Disini - CLEAR

advertisement
Center for Legislacy, Empowement, Advocacy, and Research yang selanjutnya
disebut CLEAR adalah lembaga sosial yang bersifat independen dan bergerak dalam
bidang kajian dan penelitian. Sejak didirikan pada tanggal 31 Juli 2009 silam di
Jakarta, CLEAR memiliki fokus kajian dengan ruang lingkup legislasi dan
peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum. Secara struktural CLEAR
merupakah salah satu unit kerja dibawah yayasan PALAPPA dengan pendirian akta
notaris Nomor: C-06.HT.03.01-Th.2006, tanggal 7 Februari 2006. Dalam langkah
kontributifnya, selain penelitian CLEAR juga berpartisipasi langsung dalam
melakukan advokasi bagi para pencari keadilan (justitiabelen), serta berfungsi pula
sebagai sarana sumbangsih pemikiran untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang beradab, berbudi pekerti luhur, berpendidikan, berwawasan, sebagai sarana
untuk mendorong meningkatkan kesadaran hukum, dan pengabdian kepada
masyarakat. Tujuan dari CLEAR adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang berwawasan luas, berbudaya nusantara, mandiri, sejahtera lahir dan batin
serta mewujudkan negara yang bersih, adil dan demokrasi dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sasaran
CLEAR adalah melakukan kajian ilmiah untuk memberikan suatu pandangan
terhadap peningkatan peran Lembaga Eksekutif agar terwujudnya good governance,
mendorong peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi pengawasan,
legislasi dan anggaran, serta mendorong peningkatan integritas lembaga Yudikatif
dalam peradilan yang bersih dan membangun Civil Society yang sadar akan hak dan
tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research
Jl. Wolter Monginsidi No. 88 A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Indonesia
Phone/Fax: (021) 7257775
[email protected]
ii
Adalah terbitan publikasi ilmiah berkala dari Center for Legislacy, Empowerment,
Advocacy, and Research (CLEAR) berupa karya-karya tulisan dari pemuda-pemudi
dan masyarakat Indonesia. Adanya jurnal ini dimaksudkan sebagai sarana bertukar
informasi, gagasan, dan kajian tentang permasalahan dan dinamika sosial yang
pernah maupun sedang terjadi, terutama di bidang hukum. Penerbitan ini memuat
tulisan ilmiah yang didasarkan pada kajian komprehensif dari para Penulis dan
telah dimuat setelah melalui proses penyuntingan oleh Redaksi tanpa mengubah
substansi sesuai naskah aslinya. Tulisan dalam penerbitan ini sepenuhnya
merupakan pendapat dan tanggung jawab dari Penulis, dan tidak mewakili
pendapat CLEAR.
iii
Volume 1, Januari 2017
Dewan Pakar
Dr. Amir Syamsuddin, S.H., M.H.
Dra. Halida Nuriah Hatta, M.A.
dr. Niniek Purnomo
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.
Drs. Muhammad Idris Luthfi, M.Sc.
Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.
Dewi Novirianti, S.H., LL.M.
Adhitya Chandra Wardhana, Ph.D.
Penanggung Jawab Redaksi
Gandjar Laksmana Bonaprapta, S.H., M.H.
Pemimpin Umum
Abdul Salam, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Rafli Fadilah Achmad, S.H.
Redaktur Pelaksana
Firman Adi Prasetyo
Staf Redaksi
Azam Hawari
Boghi Megananda
Ilma Sulistyani
Desain Grafis dan Tata Letak
Adrianus Eryan
Alamat Penerbit
Jl. Wolter Monginsidi No. 88 A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12170
iv
SAMBUTAN REDAKSI
Assalamualaikum wr. wb.
Redaksi Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy and Research
(CLEAR) bersyukur karena Jurnal SOMASI telah sampai ke tangan pembaca yang
budiman.
Tahun 2016 merupakan tahun yang membahagiakan bagi CLEAR, karena
banyak pencapaian yang telah dilalui CLEAR, yang merupakan lembaga yang
bergerak dalam bidang kajian dan penelitian dengan ruang lingkup legislasi dan
peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum, dalam upayanya mengabdi
kepada bangsa Indonesia mengawal lalu lintas dalam dunia hukum kembali ke jalan
yang benar sesuai dengan tagline CLEAR yakni “Law back on the track”.
Salah satu pencapaian CLEAR tahun ini yakni untuk pertama kalinya berhasil
menerbitkan Jurnal SOMASI. Output berupa jurnal yang diterbitkan kepada
khalayak umum yang diharapkan dapat menjadi sebuha peringatan, atau somasi,
kepada pemerintah dari masyarakat dalam menerapkan suatu kebijakan karena
Indonesia adalah negara hukum dimana segala kebijakan yang diambil wajib
berdasarkan hukum serta diharapkan dapat menjadi upaya untuk mengawal
pemerintah dalam mengambil kebijakan yang ideal untuk kepentingan bersama.
Jurnal SOMASI edisi pertama ini diharapkan juga mampu memberikan
edukasi kepada seluruh pembaca yang budiman, serta mohon dukungannya kami
juga akan terus mengadakan acara kompetisi jurnal serupa di Tahun 2017
mendatang, dengan mengadakan acara seperti ini redaksi dan tim selalu berharap
bahwa CLEAR selalu dapat mengawal penyelenggara pemerintahan kedepannya.
Redaksi selalu terbuka menerima saran dan kritik untuk kemajuan jurnal somasi
edisi berikutnya.
Mari kita sambut tahun baru 2017 dengan semangat dan harapan baru untuk
Indonesia. Seluruh jajaran redaksi mengucapkan Selamat Natal tahun 2016 bagi
pembaca yang merayakannya dan Selamat Tahun Baru 2017.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Redaksi dan Tim
v
DAFTAR ISI
Jurnal Somasi .........................................................................................................................
i
Tentang CLEAR .....................................................................................................................
ii
Susunan Redaksi ..................................................................................................................
iii
Kata Pengantar......................................................................................................................
iv
Sambutan Redaksi ...............................................................................................................
v
Strategi Pejabat Publik di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Untuk
Menjadi Bos Lokal: Pergerakan Fuad Amin Sebelum Tahun 2015
Vita Rachim Yudhani, Muhammad Fadiel Sinaga, dan Sukabuji Abdullah
..................................................................................................................................................... 1-18
Pencegahan White Collar Crime Melalui Kebijakan Nonpenal
Hilal Ramdhani ..................................................................................................................... 19-31
Larangan Penahanan Sewenang-Wenang Ditinjau dari Hak atas
Keadilan
Lady Arianita ......................................................................................................................... 32-47
Rebranding Sistem Pemilu
Florianus Apung ................................................................................................................... 48-55
Ikhtiar Memutuskan Mata Rantai Korupsi dengan Penguatan
Demokrasi
Sififaldus Foya dan Antonius Octaviano Susabun ................................................... 58-72
vi
STRATEGI PEJABAT PUBLIK DI BANGKALAN, MADURA, JAWA TIMUR,
UNTUK MENJADI BOS LOKAL: PERGERAKAN FUAD AMIN SEBELUM
TAHUN 2015
Abstract
“Reformasi 1998” that occurred in Indonesia becomes the driving factor in
the ever-expanding regional government authority. The authorization is
obtained from the implementation of the decentralization policy which is
stronger than before. As well as positive, it was found to have a negative
impact. One example is the local public officials that use the
decentralization policy as justification for the accumulation of wealth and
power actions. The authors take Fuad Amin who was a Public Official in
Madura, East Java as case study. Fuad Amin who ever stand as Bupati
Bangkalan and Kepala Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan
before being arrested by the Komisi Pemberantasan Korupsi in 2015 did
a lot of deviations. They were done by using many instruments, so, he was
named the "Local Boss". To analyze this case, the authors use local
bossism theory from John Sidel with qualitative method.
Keywords: accumulation of power and wealth, local boss,
decentralization
Kata kunci: akumulasi kekuasaan dan kekayaan, bos lokal,
Desentralisasi
Vita Rachim Yudhani, 081284972483, [email protected]
Muhammad Fadiel Sinaga, 082368750802, [email protected]
Sukabuji Abdullah, 081290889618, [email protected]
Program Sarjana Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Depok, Jawa Barat
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1998 yang telah
memimpin selama 32 tahun menjadi salah satu titik balik sistem pemerintahan
negara ini. Era Soeharto telah menggambarkan sistem sentralisasi yang sangat jelas
terlihat dimana apapun keputusan yang dibuat baik di pusat dan daerah bahkan
untuk pemimpin daerah pun secara tidak langsung pun merupakan titipan dari
pemerintah pusat. Namun, upaya reformasi yaitu upaya perubahan sistem pada
akhirnya mampu menjatuhkan rezim Suharto. Keberhasilan reformasi tersebut
kemudian membuat perubahan yang mendasar mengenai wewenang daerah. Pada
akhirnya daerah bisa mengatur urusan rumah tangganya sendiri baik pemimpin
daerah, anggaran daerah dan lainnya atau desentralisasi.
Desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah ini
diharapkan mampu membuat daerah mampu berkembang ke arah yang lebih baik
lagi. Namun, pada kenyataannya dapat dilihat sejauh desentralisasi diberlakukan
kinerja dari pemerintah daerah tidak bisa dianggap lebih baik dibanding ketika era
Soeharto. Justru muncul pemimpin-pemimpin yang seperti Soeharto dimana
mereka berusaha untuk terus mempertahankan kekuasannya dengan cara-cara
yang ilegal. Pemimpin daerah juga membuat daerah yang ia pimpin sebagai lahan
untuk menambah kekayaan dengan cara-cara pencucian uang ataupun pemanfaatan
pemberian izin pengelolahan sumber daya alam.
Banyak contoh pemimpin daerah yang melakukan praktik-praktik seperti
diatas, salah satu yang bisa kita lihat adalah kasus yang terjadi di Kabupaten
Bangkalan, Jawa Timur yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Bangkalan yaitu Fuad Amin—kini jabatan tersebut dilepaskan
sementara dari Fuad Amin1. Ia terjerat dalam kasus suap jual-beli gas alam di
Bangkalan yang mempunyai potensi Sumber Daya Alam baik yang berbentuk bahan
galian C dan bahan galian A seperti Minyak dan Gas (MIGAS).2 Fuad Amin ditangkap
langsung di Bangkalan dengan dugaan menerima suap dari PT Media Karya Sentosa
melalui direkturnya, Antinio Bambang Djatmiko, dan mendapatkan bukti uang
sebesar Rp 700 juta.3
Selain kasus diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga
membuktikan beberapa modus korupsi yang dilakukan Fuad Amin. Beberapa
diantaranya adalah Jual Beli SK CPNS, Jatah 10 Persen APBD serta pencucian uang.
Ahmad Faisol, “Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Diberhentikan Sementara”,
http://surabaya.tribunnews.com/2015/05/07/ketua-dprd-bangkalan-fuad-amindiberhentikansementara, diakses pada 18 Mei 2015.
2 Situs resmi Kabupaten Bangkalan bagian Penanaman Modal dan Kerjasama di bidang
Pertambangan,
http://www.bangkalaninvestment.com/content.asp?kat=pote&id=13&tabfoto=potepetm&isi=Pote
nsi%20Pertambangan, diakses pada tanggal 25 April 2015.
3
Musthofa Bisri, “Fee Proyek ‘Mainan’ Fuad Amin Sejak Jadi Bupati,”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626374/Fee-Proyek-Mainan-Fuad-AminSejak-Jadi-Bupati, diakses pada tanggal 25 April 2015.
1
2
Motif pencucian uang yang dilakukan Fuad Amin pun sangat beragam seperti
menggunakan nama kerabat dalam membuka rekening dan juga membeli polis
asuransi.
Kepemimpinan dua periode Fuad Amin menjadi Bupati Bangkalan periode
2014-2019 tidak lepas dari caranya mempertahankan kekuasaan. Beberapa cara
yang digunakannya adalah dengan menggunakan simbol “Kyai” atau “RA” di Madura
dan juga penggunaan preman atau di Madura dikenal dengan istilah blater. Kyai dan
blater menjadi kunci penting yang dilakukan Fuad Amin dalam menjaga
kekuasaannya di Bangkalan. Kyai atau RA merupakan julukan yang sangat penting
dalam masyarakat Madura, Jawa Timur. Julukan Kyai menjadi nilai besar untuk
mengambil suara masyarakat Madura khususnya masyrakat Nahdatul Ulama (NU)
karena dianggap sebagai sosok yang agamis serta layak dijadikan panutan. Kyai
yang diterima oleh Fuad Amin sendiri tak lepas dari Ayahnya yang juga sebagai Kyai
di Bangkalan serta yang paling utama yaitu kakeknya Kyai Haji Syaikhona Kholil
atau Mbah Kholil merupakan wali yang sangat dihormati di Bangkalan.
Cara lain yang digunakan adalah dengan memanfaatkan peranan blater atau
preman juga cukup menarik dalam upaya politis yang dilakukan oleh Fuad Amin.
Blater, selain menjadi objek, untuk bisa mengintimidasi masyarakat juga
dimasukkan Fuad Amin dalam sistem birokrasi di Bangkalan sehingga dia dapat
dengan mudah mengontrol masyarakat di Bangkalan. Akan tetapi, apakah
pemanfaatan kyai dan blater menjadi satu-satuya cara atau strategi Fuad Amin
untuk berkuasa di Bangkalan?
Atas penjabaran diatas, tulisan ini berargumen bahwa Fuad Amin tidak
hanya memiliki satu strategi untuk berkuasa di Bangkalan, Jawa Timur. Penulis
memiliki hipotesis bahwa Fuad Amin menggunakan tiga strategi untuk
mempertahankan dan memperluas kekuasaannya di Bangkalan, Jawa Timur. Tiga
strategi tersebut akan dijabarkan secara komprehensif dalam bagian Pembahasan
makalah ini.
Rumusan Pertanyaan
Permasalahan dan argumentasi yang dijabarkan diatas merupakan dasar
Penulis dalam meneliti strategi pertahanan kekuasaan Fuad Amin di Bangkalan,
Jawa Timur terutama dalam ranah ekonomi tingkat lokal. Oleh karena itu,
pertanyaan penelitian yang diajukan Penulis adalah “bagaimana strategi Fuad Amin
dalam menjadikan dirinya seorang Bos Lokal di Bangkalan, Jawa Timur?”
Tujuan Penelitian
Tujuan Penulis meneliti pertanyaan ini adalah:
1. Mengidentifikasi strategi Fuad Amin dalam rangka mempertahankan
kekuasaan dan dominasinya di Bangkalan, Jawa Timur
2. Melihat relevansi Teori Local Bossism yang diformulasikan oleh John Sidel
dengan kasus Fuad Aamin sebagai bos lokal di Bangkalan, Jawa Timur
3
Tinjauan Pustaka
Teori Local Bossism oleh John Sidel
Teori Local Bossism (Bosisme Lokal) yang diformulasikan oleh John Sidel
merupakan hasil dari kritiknya terhadap teori Local Strongmen (Orang Kuat Lokal)
yang dibuat oleh Joel Migdal. Ada dua kritik utama yang ditujukan untuk Migdal.
Pertama, Sidel berpendapat bahwa pada realitas, struktur negara justru membuat
kondisi yang dapat membangkitkan, mempertahankan, dan menyukseskan ‘orang
kuat lokal’.4 Argumen tersebut berbeda dengan Migdal yang mengatakan bahwa
negara berada dalam posisi yang lemah. Lalu, kritik kedua dari Sidel adalah Migdal
tidak melihat bahwa ‘orang kuat lokal’ ternyata dapat mendorong perluasan pasar
dan proses pertumbuhan industri—sebab, mereka juga ingin mengambil
keuntungan atasnya.5
Kedua kritik diatas adalah fondasi awal dari teori Bosisme Lokal. Sidel
mengatakan bahwa:
“Orang Kuat Lokal adalah ‘bossisme lokal’ yang mempertahankan
jejaring politik yang telah terjalin lama untuk memperoleh monopoli
kontrol atas masyarakat melalui penguasaan sumber-sumber
ekonomi dan kekuatan koersif dalam yurisdiksi teritorial kekuasaan
mereka di era demokrasi”6
Dapat dikatakan bahwa Sidel melihat fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme
tersebut direfleksikan dari kekuatan negara dibandingkan dengan kekuatan sosial.
Sederhananya, tujuan utama para bos lokal adalah monopoli kontrol masyarakat.
Cara untuk mendapatkannya adalah melalui pertahanan jejaring politik dengan
menguaai sumber-sumber ekonomi dan kekuatan koersif yang berada di teritori
kekuasaan bos lokal tersebut.
Kritik yang diajukan oleh Sidel didasarkan pada penelitiannya pada tiga
Negara, di Asia Tenggara yaitu Filipina, Thailand, dan Indonesia. Fenomena bos lokal
diketiga Negara tersebut memiliki sedikit perbedaan, karena faktor sosial-kultural.
Salah contohnya adalah mengenai sifat masyarakat sipil. Sidel mengatakan, “neither
in the Philippines nor in Thailand do we find evidence of the strong community, class,
ethnic, and religious identities found in Indonesia”.7 Meski berbeda, secara umum,
teori yang dibuat oleh Sidel dinilai masih relevan dengan kondisi politik lokal
Indonesia.
John Sidel, Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and Indonesia: Towards an
Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’ dalam Harriss, John, Kristian Stokke dan
Olle Tornquist, Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization, (New York:
Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 53.
5 Ibid.
6 Melvin Perjuangan Hutabarat, Fenoena “Orang Kuat Lokal” di Indonesia Era Desentralisasi
Studi Kasus tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi, (Tesis Program Pascasarjana Ilmu
Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hlm. 20.
7 Sidel dalam John Harriss, Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Op cit., hlm.73
4
4
Fenomena bos lokal di Indonesia dapat dikategorikan melalui dua masa,
yaitu Orde Baru dan Reformasi. Pengkategorian ini didasari oleh penjabaran Sidel
dalam kajiannya berjudul ‘Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and
Indonesia: Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’ yang
memang memisahkan keduanya. Di masa Orde Baru, menurut Sidel, implikasi dari
pengorganisasian kekuasaan negara sangat jelas, yaitu kemungkinan untuk
munculnya ‘orang lokal kuat’ sangat kecil.8 Alasan utama yang dikemukakan oleh
Sidel adalah otoritas pemerintah pusat—terutama Soeharto dan jajaran
eksekutifnya—yang dapat memilih penempatan orang-orang terdekat dalam
jabatan structural pemerintah daerah. Kondisi tersebut, ternyata memunculkan
mafia. Sidel menyebut bos lokal pada masa Orde Baru dengan ‘mafia lokal’, sebab
mereka memiliki tujuan untuk menguasai dan memonopoli sumber daya.
Fenomena ‘mafia lokal’ diatas berubah pada saat masa Reformasi dimulai,
terutama Kebijakan Desentralisasi yang ternyata menjadi gerbang bagi mafia atau
bos lokal untuk mempertahankan atau meluaskan kekuasannya. Sidel mengatakan,
“… with democratisation and decentralisation, such local powerbrokers were given
unprecedented opportunities to ‘capture’ state offices and agencies”.9 Dari pernyataan
tersebut, Sidel menilai bahwa ada kecenderungan bahwa para bos local bertindak
sebagai broker (perantara) pemerintah pusat, sebab kepentingan keduanya selalu
bertemu dalam rangka mengambil keuntungan.
Peran bos lokal di Indonesia berbeda dengan Filipina dan Thailand. Sebab,
Indonesia memiliki pola bos lokal yang berbeda. Sidel mengatakan:
“It is also abundantly clear that something rather different from the
pattern of local ‘bosses’ in the Philippines and Thailand has crystallised
in Indonesia: local power does not seem to be monopolised by individual
‘strongmen’ or ‘dynasties’ … in Indonesia appears to be associated with
loosely defined, somewhat shadowy, and rather fluid clusters and cliques
of businessmen, politicians, and officials.”10
Sidel berpendapat bahwa bosisme lebih menampilkan peran elit local sebagai
penguasa broker politik yang memiliki monopoli kontrol terhadap kekuatan koersif
dan sumber daya ekonomi di territorial kekuasaan mereka. Bosisme bekerja dalam
fatamorgana rezim lokal daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos
partai, pengusaha, militer, dan ‘preman’. Aktor-aktornya memang merupakan
birokrat, tentara, pengusaha, orang kaya, dan semua orang yang menguasai sebuah
arena di dalam masyarakat itu sendiri. Keberadaan mereka mempercepat legitimasi,
dukungan, ketergantungan, ketakutan, dan hubungan ‘patron-klien’.
Untuk memudahkan kita dalam menyusun kerangka berpikir dan
menganalisa bos lokal, Melvin Perjuangan Hutabarat membuat tabulasi tentang bos
lokal dengan variabel pembandingnya adalah ‘orang kuat lokal’ dalam tesisnya.
Berikut tabelnya:
Ibid., hlm. 61.
Ibid., hlm. 67.
10 Ibid., hlm. 69.
8
9
5
Tabel Perbandingan ”Orang Kuat Lokal” dan ”Bossisme Lokal”11
No.
Unsur
Pembanding
Orang Kuat Lokal (Joel
Migdal)
Bossisme Lokal (John SIdel)
1
Kontrol atas
masyarakat
Simbol, hadiah, dan
hukuman
Politik uang dan kekerasan
2
Lokasi
penelitian
Negara baru merdeka
Filipina, Thailand, dan
Indonesia
3
Latar
belakang
ekonomi
Selalu orang kaya
Tidak selalu orang kaya
(1) kegagalan pemerintah
dalam memberikan
kesejahterakan rakyat
(2) kebutuhan ekonomi
yang kongkret dan
langsung dibutuhkan
(3) ketimpangan sosial
yang tinggi
(4) kelangkaan akses
terhadap kebutuhan
pokok
Proses
pembentukan
fragmentasi masyarakat
dan indepedensi antar
organisasi sosial di
negara baru merdeka
Aktor
Tuan tanah, kepala suku,
panglima perang,
pemimpin klan, dan
pemimpin tradisional
Kepala daerah, legislator,
mantan komandan militer, dan
pengusaha
6
Kekuasaan di
tingkat lokal
Tersebar kepada
implementator/birokrat
lokal (negara), politisi
lokal, dan orang kuat
lokal
Terpusat kepada seoarang bos
lokal dengan birokrat dan
milisi sebagai mesin politik
7
Hubungan
dengan
pemerintah
pusat
Terkadang bermusuhan
dan terkadang bersekutu
dengan negara
Bersekutu dan menjadi proker
pemerintah pusat
4
5
11
Melvin Perjuangan Hutabarat, Op cit., hlm. 31-32.
6
8
Kontribusi
terhadap
pertumbuhan
ekonomi dan
industri
9
Afiliasi partai
politik
Tidak berafiliasi
Berpindah-pindah dari Partai
Nasionalis ataupun Liberal
tergantung patron elit pusat
10
Reproduksi
kekuasaan
Keturunan langsung
tanpa melalui mekanisme pemilihan umum
Keturunan langsung dan
krooni melalui mekanisme
pemilihan umum
Menghambat industrialisasi dan pertumbuhan
ekonomi
Mendorong dan bersifat positif
terhadap pertumbuhan
ekonomi dan industrialisasi
Sumber: Melvin Perjuangan Hutabarat, Fenomena “Orang Kuat Lokal” di Indonesia Era
Desentralisasi Studi Kasus tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi, (Tesis
Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2012), hlm. 31-32.
METODE
Dalam penelitian ini, metodologi yang digunakan adalah kualiatif. Metode
kualitatif bersifat deduktif, sebab penggunaan alur logikanya dimulai dari persoalan
umum yang seiring dengan proses, akan masuk ke dalam persoalan yang lebih
khusus, contohnya seperti akibat dari permasalahan yang sedang diteliti.12 Untuk
menjalani metode ini, cara yang digunakan adalah peneliti melakukan eksplorasi
atas masalah yang diangkat. Penggunaan metode ini sangat aplikatif terhadap
permasaalahan yang peneliti angkat, sebab mendorong Peneliti untuk mencari
banyak data yang diperlukan.
Hal yang penting dalam metodologi adalah pengumpulan data. Dalam
peneltian ini, penulis menggunakan data sekunder. Untuk mendapatkannya, Penulis
melakukan pemberlajaran dokumen (artikel berita, koran, dan surat-surat
kenegaraan) atau studi literatur (buku-buku yang terkait dengan topik, koran,
jurnal, dan makalah) untuk memperkuat data yang telah didapatkan.13
PEMBAHASAN
Pemanfaatan Status Blater dan Kyai
Blater dan Fuad Amin
Masyarakat Madura dan Bangkalan pada khususnya, selalu erat dengan
kekerasan dan religiusitas. Dua hal yang bertentangan namun hidup berdampingan
12 John W. Creswell (terj.), Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
Method edisi 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 76 dan 147.
13 Ibid., hlm. 267-270.
7
di Madura. Kekerasan di Madura biasanya dilakukan dengan istilah carok yang bisa
melukai dan bahkan membunuh lawannya. Biasanya masyarakat Madura
melakukan carok dengan alasan harga diri serta kehormatannya merasa diganggu
atau dilukai.14 Kemudian orang-orang yang melakukan carok atau kekerasan
tersebut pun akan dipanggil sebagai seorang blater.
Blater yang biasanya berasal dari golongan santri dan orang-orang yang
mempelajari kitab kuning ini memiliki sejarah yang panjang di Madura. Mulai dari
masa kerajaan, masa penjajahan hingga kepemimpinan Suharto blater tetap
digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan mengambi alih kekuasaan
dengan cara kekerasan.15 Jatuhnya rezim Soeharto pun pada akhirnya membuat
blater semakin berjaya, jika selama ini mereka hanya menjadi bawaan dan pesuruh,
sekarang blater menguasai tanah mereka sendiri mulai menjadi Kepala Desa,
menjadi pengusaha dengan mendirikan Commanditaire Vennontschap (Persekutuan
Komanditer) dan bahkan menjadi bupati, sehingga Fuad Amin yang dijuluki
masyarakat sebagai Kiai Blater.16
Fuad Amin sebagai Kiai Blater yang kemudian terpilih sebagai Bupati melalui
mekanisme pemilihan umum (Pemilu) sesuai sesuai apa yang disampaikan John
Sidel sebagai syarat lokal boss. Dalam pemilihan Bupati pun blater sangat aktif
dilibatkan. Blater biasanya memiliki akses yang sangat dekat dengan masyarakat
sehingga melalui blater dapat dilakukan dukungan-dukungan yang terselubung.
Blater juga siap melakukan apapun bahkan mempertaruhkan nyawanya demi
loyalitasnya kepada orang yang didukungnya.17 Selain untuk kepentingan sendiri,
dia juga membantu memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk
pasangan Soekarwo-Syaifullah yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada tahun 2008. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan putusan sidang MK nomor
41/PHPU.D-VI/2008s. Dimana putusan tersebut menunjukkan adanya pelanggaran
di Kabupaten Bangkalan yang terjalan secara sistematis hingga harus dilakukan
pengungutan suara ulang.18 Fuad Amin dengan kekuasaannya menggerakan para
blater untuk memobilisasi suara dengan segala cara hingga pasangan tersebut
menang telak di Bangkalan. Kasus yang kemudian diangkat ke Mahkamah Konsitusi
(MK) dan kemudian terbukti terjadi pelanggaran pada Pilkada 2008 di daerah
tersebut.19 Selain dalam proses pemilihan, pelibatan blater juga melakukan
kekerasan terhadap orang-orang yang melawannya serta menempatkan para blater
sebagai klebun atau kepala desa.
Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi,
(Yogyakarta: IRE Press, 2006), hlm. 67.
15 Ibid., hlm. 71-79.
16 Ibid., hlm. 83.
17 M. Imam Zamroni, “Dinamika Elit Lokal Madura”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, (Depok,
LabSosio FISIP-UI), hlm. 33.
18 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 mengenai permohonan
keberatan atas keputusan KPU provinsi Jawa Timur tahun 2008 tanggal 11 November 2008,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=41%2FP
HPU.D-VI%2F2008, diakses pada tanggal 15 Mei 2015.
19
Anonim,
“Luruhnya
Mitos
Fuad
Amin”,
http://nasional.sindonews.com/read/933267/16/luruhnya-mitos-fuad-amin-1417741612,
diakses pada tanggal 26 April 2015.
14
8
Ekspresi kekerasan pun sering terlihat dalam berkomunikasi dengan lawan
politik Fuad Amin, atau bahkan mereka-mereka yang memprotes kebijakan Fuad
Amin seperti para mahasiswa dan lembaga swadaya masyrakat (LSM). Pada
beberapa kasus demonstrasi misalnya, Fuad Amin tidak segan-segan untuk
menyuruh anggotanya melakukan pembacokan terhadap koordinator lapangan di
tengah jalan.20 Hal tersebut cukup menggambarkan usaha-usaha represif yang
dilakukan oleh Fuad Amin untuk menjadi bos lokal. Dengan menggunakan
kekerasan yang diperantarakan kepada para blater, Fuad Amin dapat membendung
protes-protes dari masyarakat sehingga posisinya sebagai penguasa tunggal tidak
tergoyahkan. Hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap banyaknya masyarakat
Bangkalan yang pergi ke luar kota karena keadaan politik dan sosial yang seperti itu.
Tidak adanya protes dari masyarakat tentunya juga akan memudahkan Fuad Amin
menguasai sumber daya yang di Bangkalan, melakukan korupsi serta menjadikan
keluarganya sebagai penguasa-penguasa di badan legislatif. Tidak hanya dengan
kekerasan secara langsung, Fuad Amin juga menggunakan blater sebagai kepala
desa yang bisa digunakan sebagai alat intimidasi yang lebih halus kepada
masyarakat secara langsung.
Selama menjadi Bupati Bangkalan, Fuad Amin biasanya dengan sesuka hati
mengganti para klebun atau kepala desa. Bahkan Fuad Amin biasanya tidak
melantik para kepala desa atau disebut dengan pelaksana sementara. Hal ini
bertujuan untuk menempatkan orang-orangnya sesuka hati sebagai kepala desa
yang rata-rata berasal dari golongan blater.21 Seperti halnya Bupati beberapa
masyarakat di daerah Madura yang rawan konflik dan sering terjadi corak lebih
mendukung pengangkatan blater untuk menjadi kepala desa mereka. Hal ini
bertujuan untuk memberi rasa aman dari gangguan serta konflik yang meresahkan.
Namun, pada sisi lain blater yang menjadi kepala desa tersebut menjadi sewenangwenang dan tidak bisa dikritik oleh masyarakat.22 Penunjukan blater sebagai kepala
desa oleh Fuad Amin pada hakikatnya untuk memudahkan dia memberikan
intimidasi kepada masyarakat, memberikan proyek kepada para blater supaya yang
menguasai proyek-proyek kecil agar terjadi timbal balik yang saling memberi
keuntungan kepada kedua belah pihak.23
Memasukkan para blater yang pada dasarnya adalah preman ke dalam
struktur birokrasi memang cukup menarik. Fuad Amin melihat bahwa jika hanya
dengan melakukan kekerasan secara langsung dan mengintimidasi masyarakat
untuk tidak melawan saja tidak cukup. Fuad Amin perlu menempatkan orangorangnya untuk terjun langsung ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang
biasa bersentuhan dengan masyarakat. Dengan cara tersebut Fuad Amin bisa
mengontrol dari level paling rendah hingga ke level tertinggi. Masyarakat di desaNaufal
Istikhari,
“Runtuhnya
Dinasti
Bangkalan”,
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9978/Runtuhnya-Dinasti-Bangkalan, diakses pada
tanggal 26 April 2015.
21
Abdus
Sair,
“Kejatuhan
Penguasa
Bangkalan”,,
http://koranjakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=25679, diakses pada tanggal 26 April
2015.
22 Zamroni, Op cit.
23 Abdus Sair, Loc cit.
20
9
desa tersebut pun diharapakan dapat patuh dan takut kepada blater yang diangkat
sebagai kepala desa sementara. Pemberian proyek pun dapat dilihat sebagai politik
balas budi untuk tetap bisa mengontrol para blater yang diangkat menjadi kepala
desa tersebut. Dengan hal-hal seperti itu semakin memantapkan posisi Fuad Amin
sebagai lokal boss yang sangat sulit untuk bisa digoyahkan.
Kyai dan Fuad Amin
Tokoh agama dalam politik lokal di Bangkalan, Jawa Timur memiliki peran
penting, khususnya para kyai. Eksistensi mereka tidak diragukan dan memiliki
pengaruh terhadap masyarakat. Golongan kyai juga merupakan instrumen yang
vital dalam pengorganisasian dominasi Fuad Amin di Bangkalan, Jawa Timur. Alasan
yang mendukung pernyataan tersebut adalah fakta bahwa Fuad Amin adalah cicit
Syaikhona Kholil, seorang ulama (kyai) pada abad ke-19 yang sangat dihormati oleh
masyarakat Bangkalan dan Jawa Timur, bahkan di seluruh Indonesia.24 Selain itu,
Ayah Fuad Amin yang bernama Amin Imron juga merupakan seorang kyai—
disamping menjadi politisi.25 Jadi, salah satu faktor yang membuat Fuad Amin
mendapat status Kyai—selain menempuh pendidikan bermetode Islamis—adalah
latar belakang keluarganya yang merupakan keluarga kyai.
Status Fuad Amin yang seorang Kyai ditambah merupakan seorang trah
langsung dari Kyai Syaikhona Kholil, menurut penulis, membuatnya dapat memiliki
hubungan baik dengan golongan kyai. Sehingga, dukungan dari golongan kyai
merupakan salah satu legitimasi Fuad Amin untuk berkuasa di Bangkalan, Jawa
Tmur. Akan tetapi, jika merujuk kembali ke Teori Bosisme Lokal, maka golongan
kyai tidak dapat dikategorikan sebagai kekuatan koersif. Sebab,cara yang menekan
mental dan fisik secara keras seperti blater tidak digunakan oleh para kyai. Mereka
cenderung menggunakan ajakan persuasif.
Ajakan persuasif diatas dilakukan dengan mengajak warga Bangkalan untuk
melakukan kegiatan keagmaan yang diselingi dengan ceramah oleh Kyai. Salah satu
contoh nayatanya adalah deklarasi dukungan. Para Kyai dapat menyatukan suara
untuk pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada Pemilu Presiden 2014
yang lalu. Mereka mengajak kurang lebih 1.200 orang untuk melakukan deklarasi
dukungan untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut.26 Meski
tidak disebut secara eksplisit, dalam acara deklarasi tersebut, kami meyakini bahwa
pada kata sambutan para Kyai ada ajakan-ajakan untuk mendukung pasangan
Naufal
Istikhari,
“Runtuhnya
Dinasti
Bangkalan”,
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9978/Runtuhnya-Dinasti-Bangkalan, diakses pada 26
April 2015.
25 Anonim, “RKH. FUAD AMIN IMRON Tapak Tilas Ketua Suku Adat Madura Menuju Gedung
Parlemen”,
http://koransuararakyat.org/ksr/2014/03/rkh-fuad-amin-imron-tapak-tilasketuasuku-adat-madura-menuju-gedung-parlemen/, diakses pada tanggal 29 April 2015.
26
Musthofa
Bisri,
“1.200
Kiai
Bangkalan
Dukung
Prabowo-Hatta”,
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/31/269581347/1200-Kiai-Bangkalan-DukungPrabowo-Hatta, diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
24
10
Prabowo-Hattta. Jadi, tujuannya adalah memobilisasi suara pada saat masa
pemilihan umum.
Dalam argumen Penulis, salah satu contoh ajakan persuasif diatas, dalam
kasus Fuad Amin. Pada tahun 2003, Fuad Amin terpilih menjadi Bupati Bangkalan
dan terpilih lagi untuk periode selanjutnya di tahun 2008. Masa penjabatan sebagai
Bupati Bangkalan selama sepuluh tahun itu, tidak lepas dari pengaruh Kyai. Hal
tersebut diperkuat oleh Sidel bahwa, “the role of traditional Islamic teachers (ulama
or kyai) in mobilising votes – and since 1999 winning seats in local assemblies – is one
obvious example, most notably in the East Java and pasisir (north coastal) strongholds
of Nahdlatul Ulama (NU)”.27 Dari pernyataan Sidel tersebut, dapat dilihat bahwa
para kyai menggunakan basis NU untuk meningkatkan suara. Peran NU sangat
signifikan sebab mereka—Fuad Amin dan para Kyai—berafiliasi langsung dengan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari dua contoh nyata diatas, kita dapat melihat bahwa kyai memiliki
peranan penting di Bangkalan, Jawa Timur. Pengaruh mereka yang besar juga turut
dipengaruhi oleh sosio-kultur masyarakat. Dalam konteks tersebut, masyarakat
terutama santri, sangat memberikan hormat pada Kyai. Sehingga, apa yang
dikatakan oleh Kyai akan diyakini dan dilakukan oleh santri dan masyarakat.
Penggunaan Institusi Politik
Selama dua periode berturut turut, tahun 2003 dan 2008, Fuad Amin
menjabat sebagai Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Hal tersebut tak lepas dari peran
partai pengusung yang kuat mendominasi Kabupaten Bangkalan, yakni Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang anggotanya berbasis organiasasi Masyarakat Islam
Nahdatul Ulama (NU). Mereka memiliki jumlah massa NU yang besar sehingga
menjadi dominan di Jawa Timur, khususnya Kabupaten Bangkalan di Pulau Madura.
Madura tetap bagian yang tak terpisahkan dari budaya patronase kyai NU,
walaupun Ia berada diluar Jawa Timur. NU dengan struktur organisasinya yang
tradisionalis, tak lepas dari sistem patron-kliennya yang khas. Terutama dalam
memutuskan sikap politiknya, sebagian besar lebih cenderung kolektif karena pola
patron klien tersebut.28 Hal ini pun tercermin dalam kuatnya NU di Bangkalan dan
ditandai dengan mayoritas Kyai-kyai yang berada di Pulau Madura sebagian besar
berafiliasi dengan NU, sehingga secara tidak langsung, ini berpengaruh bagi suara
PKB—yang selalu unggul di Jawa Timur dari pemilu 1999 hingga 2014. Keuntungan
seperti ini dimanfaatkan betul oleh Fuad Amin yang notabene adalah Cicit dari tokoh
Madura yakni Kyai Cholil Bangkalan.29
Sidel dalam John Harriss, Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Op cit., hlm. 68.
Martin Van Bruinesseni, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan pencarian wacana baru,
(Yogyakarya: LKIS, 1994), hlm. 6.
29
Dhuha Hadiansyah, “Fuad Amin, Cicit Mbah Kholil dan Aib Trah Kyai”,
http://m.nasional.rimanews.com/hukum/read/20141203/185578/Fuad-Amin-Cicit-Mbah-Kholildan-Aib-Trah-Kyai, diakses pada tanggal 15 Mei 2015.
27
28
11
Fuad Amin yang merupakan Kader PKB, menjabat Ketua Dewan Pengurus
Cabang (DPC) PKB Bangkalan pada saat ia terpilih menjadi Bupati Bangkalan selama
dua periode berturut-turut. Di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2003 oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ia terpilih karena dapat mengalahkan
Imam Buchori. Lalu Pilkada tahun 2008, ia mencalonkan kembali dengan
pasangannya—Syafik Rofii dari partai yang sama—dan akhirnya terpilih kembali
dengan mengalahkan pasangan Abdul Hamid Nawawi-Hosyan Muhammad (PPP),
dan H. Muhammadong-KH Rozak Hadi (Partai Demokrat- PDI Perjuangan).
Kemenangan diatas ialah pengaruh dari golongan kyai. Fuad Amin sendiri,
sebenarnya, secara tidak langsung mendapat status kyai yang diberikan secara
turun-temurun dari keluargaanya terutama. Status tersebut membuat ia di hormati
oleh masyarakat Bangkalan dan golongan Kyai. Dengan demikian, Fuad Amin sudah
memiliki modal penting dari kondisi sosial-budaya, sehingga dia memilih partai
pengusungnya yakni PKB, yang tak lain partai terkuat—setidaknya di Bangkalan
dan Jawa TImur—untuk meraih kekuasannya di Bangkalan. Terbukti dengan
keberhasilannya menjabat Bupati Bangkalan selama dua periode berturut-turut.
Fenomena kuatnya pengaruh relasi Fuad Amin, golongan kyai, PKB, dan NU ini
berlanjut pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, Seiring dengan pergantian
kepemimpinan di tubuh PKB itu, ia mengalihkan haluan politiknya bergabung
dengan Partai Gerindra.30 Dan karena sosoknya yang kuat di Bangkalan akhirnya itu
ia pun berhasil terpilih sebagai anggota DPRD Bangkalan pada pemilu tahun 2014,
dan melesat menjadi ketua DPRD Bangkalan.
Dalam perjalanan politiknya dibangkalan, Fuad Amin ternyata tidak hanya
menggunakan status kyai-nya tersebut untuk meraup dukungan suara. PKB
sekalipun memang benar-benar hanya dijadikan sebagai kendaraan politiknya
untuk meraih kekuasaan, hal ini dilihat dengan kepindahan Fuad Amin ke partai lain
yakni Gerindra pada pemilu legislatif 2014. Alhasil Fuad Amin terpilih sebagai
anggota DPRD dan tak tanggung-tanggung, Gerindra menang telak di Bangkalan,
ditambah dengan ia terpilih sebagai ketua DPRD Kabupaten Bangkalan. Tidak hanya
sampai disana, fenomena ‘Fuad Amin effect’ ini berlanjut ke Pemilu Presiden 2014,
dimana pasangan calon Presiden dan Wakil Preseiden nomor urut 1, Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa, menang telak 100% suara di 17 TPS kabupaten Bangkalan
dan Sampang dari hasil rekapitulasi KPUD Bangkalan. Sedangkan, pasangan capres
dan cawapres nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak mendapat 1 suara
pun.31
Jauh sebelum Fuad Amin menjadi ketua DPRD, memang perjalanan
politiknya penuh dengan kontroversi, kekuasaan dari Fuad Amin sendiri sudah
terlihat sejak awal terpilih sebagai bupati Bangkalan, pengaruhnya kuat dan dengan
segala latar belakangnya sebagai orang terhormat dan turunan kyai, dibalik itu ia
cukup ditakuti oleh masyarakat Bangkalan sendiri, karena kekuasaan dan
30
Abdul
Azis,
“Mantan
Bupati
Bangkalan
Daftar
Caleg
Gerindra”,
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/109193/mantan-bupati-bangkalan-daftarcaleggerindra, diakses pada tanggal 15 Mei 2015.
31
Didi
Purwadi,
“Jokowi-JK
Dapat
'Nol
Suara'
di
TPS
Bangkalan”,
http://m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/07/13/n8lzi7-jokowijk-dapat-nolsuaradi-tps-bangkalan, diakses pada tanggal 28 Mei 2015.
12
wewenangnya kuat tak bisa dipungkiri lagi hubungannya dengan Blater sangat kuat.
Blater sendiri adalah elite pedesaan yang memiliki social origin dan tradisi yang
berbeda dengan tradisi kyai, dibesarkan dalam kultur jagoanisme yang dekat
dengan ritus kekerasan.32 Keberadaan blater sendiri sudah mengakar diseluruh
wilayah Madura khususnya bangkalan, dengan sendirinya jalinan hubungan blater
dengan pemerintah akan terbentuk.
Belum ada pembuktian empiris yang menjelaskan hubungan antara Fuad
Amin dengan blater. Namun dengan melihat kuatnya peran blater di pulau Madura,
hubungan blater dengan golongan kyai sangat kuat, apalagi dengan institusi
pemerintahan. Secara otomatis Fuad Amin yang notabene adalah Bupati memiliki
kedekatan dengan blater itu sendiri. Blater sendiri dalam aktivitasnya selalu
menggunakan cara-cara fisik bahkan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya,
tentu dengan sikap seperti ini akan dimanfaat dengan betul oleh penguasa, dalam
hal ini Fuad Amin baik sebagai Bupati atau Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan untuk
memudahkan urusan-urusan teknis pelaksanaan kebijakan.
Lawan politik Fuad Amin di Bangkalan selama ia menduduki sebagai Bupati
ataupun terakhir sebagai Ketua DPRD tak terlihat ada perlawanan berarti bahkan
tak ada sama sekali, ada dua alasan utama mengapa operasionalisasi Fuad Amin saat
berkuasa, tidak ada hambatan politik (oposisi). Pertama Eksistensi kekuatan blater
dan kyai yang kulturalis hubungan sangat dekat dengan pemerintahan, karakter
represif blater memungkinkan Fuad Amin memiliki backing yang cukup kuat
menghadang lawan yang akan berkonfrontasi dengannya. Sedangkan status kyai di
Bangkalan merupakan status yang sangat dihormati dan disegani, Fuad Amin yang
telah menyandang status sudah dipastikan masyarakat menghormati segala
keputusannya karena ia adalah “kyai”. Kedua adapun pesaing Fuad Amin dalam
perpolitikannya hanya sebatas pada pemilu atau pemilukada, artinya sepanjang
pemerintahannya tak ada mosi-mosi dan protes tertentu yang mengkritik kebijakan
Fuad Amin dipemerintahan. Kalaupun ada hanya gerakan demonstasi mahasiswa
yang berujung penembakan seperti yang dijelaskan sebelumnya, pesaingnya di
Pemilukada baik 2003 hingga 2008 tak terdengar mengkritik pemerintahan Fuad
Amin, karena masing masing dari calon sudah memahami kultur budaya pemerintah
bangkalan yang dekat dengan blater dan apalagi Fuad Amin sebagai Kyai.33
Penguasaan Sumber-Sumber Ekonomi
Sumber-sumber ekonomi ternyata sering dijadikan sebagai alat untuk bisa
mempertahankan kekuasaan para penguasa terkhusus penguasa di daerah. Seperti
yang disampaikan oleh John Sidel dalam teori bossism lokal dimana para bos lokal—
selain memonopoli kontrol terhadap kekuatan koersif—seorang bos lokal juga
memonopoli kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah teritorial
Rozak dan Masaki, Op cit.
Asumsi tersebut merupakan olahan dari sikap dari Dody Wisnu Pribadi yang menulis
tentang
“cerita
miris
bangkalan”
yang
ditulis
di
http://regional.kompas.com/read/2014/08/02/08181631/Cerita.Miris.dari.Bangkalan,
diakses
pada tanggal 15 Mei 2015.
32
33
13
mereka. Meskipun begitu, John Sidel juga melihat para bos lokal tetap berkontribusi
positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Dalam kasus ini akan
dilihat bagaimana Fuad Amin sebagai penguasa lokal Bangkalan dalam
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi serta bagaimana
caranya dalam memonopoli sumber-sumber daya alam dan ekonomi di Bangkalan.
Kondisi ekonomi Bangkalan sendiri cukup baik menurut data-data yang
disampaikan Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Kabupaten Bangkalan memiliki
nilai PDRB sekitar Rp. 6.066 Triliun pada tahun 2014 berdasarkan harga konstan
dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 4,62%.34 Pertumbuhan
ekonomi tersebut tidak lepas dari posisi Bangkalan yang strategis, kawasan
Bangkalan mencakup seluruh wilayah barat Pulau Madura dengan batas utara Pulau
Jawa, batas timur Kabupaten Sampang dan batas selatan Selat Madura. Kondisi
tersebut membuat Bangkalan memiliki potensi dan pertumbuhan ekonomi yang
cukup baik ditambah dengan adanya Jembatan Suramadu yang mempercepat laju
ekonomi Surabaya dan Madura. Kondisi tersebut pun semakin membuka peluang
investasi dari berbagai pihak khususnya untuk mengelolah potensi sumber daya
alam (SDA) yang ada di Bangkalan khususnya di bidang pertambangan.
Potensi SDA Pertambangan di Kabupaten Bangkalan memang cukup
beragam dan yang paling banyak yaitu bahan galian C dan A. Untuk bahan galian C
meliputi batu kapur, Phospat, Tanah liat, Pasir Kuarsa, Marmer, Dolomit, dan Pasir
Urug. Potensi-potensi tersebut pun beberapa diantaranya memiliki deposit
produksi hingga puluhan tahun. Untuk bahan galian A meliputi minyak dan gas bumi
(migas). Dari hasil eksplorasi yang telah dilakukan, potensi migas di wilayah darat
(on-shore) terdapat di 13 Kecamatan 113 Desa Eksplorasi sesuai Uji Sesmic-2D oleh
SMEC.
Hasil dari SDA yang cukup melimpah diatas, terutama gas alam, ternyata
disalahgunakan oleh Fuad Amin. Pada 2 Desember 2014, dia ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dijadikan tersangka atas dugaan suap dari
Direktur PT. Media Karya Sentosa, Antonio Bambang Djatmiko.35 Penangkapan
tersebut bertujuan untuk memeriksa transaksi jual-beli minyak dan gas antara PT.
Media Karya Sentosa dan Perusahaan Daerah Sumber Daya milik daerah Kabupaten
Bangkalan. Di awal waktu penangkapan Fuad Amin, Bambang Widjayanto yang
masih menjadi Komisioner KPK pada waktu itu, berkata bahwa KPK sudah
mencurigai bisnis PT. Media Karya Sentosa yang sejak 2007 ingin mendapat kontrak
pembelian gas dari PT. Pertamina EP.36
Pada kasus diatas, Fuad Amin berperan sebagai broker (perantara) antara
negara dan perusahaan swasta. Melalui perannya sebagai perantara, Ia berusaha
Situs resmi Kabupaten Bangkalan, Bagian Penanaman Modal dan Kerja sama,
http://www.bangkalaninvestment.com/content.asp?kat=gamb&id=1763238357&tabfoto=gamb&i
si=gambaran%20umum, diakses pada tanggal 25 April 2015.
35
Mustofa Bisri, “Fee Proyek, 'Mainan' Fuad Amin Sejak Jadi Bupati”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626374/Fee-Proyek-Mainan-Fuad-AminSejak-Jadi-Bupati, diakses pada tanggal 16 April 2015.
36
Maria Yuniar, “KPK Sasar Anak Fuad Amin, Mata Rantai Penerima”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626312/KPK-Sasar-Anak-Fuad-Amin-MataRantai-Penerima, diakses pada 16 April 2015.
34
14
mengambil keuntungan melalui proyek yang akan dilakukan oleh PT.Media Karya
Sentaosa. Posisinya sebagai pejabat publik di Bangkalan membuat Fuad Amin dapat
memainkan sumber daya ekonomi yang ada di Bangkalan untuk kepentingannya
sendiri. Sampai saat ini, belum ada pejabat publik di Bangkalan yang memiliki
dominasi atas sumber daya alam dan ekonomi di Bangkalan layaknya Fuad Amin.
Oleh karena itu, peran oposisi pebisnis di Bangkalan, Jawa Timur tidak terdengar
gaungnya.37
Kita dapat melihat bagaimana Fuad Amin memonopoli sumber daya di
Bangkalan dari data yang dikumpulkan oleh KPK dan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta pada sidang 7 Mei 2015 dan 13 Mei 2015.38 Pada awalnya,
PT. Media Karya Sentosa mengajukan permohonan alokasi gas bumi di Blok Poleng,
Bangkalan, Jawa Timur. Sementara itu, disaat yang bersamaan, Perusahaan Daerah
Sumber Daya (PDSD) juga menginginkan hal yang serupa. Jadi, dengan segala upaya
praktik politik—sampai saat ini belum terdeteksi bentuk dari upaya politik itu
selain lobi—Fuad Amin akhirnya juga memberikan dukungan untuk PT. Media
Karya Sentosa yang akan menyalurkan gas alam ke Gili Timur bersama dengan
perusahaan Kodeco Energy , Co. Ltd. Disini Fuad Amin memberikan arahan langsung
pada perjanjian antara konsorsium PT. Media Karya Sentosa dan Perusahaan
Daerah Sumber Daya, serta untuk melegitimasi dukungan, Fuad Amin memberikan
surat untuk Kodeco Energy , Co. Ltd. Akhirnya, melalui serangkaian cara tersebut
PT. Media Karya Sentaosa mendapat alokasi gas alam dari PT. Pertamina EP.
Pada kenyataan, pengerjaan proyek pembangunan pipa gas alam tersebut
tidak pernah berlangsung. Hanya sampai tahap wacana, namun, Fuad Amin tetap
menerima uang suap dari PT. Media Karya Sentosa. Pada rentang waktu 2009
hingga 2014, Fuad Amin terbukti menerima suap dari Antonio Bambang Djatmiko
sebesar 15,5 miliar rupiah.39 Uang tersebut tak hanya masuk ke kantung pribadi
Fuad Amin, namun juga ke Perusahaan Daerah Sumber Daya. Belum ada bukti yang
jelas mengenai uang yang masuk ke Perusahaan Daerah Sumber Daya tersebut
ditujukan untuk sesuatu hal.
Kita bisa melihat bahwa bos lokal seperti Fuad Amin, sebenarnya, juga
mendorong pertumbuhan ekonomi di Bangkalan, Jawa Timur Sebab, ia berusaha
memasukan perusahaan swasta ke dalam pengerjaan gas alam didaerahnya. Akan
tetapi, disaat yang bersamaan, ia juga berusaha untuk memperkaya diri sendiri
dengan menerima suap dari perusahaan swasta tersebut.
KESIMPULAN
Tidak ditemukannya bukti empiris atas oposisi pebisnis tersebut.
Aghnia Adzkia, “Siapkan 313 Saksi, Fuad Amin Minta Pindah Sidang ke Surabaya”,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513112829-12-53027/siapkan-313-saksifuadamin-minta-pindah-sidang-ke-surabaya/, diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
39 Aghnia Adzkia , “Dijerat 3 Kasus, Fuad Amin Jalani Sidang Perdana Hari Ini”,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150507085939-12-51756/dijerat-3-kasus-fuadaminjalani-sidang-perdana-hari-ini/, diakses pada tanggal 18 Maret 2015.
37
38
15
Fuad Amin memiliki tiga strategi untuk mempertahankan kekuasaannya di
Bangkalan, Jawa Timur. Tiga strategi tersebut, pertama, penggunaan symbol blater
dan kyai. Fuad Amin yang merupakan keturunan Kyai Kholil Bangkalan memiliki
hubungan yang baik dengan kyai-kyai di Bangkalan, sehingga terbangun jaringan
yang kuat. Kemudian, penggunaan peran blater dapat menekan masyarakat untuk
patuh dan tunduk, bahkan blater mampu mengintervensi institusi-institusi lembaga
politik, seperti misalnya mengatur KPPS, TPS hingga PPK; mempengaruhi DPRD,
terutama hubunganya dengan pemerintah daerah.
Hubungan Fuad Amin dengan struktur pemerintahan Bangkalan yang
tergambar diatas merupakan strategi kedua. Penggunaan struktur pemerintahan
Bangkalan tersebut Penulis simpulkan bahwa institusi politik juga merupakan cara
untuk menjadi bos lokal. Salah satu institusinya adalah partai politik. Fuad Amin
bahkan berpindah partai untuk lebih melancarkan strateginya.
Strategi ketiga adalah penguasaan sumber-sumber ekonomi di Bangkalan.
Fuad Amin menggunakan status blaternya sebagai alat bantu pemulus pelaksanaan
kebijakan di lapangan dalam usaha penguasan dan pengambilan sumber daya.
Selain itu, jabatan publiknya yang paling tinggi di Bangkalan membuatnya mudah
dalam mengurus langsung sumber ekonomi yang berupa sumber daya alam. Belum
ada oposisi pebisnis yang memiliki dominasi yang sama layaknya Fuad Amin.
Melihat kondisi di Bangakalan dimana Fuad Amin kemudian membuat
desentralisasi menunjukan sisi negatifnya, maka penting untuk melihat kembali
sistem desentralisasi di Indonesia. Pemerintah pusat perlu memberikan
pengawasan yang lebih ketat dalam melihat fenomena kepala daerah di setiap
daerah. beberapa kewenangan yang dianggap terlalu beresiko untuk diberikan
sepenuhnya ke daerah perlu dikajo ulang. meskipun hal tersebut memberikan
perdebatan kembali terhadap sistem desentralisasi Indonesia. contoh dalam
masalah izin pengelolahan SDA telah banyak kasus konflik yang terjadi baik pemdamasyarakat, pemda-pemerintah pusat dan juga berbagai tindak pidana KKN. pada
akhirnya pengawasan yang lebih ditinglatkan dan juga evaluasi beberapa
kewenangan penting untuk dilakukan. hal ini belum terlambat mengingat uu
otonomi kita pertama lahir pada tahun 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bruinesseni, Martin Van. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan pencarian wacana baru.
Yogyakarya: LKIS, 1994.
Creswell, John W. (terj.). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed Method edisi 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Harriss, John, Kristian Stokke dan Olle Tornquist. Politicising Democracy: The New
Local Politics of Democratization. New York: Palgrave Macmillan, 2005.
Masaaki, Okamoto dan Abdur Rozaki. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era
Reformasi, Yogyakarta: IRE Press, 2006.
16
Jurnal
Sidel, John. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite
and Cebu” dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4, November 1997.
Zamroni, M. Imam. “Dinamika Elit Lokal Madura” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat.
Depok: LabSosio FISIP-UI.
Tesis
Hutabarat, Melvin Perjuangan. Fenomena “Orang Kuat Lokal” di Indonesia Era
Desentralisasi Studi Kasus tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di
Jambi. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia. Jakarta, 2012.
Ardhiadi, Rekho. Pemekaran Daerah dan “Bossisme Lokal” (Studi Kasus Praktek
Kekuasaan Bupati Murman Effendi dalam Perkembangan Kabupaten Selama
Periode 2005-2011, Bengkulu). Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta, 2013.
Artikel Dalam Jaringan
Adzkia, Aghnia. “Dijerat 3 Kasus, Fuad Amin Jalani Sidang Perdana Hari Ini”,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150507085939-1251756/dijerat-3-kasus-fuad-amin-jalani-sidang-perdana-hari-ini/,
diakses
pada tanggal 18 Maret 2015.
____________. “Siapkan 313 Saksi, Fuad Amin Minta Pindah Sidang ke Surabaya”,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513112829-1253027/siapkan-313-saksi-fuad-amin-minta-pindah-sidang-kesurabaya/,
diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
Anonim, “RKH. FUAD AMIN IMRON Tapak Tilas Ketua Suku Adat Madura Menuju
Gedung Parlemen”, http://koransuararakyat.org/ksr/2014/03/rkh-fuadamin-imrontapak-tilas-ketua-suku-adat-madura-menuju-gedung-parlemen/,
diakses pada tanggal 29 April 2015.
Anonim. “Mantan Bupati Fuad Amin Nyalon DPRD Kabupaten”,
https://www.maduraterkini.com/berita-bangkalan/mantan-bupatifuadamin-nyalon-dprd-kabupaten.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2015.
Anonim,
“Luruhnya
Mitos
Fuad
Amin”
http://nasional.sindonews.com/read/933267/16/luruhnya-mitosfuadamin-1417741612, diakses pada tanggal 26 April 2015.
Azis,
Abdul. “Mantan Bupati Bangkalan Daftar Caleg Gerindra”,
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/109193/mantanbupatibangkalan-daftar-caleg-gerindra, diakses pada tanggal 15 Mei 2015.
17
Bisri, Musthofa. “Fee Proyek ‘Mainan’ Fuad Amin Sejak Jadi Bupati”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626374/Fee-ProyekMainan-Fuad-Amin-Sejak-Jadi-Bupati, diakses pada tanggal 16 April 2015.
_____________.
“1.200
Kiai
Bangkalan
Dukung
Prabowo-Hatta”,
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/31/269581347/1200-KiaiBangkalan-Dukung-Prabowo-Hatta, diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
Didi
Purwadi. “Jokowi-JK Dapat 'Nol Suara' di TPS Bangkalan”,
http://m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/07/13/n8lzi7jokowijk- dapat-nol-suara-di-tps-bangkalan, diakses pada tanggal 28 Mei
2015.
Faisol, Ahmad. “Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Diberhentikan Sementara”,
http://surabaya.tribunnews.com/2015/05/07/ketuadprd-bangkalan-fuadamin-diberhentikan-sementara, diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
Hadiansyah, Dhuha. “Fuad Amin, Cicit Mbah Kholil dan Aib Trah Kyai”,
http://m.nasional.rimanews.com/hukum/read/20141203/185578/FuadAmin-Cicit-Mbah-Kholil-dan-Aib-Trah-Kyai, diakses pada tanggal 15 Mei
2015.
Istikhari,
Naufal.
“Runtuhnya
Dinasti
Bangkalan”,
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9978/Runtuhnya-DinastiBangkalan diakses pada tanggal 26 April 2015.
Sair,
Abdur.
“Kejatuhan
Penguasa
Bangkalan”,
http://koranjakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=25679
diakses
pada tanggal 26 April 2015.
Situs resmi Kabupaten Bangkalan bagian Penanaman Modal dan Kerjasama di
bidang
Pertambangan,
http://www.bangkalaninvestment.com/content.asp?kat=pote&id=13&tabfot
o=pote-petm&isi=Potensi%20Pertambangan, diakses pada tanggal 25 April
2015.
Yuniar, Maria. “KPK Sasar Anak Fuad Amin, Mata Rantai Penerima”,
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626312/KPKSasarAnak-Fuad-Amin-Mata-Rantai-Penerima diakses pada tanggal 16 April 2015.
18
PENCEGAHAN WHITE COLLAR CRIME MELALUI KEBIJAKAN NONPENAL
Hilal Ramdhani
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
White-collar crime is still there in the community, the human tendency is never
enough in life to make violations of law become very vulnerable. White-collar
crime is too difficult to be understood by the common people, white-collar
offenders are very difficult to identify because they have access to the legality or
committed a crime. Criminology has a special section on white collar crime whose
perpetrators kejatahan explains that this is a people who never expected to
commit the crime by society. Losses caused by white collar crime have wider
effects than traditional crime, so that under Indonesian law and white collar crime
included in the category of extraordinary crimes, the prevention must involve the
public, law enforcement officers and government. The most appropriate action to
eliminate white collar crime is by nonpenal policy that emphasizes prevention
rather than punishment aspect.
Key Words: White Collar Crime, Criminology, Nonpenal Policy
ABSTRAK
Kejahatan kerah putih sampai saat ini masih ada di masyarakat, kecenderungan
manusia yang tidak pernah cukup dalam menjalani hidup membuat pelanggaran
hukum menjadi sangat rentan. Kejahatan kerah putih terlalu sulit untuk
dimengerti oleh masyarakat awam, pelaku kejahatan kerah putih sangat sulit
untuk diidentifikasi karena mereka mempunyai legalitas atau akses dalam
melakukan suatu kejahatan. Ilmu kriminologi mempunyai bagian khusus tentang
white collar crime yang menjelaskan bahwa pelaku kejatahan ini merupakan
orang-orang yang tidak pernah diduga akan melakukan tindakan kejahatan oleh
masyarakat. Kerugian yang diakibatkan oleh white collar crime mempunyai
dampak yang sangat luas daripada kejahatan tradisional, sehingga dalam hukum
Indonesia kejahatan kerah putih termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa,
yang pencegahannya harus melibatkan masyarakat, aparat penegak hukum dan
pemerintah. Tindakan yang paling tepat untuk menghapuskan white collar crime
yaitu dengan kebijakan nonpenal yang mengedepankan aspek pencegahan
daripada hukuman.
Kata Kunci: Kejahatan Kerah Putih, Krimonologi, Kebijakan Nonpenal
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
White collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat
tingkat atas yang telah merusak sendi-sendi keadilan pada aspek kehidupan yang
luas. Kejahatan ini mempunyai dampak publik yang besar, karena meyangkut
pelanggaran antitrust, pelanggaran sekuritas, penipuan konsumen, penipuan
perawatan kesehatan, dan pelanggaran lingkungan40.
Paradigma positivisme menjadi salah satu alasan kenapa hukum dan
penegakannya tertinggal, padahal white collar crime yang dalam wujud
eksistensinya adalah korupsi yang juga termasuk kejahatan luar biasa dalam hukum
positif indonesia41. Salah satu cara supaya rakyat dapat hidup sejahtera adalah
melalui penanggulangan korupsi yang termasuk bagian dari kejahatan kerah putih,
sehingga penanggulangan korupsi dapat menjadi awal penyelesaian berbagai krisis
di Indonesia42.
Pencegahan (preventif) merupakan jalan terbaik mengatasi kejahatan ini,
sebab upaya represif yang telah dilakukan sangat sulit diterapkan pasca terjadinya
kejahatan terutama terkait dengan korporasi. Upaya pencegahan dalam kejahatan
korupsi menurut Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, yaitu: a. Pemerintahan
terbuka (keterbukaan informasi), dan; b. Laporan kekayaan. Pernyataan keuangan
harus mengungkapkan setidak-tidaknya semua sumber penghasilan pejabat yang
bersangkutan, seperti aset perusahaan, kemitraannya atau badan usaha apa pun
yang dimilikinya. Laporan itu juga mempertanyakan semua sumber penghasilan
suami atau istri atau anak yang menjadi tanggungannya yang tinggal bersama
dengan pejabat, berbagai pemberian/hadiah yang diterimanya, kapanpun ketika
pejabat memegang jabatannya43.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana makna yuridis white collar crime di Indonesia?
2. Seperti apa masalah penanganan white collar crime di Indonesia?
3. Bagaimana kebijakan nonpenal white collar crime?
J. Mitchell Miller, 21th Century Criminology A Reference Handbook, (California: SAGE
Publications Inc, 2009), hlm. 552-555.
41 Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari, Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia:
Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1, 2016.
42 Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi,
2006), hal. 2.
43 Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, Government, Ethics, and Managers,
Penyelewengan Aparat Pemerintahan, (Bandung: Remaja Rosalakarya Bandung, 1999), hal.109-111.
40
20
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kesadaran pada masyarakat
bahwa kejahatan yang perlu menjadi prioritas untuk dihilangkan adalah kejahatan
yang dilakukan oleh masyarakat tingkat atas, karena kejahatan tersebut mempunyai
dampak yang sangat besar daripada kejahatan tradisional seperti perampokan,
pembunuhan, pencopetan dan kejahatan lainnya yang cara pelakunya bersentuhan
langsung dengan korban. Sehingga penelitian ini mempunyai kegunaan baik dalam
aspek teoritis maupun praktis, dalam aspek teoritis akan menambah khazanah
pengetahuan mengenai suatu kejahatan, sedangkan pada aspek praktis pemerintah
dapat membuat suatu kebijakan yang dapat menghilangkan white collar crime di
Indonesia.
Tinjauan Pustaka
a. Definisi
Menurut Sutherland, kriminal kelas atas diabaikan oleh pemerintah dan
masyarakat umum karena pelaku tidak sesuai dengan sterotipe umum pidana.44
Sutherland mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai karakteristik kejahatan
yang berasal dari kalangan yang mempunyai status sosial yang tinggi, kekuatan, dan
kehormatan.45 Edelhertz mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai tindakan
ilegal atau serangkaian tindakan ilegal dilakukan dengan cara nonfisik dan dengan
penyembunyian atau tipu muslihat untuk mendapatkan uang atau properti, untuk
menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau harta, atau untuk
mendapatkan bisnis atau keuntungan pribadi.46
b. Karakteritik dan Teknik
Karakteristik dan teknik yang membedakan kejahatan kerah putih dari
kebanyakan bentuk kejahatan tradisional. tiga karakteristik dari kejahatan kerah
putih diantaranya: (1) Pelaku memiliki akses yang sah terhadap target atau korban
kejahatan atas dasar suatu posisi pekerjaan; (2) pelaku tersebut spasial atau
terpisah dari korban; dan (3) tindakan pelaku memiliki legalitas 47. Dalam banyak
kejahatan kerah putih, pelaku tidak pernah langsung menghadapi atau bersentuhan
dengan korban-korban mereka. Sebaliknya, mereka secara spasial atau terpisah dari
korban. Misalnya, pelanggaran antitrust dalam pengaturan harga. Penetapan harga
yang bebas terjadi ketika pesaing dalam suatu industri bersama-sama dan berkolusi
untuk menetapkan harga untuk produk atau jasa mereka, sedangkan pesaing
memiliki harga yang ditentukan secara bebas dalam kompetisi terbuka. Korban
44
45
12.
Sutherland, E. H. White collar crime. New York: Dryden Press, 1949.
Sutherland, E. H.White-collar criminality. (American Sociological Review. 5, 1940), hlm. 1–
46 Edelhertz, H. The nature, impact, and prosecution of white-collar crime. Washington, DC:
U.S. Department of Justice, 1970.
47 J. Mitchell Miller, 21th Century Criminology A Reference Handbook, (California: SAGE
Publications Inc, 2009), hlm. 550.
21
pelanggaran antitrust adalah anggota dari masyarakat umum yang memilih untuk
membayar lebih terhadap barang dan jasa dari mereka yang akan menetapkan
harga persaingan.
c. Masalah Pengadilan
Secara umum karakteristik kejahatan kerah putih, memiliki akses yang sah,
pemisahan tindakan, dan penampilan legitimasi. Hal itu menimbulkan masalah
khusus dalam mengontrol sistem peradilan. Masalah yang paling penting adalah
deteksi. Kebanyakan kejahatan tradisional, seperti pembunuhan, perampokan yang
bersentuhan langsung dengan korban dapat dengan mudah terdeteksi, yang
kemudian korban dapat melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Namun, dalam
kasus kejahatan kerah putih, korban mungkin seluruhnya tidak menyadari bahwa
mereka telah menjadi korban.
Masalah kontrol kedua terhadap kejahatan kerah putih ialah berkaitan
dengan tanggung jawab yang didasarkan pada penugasan perusahaan. Banyak
kejahatan kerah putih terjadi pada organisasi atau perusahaan yang merupakan
hasil dari tindakan kolektif yang diambil oleh sekelompok orang. Dalam masalah
pengadilan, seringkali sulit untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, jaksa sering enggan untuk
membawa kasus tersebut ke pengadilan. Terkait dengan masalah deteksi dan
akuntabilitas adalah kesulitan mengamankan keyakinan di pengadilan. Karena
kejahatan kerah putih seringkali kompleks dan tertanam dalam rutinitas bisnis yang
sah, sehingga sulit untuk menuntut dan membuktikan tanpa keraguan bahwa
seseorang bersalah. Kendala utama adalah membuktikan bahwa pelaku sengaja
untuk melanggar hukum.
Keyakinan juga sulit untuk dipertahankan dalam kasus kerah putih, karena
terdakwa biasanya memiliki akses ke pengacara yang kuat. Tidak seperti pelanggar
tradisional, pelaku kerah putih seringkali mampu untuk menyewa pengacara
terbaik. Pengacara kejahatan kerah putih bekerja keras untuk mengontrol akses
kejaksaan terhadap informasi dan bukti-bukti terkait dengan dugaan tindak pidana.
Sistem peradilan pidana merupakan komponen penting dari kontrol
kejahatan kerah putih, tidak harus menjadi garis pertahanan pertama. Sebaliknya,
kontrol regulasi dianggap lebih efektif dan efisien. Sistem regulasi memegang tiga
keunggulan yang berbeda dari sistem peradilan pidana sebagai sarana pengendalian
kerah putih dan kejahatan korporasi: (1) keahlian khusus, (2) kekuatan investigasi
lebih besar, dan (3) lebih banyak fleksibilitas dan kebijaksanaan.
d. Jenis White Collar Crime
1. Pelanggaran Antitrust
Pelanggaran antitrust dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
perjanjian perdagangan terbatas dan praktek monopoli. Perjanjian
22
perdagangan terbatas, melibatkan kesepakatan ilegal atau pemahaman
antara pesaing dalam suatu industri untuk membatasi proses bekerjanya
industri. Dua contoh perjanjian perdagangan terbatas adalah penetapan
harga dan berbagi pasar atau divisi. Penetapan harga mengacu pada
perjanjian antara pesaing untuk menetapkan harga pada tingkat tertentu.
Sebagai contoh, jika produsen susu berkumpul dan sepakat di antara mereka
untuk mengisi sekolah dengan harga yang ditetapkan dalam program makan
siang di sekolah. Berbagi pasar terjadi ketika pesaing berkumpul dan
membagi daerah, sehingga hanya satu dari mereka beroperasi di satu
wilayah pada suatu waktu.
Praktek monopoli melibatkan upaya tidak adil untuk menyudutkan pasar
atau untuk mengusir pesaing dari pasar. Monopoli dikatakan ada apabila
satu perusahaan menguasai seluruh pasar, tetapi perusahaan dapat memiliki
kontrol monopolistik meskipun memiliki pesaing jika menguasai pangsa
cukup besar dari pasar. Ada dua teknik utama praktek monopoli. Yang
pertama adalah dengan menggunakan predatory pricing, yang terjadi ketika
sebuah perusahaan menetapkan harga untuk produk atau jasa yang secara
ekonomis dapat mengusir pesaing keluar dari bisnis. Teknik kedua adalah
bagi perusahaan untuk menekan atau mengendalikan perusahaan lain yang
memasok atau berurusan dengan pesaing, sehingga menempatkan mereka
pada kerugian kompetitif.
2. Pelanggaran Securities
Manipulasi saham terjadi ketika seorang individu atau sekelompok individu
mencoba untuk artifisial memanipulasi harga keamanan. Penyalahgunaan
adalah pelanggaran yang dilakukan oleh broker atau penasihat keuangan
lainnya dengan cara mengambil uang klien mereka, dan telah memberikan
kepada mereka untuk berinvestasi dan menyalahgunakan untuk mereka
gunakan sendiri. Insider trading merupakan pelanggaran keamanan yang
sering dipublikasikan. Hal ini muncul ketika orang berdagang atas dasar
informasi non publik. Ini adalah ilegal bagi orang untuk membeli atau
menjual saham atas dasar informasi yang tidak tersedia untuk umum.
Akhirnya, dalam skema investasi, trik pelaku dalam investasi uang dalam
suatu usaha atau keamanan dengan cara memberi janji palsu kepada investor
bahwa mereka akan menerima tingkat pengembalian yang tinggi atas
investasi mereka. Pada kenyataannya, usaha tersebut memiliki sedikit atau
tidak ada kesempatan melunasi, dan pelaku hanya membuat off dengan
investors'money tersebut.
3. Penipuan Konsumen
Penipuan konsumen adalah salah satu bentuk yang paling umum dari
kejahatan kerah putih. Ini melibatkan penggunaan penipuan atau penipuan
dalam pemasaran dan penjualan barang atau jasa. pelanggaran ini biasanya
melibatkan penggunaan pernyataan palsu, menipu, atau menyesatkan
23
tentang biaya, kualitas, atau efektivitas dari produk atau jasa. Pelanggar
penipuan konsumen diambil dari semua jenis bisnis. Terdapat tujuh bentuk
yang umum dari penipuan konsumen: a) Produk disalahartikan dan iklan
menyesatkan; b) Penipuan real estate; c) Penipuan hadiah gratis; d) Umpan
dan perpindahan iklan; e) Penipuan perbaikan; f) Penipuan mal dan
advokasi; g) Penipuan biaya awal.
4. Penipuan Kesehatan
Terdapat tiga bentuk umum dari penipuan perawatan kesehatan yang
melibatkan dokter: a) Prosedur yang tidak perlu, Dokter seharusnya
memberikan pengobatan berdasarkan kebutuhan medis pasien. Beberapa
dokter, bagaimanapun membuat keputusan tidak didasarkan pada
kebutuhan medis pasien tetapi lebih pada tujuan keuangan mereka; b) Biaya
membelah, Kebanyakan dokter umum tidak dapat menangani penyakit
serius atau kondisi medis. Ketika dihadapkan dengan jenis kasus, mereka
sering merujuk pasien ke spesialis. Sejauh arahan dibuat atas dasar penilaian
medis dokter, yang sesuai. Tapi kadang-kadang, dokter membuat rujukan
karena mereka memiliki pengaturan keuangan dengan dokter spesialis
tertentu. Sebagai imbalan untuk merujuk pasien ke dokter spesialis, dokter
umum mendapat kickback dalam bentuk potongan biaya spesialis ini; c)
Penipuan penagihan, Mungkin jenis yang paling umum dari penipuan
kesehatan. Hal ini dapat dicapai dalam berbagai cara yang berbeda, tetapi
pada dasarnya melibatkan mengajukan klaim untuk penggantian untuk
layanan yang tidak pernah benar-benar disediakan.
5. Kejahatan Lingkungan
Hukum Lingkungan berusaha untuk melindungi kualitas udara, air, dan
tanah dengan mengatur bahan berbahaya bagi lingkungan (air, udara, dan
tanah polusi) dan pengurangan bahan berbahaya dari lingkungan
(kerusakan habitat).
Kejahatan lingkungan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Pelaku
mungkin pemilik rumah yang buangnya sisa cat ke dalam sistem saluran
pembuangan kota yang melanggar peraturan daerah, atau mereka mungkin
perusahaan multinasional yang memproduksi kapal, dan membuang bahan
berbahaya secara sembarangan. Sebuah studi dari respon penegak hukum
untuk kejahatan lingkungan menyimpulkan bahwa pembuangan bahan
limbah ilegal, pembuangan yang tidak tepat dari pengupasan furnitur dan
elektroplating limbah, pembuangan oli motor, dan limbah berbahaya
dibuang ke sungai dan ditemukan di hampir semua masyarakat48.
E. Kebijakan Nonpenal
48 Rosoff, S., Pontell, H. N., & Tillman, R. Profit without honor: White-collar crime and the
looting of America (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2006.
24
Dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro maka kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau
nonpenal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini disebabkan
karena nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap
terjadinya kejahatan. Pada hakikatnya tidak dapat disangkal bahwa tindakan
represif mengandung juga preventif, namun perlu disadari bahwa prevensi yang
sesungguhnya berupa upaya maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana
kejahatan49.
Kongres PBB ke-6 di Caracas (Venezuela) pada tahun 1980 antara lain
dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi, bahwa Crime prevention strategies
should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime50.
Sudarto menyatakan bahwa Suatu Clean Government, dimana tidak terdapat
atau setidaktidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bisa
diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu hukum
pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas.
Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakantindakan di lapangan politik, ekonomi, dan sebagainya51.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang hukum. Pada penelitian
bidang hukum, terdapat dua jenis penelitian yaitu normatif dan empiris. Penelitian
bidang hukum merupakan suatu bentuk penelitian ilmiah, yang mendasarkan setiap
kegiatannya pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
menganalisa beberapa gejala hukum tertentu52.
Penelitian menggunakan metode yuridis-normatif adalah bentuk kegiatan
penelitian ilmiah di bidang hukum yang dilakukan dengan menggunakan cara
meneliti data sekunder atau bahan kepustakaan53. Dalam penelitian hukum yang
bersifat yuridis-normatif, bahan pustaka merupakan sumber bahan hukum utama
dan dasar yang dalam penelitian hukum termasuk ke dalam data sekunder, sehingga
jenis data yang dicari adalah data sekunder. Karena sifat dari kegiatan penelitian
ilmiah yang dilakukan adalah berupa penelitian normatif, maka metode
kepustakaanlah yang paling sesuai dengan sifat penelitian hukum ini.
Pada penelitian yang menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif
diperlukan pendekatan penelitian agar peneliti mendapatkan informasi melalui
pendekatan yang digunakan untuk menemukan jawaban atas isu terbaru yang
Indung Wijayanto, “Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,”
(Tesis Master Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), hlm. 52.
50 “Crime Trends and Crime Prevention Strategies,” Sixth United Nations Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1980, hal.5
51 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 124.
52 Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari, Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian
Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1, 2016.
53 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
49
25
menjadi bahannya. Pendekatan penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a) Pendekatan Perundang-undangan atau Pendekatan Yuridis merupakan
pendekatan yang mutlak harus digunakan dalam penelitian yuridis-normatif,
sebab isu utama yang dibahas adalah menyangkut berbagai aturan
perundang-undangan dalam penelitian ini54.
b) Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Pendekatan ini beranjak dari
pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam Ilmu
Hukum. Peneliti diharapkan akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan bidang Ilmu
Hukum55. Konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini mengenai bidang
Ilmu Hukum Empiris, yaitu kriminologi yang mengkaji sebab-musabab
terjadinya kejahatan.
Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif selalu menitikberatkan
pada sumber data sekunder. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan
menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier56. Dalam penelitian ini, sumber dari data sekunder adalah sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat.
b) Bahan-bahan Hukum Sekunder adalah sumber bahan hukum yang
berhubungan dengan dan mendukung bahan hukum primer. Fungsi bahan
hukum sekunder sebagai bahan analisis dan pemahaman akan bahan hukum
primer. Bahan hukum sekunder ini terdiri dari buku-buku, hasil penelitian,
hasil seminar, jurnal dan internet yang berkaitan dengan “kejahatan kerah
putih” dan kriminologi.
c) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung maupun
menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus Besar Bahasa Indonesia.
Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian diolah, serta disajikan melalui
langkah-langkah penelusuran hukum dengan metode deduktif rasional yakni
menarik kesimpulan dari suatu pernyataan yang bersifat umum.
PEMBAHASAN
Makna Yuridis White Collar Crime di Indonesia
Negara Indonesia merupakan negara hukum, di mana setiap tindakan warga
negaranya diatur oleh hukum. Dewasa ini kejahatan kerah putih (white collar crime)
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Ibid.
56 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 11-12
54
55
26
banyak terjadi diberbagai aspek, di mana tindakan kejahatan kerah putih (white
collar crime) dilakukan oleh para aktor yang tidak pernah disangka oleh masyarakat
awam melakukan suatu pelanggaran hukum.
Aspek pencegahan terjadinya kejahatan kerah putih (white collar crime)
salah satunya didunis perbankan, pemerintah telah menerbitkan suatu undang –
undang yang mengatur tentang perbankan yaitu Undang – Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan. Di dalam undang–undang ini pemerintah telah
menyelipkan di dalam pasal – pasal tersebut sebagai upaya pencegahan terjadinya
kejahatan kerah putih, yaitu pasal yang mengenai sanksi–sanksi yang akan
diberikan oleh negara kepada setiap orang yang melanggar peraturan perbankan.
Pasal yang mengandung sanksi – sanksi dalam upaya pencegahan kejahatan kerah
putih (white collar crime) tersebut terdapat pada Pasal 49 dan Pasal 50 Undang –
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, di dalam pasal inilah pemerintah
berupaya untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan kerah
putih (white collar crime) serta memberikan perlindungan terhadap para nasabah.
Peraturan tersebut memberikan makna bahwa white collar crime merupakan
kejahatan yang harus menekankan pada aspek pencegahan daripada pemberian
hukuman, Indonesia sebagai negara hukum memberikan makna yang jelas bahwa
kejahatan kerah putih termasuk kejahatan yang menjadi prioritas dalam aspek
pencegahan.
Masalah Penanganan White Collar Crime di Indonesia
Pelaku sulit diidentifikasi, Jika kerusakan belum dirasakan maka korban
tidak akan sadar, Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh
keahlian tertentu. Maka, seringkali pelaku tidak mendapat hukuman karena
kurangnya bukti dipengadilan serta saksi ahli yang sulit untuk mengungkapkan
tindakan yang dilakukan pelaku white collar crime.
Kejahatan yang menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang
bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau
kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan. Pelemparan tanggung
jawab ini membuat sulit aparat penegak hukum untuk mencari pelaku utama
sebagai orang yang seharusnya mendapat hukuman yang paling berat.
Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara
langsung berhadapan, dalam banyak kasus white collar crime sangat sulit
menemukan korban dari tindakan tersebut, contohnya dalam kasus korupsi secara
filosofis yang menjadi korban adalah seluruh rakyat, namun hal ini akan bias bila
kasus tersebut berupa gratifikasi.
Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak, hal ini sering
ditemukan pada ranah kesehatan. Dokter yang seharusnya melayani pasien
berdasarkan kebutuhan medis, seringkali lebih mementingkan kebutuhan keuagan.
Seperti membuat rujukan kepada dokter spesialis yang dapat memberikan masukan
atau timbal balik berupa uang. Tindakan tersebut jelas melanggar hukum, namun
tidakan tersebut sangat sulit untuk dibuktikan terutama dalam aspek kesengajaan.
27
Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan.
Pelemparan tanggungjawab antara atasan dan bawahan dalam suatu perusahaan
membuat bukti dipengadilan sangat minim dan hal itu berdampak pada
menentukan pelaku utama.
Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. Terdapat
beberapa faktor terjadinya hal ini, pertama, pelaku white collar crime dapat
membayar pengacara yang mahal, sehingga pembelaan hukum terhadap
kejahatannya akan lebih kuat. Kedua, Pengadilan Indonesia belum kuat secara
konsekuen untuk menegakan keadilan, kejadian penyuapan hakim merupakan
tindakan yang sangat mencederai makna keadilan, bila hal ini merupakan suatu
kebiasaan yang peradilan Indonesia, sudah barang tentu pelaku white collar crime
akan dapat keluar dari ancaman hukuman.
Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Hal ini
dikarenakan sangat sulit mencari aspek kesengajaan dalam tindakan white collar
crime pelaku dapat dengan mudah menyatakan bahwa tindakan yang dilakukannya
semata-mata hanya untuk menjalankan profesi.
Kebijakan Nonpenal White Collar Crime
Kerumitan dalam membawa pelaku white collar crime ke pengadilan
membuat aspek pencegahan menjadi sangat penting untuk lebih dimaksimalkan.
Dalam membuat kebijakan nonpenal maka harus ada penggolongan white collar
crime yang nantinya akan menentukan perlakuan terhadap kejahatan tersebut.
White collar crime dibagi menjadi empat golongan. Pertama, kejahatan yang
dilakukan oleh organisasi atau perusahaan. Kedua, kejahatan yang dilakukan oleh
pemerintah. Ketiga, kejahatan yang berkenaan dengan profesi. Keempat, kejahatan
yang dilakukan oleh individu.
Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh
organisasi, yaitu dengan cara pengontrolan pemerintah secara langsung terhadap
berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Kecenderungan yang sering
dilakukan oleh perusahaan industri yaitu pembuangan limbah pabrik sembarangan,
pemerintah pusat maupun daerah harus mengawasi pembuangan limbah pabrik
tersebut serta memberikan alternatif untuk tempat pembuangan akhir, tindakan
seperti ini dapat dilakukan pemerintah, ketika perusahaan meminta izin kegiatan.
Kontribusi masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mengawasi kegiatan
perusahaan tersebut, masyarakat yang melihat kejanggalan dalam kegiatan
perusahaan harus dengan segera melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk
ditindaklanjuti.
Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh
pemerintah. Secara tata negara, sudah seharusnya komisi pemberantas korupsi
lebih memperkuat aspek pencegahan dengan cara pengawasan yang lebih intensif
diberbagai tingkat pemerintahan. Selain itu, aspek keterbukaan pemerintah dalam
menjalankan pemerintahan seharusnya diberitahuan secara periodik kepada
28
masyarakat. Hal itu akan mencegah kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah
dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang berkenaan
dengan profesi, menerapkan kebijakan ini merupakan yang paling sulit karena
profesi sangat erat kaitannya dengan suatu tindakan yang legal dengan
keprofesiannya. Contoh, pegawai bank mempunyai akses yang sah dalam mengatur
keuangan, bila terjadi suatu penyelewangan sangat sulit untuk mencari faktor
kesengajaan untuk melanggar hukum. Sama halnya dengan dokter umum yang
merujuk pasien kepada dokter spesialis yang didasarkan bukan karena kebutuhan
medis, namun karena faktor keuangan. Maka untuk mencegah tindakan tersebut
menurut hemat penulis yaitu dengan penguatan pada ranah pendidikan moral,
aspek-aspek yang berkaitan dengan moral harus dipelajari dan diajarkan secara
utuh dalam lembaga pendidikan yang menaungi berbagai profesi.
Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh
individu. Pemahaman yang beragam dari setiap individu mengenai tindakan hukum
sangat dipengaruhi oleh pemahamannya mengenai hukum dan budaya yang ada
dimasyarakat. Pemahaman mengenai hukum akan berbanding lurus dengan
kesadaran hukum individu, maka pembelajaran mengenai hukum harus diajarkan
pada setiap jenjang pendidikan. Selain itu, budaya masyakrakat sangat menentukan
tindakan hukum individu, bila budaya masyarakat dalam suatu lingkungan
cenderung menganggap bahwa pelanggaran hukum merupakan suatu hal yang
biasa, maka individu tersebut akan menganggap hal yang sama. Maka perlu
perekayasaan budaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyadarkan
masyarakat akan pentingnya patuh pada hukum.
Kesemua pencegahan terhadap white collar crime harus melibatkan aspek
pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Hal itu dikarenakan kejahatan
kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki kompleksitas yang rumit untuk
ditangani. Ketika pranata sosial sudah kuat, maka segala kejahatan baik kejahatan
kerah putih maupun kejahatan tradisional dapat dicegah dan dihilangkan dari
masyarakat.
KESIMPULAN
Kesulitan dalam penanganan white collar crime dikarenakan pelaku sulit
diidentifikasi dan diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh
keahlian tertentu. Kejahatan yang menyangkut organisasi, susah dicari seseorang
yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau
kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan. Proses viktimisasi juga
tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan. Kerumitan
dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak. Sulit mengadili karena minimnya
bukti dan siapa yang disalahkan. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau
sanksi yang ringan. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.
29
Pembuatan kebijakan nonpenal harus disesuaikan dengan kategori white
collar crime, kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, pemerintah, yang berkenaan
dengan profesi serta individu.
SARAN
White collar crime sangat sulit untuk ditentukan siapa yang menjadi pelaku
utama, maka harus ada kajian yang mendalam mengenai karakteristik pelaku white
collar crime. Pemerintah Indonesia senantiasa harus memperkuat kebijakan
nonpenal yang bertujuan untuk mencegah tindak kejahatan tersebut. Masyarakat
harus memahami yang kejahatan yang perlu menjadi prioritas untuk dihilangkan
adalah kejahatan white collar crime karena mempuyai dampak yang luas daripada
kejahatan tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Edelhertz, H. The nature, impact, and prosecution of white-collar crime. Washington,
DC: U.S. Department of Justice, 1970.
Maheka, Arya. Mengenali dan Memberantas
Pemberantasan Korupsi, 2006.
Korupsi.
Jakarta:
Komisi
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Miller, J. Mitchell. 21th Century Criminology A Reference Handbook. California:
SAGE Publications Inc, 2009.
Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, Government, Ethics, and Managers,
Penyelewengan Aparat Pemerintahan. Bandung: Remaja Rosalakarya
Bandung, 1999.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.
Sutherland, E. H. White collar crime. New York: Dryden Press, 1949.
Sutherland, E. H. .White-collar criminality. American Sociological Review, 5, 1–12,
1950.
Rosoff, S., Pontell, H. N., & Tillman, R. Profit without honor: White-collar crime and
the looting of America (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2006.
Wijayanto, Indung. “Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi,” (Tesis Master Universitas Diponegoro, Semarang, 2008).
30
Jurnal
Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari. 2016. Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di
Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal
Reformasi, Vol. 6 No. 1.
Artikel
“Crime Trends and Crime Prevention Strategies,” Sixth United Nations Congress on
the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1980.
31
LARANGAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG DITINJAU DARI HAK ATAS
KEADILAN
Abstrak
Hak Asasi manusia adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa, pada asasnya manusia
berhak untuk bebas. Namun, apabila seseorang dijadikan tersangka atau terdakwa
tentu kebebasan tersebut akan dibatasi. Untuk itu kewajiban Negara adalah
melindungi hak warga negaranya yang kebebasannya dibatasi. Sehingga adanya
pengaturan mengenai hak-hak tersangka terdapat adanya larangan penahanan
sewenang-wenang yang apabila dilanggar akan mencederai Hak Asasi Manusia
khususnya Hak Atas Keadilan.
Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Penahan, Hak Atas Keadilan.
Abstract
Human rights is a gift of God, In principle the human has right to be free. But, If
someone made a suspect of course liberty will be restricted. In this situation, the
state has obligation to protect the rights of citizens whose freedom is restricted.
Because of that, the regulation concerning the rights of suspect, there is
prohibition of arbitrary detention which if its violated would injure human rights,
especially the right to justice.
Keyword: Human Rights, Detention, Right to Justice.
Lady Arianita/Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [email protected]
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan
lingkungannya. Hak Asasi Manusia bersifat universal dan tidak dapat dicabut.
Artinya seburuk apapun perlakuan yang dialami seseorang atau betapa pun
bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena
itu tetap memiliki HAM tersebut. Dengan kata lain, hak itu melekat pada dirinya
sebagai makhluk insani.57
Perkembangan HAM dari masa ke masa, abad ke-20 merupakan puncak
perkembangan dan kesadaran HAM. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rezim
HAM internasional hukum internasional memiliki kekuatan yang sangat memaksa
agar Negara-negara mematuhinya. Kenyataan ini dapat di lihat, inter alia, dalam
57
Rhona K.M Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: PUSHAM UII Press,2008,hlm.11
32
Pasal 2 ayat (1) dari Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik atau
International Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya disebut ICCPR).
Penangkapan dan penahanan merupakan salah satu pembatasan terhadap
Hak Asasi Manusia. Untuk itu penangkapan dan penahanan harus mempunyai dasar
yang jelas untuk dapat diterapkan. Sering kali aparat penegak hukum dalam
melakukan penangkapan dan penahanan dilakukan tidak sesuai prosedur. Lebih
jauh, hinggan orang tersebut yang merupakan korban salah tangkap telah
mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Agar korban
salah tangkap ini mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan sama
sekali. Yang sebenarnya hal ini sangat bertentangan dengan asas Presumption of
Innocence, bahkan dianggap tidak sejalan dengan prinsip Non Self Incrimination.58
Prinsip-prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia yang meliputi
prinsip legalitas, prinsip nesesitas, dan prinsip proporsionalitas pada dasarnya
merupakan prinsip umum yang dapat digunakan untuk menilai apakah tindakan
negara yang mengintervensi hak dan kebebasan warga negara melanggar hak asasi
manusia atau tidak. Prinsip-prinsip ini tidak hanya terkait lapangan hukum pidana
atau hukum acara pidana, tapi meliputi semua area hukum sepanjang ada
keterlibatan aktor negara di dalamnya. Meskipun harus diakui bahwa di tingkat
kepolisian, ketiga prinsip tersebut memiliki relevansi hanya dalam konteks
penggunaan senjata api. Artinya, di luar penggunaan senjata api, polisi memandang
bahwa ketiganya tidak perlu dijadikan parameter utama untuk menilai ada tidaknya
pelanggaran hak asasi manusia dalam setiap tindakan hukum.59
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut sebenarnya sudah ada instrument
Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang. Di Indonesia pengaturan mengenai hal ini diatur dalam pasal 18
ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
selain itu terdapat juga dalam Deklarasi Universal pasal 9, Konvenan Intenasional
tentang hak-hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 4 ayat 2, Piagam Banjul
Afrika tentang HAM dan Penduduk pasal 6, Konvesi Amerika tentang HAM pasal 7
ayat 1 dan 3, Konvensi Eropa untuk perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan
Fundamental Manusia pasal 5 ayat 1.60 Karena pada dasarnya setiap orang memiliki
hak untuk bebas dan diperlakukakan adil dari penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang dan hal tersebut dapat dilaksanakan apabila dilakukan atas
dasar alasan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, walaupun instrument-instrumen tersebut telah terbentuk dan
diberlakukan pada kenyataannya masih banyak kasus yang terjadi mengenai
penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Untuk itu dalam penulisan
makalah ini penulis akan membahas mengenai kasus penangkapan dan penahanan
58 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif KUHAP, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan,1998,hlm.7
59 Mahrus Ali, Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penangkapan dan Penahanan dalam
Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: PUSHAM UII,2015.hlm. 2
60 Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M.zen,Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,2006,hlm.90
33
sewenang-wenang terhadap Ibu Monika Zonggonau.61 Selain itu mengenai kasus
Penahanan seorang Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi62.
Selain itu, kasus Pengangkapan Bambang Wijdjoyanto63. Yang dalam penangkapan
dan penahananya dilakukan secara sewenang-wenang dimana hal ini melanggar
ketentuan instrument nasional dan internasional. Sehingga hal ini juga melanggar
Hak Asasi Manusia khususnya Hak atas keadilan. Adapun pokok permasalahan
berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut, Pertama, hal apa yang
pelanggaran Hak Asasi Manusia pada kasus tersebut ? Kedua, Instrument manakah
yang dilanggar pada kasus tersebut? Ketiga,Bagaimana analisis kasus tersebut?
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah mengkaji pelanggaran hak asasi manusia
yang dilanggar dalam instrument HAM nasional dan Internasional pada kasus ini,
serta menganalisis mengenai penerapan instrument HAM pada kasus ini. Dalam hal
ini, manfaat teoritis yaitu bahwa penulisan ini berguna untuk ilmu pengetahuan,
karena diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai
Larangan Penahanan sewenang-wenang dari perspektif Hak Atas Keadilan. Selain
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi kegunaan praktis. Kegunaan
praktis yang diharapkan yaitu menjadi acuan pertimbangan penegak hukum
melindungi Hak Asasi Manusia.
Ditinjau dari bentuk penelitian, penelitian ini menggunakan bentuk metode
penelitian yuridis normative yaitu, penelitian yang dilakukan terhadap hukum
positif tertulis maupun tidak tertulis64. Dari tipologinya, penelitian ini bersifat
deskriptif. Analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang tepat
mengenai penerapan instrument HAM dalam persepektif Hak Atas Keadilan. Dalam
penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder. Yaitu berupa bahan
primer berupa perundang-undangan, bahan sekunder teori para sarjana, buku,
artikel ilmiah, jurnal,tesis, dan makalah, dan bahan tersier berupa kamus.
Pengumpulan data melalui Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu
penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas,
norma-norma, doktrin dan pasal di dalam Instrumen- Instrumen HAM. Data yang
dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara
sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan
secara deskriptif, sehingga hasil penelitian berbentuk deskritif-analistis.
PEMBAHASAN
Kontras,”Kronologi Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang Terhadap Ibu
Monika Zonggonau”, http://www.trunity.net/kontraspapua/view/article/164977/ diakes pada 1
April 2016
62
Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”,
http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedangkejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016
63
Detiknews, “ Kronologi Penangkapan Teror Bambang
Widjojanto”,
http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-teror-bambang-widjojanto
pada 25 November 2016
64 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,( Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2005), hlm.9.
61
34
1. Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia
Pada dasarnya semua orang berhak untuk bebas dari penangkapan,
penahanan dan pembuangan sewenang-wenang.65 Dalam kerangka hukum
internasional tindakan penangkapan dan/atau penahanan sewenang-wenang
merupakan sebuah tindakan yang tidak yang tidak saja melanggar hukum tetapi
juga menciderai sejumlah hak terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non-derogable rights).66 Hukum HAM internasional mengartikan
kata “sewenang-wenang” dalam pengertian ini dipahami mengandung unsur-unsur
ketidakadilan (injustice), ketidakpastian (unpredictable), ketidakwajaran
(unreasonable), ketidakakuratan (capriciousness) dan ketidakberimbangan
(dispeoportionality).67 Untuk itu perlunya prinsip-prinsip untuk menegakan HAM .
Prinsip-prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia yang meliputi
prinsip legalitas, prinsip nesesitas, dan prinsip proporsionalitas pada dasarnya
merupakan prinsip umum yang dapat digunakan untuk menilai apakah tindakan
negara yang mengintervensi hak dan kebebasan warga negara melanggar hak asasi
manusia atau tidak.68
Prinsip legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara
hukum. Tindakan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Selain itu, pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan
atau berdasarkan undang-undang.69Asas legalitas dapat memainkan perlindugan
hak yang sama dan merupakan cara primer proteksi judisial hak-hak warga Negara
di Negara yang kurang memperhatikan aspek hak asasi warga Negara.70
Prinsip Nesesitas memiliki hubungan yang erat dengan prinsip
proporsionalitas karena
eksistensinya merupakan
prasyarat
prinsip
proporsionalitas. Dedi Prasetyo mengartikan prinsip nesesitas dalam konteks
penggunaan senjata api, yaitu penggunaan kekuatan harus merupakan tindakan
yang luar biasa. Cara-cara non kekerasan harus dicoba terlebih dahuludan senjata
api hanya boleh digunakan jika cara-cara tadi tidak efektif atau tidak menjanjikan
akan mencapai hasil yang diinginkan. Petugas penegak hukum hanya boleh
menggunakan kekuatan bila benar- benar dibutuhkan dan sepanjang hal tersebut
diperlukan untuk melaksanakan tugas mereka.71 Dengan demikian, prinsip
Adnan Buyung Nasution, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal.97.
66 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur, (ed), Almanak Hak Asasi
Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, (Jakarta: IDSPS, 2009), hal.218.
67 Ibid., hal.218, sebagaimana dikutip dari C de Rover, To Serve and To Protect: Acuan
Universal Penegakan HAM, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal.396.
68 Mahrus Ali, Op.Cit
69 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Cetk. Keenam, Rajawali Press, Jakarta, 2011,hlm 91
70 Dan Meagher,’The Principle of Legality as Clear Statement Rule : Signifiance and Problem’,
Sydney Law Review, Vol 36,2014,hlm.416
71 Dedi Prasetyo, Diskresi Kepolisian Pada Tahap Penangkapan Tersangka Terorisme,
University of Brawijaya Press, Malang, 2014, hlm 154-155
65
35
nesesitas terkait ada tidaknya upaya-upaya lain yang perlu diambil agar tujuan yang
hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik.
Prinsip proporsionalitas secara sederhana diartikan sebagai pemeliharaan
rasio yang pantas antara dua komponen. Proporsionalitas juga dikaitkan dengan
kemasukakalan. Suatu tindakan yang masuk akal pasti proporsional, sebaliknya,
disebut tidak proporsional jika tindakan tertentu tidak masuk akal. Padanan kata
yang memiliki arti yang sama dengan ketidakmasukakalan adalah ilegalitas dan
ketidakpantasan procedural.72
Ada tiga kriteria menilai prinsip proporsionalitas, yaitu; 1) cara-cara yang
digunakan untuk membatasi hak asasi warga negara harus secara rasional berkaitan
dengan tujuan yang hendak dicapai; 2) hak harus dikurangi sekecil mungkin untuk
mencapai tujuan; dan 3) harus terdapat keseimbangan antara efek pembatasan
terhadap hak dan tujuan yang hendak dicapai dari pembatasan tersebut.73
Hal tersebut yang kemudian diatur dalam Pasal 9 ayat (1), (4), (5)
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) . Dalam pasal 9 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat
ditangkap , ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang.
2. Penangkapan dan Penahanan
Adapun yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan
penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.74
Menurut Yahya Harahap bahwa alasan penangkapan dan syarat
penangkapan tersirat dalam pasal 17 KUHAP yaitu bahwa seseorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana dan dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti
permulaan yang cukup.75
Adapun syarat penangkapan adalah penangkapan wajib didasarkan pada
bukti permulaan yang cukup dalam hal ini pembuat undang-undang menyerahkan
sepenuhnya kepada penilaian penyidik76, melakukan penangkapan tidak sewenangwenang harus ditujukan pada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana
dalam hal ini alasan penangkapan harus untuk kepentingan penyelidikan dan
Basil Ugochukwu, ‘Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in
Comparative Context: Lessons for Nigeria’, York University and Transnational Human rights Review,
Volume 1, 2014, hlm 6
73 Ibid., hlm 102-103
74 Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo. Pasal 33 ayat
(1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”)
75 Yahya Harahap, pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan,Jakarta:Sinar Grafika,hlm.158
76 Ibid,hlm.157
72
36
penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan
tersebut.77 Harus berlandaskan hukum walaupun penyidik memiliki wewenang
yang berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang namun hal tersebut
harus dilandaskan oleh hukum, yangmana dalam hal ini salah satu bentuk
pengurangan hak asasi manusia adalah dilakukannya penangkapan. Selanjutnya
aparat penegak hukum tersebut dilarang melakukan penyiksaan terhadap tahanan
maupun orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.78
Adapun penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta
menghambat.79 Sedangkan menurut pasal 21 KUHAP arti penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang.80
3. Kasus Penangkapan dan Penahanan Sewenang-Wenang
Kasus Monika Zonggonau
Sekitar tanggal 6 April 2009 pukul 08.00 WIT, Ibu Monika Zonggonau yang
datang hendak bergabung bersama kepala-kelapa suku di Kabupaten Nabire untuk
menyelesaikan persoalan pembubaran massa yang mendirikan pondok di Taman
Gizi dan penangkapan 15 tersangka yang diduga melakukan tindak pidana makar
dan ditahan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire sekitar jam 5.00 WIT, namun saat
tiba ditempat tersebut masih terjadi keributan akibat pembubaran massa oleh
aparat Kepolisian Resort Nabire yang menyebabkan situasi tidak dapat
dikendalikan lagi, selanjutnya Ibu Monika berdiri di pasar Karang Tumaritis
Kabupaten Nabire, sekitar jam 10.00 WIT saat berdiri di pasar tersebut Ibu Monika
mendengar ada Polisi yang mengatakan, “ Itu ibu yang orasi di Kantor KPU,
tangkap dia !!!, kemudian datang aparat kepolisian dari Kepolisian Resort Nabire
dalam jumlah yang cukup banyak lalu menangkap Ibu Monika Zonggonau tanpa
surat tugas, surat perintah penangkapan, kemudian aparat kepolisian tersebut
melakukan pemukulan terhadap ibu Monika di bagian belakang kepala dan tangan
yang mengakibatkan luka dibagian kepala dan tangan, selanjutnya dibawah ke
Markas Polres Nabire di tempat ini penyiksaan oleh Ibu Monika berlanjut, oleh
aparat Polisi Wanita, ibu dipukul oleh aparat tersebut dengan sepatu yang dilempar
kearah alis mata yang menyebabkan luka robek pada bagian alis. Saat pemeriksaan
di Kepolisian Ibu Monika memberikan keterangan dibawa paksaan aparat penyidik
Kepolisian Resort Nabire dan sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk
membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP), selain itu pemeriksaan ibu Monika tidak
didampingi pengacara, padahal pasal yang dituduhkan kepadanya yakni Pasal 160
KUHP yakni PENGHASUTAN didepan umum yang ancaman diatas 6 (enam) tahun
Ibid,hlm.159
Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“Perkapolri 8/2009”)
79 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2006
80 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981,LN
Tahun 1981 No.76,TLN No.3209,Pasal 1 angka 20.
77
78
37
yang mana wajid didampingi oleh Pengacara. Ibu Monika telah ditahan di Kepolisian
selama 60 hari (7 April – 03 Juni 2009) dan kini penahanannya dilanjutkan oleh
Kejaksaan Negeri Nabire selama 20 hari (03 Juni-22 Juni 2009), ketika
penahanannya telah habis di Kepolisian pihak penyidik telah menerbitkan surat
pengeluaran penahanan dengan Nomor Polisi : SPP-.HAN/56.c/VI/2009/Reskrim
namun hal ini tidak diikuti oleh aparat kepolisian untuk mengeluarkan yang
bersangkutan, bahkan yang anehnya meskipun ada surat tersebut yang dikeluarkan
oleh pihak kepolisian, pihak kepolisian sendirilah yang melimpahkan kepada
kejaksaan untuk diproses.81
Kasus Bupati Sumedang Ade Irawan
Pada Kasus Kedua Penahanan Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar dinyatakan dilakukan secara sewenang-wenang.
Karena disinyalir tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Padahal izin tersebut
menjadi hal yang krusial bagi penegak hukum untuk menahan seorang kepala
daerah. Guru Besar Fakultas Hukum Unpad I Gde Pantja Astawa menjelaskan dalam
hal penahanan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah, acuannya sama,
yakni Undang Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut
Gde, dalam UU tersebut ditegaskan untuk menahan Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah yang diduga melakukan tindak pidana, terlebih dahulu harus ada izin dari
Mendagri. "Apa reasoningnya harus ada izin dari Mendagri? Karena yang
mengangkat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Kabupaten/Kota) adalah
Mendagri atas nama Presiden," ujar Gde Pantja Karena itu, menurut Gde Pantja,
penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah pun harus se-izin
Mendagri. Gde Pantja yang juga diminta legal opinion atas kasus bupati Sumedang
ini menyatakan izin mendagri diperlukan karena juga menyangkut tugas dan
tanggung jawab kepala daerah dan/wakil kepala daerah. "Tidak bisa begitu saja
dilepaskan tanpa ada kejelasan tentang bagaimana kelangsungan tugas dan
tanggung jawab pejabat tersebut bila yang bersangkutan ditahan tanpa ada izin dari
Mendagri," ujarnya.
Dari itulah menurut Gde Pantja, apa yang dilakukan oleh penegak hukum
terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tanpa ada izin dari Mendagri,
maka tindakan penegak hukum tersebut menjadi tidak sah. Karena bertentangan
dengan UU No.23/2014. Bahkan dapat dikatakan penegak hukum tersebut
bertindak sewenang-wenang sebagai suatu hal yang dilarang. Gde Pantja, juga
memaparkan dalam kasus dugaan korupsi ada penanganan yang berbeda antara
jajaran Kejaksaan Agung dan Kejati Jabar. "Pada satu sisi, Bupati Sumedang ditahan
tanpa ada izin dari Mendagri, sementara pada sisi lain Kejagung tidak atau belum
menahan Algothas (wakil Bupati Cirebon) karena belum ada izin Mendagri,"
ujarnya. "Pertanyaannya, bagaimana mungkin kejaksaan sebagai satu kesatuan bisa
melakukan "treatment" yang berbeda terhadap subyek hukum dan norma hukum
yang sama," katanya. Inilah, menurut Pantja, salah satu bentuk penegakan hukum
yang "ambigue" di negeri yang penuh ironi dan anomali ini. "Dengan kata lain,
81
Ibid
38
tindakan Kejati menahan Pa Ade Irawan tanpa izin adalah tindakan sewenangwenang, karena-nya tindakan kejati tersebut menjadi tidak sah yang berakibat batal
demi hukum (nietige van rechtwege)," ujarnya. Sementara saat dikonfirmasi Kepala
Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar, Suparman menyatakan bahwa penahanan
Ade Irawan itu sudah sesuai prosedur. "Menurut kita penahanan sudah sesuai
prosedur," ujar Suparman. Kalau ada pihak lain ada yang mempermasalahkannya
silahkan saja itu hak mereka. "Kalau ada yang mempermasalahkannya silahkan saja,
ada hak dari pengacara atau tsk untuk di praperadilankan," katanya.82
Kasus Bambang Widjojanto
Pada kasus ketiga Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim Polri dengan
cara sewenang-wenang. Pimpinan KPK itu diborgol, diangkut bersama anaknya,
sambil diberi tekanan teror sepanjang perjalanan. Sejumlah pihak memprotes keras
penangkapan ini, termasuk KPK. Dorongan kepada Polri agar segera membebaskan
Bambang dari segala urusan hukum pun disampaikan.Tak sedikit juga yang
menyuarakan kekecewaan pada Presiden Joko Widodo terkait peryataannya yang
dinilai kurang 'terang'.83
4. Analisis
Sebagaimana yang telah diketahui jaminan dan perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia dalam peraturan hukum acara dalam rangkaian proses dari pidana
ini menjurus kepada pembatasan Hak Asasi Manusia seperti penangkapan,
penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman, yang pada hakekatnya
adalah pembatasan-pembatasan Hak Asasi Manusia84 dalam hal ini bahwa
Tindakan-tindakan aparat Kepolisian Resort Nabire dan Kejaksaan yang melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap Ibu Monika Zonggonau merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mana dalam Undang-Undang No.39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1 mengenai
larangan penahanan sewenang-wenang, tidak hanya itu pelanggaran tersebut juga
telah melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 9 ICCPR, Pasal 9 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Adapun fakta yang terungkap diatas bahwa yang dilakukan aparat penegak
hukum merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, terdapat beberapa hal
menyimpangi hak atas keadilan diantaranya adalah bahwa pada fakta pertama Ibu
Monika Zonggonau ditangkap dan ditahan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire
tidak sesuai dengan prosedur dan bertentangan dengan hukum. Karena jelas bahwa
Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”,
http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedangkejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016
83
Detiknews, “ Kronologi Penangkapan Teror Bambang
Widjojanto”,
http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-teror-bambang-widjojanto
pada 25 November 2016
84 Purnomo,Pokok-pokok Tata Cara Peradlilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981, Yogyakarta: Liberty,1993,hlm.34
82
39
pada faktanya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian
Resort Nabire melanggar prinsip legalitas karena wewenang yang diberikan oleh
undang-undang tidak dilaksanakan dengan benar, hal ini jelas terlihat bahwa
penangkapan dan penahanan Monika Zonggonau yang seharusnya berdasarkan
pasal 18 ayat 1 dan pasal 20 ayat 2 KUHAP harus adanya surat perintah. Namun, hal
ini tidak ada pada saat dilakukannya penangkapan dan penahanan sehingga hal ini
juga telah melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bahwa setiap orang
berhak atas kebebasan, keamanan pribadi dan tak seorang pun boleh ditangkap atau
ditahan secara sewenang-wenang. Selain itu dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) pada pasal 9 disebutkan bahwa tak seorang pun boleh ditangkap,
ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang. Selain itu, penahanan sewenangwenang juga diatur dalam the Body of Principles foe Protection of All Persons under
any Form of Detention or Imprisonment, selanjutnya disebut the Body of Principles.
The Body of Priciples menyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau
pemenjaraan hanya boleh dilaksanakan secara kaku sesuai dengan ketentuan
hukum dan oleh para pejabat yang diberikan wewenang untuk itu. Dalam prinsip
tersebut tersirat bahwa seseorang ditangkap atau ditahan harus sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh melanggar atau mengabaikan
ketentuan hukum yang berlaku.85 Berdasarkan fakta yang ada penahanan yang
dilakukan terhadap Monika Zonggonau tidak sesuai dengan aturan hukum, sehingga
dapatlah dikatakan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Monika
Zonngonau dilakukan secara sewenang-wenang. Negara dalam hal ini belum dapat
menjalankan kewajibannya terhadap hak asasi manusia khususnya hak atas
keadilan.
Pada fakta kedua bahwa saat pemeriksaan tersangka Monika Zonggonau
tidak didampingi pengacara padahal tindak pidana yang disangkakan adalah pasal
160 KUHP yang ancaman hukumannya lebih dari 5 (lima) tahun dan Monika
Zonggonau adalah orang tidak mampu. Dalam hal ini telah melanggar hak atas
keadilan. Yang seharusnya Monika Zonggonau didampingi oleh pengacara sesuai
dengan hak-haknya sebagai tersangka yang diatur dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP86
bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun
atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Pada fakta ini jelas, penegak hukum
dalam hal ini aparat Kepolisian Resort Nabire tidak hanya telah melanggar prinsip
legalitas seperti yang telah diungkapkan pada fakta sebelumnya, tetapi penegak
hukum juga tidak memberikan hak-hak tersangka yang diatur dalam KUHAP pada
bab VI. Sehingga dalam hal ini jelas telah melanggar hak atas keadilan, karena
sebagai tersangka seseorang tetap memiliki hak yangmana hak tersebut telah
dijamin dalam undang-undang. Perlu dipahami bahwa tersangka adalah seseorang
http://digilib.unila.ac.id/18289/2/BAB%20I.pdf diakses pada 3 April 2016
Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No.
36, Pasal 56
85
86
40
yang patut diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ia bukanlah seseorang
terpidana yang sudah secara sah dinyatakan bersalah. Selama ia masih memiliki
status tersangka seharusnya tidak diperlakukan selayaknya terpidana. Dalam fakta
ini seharusnya Negara yang memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi,
memenuhi sudah seharusnya dapat memenuhi hak-hak tersangka yang sudah
diatur dalam KUHAP. Namun, hal ini kembali tidak dijalankan oleh Negara.
Fakta berikut bahwa tersangka tidak dikeluarkan dari tahanan walaupun ada
perintah
pengeluaran
tahanan87
dengan
Nomor
Polisi
:
SPP.Han/56.c/VI/2009/Reskrim. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh aparat
kepolisian justru aparat kepolisian melimpahkan ke Kejaksaan untuk melakukan
penahanan lanjutan. Hal ini melanggar hak atas keadilan karena seharusnya. Hal ini
sangat bertentangan dengan Hak Atas Keadilan, dimana penahanan merupakan
tindakan menghentikan kemerdekaan seseorang, sedangkan kemerdekaan itu
adalah hak asasi manusia. KUHAP merupakan undang-undang yang sangat
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, oleh karena itu terdapat
pembatasan jangka waktu penahanan.88 Dengan adanya fakta bahwa tersangka
tetap ditahan walaupun sudah ada surat perintah pengeluaran tahanan hal ini jelas
tidak sejalan dengan cara penahanan yang dilakukan penyidik dalam Pasal 21 ayat
2 dan 3 KUHAP,89 yang mensyaratkan bahwa penahanan harus ada surat perintah
penahanan atau surat penetapan. Namun, hal ini tidak ada justru kebalikannya.
Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan sehingga mencederai hak asasi Monika
Zonggonau yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi oleh Negara tapi hal ini tidak
terwujud. Hal ini bertentangan dengan prinsip legalitas yang seharusnya
penyelenggara Negara menyadari bahwa untuk mewujudkan hak asasi manusia
Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi.
Untuk itu berdasarkan fakta ini hak atas keadilan telah terlanggar.
Tidak hanya itu, pada fakta selanjutnya bahwa tindakan pengkapan dan
penahanan tersebut dilakukan secara tidak pantas, karena terjadi pemukulan dan
penyiksaan. Yang hal ini sebenarnya tidak dapat dilakukan oleh aparat kepolisian
adapun alasan penangkapan dan penahanan seseorang harus berdasarkan bukti
permulaan yang cukup maksudnya adalah bukti permulaan untuk menduga adanya
tindak pidana sesuai dengan pasal 1 angka 14 KUHAP yang dalam hal ini pembuat
undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik.90 Dengan
kata lain , tanpa bukti permulaan yang cukup, penyidik tidak dapat melakukan
penangkapan.91 Yang dalam hal ini tidak dilakukan oleh aparat kepolisian justru
dalam pemeriksaan aparat melakukan penyiksaan agar tersangka mengakui
perbuatan yang tidak ia lakukan. Hal ini melanggar hak atas keadilan yang
seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan karena fakta ini menunjukan terlanggarnya
Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor, 14 Tahun
2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 10 (b.29)
88 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984), hlm.19.
89 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No.
36, Pasal 21 ayat 2 dan ayat 3
90 Yahya Harahap,Loc.Cit,hlm.157
91 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang,Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana dan Yurisprudensi,ed.2,cet.1,Jakarta:Sinar Grafika,2010,hlm.113
87
41
prinsip nessesitas yang memiliki hubungan yang erat dengan prinsip
proporsionalitas. Dimana dalam hal penangkapan dan penahan tidak perlu
dilakukan penyiksaan dan pemukulan itu sendiri, karena pada dasarnya
penangkapan dan penahanan harus ada bukti permulaan yang cukup dimana dalam
melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tidak boleh dilakukan kekerasan
karena tercantum dalam prinsip 1- 38 mengenai perlindungan semua orang dalam
segala bentuk penahanan92. Bahwa tersangka tidak boleh dipaksa mengakui suatu
kesalahan karena hal ini bertentangan dengan prinsip self incrimination. Selain itu,
terdapat konvensi anti penyiksaan adalah untuk melindungi tersangka atau
terdakwa dari adanya penyiksaan ataupun dugaan penyiksaan yang dimuat di
dalam pasal 1 yang berbunyi “untuk tujuan konvensi ini, penyiksaan adalah setiap
perbuatan dengan mana sakit parah atau penderitaan, apakah fisik atau mental,
sengaja ditimpakan pada seseorang untuk tujuan seperti memperoleh darinya atau
dari orang ketiga informasi atau pengakuan, menghukumnya atas suatu perbuatan
dia atau orang ketiga yang telah dilakukan atua diduga telah dilakukan, atau
mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang
didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun, ketika rasa sakit atau
penderitaan yang ditimbulkan oleh atau atas hasutan dengan persetujuan atau
persetujuan resmi atau umum lainnya yang bertindak dalam kapasitas resmi. Ini
tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat atau
yang terkait dengan sanksi hukum.93 Dengan demikian berdasarkan fakta yang ada
pelakuan berupa penyiksaan dan pemukulan agar Monika Zonggonau mengakui
kesalahan yang tidak diperbuatnya telah melanggar hak atas keadilan yang berupa
larangan penahanan sewenang-wenang. Untuk itu Negara telah melanggar
kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia.
Dan fakta terakhir dari kasus penangkapan dan penahanan sewenangwenang adalah akibat dari penyiksaaan Ibu Monika Zonggonau mengalami lukaluka tetapi sejak ditahan dari tingkat kepolisian hingga kejaksaan tidak pernah
diizinkan untuk menghubungi dokter yang hal ini melanggar hak atas keadilan yang
seharusnya dalam hak-hak tersangka memiliki akses untuk itu berdasrkan pasal 58
KUHAP94 bahwa apabila tersangka atau terdakwa sakit, maka mempunyai hak untuk
dikunjungi dokter pribadi untuk kepentingan kesehatannya. Dalam fakta ini jelas
setelah Monika Zonggonau disiksa saat pemeriksaan sekarang tidak diizinkan untuk
mengobati luka-luka yang didapat dari siksaan tersebut. Dengan demikian
berdasarkan fakta yang ada pelakuan tidak dizinkanya menghubungi dokter telah
melanggar hak atas keadilan dimana sebenarnya hak itu tidak dapat dibatasi
ataupun dikurangi walaupun ia menjadi seorang tersangka. Untuk itu Negara telah
melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak
Asasi Manusia.
92Universitas
Kristen
Satya
Wacana,http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2673/1/T1_312008059_Judul.pdf
diakses pada 3 April 2016
93 Universitas Kristen Satya Wacana,Ibid
94 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No.
36, Pasal 58
42
Pada fakta kasus kedua menunjukan bahwa penahanan terhadap seorang
Bupati Sumedang dilakukan oleh jaksa dengan sewenang-wenang. Dalam hal ini
Penahanan Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Jabar disinyalir tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Padahal izin tersebut
menjadi hal yang krusial bagi penegak hukum untuk menahan seorang kepala
daerah. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah. Pada kasus ini jelas terlanggarnya prinsip legalitas yang
seharusnya segala tindakan Negara harus ada dasar yang mengaturnya. Dalam hal
ini Negara yang dalam bertindaknya dibatasi oleh Undang-Undang justru
melanggarnya. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia.
Pada fakta kasus ketiga penangkap yang dilakukan oleh polisi sebenarnya
juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Hal ini dikarenakan Pimpinan KPK
itu diborgol, diangkut bersama anaknya, sambil diberi tekanan teror sepanjang
perjalanan. Seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan karena dalam hal ini Negara
penangkapan terdapat waktu untuk menangkapnya. Mengapa ditangkap pada saat
bersama anaknya. Hal ini merupakan hal yang tidak perlu dilakukan tentu pada
kasus ini melanggar prinsip nesesitas dimana sebenarnya masih ada upaya lain
untuk ditangkapnya tapi pada saat yang kurang tepat justru ia ditangkap hal ini jelas
bahwa Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ICCPR setiap orang mempunyai hak atas
kebebasan dan keamanan dirinya sehingga tidak seorang pun dapat ditangkap dan
ditahan sembarangan. Dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta KUHAP juga mengatur hal
tersebut. Untuk memastikan terlindunginya hak tersebut, dapat dilakukan
pemeriksaan atas penahanan yang terjadi oleh hakim yang tidak memihak. Setiap
individu yang ditahan berhak atas segera diinformasikan penahanannya kepada
keluarga secara jelas dan tepat mengenai alasan-alasan atas penangkapan atau
penahanannya dan juga hak-haknya, serta diizinkan untuk menghubungi seorang
pengacara, secara langsung atau melalui keluarga/orang yang dipercaya.95
Ketentuan yang mengatur mengenai larangan penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang memberikan perhatian terhadap perlindungan dan
kemerdekaan individu dari ancaman penyalahagunaan kekuasaan dalam keadaan
apapun. Namun yang terpernting adalah konsep keseimbangan antara kebebasan
dan keamanan yang harus dijamin oleh penguasa dalam hubungan antara Negara
dengan warga negaranya.96
SIMPULAN
95 Human Rights Watch, Human Rights Watch: Langkah Awal yang Tersiksa, Jakarta: Human
Rights Watch,2004,hlm.22
96 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur,(ed), Almanak Hak Asasi
Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, Jakarta : IDSPS,2009,hlm.220
43
Hak Asasi Manusia adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan
lingkungannya.
Pada dasarnya semua orang berhak untuk bebas dari penangkapan,
penahanan dan pembuangan sewenang-wenang.97 Dalam kerangka hukum
internasional tindakan penangkapan dan/atau penahanan sewenang-wenang
merupakan sebuah tindakan yang tidak yang tidak saja melanggar hukum tetapi
juga menciderai sejumlah hak terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non-derogable rights).98 Hukum HAM internasional mengartikan
kata “sewenang-wenang” dalam pengertian ini dipahami mengandung unsur-unsur
ketidakadilan (injustice), ketidakpastian (unpredictable), ketidakwajaran
(unreasonable), ketidakakuratan (capriciousness) dan ketidakberimbangan
(disproportionality).
Fakta-fakta menunjukan bahwa hak atas keadilan belum terwujud terhadap
Monika Zonggonau, Bupati Sumedang, Bambang Widjoyanto, serta Kakek Ngamatu
karena penangkapan dan penahanan yang dilakukan adalah secara sewenangwenang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Dikaitkan dengan hak asasi
manusia, bahwa banyak instrument hukum yang mengatur seperti pasal 9 ICCPR
dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat
di pasal 18 ayat 1 mengenai larangan penahanan sewenang-wenang. Namun,
instrument tersebut dilanggar juga oleh penegak hukum. Yang seharusnya
menegakan hukum secara benar, perlu dipahami bahwa Negara memiliki kewajiban
terhadap Hak Asasi Manusia yaitu, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi.
Tapi dengan adanya fakta-fakta diatas jelas Negara belum menjalankan
kewajibannya terhadap hak asasi manusia.
SARAN
Hak Asasi Manusia sebagai hak mendasar untuk setiap individu haruslah
dihormati, dilindungi serta dipenuhi. Untuk itu, berkaca dengan kasus Monika
Zonggonau bahwa Negara sudah lalai dalam menjalankan kewajibannya terhadap
Hak Asasi Manusia. Untuk itu butuh peran serta penegak hukum agar menjalankan
tugas sebagaimana mestinya, bagi para oknum polisi yang melakukan demikian ,
seharusnya ada peran dari masyarakat untuk melaporkannya ke Propam agar
oknum tersebut ditindak tegas agar tidak akan adalagi peristiwa mengenai
penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang. Sedangkan jika yang
melakukan adalah seorang jaksa penyidik dibutuhkannya peran dari komisi
kejaksaan untuk menindak dan membina. Mengingat sebenarnya penahanan itu
sendiri adalah hal yang mengurangi HAM, untuk itu terdapat instrument hukum
yang membatasi dengan adanya larangan penahanan sewenang-wenang yang
tercantum dalam pasal 9 ICCPR dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang
97 Adnan Buyung Nasution, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal.97.
98 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur, (ed), Almanak Hak Asasi
Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, (Jakarta: IDSPS, 2009), hal.218.
44
Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1. Untuk itu penulis memberikan
saran kepada penegak hukum agar lebih berhati-hati menerapkan system hukum,
terlebih mengenai pengurangan hak. Karena apabila hal tersebut tidak dilakukan
dengan hati-hati dan bijaksana, maka akan banyak korban berjatuhan seperti
Monika Zonggonau.
Bahwa selanjutnya, saran untuk penegak hukum agar lebih memperhatikan
hak-hak tersangka atau terdakwa karena perlu dipahami bahwa mereka yang
berstatus tersangka ataupun terdakwa adalah mereka yang belum tentu salah.
Sehingga perlakuan mereka tidak boleh sama dengan terpidana yang telah terbukti
bersalah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adji, Indriyanto Seno.Penyiksaan dan Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif KUHAP.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.1998
Ali, Mahrus.Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penangkapan dan Penahanan
dalam Hukum Acara Pidana.Yogyakarta: PUSHAM UII.2015
Harahap, Yahya. pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Penyidikan dan Penuntutan.Jakarta:Sinar Grafika.2015
Hirsch, Andrew von. Censure and Proportionality. dalam A Reader on Punishment,
disunting oleh Antony Duff dan David Garlan, Oxford University Press,
Oxford, sebagaimana dikutip oleh Salman Luthan, Kebijakan Penal Mengenai
Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Disertasi Program Doktor Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 160-161
Kamus Besar Bahasa Indonesia,2006
Klatt, Matthias. Positive Obligations under the European Convention on Human
Rights. Max- Planck-Institut für ausländisches öffentliches Recht und
Völkerrecht.2011
Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi,ed.2,cet.1,Jakarta:Sinar
Grafika.2010
Makaarim, Mufti Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur, (ed). Almanak Hak
Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009. Jakarta: IDSPS.2009
Nasution, Adnan Buyung. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1997
_____________________ dan A.Patra M.zen.Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia.Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.2006
45
Prasetyo, Dedi. Diskresi Kepolisian Pada Tahap Penangkapan Tersangka Terorisme.
University of Brawijaya Press:Malang, 2014
Purnomo. Pokok-pokok Tata Cara Peradlilan Pidana Indonesia dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981. Yogyakarta: Liberty.1993
Prodjohamidjojo, Martiman. Penangkapan dan Penahanan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1984
Ridwan.Hukum Administrasi Negara. Cet. Keenam. Rajawali Press: Jakarta, 2011.
Rover, C de. To Serve and To Protect: Acuan Universal Penegakan HAM. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.2000
Smith, Rhona K.M.Hukum Hak Asasi Manusia. Jakarta: PUSHAM UII Press.2008
Artikel
Basic Law Bulletin Issue. The Principle of Proportionality and the Concept of Margin
of Appreciation in Human Rights Law. 15 December, 2013
Flores, Imer. Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation.
Georgetown Public Law and Legal Theory Research Paper. 2013
Human Rights Watch. Human Rights Watch: Langkah Awal yang Tersiksa. Jakarta:
Human Rights Watch.2004
Meagher, Dan.The Principle of Legality as Clear Statement Rule : Signifiance and
Problem. Sydney Law Review. Vol 36,2014,hlm.416
Ugochukwu, Basil. Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in
Comparative Context: Lessons for Nigeria. York University and Transnational
Human rights Review. Volume 1, 2014, hlm 6
Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. UU No.8 Tahun 1981. LN
Tahun 1981 No.76. TLN No.3209
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor, 14 Tahun 2012
Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 10 (b.29)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”)
Internet
46
Detiknews, “ Kronologi Penangkapan Teror Bambang Widjojanto”,
http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-terorbambang-widjojanto pada 25 November 2016
Kontras,”Kronologi Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang Terhadap Ibu
Monika Zonggonau”,
http://www.trunity.net/kontraspapua/view/article/164977/ diakes pada
1 April 2016
Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”,
http://www.pikiranrakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedangkejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016
http://digilib.unila.ac.id/18289/2/BAB%20I.pdf diakses pada 3 April 2016
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2673/1/T1_312008059_Judul
.pdf diakses pada 3 April 2016
47
REBRANDING SISTEM PEMILU
Abstraksi
Salah satu konsekuensi logis dari sistem demokrasi adalah penerapan pemilihan
umum (Pemilu) unutk memilih para pejabat publik seperti kepala negara, kepala
daerah ataupun anggota legislatif. Di Indonesia sistem ini tetap meninggalkan
cacat dimana-mana. Setiap kali terjadi suksesi pejabat publik, disana kerap terjadi
pelanggaran nilai-nilai luhur dalam kehidupan bersama, seperti praktik politik
uang, black campaign, dsb. Kenyataan ini lantas menciptakan banyak keraguan
pada sistem pemilu yang berujung pada kegairahan banyak intelektual untuk
menata kembali sistem yang boros dan tidak adil ini. Merebranding kembali sistem
pemilu adalah salah satu cara yang bisa ditawarkan. Karena banyak orang yang
masih awam dengan demokrasi, dengan pemilu, dan perangkat-perangkat pemilu
lainnya.
Florianus Apung, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, 082340706080,
[email protected]
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Judul ini dipilih melihat fakta pemilihan umum yang carut-marut dalam
praktik berdemokrasi Negara Indonesia. Pemilihan umum yang dianggap sebagai
representasi dari semangat demokratis justru sering menjadi tidak demokratis. Hal
ini dibuktikkan oleh sejumlah fakta di lapangan, seperti serangan fajar menjelang
pemilihan, kampanye hitam (black campaign), kongkalikong dengan pengusaha dan
perusahaan-perusahaan asing, surat suara yang rusak, tawuran antara masa
pendukung calon, daerah yang hanya memiliki calon tunggal, dan sebagainya.
Selain itu, pemilihan umum juga kerap menjadi moment menghamburhamburkan uang atau kas daerah/negara. Negara ini harus membayar mahal untuk
sebuah sistem yang boros. Pertanyaannya adalah bukankah lebih cerdas jika uang
untuk membiayai pilkada dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
khususnya masyarakat miskin dan terpencil? Pemilihan umum bahkan kerap
menjadi ajang perjudian, menebak siapa yang bakal memenangi pemilihan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksudkan dengan rebranding sistem pemilu?
2. Mengapa sistem pemilu harus direbranding?
48
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan rebranding sistem pemilu
2. Menjelaskan alasan-alasan tentang urgensitas rebranding
2. METODE
Objek kajian penulis dalam menggarap tulisan ini adalah beragam persoalan
yang melilit kehidupan politik Negara Indonesia. Penulis mengacu pada persoalan
yang terjadi di wilayah domisili penulis yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan
mengerucut pada persoalan tentang Pemilihan umum kepala daerah, anggota
legislatif dan dewan perwakilan daerah. Dengan teori-teori tentang demokrasi
modern yang ada, persoalan-persoalan aktual seputar pemilihan umum dianalisis
untuk mendapatkan titik terang persoalan.
Teknik kajian tulisan ini adalah studi kepustakaan dengan membandingkan
kenyataan pemilu di NTT dengan teori demokrasi modern yang ada. Penulis
mencoba mendapatkan data tentang persoalan pemilu dari media cetak maupun
media daring yang kemudian dijadikan juga sebagai referensi dalam menggarap
tema tulisan ini.
3. PEMBAHASAN
3.1 Memotret NTT
Menelusuri alam Nusa Tenggara Timur (NTT), orang akan dihantar pada satu
kesimpulan bahwa NTT adalah wilayah yang kaya baik dari aset alam, kebudayaan,
maupun demografi. Akan tetapi kekayaan itu tidak berbanding lurus dengan
kehidupan ekonomi masyarakat. Di tengah kegelimangan kekayaan, kemiskinan
yang sifatnya sistemik dan menahun masih mengakrabi orang NTT, bahkan seakanakan orang NTT menjadi orang asing di tanahnya sendiri. Berdasarkan data yang
dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi NTT (15/09/2015) pada Maret 2015
jumlah penduduk miskin di NTT mencapai 1.159,84 atau 22,61%. Padahal
September 2014 jumlah penduduk misikin hanya mencapai 991.888 orang atau
19,60%. Antara September 2014 hingga September 2015 jumlah penduduk miskin
di NTT naik 160.000 orang.99
Selain persoalan kemiskinan, persoalan serius lain yang sedang dihadapi saat
ini adalah angka pengangguran dan ketimpangan sosial yang semakin meningkat.
Tragisnya lagi bahwa ironi yang sangat jelas membingkai kehidupan masyarakat ini
sering tidak disadari baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh para pemegang
tampuk kekuasaan, sehingga tidak heran, suksesi kepemimpinan menjadi sebuah
formalitas demokrasi semu dan penuh kecurangan tanpa pernah mampu
melahirkan para pemimpin yang cerdas dan tanggap. Pembangunan pun gagal,
99 Alsis Goa Woanga OFM, Nyawa Tak Semahal Tambang (Data Opini), Flores Pos Edisi 21
Oktober 2015. P.12
49
karena pembangunan belum dikatakan berhasil jika kemiskinan, pengangguran,
dan ketimpangan menjadi lebih buruk.100 Sampai pada titik seperti ini sebuah
pertanyaan substansif mesti dilayangkan: mengapa semua itu terjadi?
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab seandainya dipahami bahwa pada
awalnya politik menjadi pintu masuk menuju masyarakat yang sejahtera.
Seandainya kehidupan politik di NTT ditata sedemikian sehingga pemerintah
menjadi mengerti dan masyarakat menjadi paham, maka persoalan kemiskinan bisa
diatasi dengan baik. Politik yang ditafsir sebagai sarana untuk membangun bonum
commune sering ditafsir, lantas dijadikan arena pertarungan yang tidak sehat, penuh
intrik, kotor, dan berbahaya. Para politisi maupun pemerintah terjebak dalam
pemikiran ekonomis, bahwasannya politik adalah ladang tuai dimana mereka tidak
menabur. Dengan kata lain politik dipandang sebagai lapangan kerja untuk mereguk
untung semaksimal mungkin. Politik tidak dipandang sebagai lahan pengabdian,
tetapi dijadikan sebagai lahan investasi. Pada gilirannya orang kebanyakan pun
selalu menjauh, jika yang diperbincangkan adalah politik. Politik menjadi fobia yang
tidak boleh dibicarakan. Politik hanyalah milik para politisi, milik pemerintah, dan
milik segelintir orang yang peduli tentangnya.
Sampai pada titik seperti ini, politik sudah mengalami pergeseran paradigma
yang sangat masif. Banyak orang, sekalipun sudah diberikan pendidikan politik
tidak memahami apa arti penting kehidupan politik. Hal ini semakin diperparah oleh
sepak terjang partai-partai politik yang dari hari ke hari semakin pragmatis. Partai
politik yang diharapkan menjadi promotor sosialisasi politik malah terjebak dalam
kalkulasi untung rugi. Partai politik cukup sering hanya tampil di masa kontestasi
politik demi konsolidasi suara bagi calon-calon yang didukungnya. Sepak terjang
mereka tidak jarang kontraversial. Ada kesan bahwa para kader partai yang menjadi
anggota tim sukses sering terlibat dalam kampanye yang tidak menyehatkan,
terlibat dalam politik uang, melakukan serangan fajar demi memenangi kontestan
yang didukung, dan sebagianya. Di masa vakum hajatan demokrasi, partai politik
pun turut vakum.
3.2 Sistem Otonomi Daerah yang Gagal
Sistem otonomi daerah (Otda) pertama kali dicetuskan setelah reformasi
tepatnya pada tahun 2001 dengan tujuan agar pembangunan tidak lagi
tercentralisasi dan hanya menjadi urusan pemerintah pusat. Otonomi daerah lahir
dengan harapan bahwa daerah mampu menentukan sendiri segala tetek-bengek
urusan pembangunan, dalam arti bahwa daerah dalam hal ini provinsi dan
kabupaten diberikan kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa
intervensi dari pemerintah pusat.
Sistem otonomi daerah ini diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Pasal 1 ayat 5 yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
100 Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar
Krisis Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3S:, 2001), p. xi.
50
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Bila pengertian ini disimak dengan baik
sesungguhnya daerah mempunyai legitimasi dan kewajiban untuk mengurus
sendiri dan mengatur daerahnya masing-masing dengan tujuan utama adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
masyarakat.101
Akan tetapi apa yang diidam-idamkan dalam otonomi daerah ini tidak sesuai
dengan gagasan dasar dan praktik di lapangan. Otonomi daerah telah melahirkan
korupsi yang terdesentralisasi. Pemerintah daerah telah menjadikan sistem ini
sebagai tameng untuk membenarkan praktik kejahatan yang dilakukan pada tingkat
daerah. Gagasan dengan menyerahkan kekuasaan kepada daerah untuk mengolah
sumber daya alam (SDA) daerah berjalan timpang. Alih-alih memberikan manfaat
kemakmuran bagi daerah, otda tampaknya lebih tampak sebagai pemberian kuasa
kepada daerah untuk mengeksploitasi SDA. Paska pemberlakuan Otda negeri ini
menjadi surga bagi perusahaan-perusaahan asing khususnya perusahaanperusahaan tambang.102 Pemberlakuan Otda telah memberikan kesempatan bagi
para penguasa untuk memberi izin usaha pertambangan bagi perusahaanperusahaan asing itu. Otda telah menciptkan konspirasi tingkat dewa antara
penguasa dan pengusaha untuk mengeksploitasi tidak hanya alam lingkungan tetapi
juga mengeksploitasi masyarakat khususnya masyarakat kecil yang sering tidak
berdaya menghadapi tangan kejam kospirasi.
Otda sebagai bagian produk politik sejak reformasi telah menjadi sistem
yang turut mendukung meningkatkan angka kemiskinan di NTT. NTT juga termasuk
dalam provinsi dengan intensitas korupsi terbesar. Korupsi yang ditemukan di NTT
ini sering melibatkan oknum-oknum dalam birokrasi dengan beragam modus. Entah
korupsi dana sosial, proyek, dana pendidikan, dana kesehatan, dan lain sebagainya.
Korupsi telah menjadi litani dan seakan-akan mendarah daging dalam tubuh
birokrasi di NTT dan ironisnya pula, masyarakat kerap tidak tahu dan tidak
memperjuangkan uangnya itu untuk membangun kehidupan yang lebih layak.
3.3 Korupsi Dana APBD
Otonomi daerah sebagai produk reformasi dan dengan demikian produk
demokrasi diyakini lebih banyak mendatangkan masalah bagi daerah khususnya
terkait korupsi yang juga ikut terdesentralisasi. NTT sudah sejak lama mendapat
predikat sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Selain berita-berita korupsi yang
sudah diberitakan oleh media, banyak kasus korupsi yang masih terelubung. Di
kalangan birokrat indikasi korupsi terjadi dalam kasus mark-up dan proyek fiktif.
Mark up atau penggelembungan harga terjadi pada pengadaan barang dan jasa
sedangkan proyek fiktif terjadi pada pembelanjaan alat-alat tulis kantor, perjalanan
101
Kustiawan, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan RI
(artikel).
102 Ferdy Hasiman, Monster Tambang, Gerus Ruang Hidup Warga NTT, (Jakarta: JPIC OFM,
2014), p.15.
51
dinas, kegiatan rapat atau pelatihan.103 Dana APBD yang seharusnya mesti
diprioritaskan untuk pembangunan lebih banyak dihabiskan untuk pembelanjaan
hal-hal tidak penting keperluan birokrat. Di akhir bulan, gaji mereka tetap lancar,
gaji yang tidak sebanding dengan kualitas kerja mereka.
Selain dikorupsi melalui mark-up dan belanja siluman, dana APBD dipakai
juga melalui tindakan kolusi dan nepotisme. Tindakan busuk yang sudah ditanam
pada era Soeharto masih bisa ditemukan dengan gampang di daerah-daerah di NTT.
Misalnya kasus di Manggarai, mayoritas jatah beasiswa Pemda dari dana APBD jatuh
ke anak-anak pejabat eksekutif dan legislatif. Pemberian beasiswa tidak didasarkan
pada kompetisi terbuka, juga tidak ada keberpihakan khusus kepada anak dari
keluarga yang kurang mampu menyekolahkan anak mereka yang berprestasi
gemilang.104 Sungguh sebuah ironi bahwa para pejabat yang sebenarnya mampu
menyekolahkan anak mereka dengan gaji bulanan mereka, malah dengan tidak tahu
malu menggelapkan APBD yang bisa diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu.
NTT adalah sebuah paradoks, di saat banyak anak-anak pejabat dengan mudah
masuk ke universitas-universitas mahal negeri ini, di saat bersamaan banyak anakanak yang tidak mampu mencicipi indahnya bangku kuliah, SMA, SMP, atau bahkan
Sekolah Dasar.
Di alam demokrasi korupsi tampaknya berkembang biak dengan subur dan
bahkan masif. NTT pada dasarnya adalah provinsi yang kaya dan subur, akan tetapi
korupsi seakan-akan telah memotong pelan-pelan urat nadi kehidupan di NTT,
sehingga tidak heran predikat lain pun sering disematkan pada provinsi ini yaitu
provinsi termiskin. NTT dikenal bukan karena kekayaan alam, budaya, dan
sosialnya tetapi justru karena kejahatan yang dilakukan oleh para pejabatnya.
Korupsi apa pun bentuknya adalah sebuah tindakan yang merugikan kepentingan
umum. Dan sumber segala tindakan itu adalah kehidupan politik yang memang
kotor dan berbahaya. Orang yang terjun ke dunia politik tidak lain adalah calon dan
para koruptor yang menjadikan posisi atau jabatannya sebagai lahan
mengenyangkan perut atau kebun dimana mereka tidak menabur apa-apa.
Pembangunan di NTT akan selamanya macet dan bahkan bisa terhenti seandainya
korupsi tidak diberantas secara serius.
3.4 Kapitalisasi Politik
Pertanyaannnya sekarang adalah seberapa pentingkah peran politik bagi
pemberantasan kemiskinan di NTT? Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam
ruang politik keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan terkait kehidupan
orang banyak (kesejahteraan, keadilan, dsb) dieksekusi. Ruang politik adalah ruang
komunikasi, karena di dalamnya orang bisa dengan bebas mengemukakan pikiran
dan pandangan demi kebaikan dan kemajuan bersama. Politik hemat saya adalah
raja yang menguasai bidang-bidang lain. Politik merambah ke bidang, ekonomi,
sosial, hukum, budaya, hingga kebiasaan masyarakat. Kualitas bidang-bidang ini
103 Cypri J. Paju Dale, Kuasa Pembangunan dan Kemiskinan Sitemik, (Labuan Bajo: Sunspirit
Books, 2013), p.225.
104 Cypri J. Paju Dale, Lock.Cit. p.226.
52
ditentukan oleh seberapa dalamnya kualitas kehidupan politik di NTT. Stabilitas
politik menjadi titik tolak pembangunan dalam kehidupan masyarakat. Stabilitas
politik itu sendiri dibentuk oleh syarat-syarat dalam bidang politik seperti
penyederhanaan partai politik, pembatasan partisipasi politik, dihapuskannya
oposisi politik, penerapan asas kebebasan bertanggungjawab bagi pers, dan
penciptaan massa mengambang pada tingkat di bawah kecamatan. Dari titik tolak
stabilitas politik inilah pembangunan itu mulai bergerak.105
Gagalnya pembangunan bisa ditafsir karena pembangunan yang selalu
bertitik tolak dari kehidupan ekonomi. Padahal stabilitas politiklah yang menjamin
pembangunan dan dengan demikian menjamin pertumbuhan ekonomi. Menurut
Max Corden, krisis pembangunan yang terjadi di Indonesia bersumber dari
kesalahan pengelolaan pemerintahan (misgovernment), korupsi, masalah transisi
politik, tidak adanya rasa aman bagi masyarakat beretnis, dan jatuhnya harga
minyak.106 Maka mengabaikan bidang ini, berarti mengabaikan kehidupan itu
sendiri sebagai konsekuensi dari hidup bernegara.
Namun demikian politik dibawah naungan demokrasi, telah menjadikan
ajang Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah, Gubernur ataupun Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai ajang utang-piutang, ajang investasi, awal dari proses
pemiskinan rakyat. Untuk pemilihan seorang bupati saja, dana kampanye yang
dihabiskan bisa mencapai 5-20 miliyar, gubernur bisa mencapai 10-400 milyar, dan
lain sebagainya. Membayar 2-3 miliyar kepada partai politik supaya seorang calon
bupati bisa didukung dalam sebuah pilkada merupakan praktik yang biasa
terjadi.107
Dalam ketentuan pembatasan dana kampanye terbaru pun masih cukup
mahal. Ketentuan itu diatur rigid dalam peraturn KPU Nomor 8 Tahun 2015
tentanga dana kampanye. Sumber dana kampanye bisa berasal dari pasangan calon,
partai politik atau sumber lain yang sah. Bentuknya bisa berupa uang, barang, atau
jasa. Pasal 7 peraturan KPU itu menyebut, dana kampanye yang berasal dari
sumbangan pihak lain perseorangan nilainya paling bayak Rp.50 juta rupiah. Dana
kampenye yang berasal dari kelompok atau badan hokum swasta nilainya paling
banyak Rp.500 juta rupiah. Tentang pembatasannya, pasal 12 ayat 1 menjelaskan,
KPU Daerah menetapkan pembatasan pengeluaran dana kampenye dengan
memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah
peserta kampanye, standar biaya daerah, bahan kampanye yang yang diperlukan,
cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik dana manajemen
kampanye/konsultan.108
Pertanyaannya sekarang adalah darimana seorang calon kepala daerah
memperoleh dana sebesar itu? Di NTT, besarnya dana kampanye itulah yang
menjadikan seorang Sebastian Salang, (seorang bakal calon bupati Manggarai)
mengundurkan diri dari bursa calon bupati Manggarai beberapa periode yang lalu.
Ignas Kleden, Konstruksi Sosial Pemimpin, (Opini Kompas Edisi 29 Oktober 2015). P. 6.
Ibid. p. 304.
107 (Bdk.http://.kendariekspres.com/news.php?newais=6252).
108 (Bdk. hhtp://Detiknews.Peraturanpembatasandanakampanyepilkada.com).
105
106
53
Demokrasi yang dijunjung tinggi pada gilirannya menjadi sebuah sistem
yang mahal dan boros. Sistem yang mahal dan boros inilah yang kemudian
dieksploitasi oleh sistem kapitalisme melalui kaum pemilik modal-dalam hal ini
adalah korporasi-korporasi asing-untuk menjalin hubungan asmara dengan para
calon pemimpin tersebut dengan sebuah deal bahwa seorang pengusaha atau
pemilik korporasi akan membiayai seluruh dana kampanye seorang calon asalkan
jika calon terpilih, maka korporasi bersangkutan mendapat izin untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kekuasaan sang calon dengan bebas.
Inilah yang terjadi di NTT.
Efek lain dari hal ini adalah tendensi untuk menjadikan jabatan sebagai lahan
mencari nafkah dan memperkaya diri. Tak pelak, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN)
terjadi dimana-mana. Seorang bupati menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya.
Di pihak lain, visi dan misi yang didengungkan selama masa kampanye menjadi janji
yang tidak pernah dibuktikan. Banyak bupati yang belum menyadarai bahwa
menjadi bupati bukannya untuk memperkaya diri dan keluarga, melainkan
membangun struktur dan infrastruktur ekonomi daerahnya.109 Maka sampai pada
titik seperti ini, masyarakatlah yang menjadi kambing hitam. Menjamurnya
korporasi-korporasi tambang di NTT sudah menjadi bukti semuanya itu. Korporasi
tersebut bergerak semau gue saja, menutup diri terhadap lingkungan sosial, dan
menjadi organisasi yang kebal hukum. Lalu timbul kecurigaan: Jangan-jangan
sistem yang telah dianut selama ini, baik nasional maupun di wilayah lokal NTT
diciptakan oleh korporasi-korporasi asing ini?
Politik di NTT akhirnya tidak bebas nilai dan jauh dari cita-cita awal
Aristoteles untuk bonum commune, bahkan politik itu sendiri berada di bawah
kendali total bidang ekonomi. Maka politik pun tidak lain adalah sarana meluruskan
dan memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi tambang yang oleh Ferdy Hasiman
disebut sebagai monster. Pertambangan menghancurkan sumber hidup dan masa
depan masyarakat.110 Tambang yang digadang-gadang mampu meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah isapan jempol belaka. Tambang mempunyai
daya destruksi yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan keuntungan yang
didapat. Inilah yang kemudian dinamakan kapitalisasi politik. Politik dipretel hanya
pada tujuan ekonomis semata. Hal ini dipraktikkan secara murni dan konsekuen
oleh para penguasa wilayah NTT.
Demokrasi dan pemilihan umumnya hanyalah sandiwara ciptaan kaum
kapitalis. Kaum kapitalis telah lama mencampuri urusan politik di lingkup NTT,
barangkali sejak diberlakukannya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Lantas,
penguasa terjebak dalam lingkaran setan ciptaan kaum korporasi. Maju salah,
mundur salah. Yang bisa dilakukan hanyalah terus memperkaya diri dengan
mempecundangi rakyat yang telah memilihnya. Jelaslah pepatah Cina kuno yang
dikutip pada awal tulisan ini: Ketika seseorang menjadi pejabat, bahkan kucing dan
anjingnya pun masuk surga. Binatang piaraan para penguasa terus bertambah
gemuk dan sehat, sementara masyarakat NTT terus-menerus berkubang dalam
jurang kemiskinan dan ketidakadilan. Menyitir Cypri J.P. Dale: ‘NTT for Sale’.
109
110
Zakaria J, Ngelow dkk, Teologi Politik, (Makasar: Oase Intim, 2013), p. 144.
Ferdy Hasiman, Op.Cit. p. 158.
54
Pemerintah, mulai dari seluruh perangkat kerja dan wewenang yang ada padanya
menjadi tenaga penjual dari properti yang bernama Indonesia umumnya dan NTT
khususnya.111
3.5 Rebranding Sistem Pemilu: Sebuah Solusi
NTT yang elok, kaya, dan permai tidak seelok dan sekaya masyarakatnya. Jika
dianalogikan, bak tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung padi. Pertanyaannya
sekarang adalah apa yang mesti dilakukan?
Demonstrasi tolak tambang terjadi hampir setiap tahun di wilayah NTT.
Akan tetapi, hampir setiap demonstrasi tidak diikuti oleh follow-up yang berarti dari
pemerintah. Keadaan ini semacam pembiaraan yang dilakukan oleh pemerintah
bahwa, setelah demo, masyarakat akan bungkam lagi dan dengan demikian mesinmesin tambang akan tetap beroperasi.
Kemiskinan yang masih menggerogoti sebagian orang NTT bersifat
sistematis dan struktural dan untuk membongkarnya bukanlah perkara mudah.
Tetapi hal yang barangkali bisa dilakukan adalah dengan mengubah sistem
pemilihan umum yang menjadi kebiasaan sejak reformasi. Sistem pemilihan umum
yang dipraktikkan selama ini jauh dari cita-cita awal sebagai bentuk penghargaan
terhadap demokrasi. Sistem pemilu yang dipraktikkan selama ini bahkan bisa
disebut telah meludahi demokrasi. Demokrasi yang mulia dilukai oleh praktikpraktiknya yang tidak pernah bersih. Alam demorasi seakan-akan telah mensahkan
praktik-praktik kejahatan di tubuh birokrasi.
Sistem pemilu mesti diatur agar tetap sejalan dengan demokrasi disatu pihak
dan dipihak lain menjadi sistem yang tidak mahal dan tidak boros. Hal ini bisa
dilakukan apabila sejak dini masyarakat diberikan sosialisasi untuk menyadari
dirinya sebagai makhluk yang hidup dalam sebuah komunitas besar yaitu negara.
Apabila sistem pemilu di NTT menjadi sistem yang hemat, maka tendensi untuk
menggandeng korporasi-korporasi asing dalam memenangi pemilihan bisa dicegah.
Jokowi hemat saya telah membuktikkan hal itu. Hanya orang-orang yang sungguh
menyadari masa depannya yang sungguh memberikan pilihan pada pemimpin yang
benar. Right man on the right place. Para calon pemimpin pun mesti bersosialisai
sejak awal dan tidak menunggu ketika pemilu hendak diselenggarakan, sehingga
track reccord yang menjadi acuan sebagian konstituen bisa diketahui dengan jelas.
Dari sini belenggu kemiskinan yang masih membingkai kehidupan orang NTT bisa
dibongkar hingga tercapailah kesejahteraan yang selama ini penyebarannya tidak
merata.
Sistem hukum pun mesti ditata secara benar dan tegas. Hukum yang lemah
dan mudah termakan suap telah menumpulkan idealisme pembangunan. Penataan
kehidupan politik yang bermartabat mesti dimulai dari rana hukum. Aturan pemilu
dibentuk bersamaan lahirnya hukuk-hukum yang tegas dan berwibawa. Celah-celah
hukum cukup sering dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyelamatkan diri. Orang
111
Cypri J. Paju Dale, Op.Cit. p.4.
55
yang sebenarnya secara jelas dan bahkan terbukti korupsi masih bisa meluputkan
dirinya dari penjara yang sudah disiapkan untuknya. Sementara seorang nenek tua
yang kedapatan mencuri jagung di kebun orang karena laparnya misalnya
dijebloskan dengan gampang ke dalam penjara. Para koruptor masih sering
berkeliaran dengan bebas di negeri ini dan di NTT.
Rebranding sistem pemilu bukanlah perkara yang rumit apabila semua
elemen daerah NTT berpartisipasi aktif di dalamnya. NTT bukan milik siapa-siapa,
melainkan milik semua orang NTT dan generasi yang akan datang. Bagi pemerintah
bersikap tanggap terhadap wacana yang datang dari akar rumput adalah suatu
keharusan. Bersikap sebaliknya, hanya akan menampilkan wajah lain dari
pemerintahan yang sedang berlangsung yaitu kediktatoran. KKN terjadi karena
sistem yang menciptakan peluang untuk KKN itu sendiri. Maka sistem mesti ditata
kembali mulai dari hulu sistem bersangkutan.
Bagi masyarakat, untuk tetap menyadari bahwa relasi antara negara dan
masyarakat adalah relasi hak-kewajiban. Pemberian dari pemerintah kepada
masyarakat bukanlah bantuan pemerintah tetapi hal tersebut merupakan
kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memberi kenyamanan kepada
warganya. Masyarakat juga mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya,
sesuatu yang mesti digunakan untuk menyadari pemerintah daerah tentang
kemiskinan dan ketidakadilan yang semaknin masif.
4. KESIMPULAN
Mengubah sistem apapun itu tetap bukanlah perkara mudah. Setiap perubahan
akan selalu menimbulkan rasa sakit. Tetapi bukankah emas murni juga di bakar
dalam api agar sungguh memiliki kualitas yang baik. Maka sekalipun sulit, hal itu
bukanlah sesuatu yang mustahil. Rebranding atau menata kembali platform pemilu
kita bisa dilakukan seandainya semua orang mempunyai kesadaran yang sama
betapa kehidupan politik memainkan peran penting dalam mengatasi kemiskinan,
pengangguran, dan ketimpangan sosial. Biaya politik yang besar meskipun dengan
alasan demi tegaknya demokrasi tetap menjadi hal yang irasional dan tidak
manusiawi.
NTT yang terhitung sebagai provinsi termiskin dengan indikasi korupsi terbesar
akan selamanya menjadi provinsi yang tidak maju-maju, jika tidak mengubah sistem
yang telah memberikan peluang pada korupsi yang telah menciptakan kemiskinan
struktural hingga ke pelosok-pelosok. Maka dibutuhkan komitmen bersama untuk
keluar dari masalah pelik ini. Otonomi daerah telah diberikan. Ada baiknya jika
kebebasan untuk menentukan diri ini diimplementasikan dengan pelan dan
terstruktur demi mengubah sistem yang telah lama memberi peluang bagi
suburunya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
56
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Chaniago, A Andrinof. Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap
Akar Krisis Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3S. 2001.
Hasiman, Ferdy, Monster Tambang, Gerus Ruang Hidup Warga NTT. Jakarta: JPIC
OFM. 2014.
Dale, Cypri J. Paju. Kuasa, Pembangunan dan Kemiskinan Sitemik. Labuan Bajo:
Sunspirit Books. 2013.
Ngelow, Zakaria dkk. Teologi Politik. Makasar: Oase Intim. 2013.
Internet:
http://.kendariekspres.com/news.php?newais=6252. Diunduh 30 September
2015.
hhtp://Detiknews.Peraturanpembatasandanakampanyepilkada.com. Diunduh 4
Oktober 2015
Artikel
Kompas Edisi Kamis 29 Oktober 2015
Flores Pos Edisi Rabu 21 Oktober 2015
Kustiawan, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan RI
(artikel PDF dari P. Alex Jebadu, SVD)
57
IKHTIAR MEMUTUSKAN MATA RANTAI KORUPSI
DENGAN PENGUATAN DEMOKRASI
Abstrak
Saat ini, demokrasi menjadi sebuah tema diskursus krusial. Hal ini berkaitan
dengan dualisme wajah dari sistem politik ini di mana di satu sisi dianggap sistem
yang mampu mencapai kebaikan publik dan di sisi lain juga, menyediakan
kesempatan bagi penyelewengan kekuasaan. Dalam konteks korupsi, demokrasi
seringkali diragukan banyak orang. Mengapa? Sebagaiman yang diketahui,
demokrasi adalah sistem politik yang menempatkan kekuatan rakyat sebagai
elemen paling fundamental. Namun demikian dalam kenyataannya kita sering
menyaksikan bahwa demokrasi hanyalah monopoli kaum elite, mereka yang
diberikan kedaulatan. Demokrasi seringkali mengalienasikan demos
(warganegara) dan mementingkan kratos (pemerintah). Memperkuat demokrasi
dalam dirinya adalah solusi pertama untuk memecahkan problem ini. Hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: dengan meredefinisi demos dan kratos dan
memperbaiki struktur demokrasi itu sendiri.
Kata kunci: Korupsi, Demos, Kratos, dan Penguatan demokrasi.
Abstract
Nowadays, democracy becomes a very crucial theme to be discussed. This is about the
dualism face of this political system which in one side is seen as capable system in
reaching public interest and in the other side also permissively give opportunity for
power misusing. In the context of corruption, democracy is now often doubted by
many people. Why? As many people know, democracy is a political system which
place people power as the most fundamental element. Nevertheless, in the fact we
often see that democracy is only a monopoly of elites, they who are given people
sovereignty. Democracy often alienates demos (citizens) and emphasizes kratos (the
government). Strengthening democracy in it’s self is the first solution to solve this
problem. This indicates two manners, Firstly, by redefining demos and kratos and
secondly, by renewing structure of democracy in it’s self.
Keywords: Corruption, Demos, Kratos, and strengthening Democracy
Sififaldus Foya, 085338640945, [email protected]
Antonius Octaviano Susabun, 082340129875, [email protected]
58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Musuh bersama yang dari waktu ke waktu belum juga mampus hingga kini
adalah perbuatan rasuah (korupsi). Sejak hegemoni VOC menggariskan sejarahnya
di kepulauan nusantara, korupsi tidak pelak merupakan tindakan pelanggaran yang
paling jamak menuai kecaman publik. Setelah hegemoni kolonialisme Belanda
berakhir dan Pemerintahan Indonesia dihandle menjadi otonom, bahaya ini tidak
hilang melainkan kian merebak. Bahkan dalam buku “Korupsi Mengorupsi
Indonesia (2009; 1047), Aan Rukmana, menggambarkan kecemasan Wapres Hatta
terhadap meluasnya praktek korupsi kala itu. Itulah mengapa setelahnya Soeharto
menyebut periode kekuasaannya sebagai Orde Baru, sebuah antitesis atas Orde
Lama Soekarno yang sarat korupsi. Namun, Orde Baru akhirnya terbukti tidak
mampu membendung gelombang besar rasuah dalam dirinya yang akhirnya
menjadi biang keladi kejatuhannya pada medio 1998.112 Kemudian babak sejarah
baru reformasi pun tak lupa mencatat warna lama. Hingga kini, diksi reformasi ini
mengandung jutaan tanda tanya besar, entahkah linear dengan faktum atau
sebaliknya justru menjadi bumerang atas harapan bersama. Gambaran ini paling
tidak menggiring kita pada kesepakatan bahwa korupsi memang nyaman dalam
dimensi waktu kapan pun. Lain lagi kisah korupsi yang nyaman dalam dimensi
ruang. Jika dahulu korupsi adalah khas Soeharto dan koncoismenya maka sekarang
korupsi pun terdesentralisasi sampai pada tingkat rendah.113
Transisi menuju demokrasi ini menciptakan situasi yang menuntut sebanyak
mungkin orang untuk terlibat dalam pemerintahan. Pelbagai bentuk pemekaran
daerah kekuasaan yang memiliki otonomi baru pun semakin merajalela. Dwifungsi
dalam militer pelan-pelan kabur dan diganti dengan demokrasi yang memberi
peluang dan kemungkinan bagi rakyat sipil untuk menjadi pemimpin atau
pemegang kekuasaan. Cikal bakal demokrasi ini kemudian dianggap sebagai angin
segar yang akan membawa suasana baru dalam tubuh Indonesia. Bahkan, seorang
Sastrawan Jerman, Jochen Buchsteiner menyebut kelahiran demokrasi di Indonesia
sebagai Asiatische erfolgstory (kisah sukses di Asia).114 Namun, wajah demokrasi
yang baru muncul itu kemudian dicemari oleh sederet fakta tragik seputar korupsi,
oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, dan kasus lainnya yang
berujung pada pelemahan terhadap demokrasi. Alhasil, sanjungan yang baru saja
bergema itu lantas berubah bentuk, remuk, dan hilang lenyap. Yang tersisa,
hanyalah implikasi yang secara nyata disaksikan dalam pelbagai penyelewengan
dan tindakan koruptif.
Rumusan Masalah
112 A Yogaswara, Biografi Daripada Soeharto: Dari Kemusuk Hingga “Kudeta Camdessus”,
(Yogyakarta: Medpress, 2008), hlm. 207.
113 Anno Susabun, “Mencintai Koruptor”, Pos Kupang, (5 Januari 2016), hlm. 4.
114 Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 12.
59
1. Bagaimana cara memutuskan mata rantai korupsi dalam negara demokrasi
modern?
2. Langkah strategis apa yang dilakukan untuk mengentas masalah korupsi yang
sudah mengurat akar?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena korupsi dalam negara
demokrasi modern terutama di Indonesia serta upaya solutif-strategis dalam
menanganinya. Analisis ini diharapkan berguna bagi penguatan demokrasi dalam
rangka menuntaskan masalah korupsi yang ditimbulkan oleh demokrasi itu sendiri.
PEMBAHASAN
Mencermati Tindakan Koruptif Dalam Pemerintahan Otoriter dan Demokrasi
Jika dibandingkan dengan masyarakat tradisional, korupsi dalam
masyarakat modern jauh lebih berbahaya. Jika dalam masyarakat tradisional-feodal
struktur kebutuhan bersifat stabil, maka dalam masyarakat industri modern
kebutuhan kebutuhan masyarakat bercorak dinamis dan terus bertambah.115
Alasannya adalah bahwa perkembangan masyarakat industri modern amat
ditentukan oleh adanya kebutuhan yang berorientasi pada produksi dan
peningkatan produksi. Hal ini berarti bahwa produksi tidak dapat diperluas secara
terus menerus jika kebutuhan masyarakat tetap stabil. Karena itu, masyarakat
modern menyulap setiap kebutuhannya menjadi keinginan. Dan metode yang
dipergunakan untuk mengubah kebutuhan menjadi keinginan adalah dengan
menggunakan pelbagai teknik periklanan. Iklan merupakan sarana untuk
menimbulkan keinginan terhadap barang yang sering tidak terlalu dibutuhkan. Di
sini terlihat kekuatan teknik periklanan menyebabkan suatu pergeseran dari
ekonomi kebutuhan ke ekonomi keinginan.116
Pergeseran tersebut mengimplikasikan juga suatu perubahan pandangan
tentang pola konsumsi bahwa konsumsi tidak hanya dilihat sebagai menjadi lebih
(being more) melainkan terutama memiliki lebih (having more). Kecenderungan
memiliki lebih ini pada gilirannya merambat pada paradigma tentang status sosial,
bahwa semakin banyak seseorang memiliki sesuatu, semakin tinggi tingkat
kedudukannya dalam strata sosial di masyarakat (seurity social). Jika tendensi
“memiliki lebih” dalam konsumsi semakin mendorong pola hidup yang berorientasi
pada status maka makin kuatlah kecenderungan untuk beranggapan bahwa
identitas pribadi seseorang akan ditentukan oleh apa yang dimilikinya.117 Hal ini
Frans Magnis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 119.
Bdk. Fuad Hasan, “Pendayagunaan Fungsi Pengawasan Dalam Rangka Disiplin
Pembangunan”, Prisma, (Tahun XII, Nomor 2 Februari 1983), hlm. 14-21.
117 Ibid.
115
116
60
sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa dalam masyarakat modern pertumbuhan
korupsi amat pesa.
Dalam pandangan yang cukup lama berkembang, korupsi identik dengan
sistem pemerintahan otoriter. Sebagaimana yang terjadi semenjak adanya kultus
individu terhadap Kim Il Sung di Korea Utara, di mana hampir seluruh irama
kehidupan orang-orang Korea ditentukan oleh sang penguasa, hingga munculnya
pemerintahan otoriter di China dengan kehadiran Mao Zedong, Hitler di Jerman, dan
Soeharto di Indonesia, sistem pemerintahan otoriter tak pelak telah membuka
peluang yang amat besar untuk terjadinya monopoli dan hegemoni kekuasaan yang
berujung pada tindakan-tindakan koruptif.118 Bukti-bukti tak terbantahkan berupa
menumpuknya utang akibat pinjaman luar negeri selama pemerintahan otoriter
berlangsung, sedikit banyak membenarkan anggapan tersebut. Sebaliknya,
demokrasi selalu dianggap paling capable dalam menjaga keteraturan kekuasaan
agar terhindar dari tindakan-tindakan koruptif. Namun, sebetulnya anggapan
tersebut terlalu berlebihan. Megaskandal yang terjadi di negara-negara demokrasi
seperti USA, Jepang, dan Indonesia cukup membuktikan bahwa negara demokrasi
sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk tidak terjadinya korupsi.
Secara konseptual, term korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan
antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan
jabatannya. Pada masa sebelumnya, raja-raja tradisional yang telah menghabiskan
uang negara (uang umum) tidak dianggap melakukan korupsi, karena masih ada
kesatuan konsep bahwa raja adalah representasi dari negara. Di dunia barat, pasca
revolusi Perancis, penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi khususnya
dalam hal keuangan dianggap korupsi.119 Konsekuensi logis dari realitas ini adalah
mulai bergulirnya paham demokrasi dari satu negara ke negara lain. Sistem yang
muncul menjelang berakhirnya kejayaan filsafat modern ini berciri politik
keterwakilan atau seorang pejabat politik diberi kepercayaan untuk menjalankan
wewenang atau kekuasaan dari rakyat. Hemat kami, sejak itu pula muncul
penyelewengan kekuasaan dalam sistem demokrasi dan menyebabkan lahirnya
masalah korupsi yang merajalela hingga sekarang.120
Korupsi di Indonesia: Sebuah Penyakit Genetik
Secara juridis, term korupsi mulai digunakan di Indonesia pada saat
Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 dipromulgasikan. Dalam
peraturan tersebut ditegaskan bahwa segala perbuatan yang merugikan keuangan
Hal yang sama bisa terlihat dalam pelbagai kajian tentang maraknya praktek korupsi di
negara-negara seperti Somalia, Myanmar, Afganistan, Irak, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Sudan
yang merupakan negara dengan sistem politik otoriter. Bdk. Matias Daven, “Korupsi dan Demokrasi”,
Manuskrip Seminar Sehari Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Sabtu, 12 Maret 2016.
119 Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, Prisma, Thn. XII Nomor 2, Februari 1983, 3-13.
120 Lembaga Transparancy International mengetengahkan bahwa term korupsi mulai
muncul semenjak adanya penyelewengan kekuasaan para pejabat politik yang berusaha melawan
hukum dan mengarah ke tindakan memperkaya diri.
118
61
dan perekonomian negara dinamakan korupsi.121 Namun, praktik korupsi sudah
dimulai semenjak sistem kapitalisme, (sistem ekonomi yang mengutamakan
prospek pencarian keuntungan sebesar-besarnya sambil meminimalisir kerugian
sekecil-kecilnya), masuk ke Indonesia ratusan tahun silam menunggangi sebuah
serikat dagang Belanda (VOC)122 yang juga merupakan penganut garis keras sistem
ini. Kehadiran VOC yang pada awalnya mengintensikan suatu gerakan dagang
ternyata bergeser drastis ke arah gerakan menjajah yang sejatinya memaksa siapa
pun yang dijajah untuk mengamini apapun yang diinginkan si penjajah. Dari situ,
sistem kapitalisme bawaan VOC pun diterima oleh masyarakat Nusantara yang pada
gilirannya terpengaruh lantas menggeser kultur tradisionalnya. Kapitalisme yang in
se mengandung intensi besar mendapatkan keuntungan membuat kebutuhan
masyarakat dari waktu ke waktu semakin kompleks.123 Maka, dengan cara apapun
kebutuhan yang diciptakan dari hasrat memiliki yang berlebihan itu dirasa mesti
selalu terpenuhi. Salah satunya dengan melakukan tindakan korupsi, merampas
kekayaan bersama demi kepentingan pribadi.
Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno, melalui seruannya “go to hell, your
aid” berusaha memutuskan mata rantai kapitalisme. Akan tetapi, idealisme ini
ternyata dipandang banyak pihak sebagai tindakan merugikan negara-negara
industri yang mengharapkan bahan mentah dari bumi Indonesia. Karena merasa
dirugikan dengan hilangnya pasokan bahan mentah serta daerah pemasaran,
kekuatan negara-negara kapitalisme akhirnya berusaha sekuat tenaga untuk
menggagalkan idealisme Soekarno. Satu-satunya cara yang dianggap mempan ialah
dengan menghancurkan Soekarno itu sendiri. Maka dibuatlah suatu gerakan devide
et impera, mengadu domba kekuatan-kekuatan strategis di Indonesia. Politik devide
et impera ini dimanifestasikan dengan cara menyekolahkan secara diam-diam
beberapa ‘orang kuat’ Indonesia, semisal para mafia Berkeley yang kemudian
menjadi para penguasa Orde Baru, sambil melakukan brainwash sedemikian rupa
sehingga ketika pulang ke Indonesia merekalah yang akan menjadi kaki tangan
kapitalisme menghancurkan kekuasaan Soekarno.
Namun, setelah berkuasa, Orde Baru ternyata tidak terbukti lebih baik dari
era sebelumnya. Pada masa ini, kejahatan korupsi merupakan suatu kekhasan yang
tak terelakkan dari sejarah bangsa Indonesia. Ciri pemerintahan sentralistik
totalitarian yang eksklusif untuk kalangan elite dan alergi kritik semakin
menumbuhsuburkan
korupsi.
Pinjaman-pinjaman
luar
negeri
yang
Bdk. Transparasi Internasional Indonesia, Indonesia Bersih Uang Pelicin. Buku Panduan
Organisasi Gerakan Bersama Entitas Bisnis, (Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, 2014),
hlm. 13.
122 Bernard Vlekke mencatat bahwa Orang-Orang Banda menyerahkan monopoli
perdagangan rempah kepada para pedagang Belanda yang kemudian memacu terbentuknya
Kompeni Hindia Timur Bersatu (Vereenigde Ostindische Compagnie, VOC) pada tahun 1602. Bdk.
Bernard M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, penterj. Samsudin Berlian, (Jakarta: Kepustakaan
Popular Gramedia, 1961), hlm. 132.
123 Alex Jebadu, “Relasi Pertambangan, Kekejaman, Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan
Ekonomi”, dalam, Richard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis. Dari Manggarai-Flores Untuk Indonesia,
(Jakarta: JPIC OFM Jakarta, 2013), hlm. 185.
121
62
mengatasnamakan rakyat dikorupsi untuk kepentingan segelintir elite pusat
beserta kroni-kroninya.124
Dengan harapan yang besar, reformasi menjadi angin segar yang konon
diharapkan menjadi semacam antitesis Orde Baru. Perjuangan memakzulkan
Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun itupun berhasil. Namun demikian,
reformasi pada kenyataannya ternyata jauh panggang dari api. Apa yang mau
didapatkan dari reformasi ini ternyata menyisakan problem yang semakin pelik.125
Korupsi terdesentralisasi seiring desentralisasi kekuasaan. Pembengkakan
birokrasi menimbulkan kemungkinan pembengkakan anggaran yang berimplikasi
pada besarnya kemungkinan korupsi berjemaah. Menghadapi situasi seperti ini
tidak sedikit orang merasa muak, lantas berusaha untuk keluar dari situasi seperti
ini. Akan tetapi, sekuat-kuatnya upaya publik, kekuatan politik penguasa memang
tidak tergoyahkan. Alhasil, upaya publik hanya menjadi suara sumbang di luar ruang
sidang penguasa, ibarat domba yang berusaha menyerang serigala. Akibatnya, lama
kelamaan rasa muak publik pun mulai bergeser menjadi rasa cemburu, mengapa
yang satu lebih kaya dan yang lain miskin.126 Atas dasar itu, perlombaan menjadi
kaya dengan jalan kejahatan korupsi pun dimulai. Atmosfer negara pun turut
tergiring ke arah penjungkirbalikan nilai-nilai etika. Yang sebenarnya salah
dibenarkan sebab banyak orang berlomba-lomba melakukannya.
Perlombaan korupsi memotivasi banyak orang untuk menjadi pemenang,
menuju siapa yang akan memiliki paling banyak. Setelah menang, hasrat untuk
memiliki lebih banyak (having more) semakin menjadi-jadi. Lalu disiasatilah caracara menggolkan hasrat memiliki lebih itu, antara lain; Pertama, di tingkat lokal,
kekayaan budaya dijadikan mekanisme baru untuk melakukan ritual suapmenyuap. Sebagai contoh, uang rokok yang sejatinya secara adat digunakan sebagai
bentuk ungkapan permohonan maaf atas kesalahan malah mengalami peyorasi
makna menjadi uang untuk meminta jabatan atau jatah tertentu dari pemangku
kekuasaan. Dadang Trisasongko, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
bahkan pernah mengatakan demikian, “ Tidak mudah menyelesaikan kasus uang
pelicin. Dilakukannya secara masif di masyarakat, mengindikasikan bahwa bahwa
uang pelicin sering diperdagangkan dalam nominal transaksi kecil dan frekuensi
transaksi sedikit. Penindakan hukum terhadapnya dirasakan teramat boros dan
membebani keuangan negara. Diperlukan pengembangan strategi lebih daripada
penindakan”.127 Kedua, di level elite atas yang memiliki banyak uang, kegiatan suapmenyuap dengan uang pelicin semakin dimungkinkan terjadi, tanpa ada rasa takut.
Untuk mempersoalkan kejahatan mereka pun, dibutuhkan kekuatan ekstra untuk
dapat menolak tawaran suapan baru. Dengan kata lain, apapun dapat dilakukan oleh
mereka yang memiliki banyak uang. Persis inilah yang menjadi masalah dasar
negara demokrasi modern.
A. Yogaswara, op.cit., hlm.190.
Afan Gaffar, Politik Indonesia.Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 312-313.
126 Fredy Sebho, Monologion, (Maumere: Ledalero, 2016), hlm. 97-101.
127 Dadang Trisasongko, “Menjawab Tantangan Terbesar Upaya Pemberantasan Korupsi di
Indonesia”, Transparansi Internasional Indonesia, Loc. cit.
124
125
63
Akar Korupsi dalam Sistem Demokrasi di Indonesia
Pada dasarnya Indonesia sebagai sebuah negara baru yang terlepas dari
kekuasaan kolonialisme mendambakan suatu sistem politik yang lebih baik. Hal ini
merupakan akibat dari ketidakpuasan masyarakat akan sistem kolonialisme yang
cenderung hanya mengakui otoritas elite masyarakat, terutama dalam mekanisme
pengambilan kebijakan publik yang pada saatnya bersentuhan langsung dengan
hayat hidup semua anggota masyarakat. Maka setelah melalui pelbagai
pertimbangan, para founding fathers akhirnya memutuskan untuk memilih
demokrasi sebagai solusi pemecah kebuntuan sistem kolonialisme yang telah lama
tertanam dalam nubari bangsa Indonesia.128
Pada mulanya, bayi demokrasi ini tumbuh dengan sehat. Ini terbukti dengan
adanya upaya untuk menciptakan kemandirian politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Namun ketika usianya belum benar-benar matang, ia sudah dihantam lagi oleh
suatu diskursus lain seputar sistem pemerintahan presidensial, terpimpin, dan
parlementer. Variasi sistem yang dipilih ini sebetulnya hanya merupakan suatu
percobaan, ad experimetum, dalam rangka mencari suatu sistem yang cocok bagi
bangsa Indonesia yang baru saja merdeka, meski akhirnya demokrasi itu sendirilah
yang bertahan hingga sekarang. Dari pelbagai kajian, sistem demokrasi yang dianut
bangsa Indonesia ternyata berjalan dengan kaki pincang. Demokrasi seolah berjalan
dalam lumpur mahatebal, sehingga harus terseok-seok dan tertatih-tatih. Apalagi,
di tengah semarak kasus korupsi yang kian hari kian merajalela dan menyita
perhatian ekstra publik. Lantas pertanyaan yang mencuat ke permukaan ialah, segi
mana dari demokrasi yang memungkinkan terjadinya korupsi dan segi mana dari
demokrasi yang mengganyang kemungkinan-kemungkinan tersebut?
Demokrasi pada titik ini merupakan jalan terbaik versi para founding fathers
dan kita semua, untuk keluar dari kebuntuan kolonialisme. Akan tetapi, dalam
kerangka pemahaman membangun sebuah bangsa yang demokratis, sistem
keterwakilan senantiasa diandaikan terjadi.129 Dalam artian, sistem demokrasi
dalam sebuah bangsa sebesar Indonesia, selalu mengandaikan adanya sistem
pemandatan kekuasaan pada pihak-pihak yang dipercaya dapat memanage
kehidupan bersama sebagai sebuah negara. Namun sistem keterwakilan ini,
seringkali berujung pada suatu pengingkaran atas kepercayaan yang telah
dimandatkan. Apa yang terjadi dalam praksis demokrasi keterwakilan, ternyata
bukan keharmonisan antara wakil dan konstituen seperti yang diharapkan
melainkan suatu ketimpangan di mana wakil rakyat yang dimandatkan lebih
mementingkan self-interestnya ketimbang kepentingan rakyat. Padahal kekuasaan
yang mereka emban sebetulnya merupakan kekuasaan rakyat, atau kekuasaan dari
mereka yang berada di luar ruang sidang.
128 Beberapa periodisasi sistem demokrasi Indonesia yakni Demokrasi Pemerintahan Masa
Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer yang kemudian gagal (1950-1959), Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila Era Orde Baru, dan Demokrasi di Masa reformasi.
Periodisasi ini sedikit banyak menjelaskan bagaimana para pemimpin Indonesia berusaha mencari
format demokrasi yang baik dan cocok untuk Indonesia. Bdk. Afan Gaffar, op.cit., hlm. 10-41.
129 Ibid., hlm. 282.
64
Distorsi kekuasaan semacam ini tentu tidak bisa menghindari adanya bahaya
korupsi. Sinyalemen keterkaitan antara kejahatan korupsi dengan kekuasaan
memang pernah dilontarkan sosiolog Piers Beirne dan James Messerschmidt yang
berpendapat bahwa korupsi merupakan suatu yang erat kaitannya dengan
kekuasaan.130 Barangkali pernyataan dua sosiolog ini juga terinspirasi dari adagium
lama Lord Acton, “…power tends to corrupt…and absolute power corrupt
absolutely…”. Memang, tak dapat dibantah bahwa kekuasaan dan kecenderungan
melakukan kejahatan korupsi (baca: penyelewengan) adalah bagai dua sisi mata
uang yang tak terpisahkan.
Berdasarkan pandangannya itu, Beirne dan Messerschmidt membagi tindak
pidana korupsi menjadi empat tipe, yaitu;131 Pertama, political bribery, yaitu korupsi
di lingkungan kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Korupsi
jenis ini seringkali dipicu oleh para pemodal dengan jalan menyiapkan modal bagi
kemenangan seorang legislator. Di dalamnya terdapat hidden agenda yakni investasi
jangka panjang agar legislator membuat undang-undang yang menguntungkan si
pemodal. Dalam konteks Indonesia, korupsi jenis ini sangat tidak asing. Banyak
produk undang-undang yang secara jelas memperlihatkan keberpihakan legislator
kepada pemilik modal. Produk legislasi DPR dan pemerintah era reformasi dinilai
banyak disuapi kepentingan asing. Prof. Sri Edi Swasono menyebut kenyataan
tersebut sebagai bentuk kolonialisme baru yang menghisap Indonesia. Sebagai
contoh UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disponsori USAID
(United States Agency for International Development), dalam rangka liberalisasi
sektor migas, penyesuaian harga minyak domestik dengan harga internasional, dan
supaya sektor asing boleh masuk dalam sector hilir ekonomi. 132 Di sini terdapat
konspirasi menjijikan antara legislator dan pemodal jelas merugikan rakyat
kebanyakan.
Kedua, Political kickbacks, yaitu korupsi yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan antara pelaksana atau pejabat yang terkait dengan
penguasa yang memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan banyak bagi
kedua belah pihak. Hal ini misalnya tampak dalam aktivitas pemerintah untuk
memuluskan pemenangan tender proyek perusahaan tertentu.133 Biasanya
mekanisme korupsi ini bermula ketika pada saat pemilihan umum si pemodal
menjadi pemasok dana yang cukup bagi kemenangan sang penguasa. Dengan kata
lain penguasa dan pengusaha menjadi dua variable yang senantiasa saling
Transparansi International Indonesia, loc.cit.
Ibid.
132 Desmond J Mahesa, DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia, (Jakarta: RMBooks, 2013),
hlm. 234-235.
133 Beberapa kasus yang menimpa Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah kasus Ijin
Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak transparan atau tidak melalui diskusi dengan masyarakat
umum. Para pemimpin mengambil keputusan sepihak sehingga seringkali terjadi konflik antara
warga dan pemerintah. Bdk. Aleksander Jebadu (ed.), Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau
Kutuk, (Maumere: Ledalero, 2009) hlm. 23-30.; Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa Pembangunan Dan
Pemiskinan Sistemik. Analisis Kontra-Hegemoni dengan Fokus Studi Kasus di Manggarai Raya, NTT,
Indonesia, (Labuan Bajo: Sunspirit for Justice and Peace, 2013. 147-149, 242-247.
130
131
65
mengandaikan, saling bertukar kontrak, lalu saling bekerja sama membangun
kemaslahatan koncoismenya serentak mengalienasi rakyat dari negerinya sendiri.
Ketiga, Election fraud, yaitu korupsi yang berkaitan dengan kecurangan
dalam pemilu yang dilakukan oleh peserta atau lembaga penyelenggaranya. Korupsi
jenis ini cukup terang benderang dalam praktik penyelenggaraan pemilihan umum
selama ini. Ritual suap menyuap antara kontestan dengan penyelenggara pemilu
menjadi tak terhindarkan tatkala hasrat memiliki kekuasaan teramat besar, meski
tanpa dibarengi modal keterpilihan (elektabilitas) yang mumpuni. Dalam hal ini
boleh dikatakan bahwa terdapat suatu pertalian yang begitu intim antara korupsi
dan politik uang (money politics). Kenyataan menunjukkan pula bahwa political
decay (peluruhan atau kerusakan politik) disebabkan oleh perilaku pemilih yang
menjual hak pilihnya dengan imbalan materi atau uang.134
Keempat, Corrupt campaign practice, di mana pemegang kekuasaan
menggunakan fasilitas dan keuangan negara dalam kegiatan kampanye politik. Kita
sering menyebutnya Black Campaign atau negative campaign. Senjata andalan
dalam kampanye hitam tersebut tidak lain adalah uang (money politics). Fenomena
ini seolah telah menjadi warna khas dalam setiap hajatan kampenye di Indonesia.
Para tim sukses dari setiap politisi melancarkan serangan fajar dengan menyogok
atau menyuap para konstituen untuk memilih politisi tertentu. Tentu, di saat-saat
yang krusial seperti ini, para politisi yang masih harap-harap cemas tak sungkansungkan mengeluarkan duit yang banyak entah itu dari hasil pinjaman atau bahkan
mungkin uang negara. Tak pelak, banyak orang merasa jengkel lalu menyerukan,
“Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!” Ada juga yang mengkampanyekan slogan
antithesis, “Stop Politik Uang; Jangan Ambil Uangnya dan Jangan Pilih Orangnya”.135
Dari keempat modus korupsi di atas kita sudah dapat menarik kesimpulan
bahwa sebenarnya tindakan koruptif di Indonesia sudah diatur sedemikian rupa
dan sangat rapi. Para politisi dengan tahu dan sadar melakukannya tanpa ada
ketakutan. Di sini menjadi benarlah ungkapan dari seorang Sastrawan besar Asia
Tengah, Muhammad Iqbal, “Bangsa-bangsa di dunia terlahir dalam hati para
pujangga, namun kejayaan dan kehancurannya ada di tangan politisi.” Ungkapan
Iqbal ini bukanlah suatu slogan tanpa dasar, melainkan karena fakta telah
menunjukkan bahwa para politisilah yang menjalankan perikehidupan suatu
bangsa dan negara, sehingga di dalam genggaman (kekuasaan) merekalah,
tergantung kejayaan dan kehancuran sebuah negara.
Selain keempat tipe korupsi di atas, salah satu gejala umum demokrasi di
Indonesia adalah demos minus kratos. Dalam zaman antik Yunani klasik, istilah
demos muncul pertama kali untuk menjelaskan status individu yang menjadi warga
negara Athena.136 Mereka yang tergabung dalam warga negara Athena diakui
Ibid., hlm. 286.
Kompas.com, 18/9/2012; Beritasatu.com, 24/6/2012.
136 Orang-orang yang tergabung dalam demos, adalah semua warga laki-laki yang berusia di
atas 18 tahun kecuali budak, wanita, orang asing, atimia, dan warga negara pasif (para pengecut
perang, pelacur, penghutang, mereka yang tidak menghormati orang tuanya, dan mereka yang
menghancurkan kekayaan warisan orang tuanya), para pengkhianat polis, dan para konspirator yang
melawan konstitusi. Singkatnya, demos hanya terbuka bagi orang baik dan orang jujur. Bdk. A Setyo
134
135
66
berdasarkan ius sanguinis dan ius solis. Mereka adalah orang-orang yang lahir dan
bertumbuh dalam tanahnya sendiri (konsep autochtoni) serta orang-orang yang
diakui oleh raja Athena (sejak zaman Perichles 451 SM). Mereka ini memiliki hak
yang sama dalam sebuah polis. Biasanya mereka akan keluar dari oikos137 dan pergi
ke polis lalu membangun diskusi bersama dalam rangka menentukan siapa yang
layak memimpin mereka. Kesamaan hak itu memberikan peluang yang sama bagi
masing-masing orang untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin atau pemegang
tanggung jawab. Dari situlah lahir istilah kratos, yang merujuk pada orang yang
memimpin dan kepemimpinannya. Jadi, demokrasi merupakan termin baru yang
merupakan gabungan dari dua istilah ini, demos yang artinya rakyat dan
kratos/kratein, yang artinya pemerintahan/memerintah.138
Dalam perkembangan lebih lanjut, negara-negara modern mengadopsi
mekanisme ini sebagai suatu sistem yang menjadi dasar pijak bagi pembentukan
negara. Namun, dalam negara demokrasi modern, warga yang termasuk demos tidak
lagi terbatas pada laki-laki di atas usia 18 tahun tetapi juga perempuan dan anakanak yang menginjak usia 17 tahun serta hilangnya dikotomi tuan dan budak. Hal
ini bermula sejak revolusi Perancis mengumandangkan tiga slogan, liberte,
fraternite, dan egalite. Dengan demikian, semua warga negara yang menganut
sistem demokrasi, tanpa terkecuali diakui sebagai yang berhak penuh dalam setiap
sendi kehidupan bernegara.
Akan tetapi, promulgasi kesetaraan dan kesamaan hak ini tidak selalu
membawa implikasi positif. Kesetaraan dan kesamaan hak mengakibatkan
munculnya persoalan baru di mana ada demos yang sebetulnya tidak layak dalam
banyak aspek tetapi berhasil merebut kursi kratos, pemimpin dan pemangku
kekuasaan. Ketidaklayakan ini misalnya tampak dalam kurangnya integritas
kepribadian, tetapi karena memiliki hak yang sama mereka pun mengklain diri
mampu memimpin demos. Persis pada titik ini, apa yang jauh sebelumnya
diperingatkan Aristoteles mestinya kita ingat lagi, bahwa kepemimpinan tidak boleh
dipegang oleh orang-orang bodoh. Karena itu, konon Aristoteles terkenal sangat
menolak demokrasi.139
Demos minus kratos sebetulnya hendak mengungkapkan hal ini bahwa demos
atau rakyat yang telah memilih kratos sebagai pemimpinnya pada saat bersamaan
mengalami alienasi. Perilaku kratos seringkali jauh dari harapan pemberi kuasa
(demos). Demos minus kratos terjadi, lantaran demos sudah tidak lagi memiliki
modal, baik sosial maupun politik dalam percaturan kehidupan bernegara. Dalam
kasus ini, kratos pun semakin hari semakin giat mengganyang keterlibatan demos,
Wibowo, “Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani Kuno,” dlm.: F Budi Hardiman, Ruang
Publik. Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace, (Yogyakarta: Kanisius, 2010),
hlm. 42
137 Dalam tradisi sebelumnya, warga Yunani hanya mengenal basileus dalam oikos. Dalam
setiap oikos, terdapat basileus (kepala keluarga) atau yang dipandang memiliki fisik besar tanpa
memperhatikan kualitas pribadi secara kognitif.
138 Aristoteles, Politik (La Politica), penterj. Syamsur Irawan Kharie, (Jakarta: Visimedia,
2008), hlm. 182.
139 Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik. Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles,
(Maumere: Ledalero, 2010), hlm. 222.
67
bahkan pada titik tertentu menyengsarakan kehidupan demos. Inilah yang
dinamakan sebagai korupsi.
Korupsi dilakukan sebagai suatu perbuatan menyalahgunakan atau
menyelewengkan kekuasaan atau kedaulatan rakyat demi memenuhi kepentingan
pribadi atau kelompok elite pemerintah. Lebih lanjut, termin korupsi ini tidak
sesederhana seperti yang dipikirkan. Zaman yang kian maju membuat korupsi juga
kian maju, muncul dengan wajah dan modus-modus yang senantiasa diperbarui.
Meski demikian, esensi korupsi tetaplah sama yakni upaya ‘memakan’ kekayaan
bersama untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. Pada titik ini muncullah
korupsi politik yakni beralihnya tindakan koruptif individual menuju koruptif
institusional. Dan orang yang melakukan tindakan seperti ini tidak lain adalah
orang-orang berkuasa yang memiliki previlese-previlese tertentu dalam kehidupan
bernegara. Yang dirugikan tidak pernah berubah, tetaplah rakyat kecil, demos yang
konon selalu kalah dari orang yang menjadi wakilnya sendiri. Meski akibatnya tidak
langsung terlihat layaknya terorisme, korupsi secara perlahan menghancurkan
hayat hidup orang banyak akibat terkikisnya kualitas kehidupan.
Lantas menghadapi situasi yang demikian buruknya ini, apa yang mesti
dibuat guna menyelamatkan demokrasi dari perkumpulan bandit-bandit yang
selalu siap sedia merobek kemaslahatan publik?
Penguatan Demokrasi: Alternatif Logis
Mengingat akar permasalahan korupsi pada sistem demokrasi dipicu oleh
ketidakberesan sistem itu sendiri, maka alternatif logis untuk memecahkannya
harus dikembalikan kepada demokrasi itu sendiri. Beberapa hal yang kami
rekomendasikan sebagai jalan keluar atas kejahatan korupsi yang mengurat akar
dalam sistem demokrasi di Indonesia adalah;
Pertama, penguatan demokrasi itu sendiri. Penguatan demokrasi dalam hal ini
hemat kami merujuk pada suatu kegiatan perombakan atau lebih tepatnya
pembaruan pada definisi demos dan kratos. Problematika demos minus kratos yang
pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mesti dirombak dengan meredefinisi
kedua termin ini dalam dirinya. Demos, rakyat atau publik yang merupakan warga
negara sebenarnya membutuhkan suatu upaya konsientisasi atau penyadaran agar
benar-benar memahami kapasitas dan posisinya dalam percaturan hidup
bernegara. Demos adalah rakyat yang memiliki kekuasaan, sesuai amanat demokrasi
yang mendefinisikan dirinya menyitir ungkapan Abraham Lincoln sebagai
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rayat. Dalam kaitan dengan hal ini,
konsientisasi dapat dilakukan top-down melalui kebijakan strategis pemerintah.
Namun, pertanyaannya, dalam situasi politik morat-marit yang dipadati politisi
busuk, apakah cara ini relevan?
Pada titik ini, dibutuhkan sinergi kuat antar-aktivis pro demokrasi. Dalam hal ini,
konsientisasi tidak serta merta diserahkan sebagai tugas pemerintah. Lembagalembaga swadaya masyarakat, terutama yang berkonsentrasi pada isu-isu sosial
politik dituntut untuk bekerja sama menyadarkan masyarakat dengan meredefinisi
68
makna demos dan kratos. Selain itu, ekspektasi juga disandarkan pada komunitaskomunitas akademik, misalnya sekolah-sekolah atau universitas, untuk dapat
berjuang menjadi playmaker dalam program konsientisasi. Hal ini dapat dieksekusi
dengan banyak cara, misalnya meggagas diskusi-diskusi ilmiah dan penelitian
lapangan.
Penguatan demokrasi mengandaikan adanya upaya memperkuat setiap
aspek atau segi dari sistem demokrasi tersebut. Demokrasi yang kuat adalah
demokrasi yang menjunjung tinggi hukum (semisal tidak kompromistis terhadap
kejahatan korupsi),140 membuka peluang kebebasan berpendapat (pers) yang
kemudian memperketat pengawasan terhadap kinerja pemerintah, menampilkan
pemimpin-pemimpin berintegritas yang tidak hanya bermodalkan uang dan
demagogi-demagogi busuk, dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan cara
menempatkan kepentingan rakyat pada posisi tertinggi dari semua intensinya.
Kedua, menciptakan suatu struktur baru yang menutup sekecil-kecilnya
kemungkinan terjadinya perbuatan koruptif dengan mengadopsi kearifan-kearifan
dalam budaya lokal. Dalam masyarakat tradisional terdapat tata aturan adat istiadat
yang mengikat setiap orang.141 Bentuk ikatan tata aturan tersebut bersifat rigit dan
tidak dapat dinegosiasi berdasarkan kehendak pribadi. Hal ini dapat ditemukan
dalam setiap komunitas masyarakat tradisional misalnya, Masyarakat tradisional
Manggarai di Flores, NTT,142 Masyarakat adat Lio, Flores, NTT, Masyarakat adat
Badui, di Banten, Masyarakat adat Dayak di Kalimantan, dan Masyarakat adat Asmat,
di Papua. Nilai-nilai antikorupsi dalam masyarakat tradisional tampak jelas dalam
praktik hidup harian masyarakat tersebut. Misalnya, nilai kejujuran tampak ketika
anak-anak diajarkan untuk tidak mengambil barang orang lain tanpa meminta izin.
Ada juga nilai gotong royong atau kekeluargaan yang meningkatkan kepekaan dan
kontrol sosial dalam masyarakat.
Dalam komunitas masyarakat adat Lio di Flores, misalnya, terdapat Mosalaki,
yaitu seorang yang menjadi tuan tanah dalam suatu kampung. Dalam praktiknya,
mosalaki berperan sebagai tetua yang mengatur keseharian hidup setiap orang
dalam kampung itu. Tata aturan kampung dijaga secara ketat dengan referensi
utama pada sang mosalaki. Perlu diketahui, dalam konteks lokal ini, mosalaki sama
sekali bukan prototipe seorang pemimpin otoriter seperti yang dikenal dalam
sistem pemerintahan modern. Mosalaki adalah seorang yang dihormati karena
wibawanya untuk mengatur kampung sesuai adat istiadat. Ia tidak berada di luar
tata aturan, melainkan juga ada dalam lingkaran itu. Kalau ia berbuat salah, maka
tanggungannya akan lebih dahsyat daripada orang lain. maka, kewibawaan seorang
Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Aksara,
1983), hlm. 22-32.; Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta:
Gramedia, 1984), hlm. 136-139.
141 Ajip Rosidi, Korupsi dan Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), hlm. 46-47.
142 Dalam Masyarakat adat Manggarai, sistem pembagian tanah mengikuti pola paternalistik
sesuai ketentuan tetua adat yang berhak atas garis demarkasi antara tanah yang satu dengan tanah
yang lain. Bdk. Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, (Ende: Nusa Indah, 1999),
hlm. 226-229. Dalam Masyarakat adat Lio juga, ketentuan pembagian tanah diatur oleh seorang
Mosalaki sebagai tetua adat.
140
69
mosalaki betul diakui dan dihargai. Dengan demikian, tata aturan dan adat istiadat
kampung tidak begitu saja dapat dikompromi atau dinegosiasi.
Untuk setiap komunitas masyarakat adat seperti ini, ketaatan terhadap
perintah adat lebih besar dibandingkan dengan ketaatan terhadap hukum positif.
Dengan kata lain, mereka bisa saja mengabaikan hukum positif, namun tak dapat
menolak hukum adat. Hal ini menegaskan perbedaan fundamental antara hukum
adat yang dipegang oleh masyrakat tradisional dengan hukum positif yang menjadi
acuan dari semua negara demokrasi modern. Hukum adat dalam masyrakat
tradisional bersumber dari keyakinan-keyakinan tertentu yang dasariah yang tidak
kompromistis. Sedangkan hukum positif dalam negara demokrasi modern
didasarkan pada konsensus bersama, di mana larangan-larangan dan hukumanhukuman yang terkandung di dalamnya disesuaikan dengan tingkat kepatuhan dari
mereka yang membuatnya.
PENUTUP
Kesimpulan
Persoalan korupsi dalam negara demokrasi modern memang dipicu oleh
banyak hal terutama adanya kesempatan yang sama dalam memimpin dan
dipimpin. Kesempatan ini tak ayal telah mendorong banyak orang untuk mau
terlibat dalam setiap perhelatan politik karena sudah diikat dengan pelbagai janji
atau jaminan yang ada. Namun, di tengah hiruk pikuk persoalan rasuah yang
semakin merajalela sistem suatu negara tidak lantas harus berubah serentak,
melainkan mencoba untuk dirunut dalam sistem itu sendiri. Setiap sistem yang ada
pasti memiliki konsekuensi praktis.
Indonesia yang telah memilih sistem demokrasi sebenarnya sudah menjadi
prestasi yang luar biasa mengingat kelahirannya sangat dramatis dan penuh
perjuangan. Cita-cita para pejuang demokrasi para awalnya sungguh mulia karena
dalam sistem ini rakyat sendirilah yang akan menjadi pemimpin. Harapan ini
kemudian diformulasikan dalam kesuksesan pemilu di tahun-tahun awal masa
demokrasi. Namun, tak dapat disangkal bahwa sejalan dengan keberhasilan
tersebut, pelbagai kegagalan tetap muncul dan menjadi aroma paling dominan
dalam setiap hajatan pemilu. Hal ini memang disadari tetapi belum ditindak secara
optimal. Salah satu tawaran solutif agar kita tidak bernostalgia dengan sistem
otoriter Orde Baru adalah dengan melakukan penguatan pada tubuh demokrasi itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aristoteles. Politik (La Politica), penterj. Syamsur Irawan Kharie. Jakarta: Visimedia,
2008.
70
Dale, Cypri Jehan Paju. Kuasa Pembangunan Dan Pemiskinan Sistemik. Analisis
Kontra-Hegemoni dengan Fokus Studi Kasus di Manggarai Raya, NTT,
Indonesia. Labuan Bajo: Sunspirit for Justice and Peace, 2013.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia.Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya. Jakarta:
Gramedia, 1984.
Jebadu, Aleksander (ed.). Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk.
Maumere: Ledalero, 2009.
Jebadu, Alex. “Relasi Pertambangan, Kekejaman, Neoliberalisme, dan Ilusi
Pertumbuhan Ekonomi”, dalam, Richard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis.
Dari Manggarai-Flores Untuk Indonesia. Jakarta: JPIC OFM Jakarta, 2013.
Koten, Yosef Keladu. Partisipasi Politik. Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles.
Maumere: Ledalero, 2010.
Magnis-Suseno, Frans. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Gramedia, 1995
Mahesa, Desmond J. DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia. Jakarta: RMBooks,
2013
Purnomo, Bambang. Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: Bina
Aksara, 1983.
Rosidi, Ajip. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006.
Sebho, Fredy. Monologion. Maumere: Ledalero, 2016.
Sindhunata. Sakitnya Melahirkan Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Toda, Dami N. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah,
1999.
Trisasongko, Dadang. “Menjawab tantangan Terbesar Upaya Pemberantasan
Korupsi di Indonesia”. Dalam, Transparasi Internasional Indonesia.
Indonesia Bersih Uang Pelicin. Buku Panduan Organisasi Gereakan Bersama
Entitas Bisnis. Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, 2014.
Vlekke, Bernard M. Nusantara: Sejarah Indonesia, penterj. Samsudin Berlian.
Jakarta: Kepustakaan popular Gramedia, 1961.
Wibowo, A Setyo. “Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani Kuno,” dalam,
F Hardiman, Budi (ed). Ruang Publik. Melacak Partisipasi Demokratis dari
Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Yogaswara, A. Biografi Daripada Soeharto. Dari Kemusuk Hingga “Kudeta
Camdessus”. Yogyakarta: Medpress, 2008.
Majalah dan Manuskrip
71
Daven, Matias “Korupsi dan Demokrasi”, Manuskrip Seminar Sehari Seminari Tinggi
Santo Petrus Ritapiret, Sabtu, 12 Maret 2016.
Hasan, Fuad “Pendayagunaan Fungsi Pengawasan Dalam Rangka Disiplin
Pembangunan”, Prisma, Tahun XII, Nomor 2 Februari 1983.
Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, Prisma, Thn. XII Nomor 2, Februari 1983.
Harian
Susabun, Anno. “Mencintai Koruptor”, Pos Kupang, 5 Januari 2016.
Kompas.com, 18/9/2012; Beritasatu.com, 24/6/2012.
72
Download