pendidikan islam menurut pemikiran syed muhammad an

advertisement
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN SYED
MUHAMMAD AN-NAQUIB AL-ATTAS
Rahmi Rabiaty
Abstrak
Tulisan ini berupaya mengungkap pemikiran pendidikan menurut
Muhammad Naquib al-Attas. Pemikiran Naquib cukup unik sebab
selain dilandaskannya pada nilai-nilai yang terkandung dalam Islam,
ia juga melakukan analisis bahasa dalam memahami perkembangan
pendidikan Islam.
Bagi Naquib tujuan pendidikan Islam dapat dipetakan secara
bertingkat yakni tarbiyah untuk tingkat dasar, ta’lim untuk tingkat
menengah dan ta’dib untuk tingkat lanjutan (perguruan tinggi).
Dalam pembelajaran pun harus memiliki variasi pendekatan, seperti;
persiapan spiritual, kemampuan bahasa, metode tauhid, metode
metafora dan cerita.
Semua aktivitas pendidikan Islam di atas didasarkan Naquib pada
prinsip tiadanya dikotomi ilmu dalam Islam sebab baginya Islam
menekankan tauhid yang meniscayakan semua kebaikan berasal dari
Tuhan yang Esa.
Kata kunci : at’dib, tarbiyah, ta’lim, tauhid, dikotomi.
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia.
Pendidikan Islam dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan bekal
kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui dalam rangka merespon
perkembangan zaman yang selalu dinamis, agar peserta didik tidak hanya
berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati, tetapi juga kebahagiaan hidup
di dunia ini.
Dunia
Islam
akhir-akhir
ini
tengah
menghadapi
berbagai
permasalahanseputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang sangat
menuntut upayapemecahan secara mendesak. Dan persoalan-persoalan yang

Dosen pada Fakultas Agama Islam UM Palangkaraya
dihadapidunia Islam masa kini, persoalan pendidikan adalah tantangan yang
paling berat.
Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu
menghadapitantangan
ini.inilah
yang
menuntut
agar
selalu
dilakukan
pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait
dengan kehidupan umat Islam. Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya,
selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak
integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam
di era global sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan
(knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks
agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (Social Science) dan ilmu-ilmu alam (Nature
Science) dianggap pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak pernah
mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama dan
umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi
kemaslahatan umat manusia.
Rekonstuksi pendidikan Islam, akhir-akhir ini banyak mengundang
perhatian setiap pihak yang memiki perhatian dan kepentingan (stakeholder) akan
harapan lebih optimalnya urgensi pendidikan Islam sebagai pendidikan yang
berseberangan dengan visi pendidikan umum yang sekarang seakan menjamur
disegala lapisan masyarakat umumnya. Renaisans (proyek pengembangan)
pendidikan Islam, harus memiliki tujuan dan visi yang jelas serta mapan, dari
orientasi yang ingin dicapai setelah pelaksanaan proses pendidikan (ultimate aim).
Menindak lanjuti masalah ini, salah satu tokoh pendidikan Islam yang
sangat peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam kontemporerSyed Muhammad
Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam
yang memiliki ide-ide segar dan kritis terhadap fenomena global tersebut. AlAttas juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap
sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi
banyak tokoh lainnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemikiran al-Attas ini
untuk dipahami dan dikritisi untuk memperluas wawasan interaksi pendidikan
Islam dan perkembangan dunia global saat ini.
1.
Riwayat singkat hidup Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat
pada tanggal 5 September 1931. Ketika berusia 5 tahun, Syed Muhammad
Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar Ngge Heng
Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang
menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia
kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi
selama lima tahun. Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas
mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama
tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang
perkumpulan terekat Naqsabandiyah.1
Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat
masuk Univesitas
Malaya selama 2 tahun. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia dikirim oleh
pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies
Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil
menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the
Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh. Kemudian iamelanjutkan ke School of
Oriental and African Studies di Univesitas London.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas pernah menjabat dijurusan kajian
Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 19661970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu sebab mengkaji
sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses islamisasi di
Indonesia dan Malaysia. Ia juga mendirikan lembaga pengajaran dan
penelitian khusus tentang pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung
proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif oleh pemerintah
Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi
1
Ismail Raji Al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka. 1984,
h. 32
ISTAC (International Institute Of Islamic Thought and Civilization) dengan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya.2
2.
Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Untuk mengenali karya al-Attas, kita dapat melihat dari dua bagian,
yakni karya-karya kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya
pemikiran. Yang pertama lebih menggambarkan dia sebagai seorang ahli
atau sarjana (scholar). Ini terutama dapat dilihat dalam karya-karyanya yang
berkaitan dengan kebudayaan Melayu dan Nusantara, khususnya mengenai
mistisisme. Sementara yang kedua menggambarkan dia sebagai pemikir.
Berikut ini karya-karya yang berkaitan dengan bagian pertama:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Rangkaian Rubui’iyat, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1959.
Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the Malays,
MSRI, Singapore, 1963.
Raniri and the Wujudiyah of 17th Century Acheh, Mograph of the Royal
Asitic Society, Malaysian Branch, No. 111, Singapore, 1966.
The Origin of the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala
Lumpur ,1968.
Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesia
Archipelago, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1969.
The Mysticism of Hamzah Fansuri, Universitas Malaya Press, Kuala
Lumpur, 1969.
Conluding Postcrip to the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala
Lumpur, 1971.3
Sedangkan karya yang berkenaan dengan gagasan/pemikiran banyak
berbicara tentang konsep, terutama konsep pendidikan, filsafat dan islamisasi
ilmu. Berikut ini karya-karya yang masukbagian kedua:
1.
2.
3.
4.
5.
2
Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and
Morality, ABIM, Kuala, Lumpur, 1976.
Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and
Aims of Education, PMIM, Kuala Lumpur, 1977.
Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
Islam, Secularism, and Philosophy of the Nature, 1985.
Dilema Kaum Muslimin, Bina ILmu, Surabaya, tt.
Ibid., h. 35
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan
pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, h. 42
3
6.
7.
8.
The Concept of Education in Islam:A framework for a Islamic
Philosophy of Education, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
Aims and Objectives of Islamic Education, Hodder-Stoughton, London
and University of King Abdul Aziz, Jeddah, 1979.
Islam and the Filsafat Sain, Penerjemah: Saiful Muzani, Mizan, Bandung,
1995.4
Melalui dua macam karya di atas, al-Attas terlihat jelas dalam
program-program kerja jangka panjang Institut Pemikiran dan Tamaddun
Islam yang dipimpinnya, yang menurut hemat penulis adalah suatu bentuk
pelembagaan dari obsesi dan cita-cita intelektualnya.
3.
Pendidikan Islam menurut Pemikiran Syed Muhammad Naquib AlAttas
a.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam tergantung pada tingkatannya masingmasing, yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jadi
setiap tingkatan pendidikan memiliki tujuan yang berbeda-beda
disesuaikan dengan taraf penerimaan dari peserta didik dan bersifat
berkelanjutan secara dinamis dan saling berkaitan.
Al-Attas berpendapat terma tarbiyah lebih menonjolkan
perkembangan fisik material dan unsur-unsur kasih sayang serta hal-hal
yang konkret. Oleh karena itu ciri-ciri pendidikan ini sangat cocok
diterapkan pada pendidikan tingkat dasar/ kanak-kanak atau lebih
konkret sesuai dengan istilah yang dipakai untuk proses pendidikan
tingkat taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar.5
Term ta’lim bermakna lebih universal dari tarbiyah, lebih cocok
digunakan untuk pendidikan menengah, atau pada usia remaja dan
menjelang dewasa (SLTP dan SLTA). Terma ta’dib diperuntukkan pada
proses pematangan /penyempurnaan pendidikan. Term ini sangat cocok
pada jenjang pendidikan untuk dewasa (Perguruan Tinggi).6
4
Ibid., h. 46
Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Alih bahasa: Haidar Bagir, disunting oleh
Jalaludi Rahmad, Penerbit Mizan. Bandung. Cet. 1. 1984.h. 30
6
Ibid, h. 37
5
Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan serangkaian
upaya yang mengantarkan manusia (peserta didik) pada derajat
kesempurnaan (insan kamil). Kesempurnaan yang diinginkan oleh Islam
bukan hanya didunia atau hanya diakhirat saja, melainkan kedua-duanya
harus seimbang proporsinya. Singkatnya menjadi khalifah fil ard
(memakmurkan dunia).
b. Subyek Didik
1) Pendidik
Sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat
yang lurus dan teladan.Niat yang lurus
adalah menjalankan
tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah.Sementara
sikap teladan akan menghasilkan asumsi positif bagi peserta didik
dari pendidik.
Pendidikan Islam ditempuh dengan landasan dan sumber
yang jelas, yang pemahaman dan penafsiran serta penjelasannya
membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif.AlQur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah
kepada yang otoritatif dibidangnya.Oleh karena itu, peran seorang
guru dianggap sangat penting dalam membantu peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya.7
Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai
pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak
dicapai.Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan AlAttas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus
terlebih dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan
taat pada perintah Allah SWT.
2) Peserta Didik
7
Syed Muhammah Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, Terj. Haidar
Bagir,Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1988, h. 10
Peserta didik hendaklah tidak tergesa-gesa dalam belajar,
tetapi perlu menyiapkan waktu untuk mencari guru yang terbaik
pada bidang yang digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari
ilmu untuk mencari guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk
memperoleh gelar tertentu.
Al-Ghazali mengingatkan agar peserta didik tidak merasa
sombong, namun tetap menghargai mereka yang telah membantu
dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan
tidak hanya memandang mereka yang terkenal.8
Jadi, peserta didik bebas untuk menentukan kepada siapa
dan dimana ia ingin menggali ilmu yang diinginkanya, namun
dengan memperhatikan kualitas/mutu seorang guru atau lembaga
pendidikan yang akan mengantarkannya untuk mencapai tujuan
tersebut agar tidak lepas dari hakikat utama pembelajaran, yakni
mencapai derajat Insan Kamil. Disini tergambar bahwa seorang
pendidik terhadap peserta didik merupakan motivator (pendorong),
reinforce (pemberdaya), dan instructor (pelatih) yang mengarahkan
peserta didik.
3) Kurikulum
Kurikulum
merupakan
parangkat
lunak
lembaga
pendidikan. Menurut Muhammad Naquib Al-Attas, kurikulum
pendidikan Islam adalah upaya peserta didik dalam mencapai tujuan
pendidikannya yakni insan kamil, sementara manusia secara natural
memiliki dua sisi yakni fisik dan spiritual. Oleh karena itu,
kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi dual hal tersebut yaitu
aspek fisikal yang berhubungan dengan pengetahuanya ilmu-ilmu
fisikal dan teknikal atau fardu kifayah, sedangkan keadaan
spiritualnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ‘ain.
8
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
terj. Haidar Baqir. cet. IV. Bandung: Mizan. 1994, h. 71
Naquib al-Attas memetakan dua ilmu tersebut sebagai
berikut; a. Fardu ain (ilmu-ilmu Agama) terdiri dari al-Qur’an,
sunnah, syariat, teologi, metafisika Islam, dan ilmu bahasa. b. Fardu
kifayah terdiri dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu
teknologi, perbandingan agama, ilmu linguistik, dan sejarah Islam.9
4) Metode Pendidikan Islam
Dalam filsafat pendidikan Islam, Al-Attas memiliki metode
khusus karena tujuan utama pendidikan Islam al-Attas adalah
penanaman ta’dib, bukan tarbiyah dan bukan juga ta’lim. Aspek
yang akan menjadi bahasan disini adalah: persiapan spiritual,
pendidik dan peserta didik, fungsi bahasa, metode tauhid, fungsi
panca indra serta metafora dan cerita.
a.
Persiapan Spiritual
Persiapan spitual yang dimaksudkan disini adalah
sebagaimana kita kenal dalam Islam setiap tindakan harus
didahului oleh niat, dalam pernyataan hadist yang cukup
terkenal dinyatakan bahwa: “perbuatan seseorang itu
berdasarkan niat (niyyah) dan Allah akan memberikan
pahalah sesuai dengan niat hamba-Nya”. Al-Attas mengakui
adanya sifat spiritual yang mendasar dalam praktik
pendidikan, prinsip ini sudah tidak asing lagi, tapi sudah
didengungkan oleh pemikir-pemikir muslim terdahulu
dalam semangat yang sama, termasuk Al-Ghazali yang
menekankan ikhlas sebagai kewajiban kedua setelah
membimbing peserta didik dengan penuh rasa simpati
seakan-akan anak sendiri. Al-Thusi juga mementingkan bagi
penuntut ilmu untuk mencari ridha Allah SWT semata.
Dengan kata lain peserta didik wajib mengembangkan adab
yang sempurnah dalam proses menuntut ilmu.
9
Ibid., h. 75
Pendapat Al-Attas ini menghendaki adanya niat yang
lurus untuk mempelajari ilmu. Pentingnya niat ini sangat
jelas
diperlukan,
mengingat
sebuah
hadistt
Nabi
:
“perbuatan seseorang itu berdasarkan niat (niyyah) dan
Allah akan memberikan pahalah sesuai dengan niat hambaNya”. Dari hadistt itu sangat dituntut bagi pencari ilmu
untuk kembali memperhatikan niat yang ingin dicapai dalam
mempelajari sebuah disiplin ilmu, agar apa yang diharapkan
akan tercapai dan proses pencapaiannya pun senantiasa
dalam ridha Allah SWT. dan nantinya akan berbuah
manfaat.10
b. Bahasa
Al-Attas menyadari pentingnya peranan bahasa sebagai
alat dan sarana yang mendasar dalam pendidikan agama,
kebudayaan dan peradaban.11 Al-Attas selalu menganalisis
bahasa dan menjelaskan bahasa secara benar, khususnya dalam
bahasa “rumpun Islam” sehingga makna yang benar mengenai
istilah dan konsep kunci Islam yang termuat didalamnya tidak
berubah atau dikacaukan. Singkatnya peranan bahasa bagi AlAttas sangat penting sehingga ia mengharapkan kaum terpelajar
muslim untuk memusatkan perhatian pada misteri bahasa Arab
dan bahasa asing lainnya. Begitu juga dalam proses pencarian
ilmu pengetahuan, kedudukan bahasa sebagai alat dan sarana
komunikasi tidak dapat dinafikan.12
c.
Metode Tauhid
Salah satu karakteristik dan epistemologi Islam yang
dijelaskan secara inklusif dan telah dipraktikkan oleh Al-Attas
adalah metode tauhid dalam pencapaian ilmu pengetahuan.
10
Aminullah Elhady, “Naquib Al-Attas : Islamisasi Ilmu,” dalam A. Khuduri, Pemikiran Islam
Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003, h. 23
11
Ibid., h. 30
12
Ibid., h. 28
Metode ini sering dipertanyakan pada cara mengimplikasikan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip etika dalam kehidupan
profesi pribadi mereka. Dalam hal ini Al-Attas hanya menggaris
bawahi bahwa jika seseorang telah benar-benar memahami ini
semua, maka hal itu akan bisa diatasi sebab tidak ada dikotomi
antara apa yang dianggap teori dengan praktik, kecuali kalau
terhalang oleh faktor eksternal.13
d. Metafora dan Cerita
Salah satu ciri khas dalam konsepsi pendidikan Al-Attas
pada metode pendidikan Islam yaitu penggunaan metafora dan
cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang disampaikan
secara lisan (ceramah) maupun tindakan, sebuah metode yang
juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Efektivitas
penggunaan metode ini sudah tidak diragukan lagi. Al-Attas
pada karyanya Rangkaian Ruba’at, menggunakan metafora
cermin yang biasa dipakai oleh para sufi pada masa lampau,
untuk menyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai
cerminan dari realitas Absolut.14
e.
Media
a) Panca indera
Pada diri manusia terdapat lima alat penginderaan
eksternal yang diantaranya adalah perasaan untuk meraba,
merasa, mencium, melihat serta indera untuk mendengar.
Memanfaatkan indera secara maksimal akan menjadi upaya
yang efektif untuk menangkap pembelajaran yang ada di sekitar
tempat tinggal peserta didik.
b) Ruang belajar
Salah satu faktor penunjang yang sangat penting dalam
proses pembelajaran adalah ruang belajar yang memenuhi
13
Abdul Kholiq, et al, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam, kajian
Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h. 82
14
Ismail SM. et a.l, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001, h.28.
standar kelayakan selama proses pembelajaran berlangsung,
keadaan yang nyaman dapat mempengaruhi pencapaian hasil
belajar yang dilakukan. Selain itu letak yang strategis dan
lingkungan, juga ikut mendukung proses pencapaian hasil dari
pembelajaran, dan ide desain semacam ini telah diterapkan AlAttas pada kampus ISTAC sejak awal berdirinya.15
c) Perpustakaan
Perpustakaan merupakan unsur atau kebutuhan yang
sangat penting dalam pengembangan ilmu. Literatur yang
lengkap akan membantu peserta didik dalam menguasai
keilmuan yang luas dan menjawab segala persoalan yang
dihadapinya.
d) Labolatorium
Labolatorium praktik merupakan sarana yang efektif
dalam
meningkatkan
keterampilan
peserta
didik
dalam
merealisasikan setiap bidang keilmuan yang memerlukan
praktik untuk menunjang skill-nya.16
9.
Pandangan Dunia al-Attas
Menurut al-Attas, “pengetahuan” (`ilm) tak dapat didefinisikan secara
ketat. Dia hanya dapat dijelaskan, dan penjelasan ini hanya lebih mengacu kepada
sifat-sifat dasar pengetahuan tersebut.17 Kemudian dia menyatakan bahwa setiap
pengetahuan berasal dari Allah, yang ditafsirkan oleh fakultas-fakultas manusia
(akal, rasio, qalb). Karena itu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran
terhadap pengetahuan dari Allah. Dan karena itu pula, menurut al-Attas, dilihat
dari sumber hakiki pengetahuan tersebut, pengetahuan adalah kedatangan makna
sesuatu objek pengetahuan ke dalam jiwa.
Pandangan dunia yang dirumuskan oleh al-Attas tampak lebih memiliki
signifikansi kalau dikaitkan dengan gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial atau
15
Abdurrahman Nahlawi,, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro, 1989, h.17
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka setia, 2009, h. 45
17
Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Alih bahasa: Haidar Bagir, disunting oleh
Jalaludi Rahmad, Penerbit Mizan. Bandung. Cet. 1. 1984, h. 67.
16
humaniora-ketimbang dengan ilmu-ilmu alam. Sebab ilmu-ilmu ini pada tataran
yang paling dasar menyangkut masalah manusia, masyarakat, serta hubungan
antara keduanya, di mana persoalan ini sedikit banyak telah banyak dikemukakan
oleh al-Attas dalam beberapa karyanya.18
Di sini, al-Attas lebih melihat dominasi individu terhadap masyarakat
daripada kebalikannya,dan tidak tampak ke arah sintesis dari keduanya, karena ia
meyakini pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan menjadi baik
apabila individu baik.19 Pada titik ini pula, ia menyerang pada modernis, yang
dianggapnya lebih menekankan telaahnya pada masalah umat ketimbang individu,
dan pada persoalan sosial-politik ketimbang perbaikan mental individual. Kritik
ini tampak jelas dalam kutipan berikut ini:
Karena mereka (para modernis) tidak pernah benar-benar mendalami
secara intelektual dan secara spiritual, maka mereka melibatkan lebih dahulu
dalam sosiologi dan politik. Pengalaman mereka tentang kemunduruan dunia
Islam dan pecahnya kemaharajaan Muslim telah membuat mereka menaruh
perhatian banyak terhadap Ibn Khaldun, dan mereka memusatkan perhatian pada
konsep ummah dan negara dalam Islam. Mereka memang lalai untuk meletakkan
tekanan lebih besar atas konsep individu dan peranan individu dalam mewujudkan
dan membangun ummah dan negara Islam.20
Pandangan ini dipengaruhi oleh dasar keyakinannya. Menurutnya, secara
emanasi, kebaikan dan kebenaran –yang bersumber dari Tuhan- melimpah lebih
dahulu melalui individu, karena individu menempati posisi lebih tinggi dalam
hirarki realitas dibandingkan masyarakat. Karena itu, yang utama adalah
memperbaiki mental individu, dan dengan baiknya mental individu maka dengan
sendirinya masyarakat akan menjadi baik. Kebaikan masyarakat adalah cerminan
dari kebaikan individu-individu.
18
Saiful Muzani, “Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib AlAttas”, Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991, h. 23
19
Ibid., h. 35
20
Syamsul Arifin,, et al, Spiritulituasasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarya: Sipress,
1996, h.17
10. Penutup
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 5 September 1931. Dia menjalani pendidikan yang panjang yang
membuatnya menjadi seorang pemikir yang mempunyai pemikiran-pemikiran
pendidikan yang sangat cemerlang, baik dimulainya diindonesia samapai ke
negeri Malaisya.
Untuk mengenali karya al-Attas, kita dapat melihat dari dua bagian, yakni
karya-karya kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya pemikiran. Yang
pertama lebih menggambarkan dia sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar). Ini
terutama dapat dilihat dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan kebudayaan
Melayu dan Nusantara, khususnya mengenai mistisisme. Sementara yang kedua
menggambarkan dia sebagai pemikir.
Adapun tujuan pendidikan yang dirumuskan al-attas, yakni tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus
mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil).
Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: manusia yang
seimbang,
memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi
isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi
eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan
sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan
amalnya. Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut
merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan
lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Konsep pendidikan Al-Attas tidak memungkiri adanya perencanaan yang
mapan dalam memulai proses pendidikan Islam, karena dengan perencanaan
inilah akan tergambar suatu hasil yang akan dicapai oleh pendidikan. Selain itu,
setiap unsur yang terlibat dalam pendidikan harus saling melengkapi dan bersifat
kooparations.
Perbedaan konsep pendidikan yang digunakan Al-Attas dengan tokoh
pendidikan Islam yang lainya adalah ta’dib dalam terminologi pendidikan. Ta’dib,
yaitu rangkaian pendidikan untuk membentuk manusia menjadi manusia universal
(insan khamil). Tujuan ini sesuai dengan proto tipe penciptaan manusia untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT., dan menjadi khalifah Allah di bumi yang
mampu menjalankan fungsinya dengan memanfaatkan segenap potensiyang ada
pada diri manusia. Tujuan ini akan tercapai dengan mudah apabila manusia
mengetahui hakikat diri manusia itu sendiri.
Relevansi konsep pendidikan yang digagaskan oleh Al-Attas ini sangat
relevan (up to date) untuk mengantisipasi tantangan internal dan eksternal. Dalam
kondisi kemerosotan identitas (citra) pendidikan Islam yang telah terkontaminasi
oleh paham sekuler dari Barat yang menghilangkan keterlibatan unsur ketuhanan
(religius) dalam proses pendidikan yang sesungguhnya. Keadaan seperti ini, kalau
tidak ditindak lanjuti sedini mungkin akan dapat membawa bahaya kehancuran
aspek aqidah (kepercayaan) umat Islam sendiri.
Realisasi konsep pendidikan Al-Attas yang berdasarkan ta’dib, mengikut
sertakan niat yang utama sebagai ibadah kepada Allah semata, bukan tujuan yang
lain seperti motivasi keduniawian. Pendidikan merupakan proses yang harus
dijalan secara dinamis dan update seiring perkembangan zaman “life long
education” (pendidikan sepanjang hayat) yang tidak ada batasan untuk
mempelajarinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk mencapai tujuan
pendidikan seperti itu, maka sangat penting peran literaur (perpustakaan) sebagai
sandaran keabsahan setiap bidang keilmuan (ilmu agama/umum).
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam,
Bandung: Mizan, 1988
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, , Bandung: Pustaka setia, 2009
Aminullah Elhady, “Naquib Al-Attas : Islamisasi Ilmu,” dalam A. Khuduri,
Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Syed Muhammah Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, Terj.
Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1988.
Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro,
1989.
Ismail SM. et.al.,
Pelajar,2001.
Paradigma
Pendidikan
Islam,
Yogyakarta:
Pustaka
Arifin, Syamsul, et al, Spiritulituasasi Islam dan Peradaban Masa Depan,
Yogyakarya: Sipress, 1996.
Kholiq, Abdul Kholiq, et al, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas, dalam Pemikiran
Pendidikan Islam, kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Muzani, Saiful, “Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed
Muhammad Naquib Al-Attas”, Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat
Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet. IV. Bandung: Mizan. 1994.
Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Alih bahasa: Haidar Bagir,
disunting oleh Jalaludi Rahmad, Penerbit Mizan. Bandung. Cet. 1. 1984.
Download