Pengaruh Persepsi Karyawan tentang Keadilan Organisasi terhadap Intensi Turnover di PT. ENG Gresik Suminar Handi S. Fendy Suhariadi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ABSTRAKSI Sikap dan perilaku karyawan memegang peranan penting dalam perusahaan karena karyawan menentukan kualitas dan kelangsungan perusahaan, maka diupayakan untuk mengurangi turnover karyawan. Supaya karyawan tetap betah maka perusahaan harus memperhatikan beberapa hal: Imbal jasa yang memadai, suasana kerja yang menyenangkan, keadilan, dan pemerataan kesempatan berkembang. Meskipun masalah keadilan hanya merupakan salah satu aspek saja yang mempengaruhi bertahan tidaknya karyawan dalam perusahaan, namun ketiga aspek yang lain juga banyak melibatkan rasa keadilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara persepsi karyawan tentang keadilan organisasi terhadap intensi turnover. Variabel bebas (X) yang digunakan dalam penelitian ini adalah keadilan distributif dan keadilan prosedural sedangkan sebagai variabel terikat (Y) adalah intensi turnover. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Eterindo Nusa Graha, dengan kriteria level dibawah manajer dan bukan pengambil kebijakan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner untuk ketiga variabel menggunakan model skala Likert dengan lima alternatif jawaban. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi, yaitu skor item dikorelasikan dengan skor total. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Hoyt. Untuk kuesioner keadilan distributif koefisisen reliabilitas yang diperoleh sebesar 0,9463 dengan keseluruhan itemnya sahih. Kuesioner keadilan prosedural memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,9505 dengan keseluruhan itemnya sahih. Uji asumsi yang dilakukan menunjukkan bahwa ketiga variabel memiliki sebaran yang normal dan linier. Pengujian pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen dilakukan dengan menggunakan teknik regresi berganda. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien korelasi R sebesar 0,771 menunjukkan bahwa korelasi/ hubungan antara Intensi Turnover dengan kedua variabel independen-nya adalah kuat. Dari hasil pengujian signifikansi diperoleh nilai F sebesar 32,234 dengan tingkat signifikansi p = 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05. Probabilitas yang jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi Intensi Turnover, atau bisa dikatakan Keadilan Distributif maupun Keadilan Prosedural secara bersama-sama berpengaruh terhadap Intensi Turnover. Dengan hasil yang demikian maka hipotesis yang diajukan diterima, yaitu bahwa “Ada pengaruh antara Keadilan Organisasi terhadap Intensi Turnover”. Kata kunci: Persepsi Karyawan tentang Keadilan Organisasi, Keadilan Prosedural, Keadilan Distributif, Intensi Turnover Setiap organisasi, terutama organisasi profit semacam perusahaan, sikap dan perilaku karyawan memegang peranan yang sangat vital. Sikap dan perilaku karyawan menentukan kualitas dan kelangsungan hidup dari perusahaan itu. Hal ini disebabkan tanggung jawab untuk memberikan keuntungan yang kompetitif dan berkesinambungan untuk perusahaan sebagian besar berada di tangan para karyawan tersebut. Di antara berbagai sikap dan perilaku karyawan, intensi turnover adalah salah satu masalah yang sangat menarik, karena turnover merupakan keputusan akhir yang sedikit banyak akan melibatkan kepuasan kerja dan komitmen terhadap organisasi. Turnover karyawan juga merupakan masalah yang penting dalam suatu organisasi, karena turnover menimbulkan keadaan yang kritis terhadap perusahaan dan menuntut biaya yang cukup tinggi. Biaya tersebut meliputi biaya nyata (tangible) dan biaya tak nyata (intangible). Suatu organisasi harus mampu memberikan karyawan-karyawannya suatu alasan yang kuat mengapa mereka selayaknya setia dan committed. Ada beberapa hal utama yang patut dimiliki oleh sebuah organisasi agar karyawan betah berada dalam suatu organisasi: (1) Imbal jasa yang memadai. Inilah faktor utama mengapa orang mau bekerja. Jika faktor ini tidak dipenuhi, jangan heran jika terjadi turnover tinggi. (2) Suasana kerja yang menyenangkan. Suasana kerja yang menyenangkan akan membuat para karyawan betah bekerja di situ untuk jangka panjang. (3) Keadilan. Pada dasarnya setiap orang ingin diperlakukan secara adil, maka organisasi pun harus memberikan hal ini kepada setiap karyawan. (4) Pemerataan kesempatan berkembang. Organisasi harus membangun sistem yang memungkinkan karyawan untuk terus mengembangkan diri. Keempat hal diatas kemungkinan sudah dicoba untuk diterapkan oleh suatu perusahaan, namun seperti yang dikemukan di atas bahwa karyawan yang tidak diberi penjelasan bagaimana keputusan itu ditentukan maka kadang-kadang pula mereka merasa diperlakukan tidak adil, dan mereka akan bereaksi dengan keputusan tersebut. Karena itu, meskipun masalah keadilan hanya merupakan salah satu aspek saja yang mempengaruhi bertahan tidaknya karyawan dalam perusahaan, namun ketiga aspek lain yang diutarakan oleh Slum dkk. juga banyak melibatkan rasa keadilan. Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan pokok persoalan mengenai keadilan organisasi, namun sedikit penelitian yang dilakukan untuk menguji hubungan antara keadilan organisasi dan intensi turnover. Selain itu penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang keadilan organisasi dilakukan terutama dalam seting laboratorium dan mengabaikan elemen-elemen yang berpengaruh terhadap perilaku individu dalam setting organisasi. Persepsi Tentang Keadilan Organisasi Dari pertengahan tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990an, para ilmuan sosial dan organisasional mengadakan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pengertian tentang konsep keadilan (fairness dan justice). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa persepsi manusia tentang keadilan tercermin dalam sedikitnya dua kategori: pada hasil akhir yang didapatkan dan pada prosedur yang digunakan untuk mencapai hasil akhir (Schuler & Jackson 1997). Keadilan organisasi berkaitan dengan cara dimana karyawan menentukan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaan mereka dan cara dimana penentuan ini mempengaruhi variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman, 1991). Menurut Greenberg (1990) keadilan organisasi mengacu pada persepsi karyawan terhadap keadilan dalam organisasi. Penelitian yang telah dilakukan tentang keadilan organisasi pada umumnya terfokus pada dua isu utama yaitu: tanggapan karyawan terhadap penghasilan yang diterima dan cara atau prosedur yang digunakan untuk memperoleh penghasilan tersebut. Dua fokus penelitian tersebut berasal dari dua konsep keadilan yang berbeda yaitu yang berkenaan dengan isi atau apa keputusannya, yang disebut keadilan distributif dan yang berkenaan dengan proses atau bagaimana keputusan itu dibuat, yang disebut keadilan prosedural (Greenberg, 1990). Keadilan distributif Penelitian keadilan distributif dalam organisasi saat ini memfokuskan terutama pada persepsi seseorang tehadap adil tidaknya outcome (hasil) yang mereka terima, yaitu penilaian mereka terhadap kondisi akhir dari proses alokasi (Cropanzano & Greenberg, dalam Lee, 1999). Konsep mengenai keadilan distributif memiliki landasan dalam teori equity dan model penilaian keadilan dari Leventhal (1976). Menurut Folger dan Greenberg (dalam Aryee & Chay, 2001), keadilan distributif adalah keadilan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya dan kriteria yang digunakan untuk menentukan alokasi sumber daya tersebut. Keadilan jenis ini menyangkut masalah persepsi seseorang terhadap adil tidaknya gaji yang mereka terima. Teori Equity Komponen struktural yang utama dari teori equity (equity theory) adalah input dan outcomes. Input bisa digambarkan sebagai sesuatu yang dianggap seseorang sebagai kontribusinya terhadap pertukaran dimana seseorang mengharapkan sebuah pengembalian yang seimbang (Adam, 1965). Sedangkan outcome digambarkan sebagai imbalan yang diterima individu dari pertukaran tersebut, dan dapat meliputi beberapa faktor seperti upah dan kepuasan yang bersifat intrinsik (Cohen & Greenberg, 1982). Model Penilaian Keadilan Sebuah aturan keadilan adalah sebuah kepercayaan bahwa outcome harus didistribusikan menurut kriteria tertentu. Penilaian keadilan model Levethal lebih mempunyai pendekatan proaktif dari pada teori equity. Orang akan menilai hal yang pantas bagi mereka dengan menggunakan beberapa aturan keadilan yang berbeda. Ada 3 aturan keadilan distributif yang utama: aturan kontribusi (contribution rule), aturan kesamaan (equality rule), aturan kebutuhan (the need rule). Taksonomi Kelas-Kelas Keadilan Ketika orang mengevaluasi keadilan, mereka akan menjadi sensitif terhadap dua determinan utama dari keadilan: structural determinant dan social determinant. Perbedaan antara structural determinant dan social determinant didasarkan pada fokus dari tindakan keadilan. Dalam structural determinant, keadilan dicari dengan memfokuskan pada pola alokasi sumber dan prosedur yang diterima sebagai keadilan berdasarkan persoalan organisasi seperti performance apprasial, kompensasi karyawan, dan pemecahan masalah manajerial (Greenberg, 1986). Sebaliknya, social determinant memfokuskan pada perlakuan individu Greenberg (1987) mengajukan sebuah taksonomi yang menjelaskan peran dari faktor sosial dalam mengkonseptualisasi keadilan. Taksonomi yang diajukan tersebut ditujukan untuk menyoroti perbedaan antara determinan struktural dan determinan sosial dari keadilan dengan mencatat bagian determinan tersebut dalam salah satu dari keadilan distributif atau keadilan prosedural. Sebuah taksonomi keadilan meliputi kelas-kelas yang dibuat kelompok dengan menggabungkan kategori keadilan dengan determinan utama dari keadilan. Tabel 1 menunjukkan taksonomi penggolongan keadilan dan memperlihatkan namanama yang diberikan pada hasil penggolongan . Tabel 1. A Taxonomy of Justice Classes Focal Determinant Structural Social Sumber: Greenberg (1987) Procedural Justice Systematic Justice Informational Justice Distributive Justice Configural Justice Interpersonal Justice Keadilan Prosedural Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, permulaan penelitian dalam bidang keadilan organisasi hanya memusatkan perhatian pada persoalan tentang keadilan distributif. Namun pada awal tahun 70-an para peneliti mulai menyatakan bahwa penilaian individu terhadap pengalokasian keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh imbalan (reward), tetapi juga bagaimana keputusan tersebut dibuat (Thibaut & Walker, dalam Faturochman, 2002). 1. Model Kepentingan Pribadi Model kepentingan pribadi atau model instrumental didasarkan pada asumsi bahwa orang mencoba untuk memaksimalkan perolehan pribadi mereka ketika berinteraksi dengan orang lain. Model tersebut memperluas asumsi ini dengan membuat hipotesis bahwa orang tidak akan hanya memilih hasil dan prosedur yang sesuai dengan kepentingan mereka, tapi juga prosedur yang pada umumnya adil bagi mereka di dalam suatu kelompok sosial, sistem politik, atau organisasi kerja (Lind & Tyler, 1988). 2. Model Nilai-Nilai Kelompok Model nilai-nilai kelompok telah diperkenalkan sebagai tambahan dari model kepentingan pribadi (Lind & Tyler, 1988). Orang sangat dipengaruhi oleh identifikasi dengan kelompoknya, ketika identifikasi tersebut didasarkan keadaan sekitar yang minim. Individu dalam kelompok kemungkinan sekali bersuara rendah terhadap kepentingan pribadinya dan bertindak dalam sebuah cara untuk membantu seluruh anggota kelompok dari pada modelmodel kepentingan pribadi murni yang akan diprediksi (Lind & Tyler, 1988). Model nilai-nilai kelompok menganggap bahwa orang khawatir mengenai 3. hubungan sosial jangka panjang mereka dengan para penguasa atau institusi yang bertindak sebagai pihak ketiga, dan tidak memperlihatkan hubungan mereka dengan pihak ketiga sebagai hubungan jangka pendek. Orang malah akan menjaga hubungan mereka dengan pihak ketiga. Referent Cognitions Theory Menurut teori ini orang akan menampilkan 3 simulasi mental meliputi: referent cognitions, justifikasi (justification) dan kemungkinan perbaikan (likelihood of amelioration). Pertama, referent cognition adalah kondisi alternatif yang dapat dibayangkan yang berbeda dengan kondisi aktual dari seseorang. Orang lebih mungkin merasa tidak puas ketika hasil-hasil yang dibayangkan lebih menarik dari pada realitas yang ada. Orang akan memikirkan alternatif ketika orang lain ketika orang lain menerima imbalan yang berbeda dengannya. Ketika outocome yang menjadi referensi dibandingkan dengan outcome yang ada orang akan memikirkan tentang suatu kemungkinan (Aquino, et. al, 1997). Tak peduli apakah aturan distributif yang dipaksakan itu adil, setara atau dibutuhkan, orang cenderung merasa tidak puas (dendam). Tak peduli aturan mana yang merusak yang penting apa yang telah terjadi bukanlah apa yang seharusnya terjadi. Intensi Turnover Shore dan Martin melihat bahwa intensi turnover merupakan variable dependen yang tepat karena intensi turnover terkait erat dengan turnover sebenarnya (Esmuraid, 1997). Price dan Mueller (1981) menyarankan menggunakan intensi untuk turnover dari pada turnover sebenarnya karena turnover yang sebenarnya lebih sulit diprediksi dari pada intensi-intensi seperti ada beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi perilaka turnover. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), intensi seringkali dipandang sebagai suatu komponen konatif (kecenderungan bertingkah laku) dari sikap. Biasanya diasumsikan bahwa komponen afektif (menyangkut kehidupan emosional seseorang) dari sikap. Pengertian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara sikap dan intensi. Asumsinya adalah semakin individu bersikap favorabel terhadap suatu obyek, maka individu tersebut akan semakin mengarah pada terbentuknya suatu perilaku dengan menaruh respek terhadap obyek sikap yang bersangkutan. Berdasarkan pada kedua teori itu, yaitu teori intensi dan turnover, maka peneliti menyimpulkan bahwa intensi turnover adalah niat, kemauan atau kehendak individu untuk keluar dengan sendirinya dari organisasi. Persepsi Terhadap Keadilan Organisasi dan Intensi Turnover Banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan pentingnya pengaruh alokasi atau pendistribusian sumber daya dalam organisasi perusahaan. Lawler (1977), misalnya, menyatakan bahwa pendistribusian imbalan perusahaan seperti gaji, promosi, jabatan, evaluasi kinerja dan masa jabatan kerja memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepuasan kerja, kualitas kerja dan efektivitas organisasi. Folger dan Konovsky (1989) menemukan bahwa persepsi terhadap keadilan distributif berhubungan secara signifikan dengan kepuasan kenaikan gaji dan kepuasan kerja. Alexander and Ruderman (1987) melaporkan bahwa keadilan organisasi merupakan penyebab langsung dari keinginan turnover. Mobley (1977) mengawali sebuah penjelasan yang komprehensif tentang proses psikologis yang mendasari seseorang mengundurkan diri dari kerja. Menurut rumusan proses pengunduran diri yang dikemukakannya, ketidakpusaan mengarahkan seseorang berfikir untuk keluar. Ada sejumlah tahapan yang menjadi penghubung antara ketidakpuasan dan tindakan keluar yang sesungguhnya. Pertama, salah satu konsekuensi dari ketidakpuasan kerja adalah munculnya pikiran untuk meninggalkan kerja. Pikiran tersebut, pada gilirannya memunculkan pertimbangan tentang manfaat yang diharapkan dari pencarian kerja dan kerugian jika berhenti. Langkah selanjutnya adalah keinginan untuk mencari alternatif. Keinginan untuk mencari alternatif tersebut diikuti dengan tindakan pencarian yang sesungguhnya. Jika alternatif tersebut tersedia, evaluasi terhadap alternatif tersebut akan dimulai. Evaluasi terhadap alternatif tersebut akan diikuti dengan upaya membandingkan antara pekerjaan saat ini dengan pekerjaan alternatif. Jika perbandingan tersebut mendukung pilihan alternatif, maka akan mengilhami keinginan untuk berhenti, yang diikuti dengan pengunduran diri yang sesungguhnya. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar pengaruh persepsi karyawan tentang keadilan organisasi terhadap intensi turnover?” Secara umum penelitian ini merupakan sarana bagi penulis dalam mengembangkan konsep-konsep teoritis yang kemudian diintegrasikan dalam bentuk pengaplikasian di lapangan secara langsung. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah mengetahui seberapa besar pengaruh persepsi karyawan tentang keadilan organisasi terhadap intensi turnover. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian penjelasan (explanative research) karena tidak melakukan pengamatan (bersifat non-eksperimental), melainkan hanya menjelaskan hubungan kausal diantara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis tanpa pemberian perlakuan (Singarimbun, 1989). Penelitian explanative ini, menurut Kerlinger (1995), adalah untuk menguji hubungan pengaruh antar variabel yang dihipotesiskan. Sejalan dengan itu, Sugiyono (2001) juga mengungkapkan bahwa jenis penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya. Variabel Penelitian Penelitian ini melibatkan dua macam variabel yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Menurut Kerlinger (1995), variabel bebas adalah sebab yang dipandang sebagai kemunculan variabel terikat, dan secara logis menimbulkan akibat tertentu terhadap variabel terikat tersebut. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu (X1) keadilan distributif dan (X2) keadilan prosedural. Sedangkan variabel terikat itu sendiri adalah akibat yang dipradugakan dan bervariasi mengikuti perubahan atau variasi dari variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat (Y) adalah intensi turnover karyawan. Variabel Bebas Keadilan Distributif Variabel Terikat Intensi Turnover Keadilan Prosedural Definisi Operasional Agar variabel dapat diamati dan dapat diukur, maka setiap konsep yang ada dalam permasalahan atau ada dalam hipotesis harus disusun definisi operasional (Zainuddin, 2000). Dalam penelitian ini definisi operasionalnya adalah sebagai berikut : 1. Variabel keadilan distributif Keadilan distributif didefinisikan sebagai yaitu tanggapan karyawan terhadap pendistribusian sumber daya dan kesesuaian dengan hasil yang diterimanya. Persepsi terhadap keadilan distributif diukur dengan Distributif Justice Index yang dikembangkan oleh Price dan Mueller (dalam Lee, 1999). Skala 5 item ini mengukur derajat dimana imbalan diterima oleh karyawan yang dihubungkan dengan input performance. Masing-masing item menanyakan tingkat dimana responden percaya bahwa dia percaya secara adil diberi penghargaan dengan berdasarkan beberapa perbandingan seperti tanggung jawab, pendidikan, pelatihan, usaha, stres dan beban kerja, dan performance. Sebagai contoh : “Supervisor saya sudah memberikan penghargaan secara adil kepada saya dengan mempertimbangkan tanggung jawab yang saya miliki”. 2. Variabel keadilan prosedural Keadilan prosedural didefinisikan sebagai tanggapan terhadap cara-cara atau aturan-aturan untuk mendistribusikan sumber daya tersebut. Persepsi terhadap keadilan prosedural diukur menggunakan 15 item yang dikembangkan oleh Niehoff dan Moorman (dalam Lee, 1999) karena skalanya terdiri dari 2 faktor keadilan sistematis dan informasional yang konsisten dengan taksonomi dari keadilan proseduran. Di antara 15 item 6 diantaranya mengukur tingkat dimana keputusan kerja mengikutsertakan mekanisme-mekanisme yang memastikan proses pengumpulan informasi yang akurat dan tidak bias, pendapat pegawai dan proses-proses permohonan, sementara 9 item 7-15 mengukur tingkat dimana pegawai merasa kebutuhan mereka dipertimbangkan dalam -dan penjelasan yang memadai dibuat untuk- keputusan kerja. Dengan kata lain diantara 15 item 6 itam didesain untuk mengukur tingkat keadilan dari prosedur formal (contoh systematic justice) dalam organisasi yang ditampakkan dengan prosedur-prosedur yang mengedepankan konsistensi, menekan bias, akurasi, dapat diperbaiki, keterwakilan dan kepantasan. Sembilan item didesain untuk mengukur pertimbangan supervisor terhadap hak-hak pegawai, perlakuan terhadap pekerja dengan penghormatan dan kebaikan hati dan penyedian penjelasan dan pembenaran untuk keputusan-keputusan (informational justice). Item-item untuk informational justice terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang terfokus pada perilaku interpersonal dari supervisor. Secara keseluruhan 2 faktor dari prosedural justice akan diukur, yakni: tingkat keadilan dari prosedur formal yang digunakan dan tingkat keadilan dari interaksi yang menjadikan prosedur formal tersebut. 3. Variabel intensi turnover Definisi konseptual intensi turnover yaitu kekuatan relatif sebuah maksud individu untuk meninggalkan organisasi. Intensi turnover adalah keinginan individu untuk mengundurkan diri secara permanen dari suatu organisasi dengan sukarela (Hom & Griffeth, 1991).Variabel intensi turnover dapat dilihat dari respon individu pada kuesioner intensi turnover. Data-data respon tersebut dapat berupa skor individu yang diperoleh dari jawaban atas kuesioner intensi turnover. Adapun respon-respon individu yang dimaksud adalah respon terhadap empat (4) indikator variabel intensi turnover, yaitu: sikap karyawan terhadap pekerjaan dan perusahaan, pemikiran karyawan untuk keluar (intent to leave), niat karyawan untuk meninggalkan perusahaan (intent to search) dan rencana karyawan untuk pindah perusahaan (likelihood of leaving) (Yuanita, 1996). Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah adalah karyawan PT. Eterindo Nusa Graha. Dengan kriteria level dibawah manajer dan bukan pengambil kebijakan atau disebut sebagai level operator. Dengan pertimbangan bahwa orang yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan maka orang tersebut bukan penentu hasil keputusan. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan secara tepat yaitu yang relevan dengan tujuan penelitian dan mempunyai validitas dan reliabilitas setinggi mungkin, maka dipergunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu satu bagian berisikan data responden dan bagian yang lain untuk mengukur variabel penelitian, yaitu persepsi karyawan terhadap keadilan organisasi dan intensi turnover. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson. Teknik ini bertujuan untuk menguji apakah tiap item atau butir pernyataan benar-benar mampu mengungkap faktor yang akan diukur atau konsistensi internal tiap item alat ukur dalam mengukur suatu faktor. Nilai korelasi yang diperoleh (nilai korelasi per item dengan total item yang diperoleh setelah dikorelasikam secara statistik per individu) lalu dibandingkan dengan tabel nilai korelasi (r) Product Moment untuk mengetahui apakah nilai korelasi yang diperoleh signifikan atau tidak. Jika indeks nilai yang diperoleh dari perhitungan tersebut memiliki nilai yang lebih besar dari nilai tabel korelasi maka item itu dinyatakan valid demikian juga sebaliknya. Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan menguji validitas alat ukur maka yang dilakukan adalah mengukur kesahihan butir (validitas item). Pengujian kesahihan butir ini dibantu dengan program SPSS. Reliabilitas dapat diartikan sebagai suatu petunjuk sejauh mana alat ukur yang digunakan dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Dengan kata lain, sejauh mana alat ukur yang digunakan dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda jika dilakukan pengukuran ulang (Azwar, 1998). Dalam penelitian ini pengukuran reliabilitas alat ukur dilakukan dengan teknik sekali ukur One Shot Technique, yang kemudian diuji dengan pendekatan analisis varian dari Hoyt. Dasar pertimbangan penulis menggunakan teknik analisis tersebut adalah bahwa teknik Hoyt tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam penggunaannya (Hadi, 1991). Pengujian reliabilitas ini dibantu dengan program SPSS. Metode Analisis Data Adapun metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat teknik Analisis Regresi Berganda, karena secara bersama-sama (simultan) melakukan analisis terhadap lebih dari dua variabel pada setiap obyek atau orang. Dengan sekali jalan dapat mengkorelasikan sejumlah besar variabel bebas atau prediktor X dengan variabel terikat atau kriterium Y, mampu memberi dasar-dasar yang kuat untuk keperluan prediksi, estimasi atau perkiraan, serta dapat digunakan pada variabel berbeda-beda satuan ukurannya atau pada variabel dalam semua peringkat skala (nominal, ordinal, interval ataupun rasio). Sebelum melakukan analisis regresi, data-data dari kedua kuesioner diuji dengan uji asumsi normalitas sebaran dan linieritas hubungan antar variabel (lihat lampiran). Kemudian menguji signifikansi model dengan uji t. Selanjutnya baru dilakukan uji analisis regeresi. Analisis regresi tergolong dalam kategori model analisis Korelatif, yang digunakan untuk mengetahui : 1. Korelasi antara kriterium dan prediktor. Korelasi antara variabel bebas (prediktor X) dengan sebuah variabel terikat (kriterium Y). 2. Selanjutnya dapat diketahui persamaan garis regresi dari nilai beta (b) yang didapat dari koefisien garis regresi dengan bentuk persamaan. 3. Taraf signifikansi dari koefisien korelasi dengan melakukan analisis variansi garis regresi untuk menemukan harga F yang kemudian diuji taraf signifikansinya. 4. Analisis regresi 5. Bobot sumbangan efektif dari tiap variabel bebas dihitung dari besarnya R2 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari sebanyak 50 kuesioner yang disebar, hanya 47 yang kembali atau 93 % nya. Jadi hanya sebanyak 47 yang diuji. Tabel 2 menunjukkan profil dari responden yang diantaranya adalah: Tabel 2. Deskripsi Subjek Penelitian Karakteristik Frekuensi % Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 29 18 62 % 38 % Pendidikan Kurang dari SLTA 0 0% SLTA D1 S1 Tidak mengisi 30 9 3 5 64 % 19 % 6% 11% Status pekerjaan Full-time Part-time Tidak mengisi 41 3 3 87 % 6% 6% Jabatan Coo Enginer Foreman Operator PA Purchaser Senior Operator tidak mengisi 2 1 2 28 1 2 6 5 4% 2% 4% 60 % 2% 4% 13 % 11 % Lama bekerja 0 – 1 tahun 1 – 5 tahun lebih dari 5 tahun tidak mengisi 2 24 16 5 4% 51 % 34 % 11 % Variabel terikatnya berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji analisis Uji Normalitas Sebaran dengan menggunakan SPSS pada variabel intensi turnover dalam penelitian ini menunjukkan sebarannya dalam kondisi normal dengan nilai p = 0,200 yang jauh di atas 0,05. Sifat hubungan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikatnya adalah linier. Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan Uji Linieritas dalam program SPSS didapatkan bahwa hubungan kedua variabel bebas dalam penelitian ini berhubungan secara linier terhadap variabel terikat. Antara sesama variabel bebas koefisien korelasinya tidak terlalu tinggi. Berdasarkan Uji Multikolinier dengan menggunakan program SPSS menunjukkan tidak ada hubungan yang multikolinier antar variabel bebas dalam penelitian ini. Setelah melalui beberapa uji asumsi langkah selanjutnya dalam melanjutkan proses analisis data dengan menggunakan analisis regresi berganda. Adapun hasil yang didapat antara lain sebagai berikut: 1. Dari penggunaan teknik analisis regresi berganda didapatkan nilai koefisien determinan/ koefisien korelasi antara Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural terhadap Intensi Turnover sebesar R = 0,771 menunjukkan bahwa korelasi/ hubungan antara Intensi Turnover dengan kedua variabel independen-nya adalah kuat. Definisi kuat karena angka diatas 0,5. Namun demikian bisa saja untuk kasus lain batasan angka akan berbeda. 2. Selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi harga R melalui uji signifikansi garis regresi. Dari hasil pengujian signifikansi tersebut diperoleh nilai F sebesar 32,234 dengan tingkat signifikansi p = 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05. Probabilitas yang jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi Intensi Turnover, atau bisa dikatakan Keadilan Distributif maupun Keadilan Prosedural secara bersama-sama berpengaruh terhadap Intensi Turnover. Ini berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh antara Keadilan Organisasi terhadap Intensi Turnover karyawan PT. Eterindo Nusa Graha dinyatakan ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan ada pengaruh antara Keadilan Organisasi terhadap Intensi Turnover dinyatakan diterima. 3. Setiap variabel bebas akan memberikan sumbangan/ pengaruh terhadap variabel terikatnya. Berdasakan hasil analisis regresi berganda tampak bahwa variabel Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural memberikan sumbangan sebesar 0,594 dengan nilai R = 0,771. 4. Persamaan garis regresi yang dapat dihasilkan dari analisis regresi berganda dinyatakan sebagai berikut: Y = 42,314 + 0,282 X1 + 1,406 X2. Konstanta sebesar 42,314 menyatakan bahwa jika persepsi terhadap keadilan distributif dan keadilan prosedural tidak ada, intensi turnover sebesar 42,314. Koefisien regresi 0,282 menyatakan bahwa setiap penambahan persepsi keadilan prosedural sebesar 1, intensi turnover akan meningkat sebesar 0,082. Koefisien regresi 1,406 menyatakan bahwa setiap penambahan persepsi keadilan distributif sebesar 1, intensi turnover akan meningkat sebesar 1,406 Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, didapatkan bahwa Keadilan distributif dan keadilan prosedural memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi turnover, hal tersebut ditunjukkan secara jelas ketika dilakukan uji dengan analisis regresi. Hasil tersebut bahwa keadilan distributif dan keadilan prosedural mempunyai pengaruh terhadap intensi turnover mendukung penelitian sebelumnya yang telah dilakukan untuk menjelaskan pentingnya fenomena pengalokasian dalam organisasi (Cropanzano & Greenberg, 1997). Sebagai contoh bahwa orang cenderung lebih puas dengan hasil yang mereka terima dengan adil dari pada yang mereka terima tidak adil. Selanjutnya, orang akan membandingkan kecukupan penghasilannya dengan harapan mereka atau dengan acuan standar tertentu. Jadi, jika karyawan merasa tidak puas dengan apa yang mereka terima yang dibandingkan dengan acuan lain, mereka akan cenderung untuk keluar dari perusahaan. Pengaruh keadialan distributif terhadap intensi turnover lebih besar dari pada pengaruh keadilan prosedural hal ini tampaknya karena responden banyak dari golongan pendidikan SLTA yang berarti tingkat pengetahuan masih tergolong rendah. Keadilan prosedural memiliki pengaruh sosial yang lebih besar dibandingkan dengan keadilan distributif, terutama ketika suatu komunitas atau masyarakat telah berada pada tingkat pengetahuan dan kesejahteraan yang relatif tinggi. Penilaian keadilan dari karyawan kalau dilihat dari respon terhadap item item lebih mengarah kepada penilaian keadilan berdasarkan kebutuhan para karyawan. Di sinilah perusahaan harus peka terhadap kebutuhan karyawan dan itu sangat wajar karena karyawan bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Bila kebutuhan karyawan telah terpenuhi kemungkinan besar karyawan telah diperlakukan secara adil. KESIMPULAN Setelah dilakukan pengukuran dan analisis terhadap Keadilan Distributif, Keadilan Prosedural, dan Intensi Turnover maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat pengaruh yang cukup besar antara Keadilan Prosedural dan Keadilan Distributif terhadap Intensi Turnover. 2. Secara terpisah Keadilan Distributif memiliki pengaruh yang lebih besar tehadap intensi turnover. 3. Keadilan Prosedural juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi turnover. DAFTAR PUSTAKA Aquino, K., Allen, D. G., & Hom, P. W. (1997). Integrating justice constructs into the turnover process: A test of a referent cognitions model. Academy of Management Journal, 40,(5), 1208-1227. Aryee, Samuel., & Chay, Yue Wah. (2001). Workplace Justice, Citizenship Behavior, and Turnover Intention in a Union Context: Examining the Mediating Role of Perceived Union Support and Union Instrumentality. Journal of Applied Psychology, 86, 154-160. Azwar, S., (1998). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cropanzano, R., & Folger, R.., (1989). Referent cognitions and task decision autonomy: Beyond equity theory. Journal of Applied Psychology, 74,(2), 293-299. Esmuraid, Dave (1997). Pengaruh Kepuasan Kerja terhada Intensi Turnover. Skripsi. Universitas Airlangga. Tidak diterbitkan Faturochman. (2002). Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta. Unit Penerbitan Fakultas Psikologi UGM & Pustaka Pelajar. Fishbein, M., Ajzen, I., (1975). Belief, Attitude, Intention and Behavior : An Introduction to Theory and Research. USA. Addison Wesley. Greenberg, J. (1986). Determinants of perceived fairness of performance evaluations. Journal of Applied Psychology, 71,(2), 340-342. Greenberg, J. (1987). A taxonomy of organizational justice theories. Academy of Management Review, 12,(1), 9-22. Greenberg, J. (1990). Organizational justice: Yesterday, today, and tomorrow. Journal of Management, 16,(2), 399-432. Hom, P. W., & Griffeth, R. W., (1991). Structural equations modeling test of a turnover theory: Cross-sectional and longitudinal analyses. Journal of Applied Psychology, 76,(3), 350-366. Kerlinger, F.N. (1995). Asas-asas Penelitian Behavioral. Dalam Landung Simatupang (Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Lee, H. R. (1999), An Empirical Study of Organizational Justice as a Mediator of the Relationships among Leader-Member Exchange and Job Satisfaction, Organizational Commitment, and Turnover Intentions in the Lodging Industry. (Online) http://www.af.ecel.uwa.edu.au,, diakses 25 Agustus 2002 Moorman, R. H. (1991). Relationship between organizational justice and organizational citizenship behaviors: Do fairness perceptions influence employee citizenship? Journal of Applied Psychology, 76,(6), 845-855. Schuler, Randall S & Jackson, Susan E. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia: Menghadapi abad ke-21. Jakarta. Erlangga. Singarimbun, M., Effendi, S., (1989), Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES. Sugiyono, (2001), Metode Penelitian Bisnis. Bandung. CV. Alfabeta. Yuanita, Listya 1996. Studi hubungan antara kecemasan akan kondisi kerja dengan intensi turnover. Skripsi. Universitas Airlangga. Tidak diterbitkan Zainuddin, M., (2000), Metodologi Penelitian, Surabaya.