kepada negara lain. Perkembangan pada pasar obligasi dikenal dengan
istilah integrasi pasar obligasi yang merupakan salah satu bentuk perkembangan
pasar finansial internasional secara khusus.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
oleh penulis dalam kesempatan ini antara lain:
1. Bagaimanakah hubungan pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+
6?
2. Negara manakah yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di
antara negara-negara ASEAN+6?
Tabel 1.1. Rating Tingkat Risiko Negara-negara ASEAN+6 dan Amerika
Serikat
Negara
Business Climate Rating
Country @rating
Australia
A1
A2
Selandia Baru
A1
A2
India
A4
A3
Jepang
A1
A2
Cina
B
A3
Korea Selatan
A2
A2
Indonesia
C
B
Singapura
A1
A2
Malaysia
A3
A2
Thailand
A3
A3
Filipina
B
B
US
A1
A2
Sumber: Coface (2009)
Keterangan:
Country @rating
A1: Situasi ekonomi dan politik sangat baik.
A2: Situasi ekonomi dan politik baik.
A3: Perubahan yang terjadi pada umumnya baik akan tetapi perubahan pada
volatilitas politik dan ekonomi dapat mempengaruhi perilaku pembayaran
perusahaan.
A4: Guncangan pada outlook politik dan ekonomi serta volatilitas secara relatif
dapat mempengaruhi perilaku pembiayaan perusahaan.
B: Kondisi politik dan ekonomi yang tidak jelas dan lingkungan yang kadangkadang sulit dapat mempengaruhi pembiayaan perusahaan.
C: Lingkungan outlook politik dan ekonomi yang sangat tidak jelas dengan
banyaknya kelemahan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku
pembiayaan perusahaan.
Business Climate Rating
A1: Lingkungan bisnis sangat baik.
A2: Lingkungan bisnis baik.
A3: Lingkungan bisnis relatif baik.
A4: Lingkungan bisnis dapat diterima.
B: Lingkungan bisnis sedang/cukup.
C: Lingkungan bisnis sulit
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya maka tujuan
penelitian ini antara lain :
1. Menganalisis hubungan pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+
6.
2. Mengetahui negara yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di
antara negara-negara ASEAN+6.
1.4.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya maka manfaat
yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis dan masyarakat, dapat menambah pengetahuan mengenai
bentuk kerja sama regional dalam bentuk integrasi ekonomi yaitu
integrasi pasar obligasi.
2. Bagi pemerintah, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam usaha
memperkuat sistem finansial.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai bentuk kerjasama yang merupakan
bagian dari teori integrasi ekonomi yaitu dalam integrasi pasar obligasi di antara
negara-negara ASEAN+6 yang terdiri dari 10 negara ASEAN, China, Jepang,
Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru yang secara geografis diketahui
terletak dekat satu sama lain dan secara ekonomi memiliki tingkat pertumbuhan
yang relatif tinggi dan merupakan mitra dagang satu sama lain. Penelitian ini juga
membahas pergerakan yield dari obligasi negara di antara negara-negara
ASEAN+6. Dengan terbentuknya integrasi pasar obligasi dalam kawasan
ASEAN+6 diharapkan ketergantungan pembiayaan terhadap sektor perbankan
berkurang dan pemerintah negara dapat memperoleh dana yang lebih banyak
untuk pembiayaan dengan mudah.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Obligasi
Obligasi dalam istilah keuangan merupakan debt security dimana pihak
yang menerbitkan obligasi berhutang sejumlah besar dana terhadap pihak yang
memegang obligasi dan terdapat jangka waktu dari obligasi tersebut dimana
penerbit obligasi diharuskan untuk membayar bunga (coupon) dan/atau membayar
uang pokok pada masa jatuh tempo kepada pemegang obligasi. Hal ini merupakan
kontrak resmi untuk membayar pinjaman dengan interval tingkat suku bunga fixed
atau variabel. Jadi, obligasi merupakan utang, pihak yang menerbitkan merupakan
pihak yang berhutang, pihak yang memegang obligasi adalah pihak yang memberi
pinjaman dan coupon merupakan bunga dari pinjaman tersebut. Obligasi
menyediakan dana eksternal bagi para peminjam untuk membiayai investasi
jangka panjang mereka atau pada kasus obligasi negara, untuk membiayai
pengeluaran pemerintah saat ini.
Obligasi dan saham kedua-duanya merupakan securities, akan tetapi
perbedaan besar di antara keduanya adalah pemegang saham memiliki hak
kepemilikan atas aset dari penerbit misalnya dalam suatu perusahaan sedangkan
pemegang obligasi hanya meminjamkan dana kepada pihak yang mengeluarkan
obligasi. Obligasi diterbitkan oleh publik yang berwenang, institusi kredit,
perusahaan dan institusi supranational dalam pasar primer. Proses yang paling
umum dalam menerbitkan obligasi melalui underwriting. Dengan underwriting
satu atau lebih perusahaan atau bank securities membentuk suatu kongsi
(syndicate), membeli keseluruhan obligasi yang diterbitkan dari penerbit dan
menjual ulang obligasi tersebut kepada para investor. Perusahaan security
menanggung risiko tidak dapat terjualnya obligasi kepada para investor hingga
waktu jatuh tempo. Sedangkan obligasi negara umumnya dilelang.
Berikut ini merupakan fitur dari obligasi.

Nominal, principal atau face of amount
Jumlah dana yang dibayar oleh penerbit dan yang harus dibayar pada
akhirnya.

Issue price
Harga dimana para investor membeli obligasi ketika pertama kali
diterbitkan dimana pada umumnya kira-kira sama dengan besarnya
jumlah nominal. Keuntungan bersih pendapatan yang diterima oleh
penerbit adalah harga penerbitan dikurangi biaya pengeluaran.

Maturity date
Waktu dimana para penerbit harus membayar sejumlah nominal.
Selama semua pembayaran telah dilakukan, para penerbit tidak
memiliki lagi kewajiban terhadap para pemegang obligasi setelah
masa jatuh tempo. Lamanya waktu hingga masa jatuh tempo sering
dihubungkan dengan jangka waktu atau tenor atau maturity obligasi.
Kebanyakan obligasi memiliki jangka waktu hingga 30 tahun.
Beberapa obligasi diterbitkan dengan masa jatuh tempo hingga 100
tahun dan beberapa bahkan tidak memiliki waktu jatuh tempo sama
sekali. Pada awal tahun 2005, suatu pasar dikembangkan dalam euro
untuk obligasi dengan waktu jatuh tempo 50 tahun. Pada pasar U.S.
Treasury securities terdapat tiga kelompok waktu jatuh tempo:
1) Short term (bills)
: jatuh tempo hingga 1 tahun.
2) Medium term (notes)
: jatuh tempo antara 1-10 tahun.
3) Long term (bonds)
: jatuh tempo lebih dari 10 tahun.
Akan tetapi terdapat jenis obligasi yang tidak memiliki maturity yaitu
consol bond.

Coupon
Tingkat suku bunga yang dibayar oleh penerbit obligasi kepada
pemegang obligasi. Tingkat suku bunga ini fixed dan juga variabel.
Adapun cara untuk menghitung bunga berdasarkan publikasi
Departemen Keuangan Republik Indonesia yaitu:
Jika kupon 10% dibayarkan dua kali setahun, nominal Rp.
1.000.000,-, maka besarnya bunga per periode pembayaran bunga
dihitung sebagai berikut:
Bunga =

10%
2
x 1.000.000 = 50.000
High yield bonds adalah obligasi yang dinilai di bawah tingkat
investasi oleh credit rating agencies. Karena obligasi ini lebih
berisiko daripada investasi obligasi yang memiliki peringkat bagus,
investor berharap untuk mendapatkan suatu yield yang lebih tinggi.
Obligasi ini juga disebut junk bonds.

Coupon dates
Waktu dimana para penerbit obligasi membayar coupon kepada para
pemegang obligasi. Di US dan UK serta Eropa, sebagian besar
obligasi adalah semi-annual yang berarti mereka membayar suatu
coupon setiap enam bulan sekali.
Pasar obligasi merupakan suatu pasar keuangan dimana partisipan
membeli dan menjual debt securities, yang biasanya dalam bentuk obligasi.
Referensi-referensi pasar obligasi mengacu kepada pasar obligasi negara karena
ukuran, likuiditas, rendahnya resiko kredit, dan sensitivitas terhadap tingkat suku
bunga. Karena hubungan yang berlawanan antara bond valuation dan tingkat suku
bunga, pasar obligasi sering digunakan untuk mengindikasikan perubahan pada
tingkat suku bunga atau bentuk dari yield curve.
Securities Industry and Financial Markets Association mengklasifikasikan
pasar obligasi yang lebih luas ke dalam lima spesifik pasar obligasi yaitu :

Perusahaan
Obligasi perusahaan merupakan obligasi yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan. Hal ini merupakan obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan untuk meningkatkan jumlah dana atau modal dengan
tujuan untuk mengekspansi bisnis perusahaan tersebut.

Negara/Pemerintah
Obligasi negara merupakan obligasi yang diterbitkan oleh suatu
pemerintah negara yang didenominasi dalam mata uang domestik
negara tersebut. Obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah nasional
dalam mata uang asing secara normal lebih dikenal sebagai suatu
sovereign bonds. Obligasi negara pertama kali diterbitkan oleh
pemerintah Inggris pada tahun 1693 untuk meningkatkan uang
dengan tujuan untuk membiayai perang melawan Perancis.

Agency
Agency debt merupakan suatu sekuriti, biasanya suatu obligasi, yang
diterbitkan oleh suatu perwakilan sponsor pemerintah Amerika
Serikat. Penawaran oleh perwakilan ini didukung oleh pemerintah
tetapi tidak dijamin oleh pemerintah karena agen-agen tersebut
merupakan swasta. Agen-agen tersebut dibentuk untuk mengizinkan
beberapa orang tertentu untuk mengakses pembiayaan murah seperti
pelajar dan pembeli rumah. Beberapa penerbit terkemuka sekuriti
agen adalah Student Loan Marketing Association (Sallie Mae),
Federal National Mortgage Association (Fannie Mae) dan Federal
Home Loan Mortgage Corporation (Freddie Mac). Sekuriti agen
biasanya dibebaskan dari pajak lokal dan negara tetapi bukan federal
tax.

Municipal
Municipal bond merupakan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah
kota atau lokal atau perwakilan mereka. Penerbit potensial municipal
bonds meliputi kota, kabupaten, dan kesatuan pemerintah yang lain di
bawah level negara bagian. Pendapatan bunga yang diterima oleh
pemegang municipal bonds sering kali bebas dari pajak pendapatan
federal dan dari pajak pendapatan negara bagian dimana obligasi
tersebut diterbitkan.
Untuk partisipan pasar yang memiliki obligasi, mengumpulkan coupon
dan menahan hingga maturity tidak berhubungan dengan volatilitas pasar, pokok
dan bunga diterima berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi
para partisipan yang membeli dan menjual obligasi sebelum jatuh tempo terekspos
pada berbagai risiko, yang terpenting perubahan pada tingkat suku bunga. Ketika
tingkat suku bunga meningkat, nilai obligasi turun, karena penerbit baru
membayar keuntungan yang lebih tinggi. Sebaliknya ketika tingkat suku bunga
turun, nilai obligasi meningkat, karena penerbit yang baru membayar lebih
rendah. Hal ini merupakan konsep fundamental dari volatilitas pasar obligasi:
perubahan harga obligasi berbanding terbalik dengan perubahan pada tingkat suku
bunga. Fluktuasi pada tingkat suku bunga merupakan bagian dari kebijakan
moneter suatu negara dan volatilitas pasar obligasi merupakan respon terhadap
kebijakan moneter yang diharapkan dan perubahan perekonomian.
Menurut para ekonom, indikator-indikator ekonomi berlawanan dengan
data aktual yang dikeluarkan dan berkontribusi terhadap volatilitas. Konsensus
yang ketat umumnya direfleksikan pada harga obligasi dan terdapat pergerakan
kecil pada harga pasar setelah dikeluarkan pada on-line data. Jika economic
release berbeda dari pandangan konsensus pasar biasanya mengalami pergerakan
harga
yang pesat
karena partisipan menginterpretasikan
data tersebut.
Ketidakpastian umumnya menyebabkan volatilitas yang lebih sebelum dan
sesudah economic release. Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan maupun
oleh pemerintah memiliki suatu penilaian atau rating tertentu yang menjelaskan
tingkat risiko dari obligasi yang dihadapi oleh investor. Adanya penilaian atas
risiko obligasi ini dikarenakan oleh investor ingin memastikan apakah kupon dan
pokok atas obligasi dapat diperolehnya sesuai jadwal dan dalam jumlah yang telah
ditentukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan obligasi tersebut. Untuk
melakukan riset mengenai hal ini sangat sulit dilakukan oleh individu oleh karena
itu investor umumnya memanfaatkan suatu lembaga jasa pemeringkat untuk
menentukan rating suatu institusi penerbit obligasi sehingga tingkat risiko dari
obligasi dapat diukur.
Tingkat risiko yang semakin tinggi dari suatu obligasi menjelaskan bahwa
obligasi tersebut memiliki rating yang rendah begitu pula sebaliknya tingkat
risiko yang semakin rendah menjelaskan bahwa obligasi tersebut memiliki rating
yang tinggi. Tingkat yield suatu obligasi berbanding terbalik dengan rating dari
suatu obligasi dimana hal ini dijelaskan bahwa semakin tinggi rating suatu
obligasi maka tingkat yield obligasi tersebut rendah yang dikarenakan oleh tingkat
risiko dari obligasi tersebut rendah begitupun sebaliknya.
Tingkatan
rating
obligasi
bermacam-macam
dari suatu lembaga
pemeringkat ke lembaga pemeringkat yang lain. Contohnya adalah Moody’s
menggunakan Aaa untuk rating tertinggi, diikuti Aa, A, Baa, Ba, B, Caa, Ca, C,
dan D untuk rating terendah. Sedangkan Standard & Poor’s menggunakan AAA
untuk rating tertinggi, diikuti AA, A, BBB, BB, B, CCC, CC, dan C untuk yang
terendah. Dua lembaga ini merupakan lembaga pemeringkat yang diterima di
seluruh dunia.
2.2.
Yield
Yield merupakan tingkat keuntungan yang diperoleh oleh para investor.
Yield obligasi terbagi menjadi dua jenis yaitu yield to maturity merupakan tingkat
keuntungan dari investasi pada obligasi yang memiliki tingkat ketepatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan current yield. Sedangkan current yield
merupakan yield yang diukur dengan cara membagi tingkat kupon obligasi dengan
harga beli obligasi tersebut. Selain itu yield to maturity juga merupakan tingkat
diskon yang digunakan untuk mem-present value-kan cash flow obligasi di masa
yang akan datang (baik itu kupon maupun pokok) sehingga sama dengan harga
belinya. Dan jenis yield ini merupakan yield yang sering digunakan dalam istilah
sehari-hari dimana interpretasi lain dari yield adalah juga harga dari uang.
Adapun cara menghitung yield berdasarkan publikasi Departemen
Keuangan Republik Indonesia ialah:

Current yield
Current yield mengukur tingkat pendapatan pada saat ini berdasarkan
tingkat bunga kupon yang diterima dengan harga pasar saat ini.
Obligasi negara seri FR0028 dengan tingkat kupon 10% dibeli pada
harga 95 (artinya 95% dari nominal), maka current yield adalah
sebesar:
Current yield =
Current yield =
𝑘𝑢𝑝𝑜𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛𝑎𝑛
ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖
𝐶𝑜𝑢𝑝𝑜𝑛
𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒
10%
𝑅𝑝 .1.000.000,−
= 95% x 𝑅𝑝 .1.000.000,− = 10.526%
Dengan demikian, tingkat keuntungan investor sebenarnya adalah
sebesar 10.526% bukan 10% (kuponnya).

Yield to maturity
Yield to maturity mengukur tingkat pengembalian hasil investasi dari
obligasi yang dipegang hingga masa jatuh temponya, termasuk
pendapatan dari bunga kupon yang diinvestasikan kembali pada
tingkat bunga yang besarnya sama dengan tingkat bunga kupon
tersebut (Fakhruddin, 2008). Yield to maturity dapat dihitung sebagai
berikut:
YTM = C
1− 1 1+𝑖
𝑖
+𝑀
1
1+𝑖 𝑛
C
= nominal pembayaran kupon semi-annually
N
= jumlah periode (jumlah tahun dikali 2)
I
= tingkat bunga periodik (i dibagi 2)
M
= nominal saat jatuh tempo
Seorang investor membeli obligasi yang membayar bunga setiap
tahun sekali sebesar 5% dari nominalnya. Nominal obligasi sebesar
Rp. 1.000,-. Obligasi tersebut akan jatuh tempo tepat lima tahun
mendatang dari saat dibelinya obligasi. Berapa harga obligasi (P)
tersebut jika investor menghendaki yield to maturity 4%, 5%, atau
6%?
Jika yield to maturity 4%, maka harga obligasi (P):
5%∗1.000
P=
1+4%
+
5%∗1.000
1+4%
2
+
5%∗1.000
1+4%
3
+
5%∗1.000
1+4%
4
+
5%∗1.000
1+4%
5
+
5%∗1.000
1+4% 6
= 1.054,52
Dengan demikian, investor harus membayar Rp. 1.054,52 untuk
memperoleh obligasi tersebut. Dengan perhitungan yang sama, jika
yield to maturity yang diharapkan adalah 5% dan 6% maka harganya
secara berturut-turut adalah Rp.1000,- dan Rp.957,87.
Selain dari dua jenis yield diatas juga terdapat yield to call yang mengukur
tingkat pengembalian hasil investasi atas obligasi yang dipegang hingga obligasi
tersebut dibeli kembali oleh penerbit obligasi tersebut. Perhitungan yield to call
berdasarkan kupon (coupon rate), jangka waktu hingga call, dan harga pasar
(Fakhruddin, 2008).
Pergerakan yield obligasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
ekspektasi inflasi, persepsi risiko, kondisi likuiditas ekonomi, serta suku bunga
acuan bank sentral. Ekspektasi inflasi, persepsi risiko, kondisi likuiditas ekonomi,
serta suku bunga memiliki hubungan yang berbanding lurus atau positif dengan
besarnya tingkat yield suatu obligasi.
2.3.
Obligasi Negara
Obligasi negara atau biasa disebut dengan obligasi pemerintah
(government bond) merupakan instrumen investasi yang diterbitkan oleh
pemerintah suatu negara yang bertujuan sebagai sumber pembiayaan fiskal
pemerintah. Menurut laporan tahunan Bank Indonesia dalam Sasanti (2008)
obligasi negara diterbitkan dalam denominasi mata uang domestik maupun mata
uang asing yang biasa disebut dengan obligasi internasional (sovereign bond).
Obligasi negara merupakan obligasi yang memiliki tingkat risiko rendah
atau obligasi yang bebas risiko karena pemerintah dapat menaikkan pajak ataupun
mencetak uang guna melunasi pembayaran obligasinya pada saat jatuh tempo.
Terdapat catatan dimana obligasi pemerintah pernah mengalami gagal bayar
seperti yang terjadi pada pemerintah Rusia, walaupun ini sangat langka terjadi.
Di Indonesia menurut Departemen Keuangan Republik Indonesia dalam
publikasinya (2009) tentang mengenal surat utang negara menjelaskan bahwa
obligasi negara dikenal dengan Surat Utang Negara (SUN) yang merupakan surat
berharga negara yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah
maupun valuta asing yang pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara
Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. Dasar hukum penerbitan
SUN dan pengelolaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara (SUN).
Tujuan dari penerbitan SUN adalah membiayai defisit APBN, menutupi
kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola portofolio utang negara.
Sedangkan manfaat dari penerbitan SUN diharapkan dapat menggali potensi
pembiayaan APBN yang lebih besar dari investor pasar modal. Sebagai instrumen
investasi dengan menyediakan alternatif investasi yang relatif bebas risiko gagal
bayar dan memberikan peluang bagi investor dan pelaku investor untuk
melakukan diversifikasi portofolionya guna memperkecil risiko investasi. Sebagai
instrumen pasar keuangan, Surat Utang Negara dapat memperkuat stabilitas
sistem keuangan dan dapat dijadikan acuan (benchmark) bagi penentuan nilai
instrumen keuangan lainnya.
Obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah ada yang berupa Surat Utang
Negara (SUN) dalam rangka program penjaminan dan pembiayaan kredit
program, juga dalam bentuk obligasi negara dalam rangka rekapitalisasi
perbankan. Surat utang untuk program penjaminan dan kredit program bersifat
tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) sedangkan dalam rangka rekapitalisasi
perbankan (obligasi rekap) umumnya dapat diperdagangkan (tradable) kecuali
hedge bonds (Sasanti, 2008). Obligasi rekap yang diperdagangkan terbatas hanya
pada jenis fixed rate bonds yang berseri dan jenis variable rate bonds berseri VR.
Secara umum jenis SUN dalam publikasi Departemen Keuangan Republik
Indonesia mengenai mengenal surat utang negara dapat dibedakan sebagai
berikut:

Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yaitu surat berharga negara yang
berjangka waktu sampai dengan 12 bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto. Di beberapa negara SPN lebih dikenal dengan
sebutan T-Bills atau Treasury Bills.

Obligasi Negara (ON), yaitu berjangka waktu lebih dari 12 bulan baik
dengan kupon atau tanpa kupon. Obligasi Negara dengan kupon
memiliki jadwal pembayaran kupon yang periodik (tiga bulan sekali
atau enam bulan sekali). Sementara Obligasi Negara tanpa kupon
tidak memiliki jadwal pembayaran kupon, dijual pada harga diskon
dan pokoknya akan dilunasi pada saat jatuh tempo.

Sukuk merupakan obligasi yang diterbitkan berdasarkan syariah
Islam. Sukuk dapat pula diartikan dengan Efek Syariah berupa
sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili
bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas
kepemilikan aset berwujud tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset
proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, atau kepemilikan atas
aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
Berdasarkan tingkat kuponnya Obligasi Negara dapat dibedakan menjadi
obligasi negara berbunga tetap, yaitu obligasi dengan tingkat bunga tetap setiap
periodenya (atau Fixed Rate Bonds) dan obligasi berbunga mengambang yaitu
obligasi dengan tingkat bunga mengambang (atau Variable Rate Bonds) yang
ditentukan berdasarkan
suatu acuan tertentu seperti tingkat suku bunga SBI
(Sertifikat Bank Indonesia). Obligasi negara juga dapat dibedakan berdasarkan
denominasi mata uangnya. Pemerintah Indonesia saat ini menerbitkan dalam
Rupiah dan USD. Surat Utang Negara juga dapat diterbitkan dalam bentuk warkat
atau tanpa warkat (scriplles). Surat Utang Negara yang saat ini beredar,
diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat. Surat Utang Negara juga dapat diterbitkan
dalam
bentuk
yang
dapat
diperdagangkan
maupun
yang tidak
dapat
diperdagangkan.
Adapun jenis-jenis obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia
adalah (Sasanti, 2008):

Obligasi seri FR (Fixed Rate) adalah obligasi yang memiliki kupon dengan
besaran tingkat bunga tetap, memiliki jangka waktu 3 sampai 10 tahun,
yang dibayarkan setiap enam bulan, obligasi ini bertujuan untuk
merekapitalisasi bank-bank dan meningkatkan CAR menjadi 4%.

Obligasi seri VR (Variable Rate) adalah obligasi yang besaran tingkat
bunga kuponnya sama dengan kisaran tingkat suku bunga acuan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) memiliki jangka waktu 3 sampai 10 tahun yang
dibayarkan setiap tiga bulan sekali yang bertujuan merekapitalisasi bank
dan meningkatkan CAR bank yang negatif menjadi 0%.

Obligasi pemerintah yang disebut HB (Hedge Bonds) yaitu obligasi yang
dikaitkan dengan nilai USD yang bertujuan untuk menutup risiko
kewajiban bank dalam valuta asing. Setiap triwulan dan pada saat jatuh
tempo pembayaran bunga, dilakukan indeksasi terhadap nilai nominal HB
atas
dasar
perkembangan
Rupiah.
Jenis
HB
ini
tidak
dapat
diperdagangkan.

ORI (Obligasi Ritel Indonesia) adalah obligasi negara yang dijual kepada
individu atau orang perseorangan warga negara Indonesia melalui agen
penjual. Adapun agen penjual yang dimaksud di sini adalah bank dan atau
perusahaan
efek
yang
ditunjuk
oleh
Menteri
Keuangan
untuk
melaksanakan penjualan ORI. Ketentuan mengenai penjualan ORI ini
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.06/2006
tentang Penjualan Obligasi Negara Ritel di Pasar Perdana. Penerbitan ORI
ini tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk mengembangkan pasar surat
utang domestik, dan untuk mengurangi defisit APBN menurut Bank
Indonesia dalam Sasanti (2008).
2.4.
Integrasi Ekonomi
Istilah “integrasi” dalam ranah ekonomi pertama kali digunakan dalam
konteks organisasi suatu industri sebagaimana dikemukakan oleh Machlup dalam
Jovanovic dalam bukunya tahun 2006 (Arifin et al, 2008). Integrasi digunakan
untuk menggambarkan kombinasi atau penyatuan beberapa perusahaan dalam
suatu industri baik secara vertikal maupun horizontal. Kemudian, istilah integrasi
ekonomi dalam konteks negara, yang menggambarkan penyatuan beberapa negara
dalam satu kesatuan, diawali dengan kemunculan teori Custom Union (CU) Viner.
Namun, batasan definisi yang baku tentang integrasi ekonomi di antara para
ekonom belum juga ditemukan hingga saat ini. Para ekonom mengembangkan
berbagai definisi mengenai integrasi ekonomi dari berbagai sudut pandang yang
berbeda satu sama lain.
Di tengah perbedaan tersebut, Jovanovic dalam Arifin et al (2008) dengan
ringkas telah mendokumentasikan berbagai definisi integrasi yang berkembang
hingga saat ini, antara lain definisi dikemukakan oleh Tinbergen, Balassa,
Holzman, Kahneert, serta Menis dan Sauvant. Tinbergen dalam Arifin et al (2008)
membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta
kebebasan bertransaksi (negative integration) dan sebagai bentuk penyerahan
kebijakan pada lembaga bersama (positive integration). Pada sisi lain, Balassa
dalam Arifin et al (2008) membedakan integrasi sebagai konsep dinamis melalui
penghapusan diskriminasi di antara negara-negara yang berbeda, maupun dalam
konteks yang statis dengan melihat ada tidaknya perbedaan dalam diskriminasi.
Sementara Holzman dalam Arifin et al (2008) menyatakan integrasi ekonomi
sebagai situasi di mana dua kawasan menjadi satu atau mempunyai satu pasar
yang ditandai harga barang dan faktor produksi yang sama di antara dua kawasan
tersebut. Definisi tersebut mengasumsikan tidak ada hambatan dalam pergerakan
barang, jasa, dan faktor produksi di antara dua kawasan dan adanya lembagalembaga yang memfasilitasi pergerakan tersebut.
Kompleksitas integrasi ekonomi dan tingkatan intensitas integrasi yang
berbeda mendorong munculnya analisis untuk membedakan tahapan integrasi
ekonomi. Sebagaimana disebutkan oleh Pelkman dalam Arifin et al (2008),
pendekatan tahapan integrasi yang digunakan secara luas adalah tahapan integrasi
oleh Balassa. Balassa dalam Arifin et al (2008) membagi tahapan integrasi dalam
enam tahap (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tahapan Integrasi Balassa
Tahapan
Keterangan
Preferential Trading Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk
Area (PTA)
produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan
melakukan
pengurangan
tarif
namun
tidak
menghilangkannya sama sekali.
Free Trade Area Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antara negara
(FTA)
anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap
menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara
bukan anggota.
Customs Union (CU) Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan
komoditi antarnegara anggota dan menerapkan tarif yang
sama terhadap negara bukan anggota.
Common
Market Merupakan CU yang juga meniadakan hambatan(CM)
hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi
(barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktorfaktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi
sumber yang efisien.
Economic Union
Merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi
kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk
kebijakan struktural).
Total
Economic Penyatuan moneter, fiskal dan kebijakan sosial diikuti
Integration
dengan pembentukan lembaga supranasional dengan
keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara
anggota.
2.5.
Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN (RIAFin)
Dalam publikasi Departemen Keuangan Republik Indonesia yang berjudul
Integrasi Ekonomi ASEAN (2009), dijelaskan bahwa pada bulan Desember 1997
di Kuala Lumpur dilaksanakan pertemuan di antara para Kepala Negara ASEAN
(ASEAN Summit) yang membahas mengenai keinginan para Kepala Negara
ASEAN untuk mentransformasikan ASEAN ke dalam suatu wilayah yang stabil,
makmur, mempunyai kompetensi tinggi, mempunyai tingkat perkembangan
ekonomi yang seimbang, dan tingkat kemiskinan dan disparitas sosial ekonomi
yang rendah di antara negara-negara anggotanya. Keinginan tersebut dituangkan
ke dalam sebuah dokumen yang disebut dengan ASEAN Vision 2020 dimana
pada tahun 2020 merupakan target waktu untuk mengimplementasikan visi dari
para Kepala Negara ASEAN yang dimaksud.
Pada ASEAN Summit ke-12 di Cebu, Filipina, para Kepala Negara
ASEAN kembali menegaskan komitmen mereka untuk melaksanakan integrasi
ekonomi ASEAN dengan mempercepat pelaksanaan ASEAN Economic
Community yang semula direncanakan pada tahun 2020 menjadi 2015. Beberapa
sebab yang diduga telah mendorong hal ini dipecepat adalah:

Kesadaran yang timbul dari masing-masing negara anggota bahwa
dengan semakin terintegrasinya ekonomi di wilayah ASEAN maka
diyakini bahwa akan lebih banyak manfaat yang dapat diperoleh;

Percepatan integrasi ekonomi dalam kawasan ASEAN merupakan
reaksi atas terbentuknya blok-blok ekonomi regional di Eropa dan
Amerika karena diharapkan dengan membentuk suatu blok baru
dapat meningkatkan kompetensi dalam perekonomian global dan
dapat bersaing dengan blok yang telah terbentuk sebelumnya;

Semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi di Cina dan India juga
mendorong tekad untuk segera mewujudkan ASEAN Economic
Community agar ASEAN lebih kompetitif baik dalam wilayah Asia
sendiri maupun dalam lingkup global;

Keinginan untuk saling menjaga dari potensi krisis yang dapat
terjadi kapan saja dan yang dapat menjalar ke negara ASEAN
lainnya seperti halnya yang terjadi pada krisis mata uang Asia pada
tahun 1997.
Dalam upaya memfasilitasi implementasi ASEAN Vision 2020 yang
kemudian disepakati untuk dipercepat pada tahun 2015 menjadi ASEAN
Economic Community, pada bulan Agustus 2003 dalam pertemuan para Menteri
Keuangan ASEAN (AFMM) ke-7 di Makati City, Filipina telah disepakati
perumusan Roadmap for Financial and Monetary Integration of ASEAN (Ria-Fin)
yang kemudian diluncurkan pada pertemuan para Kepala Negara ASEAN di Bali
pada bulan Oktober 2003. Hal ini meliputi empat sektor yaitu:
a) Pengembangan pasar modal yang tujuan utamanya adalah untuk
memperdalam pasar finansial dan pencapaian kolaborasi lintas batas pasar
modal di antara negara-negara anggota ASEAN. Beberapa hal yang diduga
akan menjadi penghambat adalah kurangnya infrastruktur keuangan dan
kurang terpenuhinya standar peraturan dan prudential supervision.
b) Liberalisasi neraca modal yang tujuan utamanya adalah aliran neraca
modal yang lebih bebas pada tahun 2020. Beberapa hal yang diduga akan
menjadi penghambat adalah kemungkinan keterlambatan atau penundaan
atas komitmen yang telah direncanakan sebelumnya karena adanya krisis
keuangan dan kesulitan neraca pembayaran, ketidaklayakan infrastruktur
keuangan, akuntansi, audit, diclosure practises, prudential regulation and
supervision measures yang membatasi kemampuan sistem perbankan
domestik untuk memonitor secara efisien dan efektif aliran modal dalam
perekonomian. Selain itu hal yang dapat menjadi penghambat adalah
kekurangan kapasitas institusional untuk menilai dan mengatur risiko yang
terkait dengan aliran modal yang besar.
c) Liberalisasi jasa keuangan yang tujuan utamanya adalah bebasnya aliran
jasa keuangan pada tahun 2020. Beberapa keterbatasan yang diduga dapat
menjadi penghambat adalah ketidaklayakan sarana infrastruktur, kondisi
ekonomi dan keuangan yang tidak mendukung, dan kurangnya
pemahaman dan teknik negosiasi liberalisasi sektor jasa keuangan dalam
World Trade Organisation (WTO).
d) Kerja sama nilai tukar yang tujuan utamanya adalah kerjasama nilai tukar
yang lebih dekat untuk meningkatkan perdagangan dalam wilayah dan
integrasi ekonomi dan keuangan pada tahun 2020. Hambatan yang dapat
dihadapi dalam pembentukan kerjasama ini adalah kesulitan perilaku
swasta untuk menyesuaikan dengan tingkat persaingan dagang yang
semakin besar di dalam wilayah ASEAN.
2.6.
Penelitian Terdahulu
Laopodis (2008), menguji tingkat keterkaitan di antara pasar obligasi
negara Euro dan non-Euro pada masa sebelum dan sesudah periode perkenalan
Euro. Analisis multivariate cointegration mengindikasikan adanya kointegrasi di
antara pasar obligasi Euro pada masa sebelum perkenalan Euro akan tetapi lemah
dibandingkan dengan periode setelah masa perkenalan Euro. Sebaliknya terdapat
bukti hubungan kointegrasi yang kuat di antara pasar obligasi negara-negara nonEuro pada periode setelah perkenalan Euro. Lebih jauhnya, pada periode setelah
perkenalan Euro terdapat beberapa keterkaitan bivariate di antara pasar obligasi
Euro. Akhirnya, pasar obligasi US muncul untuk menyatukan secara langsung
Granger-cause semua pasar obligasi Eropa dalam kedua periode tersebut.
Penemuan ini memiliki implikasi penting untuk para investor, dalam hal
diversifikasi manfaat dan bagi pembuat kebijakan dan dalam hal melaksanakan
kebijakan moneter umumnya dengan benar.
Lucey et all (2005), menguji integrasi pasar modal Eropa sepanjang tahun
1985-2002 dengan menggunakan perangkat tiga teknik dinamis yang relatif baru
untuk mengukur tingkat time-varying integrasi pasar modal dari perspektif
komplementer. Ketiga teknik tersebut disepakati bahwa terdapat suatu
peningkatan derajat integrasi di antara pasar modal Eropa khususnya periode
tahun 1997-1998. Bukti ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa tahun
mendemonstrasikan keinginan politik pemimpin-pemimpin negara Eropa untuk
mengintegrasikan perekonomian mereka, hal ini tidak dilakukan hingga
pembentukan European Monetary Union dan European Central Bank sepanjang
tahun 1997-1998 dimana pasar dianggap bahwa integrasi Eropa pada
kenyataannya terjadi. Lucey juga memperlihatkan bahwa meskipun hal ini
meningkatkan integrasi, pasar modal Eropa masih lebih didominasi oleh pasar
Amerika Serikat dan masih mengarah kepada pasar ini dibandingkan dengan suatu
pengukuran internal umum.
Plummer dan Click (2002), negara-negara ASEAN telah mencoba untuk
mendiversifikasikan ketergantungan mereka pada sektor perbankan dalam
kendaraan intermediasi keuangan yang baik, meliputi pasar saham dan fixedincome. Kondisi penawaran dan permintaan seperti ini seperti pasar obligasi
khususnya akan semakin penting di negara-negara ini. Sebagian besar negara
anggota telah meluncurkan inisiatif untuk mengembangkan pasar fixed-income
mereka masing-masing. Lebih dari itu, kerjasama finansial sekarang dilakukan
pada prioritas peran di dalam proses kerjasama ekonomi ASEAN. Tulisan ini
mempertimbangkan apa yang dibutuhkan untuk memperkuat pasar obligasi
individu di ASEAN, sebaik mengembangkan suatu kerangka di dalam dimana
pasar obligasi regional dapat diterbitkan.
Lucey et all (2004), menggunakan suatu perangkat teknik-teknik yang
saling melengkapi untuk memeriksa tingkat time-varying integrasi pasar obligasi
negara Eropa. Penelitian ini memperhitungkan return dan harga harian sepanjang
periode 1998-2003. Hubungan contemporaneous dan dinamis ditemukan di antara
pasar individual Uni Eropa dan pasar Jerman. Bagaimanapun, tidak terdapat bukti
untuk ketiga pasar tambahan yaitu Republik Ceko, Hungaria, dan Polandia. Pasar
obligasi Inggris juga dimasukkan dalam penelitian ini. Secara keseluruhan, derajat
integrasi untuk negara tambahan lemah dan stabil meskipun integrasi politik
meningkat.
Bhamra (2002), dalam penelitiannya mempelajari efek-efek dari
liberalisasi pasar saham pada risk premia ekuitas, volatilitas return saham dan
korelasi return saham antar negara-negara.
Pada dua negara,
waktu yang
berlanjut, dinamisasi ekonomi, Bhamra memecahkan ekuilibrium dalam bentuk
yang relatif sama dengan pasar saham yang berbeda jenis dan derajat integrasinya.
Bhamra menemukan bahwa pembukaan pasar saham hanya dalam satu negara
untuk investor eksternal menghasilkan penurunan dalam risiko premium ekuitas
dan volatilitas return pasar saham dan peningkatan dalam korelasi return saham
antar negara. Volatilitas dari return saham meningkat pada negara yang tidak
meliberalisasi pasar sahamnya. Ketika kedua negara membuka pasar sahamnya
terhadap investor eksternal, risiko premia dan volatilitasnya berkurang pada kedua
negara dan korelasinya meningkat. Lebih jauhnya, ketika negara yang membuka
pasar sahamnya relatif kecil, menghasilkan penurunan dalam risiko premium
besar. Sebaliknya efek dari volatilitasnya berkurang. Peningkatan korelasi besar
ketika hanya satu negara dimana merupakan negara yang membuka pasar
sahamnya dalam ukuran kecil terhadap investor eksternal tapi berkurang ketika
dua negara yang berukuran tidak sama membuka kedua pasar sahamnya. Bhamra
juga menunjukkan perubahan dinamis CAPM dengan tingkat integrasi pasar
saham.
Schulz dan Wolff (2008) menguraikan faktor pendorong yang berbeda dari
integrasi sovereign bond market dengan mempelajari pergerakan yield negaranegara EMU, Inggris, dan Amerika dan 16 obligasi Jerman dalam 15 tahun
terakhir. Pada suatu frekuensi mingguan yang rendah, integrasi pasar obligasi
meningkat secara berangsur-angsur selama 15 tahun terakhir dalam negara-negara
EMU, Inggris, Amerika, dan
Jerman. Euro meningkat seiring dengan
peningkatan aliran modal internasional, tampak mendorong integrasi frekuensi
rendah. Sebaliknya penyesuaian yield untuk mengubah obligasi acuan Jerman
pada frekuensi tinggi misalnya dua hari, masih relatif rendah hingga Oktober 2000
ketika suatu peningkatan tajam dalam integrasi dapat diobservasi dalam semua
sampel. Peningkatan pada frekuensi integrasi dapat dihubungkan dengan program
perdagangan elektronik menjadi fungsional. Perubahan mata uang nasional
menjadi Euro tidak dapat menjelaskan peningkatan dramatis pada frekuensi tinggi
integrasi.
2.7.
Kerangka Pemikiran
Pada saat ini dilakukan upaya perjanjian kerja sama perdagangan antara
ASEAN dan negara mitra dagang, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, India,
Australia, dan Selandia Baru yang secara geografis terletak saling berdekatan
guna meningkatkan daya saing tiap negara dalam menghadapi persaingan global.
Bentuk kerja sama ini disebut dengan ASEAN + 6.
Pada berbagai penelitian dan literatur mengenai pasar finansial dua hal
penting yang selalu dibahas adalah mengenai return dan risiko akan tetapi dalam
penelitian ini hanya akan dibahas mengenai return. Pada penelitian ini akan
melihat bagaimana pergerakan yield obligasi negara Indonesia terhadap
guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dan
sebaliknya bagaimana pergerakan yield obligasi negara di antara negara-negara
ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia. Dalam
penelitian ini juga diperhitungkan data yield Amerika Serikat dimana diketahui
bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki perekonomian yang
besar di dunia sehingga semua hal yang terjadi baik dalam perekonomian maupun
non-ekonomi di Amerika Serikat akan direspon oleh hampir seluruh negara. Oleh
karena itu data yang digunakan untuk Amerika Serikat ialah data yield obligasi
negara Amerika Serikat pada t-1 dimana hal ini menjelaskan semua negara akan
merespon kejadian atau kebijakan yang terjadi pada Amerika Serikat pada hari
sebelumnya. Dan kemudian dalam penelitian akan melihat negara manakah yang
dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6.
ASEAN
Jepang,
Cina, Korea
Selatan
India,
Australia,
Selandia Baru
ASEAN + 6
Return
Indonesia
Risiko
Pasar Obligasi
Negara-negara
ASEAN+6
Integrasi Pasar
Obligasi
Negara yang
Dominan dalam
Sistem Integrasi
Pasar Obligasi
ASEAN+6
Keterangan:
Fokus dalam skripsi ini
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
US
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yield obligasi negara
yang memiliki masa jatuh tempo lima tahun untuk negara–negara ASEAN-5
(Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina), Cina, Korea Selatan, Jepang,
Australia, dan Selandia Baru serta Amerika Serikat yang diketahui sebagai negara
yang memiliki perekonomian terbesar saat ini. India dalam penelitian ini tidak
dimasukkan disebabkan oleh tidak tersedianya data. Data-data yang diperoleh
memiliki beberapa kekurangan yang diakibatkan oleh ketersediaan data yang
kurang lengkap dan sulitnya mendapatkan data indeks dari yield obligasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Data perdagangan obligasi yang tidak lengkap
diisi dengan data perdagangan terakhir. Data ini bersumber dari CEIC yang
merupakan jenis data sekunder yang berupa gabungan dari deretan waktu (time
series). Data yield obligasi negara ini berupa data harian pada periode 25 Juli 2005
hingga 21 Maret 2007.
3.2.
Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model analisis Vector
Autoregression (VAR). Model ini memiliki analisis lanjutan yaitu impulse
response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD).
Sebelum melakukan analisis model VAR/VECM terdapat beberapa langkah yang
harus dilakukan terlebih dahulu yaitu uji stasioneritas (unit root test), penentuan
lag optimal, dan uji kointegrasi.
3.2.1. Vector Autoregression (VAR)
Model VAR dikembangkan oleh Cristopher Sims (1980) dan dasarnya
hampir sama dengan model untuk menguji Granger’s (1969) Causality (Enders,
2000). VAR adalah model a-priori terhadap teori ekonomi. Namun demikian
model ini sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel
ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi di mana terjadi saling ketergantungan
antar variabel dalam ekonomi. Dalam Pasaribu (2003) model ini juga menjadi
dasar munculnya metode kointegrasi Johansen (1988, 1989) yang sangat baik
dalam menjelaskan perilaku variabel dalam perekonomian. Ketika kita tidak yakin
bahwa suatu variabel sebenarnya merupakan variabel eksogen, perluasan dasar
analisis fungsi perubahan adalah untuk memperlakukan setiap variabel secara
simetris (Enders, 2000).
Model VAR dalam bentuk standar
𝑥𝑡 = 𝐴0 + 𝐴1 𝑥𝑡−1 + 𝑒𝑡
(1)
dimana: 𝐴0 = 𝐵 −1 Γ0
𝐴1 = 𝐵 −1 Γ1
𝑒𝑡 = 𝐵 −1 𝜀𝑡
Untuk tujuan tertulis, kita dapat menetapkan 𝑎𝑖0 sebagai elemen i vektor 𝐴0 , 𝑎𝑖𝑗
sebagai elemen pada baris i dan kolom j dari matriks 𝐴1 , dan 𝑒𝑖𝑡 sebagai elemen i
pada vektor 𝑒𝑖𝑡 . Hal ini penting untuk dicatat bahwa error terms 𝑒𝑖𝑡 merupakan
shocks 𝜀𝑖𝑡 .
Karena 𝜀𝑖𝑡 merupakan proses white-noise, hal tersebut mengikuti 𝑒𝑖𝑡 memiliki
rataan nol, varians konstan, dan secara individual berturut-turut tidak berkorelasi.
(Enders, 2004).
Adapun model VAR yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
𝐼𝑁𝐷𝑡
𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑎14 𝑎15 𝑎16 𝑎17 𝑎18 𝑎19 𝑎20 𝐼𝑁𝐷𝑡−𝑘
𝜀1𝑡
𝑀𝐴𝐿𝑡
𝑎21 𝑎22 𝑎23 𝑎24 𝑎25 𝑎26 𝑎27 𝑎28 𝑎29 𝑎30 𝑀𝐴𝑌𝑡−𝑘
𝜀2𝑡
𝑎31 𝑎32 𝑎33 𝑎34 𝑎35 𝑎36 𝑎37 𝑎38 𝑎39 𝑎40 𝑇𝐻𝐴𝐼𝑡−𝑘
𝜀3𝑡
𝑇𝐻𝐴𝐼𝑡
𝑎41 𝑎42 𝑎43 𝑎44 𝑎45 𝑎46 𝑎47 𝑎48 𝑎49 𝑎50 𝑆𝐺𝑃𝑡−𝑘
𝜀4𝑡
𝑆𝑁𝐺𝑡
𝑎51 𝑎52 𝑎53 𝑎54 𝑎55 𝑎56 𝑎57 𝑎58 𝑎59 𝑎60 𝑃𝐻𝐼𝑡−𝑘
𝜀5𝑡
𝑃𝐻𝐼𝑡
= 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎 𝑎
+ 𝜀 (2)
𝐶𝐻𝑁𝑡
𝐶𝐻𝑁𝑡−𝑘
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
6𝑡
𝑎71 𝑎72 𝑎73 𝑎74 𝑎75 𝑎76 𝑎77 𝑎78 𝑎79 𝑎80 𝑆𝐾𝑅𝑡−𝑘
𝜀7𝑡
𝐾𝑂𝑅𝑡
𝑎81 𝑎82 𝑎83 𝑎84 𝑎85 𝑎86 𝑎87 𝑎88 𝑎89 𝑎90 𝐽𝑃𝑁𝑡−𝑘
𝜀8𝑡
𝐽𝑃𝑁𝑡
𝑎91 𝑎92 𝑎93 𝑎94 𝑎95 𝑎96 𝑎97 𝑎98 𝑎99 𝑎100 𝑁𝑊𝑍𝑡−𝑘
𝜀9𝑡
𝑁𝑊𝑍𝑡
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝑎
𝜀
101 102 103 104 105 106 107 108 109 110
10𝑡
𝐴𝑈𝑆𝑡
𝐴𝑈𝑆𝑡−𝑘
Keterangan:
𝐼𝑁𝐷𝑡 = yield obligasi negara Indonesia pada waktu t
𝑀𝐴𝐿𝑡 = yield obligasi negara Malaysia pada waktu t
𝑇𝐻𝐴𝐼𝑡 = yield obligasi negara Thailand pada waktu t
𝑆𝑁𝐺𝑡 = yield obligasi negara Singapura pada waktu t
𝑃𝐻𝐼𝑡 = yield obligasi negara Filipina pada waktu t
𝐶𝐻𝑁𝑡 = yield obligasi negara Cina pada waktu t
𝐾𝑂𝑅𝑡 = yield obligasi negara Korea Selatan pada waktu t
𝐽𝑃𝑁𝑡 = yield obligasi negara Jepang pada waktu t
𝑁𝑊𝑍𝑡 = yield obligasi negara Selandia Baru pada waktu t
𝐴𝑈𝑆𝑡 = yield obligasi negara Australia pada waktu t
𝜀𝑖𝑡
= Guncangan (shocks) yang terjadi pada suatu negara pada
waktu t
𝑎𝑖𝑗 = elemen pada baris i dan kolom j dari matriks A
Model di atas menjelaskan bahwa pergerakan yield obligasi negara Indonesia pada
waktu t dipengaruhi oleh yield obligasi negara-negara ASEAN+6 lainnya pada
waktu t-k sebesar a ditambah 𝜀𝑖𝑡 .
Langkah awal yang dilakukan sebelum menganalisis dalam model VAR/
VECM adalah uji stasioneritas atau unit root test. Uji unit root dilakukan untuk
menganalisis apakah data yang digunakan stasioner atau tidak sesuai dengan
bentuk tren deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Jika stasioner maka
tidak ada akar-akar unit, sebaliknya jika tidak stasioner maka ada akar-akar unit.
Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode
standar. Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan VAR
yaitu VAR dalam bentuk differences atau VECM.
Standar pengujian Dickey Fuller dilakukan dengan mengestimasi
persamaan 𝑦𝑡 = 𝜌𝑦𝑡−1 + 𝑥𝑡′ 𝛿 + 𝜖𝑡 setelah mengurangi dengan 𝑦𝑡−1 dari kedua
sisi persamaan:
∆𝑦𝑡 = 𝛼𝑦𝑡−1 + 𝑥𝑡′ 𝛿 + 𝜖𝑡 ,
(3)
dimana 𝛼 = 𝜌 − 1. Hipotesis nol dan hipotesis alternatif dapat ditulis sebagai
berikut,
𝐻0 : 𝛼 = 0
𝐻1 : 𝛼 < 0
dan dievaluasi menggunakan nilai t-ratio untuk α:
𝑡𝛼 = 𝛼
𝑠𝑒 𝛼
dimana 𝛼 merupakan estimasi dari α dan se(𝛼 ) merupakan koefisien standar error.
Dickey dan Fuller pada tahun 1979 menunjukkan bahwa dalam hipotesis nol ada
akar–akar unit, t-statistics yang diperoleh tidak mengikuti Student’s t-distribution
yang konvensional (Enders, 2000). Pada saat ini tabulasi yang sering digunakan
adalah tabulasi dari MacKinnon (1991,1996) yang mengimplementasikan
simulasi-simulasi yang lebih besar dan mendalam (Enders, 2000).
Dalam banyak penelitian model pengujian unit root adalah model
Augmented Dickey Fuller (ADF). Secara umum model ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
∆𝑦𝑡 = 𝑘 + 𝛼𝑦𝑡−1 + 𝑐1 ∆𝑦𝑡−1 + 𝑐2 ∆𝑦𝑡−2 + … … … + 𝑐𝑝 ∆𝑦𝑡−𝑝 + 𝑇𝑟𝑒𝑛𝑑 + 𝜀𝑡 (4)
Hipotesis yang diuji masih tetap sama dengan persamaan (3), namun dalam
persamaan (4) ada penambahan lag dari variabel dependen, konstanta dan variabel
trend.
Langkah berikutnya yang dilakukan setelah uji unit root adalah penentuan
lag optimal guna memperoleh panjang selang yang tepat akan dilakukan tiga
bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang
maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai
inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil
(stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan
semuanya terletak di dalam unit circle (Lutkepohl dalam Eviews 6 User’s Guide,
2007).
Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan
menggunakan kriteria informasi yag tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah
panjang selang menurut kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error
(FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC),
dan Hannan-Quin Criterion (HQ). Mengacu pada Widyanti dalam Hanie (2006),
perhitungan SC adalah sebagai berikut:
SC = AIC (q) + 𝑞 𝑇 (log 𝑇 − 1)
(5)
dimana:
q
= jumlah variabel
T
= jumlah observasi
AIC
= Akaike Information Criterion
Perhitungan Akaike Information Criterion (AIC) sebagai berikut:
𝐴𝐼𝐶 = 𝑙𝑜𝑔 Σε2t N +
2𝑘
𝑁
(6)
dimana :
Σ𝜀𝑡2
= jumlah residual kuadrat
N
= jumlah sampel yang beroperasi pada persamaan tersebut
k
= jumlah variabel yang beroperasi pada persamaan tersebut
Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki nilai kriteria AIC yang
terkecil.
Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka
kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka
pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga.
Pada tahap terakhir ini, nilai Adjusted 𝑅 2 variabel VAR dari masingmasing kandidat selang akan diperbandingkan, dengan penekanan pada variabelvariabel terpenting dari sitem VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari
sistem VAR dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai Adjusted 𝑅 2 terbesar
pada variabel-variabel penting di dalam sistem.
Langkah terakhir yang dilakukan sebelum melakukan analisis dalam
model VAR/VECM adalah uji kointegrasi yang dapat menjelaskan bahwa variabel
yang diamati dalam penelitian ini akan stabil pada jangka panjang. Esensi dari
cointegration adalah bahwa series tidak dapat menyebar ke segala arah jauh dari
satu sama lain dan menjelaskan bahwa keberadaan hubungan jangka panjang
antara series ini dan series yang lain dapat ditulis pada suatu format Error
Correction. Salah satu syarat agar tercapai keseimbangan jangka panjang adalah
galat keseimbangan harus berfluktuasi sekitar nol dengan kata lain error term
harus menjadi sebuah data time series. Berdasarkan definisi, pasar yang
terkointegrasi menunjukkan common stochastic trends. Hal ini, sebaliknya malah
membatasi jumlah variasi independen di antara pasar tersebut. Oleh karena itu
berdasarkan
pandangan
para
investor,
pasar
yang
terkointegrasi
akan
menunjukkan peluang diversifikasi terbatas. Persyaratan untuk assets yang
terkointegrasi pada suatu economic sense untuk membagi common stochastic
factors yang mana merupakan definisi alternatif kointegrasi yang dimaksud oleh
Chen dan Knez pada tahun 1995 dalam Lucey et al (2004).
Terdapat dua metode primer yang muncul untuk menguji derajat
kointegrasi di antara indeks. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat melihat Enders
(2000). Pertama adalah metodologi Engle-Granger (Engle dan Granger (1987))
untuk menguji cointegration di antara dua variabel. Kedua adalah teknik
Johansen-Juselius (Johansen (1998)) dan Johansen dan Juselius (1990) dalam
Lucey et al (2004), untuk menguji cointegration di antara lebih dari dua variabel.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan uji
kointegrasi adalah Johansen Cointegration Test. Suatu data time series dikatakan
terkointegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat
stasioner setelah didiferensiasi sebanyak d kali. Uji kointegrasi Johansen
ditunjukkan oleh persamaan berikut:
𝑝
∆𝑌𝑡 = 𝛽0 + 𝜋𝑌𝑡−1 Σ𝑖−1
Γ𝑖 Δ𝑌𝑡−1 + 𝜀𝑡
(7)
Komponen dari vektor 𝑌𝑡 dikatakan terkointegrasi bila ada vektor β = (β1,
β2,…, βn) sehingga kombinasi linier β𝑌𝑡 bersifat stasioner. Vektor β disebut vektor
kointegrasi. Rank kointegrasi pada vektor 𝑌𝑡 adalah banyaknya vektor kointegrasi
yang saling bebas. Penelitian ini menggunakan asumsi trend ketiga yaitu linear
deterministic trend intercept (no trend). Jika nilai trace statistic lebih besar
daripada critical value 10 persen maka hipotesis alternatif yang menyatakan
jumlah kointegrasi diterima sehingga dapat diketahui berapa jumlah persamaan
yang terkointegrasi dalam sistem. Tujuan dari uji pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah grup dari variabel yang tidak stasioner pada tingkat level
memenuhi syarat proses integrasi yang berarti bahwa apakah terdapat hubungan
jangka panjang pada pergerakan yield obligasi negara-negara ASEAN+6.
Apabila keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi
maka restriksi tambahan harus diberikan dan bentuk VAR yang terestriksi disebut
VECM. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut
ke dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut sebagai desain VAR
bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM
merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen
ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan
dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai istilah error,
karena deviasi terhadap ekuilibrium jangka panjang dikoreksi secara bertahap
melalui series parsial penyesuaian jangka pendek.
Adapun persamaan VECM (Cointegrating-VAR) secara matematis
ditunjukkan oleh persamaan berikut menurut Verbeek dalam Nugraha (2006)
𝑘−1
𝑖=1 Γ1 Δ𝑌𝑡−𝑖
∆𝑌𝑡 =
− 𝛾𝛽𝑌𝑡−𝑖 + 𝜀𝑡
dimana,
Г
: koefisien hubungan jangka pendek
β
: koefisien hubungan jangka panjang
γ
: kecepatan menuju keseimbangan (speed adjustment)
(8)
3.2.2. Uji Granger Causality
Pengujian kausalitas multivariat ini dilakukan untuk melihat hubungan
kausalitas yang dapat terjadi di antara variabel-variabel yang terdapat dalam
model. Penelitian ini menggunakan metode uji granger causality untuk melihat
hubungan tersebut. Hipotesis nol yang diuji menyatakan tidak adanya kausalitas
di antara variabel sedangkan hipotesis alternatifnya menyatakan adanya hubungan
kausalitas di antara variabel. Untuk menolak atau menerima hipotesis nol, maka
dapat melihat nilai probabilitasnya
yang dibandingkan dengan tingkat
kepercayaan yang pada penelitian ini menggunakan nilai kritis 10 persen. Jika
nilai probabilitasnya lebih besar dari 10 persen maka hipotesis nol ditolak yang
artinya terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel yang diuji.
3.2.3. Ordering for Cholesky
Ordering for Cholesky dilakukan ketika melakukan analisis Impulse
Response Function (IRF) dan Forecasting Error Variance Decomposition
(FEVD) dengan memilih metode degree of freedom cholesky. Penelitian ini
menggunakan uji granger causality dalam menentukan ordering. Negara yang
dijadikan urutan pertama yakni negara dengan nilai signifikan paling banyak
mempengaruhi negara lain berdasarkan uji granger causality. Jika terdapat lebih
dari satu negara yang sama banyak dalam mempengaruhi negara lainnya maka
selanjutnya dilihat hubungan antara kedua negara tersebut mana yang paling
mempengaruhi negara lainnya.
3.2.4. Impulse Response Function
Analisis impuls respons adalah metode yang digunakan untuk menentukan
respon suatu variabel endogen terhadap guncangan (shocks) variabel tertentu. IRF
juga digunakan untuk melihat guncangan dari satu variabel yang lain dan berapa
lama pengaruh tersebut terjadi. IRF dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui respon dinamik variabel yield obligasi negara yang memiliki jatuh
tempo lima tahun di antara negara-negara ASEAN+6.
3.2.5. Forecasting Error Variance Decomposition
Analisis dekomposisi varian atau dikenal dengan Forecasting Error
Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk menghitung dan menganalisis
seberapa besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variabel
endogen. FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masingmasing inovasi acak atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu
terhadap variabel lainnya dalam model VAR.
Dalam penelitian ini, ukuran kuat lemahnya suatu variabel dalam
mempengaruhi variabel lainnya ditetapkan secara normatif. Ukuran kuatnya suatu
variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya ditetapkan lebih besar dari 50
persen dan lemah lebih kecil dari 50 persen.
IV.
TRANSMISI YIELD OBLIGASI NEGARA
DI ANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+6: PENDEKATAN VAR
4.1.
Deskriptif Statistik Data
Pada Tabel 4.1 disajikan ringkasan statistik data yield harian obligasi
untuk setiap negara-negara ASEAN+6 yaitu means, standard deviation, skewness,
kurtosis, Jarque-Bera statistic dan p-value untuk data yield harian obligasi negaranegara ASEAN+6 dilampirkan. Rataan yield tertinggi adalah Indonesia (11.845
persen) dan Filipina (8.467 persen) sedangkan yang terendah adalah Jepang
(1.093 persen) dan Cina (2.347 persen). Yield obligasi negara harian ini juga
terlihat lebih tinggi pada lima negara-negara ASEAN (6.461 persen) dibandingkan
dengan lima negara non-ASEAN (4.007 persen). Hal ini menjelaskan bahwa
negara-negara ASEAN memiliki tingkat risiko yang tinggi maka negara-negara
ASEAN menawarkan tingkat yield yang lebih tinggi untuk mengkompensasi
tingkat risiko yang dimilikinya yang salah satu indikatornya adalah tingkat
perekonomiaannya relatif tidak stabil agar para investor tertarik untuk berinvestasi
pada negara ASEAN sedangkan bagi negara maju, tingkat yield yang ditawarkan
rendah karena tingkat risiko yang dimiliki relatif rendah yang salah satu
penyebabnya bahwa keadaan perekonomiannya relatif stabil.
Sebagai antisipasi, volatilitas (yang diukur dengan standar deviasi) juga
lebih tinggi pada negara-negara ASEAN-5 dibandingkan dengan negara-negara
non-ASEAN. Tingginya volatilitas yield pada negara-negara ASEAN-5
menjelaskan bahwa risiko dari return yang diharapkan oleh para investor pada
periode berikutnya tinggi sedangkan rendahnya volatilitas pada negara-negara non
ASEAN menjelaskan bahwa risiko dari return yang diharapkan oleh para investor
pada periode berikutnya rendah. Pada negara-negara non-ASEAN volatilitasnya
berdasarkan peringkat dimulai dari 0.2241 persen (Selandia Baru) hingga 0.4742
persen (Cina). Volatilitas diantara negara-negara non-ASEAN adalah 0.2979
persen. Standar deviasi dari kelima negara-negara ASEAN berdasarkan peringkat
dimulai dari 0.2881 persen (Singapura) hingga 1.761 persen (Filipina). Pada
negara-negara ASEAN, Singapura dan Malaysia merupakan negara-negara yang
volatilitasnya paling rendah sedangkan Filipina dan Indonesia merupakan negara
yang volatilitasnya tinggi. Volatilitas di antara negara-negara ASEAN adalah
sebesar 0.8922 persen.
Distribusi data yield obligasi negara terlihat tidak normal. Beberapa negara
memiliki nilai skewness yang negatif dan positif. Nilai skewness yang positif
menjelaskan bahwa data menjulur ke kanan, data cenderung menumpuk pada nilai
rendah sedangkan nilai skewness yang negatif menjelaskan bahwa data menjulur
ke kiri, data cenderung menumpuk pada nilai tinggi. Negara-negara yang
memiliki nilai skewness yang positif antara lain Selandia Baru, Cina, Korea
Selatan, Indonesia, Malaysia, dan Filipina sedangkan negara-negara yang
memiliki nilai skewness yang negatif antara lain Australia, Jepang, Thailand, dan
Singapura. Bila dilihat secara umum, negara-negara ASEAN memiliki nilai
skewness negatif sedangkan negara-negara non-ASEAN memiliki nilai skewness
yang positif. Haung dan Yang, Tay dan Zhu dalam Worthington dan Higgs
(2004), telah meneliti positif atau negatif skewness pada return saham-saham
Asia. Nilai kurtosis merupakan ukuran keruncingan distribusi data, derajat atau
ukuran tinggi rendahnya puncak suatu distribusi data terhadap distribusi
normalnya data. Nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 disebut leptokurtosis
(distribusi data yang puncaknya relatif tinggi), nilai kurtosis yang lebih kecil dari
3 disebut platikurtis (distribusi data yang puncaknya terlalu rendah sedangkan
nilai kurtosis sama dengan 3 disebut mesokurtis (normal). Secara umum negaranegara ASEAN memiliki nilai kurtosis kurang dari 3 yang artinya data tersebut
merupakan distribusi platikurtis. Sedangkan secara umum negara-negara nonASEAN memiliki nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 yang artinya merupakan
distribusi leptokurtosis. Selain itu nilai kurtosis yang lebih dari 3 berarti bahwa
data yield obligasi negara memiliki heavy tails dibandingkan dengan sebaran
normal standar. Nilai kurtosis yang lebih besar dari 3 merupakan gejala awal dari
adanya heteroskedastisitas. Bekaert dan Harvey dalam Worthington dan Higgs
(2004) telah meneliti mengenai excess kurtosis pada return saham. Statistik
terakhir pada Tabel 4.1 adalah perhitungan statistik Jarque-Bera dan p-value yang
digunakan untuk menguji hipotesis nol bahwa distribusi data yield obligasi
terdistribusi normal. Secara umum data-data negara ASEAN dan non-ASEAN
lebih kecil dari 0.1 maka tolak hipotesis nol yang berarti data tidak menyebar
normal. Akan tetapi untuk Korea Selatan terlihat bahwa p-value yang dimiliki
negara tersebut lebih besar dari 0.1 yang berarti bahwa data yield kedua negara
tersebut telah terdistribusi normal.
Sebelum melakukan pengolahan data dengan model VAR/VECM, terdapat
beberapa hal yang terlebih dahulu harus dilakukan. Hal tersebut berupa pengujianpengujian pra-estimasi yang meliputi uji akar unit, (unit root test), pengujian
stabilitas VAR, penentuan lag optimal, dan uji kointegrasi. Kegiatan pengujian ini
penting karena sebagian besar data time series mengandung akar unit yang dapat
mengakibatkan kurang baiknya model yang diestimasi misalnya hasil estimasi
menjadi palsu dan tidak valid (Gujarati, 2003).
Tabel 4.1. Ringkasan Statistik Data Yield Harian Obligasi Negara-negara
ASEAN+6
AUS
SB
CHN
JPG
KOR
NonASEAN
IND
MAL
PHI
THA
SNG
ASEAN5
4.2.
Mean
5.588880
6.033072
2.347460
1.093303
4.971709
4.0068688
Std. Dev
0.306087
0.224118
0.474230
0.257871
0.226990
0.2978592
Skewness
-0.171032
0.096140
1.825024
-0.604763
0.233582
0.2757902
Kurtosis
1.649759
1.905989
17.83080
2.245906
2.902133
5.3069174
JB-Stat
35.00370
22.26038
4208.679
36.65361
4.110266
861.341
p-Value
0.00000
0.000015
0.00000
0.00000
0.128076
0.0256182
11.84514
3.839594
8.467112
5.114875
3.037575
6.4608592
1.613882
0.357463
1.760718
0.440735
0.288178
0.8921952
0.109231
0.667135
0.002564
-0.256708
-1.214900
-0.1385356
2.235562
2.723054
1.680731
2.989882
3.761209
2.6780876
11.40397
33.40397
31.40146
4.757545
116.9708
39.607349
0.003339
0.000000
0.000000
0.092664
0.000000
0.0192006
Unit Root Test
Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan pengolahan data
dengan model VAR/VECM adalah menguji kestasioneran data variabel yang
digunakan untuk masing-masing negara karena sebagian besar data time series
mengandung akar unit. Uji unit root merupakan uji yang sangat populer untuk
menguji kestasioneran data yang dikenalkan oleh David Dickey dan Wayne
Fuller. Uji ini dikenal juga sebagai uji Augmented Dickey Fuller (ADF).
Jika nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah stasioner
yang artinya tidak mengandung akar unit. Apabila data pada level tidak stasioner
maka pengujian dilakukan sampai dengan first difference. Hasil pengujian data
pada level dengan menggunakan uji Augmented Dicky Fuller (ADF) disajikan
dalam Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2. Uji Akar Unit pada Level
Negara
Indonesia
Malaysia
Thailand
Singapura
Filipina
Cina
Korea Selatan
Jepang
Selandia Baru
Australia
US
Keterangan:
Nilai ADF
-4.619273*
-0.738163
-2.453776
-1.475734
-2.042508
-3.982699*
-3.212863
-1.810004
-2.567372
-3.015550
-1.364795
Nilai Kritis MacKinnon
1%
-3.980272
-3.979493
-3.979747
-3.979543
-3.979645
-3.979747
-3.979543
-3.979443
-3.979443
-3.979443
-3.979850
5%
-3.420662
-3.420283
-3.420406
-3.420308
-3.420357
-3.420406
-3.420308
-3.420259
-3.420259
-3.420259
-3.420457
10%
-3.133035
-3.132811
-3.132884
-3.132826
-3.132855
-3.132884
-3.132826
-3.132797
-3.132797
-3.132797
-3.132914
Keterangan
Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
Tidak Stasioner
* stasioner pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa data yang digunakan sebagian
besar masih tidak stasioner atau dalam arti masih memiliki akar-akar unit pada
tingkat level. Hal ini dapat diketahui dari nilai t-ADF yang lebih besar dari nilai
kritis MacKinnon pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Karena
sebagian besar data tersebut tidak stasioner pada tingkat level, maka pengujian
dilakukan kembali pada tingkat first difference. Tetapi menurut Sims dalam
Nugraha (2006) bahwa penggunaan data first difference tidak direkomendasikan
karena hal ini akan menghilangkan informasi jangka panjang yang dimiliki. Hasil
pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3. Uji Akar Unit pada First Difference
Negara
Indonesia
Malaysia
Thailand
Singapura
Filipina
Cina
Korea Selatan
Jepang
Selandia Baru
Australia
US
Keterangan:
Nilai ADF
-3.861332*
-2.799174**
-5.435319*
-14.26980*
-10.70369*
-10.15730*
-14.87241*
-15.99288*
-22.47325*
-15.36790*
-7.081948*
Nilai Kritis MacKinnon
1%
5%
10%
-3.445852
-3.445928
-3.445481
-3.445338
-3.445409
-3.445627
-3.445338
-3.445338
-3.445302
-3.445338
-3.445554
-2.868268
-2.868302
-2.868105
-2.868042
-2.868073
-2.868169
-2.868042
-2.868042
-2.868206
-2.868042
-2.868137
-2.570419
-2.570437
-2.570332
-2.570298
-2.570315
-2.570366
-2.570298
-2.570298
-2.570289
-2.570298
-2.570349
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
* stasioner pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%
** stasioner pada taraf nyata 10%
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa pada first difference
semua data yang digunakan dalam penelitian ini telah stasioner pada taraf 10
persen yang juga berarti tidak memiliki akar-akar unit lagi dan data yang
digunakan terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1).
Karena penggunaan data pada first difference dapat menghilangkan
informasi pada jangka panjang maka untuk menganalisisnya akan digunakan data
level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan
menjadi VECM apabila data tersebut stasioner pada first difference dan
terkointegrasi.
4.3.
Penentuan Lag Optimal
Penentuan lag optimum ini sangat penting dalam model VAR karena
pengujian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya lag dari variabel endogen
dalam sistem persamaan yang akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders
dalam De Jong, 2005). Pengujian ini juga sangat berguna dalam mengatasi atau
menghilangkan masalah autokorelasi yang sering terjadi pada data time series
sehingga setelah melakukan pengujian ini dan diperoleh lag yang optimal maka
diharapkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR dapat tidak muncul lagi.
Penentuan lag optimal yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berdasarkan informasi dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC)
yang memiliki nilai terkecil. Dalam penelitian ini lag optimal yang dipilih adalah
lag tiga karena memiliki nilai AIC terkecil. Dalam persamaan VAR first
differences yang dilakukan terlihat bahwa lag dua yang memiliki nilai AIC lebih
kecil akan tetapi karena lag optimal diperoleh dari model VAR first differences
maka nilai lag optimal ditambahkan satu karena estimasi yang akan dilakukan
dalam persamaan VAR/VECM dalam waktu t bukan t-1. Hasil dari pengujian ini
dapat dilihat pada lampiran 1.
4.4.
Pengujian Stabilitas VAR
Pengujian ini dilakukan karena jika hasil estimasi VAR yang akan
dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan yang tidak stabil, maka IRF
(Impulse Response Function) dan FEVD (Forecasting Error Variance
Decomposition) menjadi tidak valid (Nugraha, 2006).
Untuk menguji kestabilan atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk
maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic
polynomial. Sistem dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus
lebih kecil dari satu (Lutkepohl dalam Eviews 6 User’s Guide, 2007). Berdasarkan
uji stabilitas VAR maka dapat diketahui bahwa estimasi VAR yang akan
digunakan untuk analisis IRF dan FEVD stabil. Hasil pengujian ini dapat dilihat
pada lampiran 2.
4.5.
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang
tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi adalah
fenomena dimana kombinasi linear dari dua variabel atau lebih yang tidak
stasioner akan menjadi stasioner dimana kombinasi linear inilah yang disebut
dengan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan
jangka panjang di antara variabel Verbeek dalam Nugraha (2006). Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Johansen.
Pengujian ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka
panjang antara variabel yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi
dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu pada first
differences atau I(0). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan
terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang
dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Kriteria pengujian
kointegrasi pada penelitian ini didasarkan pada trace statistics. Apabila nilai trace
statistics lebih besar daripada nilai lima persen maka hipotesis alternatif yang
menyatakan jumlah rank kointegrasi dapat diterima. Hasil pengujian dapat dilihat
pada lampiran 3.
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa untuk persamaan tersebut
terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata sepuluh persen. Informasi
jumlah rank kointegrasi ini akan digunakan sebagai model korelasi kesalahan
(ECM) yang akan dimasukkan ke dalam model VAR menjadi VECM.
4.6.
Granger Causality Test
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan ordering dengan cara
mengurutkan negara-negara yang paling banyak mempengaruhi negara lainnya.
Jika ada dua negara yang sama banyak dalam mempengaruhi negara lain, maka
dilihat hubungan antara kedua negara tersebut mana yang dipengaruhi dan mana
yang mempengaruhi. Hasil pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 5.
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan diperoleh ordering sebagai
berikut Australia-Indonesia-Filipina-Singapura-Jepang-Selandia Baru-ThailandMalaysia-Cina-Korea Selatan sedangkan ordering yang diperoleh setelah
memperhitungkan Amerika Serikat yaitu Indonesia-Australia-Filipina-JepangAmerika Serikat-Selandia Baru-Thailand-Singapura-Korea Selatan-MalaysiaCina.
4.7.
Hasil Empiris
Estimasi VECM merupakan estimasi yang dilakukan untuk melihat
analisis jangka panjang dan jangka pendek. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah
menganalisis impuls respon (impulse response function/IRF) dengan melihat
respons yield di antara masing-masing negara-negara ASEAN+6. Hasil estimasi
VECM dapat dilihat pada lampiran 4.
4.7.1. Impulse Response Function (IRF)
Berdasarkan hasil analisis impulse response function (IRF) negara-negara
ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia terlihat
bahwa pada beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Filipina, dan Thailand
mengalami peningkatan yield obligasi negaranya akan tetapi lain halnya dengan
yang terjadi pada yield obligasi negara Malaysia yang justru mengalami
penurunan. Pada hari pertama ketika terjadi gejolak pada pasar obligasi Indonesia,
yield obligasi negara Singapura mengalami peningkatan sebesar 0.16 persen
kemudian pada hari kelima mengalami penurunan sebesar 0.12 persen. Penurunan
ini tidak berlangsung lama dimana pada hari berikutnya kembali mengalami
peningkatan sebesar 0.13 persen. Yield obligasi negara Filipina mengalami
peningkatan pada hari pertama terjadinya guncangan pada pasar obligasi
Indonesia sebesar 1.79 persen. Kemudian mengalami penurunan pada hari ketiga
sebesar 1.38 persen kemudian pada hari kelima kembali mengalami peningkatan
sebesar 2.62 persen dan pada hari keenam kembali lagi mengalami penurunan
sebesar 2.35 persen. Sedangkan yield obligasi negara Thailand pada hari pertama
terjadinya guncangan pada pasar obligasi Indonesia mengalami penurunan sebesar
0.29 persen. Kemudian pada hari kedua mengalami penurunan yang relatif besar
yaitu 0.39 persen kemudian mengalami peningkatan pada hari keempat sebesar
0.29 persen. Selain itu terlihat beberapa negara non-ASEAN atau negara maju
yang mengalami peningkatan yield obligasi negaranya yaitu Cina dan Korea
Selatan sebagai respon yang terjadi akibat guncangan yang terjadi pada pasar
obligasi Indonesia sedangkan sebagian lagi negara maju yang lain mengalami
penurunan yield obligasi negaranya yaitu Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Pada hari pertama setelah terjadi guncangan pada pasar obligasi Indonesia
ternyata direspon negatif oleh yield obligasi negara Cina yang mengalami
penurunan sebesar 0.29 persen kemudian pada hari kedua kembali mengalami
penurunan yang relatif sangat rendah sebesar 0.33 persen. Akan tetapi pada hari
ketiga terlihat bahwa yield
mengalami peningkatan sebesar 0.17 persen dan
kemudian terus meningkat hingga mencapai kestabilan dimana efek dari
guncangan yang terjadi tidak terlihat lagi. Sedangkan pada hari pertama setelah
terjadinya guncangan pada pasar obligasi Indonesia ternyata yield obligasi negara
Korea Selatan terlihat bergerak positif yang mengalami peningkatan sebesar 0.11
persen. Akan tetapi pada hari kedua terjadi penurunan yang relatif rendah yaitu
sebesar 0.22 persen tetapi penurunan ini tidak berlangsung lama karena pada hari
keempat peningkatan kembali terjadi sebesar 0.2 persen dan terus mengalami
peningkatan hingga efek dari guncangan tidak lagi terlihat dimana artinya yield
telah mencapai kestabilan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.
Australia
0
Indonesia
0.2
1 4 7 1013161922
0
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.01
Filipina
0.05
Singapura
0.002
0
0
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 1013161922
Jepang
0
Selandia Baru
0
1 4 7 1013161922
-0.01
1 4 7 1013161922
-0.01
Thailand
Malaysia
0
0
1 4 7 1013161922
-0.005
1 4 7 1013161922
-0.005
Cina
Korea Selatan
0.01
0.01
0
0
-0.01
1 4 7 1013161922
-0.01
1 4 7 1013161922
Gambar 4.1. Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6 terhadap
guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia
Setelah mengamati bagaimana respon yield obligasi negara-negara
ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Indonesia, hal
sebaliknya juga menarik untuk diamati yaitu bagaimana respon yield obligasi
negara Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada pasar obligasi negaranegara ASEAN+6.
Pada saat terjadi guncangan pada beberapa pasar obligasi negara-negara
ASEAN yaitu Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia ternyata direspon
positif oleh yield obligasi negara Indonesia dimana terjadi peningkatan pada
besarnya yield obligasi negara Indonesia pada saat terjadi guncangan dalam pasar
obligasi negara-negara tersebut. Sedangkan hal sebaliknya yaitu terjadinya
penurunan yield obligasi ini terjadi dengan merespon guncangan yang terjadi pada
pasar obligasi Australia, Cina, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Pada hari pertama setelah terjadinya guncangan pada pasar obligasi
Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia ternyata belum terlihat adanya
perubahan yang terjadi pada yield obligasi negara Indonesia dimana perubahan
baru terlihat terjadi pada hari kedua. Respon yield obligasi negara Indonesia
terhadap guncangan yang terjadi di pasar obligasi Filipina yaitu pada hari kedua
terjadi peningkatan sebesar 0.28 persen kemudian kembali mengalami
peningkatan yang relatif tinggi sebesar 1.03 persen dan kemudian mengalami
penurunan sebesar 0.78 persen. Sedangkan respon yield obligasi negara Indonesia
pada saat terjadinya guncangan pada pasar obligasi Singapura pada hari kedua
yaitu terjadi peningkatan yield sebesar 0.57 persen. Kemudian pada hari ketiga
mengalami penurunan sebesar 0.51 persen akan tetapi penurunan ini tidak
berlangsung lama karena pada hari keempat yield kembali mengalami peningkatan
sebesar 0.70 persen dan terus befluktuasi pada kisaran 0.6 persen.
Respon yield obligasi Indonesia terhadap guncangan yang terjadi pada
pasar obligasi Thailand dan Malaysia sekilas terlihat sama bergerak pada kisaran
perubahan sebesar satu persen. Pada hari kedua setelah terjadinya guncangan pada
pasar obligasi Thailand ternyata direspon negatif oleh yield obligasi negara
Indonesia yang turun sebesar 0.072 persen dan kemudian mengalami peningkatan
pada hari berikutnya sebesar 0.98 persen. Sedangkan guncangan yang terjadi pada
pasar obligasi Malaysia ternyata pada hari kedua direspon positif oleh yield
obligasi negara Indonesia sebesar 0.1 persen yang kemudian terus meningkat
dimana pada hari ketujuh yield obligasi Indonesia mengalami perubahan sebesar 1
persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Australia
0
1 4 7 10 13 16 19 22
Indonesia
0.2
0
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.02
Filipina
0.02
0
Singapura
0.01
0
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Jepang
0
Selandia Baru
0
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.01
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.01
Thailand
Malaysia
0.02
0.02
0
0
-0.02
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Cina
0
Korea Selatan
0
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.05
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.05
Gambar 4.2. Respon yield obligasi negara Indonesia terhadap guncangan yang
terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6.
4.7.2. Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan
untuk mengetahui bagaimana peranan pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dalam
menjelaskan fluktuasi pergerakan yield obligasi negara di antara negara-negara
ASEAN+6 serta berapa besar kontribusi masing-masing guncangan yang terjadi pada
pasar obligasi negara-negara ASEAN+6 dalam mempengaruhi pasar obligasi negaranegara ASEAN+6. Dengan demikian hasil analisis ini akan menjawab permasalahan
yang kedua dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisis FEVD yang diperoleh terlihat bahwa semua yield
obligasi negara masih dominan dipengaruhi oleh pasar obligasi negara itu sendiri.
Selain dipengaruhi oleh pasar obligasi negara itu sendiri, dalam jangka panjang
yaitu periode ke 24 yield obligasi negara Australia dipengaruhi oleh pasar obligasi
Indonesia sebesar 3.29 persen, yield obligasi negara Indonesia dipengaruhi oleh pasar
obligasi Cina sebesar 2.92 persen, yield obligasi negara Filipina dipengaruhi oleh
pasar obligasi Malaysia sebesar 4.94 persen, yield obligasi negara Singapura
dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 20.98 persen. Yield obligasi negara
Jepang dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 14.03 persen, yield obligasi
negara Selandia Baru dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 25.24 persen,
yield obligasi negara Thailand dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 6.15
persen, yield obligasi negara Malaysia dipengaruhi oleh pasar obligasi Filipina
sebesar 8.37 persen, yield obligasi negara Cina dipengaruhi oleh pasar obligasi Korea
Selatan 9.04 persen dan yang terakhir yield obligasi negara Korea Selatan
dipengaruhi oleh pasar obligasi Thailand sebesar 7.63 persen.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pasar obligasi yang
dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara ASEAN+6
adalah Australia. Australia dominan atas empat negara yang relatif besar yaitu
Singapura, Jepang, Selandia Baru dan Thailand. Terlihat juga bahwa masing-masing
pasar obligasi di negara-negara ASEAN+6 memiliki pengaruh yang relatif kecil
sehingga dapat dikatakan hubungan antar pasar obligasinya masih relatif sangat
lemah. Hasil analisis FEVD ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
ASEAN+6 (dalam persen)
AUS NWZ
92.53 0.18
AUS
25.2* 64.10
NWZ
14*
0.35
JPN
7.48
1.20
CHN
6.17
6.41
KOR
0.22
0.07
IND
8.12
0.27
MAL
1.99
1.19
FIL
6.15* 0.84
THAI
21*
1.41
SNG
Keterangan: * Dominan
JPN
1.48
1.29
71
1.23
1.75
0.14
0.14
3.16
2.63
0.29
CHN
1.22
0.04
1.30
67
4.06
*2.9
5.92
2.35
0.22
3.42
KOR
0.04
0.06
0.56
9*
68.2
2.85
0.01
1.02
1.02
0.14
IND
3.30*
5.06
5.73
0.07
0.71
92.25
1.06
1.62
0.07
0.22
MAL
0.23
0.25
0.57
2.27
0.16
0.62
71.71
4.94*
0.58
0.68
FIL
0.13
0.04
3.02
3.38
0.53
0.25
8.37*
82.85
0.06
0.77
THAI
0.19
3.9
3.04
5.74
7.63*
0.53
1.93
0.02
88.13
2.73
SNG
0.70
0.03
0.44
2.58
4.36
0.14
2.46
0.85
0.30
69.4
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
mempertimbangkan pasar obligasi Amerika Serikat yang sebagaimana kita ketahui
bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki ukuran perekonomian yang
relatif sangat besar. Dalam penelitian kali ini Amerika Serikat hanya sebagai
pengontrol atau pembanding untuk melihat bagaimana tingkat integritas antara
negara-negara ASEAN+6 terhadap Amerika Serikat dan sebaliknya yaitu untuk
melihat bagaimana tingkat integritas yang terjadi antara Amerika Serikat terhadap
negara-negara ASEAN+6.
Berikut ini pada Gambar 4.3 merupakan hasil analisis impuls respon yield
obligasi negara-negara ASEAN+6 terhadap guncangan yang terjadi pada pasar
obligasi Amerika Serikat. Pada gambar terlihat bahwa apabila terjadi guncangan pada
pasar obligasi Amerika Serikat sebesar satu standar deviasi maka beberapa negara
meresponnya positif yaitu dengan mengalami peningkatan perubahan yield obligasi
negaranya. Negara-negara yang mengalami peningkatan perubahan yield obligasi
negaranya antara lain Indonesia, Jepang, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan
Malaysia. Akan tetapi respon sebaliknya juga terjadi pada beberapa yield obligasi
negara yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi Amerika Serikat sebesar
satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan mengalami perubahan
penurunan yield obligasi negaranya. Negara-negara yang mengalami hal ini antara
lain adalah Australia, Selandia Baru dan Cina.
Indonesia
0.02
Australia
0
1 4 7 10 13 16 19 22
0
-0.02 1 4 7 10 13 16 19 22
-0.01
Filipina
Jepang
0.05
0.005
0
0
-0.05
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
US
Selandia Baru
0.05
0.01
0
0
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.01 1 4 7 10 13 16 19 22
Thailand
Singapura
0.02
0.01
0
0
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Korea Selatan
Malaysia
0.02
0.01
0
0
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Cina
0.05
0
-0.05
1 4 7 10 13 16 19 22
Gambar 4.3. Respon yield obligasi negara negara-negara ASEAN+6 terhadap
guncangan yang terjadi pada pasar obligasi Amerika Serikat.
Pada Gambar 4.4 berikut merupakan hasil analisis impuls respon yield
obligasi negara Amerika Serikat ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negaranegara ASEAN+6. Berdasarkan gambar hasil analisis impuls respons di atas terlihat
bahwa ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6
ternyata beberapa negara di respon positif oleh yield obligasi negara Amerika Serikat
dimana terjadi perubahan peningkatan yield obligasi negara Amerika Serikat.
Beberapa negara yang direspon positif oleh yield obligasi negara Amerika Serikat
adalah Australia, Jepang, Selandia Baru, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan
Cina.
Akan tetapi respon sebaliknya juga terjadi pada yield obligasi negara
Amerika yaitu ketika terjadi guncangan pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6
sebesar satu standar deviasi ternyata direspon negatif dengan mengalami perubahan
penurunan yield obligasi negara Amerika Serikat. Negara-negara yang direspon
negatif dalam hal ini antara lain adalah Indonesia, Filipina, dan Singapura.
Indonesia
0
1 4 7 10 13 16 19 22
Australia
0.04
0.03
0.02
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.02
Filipina
0
Jepang
0.01
1 4 7 10 13 16 19 22
0
1 4 7 10 13 16 19 22
-0.005
US
Selandia Baru
0.05
0.01
0
0
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Korea Selatan
Thailand
0.01
0.01
0
0
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Malaysia
Singapura
0.005
0.002
0
0
-0.005
1 4 7 10 13 16 19 22
1 4 7 10 13 16 19 22
Cina
0.005
0
-0.005
1 4 7 10 13 16 19 22
Gambar 4.4. Respon yield obligasi negara Amerika Serikat terhadap guncangan
yang terjadi pada pasar obligasi negara-negara ASEAN+6.
Berikut ini
merupakan hasil analisis forecasting error variance
decomposition (FEVD) dari negara-negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat dengan
horizon waktu 24 hari. Terlihat bahwa dalam 24 hari yield obligasi negara dari
masing-masing negara tersebut masih didominasi oleh pasar obligasi negara masingmasing. Selain itu dari hasil analisis FEVD yang dilakukan diperoleh informasi
bahwa yield obligasi negara Indonesia dipengaruhi oleh pasar obligasi Korea Selatan
sebesar 3.37 persen, yield obligasi negara Australia dipengaruhi oleh pasar obligasi
Indonesia sebesar 6.88 persen, yield obligasi negara Filipina dipengaruhi oleh pasar
obligasi Malaysia sebesar 6.17 persen, yield obligasi negara Jepang dipengaruhi oleh
pasar obligasi Australia sebesar 11.90 persen, yield obligasi negara Amerika Serikat
dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 49.33 persen, yield obligasi negara
Selandia Baru dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia sebesar 21.14 persen, yield
obligasi negara Thailand dipengaruhi oleh pasar obligasi negara Australia sebesar
5.48 persen, yield obligasi negara Singapura dipengaruhi oleh pasar obligasi Australia
sebesar 18 persen, yield obligasi negara Korea Selatan dipengaruhi oleh pasar
obligasi Thailand sebesar 7.93 persen, yield obligasi negara Malaysia dipengaruhi
oleh pasar obligasi Filipina sebesar 7.90 persen dan yield obligasi Cina dipengaruhi
oleh pasar obligasi Amerika Serikat sebesar 7.85 persen.
Berdasarkan hasil analisis FEVD diketahui bahwa pasar obligasi negara
yang dominan dalam sistem integrasi pasar obligasi di antara negara-negara
ASEAN+6 dan Amerika Serikat adalah Australia dimana Australia dominan atas
pasar obligasi Jepang, Amerika Serikat, Selandia Baru, Thailand dan Singapura.
Tabel 4.5. Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)
ASEAN+6 dan Amerika Serikat (dalam persen).
AUS
NWZ
87.74
0.44
AUS
21.14* 62.44
NWZ
11.9*
0.54
JPN
6.48
1.5
CHN
6.28
4.91
KOR
0.02
0.14
IND
5.79
0.04
MAL
1.68
0.68
FIL
5.48*
0.16
THAI
17.99* 0.39
SNG
49.33* 1.07
US
Keterangan: *Dominan
JPN
1.28
2.17
73.5
5.84
1.85
0.02
0.03
2.67
3.04
4.46
4.16
CHN
0.72
0.24
0.02
58.24
1.77
0.01
0.14
0.15
0.06
0.28
0.02
KOR
0.25
0.22
1.04
7.03
71.2
3.37*
0.06
1.57
0.94
0.08
1.21
IND
6.88*
6.79
6.77
1.44
0.25
94.5
0.97
1.92
0.15
0.06
10.91
MAL
0.07
0.01
0.53
7.77
0.06
0.68
81.05
6.16*
0.48
0.54
0.03
FIL
0.12
0.05
2.91
1.05
0.45
0.33
7.9*
84.83
0.06
0.37
0.53
THAI
0.59
6.55
1.94
2.1
7.93*
0.21
0.91
0.03
84.12
3.31
2.71
SNG
0.7
0.14
0.55
0.71
1.39
0.16
2
0.22
0.38
65.78
0.13
US
1.22
0.25
0.32
7.85*
3.9
0.59
1.09
0.09
5.12
6.73
29.9
Pada hasil analisis IRF untuk semua negara yang terdapat pada lampiran
terlihat bahwa pasar obligasi di antara negara-negara maju memiliki perilaku pasar
yang relatif sama di antara sesama negara maju dalam jangka pendek terlihat bahwa
terjadi pergerakan respon positif pada hampir semua yield obligasi negara-negara
maju dalam ASEAN+6 tersebut. Sedangkan dalam jangka panjang terlihat perilaku
pasar di antaranya relatif stabil.
Hal yang sama juga terjadi pada sesama negara berkembang sebagaimana
yang dapat dilihat pada hasil analisis IRF untuk semua negara yang terdapat pada
lampiran dimana terlihat bahwa di antara sesama negara-negara berkembang
memiliki perilaku pasar yang relatif sama di antara sesama negara berkembang dalam
jangka pendek terlihat terjadi pergerakan respon positif pada hampir semua yield
obligasi negara-negara berkembang dalam ASEAN+6 tersebut. Sedangkan dalam
jangka panjang terlihat perilaku pasar di antaranya reatif stabil.
Akan tetapi perilaku respon negatif dalam jangka pendek umumnya dijumpai
terjadi apabila terjadi guncangan pada pasar obligasi negara maju terhadap
pergerakan yield obligasi negara-negara berkembang ataupun sebaliknya terjadi
guncangan pada pasar obligasi negara berkembang terhadap pergerakan yield obligasi
negara maju. Analisis impuls respon selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6.
V.
5.1.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis VECM yang telah dilakukan, pada analisis impulse
response function (IRF) terlihat bahwa adanya hubungan di antara pasar obligasi
negara-negara ASEAN+6. Dimana hal ini dijelaskan dengan adanya respon yang
dapat dilihat berupa fluktuasi yield yang terjadi dalam jangka pendek akibat
guncangan yang terjadi dalam pasar obligasi negara-negara ASEAN+6. Hal ini
merupakan hubungan yang dinamis di antara negara-negara ASEAN+6. Sedangkan
berdasarkan hasil analisis forecasting error variance decomposition untuk kawasan
ASEAN+6 maupun dengan Amerika Serikat diketahui bahwa negara yang dominan
dalam mempengaruhi fluktuasi yield obligasi negara dari negara-negara ASEAN+6
maupun Amerika Serikat adalah Australia.
Dari hasil analisis FEVD dan IRF juga diketahui bahwa hubungan yang
terjadi di antara masing-masing pasar obligasi negara ASEAN+6 adalah relatif sangat
lemah. Hubungan yang relatif sangat lemah ini menimbulkan dugaan bahwa hal ini
disebabkan akibat terlalu banyaknya pilihan bagi para investor untuk memindahkan
dana investasinya pada negara-negara yang berada dalam kawasan ASEAN+6 jika
terjadi guncangan dalam salah satu negara dalam kawasan ini
Dengan terbentuknya integrasi pasar obligasi di antara negara-negara
ASEAN+6 ini diyakini bahwa hal ini akan memudahkan negara memperoleh dana
dalam pembiayaan fiskalnya. Sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi tanpa
harus mengandalkan sumber pembiayaan yang lebih berisiko misalnya dengan
berhutang pada negara lain ataupun terlalu bergantung pada sektor perbankan.
5.2.
Saran
Saran yang ingin disampaikan dalam penelitian ini adalah berdasarkan
penelitian yang dilakukan, usaha untuk membentuk kerjasama integrasi pasar obligasi
di antara negara-negara ASEAN+6 belum dapat dilakukan dikarenakan oleh
hubungan yang terjadi di antara negara-negara tersebut masih relatif lemah.
Sedangkan saran yang ingin disampaikan untuk penelitian selanjutnya adalah
hendaknya dilakukan penelitian mengenai risiko yang terdapat dalam pasar obligasi
negara-negara
ASEAN+6,
selain
itu
dalam
penelitian
berikutnya
juga
mempertimbangkan dampak krisis yang terjadi dan data penelitian hendaknya
merupakan data yang terbaru dan lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, K, T. Jappelli, A. Menichini, M. Padula, M. Pagano. 2002. Analyse, Compare,
and Apply Alternative Indicators and Monitoring Methodologies to Measure
the Evolution of Capital Market Integration in the European Union.
Adler, M., dan B. Dumas. 1983. “ International portfolio choice and corporate
finance: A Synthesis. Journal of Finance 38, 925-984.
Arifin, S, R. A. Djaafara, dan A. S Budiman. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. PT Elex Media Komputindo: Jakarta
Asian Development Bank, 1999. Rising to the Challenge in Asia: A Study of
Financial Markets, Volume 2, Special Issues, p. 6.
Baker, M, R. Greenwood, dan J. Wurgler. 2002. The Maturity of Debt Issues and
Predictable Variation in Bond Returns.
Bartram, S. M, S. J. Taylor dan Y. H. Wang. 2004. The Euro and European Finacial
Market Integration.
Bhamra, H. S. 2002. International Stock Market Integration: A Dynamic General
Equilibrium Approach.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2009. Investasi pada Obligasi Negara.
Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Jakarta.
_____________________________________. 2009. Istilah Umum Terkait dengan
Investasi pada Surat Utang Negara. Direktorat Jendral Pengelolaan Utang,
Jakarta
_____________________________________. 2009. Mengenal Surat Utang Negara.
Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, Jakarta.
_____________________________________. 2009. Integrasi Ekonomi ASEAN.
Pusat Kerja Sama Internasional Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta.
De Jong, F. dan F. A. de Roon. 2001. Time-Varying Market Integration and Expected
Returns in Emerging Markets. Tinbergen Institute Discussion Paper. TI
2001-113/2.
Dumas, B and S. Bruno. 1995. The world price of foreign exchange risk.” Journal of
Finance 2, 445-479.
Eichengreen, B. 2004. The Development of Asian Bond Markets. BIS, 30.
Enders, W. 2000. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd. New York,
USA.
Fair, Ray C. 2001. Shock Effects on Stocks, Bonds, dan Exchange Rates.
Fama, E. 1991. "Efficient Capital Markets II". Journal of Finance, 46, pp. 1575-617.
Fakhruddin, H. M. 2008. Istilah Pasar Modal A-Z.PT Elex Media Komputindo:
Jakarta
Ferson, W. E., and C. R. Harvey,1993, “The Risk and Predictability of International
Equity Returns,” Review of Financial Studies 6 (3), 527-566.
Ferson, W.E. and R.A. Korajczyk 1995, “Do arbitrage pricing models explain the
predictability of stock returns?", Journal of Business 68, 309-349.
Hale, G. 2003. Bonds or Loans? The effect of Macroeconomic Fundamentals.
Cowless Foundation Discussion Paper No. 1403.
Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal dan Riil diantara Negara-Negara
ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen: Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harvey, C. R. 1991. The world price of covariance risk. Journal of Finance 46, 111157.
Hirose, M, T. Murakami dan Y. Oku. 2004. Development of the Asian Bond Markets
and Business Opportunities. NRI Papers No. 82.
Jikang, Z dan W. Xinhui. 2004.Financial Market Integration in Euro Area. The 4th
Meeting of the European Studies Centers in Asia: EU Enlargement and
Institutional Reforms and Asia. China
Jung, Y, F. M Song dan S. C Jeon. Financial Integration in Northeast Asia: Prospek
and Implications.
Laopodis, N. T. 2008. Government Bond Market Integration within European Union.
International Research Journal of Finance and Economics.
Lucey,B. M, J. Kim dan E. Wu. 2004. Dynamics of Bond Market Integration between
Existing And Accession EU Countries. IIIS Discussion Paper No. 25
Nugraha, F. W dan Noer A.A. 2008. Efek perubahan (pass-through effect) kurs
terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan.
Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 1 (1) : 90-109
Pasaribu, S. H. 2003. Modul Pelatihan (Paket C) EVIEWS untuk Analisis Runtut
Waktu (Time Seires Analysis). Departemen Ilmu Ekonomi IPB, Bogor.
Partisiwi, T. 2008. Analisis Kemungkinan Penyatuan Mata Uang (Currency
Unification) Di ASEAN+3: Pendekatan Keragaman Exchange Rate
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Plummer, M. G dan R. Click. 2003. Bond Market Development and Integration in
ASEAN. Working Paper Series Vol. 2003-07.
Sasanti, N. Y. 2008. Analisis Pengaruh Variabel-variabel Makroekonomi terhadap
Pertumbuhan Obligasi Pemerintah di Indonesia [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor.
Schulz, A dan G. B. Wolff. 2008. Sovereign Bond Market Integration: The Euro,
Trading Platforms And Globalization. Economic Papers 332.
Solnik, B. 1974. An equilibrium model of the international capital market. Journal of
Economic Theory 8, 500-524.
Stulz, R. M. 1981. A model of international asset pricing. Journal of Financial
Economics 9, 383-406.
Worthington, A dan H. Higgs. 2004. Transmission of Equity and Volatility in ASIAN
Developed and Emerging Markets: A Multivariate GARCH Analysis.
International Journal of Financial Economic. 9: 71-80.
1. Uji Lag Optimal
ASEAN+6
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: D_JPN D_THAI D_AUS D_IND D_PHI D_NWZ D_SGP D_MAY
D_CHN D_SKR
Exogenous variables: C
Date: 07/02/09 Time: 11:49
Sample: 7/25/2005 3/21/2007
Included observations: 428
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
6474.526
6605.273
6710.158
6779.691
6842.272
NA
254.7727
199.4775
128.9933*
113.1721
3.60e-26
3.12e-26
3.05e-26*
3.52e-26
4.21e-26
-30.20807
-30.35174
-30.37457*
-30.23220
-30.05734
-30.11323*
-29.30851
-28.38294
-27.29218
-26.16893
-30.17061*
-29.93972
-29.58799
-29.07105
-28.52164
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
ASEAN+6 dan Amerika
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: US AUSTRALIA CHINA INDONESIA JAPAN MALAYSIA NEWZEALAND
PHILIPINES SINGAPORE SOUTHKOREA THAILAND
Exogenous variables: C
Date: 07/09/04 Time: 21:59
Sample: 7/26/2005 3/21/2007
Included observations: 428
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
579.8085
7646.397
7767.426
7850.579
7928.161
NA
13736.92
229.0507
153.0940*
138.8507
1.94e-15
1.56e-29*
1.56e-29
1.87e-29
2.30e-29
-2.657984
-35.11400
-35.11414*
-34.93728
-34.73440
-2.553660
-33.86213*
-32.71471
-31.39029
-30.03985
-2.616782
-34.61958*
-34.16650
-33.53642
-32.88031
* indicates lag order selected by the criterion
2. Uji Stabilitas VAR
ASEAN+6
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D_JPN D_THAI D_AUS D_IND
D_PHI D_NWZ D_SGP D_MAY D_CHN D_SKR
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 2
Date: 07/02/09 Time: 11:48
Root
-0.069432 + 0.579856i
-0.069432 - 0.579856i
0.506835
0.469531 + 0.143156i
0.469531 - 0.143156i
0.067906 + 0.431449i
0.067906 - 0.431449i
-0.371813 - 0.047541i
-0.371813 + 0.047541i
-0.056405 - 0.302563i
-0.056405 + 0.302563i
0.077073 + 0.295069i
0.077073 - 0.295069i
-0.304414
0.006095 + 0.269143i
0.006095 - 0.269143i
0.228081 + 0.131520i
0.228081 - 0.131520i
-0.155091 + 0.135769i
-0.155091 - 0.135769i
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Modulus
0.583998
0.583998
0.506835
0.490869
0.490869
0.436760
0.436760
0.374840
0.374840
0.307776
0.307776
0.304969
0.304969
0.304414
0.269212
0.269212
0.263284
0.263284
0.206123
0.206123
ASEAN+6 dan Amerika
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: US AUSTRALIA CHINA
INDONESIA JAPAN MALAYSIA NEWZEALAND
PHILIPINES SINGAPORE SOUTHKOREA THAILAND
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 2
Date: 07/09/04 Time: 21:59
Root
0.997449
0.993149
0.984814 - 0.023505i
0.984814 + 0.023505i
0.954662 - 0.024979i
0.954662 + 0.024979i
0.938628
0.922859
0.868911 - 0.014764i
0.868911 + 0.014764i
0.300502 - 0.228728i
0.300502 + 0.228728i
0.308741
-0.217261
0.143324 - 0.151323i
0.143324 + 0.151323i
-0.196782
0.155223 + 0.015214i
0.155223 - 0.015214i
-0.017228 - 0.111783i
-0.017228 + 0.111783i
0.056446
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Modulus
0.997449
0.993149
0.985094
0.985094
0.954989
0.954989
0.938628
0.922859
0.869036
0.869036
0.377648
0.377648
0.308741
0.217261
0.208423
0.208423
0.196782
0.155967
0.155967
0.113103
0.113103
0.056446
3. Uji Kointegrasi
ASEAN+6
Date: 07/02/09 Time: 11:59
Sample (adjusted): 7/29/2005 3/21/2007
Included observations: 429 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: JAPAN THAILAND AUSTRALIA INDONESIA PHILIPINES NEWZEALAND SINGAPORE MALAYSIA CHINA
SOUTHKOREA
Lags interval (in first differences): 1 to 3
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
At most 7
At most 8
At most 9
0.151103
0.126183
0.121425
0.076302
0.056190
0.048797
0.030696
0.020546
0.016900
0.000395
293.7623
223.4847
165.6192
110.0832
76.03366
51.22442
29.76246
16.38768
7.481437
0.169572
239.2354
197.3709
159.5297
125.6154
95.75366
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
3.841466
0.0000
0.0013
0.0223
0.2969
0.5052
0.5839
0.7310
0.6847
0.5224
0.6805
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
ASEAN+6 dan Amerika
Date: 07/09/04 Time: 22:00
Sample (adjusted): 8/01/2005 3/21/2007
Included observations: 428 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: US AUSTRALIA CHINA INDONESIA JAPAN MALAYSIA NEWZEALAND PHILIPINES SINGAPORE
SOUTHKOREA THAILAND
Lags interval (in first differences): 1 to 3
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
At most 7
At most 8
At most 9
At most 10
0.166927
0.139864
0.127484
0.086333
0.069131
0.058784
0.043109
0.029476
0.023125
0.016694
0.000185
345.2175
267.0500
202.5655
144.1973
105.5537
74.89317
48.96387
30.10355
17.29833
7.284580
0.079340
285.1425
239.2354
197.3709
159.5297
125.6154
95.75366
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
3.841466
0.0000
0.0014
0.0270
0.2499
0.4265
0.5474
0.6821
0.7137
0.6180
0.5448
0.7782
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
4. Estimasi VECM
ASEAN+6
Cointegrating Eq:
CointEq1
AUSTRALIA(-1)
1.000000
INDONESIA(-1)
0.047549
(0.07336)
[ 0.64817]
PHILIPINES(-1)
-0.100119
(0.06799)
[-1.47262]
SINGAPORE(-1)
-0.701854
(0.32134)
[-2.18415]
JAPAN(-1)
-0.207035
(0.42855)
[-0.48311]
NEWZEALAND(-1)
-0.425824
(0.25331)
[-1.68106]
THAILAND(-1)
0.365691
(0.17304)
[ 2.11335]
MALAYSIA(-1)
0.556792
(0.28945)
[ 1.92362]
CHINA(-1)
-1.026453
(0.12717)
[-8.07164]
SOUTHKOREA(-1)
0.743430
(0.25000)
[ 2.97372]
C
-5.669795
ASEAN+6 dan Amerika
Cointegrating Eq:
CointEq1
INDONESIA(-1)
1.000000
AUSTRALIA(-1)
51.10469
(16.7205)
[ 3.05641]
PHILIPINES(-1)
-0.100008
(1.71928)
[-0.05817]
JAPAN(-1)
31.37126
(18.6788)
[ 1.67951]
US(-1)
-68.36102
(17.0600)
[-4.00710]
NEWZEALAND(-1)
-7.633266
(13.6532)
[-0.55908]
THAILAND(-1)
3.501948
(4.95303)
[ 0.70703]
SINGAPORE(-1)
12.11848
(11.7068)
[ 1.03516]
SOUTHKOREA(-1)
29.86146
(8.47246)
[ 3.52453]
MALAYSIA(-1)
31.97994
(10.4230)
[ 3.06820]
CHINA(-1)
-39.42235
(4.48336)
[-8.79304]
C
-203.6973
5. Uji Granger Causality
ASEAN+6
IND
MAL
0.5660
0.6143
THA
0.0006
0.0082
0.2129
0.1107
0.0008
0.0506
0.0071
0.1200
0.0116
0.4840
0.0047
0.0132
0.0040
0.7246
0.0016
0.0043
0.0495
0.1155
0.1128
0.0730
IND
MAL
FIL
SNG
0.0380
0.4760
0.1756
0.0686
CIN
KOR
THA
FIL
SNG
CIN
KOR
0.8629
0.0045
0.2372
0.2375
0.5033
0.0562
0.6934
0.3870
0.0142
0.1802
0.3735
0.0028
0.3170
0.1390
0.5981
0.3580
JPG
0.1897
0.1592
0.5416
0.6278
0.8008
0.0033
0.1891
0.8547
0.3868
0.8085
0.6479
0.0020
0.1902
0.1102
SB
0.9394
0.0460
AUS
0.0318
0.0980
0.7169
0.0269
0.2958
0.1507
0.9608
0.0221
0.5800
0.1094
0.1636
0.8961
0.3470
0.2349
0.8624
0.0043
0.6442
0.0916
JPG
SB
0.1136
0.0310
0.0013
0.1719
0.0019
0.8321
AUS
0.1724
0.0163
0.1934
0.0323
0.3474
0.3933
0.2308
1.E-05
ASEAN+6 dan Amerika Serikat
IND
MAL
THA
FIL
SNG
IND
MAL
THA
FIL
SNG
0.5976
0.6034
0.0103
0.0005
0.0010
0.0503
0.0088
0.1193
0.0918
0.2133
0.4751
0.0380
0.0560
0.1766
0.7288
0.0037
0.1899
0.2705
0.0137
0.2124
0.0043
0.0016
0.5074
0.0570
CIN
0.4706
0.0146
0.0043
0.8820
0.1264
0.0474
0.3926
0.6973
0.0032
0.3751
KOR
0.0655
0.1131
JPG
SB
0.5425
0.5864
0.8014
0.0031
0.1899
0.8541
0.3835
0.8099
0.1507
0.0013
0.0172
0.1738
0.3040
0.1518
0.1911
0.1469
0.5378
0.1136
CIN
KOR
JPG
SB
AUS
US
0.0053
0.0137
0.1868
0.1906
0.1278
0.0307
0.0487
0.9470
0.3114
0.1377
0.5847
0.3899
0.0022
0.6481
0.0196
0.9646
0.1924
0.0314
AUS
0.0323
0.1125
0.7188
0.0256
0.8368
0.0019
0.1630
0.8962
0.3474
0.2362
0.8539
0.0040
0.6489
0.1031
0.3876
0.3454
0.2266
1.E-05
US
0.0043
0.5042
0.6557
0.0645
0.3735
0.0094
0.9867
0.3380
0.2047
0.9064
0.7456
0.0049
0.1022
0.2269
0.0946
0.2015
0.0011
0.0929
0.0248
0.4129
6. Impulse Response Function ASEAN+6
Respon terhadap Australia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to AUSTRALIA
Response of INDONESIA to AUSTRALIA
.041
Response of PHILIPINES to AUSTRALIA
-.006
Response of SINGAPORE to AUSTRALIA
.04
.0160
-.007
.040
.0155
.03
-.008
.0150
.039
-.009
.02
.0145
.038
-.010
.0140
.01
.037
-.011
.036
.0135
-.012
2
4
6
8
.00
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of JAPAN to AUSTRALIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.0130
2
Response of NEWZEALAND to AUSTRALIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to AUSTRALIA
.013
.022
.020
.012
.020
.015
.011
.018
.010
.010
.016
.005
.009
.014
.000
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to AUSTRALIA
.012
.010
.008
.006
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of CHINA to AUSTRALIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.004
.002
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to AUSTRALIA
.04
.016
.015
.03
.014
.02
.013
.01
.012
.00
.011
-.01
.010
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Indonesia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to INDONESIA
.000
Response of INDONESIA to INDONESIA
.18
Response of PHILIPINES to INDONESIA
.032
.16
-.002
Response of SINGAPORE to INDONESIA
.0018
.0017
.028
.14
.0016
.024
-.004
.12
.0015
.020
.10
.0014
-.006
.016
.08
-.008
.06
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to INDONESIA
-.002
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.000
.0012
2
Response of NEWZEALAND to INDONESIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to INDONESIA
.000
-.002
-.004
.0013
.012
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to INDONESIA
-.001
-.001
-.002
-.004
-.006
-.002
-.003
-.006
-.008
-.003
-.008
-.010
-.004
-.010
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to INDONESIA
.004
-.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to INDONESIA
.006
.004
.002
.002
.000
.000
-.002
-.002
-.004
-.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Filipina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to PHILIPINES
Response of INDONESIA to PHILIPINES
.0000
.012
-.0005
.010
-.0010
.008
-.0015
.006
Response of PHILIPINES to PHILIPINES
.20
Response of SINGAPORE to PHILIPINES
-.0005
-.0010
.19
-.0015
.18
-.0020
.17
-.0020
.004
-.0025
.002
-.0030
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.0030
.15
2
Response of JAPAN to PHILIPINES
-.001
-.0025
.16
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to PHILIPINES
.003
-.0035
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.002
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to PHILIPINES
-.002
.002
-.002
2
Response of THAILAND to PHILIPINES
-.004
.001
.001
-.003
-.006
.000
.000
-.004
-.008
-.001
-.001
-.005
-.010
-.002
-.006
-.003
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of CHINA to PHILIPINES
.005
-.002
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.012
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES
.0040
.000
.0035
-.005
.0030
-.010
.0025
-.015
-.020
.0020
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Singapura
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to SINGAPORE
.002
Response of INDONESIA to SINGAPORE
.008
Response of PHILIPINES to SINGAPORE
.005
.001
.000
.030
.006
.000
Response of SINGAPORE to SINGAPORE
.031
-.005
.029
-.001
.004
-.010
.028
-.002
-.015
.002
-.003
.027
-.020
-.004
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to SINGAPORE
-.025
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.026
2
Response of NEWZEALAND to SINGAPORE
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to SINGAPORE
.005
.0012
.010
.004
.0008
.008
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to SINGAPORE
.002
.000
-.002
.003
.0004
.006
.002
.0000
.004
.001
-.0004
.002
-.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to SINGAPORE
.005
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE
.012
.000
.010
-.005
-.010
.008
-.015
.006
-.020
-.025
.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.006
-.008
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Jepang
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to JAPAN
.006
Response of INDONESIA to JAPAN
.000
Response of PHILIPINES to JAPAN
Response of SINGAPORE to JAPAN
.00
.002
.005
-.002
-.01
-.004
-.02
-.006
-.03
-.008
-.04
.004
.001
.003
.002
.000
.001
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of JAPAN to JAPAN
.029
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of NEWZEALAND to JAPAN
.005
.028
-.001
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to JAPAN
.012
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to JAPAN
.0005
.010
.0000
.008
-.0005
.006
-.0010
.004
-.0015
.004
.027
.003
.026
.002
.025
.002
.024
.001
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to JAPAN
.024
-.0020
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.0025
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to JAPAN
.008
.020
.006
.016
.004
.012
.002
.008
.004
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Selandia Baru
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND
.004
Response of INDONESIA to NEWZEALAND
Response of PHILIPINES to NEWZEALAND
.000
.024
-.001
.020
-.002
.016
-.003
.012
-.004
.008
-.005
.004
Response of SINGAPORE to NEWZEALAND
.005
.004
.003
.003
.002
.002
.001
.000
-.006
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.034
.000
.032
.000
2
Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND
.001
.001
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to NEWZEALAND
.007
.006
.0020
.005
-.001
2
Response of THAILAND to NEWZEALAND
.0015
.030
.004
-.002
.0010
.028
-.003
.003
.026
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to NEWZEALAND
.014
.01
.012
.00
.010
-.01
.008
-.02
.006
-.03
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND
.02
.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.0005
.002
2
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Thailand
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to THAILAND
Response of INDONESIA to THAILAND
.0025
.016
.0020
.012
.0015
.008
.0010
.004
.0005
.000
.0000
-.004
Response of PHILIPINES to THAILAND
.012
Response of SINGAPORE to THAILAND
.008
.006
.008
.004
.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
.008
.006
.006
-.002
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of NEWZEALAND to THAILAND
.008
.000
-.004
2
Response of JAPAN to THAILAND
.004
.002
.000
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to THAILAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to THAILAND
.065
.007
.060
.006
.055
.005
.050
.004
.045
.003
.004
.002
.002
.000
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of CHINA to THAILAND
.03
.040
4
6
8
.002
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to THAILAND
.016
.02
.012
.01
.008
.00
-.01
.004
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Malaysia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to MALAYSIA
.0005
Response of INDONESIA to MALAYSIA
.020
Response of PHILIPINES to MALAYSIA
.05
.0000
.015
Response of SINGAPORE to MALAYSIA
.001
.04
.000
.03
-.001
.02
-.002
.01
-.003
-.0005
-.0010
.010
-.0015
.005
-.0020
-.0025
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of JAPAN to MALAYSIA
.0028
.00
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to MALAYSIA
.0000
.0024
-.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to MALAYSIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to MALAYSIA
.006
.034
.005
.032
.004
.030
.003
.028
.002
.026
-.0005
.0020
.0016
-.0010
.0012
.0008
-.0015
.001
.0004
.0000
-.0020
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to MALAYSIA
.02
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA
.006
.005
.01
.004
.00
.003
.002
-.01
.001
-.02
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.024
.000
2
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.022
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap China
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to CHINA
.005
Response of INDONESIA to CHINA
.00
.004
Response of PHILIPINES to CHINA
.01
.00
-.01
.003
Response of SINGAPORE to CHINA
.000
-.002
-.01
-.02
-.004
.002
-.02
-.03
.001
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.000
-.04
2
Response of JAPAN to CHINA
-.006
-.03
-.04
4
6
8
-.008
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of NEWZEALAND to CHINA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to CHINA
.0000
.000
-.0005
-.001
-.0010
-.002
-.0015
-.003
-.0020
-.004
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to CHINA
.000
-.002
-.001
-.004
-.002
-.006
-.003
-.008
-.004
-.010
-.005
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of CHINA to CHINA
4
6
8
-.012
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to CHINA
.012
.25
.010
.20
.008
.15
.006
.10
.004
.05
.002
.00
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Korea Selatan
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA
Response of INDONESIA to SOUTHKOREA
Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA
.0016
.00
.01
.0012
-.01
.00
.0008
-.02
-.01
.0004
-.03
-.02
.0000
-.04
-.03
Response of SINGAPORE to SOUTHKOREA
.00150
.00125
.00100
.00075
.00050
.00025
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to SOUTHKOREA
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA
.0015
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to SOUTHKOREA
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA
.008
.0005
.0010
-.001
.00000
2
.006
.0005
.0000
-.002
.004
.0000
-.003
-.0005
.002
-.0005
-.0010
-.004
-.0010
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to SOUTHKOREA
.04
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA
.046
.044
.03
.042
.02
.040
.01
.038
.00
.036
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Australia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to AUSTRALIA
Response of AUSTRALIA to INDONESIA
Response of AUSTRALIA to PHILIPINES
Response of AUSTRALIA to SINGAPORE
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
2
Response of AUSTRALIA to JAPAN
.00
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.01
2
Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of AUSTRALIA to THAILAND
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
2
Response of AUSTRALIA to CHINA
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
4
6
.00
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of AUSTRALIA to M ALAYSIA
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Indonesia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to AUSTRALIA
Response of INDONESIA to INDONESIA
Response of INDONESIA to PHILIPINES
Response of INDONESIA to SINGAPORE
.20
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.05
.00
.00
.00
-.05
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INDONESIA to JAPAN
.00
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.05
2
Response of INDONESIA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of INDONESIA to THAILAND
.20
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.05
.00
.00
.00
-.05
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INDONESIA to CHINA
.20
.15
.15
.10
.10
.05
.05
.00
.00
-.05
-.05
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INDONESIA to SOUTHKOREA
.20
2
4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
-.05
2
4
Response of INDONESIA to MALAYSIA
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Filipina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of PHILIPINES to AUSTRALIA
Response of PHILIPINES to INDONESIA
Response of PHILIPINES to PHILIPINES
Response of PHILIPINES to SINGAPORE
.20
.20
.20
.20
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to JAPAN
.00
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.04
2
Response of PHILIPINES to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of PHILIPINES to THAILAND
.20
.20
.20
.20
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
.00
-.04
-.04
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to CHINA
2
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA
.20
.20
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
4
4
Response of PHILIPINES to MALAYSIA
.00
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Singapura
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of PHILIPINES to AUSTRALIA
Response of PHILIPINES to INDONESIA
Response of PHILIPINES to PHILIPINES
Response of PHILIPINES to SINGAPORE
.20
.20
.20
.20
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to JAPAN
.00
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.04
2
Response of PHILIPINES to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of PHILIPINES to THAILAND
.20
.20
.20
.20
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to CHINA
.20
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA
.20
2
4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
-.04
2
4
Response of PHILIPINES to MALAYSIA
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Jepang
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of JAPAN to AUSTRALIA
Response of JAPAN to INDONESIA
Response of JAPAN to PHILIPINES
Response of JAPAN to SINGAPORE
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
2
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to JAPAN
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to THAILAND
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
Response of JAPAN to CHINA
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
4
6
8
4
6
8
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.01
2
10 12 14 16 18 20 22 24
6
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to SOUTHKOREA
.03
2
-.01
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of JAPAN to MALAYSIA
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Selandia Baru
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of NEWZEALAND to AUSTRALIA
Response of NEWZEALAND to INDONESIA
Response of NEWZEALAND to PHILIPINES
Response of NEWZEALAND to SINGAPORE
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to JAPAN
.00
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.01
2
Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of NEWZEALAND to THAILAND
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to CHINA
2
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to MALAYSIA
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Thailand
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of THAILAND to AUSTRALIA
Response of THAILAND to INDONESIA
Response of THAILAND to PHILIPINES
Response of THAILAND to SINGAPORE
.08
.08
.08
.08
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.02
.00
.00
.00
-.02
-.02
2
4
6
8
Response of THAILAND to JAPAN
.00
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to THAILAND
.08
.08
.08
.08
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.02
.00
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.02
2
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to CHINA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to MALAYSIA
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to SOUTHKOREA
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Malaysia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of MALAYSIA to AUSTRALIA
Response of MALAYSIA to INDONESIA
Response of MALAYSIA to PHILIPINES
Response of MALAYSIA to SINGAPORE
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to JAPAN
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to THAILAND
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
Response of MALAYSIA to CHINA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to MALAYSIA
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Cina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of CHINA to AUSTRALIA
Response of CHINA to INDONESIA
Response of CHINA to PHILIPINES
Response of CHINA to SINGAPORE
.3
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.1
-.1
2
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to JAPAN
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to THAILAND
.3
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.1
-.1
2
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to CHINA
.3
.2
.2
.1
.1
.0
.0
-.1
-.1
4
6
8
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to SOUTHKOREA
.3
2
4
4
Response of CHINA to MALAYSIA
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Korea Selatan
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of SOUTHKOREA to AUSTRALIA
Response of SOUTHKOREA to INDONESIA
Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES
Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to JAPAN
.00
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.01
2
Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to THAILAND
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to CHINA
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA
.05
.05
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.01
.01
.00
4
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
-.01
2
4
Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Impulse Response Function Negara ASEAN+6 dan Amerika Serikat
Respon terhadap Indonesia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to INDONESIA
.18
.16
Response of AUSTRALIA to INDONESIA
Response of PHILIPINES to INDONESIA
-.002
.032
-.004
.028
-.006
.024
-.008
.020
-.010
.016
Response of JAPAN to INDONESIA
-.002
-.004
.14
.12
-.006
.10
.08
.06
-.012
2
4
6
8
.012
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to INDONESIA
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.000
-.002
-.004
-.010
2
Response of NEWZEALAND to INDONESIA
-.004
-.008
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to INDONESIA
.000
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to INDONESIA
.0012
.0010
-.001
.0008
-.002
-.008
-.006
.0006
-.003
.0004
-.012
-.008
-.016
-.004
-.010
2
4
6
8
2
Response of SOUTHKOREA to INDONESIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to INDONESIA
-.0015
.020
-.0020
.015
.000
-.0025
.010
-.002
-.0030
.005
-.004
-.0035
.000
-.006
-.0040
-.005
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to INDONESIA
.002
4
.0000
2
.004
2
.0002
-.005
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Filipina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to PHILIPINES
Response of AUSTRALIA to PHILIPINES
.012
.0000
.010
-.0005
.008
-.0010
.006
Response of PHILIPINES to PHILIPINES
Response of JAPAN to PHILIPINES
.20
-.001
.19
-.002
.18
-.003
.17
-.004
-.0015
.004
-.0020
.002
-.0025
.000
.16
-.0030
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to PHILIPINES
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.003
-.0022
.002
-.006
2
Response of NEWZEALAND to PHILIPINES
-.0020
-.005
.15
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.002
.001
-.0026
.000
-.0028
-.001
-.0030
-.002
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to PHILIPINES
.0000
-.0005
.001
-.0024
2
Response of THAILAND to PHILIPINES
-.0010
.000
-.0015
-.001
-.0032
-.003
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES
.0036
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.0025
2
Response of MALAYSIA to PHILIPINES
-.002
.0032
-.0020
-.002
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to PHILIPINES
.004
-.004
.000
-.006
-.004
-.008
-.008
.0028
.0024
-.010
.0020
-.012
-.012
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.016
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Jepang
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to JAPAN
Response of AUSTRALIA to JAPAN
.0000
Response of PHILIPINES to JAPAN
.005
Response of JAPAN to JAPAN
.00
.029
-.0004
.004
-.0012
.003
-.0016
.002
.028
-.01
-.0008
.027
-.02
.026
-.0020
-.03
.001
.025
-.0024
-.0028
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.04
2
Response of US to JAPAN
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.024
2
Response of NEWZEALAND to JAPAN
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to JAPAN
.009
.006
.008
.005
.007
.004
.006
.003
.005
.002
.0025
.004
.001
.0000
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to JAPAN
.008
.0125
.007
.0100
.006
.0075
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to JAPAN
.007
.005
.0050
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.004
.003
2
Response of MALAYSIA to JAPAN
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to JAPAN
.0005
.032
.006
.0000
.028
.005
.024
-.0005
.004
.020
-.0010
.016
.003
.012
-.0015
.002
.008
.001
-.0020
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Amerika
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to US
.016
Response of AUSTRALIA to US
.000
-.001
.012
Response of PHILIPINES to US
.020
Response of JAPAN to US
.0030
.0025
.015
-.002
.0020
.008
.010
-.003
.0015
.004
.005
-.004
.000
.0010
.000
-.005
-.004
-.006
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of US to US
.010
.028
.008
.026
.006
.024
.004
.022
.002
.020
.000
.018
-.002
4
6
8
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.0000
2
Response of NEWZEALAND to US
.030
2
.0005
-.005
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SOUTHKOREA to US
4
6
8
.010
.014
.009
.012
.008
.010
.007
.008
.006
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to US
.01
.006
.010
.00
.009
.005
.008
-.01
.007
.004
-.02
.006
.005
.003
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.03
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.005
2
Response of MALAYSIA to US
.011
4
Response of SINGAPORE to US
.016
.006
2
2
Response of THAILAND to US
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Selandia Baru
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to NEWZEALAND
Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND
.002
.000
Response of PHILIPINES to NEWZEALAND
Response of JAPAN to NEWZEALAND
.004
.020
.001
.003
.015
.000
.002
.010
-.001
.001
.005
-.002
.000
.000
-.002
-.004
-.006
-.008
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of US to NEWZEALAND
4
6
8
2
Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND
.005
-.003
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to NEWZEALAND
.032
.004
.003
.004
.030
.002
.003
.002
.028
.000
.002
.001
.026
.001
.000
.024
2
4
6
8
.000
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to NEWZEALAND
.0015
.012
-.004
2
Response of MALAYSIA to NEWZEALAND
.014
-.002
.02
.01
.0010
.010
.00
.0005
.008
-.01
.0000
.006
-.02
-.0005
.004
.002
-.03
-.0010
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Thailand
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to THAILAND
.012
Response of AUSTRALIA to THAILAND
.004
Response of PHILIPINES to THAILAND
.008
.006
.004
.003
.008
Response of JAPAN to THAILAND
.005
.004
.003
.002
.002
.004
.002
.000
.001
.001
-.002
.000
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to THAILAND
.008
.006
-.004
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.000
2
Response of NEWZEALAND to THAILAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to THAILAND
.010
.065
.008
.060
.006
.055
.004
.050
.002
.045
.000
.040
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to THAILAND
.008
.006
.004
.004
.002
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to THAILAND
.016
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.002
.000
2
Response of MALAYSIA to THAILAND
.0040
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to THAILAND
.02
.0035
.012
.01
.0030
.008
.0025
.00
.0020
.004
.0015
.000
-.01
.0010
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Singapura
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to SINGAPORE
.008
Response of AUSTRALIA to SINGAPORE
Response of PHILIPINES to SINGAPORE
.002
.000
.001
-.002
.000
-.004
-.001
-.006
-.002
-.008
-.003
-.010
-.004
-.012
Response of JAPAN to SINGAPORE
.001
.006
.000
.004
-.001
.002
-.002
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to SINGAPORE
.003
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to SINGAPORE
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to SINGAPORE
.0020
.002
-.003
2
.004
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.030
.029
.002
.0015
4
Response of SINGAPORE to SINGAPORE
.028
.001
.000
.0010
.027
.000
-.002
.026
.0005
-.001
-.002
-.004
.0000
2
4
6
8
2
Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE
.007
.006
.025
-.006
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.024
2
Response of MALAYSIA to SINGAPORE
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to SINGAPORE
.002
.03
.000
.02
-.002
.01
-.004
.00
.005
.004
.003
.002
-.006
2
4
6
8
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Korea Selatan
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to SOUTHKOREA
Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA
.00
Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA
.01
.0020
-.01
Response of JAPAN to SOUTHKOREA
.000
-.001
.00
.0015
-.002
-.02
-.01
.0010
-.03
-.003
-.02
.0005
-.04
.0000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to SOUTHKOREA
.005
-.004
-.03
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA
.0020
-.005
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to SOUTHKOREA
.008
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.0012
.0015
.004
2
Response of SINGAPORE to SOUTHKOREA
.0010
.006
.0010
.0008
.003
.0005
.004
.0006
.002
.0000
.0004
.002
.001
-.0005
.000
.0002
-.0010
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.000
2
Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA
.046
.0000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to SOUTHKOREA
.040
.0005
.035
.044
.0000
.030
.042
.025
-.0005
.040
.020
-.0010
.038
.015
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Malaysia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to MALAYSIA
.020
Response of AUSTRALIA to MALAYSIA
Response of PHILIPINES to MALAYSIA
.002
.015
.001
.010
.000
.005
-.001
.000
-.002
2
4
6
8
.0016
.0030
.05
.0025
.04
.0020
.03
.0015
.02
.0010
.01
.0005
.00
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of US to MALAYSIA
Response of JAPAN to MALAYSIA
.06
4
6
8
.0000
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of NEWZEALAND to MALAYSIA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to MALAYSIA
.0008
.006
.0006
.005
.0004
.004
.0002
.003
.0000
.002
-.0002
.001
-.0004
.000
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to MALAYSIA
.002
.001
.0012
.000
.0008
-.001
.0004
.0000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA
4
6
8
-.002
-.003
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of MALAYSIA to MALAYSIA
.004
.034
.003
.032
.002
.030
.001
.028
.000
.026
-.001
.024
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to MALAYSIA
.03
.02
.01
.00
-.002
.022
2
4
6
8
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon terhadap Cina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to CHINA
.004
Response of AUSTRALIA to CHINA
.004
Response of PHILIPINES to CHINA
.004
Response of JAPAN to CHINA
.0015
.0010
.002
.003
.000
.0005
.000
.002
.0000
-.004
-.002
-.0005
.001
-.004
-.0010
-.008
-.006
.000
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.0015
2
Response of US to CHINA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of NEWZEALAND to CHINA
.0005
.0000
.0000
-.0004
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of THAILAND to CHINA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to CHINA
.003
.002
.002
.001
-.0008
-.0005
-.0012
.001
.000
-.0016
.000
-.001
-.001
-.002
-.0010
-.0015
-.0020
-.0020
-.0024
-.0025
-.0028
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.002
2
Response of SOUTHKOREA to CHINA
.008
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.003
2
Response of MALAYSIA to CHINA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to CHINA
.0000
.25
.006
-.0005
.20
.004
.002
.15
-.0010
.10
.000
-.0015
.05
-.002
-.004
-.0020
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Indonesia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INDONESIA to INDONESIA
Response of INDONESIA to AUSTRALIA
Response of INDONESIA to PHILIPINES
Response of INDONESIA to JAPAN
.20
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.05
.00
.00
.00
.00
-.05
-.05
-.05
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INDONESIA to US
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of INDONESIA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of INDONESIA to THAILAND
.20
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.05
.00
.00
.00
-.05
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INDONESIA to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.20
.20
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.00
.00
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
-.05
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of INDONESIA to CHINA
.20
-.05
8
-.05
2
Response of INDONESIA to MALAYSIA
6
.00
-.05
2
4
Response of INDONESIA to SINGAPORE
-.05
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Australia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of AUSTRALIA to INDONESIA
Response of AUSTRALIA to AUSTRALIA
Response of AUSTRALIA to PHILIPINES
Response of AUSTRALIA to JAPAN
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.02
.00
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of AUSTRALIA to US
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of AUSTRALIA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of AUSTRALIA to THAILAND
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.02
.00
.00
.00
.00
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
Response of AUSTRALIA to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.06
.06
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of AUSTRALIA to CHINA
.06
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
Response of AUSTRALIA to MALAYSIA
4
Response of AUSTRALIA to SINGAPORE
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Filipina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of PHILIPINES to INDONESIA
Response of PHILIPINES to AUSTRALIA
Response of PHILIPINES to PHILIPINES
Response of PHILIPINES to JAPAN
.20
.20
.20
.20
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
.00
-.04
-.04
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to US
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of PHILIPINES to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of PHILIPINES to THAILAND
.20
.20
.20
.20
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
-.04
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to MALAYSIA
.20
.20
.16
.16
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.00
.00
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
-.04
4
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of PHILIPINES to CHINA
.16
2
8
-.04
2
.20
-.04
6
.00
-.04
2
4
Response of PHILIPINES to SINGAPORE
-.04
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Jepang
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of JAPAN to INDONESIA
Response of JAPAN to AUSTRALIA
Response of JAPAN to PHILIPINES
Response of JAPAN to JAPAN
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
-.01
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to US
4
6
8
-.01
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to THAILAND
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
-.01
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to SOUTHKOREA
4
6
8
Response of JAPAN to MALAYSIA
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of JAPAN to CHINA
.03
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.01
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of JAPAN to SINGAPORE
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Amerika Serikat
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of US to INDONESIA
Response of US to AUSTRALIA
Response of US to PHILIPINES
Response of US to JAPAN
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to US
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of US to NEWZEALAND
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to THAILAND
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of US to SOUTHKOREA
6
8
.04
.04
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
4
6
8
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of US to CHINA
.03
2
4
Response of US to MALAYSIA
.04
-.02
6
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of US to SINGAPORE
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Selandia Baru
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of NEWZEALAND to INDONESIA
Response of NEWZEALAND to AUSTRALIA
Response of NEWZEALAND to PHILIPINES
Response of NEWZEALAND to JAPAN
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to US
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
Response of NEWZEALAND to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to THAILAND
2
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
Response of NEWZEALAND to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of NEWZEALAND to CHINA
.04
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
Response of NEWZEALAND to MALAYSIA
4
Response of NEWZEALAND to SINGAPORE
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Thailand
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of THAILAND to INDONESIA
Response of THAILAND to AUSTRALIA
Response of THAILAND to PHILIPINES
Response of THAILAND to JAPAN
.08
.08
.08
.08
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.02
.00
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.02
2
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to US
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to THAILAND
.08
.08
.08
.08
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.02
.00
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.02
2
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to SOUTHKOREA
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to MALAYSIA
.08
.08
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
6
8
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of THAILAND to CHINA
.08
2
4
4
Response of THAILAND to SINGAPORE
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Singapura
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of SINGAPORE to INDONESIA
Response of SINGAPORE to AUSTRALIA
Response of SINGAPORE to PHILIPINES
Response of SINGAPORE to JAPAN
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to US
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SINGAPORE to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to THAILAND
2
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SINGAPORE to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SINGAPORE to MALAYSIA
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to CHINA
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of SINGAPORE to SINGAPORE
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Korea Selatan
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of SOUTHKOREA to INDONESIA
Response of SOUTHKOREA to AUSTRALIA
Response of SOUTHKOREA to PHILIPINES
Response of SOUTHKOREA to JAPAN
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
2
4
6
8
Response of SOUTHKOREA to US
.00
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to NEWZEALAND
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to THAILAND
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to SOUTHKOREA
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
Response of SOUTHKOREA to MALAYSIA
.05
.05
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
4
6
8
8
8
10 12 14 16 18 20 22 24
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
.00
-.01
2
6
6
Response of SOUTHKOREA to CHINA
.05
-.01
4
4
Response of SOUTHKOREA to SINGAPORE
-.01
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Malaysia
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of MALAYSIA to INDONESIA
Response of MALAYSIA to AUSTRALIA
Response of MALAYSIA to PHILIPINES
Response of MALAYSIA to JAPAN
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to US
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to THAILAND
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to SOUTHKOREA
4
6
8
Response of MALAYSIA to MALAYSIA
.04
.04
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of MALAYSIA to CHINA
.04
-.02
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.02
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of MALAYSIA to SINGAPORE
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Respon Cina
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of CHINA to INDONESIA
Response of CHINA to AUSTRALIA
Response of CHINA to PHILIPINES
Response of CHINA to JAPAN
.3
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
2
4
6
8
-.1
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to US
4
6
8
-.1
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to NEWZEALAND
4
6
8
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to THAILAND
.3
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
2
4
6
8
-.1
2
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to SOUTHKOREA
4
6
8
Response of CHINA to MALAYSIA
.3
.3
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.0
.0
.0
-.1
-.1
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Response of CHINA to CHINA
.3
-.1
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
-.1
2
10 12 14 16 18 20 22 24
4
Response of CHINA to SINGAPORE
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24
Download