BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia komunikasi pemasaran, iklan bukan merupakan sesuatu
yang baru. Muncul dalam berbagai versi seperti iklan televisi, iklan cetak, iklan
unconventional media, dan iklan radio, iklan terus berkembang dari masa ke
masa. Iklan merupakan suatu alat (tools) untuk melakukan aktivitas pemasaran.
Melalui iklan, sebuah produk bisa berkomunikasi dengan konsumennya. Iklan
juga dapat bersifat membujuk para konsumen untuk menggunakan suatu
produk. Kini, seiring dengan perkembangan teknologi, aktivitas komunikasi
pemasaran sudah berkembang ke media online lantaran penyebaran
informasinya yang cepat dan aksesnya yang mudah. Namun, walaupun media
online semakin banyak dimanfaatkan untuk kegiatan komunikasi pemasaran,
iklan masih diminati dan belum ditinggalkan.
Iklan memiliki berbagai kelebihan, antara lain dapat menjangkau
audiens yang luas, memperkenalkan produk dan brand baru, menciptakan
kesadaran akan suatu produk dan brand, menciptakan brand image, memberi
informasi, mengingatkan dan memperkuat produk, serta membujuk1. Kelebihan
iklan tersebut menjadi faktor pendukung iklan tetap bertahan dalam dunia
pemasaran. Selain itu, iklan juga mampu mengonstruksi realitas yang ada.
Realitas dibangun melalui iklan yang ditayangkan secara berulang-ulang,
sehingga realitas tersebut tumbuh dan hidup di benak masyarakat.
Dari berbagai jenis iklan yang ada, iklan televisi merupakan iklan
dengan biaya termahal karena memiliki kelebihan audio dan visual sekaligus.
Sementara itu, iklan radio hanya mengandalkan kekuatan audio dan iklan cetak
serta luar ruang juga hanya mampu menampilkan kekuatan visual. Iklan
televisi merupakan iklan yang secara bersamaan mampu menampilkan
kekuatan audio dan visual, sehingga pesan dapat lebih mudah diterima dan
dicerna oleh audiens. Kelebihan lain yang dimiliki iklan televisi adalah
1
Sandra Moriarty. 2009. Advertising. Jakarta:Prenada Media Group. hal. 112
1
jangkauannya yang luas, sehingga dapat membuat suatu produk yang
diiklankan dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia.
Di Indonesia, iklan televisi bukan hanya iklan produk, melainkan ada
juga iklan non-produk. Salah satu bentuk iklan non produk adalah iklan politik,
yang biasanya ditayangkan menjelang masa-masa tertentu seperti pemilihan
umum. Era reformasi menjadi era baru penerapan demokrasi di Indonesia yang
berkiblat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara
demokrasi, sistem perundang-undangan di Indonesia mengatur pemilihan
umum. Pemilihan presiden sebagai kepala negara yang akan menjalankan
sistem pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat. Pilpres pertama dilakukan
pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif2. Mengingat
Indonesia merupakan negara dengan ratusan juta penduduk, maka menjelang
pemilihan umum para kandidat calon presiden harus melakukan berbagai
upaya agar dikenal masyakarat. Berbagai cara dilakukan oleh para kandidat
agar dikenal dan mendapat simpati publik, seperti kampanye ke berbagai
daerah, hingga beriklan di berbagai media seperti televisi.
Iklan politik di televisi telah ada sejak pemilu pertama yakni pada tahun
2004. Hingga pemilu tahun 2014, iklan politik masih menjadi andalan para
partai politik ataupun kandidat. Banyaknya target audiens yang harus
dijangkau serta relatif sedikitnya masa kampanye membuat beriklan di televisi
menjadi pilihan yang paling tepat. Walaupun pemilu baru digelar pada 2014,
sejak akhir 2013 iklan televisi di tanah air sudah didominasi iklan politik.
Persaingan dalam beriklan semakin panas dengan terjunnya para pemilik
stasiun televisi ke arena persaingan di pemilu 2014. Beberapa pemilik stasiun
televisi yang terjun ke dunia politik antara lain Aburizal Bakrie dari Golkar,
Surya Paloh dari Nasdem, dan Harry Tanoe dari Hanura3.
2
Miriam Budiharjo.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.hal.134.
Aburizal Bakrie merupakan pemilik stasiun televisi ANTV dan TV One. Sedangkan Harry
Tanoesudibyo merupakan CEO dari MNC Group yang membawahi stasiun televisi RCTI, MNC, dan
Global TV. Sementara itu, Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi Metro TV.
3
2
Diantara para politikus yang iklannya rutin muncul di layar kaca, ada
satu nama politikus baru yang juga ikut rajin beriklan, meski tidak memiliki
stasiun televisi, yaitu Gita Wirjawan. Pada akhir tahun 2013, saat iklan Gita
pertama kali muncul, Gita merupakan Menteri Perdagangan yang juga
menjabat sebagai Ketua Umum PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh
Indonesia). Mengusung tema “Gita 2014 Berani Lebih Baik”, Gita
menunjukkan secara tersirat bahwa dirinya mengincar kursi RI 1. Padahal, saat
itu Gita Wirjawan hanya berstatus sebagai peserta Konvensi Capres Partai
Demokrat, bersaing dengan 10 nama politikus Demokrat lainnya4.
Nama Gita Wirjawan mampu menarik perhatian publik mengingat
sosoknya bukanlah politikus ternama yang diprediksi akan bertarung di ajang
pemilu 2014. Dalam jajaran pemerintahan, nama Gita Wirjawan baru dikenal
sejak ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada tahun 2011. Tampilan
fisik yang meyakinkan, didukung dengan latar belakang pendidikan yang baik
membuat Gita Wirjawan relatif lebih mudah diterima masyarakat. Gita meraih
gelar sarjana dan master dari universitas ternama di dunia, yakni Harvard
University. Pada tahun 1992, Gita Wirjawan tercatat sebagai mahasiswa
Kennedy School of Harvard Government. Pada tahun 2002, ia berhasil meraih
gelar master dari Harvard University5. Menyandang gelar sebagai lulusan
Harvard, Gita relatif lebih dipandang sebagai akademisi, bukan politikus. Pada
tahun 2011, Gita masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 sebagai
Menteri Perdagangan. Kemudian, di tahun 2013 Gita memutuskan untuk terjun
ke dunia politik dengan mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat.
Langkah yang diambil Gita Wirjawan untuk mengikuti konvensi calon
presiden Partai Demokrat tentu tidak mudah, mengingat dirinya belum masuk
jajaran politikus ternama. Rekam jejaknya dalam pemerintahan juga belum
4
Pada tanggal 15 September 2013, Partai Demokrat mengumumkan 11 nama peserta konvensi.
Mereka adalah Gita Wirjawan, Anies Baswedan, Ali Masykur Musa, Dino Patti Jalal, Endriartono
Sutanto, Haryono Isman, Isman Gusman, Marzuki Alie, Sinyo Harry Sarundajang, dan Pramono
Edhie. Kesebelas peserta ini akan bersaing untuk memperebutkan kursi calon presiden yang
diusung Partai Demokrat. Terarsip dalam: http://www.demokrat.or.id/2013/09/malam-ini-partaidemokrat-perkenalkan-11-peserta-konvensi-capres/
5
Terarsip dalam: http://www.ayogitabisa.com/gita-bisa. Diakses pada 5 September 2014.
3
banyak. Inilah yang nampaknya menjadi faktor pendorong mengapa Gita harus
mempromosikan dirinya lebih awal. Apalagi, Gita tidak memiliki media yang
dapat membantunya mengonstruksi opini publik untuk mendongkrak citra dan
elektabilitasnya. Maka, salah satu cara yang bisa dilakukan Gita Wirjawan
adalah dengan rajin beriklan di televisi, sebagai media yang paling banyak
diakses di Indonesia6. Pentingnya beriklan di televisi bagi politikus juga
didukung oleh penelitian Nielsen yang menunjukkan bahwa rata-rata
masyarakat Indonesia menghabiskan setidaknya 4,5 jam per hari untuk
menonton televisi. Total konsumsi media televisi masih memimpin dengan
94% dari total konsumsi media konvensional di Indonesia7. Data diatas
membuktikan bahwa meskipun dikategorikan sebagai media konvensional,
televisi dengan jangkauannya yang luas dan kekuatan audio visualnya tetap
mampu memberikan pengaruh dalam hal berkomunikasi dengan masyarakat
luas.
Pasca ditetapkan sebagai peserta konvensi Partai Demokrat pada
September 2013, Gita Wirjawan mulai rajin beriklan di televisi. Gita beriklan
atas nama individu, tanpa membawa nama partai mengingat saat itu Gita masih
berstatus sebagai peserta konvensi,
belum merupakan calon resmi yang
diusung partai. Iklan-iklan Gita Wirjawan kemudian bersaing dengan iklaniklan politik dari berbagai partai politik maupun kandidat yang akan bersaing
di Pemilu 2014. Artinya, terpaan pesan yang diterima oleh masyarakat akan
semakin banyak. Untuk menarik perhatian audiens, sebuah iklan harus
memiliki keunikan tersendiri, agar melekat dan menjadi top of mind di benak
audiens. Sebagai pribadi dengan latar belakang akademik yang baik, Gita
Wirjawan tentu memiliki idealisme sendiri tentang penilaian baik atau buruk,
serta benar atau salah. Hal itu kemudian tercermin dalam iklan politik Gita
Wirjawan yang mengandung nilai-nilai edukatif, bukan semata-mata
mempromosikan dan memperkenalkan diri.
6
Terarsip dalam: http://theindonesianinstitute.com/beramai-ramai-kampanye-melalui-televisi/.
Diakses pada 10 April 2014.
7
Terarsip dalam: http://mix.co.id/research/pemirsa-indonesia-habiskan-197-jam-untukmenonton-sinetron/. Diakses pada 10 April 2014.
4
Seperti informasi yang didapat dari website resmi Gita Wirjawan yakni
www.gitawirjawan.com, Gita telah mengeluarkan enam versi TVC yakni
“Polisi”, “Memecahkan Kaca”, “Bermain Bola”, “Testimoni”, “Perjuangan
Anak Penjual Kue”, dan “Pemuda Indonesia”. Keenam TVC Gita Wirjawan
merujuk pada unsur keberanian, sesuai dengan tagline “Berani Lebih Baik”
yang diusung Gita. Jika diperhatikan dengan seksama, ada pesan positif yang
berusaha disampaikan Gita dalam iklan-iklan yang berdurasi 30 detik tersebut.
Di Indonesia, iklan politik yang menyampaikan pesan moral masih relatif
jarang. Iklan-iklan politik di Indonesia justru lebih banyak ajakan untuk
memilih kandidat atau partai yang beriklan, janji-janji perubahan dan kritik
atas pemerintahan saat ini.
Nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam pesan moral yang
disampaikan melalui iklan, diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi, tidak ada nilai mutlak yang dapat dijadikan tolak ukur
apakah suatu tindakan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan bermoral atau
tindakan tidak bermoral. Inilah yang membuat nilai moral bersifat sangat
subjektif. Ada beberapa hal yang mempengaruhi pandangan seseorang
terhadap tindakan bermoral atau tidak, antara lain latar belakang pendidikan
dan budaya. Subjektivitas dalam tindakan moral inilah yang kemudian menarik
minat peneliti untuk melihat sikap-sikap seperti apa yang mampu menjadi
representasi tindakan bermoral di Indonesia, dengan keberagaman dan
kemajemukan masyarakatnya. Apalagi, pesan moral ini disampaikan melalui
iklan politik, yang bertujuan mencapai kepentingan pengiklan, seperti
membentuk citra pribadi dimata masyarakat luas.
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengungkap bagaimana pesan
moral yang disampaikan melalui iklan politik. Fokus penelitian pada penelitian
ini adalah pesan moral dalam iklan Gita Wirjawan. Penelitian ini tidak akan
menyentuh
aspek
strategi
kampanye
Gita
Wirjawan.
Peneliti
akan
memfokuskan diri pada penyampaian pesan moral dalam iklan politik,
mengingat iklan politik di Indonesia biasanya hanya berisi ajakan memilih,
5
menyampaikan visi misi, ataupun kritik terhadap pemerintahan yang sedang
berkuasa.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah
untuk penelitian ini adalah:
“Bagaimana pesan moral disampaikan dalam iklan Gita Wirjawan versi
Bermain Bola, Polisi, Perjuangan Anak Penjual Kue, Jangan Menindak
Minoritas dan Memecahan Kaca?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mendeskripsikan pesan moral dalam iklan televisi Gita Wirjawan.
2. Untuk menganalisis pesan moral dalam iklan politik Gita Wirjawan.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru mengenai
pentingnya sebuah pesan dalam iklan politik.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan
bagi dunia semiotika dalam memahami pesan tersirat.
E. Kerangka Pemikiran
1. Iklan Politik dan Proses Penyampaian Pesan
Proses komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan. Proses penyampaian pesan ini bisa
secara langsung ataupun menggunakan medium tertentu. Salah satu
medium untuk menyampaikan pesan adalah televisi. Proses penyampaian
pesan melalui televisi salah satunya dikemas dalam bentuk iklan. Iklan
merupakan sebuah kanal untuk berkomunikasi antara pengiklan dengan
audiens, meskipun hanya komunikasi satu arah. Dalam konteks iklan
6
produk, pesan yang disampaikan adalah pesan komersial berupa ajakan
untuk membeli dan menggunakan produk yang diiklankan tersebut.
Namun jika iklan diterapkan dalam kepentingan politik, tentu
pesan yang disampaikan tidak sama dengan iklan komersial pada produk.
Pesan politik tidak sesederhana ajakan memilih. Kandidat yang beriklan
harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa dirinya memang layak untuk
dipilih. Untuk itu, pengemasan pesan dalam iklan politik benar-benar
harus memiliki strategi khusus, agar masyakarakat dapat memaknai
dengan baik.
Bangsa Indonesia memiliki berbagai problematika yang rumit dan
beragam. Dapat dipastikan, apa yang diharapkan bangsa Indonesia kepada
para politikus yang akan bersaing di pemilu adalah menyelesaikan
masalah-masalah yang ada. Maka, melalui pesan dalam iklan politik,
kandidat yang beriklan harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa ia
memiliki solusi dan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di
masyarakat. Oleh karena itu, konten pesan pada iklan politik harus berisi
isu-isu terpenting yang dihadapi oleh masyarakat. Selama periode
kampanye pemilu, masyarakat akan menerima informasi dalam jumlah
besar. Ketika pesan politik tidak cukup didiferensiasi, akan semakin sulit
bagi masyarakat untuk melakukan identifikasi mengenai dari manakah
sumber pesan politik tersebut8.
Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan kandidat dalam
penyampaian pesan politik melalui iklan adalah segmentasi masyarakat.
Masyarakat Indonesia dengan jumlah ratusan juta jiwa tentu memiliki latar
belakang berbeda-beda. Seorang kandidat harus benar-benar memahami
perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, dan pola pikir masyarakat.
Untuk masyarakat awam dan memiliki latar belakang pendidikan rendah,
pesan politik harus dikemas sesederhana mungkin supaya mudah
dimengerti tanpa menghilangkan esensi pesan politiknya sendiri.
Sementara bagi golongan masyarakat yang lebih terpelajar, diperlukan
8
Firmanzah.2012. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hal 261
7
kemasan yang berbeda. Pesan politik harus dikemas semenarik mungkin
disertai dengan data dan informasi yang akurat. Hal ini untuk
menunjukkan bahwa pesan politik itu didasarkan pada suatu fakta dan
realitas objektif, bukan karangan belaka9.
Ketika seorang kandidat atau sebuah partai memilih untuk beriklan
di televisi, maka kandidat atau partai tersebut harus mengetahui bahwa
televisi menjangkau semua segmentasi audiens. Dari anak-anak hingga
orang tua, laki-laki dan perempuan, kalangan atas maupun kalangan
bawah, sudah terbiasa menonton televisi. Maka, pesan politik yang
disampaikan oleh kandidat atau partai melalui iklan televisi sudah
seharusnya dikemas dalam bentuk yang relatif mudah dimengerti oleh
semua kalangan. Oleh karena itu, konten pesan dalam iklan politik di
televisi sebaiknya mengambil isu-isu yang umum dan dapat dimengerti
oleh berbagai kalangan, contohnya pendidikan dan kemiskinan.
Pesan dalam iklan politik juga harus dikemas dan diolah secara
ringkas, mengingat keterbatasan durasi dalam sebuah iklan di televisi.
Penggunaan tata bahasa dalam iklan juga harus menggunakan bahasa yang
sederhana, mengingat televisi merupakan media yang diakses oleh
berbagai kalangan. Perpaduan antara isu-isu umum dengan tata bahasa
yang mudah dimengerti oleh berbagai lapisan masyarakat, akan membuat
pesan dalam iklan politik berhasil meyakinkan audiens.
2.
Iklan Televisi sebagai Iklan Audio Visual
Meskipun paradigma komunikasi pemasaran mulai bergeser ke
new media, namun pada kenyataannya iklan televisi masih belum
ditinggalkan. Berbagai brand ternama dengan penghasilan besar rela
menyisihkan penghasilannya untuk beriklan di televisi. Di Indonesia, tidak
hanya produk yang rajin beriklan. Menjelang pemilihan umum 2014,
partai maupun kandidat juga turut beriklan di televisi. Ini tentu dilandasi
9
Ibid. Hal. 262
8
oleh kelebihan televisi yakni jangkauannya yang luas, sehingga para
pengiklan mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Namun, ada satu kelebihan iklan televisi yang membuatnya lebih
unggul dibandingkan media beriklan lainnya yakni karena iklan televisi
mengandalkan kekuatan audio dan visual sekaligus. Iklan televisi
memberikan dampak visual dan emosional yang kuat. Paduan gambar,
suara, warna, gerak, dan drama menciptakan respon emosional yang lebih
kuat ketimbang bentuk media advertising lainnya10. Tampilan gambar
serta animasi yang ditampilkan di iklan televisi diyakini mampu menarik
perhatian audiens. Dukungan suara dan gambar yang ditampilkan secara
bersamaan, tentu membuat penyampaian pesan menjadi lebih mudah. Di
samping itu, audiens juga akan dengan mudah menerima pesan dalam
iklan yang ditampilkan secara audio dan visual.
Sementara itu, Budi Susanto dalam bukunya yang berjudul
Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia mengatakan bahwa kekuatan
media audio visual yang menghadirkan citra bergerak membentuk realitas
“yang lain” dengan hukum-hukum dan logikanya sendiri. Kemasankemasan
audio
visual
semakin
mendapatkan
ketidakterbatasan
perkembangannya dan semakin menghegemoni logika-logika faktual.
Audio visual kemudian mampu menggeser representasi iklan untuk
semakin terfokus pada close up kecantikan, erotika, kemegahan
komoditas, hedonisme, pemujaan barang, dominasi ideologi patriarki dan
ketidakseimbangan gender.11
Citra visual dan suara serta kata-kata dalam musik bekerjasama
untuk berkisah atau menciptakan perasaan dan suasana hati agar para
pemirsa pada akhirnya berasosiasi pada merk/produk tertentu12. Audiens
cenderung lebih mengingat iklan televisi dibandingkan iklan radio ataupun
cetak. Misalnya, dari segi tagline. Tagline di iklan televisi yang
10
Sandra Moriarty. Op.cit., Hal. 255
Budi Susanto. “Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia”. 2003. Kanisius. Yogyakarta. Hal 60.
12
Monlee Lee dan Carla Johnson, “Prinsip-prinsip Pokok Periklanan dalam Perspektif Global”,
Pranada, Jakarta. 2004. Hal.22
11
9
ditunjukkan dengan perpaduan audio dan visual akan lebih mudah diingat
bahkan ditirukan oleh masyarakat. Dari mengingat dan menirukan inilah
tanpa disadari kemudian akan terbangun engagement yang kuat antara
produk yang diiklankan dengan audiens yang menyaksikan iklan tersebut.
Iklan televisi, sebagai satu-satunya iklan audio visual diandalkan
oleh pengiklan untuk mempersuasi khalayak dengan mengandalkan
jangkauannya yang luas. Tujuan produksi iklan televisi adalah
menerjemahkan narasi naskah iklan tertulis menjadi kekuatan audio
visual13. Lewat kekuatan audio, kalimat berisi ajakan menggunakan
produk yang diiklankan menjadi lebih ekspresif dibandingkan hanya
tulisan yang ada di billboard ataupun iklan luar ruang lainnya. Selain itu,
gambar bergerak yang kerap ditampilkan di iklan televisi juga tidak
mampu digantikan oleh iklan radio yang hanya memiliki kekuatan audio.
Kelebihan inilah yang membuat iklan televisi masih diandalkan oleh
pengiklan, meski kehadiran new media membuat televisi dikategorikan
sebagai media konvensional.
Dalam periklanan politik, iklan dengan kekuatan audio visual juga
diharapkan mampu menjembatani hubungan antara partai atau kandidat
yang beriklan dengan masyarakat. Tujuan dari iklan politik adalah
mengajak masyarakat memilih partai atau kandidat yang beriklan. Untuk
dapat dipilih oleh masyarakat, kandidat atau partai yang beriklan harus
mampu meyakinkan dan meraih simpati masyarakat. Melalui iklan televisi
yang menampilkan kekuatan audio dan visual sekaligus, ajakan memilih
yang ditujukan kepada audiens akan lebih memiliki kekuatan.
Dengan tampilan visual, audiens dapat menilai gesture atau sikap
tubuh. Gesture yang ditampilkan secara visual juga akan menjadi aspek
penilaian audiens. Melalui gesture yang baik, proses meyakinkan
masyarakat akan semakin mudah. Gesture mengambil peranan penting
dalam ajakan terhadap masyarakat untuk memilih, karena gesture mampu
merepresentasikan apa yang tidak dapat diucapkan oleh kata-k ata. Selain
13
Ibid, hal. 22
10
itu, penampilan kandidat juga menjadi faktor yang akan menjadi
pertimbangan audiens.
Kehadiran tampilan audio menjadi pelengkap bagi tampilan visual
yang ditampilkan dalam iklan televisi. Dalam iklan politik, kekuatan audio
biasanya dimanfaatkan untuk jingle dan tagline. Jingle iklan berguna
untuk membuat iklan tersebut diingat oleh masyarakat. Selain jingle,
tagline juga biasanya menggunakan kekuatan audio. Rata-rata iklan
televisi menampilkan tagline tidak dalam bentuk tertulis, melainkan
diucapkan oleh voice over. Tagline juga sangat berguna untuk membentuk
kedekatan antara pengiklan dengan audiens, karena biasanya bagian iklan
yang paling diingat oleh audiens adalah tagline. Tagline iklan politik yang
populer adalah tagline iklan PDI-P pada tahun 2004, yakni “Coblos
moncong putih.”
Dalam iklan politik di televisi, kekuatan audio dan visual saling
melengkapi untuk meyakinkan audiens agar memilih kandidat yang
beriklan. Gambar, suara, warna dan gerak bersatu padu untuk meyakinkan
audiens tentang apa yang diiklankan. Selain itu, kekuatan audio dan visual
juga mampu membuat sebuah alur cerita yang kemudian akan diresapi
oleh audiens. Perpaduan audio dan visual dapat membuka ruang bagi
audiens untuk lebih leluasa menilai dan kemudian menjatuhkan pilihan
kepada kandidat yang beriklan.
3. Iklan Politik
“Political advertising therefore, in the strict sense, refers to the purchase
and use of advertising space, paid for at commercial rates, in order to
transmit political messages to a mass audience. The media used for this
purpose may include cinema, billboards, the press, radio, and
television.”14
14
Brian McNair. An Introduction to Political Communication. Routledge. London. 2003. Hal 97.
11
Di Indonesia, iklan televisi bukan saja iklan produk ataupun jasa.
Terutama menjelang pemilu, televisi Indonesia dibanjiri oleh iklan politik.
Secara garis besar, iklan politik sebenarnya memiliki tujuan yang sama
dengan iklan produk, yakni sama-sama mencoba mempersuasi khalayak.
Iklan politik merupakan kegiatan untuk mempromosikan diri dengan citra
baik di hadapan masyarakat dengan adanya unsur-unsur politik untuk
tercapainya tujuan tertentu15. Hal yang membedakan iklan produk dengan
iklan politik adalah iklan produk mengajak konsumen untuk membeli dan
menggunakan produk tersebut, sedangkan iklan politik mengajak khalayak
untuk mendukung kandidat atau partai yang beriklan. Iklan politik dapat
dikategorikan sebagai iklan
musiman (seasonal pulse). Menurut
Longman16, seasonal pulse adalah iklan yang disajikan pada musim
diperlukannya produk yang dimaksud, dalam konteks ini musim yang
dimaksud adalah musim pemilu.
Walaupun hanya merupakan iklan musiman yang hanya hadir pada
saat-saat tertentu, namun iklan politik banyak diandalkan oleh kandidat
ataupun partai demi meraih antusiasme publik. Ini karena iklan politik
memiliki beberapa kelebihan, antara lain17:
1. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat
2. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian pilihan
karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.
3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan
4. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu
5. Memengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional
6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih
terhadap kandidat politik.
15
Adhi Iman Sulaiman, “Dinamika Komunikasi Politik Menjelang Pemilu 2014”, Balai Pengkajian
dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika,
http://jurnal.kominfo.go.id/index.php/observasi/article/view/101/92, 2014. Hal 167. Diakses
pada 2 Juli 2014.
16
Kustadi Suhandang. 2010. Periklanan Manajemen, Kiat, dan Strategi. Bandung: Nuansa.
17
Adhi Iman Sulaiman. Op. Cit., Hal 163
12
Dalam kancah politik, iklan politik menjalankan fungsinya sebagai
alat untuk berkomunikasi dengan masyarakat, meskipun hanya bentuk
komunikasi satu arah. Periklanan politik seringkali digunakan para politisi
untuk membujuk orang untuk memilih mereka, dan karenanya iklan jenis
ini merupakan sebuah bagian penting dari proses politik di Amerika serikat
dan negara demokrasi-demokrasi lainnya18. Iklan politik berguna untuk
membangun kesan dan image sebuah partai maupun seorang kandidat.
Iklan politik juga menjadi representasi diri dari partai ataupun kandidat
yang beriklan. Melalui terpaan iklan pula, para audiens dapat mengetahui
dan mengingat calon kandidat yang rajin beriklan. Menurut Rothscild,
marketing berkontribusi besar terhadap partai politik dalam cara
mengemas pesan politik yang berbentuk iklan19.
Dalam dunia politik, iklan memiliki dua level20. Pada level
pertama, iklan politik memberikan informasi tentang kandidat ataupun
program-program yang dimiliki partai. Pada level kedua, iklan politik juga
berfungsi untuk membujuk. Kedua level diatas tentu akan menguntungkan
kandidat maupun partai yang beriklan. The producers of political
advertisements have the freedom to say what they like; to replace the
journalists‟ agenda with their own; to play to their clients‟ strengths and
highligh the oppnents‟ weaknessses. The advertisement, in short, is the
only mass media from over the construction of which the politician has
complete control.21
Meskipun memiliki tujuan yang sama, namun iklan politik berbeda
dengan iklan produk. Cara pandang audiens mengenai iklan politik dan
iklan produk juga berbeda. Dalam menyikapi iklana produk, audiens
cenderung tidak berpikir panjang untuk menggunakan produk tersebut,
karena jika tidak sesuai selerapun, konsumen bisa memilih untuk tidak
membelinya lagi. Tetapi pada iklan politik, audiens akan cenderung lebih
18
Monlee Lee dan Carla Johnson, Op.Cit., Hal. 7.
Firmanzah, “Marketing Politik”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. 2012. Hal 151.
20
Brian Mc.Nair hal 95
21
Ibid, hal 96
19
13
kritis dan berpikir panjang. Ini lantaran audiens hanya memiliki satu
kesempatan untuk memilih kandidat yang dianggap baik untuk memimpin
selama lima tahun kedepan. Oleh karena itu, untuk memikat hati audiens,
iklan politik harus benar-benar menyentuh dan sesuai dengan apa yang
benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Penelitian Nielsen22 pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa
jumlah belanja iklan televisi untuk kategori iklan politik di Indonesia
meningkat dibandingkan pada periode pemilu sebelumnya yakni pada
tahun 2009. Jika pada tahun 2009 total belanja iklan di televisi mencapai
Rp 1,065 triliun, di tahun 2014 meningkat menjadi Rp 2,04 triliun. Selain
mengalami peningkatan biaya, iklan politik di televisi pada tahun 2014
juga mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan tahun 2009. Pada
tahun 2014, iklan politik didominasi oleh iklan televisi dengan presentasi
55%. Ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yakni 20% dari
tahun 2009 yang hanya mencapai angka 35%.
Peningkatan dalam jumlah belanja iklan politik di televisi tentu
berbanding lurus dengan meningkatnya frekuensi penayangan iklan politik
disaat-saat menjelang pemilihan umum. Terpaan iklan secara terus
menerus ini kemudian dengan sendirinya akan membentuk citra pengiklan
dimata masyarakat. Misalnya ketika sebuah partai atau seorang kandidat
menayangkan iklan dengan latar kemiskinan dan kesulitan hidup, maka
lambat laun akan tercipta di benak masyarakat bahwa partai atau kandidat
tersebut merupakan sosok calon pemimpin yang peduli pada rakyat kecil
dan ingin memberantas kemiskinan di tanah air.
Selain itu, data meningkatnya jumlah belanja iklan politik di
televisi membuktikan bahwa televisi masih menjadi media yang
diandalkan. Iklan politik di televisi dianggap lebih unggul daripada
bentuk-bentuk iklan lainnya. Iklan televisi dapat menampilkan gambar
secara visual dan juga mengandalkan audio. Sementara iklan billboard,
22
Terarsip dalam http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-pertumbuhanbelanja-iklan-berjalan-perlahan.html. Diakses pada 26 Juni 2014.
14
selain space yang terbatas juga hanya bisa menghadirkan gambar. Iklan
radio juga memiliki kekurangan, yakni hanya mengandalkan audio tanpa
visual. Melalui iklan televisi, audiens dapat melihat partai atau kandidat
yang beriklan, serta mendengarkan pesan dalam iklan tersebut. Audiens
tidak saja hanya mendengarkan suara seperti di radio ataupun melihat
gambar seperti di billboard. Berbagai kelebihan iklan televisi inilah yang
membuat iklan belum tergeserkan dan masih diandalkan dalam aktivitas
komunikasi pemasaran politik.
4. Pesan Moral
Pesan moral biasanya terdapat di film-film ataupun cerita rakyat.
Pesan moral diselipkan dengan tujuan agar audiens dapat mengambil
hikmah dari film yang ditonton ataupun cerita yang didengar. Moral
adalah tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang prilaku
baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret
tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam
hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari
perilaku-perilaku yang tidak baik23. Dengan adanya aturan moral,
kehidupan manusia dengan sesamanya dapat menanamkan kebaikan dan
tidak merugikan orang lain.
Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai
manusia. Norma-norma moral menjadi tolak ukur untuk menentukan
betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya
sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas24.
Jadi, perilaku moral mengacu pada sikap manusia terhadap sesama
manusia, bukan karena peran atau profesi yang digeluti. Perilaku moral
menjadi penunjuk arah dalam kehidupan manusia untuk mencapai
23
Burhanuddin Salam, “Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia”, Rineka Cipta, Jakarta.
1997. Hal 3.
24
Franz Magnis, “Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Etika Moral”, Kanisius, Yogyakarta. 1987.
Hal 19
15
kehidupan yang makmur. Dengan moral yang baik, kehidupan manusia
sebagai individu dan makhluk sosial juga akan damai.
The moral sense has to be refined, led by experience, cultivated by
education, and learned from others; in short, a human being develops to
innate moral sense by living and resonating to the rythms of human life25.
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika moral tidak muncul
begitu saja dalam diri manusia. Perlu ditumbuhkan melalui pendidikan,
berproses dengan pengalaman, bahkan belajar dari orang lain. Jadi, nilai
moral akan sendirinya berkembang seiring dengan pembelajaran yang
didapat oleh manusia dari kehidupan.
Nilai moral juga memiliki relativisme, dimana norma-norma moral
tidak berlaku secara umum. Relativisme moral biasanya dipengaruhi oleh
kebudayaan dan lingkungan. Contohnya seks bebas. Di Indonesia, dengan
latar belakang budaya timur yang masih kental, seks bebas tentu menjadi
sesuatu yang dipandang tidak baik dan melanggar nilai moral. Tetapi, di
Perancis yang berlatar belakang budaya barat, seks bebas mungkin saja
dianggap sesuatu yang biasa, normal, dan wajar dilakukan. Inilah yang
dimaksud nilai moral memiliki relativisme.
Sifat relativisme yang dimiliki moral didukung oleh pernyataan
Henry Hazlitt yang mengatakan bahwa moral merupakan produk evolusi
sosial yang berlangsung secara gradual, seperti bahasa, atau adat istiadat,
atau hukum umum, dan bahwa seperti semua itu, kode moral tumbuh dan
berkembang menghadapi kebutuhan akan kedamaian dan ketertiban serta
kerjasama sosial26. Jadi, pembentukan moral tidak terjadi begitu saja,
melainkan dibentuk melalui pengalaman hidup seseorang, dan dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti budaya, adat istiadat, bahkan hukum yang
berlaku. Nilai moral yang masih terikat dengan unsur agama biasanya
bersifat asketik dan kuat. Sementara jika berhubungan dengan tata krama,
nilai moral merupakan sesuatu yang menyenangkan, disepakati, dan bisa
25
Hakim Albert, “Understanding Morality”, Pearson Education, Boston. 2011. Hal. 8
Hazlitt Henry, “The Foundation of Morality”, D. Van Nostrand Company, Princeton. 1964. Hal.
12
26
16
menjadi sumber kegembiraan yang mudah menjalar ke orang lain27.
Dengan kata lain, perilaku bermoral dapat membuat orang lain turut
merasakan kenyamanan, ketentraman, dan kebahagiaan.
Franz Magnis dan Suseno, dalam bukunya yang berjudul Etika
Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral28 mengungkapkan bahwa
salah satu pandangan tentang perbedaan nilai moral adalah pandangan
relativisme kultural. Relativisme kultural atau deskriptif menolak
anggapan bahwa norma moral berlaku secara umum. Pandangan ini
berangkat dari fakta pluralisme yang terjadi di berbagai belahan dunia,
yang didasari pada perbedaan kebudayaan dan lingkungan. Nilai dan
norma yang dianut di setiap daerah tentu berbeda, tak lepas dari pengaruh
budaya. Maka, terkadang akan terdapat pandangan tentang sesuatu yang
baik atau tidak baik, serta pantas atau tidak pantas.
Walaupun bersifat relatif, tetapi nilai moral juga memiliki acuan
tentang bagaimana manusia harus bersikap terhadap manusia lain. Franz
Magnis dan Suseno memaparkan bahwa sikap-sikap yang menunjukkan
nilai moral adalah:
a. Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai penting yang harus dijunjung dalam
sebuah kehidupan. Dengan bersikap jujur, manusia tidak akan
merugikan pihak-pihak lain. Ada dua macam sikap jujur. Pertama
bersikap terbuka, kedua bersikap fair. Terbuka artinya kita bersikap
apa adanya terhadap orang lain, dan menjadi diri sendiri. Sedangkan
fair adalah memperlakukan orang sesuai standar yang diharapkan
diperlakukan
orang
lain
terhadap
kita.
Misalnya
dengan
menghormati hak orang lain dan bersikap sebaik mungkin.
b. Bertanggung Jawab
27
28
Ibid, Hal. 99
Franz Magnis. Op.Cit., Hal. 20
17
Bertanggung jawab adalah suatu sikap dimana seseorang merasa
terikat untuk menyelesaikan tugas yang dibebani. Bertanggung
jawab juga berarti berkomitmen untuk melaksanakan tugas yang
dibebani dengan sebaik mungkin. Pribadi yang bertanggung jawab
akan menjadi pribadi yang berguna bagi orang-orang disekitarnya.
c. Kemandirian
Kemandirian adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap dan
bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar. Kemandirian
berarti tidak mengikuti arus jika sudah mengetahui bahwa itu salah.
Kemandirian berarti teguh pada pendirian dan terus menjalankan
apa yang dianggap benar dan menjauhi apa yang dianggap salah,
meskipun orang di sekeliling melakukan hal yang dianggap salah.
d. Keberanian
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang
menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik.
Keberanian artinya keteguhan untuk bersikap terhadap apa yang
dianggap benar. Keberanian juga berarti melakukan tindakan
pembelaan terhadap yang lemah atas perlakuan yang tidak adil.
Contoh keberanian adalah berani untuk tidak korupsi, meski rekan
sekantor bersama-sama melakukan tindak korupsi.
e. Kerendahan Hati
Kerendahan hati bukan berarti merendahkan diri, melainkan
kekuatan batin untuk melihat diri kita apa adanya. Kerendahan hati
berhubungan dengan kenyataan bahwa setiap manusia pasti tidak
sempurna dan memiliki kekurangan, sehingga tidak ada yang bisa
disombongkan.
Kerendahan
hati
berarti
kesediaan
untuk
memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, tanpa ego
dan anggapan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar.
Kelima sikap yang telah dipaparkan diatas adalah sikap yang
dianggap mampu merepresentasikan nilai-nilai dan norma moral. Merujuk
18
pada penjelasan diatas, intinya moral adalah sesuatu yang mengacu pada
baik atau buruknya manusia terhadap manusia lain. Dengan memegang
nilai moral, maka akan terjadi hubungan simbiosis mutualisme antar
manusia dan menciptakan hubungan yang harmonis. Maka, pesan moral
dapat diartikan sebagai pesan untuk berperilaku baik terhadap orang lain
sesuai dengan nilai-nilai agama dan kebudayaan.
Dalam iklan politik yang mengangkat nilai-nilai moral, akan ada
dualisme makna yang terjadi ketika kehidupan sehari-hari dihubungkan
dengan dunia politik. Misalnya, ketika berbicara kejujuran, maka makna
kejujuran dalam kehidupan sehari-hari adalah berkata yang sebenarnya,
tidak ada yang ditutupi, dan tidak berkata bohong. Namun jika dikaitkan
ke dunia politik, makna kejujuran bisa diartikan berbeda, contohnya tidak
korupsi.
F. Kerangka Konsep
Dari paparan kerangka pemikiran diatas, telah dijelaskan bahwa meskipun
termasuk dalam kategori iklan konvensional, iklan televisi masih digunakan
oleh para politikus untuk beriklan. Fakta ini diperkuat oleh hasil penelitian
Nielsen yang menunjukkan bahwa pada tahun 2014, sebanyak 55% iklan
politik menggunakan media televisi. Para kandidat maupun partai berlombalomba membeli slot iklan di televisi, demi menjangkau berbagai kalangan,
karena televisi memiliki jangkauannya yang luas. Inilah yang kemudian
menjadi tugas dari pengiklan untuk menghadirkan iklan dengan nuansa
berbeda dari iklan lainnya, agar publik aware terhadap iklan tersebut,
mengingat di masa-masa menjelang pemilu rakyat banyak sekali menerima
informasi politik termasuk melalui iklan.
Gita Wirjawan, sebagai salah satu politikus yang masuk dalam pusaran
persaingan menuju pemilu 2014 juga ikut beriklan di televisi. Gita
mengeluarkan enam versi iklan yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi.
Namun, dari keenam iklan politik Gita Wirjawan di televisi ini, peneliti hanya
akan meneliti empat versi. Dalam meneliti iklan Gita Wirjawan, peneliti
19
memposisikan diri sebagai penerima pesan. Peneliti membatasi fokus
penelitian ini pada pesan yang disampaikan dalam iklan Gita Wirjawan,
sehingga peneliti memposisikan diri sebagai penerima pesan. Adanya indikasi
pesan moral dalam iklan politik Gita Wirjawan, membuat fokus penelitian ini
akan dikerucutkan lagi menjadi pesan moral.
Karena penelitian ini menggunakan iklan televisi sebagai objek penelitian,
maka kekuatan audio dan visual akan menjadi unit yang dianalisis. Unsurunsur seperti teks, dialog, karakterisasi, objek, hingga setting dalam iklan akan
dianalisis apakah mengandung indikasi pesan moral atau tidak. Selain itu,
teknik pengambilan gambar dengan berbagai makna yang terkandung di
dalamnya juga akan menjadi aspek yang penting untuk dianalisis.
Berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipaparkan diatas, maka desain
penelitian yang akan menjadi acuan untuk penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
20
Iklan
Politik
Iklan Politik Gita Wirjawan di Televisi
Pesan dalam Iklan
Iklan Audio Visual
Kekuatan
Audio
Pesan Moral
Kekuatan
Visual
1. Dialog
2. Monolog
3. Musik/
Jingle
1. Objek
2. Setting
3. Camera
Shot
Kriteria Sikap yang Sesuai
dengan Pesan Moral:
1.
2.
3.
4.
5.
Jujur
Bertanggung Jawab
Berani
Mandiri
Rendah Hati
Semiotika Iklan
Bagan 1.1. Kerangka Konsep Penelitian
Dari bagan diatas, dapat dijelaskan bahwa penelitian ini akan fokus kepada
pesan dalam iklan. Namun, karena iklan Gita Wirjawan yang menjadi objek
dalam penelitian ini menggunakan media televisi, maka kekuatan audio dan
visual yang dimiliki oleh televisi juga akan mendukung unit analisis data dalam
penelitian ini. Aspek-aspek audio dan visual ini kemudian akan menjadi acuan
21
untuk menentukan pesan moral seperti apa yang terkandung dalam iklan politik
Gita Wirjawan.
Seperti yang telah dipaparkan dalam tabel diatas, kriteria sikap yang sesuai
dengan moral adalah jujur, bertanggung jawab, berani, mandiri, dan rendah
hati. Maka, kelima sikap tersebut akan menjadi batasan dalam menentukan
sikap moral yang ditunjukkan dalam iklan. Kelima sikap tersebut tidak
ditentukan oleh penulis, melainkan dikutip dari buku Franz Magnis Suseno
yang berjudul Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Etika Moral.
Untuk
mendukung
pengklasifikasian
sikap-sikap
moral
yang
diklasifikasikan oleh Franz Magnis Suseno, peneliti juga akan menggunakan
aspek audio dan visual. Dalam aspek tampilan visual, yang akan menjadi unit
analisis adalah objek, setting, dan camera shot. Untuk mencari makna yang
terkandung dari pengambilan gambar (camera shot), peneliti akan mengacu
pada pendapat Asa Berger dalam bukunya yang berjudul Media Analysis
Techniques. Selain itu, untuk aspek audio, yang akan menjadi teknik analisis
data adalah dialog, monolog, serta musik/jingle.
Dalam penelitian semiotika dengan objek iklan televisi, camera shot atau
teknik pengambilan gambar menjadi hal penting yang dapat mendukung
kekuatan analisis data dan penyampaian makna kepada audiens. Berdasarkan
buku yang berjudul Menjadi Sutradara Televisi29, teknik pengambilan gambar
juga memiliki makna yang berusaha disampaikan kepada audiens. Berikut
adalah makna dari teknik-teknik pengambilan gambar atau camera shot di
televisi:
a. Long Shot
Long shot adalah gambar manusia seutuhnya dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Long shot merupakan landscape format yang mengantarkan
mata penonton kepada keluasaan satu suasana dan objek. Teknik
pengambilan gambar long shot berguna untuk menggiring perhatian
audience pada setting tempat yang digunakan dalam iklan. Biasanya,
29
Naratama, Menjadi Sutradara Televisi, Grasindo, Jakarta, 20044. Hal. 69
22
teknik pengambilan gambar long shot dilakukan pada scene awal, sebagai
gambaran awal tentang setting tempat dan suasana.
b. Medium Shot
Medium shot biasanya digunakan sebagai komposisi gambar terbaik untuk
syuting wawancara. Dengan memperlihatkan subjek orang dari tangan
hingga ke atas kepala, maka audience akan melihat dengan jelas ekspresi
dan emosi dari subjek. Teknik pengambilan gambar medium shot berfungsi
untuk menegaskan relasi personal antara subjek dalam iklan dengan
audience.
c. Close Up
Close up merekam penuh gambar dari leher hingga ke ujung kepala, yang
juga dapat diartikan sebagai komposisi gambar yang fokus pada wajah.
Teknik pengambilan gambar close up menjadi bagian dari ungkapan emosi
dari objek utama. Hanya dengan teknik pengambilan gambar close up,
ekspresi marah, senang, kesal, sedih, kagum, hingga jatuh cinta dapat
terlihat. Selain itu, ketajaman mata, ekspresi, kedipan mata, reaksi, emosi,
hingga bahasa tubuh akan tercermin dalam raut wajah subjek yang dishot
menggunakan teknik close up.
d. Extreme Close Up
Kekuatan extreme close up terletak pada ketajaman dan kedekatan yang
hanya fokus pada satu objek. Teknik extreme close up menggambarkan
keintiman antara subjek dengan audience. Biasanya, bagian tubuh yang di
shot menggunakan teknik extreme close up adalah mata, untuk melihat
sorot mata dari subjek.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menginterpretasi tanda-tanda dalam keempat
versi iklan politik Gita Wirjawan. Maka, jenis penelitian yang paling tepat
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
metode analisis semiotik. Semotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin
23
yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta30.
Merujuk pada makna semiotika diatas, maka iklan juga dapat diteliti
dengan ilmu semiotika. Alasannya, iklan merupakan sesuatu yang dibuat
oleh manusia untuk mengkonstruksi citra pengiklan. Iklan selalu berbicara
hal-hal baik dan positif, agar para audiens tertarik pada apa yang
diiklankan. Iklan tidak mungkin mengungkapkan kekurangan produk yang
diiklankan. Inilah yang membuat iklan berpeluang untuk berdusta. Agar
pesan verbal maupun visual mampu menarik calon konsumen, maka karya
desain komunikasi visual –dalam hal ini iklan- harus menawarkan
eksklusivisme, keistimewaan, dan kekhususan, yang kemudian dapat
memberikan akibat berupa titemisme, perujukan pada suatu benda atau
merek untuk menemukan jati diri produk barang atau jasa yang
diperdagangkan31.
Dalam iklan, ada tanda-tanda yang dapat diteliti secara semiotik,
misalnya suara, teks, maupun warna. Penelitian semiotika iklan dapat
dikategorikan sebagai penelitian semiotika verbal. Tokoh semiotika verbal
adalah Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure, sebuah tanda (berwujud)
atau gambar mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang
disebut signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut
signified, bidang petanda atau konsep makna32. Aspek signified
terkandung dalam aspek signifier. Melihat lebih dalam semiotika dalam
iklan, Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya yang berjudul Semiotika dan
Hipersimiotika33, menjelaskan sebuah skema tentang semotika iklan, yakni
sebagai berikut:
30
Eco Umberto. 1976. A Theory of Semiotic. Bloomington: Indiana University Press. Hal.7.
Sumbo Tinarbuko. Op. Cit., Hal. 12
32
Ibid Hal 13.
33
Yasraf Amir Pialang, Semiotika dan Hipersemiotika, Matahari, Bandung, 2012. Hal 355.
31
24
Objek
Konteks
Teks
Entitas
Visual/Tulisan
Visual/Tulisan
Tulisan
Fungsi
Elemen tanda yang Elemen tanda yang Tanda linguistik
merepresentasikan
objek
atau
memberikan
produk diberikan)
yang diiklankan.
dan
(atau yang berfungsi
konteks memperjelas
makna
objek
pada dan
yang menambahkan
diiklankan.
makna
(anchoring)
Elemen
Penanda/Petanda
Penanda/Petanda
Penanda
Tanda
Tanda Semiotika
Tanda Semiotika
Tanda
Linguistik
Tabel 1.1. Skema Semiotika Iklan
Dalam memaknai iklan, dunia semiotika mengenal tanda denotatif dan
tanda konotatif yang diungkapkan oleh Roland Barthes. Dalam memaknai
tanda di sebuah iklan, Barthes
menciptakan peta tentang bagaimana
sebuah tanda bekerja seperti pada tabel berikut ini34:
1. Signifier
(penanda)
3. Denotative
2. Signified
(petanda)
Sign
(tanda
denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Tabel 1.2. Peta Tanda Roland Barthes
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. Hal 69
25
Peta tanda Roland Barthes merupakan penyempurnaan dari konsep
semiotika Saussure yang berhenti pada pembahasan signifier dan signified.
Dari peta tanda Roland Berthes diatas, dapat dilihat bahwa tanda denotatif
(3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan aspek
material dari bahasa, misalnya apa yang dikatakan atau didengar dan apa
yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep yang ada di kepala manusia. Jadi, tanda denotatif
terdiri dari aspek material bahasa dan peta konseptual seseorang. Pada saat
yang bersamaan, tanda denotatif juga memiliki penanda konotatif (4).
Misalnya, saat kita mendengar kata “kupu-kupu malam”, maka akan
muncul makna konotasi lain. Kupu-kupu malam, dalam makna denotasi
adalah binatang, tapi dalam makna konotasi kupu-kupu malam dapat
diartikan sebagai wanita nakal atau pelacur.
Penelitian ini akan berfokus pada pesan yang disampaikan dalam
iklan Gita Wirjawan. Maka, unit analisis dalam penelitian ini juga seputar
pesan dalam iklan. Merujuk pada unit analisis iklan Roland Barthes, ada
tiga unit analisis yang dapat digunakan untuk penelitian semiotika pada
sebuah iklan, yakni:
a. Pesan Linguistik
Pesan linguistik menganalisis semua kata dan kalimat dalam iklan.
b. Pesan Ikonik yang Terkodekan
Pesan ini merupakan konotasi visual yang diturunkan dari penataan
elemen-elemen visual dalam iklan.
c. Pesan Ikonik tak Terkodekan
Istilah ini menunjuk denotasi “harfiah”, pemahaman langsung dari
gambar dan pesan dalam iklan, tanpa mempertimbangkan kode sosial
yang lebih luas.
Selain aspek bahasa yang ada di naskah iklan, penelitian ini juga akan
melibatkan aspek visual. Visualisasi akan menjadi penyempurna dari
26
aspek bahasa. Tampilan visual mampu mengkomunikasikan apa yang
tidak terucapkan dalam bahasa. Aspek visual akan mencakup teknik
pengambilan gambar (camera shot). Asa Berger, dalam bukunya yang
berjudul Media Analysis Technique35 menjelaskan makna camera shot
yakni sebagai berikut:
Penanda – Camera Definisi
Petanda - Arti
Shot
Close-Up
Keseluruhan
wajah Kedekatan Hubungan
menjadi objek.
Extreme Close-Up
Hanya
mengambil Menggambarkan
objek
terdekat keintiman. Bisa juga
(Contoh:
Hanya sebagai tanda bahwa
mengambil
bagian
dari
suatu objek
ini
merupakan
wajah, pelaku inti.
misalnya mata)
Medium Shot
Setengah Badan, dari Menggambarkan relasi
kepala
hingga personal.
pinggang
Full Shot
Long Shot
Seluruh badan menjadi Menggambarkan
objek
hubungan sosial
Setting dan Karakter
Menekankan
lingkungan
yang
diceritakan dalam iklan
tersebut.
Tabel 1.3. Teknik Camera Shot
35
Arthur Asa Berger. 2012. Media Analysis Techniques. London: Sage. Hal. 36
27
1
Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah TVC (televisi commercial) dari
Gita Wirjawan yang tayang sejak akhir tahun 2013. Hingga saat ini, Gita
Wirjawan sudah mengeluarkan enam versi iklan, yakni versi “Pemuda
Indonesia”, “Perjuangan Anak Menjual Kue”, “Polisi”, “Bermain Bola”,
“Memecahkan Kaca”, dan “Testimoni”. Keenam versi iklan Gita
Wirjawan di televisi ini akan menjadi objek pada penelitian ini. Berikut ini
adalah penjelasan tentang masing-masing iklan televisi Gita Wirjawan
a. Versi Polisi
Iklan versi Polisi milik Gita Wirjawan berdurasi 30 detik,
dengan tagline “Berani Lebih Baik”. Dalam iklan tersebut, diceritakan
seorang pengemudi wanita memutar arah di area yang tidak
diperbolehkan. Saat diberhentikan oleh polisi, pengemudi wanita
tersebut berusaha mengajak „berdamai‟ dengan mencoba memberikan
sejumlah uang. Namun, polisi tersebut menolak lantaran berusaha
bersikap jujur dalam menjalankan profesinya. Peneliti memilih iklan
Gita Wirjawan versi polisi sebagai objek penelitian lantaran kasus
yang diangkat sangan dekat dengan masyarakat. Menyuap polisi saat
melakukan kesalahan berkemudi nampaknya sudah menjadi hal yang
lumrah di Indonesia. Bahkan, tak banyak masyarakat yang tau bahwa
ketika ditilang, mereka seharusnya menjalani sidang di kepolisian. Ini
lantaran aksi “damai” antara polisi dan pelanggar lalu lintas sudah
menjadi budaya di masyarakat Indonesia masa kini. Oleh karena itu,
keberanian Gita Wirjawan mengangkat fenomena ini sudah pasti
menyiratkan makna dan pesan positif yang layak untuk diteliti.
28
Gambar 1.1. Iklan Gita Wirjawan Versi Polisi
Gambar 1.2. Iklan Gita Wirjawan Versi Polisi
b. Versi Bermain Bola
TVC Gita Wirjawan versi bermain bola juga berdurasi 30 detik.
Iklan tersebut juga mengusung tema “Berani Lebih Baik”. Dalam
iklan tersebut, digambarkan anak-anak kecil yang sedang bermain
bola di sebuah perkampungan dan diatas tanah yang basah serta
berlumpur. Anak-anak tersebut tampak sangat optimis dan bercita-cita
menjadi juara dunia. Peneliti memilih iklan Gita Wirjawan versi
pemain bola untuk diteliti lantaran iklan ini juga memiliki pesan
positif. Berlatar daerah perkampungan, yang pastinya menyiratkan
bahwa masyarakatnya juga hidup di bawah garis kemiskinan, iklan ini
menunjukkan optimisme anak-anak untuk menggapai cita-citanya
sebagai pemain sepakbola. Fenomena yang terjadi saat ini adalah
orang yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mendapatkan
29
pendidikan yang layak, sehingga sulit untuk meraih cita-cita dan
menggapai kehidupan yang lebih baik. Peneliti menilai iklan ini
mampu mengangkat fenomena yang seringkali diabaikan, namun
sebenarnya perlu diperhatikan, yakni orang yang hidup di bawah garis
kemiskinan berhak memiliki cita-cita dan harapan hidup.
Gambar 1.3. Iklan Gita Wirjawan Versi Bermain Bola
Gambar 1.4. Iklan Gita Wirjawan Versi Bermain Bola
c. Versi Memecahkan Kaca
Iklan berdurasi 33 detik ini menceritakan tentang empat orang
anak yang sedang bermain kasti di sebuah lapangan yang diapit oleh
rumah warga. Tanpa sengaja, bola terkena kaca sebuah rumah dan
30
membuat kaca tersebut pecah. Ketiga anak tersebut berlari saat
pemilik rumah mendatangi mereka, namun satu anak memilih untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Peneliti meneliti iklan ini
sebagai salah satu dari objek penelitin juga dengan alasan yang sama
dengan iklan-iklan sebelumnya, yakni karena iklan ini mengandung
pesan etis di dalamnya. Iklan ini juga merepresentasikan realitas sosial
di masyarakat, dimana saat seseorang melakukan sebuah kesalahan,
maka orang tersebut akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni lari dari
permasalahan tersebut atau berani mempertanggungjawabkannya.
Gambar 1.5. Iklan Gita Wirjawan Versi Memecahkan Kaca
Gambar 1.6. Iklan Gita Wirjawan Versi Memecahkan Kaca
31
d. Versi Perjuangan Anak Menjual Kue
Iklan berdurasi 30 detik ini bercerita tentang perjuangan seorang
anak Sekolah Menengah Pertama yang harus sekolah sambil berjualan
kue. Saat hari masih gelap, ia sudah harus bangun untuk membantu
ibunya menyiapkan kue yang akan dijual. Di angkutan umum menuju
sekolahnya, ia melihat teman-temannya bercengkrama dengan riang,
sementara itu ia harus membawa box-box berisi kue yang harus dijual.
Hal ini membuatnya merasa tidak percaya diri. Namun kemudian anak
tersebut berhasil menguatkan tekadnya untuk percaya diri. Ia berhasil
menumbuhkan semangat juang untuk tetap bersekolah sambil
membantu sang ibu berjualan.
Gambar 1.7. Iklan Gita Wirjawan Versi Perjuangan Anak
Menjual Kue
Gambar 1.8. Iklan Gita Wirjawan Versi Perjuangan Anak
Menjual Kue
32
e. Versi Jangan Menindak Minoritas
Iklan ini, terlihat sangat berbeda dengan iklan-iklan Gita
Wirjawan dalam versi yang lainnya. Dalam iklan ini, Gita
menggunakan animasi games. Dua karakter utama dalam animasi
games ini adalah karakter bertubuh besar dan karakter bertubuh kecil.
Si karakter bertubuh besar kemudian digambarkan menindas karakter
bertubuh
kecil
dengan
cara
mengejar,
menendang,
hingga
memojokkan.
Gambar 1.9. Iklan Gita Wirjawan versi Jangan Menindak Minoritas
33
Gambar 1.10. Iklan Gita Wirjawan versi Jangan Menindak Minoritas
2
Teknik pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah iklan
televisi (TVC) Gita Wirjawan. Sejak September 2013, Gita memiliki
lima versi TVC, yakni:
1. Polisi
2. Bermain Bola
3. Perjuangan Anak Penjual Kue
4. Memecahkan Kaca
5. Jangan Menindak Minoritas
Kelima TVC Gita Wirjawan tersebut akan menjadi data primer
penelitian. Langkah
b. Data Sekunder
Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
studi pustaka. Peneliti akan mencari dari berbagai sumber, baik dari
berbagai buku maupun internet agar bisa lebih mendalami studi
semiotika. Peneliti akan lebih berkonsentrasi pada semiotika Roland
34
Barthes, mengingat penelitian ini adalah penelitian verbal yang akan
meneliti tentang pesan yang disampaikan dalam sebuah iklan.
3
Unit Analisis Data
Memahami makna dan pesan yang disampaikan melalui iklan dengan
medium televisi tidak terlepas dari analisis semiotika.
Dalam analisis
semiotika iklan Gita Wirjawan ini, unit analisis data yang akan menjadi acuan
penelitian yakni sebagai berikut:
UNIT ANALISIS
1. Iklan Gita Wirjawan
KATEGORI
Pesan Moral
SUB KATEGORI
-
a. Versi Polisi
-
Memecahkan
Hubungan
horizontal
(antar manusia)
Kaca
d. Versi
yang
melandasi pesan moral
b. Versi Bermain Bola
c. Versi
Sikap-sikap
Perjuangan
Norma yang berlaku di
Indonesia
Anak Penjual Kue
e. Versi
Jangan
Menindas Minoritas
2. Objek Iklan
a. Peristiwa
-
Setting
b. Tokoh
-
Pemain dalam iklan
Tabel 1.4. Unit Analisis Penelitian
Setelah menetapkan unit analisis, maka langkah selanjutnya adalah
menetapkan instrumen penelitian. Instrumen penelitian akan menjadi
pedoman dan batasan dalam melakukan penelitian semiotika iklan politik
Gita Wirjawan. Dalam instrumen penelitian,
peneliti
akan
berkonsentrasi pada dua aspek, yakni naskah dan visual. Maka, instrumen
penelitian yang akan menjadi pedoman dalam penelitian ini yakni sebagai
berikut:
35
Unit Terteliti
Unsur
Sub Unsur
Naskah
a. Teks Iklan
-
Font
-
Bahasa
-
Pemilihan Kata
-
Gaya Bahasa
-
Cara Berbicara
-
Pemilihan Kata
-
Gaya Bahasa
-
Cara Berbicara
-
Acting
-
Tampilan Fisik
-
Kostum
a. Objek
-
Manusia
b. Ekspresi Objek
-
Senang
-
Sedih
-
Semangat
-
dll
-
Jenis Warna
-
Pencahayaan
-
Lokasi
-
Situasi
-
Camera Shot
-
Transisi Gambar
b. Dialog
c. Monolog
d. Karakterisasi
Visualisasi
c. Warna
d. Setting
e. Teknik
Pengambilan
Gambar
Tabel 1.5. Instrumen Penelitian
36
Download