DRAMA TIGA PANGGUNG Oleh Sadikun Citra Rusmana FESTIVAL Drama Basa Sunda (FDBS) XI yang diselenggarakan oleh Teater Sunda Kiwari di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung sangat tepat dilaksanakan Maret 2010. Kegiatan ini cukup memberi jeda emosi kepada masyarakat setelah letih mengikuti drama politik kasus Bank Century di DPR RI, dan permainan politik presiden SBY pada pidato merespon keputusan voting fraksi partai terkait kasus tersebut. Ketiga peristiwa itu terjadi dalam panggung yang berbeda, tapi nuansanya sama yaitu bersaing untuk meraih suatu kemenangan. Festival drama melibatkan anak-anak muda yang kreatif, dinamis, dan jujur. Mereka tampil apa adanya, bahkan beberapa peserta masih terlihat demam panggung. Namun demikian mereka tetap meyakinkan diri sebagai pelakon drama yang menonjolkan watak sesuai dengan jamannya, saat ini. Tidak ada manipulasi peran, tidak ada kemunafikan, semuanya dilakukan sesuai dengan naskah yang diinginkan pengarang, dengan sedikit improvisasi. Oleh sebab itu ruang seni tempat mereka bermain terasa nyaman. Penonton yang menyaksikan , kebanyakan dari kalangan mereka sendiri, memberi komentar dengan kata-kata yang bisa membuat suasana riuh dengan tawa tapi tidak tendensius saling menjelekkan. Drama politik di DPR RI dalam pembahasan Bank Century juga berjalan dengan ritme yang cukup menegangkan. Ada nuansa persaingan yang ketat baik secara individu maupun kelompok fraksi. Setiap fraksi berusaha berkilah dengan argumentasi masing-masing. Setiap anggota DPR minta diberi kesempatan bicara untuk menunjukan bahwa ia punya peran. Namun apa yang dikatakan adalah suatu pengulangan dari peran yang dimainkan orang lain sebelumnya. Akhirnya, yang muncul adalah kegelisahan mereka untuk segera mengakhiri permainan panggung, dan persoalan berhenti pada titik yang tidak jelas. Pilihan opsi A, C, atau AC adalah adalah horizon yang begitu bias. Apa pun hasil akhir pilihan voting tidak menunjukan sebuah kepastian, kasus bank Century akan berujung digaris yang mana? Politik yang dimainkan oleh presiden SBY tetap berkutat pada upaya pencitraan dirinya sebagai individu yang menginginkan empati masyarakat tapi terpisah dari kepentingan masyarakat. Pidato politik Kamis malam hanyalah suatu drama monolog bahwa ia memegang peran penting dalam kebijakan Bank Century, dan ia siap bertanggung jawab apa pun risikonya. Sebuah peran yang dimainkan secara plastis yang membiarkan dirinya masuk dalam semua peran yang dimainkan orang lain, termasuk menjadi penonton bagi dirinya sendiri. Pertunjukan itu hanya menjadi sebuah teater kosong, tanpa repertoir, tanpa panggung, dan tanpa penonton saat pemirsa memutuskan saluran televisi dan ruang politik menjadi gelap, segelap penyelesaian kasusnya. Permainan yang masih terang benderang adalah FDBS XI di Gedung kesenian Rumentang Siang. Berlangsung selama bulan Maret 2010 festival ini bisa terus dilaksanakan karena ada ketokohan yang kuat dari beberapa figur. Figur pertama adalah Teater Sunda Kiwari (TSK) yang memiliki akar kuat untuk bertahan dalam kultur seni panggung di segmen tradisional (Sunda). Figur kedua adalah ketokohan R. Dadi P. Danusubrata, seorang idealis tulen yang bertanggung jawab terhadap kemajuan TSK sekaligus selalu berperan sebagai sutradara. Figur ketiga adalah ketokohan R. Hidayat Suryalaga, seorang tokoh Sunda yang tidak akan pernah “mati” selama TSK masih hidup. Figur keempat adalah komunitas teater yang realistis, yang memandang bahwa bermain drama adalah suatu kehidupan yang harus dilakukan seperti air mengalir, di samping melakukan kehidupan yang lain, meskipun jauh diluar sentuhan pemerintah dan negara. Seperti kata Sophocles, “ …menjadi akan lebih baik daripada dijadikan karena di sanalah setiap orang punya peran”. Kolaborasi empat figur itu dalam setiap kerja seni memunculkan kerinduan masyarakat terhadap tokoh-tokoh manusia yang bisa memberikan pencerahan kepada orang lain, tanpa melihat latar belakang faksi politiknya, tanpa melihat apa perannya, tanpa melihat dimana drama itu dimainkan. Gedung DPR/MPR RI hanya lah saksi bisu dari kemunafikan orang-orang yang berperan di dalamnya. Ia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa ketika “dirinya” menjadi ruang nafsu manusia yang anakhis, yang hampir menghancurkannya pada reformasi massa 1998. Ia pun hanya diam ketika perselingkuhan politik, seks, narkoba dan uang dilakukan oleh oknum anggota terhormat yang kerap tidur ketika berlangsung sidang “mengurus” rakyat. Sesungguhnya gedung yang megah itu ingin berteriak, “…hancurkanlah aku, biarkan semua kemunafikan menjadi debu”. Sungguh berbeda dengan apa yang ingin dikatakan oleh Gedung Kesenian Rumentang Siang yang sudah sejak lama berteriak, “…selamatkan aku, tutuplah atapku yang bocor, jangan biarkan anak-anak muda tidak bisa memainkan peran di dalamnya karena aku menjadi hancur.” Subhanalloh, karena penyelamat datang sebelum terlambat. Gubernur Jawa Barat H. Ahmad Heryawan men”takeover” pengelolaan gedung itu, sehingga ke depan ruang publik itu tetap bisa bertahan dan lebih baik. Di panggung yang lain, di studio berkarpet merah dalam sorotan kamera televisi, monolog politik akan terus dimainkan. Akan ada banyak komentar yang disuarakan, beribu kata dimuntahkan dan polemik intrik diolah media, untuk sebuah demokrasi yang diinginkan. Demokrasi, sebuah kata yang membingungkan ketika ranah publik hanya menyaksikan perdebatan tanpa makna. Demokrasi hanya menjadi sebuah konsep yang diperdagangkan untuk sebuah liberalisme pencapaian materi dan kekuasaan semata. Sehingga, pada akhirnya perseteruan politik di legislatif, eksekutif, dan parlemen jalanan hanyalah negosiasi yang berujung ke transaksi posisi kabinet. Tidak ada ketokohan yang muncul, tidak ada figur kuat yang mewakili masyarakat untuk bangkit dari sakit. Semua hanya bermain untuk dirinya sendiri. Ketua DPR RI Marzuki Ali memainkan dirinya dengan mengetuk palu sidang di bawah teriakan anggotanya, dan ia terpuaskan. Presiden SBY memainkan dirinya dengan peran yang ingin dikasihi rakyat, dan ia terpuaskan. Rakyat memainkan dirinya sebagai orang miskin yang perlu uang, dan ia terpuaskan, meskipun harus melawan hati nurani di tempat pemungutan suara. Dalam pagelaran sebuah drama, ada babak-babak, ada peran-peran, dan yang pasti ada sebuah akhir. Pada babak revolusi Indonesia kita mengenal ketokohan Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Pada babak reformasi kita mengenal Soeharto, Gus Dur, dan Ali Sadikin dengan ketokohannya masing-masing. Pada babak kini kita menunggu ketokohan seperti mereka yang sudah tiada. Ketokohan figur-figur yang melekat pada Teater Sunda Kiwari akan memperkuat keberadaan komunitas drama di tanah air, seperti ketika masih ada Rendra, Arifin C. Noor, Suyatna Anirun, dan lain-lain. Semoga FDBS akan berjalan tanpa akhir. Setelah XI akan ditunggu FDBS XII, XIII, dan seterusnya. Untuk drama yang lain, di luar Rumentang siang, babak dan peran akan terus ada dan cenderung tanpa akhir. Semua berjalan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun ketokohan dan kenegarawanan dalam peran-peran yang dimainkan itu lah yang diinginkan masyarakat. *** Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Unpas, peraih Sutradara Terbaik pada Festival Drama se-Jawa Barat 1977.