BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lesi Prakanker
2.1.1
Pengertian
Lesi prakanker serviks atau disebut juga lesi intraepitel serviks (cervical
intraepithelial neoplasia) merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma serviks
uterus. Diawali dengan CIN I yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang
menjadi CIN II dan kemudian menjadi CIN III lalu berkembang menjadi karsinoma
serviks (Andrijono,2010).
Lesi prakanker serviks merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan selsel leher rahim ke arah abnormal namun tidak terdapat keganasan. Menurut Andrijono
(2010), perubahan abnormal pada serviks merupakan langkah awal dari serangkaian
proses perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian dapat
menimbulkan kanker serviks. Karena itulah, beberapa perubahan abnormal serviks
merupakan keadaan prakanker yang bisa berubah menjadi kanker.
Tabel 2.1. Perjalanan Lesi Prakanker Serviks
LSIL (CIN I)
HSIL (CIN II)
HSIL(CIN III)
Regresi
Persisten
57%
43%
32%
32%
35%
56%
6
Progres ke
CIN III
11%
22%
-
Progres ke
karsinoma
1%
5%
> 12%
7
2.1.2
Tahap-Tahap Cervical Intraepithelial Neoplasia
Saat ini telah digunakan istilah yang berbeda untuk perubahan abnormal pada
sel-sel dipermukaan serviks, salah satu diantaranya adalah lesi skuamosa intraepitel.
Secara histopatologi karsinoma serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu: jenis karsinoma
epidermoid (95%) dan jenis adenokarsinoma (5%). Proses perubahan sel kolumner
endoserviks menjadi sel skuamosa ektoserviks terjadi secara fisiologik pada setiap
wanita yang disebut sebagai proses metaplasia. Karena adanya faktor-faktor risiko
yang bertindak sebagai zat karsinogen, proses metaplasia fisiologis ini dapat berubah
menjadi displasia yang bersifat patologis. Proses inilah yang kemudian disebut lesi
prakanker serviks atau cervical intraepithelial neoplasia (CIN) atau neoplasia
intraepithelial serviks (NIS) (Bobak,2005). Perubahan pada sel ini kemudian dibagi
menjadi 2 kelompok:
1. Lesi tingkat rendah
Merupakan perubahan dini pada ukuran, bentuk dan jumlah sel yang membentuk
permukaan serviks. Beberapa lesi tingkat rendah menghilang dengan sendirinya.
Namun yang lainnya tumbuh menjadi lebih besar dan lebih abnormal membentuk
lesi tingkat tinggi. Lesi tingkat rendah disebut juga displasia ringan atau neoplasia
intraepitel servikal (NIS I). Lesi tingkat rendah paling sering ditemukan pada
wanita berumur 25-35 tahun, tapi dapat juga terjadi pada semua kelompok umur.
2. Lesi tingkat tinggi
8
Ditemukan sejumlah besar sel prakanker yang tampak sangat berbeda dari sel
normal. Perubahan prakanker ini hanya terjadi pada sel di permukaan seviks. Lesi
tingkat tinggi disebut juga displasia menengah, displasia berat dan karsinoma in
situ. Lesi tingkat tinggi paling banyak ditemukan pada wanita berumur 30-40
tahun.
Menurut Bobak (2005), lesi prakanker serviks dibagi menjadi:
CIN I
: displasia ringan
CIN II
: displasia sedang
CIN III
: displasia berat
Sehingga perkembangan kanker serviks dapat digambarkan sebagai berikut:
CIN I-CIN II-CIN III-CIS-Ca invasif
2.1.3
Faktor Risiko Lesi Prakanker Serviks
Lesi prakanker serviks merupakan awal dari perubahan menuju kanker serviks.
Pada dasarnya faktor risiko lesi prakanker dan kanker serviks adalah sama. Serviks
secara secara alami mengalami proses pertumbuhan sel abnormal akibat terjadinya
penekanan pada kedua sel lapisan pada serviks. Dengan masuknya virus, porsio yang
dalam keadaan erosi yang awalnya fisiologis berkembang menjadi patologis.
Berdasarkan konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menunjukkan bahwa lesi
prakanker tidak seluruhnya berkembang menjadi invasif, sebagian kasus antara 3070% dapat menjadi normal kembali sehingga diakui masih banyak faktor yang
mempengaruhi (Andrijono,2010).
9
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyuningsih (2013),
didapatkan hasil bahwa faktor risiko lesi prakanker serviks sama dengan faktor risiko
kanker serviks. Berbagai faktor dianggap sebagai kofaktor (faktor yang menyertai)
terjadinya kanker serviks. Menurut Bobak (2005), berikut ini merupakan faktor risiko
kanker serviks:
1. Umur
Rata-rata umur wanita yang menderita kanker serviks adalah 40-50 tahun. Kondisi
prainvasif mampu bertahan antara 10-15 tahun sebelum berkembang menjadi
karsinoma invasif. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut
merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu
pemaparan terhadap karsinogen serta melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat
usia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyarini (2009) menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antar usia responden dengan kejadian kanker
leher rahim di RSUD DR Moewardi Surakarta. Wanita berusia ≥ 35 tahun berisiko
untuk terkena kanker serviks 4,23 kali lebih besar daripada yang berusia < 35
tahun. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Triwahyuningsih
(2013) yang mendapatkan hasil bahwa wanita berumur lebih dari 35 tahun
berisiko 4,23 kali lebih tinggi untuk mengidap kanker serviks daripada wanita
yang berumur dibawah umur 35 tahun.
2. Umur pertama kali berhubungan seksual
Wanita muda yang aktif secara seksual memiliki risiko lebih besar
berkembangnya kanker leher rahim. Hal ini disebabkan karena pada saat umur
muda, sel-sel rahim masih belum matang secara sempurna. Sel tersebut akan
matang seiring bertambah usia dan menjadi lebih mampu menahan proses yang
10
dihasilkan akibat penetrasi seksual. Terpajan proses ini sebelum matur dapat
merusak sel-sel yang belum matang tersebut. Beberapa studi menyatakan
berhubungan seks dibawah usia 20 tahun mempunyai risiko tertinggi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umri (2013) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara umur pertama kali
berhubungan seksual dengan kejadian kanker serviks. Wanita yang melakukan
hubungan seksual pada umur < 20 tahun memiliki risiko 6 kali lebih tinggi untuk
mengalami kejadian kanker serviks dibandingkan wanita yang melakukan
hubungan seksual pertama kali pada umur > 20 tahun. Hal ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Utami, Ratnawati, & Fatmawati (2011) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa wanita yang melakukan hubungan seksual pada
usia <20 tahun memiliki risiko 10 kali lebih besar terkena kanker serviks
dibandingkan dengan yang berhubungan seksual ≥ 20 tahun. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Irmayani (2015) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara umur pertama kali berhubungan seksual
dengan kejadian lesi prakanker serviks. Pada penelitian ini wanita yang
berhubungan seksual pertama kali pada umur kurang dari 25 tahun berisiko
mengalami penyakit lesi prakanker serviks 5,8 kali lebih tinggi daripada yang
berhubungan seksual pertama kali pada umur lebih dari 25 tahun.
3. Paritas
Kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin
sering seorang wanita melahirkan semakin tinggi risikonya mengidap kanker
serviks. Memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat akan
berdampak pada perlukaan di organ reproduksi dan dampaknya akan
11
memudahkan infeksi HPV sehingga terjadi kanker serviks. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2015) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian kanker
serviks dengan nilai P = 0,000. Selain itu terdapat peningkatan risiko 10,2 kali
lebih tinggi bagi wanita yang memiliki paitas ≥ 3 untuk mengalami kejadian
kanker serviks dibandingkan wanita yang memiliki paritas < 3. Penelitian lain
juga dilakukan oleh Mayrita (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara paritas dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P= 0,000. Wanita yang
memiliki paritas > 3 memiliki risiko untuk mengalami kanker serviks 3 kali lebih
tinggi dibandingkan wanita yang memiliki paritas < 3 orang. Penelitian lain juga
dilakukan oleh Wardhani (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara paritas dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P= 0,013
dan paritas merupakan variabel paling dominan yang berhubungan dengan
kejadian kanker serviks pada penelitian tersebut.
4. Penyakit hubungan seksual
Adanya riwayat penyakit menular seksual terutama HPV, herpes simpleks virus
(HSV-2) dan kondiloma akuminata diduga sebagai faktor penyebab kanker
serviks. Virus ini mampu mengubah susunan DNA nukleus dari sel-sel serviks
yang belum matang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dirk (2012) yang menyatakan bahwa wanita yang memiliki riwayat penyakit
menular seksual memiliki risiko 4,4 kali lebih tinggi untuk mengalami penyakit
kanker serviks. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Parwati
(2015) yang mendapatkan hasil bahwa wanita yang memiliki riwayat penyakit
menular seksual berisiko 9,7 kali lebih tinggi untuk mengalami penyakit lesi
12
prakanker serviks dibandingkan wanita yang tidak memiliki riwayat penyakit
menular seksual. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Savitri (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara memiliki riwayat penyakit hubungan seksual dengan kejadian
kanker serviks invasif. Wanita yang memiliki riwayat IMS memiliki risiko 11,37
kali lebih tinggi mengalami kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak
memiliki riwayat IMS
5. Penggunaan kontrasepsi hormonal
Pil kontrasepsi merupakan bentuk kontrasepsi yang dapat diandalkan untuk
sebagian besar wanita. Namun, pil ini dapat menurunkan kekebalan alami tubuh
terhadap infeksi dan juga mempengaruhi tubuh dalam menyerap asam folat.
Berdasarkan penelitian metanalisis yang menyatakan bahwa lamanya penggunaan
kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko kanker serviks dan penggunaan
lebih dari 10 tahun akan meningkatkan risiko sampai dua kali. Hasil ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuniar (2009) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan kontrasepsi hormonal
dengan kejadian kanker serviks dengan nilai P= 0,012. Wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal memiliki risiko untuk mengalami kejadian kanker serviks
sebesar 6,6 kali lebih tinggi daripada wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi
hormonal. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Damayanti
(2014), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks. Penggunaan
kontrasepsi hormonal > 4 tahun dapat meningkatkan risiko mengalami kanker
serviks 1,5-2,5 kali lebih tinggi daripada wanita yang menggunakan kontrasepsi
13
hormonal < 4 tahun. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pradya (2015) yang menyatakan bahwa wanita yang menggunakan pil kontrasepsi
dalam jangka waktu lebih dari empat tahun berisiko 42 kali lebih tinggi untuk
mengalami lesi prakanker serviks
6. Personal higiene
Personal higiene erat kaitannya dengan keadaan sosial ekonomi menengah ke
bawah. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya memiliki pengetahuan
kurang mengenai kebersihan perorangan sehingga mereka kurang menjaga
kebersihan dan meningkatkan risiko infeksi virus dan bakteri. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) menyatakan terdapat hubungan
bermakna antara personal higiene dengan kejadian lesi prakanker serviks. Dimana
wanita yang memiliki perilaku personal higiene yang buruk meningkatkan risiko
terkena lesi prakanker sebanyak 29 kali daripada yang memiliki perilaku higiene
yang baik.
7. Diethylstilbestrol (DES)
Beberapa wanita yang memiliki riwayat terpapar DES atau nonsteroid estrogen
lainnya selama kehamilan akan memiliki kecenderungan masalah perkembangan
genital baik keturunan wanita maupun pria. Estimasi antara tahun 1940-1970, dari
500.000 kehamilan yang menerima DES terdapat beberapa kelainan multipel.
Beberapa kelainan berkembang setelah pubertas. Diperkirakan 1 dari 1000 wanita
yang terpapar DES selama di dalam kandungan akan memiliki kelainan
perkembangan vagina maupun serviks dan biasanya terjadi saat menjelang
dewasa. Pada pria yang pernah terapar DES, kelainan yang biasanya terjadi adalah
kista epididimis, hipotropik testis dan penebalan selaput testis. Kelainan ini dapat
14
menyebabkan gangguan ejakulasi, oligospermia dan motilitas sperma yang
rendah.
2.1.4
Gejala Klinis Lesi Prakanker Serviks
Perubahan prakanker pada serviks biasanya tidak menimbulkan gejala dan
perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani pemeriksaan
panggul dan pap smear. Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal
berubah menjadi keganasan dan masuk ke jaringan di sekitarnya (Adi,2012).
Pada fase prakanker maka akan timbul gejala sebagai berikut:
1. Perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara 2 menstruasi setelah
melakukan hubungan seksual atau setelah menopause.
2. Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak).
3. Keputihan yang menetap dengan cairan encer, berwarna merah muda atau coklat,
mengandung darah serta berbau busuk.
2.2
Metode Pencegahan Dini Pap Smear
2.2.1
Pengertian Pap Smear
Pap smear merupakan salah satu jenis pemeriksaan skrining dalam mendeteksi
dini kanker serviks yang sederhana, murah, mudah, praktis. Sederhana artinya cukup
dengan mengambil hapusan sel leher rahim lalu diamati di bawah mikroskop, maka
lesi prakanker dapat dideteksi bila terlihat sel-sel yang tidak normal. Murah karena
pelaksanaannya membutuhkan biaya yang tidak mahal. Praktis artinya dapat dilakukan
dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, dan peralatan yang sederhana seperti
15
spekulum, tempat tidur yang representatif dan lampu. Mudah karena dapat dilakukan
oleh dokter umum, bidan dan perawat yang terlatih (Adi,2012).
Menurut Bobak (2005), metode paling reliabel untuk mendeteksi lesi
prakanker seperti kasus displasia adalah tes pap smear. Tes ini mampu mendeteksi
90% fase awal displasia serviks. Deteksi dini dan pengobatan prakanker dapat
menurunkan kematian dari sebab ini sebanyak 50%. Namun, yang terjadi saat ini
adalah 2 dari 5 wanita tidak melakukan tes pap smear secara rutin. Asosiasi Kanker
Amerika menyarankan untuk melakukan tes pap smear setahun sekali untuk semua
wanita yang aktif secara seksual. Wanita yang memiliki kategori risiko tinggi harus
melakukan tes pap smear lebih sering.
2.2.2
Akurasi Pap Smear
Menurut Purwata & Nuranna (2002) dalam (Oktavia,2009) menyatakan bahwa
sensitivitas pap smear untuk mendeteksi CIN berkisar antara 50%-98% dan
spesifitasnya 91,3%. Angka negatif palsu diperkirakan berkisar antara 5%-50%
dengan kesalahan terbanyak disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat
(62%), kegagalan skrining (15%) dan kesalahan interpretasi (23%). Angka positif
palsu untuk pap smear adalah 3%-15%.
2.2.3
Interpretasi Pap Smear
Sistem Bethesda pertama kali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun 1988
dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA (Andrijono,2010). Menurut
klasifikasi kelainan sel pada sistem Bethesda adalah sebagai berikut:
1. Dalam batas normal
Sel dengan perubahan dalam batas normal
16
2. ASCUS/AGCUS/AGUS
ASCUS dibagi dalam dua kategori yaitu ASC-US dan ASC-H. Perbedaan kategori
ini membedakan penatalaksanaanya. Pada ASC-US karena umumnya CIN I maka
pemeriksaan tipe HPV dianjurkan dan pengamatan berulang berkala menjadi
standar
pelaksanaannya.
Sedangkan
ASC-H
harus
dilanjutkan
dengan
pemeriksaan kolposkopi.
3. Lesi Intraepitel Derajat Rendah (LGSIL)
Fase LGSIL terkadang disebut sebagai displasia ringan LGSIL juga dapat disebut
sebagai neoplasia intraepitel servikal (CIN-1).
4. Lesi Intraepitel Derajat Berat (HGSIL)
Lesi intraepitel derajat berat merupakan kelainan sel yang memiliki kemungkinan
lebih tinggi berkembang menjadi kanker. Pada tingkatan lesi ini terjadi displasia
sedang atau berat atau karsinoma in situ. Lesi HGSIL kadang-kadang disebut
sebagai CIN-2, CIN-3 atau CIN-2/3, menunjukkan bahwa sel-sel abnormal
menempati sebagian besar lapisan pada lapisan serviks.
5. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah jenis kanker non-melanoma yang dimulai dari sel
epitel pipih. Jenis kanker ini dapat menyerang lebih dalam ke dalam serviks,
jaringan atau organ lain.
6. Adenokarsinoma
17
Adenokarsinoma merupakan kanker yang dimulai dari sel-sel yang melapisi organ
internal tertentu dan berbentuk kelenjar. Pilihan utama terapi pada fase ini adalah
histerektomi.
2.3
Segitiga Epidemiologi
2.3.1
Host, Agent dan Environment
Menurut Noor (2013), terjadinya suatu penyakit disebabkan karena
ketidakseimbangan interaksi antara host, agen dan environment. Pengertian masingmasing komponen adalah sebagai berikut:
1. Agen
Agen disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur biologis yang disebabkan oleh
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa, dll). Unsur nutrisi disebabkan
karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang ditentukan. Unsur
kimiawi disebabkan oleh bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri.
Unsur fisika disebabkan oleh panas, benturan, dll. Agen dalam penelitian ini
adalah Human Papilloma Virus (HPV) tipe onkogenik (berpotensi menyebabkan
kanker).
2. Host
Host atau penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga
menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini disebabkan oleh
faktor intrinsik seperti umur, jenis kelamin, etnik, genetik, status kesehatan,
bentuk anatomis tubuh, fungsi fisiologis tubuh, imunitas, riwayat penyakit,
kebiasaan hidup. Host kanker serviks pada penelitian ini adalah umur, umur
pertama kali berhubungan seksual, paritas dan riwayat penyakit menular seksual.
18
3. Environment
Faktor lingkungan adalah faktor ketiga yang berfungsi sebagai penunjang
terjadinya penyakit. Faktor ini datang dari luar atau bisa disebut faktor ekstrinsik.
Faktor lingkungan dibagi menjadi lingkungan biologis, lingkungan fisik, dan
sosial ekonomi. Lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian lesi prakanker
serviks dalam penelitian ini adalah penggunaan kontrasepsi hormonal dan
perilaku personal higiene.
2.3.2
Riwayat Alamiah Penyakit Lesi Prakanker Serviks
HOST
AGENT
ENVIRONMENT
Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi
Konsep penyebab dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi
berkembang dari rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit yakni proses
interaksi antara host, agent dan environment. Untuk memprediksi penyakit, model ini
menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit
dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antar ketiga komponen tersebut.
Antara ketiga komponen (host, agen dan environment) terdapat keseimbangan yang
disebut keseimbangan ekologi. Interaksi yang kompleks antara ketiga komponen
tersebut menyebabkan tidak ada satupun penyakit yang disebabkan oleh satu faktor
19
saja. Selalu ada beberapa faktor yang saling berinteraksi dan akhirnya menimbulkan
penyakit (Noor, 2013).
Konsep segitiga epidemiologi ini juga berlaku bagi penyakit kanker serviks.
Timbulnya penyakit ini disebabkan karena ketidakseimbangan ketiga komponen
tersebut dimana komponen agennya adalah HPV, hostnya berupa faktor risiko seperti
umur, umur pertama kali berhubungan seksual, paritas dan riwayat penyakit menular
seksual. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh adalah riwayat penggunaan
kontrasepsi hormonal dan personal higiene. Pemilihan kontrasepsi dan perilaku
personal higiene ditentukan oleh pendidikan, pengetahuan dan pengaruh dari
masyarakat, tenaga medis dan keluarga. Berikut ini akan dijelaskan mengenai riwayat
alamiah penyakit kanker serviks:
1. Prepatogenesis
Pada fase ini, individu berada dalam keadaan sehat/normal. Namun telah terjadi
interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit di luar tubuh manusia/ lingkungan.
2. Patogenesis
a. Masa Inkubasi
Pada fase ini, Human Papilloma Virus (HPV) telah masuk ke dalam tubuh hingga
menimbulkan gejala-gejala tertentu. Penyakit kanker serviks dimulai dengan
infeksi awal oleh HPV, tetapi sebagian besar infeksi HPV tidak berkembang
menjadi kanker serviks. Infeksi awal HPV dapat berlanjut dan menjadi displasia
atau hilang dengan spontan. Sebagian besar wanita yang terinfeksi HPV akan
mengalami displasia tingkat rendah (CIN 1) dan beberapa kasus akan mengalami
regresi dan menghilang dalam waktu 2-3 tahun terutama pada wanita dengan usia
dibawah 35 tahun.
20
b. Tahap Dini
Pada tahap dini, setelah diagnosa ditegakkan akan tampak berbagai gejala/tanda
adanya kanker serviks seperti keputihan, perdarahan, dan pengeluaran cairan
lendir encer. Walaupun demikian, penderita masih bisa beraktivitas seperti biasa.
c. Tahap Lanjut
Pada tahap lanjut, akan ditemukan perdarahan dari kemaluan setelah melakukan
senggama, jika pada tahap yang lebih berat akan terjadi perdarahan yang tidak
teratur. Pada fase ini, penderita membutuhkan perawatan dan pengobatan secara
intensif.
3. Pasca Patogenesis/ Tahap Akhir
Semakin lanjut dan bertambah parahnya penyakit kanker serviks, penderita
kanker serviks akan menjadi kurus, anemia, anoreksia, syok dan keadaan paling
parah akan berujung pada kematian. Penyakit kanker serviks merupakan penyakit
yang sangat sulit disembuhkan sehingga pada tahapan ini penderita sangat
membutuhkan rehabilitasi yang maksimal.
21
Download