BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki iklim tropis sehingga paparan sinar matahari di Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya. Salah satu jenis sinar matahari adalah sinar UV (Ultraviolet). Sinar UV-A yang memiliki panjang gelombang 320-400 nm dapat menyebabkan tanning karena pelepasan melanin serta menstimulasi melanogenesis meskipun jauh lebih lemah daripada sinar UVB. Hampir 50% sinar UV-A berpenetrasi sampai ke dermis sehingga dapat menyebabkan penuaan kulit (Lee & Kaplan, 1992). Sinar UV-B yang memiliki panjang gelombang 290-320 nm juga dapat menyebabkan tanning, kulit terbakar (sunburn), dan pembentukan kanker kulit (Poskitt dkk., 1979). Meskipun jumlah UV-A yang diterima bumi 10% lebih banyak daripada UV-B, akan tetapi produksi eritema lebih banyak disebabkan oleh UV-B. Sebagian besar UV-B diabsorbsi oleh epidermis dan dapat menstimulasi melanogenesis yang paling tinggi (Willis & Cylus, 1977). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir jumlah UV yang berpenetrasi ke dalam kulit adalah dengan menggunakan tabir surya. Mekanisme sediaan tabir surya dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok tabir surya kimia yang bekerja menyerap sinar UV, dan kelompok pemblok fisik (tabir surya yang bekerja secara fisik). Tabir surya pemblok fisik bekerja dengan 1 cara memantulkan atau membelokkan radiasi UV. Selain tabir surya, diperlukan antioksidan alami yang juga penting untuk melindungi kulit dari paparan sinar UV. Antioksidan adalah zat yang dapat menangkal atau mencegah reaksi oksidasi dari radikal bebas (Haila, 1999; Chang, et al., 2002). Radikal bebas sangat berbahaya karena dapat merusak jaringan tubuh yang dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker kulit, proses penuaan dini, dan lain-lain (Haila, 1999; Buratti, et al., 2001; Shivashankara, et al., 2004). Dewasa ini, tabir surya dari bahan alam sedang banyak dikembangkan karena diyakini lebih aman dan tidak ada efek sampingnya. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dapat menjadi alternatif bahan pembuat tabir surya karena memiliki kandungan antosianin. Antosianin merupakan pigmen alami yang memberi warna merah pada seduhan kelopak bunga rosella dan mempunyai sifat antioksidan yang kuat (Maryani dan Kristiana, 2007). Namun, antosianin tidak stabil oleh pH, cahaya, dan enzim sehingga ekstrak bunga rosella harus diformulasikan menjadi nanoemulgel yang dibuat dengan mencampurkan nanoemulsi dengan suatu gelling agent. Nanoemulsi dalam penelitian ini dibuat dengan metode self emulsification. Self emulsification merupakan campuran isotropik minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang ketika diaduk ringan dengan air akan membentuk nanoemulsi minyak dalam air secara spontan. Minyak yang digunakan untuk membuat nanoemulsi dalam penelitian ini adalah VCO (Virgin Coconut Oil). VCO memiliki rantai trigliserida sedang yang sering digunakan dalam pengembangan desain nanoemulsi (Patel dkk., 2011). Surfaktan yang digunakan adalah Tween 2 80, sedangkan kosurfaktan yang digunakan adalah PEG 400. Tween 80 dan PEG 400 memiliki nilai HLB diatas 10 sehingga memenuhi persyaratan sebagai surfaktan dan kosurfaktan pada formulasi SNEDDS, karena semakin tinggi nilai HLB maka pembentukan nanoemulsi minyak dalam air akan semakin mudah (Kommuru dkk., 2001). Dengan demikian, diharapkan sediaan nanoemulgel ekstrak bunga rosella dapat membuat antosianin dalam ekstrak bunga rosella menjadi lebih stabil sehingga memiliki aktivitas antioksidan dan tabir surya yang lebih tinggi. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah optimasi formula nanoemulsi menggunakan Virgin Coconut Oil (VCO), Tween 80, dan PEG 400? 2. Bagaimanakah sifat fisik dan nilai SPF nanoemulgel yang dibuat dengan mencampurkan nanoemulsi optimum dengan suatu gelling agent (karbopol)? 3. Bagaimanakah aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh nanoemulgel bunga rosella? C. Tujuan penelitian 1. Mengetahui formulasi nanoemulsi ekstrak bunga rosella yang jernih, homogen dan stabil serta memiliki nilai SPF menggunakan minyak VCO (Virgin Coconut Oil), Tween 80 dan PEG 400. 3 2. Mengetahui sifat fisik dan nilai SPF nanoemulgel yang dibuat dengan mencampurkan nanoemulsi optimum dengan suatu gelling agent (karbopol). 3. Mengetahui aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh nanoemulgel kelopak bunga rosella. D. Manfaat penelitian Bagi mahasiswa, masyarakat, dan industri farmasi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kegunaan bahan alam dalam mengatasi permasalahan di bidang kesehatan khususnya mencegah timbulnya masalah kulit akibat radikal bebas dan sinar UV A dan B. Selain itu, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai formulasi nanoemulsi dan nanoemulgel untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam formulasi ekstrak tanaman dan kesehatan. 4 E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Sinar UV Paparan radiasi ultraviolet dari sinar matahari berkontribusi paling banyak terhadap kerusakan dini pada kulit. Banyak perubahan kulit yang umumnya disebabkan paparan radiasi UV berkepanjangan. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2007, 90 persen penyebab kanker kulit disebabkan oleh sinar ultraviolet. Sinar UVA yang memiliki panjang gelombang lebih panjang dari UVB yaitu 320-400 nm (Kaimal & Abraham, 2011), mampu menembus kulit hingga ke lapisan dermis, sehingga dapat merusak connective tissue, kolagen, dan elastin sehingga mengakibatkan proses aging atau ‘penuaan’, UV-B dengan panjang gelombang 290-320 nm menyebabkan sunburn atau eritema pada kulit dan berpotensi menyebabkan kanker kulit (American Academy of Dermatology, 1998), sedangkan UV-C dengan panjang gelombang yang lebih kecil dari 290 nm tidak sampai ke bumi karena tersaring oleh ozon (Wilkinson dkk, 1982). Namun, karena efek global warming atau ‘pemanasan global’ saat ini, terjadi penipisan ozon yang menyebabkan sinar ultraviolet (UV) lebih mudah masuk ke permukaan bumi. Di Amerika, telah dilaporkan penelitian bahwa 1% penipisan lapisan ozon akan meningkatkan risiko mortalitas akibat melanoma pada kulit sebesar 1-2% (Brenner & Hearing, 2008). 5 Beberapa bahaya atau dampak negatif yang disebabkan oleh sinar UV antara lain: a) Tanning Pigmentasi terjadi karena adanya paparan sinar ultraviolet pada panjang gelombang tertentu. Radiasi tersebut akan mengaktifkan sel melanosit dan meningkatkan kandungan melanin pada sel-sel di membran basal, sehingga menyebabkan pigmentsai (Saul dan Robert, 1972) b) Eritema Paparan sinar ultraviolet pada panjang gelombang 290-320 nm memicu reaksi infllamasi dan menyebabkan warna kulit menjadi merah atau eritema. Eritema muncul 2-3 jam setelah terpapar sinar matahari, mencapai intensitas maksimum 10-12 jam kemudian, dan tetap merah 24 jam kemudian. Tahapan eritema dibagi dalam tiga fase, yaitu memerahnya kulit, pengerutan kulit, dan pelepasan sel epidermis (Zubaidah, 1998;1995). c) Kanker Kulit Radiasi sinar UV B pada tingkat seluler (membran, protein, DNA) secara terus-menerus dapat merusak DNA dan berkembang menjadi kanker kulit (Bunawas, 1999). 2. Tabir Surya Penggunaan tabir surya atau sunscreen bagi individu yang banyak melakukan aktivitas di luar ruangan (outdoor) seperti remaja merupakan suatu hal yang penting. Hasil penelitian Green dkk. (1999) menyatakan bahwa penggunaan 6 tabir surya setiap hari ternyata dapat menurunkan probabilitas terjadinya kanker kulit. Penelitian tentang usaha pencegahan dan pengurangan dampak negatif dari sinar matahari terhadap kulit semakin meningkat, diantaranya dengan penggunaan kosmetik tabir surya (sunscreen) (Garoli dkk, 2009). Tabir surya merupakan sediaan topikal yang mekanisme perlindungannya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tabir surya kimiawi dan tabir surya fisik. Tabir surya pemblok fisik (Physical blocker) adalah dengan menghalangi sinar Ultra Violet (UV) menembus masuk lapisan kulit dengan cara menghamburkan sinar UV karena sifat fisisnya dan tabir surya kimiawi adalah tabir surya yang bekerja dengan menyerap sinar UV. Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai Sun Protection Factor (SPF) yang menggambarkan kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003). SPF ini terutama diperuntukkan bagi perlindungan terhadap UV B dan tidak secara khusus diperuntukkan untuk melawan UV A (Draelos & Thaman, 2006). SPF yang sering tercantum dalam tabir surya menunjukkan kemampuan tabir surya melindungi kulit. Nilai SPF dapat ditentukan secara invitro (menggunakan spektrofotometer) dan juga dapat secara invivo. Nilai SPF merupakan perbandingan Dosis Eritema Minimum (DEM) pada kulit manusia terlindungi tabir surya dengan DEM tanpa perlindungan (Harry, 1982; Walters et al., 1997). SPF dapat ditentukan melalui perbandingan energi dari sinar yang dipaparkan untuk dapat menimbulkan eritema dan dapat juga melalui waktu yang diperlukan sampai timbul eritema (Draelos & Thaman, 2006). Dosis eritema minimum (DEM) adalah nilai yang menunjukkan 7 sensitivitas akut individu terhadap sinar UV. DEM ini menunjukkan jumlah minimal sinar UV yang dibutuhkan untuk menimbulkan kemerahan ketika seseorang terpapar sinar UV (Mitsui, 1997). FDA mensyaratkan tabir surya yang beredar di pasaran harus memiliki SPF dengan nilai minimum 2 (Draelos & Thaman, 2006). FDA mengelompokkan keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan SPF (Wilkinson dan Moore, 1982) : 1) Tabir surya dengan nilai SPF 2-4, memberikan proteksi minimal 2) Tabir surya dengan nilai SPF 4-6, memberikan proteksi sedang 3) Tabir surya dengan nilai SPF 6-8, memberikan proteksi ekstra 4) Tabir surya dengan nilai SPF 8-15, memberikan proteksi maksimal 5) Tabir surya dengan nilai SPF ≥ 15, memberikan proteksi ultra 3. Antioksidan Salah satu hal yang menyebabkan kerusakan kulit adalah radikal bebas (Maysuhara, 2009). Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soematmaji, 1998). Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif (Leong dan Shui, 2001). Dalam keadaaan normal, suatu radikal bebas dapat dinetralisir dengan menggunakan zat 8 antioksidan. Antioksidan adalah zat yang dapat memperlambat atau meghambat stres oksidatif pada molekul target (Priyanto, 2007). Antioksidan adalah zat yang dapat menangkal atau mencegah reaksi oksidasi dari radikal bebas (Haila, 1999; Chang, et al., 2002). Oksidasi merupakan suatu reaksi kimia yang mentransfer elektron dari suatu zat ke oksidator. Reaksi oksidasi dapat menghasilkan radikal bebas dan memicu reaksi berantai, menyebabkan kerusakan sel dalam tubuh. Radikal bebas sangat berbahaya karena dapat merusak jaringan tubuh yang dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker, proses penuaan dini, dan lain-lain (Haila, 1999; Buratti, et al., 2001; Shivashankara, et al., 2004). Fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R , ROO ) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A ) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Reaksi antioksidan sebagai pemberi hidrogen pada radikal bebas disajikan pada Gambar 1. Inisiasi : R + AH -------------------------- RH + A Radikal lipida Propagasi : ROO + AH -------------------------- ROOH + A Radikal Peroksi Gambar 1. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer Terhadap Radikal Lipida (Gordon, 1990) 9 4. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Gambar 2. Tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) (Agustina, 2007) a) Taksonomi tanaman Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae Ordo : Malvales Famili : Malvaceae (suku kapas-kapasan) Genus : Hibiscus Spesies : Hibiscus sabdariffa L. (Maryani dkk, 2005) Nama daerah : Jawa Tengah menyebutnya merambos ijo, di daerah Pagar Alam, Sumatera Selatan disebut kesew jawe, di daerah Muara Enim disebut asam rejang, di Sunda disebut gamet walanda dan orang Padang menyebutnya asam jarot 10 b) Morfologi tanaman Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai batang bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah. Tumbuh dari biji dengan ketinggian bisa mencapai 3-5 meter. Tanaman rosella mempunyai akar tunggal dan mempunyai daun tunggal berbentuk bulat telur, bertulang menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi dan pangkal berlekuk. Panjang daun 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Bunga rosella memiliki mahkota bunga berwarna kekuning-kuningan dengan inti bunga berwarna merah marun dan akan menjadi warna merah muda bila layu. Tanaman rosella memiliki biji berbentuk seperti ginjal dengan sudut runcing, berbulu, panjang 5 mm dan lebar 4 mm. c) Ekologi dan Penyebaran Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah tanaman tropis/subtropis yang berasal dari Afrika Selatan, India, dan Malaysia. Iklim di Sudan, Afrika Barat cocok untuk produksi rosella. Tanaman ini hidup di daerah bercurah hujan 8001600 mm, dengan minimal curah hujan 100- 150 mm sebulan selama pertumbuhan vegetatifnya. Rosella adalah tanaman umur pendek dan membutuhkan suhu antara 18°-35° C dan dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 2,5 m tapi jarang mencapai ketinggian tersebut jika dibudidayakan. Rosella dapat tumbuh di tempat di mana tanaman lain tidak tumbuh dengan baik dan petani sering menanamnya di batas-batas ladang. Petani menanam rosella karena tidak perlu banyak perhatian, tumbuh dengan cepat, tapi tidak mengganggu tanaman lain. Pertumbuhannya mendapat keuntungan dari “efek pinggir”, jika ditanam di batas lahan. Di pinggir ladang, tanaman menerima 11 lebih banyak cahaya dan tidak terhalang oleh tanaman lain. Karena berbeda dengan jenis lain yang ditanam di ladang, rosella tidak memiliki saingan untuk mendapatkan nutrisi pada waktu yang sama. Karena tidak tumbuh tinggi, rosella juga tidak bersaing dengan tanaman lain untuk mendapatkan cahaya. Rosella dapat berperan sebagai batas fisik yang memperlambat penyebaran rumput liar, hama dan pathogen (McClintock, 2005). Rosella merupakan herba tahunan yang dapat hidup dengan kondisi tahan cuaca serta suhu apapun, akan tetapi di setiap daerah yang berbeda akan menghasilkan warna yang berbeda pula (Wahida, 2008). d) Kandungan kimia Kandungan penting yang terdapat pada kelopak bunga rosella adalah pigmen antosianin yang membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksidan. Flavonoid rosella terdiri dari flavonols dan pigmen antosianin. Pigmen antosianin ini yang membentuk warna ungu kemerahan menarik di kelopak bunga maupun teh hasil seduhan rosella. Secara kimia antosianin merupakan turunan struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi dan glikosilasi (Harborne, 2005). Antosianin adalah senyawa yang bersifat amfoter, yaitu memiliki kemampuan untuk bereaksi baik dengan asam maupun dengan basa. Dalam media asam antosianin berwarna merah, dan pada media basa berubah menjadi ungu dan biru (Man, 1997). Zat lain yang tak kalah penting terkandung dalam rosella adalah kalsium, niasin, riboflavin dan besi yang cukup tinggi. Kandungan zat besi pada 12 kelopak segar rosela dapat mencapai 8,98 mg/100 g, sedangkan pada daun rosela sebesar 5,4 mg/ 100 g. Selain itu, kelopak rosella mengandung 1,12% protein, 12% seratkasar, 21,89 mg/ 100 g sodium, vitamin C, dan vitamin A. R OH HO O + R' OH Aglikon Sianidin Peonidin Delfinidin Petunidin Malvidin Pelargonidin R OH OCH3 OH OCH3 OCH3 H R’ H H OH OH OCH3 H OH Gambar 3. Struktur umum antosianin (Ali, 2009) Senyawa golongan flavonoid termasuk senyawa polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar pula. Beberapa pelarut yang bersifat polar diantaranya etanol, air, dan etil asetat (Delgado, 2003). e) Khasiat tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah tanaman yang sudah banyak dikenal dan dimanfaatkan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Bagian yang dimanfaaatkan dari tanaman ini adalah bunganya yang berwarna merah. Untuk di Indonesia, bunga rosella lebih banyak dikenal sebagai bunga yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan teh herbal, atau dibeberapa daerah disebut sebagai teh merah. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tumbuhan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai minuman yang menyegarkan, sedangkan pemanfaatannya lainnya masih terbatas sebagai bahan pewarna makanan dan kosmetik (Mazza dan Miniati, 1993). Rosella memiliki potensi 13 sebagai antioksidan alami dalam medicinal plants of the world (Ross, 2003) berhubungan dengan kandungan antosianin pada kelopak bunga Rosella. 5. Maserasi Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dengan diluar sel. Larutan yang konentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan didalam sel dan larutan diluar sel (Ansel, 1989). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, et al., 2011). Berdasarkan penelitian oleh Setyowati., dkk, metode maserasi dengan variasi pengadukan setiap 1 jam menghasilkan rendemen lebih besar daripada metode maserasi dengan variasi pengadukan sesekali. Hal ini disebabkan kontak 14 yang lebih sering terjadi antara sampel dan pelarut dengan adanya pengadukan yang kontinyu. Semakin banyak pengadukan maka semakin banyak desakan antara pelarut dengan sel pada sampel sehingga semakin banyak senyawa organik yang terlarut dalam pelarut. 6. Nanoemulsi Dengan Metode Self Emulsification Emulsi dapat dibedakan menjadai emulsi konvensional, mikroemulsi dan nanoemulsi berdasarkan ukuran partikel fase terdispersi, stabilitas dan kenampakannya. Emulsi konvensional memiliki ukuran partikel yang lebih besar, yaitu ≥ 100 nm, mikroemulsi dan nanoemulsi yang memiliki ukuran partikel sangat halus, yaitu < 25 nm untuk mikroemulsi dan < 100 nm untuk nanoemulsi (Rao and McClements, 2011b ; Ziani dkk., 2012). Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemanfaatan nanoteknologi dalam formulasi obat dan kosmetik telah menjadi perhatian utama para peneliti karena dapat mengatasi kelemahan penetrasi beberapa agen terapi. Nanoemulsi (disebut juga sebagai mikroemulsi dalam beberapa publikasi) merupakan suatu sistem yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul umumnya kurang dari 100 nm. Nanoemulsi merupakan teknik nanoteknologi dengan sistem pembawa (carrier) dimana pada teknik ini obat akan dienkapsulasi sehingga selain mampu meningkatkan luas permukaan juga terjadi peningkatan stabilititas (Rao and Shao, 2008). Nanoemulsi ekstrak bunga rosella akan dibuat menggunakan metode nanoemulsifikasi spontan (Self Emulsification). Self Emulsification merupakan campuran isotropik minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang ketika diaduk ringan 15 dengan air akan membentuk nanoemulsi minyak dalam air secara spontan. Sistem ini stabil secara termodinamika dengan ukuran globul dalam rentang sekitar 50 nm. Ukuran globul yang kecil ini menjamin efisiensi absorpsi yang tinggi di samping fakta bahwa minyak akan diabsorpsi lebih efektif (Rao and Shao, 2008). Pemilihan eksipien merupakan faktor kritis dalam formulasi sediaan farmasi. Untuk sediaan topikal di kulit, eksipien yang digunakan harus tidak iritatif, toksik, dan menyebabkan sensitisasi serta alergi pada kulit. Minyak merupakan salah satu eksipien yang paling penting dalam formulasi nanoemulsi/ nanoemulsi ini. Minyak untuk nanoemulsi dapat digunakan trigliserida rantai panjang dan rantai sedang dengan kejenuhan yang berbeda ataupun minyak sayur termodifikasi. Minyak dengan nilai HLB (hydrophilicliphophilic balance) relatif tinggi akan dapat membentuk nanoemulsi dengan lebih baik. Begitu pula dengan surfaktan, di mana direkomendasikan digunakan surfaktan dengan HLB relatif tinggi, di samping bersifat nonionik. Surfaktan nonionik dipilih karena relatif kurang toksik dibanding surfaktan ionik (Kyatanwar dkk., 2010 dan Rao and Shao, 2008). Produksi nanoemulsi optimum membutuhkan konsentrasi surfaktan yang relatif tinggi (umumnya lebih dari 30% b/b) sehingga perlu diturunkan dengan menggabungkan surfaktan dengan kosurfaktan/kosolven. Surfaktan dan kosurfaktan bekerja untuk menurunkan tegangan antarmuka hingga mencapai nilai yang negatif untuk sementara waktu. Pada kondisi ini, antarmuka akan membentuk globul terdispersi yang halus dan selanjutnya mengadsorpsi lebih banyak surfaktan dan kosurfaktan sampai ruahan fase terdispersi habis untuk 16 membuat nilai tegangan antarmuka positif kembali. Proses ini dikenal dengan “emulsifikasi spontan” membentuk nanoemulsi (Kyatanwar dkk., 2010). Proses nanoemulsifikasi spontan terjadi dengan adanya sifat spesifik minyak, surfaktan, dan kosurfaktan, konsentrasi dan rasio minyak-surfaktankosurfaktan serta suhu pembentukan nanoemulsi spontan. Dengan demikian hanya kombinasi yang sangat spesifik dari eksipien yang dapat membentuk sistem nanoemulsi spontan (Pouton, 1985 dan Kyatanwar dkk., 2010). a. Minyak Fase minyak memiliki peran penting dalam formulasi nanoemulsi karena menentukan spontanitas emulsifikasi, ukuran tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat. Biasanya minyak yang digunakan untuk nanoemulsi merupakan minyak yang mampu melarutkan obat secara maksimal. Selain mampu melarutkan obat, minyak harus mampu menghasilkan ukuran tetesan yang kecil agar dapat terbentuk nanoemulsi (Wulandari, 2013). Minyak juga merupakan komponen penting yang berperan sebagai pembawa obat yang bersifat hidrofobik, membantu self-emulsifying dari nanoemulsi dan meningkatkan absorbsi pada saluran gastrointestinal karena mampu meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik (Gursoy dan Benita, 2004). Pemilihan fase minyak ini sangat penting karena akan menentukan pemilihan bahan lainnya. Penggunaan lebih dari satu komponen minyak misalnya campuran minyak nabati dan trigliserida rantai menengah dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan drug loading dan emulsifikasi (Date et al., 2010). 17 Dalam penelitian ini, fase minyak yang digunakan adalah minyak nabati yaitu VCO (Virgin Coconut Oil) yang memiliki rantai trigliserida sedang yang sering digunakan dalam pengembangan desain nanoemulsi. Selain itu, VCO juga mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi terkait dengan tingginya kandungan fenol di dalamnya (Marina dkk., 2009). VCO memiliki beberapa keunggulan, yaitu kandungan asam lemak jenuhnya tinggi, dan berat molekulnya rendah (Rindengan dan Novarianto, 2004). b. Surfaktan Surfaktan atau singkatan dari surface active agents merupakan komponen penting untuk formulasi nanoemulsi karena dibutuhkan untuk membuat emulsi dan ukuran tetesan nanoemulsi yang stabil saat kontak dengan air. Konsentrasi surfaktan berperan dalam pembentukkan tetesan berukuran nanometer (Dixit & Nagarsenker, 2008). Nilai HLB yang digunakan dalam formulasi nanoemulsi berkisar antara 8-16. Semakin tinggi nilai HLB maka kelarutan obat semakin meningkat (Vilas dkk, 2014). Struktur rantai alkil surfaktan memiliki efek dalam penetrasi minyak ke lapisan surfaktan yang memungkinkan pembentukkan nanoemulsi (Rao & Shao, 2008). Surfaktan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Tween 80. Gambar 4. Struktur kimia Tween 80 (Rowe dkk., 2009) 18 Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26. Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. HLB Tween 80 adalah 15 sehingga bagus untuk dijadikan surfaktan dalam nanoemulsi. Larut dalam air dan etanol dan tidak larut dalam minyak mineral karena merupakan surfaktan nonionik hidrofilik. Memiliki toksisitas rendah sehingga banyak digunakan dalam industri makanan kosmetik, serta formulasi obat oral dan parenteral sebagai emulgator emulsi minyak dalam air yang stabil. Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai: zat pembasah, emulgator, dan peningkat kelarutan (Rowe, 2009). Tween 80 juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi (Akhtar, et al., 2011). Tween 80 dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan medium sekaligus membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam medium (Martin et al., 1993). c. Kosurfaktan Kosurfaktan ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan drug loading pada sistem nanoemulsi, kelarutan surfaktan dalam minyak, kemampuan spontanitas surfaktan untuk membentuk sistem nanoemulsi, mempercepat emulsifying time, mengatur ukuran nanoemulsi dan stabilitas nanoemulsi dengan cara menyelipkan dirinya di antara surfaktan serta bertindak sebagai kosolvent (Patel dkk., 2011a; Benita, 2006; Makadia, 2013). Kosurfaktan yang umumnya digunakan pada formulasi nanoemulsi adalah alkohol rantai pendek yang dapat 19 menurunkan tegangan antarmuka dan membentuk nanoemulsi secara spontan. Kosurfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah PEG 400. H O H n O Gambar 5. Struktur kimia potongan PEG 400 (Attwood dkk., 2008) Polietilenglikol 400 adalah polietilen H(O-CH2- CH2)nOH dimana harga n antara 8,2 dan 9,1. Pemerian polietilenglikol 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis tidak bewarna, bau khas lemah, agak higroskopik. Kelarutan PEG 400 adalah larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon alifatik. Bobot molekul rata-rata: 380-420. Kandungan lembab: sangat higroskopis walaupun higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul, titik beku: 4-8oC (Raymond, 2006). Sekilas PEG tampak seperti molekul yang sederhana. PEG tersedia dalam bentuk lurus maupun bercabang dalam berbagai ukuran, larut dalam air terutama dalam pelarut organik. Meskipun tampak sederhana molekul ini merupakan fokus dari banyak kepentingan dalam masyarakat di bidang bioteknik dan biomedis. Hal ini dikarenakan sifat PEG yang sangat efektif di lingkungan yang berair. Sifat ini diartikan sebagai penolakan protein, pembentukan dua fase sistem polimer yang berbeda. Selain itu, polimer tidak bersifat racun dan tidak membahayakan protein aktif atau sel walaupun polimer sendiri berinteraksi dengan membran sel. Hal ini 20 tergantung pada penyiapan modifikasinya secara kimia dan keterikatannya pada molekul lain dan permukaan. Ketika melekat pada molekul polimer lainnya memiliki pengaruh pada sifat kimia dan kelarutan molekul tersebut. (Attwood, dkk., 2008) 7. Nanoemulgel Nanoemulgel diformulasi dengan cara menambahkan nanoemulsi ke basis gel dengan pengadukan terus menerus. Nanoemulgel dapat berpenetrasi dengan baik di permukaan kulit, dapat meningkatkan stabilitas dan viskositas dari nanoemulsi sehingga dapat digunakan untuk sistem penghantaran secara secara topikal (Singh RP dkk, 2014). Sediaan gel memiliki beberapa keterbatasan terutama untuk obat yang bersifat hidrofobik. Sediaan nanoemulgel dibuat untuk mengatasi kelemahan tersebut. (Khullar et al., 2011). Nanoemulgel yang digunakan untuk topikal memiliki banyak sifat yang menguntungkan, seperti tiksotropik, tidak berminyak, mudah menyebar, mudah dihilangkan, lunak, tidak meninggalkan noda, larut air, tahan lama, ramah lingkungan, transparan dan memiliki bentuk yang menyenangkan (Stanos, 2007). Keuntungan dari sediaan emulgel adalah (Pathan et al., 2011): a. Mampu membawa obat atau senyawa yang bersifat hidrofob. Sebagian besar obat yang bersifat hidrofob tidak dapat bercampur dengan basis gel karena tidak dapat larut dengan air dan banyak masalah yang timbul selama pelepasan obat. 21 b. Stabilitas baik. Sediaan transdermal yang lain lebih tidak stabil dibandingkan dengan emulgel, contohnya adalah krim yang mudah mengalami inversi atau breaking. c. Loading capacity baik. d. Produksi mudah dan murah. Sediaan emulgel sangat memungkinkan untuk diproduksi karena langkah-langkah pembuatannya sangat singkat dan mudah. Pembuatan sediaan emulgel tidak memerlukan alat-alat khusus dan bahan-bahannya mudah didapat dan lebih murah. e. Pelepasan terkontrol. Emulgel dapat memperpanjang efek obat yang mempunyai waktu paruh sempit. Sediaan nanoemulgel yang tergolong sediaan semi solid perlu dilakukan evaluasi atau pengujian sediaan untuk mengetahui stabilitas dan sifat fisik dari sediaan nanoemulgel yang telah dibuat. Evaluasi sediaan nanoemulgel diantaranya: 1. Uji organoleptis Uji organoleptis merupakan pengujian sediaan dengan menggunakan pancaindra untuk mendiskripsikan bentuk atau konsistensi (misalnya padat, serbuk, kental, cair), warna (misalnya kuning, coklat) dan bau (misalnya aromatik, tidak berbau) (Anonim, 2000). 2. Uji nilai pH Prinsip uji derajat keasaman (pH) yakni berdasarkan pengukuran aktivitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter (Anonim, 2004). 22 3. Uji viskositas Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas, akan makin besar tahanannya (Martin dkk, 1993). 4. Uji penghamburan atau daya sebar Uji penghamburan diartikan sebagai kemampuan untuk disebarkan pada kulit. Penentuannya dilakukan dengan Extensometer. Caranya yakni salap dengan volume tertentu dibawa ke pusat antara dua lempeng gelas, lempeng sebelah atas dalam interval waktu tertentu dibebani oleh peletakan dari anak timbang. Permukaan penyebaran yang dihasilkan dengan menaiknya pembebanan menggambarkan suatu karakteristik untuk daya hambur (Voigt, R., 1994). 8. VCO Virgin coconut oil (VCO) adalah minyak kelapa hasil ekstraksi tanpa menggunakan panas yang menyebabkan perubahan komposisi ataupun karakteristik minyak (APCC, 2009). Menurut Setiaji dan Proyugo (2006), Virgin Coconut Oil (VCO) atau Minyak Kelapa Murni minyak kelapa yang terbuat dari daging kelapa. Virgin Coconut Oil (VCO) adalah salah satu bahan pangan sumber lemak yang sekarang ini banyak diminati orang karena khasiatnya bagi kesehatan. Virgin Coconut Oil (VCO) tidak mudah tengik karena kandungan asam lemak jenuhnya tinggi sehingga proses oksidasi tidak mudah terjadi. Bau tengik disebabkan karena asam lemak terlepas dari trigliserida. Jika asam lemak mengandung ikatan rangkap mudah sekali teroksidasi menjadi aldehid maupun 23 keton yang menyebabkan bau tengik (Ketaren, 1986). Bila kualitas VCO rendah, proses ketengikan akan berjalan lebih awal (Retno dkk, 2007). Kandungan utama VCO adalah 10% asam lemak tak jenuh dan 90% asam lemak jenuh. Asam lemak jenuh rantai sedang atau Medium Chain Fatty Acid (MCFA) pada VCO tersusun 40-50% asam laurat (Rowe dkk., 2009). Beberapa asam lemak rantai sedang, terutama asam laurat, diklaim memiliki sifat bakterisidal atau mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Villarino dkk, 2007). VCO memiliki beberapa keunggulan, yaitu kandungan asam lemaknya tinggi, komposisi lemak rantai mediumnya tinggi, dan berat molekulnya rendah (Rindengan dan Novarianto, 2004). Kandungan asam lemak utama dalam VCO, yakni asam laurat (51,23%), asam miristat (17,13%), asam palmitat (7,30%), dan asam oleat (5,42%) bersifat melembutkan kulit. VCO dapat dikembangkan sebagai bahan pembawa sediaan obat, sebagai peningkat penetrasi karena adanya asam-asam lemak tersebut dan sebagai pelembab pada kulit karena dapat meningkatkan hidrasi pada kulit (Setiaji dan Surip,2006). 9. Simplex Lattice Design (SLD) Simplex lattice design adalah metode yang cocok untuk prosedur optimasi formula dimana jumlah total dari bahan yang berbeda adalah konstan. Pelaksanaan metode simplex lattice design yaitu dengan mempersiapkan formulasi yang bervariasi terdiri dari kombinasi bahan tambahan (Bolton, 1997). 24 Menurut Bolton (1997), persamaan matematika yang dapat menggambarkan simplex lattice design adalah linear, quadratic, dan special cubic model. Bentuk persamaan tersebut yaitu : a. Linear model Y = β1X1+β2X2+β3X3 b. (1) Quadratic model Y = β1X1+β2X2+β3X3+β12X1X2+β13X1X3+β23X2X3 c. (2) Special cubic model Y = β1X1+β2X2+β3X3+β12X1X2+β13X1X3+β23X2X3+β123X1X2X3 (3) Keterangan : X1, X2, X3 = fraksi campuran homogen β1β2β3 = koefisien regresi Implementasi dari simplex lattice design dengan cara menyiapkan bermacam-macam formulasi yang mengandung kombinasi yang berbeda dari variasi bahan. Kombinasi disiapkan dengan satu cara yang mudah dan efisien, sehingga data percobaan dapat digunakan untuk memprediksi respon yang berada dalam simplex (simplex space). Hasil eksperimen digunakan untuk membuat persamaan polynomial (simplex) dimana persamaan ini dapat digunakan untuk memprediksi profil respons (Bolton, 1997). Untuk dua komponen atau faktor persamaan yang digunakan adalah : Y = a(A) + b(B) + ab(A)(B) Keterangan: Y A, B a, b, ab (4) = respon (hasil percobaan) = kadar komponen dimana (A) + (B) = 1 = koefisien yang dapat dihitung dari hasil percobaan (Bolton dan Bon, 2004). 25 F. LANDASAN TEORI Ekstrak kering tanaman Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) menjadi bahan utama dalam sediaan nanoemulgel tabir surya dan antioksidan karena rosella mengandung antosianin yang merupakan pigmen alami pemberi warna merah dan mempunyai sifat antioksidan yang kuat (Maryani dan Kristiana, 2007). Penelitian oleh Yusraini dan Nurlela (2011) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan pada rosella sangat tidak stabil dipengaruhi oleh lama penyimpanan, lama penyinaran oleh sinar matahari dan lampu, lama waktu penambahan oksidator, dan nilai pH. Faktor-faktor tersebut dapat membuat aktivitas antosianin dan zat warna pada rosella menjadi tidak stabil. Nanoemulsi merupakan teknik nanoteknologi dengan sistem pembawa (carrier) di mana pada teknik ini obat akan dienkapsulasi sehingga mampu meningkatkan luas permukaan dan juga meningkatkan stabilitas (Rao dan Shao, 2008). Nanoemulsi adalah sistem emulsi (minyak terdipersi dalam air, atau air terdispersi dalam minyak) yang stabil secara termodinamika dengan bantuan surfaktan, dan memiliki ukuran globul dalam rentang nanometer (Escobar dkk.,2012). Minyak yang dipilih dalam penelitian ini adalah VCO (Virgin Coconut Oil) yang memiliki rantai trigliserida sedang dan sering digunakan dalam pengembangan nanoemulsi karena VCO tidak mudah teroksidasi dan memiliki pelarutan yang baik (Patel dkk, 2011). Sediaan tabir surya dan antioksidan yang terbuat dari bahan nanoemulgel dipilih karena tiksotropik, tidak berminyak, mudah menyebar, mudah dihilangkan, lunak, tidak meninggalkan noda, larut air, tahan lama, ramah lingkungan, 26 transparan dan memiliki bentuk yang menyenangkan (Stanos, 2007). Nanoemulgel diformulasi dengan cara menambahkan nanoemulsi ke basis gel dengan pengadukan terus menerus. Gelling agent dapat meningkatkan viskositas sehingga nanoemulsi dapat digunakan untuk pengobatan secara transdermal (Singh, 2014). G. HIPOTESIS 1. Ekstrak bunga rosella dapat diformulasikan menjadi sediaan nanoemulsi yang homogen dan jernih serta memiliki nilai SPF dengan menggunakan minyak VCO, Tween 80 dan PEG 400 yang dibuat dengan menggunakan metode nanoemulsi spontan. 2. Formula nanoemulsi optimum memiliki sifat fisik yang baik dan dapat dibuat menjadi sediaan nanoemulgel dengan menggunakan gelling agent (karbopol). 3. Sediaan nanoemulgel ekstrak bunga rosella memiliki aktivitas antioksidan dan tabir surya. 27