Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia

advertisement
Menepis Gejolak Krisis Keuangan Dunia
Senin, 6 Oktober 2008 | 01:58 WIB
Oleh FAISAL BASRI
Kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar
biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan tumbuh meroket ratusan kali lipat
dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia.
Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu,
makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika
pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas
modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.
Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan
telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu
singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi
kapitalisme dunia yang semu.
Itulah yang dewasa ini terjadi di Amerika Serikat dan merembet ke negara maju lainnya karena sesama
mereka terkait satu sama lain. Krisis keuangan yang melanda AS juga sekaligus mengindikasikan bahwa
mekanisme pasar masih menjalankan perannya, yakni mengoreksi pelaku-pelaku yang tidak tunduk pada
kaidah fundamental pasar.
Bagaimana mungkin perekonomian AS selama bertahun-tahun bisa membiayai Perang Irak, membiarkan
defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan pada periode yang sama mengalami defisit
perdagangan luar negeri. Sementara itu, tingkat tabungan masyarakat AS sangat rendah, utang rumah
tangga telah melampaui pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Untuk membiayai
perekonomian yang boros, satu-satunya cara ialah terus berutang. Surat- surat utang terus diterbitkan,
baik oleh pemerintah maupun swasta, lalu disantap oleh investor, termasuk dari Indonesia.
Kapitalisme pengisap
Jadi, kalau kekacauan ekonomi di AS akan merembet ke hampir seluruh dunia, itu merupakan
konsekuensi dari perilaku masyarakat dunia yang terseret ke dalam irama permainan AS. Padahal, peran
AS di dalam perekonomian dunia tak lagi sedigdaya pada tahun 1970-an. Kini produk domestik bruto AS
yang telah dikoreksi dengan daya beli (purchasing power parity) tinggal 21 persen saja. Sebaliknya, telah
muncul kekuatan baru, seperti China dan India.
Kita sedang menghadapi proses menuju keseimbangan baru sebagai konsekuensi dari pergeseran
kekuatan ekonomi dunia. Proses ini tentu saja akan ditandai oleh penyesuaian perilaku dan tata aturan
menuju mekanisme yang lebih harmoni dan berkeadilan. Pendulum betul-betul sedang berayun, lambat
laun menjauh dari financially-driven capitalism yang sangat ribawi itu, yang menghasilkan kemakmuran
semu dan bersifat mengisap karena yang mengedepan adalah zero-sum game, bukan shared prosperity.
Pelajaran untuk kita
Kita tak boleh membiarkan diri terperangkap pada pola atau perilaku ”lebih besar pasak daripada tiang”,
apalagi kalau pengeluaran yang menggelembung didominasi oleh belanja konsumtif sebagaimana terlihat
dari postur APBN kita. Sangat disayangkan jika peningkatan penerimaan APBN sebagian besar
dibelanjakan untuk belanja pemerintah pusat dan subsidi tak terarah. Defisit APBN yang lebih diakibatkan
pola pengeluaran demikian tak boleh lagi ditoleransi. Pola seperti itulah yang terjadi di AS.
Belanja pemerintah pusat seharusnya tak meningkat tajam karena era otonomi mengharuskan postur
pemerintah pusat lebih langsing. Bukankah seluruh fungsi pemerintahan, kecuali di lima bidang
sebagaimana diamanatkan undang-undang, harus diserahkan kepada daerah.
Mengapa justru setelah era otonomi jajaran eselon satu bertambah? Mengapa tidak terjadi pengalihan
sebagian fungsi kementerian pada lembaga-lembaga independen? Defisit anggaran hanya bisa
dibenarkan jika untuk meningkatkan kapasitas produktif.
Tantangan kedua ialah menghentikan gejala dini deindustrialisasi. Gejala ini terlihat dari penurunan
sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB yang sudah terjadi secara konsisten sejak 2005.
Padahal, industrialisasi di Indonesia masih relatif jauh dari optimal.
Memang pemerintah telah cukup banyak berbuat, tetapi kebanyakan tindakan yang telah diambil sejauh
ini sudah teramat usang. Lihat saja Keputusan Presiden tentang Kebijakan Industri Nasional yang
dikeluarkan Mei 2008 yang tak memiliki skala prioritas. Semua hendak dimajukan dan ditawarkan
insentif. Hasilnya bisa diduga, yakni tak akan ada satu paket insentif pun yang secara berarti akan
memajukan industri tertentu yang pada gilirannya akan mendongkrak kinerja industri manufaktur.
Pemerintah juga menawarkan konsep kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk memajukan industri.
Konsep KEK ini boleh dikatakan usang dan tak bakal menawarkan sesuatu yang berarti bagi kemajuan
perekonomian dan daya saing nasional. Bukankah tanpa KEK pun hampir semua aspek perekonomian
Indonesia sudah sangat liberal?
Kemunduran relatif sektor industri pada gilirannya akan memperlemah landasan ekspor. Sekarang saja
sudah terbukti, sebagaimana terlihat dari penyusutan surplus perdagangan akibat kemerosotan hargaharga komoditas. Tanpa memajukan industri manufaktur, sama saja dengan melakukan pembiaran atas
pengerukan kekayaan alam dengan penciptaan nilai tambah ala kadarnya sehingga tak akan memenuhi
amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.
Dampak selanjutnya dari pelemahan kinerja industri adalah terhadap pola lalu lintas modal yang masuk
(capital inflow). Dalam dua tahun terakhir, modal yang masuk lebih didominasi oleh investasi jangka
pendek ketimbang penanaman modal asing langsung yang bersifat jangka panjang.
Kalau kecenderungan di atas terus berlangsung, sama saja kita secara sukarela menjadi mangsa dari
financially-driven capitalism yang amat buas itu.
Download