BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia komunikasi pemasaran, iklan bukan merupakan sesuatu yang baru. Muncul dalam berbagai versi seperti iklan televisi, iklan cetak, iklan unconventional media, dan iklan radio, iklan terus berkembang dari masa ke masa. Iklan merupakan suatu alat (tools) untuk melakukan aktivitas pemasaran. Melalui iklan, sebuah produk bisa berkomunikasi dengan konsumennya. Iklan juga dapat bersifat membujuk para konsumen untuk menggunakan suatu produk. Kini, seiring dengan perkembangan teknologi, aktivitas komunikasi pemasaran sudah berkembang ke media online lantaran penyebaran informasinya yang cepat dan aksesnya yang mudah. Namun, walaupun media online semakin banyak dimanfaatkan untuk kegiatan komunikasi pemasaran, iklan masih diminati dan belum ditinggalkan. Iklan memiliki berbagai kelebihan, antara lain dapat menjangkau audiens yang luas, memperkenalkan produk dan brand baru, menciptakan kesadaran akan suatu produk dan brand, menciptakan brand image, memberi informasi, mengingatkan dan memperkuat produk, serta membujuk1. Kelebihan iklan tersebut menjadi faktor pendukung iklan tetap bertahan dalam dunia pemasaran. Selain itu, iklan juga mampu mengonstruksi realitas yang ada. Realitas dibangun melalui iklan yang ditayangkan secara berulang-ulang, sehingga realitas tersebut tumbuh dan hidup di benak masyarakat. Dari berbagai jenis iklan yang ada, iklan televisi merupakan iklan dengan biaya termahal karena memiliki kelebihan audio dan visual sekaligus. Sementara itu, iklan radio hanya mengandalkan kekuatan audio dan iklan cetak serta luar ruang juga hanya mampu menampilkan kekuatan visual. Iklan televisi merupakan iklan yang secara bersamaan mampu menampilkan kekuatan audio dan visual, sehingga pesan dapat lebih mudah diterima dan dicerna oleh audiens. Kelebihan lain yang dimiliki iklan televisi adalah 1 Sandra Moriarty. 2009. Advertising. Jakarta:Prenada Media Group. hal. 112 1 jangkauannya yang luas, sehingga dapat membuat suatu produk yang diiklankan dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, iklan televisi bukan hanya iklan produk, melainkan ada juga iklan non-produk. Salah satu bentuk iklan non produk adalah iklan politik, yang biasanya ditayangkan menjelang masa-masa tertentu seperti pemilihan umum. Era reformasi menjadi era baru penerapan demokrasi di Indonesia yang berkiblat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara demokrasi, sistem perundang-undangan di Indonesia mengatur pemilihan umum. Pemilihan presiden sebagai kepala negara yang akan menjalankan sistem pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat. Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif2. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan ratusan juta penduduk, maka menjelang pemilihan umum para kandidat calon presiden harus melakukan berbagai upaya agar dikenal masyakarat. Berbagai cara dilakukan oleh para kandidat agar dikenal dan mendapat simpati publik, seperti kampanye ke berbagai daerah, hingga beriklan di berbagai media seperti televisi. Iklan politik di televisi telah ada sejak pemilu pertama yakni pada tahun 2004. Hingga pemilu tahun 2014, iklan politik masih menjadi andalan para partai politik ataupun kandidat. Banyaknya target audiens yang harus dijangkau serta relatif sedikitnya masa kampanye membuat beriklan di televisi menjadi pilihan yang paling tepat. Walaupun pemilu baru digelar pada 2014, sejak akhir 2013 iklan televisi di tanah air sudah didominasi iklan politik. Persaingan dalam beriklan semakin panas dengan terjunnya para pemilik stasiun televisi ke arena persaingan di pemilu 2014. Beberapa pemilik stasiun televisi yang terjun ke dunia politik antara lain Aburizal Bakrie dari Golkar, Surya Paloh dari Nasdem, dan Harry Tanoe dari Hanura3. 2 Miriam Budiharjo.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.hal.134. Aburizal Bakrie merupakan pemilik stasiun televisi ANTV dan TV One. Sedangkan Harry Tanoesudibyo merupakan CEO dari MNC Group yang membawahi stasiun televisi RCTI, MNC, dan Global TV. Sementara itu, Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi Metro TV. 3 2 Diantara para politikus yang iklannya rutin muncul di layar kaca, ada satu nama politikus baru yang juga ikut rajin beriklan, meski tidak memiliki stasiun televisi, yaitu Gita Wirjawan. Pada akhir tahun 2013, saat iklan Gita pertama kali muncul, Gita merupakan Menteri Perdagangan yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia). Mengusung tema “Gita 2014 Berani Lebih Baik”, Gita menunjukkan secara tersirat bahwa dirinya mengincar kursi RI 1. Padahal, saat itu Gita Wirjawan hanya berstatus sebagai peserta Konvensi Capres Partai Demokrat, bersaing dengan 10 nama politikus Demokrat lainnya4. Nama Gita Wirjawan mampu menarik perhatian publik mengingat sosoknya bukanlah politikus ternama yang diprediksi akan bertarung di ajang pemilu 2014. Dalam jajaran pemerintahan, nama Gita Wirjawan baru dikenal sejak ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada tahun 2011. Tampilan fisik yang meyakinkan, didukung dengan latar belakang pendidikan yang baik membuat Gita Wirjawan relatif lebih mudah diterima masyarakat. Gita meraih gelar sarjana dan master dari universitas ternama di dunia, yakni Harvard University. Pada tahun 1992, Gita Wirjawan tercatat sebagai mahasiswa Kennedy School of Harvard Government. Pada tahun 2002, ia berhasil meraih gelar master dari Harvard University5. Menyandang gelar sebagai lulusan Harvard, Gita relatif lebih dipandang sebagai akademisi, bukan politikus. Pada tahun 2011, Gita masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 sebagai Menteri Perdagangan. Kemudian, di tahun 2013 Gita memutuskan untuk terjun ke dunia politik dengan mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat. Langkah yang diambil Gita Wirjawan untuk mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat tentu tidak mudah, mengingat dirinya belum masuk jajaran politikus ternama. Rekam jejaknya dalam pemerintahan juga belum 4 Pada tanggal 15 September 2013, Partai Demokrat mengumumkan 11 nama peserta konvensi. Mereka adalah Gita Wirjawan, Anies Baswedan, Ali Masykur Musa, Dino Patti Jalal, Endriartono Sutanto, Haryono Isman, Isman Gusman, Marzuki Alie, Sinyo Harry Sarundajang, dan Pramono Edhie. Kesebelas peserta ini akan bersaing untuk memperebutkan kursi calon presiden yang diusung Partai Demokrat. Terarsip dalam: http://www.demokrat.or.id/2013/09/malam-ini-partaidemokrat-perkenalkan-11-peserta-konvensi-capres/ 5 Terarsip dalam: http://www.ayogitabisa.com/gita-bisa. Diakses pada 5 September 2014. 3 banyak. Inilah yang nampaknya menjadi faktor pendorong mengapa Gita harus mempromosikan dirinya lebih awal. Apalagi, Gita tidak memiliki media yang dapat membantunya mengonstruksi opini publik untuk mendongkrak citra dan elektabilitasnya. Maka, salah satu cara yang bisa dilakukan Gita Wirjawan adalah dengan rajin beriklan di televisi, sebagai media yang paling banyak diakses di Indonesia6. Pentingnya beriklan di televisi bagi politikus juga didukung oleh penelitian Nielsen yang menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan setidaknya 4,5 jam per hari untuk menonton televisi. Total konsumsi media televisi masih memimpin dengan 94% dari total konsumsi media konvensional di Indonesia7. Data diatas membuktikan bahwa meskipun dikategorikan sebagai media konvensional, televisi dengan jangkauannya yang luas dan kekuatan audio visualnya tetap mampu memberikan pengaruh dalam hal berkomunikasi dengan masyarakat luas. Pasca ditetapkan sebagai peserta konvensi Partai Demokrat pada September 2013, Gita Wirjawan mulai rajin beriklan di televisi. Gita beriklan atas nama individu, tanpa membawa nama partai mengingat saat itu Gita masih berstatus sebagai peserta konvensi, belum merupakan calon resmi yang diusung partai. Iklan-iklan Gita Wirjawan kemudian bersaing dengan iklaniklan politik dari berbagai partai politik maupun kandidat yang akan bersaing di Pemilu 2014. Artinya, terpaan pesan yang diterima oleh masyarakat akan semakin banyak. Untuk menarik perhatian audiens, sebuah iklan harus memiliki keunikan tersendiri, agar melekat dan menjadi top of mind di benak audiens. Sebagai pribadi dengan latar belakang akademik yang baik, Gita Wirjawan tentu memiliki idealisme sendiri tentang penilaian baik atau buruk, serta benar atau salah. Hal itu kemudian tercermin dalam iklan politik Gita Wirjawan yang mengandung nilai-nilai edukatif, bukan semata-mata mempromosikan dan memperkenalkan diri. 6 Terarsip dalam: http://theindonesianinstitute.com/beramai-ramai-kampanye-melalui-televisi/. Diakses pada 10 April 2014. 7 Terarsip dalam: http://mix.co.id/research/pemirsa-indonesia-habiskan-197-jam-untukmenonton-sinetron/. Diakses pada 10 April 2014. 4 Seperti informasi yang didapat dari website resmi Gita Wirjawan yakni www.gitawirjawan.com, Gita telah mengeluarkan enam versi TVC yakni “Polisi”, “Memecahkan Kaca”, “Bermain Bola”, “Testimoni”, “Perjuangan Anak Penjual Kue”, dan “Pemuda Indonesia”. Keenam TVC Gita Wirjawan merujuk pada unsur keberanian, sesuai dengan tagline “Berani Lebih Baik” yang diusung Gita. Jika diperhatikan dengan seksama, ada pesan positif yang berusaha disampaikan Gita dalam iklan-iklan yang berdurasi 30 detik tersebut. Di Indonesia, iklan politik yang menyampaikan pesan moral masih relatif jarang. Iklan-iklan politik di Indonesia justru lebih banyak ajakan untuk memilih kandidat atau partai yang beriklan, janji-janji perubahan dan kritik atas pemerintahan saat ini. Nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam pesan moral yang disampaikan melalui iklan, diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, tidak ada nilai mutlak yang dapat dijadikan tolak ukur apakah suatu tindakan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan bermoral atau tindakan tidak bermoral. Inilah yang membuat nilai moral bersifat sangat subjektif. Ada beberapa hal yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap tindakan bermoral atau tidak, antara lain latar belakang pendidikan dan budaya. Subjektivitas dalam tindakan moral inilah yang kemudian menarik minat peneliti untuk melihat sikap-sikap seperti apa yang mampu menjadi representasi tindakan bermoral di Indonesia, dengan keberagaman dan kemajemukan masyarakatnya. Apalagi, pesan moral ini disampaikan melalui iklan politik, yang bertujuan mencapai kepentingan pengiklan, seperti membentuk citra pribadi dimata masyarakat luas. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengungkap bagaimana pesan moral yang disampaikan melalui iklan politik. Fokus penelitian pada penelitian ini adalah pesan moral dalam iklan Gita Wirjawan. Penelitian ini tidak akan menyentuh aspek strategi kampanye Gita Wirjawan. Peneliti akan memfokuskan diri pada penyampaian pesan moral dalam iklan politik, mengingat iklan politik di Indonesia biasanya hanya berisi ajakan memilih, 5 menyampaikan visi misi, ataupun kritik terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah: “Bagaimana pesan moral disampaikan dalam iklan Gita Wirjawan versi Bermain Bola, Polisi, Perjuangan Anak Penjual Kue, Jangan Menindak Minoritas dan Memecahan Kaca?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mendeskripsikan pesan moral dalam iklan televisi Gita Wirjawan. 2. Untuk menganalisis pesan moral dalam iklan politik Gita Wirjawan. D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru mengenai pentingnya sebuah pesan dalam iklan politik. 2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan bagi dunia semiotika dalam memahami pesan tersirat. E. Kerangka Pemikiran 1. Iklan Politik dan Proses Penyampaian Pesan Proses komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Proses penyampaian pesan ini bisa secara langsung ataupun menggunakan medium tertentu. Salah satu medium untuk menyampaikan pesan adalah televisi. Proses penyampaian pesan melalui televisi salah satunya dikemas dalam bentuk iklan. Iklan merupakan sebuah kanal untuk berkomunikasi antara pengiklan dengan audiens, meskipun hanya komunikasi satu arah. Dalam konteks iklan 6 produk, pesan yang disampaikan adalah pesan komersial berupa ajakan untuk membeli dan menggunakan produk yang diiklankan tersebut. Namun jika iklan diterapkan dalam kepentingan politik, tentu pesan yang disampaikan tidak sama dengan iklan komersial pada produk. Pesan politik tidak sesederhana ajakan memilih. Kandidat yang beriklan harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa dirinya memang layak untuk dipilih. Untuk itu, pengemasan pesan dalam iklan politik benar-benar harus memiliki strategi khusus, agar masyakarakat dapat memaknai dengan baik. Bangsa Indonesia memiliki berbagai problematika yang rumit dan beragam. Dapat dipastikan, apa yang diharapkan bangsa Indonesia kepada para politikus yang akan bersaing di pemilu adalah menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Maka, melalui pesan dalam iklan politik, kandidat yang beriklan harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa ia memiliki solusi dan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, konten pesan pada iklan politik harus berisi isu-isu terpenting yang dihadapi oleh masyarakat. Selama periode kampanye pemilu, masyarakat akan menerima informasi dalam jumlah besar. Ketika pesan politik tidak cukup didiferensiasi, akan semakin sulit bagi masyarakat untuk melakukan identifikasi mengenai dari manakah sumber pesan politik tersebut8. Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan kandidat dalam penyampaian pesan politik melalui iklan adalah segmentasi masyarakat. Masyarakat Indonesia dengan jumlah ratusan juta jiwa tentu memiliki latar belakang berbeda-beda. Seorang kandidat harus benar-benar memahami perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, dan pola pikir masyarakat. Untuk masyarakat awam dan memiliki latar belakang pendidikan rendah, pesan politik harus dikemas sesederhana mungkin supaya mudah dimengerti tanpa menghilangkan esensi pesan politiknya sendiri. Sementara bagi golongan masyarakat yang lebih terpelajar, diperlukan 8 Firmanzah.2012. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hal 261 7 kemasan yang berbeda. Pesan politik harus dikemas semenarik mungkin disertai dengan data dan informasi yang akurat. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pesan politik itu didasarkan pada suatu fakta dan realitas objektif, bukan karangan belaka9. Ketika seorang kandidat atau sebuah partai memilih untuk beriklan di televisi, maka kandidat atau partai tersebut harus mengetahui bahwa televisi menjangkau semua segmentasi audiens. Dari anak-anak hingga orang tua, laki-laki dan perempuan, kalangan atas maupun kalangan bawah, sudah terbiasa menonton televisi. Maka, pesan politik yang disampaikan oleh kandidat atau partai melalui iklan televisi sudah seharusnya dikemas dalam bentuk yang relatif mudah dimengerti oleh semua kalangan. Oleh karena itu, konten pesan dalam iklan politik di televisi sebaiknya mengambil isu-isu yang umum dan dapat dimengerti oleh berbagai kalangan, contohnya pendidikan dan kemiskinan. Pesan dalam iklan politik juga harus dikemas dan diolah secara ringkas, mengingat keterbatasan durasi dalam sebuah iklan di televisi. Penggunaan tata bahasa dalam iklan juga harus menggunakan bahasa yang sederhana, mengingat televisi merupakan media yang diakses oleh berbagai kalangan. Perpaduan antara isu-isu umum dengan tata bahasa yang mudah dimengerti oleh berbagai lapisan masyarakat, akan membuat pesan dalam iklan politik berhasil meyakinkan audiens. 2. Iklan Televisi sebagai Iklan Audio Visual Meskipun paradigma komunikasi pemasaran mulai bergeser ke new media, namun pada kenyataannya iklan televisi masih belum ditinggalkan. Berbagai brand ternama dengan penghasilan besar rela menyisihkan penghasilannya untuk beriklan di televisi. Di Indonesia, tidak hanya produk yang rajin beriklan. Menjelang pemilihan umum 2014, partai maupun kandidat juga turut beriklan di televisi. Ini tentu dilandasi 9 Ibid. Hal. 262 8 oleh kelebihan televisi yakni jangkauannya yang luas, sehingga para pengiklan mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Namun, ada satu kelebihan iklan televisi yang membuatnya lebih unggul dibandingkan media beriklan lainnya yakni karena iklan televisi mengandalkan kekuatan audio dan visual sekaligus. Iklan televisi memberikan dampak visual dan emosional yang kuat. Paduan gambar, suara, warna, gerak, dan drama menciptakan respon emosional yang lebih kuat ketimbang bentuk media advertising lainnya10. Tampilan gambar serta animasi yang ditampilkan di iklan televisi diyakini mampu menarik perhatian audiens. Dukungan suara dan gambar yang ditampilkan secara bersamaan, tentu membuat penyampaian pesan menjadi lebih mudah. Di samping itu, audiens juga akan dengan mudah menerima pesan dalam iklan yang ditampilkan secara audio dan visual. Sementara itu, Budi Susanto dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia mengatakan bahwa kekuatan media audio visual yang menghadirkan citra bergerak membentuk realitas “yang lain” dengan hukum-hukum dan logikanya sendiri. Kemasankemasan audio visual semakin mendapatkan ketidakterbatasan perkembangannya dan semakin menghegemoni logika-logika faktual. Audio visual kemudian mampu menggeser representasi iklan untuk semakin terfokus pada close up kecantikan, erotika, kemegahan komoditas, hedonisme, pemujaan barang, dominasi ideologi patriarki dan ketidakseimbangan gender.11 Citra visual dan suara serta kata-kata dalam musik bekerjasama untuk berkisah atau menciptakan perasaan dan suasana hati agar para pemirsa pada akhirnya berasosiasi pada merk/produk tertentu12. Audiens cenderung lebih mengingat iklan televisi dibandingkan iklan radio ataupun cetak. Misalnya, dari segi tagline. Tagline di iklan televisi yang 10 Sandra Moriarty. Op.cit., Hal. 255 Budi Susanto. “Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia”. 2003. Kanisius. Yogyakarta. Hal 60. 12 Monlee Lee dan Carla Johnson, “Prinsip-prinsip Pokok Periklanan dalam Perspektif Global”, Pranada, Jakarta. 2004. Hal.22 11 9 ditunjukkan dengan perpaduan audio dan visual akan lebih mudah diingat bahkan ditirukan oleh masyarakat. Dari mengingat dan menirukan inilah tanpa disadari kemudian akan terbangun engagement yang kuat antara produk yang diiklankan dengan audiens yang menyaksikan iklan tersebut. Iklan televisi, sebagai satu-satunya iklan audio visual diandalkan oleh pengiklan untuk mempersuasi khalayak dengan mengandalkan jangkauannya yang luas. Tujuan produksi iklan televisi adalah menerjemahkan narasi naskah iklan tertulis menjadi kekuatan audio visual13. Lewat kekuatan audio, kalimat berisi ajakan menggunakan produk yang diiklankan menjadi lebih ekspresif dibandingkan hanya tulisan yang ada di billboard ataupun iklan luar ruang lainnya. Selain itu, gambar bergerak yang kerap ditampilkan di iklan televisi juga tidak mampu digantikan oleh iklan radio yang hanya memiliki kekuatan audio. Kelebihan inilah yang membuat iklan televisi masih diandalkan oleh pengiklan, meski kehadiran new media membuat televisi dikategorikan sebagai media konvensional. Dalam periklanan politik, iklan dengan kekuatan audio visual juga diharapkan mampu menjembatani hubungan antara partai atau kandidat yang beriklan dengan masyarakat. Tujuan dari iklan politik adalah mengajak masyarakat memilih partai atau kandidat yang beriklan. Untuk dapat dipilih oleh masyarakat, kandidat atau partai yang beriklan harus mampu meyakinkan dan meraih simpati masyarakat. Melalui iklan televisi yang menampilkan kekuatan audio dan visual sekaligus, ajakan memilih yang ditujukan kepada audiens akan lebih memiliki kekuatan. Dengan tampilan visual, audiens dapat menilai gesture atau sikap tubuh. Gesture yang ditampilkan secara visual juga akan menjadi aspek penilaian audiens. Melalui gesture yang baik, proses meyakinkan masyarakat akan semakin mudah. Gesture mengambil peranan penting dalam ajakan terhadap masyarakat untuk memilih, karena gesture mampu merepresentasikan apa yang tidak dapat diucapkan oleh kata-k ata. Selain 13 Ibid, hal. 22 10 itu, penampilan kandidat juga menjadi faktor yang akan menjadi pertimbangan audiens. Kehadiran tampilan audio menjadi pelengkap bagi tampilan visual yang ditampilkan dalam iklan televisi. Dalam iklan politik, kekuatan audio biasanya dimanfaatkan untuk jingle dan tagline. Jingle iklan berguna untuk membuat iklan tersebut diingat oleh masyarakat. Selain jingle, tagline juga biasanya menggunakan kekuatan audio. Rata-rata iklan televisi menampilkan tagline tidak dalam bentuk tertulis, melainkan diucapkan oleh voice over. Tagline juga sangat berguna untuk membentuk kedekatan antara pengiklan dengan audiens, karena biasanya bagian iklan yang paling diingat oleh audiens adalah tagline. Tagline iklan politik yang populer adalah tagline iklan PDI-P pada tahun 2004, yakni “Coblos moncong putih.” Dalam iklan politik di televisi, kekuatan audio dan visual saling melengkapi untuk meyakinkan audiens agar memilih kandidat yang beriklan. Gambar, suara, warna dan gerak bersatu padu untuk meyakinkan audiens tentang apa yang diiklankan. Selain itu, kekuatan audio dan visual juga mampu membuat sebuah alur cerita yang kemudian akan diresapi oleh audiens. Perpaduan audio dan visual dapat membuka ruang bagi audiens untuk lebih leluasa menilai dan kemudian menjatuhkan pilihan kepada kandidat yang beriklan. 3. Iklan Politik “Political advertising therefore, in the strict sense, refers to the purchase and use of advertising space, paid for at commercial rates, in order to transmit political messages to a mass audience. The media used for this purpose may include cinema, billboards, the press, radio, and television.”14 14 Brian McNair. An Introduction to Political Communication. Routledge. London. 2003. Hal 97. 11 Di Indonesia, iklan televisi bukan saja iklan produk ataupun jasa. Terutama menjelang pemilu, televisi Indonesia dibanjiri oleh iklan politik. Secara garis besar, iklan politik sebenarnya memiliki tujuan yang sama dengan iklan produk, yakni sama-sama mencoba mempersuasi khalayak. Iklan politik merupakan kegiatan untuk mempromosikan diri dengan citra baik di hadapan masyarakat dengan adanya unsur-unsur politik untuk tercapainya tujuan tertentu15. Hal yang membedakan iklan produk dengan iklan politik adalah iklan produk mengajak konsumen untuk membeli dan menggunakan produk tersebut, sedangkan iklan politik mengajak khalayak untuk mendukung kandidat atau partai yang beriklan. Iklan politik dapat dikategorikan sebagai iklan musiman (seasonal pulse). Menurut Longman16, seasonal pulse adalah iklan yang disajikan pada musim diperlukannya produk yang dimaksud, dalam konteks ini musim yang dimaksud adalah musim pemilu. Walaupun hanya merupakan iklan musiman yang hanya hadir pada saat-saat tertentu, namun iklan politik banyak diandalkan oleh kandidat ataupun partai demi meraih antusiasme publik. Ini karena iklan politik memiliki beberapa kelebihan, antara lain17: 1. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat 2. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu. 3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan 4. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu 5. Memengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional 6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat politik. 15 Adhi Iman Sulaiman, “Dinamika Komunikasi Politik Menjelang Pemilu 2014”, Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika, http://jurnal.kominfo.go.id/index.php/observasi/article/view/101/92, 2014. Hal 167. Diakses pada 2 Juli 2014. 16 Kustadi Suhandang. 2010. Periklanan Manajemen, Kiat, dan Strategi. Bandung: Nuansa. 17 Adhi Iman Sulaiman. Op. Cit., Hal 163 12 Dalam kancah politik, iklan politik menjalankan fungsinya sebagai alat untuk berkomunikasi dengan masyarakat, meskipun hanya bentuk komunikasi satu arah. Periklanan politik seringkali digunakan para politisi untuk membujuk orang untuk memilih mereka, dan karenanya iklan jenis ini merupakan sebuah bagian penting dari proses politik di Amerika serikat dan negara demokrasi-demokrasi lainnya18. Iklan politik berguna untuk membangun kesan dan image sebuah partai maupun seorang kandidat. Iklan politik juga menjadi representasi diri dari partai ataupun kandidat yang beriklan. Melalui terpaan iklan pula, para audiens dapat mengetahui dan mengingat calon kandidat yang rajin beriklan. Menurut Rothscild, marketing berkontribusi besar terhadap partai politik dalam cara mengemas pesan politik yang berbentuk iklan19. Dalam dunia politik, iklan memiliki dua level20. Pada level pertama, iklan politik memberikan informasi tentang kandidat ataupun program-program yang dimiliki partai. Pada level kedua, iklan politik juga berfungsi untuk membujuk. Kedua level diatas tentu akan menguntungkan kandidat maupun partai yang beriklan. The producers of political advertisements have the freedom to say what they like; to replace the journalists‟ agenda with their own; to play to their clients‟ strengths and highligh the oppnents‟ weaknessses. The advertisement, in short, is the only mass media from over the construction of which the politician has complete control.21 Meskipun memiliki tujuan yang sama, namun iklan politik berbeda dengan iklan produk. Cara pandang audiens mengenai iklan politik dan iklan produk juga berbeda. Dalam menyikapi iklana produk, audiens cenderung tidak berpikir panjang untuk menggunakan produk tersebut, karena jika tidak sesuai selerapun, konsumen bisa memilih untuk tidak membelinya lagi. Tetapi pada iklan politik, audiens akan cenderung lebih 18 Monlee Lee dan Carla Johnson, Op.Cit., Hal. 7. Firmanzah, “Marketing Politik”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. 2012. Hal 151. 20 Brian Mc.Nair hal 95 21 Ibid, hal 96 19 13 kritis dan berpikir panjang. Ini lantaran audiens hanya memiliki satu kesempatan untuk memilih kandidat yang dianggap baik untuk memimpin selama lima tahun kedepan. Oleh karena itu, untuk memikat hati audiens, iklan politik harus benar-benar menyentuh dan sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Penelitian Nielsen22 pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa jumlah belanja iklan televisi untuk kategori iklan politik di Indonesia meningkat dibandingkan pada periode pemilu sebelumnya yakni pada tahun 2009. Jika pada tahun 2009 total belanja iklan di televisi mencapai Rp 1,065 triliun, di tahun 2014 meningkat menjadi Rp 2,04 triliun. Selain mengalami peningkatan biaya, iklan politik di televisi pada tahun 2014 juga mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan tahun 2009. Pada tahun 2014, iklan politik didominasi oleh iklan televisi dengan presentasi 55%. Ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yakni 20% dari tahun 2009 yang hanya mencapai angka 35%. Peningkatan dalam jumlah belanja iklan politik di televisi tentu berbanding lurus dengan meningkatnya frekuensi penayangan iklan politik disaat-saat menjelang pemilihan umum. Terpaan iklan secara terus menerus ini kemudian dengan sendirinya akan membentuk citra pengiklan dimata masyarakat. Misalnya ketika sebuah partai atau seorang kandidat menayangkan iklan dengan latar kemiskinan dan kesulitan hidup, maka lambat laun akan tercipta di benak masyarakat bahwa partai atau kandidat tersebut merupakan sosok calon pemimpin yang peduli pada rakyat kecil dan ingin memberantas kemiskinan di tanah air. Selain itu, data meningkatnya jumlah belanja iklan politik di televisi membuktikan bahwa televisi masih menjadi media yang diandalkan. Iklan politik di televisi dianggap lebih unggul daripada bentuk-bentuk iklan lainnya. Iklan televisi dapat menampilkan gambar secara visual dan juga mengandalkan audio. Sementara iklan billboard, 22 Terarsip dalam http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-pertumbuhanbelanja-iklan-berjalan-perlahan.html. Diakses pada 26 Juni 2014. 14 selain space yang terbatas juga hanya bisa menghadirkan gambar. Iklan radio juga memiliki kekurangan, yakni hanya mengandalkan audio tanpa visual. Melalui iklan televisi, audiens dapat melihat partai atau kandidat yang beriklan, serta mendengarkan pesan dalam iklan tersebut. Audiens tidak saja hanya mendengarkan suara seperti di radio ataupun melihat gambar seperti di billboard. Berbagai kelebihan iklan televisi inilah yang membuat iklan belum tergeserkan dan masih diandalkan dalam aktivitas komunikasi pemasaran politik. 4. Pesan Moral Pesan moral biasanya terdapat di film-film ataupun cerita rakyat. Pesan moral diselipkan dengan tujuan agar audiens dapat mengambil hikmah dari film yang ditonton ataupun cerita yang didengar. Moral adalah tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang prilaku baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik23. Dengan adanya aturan moral, kehidupan manusia dengan sesamanya dapat menanamkan kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Norma-norma moral menjadi tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas24. Jadi, perilaku moral mengacu pada sikap manusia terhadap sesama manusia, bukan karena peran atau profesi yang digeluti. Perilaku moral menjadi penunjuk arah dalam kehidupan manusia untuk mencapai 23 Burhanuddin Salam, “Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia”, Rineka Cipta, Jakarta. 1997. Hal 3. 24 Franz Magnis, “Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Etika Moral”, Kanisius, Yogyakarta. 1987. Hal 19 15 kehidupan yang makmur. Dengan moral yang baik, kehidupan manusia sebagai individu dan makhluk sosial juga akan damai. The moral sense has to be refined, led by experience, cultivated by education, and learned from others; in short, a human being develops to innate moral sense by living and resonating to the rythms of human life25. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika moral tidak muncul begitu saja dalam diri manusia. Perlu ditumbuhkan melalui pendidikan, berproses dengan pengalaman, bahkan belajar dari orang lain. Jadi, nilai moral akan sendirinya berkembang seiring dengan pembelajaran yang didapat oleh manusia dari kehidupan. Nilai moral juga memiliki relativisme, dimana norma-norma moral tidak berlaku secara umum. Relativisme moral biasanya dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan. Contohnya seks bebas. Di Indonesia, dengan latar belakang budaya timur yang masih kental, seks bebas tentu menjadi sesuatu yang dipandang tidak baik dan melanggar nilai moral. Tetapi, di Perancis yang berlatar belakang budaya barat, seks bebas mungkin saja dianggap sesuatu yang biasa, normal, dan wajar dilakukan. Inilah yang dimaksud nilai moral memiliki relativisme. Sifat relativisme yang dimiliki moral didukung oleh pernyataan Henry Hazlitt yang mengatakan bahwa moral merupakan produk evolusi sosial yang berlangsung secara gradual, seperti bahasa, atau adat istiadat, atau hukum umum, dan bahwa seperti semua itu, kode moral tumbuh dan berkembang menghadapi kebutuhan akan kedamaian dan ketertiban serta kerjasama sosial26. Jadi, pembentukan moral tidak terjadi begitu saja, melainkan dibentuk melalui pengalaman hidup seseorang, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, adat istiadat, bahkan hukum yang berlaku. Nilai moral yang masih terikat dengan unsur agama biasanya bersifat asketik dan kuat. Sementara jika berhubungan dengan tata krama, nilai moral merupakan sesuatu yang menyenangkan, disepakati, dan bisa 25 Hakim Albert, “Understanding Morality”, Pearson Education, Boston. 2011. Hal. 8 Hazlitt Henry, “The Foundation of Morality”, D. Van Nostrand Company, Princeton. 1964. Hal. 12 26 16 menjadi sumber kegembiraan yang mudah menjalar ke orang lain27. Dengan kata lain, perilaku bermoral dapat membuat orang lain turut merasakan kenyamanan, ketentraman, dan kebahagiaan. Franz Magnis dan Suseno, dalam bukunya yang berjudul Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral28 mengungkapkan bahwa salah satu pandangan tentang perbedaan nilai moral adalah pandangan relativisme kultural. Relativisme kultural atau deskriptif menolak anggapan bahwa norma moral berlaku secara umum. Pandangan ini berangkat dari fakta pluralisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, yang didasari pada perbedaan kebudayaan dan lingkungan. Nilai dan norma yang dianut di setiap daerah tentu berbeda, tak lepas dari pengaruh budaya. Maka, terkadang akan terdapat pandangan tentang sesuatu yang baik atau tidak baik, serta pantas atau tidak pantas. Walaupun bersifat relatif, tetapi nilai moral juga memiliki acuan tentang bagaimana manusia harus bersikap terhadap manusia lain. Franz Magnis dan Suseno memaparkan bahwa sikap-sikap yang menunjukkan nilai moral adalah: a. Kejujuran Kejujuran merupakan nilai penting yang harus dijunjung dalam sebuah kehidupan. Dengan bersikap jujur, manusia tidak akan merugikan pihak-pihak lain. Ada dua macam sikap jujur. Pertama bersikap terbuka, kedua bersikap fair. Terbuka artinya kita bersikap apa adanya terhadap orang lain, dan menjadi diri sendiri. Sedangkan fair adalah memperlakukan orang sesuai standar yang diharapkan diperlakukan orang lain terhadap kita. Misalnya dengan menghormati hak orang lain dan bersikap sebaik mungkin. b. Bertanggung Jawab 27 28 Ibid, Hal. 99 Franz Magnis. Op.Cit., Hal. 20 17 Bertanggung jawab adalah suatu sikap dimana seseorang merasa terikat untuk menyelesaikan tugas yang dibebani. Bertanggung jawab juga berarti berkomitmen untuk melaksanakan tugas yang dibebani dengan sebaik mungkin. Pribadi yang bertanggung jawab akan menjadi pribadi yang berguna bagi orang-orang disekitarnya. c. Kemandirian Kemandirian adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap dan bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar. Kemandirian berarti tidak mengikuti arus jika sudah mengetahui bahwa itu salah. Kemandirian berarti teguh pada pendirian dan terus menjalankan apa yang dianggap benar dan menjauhi apa yang dianggap salah, meskipun orang di sekeliling melakukan hal yang dianggap salah. d. Keberanian Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Keberanian artinya keteguhan untuk bersikap terhadap apa yang dianggap benar. Keberanian juga berarti melakukan tindakan pembelaan terhadap yang lemah atas perlakuan yang tidak adil. Contoh keberanian adalah berani untuk tidak korupsi, meski rekan sekantor bersama-sama melakukan tindak korupsi. e. Kerendahan Hati Kerendahan hati bukan berarti merendahkan diri, melainkan kekuatan batin untuk melihat diri kita apa adanya. Kerendahan hati berhubungan dengan kenyataan bahwa setiap manusia pasti tidak sempurna dan memiliki kekurangan, sehingga tidak ada yang bisa disombongkan. Kerendahan hati berarti kesediaan untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, tanpa ego dan anggapan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Kelima sikap yang telah dipaparkan diatas adalah sikap yang dianggap mampu merepresentasikan nilai-nilai dan norma moral. Merujuk 18 pada penjelasan diatas, intinya moral adalah sesuatu yang mengacu pada baik atau buruknya manusia terhadap manusia lain. Dengan memegang nilai moral, maka akan terjadi hubungan simbiosis mutualisme antar manusia dan menciptakan hubungan yang harmonis. Maka, pesan moral dapat diartikan sebagai pesan untuk berperilaku baik terhadap orang lain sesuai dengan nilai-nilai agama dan kebudayaan. Dalam iklan politik yang mengangkat nilai-nilai moral, akan ada dualisme makna yang terjadi ketika kehidupan sehari-hari dihubungkan dengan dunia politik. Misalnya, ketika berbicara kejujuran, maka makna kejujuran dalam kehidupan sehari-hari adalah berkata yang sebenarnya, tidak ada yang ditutupi, dan tidak berkata bohong. Namun jika dikaitkan ke dunia politik, makna kejujuran bisa diartikan berbeda, contohnya tidak korupsi. F. Kerangka Konsep Dari paparan kerangka pemikiran diatas, telah dijelaskan bahwa meskipun termasuk dalam kategori iklan konvensional, iklan televisi masih digunakan oleh para politikus untuk beriklan. Fakta ini diperkuat oleh hasil penelitian Nielsen yang menunjukkan bahwa pada tahun 2014, sebanyak 55% iklan politik menggunakan media televisi. Para kandidat maupun partai berlombalomba membeli slot iklan di televisi, demi menjangkau berbagai kalangan, karena televisi memiliki jangkauannya yang luas. Inilah yang kemudian menjadi tugas dari pengiklan untuk menghadirkan iklan dengan nuansa berbeda dari iklan lainnya, agar publik aware terhadap iklan tersebut, mengingat di masa-masa menjelang pemilu rakyat banyak sekali menerima informasi politik termasuk melalui iklan. Gita Wirjawan, sebagai salah satu politikus yang masuk dalam pusaran persaingan menuju pemilu 2014 juga ikut beriklan di televisi. Gita mengeluarkan enam versi iklan yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Namun, dari keenam iklan politik Gita Wirjawan di televisi ini, peneliti hanya akan meneliti empat versi. Dalam meneliti iklan Gita Wirjawan, peneliti 19 memposisikan diri sebagai penerima pesan. Peneliti membatasi fokus penelitian ini pada pesan yang disampaikan dalam iklan Gita Wirjawan, sehingga peneliti memposisikan diri sebagai penerima pesan. Adanya indikasi pesan moral dalam iklan politik Gita Wirjawan, membuat fokus penelitian ini akan dikerucutkan lagi menjadi pesan moral. Karena penelitian ini menggunakan iklan televisi sebagai objek penelitian, maka kekuatan audio dan visual akan menjadi unit yang dianalisis. Unsurunsur seperti teks, dialog, karakterisasi, objek, hingga setting dalam iklan akan dianalisis apakah mengandung indikasi pesan moral atau tidak. Selain itu, teknik pengambilan gambar dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya juga akan menjadi aspek yang penting untuk dianalisis. Berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipaparkan diatas, maka desain penelitian yang akan menjadi acuan untuk penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: 20 Iklan Politik Iklan Politik Gita Wirjawan di Televisi Pesan dalam Iklan Iklan Audio Visual Kekuatan Audio Pesan Moral Kekuatan Visual 1. Dialog 2. Monolog 3. Musik/ Jingle 1. Objek 2. Setting 3. Camera Shot Kriteria Sikap yang Sesuai dengan Pesan Moral: 1. 2. 3. 4. 5. Jujur Bertanggung Jawab Berani Mandiri Rendah Hati Semiotika Iklan Bagan 1.1. Kerangka Konsep Penelitian Dari bagan diatas, dapat dijelaskan bahwa penelitian ini akan fokus kepada pesan dalam iklan. Namun, karena iklan Gita Wirjawan yang menjadi objek dalam penelitian ini menggunakan media televisi, maka kekuatan audio dan visual yang dimiliki oleh televisi juga akan mendukung unit analisis data dalam penelitian ini. Aspek-aspek audio dan visual ini kemudian akan menjadi acuan 21 untuk menentukan pesan moral seperti apa yang terkandung dalam iklan politik Gita Wirjawan. Seperti yang telah dipaparkan dalam tabel diatas, kriteria sikap yang sesuai dengan moral adalah jujur, bertanggung jawab, berani, mandiri, dan rendah hati. Maka, kelima sikap tersebut akan menjadi batasan dalam menentukan sikap moral yang ditunjukkan dalam iklan. Kelima sikap tersebut tidak ditentukan oleh penulis, melainkan dikutip dari buku Franz Magnis Suseno yang berjudul Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Etika Moral. Untuk mendukung pengklasifikasian sikap-sikap moral yang diklasifikasikan oleh Franz Magnis Suseno, peneliti juga akan menggunakan aspek audio dan visual. Dalam aspek tampilan visual, yang akan menjadi unit analisis adalah objek, setting, dan camera shot. Untuk mencari makna yang terkandung dari pengambilan gambar (camera shot), peneliti akan mengacu pada pendapat Asa Berger dalam bukunya yang berjudul Media Analysis Techniques. Selain itu, untuk aspek audio, yang akan menjadi teknik analisis data adalah dialog, monolog, serta musik/jingle. Dalam penelitian semiotika dengan objek iklan televisi, camera shot atau teknik pengambilan gambar menjadi hal penting yang dapat mendukung kekuatan analisis data dan penyampaian makna kepada audiens. Berdasarkan buku yang berjudul Menjadi Sutradara Televisi29, teknik pengambilan gambar juga memiliki makna yang berusaha disampaikan kepada audiens. Berikut adalah makna dari teknik-teknik pengambilan gambar atau camera shot di televisi: a. Long Shot Long shot adalah gambar manusia seutuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Long shot merupakan landscape format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasaan satu suasana dan objek. Teknik pengambilan gambar long shot berguna untuk menggiring perhatian audience pada setting tempat yang digunakan dalam iklan. Biasanya, 29 Naratama, Menjadi Sutradara Televisi, Grasindo, Jakarta, 20044. Hal. 69 22 teknik pengambilan gambar long shot dilakukan pada scene awal, sebagai gambaran awal tentang setting tempat dan suasana. b. Medium Shot Medium shot biasanya digunakan sebagai komposisi gambar terbaik untuk syuting wawancara. Dengan memperlihatkan subjek orang dari tangan hingga ke atas kepala, maka audience akan melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari subjek. Teknik pengambilan gambar medium shot berfungsi untuk menegaskan relasi personal antara subjek dalam iklan dengan audience. c. Close Up Close up merekam penuh gambar dari leher hingga ke ujung kepala, yang juga dapat diartikan sebagai komposisi gambar yang fokus pada wajah. Teknik pengambilan gambar close up menjadi bagian dari ungkapan emosi dari objek utama. Hanya dengan teknik pengambilan gambar close up, ekspresi marah, senang, kesal, sedih, kagum, hingga jatuh cinta dapat terlihat. Selain itu, ketajaman mata, ekspresi, kedipan mata, reaksi, emosi, hingga bahasa tubuh akan tercermin dalam raut wajah subjek yang dishot menggunakan teknik close up. d. Extreme Close Up Kekuatan extreme close up terletak pada ketajaman dan kedekatan yang hanya fokus pada satu objek. Teknik extreme close up menggambarkan keintiman antara subjek dengan audience. Biasanya, bagian tubuh yang di shot menggunakan teknik extreme close up adalah mata, untuk melihat sorot mata dari subjek. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini akan menginterpretasi tanda-tanda dalam keempat versi iklan politik Gita Wirjawan. Maka, jenis penelitian yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis semiotik. Semotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin 23 yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta30. Merujuk pada makna semiotika diatas, maka iklan juga dapat diteliti dengan ilmu semiotika. Alasannya, iklan merupakan sesuatu yang dibuat oleh manusia untuk mengkonstruksi citra pengiklan. Iklan selalu berbicara hal-hal baik dan positif, agar para audiens tertarik pada apa yang diiklankan. Iklan tidak mungkin mengungkapkan kekurangan produk yang diiklankan. Inilah yang membuat iklan berpeluang untuk berdusta. Agar pesan verbal maupun visual mampu menarik calon konsumen, maka karya desain komunikasi visual –dalam hal ini iklan- harus menawarkan eksklusivisme, keistimewaan, dan kekhususan, yang kemudian dapat memberikan akibat berupa titemisme, perujukan pada suatu benda atau merek untuk menemukan jati diri produk barang atau jasa yang diperdagangkan31. Dalam iklan, ada tanda-tanda yang dapat diteliti secara semiotik, misalnya suara, teks, maupun warna. Penelitian semiotika iklan dapat dikategorikan sebagai penelitian semiotika verbal. Tokoh semiotika verbal adalah Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure, sebuah tanda (berwujud) atau gambar mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang disebut signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep makna32. Aspek signified terkandung dalam aspek signifier. Melihat lebih dalam semiotika dalam iklan, Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya yang berjudul Semiotika dan Hipersimiotika33, menjelaskan sebuah skema tentang semotika iklan, yakni sebagai berikut: 30 Eco Umberto. 1976. A Theory of Semiotic. Bloomington: Indiana University Press. Hal.7. Sumbo Tinarbuko. Op. Cit., Hal. 12 32 Ibid Hal 13. 33 Yasraf Amir Pialang, Semiotika dan Hipersemiotika, Matahari, Bandung, 2012. Hal 355. 31 24 Objek Konteks Teks Entitas Visual/Tulisan Visual/Tulisan Tulisan Fungsi Elemen tanda yang Elemen tanda yang Tanda linguistik merepresentasikan objek atau memberikan produk diberikan) yang diiklankan. dan (atau yang berfungsi konteks memperjelas makna objek pada dan yang menambahkan diiklankan. makna (anchoring) Elemen Penanda/Petanda Penanda/Petanda Penanda Tanda Tanda Semiotika Tanda Semiotika Tanda Linguistik Tabel 1.1. Skema Semiotika Iklan Dalam memaknai iklan, dunia semiotika mengenal tanda denotatif dan tanda konotatif yang diungkapkan oleh Roland Barthes. Dalam memaknai tanda di sebuah iklan, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana sebuah tanda bekerja seperti pada tabel berikut ini34: 1. Signifier (penanda) 3. Denotative 2. Signified (petanda) Sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Tabel 1.2. Peta Tanda Roland Barthes 34 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. Hal 69 25 Peta tanda Roland Barthes merupakan penyempurnaan dari konsep semiotika Saussure yang berhenti pada pembahasan signifier dan signified. Dari peta tanda Roland Berthes diatas, dapat dilihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan aspek material dari bahasa, misalnya apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep yang ada di kepala manusia. Jadi, tanda denotatif terdiri dari aspek material bahasa dan peta konseptual seseorang. Pada saat yang bersamaan, tanda denotatif juga memiliki penanda konotatif (4). Misalnya, saat kita mendengar kata “kupu-kupu malam”, maka akan muncul makna konotasi lain. Kupu-kupu malam, dalam makna denotasi adalah binatang, tapi dalam makna konotasi kupu-kupu malam dapat diartikan sebagai wanita nakal atau pelacur. Penelitian ini akan berfokus pada pesan yang disampaikan dalam iklan Gita Wirjawan. Maka, unit analisis dalam penelitian ini juga seputar pesan dalam iklan. Merujuk pada unit analisis iklan Roland Barthes, ada tiga unit analisis yang dapat digunakan untuk penelitian semiotika pada sebuah iklan, yakni: a. Pesan Linguistik Pesan linguistik menganalisis semua kata dan kalimat dalam iklan. b. Pesan Ikonik yang Terkodekan Pesan ini merupakan konotasi visual yang diturunkan dari penataan elemen-elemen visual dalam iklan. c. Pesan Ikonik tak Terkodekan Istilah ini menunjuk denotasi “harfiah”, pemahaman langsung dari gambar dan pesan dalam iklan, tanpa mempertimbangkan kode sosial yang lebih luas. Selain aspek bahasa yang ada di naskah iklan, penelitian ini juga akan melibatkan aspek visual. Visualisasi akan menjadi penyempurna dari 26 aspek bahasa. Tampilan visual mampu mengkomunikasikan apa yang tidak terucapkan dalam bahasa. Aspek visual akan mencakup teknik pengambilan gambar (camera shot). Asa Berger, dalam bukunya yang berjudul Media Analysis Technique35 menjelaskan makna camera shot yakni sebagai berikut: Penanda – Camera Definisi Petanda - Arti Shot Close-Up Keseluruhan wajah Kedekatan Hubungan menjadi objek. Extreme Close-Up Hanya mengambil Menggambarkan objek terdekat keintiman. Bisa juga (Contoh: Hanya sebagai tanda bahwa mengambil bagian dari suatu objek ini merupakan wajah, pelaku inti. misalnya mata) Medium Shot Setengah Badan, dari Menggambarkan relasi kepala hingga personal. pinggang Full Shot Long Shot Seluruh badan menjadi Menggambarkan objek hubungan sosial Setting dan Karakter Menekankan lingkungan yang diceritakan dalam iklan tersebut. Tabel 1.3. Teknik Camera Shot 35 Arthur Asa Berger. 2012. Media Analysis Techniques. London: Sage. Hal. 36 27 1 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah TVC (televisi commercial) dari Gita Wirjawan yang tayang sejak akhir tahun 2013. Hingga saat ini, Gita Wirjawan sudah mengeluarkan enam versi iklan, yakni versi “Pemuda Indonesia”, “Perjuangan Anak Menjual Kue”, “Polisi”, “Bermain Bola”, “Memecahkan Kaca”, dan “Testimoni”. Keenam versi iklan Gita Wirjawan di televisi ini akan menjadi objek pada penelitian ini. Berikut ini adalah penjelasan tentang masing-masing iklan televisi Gita Wirjawan a. Versi Polisi Iklan versi Polisi milik Gita Wirjawan berdurasi 30 detik, dengan tagline “Berani Lebih Baik”. Dalam iklan tersebut, diceritakan seorang pengemudi wanita memutar arah di area yang tidak diperbolehkan. Saat diberhentikan oleh polisi, pengemudi wanita tersebut berusaha mengajak „berdamai‟ dengan mencoba memberikan sejumlah uang. Namun, polisi tersebut menolak lantaran berusaha bersikap jujur dalam menjalankan profesinya. Peneliti memilih iklan Gita Wirjawan versi polisi sebagai objek penelitian lantaran kasus yang diangkat sangan dekat dengan masyarakat. Menyuap polisi saat melakukan kesalahan berkemudi nampaknya sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Bahkan, tak banyak masyarakat yang tau bahwa ketika ditilang, mereka seharusnya menjalani sidang di kepolisian. Ini lantaran aksi “damai” antara polisi dan pelanggar lalu lintas sudah menjadi budaya di masyarakat Indonesia masa kini. Oleh karena itu, keberanian Gita Wirjawan mengangkat fenomena ini sudah pasti menyiratkan makna dan pesan positif yang layak untuk diteliti. 28 Gambar 1.1. Iklan Gita Wirjawan Versi Polisi Gambar 1.2. Iklan Gita Wirjawan Versi Polisi b. Versi Bermain Bola TVC Gita Wirjawan versi bermain bola juga berdurasi 30 detik. Iklan tersebut juga mengusung tema “Berani Lebih Baik”. Dalam iklan tersebut, digambarkan anak-anak kecil yang sedang bermain bola di sebuah perkampungan dan diatas tanah yang basah serta berlumpur. Anak-anak tersebut tampak sangat optimis dan bercita-cita menjadi juara dunia. Peneliti memilih iklan Gita Wirjawan versi pemain bola untuk diteliti lantaran iklan ini juga memiliki pesan positif. Berlatar daerah perkampungan, yang pastinya menyiratkan bahwa masyarakatnya juga hidup di bawah garis kemiskinan, iklan ini menunjukkan optimisme anak-anak untuk menggapai cita-citanya sebagai pemain sepakbola. Fenomena yang terjadi saat ini adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mendapatkan 29 pendidikan yang layak, sehingga sulit untuk meraih cita-cita dan menggapai kehidupan yang lebih baik. Peneliti menilai iklan ini mampu mengangkat fenomena yang seringkali diabaikan, namun sebenarnya perlu diperhatikan, yakni orang yang hidup di bawah garis kemiskinan berhak memiliki cita-cita dan harapan hidup. Gambar 1.3. Iklan Gita Wirjawan Versi Bermain Bola Gambar 1.4. Iklan Gita Wirjawan Versi Bermain Bola c. Versi Memecahkan Kaca Iklan berdurasi 33 detik ini menceritakan tentang empat orang anak yang sedang bermain kasti di sebuah lapangan yang diapit oleh rumah warga. Tanpa sengaja, bola terkena kaca sebuah rumah dan 30 membuat kaca tersebut pecah. Ketiga anak tersebut berlari saat pemilik rumah mendatangi mereka, namun satu anak memilih untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Peneliti meneliti iklan ini sebagai salah satu dari objek penelitin juga dengan alasan yang sama dengan iklan-iklan sebelumnya, yakni karena iklan ini mengandung pesan etis di dalamnya. Iklan ini juga merepresentasikan realitas sosial di masyarakat, dimana saat seseorang melakukan sebuah kesalahan, maka orang tersebut akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni lari dari permasalahan tersebut atau berani mempertanggungjawabkannya. Gambar 1.5. Iklan Gita Wirjawan Versi Memecahkan Kaca Gambar 1.6. Iklan Gita Wirjawan Versi Memecahkan Kaca 31 d. Versi Perjuangan Anak Menjual Kue Iklan berdurasi 30 detik ini bercerita tentang perjuangan seorang anak Sekolah Menengah Pertama yang harus sekolah sambil berjualan kue. Saat hari masih gelap, ia sudah harus bangun untuk membantu ibunya menyiapkan kue yang akan dijual. Di angkutan umum menuju sekolahnya, ia melihat teman-temannya bercengkrama dengan riang, sementara itu ia harus membawa box-box berisi kue yang harus dijual. Hal ini membuatnya merasa tidak percaya diri. Namun kemudian anak tersebut berhasil menguatkan tekadnya untuk percaya diri. Ia berhasil menumbuhkan semangat juang untuk tetap bersekolah sambil membantu sang ibu berjualan. Gambar 1.7. Iklan Gita Wirjawan Versi Perjuangan Anak Menjual Kue Gambar 1.8. Iklan Gita Wirjawan Versi Perjuangan Anak Menjual Kue 32 e. Versi Jangan Menindak Minoritas Iklan ini, terlihat sangat berbeda dengan iklan-iklan Gita Wirjawan dalam versi yang lainnya. Dalam iklan ini, Gita menggunakan animasi games. Dua karakter utama dalam animasi games ini adalah karakter bertubuh besar dan karakter bertubuh kecil. Si karakter bertubuh besar kemudian digambarkan menindas karakter bertubuh kecil dengan cara mengejar, menendang, hingga memojokkan. Gambar 1.9. Iklan Gita Wirjawan versi Jangan Menindak Minoritas 33 Gambar 1.10. Iklan Gita Wirjawan versi Jangan Menindak Minoritas 2 Teknik pengumpulan Data a. Data Primer Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah iklan televisi (TVC) Gita Wirjawan. Sejak September 2013, Gita memiliki lima versi TVC, yakni: 1. Polisi 2. Bermain Bola 3. Perjuangan Anak Penjual Kue 4. Memecahkan Kaca 5. Jangan Menindak Minoritas Kelima TVC Gita Wirjawan tersebut akan menjadi data primer penelitian. Langkah b. Data Sekunder Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Peneliti akan mencari dari berbagai sumber, baik dari berbagai buku maupun internet agar bisa lebih mendalami studi semiotika. Peneliti akan lebih berkonsentrasi pada semiotika Roland 34 Barthes, mengingat penelitian ini adalah penelitian verbal yang akan meneliti tentang pesan yang disampaikan dalam sebuah iklan. 3 Unit Analisis Data Memahami makna dan pesan yang disampaikan melalui iklan dengan medium televisi tidak terlepas dari analisis semiotika. Dalam analisis semiotika iklan Gita Wirjawan ini, unit analisis data yang akan menjadi acuan penelitian yakni sebagai berikut: UNIT ANALISIS 1. Iklan Gita Wirjawan KATEGORI Pesan Moral SUB KATEGORI - a. Versi Polisi - Memecahkan Hubungan horizontal (antar manusia) Kaca d. Versi yang melandasi pesan moral b. Versi Bermain Bola c. Versi Sikap-sikap Perjuangan Norma yang berlaku di Indonesia Anak Penjual Kue e. Versi Jangan Menindas Minoritas 2. Objek Iklan a. Peristiwa - Setting b. Tokoh - Pemain dalam iklan Tabel 1.4. Unit Analisis Penelitian Setelah menetapkan unit analisis, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan instrumen penelitian. Instrumen penelitian akan menjadi pedoman dan batasan dalam melakukan penelitian semiotika iklan politik Gita Wirjawan. Dalam instrumen penelitian, peneliti akan berkonsentrasi pada dua aspek, yakni naskah dan visual. Maka, instrumen penelitian yang akan menjadi pedoman dalam penelitian ini yakni sebagai berikut: 35 Unit Terteliti Unsur Sub Unsur Naskah a. Teks Iklan - Font - Bahasa - Pemilihan Kata - Gaya Bahasa - Cara Berbicara - Pemilihan Kata - Gaya Bahasa - Cara Berbicara - Acting - Tampilan Fisik - Kostum a. Objek - Manusia b. Ekspresi Objek - Senang - Sedih - Semangat - dll - Jenis Warna - Pencahayaan - Lokasi - Situasi - Camera Shot - Transisi Gambar b. Dialog c. Monolog d. Karakterisasi Visualisasi c. Warna d. Setting e. Teknik Pengambilan Gambar Tabel 1.5. Instrumen Penelitian 36