5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Podzolik Merah Kuning dan Tanah Masam Karakteristik Podzolik Merah Kuning. Menurut Buringh (1993), Podzolik Merah Kuning (PMK) memiliki padanan nama dengan Orthic Acrisol (menurut penamaan Peta Tanah Dunia/FAO). Sementara menurut Soil Taxonomi, tanah Acrisol mirip dengan Ultisol. Tipe tanah ini selalu ditemui pada wilayah-wilayah yang bermusim kering dan basah, sehingga disebut sebagai tanah tropika tua. Karena kondisi ini berlangsung lama, maka telah mendorong pengembangan keasaman tanahnya, dan menjadikan basa-basa yang rendah akibat dari pencucian (leaching). Oleh karena itu secara kimia dan fisik, PMK memiliki sifat yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Tanah ini berkembang dari bahan induk asam yang mempunyai horison Argilik yang tegas, dengan karakter utamanya adalah kejenuhan basa (KB) rendah (< 50%) serta kejenuhan aluminium yang tinggi. Menurut Kamprath dan Foy (1997) liat tanah mengandung selaput Fe dan Al hidroksi. Bahan-bahan ini secara nyata mempengaruhi retensi dan ketersediaan kation dan anion pupuk pada tanah. Kenampakan fisik yang nyata dari tipe tanah ini antara lain, adanya gejala podsolisasi akibat dari pengendapan Fe yang mengalami oksidasi. Hasil penelitian di Indonesia yang mengidentifikasi bahwa rendahnya kesuburan lahan ini karena (Widjaya-Adhi 1986; Hartatik et al. 1998) : • bereaksi masam; • konsentrasi toksik Al, Fe dan Mn yang tinggi; • kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah; • daya fiksasi P yang tinggi; • kapasitas tukar kation (KTK) dan bahan organik tanah yang rendah sehingga mengakibatkan tanaman tidak memanfaatkan pupuk secara efisien. 6 Kendala dan Masalah Tanah Masam. Penyebab utama keberadaan sifat kimia dan fisik yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman pada tanah masam adalah karena erat hubungannya dengan ion H+ . Sifat inilah yang semulanya dipandang sebagai gambaran suatu reaksi kimia yang terjadi dalam tanah, yang umumnya disebut ke dalam reaksi tanah masam, netral dan alkalin. Pada tanah masam, jumlah ion H+ dan Al 3+ yang dapat dipertukarkan, merupakan ion yang saling berhubungan erat. Kedua jenis ion ini, menurut Poerwowidodo (1992) dianggap sebagai pengendali kemasaman tanah yang berada dalam larutan sistem tanah dan kompleks jerapan. Namun menurut Kamprath dan Foy (1997), konsepkonsep mengenai tanah masam telah berubah. Kation Al3+, dan bukannya H+ yang dapat dipertukarkan, sekarang dikenal sebagai suatu kation dapat dipertukarkan yang penting pada tanah masam. Aluminium merupakan sumber kemasaman penting, karena Al3+ akan menyumbangkan ion H+ ke dalam larutan tanah melalui proses hidrolisis. Terhidrolisisnya ion Al 3+ digambarkan dalam reaksi sebagai berikut : Al3+ + 3 H2O Al(OH)3 + 3 H+ Aluminium dalam tanah berasal dari pelarutan mineral-mineral silikat. Aluminium ini terdapat dalam posisi tetra ataupun oktahedral. Menurut Huang dan Violante (1983), proton yang berasal dari respirasi akar, metabolisme mikroba, pembusukan bahan tanaman dan organisme, pupuk dan hujan yang menimbulkan kemasaman, menyerang mineral yang mengandung Al dan melepaskan Al, ke dalam larutan tanah dan air alami. Proses ini digambarkan dalam reaksi di bawah ini : Al2SiO5(OH)4 + 2H+ 2 Al3+ + 2 Si(OH)4 + H2O Ion Al3+ sangat reaktif sekali dalam larutan tanah. Ion ini selalu terhidrolisis membentuk kompleks, dan terkoordinasi secara oktahedra dengan enam molekul air berupa sebuah ion Al(H2O)63+ yang adalah suatu pemberi proton. Derajat hidrolisis ion ini meningkat dengan meningkatnya pH larutan. Perilaku Aluminium dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman Aluminium adalah unsur logam yang cukup melimpah ditemui pada kerak bumi. Komposisi unsur ini mencapai 8% per satuan bobot tanah. Konsentrasi Al dalam larutan tanah yang pH lebih dari 5.5 adalah di bawah 1 mg.L-1 (~37µM), 7 sedangkan konsentrasi yang jauh lebih tinggi, apabila pH tanah di bawah 4.0 (Huang dan Violante1983, Marschner 1995). Meskipun tidak termasuk dari 16 unsur yang dibutuhkan tanaman, ternyata juga ditemui dalam jaringan spesies tanaman tertentu. Misalnya pada jagung, legum tropika dan gula-bit, telah teramati dapat mengandung konsentrasi aluminium 71.4 sampai 185 µM dan dianggap sebagai situmulan terhadap pertumbuhannya. Bahkan pada tanaman teh yang dikenal sebagai tanaman akumulator Al, mencapai 1000 µM (Maschner 1995) Pada tanah, aluminium terkoordinasi secara oktahedra atau tetrahedra dengan oksigen dalam mineral yang mengandung Al. Aluminium juga terdapat sebagai : i) aluminium yang terbungkus hidroksida; ii) aluminium yang berada di antara lapisan liat dan permukaan patahan mineral liat; dan iii) aluminium yang terdapat dalam senyawa fosfat. Selanjutnya interaksi Al dengan asam organik berbobot molekul rendah dan asam fulfat (AF) serta asam humat (AH) mengarah ke pembentukan komplek hidroksi-aluminium-organik yang tidak mudah larut, tergantung pada nisbah molar asam organik terhadap Al, pH dan sifat asam organik (Huang dan Violante1983). Menurut Ruaysoongnern dan Keerativ-kasikorn (1996), keadaan aluminium tergantung dari keadaan pH tanah. Semakin tinggi keasaman tanah, semakin tinggi tingkat kelarutan Al. Aluminium terjerap pada permukaan liat dan dalam larutan. Keadaan ini secara alamiah selalu dalam keadaan seimbang. Jika Al berdisosiasi dengan air membentuk aluminium hidroksida, yang reaksinya digambarkan seperti ini : Liat - Al Al3+ + H2 O Al3+ Al (OH) 2+ + H+ Al (OH) 2+ + H2 O Al (OH) 2+ + H2 O Al (OH) 2+ + H+ Al (OH) 3 (pengendapan) Unsur kimia Al yang dihasilkan mempunyai peranan penting dalam transformasi dan nasib hara dan bahan toksik bagi lingkungan. Menurut Huang dan Violante (1983), terdapat empat spesies ion Al sebagai hasil reaksi hidrolisis, yakni AlOH2+, Al(OH)2+, Al(OH)30, dan Al(OH)4-. bentuk ketersediaan Al tergantung pH. pH larutan Oleh karena itu, < 4.5 didominasi Al 3+; pH larutan 4.5 - 6.5 didominasi Al (OH)2+ dan Al(OH)+; pH larutan 5.0 - 5.5 8 didominasi Al3+ ; pH larutan 6.3 (aktivitas Al-dd dan Al hidroksida rendah); pH > 6.3 semua Al dalam bentuk hidroksida tidak terekstrak dengan NH4Oac; pH larutan > 6.5 Al(OH)3 mengalami pengendapan. Akibat dari Al yang larut yang lebih besar, maka pengaruh lain terhadap sifat kimia tanah yakni cenderung mengikat ion fosfor. Reaksi kimianya yang berlangsung antara ion fosfat dengan Al larut telah menghasilkan bentuk hidroksi fosfat yang tidak larut. Konsekuensi dari reaksi di atas ini, akan selalu terjadi bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO-4 yang tersedia bagi tanaman. Mekanisme reaksinya yakni ion OH digantikan kedudukan oleh ion fosfat dari koloid tanah atau mineral. Pengaruh langsung Al terhadap pertumbuhan tanaman yakni : (i) mengakibatkan keracunan terhadap tanaman, terutama menyebabkan kerusakan pada akar sehingga efisiensi akar dalam menyerap hara dan air menjadi rendah. Hal ini akan mengganggu sistem translokasi hara; (ii) terjadinya penimbunan/pengendapan fosfat dalam jaringan akar sehingga dapat menghalangi translokasi unsur Ca dan P ke berbagai bagian tanaman. Dengan demikian menyebabkan tanaman kekurangan unsur P; dan (iii) Al mencegah penetrasi akar ke lapisan tanah bagian bawah. Peranan Kapur pada Tanah Masam Pengapuran adalah suatu istilah pertanian yang sering dipergunakan untuk menyatakan penambahan bahan kapur dari senyawa oksida, hidroksida atau karbonat Ca dan Mg dalam tanah. Pengapuran dilakukan pada tanah-tanah yang mempunyai pH rendah (masam). Tujuan utama pengapuran untuk menaikkan pH tanah dan meniadakan pengaruh racun Al dan Mn serta menyediakan hara kalsium (Sulaeman et al. 1990) . Berkaitan dengan ini, maka pemberian kapur dapat bermanfaat ganda yakni : pertama, kapur dapat menggantikan dan mengendapkan Al, yang telah diikat sangat kuat dalam tanah masam. Kedua, jika suatu tanah yang dikapur akan lebih banyak situs pertukaran yang lebih aktif. Selain itu menurut Kamprath dan Foy (1997), bahwa, pemberian kapur pada tanah masam juga mempunyai kaitan dengan perbaikan terhadap KTK efektif dan retensi kation. KTK yang tergantung pH dari tanah masam berasosiasi dengan ionisasi H+ dari oksida-oksida hidrolisis Fe dan Al dan hidrolisis ion-ion logam trivalent yang diikat oleh bahan organik. Dengan 9 demikian jika tanah masam dikapur, KTK efektifnya meningkat. Pada tanah Ultisol KTK meningkat sebesar 60% jika pH tanah dinaikkan dari 4.9 menjadi 5.9. Selain itu, menurut Sulaiman et al. (1990) pengapuran selain untuk meniadakan pengaruh racun dari Al dan Mn, juga berperan dalam menyediakan hara kalsium. Namun, tanggap tanaman terhadap kapur berbeda-beda )Al-Jabri et al. 1998), dinyatakan bahwa kapur berpengaruh terhadap bobot kering jerami, bahkan cenderung menurunkan hasil padi pada level 2.87 ton/ha, tetapi pada sisi lain kapur berpengaruh positif terhadap bobot kering jerami di Barasang (takaran 1/4 Al-dd= 2.56 – 2.62 ton.ha-1) Pendugaan kebutuhan kapur pada tanah-tanah masam dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : • pemberian kapur secara bertingkat di lapangan untuk mendapatkan takaran kapur yang memberi hasil tanaman yang optimum; • inkubasi tanah dengan pemberian kapur bertingkat untuk mencapai takaran pupuk yang dapat memberikan pH tanah yang diinginkan; • titrasi tanah menggunakan larutan basa; • titrasi tanah menggunakan larutan sangga; • menggunakan Al-dd sebagai indeks kebutuhan kapur (McLean 1973) Perilaku Fosfat dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman Sumber Fosfor dan Ketersediaannya dalam Tanah Menurut Thompson and Troeh (1973), fosfor seperti halnya nitrogen dan sulfur, membentuk anion kompleks dengan oksigen. Karena tingkat kelarutannya yang rendah maka ketersediaannya bagi tanaman menjadi rendah, sehingga ini merupakan hal yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Fosfor dalam tanah ditemukan dalam dua bentuk, yakni pada kondisi fosfat anorganik dan fosfat organik (Bennet, 1994). Fosfor yang berada dalam bahan organik biasanya terikat dengan struktur senyawa lain. Sedangkan fosfor anorganik biasanya berasal dari apatite Ca5(PO4)3. Apatite ini biasanya dikandung oleh fosfat alam, dan di alam sumbernya sedikit, hanya pada tempat-tempat tertentu. 10 Kandungan fosfat dalam larutan tanah umumnya relatif rendah yakni antara 0.02 hingga 0.10 % . Pada konsentrasi ini aliran massa tak cukup untuk menjelaskan laju pengambilan oleh tanaman. Akan tetapi, konsentrasi P total biasanya paling tinggi dalam lapisan permukaan, dan terendah dalam horizon A bagian bawah atau pada horizon B bagian atas, yang merupakan hasil pendauran P oleh tanaman yang tumbuh (Young et al.1997; Fisher dan Dunham 1992). Tiga bentuk ion fosfor yang dapat diserap tanaman adalah H2PO4- ; HPO42-, atau PO43- Ion-ion ini dibentuk dari ionisasi satu, dua dan tiga hidrogen dari asam fosfat (H3PO4). Namun sebagian besar fosfor yang diserap tanaman adalah dalam bentuk monovalen orto-fosfat seperti H2PO4- (ortofosfat primer). Meskipun hanya sedikit, ada juga tanaman tertentu menggunakannya dalam bentuk HPO42- (ortofosfat sekunder). Biasanya ion divalen orto-fosfat (HPO42-) penting pada kondisi pH yang tinggi, atau ion ini akan lebih dominan jika larutan tanahnya di atas pH 7.2 (Bennettt 1994; Maschner 1995; Thompson dan Troeh 1973; Young et al., 1997) Ion-ion tersebut bisanya bergerak secara difusi dan mengalami intersepsi dengan akar dan hanya sedikit yang masuk secara aliran massa bersama air. Laju transportasi menuju akar biasanya sangat lambat jika jarak transportasinya lebih dari 5 sampai 10 mm (Maschner 1995; Thompson dan Troeh 1973). Oleh sebab itu, tujuan pemupukan adalah menaikkan level konsentrasi di mana penyerapan fosfor tidak lagi membatasi hasil. Tiga variabel penting yang berkaitan dengan ketersediaan fosfor yakni kelarutan, jumlah dan jarak pergerakan ion. Variabel ini masih tergantung dari beberapa faktor, di antaranya, kelarutan dan macam ion fosfor yang hadir, serta konsentrasi ion lain. Kedua faktor ini dipengaruhi oleh pH. Oleh karena itu menurut Maschner (1995), bahwa, setiap tanaman berkemampuan berbeda dalam menyerap fosfor dari tanah, karena berbeda dalam morfologi akar (misalnya densitas rambut akar, diameter akar) dan karakter fisiologisnya. Dua faktor berkaitan erat dengan ketersediaan P bagi tanaman yakni faktor intensitas dan faktor relatif. Faktor intensitas, adalah suatu ukuran perbedaan potensial elektrokimia sepanjang permukaan akar tanaman yang menyerap hara; sedangkan faktor relatif adalah pengaruh ion lain dalam larutan terhadap serapan P. Faktor relatif untuk P mendekati satu karena ion lain tidak 11 begitu bersaing dengan serapan P. Faktor intensitas tidaklah memadai untuk menggambarkan ketersediaan P bagi tanaman, karena jumlah P dalam larutan tanah pada setiap saat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan P tanaman. Sedangkan mekanisme yang terlibat dalam perbedaan serapan dan penggunaan P oleh tanaman dikaitkan dengan tiga ciri akar : (i) kemampuan menyerap P dari larutan encer; (ii) aktivitas metabolik yang dapat meningkatkan ke larutan P tanah; dan (iii) kemampuan mengeksplorasi volume tanah. Kemampuan menyerap P tampaknya terbentuk dalam beberapa jam setelah akar lembaga (radikal) tumbuh, tetapi kemampuan untuk mentranslokasi P ke bagian atas tanaman dapat menunggu beberapa minggu pada berbagai spesies tertentu. Keberadaan Fosfor pada Tanah Masam Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa bentuk ion fosfor yang diserap tanaman dipengaruhi oleh pH tanah. Pengaruh pH tanah terhadap ketersediaan P bagi tanaman adalah dengan dua cara. Pertama, pH larutan tanah adalah yang paling menentukan bentuk ion yang ada. Kedua, pH tanah juga mengendalikan tipe dan kelarutan mineral-mineral tanah. Mineral-mineral ini dapat merubah produk-produk reaksi pupuk, mineral-mineral sekunder atau primer. Menurut Young et al. (1997), ketika suatu pupuk ditambahkan pada suatu tanah masam, ia bereaksi dengan senyawa-senyawa Fe dan Al membentuk produk-produk kompleks yang tidak begitu larut dan kurang tersedia bagi tanaman. Senyawa-senyawa yang terbentuk dapat mengendap dalam larutan, terjerap pada permukaan oksida Fe dan Al, atau terjerap pada partikel-partikel lempung. Berkaitan dengan tanah masam, Ruaysoongnern dan Keerativ-kasikorn (1996), menyatakan bahwa, ketersediaan fosfor yang sangat terbatas adalah salah satu masalah penting pada tanah masam. Fosfor selalu menunjukkan afinitas yang kuat dengan Al dan Fe pada tanah masam, sehingga pengendapannya bersama aluminium dan besi atau dijerap pada permukaan liat (clay). Reaksi kimianya yang berlangsung antara ion fosfat dengan Aluminium yang larut, menghasilkan bentuk hidroksi fosfat yang tidak larut. Mekanisme reaksinya yakni, ion fosfat menggantikan kedudukan ion OH dari koloid tanah atau mineral. Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai berikut : Al+++ + H2PO-4 AlPO4.2H2O + 2H+ 12 Konsekuensi dari reaksi di atas ini, akan selalu terjadi bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO-4 yang tersedia bagi tanaman. Peranan Fosfor dalam Pertumbuhan Tanaman Fosfor adalah hara makro yang esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan sebagai salah satu faktor pembatas produksi kedua setelah nitrogen (Willet et al. 1996, Bennett 1994). Karena pentingnya fosfor bagi tanaman, oleh Thompson dan Troeh (1973) disebut sebagai “kunci bagi kehidupan” karena secara langsung berpengaruh terhadap sebagian besar proses kehidupan. Konsentrasi fosfor untuk pertumbuhan yang optimal menurut Maschner (1995) adalah antara 0,3-0,5% dari bobot kering. Namun demikian, kemungkinan akibat keracunan fosfor dapat terjadi ketika kandungan fosfor lebih dari 1% dari bobot kering. Bahkan pada tanaman Cajanus cajan cukup sensitif dan mengalami keracunan jika kandungan fosfor pada pucuk telah mencapai antara 0.3 - 0.4% dan 0.6 – 0.7% (pada Vigna mungo). Selanjutnya Goswami et al. (1990) melaporkan bahwa kandungan fosfor pada biji jagung 4.4 kg.ton-1 atau setara kebutuhan pupuk fosfor 26 - 66 kg P.ha-1. Tanaman yang menderita kahat fosfor, tampak pada laju penurunan luas daun dan permukaan daun, serta jumlah daun. Namun demikian kondisi ini tidak banyak berpengaruh terhadap kandungan protein daun serta kandungan klorofilnya, bahkan sering kandungan klorofil bertambah di bawah kondisi ini. Akan tetapi, efisiensi fotosintesis per unit klorofil semakin menurun pada kondisi kahat fosfor. Gejala kahat fosfor khususnya pada jagung menurut Voss (1994), yakni pada daun berwarna hijau gelap dengan ungu kemerahan pada bagian ujung dan tepi daun. Pada kondisi tanaman kahat fosfor, pertumbuhan akar sedikit banyak dihambat akibatnya penurunan nisbah pucuk/akar. Kasus ini terjadi pada tanaman kedelai yang nisbah pucuk/akarnya menurun dari 5.0 (pada kondisi kecukupan fosfor) menjadi 1.9. Dalam kondisi ini, variabel ini berkorelasi dengan kenaikan dalam pembagian (partitioning) karbohidrat akar. Pada species tanaman tertentu, dalam kondisi defisiensi, maka total respirasi akar tidak berubah, tetapi proporsi respirasi alternatif naik 40-50% pada kondisi kecukupan menjadi 80-90% pada kondisi kekurangan. Pada pertumbuhan generatif, defisiensi fosfor nampak pada tertundanya inisiasi pembungaan, jumlah bunga 13 menurun, formasi biji yang terganggu, produksi biji dan senesens daun yang prematur. Namun demikian gejala defisiensi bervariasi antar spesies dan juga tergantung dari kondisi pertumbuhan. Secara seluler, defisiensi fosfor mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan fosfolipid yang berdampak pada kerusakan membran sel dan berpengaruh juga terhadap transfer energi dalam sel. Ada juga gejala defisiensi fosfor yang tidak kelihatan, karena kebutuhan P yang tinggi langsung ditranslokasikan ke jaringan muda yang sedang mengalami metabolisme aktif. Oleh karena itu, gejala defisiensi fosfor nampak pada jaringan tua. Fisiologi Fosfor dalam Tanaman Tidak seperti nitrat, fosfat tidak direduksi dalam tanaman akan tetapi dioksidasi. Setelah diserap, terutama dalam bentuk H2PO4- yang selanjutnya digunakan sebagai fosfat anorganik (Pi) atau diesterifikasi sebagai suatu senyawa fosfat-ester sederhana (C--O-(P) ) (misalnya gula fosfat) atau fosfat bentuk lain seperti ikatan energi-pirofosfat (P)∼(P) ) (misalnya ATP). Fosfor diserap akar dan didistrubusi menuju sel hidup pada tanaman. Sebagian besar ion fosfor terkonsentrasi pada bagian-bagian reproduktif tanaman, seperti pada biji dan bunga. Bersama dengan C, H, O, N dan unsur lainnya, fosfor di dalam sel bergabung membentuk senyawa organik kompleks. Oleh karena itu, fosfor dianggap sebagai unsur yang esensial terutama bagi material genetik dalam nukleus sel. Sel tidak dapat membelah jika terbatas fosfornya. Kekahatan fosfor menyebabkan tanaman kerdil dan gagal dalam pemasakan (Thompson dan Troeh 1973) Dua peranan esensial yang dimainkan fosfor yakni: (i) sebagai komponen strutural dan; (ii) sebagai relasi energi dari sel. Peranan struktural terjadi pada asam nukleat (DNA dan RNA) di mana fosfor sebagai penghubung antara molekul deoxyribosa atau ribosa dalam kontruksi molekul makro. Peranan struktural lainnya yaitu pada fosfolipid yang merupakan komponen dari membran sel. Di sini fosfor berperan sebagai agen penghubung struktural. Menurut Maschner (1995), meskipun kehadiran fosfor dalam sel dengan konsentrasi yang rendah, fosfat-ester dan energi-firofosfat berperan sebagai mesin dari sel. Lebih dari 50 bentuk ester dari fosfat dan gula alkohol telah diidentifikasi, dan kira-kira ada 10 bentuknya ditemukan dalam sel dalam jumlah yang relatif tinggi. Misalnya glukosa-6-fosfat dan fosfogliseraldehida. 14 Salah satu bentuk fosfor yang ditemukan dalam jaringan tanaman adalah fitat yang adalah suatu bentuk dari fosfat yang disimpan dalam jaringan penyimpan seperti biji-bijian. Fitat adalah garam dari asam fitic, myoinositol, 1,2,3,4,5,6-hexabisphosphate. Asam fitic ini disintesis dari cyclic alcohol myoinositol melalui esterifikasi dari grup hidroksil dengan grup fosfat. Kandungan fitat-fosfor dari total fosfor adalah 60-70% pada biji serealia atau lebih dari 50% pada biji legum. Kandungan fitat pada serealia dan legum selama awal pembentukan biji adalah rendah, tetapi kenaikannya jelas ketika mencapai periode sintesis pati. Hal ini kontras dengan kandungan Pi selama tahapan proses yang sama di mana kandungan Pi rendah dan menurun ketika fitat dibentuk. Pupuk dan Sumber-sumber Fosfat Pupuk fosfat yang sudah umum dikenal masyarakat Indonesia di antaranya adalah TSP dan SP-36. Perbedaan kedua pupuk ini terutama pada kandungan P2O5, di mana TSP mengandung 46% dan SP-36 adalah 36% P2O5. Pupuk-pupuk ini sudah cukup populer bagi petani di Indonesia. Akhir-akhir ini, pupuk SP-36 lebih dominan ditemukan di pasaran dibanding pupuk TSP. Keadaan ini merupakan kebijakan pemerintah Indonesia, dalam rangka efisiensi terhadap penggunaan pupuk fosfat oleh petani, sekaligus mengurangi dampak buruk bagi lingkungan, di mana penggunaan TSP selama ini, 20% diserap tanaman dan sisanya 80% terfiksasi dalam tanah. Bumi kaya dengan endapan fosfat. Hampir 40% dari batuan fosfat dunia pada tahun 1980 memasuki perdagangan dunia. Maroko merupakan pengekspor yang utama, yang diikuti oleh Amerika Serikat. Sebagian besar penambangan fosfat di dunia dilakukan dengan tambang terbuka (strip mining), dan hanya sedikit saja yang menggunakan penambangan bawah tanah. Setelah batuan fosfat ditambang dan diperkaya selanjutnya mengkonversi struktur fluorapatit menjadi bentuk yang lebih melarut dan secara efektif digunakan oleh tanaman (Weast et al. 1989), Selain sumber pupuk fosfat tersebut, fosfat alam (FA) dalam dekade terakhir ini telah menjadi perhatian penting dan sebagai salah satu sumber pupuk fosfat yang mempunyai prospek yang baik, terutama ditinjau dari aspek ekonomisnya (Hedley et al. 1990). Pupuk FA mengandung apatit yang mempunyai nilai agronomik yang tinggi. 15 Batuan fosfat merupakan titik awal untuk semua pupuk P (Young et al. 1997). Menurutnya dengan beberapa perkecualian, endapan yang lebih besar di dunia secara langsung ataupun tidak langsung berasal-usul dari sedimenter, yang terhampar pada lapisan bawah laut dan kemudian terangkat ke massamassa daratan dan terendapkan kembali dari air permukaan yang terperkolasi melalui lapisan tersebut. Fosfat tersebut biasanya dalam bentuk butiran kecil yang terekat bersama oleh CaCO3. Bentuk utama mineral fosfat dalam kebanyakkan endapan adalah fronkolit yang merupakan suatu fluorapatit carbonat (Ca10F2(PO4)6.XCaCO3). Ikutan-ikutan utama adalah Fe, Al dan Mg. Fosfat alam merupakan pupuk sumber fosfat yang cukup prospektif di masa depan. Hal ini karena pengadaan FA relatif lebih murah, dan diketahui mempunyai nilai efektivitas pada tanah-tanah tertentu lebih tinggi dari pupuk fosfat yang diproduksi pabrik seperti TSP dan SP-36. Penelitian Hartatik et al., (1998) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk FA yang diasamkan pada level dari 15 - 30% ternyata mempunyai nilai efektivitas agronomik (RAE) mencapai 100.2 –109.8% dibanding pupuk TSP pada dosis pemupukan 90 kg P2O5 ha-1. Selanjutnya dijelaskan bahwa makin tinggi kelarutan P dalam pupuk PARP makin tinggi tanggapan tanaman. Peranan Bahan Organik Tanah pada Tanah Masam Bahan organik tanah merupakan bagian integral dari tanah yang berpengaruh terhadap sifat fisik , kimia dan biologi tanah. Keberadaan pada lahan-lahan pertanian mutlak diperlukan guna memelihara keserasian fungsi ekologis, kesinambungan produksi pertanian dan kelestarian lingkungan. Peran kunci yang dimainkan bahan organik yaitu meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman dan dalam mengurangi pengaruh keracunan akibat kation bebas. Keuntungan penambahan bahan organik tanah dan peranannya yang berkaitan dengan perubahan sifat kimia tanah telah banyak didokumentasi secara meluas (Stevenson dan Fitch 1997; Sikora 1996; Schnitzer dan Khan 1978; Geus 1985; Mulongoy et al. 1993; Obatolu and Agboola 1993). Berkaitan dengan penggunaan pupuk, bahan organik mempunyai peranan dalam siklus hara, seperti (i) retensi air dan kualitas tanah secara keseluruhan; dan (ii) kemampuan dalam daya sangganya terhadap pupuk; Dinyatakan bahwa, terdapat korelasi positif antara bahan organik tanah dan produktivitas lahan. Pada tanah-tanah yang miskin bahan organik akan 16 berkurang daya sangganya terhadap pupuk sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah karena sebagian hilang tercuci dari lingkungan perakaran. Kehilangan bahan organik tanah terutama pada lahan yang berkelerengan tinggi berdampak pada penurunan terhadap produktivitas lahan. Oleh karena itu, kadar bahan organik dijadikan sebagai parameter/kriteria untuk penetapan tingkat degradasi lahan (Mulongoy et al. 1993) Studi oleh Gerzabek et al. (1997) yang menekankan terhadap peranan bahan organik, di mana akumulasi humus pada tanah setelah diberi bahan organik tergantung pada kondisi tanah dan jumlah yang ditambahkan. Stabilitas agregat tanah meningkat secara nyata dengan kenaikan kandungan humusnya. Hal lain juga nampak pada jumlah biomas mikrobial yang dianggap sebagai faktor penting kedua dalam menentukan stabilitas agregat. Pada percobaan di mana tanah-tanah yang diberi kotoran hewan yang mengandung humus 30% lebih rendah dibanding tanah-tanah yang mengandung humus yang berasal dari gambut yang ditambahkan sedikit biomas mikrobial tenyata memberikan pengaruh yang sama terhadap stabilitas agregat tanah. Kandungan C-organik tanah menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu. Tanah yang tidak diberi bahan organik terjadi penurunan C-organiknya dari 15 g.kg-1 menjadi 9.8 g.kg-1. Sebaliknya pada tanah yang diberi bahan organik yang berasal dari gambut terjadi peningkatan C-organiknya menjadi -1 30.1 g.kg . Perubahan ini terjadi dalam jangka waktu 37 tahun. Perubahan kandungan C-organik pada lapisan top soil akan berbeda-beda sesuai sumber bahan organik, dan perubahannya bersifat linier dengan waktu aplikasinya. Tan (1997), mendefinisikan bahwa bahan organik adalah suatu materi yang terdiri atas bahan yang belum dan telah terhumifikasi. Bahan yang belum terhumifikasi, dapat berasal dari pembusukan tanaman, fauna dan jaringan mikroba, dalam bentuk asli atau sedikit termodifikasi. Sedangkan bahan yang telah terhumifikasi adalah produk yang telah terbentuk selama proses dekomposisi dari bahan yang belum terhumifikasi dan terdiri atas satu kelompok senyawa kompleks seperti asam fulfat (AF) dan asam humat (AH) serta turunannya (hidroksi benzoatnya). Menurut Stevenson dan Fitch (1997), AF adalah senyawa yang bertindak sebagai pembawa unsur mikro dalam larutan tanah. Meskipun berkompetisi dengan ligan lain, baik organik maupun anorganik dan memiliki kemampuan 17 membentuk kompleks yang mantap dengan logam. Kemampuan ini disebabkan karena mengandung gugus fungsional seperti O yang tinggi, termasuk COOH, fenolik, alkoholik, dan fenolik-OH dan struktur C=O dari berbagai jenis. Senyawa ini larut dalam alkali maupun asam. Keasaman total AF berkisar dari 640 hingga 1420 cmol (H+) kg-1; kadar COOH beragam dari 520 hingga 1120 cmol (H+). kg-1 Sebaliknya, AH adalah bahan yang terekstrak dari tanah oleh larutan alkali dan mengendap oleh pengasaman. AH mempengaruhi pelarutan mineral melalui pengaruh keasaman (ion H+) dan pembentuk kompleks atau kelat. Peranan kelat dalam kesuburan tanah khususnya ketersediaan unsur mikro dan dapat dibuat tersedia bagi tanaman melalui pertukaran. Akibat pengkelatan maka difusi dan aliran massa unsur hara mikro ke akar meningkat. Kelat tersebut diperkirakan akan membantu mekanisme pembawa yang merupakan cara pengisian unsur hara di permukaan akar yang terkuras. Asam organik yang paling efektif dalam pelarutan adalah hasil hancuran bahan organik tanah dan mengandung asam organik sederhana dan kompleks asam berbobot molekul tinggi . Menurut Hayes dan Himes (1983), bahan humat adalah polianion dan polidispersi, yang pada saat terionisasi penuh mempunyai nilai KTK berkisar 3 x 103 hingga 6 x 103 µe/g untuk AH dan mencapai 10 x 103 µe/g untuk AF. Hal ini kontradiksi dengan hasil studi oleh Mulongoy et al. (1993) yang menyatakan bahwa kandungan C-organik, bukan asam humid berkorelasi positif dengan KTK, karena itu menurutnya C-organik adalah salah satu sumber KTK. Selanjutnya menurut Gerzabek et al. (1997) pengaruh dari bahan organik yang diberi pada tanah akan berbeda kandungan C-organiknya tergantung jumlah dan sumber bahan organiknya. Bahkan, sumbangan perubahan sifat fisik tanah seperti stabilitas agregat meningkat secara nyata dengan kenaikan kandungan humusnya. Pengaruh terhadap perubahannya bersifat linier dengan waktu aplikasiya. Menurut Bhatti et al. (1998), pengaruh dari bahan organik pada tanah masam cukup berkaitan dengan aluminium bebas yang bersifat toksik bagi tanaman. Hal ini disebabkan oelh kemampuan menekan ketersediaan fosfat melalui pengkelatan oleh bahan humid. Kemampuan ini berasal dari pengaruh asam–asam organik yang seperti asam oksalat, yang merupakan hasil dari dekomposisi bahan organik tanah. Pengaruh dari asam oksalat terutama 18 terhadap erapan dan ketersediaan P melalui pengkompleksan dengan Al dan Fe. Ligan organik akan mengkompleks Al dan Fe dalam larutan dan permukaan Fe dan Al . Oleh karena itu, prinsipnya peranan bahan organik melaui senyawa-senyawa organiknya dalam larutan tanah, membentuk dua jenis kompleks dengan unsur mikro yaitu : (i) biokimia yang diketahui terdapat dari organisme hidup seperti asam alifatik sederhana, asam amino, asam gula, siderofor hidroksamat dan polifenol; (ii) satu seri asam, polielektrolit berwarna kuning hingga hitam yang disebut asam fulvat (AF). Mekanisme perubahan kimia tanah ini diterangkan melalui tiga mekanisme yakni : (i) menggantikan P yang terjerap pada permukaan Al oksida atau Fe melalui pertukaran ligan; (ii) melalui pelarutan permukaan logam oksida dan melepas P yang terjerap; dan (iii) melalui pengkompleksan Al dan Fe pada larutan, lalu mencegah pengendapan ulang dari senyawa P-logam (Bhatti, et al. 1990). Bahan Organik dan Kompos Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada prinsipnya bahan organik seperti humus pada tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan residu tanaman, hewan dan jaringan mikrobia. Menurut Hayes dan Himes (1997), humus terdiri atas bahan makromolekul organik yang ada di dalam tanah berasal dari transformasi sisa-sisa tanaman dan hewan, tetapi tidak lagi memiliki kemiripan dengan bahan aslinya. Seperti halnya humus, maka sifat kompos yang juga merupakan bahan organik yang mengalami degradasi yang dikelola oleh bantuan manusia dengan dimediasi proses dekomposisi oleh mikrobia. Kompos mengandung hara makro seperti fosfor, yang dapat mengkontribusi kenaikan hasil tanaman. Hara makro dan bahan organik seperti kompos dapat juga menaikkan hasil pertanaman di bawah kondisi kekahatan mikro-nutrien. Dilaporkan juga, bahwa kadang-kadang tanah sandy soils di bawah kondisi kering, yang bahan organiknya diperbaiki ternyata dapat memberikan hasil yang baik. Penggunaan kompos alang-alang, umumnya kurang populer dibanding kompos yang berasal dari sumber bahan organik lainnya. Hal ini karena proses pembuatan kompos alang-alang secara praktis sulit mengalami dekomposisi jika dibanding dengan teknik umum pengomposan. Kesulitan dekomposisi bahan ini karena bahan penyusun utamanya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin 19 (Harrey 1993). Ketiga bahan tersebut hanya bisa dirombak oleh mikroorganisme yang berkemampuan tinggi seperti mikroorganisme selulolitik dan lignolitik. Karena mikroorganisme selulotik itu menghasilkan komplek enzim yang mampu memecahkan ikatan β-1,4-glukosida dari struktur selulosa. Komplek ini dikenal dengan nama selulase yang terdiri dari endo- β-1,4-glukonase (Cx), ekso-β-1,4glukonase (C1) dan β-1,4-glukodase (Gong dan Tsao, 1979; Tangarone et al., 1989). Sebagai sumber unsur hara, alang-alang mengandung unsur yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman seperti N, P, K, Ca, Mg, Si, Fe dan Cu. (Tabel 1.). Namun untuk dapat tersedia bagi tanaman diperlukan waktu yang cukup lama, melalui suatu dekomposisi bahan organik alang-alang (Soerpardi dalam Situmorang, 1999). Jasad penghancur (decomposer) yang efektif saat ini adalah jamur Trichoderma sp. yang diinokulasi dari kayu busuk. Bahkan, telah tersedia di pasaran berbagai dekomposer berbagai merek dagang dalam rangka membuat kompos secara cepat (Indriani 2000). Tabel 1. Komposisi Kimia Alang-alang Bagian Komposisi Kimia tanaman Bagian N P K Ca Mg Si Fe -------------------------------% ------------------------------- Mn Zn Cu ---------- ppm ---------- Daun 0.17 0.33 0.56 0.35 0.28 2.66 0.13 97.8 9.0 6.3 Akar 0.35 0.17 0.38 0.19 0.20 1.90 0.10 105.9 33.4 19.7 Sumber : Soepardi, 1976 dalam Sitomurang, 1999. Keberadaan Kalsium dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman Dilaporkan oleh Kurnia et al.,(1999) bahwa salah satu ciri tanah masam, khususnya pada tanah Ultisol (Typic Hapluhumults) di Jasinga, Jawa Barat adalah miskin akan hara kalsium. Pemberian kapur pertanian, terutama yang berbahan CaCO3 selain meningkatkan pH tanah, juga dapat bermanfaat sebagai penyedia hara kalsium bagi tanaman. Peranan Kalsium terhadap Pertumbuhan Tanaman Seperti halnya unsur lain seperti N, P, K, S, Mg, maka kalsium juga diketahui sebagai hara makro bagi kebutuhan tanaman. Kalsium yang merupakan hara metal esensial ini diambil oleh tanaman melalui penyerapan 20 oleh akar (Bennet 1994). Gejala defisiensi hara ini menurut Voss (1994), akan nampak seperti tanaman yang kerdil (stunted). Selain itu, pada kondisi defisiensi, di pucuk dan daun berikutnya akan nampak gejala ladderlike. Gejalagejala tersebut dapat dipahami karena Ca termasuk hara yang tidak mobil pada sistem transport dalam jaringan tanaman. Meskipun defisiensi Ca jarang terjadi bagi tanaman umumnya, namun level kritis yang telah diketahui adalah <0.1% serta rentang kecukupannya antara 0.1 – 1.0%. Tetapi, jika lebih dari batas ini, tidak menimbulkan keracunan bagi tanaman. Pada tanaman jagung, gejala defisiensi jarang ditemui. Batas kecukupannya yang terukur pada daun telinga adalah 0.2 – 1.0% dan 0.9 –1.6 pada seluruh tanaman serta daun ke 3 dan ke 4. Menurut Maschner (1995), fungsi kalsium secara komprehensif bagi proses fisiologis tanaman serta molekuler biologi adalah sebagai suatu second messenger dalam konduksi sinyal tanaman dalam merespon faktor lingkungan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Keunikan bagi kalsium, secara kuantitas ditemukannya dalam jumlah yang berlimpah dalam jaringan tanaman yakni pada dinding sel (apoplas). Hal ini kontras makro yang lain. dengan keberadaan hara Bentuk kalsium dalam jaringan tanaman adalah sebagian besar (50%) dalam bentuk kalsium pektat, 4% kalsium oksalat sedangkan sisanya dalam bentuk larutan (water soluble) dan kalsium fosfat. Tipe distrusbusi kalsium pada sel jaringan tanaman dewasa yakni dengan menjaga konsentrasi kalsium dalam sitoplasma dalam kondisi yang sangat rendah (0,1-0,2 µM sebagai Ca2+ bebas), sebaliknya pada lamela tengah dinding sel, bagian luar permukaan membran sel retikulum endoplasma serta vakuola berada pada konsentrasi yang tinggi. Sebagian besar bentuk kalsium larutan yang ditemukan dalam vakuola, umumnya dapat bergabung bersama anion-anion asam organik (misalnya asam malat) dan anion-anion inorganik (misalnya nitrat, klorida, dll.). Oleh karena itu, tanaman telah mempunyai mekanisme untuk membatasi transport kalsium ke organ-organnya untuk menjaga konsentrasi kalsium yang rendah dalam phloem sap. Secara seluler, untuk tetap terjaga konsentrasi Ca2+ yang sangat rendah dalam sitoplasma, maka akan dikendalikan melalui peran transporter Ca2+ pada membran plasma yang juga pada retikulum endoplasma calsium pumping ATP-ase (Ca 2+ /H + adalah antiporter). Pada tonoplas, untuk 21 meningkatkan transport Ca2+, maka Ca2+ /H+ antiporter memperoleh energi dari proton-motive force dari pompa proton ATP-ase dan Ppi-ase. Dengan demikian, peranan dasar dari kalsium adalah menciptakan stabilitas membran dan integritas sel. Pada jaringan yang mengalami defisiensi kalsium, maka akan terjadi kerusakan integritas membran yang dapat menyebabkan meningkatnya laju respirasi. Secara singkat peranan kalsium dalam sistem tanaman menurut Bennet, (1994) yakni sebagai berikut: v sebagai pembawa (charge carrier) dalam reaksi reduksi-oksidasi (redoks) v merupakan bagian dari komponen semua dinding sel (struktur dan permeabilitas sel). Hal ini juga meliputi pemanjangan dan pembelahan sel. v sebagai regulator ion dalam translokasi karbohidrat melalui pengaruhnya pada sel dan dinding sel. v kalsium merupakan bagian dari senyawa struktur tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium pektat, dan lain-lain. Kalsium dalam Tanah Kandungan Ca pada kerak bumi rata-rata adalah 36.4 g/kg. Sebagian besarnya kalsium yang ada sebagai mineral primer yang sulit larut, seperti mineral feldspars, amphibole, calfosfat dan kalsium karbonat. Sedangkan mineral utama sebagai sumber penting bagi kalsium adalah plagioclase dan anorthite (CaAl 12Si2O8). Kalsium karbonat atau kalsit (CaCO3) adalah cukup sering digunakan sebagai sumber kalsium dalam tanah khususnya pada daerah arid dan semi arid. Sedangkan dolomit [CaMg(CO3) 2] juga selalu ditemukan sebagai asosiasi dengan kalsit. Menurut Haby et al. (1990), kekurangan hara Ca pada tanaman jarang terjadi. Pada tanah-tanah yang ber-pH netral dan alkalin secara normal cukup mengandung kalsium. Sementara pada tanah masam, defisiensi hara dapat terjadi, karena aluminium memblokir saluran Ca 2+ menghambat serapan kalsium, dengan cara pada membran plasma (Maschner, 1995). Selanjutnya, untuk mengurangi pengaruh fisiologis dari aluminium, yang biasanya pada pemanjangan akar, maka menaikkan konsentrasi kalsium eksternal. Dengan 22 demikian, salah satu sumber kalsium khususnya bagi tanah-tanah masam adalah melalui pengapuran. Selanjutnya oleh Kamprath dan Foy (1995), menegaskan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan Ca bagi tanaman dipengaruhi oleh persentasi kejenuhan Ca pada koloid tanah, pasokan Ca total, kosentrasi ion H, konsentrasi Ca dalam larutan tanah dan adanya ionion beracun seperti Al dan Mn. Kebutuhan kalsium didefinisikan dalam tiga bagian sebagai berikut : • kebutuhan kalsium larutan – yaitu suatu konsentrasi Ca minimum yang diperbolehkan dalam larutan untuk laju pertumbuhan minimum. • kebutuhan kalsium fungsional - yaitu konsentrasi Ca minimum yang dibutuhkan pada situs-situs fungsional dalam jaingan tanaman untuk mempertahankan laju pertumbuhan maksimal. • konsentrasi kalsium kritis – yaitu kalsium aktual yang terdapat dalam tanaman atau organnya pada saat kalsium menjadi pembatas pertumbuhan. Di dalam tanah, kalsium terklasifikasi sebagai bentuk yang tidak dapat ditukar (di antaranya mineral-mineral yang telah disebutkan sebelumnya), kalsium dapat ditukar (Ca-dd) dan larutan Ca2+. Ca-dd pada tanah mempunyai range < 25 mg.kg-1 sampai >5000 g.kg-1. Konsentrasi Ca-dd yang rendah biasanya terutama pada tanah-tanah yang mempunyai KTK rendah, pH rendah dan pada tanah daerah lembab (humid). Kalsium diserap tanaman sebagai Ca2+ dari larutan tanah. Keseimbangan secara cepat terjadi antara Ca-dd dan larutan Ca2+. Kalsium mempunyai diameter ion 9.9 x 10-9. Pergerakan ion kalsium pada permukaan akar melalui aliran massa melalui jalur transpirasi oleh intersepsi akar atau melalui jalur difusi. Ketersediaan Ca pada tanaman dipengaruhi oleh sifat kimia maupun fisika tanah. Tanah-tanah yang didominasi oleh tekstur pasir dan tanah asam yang KTK-nya rendah maka akan memberikan suplai Ca yang rendah. Oleh para peneliti menunjukkan bahwa Ca mempunyai mobilitas yang rendah antara organ tanaman, sehingga konsentrasi kritis dapat sangat beragam dengan kondisi yang menghasilkan defisiensi dan tidak begitu mempunyai hubungan dengan kebutuhan fungsional. 23 Faktor-faktor yang sangat menentukan ketersediaan Ca bagi tanaman yakni : (i) jumlah Ca tersedia, (ii). pH tanah, (iii). KTK, (iv). persentasi kejenuhan kalsium koloid tanah, (iv). tipe koloid tanah, dan rasio dari kation Ca2+ dan kation lainnya. a. Jumlah Ca Tersedia : Khusus pada tanah-tanah tua seperti Ultisol, Alfisol dan Oxisols, kandungan CaO tanah umumnya lebih rendah (<10 g/kg) dibanding tanah-tanah lainnya seperti Aridisol (55 mg.kg-1), Mollisols (16 g. kg-1). b. pH : pH tanah cukup berpengaruh pada konsentrasi kalsium larutan tanah. Pada tanah-tanah alkalin, sebagian besar kalsium berasal dari bentuk CaCO3 yang kelarutannya kurang lebih 5.6 mg.L-1 (air). Sebagian besar kebutuhan Ca bagi tanaman yang tumbuh di daerah tersebut cukup tersuplai. Pada tanah yang ber-pH 5.6 dengan konsentrasi kalsium 0.25 mg. L-1 sudah cukup memberikan laju pertumbuhan yang maksimum. Sedangkan pada larutan tanah yang pada pH 4.5 dianggap cukup jika konsentrasinya 2.5 mg Ca2+ L-1. Akan tetapi bila pH 4,0, pada konsentrasi larutan 5 mg Ca2+ L-1 tidak cukup bagi tanaman. c. KTK, Kejenuhan Kalsium, Tipe Koloid Tanah : KTK adalah penting bagi ketersediaan Ca dalam hubungannya dengan kejenuhan Ca pada koloid tanah dan tipe koloid tanah. KTK akan meningkat dengan meningkatnya pH tanah.. Banyak tanaman cukup respon bila kejenuhan Ca menurun di bawah 25%. Liat kaolinit dapat mencapai kejenuhan Ca hanya pada tingkat kejenuhan antara 40 sampai 50%. d. Nisbah Kation dengan Kation Lain : Idealnya, distrubusi kation dapat ditukar pada suatu tanah adalah : 65% Ca; 10% Mg; 5% K dan 20% H, atau nisbah Ca terhadap kation lainnya adalah : Ca/Mg = 6.5; Ca/K= 13 dan Mg/K= 21. Sedangkan kejenuhan kation Ca yang ideal bagi pertumbuhan tanaman adalah 65%.