ABSTRAK Riset membuktikan bahwa Computerized Physician Order System ( CPOE ) telah banyak membawa dampak yang positif bagi tenaga kesehatan profesional. Terutama perbaikan di bidang kesalahan pengobatan. Penerapan CPOE di Rumah sakit secara tidak langsung mempengaruhi praktek klinik keperawatan terutama pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Dengan penggunaan CPOE ini, potensial peningkatan produktivitas perawat dan lingkungan kerja yang yang aman bagi perawat lebih meningkat. Selain itu kewaspadaan terhadap keamanan pasien (patient safety) juga lebih ditingkatkan. Tetapi dalam penerapannya juga terdapat berbagai konsekwensi yang tidak diinginkan. Demi kesuksesan penerapan CPOE ini, Perawat terlebih dahulu harus mengerti alur kerja (work flow) antar bidang. Selain itu kemampuan komunikasi dan kolaborasi perawat dengan tenaga kesehatan profesional lainnya merupakan kunci keberhasilan dalam penerapan CPOE ini. 2 LATAR BELAKANG Computerized Physician Order Entry ( CPOE) merupakan suatu sistem pencatatan perintah / order medikasi dari dokter yang berbasis teknologi komputer. Perintah ini kemudian ditransmisikan kepada berbagai departemen dan staf medis yang bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah seperti laboratorium, farmasi, radiologi dan bidang keperawatan. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan terutama di bidang efisiensi dan keamanan pengobatan. Melalui sistem ini dokter, perawat dan apoteker bekerja secara bersama-sama dalam proses medikasi untuk mengurangi kesalahan pengobatan (medication error). Hal ini bisa terjadi karena dengan CPOE, setiap tenaga kesehatan dapat mengakses data riwayat medikasi seseorang pasien diantara sesama mereka. Sebuah riset membuktikan bahwa dengan CPOE, rata-rata tingkat kesalahan pengobatan berkurang sebesar 80% dan tingkat kesalahan yang berpotensi membahayakan bahkan menyebabkan kematian pasien berkurang 55% (Kaushal R, 2004). Selain itu CPOE ini menghemat 37 % waktu instruksi (order time). Studi lain mengatakan bahwa penggunaan CPOE dalam lingkup asuhan keperawatan lebih memudahkan kerja perawat dan juga menyediakan status medikasi pasien terbaru dengan lebih jelas (Pirnejad et al, 2008). Oleh karena itulah CPOE sekarang menjadi trend di Rumah Sakit di luar negeri. Survey membuktikan bahwa pada tahun 2008, sebanyak 2.5 % rumah sakit di Amerika Serikat menggunakan CPOE (Morgenstern, 2010). Selain dari manfaat yang ditimbulkannya, ada berbagai konsekwensi yang tidak diinginkan muncul sebagai efek samping dari penerapan CPOE bagi perawat di rumah sakit. Hal ini antara lain gangguan komunikasi antara perawat dan dokter (Ghosh et al, 2006), makin tingginya tingkat ketergantungan perawat terhadap keputusan dokter serta kurangnya autoritas perawat terhadap instruksi dokter (Doormal et al, 2010). Selain itu sistem ini juga mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap komputer. Terlepas dari semua hal itu, CPOE tetap disarankan untuk digunakan dalam pemberian pengobatan. Tulisan berikut ini akan membahas tentang pengggunaan CPOE, manfaat yang didapatkan serta konskwensi yang timbul sebagai efek samping dari penggunaan CPOE ini dilihat dari segi kepentingan asuhan keperawatan. Perawat merupakan salah satu faktor kunci kesuksesan dari pelaksanaan CPOE. Oleh karena perawatan pasien dengan CPOE merupakan 3 sebuah proses tim, dimana semua anggotanya terlibat untuk meningkatkan kesehatan pasien maka perawat dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan kolaboratifnya terutama dibidang komunikasi, pengetahuan serta teknologi informasi. KAJIAN LITERATUR Computerized Physician Order Entry ( CPOE) merupakan penggunaan sistem komputer dimana dokter memasukkan perintah medis-nya melalui sistem ini (Guappone dan Dykstra, 2006). Perintah ini kemudian dikomunikasikan keseluruh tenaga kesehatan atau departemen di rumah sakit yang ikut terlibat dalam perintah medikasi ini. Dalam sistem ini, CPOE ini membarikan keuntungan antara lain 1) mengurangi tingkat keterlambatan dalam proses keperawatan, 2) mengurangi kesalahan interpretasi tulisan tangan, 3) memungkinan input data dari unit-unit pelayanan ataupun dari tempat lain, 4) menyediakan fasilitas pengecekan atas pemberian dosis yang tidak tepat, 5) menyederhanakan inventaris dan proses penagihan, 6) dengan penggunaan CPOE prescribing systems sinyal dosis dan pemeriksaan interaksi terdeteksi secara otomatis, misalnya memberi tahu pengguna bahwa dosis yang digunakan terlalu tinggi dan berbahaya serta bisa juga memberi tahu pengguna bahwa obat-obat yang digunakan dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, sistem ini juga meningkatkan efisiensi dan keamanan dari 4 proses pemberian obat serta mengurangi kesalahan pemberian obat oleh perawat dengan cara meningkatkan lima benar pada saat pemberian obat, tetapi tetap memberikan kesempatan kepada perawat untuk fokus terhadap komponen pemberian obat secara profesional seperti pengkajian secara terus menerus dan untuk memonitor efek samping (Keohone et al, 2008). Pada umumnya dokter memberikan perintah perawatan pasien kepada berbagai pihak terkait, seperti bagian administrasi, perawat dan staf pendukung lainnya melalui catatan tangan ataupun secara perintah lisan. Berdasarkan laporan Institute of Medicine (IOM) pada tahun 1999 menyatakan bahwa laporan-laporan dengan tulisan tangan serta input data secara manual, penggunaan singkatan kata yang tidak baku serta interpretasi yang salah, terbukti menyebabkan kerugian pada pasien, sehingga pada tahun 2001, IOM menyarankan untuk menggunakan perintah pengobatan secara elektronik dengan penggunaan sistem informasi berbasis komputer dan internet. Ada pun fitur-fitur pada CPOE ini : 1. Perintah perawatan. Perintah perawatan oleh dokter sudah terstandarisasi diseluruh bagian organisasi, namun bersifat fleksibel dapat dipersonalisasi untuk setiap dokter atau spesialis dengan penggunaan order set. Perintah perawatan ini kemudian di informasikan keseluruh departemen sehingga menurunkan waktu respon dan menghindari kesalahan penjadwalan serta konflik dengan perintah yang sudah ada. 2. Fitur keamanan pasien. Sistem CPOE ini memungkinkan dilakukannya identifikasi pasien, rekomendasi dosis obat, tinjauan efek samping obat dan pemeriksaan alergi serta konflik dalam proses perawatan. Dokter dan perawat dapat secara langsung meninjau perintah perawatan untuk konfirmasi. 3. Fitur antar departemen yang saling mendukung. Alur kerja yang sesuai dengan proses perintah perawatan yang berbasisi kertas sebelumnya membuat pengguna baru maupun pengguna yang jarang meng-akses mampu untuk menggunakan sitem ini. 5 4. Aman dan sesuai dengan peraturan. Keamanan dalam mengakses sistem terjamin dan terdapat catatan permanen beserta tanda tangan elektronik. 5. Kemudahan. Sistem menerima dan mengolah perintah perawatan untuk semua departemen dari semua lokasi seperti tempat prakter dokter, rumah sakit ataupun dari rumah, melalui berbagai perangkat diantaranya PC-nircable. 6. Pengelolaan. Sistem memberikan laporan statisktik secara online, sehingga manajer dapat menganalisis sensus pasien dan mengganti staf serta mengaudit penggunaan dan prosuktifitas di seluruh bagian organisasi. Kemudian data ini dikumpulkan untuk digunakan sebagai perencanaan dan analisis akar masalah yang berhubungan dengan kesehatan pasien. 7. Penagihan. Dokumentasi ditingkatkan dengan meningkatkan dengan diagnosis kode serta dapat memberikan tagihan yang sesuai. 8. Dukungan keputusan yang berpusat kepada pasien. Proses perawatan menampilkan riwayat medis pasien, hasil pemeriksaan terkini, serta pedoman klinis yang berdasarkan evidence/bukti, biasanya modul yang digunakan adalah modul logika medis yang digunakan untuk memfasilitasi clinical decision support systems (CDSS). 6 Selain dari manfaat dari penggunaan CPOE tadi, ada berbagai konsekuensi yang tidak diinginkan dari CPOE ini : 1. Konsekuensi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari design system. Ada beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan dari penggunaan CPOE ini. Seperti, a. Alur kerja yang kadang-kadang tidak berjalan lancar. Misalnya timbulnya peringatan dikomputer tentang interaksi obat atau kesalahan dosis yang memaksa perawat untuk memikirkan kembali proses pemberian obat tersebut ke pasien. Tetapi sayangnya ketika perawat memikirkan kembali proses pemberian obat ini, perintah tersebut langsung tersambung ke bagian provider/dokter yang menulis perintah sehingga provider/dokter merasa di supervisi, dianggap bodoh dan tidak dipercaya atau kadang-kadang merasa diinterupsi (Ash et al, 2008). b. Lebih jauh lagi, penggunaan sistem komputerisasi untuk dokumentasi yang mengganti sistem berdasarkan kertas membuat perawat kadang-kadang tidak percaya terhadap realibilitas dari sistem. Dimana perawat cemas bahwa suatu saat data mungkin akan hilang (Moniz B, 2009). c. Kemampuan untuk membuka dan memasukkan data memberikan tekanan tersendiri terhadap perawat, karena untuk hal itu dibutuhkan kemampuan untuk mengetik, kemampuan kognitif dan standarisasi format. Hal ini menurunkan kepuasan perawat dalam penggunaan teknologi. Pada sitem ini juga menyebabkan faktor kemanusiaan sedikit terabaikan karena pemilihan pasien yang harus dirawat terlebih dahulu berdasarkan prioritas yang ada dilayar, padahal sebelumnya perawat menseleksi pasien berdasarkan individual charts untuk melihat order yang spesifik. Proses ini menyebabkan perawat merasa keputusan mereka untuk memilih pasien mana yang yang perawatannya lebih mendesak (urgen) terganggu oleh keputusan sistem tersebut. 2. Konsekuensi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari integrasi sistem menuju proses alur kerja. Kesuksesan implementasi dari sistem ini membutuhkan alur kerjasama yang bagus antara dokter dan perawat. Hendaknya CPOE ini sesuai dengan alur kerja perawat. Kegagalan penyeseuaian terhadap alur kerja perawat dapat menyebabkan berbagai konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti pendokumentasian ganda (dual 7 documentation). Walaupun dokumentasi ganda itu dimaksudkan untuk me-ricek kembali prinsip pemberian obat yang benar, tetapi hal ini menyebabkan staf keperawatan menjadi “resistance” terhadap perubahan teknologi, frustasi (staf frustation) dan discontainment (Vogelmeierm et al, 2008). Lebih jauh lagi, CPOE sistem ini mengganggu otoritas perawat untuk mem-validasi perintah verbal dokter pada situasi akut dan darurat, karena mereka harus secara ketat mematuhi otoritas dokter. Hal seperti ini menyebabkan meningkatnya resiko gangguan keamanan pasien (patient safety ) pada keadaan gawat darurat. Selain dari gangguan-gangguan diatas, CPOE juga mengakibatkan resiko gangguan emosi pada pengguna (user) yang terlibat dalam arus kerja. Gangguan emosi ini antara lain frustasi, unbivalent, disempowerment, dan over relience akibat electronic alert. Selain itu CPOE ini juga mengakibatkan kadang- kadang pengguna merasa keputusan profesionalnya seperti diragukan. Bahkan pada saat saat tertentu mereka merasa bahwa kemampuan kognitifnya tidak mampu lagi bekerja sama dengan sistem.(cognitive overloading). 3. Perubahan model kolaborasi antara dokter-perawat dalam proses medikasi. Penggunaan CPOE juga mempengaruhi perubahan hubungan komunikasi antara dokter dan perawat. Dua hal penting yang paling berubah itu adalah sinkronisasi dan umpanbalik (feedback). Penggunaan CPOE kadang-kadang juga mempengaruhi kejelasan dan kelengkapan dari onat, hal ini menyebabkan kebingungan bagi perawat. Dan karena kurangnya mekanisme umpan balik, dokter kadang tidak tahu apakah instruksi yang mereka berikan melalui sitem telah dilakukan. Bersamaan dengan itu, perawat juga tidak tahu kapan order telah diberikan dan perubahan-perubahan dari order sebelumnya. Akibatnya dokter dan perawat tidak saling mengetahui bagaimana kemajuan kerja dari partner mereka, akibatnya mereka menambah suatu pekerjaan lain yaitu saling mengingatkan satu sama lain dengan cara saling menelpon. Selain mengakibatkan perubahan komunikasi antara perawat dan dokter, penggunaan CPOE ini juga mengakibatkan meningkatnya ketergantungan perawat terhadap dokter. Selain itu perawat juga mempunyai sedikit kesempatan untuk mengkoreksi 8 tindakan dokter, karena dengan penggunaan CPOE ini interaksi antara perawat dan dokter menjadi lebih berkurang. Perawat dan dokter menjadi lebih terpisah pada waktu fase memberikan order. Dokter memberikan ordernya melalui sistem dengan sedikit informasi dari perawat. Hal ini tentu saja mengganggu kualitas asuhan keperawatan. Karena terkadang order yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien saat ini. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Penggunaan CPOE telah membantu proses pengobatan dan kerjasama antara perawat dan dokter. CPOE sistem ini juga mempunyai berbagai macam keuntungan yang tidak didapatkan dari penggunaan sistem manual atau kertas. Tetapi, ada berbagai konsekuensi yang tidak diiinginkan dalam penggunaan CPOE ini. Untuk meminimalkan munculnya konsekuensi yang tidak diinginkan, ada berbagai cara yang bisa dilakukan, seperti rumah sakit seharusnya mendukung pengguna terakhir untuk melaporkan kesulitan-kesulitan mereka dalam penggunaan CPOE ini serta langsung menginvestigasi dan memecahkan masalah saat itu juga. Berbagai konsekuensi yang tidak diinginkan itu dapat ditangani jika sistem yang belum stabil itu disupervisi dan dievaluasi secara teratur. Hal yang paling penting adalah mencegah resistensi dari pengguna dengan cara membuat proses penggunaan CPOE ini terintegrasi secara pelan-pelan sehingga menjadi proses yang rutin. Selain menurunkan angka resistensi staf, cara ini juga dapat meningkatkan efisiensi sistem dan kerja serta memaksimalkan keuntungan dari sistem CPOE (Keohone et al, 2008). Sebuah studi literatur menganjurkan untuk menggunakan parallel stategy untuk memfasilitasi terintegrasinya sistem ke alur kerja dan meningkatkan kemampuan staf. Parallel strategy ini diperkenalkan selama fase inisiasi implementasi, walaupun pada awalnya mengakibatkan terjadinya dual dokumentasi tetapi strategi ini meningkatkan kepercayaan pengguna terhadap kredibilitas sistem CPOE ini (Lee, 2007). Studi lain dari penggunaan CPOE ini melaporkan bahwa adanya gangguan komunikasi antara perawat dan dokter, dalam rangka untuk meminimalkan gangguan komunikasi tersebut sinkronisasi dan mekanisme umpanbalik antara perawat dan dokter harus terus menerus diberikan inforcement melalui berbagai struktur yang berbeda. 9 Perawat dan dokter harusnya lebih sadar berbagai efek negatif yang timbul pada komunikasi mereka. Kedua pengguna ini, seharusnya diberikan pengarahan tentang metode yang tepat yang bisa digunakan untuk meningkatkan sinkronisasi dan mekanisme umpanbalik tersebut. Contohnya, kedua kelompok ini harusnya dipersuasi untuk mendiskusikan tiap perubahan yang terjadi pada pengobatan pasien. Masalah sinkronisasi mungkin akan meningkat karena sistem memberikan peluang kepada dokter untuk meresepkan obat tanpa melihat pasien keruangan dan tanpa rekomendasi dari staf keperawatan. Oleh karena alasan inilah dianjurkan dokter tetap melakukan ronde medis bersama dengan perawat. Selain itu untuk meningkatkan sinkronisasi dalam pemberian medikasi, disarankan supaya tanggung jawab untuk mencetak order yang di system diserahkan kepada perawat, bukan dokter lagi. Untuk menjaga keamanan dibuatlah suatu sistem baru dimana ketika dokter memberikan suatu perintah di sistem tersebut, order dapat dilihat oleh perawat pada layar. Order tersebut tetap dalam kondisi pending atau tertunda sampai perawat masuk ke dalam sistem untuk mengkonfirmasi order dan kemudian mencetak order tersebut. Kerusakan sinkronisasi dan mekanisme umpanbalik juga mempunyai konsekuensi yang serius terhadap keamanan pasien, walaupun sistem ini memberikan kemudahan untuk memberikan keputusan pengobatan yang tepat. Salah satu alasan kenapa sistem ini menjadi susah untuk terintegrasi dengan data administrasi adalah karena lamanya fase penulisan peresepan oleh dokter. Sebagai contoh, pada waktu dokter menulis resep, waktunya tidak cocok dengan keadaan rutin ruangan, dan perawat harus merubah waktu pemberian sesuai dengan waktu kegiatan rutin ruangan. Tetapi hal ini tidak bisa dikonfirmasikan ke dalam sistem . Akibatnya, resiko terjadinya error dalam administrasi perawat lebih meningkat. Untuk mengatasi hal ini diharapkan sistem monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan harus lebih ditingkatkan. Terlepas dari semua hal tersebut, pemahaman terhadap proses komunikasi adalah salah satu kunci untuk implementasi CPOE. 10 DAFTAR PUSTAKA Ash, J., Berc, M., & Coiera, E. (2008). Some unintended consequences of information technology inhealth care: the nature of patient care information system related errors. Journal of American Medical Information Association, 11, 104-112. Ash, J., Sittig, D., Poon, E., Guappone, K., Campbell, E., & Dykstra, R. (2007). The extent and importance of unintended consequences related to computerized provider order entry. Journal of American Medical Information Association, 14(4), 415-423. Ghosh, T., Norton, M., & Skiba, D. (2006). Communication, Coordination and Knowledge Sharing in the Implementation of CPOE : Impact on Nursing Practice. AMIA 2006 Symposium Proceeding, 928. Doormaal, J., Mol, P., Zaal, R., Bernt, P., Kostering, J., Vermeulen, K., & Ruskamp, F. (2010). Computerized physician order entry (CPOE) system: expetations and experiences of users. Journal of Evaluation in Clinical Practice, 16, 738-743. Keohane, C., Bane, A., Featherstone, E., Hayes, J., Wool, S., Hurley, A., Bates, D., Gandhi, T., & Poon, E. (2008). Quantifying Nursing workflow in medication administration. Journal Nursing Administration, 38(1), p. 19-26. Kimin, Narendra. (2004). CPOE primer. Diakses dari http://www.touchbriefings.com/pdf/950/ge_health_tech.pdf pada hari Senin, 19 September 2011 jam 20.00 WIB Morgenaten, Dan. (2010). CPOE primer for nursing. Diakses dari http://www.masstech.org/ehealth/CPOE%20University/courses_2009_2010/WhatisCPOERN.pdf pada hari Senin, 19 September 2011 jam 20.00 WIB Muhalla, H. (2010). Electronic Nursing Record of Nursing Process : An Analysis Nursing Technology. FIK UI : Jakarta. Tidak Dipublikasikan. Pirnejad, H., Niazkhani, Z., berg. M., & Bal, R. (2008). Intra-organizational Communication in Healthcare : Considerations for Standardization and ICT Application. Pirnejad, H., Niazkhani, Z., Sijs, H., Berg, M., & Bal, R. (2008). Impact of a computerized physician order entry system on nurse-physician collaboration in the medication proses. International Journal of Medical Information, 77, 735-744. Poon, E., Blumenthal, D., Jaggi, T., Honour, M., Bates, D., & Kaushal, R. (2004). Overcoming Barriers to Adopting and Implementing Computerized Physician Order Entry Systems in U.S. Hospitals. Health Affairs 23 (4), 184-190. 11 Vogelsmeierm, A., Halbesleben, J., and Scott-Cawiezell, J. (2008). Technology implementation and workarounds in the nursing home. Journal of American Medical Information Association, 15(1), 114-119. 12