Center for Legislacy, Empowement, Advocacy, and Research yang selanjutnya disebut CLEAR adalah lembaga sosial yang bersifat independen dan bergerak dalam bidang kajian dan penelitian. Sejak didirikan pada tanggal 31 Juli 2009 silam di Jakarta, CLEAR memiliki fokus kajian dengan ruang lingkup legislasi dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum. Secara struktural CLEAR merupakah salah satu unit kerja dibawah yayasan PALAPPA dengan pendirian akta notaris Nomor: C-06.HT.03.01-Th.2006, tanggal 7 Februari 2006. Dalam langkah kontributifnya, selain penelitian CLEAR juga berpartisipasi langsung dalam melakukan advokasi bagi para pencari keadilan (justitiabelen), serta berfungsi pula sebagai sarana sumbangsih pemikiran untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, berbudi pekerti luhur, berpendidikan, berwawasan, sebagai sarana untuk mendorong meningkatkan kesadaran hukum, dan pengabdian kepada masyarakat. Tujuan dari CLEAR adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berwawasan luas, berbudaya nusantara, mandiri, sejahtera lahir dan batin serta mewujudkan negara yang bersih, adil dan demokrasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sasaran CLEAR adalah melakukan kajian ilmiah untuk memberikan suatu pandangan terhadap peningkatan peran Lembaga Eksekutif agar terwujudnya good governance, mendorong peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran, serta mendorong peningkatan integritas lembaga Yudikatif dalam peradilan yang bersih dan membangun Civil Society yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research Jl. Wolter Monginsidi No. 88 A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Indonesia Phone/Fax: (021) 7257775 [email protected] ii Adalah terbitan publikasi ilmiah berkala dari Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research (CLEAR) berupa karya-karya tulisan dari pemuda-pemudi dan masyarakat Indonesia. Adanya jurnal ini dimaksudkan sebagai sarana bertukar informasi, gagasan, dan kajian tentang permasalahan dan dinamika sosial yang pernah maupun sedang terjadi, terutama di bidang hukum. Penerbitan ini memuat tulisan ilmiah yang didasarkan pada kajian komprehensif dari para Penulis dan telah dimuat setelah melalui proses penyuntingan oleh Redaksi tanpa mengubah substansi sesuai naskah aslinya. Tulisan dalam penerbitan ini sepenuhnya merupakan pendapat dan tanggung jawab dari Penulis, dan tidak mewakili pendapat CLEAR. iii Volume 1, Januari 2017 Dewan Pakar Dr. Amir Syamsuddin, S.H., M.H. Dra. Halida Nuriah Hatta, M.A. dr. Niniek Purnomo Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. Drs. Muhammad Idris Luthfi, M.Sc. Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M. Dewi Novirianti, S.H., LL.M. Adhitya Chandra Wardhana, Ph.D. Penanggung Jawab Redaksi Gandjar Laksmana Bonaprapta, S.H., M.H. Pemimpin Umum Abdul Salam, S.H., M.H. Pemimpin Redaksi Rafli Fadilah Achmad, S.H. Redaktur Pelaksana Firman Adi Prasetyo Staf Redaksi Azam Hawari Boghi Megananda Ilma Sulistyani Desain Grafis dan Tata Letak Adrianus Eryan Alamat Penerbit Jl. Wolter Monginsidi No. 88 A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12170 iv SAMBUTAN REDAKSI Assalamualaikum wr. wb. Redaksi Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy and Research (CLEAR) bersyukur karena Jurnal SOMASI telah sampai ke tangan pembaca yang budiman. Tahun 2016 merupakan tahun yang membahagiakan bagi CLEAR, karena banyak pencapaian yang telah dilalui CLEAR, yang merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang kajian dan penelitian dengan ruang lingkup legislasi dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum, dalam upayanya mengabdi kepada bangsa Indonesia mengawal lalu lintas dalam dunia hukum kembali ke jalan yang benar sesuai dengan tagline CLEAR yakni “Law back on the track”. Salah satu pencapaian CLEAR tahun ini yakni untuk pertama kalinya berhasil menerbitkan Jurnal SOMASI. Output berupa jurnal yang diterbitkan kepada khalayak umum yang diharapkan dapat menjadi sebuha peringatan, atau somasi, kepada pemerintah dari masyarakat dalam menerapkan suatu kebijakan karena Indonesia adalah negara hukum dimana segala kebijakan yang diambil wajib berdasarkan hukum serta diharapkan dapat menjadi upaya untuk mengawal pemerintah dalam mengambil kebijakan yang ideal untuk kepentingan bersama. Jurnal SOMASI edisi pertama ini diharapkan juga mampu memberikan edukasi kepada seluruh pembaca yang budiman, serta mohon dukungannya kami juga akan terus mengadakan acara kompetisi jurnal serupa di Tahun 2017 mendatang, dengan mengadakan acara seperti ini redaksi dan tim selalu berharap bahwa CLEAR selalu dapat mengawal penyelenggara pemerintahan kedepannya. Redaksi selalu terbuka menerima saran dan kritik untuk kemajuan jurnal somasi edisi berikutnya. Mari kita sambut tahun baru 2017 dengan semangat dan harapan baru untuk Indonesia. Seluruh jajaran redaksi mengucapkan Selamat Natal tahun 2016 bagi pembaca yang merayakannya dan Selamat Tahun Baru 2017. Wassalamu’alaikum wr. wb. Redaksi dan Tim v DAFTAR ISI Jurnal Somasi ......................................................................................................................... i Tentang CLEAR ..................................................................................................................... ii Susunan Redaksi .................................................................................................................. iii Kata Pengantar...................................................................................................................... iv Sambutan Redaksi ............................................................................................................... v Strategi Pejabat Publik di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Untuk Menjadi Bos Lokal: Pergerakan Fuad Amin Sebelum Tahun 2015 Vita Rachim Yudhani, Muhammad Fadiel Sinaga, dan Sukabuji Abdullah ..................................................................................................................................................... 1-18 Pencegahan White Collar Crime Melalui Kebijakan Nonpenal Hilal Ramdhani ..................................................................................................................... 19-31 Larangan Penahanan Sewenang-Wenang Ditinjau dari Hak atas Keadilan Lady Arianita ......................................................................................................................... 32-47 Rebranding Sistem Pemilu Florianus Apung ................................................................................................................... 48-55 Ikhtiar Memutuskan Mata Rantai Korupsi dengan Penguatan Demokrasi Sififaldus Foya dan Antonius Octaviano Susabun ................................................... 58-72 vi STRATEGI PEJABAT PUBLIK DI BANGKALAN, MADURA, JAWA TIMUR, UNTUK MENJADI BOS LOKAL: PERGERAKAN FUAD AMIN SEBELUM TAHUN 2015 Abstract “Reformasi 1998” that occurred in Indonesia becomes the driving factor in the ever-expanding regional government authority. The authorization is obtained from the implementation of the decentralization policy which is stronger than before. As well as positive, it was found to have a negative impact. One example is the local public officials that use the decentralization policy as justification for the accumulation of wealth and power actions. The authors take Fuad Amin who was a Public Official in Madura, East Java as case study. Fuad Amin who ever stand as Bupati Bangkalan and Kepala Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan before being arrested by the Komisi Pemberantasan Korupsi in 2015 did a lot of deviations. They were done by using many instruments, so, he was named the "Local Boss". To analyze this case, the authors use local bossism theory from John Sidel with qualitative method. Keywords: accumulation of power and wealth, local boss, decentralization Kata kunci: akumulasi kekuasaan dan kekayaan, bos lokal, Desentralisasi Vita Rachim Yudhani, 081284972483, [email protected] Muhammad Fadiel Sinaga, 082368750802, [email protected] Sukabuji Abdullah, 081290889618, [email protected] Program Sarjana Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Depok, Jawa Barat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1998 yang telah memimpin selama 32 tahun menjadi salah satu titik balik sistem pemerintahan negara ini. Era Soeharto telah menggambarkan sistem sentralisasi yang sangat jelas terlihat dimana apapun keputusan yang dibuat baik di pusat dan daerah bahkan untuk pemimpin daerah pun secara tidak langsung pun merupakan titipan dari pemerintah pusat. Namun, upaya reformasi yaitu upaya perubahan sistem pada akhirnya mampu menjatuhkan rezim Suharto. Keberhasilan reformasi tersebut kemudian membuat perubahan yang mendasar mengenai wewenang daerah. Pada akhirnya daerah bisa mengatur urusan rumah tangganya sendiri baik pemimpin daerah, anggaran daerah dan lainnya atau desentralisasi. Desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah ini diharapkan mampu membuat daerah mampu berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Namun, pada kenyataannya dapat dilihat sejauh desentralisasi diberlakukan kinerja dari pemerintah daerah tidak bisa dianggap lebih baik dibanding ketika era Soeharto. Justru muncul pemimpin-pemimpin yang seperti Soeharto dimana mereka berusaha untuk terus mempertahankan kekuasannya dengan cara-cara yang ilegal. Pemimpin daerah juga membuat daerah yang ia pimpin sebagai lahan untuk menambah kekayaan dengan cara-cara pencucian uang ataupun pemanfaatan pemberian izin pengelolahan sumber daya alam. Banyak contoh pemimpin daerah yang melakukan praktik-praktik seperti diatas, salah satu yang bisa kita lihat adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bangkalan yaitu Fuad Amin—kini jabatan tersebut dilepaskan sementara dari Fuad Amin1. Ia terjerat dalam kasus suap jual-beli gas alam di Bangkalan yang mempunyai potensi Sumber Daya Alam baik yang berbentuk bahan galian C dan bahan galian A seperti Minyak dan Gas (MIGAS).2 Fuad Amin ditangkap langsung di Bangkalan dengan dugaan menerima suap dari PT Media Karya Sentosa melalui direkturnya, Antinio Bambang Djatmiko, dan mendapatkan bukti uang sebesar Rp 700 juta.3 Selain kasus diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga membuktikan beberapa modus korupsi yang dilakukan Fuad Amin. Beberapa diantaranya adalah Jual Beli SK CPNS, Jatah 10 Persen APBD serta pencucian uang. Ahmad Faisol, “Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Diberhentikan Sementara”, http://surabaya.tribunnews.com/2015/05/07/ketua-dprd-bangkalan-fuad-amindiberhentikansementara, diakses pada 18 Mei 2015. 2 Situs resmi Kabupaten Bangkalan bagian Penanaman Modal dan Kerjasama di bidang Pertambangan, http://www.bangkalaninvestment.com/content.asp?kat=pote&id=13&tabfoto=potepetm&isi=Pote nsi%20Pertambangan, diakses pada tanggal 25 April 2015. 3 Musthofa Bisri, “Fee Proyek ‘Mainan’ Fuad Amin Sejak Jadi Bupati,”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626374/Fee-Proyek-Mainan-Fuad-AminSejak-Jadi-Bupati, diakses pada tanggal 25 April 2015. 1 2 Motif pencucian uang yang dilakukan Fuad Amin pun sangat beragam seperti menggunakan nama kerabat dalam membuka rekening dan juga membeli polis asuransi. Kepemimpinan dua periode Fuad Amin menjadi Bupati Bangkalan periode 2014-2019 tidak lepas dari caranya mempertahankan kekuasaan. Beberapa cara yang digunakannya adalah dengan menggunakan simbol “Kyai” atau “RA” di Madura dan juga penggunaan preman atau di Madura dikenal dengan istilah blater. Kyai dan blater menjadi kunci penting yang dilakukan Fuad Amin dalam menjaga kekuasaannya di Bangkalan. Kyai atau RA merupakan julukan yang sangat penting dalam masyarakat Madura, Jawa Timur. Julukan Kyai menjadi nilai besar untuk mengambil suara masyarakat Madura khususnya masyrakat Nahdatul Ulama (NU) karena dianggap sebagai sosok yang agamis serta layak dijadikan panutan. Kyai yang diterima oleh Fuad Amin sendiri tak lepas dari Ayahnya yang juga sebagai Kyai di Bangkalan serta yang paling utama yaitu kakeknya Kyai Haji Syaikhona Kholil atau Mbah Kholil merupakan wali yang sangat dihormati di Bangkalan. Cara lain yang digunakan adalah dengan memanfaatkan peranan blater atau preman juga cukup menarik dalam upaya politis yang dilakukan oleh Fuad Amin. Blater, selain menjadi objek, untuk bisa mengintimidasi masyarakat juga dimasukkan Fuad Amin dalam sistem birokrasi di Bangkalan sehingga dia dapat dengan mudah mengontrol masyarakat di Bangkalan. Akan tetapi, apakah pemanfaatan kyai dan blater menjadi satu-satuya cara atau strategi Fuad Amin untuk berkuasa di Bangkalan? Atas penjabaran diatas, tulisan ini berargumen bahwa Fuad Amin tidak hanya memiliki satu strategi untuk berkuasa di Bangkalan, Jawa Timur. Penulis memiliki hipotesis bahwa Fuad Amin menggunakan tiga strategi untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya di Bangkalan, Jawa Timur. Tiga strategi tersebut akan dijabarkan secara komprehensif dalam bagian Pembahasan makalah ini. Rumusan Pertanyaan Permasalahan dan argumentasi yang dijabarkan diatas merupakan dasar Penulis dalam meneliti strategi pertahanan kekuasaan Fuad Amin di Bangkalan, Jawa Timur terutama dalam ranah ekonomi tingkat lokal. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang diajukan Penulis adalah “bagaimana strategi Fuad Amin dalam menjadikan dirinya seorang Bos Lokal di Bangkalan, Jawa Timur?” Tujuan Penelitian Tujuan Penulis meneliti pertanyaan ini adalah: 1. Mengidentifikasi strategi Fuad Amin dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan dominasinya di Bangkalan, Jawa Timur 2. Melihat relevansi Teori Local Bossism yang diformulasikan oleh John Sidel dengan kasus Fuad Aamin sebagai bos lokal di Bangkalan, Jawa Timur 3 Tinjauan Pustaka Teori Local Bossism oleh John Sidel Teori Local Bossism (Bosisme Lokal) yang diformulasikan oleh John Sidel merupakan hasil dari kritiknya terhadap teori Local Strongmen (Orang Kuat Lokal) yang dibuat oleh Joel Migdal. Ada dua kritik utama yang ditujukan untuk Migdal. Pertama, Sidel berpendapat bahwa pada realitas, struktur negara justru membuat kondisi yang dapat membangkitkan, mempertahankan, dan menyukseskan ‘orang kuat lokal’.4 Argumen tersebut berbeda dengan Migdal yang mengatakan bahwa negara berada dalam posisi yang lemah. Lalu, kritik kedua dari Sidel adalah Migdal tidak melihat bahwa ‘orang kuat lokal’ ternyata dapat mendorong perluasan pasar dan proses pertumbuhan industri—sebab, mereka juga ingin mengambil keuntungan atasnya.5 Kedua kritik diatas adalah fondasi awal dari teori Bosisme Lokal. Sidel mengatakan bahwa: “Orang Kuat Lokal adalah ‘bossisme lokal’ yang mempertahankan jejaring politik yang telah terjalin lama untuk memperoleh monopoli kontrol atas masyarakat melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi dan kekuatan koersif dalam yurisdiksi teritorial kekuasaan mereka di era demokrasi”6 Dapat dikatakan bahwa Sidel melihat fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme tersebut direfleksikan dari kekuatan negara dibandingkan dengan kekuatan sosial. Sederhananya, tujuan utama para bos lokal adalah monopoli kontrol masyarakat. Cara untuk mendapatkannya adalah melalui pertahanan jejaring politik dengan menguaai sumber-sumber ekonomi dan kekuatan koersif yang berada di teritori kekuasaan bos lokal tersebut. Kritik yang diajukan oleh Sidel didasarkan pada penelitiannya pada tiga Negara, di Asia Tenggara yaitu Filipina, Thailand, dan Indonesia. Fenomena bos lokal diketiga Negara tersebut memiliki sedikit perbedaan, karena faktor sosial-kultural. Salah contohnya adalah mengenai sifat masyarakat sipil. Sidel mengatakan, “neither in the Philippines nor in Thailand do we find evidence of the strong community, class, ethnic, and religious identities found in Indonesia”.7 Meski berbeda, secara umum, teori yang dibuat oleh Sidel dinilai masih relevan dengan kondisi politik lokal Indonesia. John Sidel, Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and Indonesia: Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’ dalam Harriss, John, Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 53. 5 Ibid. 6 Melvin Perjuangan Hutabarat, Fenoena “Orang Kuat Lokal” di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi, (Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hlm. 20. 7 Sidel dalam John Harriss, Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Op cit., hlm.73 4 4 Fenomena bos lokal di Indonesia dapat dikategorikan melalui dua masa, yaitu Orde Baru dan Reformasi. Pengkategorian ini didasari oleh penjabaran Sidel dalam kajiannya berjudul ‘Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and Indonesia: Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’ yang memang memisahkan keduanya. Di masa Orde Baru, menurut Sidel, implikasi dari pengorganisasian kekuasaan negara sangat jelas, yaitu kemungkinan untuk munculnya ‘orang lokal kuat’ sangat kecil.8 Alasan utama yang dikemukakan oleh Sidel adalah otoritas pemerintah pusat—terutama Soeharto dan jajaran eksekutifnya—yang dapat memilih penempatan orang-orang terdekat dalam jabatan structural pemerintah daerah. Kondisi tersebut, ternyata memunculkan mafia. Sidel menyebut bos lokal pada masa Orde Baru dengan ‘mafia lokal’, sebab mereka memiliki tujuan untuk menguasai dan memonopoli sumber daya. Fenomena ‘mafia lokal’ diatas berubah pada saat masa Reformasi dimulai, terutama Kebijakan Desentralisasi yang ternyata menjadi gerbang bagi mafia atau bos lokal untuk mempertahankan atau meluaskan kekuasannya. Sidel mengatakan, “… with democratisation and decentralisation, such local powerbrokers were given unprecedented opportunities to ‘capture’ state offices and agencies”.9 Dari pernyataan tersebut, Sidel menilai bahwa ada kecenderungan bahwa para bos local bertindak sebagai broker (perantara) pemerintah pusat, sebab kepentingan keduanya selalu bertemu dalam rangka mengambil keuntungan. Peran bos lokal di Indonesia berbeda dengan Filipina dan Thailand. Sebab, Indonesia memiliki pola bos lokal yang berbeda. Sidel mengatakan: “It is also abundantly clear that something rather different from the pattern of local ‘bosses’ in the Philippines and Thailand has crystallised in Indonesia: local power does not seem to be monopolised by individual ‘strongmen’ or ‘dynasties’ … in Indonesia appears to be associated with loosely defined, somewhat shadowy, and rather fluid clusters and cliques of businessmen, politicians, and officials.”10 Sidel berpendapat bahwa bosisme lebih menampilkan peran elit local sebagai penguasa broker politik yang memiliki monopoli kontrol terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi di territorial kekuasaan mereka. Bosisme bekerja dalam fatamorgana rezim lokal daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan ‘preman’. Aktor-aktornya memang merupakan birokrat, tentara, pengusaha, orang kaya, dan semua orang yang menguasai sebuah arena di dalam masyarakat itu sendiri. Keberadaan mereka mempercepat legitimasi, dukungan, ketergantungan, ketakutan, dan hubungan ‘patron-klien’. Untuk memudahkan kita dalam menyusun kerangka berpikir dan menganalisa bos lokal, Melvin Perjuangan Hutabarat membuat tabulasi tentang bos lokal dengan variabel pembandingnya adalah ‘orang kuat lokal’ dalam tesisnya. Berikut tabelnya: Ibid., hlm. 61. Ibid., hlm. 67. 10 Ibid., hlm. 69. 8 9 5 Tabel Perbandingan ”Orang Kuat Lokal” dan ”Bossisme Lokal”11 No. Unsur Pembanding Orang Kuat Lokal (Joel Migdal) Bossisme Lokal (John SIdel) 1 Kontrol atas masyarakat Simbol, hadiah, dan hukuman Politik uang dan kekerasan 2 Lokasi penelitian Negara baru merdeka Filipina, Thailand, dan Indonesia 3 Latar belakang ekonomi Selalu orang kaya Tidak selalu orang kaya (1) kegagalan pemerintah dalam memberikan kesejahterakan rakyat (2) kebutuhan ekonomi yang kongkret dan langsung dibutuhkan (3) ketimpangan sosial yang tinggi (4) kelangkaan akses terhadap kebutuhan pokok Proses pembentukan fragmentasi masyarakat dan indepedensi antar organisasi sosial di negara baru merdeka Aktor Tuan tanah, kepala suku, panglima perang, pemimpin klan, dan pemimpin tradisional Kepala daerah, legislator, mantan komandan militer, dan pengusaha 6 Kekuasaan di tingkat lokal Tersebar kepada implementator/birokrat lokal (negara), politisi lokal, dan orang kuat lokal Terpusat kepada seoarang bos lokal dengan birokrat dan milisi sebagai mesin politik 7 Hubungan dengan pemerintah pusat Terkadang bermusuhan dan terkadang bersekutu dengan negara Bersekutu dan menjadi proker pemerintah pusat 4 5 11 Melvin Perjuangan Hutabarat, Op cit., hlm. 31-32. 6 8 Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan industri 9 Afiliasi partai politik Tidak berafiliasi Berpindah-pindah dari Partai Nasionalis ataupun Liberal tergantung patron elit pusat 10 Reproduksi kekuasaan Keturunan langsung tanpa melalui mekanisme pemilihan umum Keturunan langsung dan krooni melalui mekanisme pemilihan umum Menghambat industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi Mendorong dan bersifat positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi Sumber: Melvin Perjuangan Hutabarat, Fenomena “Orang Kuat Lokal” di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi, (Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hlm. 31-32. METODE Dalam penelitian ini, metodologi yang digunakan adalah kualiatif. Metode kualitatif bersifat deduktif, sebab penggunaan alur logikanya dimulai dari persoalan umum yang seiring dengan proses, akan masuk ke dalam persoalan yang lebih khusus, contohnya seperti akibat dari permasalahan yang sedang diteliti.12 Untuk menjalani metode ini, cara yang digunakan adalah peneliti melakukan eksplorasi atas masalah yang diangkat. Penggunaan metode ini sangat aplikatif terhadap permasaalahan yang peneliti angkat, sebab mendorong Peneliti untuk mencari banyak data yang diperlukan. Hal yang penting dalam metodologi adalah pengumpulan data. Dalam peneltian ini, penulis menggunakan data sekunder. Untuk mendapatkannya, Penulis melakukan pemberlajaran dokumen (artikel berita, koran, dan surat-surat kenegaraan) atau studi literatur (buku-buku yang terkait dengan topik, koran, jurnal, dan makalah) untuk memperkuat data yang telah didapatkan.13 PEMBAHASAN Pemanfaatan Status Blater dan Kyai Blater dan Fuad Amin Masyarakat Madura dan Bangkalan pada khususnya, selalu erat dengan kekerasan dan religiusitas. Dua hal yang bertentangan namun hidup berdampingan 12 John W. Creswell (terj.), Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Method edisi 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 76 dan 147. 13 Ibid., hlm. 267-270. 7 di Madura. Kekerasan di Madura biasanya dilakukan dengan istilah carok yang bisa melukai dan bahkan membunuh lawannya. Biasanya masyarakat Madura melakukan carok dengan alasan harga diri serta kehormatannya merasa diganggu atau dilukai.14 Kemudian orang-orang yang melakukan carok atau kekerasan tersebut pun akan dipanggil sebagai seorang blater. Blater yang biasanya berasal dari golongan santri dan orang-orang yang mempelajari kitab kuning ini memiliki sejarah yang panjang di Madura. Mulai dari masa kerajaan, masa penjajahan hingga kepemimpinan Suharto blater tetap digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan mengambi alih kekuasaan dengan cara kekerasan.15 Jatuhnya rezim Soeharto pun pada akhirnya membuat blater semakin berjaya, jika selama ini mereka hanya menjadi bawaan dan pesuruh, sekarang blater menguasai tanah mereka sendiri mulai menjadi Kepala Desa, menjadi pengusaha dengan mendirikan Commanditaire Vennontschap (Persekutuan Komanditer) dan bahkan menjadi bupati, sehingga Fuad Amin yang dijuluki masyarakat sebagai Kiai Blater.16 Fuad Amin sebagai Kiai Blater yang kemudian terpilih sebagai Bupati melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu) sesuai sesuai apa yang disampaikan John Sidel sebagai syarat lokal boss. Dalam pemilihan Bupati pun blater sangat aktif dilibatkan. Blater biasanya memiliki akses yang sangat dekat dengan masyarakat sehingga melalui blater dapat dilakukan dukungan-dukungan yang terselubung. Blater juga siap melakukan apapun bahkan mempertaruhkan nyawanya demi loyalitasnya kepada orang yang didukungnya.17 Selain untuk kepentingan sendiri, dia juga membantu memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk pasangan Soekarwo-Syaifullah yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2008. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan putusan sidang MK nomor 41/PHPU.D-VI/2008s. Dimana putusan tersebut menunjukkan adanya pelanggaran di Kabupaten Bangkalan yang terjalan secara sistematis hingga harus dilakukan pengungutan suara ulang.18 Fuad Amin dengan kekuasaannya menggerakan para blater untuk memobilisasi suara dengan segala cara hingga pasangan tersebut menang telak di Bangkalan. Kasus yang kemudian diangkat ke Mahkamah Konsitusi (MK) dan kemudian terbukti terjadi pelanggaran pada Pilkada 2008 di daerah tersebut.19 Selain dalam proses pemilihan, pelibatan blater juga melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang melawannya serta menempatkan para blater sebagai klebun atau kepala desa. Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, (Yogyakarta: IRE Press, 2006), hlm. 67. 15 Ibid., hlm. 71-79. 16 Ibid., hlm. 83. 17 M. Imam Zamroni, “Dinamika Elit Lokal Madura”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, (Depok, LabSosio FISIP-UI), hlm. 33. 18 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 mengenai permohonan keberatan atas keputusan KPU provinsi Jawa Timur tahun 2008 tanggal 11 November 2008, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=41%2FP HPU.D-VI%2F2008, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. 19 Anonim, “Luruhnya Mitos Fuad Amin”, http://nasional.sindonews.com/read/933267/16/luruhnya-mitos-fuad-amin-1417741612, diakses pada tanggal 26 April 2015. 14 8 Ekspresi kekerasan pun sering terlihat dalam berkomunikasi dengan lawan politik Fuad Amin, atau bahkan mereka-mereka yang memprotes kebijakan Fuad Amin seperti para mahasiswa dan lembaga swadaya masyrakat (LSM). Pada beberapa kasus demonstrasi misalnya, Fuad Amin tidak segan-segan untuk menyuruh anggotanya melakukan pembacokan terhadap koordinator lapangan di tengah jalan.20 Hal tersebut cukup menggambarkan usaha-usaha represif yang dilakukan oleh Fuad Amin untuk menjadi bos lokal. Dengan menggunakan kekerasan yang diperantarakan kepada para blater, Fuad Amin dapat membendung protes-protes dari masyarakat sehingga posisinya sebagai penguasa tunggal tidak tergoyahkan. Hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap banyaknya masyarakat Bangkalan yang pergi ke luar kota karena keadaan politik dan sosial yang seperti itu. Tidak adanya protes dari masyarakat tentunya juga akan memudahkan Fuad Amin menguasai sumber daya yang di Bangkalan, melakukan korupsi serta menjadikan keluarganya sebagai penguasa-penguasa di badan legislatif. Tidak hanya dengan kekerasan secara langsung, Fuad Amin juga menggunakan blater sebagai kepala desa yang bisa digunakan sebagai alat intimidasi yang lebih halus kepada masyarakat secara langsung. Selama menjadi Bupati Bangkalan, Fuad Amin biasanya dengan sesuka hati mengganti para klebun atau kepala desa. Bahkan Fuad Amin biasanya tidak melantik para kepala desa atau disebut dengan pelaksana sementara. Hal ini bertujuan untuk menempatkan orang-orangnya sesuka hati sebagai kepala desa yang rata-rata berasal dari golongan blater.21 Seperti halnya Bupati beberapa masyarakat di daerah Madura yang rawan konflik dan sering terjadi corak lebih mendukung pengangkatan blater untuk menjadi kepala desa mereka. Hal ini bertujuan untuk memberi rasa aman dari gangguan serta konflik yang meresahkan. Namun, pada sisi lain blater yang menjadi kepala desa tersebut menjadi sewenangwenang dan tidak bisa dikritik oleh masyarakat.22 Penunjukan blater sebagai kepala desa oleh Fuad Amin pada hakikatnya untuk memudahkan dia memberikan intimidasi kepada masyarakat, memberikan proyek kepada para blater supaya yang menguasai proyek-proyek kecil agar terjadi timbal balik yang saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak.23 Memasukkan para blater yang pada dasarnya adalah preman ke dalam struktur birokrasi memang cukup menarik. Fuad Amin melihat bahwa jika hanya dengan melakukan kekerasan secara langsung dan mengintimidasi masyarakat untuk tidak melawan saja tidak cukup. Fuad Amin perlu menempatkan orangorangnya untuk terjun langsung ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang biasa bersentuhan dengan masyarakat. Dengan cara tersebut Fuad Amin bisa mengontrol dari level paling rendah hingga ke level tertinggi. Masyarakat di desaNaufal Istikhari, “Runtuhnya Dinasti Bangkalan”, http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9978/Runtuhnya-Dinasti-Bangkalan, diakses pada tanggal 26 April 2015. 21 Abdus Sair, “Kejatuhan Penguasa Bangkalan”,, http://koranjakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=25679, diakses pada tanggal 26 April 2015. 22 Zamroni, Op cit. 23 Abdus Sair, Loc cit. 20 9 desa tersebut pun diharapakan dapat patuh dan takut kepada blater yang diangkat sebagai kepala desa sementara. Pemberian proyek pun dapat dilihat sebagai politik balas budi untuk tetap bisa mengontrol para blater yang diangkat menjadi kepala desa tersebut. Dengan hal-hal seperti itu semakin memantapkan posisi Fuad Amin sebagai lokal boss yang sangat sulit untuk bisa digoyahkan. Kyai dan Fuad Amin Tokoh agama dalam politik lokal di Bangkalan, Jawa Timur memiliki peran penting, khususnya para kyai. Eksistensi mereka tidak diragukan dan memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Golongan kyai juga merupakan instrumen yang vital dalam pengorganisasian dominasi Fuad Amin di Bangkalan, Jawa Timur. Alasan yang mendukung pernyataan tersebut adalah fakta bahwa Fuad Amin adalah cicit Syaikhona Kholil, seorang ulama (kyai) pada abad ke-19 yang sangat dihormati oleh masyarakat Bangkalan dan Jawa Timur, bahkan di seluruh Indonesia.24 Selain itu, Ayah Fuad Amin yang bernama Amin Imron juga merupakan seorang kyai— disamping menjadi politisi.25 Jadi, salah satu faktor yang membuat Fuad Amin mendapat status Kyai—selain menempuh pendidikan bermetode Islamis—adalah latar belakang keluarganya yang merupakan keluarga kyai. Status Fuad Amin yang seorang Kyai ditambah merupakan seorang trah langsung dari Kyai Syaikhona Kholil, menurut penulis, membuatnya dapat memiliki hubungan baik dengan golongan kyai. Sehingga, dukungan dari golongan kyai merupakan salah satu legitimasi Fuad Amin untuk berkuasa di Bangkalan, Jawa Tmur. Akan tetapi, jika merujuk kembali ke Teori Bosisme Lokal, maka golongan kyai tidak dapat dikategorikan sebagai kekuatan koersif. Sebab,cara yang menekan mental dan fisik secara keras seperti blater tidak digunakan oleh para kyai. Mereka cenderung menggunakan ajakan persuasif. Ajakan persuasif diatas dilakukan dengan mengajak warga Bangkalan untuk melakukan kegiatan keagmaan yang diselingi dengan ceramah oleh Kyai. Salah satu contoh nayatanya adalah deklarasi dukungan. Para Kyai dapat menyatukan suara untuk pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada Pemilu Presiden 2014 yang lalu. Mereka mengajak kurang lebih 1.200 orang untuk melakukan deklarasi dukungan untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut.26 Meski tidak disebut secara eksplisit, dalam acara deklarasi tersebut, kami meyakini bahwa pada kata sambutan para Kyai ada ajakan-ajakan untuk mendukung pasangan Naufal Istikhari, “Runtuhnya Dinasti Bangkalan”, http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9978/Runtuhnya-Dinasti-Bangkalan, diakses pada 26 April 2015. 25 Anonim, “RKH. FUAD AMIN IMRON Tapak Tilas Ketua Suku Adat Madura Menuju Gedung Parlemen”, http://koransuararakyat.org/ksr/2014/03/rkh-fuad-amin-imron-tapak-tilasketuasuku-adat-madura-menuju-gedung-parlemen/, diakses pada tanggal 29 April 2015. 26 Musthofa Bisri, “1.200 Kiai Bangkalan Dukung Prabowo-Hatta”, http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/31/269581347/1200-Kiai-Bangkalan-DukungPrabowo-Hatta, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. 24 10 Prabowo-Hattta. Jadi, tujuannya adalah memobilisasi suara pada saat masa pemilihan umum. Dalam argumen Penulis, salah satu contoh ajakan persuasif diatas, dalam kasus Fuad Amin. Pada tahun 2003, Fuad Amin terpilih menjadi Bupati Bangkalan dan terpilih lagi untuk periode selanjutnya di tahun 2008. Masa penjabatan sebagai Bupati Bangkalan selama sepuluh tahun itu, tidak lepas dari pengaruh Kyai. Hal tersebut diperkuat oleh Sidel bahwa, “the role of traditional Islamic teachers (ulama or kyai) in mobilising votes – and since 1999 winning seats in local assemblies – is one obvious example, most notably in the East Java and pasisir (north coastal) strongholds of Nahdlatul Ulama (NU)”.27 Dari pernyataan Sidel tersebut, dapat dilihat bahwa para kyai menggunakan basis NU untuk meningkatkan suara. Peran NU sangat signifikan sebab mereka—Fuad Amin dan para Kyai—berafiliasi langsung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari dua contoh nyata diatas, kita dapat melihat bahwa kyai memiliki peranan penting di Bangkalan, Jawa Timur. Pengaruh mereka yang besar juga turut dipengaruhi oleh sosio-kultur masyarakat. Dalam konteks tersebut, masyarakat terutama santri, sangat memberikan hormat pada Kyai. Sehingga, apa yang dikatakan oleh Kyai akan diyakini dan dilakukan oleh santri dan masyarakat. Penggunaan Institusi Politik Selama dua periode berturut turut, tahun 2003 dan 2008, Fuad Amin menjabat sebagai Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Hal tersebut tak lepas dari peran partai pengusung yang kuat mendominasi Kabupaten Bangkalan, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang anggotanya berbasis organiasasi Masyarakat Islam Nahdatul Ulama (NU). Mereka memiliki jumlah massa NU yang besar sehingga menjadi dominan di Jawa Timur, khususnya Kabupaten Bangkalan di Pulau Madura. Madura tetap bagian yang tak terpisahkan dari budaya patronase kyai NU, walaupun Ia berada diluar Jawa Timur. NU dengan struktur organisasinya yang tradisionalis, tak lepas dari sistem patron-kliennya yang khas. Terutama dalam memutuskan sikap politiknya, sebagian besar lebih cenderung kolektif karena pola patron klien tersebut.28 Hal ini pun tercermin dalam kuatnya NU di Bangkalan dan ditandai dengan mayoritas Kyai-kyai yang berada di Pulau Madura sebagian besar berafiliasi dengan NU, sehingga secara tidak langsung, ini berpengaruh bagi suara PKB—yang selalu unggul di Jawa Timur dari pemilu 1999 hingga 2014. Keuntungan seperti ini dimanfaatkan betul oleh Fuad Amin yang notabene adalah Cicit dari tokoh Madura yakni Kyai Cholil Bangkalan.29 Sidel dalam John Harriss, Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Op cit., hlm. 68. Martin Van Bruinesseni, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan pencarian wacana baru, (Yogyakarya: LKIS, 1994), hlm. 6. 29 Dhuha Hadiansyah, “Fuad Amin, Cicit Mbah Kholil dan Aib Trah Kyai”, http://m.nasional.rimanews.com/hukum/read/20141203/185578/Fuad-Amin-Cicit-Mbah-Kholildan-Aib-Trah-Kyai, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. 27 28 11 Fuad Amin yang merupakan Kader PKB, menjabat Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) PKB Bangkalan pada saat ia terpilih menjadi Bupati Bangkalan selama dua periode berturut-turut. Di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2003 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ia terpilih karena dapat mengalahkan Imam Buchori. Lalu Pilkada tahun 2008, ia mencalonkan kembali dengan pasangannya—Syafik Rofii dari partai yang sama—dan akhirnya terpilih kembali dengan mengalahkan pasangan Abdul Hamid Nawawi-Hosyan Muhammad (PPP), dan H. Muhammadong-KH Rozak Hadi (Partai Demokrat- PDI Perjuangan). Kemenangan diatas ialah pengaruh dari golongan kyai. Fuad Amin sendiri, sebenarnya, secara tidak langsung mendapat status kyai yang diberikan secara turun-temurun dari keluargaanya terutama. Status tersebut membuat ia di hormati oleh masyarakat Bangkalan dan golongan Kyai. Dengan demikian, Fuad Amin sudah memiliki modal penting dari kondisi sosial-budaya, sehingga dia memilih partai pengusungnya yakni PKB, yang tak lain partai terkuat—setidaknya di Bangkalan dan Jawa TImur—untuk meraih kekuasannya di Bangkalan. Terbukti dengan keberhasilannya menjabat Bupati Bangkalan selama dua periode berturut-turut. Fenomena kuatnya pengaruh relasi Fuad Amin, golongan kyai, PKB, dan NU ini berlanjut pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, Seiring dengan pergantian kepemimpinan di tubuh PKB itu, ia mengalihkan haluan politiknya bergabung dengan Partai Gerindra.30 Dan karena sosoknya yang kuat di Bangkalan akhirnya itu ia pun berhasil terpilih sebagai anggota DPRD Bangkalan pada pemilu tahun 2014, dan melesat menjadi ketua DPRD Bangkalan. Dalam perjalanan politiknya dibangkalan, Fuad Amin ternyata tidak hanya menggunakan status kyai-nya tersebut untuk meraup dukungan suara. PKB sekalipun memang benar-benar hanya dijadikan sebagai kendaraan politiknya untuk meraih kekuasaan, hal ini dilihat dengan kepindahan Fuad Amin ke partai lain yakni Gerindra pada pemilu legislatif 2014. Alhasil Fuad Amin terpilih sebagai anggota DPRD dan tak tanggung-tanggung, Gerindra menang telak di Bangkalan, ditambah dengan ia terpilih sebagai ketua DPRD Kabupaten Bangkalan. Tidak hanya sampai disana, fenomena ‘Fuad Amin effect’ ini berlanjut ke Pemilu Presiden 2014, dimana pasangan calon Presiden dan Wakil Preseiden nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, menang telak 100% suara di 17 TPS kabupaten Bangkalan dan Sampang dari hasil rekapitulasi KPUD Bangkalan. Sedangkan, pasangan capres dan cawapres nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak mendapat 1 suara pun.31 Jauh sebelum Fuad Amin menjadi ketua DPRD, memang perjalanan politiknya penuh dengan kontroversi, kekuasaan dari Fuad Amin sendiri sudah terlihat sejak awal terpilih sebagai bupati Bangkalan, pengaruhnya kuat dan dengan segala latar belakangnya sebagai orang terhormat dan turunan kyai, dibalik itu ia cukup ditakuti oleh masyarakat Bangkalan sendiri, karena kekuasaan dan 30 Abdul Azis, “Mantan Bupati Bangkalan Daftar Caleg Gerindra”, http://www.antarajatim.com/lihat/berita/109193/mantan-bupati-bangkalan-daftarcaleggerindra, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. 31 Didi Purwadi, “Jokowi-JK Dapat 'Nol Suara' di TPS Bangkalan”, http://m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/07/13/n8lzi7-jokowijk-dapat-nolsuaradi-tps-bangkalan, diakses pada tanggal 28 Mei 2015. 12 wewenangnya kuat tak bisa dipungkiri lagi hubungannya dengan Blater sangat kuat. Blater sendiri adalah elite pedesaan yang memiliki social origin dan tradisi yang berbeda dengan tradisi kyai, dibesarkan dalam kultur jagoanisme yang dekat dengan ritus kekerasan.32 Keberadaan blater sendiri sudah mengakar diseluruh wilayah Madura khususnya bangkalan, dengan sendirinya jalinan hubungan blater dengan pemerintah akan terbentuk. Belum ada pembuktian empiris yang menjelaskan hubungan antara Fuad Amin dengan blater. Namun dengan melihat kuatnya peran blater di pulau Madura, hubungan blater dengan golongan kyai sangat kuat, apalagi dengan institusi pemerintahan. Secara otomatis Fuad Amin yang notabene adalah Bupati memiliki kedekatan dengan blater itu sendiri. Blater sendiri dalam aktivitasnya selalu menggunakan cara-cara fisik bahkan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya, tentu dengan sikap seperti ini akan dimanfaat dengan betul oleh penguasa, dalam hal ini Fuad Amin baik sebagai Bupati atau Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan untuk memudahkan urusan-urusan teknis pelaksanaan kebijakan. Lawan politik Fuad Amin di Bangkalan selama ia menduduki sebagai Bupati ataupun terakhir sebagai Ketua DPRD tak terlihat ada perlawanan berarti bahkan tak ada sama sekali, ada dua alasan utama mengapa operasionalisasi Fuad Amin saat berkuasa, tidak ada hambatan politik (oposisi). Pertama Eksistensi kekuatan blater dan kyai yang kulturalis hubungan sangat dekat dengan pemerintahan, karakter represif blater memungkinkan Fuad Amin memiliki backing yang cukup kuat menghadang lawan yang akan berkonfrontasi dengannya. Sedangkan status kyai di Bangkalan merupakan status yang sangat dihormati dan disegani, Fuad Amin yang telah menyandang status sudah dipastikan masyarakat menghormati segala keputusannya karena ia adalah “kyai”. Kedua adapun pesaing Fuad Amin dalam perpolitikannya hanya sebatas pada pemilu atau pemilukada, artinya sepanjang pemerintahannya tak ada mosi-mosi dan protes tertentu yang mengkritik kebijakan Fuad Amin dipemerintahan. Kalaupun ada hanya gerakan demonstasi mahasiswa yang berujung penembakan seperti yang dijelaskan sebelumnya, pesaingnya di Pemilukada baik 2003 hingga 2008 tak terdengar mengkritik pemerintahan Fuad Amin, karena masing masing dari calon sudah memahami kultur budaya pemerintah bangkalan yang dekat dengan blater dan apalagi Fuad Amin sebagai Kyai.33 Penguasaan Sumber-Sumber Ekonomi Sumber-sumber ekonomi ternyata sering dijadikan sebagai alat untuk bisa mempertahankan kekuasaan para penguasa terkhusus penguasa di daerah. Seperti yang disampaikan oleh John Sidel dalam teori bossism lokal dimana para bos lokal— selain memonopoli kontrol terhadap kekuatan koersif—seorang bos lokal juga memonopoli kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi di wilayah teritorial Rozak dan Masaki, Op cit. Asumsi tersebut merupakan olahan dari sikap dari Dody Wisnu Pribadi yang menulis tentang “cerita miris bangkalan” yang ditulis di http://regional.kompas.com/read/2014/08/02/08181631/Cerita.Miris.dari.Bangkalan, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. 32 33 13 mereka. Meskipun begitu, John Sidel juga melihat para bos lokal tetap berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Dalam kasus ini akan dilihat bagaimana Fuad Amin sebagai penguasa lokal Bangkalan dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi serta bagaimana caranya dalam memonopoli sumber-sumber daya alam dan ekonomi di Bangkalan. Kondisi ekonomi Bangkalan sendiri cukup baik menurut data-data yang disampaikan Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Kabupaten Bangkalan memiliki nilai PDRB sekitar Rp. 6.066 Triliun pada tahun 2014 berdasarkan harga konstan dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 4,62%.34 Pertumbuhan ekonomi tersebut tidak lepas dari posisi Bangkalan yang strategis, kawasan Bangkalan mencakup seluruh wilayah barat Pulau Madura dengan batas utara Pulau Jawa, batas timur Kabupaten Sampang dan batas selatan Selat Madura. Kondisi tersebut membuat Bangkalan memiliki potensi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik ditambah dengan adanya Jembatan Suramadu yang mempercepat laju ekonomi Surabaya dan Madura. Kondisi tersebut pun semakin membuka peluang investasi dari berbagai pihak khususnya untuk mengelolah potensi sumber daya alam (SDA) yang ada di Bangkalan khususnya di bidang pertambangan. Potensi SDA Pertambangan di Kabupaten Bangkalan memang cukup beragam dan yang paling banyak yaitu bahan galian C dan A. Untuk bahan galian C meliputi batu kapur, Phospat, Tanah liat, Pasir Kuarsa, Marmer, Dolomit, dan Pasir Urug. Potensi-potensi tersebut pun beberapa diantaranya memiliki deposit produksi hingga puluhan tahun. Untuk bahan galian A meliputi minyak dan gas bumi (migas). Dari hasil eksplorasi yang telah dilakukan, potensi migas di wilayah darat (on-shore) terdapat di 13 Kecamatan 113 Desa Eksplorasi sesuai Uji Sesmic-2D oleh SMEC. Hasil dari SDA yang cukup melimpah diatas, terutama gas alam, ternyata disalahgunakan oleh Fuad Amin. Pada 2 Desember 2014, dia ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dijadikan tersangka atas dugaan suap dari Direktur PT. Media Karya Sentosa, Antonio Bambang Djatmiko.35 Penangkapan tersebut bertujuan untuk memeriksa transaksi jual-beli minyak dan gas antara PT. Media Karya Sentosa dan Perusahaan Daerah Sumber Daya milik daerah Kabupaten Bangkalan. Di awal waktu penangkapan Fuad Amin, Bambang Widjayanto yang masih menjadi Komisioner KPK pada waktu itu, berkata bahwa KPK sudah mencurigai bisnis PT. Media Karya Sentosa yang sejak 2007 ingin mendapat kontrak pembelian gas dari PT. Pertamina EP.36 Pada kasus diatas, Fuad Amin berperan sebagai broker (perantara) antara negara dan perusahaan swasta. Melalui perannya sebagai perantara, Ia berusaha Situs resmi Kabupaten Bangkalan, Bagian Penanaman Modal dan Kerja sama, http://www.bangkalaninvestment.com/content.asp?kat=gamb&id=1763238357&tabfoto=gamb&i si=gambaran%20umum, diakses pada tanggal 25 April 2015. 35 Mustofa Bisri, “Fee Proyek, 'Mainan' Fuad Amin Sejak Jadi Bupati”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626374/Fee-Proyek-Mainan-Fuad-AminSejak-Jadi-Bupati, diakses pada tanggal 16 April 2015. 36 Maria Yuniar, “KPK Sasar Anak Fuad Amin, Mata Rantai Penerima”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626312/KPK-Sasar-Anak-Fuad-Amin-MataRantai-Penerima, diakses pada 16 April 2015. 34 14 mengambil keuntungan melalui proyek yang akan dilakukan oleh PT.Media Karya Sentaosa. Posisinya sebagai pejabat publik di Bangkalan membuat Fuad Amin dapat memainkan sumber daya ekonomi yang ada di Bangkalan untuk kepentingannya sendiri. Sampai saat ini, belum ada pejabat publik di Bangkalan yang memiliki dominasi atas sumber daya alam dan ekonomi di Bangkalan layaknya Fuad Amin. Oleh karena itu, peran oposisi pebisnis di Bangkalan, Jawa Timur tidak terdengar gaungnya.37 Kita dapat melihat bagaimana Fuad Amin memonopoli sumber daya di Bangkalan dari data yang dikumpulkan oleh KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada sidang 7 Mei 2015 dan 13 Mei 2015.38 Pada awalnya, PT. Media Karya Sentosa mengajukan permohonan alokasi gas bumi di Blok Poleng, Bangkalan, Jawa Timur. Sementara itu, disaat yang bersamaan, Perusahaan Daerah Sumber Daya (PDSD) juga menginginkan hal yang serupa. Jadi, dengan segala upaya praktik politik—sampai saat ini belum terdeteksi bentuk dari upaya politik itu selain lobi—Fuad Amin akhirnya juga memberikan dukungan untuk PT. Media Karya Sentosa yang akan menyalurkan gas alam ke Gili Timur bersama dengan perusahaan Kodeco Energy , Co. Ltd. Disini Fuad Amin memberikan arahan langsung pada perjanjian antara konsorsium PT. Media Karya Sentosa dan Perusahaan Daerah Sumber Daya, serta untuk melegitimasi dukungan, Fuad Amin memberikan surat untuk Kodeco Energy , Co. Ltd. Akhirnya, melalui serangkaian cara tersebut PT. Media Karya Sentaosa mendapat alokasi gas alam dari PT. Pertamina EP. Pada kenyataan, pengerjaan proyek pembangunan pipa gas alam tersebut tidak pernah berlangsung. Hanya sampai tahap wacana, namun, Fuad Amin tetap menerima uang suap dari PT. Media Karya Sentosa. Pada rentang waktu 2009 hingga 2014, Fuad Amin terbukti menerima suap dari Antonio Bambang Djatmiko sebesar 15,5 miliar rupiah.39 Uang tersebut tak hanya masuk ke kantung pribadi Fuad Amin, namun juga ke Perusahaan Daerah Sumber Daya. Belum ada bukti yang jelas mengenai uang yang masuk ke Perusahaan Daerah Sumber Daya tersebut ditujukan untuk sesuatu hal. Kita bisa melihat bahwa bos lokal seperti Fuad Amin, sebenarnya, juga mendorong pertumbuhan ekonomi di Bangkalan, Jawa Timur Sebab, ia berusaha memasukan perusahaan swasta ke dalam pengerjaan gas alam didaerahnya. Akan tetapi, disaat yang bersamaan, ia juga berusaha untuk memperkaya diri sendiri dengan menerima suap dari perusahaan swasta tersebut. KESIMPULAN Tidak ditemukannya bukti empiris atas oposisi pebisnis tersebut. Aghnia Adzkia, “Siapkan 313 Saksi, Fuad Amin Minta Pindah Sidang ke Surabaya”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513112829-12-53027/siapkan-313-saksifuadamin-minta-pindah-sidang-ke-surabaya/, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. 39 Aghnia Adzkia , “Dijerat 3 Kasus, Fuad Amin Jalani Sidang Perdana Hari Ini”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150507085939-12-51756/dijerat-3-kasus-fuadaminjalani-sidang-perdana-hari-ini/, diakses pada tanggal 18 Maret 2015. 37 38 15 Fuad Amin memiliki tiga strategi untuk mempertahankan kekuasaannya di Bangkalan, Jawa Timur. Tiga strategi tersebut, pertama, penggunaan symbol blater dan kyai. Fuad Amin yang merupakan keturunan Kyai Kholil Bangkalan memiliki hubungan yang baik dengan kyai-kyai di Bangkalan, sehingga terbangun jaringan yang kuat. Kemudian, penggunaan peran blater dapat menekan masyarakat untuk patuh dan tunduk, bahkan blater mampu mengintervensi institusi-institusi lembaga politik, seperti misalnya mengatur KPPS, TPS hingga PPK; mempengaruhi DPRD, terutama hubunganya dengan pemerintah daerah. Hubungan Fuad Amin dengan struktur pemerintahan Bangkalan yang tergambar diatas merupakan strategi kedua. Penggunaan struktur pemerintahan Bangkalan tersebut Penulis simpulkan bahwa institusi politik juga merupakan cara untuk menjadi bos lokal. Salah satu institusinya adalah partai politik. Fuad Amin bahkan berpindah partai untuk lebih melancarkan strateginya. Strategi ketiga adalah penguasaan sumber-sumber ekonomi di Bangkalan. Fuad Amin menggunakan status blaternya sebagai alat bantu pemulus pelaksanaan kebijakan di lapangan dalam usaha penguasan dan pengambilan sumber daya. Selain itu, jabatan publiknya yang paling tinggi di Bangkalan membuatnya mudah dalam mengurus langsung sumber ekonomi yang berupa sumber daya alam. Belum ada oposisi pebisnis yang memiliki dominasi yang sama layaknya Fuad Amin. Melihat kondisi di Bangakalan dimana Fuad Amin kemudian membuat desentralisasi menunjukan sisi negatifnya, maka penting untuk melihat kembali sistem desentralisasi di Indonesia. Pemerintah pusat perlu memberikan pengawasan yang lebih ketat dalam melihat fenomena kepala daerah di setiap daerah. beberapa kewenangan yang dianggap terlalu beresiko untuk diberikan sepenuhnya ke daerah perlu dikajo ulang. meskipun hal tersebut memberikan perdebatan kembali terhadap sistem desentralisasi Indonesia. contoh dalam masalah izin pengelolahan SDA telah banyak kasus konflik yang terjadi baik pemdamasyarakat, pemda-pemerintah pusat dan juga berbagai tindak pidana KKN. pada akhirnya pengawasan yang lebih ditinglatkan dan juga evaluasi beberapa kewenangan penting untuk dilakukan. hal ini belum terlambat mengingat uu otonomi kita pertama lahir pada tahun 2004. DAFTAR PUSTAKA Buku Bruinesseni, Martin Van. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan pencarian wacana baru. Yogyakarya: LKIS, 1994. Creswell, John W. (terj.). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Method edisi 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Harriss, John, Kristian Stokke dan Olle Tornquist. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization. New York: Palgrave Macmillan, 2005. Masaaki, Okamoto dan Abdur Rozaki. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta: IRE Press, 2006. 16 Jurnal Sidel, John. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu” dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4, November 1997. Zamroni, M. Imam. “Dinamika Elit Lokal Madura” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat. Depok: LabSosio FISIP-UI. Tesis Hutabarat, Melvin Perjuangan. Fenomena “Orang Kuat Lokal” di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin di Jambi. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta, 2012. Ardhiadi, Rekho. Pemekaran Daerah dan “Bossisme Lokal” (Studi Kasus Praktek Kekuasaan Bupati Murman Effendi dalam Perkembangan Kabupaten Selama Periode 2005-2011, Bengkulu). Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta, 2013. Artikel Dalam Jaringan Adzkia, Aghnia. “Dijerat 3 Kasus, Fuad Amin Jalani Sidang Perdana Hari Ini”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150507085939-1251756/dijerat-3-kasus-fuad-amin-jalani-sidang-perdana-hari-ini/, diakses pada tanggal 18 Maret 2015. ____________. “Siapkan 313 Saksi, Fuad Amin Minta Pindah Sidang ke Surabaya”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513112829-1253027/siapkan-313-saksi-fuad-amin-minta-pindah-sidang-kesurabaya/, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. Anonim, “RKH. FUAD AMIN IMRON Tapak Tilas Ketua Suku Adat Madura Menuju Gedung Parlemen”, http://koransuararakyat.org/ksr/2014/03/rkh-fuadamin-imrontapak-tilas-ketua-suku-adat-madura-menuju-gedung-parlemen/, diakses pada tanggal 29 April 2015. Anonim. “Mantan Bupati Fuad Amin Nyalon DPRD Kabupaten”, https://www.maduraterkini.com/berita-bangkalan/mantan-bupatifuadamin-nyalon-dprd-kabupaten.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2015. Anonim, “Luruhnya Mitos Fuad Amin” http://nasional.sindonews.com/read/933267/16/luruhnya-mitosfuadamin-1417741612, diakses pada tanggal 26 April 2015. Azis, Abdul. “Mantan Bupati Bangkalan Daftar Caleg Gerindra”, http://www.antarajatim.com/lihat/berita/109193/mantanbupatibangkalan-daftar-caleg-gerindra, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. 17 Bisri, Musthofa. “Fee Proyek ‘Mainan’ Fuad Amin Sejak Jadi Bupati”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626374/Fee-ProyekMainan-Fuad-Amin-Sejak-Jadi-Bupati, diakses pada tanggal 16 April 2015. _____________. “1.200 Kiai Bangkalan Dukung Prabowo-Hatta”, http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/05/31/269581347/1200-KiaiBangkalan-Dukung-Prabowo-Hatta, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. Didi Purwadi. “Jokowi-JK Dapat 'Nol Suara' di TPS Bangkalan”, http://m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/07/13/n8lzi7jokowijk- dapat-nol-suara-di-tps-bangkalan, diakses pada tanggal 28 Mei 2015. Faisol, Ahmad. “Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Diberhentikan Sementara”, http://surabaya.tribunnews.com/2015/05/07/ketuadprd-bangkalan-fuadamin-diberhentikan-sementara, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. Hadiansyah, Dhuha. “Fuad Amin, Cicit Mbah Kholil dan Aib Trah Kyai”, http://m.nasional.rimanews.com/hukum/read/20141203/185578/FuadAmin-Cicit-Mbah-Kholil-dan-Aib-Trah-Kyai, diakses pada tanggal 15 Mei 2015. Istikhari, Naufal. “Runtuhnya Dinasti Bangkalan”, http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9978/Runtuhnya-DinastiBangkalan diakses pada tanggal 26 April 2015. Sair, Abdur. “Kejatuhan Penguasa Bangkalan”, http://koranjakarta.com/?pg=instagram_detail&berita_id=25679 diakses pada tanggal 26 April 2015. Situs resmi Kabupaten Bangkalan bagian Penanaman Modal dan Kerjasama di bidang Pertambangan, http://www.bangkalaninvestment.com/content.asp?kat=pote&id=13&tabfot o=pote-petm&isi=Potensi%20Pertambangan, diakses pada tanggal 25 April 2015. Yuniar, Maria. “KPK Sasar Anak Fuad Amin, Mata Rantai Penerima”, http://www.tempo.co/read/news/2014/12/04/063626312/KPKSasarAnak-Fuad-Amin-Mata-Rantai-Penerima diakses pada tanggal 16 April 2015. 18 PENCEGAHAN WHITE COLLAR CRIME MELALUI KEBIJAKAN NONPENAL Hilal Ramdhani Universitas Pendidikan Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRACT White-collar crime is still there in the community, the human tendency is never enough in life to make violations of law become very vulnerable. White-collar crime is too difficult to be understood by the common people, white-collar offenders are very difficult to identify because they have access to the legality or committed a crime. Criminology has a special section on white collar crime whose perpetrators kejatahan explains that this is a people who never expected to commit the crime by society. Losses caused by white collar crime have wider effects than traditional crime, so that under Indonesian law and white collar crime included in the category of extraordinary crimes, the prevention must involve the public, law enforcement officers and government. The most appropriate action to eliminate white collar crime is by nonpenal policy that emphasizes prevention rather than punishment aspect. Key Words: White Collar Crime, Criminology, Nonpenal Policy ABSTRAK Kejahatan kerah putih sampai saat ini masih ada di masyarakat, kecenderungan manusia yang tidak pernah cukup dalam menjalani hidup membuat pelanggaran hukum menjadi sangat rentan. Kejahatan kerah putih terlalu sulit untuk dimengerti oleh masyarakat awam, pelaku kejahatan kerah putih sangat sulit untuk diidentifikasi karena mereka mempunyai legalitas atau akses dalam melakukan suatu kejahatan. Ilmu kriminologi mempunyai bagian khusus tentang white collar crime yang menjelaskan bahwa pelaku kejatahan ini merupakan orang-orang yang tidak pernah diduga akan melakukan tindakan kejahatan oleh masyarakat. Kerugian yang diakibatkan oleh white collar crime mempunyai dampak yang sangat luas daripada kejahatan tradisional, sehingga dalam hukum Indonesia kejahatan kerah putih termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa, yang pencegahannya harus melibatkan masyarakat, aparat penegak hukum dan pemerintah. Tindakan yang paling tepat untuk menghapuskan white collar crime yaitu dengan kebijakan nonpenal yang mengedepankan aspek pencegahan daripada hukuman. Kata Kunci: Kejahatan Kerah Putih, Krimonologi, Kebijakan Nonpenal 19 PENDAHULUAN Latar Belakang White collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tingkat atas yang telah merusak sendi-sendi keadilan pada aspek kehidupan yang luas. Kejahatan ini mempunyai dampak publik yang besar, karena meyangkut pelanggaran antitrust, pelanggaran sekuritas, penipuan konsumen, penipuan perawatan kesehatan, dan pelanggaran lingkungan40. Paradigma positivisme menjadi salah satu alasan kenapa hukum dan penegakannya tertinggal, padahal white collar crime yang dalam wujud eksistensinya adalah korupsi yang juga termasuk kejahatan luar biasa dalam hukum positif indonesia41. Salah satu cara supaya rakyat dapat hidup sejahtera adalah melalui penanggulangan korupsi yang termasuk bagian dari kejahatan kerah putih, sehingga penanggulangan korupsi dapat menjadi awal penyelesaian berbagai krisis di Indonesia42. Pencegahan (preventif) merupakan jalan terbaik mengatasi kejahatan ini, sebab upaya represif yang telah dilakukan sangat sulit diterapkan pasca terjadinya kejahatan terutama terkait dengan korporasi. Upaya pencegahan dalam kejahatan korupsi menurut Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, yaitu: a. Pemerintahan terbuka (keterbukaan informasi), dan; b. Laporan kekayaan. Pernyataan keuangan harus mengungkapkan setidak-tidaknya semua sumber penghasilan pejabat yang bersangkutan, seperti aset perusahaan, kemitraannya atau badan usaha apa pun yang dimilikinya. Laporan itu juga mempertanyakan semua sumber penghasilan suami atau istri atau anak yang menjadi tanggungannya yang tinggal bersama dengan pejabat, berbagai pemberian/hadiah yang diterimanya, kapanpun ketika pejabat memegang jabatannya43. Rumusan Masalah 1. Bagaimana makna yuridis white collar crime di Indonesia? 2. Seperti apa masalah penanganan white collar crime di Indonesia? 3. Bagaimana kebijakan nonpenal white collar crime? J. Mitchell Miller, 21th Century Criminology A Reference Handbook, (California: SAGE Publications Inc, 2009), hlm. 552-555. 41 Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari, Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1, 2016. 42 Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), hal. 2. 43 Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, Government, Ethics, and Managers, Penyelewengan Aparat Pemerintahan, (Bandung: Remaja Rosalakarya Bandung, 1999), hal.109-111. 40 20 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa kejahatan yang perlu menjadi prioritas untuk dihilangkan adalah kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat tingkat atas, karena kejahatan tersebut mempunyai dampak yang sangat besar daripada kejahatan tradisional seperti perampokan, pembunuhan, pencopetan dan kejahatan lainnya yang cara pelakunya bersentuhan langsung dengan korban. Sehingga penelitian ini mempunyai kegunaan baik dalam aspek teoritis maupun praktis, dalam aspek teoritis akan menambah khazanah pengetahuan mengenai suatu kejahatan, sedangkan pada aspek praktis pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang dapat menghilangkan white collar crime di Indonesia. Tinjauan Pustaka a. Definisi Menurut Sutherland, kriminal kelas atas diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat umum karena pelaku tidak sesuai dengan sterotipe umum pidana.44 Sutherland mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai karakteristik kejahatan yang berasal dari kalangan yang mempunyai status sosial yang tinggi, kekuatan, dan kehormatan.45 Edelhertz mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai tindakan ilegal atau serangkaian tindakan ilegal dilakukan dengan cara nonfisik dan dengan penyembunyian atau tipu muslihat untuk mendapatkan uang atau properti, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau harta, atau untuk mendapatkan bisnis atau keuntungan pribadi.46 b. Karakteritik dan Teknik Karakteristik dan teknik yang membedakan kejahatan kerah putih dari kebanyakan bentuk kejahatan tradisional. tiga karakteristik dari kejahatan kerah putih diantaranya: (1) Pelaku memiliki akses yang sah terhadap target atau korban kejahatan atas dasar suatu posisi pekerjaan; (2) pelaku tersebut spasial atau terpisah dari korban; dan (3) tindakan pelaku memiliki legalitas 47. Dalam banyak kejahatan kerah putih, pelaku tidak pernah langsung menghadapi atau bersentuhan dengan korban-korban mereka. Sebaliknya, mereka secara spasial atau terpisah dari korban. Misalnya, pelanggaran antitrust dalam pengaturan harga. Penetapan harga yang bebas terjadi ketika pesaing dalam suatu industri bersama-sama dan berkolusi untuk menetapkan harga untuk produk atau jasa mereka, sedangkan pesaing memiliki harga yang ditentukan secara bebas dalam kompetisi terbuka. Korban 44 45 12. Sutherland, E. H. White collar crime. New York: Dryden Press, 1949. Sutherland, E. H.White-collar criminality. (American Sociological Review. 5, 1940), hlm. 1– 46 Edelhertz, H. The nature, impact, and prosecution of white-collar crime. Washington, DC: U.S. Department of Justice, 1970. 47 J. Mitchell Miller, 21th Century Criminology A Reference Handbook, (California: SAGE Publications Inc, 2009), hlm. 550. 21 pelanggaran antitrust adalah anggota dari masyarakat umum yang memilih untuk membayar lebih terhadap barang dan jasa dari mereka yang akan menetapkan harga persaingan. c. Masalah Pengadilan Secara umum karakteristik kejahatan kerah putih, memiliki akses yang sah, pemisahan tindakan, dan penampilan legitimasi. Hal itu menimbulkan masalah khusus dalam mengontrol sistem peradilan. Masalah yang paling penting adalah deteksi. Kebanyakan kejahatan tradisional, seperti pembunuhan, perampokan yang bersentuhan langsung dengan korban dapat dengan mudah terdeteksi, yang kemudian korban dapat melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Namun, dalam kasus kejahatan kerah putih, korban mungkin seluruhnya tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban. Masalah kontrol kedua terhadap kejahatan kerah putih ialah berkaitan dengan tanggung jawab yang didasarkan pada penugasan perusahaan. Banyak kejahatan kerah putih terjadi pada organisasi atau perusahaan yang merupakan hasil dari tindakan kolektif yang diambil oleh sekelompok orang. Dalam masalah pengadilan, seringkali sulit untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, jaksa sering enggan untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Terkait dengan masalah deteksi dan akuntabilitas adalah kesulitan mengamankan keyakinan di pengadilan. Karena kejahatan kerah putih seringkali kompleks dan tertanam dalam rutinitas bisnis yang sah, sehingga sulit untuk menuntut dan membuktikan tanpa keraguan bahwa seseorang bersalah. Kendala utama adalah membuktikan bahwa pelaku sengaja untuk melanggar hukum. Keyakinan juga sulit untuk dipertahankan dalam kasus kerah putih, karena terdakwa biasanya memiliki akses ke pengacara yang kuat. Tidak seperti pelanggar tradisional, pelaku kerah putih seringkali mampu untuk menyewa pengacara terbaik. Pengacara kejahatan kerah putih bekerja keras untuk mengontrol akses kejaksaan terhadap informasi dan bukti-bukti terkait dengan dugaan tindak pidana. Sistem peradilan pidana merupakan komponen penting dari kontrol kejahatan kerah putih, tidak harus menjadi garis pertahanan pertama. Sebaliknya, kontrol regulasi dianggap lebih efektif dan efisien. Sistem regulasi memegang tiga keunggulan yang berbeda dari sistem peradilan pidana sebagai sarana pengendalian kerah putih dan kejahatan korporasi: (1) keahlian khusus, (2) kekuatan investigasi lebih besar, dan (3) lebih banyak fleksibilitas dan kebijaksanaan. d. Jenis White Collar Crime 1. Pelanggaran Antitrust Pelanggaran antitrust dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu perjanjian perdagangan terbatas dan praktek monopoli. Perjanjian 22 perdagangan terbatas, melibatkan kesepakatan ilegal atau pemahaman antara pesaing dalam suatu industri untuk membatasi proses bekerjanya industri. Dua contoh perjanjian perdagangan terbatas adalah penetapan harga dan berbagi pasar atau divisi. Penetapan harga mengacu pada perjanjian antara pesaing untuk menetapkan harga pada tingkat tertentu. Sebagai contoh, jika produsen susu berkumpul dan sepakat di antara mereka untuk mengisi sekolah dengan harga yang ditetapkan dalam program makan siang di sekolah. Berbagi pasar terjadi ketika pesaing berkumpul dan membagi daerah, sehingga hanya satu dari mereka beroperasi di satu wilayah pada suatu waktu. Praktek monopoli melibatkan upaya tidak adil untuk menyudutkan pasar atau untuk mengusir pesaing dari pasar. Monopoli dikatakan ada apabila satu perusahaan menguasai seluruh pasar, tetapi perusahaan dapat memiliki kontrol monopolistik meskipun memiliki pesaing jika menguasai pangsa cukup besar dari pasar. Ada dua teknik utama praktek monopoli. Yang pertama adalah dengan menggunakan predatory pricing, yang terjadi ketika sebuah perusahaan menetapkan harga untuk produk atau jasa yang secara ekonomis dapat mengusir pesaing keluar dari bisnis. Teknik kedua adalah bagi perusahaan untuk menekan atau mengendalikan perusahaan lain yang memasok atau berurusan dengan pesaing, sehingga menempatkan mereka pada kerugian kompetitif. 2. Pelanggaran Securities Manipulasi saham terjadi ketika seorang individu atau sekelompok individu mencoba untuk artifisial memanipulasi harga keamanan. Penyalahgunaan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh broker atau penasihat keuangan lainnya dengan cara mengambil uang klien mereka, dan telah memberikan kepada mereka untuk berinvestasi dan menyalahgunakan untuk mereka gunakan sendiri. Insider trading merupakan pelanggaran keamanan yang sering dipublikasikan. Hal ini muncul ketika orang berdagang atas dasar informasi non publik. Ini adalah ilegal bagi orang untuk membeli atau menjual saham atas dasar informasi yang tidak tersedia untuk umum. Akhirnya, dalam skema investasi, trik pelaku dalam investasi uang dalam suatu usaha atau keamanan dengan cara memberi janji palsu kepada investor bahwa mereka akan menerima tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi mereka. Pada kenyataannya, usaha tersebut memiliki sedikit atau tidak ada kesempatan melunasi, dan pelaku hanya membuat off dengan investors'money tersebut. 3. Penipuan Konsumen Penipuan konsumen adalah salah satu bentuk yang paling umum dari kejahatan kerah putih. Ini melibatkan penggunaan penipuan atau penipuan dalam pemasaran dan penjualan barang atau jasa. pelanggaran ini biasanya melibatkan penggunaan pernyataan palsu, menipu, atau menyesatkan 23 tentang biaya, kualitas, atau efektivitas dari produk atau jasa. Pelanggar penipuan konsumen diambil dari semua jenis bisnis. Terdapat tujuh bentuk yang umum dari penipuan konsumen: a) Produk disalahartikan dan iklan menyesatkan; b) Penipuan real estate; c) Penipuan hadiah gratis; d) Umpan dan perpindahan iklan; e) Penipuan perbaikan; f) Penipuan mal dan advokasi; g) Penipuan biaya awal. 4. Penipuan Kesehatan Terdapat tiga bentuk umum dari penipuan perawatan kesehatan yang melibatkan dokter: a) Prosedur yang tidak perlu, Dokter seharusnya memberikan pengobatan berdasarkan kebutuhan medis pasien. Beberapa dokter, bagaimanapun membuat keputusan tidak didasarkan pada kebutuhan medis pasien tetapi lebih pada tujuan keuangan mereka; b) Biaya membelah, Kebanyakan dokter umum tidak dapat menangani penyakit serius atau kondisi medis. Ketika dihadapkan dengan jenis kasus, mereka sering merujuk pasien ke spesialis. Sejauh arahan dibuat atas dasar penilaian medis dokter, yang sesuai. Tapi kadang-kadang, dokter membuat rujukan karena mereka memiliki pengaturan keuangan dengan dokter spesialis tertentu. Sebagai imbalan untuk merujuk pasien ke dokter spesialis, dokter umum mendapat kickback dalam bentuk potongan biaya spesialis ini; c) Penipuan penagihan, Mungkin jenis yang paling umum dari penipuan kesehatan. Hal ini dapat dicapai dalam berbagai cara yang berbeda, tetapi pada dasarnya melibatkan mengajukan klaim untuk penggantian untuk layanan yang tidak pernah benar-benar disediakan. 5. Kejahatan Lingkungan Hukum Lingkungan berusaha untuk melindungi kualitas udara, air, dan tanah dengan mengatur bahan berbahaya bagi lingkungan (air, udara, dan tanah polusi) dan pengurangan bahan berbahaya dari lingkungan (kerusakan habitat). Kejahatan lingkungan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Pelaku mungkin pemilik rumah yang buangnya sisa cat ke dalam sistem saluran pembuangan kota yang melanggar peraturan daerah, atau mereka mungkin perusahaan multinasional yang memproduksi kapal, dan membuang bahan berbahaya secara sembarangan. Sebuah studi dari respon penegak hukum untuk kejahatan lingkungan menyimpulkan bahwa pembuangan bahan limbah ilegal, pembuangan yang tidak tepat dari pengupasan furnitur dan elektroplating limbah, pembuangan oli motor, dan limbah berbahaya dibuang ke sungai dan ditemukan di hampir semua masyarakat48. E. Kebijakan Nonpenal 48 Rosoff, S., Pontell, H. N., & Tillman, R. Profit without honor: White-collar crime and the looting of America (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2006. 24 Dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro maka kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau nonpenal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini disebabkan karena nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan. Pada hakikatnya tidak dapat disangkal bahwa tindakan represif mengandung juga preventif, namun perlu disadari bahwa prevensi yang sesungguhnya berupa upaya maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana kejahatan49. Kongres PBB ke-6 di Caracas (Venezuela) pada tahun 1980 antara lain dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi, bahwa Crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime50. Sudarto menyatakan bahwa Suatu Clean Government, dimana tidak terdapat atau setidaktidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bisa diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakantindakan di lapangan politik, ekonomi, dan sebagainya51. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang hukum. Pada penelitian bidang hukum, terdapat dua jenis penelitian yaitu normatif dan empiris. Penelitian bidang hukum merupakan suatu bentuk penelitian ilmiah, yang mendasarkan setiap kegiatannya pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk menganalisa beberapa gejala hukum tertentu52. Penelitian menggunakan metode yuridis-normatif adalah bentuk kegiatan penelitian ilmiah di bidang hukum yang dilakukan dengan menggunakan cara meneliti data sekunder atau bahan kepustakaan53. Dalam penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif, bahan pustaka merupakan sumber bahan hukum utama dan dasar yang dalam penelitian hukum termasuk ke dalam data sekunder, sehingga jenis data yang dicari adalah data sekunder. Karena sifat dari kegiatan penelitian ilmiah yang dilakukan adalah berupa penelitian normatif, maka metode kepustakaanlah yang paling sesuai dengan sifat penelitian hukum ini. Pada penelitian yang menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif diperlukan pendekatan penelitian agar peneliti mendapatkan informasi melalui pendekatan yang digunakan untuk menemukan jawaban atas isu terbaru yang Indung Wijayanto, “Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,” (Tesis Master Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), hlm. 52. 50 “Crime Trends and Crime Prevention Strategies,” Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1980, hal.5 51 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 124. 52 Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari, Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1, 2016. 53 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. 49 25 menjadi bahannya. Pendekatan penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Pendekatan Perundang-undangan atau Pendekatan Yuridis merupakan pendekatan yang mutlak harus digunakan dalam penelitian yuridis-normatif, sebab isu utama yang dibahas adalah menyangkut berbagai aturan perundang-undangan dalam penelitian ini54. b) Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Pendekatan ini beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam Ilmu Hukum. Peneliti diharapkan akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan bidang Ilmu Hukum55. Konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini mengenai bidang Ilmu Hukum Empiris, yaitu kriminologi yang mengkaji sebab-musabab terjadinya kejahatan. Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier56. Dalam penelitian ini, sumber dari data sekunder adalah sebagai berikut: a) Bahan Hukum Primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat. b) Bahan-bahan Hukum Sekunder adalah sumber bahan hukum yang berhubungan dengan dan mendukung bahan hukum primer. Fungsi bahan hukum sekunder sebagai bahan analisis dan pemahaman akan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini terdiri dari buku-buku, hasil penelitian, hasil seminar, jurnal dan internet yang berkaitan dengan “kejahatan kerah putih” dan kriminologi. c) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung maupun menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus Besar Bahasa Indonesia. Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian diolah, serta disajikan melalui langkah-langkah penelusuran hukum dengan metode deduktif rasional yakni menarik kesimpulan dari suatu pernyataan yang bersifat umum. PEMBAHASAN Makna Yuridis White Collar Crime di Indonesia Negara Indonesia merupakan negara hukum, di mana setiap tindakan warga negaranya diatur oleh hukum. Dewasa ini kejahatan kerah putih (white collar crime) Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005. Ibid. 56 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11-12 54 55 26 banyak terjadi diberbagai aspek, di mana tindakan kejahatan kerah putih (white collar crime) dilakukan oleh para aktor yang tidak pernah disangka oleh masyarakat awam melakukan suatu pelanggaran hukum. Aspek pencegahan terjadinya kejahatan kerah putih (white collar crime) salah satunya didunis perbankan, pemerintah telah menerbitkan suatu undang – undang yang mengatur tentang perbankan yaitu Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Di dalam undang–undang ini pemerintah telah menyelipkan di dalam pasal – pasal tersebut sebagai upaya pencegahan terjadinya kejahatan kerah putih, yaitu pasal yang mengenai sanksi–sanksi yang akan diberikan oleh negara kepada setiap orang yang melanggar peraturan perbankan. Pasal yang mengandung sanksi – sanksi dalam upaya pencegahan kejahatan kerah putih (white collar crime) tersebut terdapat pada Pasal 49 dan Pasal 50 Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, di dalam pasal inilah pemerintah berupaya untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan kerah putih (white collar crime) serta memberikan perlindungan terhadap para nasabah. Peraturan tersebut memberikan makna bahwa white collar crime merupakan kejahatan yang harus menekankan pada aspek pencegahan daripada pemberian hukuman, Indonesia sebagai negara hukum memberikan makna yang jelas bahwa kejahatan kerah putih termasuk kejahatan yang menjadi prioritas dalam aspek pencegahan. Masalah Penanganan White Collar Crime di Indonesia Pelaku sulit diidentifikasi, Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak akan sadar, Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu. Maka, seringkali pelaku tidak mendapat hukuman karena kurangnya bukti dipengadilan serta saksi ahli yang sulit untuk mengungkapkan tindakan yang dilakukan pelaku white collar crime. Kejahatan yang menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan. Pelemparan tanggung jawab ini membuat sulit aparat penegak hukum untuk mencari pelaku utama sebagai orang yang seharusnya mendapat hukuman yang paling berat. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan, dalam banyak kasus white collar crime sangat sulit menemukan korban dari tindakan tersebut, contohnya dalam kasus korupsi secara filosofis yang menjadi korban adalah seluruh rakyat, namun hal ini akan bias bila kasus tersebut berupa gratifikasi. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak, hal ini sering ditemukan pada ranah kesehatan. Dokter yang seharusnya melayani pasien berdasarkan kebutuhan medis, seringkali lebih mementingkan kebutuhan keuagan. Seperti membuat rujukan kepada dokter spesialis yang dapat memberikan masukan atau timbal balik berupa uang. Tindakan tersebut jelas melanggar hukum, namun tidakan tersebut sangat sulit untuk dibuktikan terutama dalam aspek kesengajaan. 27 Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. Pelemparan tanggungjawab antara atasan dan bawahan dalam suatu perusahaan membuat bukti dipengadilan sangat minim dan hal itu berdampak pada menentukan pelaku utama. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. Terdapat beberapa faktor terjadinya hal ini, pertama, pelaku white collar crime dapat membayar pengacara yang mahal, sehingga pembelaan hukum terhadap kejahatannya akan lebih kuat. Kedua, Pengadilan Indonesia belum kuat secara konsekuen untuk menegakan keadilan, kejadian penyuapan hakim merupakan tindakan yang sangat mencederai makna keadilan, bila hal ini merupakan suatu kebiasaan yang peradilan Indonesia, sudah barang tentu pelaku white collar crime akan dapat keluar dari ancaman hukuman. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Hal ini dikarenakan sangat sulit mencari aspek kesengajaan dalam tindakan white collar crime pelaku dapat dengan mudah menyatakan bahwa tindakan yang dilakukannya semata-mata hanya untuk menjalankan profesi. Kebijakan Nonpenal White Collar Crime Kerumitan dalam membawa pelaku white collar crime ke pengadilan membuat aspek pencegahan menjadi sangat penting untuk lebih dimaksimalkan. Dalam membuat kebijakan nonpenal maka harus ada penggolongan white collar crime yang nantinya akan menentukan perlakuan terhadap kejahatan tersebut. White collar crime dibagi menjadi empat golongan. Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan. Kedua, kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, kejahatan yang berkenaan dengan profesi. Keempat, kejahatan yang dilakukan oleh individu. Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh organisasi, yaitu dengan cara pengontrolan pemerintah secara langsung terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Kecenderungan yang sering dilakukan oleh perusahaan industri yaitu pembuangan limbah pabrik sembarangan, pemerintah pusat maupun daerah harus mengawasi pembuangan limbah pabrik tersebut serta memberikan alternatif untuk tempat pembuangan akhir, tindakan seperti ini dapat dilakukan pemerintah, ketika perusahaan meminta izin kegiatan. Kontribusi masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mengawasi kegiatan perusahaan tersebut, masyarakat yang melihat kejanggalan dalam kegiatan perusahaan harus dengan segera melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah. Secara tata negara, sudah seharusnya komisi pemberantas korupsi lebih memperkuat aspek pencegahan dengan cara pengawasan yang lebih intensif diberbagai tingkat pemerintahan. Selain itu, aspek keterbukaan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan seharusnya diberitahuan secara periodik kepada 28 masyarakat. Hal itu akan mencegah kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang berkenaan dengan profesi, menerapkan kebijakan ini merupakan yang paling sulit karena profesi sangat erat kaitannya dengan suatu tindakan yang legal dengan keprofesiannya. Contoh, pegawai bank mempunyai akses yang sah dalam mengatur keuangan, bila terjadi suatu penyelewangan sangat sulit untuk mencari faktor kesengajaan untuk melanggar hukum. Sama halnya dengan dokter umum yang merujuk pasien kepada dokter spesialis yang didasarkan bukan karena kebutuhan medis, namun karena faktor keuangan. Maka untuk mencegah tindakan tersebut menurut hemat penulis yaitu dengan penguatan pada ranah pendidikan moral, aspek-aspek yang berkaitan dengan moral harus dipelajari dan diajarkan secara utuh dalam lembaga pendidikan yang menaungi berbagai profesi. Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh individu. Pemahaman yang beragam dari setiap individu mengenai tindakan hukum sangat dipengaruhi oleh pemahamannya mengenai hukum dan budaya yang ada dimasyarakat. Pemahaman mengenai hukum akan berbanding lurus dengan kesadaran hukum individu, maka pembelajaran mengenai hukum harus diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Selain itu, budaya masyakrakat sangat menentukan tindakan hukum individu, bila budaya masyarakat dalam suatu lingkungan cenderung menganggap bahwa pelanggaran hukum merupakan suatu hal yang biasa, maka individu tersebut akan menganggap hal yang sama. Maka perlu perekayasaan budaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya patuh pada hukum. Kesemua pencegahan terhadap white collar crime harus melibatkan aspek pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Hal itu dikarenakan kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki kompleksitas yang rumit untuk ditangani. Ketika pranata sosial sudah kuat, maka segala kejahatan baik kejahatan kerah putih maupun kejahatan tradisional dapat dicegah dan dihilangkan dari masyarakat. KESIMPULAN Kesulitan dalam penanganan white collar crime dikarenakan pelaku sulit diidentifikasi dan diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu. Kejahatan yang menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu. 29 Pembuatan kebijakan nonpenal harus disesuaikan dengan kategori white collar crime, kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, pemerintah, yang berkenaan dengan profesi serta individu. SARAN White collar crime sangat sulit untuk ditentukan siapa yang menjadi pelaku utama, maka harus ada kajian yang mendalam mengenai karakteristik pelaku white collar crime. Pemerintah Indonesia senantiasa harus memperkuat kebijakan nonpenal yang bertujuan untuk mencegah tindak kejahatan tersebut. Masyarakat harus memahami yang kejahatan yang perlu menjadi prioritas untuk dihilangkan adalah kejahatan white collar crime karena mempuyai dampak yang luas daripada kejahatan tradisional. DAFTAR PUSTAKA Buku Edelhertz, H. The nature, impact, and prosecution of white-collar crime. Washington, DC: U.S. Department of Justice, 1970. Maheka, Arya. Mengenali dan Memberantas Pemberantasan Korupsi, 2006. Korupsi. Jakarta: Komisi Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005. Miller, J. Mitchell. 21th Century Criminology A Reference Handbook. California: SAGE Publications Inc, 2009. Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, Government, Ethics, and Managers, Penyelewengan Aparat Pemerintahan. Bandung: Remaja Rosalakarya Bandung, 1999. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981. Sutherland, E. H. White collar crime. New York: Dryden Press, 1949. Sutherland, E. H. .White-collar criminality. American Sociological Review, 5, 1–12, 1950. Rosoff, S., Pontell, H. N., & Tillman, R. Profit without honor: White-collar crime and the looting of America (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2006. Wijayanto, Indung. “Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,” (Tesis Master Universitas Diponegoro, Semarang, 2008). 30 Jurnal Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari. 2016. Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1. Artikel “Crime Trends and Crime Prevention Strategies,” Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1980. 31 LARANGAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG DITINJAU DARI HAK ATAS KEADILAN Abstrak Hak Asasi manusia adalah anugerah Tuhan yang Maha Esa, pada asasnya manusia berhak untuk bebas. Namun, apabila seseorang dijadikan tersangka atau terdakwa tentu kebebasan tersebut akan dibatasi. Untuk itu kewajiban Negara adalah melindungi hak warga negaranya yang kebebasannya dibatasi. Sehingga adanya pengaturan mengenai hak-hak tersangka terdapat adanya larangan penahanan sewenang-wenang yang apabila dilanggar akan mencederai Hak Asasi Manusia khususnya Hak Atas Keadilan. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Penahan, Hak Atas Keadilan. Abstract Human rights is a gift of God, In principle the human has right to be free. But, If someone made a suspect of course liberty will be restricted. In this situation, the state has obligation to protect the rights of citizens whose freedom is restricted. Because of that, the regulation concerning the rights of suspect, there is prohibition of arbitrary detention which if its violated would injure human rights, especially the right to justice. Keyword: Human Rights, Detention, Right to Justice. Lady Arianita/Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [email protected] PENDAHULUAN Hak Asasi Manusia adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak Asasi Manusia bersifat universal dan tidak dapat dicabut. Artinya seburuk apapun perlakuan yang dialami seseorang atau betapa pun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki HAM tersebut. Dengan kata lain, hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.57 Perkembangan HAM dari masa ke masa, abad ke-20 merupakan puncak perkembangan dan kesadaran HAM. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rezim HAM internasional hukum internasional memiliki kekuatan yang sangat memaksa agar Negara-negara mematuhinya. Kenyataan ini dapat di lihat, inter alia, dalam 57 Rhona K.M Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: PUSHAM UII Press,2008,hlm.11 32 Pasal 2 ayat (1) dari Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (selanjutnya disebut ICCPR). Penangkapan dan penahanan merupakan salah satu pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia. Untuk itu penangkapan dan penahanan harus mempunyai dasar yang jelas untuk dapat diterapkan. Sering kali aparat penegak hukum dalam melakukan penangkapan dan penahanan dilakukan tidak sesuai prosedur. Lebih jauh, hinggan orang tersebut yang merupakan korban salah tangkap telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Agar korban salah tangkap ini mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan sama sekali. Yang sebenarnya hal ini sangat bertentangan dengan asas Presumption of Innocence, bahkan dianggap tidak sejalan dengan prinsip Non Self Incrimination.58 Prinsip-prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia yang meliputi prinsip legalitas, prinsip nesesitas, dan prinsip proporsionalitas pada dasarnya merupakan prinsip umum yang dapat digunakan untuk menilai apakah tindakan negara yang mengintervensi hak dan kebebasan warga negara melanggar hak asasi manusia atau tidak. Prinsip-prinsip ini tidak hanya terkait lapangan hukum pidana atau hukum acara pidana, tapi meliputi semua area hukum sepanjang ada keterlibatan aktor negara di dalamnya. Meskipun harus diakui bahwa di tingkat kepolisian, ketiga prinsip tersebut memiliki relevansi hanya dalam konteks penggunaan senjata api. Artinya, di luar penggunaan senjata api, polisi memandang bahwa ketiganya tidak perlu dijadikan parameter utama untuk menilai ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia dalam setiap tindakan hukum.59 Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut sebenarnya sudah ada instrument Hak Asasi Manusia yang mengatur mengenai penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Di Indonesia pengaturan mengenai hal ini diatur dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), selain itu terdapat juga dalam Deklarasi Universal pasal 9, Konvenan Intenasional tentang hak-hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 4 ayat 2, Piagam Banjul Afrika tentang HAM dan Penduduk pasal 6, Konvesi Amerika tentang HAM pasal 7 ayat 1 dan 3, Konvensi Eropa untuk perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia pasal 5 ayat 1.60 Karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk bebas dan diperlakukakan adil dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan hal tersebut dapat dilaksanakan apabila dilakukan atas dasar alasan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, walaupun instrument-instrumen tersebut telah terbentuk dan diberlakukan pada kenyataannya masih banyak kasus yang terjadi mengenai penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Untuk itu dalam penulisan makalah ini penulis akan membahas mengenai kasus penangkapan dan penahanan 58 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif KUHAP, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998,hlm.7 59 Mahrus Ali, Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penangkapan dan Penahanan dalam Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: PUSHAM UII,2015.hlm. 2 60 Adnan Buyung Nasution dan A.Patra M.zen,Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2006,hlm.90 33 sewenang-wenang terhadap Ibu Monika Zonggonau.61 Selain itu mengenai kasus Penahanan seorang Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi62. Selain itu, kasus Pengangkapan Bambang Wijdjoyanto63. Yang dalam penangkapan dan penahananya dilakukan secara sewenang-wenang dimana hal ini melanggar ketentuan instrument nasional dan internasional. Sehingga hal ini juga melanggar Hak Asasi Manusia khususnya Hak atas keadilan. Adapun pokok permasalahan berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut, Pertama, hal apa yang pelanggaran Hak Asasi Manusia pada kasus tersebut ? Kedua, Instrument manakah yang dilanggar pada kasus tersebut? Ketiga,Bagaimana analisis kasus tersebut? Adapun tujuan dari penulisan ini adalah mengkaji pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar dalam instrument HAM nasional dan Internasional pada kasus ini, serta menganalisis mengenai penerapan instrument HAM pada kasus ini. Dalam hal ini, manfaat teoritis yaitu bahwa penulisan ini berguna untuk ilmu pengetahuan, karena diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai Larangan Penahanan sewenang-wenang dari perspektif Hak Atas Keadilan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi kegunaan praktis. Kegunaan praktis yang diharapkan yaitu menjadi acuan pertimbangan penegak hukum melindungi Hak Asasi Manusia. Ditinjau dari bentuk penelitian, penelitian ini menggunakan bentuk metode penelitian yuridis normative yaitu, penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis64. Dari tipologinya, penelitian ini bersifat deskriptif. Analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang tepat mengenai penerapan instrument HAM dalam persepektif Hak Atas Keadilan. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder. Yaitu berupa bahan primer berupa perundang-undangan, bahan sekunder teori para sarjana, buku, artikel ilmiah, jurnal,tesis, dan makalah, dan bahan tersier berupa kamus. Pengumpulan data melalui Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal di dalam Instrumen- Instrumen HAM. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif, sehingga hasil penelitian berbentuk deskritif-analistis. PEMBAHASAN Kontras,”Kronologi Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang Terhadap Ibu Monika Zonggonau”, http://www.trunity.net/kontraspapua/view/article/164977/ diakes pada 1 April 2016 62 Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”, http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedangkejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016 63 Detiknews, “ Kronologi Penangkapan Teror Bambang Widjojanto”, http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-teror-bambang-widjojanto pada 25 November 2016 64 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,( Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2005), hlm.9. 61 34 1. Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia Pada dasarnya semua orang berhak untuk bebas dari penangkapan, penahanan dan pembuangan sewenang-wenang.65 Dalam kerangka hukum internasional tindakan penangkapan dan/atau penahanan sewenang-wenang merupakan sebuah tindakan yang tidak yang tidak saja melanggar hukum tetapi juga menciderai sejumlah hak terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).66 Hukum HAM internasional mengartikan kata “sewenang-wenang” dalam pengertian ini dipahami mengandung unsur-unsur ketidakadilan (injustice), ketidakpastian (unpredictable), ketidakwajaran (unreasonable), ketidakakuratan (capriciousness) dan ketidakberimbangan (dispeoportionality).67 Untuk itu perlunya prinsip-prinsip untuk menegakan HAM . Prinsip-prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia yang meliputi prinsip legalitas, prinsip nesesitas, dan prinsip proporsionalitas pada dasarnya merupakan prinsip umum yang dapat digunakan untuk menilai apakah tindakan negara yang mengintervensi hak dan kebebasan warga negara melanggar hak asasi manusia atau tidak.68 Prinsip legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum. Tindakan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Selain itu, pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang.69Asas legalitas dapat memainkan perlindugan hak yang sama dan merupakan cara primer proteksi judisial hak-hak warga Negara di Negara yang kurang memperhatikan aspek hak asasi warga Negara.70 Prinsip Nesesitas memiliki hubungan yang erat dengan prinsip proporsionalitas karena eksistensinya merupakan prasyarat prinsip proporsionalitas. Dedi Prasetyo mengartikan prinsip nesesitas dalam konteks penggunaan senjata api, yaitu penggunaan kekuatan harus merupakan tindakan yang luar biasa. Cara-cara non kekerasan harus dicoba terlebih dahuludan senjata api hanya boleh digunakan jika cara-cara tadi tidak efektif atau tidak menjanjikan akan mencapai hasil yang diinginkan. Petugas penegak hukum hanya boleh menggunakan kekuatan bila benar- benar dibutuhkan dan sepanjang hal tersebut diperlukan untuk melaksanakan tugas mereka.71 Dengan demikian, prinsip Adnan Buyung Nasution, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal.97. 66 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur, (ed), Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, (Jakarta: IDSPS, 2009), hal.218. 67 Ibid., hal.218, sebagaimana dikutip dari C de Rover, To Serve and To Protect: Acuan Universal Penegakan HAM, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal.396. 68 Mahrus Ali, Op.Cit 69 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Cetk. Keenam, Rajawali Press, Jakarta, 2011,hlm 91 70 Dan Meagher,’The Principle of Legality as Clear Statement Rule : Signifiance and Problem’, Sydney Law Review, Vol 36,2014,hlm.416 71 Dedi Prasetyo, Diskresi Kepolisian Pada Tahap Penangkapan Tersangka Terorisme, University of Brawijaya Press, Malang, 2014, hlm 154-155 65 35 nesesitas terkait ada tidaknya upaya-upaya lain yang perlu diambil agar tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik. Prinsip proporsionalitas secara sederhana diartikan sebagai pemeliharaan rasio yang pantas antara dua komponen. Proporsionalitas juga dikaitkan dengan kemasukakalan. Suatu tindakan yang masuk akal pasti proporsional, sebaliknya, disebut tidak proporsional jika tindakan tertentu tidak masuk akal. Padanan kata yang memiliki arti yang sama dengan ketidakmasukakalan adalah ilegalitas dan ketidakpantasan procedural.72 Ada tiga kriteria menilai prinsip proporsionalitas, yaitu; 1) cara-cara yang digunakan untuk membatasi hak asasi warga negara harus secara rasional berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai; 2) hak harus dikurangi sekecil mungkin untuk mencapai tujuan; dan 3) harus terdapat keseimbangan antara efek pembatasan terhadap hak dan tujuan yang hendak dicapai dari pembatasan tersebut.73 Hal tersebut yang kemudian diatur dalam Pasal 9 ayat (1), (4), (5) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) . Dalam pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat ditangkap , ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang. 2. Penangkapan dan Penahanan Adapun yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.74 Menurut Yahya Harahap bahwa alasan penangkapan dan syarat penangkapan tersirat dalam pasal 17 KUHAP yaitu bahwa seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dan dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.75 Adapun syarat penangkapan adalah penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dalam hal ini pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik76, melakukan penangkapan tidak sewenangwenang harus ditujukan pada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana dalam hal ini alasan penangkapan harus untuk kepentingan penyelidikan dan Basil Ugochukwu, ‘Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in Comparative Context: Lessons for Nigeria’, York University and Transnational Human rights Review, Volume 1, 2014, hlm 6 73 Ibid., hlm 102-103 74 Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo. Pasal 33 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) 75 Yahya Harahap, pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan,Jakarta:Sinar Grafika,hlm.158 76 Ibid,hlm.157 72 36 penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan tersebut.77 Harus berlandaskan hukum walaupun penyidik memiliki wewenang yang berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang namun hal tersebut harus dilandaskan oleh hukum, yangmana dalam hal ini salah satu bentuk pengurangan hak asasi manusia adalah dilakukannya penangkapan. Selanjutnya aparat penegak hukum tersebut dilarang melakukan penyiksaan terhadap tahanan maupun orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.78 Adapun penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat.79 Sedangkan menurut pasal 21 KUHAP arti penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.80 3. Kasus Penangkapan dan Penahanan Sewenang-Wenang Kasus Monika Zonggonau Sekitar tanggal 6 April 2009 pukul 08.00 WIT, Ibu Monika Zonggonau yang datang hendak bergabung bersama kepala-kelapa suku di Kabupaten Nabire untuk menyelesaikan persoalan pembubaran massa yang mendirikan pondok di Taman Gizi dan penangkapan 15 tersangka yang diduga melakukan tindak pidana makar dan ditahan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire sekitar jam 5.00 WIT, namun saat tiba ditempat tersebut masih terjadi keributan akibat pembubaran massa oleh aparat Kepolisian Resort Nabire yang menyebabkan situasi tidak dapat dikendalikan lagi, selanjutnya Ibu Monika berdiri di pasar Karang Tumaritis Kabupaten Nabire, sekitar jam 10.00 WIT saat berdiri di pasar tersebut Ibu Monika mendengar ada Polisi yang mengatakan, “ Itu ibu yang orasi di Kantor KPU, tangkap dia !!!, kemudian datang aparat kepolisian dari Kepolisian Resort Nabire dalam jumlah yang cukup banyak lalu menangkap Ibu Monika Zonggonau tanpa surat tugas, surat perintah penangkapan, kemudian aparat kepolisian tersebut melakukan pemukulan terhadap ibu Monika di bagian belakang kepala dan tangan yang mengakibatkan luka dibagian kepala dan tangan, selanjutnya dibawah ke Markas Polres Nabire di tempat ini penyiksaan oleh Ibu Monika berlanjut, oleh aparat Polisi Wanita, ibu dipukul oleh aparat tersebut dengan sepatu yang dilempar kearah alis mata yang menyebabkan luka robek pada bagian alis. Saat pemeriksaan di Kepolisian Ibu Monika memberikan keterangan dibawa paksaan aparat penyidik Kepolisian Resort Nabire dan sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP), selain itu pemeriksaan ibu Monika tidak didampingi pengacara, padahal pasal yang dituduhkan kepadanya yakni Pasal 160 KUHP yakni PENGHASUTAN didepan umum yang ancaman diatas 6 (enam) tahun Ibid,hlm.159 Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”) 79 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2006 80 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981,LN Tahun 1981 No.76,TLN No.3209,Pasal 1 angka 20. 77 78 37 yang mana wajid didampingi oleh Pengacara. Ibu Monika telah ditahan di Kepolisian selama 60 hari (7 April – 03 Juni 2009) dan kini penahanannya dilanjutkan oleh Kejaksaan Negeri Nabire selama 20 hari (03 Juni-22 Juni 2009), ketika penahanannya telah habis di Kepolisian pihak penyidik telah menerbitkan surat pengeluaran penahanan dengan Nomor Polisi : SPP-.HAN/56.c/VI/2009/Reskrim namun hal ini tidak diikuti oleh aparat kepolisian untuk mengeluarkan yang bersangkutan, bahkan yang anehnya meskipun ada surat tersebut yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian, pihak kepolisian sendirilah yang melimpahkan kepada kejaksaan untuk diproses.81 Kasus Bupati Sumedang Ade Irawan Pada Kasus Kedua Penahanan Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar dinyatakan dilakukan secara sewenang-wenang. Karena disinyalir tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Padahal izin tersebut menjadi hal yang krusial bagi penegak hukum untuk menahan seorang kepala daerah. Guru Besar Fakultas Hukum Unpad I Gde Pantja Astawa menjelaskan dalam hal penahanan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah, acuannya sama, yakni Undang Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Gde, dalam UU tersebut ditegaskan untuk menahan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana, terlebih dahulu harus ada izin dari Mendagri. "Apa reasoningnya harus ada izin dari Mendagri? Karena yang mengangkat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Kabupaten/Kota) adalah Mendagri atas nama Presiden," ujar Gde Pantja Karena itu, menurut Gde Pantja, penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah pun harus se-izin Mendagri. Gde Pantja yang juga diminta legal opinion atas kasus bupati Sumedang ini menyatakan izin mendagri diperlukan karena juga menyangkut tugas dan tanggung jawab kepala daerah dan/wakil kepala daerah. "Tidak bisa begitu saja dilepaskan tanpa ada kejelasan tentang bagaimana kelangsungan tugas dan tanggung jawab pejabat tersebut bila yang bersangkutan ditahan tanpa ada izin dari Mendagri," ujarnya. Dari itulah menurut Gde Pantja, apa yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tanpa ada izin dari Mendagri, maka tindakan penegak hukum tersebut menjadi tidak sah. Karena bertentangan dengan UU No.23/2014. Bahkan dapat dikatakan penegak hukum tersebut bertindak sewenang-wenang sebagai suatu hal yang dilarang. Gde Pantja, juga memaparkan dalam kasus dugaan korupsi ada penanganan yang berbeda antara jajaran Kejaksaan Agung dan Kejati Jabar. "Pada satu sisi, Bupati Sumedang ditahan tanpa ada izin dari Mendagri, sementara pada sisi lain Kejagung tidak atau belum menahan Algothas (wakil Bupati Cirebon) karena belum ada izin Mendagri," ujarnya. "Pertanyaannya, bagaimana mungkin kejaksaan sebagai satu kesatuan bisa melakukan "treatment" yang berbeda terhadap subyek hukum dan norma hukum yang sama," katanya. Inilah, menurut Pantja, salah satu bentuk penegakan hukum yang "ambigue" di negeri yang penuh ironi dan anomali ini. "Dengan kata lain, 81 Ibid 38 tindakan Kejati menahan Pa Ade Irawan tanpa izin adalah tindakan sewenangwenang, karena-nya tindakan kejati tersebut menjadi tidak sah yang berakibat batal demi hukum (nietige van rechtwege)," ujarnya. Sementara saat dikonfirmasi Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar, Suparman menyatakan bahwa penahanan Ade Irawan itu sudah sesuai prosedur. "Menurut kita penahanan sudah sesuai prosedur," ujar Suparman. Kalau ada pihak lain ada yang mempermasalahkannya silahkan saja itu hak mereka. "Kalau ada yang mempermasalahkannya silahkan saja, ada hak dari pengacara atau tsk untuk di praperadilankan," katanya.82 Kasus Bambang Widjojanto Pada kasus ketiga Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim Polri dengan cara sewenang-wenang. Pimpinan KPK itu diborgol, diangkut bersama anaknya, sambil diberi tekanan teror sepanjang perjalanan. Sejumlah pihak memprotes keras penangkapan ini, termasuk KPK. Dorongan kepada Polri agar segera membebaskan Bambang dari segala urusan hukum pun disampaikan.Tak sedikit juga yang menyuarakan kekecewaan pada Presiden Joko Widodo terkait peryataannya yang dinilai kurang 'terang'.83 4. Analisis Sebagaimana yang telah diketahui jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dalam peraturan hukum acara dalam rangkaian proses dari pidana ini menjurus kepada pembatasan Hak Asasi Manusia seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman, yang pada hakekatnya adalah pembatasan-pembatasan Hak Asasi Manusia84 dalam hal ini bahwa Tindakan-tindakan aparat Kepolisian Resort Nabire dan Kejaksaan yang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Ibu Monika Zonggonau merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mana dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1 mengenai larangan penahanan sewenang-wenang, tidak hanya itu pelanggaran tersebut juga telah melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 9 ICCPR, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun fakta yang terungkap diatas bahwa yang dilakukan aparat penegak hukum merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, terdapat beberapa hal menyimpangi hak atas keadilan diantaranya adalah bahwa pada fakta pertama Ibu Monika Zonggonau ditangkap dan ditahan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire tidak sesuai dengan prosedur dan bertentangan dengan hukum. Karena jelas bahwa Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”, http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedangkejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016 83 Detiknews, “ Kronologi Penangkapan Teror Bambang Widjojanto”, http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-teror-bambang-widjojanto pada 25 November 2016 84 Purnomo,Pokok-pokok Tata Cara Peradlilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Yogyakarta: Liberty,1993,hlm.34 82 39 pada faktanya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire melanggar prinsip legalitas karena wewenang yang diberikan oleh undang-undang tidak dilaksanakan dengan benar, hal ini jelas terlihat bahwa penangkapan dan penahanan Monika Zonggonau yang seharusnya berdasarkan pasal 18 ayat 1 dan pasal 20 ayat 2 KUHAP harus adanya surat perintah. Namun, hal ini tidak ada pada saat dilakukannya penangkapan dan penahanan sehingga hal ini juga telah melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bahwa setiap orang berhak atas kebebasan, keamanan pribadi dan tak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Selain itu dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada pasal 9 disebutkan bahwa tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang. Selain itu, penahanan sewenangwenang juga diatur dalam the Body of Principles foe Protection of All Persons under any Form of Detention or Imprisonment, selanjutnya disebut the Body of Principles. The Body of Priciples menyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau pemenjaraan hanya boleh dilaksanakan secara kaku sesuai dengan ketentuan hukum dan oleh para pejabat yang diberikan wewenang untuk itu. Dalam prinsip tersebut tersirat bahwa seseorang ditangkap atau ditahan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh melanggar atau mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.85 Berdasarkan fakta yang ada penahanan yang dilakukan terhadap Monika Zonggonau tidak sesuai dengan aturan hukum, sehingga dapatlah dikatakan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Monika Zonngonau dilakukan secara sewenang-wenang. Negara dalam hal ini belum dapat menjalankan kewajibannya terhadap hak asasi manusia khususnya hak atas keadilan. Pada fakta kedua bahwa saat pemeriksaan tersangka Monika Zonggonau tidak didampingi pengacara padahal tindak pidana yang disangkakan adalah pasal 160 KUHP yang ancaman hukumannya lebih dari 5 (lima) tahun dan Monika Zonggonau adalah orang tidak mampu. Dalam hal ini telah melanggar hak atas keadilan. Yang seharusnya Monika Zonggonau didampingi oleh pengacara sesuai dengan hak-haknya sebagai tersangka yang diatur dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP86 bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Pada fakta ini jelas, penegak hukum dalam hal ini aparat Kepolisian Resort Nabire tidak hanya telah melanggar prinsip legalitas seperti yang telah diungkapkan pada fakta sebelumnya, tetapi penegak hukum juga tidak memberikan hak-hak tersangka yang diatur dalam KUHAP pada bab VI. Sehingga dalam hal ini jelas telah melanggar hak atas keadilan, karena sebagai tersangka seseorang tetap memiliki hak yangmana hak tersebut telah dijamin dalam undang-undang. Perlu dipahami bahwa tersangka adalah seseorang http://digilib.unila.ac.id/18289/2/BAB%20I.pdf diakses pada 3 April 2016 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No. 36, Pasal 56 85 86 40 yang patut diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ia bukanlah seseorang terpidana yang sudah secara sah dinyatakan bersalah. Selama ia masih memiliki status tersangka seharusnya tidak diperlakukan selayaknya terpidana. Dalam fakta ini seharusnya Negara yang memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi sudah seharusnya dapat memenuhi hak-hak tersangka yang sudah diatur dalam KUHAP. Namun, hal ini kembali tidak dijalankan oleh Negara. Fakta berikut bahwa tersangka tidak dikeluarkan dari tahanan walaupun ada perintah pengeluaran tahanan87 dengan Nomor Polisi : SPP.Han/56.c/VI/2009/Reskrim. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh aparat kepolisian justru aparat kepolisian melimpahkan ke Kejaksaan untuk melakukan penahanan lanjutan. Hal ini melanggar hak atas keadilan karena seharusnya. Hal ini sangat bertentangan dengan Hak Atas Keadilan, dimana penahanan merupakan tindakan menghentikan kemerdekaan seseorang, sedangkan kemerdekaan itu adalah hak asasi manusia. KUHAP merupakan undang-undang yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, oleh karena itu terdapat pembatasan jangka waktu penahanan.88 Dengan adanya fakta bahwa tersangka tetap ditahan walaupun sudah ada surat perintah pengeluaran tahanan hal ini jelas tidak sejalan dengan cara penahanan yang dilakukan penyidik dalam Pasal 21 ayat 2 dan 3 KUHAP,89 yang mensyaratkan bahwa penahanan harus ada surat perintah penahanan atau surat penetapan. Namun, hal ini tidak ada justru kebalikannya. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan sehingga mencederai hak asasi Monika Zonggonau yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi oleh Negara tapi hal ini tidak terwujud. Hal ini bertentangan dengan prinsip legalitas yang seharusnya penyelenggara Negara menyadari bahwa untuk mewujudkan hak asasi manusia Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Untuk itu berdasarkan fakta ini hak atas keadilan telah terlanggar. Tidak hanya itu, pada fakta selanjutnya bahwa tindakan pengkapan dan penahanan tersebut dilakukan secara tidak pantas, karena terjadi pemukulan dan penyiksaan. Yang hal ini sebenarnya tidak dapat dilakukan oleh aparat kepolisian adapun alasan penangkapan dan penahanan seseorang harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup maksudnya adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan pasal 1 angka 14 KUHAP yang dalam hal ini pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik.90 Dengan kata lain , tanpa bukti permulaan yang cukup, penyidik tidak dapat melakukan penangkapan.91 Yang dalam hal ini tidak dilakukan oleh aparat kepolisian justru dalam pemeriksaan aparat melakukan penyiksaan agar tersangka mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Hal ini melanggar hak atas keadilan yang seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan karena fakta ini menunjukan terlanggarnya Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor, 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 10 (b.29) 88 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.19. 89 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No. 36, Pasal 21 ayat 2 dan ayat 3 90 Yahya Harahap,Loc.Cit,hlm.157 91 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang,Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi,ed.2,cet.1,Jakarta:Sinar Grafika,2010,hlm.113 87 41 prinsip nessesitas yang memiliki hubungan yang erat dengan prinsip proporsionalitas. Dimana dalam hal penangkapan dan penahan tidak perlu dilakukan penyiksaan dan pemukulan itu sendiri, karena pada dasarnya penangkapan dan penahanan harus ada bukti permulaan yang cukup dimana dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tidak boleh dilakukan kekerasan karena tercantum dalam prinsip 1- 38 mengenai perlindungan semua orang dalam segala bentuk penahanan92. Bahwa tersangka tidak boleh dipaksa mengakui suatu kesalahan karena hal ini bertentangan dengan prinsip self incrimination. Selain itu, terdapat konvensi anti penyiksaan adalah untuk melindungi tersangka atau terdakwa dari adanya penyiksaan ataupun dugaan penyiksaan yang dimuat di dalam pasal 1 yang berbunyi “untuk tujuan konvensi ini, penyiksaan adalah setiap perbuatan dengan mana sakit parah atau penderitaan, apakah fisik atau mental, sengaja ditimpakan pada seseorang untuk tujuan seperti memperoleh darinya atau dari orang ketiga informasi atau pengakuan, menghukumnya atas suatu perbuatan dia atau orang ketiga yang telah dilakukan atua diduga telah dilakukan, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun, ketika rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan oleh atau atas hasutan dengan persetujuan atau persetujuan resmi atau umum lainnya yang bertindak dalam kapasitas resmi. Ini tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat atau yang terkait dengan sanksi hukum.93 Dengan demikian berdasarkan fakta yang ada pelakuan berupa penyiksaan dan pemukulan agar Monika Zonggonau mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya telah melanggar hak atas keadilan yang berupa larangan penahanan sewenang-wenang. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia. Dan fakta terakhir dari kasus penangkapan dan penahanan sewenangwenang adalah akibat dari penyiksaaan Ibu Monika Zonggonau mengalami lukaluka tetapi sejak ditahan dari tingkat kepolisian hingga kejaksaan tidak pernah diizinkan untuk menghubungi dokter yang hal ini melanggar hak atas keadilan yang seharusnya dalam hak-hak tersangka memiliki akses untuk itu berdasrkan pasal 58 KUHAP94 bahwa apabila tersangka atau terdakwa sakit, maka mempunyai hak untuk dikunjungi dokter pribadi untuk kepentingan kesehatannya. Dalam fakta ini jelas setelah Monika Zonggonau disiksa saat pemeriksaan sekarang tidak diizinkan untuk mengobati luka-luka yang didapat dari siksaan tersebut. Dengan demikian berdasarkan fakta yang ada pelakuan tidak dizinkanya menghubungi dokter telah melanggar hak atas keadilan dimana sebenarnya hak itu tidak dapat dibatasi ataupun dikurangi walaupun ia menjadi seorang tersangka. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia. 92Universitas Kristen Satya Wacana,http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2673/1/T1_312008059_Judul.pdf diakses pada 3 April 2016 93 Universitas Kristen Satya Wacana,Ibid 94 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No. 36, Pasal 58 42 Pada fakta kasus kedua menunjukan bahwa penahanan terhadap seorang Bupati Sumedang dilakukan oleh jaksa dengan sewenang-wenang. Dalam hal ini Penahanan Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar disinyalir tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Padahal izin tersebut menjadi hal yang krusial bagi penegak hukum untuk menahan seorang kepala daerah. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada kasus ini jelas terlanggarnya prinsip legalitas yang seharusnya segala tindakan Negara harus ada dasar yang mengaturnya. Dalam hal ini Negara yang dalam bertindaknya dibatasi oleh Undang-Undang justru melanggarnya. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia. Pada fakta kasus ketiga penangkap yang dilakukan oleh polisi sebenarnya juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Hal ini dikarenakan Pimpinan KPK itu diborgol, diangkut bersama anaknya, sambil diberi tekanan teror sepanjang perjalanan. Seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan karena dalam hal ini Negara penangkapan terdapat waktu untuk menangkapnya. Mengapa ditangkap pada saat bersama anaknya. Hal ini merupakan hal yang tidak perlu dilakukan tentu pada kasus ini melanggar prinsip nesesitas dimana sebenarnya masih ada upaya lain untuk ditangkapnya tapi pada saat yang kurang tepat justru ia ditangkap hal ini jelas bahwa Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ICCPR setiap orang mempunyai hak atas kebebasan dan keamanan dirinya sehingga tidak seorang pun dapat ditangkap dan ditahan sembarangan. Dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta KUHAP juga mengatur hal tersebut. Untuk memastikan terlindunginya hak tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan atas penahanan yang terjadi oleh hakim yang tidak memihak. Setiap individu yang ditahan berhak atas segera diinformasikan penahanannya kepada keluarga secara jelas dan tepat mengenai alasan-alasan atas penangkapan atau penahanannya dan juga hak-haknya, serta diizinkan untuk menghubungi seorang pengacara, secara langsung atau melalui keluarga/orang yang dipercaya.95 Ketentuan yang mengatur mengenai larangan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang memberikan perhatian terhadap perlindungan dan kemerdekaan individu dari ancaman penyalahagunaan kekuasaan dalam keadaan apapun. Namun yang terpernting adalah konsep keseimbangan antara kebebasan dan keamanan yang harus dijamin oleh penguasa dalam hubungan antara Negara dengan warga negaranya.96 SIMPULAN 95 Human Rights Watch, Human Rights Watch: Langkah Awal yang Tersiksa, Jakarta: Human Rights Watch,2004,hlm.22 96 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur,(ed), Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, Jakarta : IDSPS,2009,hlm.220 43 Hak Asasi Manusia adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Pada dasarnya semua orang berhak untuk bebas dari penangkapan, penahanan dan pembuangan sewenang-wenang.97 Dalam kerangka hukum internasional tindakan penangkapan dan/atau penahanan sewenang-wenang merupakan sebuah tindakan yang tidak yang tidak saja melanggar hukum tetapi juga menciderai sejumlah hak terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).98 Hukum HAM internasional mengartikan kata “sewenang-wenang” dalam pengertian ini dipahami mengandung unsur-unsur ketidakadilan (injustice), ketidakpastian (unpredictable), ketidakwajaran (unreasonable), ketidakakuratan (capriciousness) dan ketidakberimbangan (disproportionality). Fakta-fakta menunjukan bahwa hak atas keadilan belum terwujud terhadap Monika Zonggonau, Bupati Sumedang, Bambang Widjoyanto, serta Kakek Ngamatu karena penangkapan dan penahanan yang dilakukan adalah secara sewenangwenang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Dikaitkan dengan hak asasi manusia, bahwa banyak instrument hukum yang mengatur seperti pasal 9 ICCPR dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1 mengenai larangan penahanan sewenang-wenang. Namun, instrument tersebut dilanggar juga oleh penegak hukum. Yang seharusnya menegakan hukum secara benar, perlu dipahami bahwa Negara memiliki kewajiban terhadap Hak Asasi Manusia yaitu, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. Tapi dengan adanya fakta-fakta diatas jelas Negara belum menjalankan kewajibannya terhadap hak asasi manusia. SARAN Hak Asasi Manusia sebagai hak mendasar untuk setiap individu haruslah dihormati, dilindungi serta dipenuhi. Untuk itu, berkaca dengan kasus Monika Zonggonau bahwa Negara sudah lalai dalam menjalankan kewajibannya terhadap Hak Asasi Manusia. Untuk itu butuh peran serta penegak hukum agar menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bagi para oknum polisi yang melakukan demikian , seharusnya ada peran dari masyarakat untuk melaporkannya ke Propam agar oknum tersebut ditindak tegas agar tidak akan adalagi peristiwa mengenai penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang. Sedangkan jika yang melakukan adalah seorang jaksa penyidik dibutuhkannya peran dari komisi kejaksaan untuk menindak dan membina. Mengingat sebenarnya penahanan itu sendiri adalah hal yang mengurangi HAM, untuk itu terdapat instrument hukum yang membatasi dengan adanya larangan penahanan sewenang-wenang yang tercantum dalam pasal 9 ICCPR dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang 97 Adnan Buyung Nasution, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal.97. 98 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur, (ed), Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, (Jakarta: IDSPS, 2009), hal.218. 44 Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1. Untuk itu penulis memberikan saran kepada penegak hukum agar lebih berhati-hati menerapkan system hukum, terlebih mengenai pengurangan hak. Karena apabila hal tersebut tidak dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana, maka akan banyak korban berjatuhan seperti Monika Zonggonau. Bahwa selanjutnya, saran untuk penegak hukum agar lebih memperhatikan hak-hak tersangka atau terdakwa karena perlu dipahami bahwa mereka yang berstatus tersangka ataupun terdakwa adalah mereka yang belum tentu salah. Sehingga perlakuan mereka tidak boleh sama dengan terpidana yang telah terbukti bersalah. DAFTAR PUSTAKA Buku Adji, Indriyanto Seno.Penyiksaan dan Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif KUHAP. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.1998 Ali, Mahrus.Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penangkapan dan Penahanan dalam Hukum Acara Pidana.Yogyakarta: PUSHAM UII.2015 Harahap, Yahya. pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan.Jakarta:Sinar Grafika.2015 Hirsch, Andrew von. Censure and Proportionality. dalam A Reader on Punishment, disunting oleh Antony Duff dan David Garlan, Oxford University Press, Oxford, sebagaimana dikutip oleh Salman Luthan, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 160-161 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2006 Klatt, Matthias. Positive Obligations under the European Convention on Human Rights. Max- Planck-Institut für ausländisches öffentliches Recht und Völkerrecht.2011 Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi,ed.2,cet.1,Jakarta:Sinar Grafika.2010 Makaarim, Mufti Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur, (ed). Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009. Jakarta: IDSPS.2009 Nasution, Adnan Buyung. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1997 _____________________ dan A.Patra M.zen.Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2006 45 Prasetyo, Dedi. Diskresi Kepolisian Pada Tahap Penangkapan Tersangka Terorisme. University of Brawijaya Press:Malang, 2014 Purnomo. Pokok-pokok Tata Cara Peradlilan Pidana Indonesia dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981. Yogyakarta: Liberty.1993 Prodjohamidjojo, Martiman. Penangkapan dan Penahanan. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984 Ridwan.Hukum Administrasi Negara. Cet. Keenam. Rajawali Press: Jakarta, 2011. Rover, C de. To Serve and To Protect: Acuan Universal Penegakan HAM. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2000 Smith, Rhona K.M.Hukum Hak Asasi Manusia. Jakarta: PUSHAM UII Press.2008 Artikel Basic Law Bulletin Issue. The Principle of Proportionality and the Concept of Margin of Appreciation in Human Rights Law. 15 December, 2013 Flores, Imer. Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation. Georgetown Public Law and Legal Theory Research Paper. 2013 Human Rights Watch. Human Rights Watch: Langkah Awal yang Tersiksa. Jakarta: Human Rights Watch.2004 Meagher, Dan.The Principle of Legality as Clear Statement Rule : Signifiance and Problem. Sydney Law Review. Vol 36,2014,hlm.416 Ugochukwu, Basil. Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in Comparative Context: Lessons for Nigeria. York University and Transnational Human rights Review. Volume 1, 2014, hlm 6 Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. UU No.8 Tahun 1981. LN Tahun 1981 No.76. TLN No.3209 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor, 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 10 (b.29) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) Internet 46 Detiknews, “ Kronologi Penangkapan Teror Bambang Widjojanto”, http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-terorbambang-widjojanto pada 25 November 2016 Kontras,”Kronologi Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang Terhadap Ibu Monika Zonggonau”, http://www.trunity.net/kontraspapua/view/article/164977/ diakes pada 1 April 2016 Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”, http://www.pikiranrakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedangkejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016 http://digilib.unila.ac.id/18289/2/BAB%20I.pdf diakses pada 3 April 2016 http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2673/1/T1_312008059_Judul .pdf diakses pada 3 April 2016 47 REBRANDING SISTEM PEMILU Abstraksi Salah satu konsekuensi logis dari sistem demokrasi adalah penerapan pemilihan umum (Pemilu) unutk memilih para pejabat publik seperti kepala negara, kepala daerah ataupun anggota legislatif. Di Indonesia sistem ini tetap meninggalkan cacat dimana-mana. Setiap kali terjadi suksesi pejabat publik, disana kerap terjadi pelanggaran nilai-nilai luhur dalam kehidupan bersama, seperti praktik politik uang, black campaign, dsb. Kenyataan ini lantas menciptakan banyak keraguan pada sistem pemilu yang berujung pada kegairahan banyak intelektual untuk menata kembali sistem yang boros dan tidak adil ini. Merebranding kembali sistem pemilu adalah salah satu cara yang bisa ditawarkan. Karena banyak orang yang masih awam dengan demokrasi, dengan pemilu, dan perangkat-perangkat pemilu lainnya. Florianus Apung, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, 082340706080, [email protected] 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Judul ini dipilih melihat fakta pemilihan umum yang carut-marut dalam praktik berdemokrasi Negara Indonesia. Pemilihan umum yang dianggap sebagai representasi dari semangat demokratis justru sering menjadi tidak demokratis. Hal ini dibuktikkan oleh sejumlah fakta di lapangan, seperti serangan fajar menjelang pemilihan, kampanye hitam (black campaign), kongkalikong dengan pengusaha dan perusahaan-perusahaan asing, surat suara yang rusak, tawuran antara masa pendukung calon, daerah yang hanya memiliki calon tunggal, dan sebagainya. Selain itu, pemilihan umum juga kerap menjadi moment menghamburhamburkan uang atau kas daerah/negara. Negara ini harus membayar mahal untuk sebuah sistem yang boros. Pertanyaannya adalah bukankah lebih cerdas jika uang untuk membiayai pilkada dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan terpencil? Pemilihan umum bahkan kerap menjadi ajang perjudian, menebak siapa yang bakal memenangi pemilihan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksudkan dengan rebranding sistem pemilu? 2. Mengapa sistem pemilu harus direbranding? 48 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan rebranding sistem pemilu 2. Menjelaskan alasan-alasan tentang urgensitas rebranding 2. METODE Objek kajian penulis dalam menggarap tulisan ini adalah beragam persoalan yang melilit kehidupan politik Negara Indonesia. Penulis mengacu pada persoalan yang terjadi di wilayah domisili penulis yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan mengerucut pada persoalan tentang Pemilihan umum kepala daerah, anggota legislatif dan dewan perwakilan daerah. Dengan teori-teori tentang demokrasi modern yang ada, persoalan-persoalan aktual seputar pemilihan umum dianalisis untuk mendapatkan titik terang persoalan. Teknik kajian tulisan ini adalah studi kepustakaan dengan membandingkan kenyataan pemilu di NTT dengan teori demokrasi modern yang ada. Penulis mencoba mendapatkan data tentang persoalan pemilu dari media cetak maupun media daring yang kemudian dijadikan juga sebagai referensi dalam menggarap tema tulisan ini. 3. PEMBAHASAN 3.1 Memotret NTT Menelusuri alam Nusa Tenggara Timur (NTT), orang akan dihantar pada satu kesimpulan bahwa NTT adalah wilayah yang kaya baik dari aset alam, kebudayaan, maupun demografi. Akan tetapi kekayaan itu tidak berbanding lurus dengan kehidupan ekonomi masyarakat. Di tengah kegelimangan kekayaan, kemiskinan yang sifatnya sistemik dan menahun masih mengakrabi orang NTT, bahkan seakanakan orang NTT menjadi orang asing di tanahnya sendiri. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi NTT (15/09/2015) pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin di NTT mencapai 1.159,84 atau 22,61%. Padahal September 2014 jumlah penduduk misikin hanya mencapai 991.888 orang atau 19,60%. Antara September 2014 hingga September 2015 jumlah penduduk miskin di NTT naik 160.000 orang.99 Selain persoalan kemiskinan, persoalan serius lain yang sedang dihadapi saat ini adalah angka pengangguran dan ketimpangan sosial yang semakin meningkat. Tragisnya lagi bahwa ironi yang sangat jelas membingkai kehidupan masyarakat ini sering tidak disadari baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh para pemegang tampuk kekuasaan, sehingga tidak heran, suksesi kepemimpinan menjadi sebuah formalitas demokrasi semu dan penuh kecurangan tanpa pernah mampu melahirkan para pemimpin yang cerdas dan tanggap. Pembangunan pun gagal, 99 Alsis Goa Woanga OFM, Nyawa Tak Semahal Tambang (Data Opini), Flores Pos Edisi 21 Oktober 2015. P.12 49 karena pembangunan belum dikatakan berhasil jika kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan menjadi lebih buruk.100 Sampai pada titik seperti ini sebuah pertanyaan substansif mesti dilayangkan: mengapa semua itu terjadi? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab seandainya dipahami bahwa pada awalnya politik menjadi pintu masuk menuju masyarakat yang sejahtera. Seandainya kehidupan politik di NTT ditata sedemikian sehingga pemerintah menjadi mengerti dan masyarakat menjadi paham, maka persoalan kemiskinan bisa diatasi dengan baik. Politik yang ditafsir sebagai sarana untuk membangun bonum commune sering ditafsir, lantas dijadikan arena pertarungan yang tidak sehat, penuh intrik, kotor, dan berbahaya. Para politisi maupun pemerintah terjebak dalam pemikiran ekonomis, bahwasannya politik adalah ladang tuai dimana mereka tidak menabur. Dengan kata lain politik dipandang sebagai lapangan kerja untuk mereguk untung semaksimal mungkin. Politik tidak dipandang sebagai lahan pengabdian, tetapi dijadikan sebagai lahan investasi. Pada gilirannya orang kebanyakan pun selalu menjauh, jika yang diperbincangkan adalah politik. Politik menjadi fobia yang tidak boleh dibicarakan. Politik hanyalah milik para politisi, milik pemerintah, dan milik segelintir orang yang peduli tentangnya. Sampai pada titik seperti ini, politik sudah mengalami pergeseran paradigma yang sangat masif. Banyak orang, sekalipun sudah diberikan pendidikan politik tidak memahami apa arti penting kehidupan politik. Hal ini semakin diperparah oleh sepak terjang partai-partai politik yang dari hari ke hari semakin pragmatis. Partai politik yang diharapkan menjadi promotor sosialisasi politik malah terjebak dalam kalkulasi untung rugi. Partai politik cukup sering hanya tampil di masa kontestasi politik demi konsolidasi suara bagi calon-calon yang didukungnya. Sepak terjang mereka tidak jarang kontraversial. Ada kesan bahwa para kader partai yang menjadi anggota tim sukses sering terlibat dalam kampanye yang tidak menyehatkan, terlibat dalam politik uang, melakukan serangan fajar demi memenangi kontestan yang didukung, dan sebagianya. Di masa vakum hajatan demokrasi, partai politik pun turut vakum. 3.2 Sistem Otonomi Daerah yang Gagal Sistem otonomi daerah (Otda) pertama kali dicetuskan setelah reformasi tepatnya pada tahun 2001 dengan tujuan agar pembangunan tidak lagi tercentralisasi dan hanya menjadi urusan pemerintah pusat. Otonomi daerah lahir dengan harapan bahwa daerah mampu menentukan sendiri segala tetek-bengek urusan pembangunan, dalam arti bahwa daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten diberikan kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Sistem otonomi daerah ini diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri 100 Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3S:, 2001), p. xi. 50 urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bila pengertian ini disimak dengan baik sesungguhnya daerah mempunyai legitimasi dan kewajiban untuk mengurus sendiri dan mengatur daerahnya masing-masing dengan tujuan utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing masyarakat.101 Akan tetapi apa yang diidam-idamkan dalam otonomi daerah ini tidak sesuai dengan gagasan dasar dan praktik di lapangan. Otonomi daerah telah melahirkan korupsi yang terdesentralisasi. Pemerintah daerah telah menjadikan sistem ini sebagai tameng untuk membenarkan praktik kejahatan yang dilakukan pada tingkat daerah. Gagasan dengan menyerahkan kekuasaan kepada daerah untuk mengolah sumber daya alam (SDA) daerah berjalan timpang. Alih-alih memberikan manfaat kemakmuran bagi daerah, otda tampaknya lebih tampak sebagai pemberian kuasa kepada daerah untuk mengeksploitasi SDA. Paska pemberlakuan Otda negeri ini menjadi surga bagi perusahaan-perusaahan asing khususnya perusahaanperusahaan tambang.102 Pemberlakuan Otda telah memberikan kesempatan bagi para penguasa untuk memberi izin usaha pertambangan bagi perusahaanperusahaan asing itu. Otda telah menciptkan konspirasi tingkat dewa antara penguasa dan pengusaha untuk mengeksploitasi tidak hanya alam lingkungan tetapi juga mengeksploitasi masyarakat khususnya masyarakat kecil yang sering tidak berdaya menghadapi tangan kejam kospirasi. Otda sebagai bagian produk politik sejak reformasi telah menjadi sistem yang turut mendukung meningkatkan angka kemiskinan di NTT. NTT juga termasuk dalam provinsi dengan intensitas korupsi terbesar. Korupsi yang ditemukan di NTT ini sering melibatkan oknum-oknum dalam birokrasi dengan beragam modus. Entah korupsi dana sosial, proyek, dana pendidikan, dana kesehatan, dan lain sebagainya. Korupsi telah menjadi litani dan seakan-akan mendarah daging dalam tubuh birokrasi di NTT dan ironisnya pula, masyarakat kerap tidak tahu dan tidak memperjuangkan uangnya itu untuk membangun kehidupan yang lebih layak. 3.3 Korupsi Dana APBD Otonomi daerah sebagai produk reformasi dan dengan demikian produk demokrasi diyakini lebih banyak mendatangkan masalah bagi daerah khususnya terkait korupsi yang juga ikut terdesentralisasi. NTT sudah sejak lama mendapat predikat sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Selain berita-berita korupsi yang sudah diberitakan oleh media, banyak kasus korupsi yang masih terelubung. Di kalangan birokrat indikasi korupsi terjadi dalam kasus mark-up dan proyek fiktif. Mark up atau penggelembungan harga terjadi pada pengadaan barang dan jasa sedangkan proyek fiktif terjadi pada pembelanjaan alat-alat tulis kantor, perjalanan 101 Kustiawan, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan RI (artikel). 102 Ferdy Hasiman, Monster Tambang, Gerus Ruang Hidup Warga NTT, (Jakarta: JPIC OFM, 2014), p.15. 51 dinas, kegiatan rapat atau pelatihan.103 Dana APBD yang seharusnya mesti diprioritaskan untuk pembangunan lebih banyak dihabiskan untuk pembelanjaan hal-hal tidak penting keperluan birokrat. Di akhir bulan, gaji mereka tetap lancar, gaji yang tidak sebanding dengan kualitas kerja mereka. Selain dikorupsi melalui mark-up dan belanja siluman, dana APBD dipakai juga melalui tindakan kolusi dan nepotisme. Tindakan busuk yang sudah ditanam pada era Soeharto masih bisa ditemukan dengan gampang di daerah-daerah di NTT. Misalnya kasus di Manggarai, mayoritas jatah beasiswa Pemda dari dana APBD jatuh ke anak-anak pejabat eksekutif dan legislatif. Pemberian beasiswa tidak didasarkan pada kompetisi terbuka, juga tidak ada keberpihakan khusus kepada anak dari keluarga yang kurang mampu menyekolahkan anak mereka yang berprestasi gemilang.104 Sungguh sebuah ironi bahwa para pejabat yang sebenarnya mampu menyekolahkan anak mereka dengan gaji bulanan mereka, malah dengan tidak tahu malu menggelapkan APBD yang bisa diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu. NTT adalah sebuah paradoks, di saat banyak anak-anak pejabat dengan mudah masuk ke universitas-universitas mahal negeri ini, di saat bersamaan banyak anakanak yang tidak mampu mencicipi indahnya bangku kuliah, SMA, SMP, atau bahkan Sekolah Dasar. Di alam demokrasi korupsi tampaknya berkembang biak dengan subur dan bahkan masif. NTT pada dasarnya adalah provinsi yang kaya dan subur, akan tetapi korupsi seakan-akan telah memotong pelan-pelan urat nadi kehidupan di NTT, sehingga tidak heran predikat lain pun sering disematkan pada provinsi ini yaitu provinsi termiskin. NTT dikenal bukan karena kekayaan alam, budaya, dan sosialnya tetapi justru karena kejahatan yang dilakukan oleh para pejabatnya. Korupsi apa pun bentuknya adalah sebuah tindakan yang merugikan kepentingan umum. Dan sumber segala tindakan itu adalah kehidupan politik yang memang kotor dan berbahaya. Orang yang terjun ke dunia politik tidak lain adalah calon dan para koruptor yang menjadikan posisi atau jabatannya sebagai lahan mengenyangkan perut atau kebun dimana mereka tidak menabur apa-apa. Pembangunan di NTT akan selamanya macet dan bahkan bisa terhenti seandainya korupsi tidak diberantas secara serius. 3.4 Kapitalisasi Politik Pertanyaannnya sekarang adalah seberapa pentingkah peran politik bagi pemberantasan kemiskinan di NTT? Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam ruang politik keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan terkait kehidupan orang banyak (kesejahteraan, keadilan, dsb) dieksekusi. Ruang politik adalah ruang komunikasi, karena di dalamnya orang bisa dengan bebas mengemukakan pikiran dan pandangan demi kebaikan dan kemajuan bersama. Politik hemat saya adalah raja yang menguasai bidang-bidang lain. Politik merambah ke bidang, ekonomi, sosial, hukum, budaya, hingga kebiasaan masyarakat. Kualitas bidang-bidang ini 103 Cypri J. Paju Dale, Kuasa Pembangunan dan Kemiskinan Sitemik, (Labuan Bajo: Sunspirit Books, 2013), p.225. 104 Cypri J. Paju Dale, Lock.Cit. p.226. 52 ditentukan oleh seberapa dalamnya kualitas kehidupan politik di NTT. Stabilitas politik menjadi titik tolak pembangunan dalam kehidupan masyarakat. Stabilitas politik itu sendiri dibentuk oleh syarat-syarat dalam bidang politik seperti penyederhanaan partai politik, pembatasan partisipasi politik, dihapuskannya oposisi politik, penerapan asas kebebasan bertanggungjawab bagi pers, dan penciptaan massa mengambang pada tingkat di bawah kecamatan. Dari titik tolak stabilitas politik inilah pembangunan itu mulai bergerak.105 Gagalnya pembangunan bisa ditafsir karena pembangunan yang selalu bertitik tolak dari kehidupan ekonomi. Padahal stabilitas politiklah yang menjamin pembangunan dan dengan demikian menjamin pertumbuhan ekonomi. Menurut Max Corden, krisis pembangunan yang terjadi di Indonesia bersumber dari kesalahan pengelolaan pemerintahan (misgovernment), korupsi, masalah transisi politik, tidak adanya rasa aman bagi masyarakat beretnis, dan jatuhnya harga minyak.106 Maka mengabaikan bidang ini, berarti mengabaikan kehidupan itu sendiri sebagai konsekuensi dari hidup bernegara. Namun demikian politik dibawah naungan demokrasi, telah menjadikan ajang Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah, Gubernur ataupun Dewan Perwakilan Rakyat sebagai ajang utang-piutang, ajang investasi, awal dari proses pemiskinan rakyat. Untuk pemilihan seorang bupati saja, dana kampanye yang dihabiskan bisa mencapai 5-20 miliyar, gubernur bisa mencapai 10-400 milyar, dan lain sebagainya. Membayar 2-3 miliyar kepada partai politik supaya seorang calon bupati bisa didukung dalam sebuah pilkada merupakan praktik yang biasa terjadi.107 Dalam ketentuan pembatasan dana kampanye terbaru pun masih cukup mahal. Ketentuan itu diatur rigid dalam peraturn KPU Nomor 8 Tahun 2015 tentanga dana kampanye. Sumber dana kampanye bisa berasal dari pasangan calon, partai politik atau sumber lain yang sah. Bentuknya bisa berupa uang, barang, atau jasa. Pasal 7 peraturan KPU itu menyebut, dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan nilainya paling bayak Rp.50 juta rupiah. Dana kampenye yang berasal dari kelompok atau badan hokum swasta nilainya paling banyak Rp.500 juta rupiah. Tentang pembatasannya, pasal 12 ayat 1 menjelaskan, KPU Daerah menetapkan pembatasan pengeluaran dana kampenye dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah peserta kampanye, standar biaya daerah, bahan kampanye yang yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik dana manajemen kampanye/konsultan.108 Pertanyaannya sekarang adalah darimana seorang calon kepala daerah memperoleh dana sebesar itu? Di NTT, besarnya dana kampanye itulah yang menjadikan seorang Sebastian Salang, (seorang bakal calon bupati Manggarai) mengundurkan diri dari bursa calon bupati Manggarai beberapa periode yang lalu. Ignas Kleden, Konstruksi Sosial Pemimpin, (Opini Kompas Edisi 29 Oktober 2015). P. 6. Ibid. p. 304. 107 (Bdk.http://.kendariekspres.com/news.php?newais=6252). 108 (Bdk. hhtp://Detiknews.Peraturanpembatasandanakampanyepilkada.com). 105 106 53 Demokrasi yang dijunjung tinggi pada gilirannya menjadi sebuah sistem yang mahal dan boros. Sistem yang mahal dan boros inilah yang kemudian dieksploitasi oleh sistem kapitalisme melalui kaum pemilik modal-dalam hal ini adalah korporasi-korporasi asing-untuk menjalin hubungan asmara dengan para calon pemimpin tersebut dengan sebuah deal bahwa seorang pengusaha atau pemilik korporasi akan membiayai seluruh dana kampanye seorang calon asalkan jika calon terpilih, maka korporasi bersangkutan mendapat izin untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kekuasaan sang calon dengan bebas. Inilah yang terjadi di NTT. Efek lain dari hal ini adalah tendensi untuk menjadikan jabatan sebagai lahan mencari nafkah dan memperkaya diri. Tak pelak, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) terjadi dimana-mana. Seorang bupati menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Di pihak lain, visi dan misi yang didengungkan selama masa kampanye menjadi janji yang tidak pernah dibuktikan. Banyak bupati yang belum menyadarai bahwa menjadi bupati bukannya untuk memperkaya diri dan keluarga, melainkan membangun struktur dan infrastruktur ekonomi daerahnya.109 Maka sampai pada titik seperti ini, masyarakatlah yang menjadi kambing hitam. Menjamurnya korporasi-korporasi tambang di NTT sudah menjadi bukti semuanya itu. Korporasi tersebut bergerak semau gue saja, menutup diri terhadap lingkungan sosial, dan menjadi organisasi yang kebal hukum. Lalu timbul kecurigaan: Jangan-jangan sistem yang telah dianut selama ini, baik nasional maupun di wilayah lokal NTT diciptakan oleh korporasi-korporasi asing ini? Politik di NTT akhirnya tidak bebas nilai dan jauh dari cita-cita awal Aristoteles untuk bonum commune, bahkan politik itu sendiri berada di bawah kendali total bidang ekonomi. Maka politik pun tidak lain adalah sarana meluruskan dan memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi tambang yang oleh Ferdy Hasiman disebut sebagai monster. Pertambangan menghancurkan sumber hidup dan masa depan masyarakat.110 Tambang yang digadang-gadang mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah isapan jempol belaka. Tambang mempunyai daya destruksi yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat. Inilah yang kemudian dinamakan kapitalisasi politik. Politik dipretel hanya pada tujuan ekonomis semata. Hal ini dipraktikkan secara murni dan konsekuen oleh para penguasa wilayah NTT. Demokrasi dan pemilihan umumnya hanyalah sandiwara ciptaan kaum kapitalis. Kaum kapitalis telah lama mencampuri urusan politik di lingkup NTT, barangkali sejak diberlakukannya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Lantas, penguasa terjebak dalam lingkaran setan ciptaan kaum korporasi. Maju salah, mundur salah. Yang bisa dilakukan hanyalah terus memperkaya diri dengan mempecundangi rakyat yang telah memilihnya. Jelaslah pepatah Cina kuno yang dikutip pada awal tulisan ini: Ketika seseorang menjadi pejabat, bahkan kucing dan anjingnya pun masuk surga. Binatang piaraan para penguasa terus bertambah gemuk dan sehat, sementara masyarakat NTT terus-menerus berkubang dalam jurang kemiskinan dan ketidakadilan. Menyitir Cypri J.P. Dale: ‘NTT for Sale’. 109 110 Zakaria J, Ngelow dkk, Teologi Politik, (Makasar: Oase Intim, 2013), p. 144. Ferdy Hasiman, Op.Cit. p. 158. 54 Pemerintah, mulai dari seluruh perangkat kerja dan wewenang yang ada padanya menjadi tenaga penjual dari properti yang bernama Indonesia umumnya dan NTT khususnya.111 3.5 Rebranding Sistem Pemilu: Sebuah Solusi NTT yang elok, kaya, dan permai tidak seelok dan sekaya masyarakatnya. Jika dianalogikan, bak tikus yang mati kelaparan di dalam lumbung padi. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang mesti dilakukan? Demonstrasi tolak tambang terjadi hampir setiap tahun di wilayah NTT. Akan tetapi, hampir setiap demonstrasi tidak diikuti oleh follow-up yang berarti dari pemerintah. Keadaan ini semacam pembiaraan yang dilakukan oleh pemerintah bahwa, setelah demo, masyarakat akan bungkam lagi dan dengan demikian mesinmesin tambang akan tetap beroperasi. Kemiskinan yang masih menggerogoti sebagian orang NTT bersifat sistematis dan struktural dan untuk membongkarnya bukanlah perkara mudah. Tetapi hal yang barangkali bisa dilakukan adalah dengan mengubah sistem pemilihan umum yang menjadi kebiasaan sejak reformasi. Sistem pemilihan umum yang dipraktikkan selama ini jauh dari cita-cita awal sebagai bentuk penghargaan terhadap demokrasi. Sistem pemilu yang dipraktikkan selama ini bahkan bisa disebut telah meludahi demokrasi. Demokrasi yang mulia dilukai oleh praktikpraktiknya yang tidak pernah bersih. Alam demorasi seakan-akan telah mensahkan praktik-praktik kejahatan di tubuh birokrasi. Sistem pemilu mesti diatur agar tetap sejalan dengan demokrasi disatu pihak dan dipihak lain menjadi sistem yang tidak mahal dan tidak boros. Hal ini bisa dilakukan apabila sejak dini masyarakat diberikan sosialisasi untuk menyadari dirinya sebagai makhluk yang hidup dalam sebuah komunitas besar yaitu negara. Apabila sistem pemilu di NTT menjadi sistem yang hemat, maka tendensi untuk menggandeng korporasi-korporasi asing dalam memenangi pemilihan bisa dicegah. Jokowi hemat saya telah membuktikkan hal itu. Hanya orang-orang yang sungguh menyadari masa depannya yang sungguh memberikan pilihan pada pemimpin yang benar. Right man on the right place. Para calon pemimpin pun mesti bersosialisai sejak awal dan tidak menunggu ketika pemilu hendak diselenggarakan, sehingga track reccord yang menjadi acuan sebagian konstituen bisa diketahui dengan jelas. Dari sini belenggu kemiskinan yang masih membingkai kehidupan orang NTT bisa dibongkar hingga tercapailah kesejahteraan yang selama ini penyebarannya tidak merata. Sistem hukum pun mesti ditata secara benar dan tegas. Hukum yang lemah dan mudah termakan suap telah menumpulkan idealisme pembangunan. Penataan kehidupan politik yang bermartabat mesti dimulai dari rana hukum. Aturan pemilu dibentuk bersamaan lahirnya hukuk-hukum yang tegas dan berwibawa. Celah-celah hukum cukup sering dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyelamatkan diri. Orang 111 Cypri J. Paju Dale, Op.Cit. p.4. 55 yang sebenarnya secara jelas dan bahkan terbukti korupsi masih bisa meluputkan dirinya dari penjara yang sudah disiapkan untuknya. Sementara seorang nenek tua yang kedapatan mencuri jagung di kebun orang karena laparnya misalnya dijebloskan dengan gampang ke dalam penjara. Para koruptor masih sering berkeliaran dengan bebas di negeri ini dan di NTT. Rebranding sistem pemilu bukanlah perkara yang rumit apabila semua elemen daerah NTT berpartisipasi aktif di dalamnya. NTT bukan milik siapa-siapa, melainkan milik semua orang NTT dan generasi yang akan datang. Bagi pemerintah bersikap tanggap terhadap wacana yang datang dari akar rumput adalah suatu keharusan. Bersikap sebaliknya, hanya akan menampilkan wajah lain dari pemerintahan yang sedang berlangsung yaitu kediktatoran. KKN terjadi karena sistem yang menciptakan peluang untuk KKN itu sendiri. Maka sistem mesti ditata kembali mulai dari hulu sistem bersangkutan. Bagi masyarakat, untuk tetap menyadari bahwa relasi antara negara dan masyarakat adalah relasi hak-kewajiban. Pemberian dari pemerintah kepada masyarakat bukanlah bantuan pemerintah tetapi hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memberi kenyamanan kepada warganya. Masyarakat juga mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya, sesuatu yang mesti digunakan untuk menyadari pemerintah daerah tentang kemiskinan dan ketidakadilan yang semaknin masif. 4. KESIMPULAN Mengubah sistem apapun itu tetap bukanlah perkara mudah. Setiap perubahan akan selalu menimbulkan rasa sakit. Tetapi bukankah emas murni juga di bakar dalam api agar sungguh memiliki kualitas yang baik. Maka sekalipun sulit, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Rebranding atau menata kembali platform pemilu kita bisa dilakukan seandainya semua orang mempunyai kesadaran yang sama betapa kehidupan politik memainkan peran penting dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Biaya politik yang besar meskipun dengan alasan demi tegaknya demokrasi tetap menjadi hal yang irasional dan tidak manusiawi. NTT yang terhitung sebagai provinsi termiskin dengan indikasi korupsi terbesar akan selamanya menjadi provinsi yang tidak maju-maju, jika tidak mengubah sistem yang telah memberikan peluang pada korupsi yang telah menciptakan kemiskinan struktural hingga ke pelosok-pelosok. Maka dibutuhkan komitmen bersama untuk keluar dari masalah pelik ini. Otonomi daerah telah diberikan. Ada baiknya jika kebebasan untuk menentukan diri ini diimplementasikan dengan pelan dan terstruktur demi mengubah sistem yang telah lama memberi peluang bagi suburunya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 56 DAFTAR PUSTAKA Buku: Chaniago, A Andrinof. Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3S. 2001. Hasiman, Ferdy, Monster Tambang, Gerus Ruang Hidup Warga NTT. Jakarta: JPIC OFM. 2014. Dale, Cypri J. Paju. Kuasa, Pembangunan dan Kemiskinan Sitemik. Labuan Bajo: Sunspirit Books. 2013. Ngelow, Zakaria dkk. Teologi Politik. Makasar: Oase Intim. 2013. Internet: http://.kendariekspres.com/news.php?newais=6252. Diunduh 30 September 2015. hhtp://Detiknews.Peraturanpembatasandanakampanyepilkada.com. Diunduh 4 Oktober 2015 Artikel Kompas Edisi Kamis 29 Oktober 2015 Flores Pos Edisi Rabu 21 Oktober 2015 Kustiawan, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan RI (artikel PDF dari P. Alex Jebadu, SVD) 57 IKHTIAR MEMUTUSKAN MATA RANTAI KORUPSI DENGAN PENGUATAN DEMOKRASI Abstrak Saat ini, demokrasi menjadi sebuah tema diskursus krusial. Hal ini berkaitan dengan dualisme wajah dari sistem politik ini di mana di satu sisi dianggap sistem yang mampu mencapai kebaikan publik dan di sisi lain juga, menyediakan kesempatan bagi penyelewengan kekuasaan. Dalam konteks korupsi, demokrasi seringkali diragukan banyak orang. Mengapa? Sebagaiman yang diketahui, demokrasi adalah sistem politik yang menempatkan kekuatan rakyat sebagai elemen paling fundamental. Namun demikian dalam kenyataannya kita sering menyaksikan bahwa demokrasi hanyalah monopoli kaum elite, mereka yang diberikan kedaulatan. Demokrasi seringkali mengalienasikan demos (warganegara) dan mementingkan kratos (pemerintah). Memperkuat demokrasi dalam dirinya adalah solusi pertama untuk memecahkan problem ini. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: dengan meredefinisi demos dan kratos dan memperbaiki struktur demokrasi itu sendiri. Kata kunci: Korupsi, Demos, Kratos, dan Penguatan demokrasi. Abstract Nowadays, democracy becomes a very crucial theme to be discussed. This is about the dualism face of this political system which in one side is seen as capable system in reaching public interest and in the other side also permissively give opportunity for power misusing. In the context of corruption, democracy is now often doubted by many people. Why? As many people know, democracy is a political system which place people power as the most fundamental element. Nevertheless, in the fact we often see that democracy is only a monopoly of elites, they who are given people sovereignty. Democracy often alienates demos (citizens) and emphasizes kratos (the government). Strengthening democracy in it’s self is the first solution to solve this problem. This indicates two manners, Firstly, by redefining demos and kratos and secondly, by renewing structure of democracy in it’s self. Keywords: Corruption, Demos, Kratos, and strengthening Democracy Sififaldus Foya, 085338640945, [email protected] Antonius Octaviano Susabun, 082340129875, [email protected] 58 PENDAHULUAN Latar Belakang Musuh bersama yang dari waktu ke waktu belum juga mampus hingga kini adalah perbuatan rasuah (korupsi). Sejak hegemoni VOC menggariskan sejarahnya di kepulauan nusantara, korupsi tidak pelak merupakan tindakan pelanggaran yang paling jamak menuai kecaman publik. Setelah hegemoni kolonialisme Belanda berakhir dan Pemerintahan Indonesia dihandle menjadi otonom, bahaya ini tidak hilang melainkan kian merebak. Bahkan dalam buku “Korupsi Mengorupsi Indonesia (2009; 1047), Aan Rukmana, menggambarkan kecemasan Wapres Hatta terhadap meluasnya praktek korupsi kala itu. Itulah mengapa setelahnya Soeharto menyebut periode kekuasaannya sebagai Orde Baru, sebuah antitesis atas Orde Lama Soekarno yang sarat korupsi. Namun, Orde Baru akhirnya terbukti tidak mampu membendung gelombang besar rasuah dalam dirinya yang akhirnya menjadi biang keladi kejatuhannya pada medio 1998.112 Kemudian babak sejarah baru reformasi pun tak lupa mencatat warna lama. Hingga kini, diksi reformasi ini mengandung jutaan tanda tanya besar, entahkah linear dengan faktum atau sebaliknya justru menjadi bumerang atas harapan bersama. Gambaran ini paling tidak menggiring kita pada kesepakatan bahwa korupsi memang nyaman dalam dimensi waktu kapan pun. Lain lagi kisah korupsi yang nyaman dalam dimensi ruang. Jika dahulu korupsi adalah khas Soeharto dan koncoismenya maka sekarang korupsi pun terdesentralisasi sampai pada tingkat rendah.113 Transisi menuju demokrasi ini menciptakan situasi yang menuntut sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam pemerintahan. Pelbagai bentuk pemekaran daerah kekuasaan yang memiliki otonomi baru pun semakin merajalela. Dwifungsi dalam militer pelan-pelan kabur dan diganti dengan demokrasi yang memberi peluang dan kemungkinan bagi rakyat sipil untuk menjadi pemimpin atau pemegang kekuasaan. Cikal bakal demokrasi ini kemudian dianggap sebagai angin segar yang akan membawa suasana baru dalam tubuh Indonesia. Bahkan, seorang Sastrawan Jerman, Jochen Buchsteiner menyebut kelahiran demokrasi di Indonesia sebagai Asiatische erfolgstory (kisah sukses di Asia).114 Namun, wajah demokrasi yang baru muncul itu kemudian dicemari oleh sederet fakta tragik seputar korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, dan kasus lainnya yang berujung pada pelemahan terhadap demokrasi. Alhasil, sanjungan yang baru saja bergema itu lantas berubah bentuk, remuk, dan hilang lenyap. Yang tersisa, hanyalah implikasi yang secara nyata disaksikan dalam pelbagai penyelewengan dan tindakan koruptif. Rumusan Masalah 112 A Yogaswara, Biografi Daripada Soeharto: Dari Kemusuk Hingga “Kudeta Camdessus”, (Yogyakarta: Medpress, 2008), hlm. 207. 113 Anno Susabun, “Mencintai Koruptor”, Pos Kupang, (5 Januari 2016), hlm. 4. 114 Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 12. 59 1. Bagaimana cara memutuskan mata rantai korupsi dalam negara demokrasi modern? 2. Langkah strategis apa yang dilakukan untuk mengentas masalah korupsi yang sudah mengurat akar? Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena korupsi dalam negara demokrasi modern terutama di Indonesia serta upaya solutif-strategis dalam menanganinya. Analisis ini diharapkan berguna bagi penguatan demokrasi dalam rangka menuntaskan masalah korupsi yang ditimbulkan oleh demokrasi itu sendiri. PEMBAHASAN Mencermati Tindakan Koruptif Dalam Pemerintahan Otoriter dan Demokrasi Jika dibandingkan dengan masyarakat tradisional, korupsi dalam masyarakat modern jauh lebih berbahaya. Jika dalam masyarakat tradisional-feodal struktur kebutuhan bersifat stabil, maka dalam masyarakat industri modern kebutuhan kebutuhan masyarakat bercorak dinamis dan terus bertambah.115 Alasannya adalah bahwa perkembangan masyarakat industri modern amat ditentukan oleh adanya kebutuhan yang berorientasi pada produksi dan peningkatan produksi. Hal ini berarti bahwa produksi tidak dapat diperluas secara terus menerus jika kebutuhan masyarakat tetap stabil. Karena itu, masyarakat modern menyulap setiap kebutuhannya menjadi keinginan. Dan metode yang dipergunakan untuk mengubah kebutuhan menjadi keinginan adalah dengan menggunakan pelbagai teknik periklanan. Iklan merupakan sarana untuk menimbulkan keinginan terhadap barang yang sering tidak terlalu dibutuhkan. Di sini terlihat kekuatan teknik periklanan menyebabkan suatu pergeseran dari ekonomi kebutuhan ke ekonomi keinginan.116 Pergeseran tersebut mengimplikasikan juga suatu perubahan pandangan tentang pola konsumsi bahwa konsumsi tidak hanya dilihat sebagai menjadi lebih (being more) melainkan terutama memiliki lebih (having more). Kecenderungan memiliki lebih ini pada gilirannya merambat pada paradigma tentang status sosial, bahwa semakin banyak seseorang memiliki sesuatu, semakin tinggi tingkat kedudukannya dalam strata sosial di masyarakat (seurity social). Jika tendensi “memiliki lebih” dalam konsumsi semakin mendorong pola hidup yang berorientasi pada status maka makin kuatlah kecenderungan untuk beranggapan bahwa identitas pribadi seseorang akan ditentukan oleh apa yang dimilikinya.117 Hal ini Frans Magnis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 119. Bdk. Fuad Hasan, “Pendayagunaan Fungsi Pengawasan Dalam Rangka Disiplin Pembangunan”, Prisma, (Tahun XII, Nomor 2 Februari 1983), hlm. 14-21. 117 Ibid. 115 116 60 sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa dalam masyarakat modern pertumbuhan korupsi amat pesa. Dalam pandangan yang cukup lama berkembang, korupsi identik dengan sistem pemerintahan otoriter. Sebagaimana yang terjadi semenjak adanya kultus individu terhadap Kim Il Sung di Korea Utara, di mana hampir seluruh irama kehidupan orang-orang Korea ditentukan oleh sang penguasa, hingga munculnya pemerintahan otoriter di China dengan kehadiran Mao Zedong, Hitler di Jerman, dan Soeharto di Indonesia, sistem pemerintahan otoriter tak pelak telah membuka peluang yang amat besar untuk terjadinya monopoli dan hegemoni kekuasaan yang berujung pada tindakan-tindakan koruptif.118 Bukti-bukti tak terbantahkan berupa menumpuknya utang akibat pinjaman luar negeri selama pemerintahan otoriter berlangsung, sedikit banyak membenarkan anggapan tersebut. Sebaliknya, demokrasi selalu dianggap paling capable dalam menjaga keteraturan kekuasaan agar terhindar dari tindakan-tindakan koruptif. Namun, sebetulnya anggapan tersebut terlalu berlebihan. Megaskandal yang terjadi di negara-negara demokrasi seperti USA, Jepang, dan Indonesia cukup membuktikan bahwa negara demokrasi sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk tidak terjadinya korupsi. Secara konseptual, term korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Pada masa sebelumnya, raja-raja tradisional yang telah menghabiskan uang negara (uang umum) tidak dianggap melakukan korupsi, karena masih ada kesatuan konsep bahwa raja adalah representasi dari negara. Di dunia barat, pasca revolusi Perancis, penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi khususnya dalam hal keuangan dianggap korupsi.119 Konsekuensi logis dari realitas ini adalah mulai bergulirnya paham demokrasi dari satu negara ke negara lain. Sistem yang muncul menjelang berakhirnya kejayaan filsafat modern ini berciri politik keterwakilan atau seorang pejabat politik diberi kepercayaan untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan dari rakyat. Hemat kami, sejak itu pula muncul penyelewengan kekuasaan dalam sistem demokrasi dan menyebabkan lahirnya masalah korupsi yang merajalela hingga sekarang.120 Korupsi di Indonesia: Sebuah Penyakit Genetik Secara juridis, term korupsi mulai digunakan di Indonesia pada saat Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 dipromulgasikan. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa segala perbuatan yang merugikan keuangan Hal yang sama bisa terlihat dalam pelbagai kajian tentang maraknya praktek korupsi di negara-negara seperti Somalia, Myanmar, Afganistan, Irak, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Sudan yang merupakan negara dengan sistem politik otoriter. Bdk. Matias Daven, “Korupsi dan Demokrasi”, Manuskrip Seminar Sehari Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Sabtu, 12 Maret 2016. 119 Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, Prisma, Thn. XII Nomor 2, Februari 1983, 3-13. 120 Lembaga Transparancy International mengetengahkan bahwa term korupsi mulai muncul semenjak adanya penyelewengan kekuasaan para pejabat politik yang berusaha melawan hukum dan mengarah ke tindakan memperkaya diri. 118 61 dan perekonomian negara dinamakan korupsi.121 Namun, praktik korupsi sudah dimulai semenjak sistem kapitalisme, (sistem ekonomi yang mengutamakan prospek pencarian keuntungan sebesar-besarnya sambil meminimalisir kerugian sekecil-kecilnya), masuk ke Indonesia ratusan tahun silam menunggangi sebuah serikat dagang Belanda (VOC)122 yang juga merupakan penganut garis keras sistem ini. Kehadiran VOC yang pada awalnya mengintensikan suatu gerakan dagang ternyata bergeser drastis ke arah gerakan menjajah yang sejatinya memaksa siapa pun yang dijajah untuk mengamini apapun yang diinginkan si penjajah. Dari situ, sistem kapitalisme bawaan VOC pun diterima oleh masyarakat Nusantara yang pada gilirannya terpengaruh lantas menggeser kultur tradisionalnya. Kapitalisme yang in se mengandung intensi besar mendapatkan keuntungan membuat kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu semakin kompleks.123 Maka, dengan cara apapun kebutuhan yang diciptakan dari hasrat memiliki yang berlebihan itu dirasa mesti selalu terpenuhi. Salah satunya dengan melakukan tindakan korupsi, merampas kekayaan bersama demi kepentingan pribadi. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno, melalui seruannya “go to hell, your aid” berusaha memutuskan mata rantai kapitalisme. Akan tetapi, idealisme ini ternyata dipandang banyak pihak sebagai tindakan merugikan negara-negara industri yang mengharapkan bahan mentah dari bumi Indonesia. Karena merasa dirugikan dengan hilangnya pasokan bahan mentah serta daerah pemasaran, kekuatan negara-negara kapitalisme akhirnya berusaha sekuat tenaga untuk menggagalkan idealisme Soekarno. Satu-satunya cara yang dianggap mempan ialah dengan menghancurkan Soekarno itu sendiri. Maka dibuatlah suatu gerakan devide et impera, mengadu domba kekuatan-kekuatan strategis di Indonesia. Politik devide et impera ini dimanifestasikan dengan cara menyekolahkan secara diam-diam beberapa ‘orang kuat’ Indonesia, semisal para mafia Berkeley yang kemudian menjadi para penguasa Orde Baru, sambil melakukan brainwash sedemikian rupa sehingga ketika pulang ke Indonesia merekalah yang akan menjadi kaki tangan kapitalisme menghancurkan kekuasaan Soekarno. Namun, setelah berkuasa, Orde Baru ternyata tidak terbukti lebih baik dari era sebelumnya. Pada masa ini, kejahatan korupsi merupakan suatu kekhasan yang tak terelakkan dari sejarah bangsa Indonesia. Ciri pemerintahan sentralistik totalitarian yang eksklusif untuk kalangan elite dan alergi kritik semakin menumbuhsuburkan korupsi. Pinjaman-pinjaman luar negeri yang Bdk. Transparasi Internasional Indonesia, Indonesia Bersih Uang Pelicin. Buku Panduan Organisasi Gerakan Bersama Entitas Bisnis, (Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, 2014), hlm. 13. 122 Bernard Vlekke mencatat bahwa Orang-Orang Banda menyerahkan monopoli perdagangan rempah kepada para pedagang Belanda yang kemudian memacu terbentuknya Kompeni Hindia Timur Bersatu (Vereenigde Ostindische Compagnie, VOC) pada tahun 1602. Bdk. Bernard M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, penterj. Samsudin Berlian, (Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 1961), hlm. 132. 123 Alex Jebadu, “Relasi Pertambangan, Kekejaman, Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi”, dalam, Richard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis. Dari Manggarai-Flores Untuk Indonesia, (Jakarta: JPIC OFM Jakarta, 2013), hlm. 185. 121 62 mengatasnamakan rakyat dikorupsi untuk kepentingan segelintir elite pusat beserta kroni-kroninya.124 Dengan harapan yang besar, reformasi menjadi angin segar yang konon diharapkan menjadi semacam antitesis Orde Baru. Perjuangan memakzulkan Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun itupun berhasil. Namun demikian, reformasi pada kenyataannya ternyata jauh panggang dari api. Apa yang mau didapatkan dari reformasi ini ternyata menyisakan problem yang semakin pelik.125 Korupsi terdesentralisasi seiring desentralisasi kekuasaan. Pembengkakan birokrasi menimbulkan kemungkinan pembengkakan anggaran yang berimplikasi pada besarnya kemungkinan korupsi berjemaah. Menghadapi situasi seperti ini tidak sedikit orang merasa muak, lantas berusaha untuk keluar dari situasi seperti ini. Akan tetapi, sekuat-kuatnya upaya publik, kekuatan politik penguasa memang tidak tergoyahkan. Alhasil, upaya publik hanya menjadi suara sumbang di luar ruang sidang penguasa, ibarat domba yang berusaha menyerang serigala. Akibatnya, lama kelamaan rasa muak publik pun mulai bergeser menjadi rasa cemburu, mengapa yang satu lebih kaya dan yang lain miskin.126 Atas dasar itu, perlombaan menjadi kaya dengan jalan kejahatan korupsi pun dimulai. Atmosfer negara pun turut tergiring ke arah penjungkirbalikan nilai-nilai etika. Yang sebenarnya salah dibenarkan sebab banyak orang berlomba-lomba melakukannya. Perlombaan korupsi memotivasi banyak orang untuk menjadi pemenang, menuju siapa yang akan memiliki paling banyak. Setelah menang, hasrat untuk memiliki lebih banyak (having more) semakin menjadi-jadi. Lalu disiasatilah caracara menggolkan hasrat memiliki lebih itu, antara lain; Pertama, di tingkat lokal, kekayaan budaya dijadikan mekanisme baru untuk melakukan ritual suapmenyuap. Sebagai contoh, uang rokok yang sejatinya secara adat digunakan sebagai bentuk ungkapan permohonan maaf atas kesalahan malah mengalami peyorasi makna menjadi uang untuk meminta jabatan atau jatah tertentu dari pemangku kekuasaan. Dadang Trisasongko, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia bahkan pernah mengatakan demikian, “ Tidak mudah menyelesaikan kasus uang pelicin. Dilakukannya secara masif di masyarakat, mengindikasikan bahwa bahwa uang pelicin sering diperdagangkan dalam nominal transaksi kecil dan frekuensi transaksi sedikit. Penindakan hukum terhadapnya dirasakan teramat boros dan membebani keuangan negara. Diperlukan pengembangan strategi lebih daripada penindakan”.127 Kedua, di level elite atas yang memiliki banyak uang, kegiatan suapmenyuap dengan uang pelicin semakin dimungkinkan terjadi, tanpa ada rasa takut. Untuk mempersoalkan kejahatan mereka pun, dibutuhkan kekuatan ekstra untuk dapat menolak tawaran suapan baru. Dengan kata lain, apapun dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak uang. Persis inilah yang menjadi masalah dasar negara demokrasi modern. A. Yogaswara, op.cit., hlm.190. Afan Gaffar, Politik Indonesia.Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 312-313. 126 Fredy Sebho, Monologion, (Maumere: Ledalero, 2016), hlm. 97-101. 127 Dadang Trisasongko, “Menjawab Tantangan Terbesar Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Transparansi Internasional Indonesia, Loc. cit. 124 125 63 Akar Korupsi dalam Sistem Demokrasi di Indonesia Pada dasarnya Indonesia sebagai sebuah negara baru yang terlepas dari kekuasaan kolonialisme mendambakan suatu sistem politik yang lebih baik. Hal ini merupakan akibat dari ketidakpuasan masyarakat akan sistem kolonialisme yang cenderung hanya mengakui otoritas elite masyarakat, terutama dalam mekanisme pengambilan kebijakan publik yang pada saatnya bersentuhan langsung dengan hayat hidup semua anggota masyarakat. Maka setelah melalui pelbagai pertimbangan, para founding fathers akhirnya memutuskan untuk memilih demokrasi sebagai solusi pemecah kebuntuan sistem kolonialisme yang telah lama tertanam dalam nubari bangsa Indonesia.128 Pada mulanya, bayi demokrasi ini tumbuh dengan sehat. Ini terbukti dengan adanya upaya untuk menciptakan kemandirian politik, ekonomi, dan sosial budaya. Namun ketika usianya belum benar-benar matang, ia sudah dihantam lagi oleh suatu diskursus lain seputar sistem pemerintahan presidensial, terpimpin, dan parlementer. Variasi sistem yang dipilih ini sebetulnya hanya merupakan suatu percobaan, ad experimetum, dalam rangka mencari suatu sistem yang cocok bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka, meski akhirnya demokrasi itu sendirilah yang bertahan hingga sekarang. Dari pelbagai kajian, sistem demokrasi yang dianut bangsa Indonesia ternyata berjalan dengan kaki pincang. Demokrasi seolah berjalan dalam lumpur mahatebal, sehingga harus terseok-seok dan tertatih-tatih. Apalagi, di tengah semarak kasus korupsi yang kian hari kian merajalela dan menyita perhatian ekstra publik. Lantas pertanyaan yang mencuat ke permukaan ialah, segi mana dari demokrasi yang memungkinkan terjadinya korupsi dan segi mana dari demokrasi yang mengganyang kemungkinan-kemungkinan tersebut? Demokrasi pada titik ini merupakan jalan terbaik versi para founding fathers dan kita semua, untuk keluar dari kebuntuan kolonialisme. Akan tetapi, dalam kerangka pemahaman membangun sebuah bangsa yang demokratis, sistem keterwakilan senantiasa diandaikan terjadi.129 Dalam artian, sistem demokrasi dalam sebuah bangsa sebesar Indonesia, selalu mengandaikan adanya sistem pemandatan kekuasaan pada pihak-pihak yang dipercaya dapat memanage kehidupan bersama sebagai sebuah negara. Namun sistem keterwakilan ini, seringkali berujung pada suatu pengingkaran atas kepercayaan yang telah dimandatkan. Apa yang terjadi dalam praksis demokrasi keterwakilan, ternyata bukan keharmonisan antara wakil dan konstituen seperti yang diharapkan melainkan suatu ketimpangan di mana wakil rakyat yang dimandatkan lebih mementingkan self-interestnya ketimbang kepentingan rakyat. Padahal kekuasaan yang mereka emban sebetulnya merupakan kekuasaan rakyat, atau kekuasaan dari mereka yang berada di luar ruang sidang. 128 Beberapa periodisasi sistem demokrasi Indonesia yakni Demokrasi Pemerintahan Masa Revolusi Kemerdekaan, Demokrasi Parlementer yang kemudian gagal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila Era Orde Baru, dan Demokrasi di Masa reformasi. Periodisasi ini sedikit banyak menjelaskan bagaimana para pemimpin Indonesia berusaha mencari format demokrasi yang baik dan cocok untuk Indonesia. Bdk. Afan Gaffar, op.cit., hlm. 10-41. 129 Ibid., hlm. 282. 64 Distorsi kekuasaan semacam ini tentu tidak bisa menghindari adanya bahaya korupsi. Sinyalemen keterkaitan antara kejahatan korupsi dengan kekuasaan memang pernah dilontarkan sosiolog Piers Beirne dan James Messerschmidt yang berpendapat bahwa korupsi merupakan suatu yang erat kaitannya dengan kekuasaan.130 Barangkali pernyataan dua sosiolog ini juga terinspirasi dari adagium lama Lord Acton, “…power tends to corrupt…and absolute power corrupt absolutely…”. Memang, tak dapat dibantah bahwa kekuasaan dan kecenderungan melakukan kejahatan korupsi (baca: penyelewengan) adalah bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Berdasarkan pandangannya itu, Beirne dan Messerschmidt membagi tindak pidana korupsi menjadi empat tipe, yaitu;131 Pertama, political bribery, yaitu korupsi di lingkungan kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Korupsi jenis ini seringkali dipicu oleh para pemodal dengan jalan menyiapkan modal bagi kemenangan seorang legislator. Di dalamnya terdapat hidden agenda yakni investasi jangka panjang agar legislator membuat undang-undang yang menguntungkan si pemodal. Dalam konteks Indonesia, korupsi jenis ini sangat tidak asing. Banyak produk undang-undang yang secara jelas memperlihatkan keberpihakan legislator kepada pemilik modal. Produk legislasi DPR dan pemerintah era reformasi dinilai banyak disuapi kepentingan asing. Prof. Sri Edi Swasono menyebut kenyataan tersebut sebagai bentuk kolonialisme baru yang menghisap Indonesia. Sebagai contoh UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disponsori USAID (United States Agency for International Development), dalam rangka liberalisasi sektor migas, penyesuaian harga minyak domestik dengan harga internasional, dan supaya sektor asing boleh masuk dalam sector hilir ekonomi. 132 Di sini terdapat konspirasi menjijikan antara legislator dan pemodal jelas merugikan rakyat kebanyakan. Kedua, Political kickbacks, yaitu korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pelaksana atau pejabat yang terkait dengan penguasa yang memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan banyak bagi kedua belah pihak. Hal ini misalnya tampak dalam aktivitas pemerintah untuk memuluskan pemenangan tender proyek perusahaan tertentu.133 Biasanya mekanisme korupsi ini bermula ketika pada saat pemilihan umum si pemodal menjadi pemasok dana yang cukup bagi kemenangan sang penguasa. Dengan kata lain penguasa dan pengusaha menjadi dua variable yang senantiasa saling Transparansi International Indonesia, loc.cit. Ibid. 132 Desmond J Mahesa, DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia, (Jakarta: RMBooks, 2013), hlm. 234-235. 133 Beberapa kasus yang menimpa Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah kasus Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak transparan atau tidak melalui diskusi dengan masyarakat umum. Para pemimpin mengambil keputusan sepihak sehingga seringkali terjadi konflik antara warga dan pemerintah. Bdk. Aleksander Jebadu (ed.), Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk, (Maumere: Ledalero, 2009) hlm. 23-30.; Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa Pembangunan Dan Pemiskinan Sistemik. Analisis Kontra-Hegemoni dengan Fokus Studi Kasus di Manggarai Raya, NTT, Indonesia, (Labuan Bajo: Sunspirit for Justice and Peace, 2013. 147-149, 242-247. 130 131 65 mengandaikan, saling bertukar kontrak, lalu saling bekerja sama membangun kemaslahatan koncoismenya serentak mengalienasi rakyat dari negerinya sendiri. Ketiga, Election fraud, yaitu korupsi yang berkaitan dengan kecurangan dalam pemilu yang dilakukan oleh peserta atau lembaga penyelenggaranya. Korupsi jenis ini cukup terang benderang dalam praktik penyelenggaraan pemilihan umum selama ini. Ritual suap menyuap antara kontestan dengan penyelenggara pemilu menjadi tak terhindarkan tatkala hasrat memiliki kekuasaan teramat besar, meski tanpa dibarengi modal keterpilihan (elektabilitas) yang mumpuni. Dalam hal ini boleh dikatakan bahwa terdapat suatu pertalian yang begitu intim antara korupsi dan politik uang (money politics). Kenyataan menunjukkan pula bahwa political decay (peluruhan atau kerusakan politik) disebabkan oleh perilaku pemilih yang menjual hak pilihnya dengan imbalan materi atau uang.134 Keempat, Corrupt campaign practice, di mana pemegang kekuasaan menggunakan fasilitas dan keuangan negara dalam kegiatan kampanye politik. Kita sering menyebutnya Black Campaign atau negative campaign. Senjata andalan dalam kampanye hitam tersebut tidak lain adalah uang (money politics). Fenomena ini seolah telah menjadi warna khas dalam setiap hajatan kampenye di Indonesia. Para tim sukses dari setiap politisi melancarkan serangan fajar dengan menyogok atau menyuap para konstituen untuk memilih politisi tertentu. Tentu, di saat-saat yang krusial seperti ini, para politisi yang masih harap-harap cemas tak sungkansungkan mengeluarkan duit yang banyak entah itu dari hasil pinjaman atau bahkan mungkin uang negara. Tak pelak, banyak orang merasa jengkel lalu menyerukan, “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!” Ada juga yang mengkampanyekan slogan antithesis, “Stop Politik Uang; Jangan Ambil Uangnya dan Jangan Pilih Orangnya”.135 Dari keempat modus korupsi di atas kita sudah dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya tindakan koruptif di Indonesia sudah diatur sedemikian rupa dan sangat rapi. Para politisi dengan tahu dan sadar melakukannya tanpa ada ketakutan. Di sini menjadi benarlah ungkapan dari seorang Sastrawan besar Asia Tengah, Muhammad Iqbal, “Bangsa-bangsa di dunia terlahir dalam hati para pujangga, namun kejayaan dan kehancurannya ada di tangan politisi.” Ungkapan Iqbal ini bukanlah suatu slogan tanpa dasar, melainkan karena fakta telah menunjukkan bahwa para politisilah yang menjalankan perikehidupan suatu bangsa dan negara, sehingga di dalam genggaman (kekuasaan) merekalah, tergantung kejayaan dan kehancuran sebuah negara. Selain keempat tipe korupsi di atas, salah satu gejala umum demokrasi di Indonesia adalah demos minus kratos. Dalam zaman antik Yunani klasik, istilah demos muncul pertama kali untuk menjelaskan status individu yang menjadi warga negara Athena.136 Mereka yang tergabung dalam warga negara Athena diakui Ibid., hlm. 286. Kompas.com, 18/9/2012; Beritasatu.com, 24/6/2012. 136 Orang-orang yang tergabung dalam demos, adalah semua warga laki-laki yang berusia di atas 18 tahun kecuali budak, wanita, orang asing, atimia, dan warga negara pasif (para pengecut perang, pelacur, penghutang, mereka yang tidak menghormati orang tuanya, dan mereka yang menghancurkan kekayaan warisan orang tuanya), para pengkhianat polis, dan para konspirator yang melawan konstitusi. Singkatnya, demos hanya terbuka bagi orang baik dan orang jujur. Bdk. A Setyo 134 135 66 berdasarkan ius sanguinis dan ius solis. Mereka adalah orang-orang yang lahir dan bertumbuh dalam tanahnya sendiri (konsep autochtoni) serta orang-orang yang diakui oleh raja Athena (sejak zaman Perichles 451 SM). Mereka ini memiliki hak yang sama dalam sebuah polis. Biasanya mereka akan keluar dari oikos137 dan pergi ke polis lalu membangun diskusi bersama dalam rangka menentukan siapa yang layak memimpin mereka. Kesamaan hak itu memberikan peluang yang sama bagi masing-masing orang untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin atau pemegang tanggung jawab. Dari situlah lahir istilah kratos, yang merujuk pada orang yang memimpin dan kepemimpinannya. Jadi, demokrasi merupakan termin baru yang merupakan gabungan dari dua istilah ini, demos yang artinya rakyat dan kratos/kratein, yang artinya pemerintahan/memerintah.138 Dalam perkembangan lebih lanjut, negara-negara modern mengadopsi mekanisme ini sebagai suatu sistem yang menjadi dasar pijak bagi pembentukan negara. Namun, dalam negara demokrasi modern, warga yang termasuk demos tidak lagi terbatas pada laki-laki di atas usia 18 tahun tetapi juga perempuan dan anakanak yang menginjak usia 17 tahun serta hilangnya dikotomi tuan dan budak. Hal ini bermula sejak revolusi Perancis mengumandangkan tiga slogan, liberte, fraternite, dan egalite. Dengan demikian, semua warga negara yang menganut sistem demokrasi, tanpa terkecuali diakui sebagai yang berhak penuh dalam setiap sendi kehidupan bernegara. Akan tetapi, promulgasi kesetaraan dan kesamaan hak ini tidak selalu membawa implikasi positif. Kesetaraan dan kesamaan hak mengakibatkan munculnya persoalan baru di mana ada demos yang sebetulnya tidak layak dalam banyak aspek tetapi berhasil merebut kursi kratos, pemimpin dan pemangku kekuasaan. Ketidaklayakan ini misalnya tampak dalam kurangnya integritas kepribadian, tetapi karena memiliki hak yang sama mereka pun mengklain diri mampu memimpin demos. Persis pada titik ini, apa yang jauh sebelumnya diperingatkan Aristoteles mestinya kita ingat lagi, bahwa kepemimpinan tidak boleh dipegang oleh orang-orang bodoh. Karena itu, konon Aristoteles terkenal sangat menolak demokrasi.139 Demos minus kratos sebetulnya hendak mengungkapkan hal ini bahwa demos atau rakyat yang telah memilih kratos sebagai pemimpinnya pada saat bersamaan mengalami alienasi. Perilaku kratos seringkali jauh dari harapan pemberi kuasa (demos). Demos minus kratos terjadi, lantaran demos sudah tidak lagi memiliki modal, baik sosial maupun politik dalam percaturan kehidupan bernegara. Dalam kasus ini, kratos pun semakin hari semakin giat mengganyang keterlibatan demos, Wibowo, “Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani Kuno,” dlm.: F Budi Hardiman, Ruang Publik. Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 42 137 Dalam tradisi sebelumnya, warga Yunani hanya mengenal basileus dalam oikos. Dalam setiap oikos, terdapat basileus (kepala keluarga) atau yang dipandang memiliki fisik besar tanpa memperhatikan kualitas pribadi secara kognitif. 138 Aristoteles, Politik (La Politica), penterj. Syamsur Irawan Kharie, (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 182. 139 Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik. Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles, (Maumere: Ledalero, 2010), hlm. 222. 67 bahkan pada titik tertentu menyengsarakan kehidupan demos. Inilah yang dinamakan sebagai korupsi. Korupsi dilakukan sebagai suatu perbuatan menyalahgunakan atau menyelewengkan kekuasaan atau kedaulatan rakyat demi memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok elite pemerintah. Lebih lanjut, termin korupsi ini tidak sesederhana seperti yang dipikirkan. Zaman yang kian maju membuat korupsi juga kian maju, muncul dengan wajah dan modus-modus yang senantiasa diperbarui. Meski demikian, esensi korupsi tetaplah sama yakni upaya ‘memakan’ kekayaan bersama untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. Pada titik ini muncullah korupsi politik yakni beralihnya tindakan koruptif individual menuju koruptif institusional. Dan orang yang melakukan tindakan seperti ini tidak lain adalah orang-orang berkuasa yang memiliki previlese-previlese tertentu dalam kehidupan bernegara. Yang dirugikan tidak pernah berubah, tetaplah rakyat kecil, demos yang konon selalu kalah dari orang yang menjadi wakilnya sendiri. Meski akibatnya tidak langsung terlihat layaknya terorisme, korupsi secara perlahan menghancurkan hayat hidup orang banyak akibat terkikisnya kualitas kehidupan. Lantas menghadapi situasi yang demikian buruknya ini, apa yang mesti dibuat guna menyelamatkan demokrasi dari perkumpulan bandit-bandit yang selalu siap sedia merobek kemaslahatan publik? Penguatan Demokrasi: Alternatif Logis Mengingat akar permasalahan korupsi pada sistem demokrasi dipicu oleh ketidakberesan sistem itu sendiri, maka alternatif logis untuk memecahkannya harus dikembalikan kepada demokrasi itu sendiri. Beberapa hal yang kami rekomendasikan sebagai jalan keluar atas kejahatan korupsi yang mengurat akar dalam sistem demokrasi di Indonesia adalah; Pertama, penguatan demokrasi itu sendiri. Penguatan demokrasi dalam hal ini hemat kami merujuk pada suatu kegiatan perombakan atau lebih tepatnya pembaruan pada definisi demos dan kratos. Problematika demos minus kratos yang pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mesti dirombak dengan meredefinisi kedua termin ini dalam dirinya. Demos, rakyat atau publik yang merupakan warga negara sebenarnya membutuhkan suatu upaya konsientisasi atau penyadaran agar benar-benar memahami kapasitas dan posisinya dalam percaturan hidup bernegara. Demos adalah rakyat yang memiliki kekuasaan, sesuai amanat demokrasi yang mendefinisikan dirinya menyitir ungkapan Abraham Lincoln sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rayat. Dalam kaitan dengan hal ini, konsientisasi dapat dilakukan top-down melalui kebijakan strategis pemerintah. Namun, pertanyaannya, dalam situasi politik morat-marit yang dipadati politisi busuk, apakah cara ini relevan? Pada titik ini, dibutuhkan sinergi kuat antar-aktivis pro demokrasi. Dalam hal ini, konsientisasi tidak serta merta diserahkan sebagai tugas pemerintah. Lembagalembaga swadaya masyarakat, terutama yang berkonsentrasi pada isu-isu sosial politik dituntut untuk bekerja sama menyadarkan masyarakat dengan meredefinisi 68 makna demos dan kratos. Selain itu, ekspektasi juga disandarkan pada komunitaskomunitas akademik, misalnya sekolah-sekolah atau universitas, untuk dapat berjuang menjadi playmaker dalam program konsientisasi. Hal ini dapat dieksekusi dengan banyak cara, misalnya meggagas diskusi-diskusi ilmiah dan penelitian lapangan. Penguatan demokrasi mengandaikan adanya upaya memperkuat setiap aspek atau segi dari sistem demokrasi tersebut. Demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang menjunjung tinggi hukum (semisal tidak kompromistis terhadap kejahatan korupsi),140 membuka peluang kebebasan berpendapat (pers) yang kemudian memperketat pengawasan terhadap kinerja pemerintah, menampilkan pemimpin-pemimpin berintegritas yang tidak hanya bermodalkan uang dan demagogi-demagogi busuk, dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan cara menempatkan kepentingan rakyat pada posisi tertinggi dari semua intensinya. Kedua, menciptakan suatu struktur baru yang menutup sekecil-kecilnya kemungkinan terjadinya perbuatan koruptif dengan mengadopsi kearifan-kearifan dalam budaya lokal. Dalam masyarakat tradisional terdapat tata aturan adat istiadat yang mengikat setiap orang.141 Bentuk ikatan tata aturan tersebut bersifat rigit dan tidak dapat dinegosiasi berdasarkan kehendak pribadi. Hal ini dapat ditemukan dalam setiap komunitas masyarakat tradisional misalnya, Masyarakat tradisional Manggarai di Flores, NTT,142 Masyarakat adat Lio, Flores, NTT, Masyarakat adat Badui, di Banten, Masyarakat adat Dayak di Kalimantan, dan Masyarakat adat Asmat, di Papua. Nilai-nilai antikorupsi dalam masyarakat tradisional tampak jelas dalam praktik hidup harian masyarakat tersebut. Misalnya, nilai kejujuran tampak ketika anak-anak diajarkan untuk tidak mengambil barang orang lain tanpa meminta izin. Ada juga nilai gotong royong atau kekeluargaan yang meningkatkan kepekaan dan kontrol sosial dalam masyarakat. Dalam komunitas masyarakat adat Lio di Flores, misalnya, terdapat Mosalaki, yaitu seorang yang menjadi tuan tanah dalam suatu kampung. Dalam praktiknya, mosalaki berperan sebagai tetua yang mengatur keseharian hidup setiap orang dalam kampung itu. Tata aturan kampung dijaga secara ketat dengan referensi utama pada sang mosalaki. Perlu diketahui, dalam konteks lokal ini, mosalaki sama sekali bukan prototipe seorang pemimpin otoriter seperti yang dikenal dalam sistem pemerintahan modern. Mosalaki adalah seorang yang dihormati karena wibawanya untuk mengatur kampung sesuai adat istiadat. Ia tidak berada di luar tata aturan, melainkan juga ada dalam lingkaran itu. Kalau ia berbuat salah, maka tanggungannya akan lebih dahsyat daripada orang lain. maka, kewibawaan seorang Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 22-32.; Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 136-139. 141 Ajip Rosidi, Korupsi dan Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), hlm. 46-47. 142 Dalam Masyarakat adat Manggarai, sistem pembagian tanah mengikuti pola paternalistik sesuai ketentuan tetua adat yang berhak atas garis demarkasi antara tanah yang satu dengan tanah yang lain. Bdk. Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, (Ende: Nusa Indah, 1999), hlm. 226-229. Dalam Masyarakat adat Lio juga, ketentuan pembagian tanah diatur oleh seorang Mosalaki sebagai tetua adat. 140 69 mosalaki betul diakui dan dihargai. Dengan demikian, tata aturan dan adat istiadat kampung tidak begitu saja dapat dikompromi atau dinegosiasi. Untuk setiap komunitas masyarakat adat seperti ini, ketaatan terhadap perintah adat lebih besar dibandingkan dengan ketaatan terhadap hukum positif. Dengan kata lain, mereka bisa saja mengabaikan hukum positif, namun tak dapat menolak hukum adat. Hal ini menegaskan perbedaan fundamental antara hukum adat yang dipegang oleh masyrakat tradisional dengan hukum positif yang menjadi acuan dari semua negara demokrasi modern. Hukum adat dalam masyrakat tradisional bersumber dari keyakinan-keyakinan tertentu yang dasariah yang tidak kompromistis. Sedangkan hukum positif dalam negara demokrasi modern didasarkan pada konsensus bersama, di mana larangan-larangan dan hukumanhukuman yang terkandung di dalamnya disesuaikan dengan tingkat kepatuhan dari mereka yang membuatnya. PENUTUP Kesimpulan Persoalan korupsi dalam negara demokrasi modern memang dipicu oleh banyak hal terutama adanya kesempatan yang sama dalam memimpin dan dipimpin. Kesempatan ini tak ayal telah mendorong banyak orang untuk mau terlibat dalam setiap perhelatan politik karena sudah diikat dengan pelbagai janji atau jaminan yang ada. Namun, di tengah hiruk pikuk persoalan rasuah yang semakin merajalela sistem suatu negara tidak lantas harus berubah serentak, melainkan mencoba untuk dirunut dalam sistem itu sendiri. Setiap sistem yang ada pasti memiliki konsekuensi praktis. Indonesia yang telah memilih sistem demokrasi sebenarnya sudah menjadi prestasi yang luar biasa mengingat kelahirannya sangat dramatis dan penuh perjuangan. Cita-cita para pejuang demokrasi para awalnya sungguh mulia karena dalam sistem ini rakyat sendirilah yang akan menjadi pemimpin. Harapan ini kemudian diformulasikan dalam kesuksesan pemilu di tahun-tahun awal masa demokrasi. Namun, tak dapat disangkal bahwa sejalan dengan keberhasilan tersebut, pelbagai kegagalan tetap muncul dan menjadi aroma paling dominan dalam setiap hajatan pemilu. Hal ini memang disadari tetapi belum ditindak secara optimal. Salah satu tawaran solutif agar kita tidak bernostalgia dengan sistem otoriter Orde Baru adalah dengan melakukan penguatan pada tubuh demokrasi itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Buku Aristoteles. Politik (La Politica), penterj. Syamsur Irawan Kharie. Jakarta: Visimedia, 2008. 70 Dale, Cypri Jehan Paju. Kuasa Pembangunan Dan Pemiskinan Sistemik. Analisis Kontra-Hegemoni dengan Fokus Studi Kasus di Manggarai Raya, NTT, Indonesia. Labuan Bajo: Sunspirit for Justice and Peace, 2013. Gaffar, Afan. Politik Indonesia.Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia, 1984. Jebadu, Aleksander (ed.). Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk. Maumere: Ledalero, 2009. Jebadu, Alex. “Relasi Pertambangan, Kekejaman, Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi”, dalam, Richard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis. Dari Manggarai-Flores Untuk Indonesia. Jakarta: JPIC OFM Jakarta, 2013. Koten, Yosef Keladu. Partisipasi Politik. Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles. Maumere: Ledalero, 2010. Magnis-Suseno, Frans. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Gramedia, 1995 Mahesa, Desmond J. DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia. Jakarta: RMBooks, 2013 Purnomo, Bambang. Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: Bina Aksara, 1983. Rosidi, Ajip. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006. Sebho, Fredy. Monologion. Maumere: Ledalero, 2016. Sindhunata. Sakitnya Melahirkan Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Toda, Dami N. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa Indah, 1999. Trisasongko, Dadang. “Menjawab tantangan Terbesar Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Dalam, Transparasi Internasional Indonesia. Indonesia Bersih Uang Pelicin. Buku Panduan Organisasi Gereakan Bersama Entitas Bisnis. Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, 2014. Vlekke, Bernard M. Nusantara: Sejarah Indonesia, penterj. Samsudin Berlian. Jakarta: Kepustakaan popular Gramedia, 1961. Wibowo, A Setyo. “Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani Kuno,” dalam, F Hardiman, Budi (ed). Ruang Publik. Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Yogaswara, A. Biografi Daripada Soeharto. Dari Kemusuk Hingga “Kudeta Camdessus”. Yogyakarta: Medpress, 2008. Majalah dan Manuskrip 71 Daven, Matias “Korupsi dan Demokrasi”, Manuskrip Seminar Sehari Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Sabtu, 12 Maret 2016. Hasan, Fuad “Pendayagunaan Fungsi Pengawasan Dalam Rangka Disiplin Pembangunan”, Prisma, Tahun XII, Nomor 2 Februari 1983. Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, Prisma, Thn. XII Nomor 2, Februari 1983. Harian Susabun, Anno. “Mencintai Koruptor”, Pos Kupang, 5 Januari 2016. Kompas.com, 18/9/2012; Beritasatu.com, 24/6/2012. 72