Pengaruh Kompos, Pupuk Fosfat dan Kapur

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Podzolik Merah Kuning dan Tanah Masam
Karakteristik Podzolik Merah Kuning.
Menurut Buringh (1993), Podzolik Merah Kuning (PMK) memiliki
padanan nama dengan Orthic Acrisol (menurut penamaan Peta Tanah
Dunia/FAO). Sementara menurut Soil Taxonomi, tanah Acrisol mirip dengan
Ultisol. Tipe tanah ini selalu ditemui pada wilayah-wilayah yang bermusim kering
dan basah, sehingga disebut sebagai tanah tropika tua. Karena kondisi ini
berlangsung lama, maka telah mendorong pengembangan keasaman tanahnya,
dan menjadikan basa-basa yang rendah akibat dari pencucian (leaching). Oleh
karena itu secara kimia dan fisik, PMK memiliki sifat yang tidak menguntungkan
bagi pertumbuhan tanaman.
Tanah ini berkembang dari bahan induk asam yang mempunyai horison
Argilik yang tegas, dengan karakter utamanya adalah kejenuhan basa (KB)
rendah (< 50%) serta kejenuhan aluminium yang tinggi. Menurut Kamprath dan
Foy (1997) liat tanah mengandung selaput Fe dan Al hidroksi. Bahan-bahan ini
secara nyata mempengaruhi retensi dan ketersediaan kation dan anion pupuk
pada tanah. Kenampakan fisik yang nyata dari tipe tanah ini antara lain, adanya
gejala podsolisasi akibat dari pengendapan Fe yang mengalami oksidasi.
Hasil penelitian di Indonesia yang mengidentifikasi bahwa rendahnya
kesuburan lahan ini karena (Widjaya-Adhi 1986; Hartatik et al. 1998) :
•
bereaksi masam;
•
konsentrasi toksik Al, Fe dan Mn yang tinggi;
•
kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah;
•
daya fiksasi P yang tinggi;
•
kapasitas tukar kation (KTK) dan bahan organik tanah yang rendah
sehingga mengakibatkan tanaman tidak memanfaatkan pupuk secara
efisien.
6
Kendala dan Masalah Tanah Masam.
Penyebab
utama
keberadaan
sifat
kimia
dan
fisik
yang
tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman pada tanah masam adalah karena
erat hubungannya dengan ion H+ . Sifat inilah yang semulanya dipandang
sebagai gambaran suatu reaksi kimia yang terjadi dalam tanah, yang umumnya
disebut ke dalam reaksi tanah masam, netral dan alkalin. Pada tanah masam,
jumlah ion H+ dan Al 3+ yang dapat dipertukarkan, merupakan ion yang saling
berhubungan erat. Kedua jenis ion ini, menurut Poerwowidodo (1992) dianggap
sebagai pengendali kemasaman tanah yang berada dalam larutan sistem tanah
dan kompleks jerapan. Namun menurut Kamprath dan Foy (1997), konsepkonsep mengenai tanah masam telah berubah. Kation Al3+, dan bukannya H+
yang dapat dipertukarkan, sekarang dikenal sebagai suatu kation dapat
dipertukarkan yang penting pada tanah masam.
Aluminium merupakan sumber kemasaman penting, karena Al3+ akan
menyumbangkan ion H+ ke dalam larutan tanah melalui proses hidrolisis.
Terhidrolisisnya ion Al 3+ digambarkan dalam reaksi sebagai berikut :
Al3+ + 3 H2O
Al(OH)3 + 3 H+
Aluminium dalam tanah berasal dari pelarutan mineral-mineral silikat.
Aluminium ini terdapat dalam posisi tetra ataupun oktahedral. Menurut Huang
dan Violante (1983), proton yang berasal dari respirasi akar, metabolisme
mikroba, pembusukan bahan tanaman dan organisme, pupuk dan hujan yang
menimbulkan kemasaman, menyerang mineral yang mengandung Al dan
melepaskan Al, ke dalam larutan tanah dan air alami. Proses ini digambarkan
dalam reaksi di bawah ini :
Al2SiO5(OH)4 + 2H+
2 Al3+ + 2 Si(OH)4 + H2O
Ion Al3+ sangat reaktif sekali dalam larutan tanah. Ion ini selalu terhidrolisis
membentuk kompleks, dan terkoordinasi secara oktahedra dengan enam
molekul air berupa sebuah ion Al(H2O)63+ yang adalah suatu pemberi proton.
Derajat hidrolisis ion ini meningkat dengan meningkatnya pH larutan.
Perilaku Aluminium dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman
Aluminium adalah unsur logam yang cukup melimpah ditemui pada kerak
bumi. Komposisi unsur ini mencapai 8% per satuan bobot tanah. Konsentrasi Al
dalam larutan tanah yang pH lebih dari 5.5 adalah di bawah 1 mg.L-1 (~37µM),
7
sedangkan konsentrasi yang jauh lebih tinggi, apabila pH tanah di bawah 4.0
(Huang dan Violante1983, Marschner 1995). Meskipun tidak termasuk dari 16
unsur yang dibutuhkan tanaman, ternyata juga ditemui dalam jaringan spesies
tanaman tertentu. Misalnya pada jagung, legum tropika dan gula-bit, telah
teramati dapat mengandung konsentrasi aluminium 71.4 sampai 185 µM dan
dianggap sebagai situmulan terhadap pertumbuhannya. Bahkan pada tanaman
teh yang dikenal sebagai tanaman akumulator Al,
mencapai 1000 µM
(Maschner 1995)
Pada tanah, aluminium terkoordinasi secara oktahedra atau tetrahedra
dengan oksigen dalam mineral yang mengandung Al. Aluminium juga terdapat
sebagai : i) aluminium yang terbungkus hidroksida; ii) aluminium yang berada di
antara lapisan liat dan permukaan patahan mineral liat; dan iii) aluminium yang
terdapat dalam senyawa fosfat. Selanjutnya interaksi Al dengan asam organik
berbobot molekul rendah dan asam fulfat (AF) serta asam humat (AH) mengarah
ke pembentukan komplek hidroksi-aluminium-organik yang tidak mudah larut,
tergantung pada nisbah molar asam organik terhadap Al, pH dan sifat asam
organik (Huang dan Violante1983).
Menurut
Ruaysoongnern
dan
Keerativ-kasikorn
(1996),
keadaan
aluminium tergantung dari keadaan pH tanah. Semakin tinggi keasaman tanah,
semakin tinggi tingkat kelarutan Al. Aluminium terjerap pada permukaan liat dan
dalam larutan. Keadaan ini secara alamiah selalu dalam keadaan seimbang.
Jika Al berdisosiasi dengan air membentuk aluminium hidroksida, yang
reaksinya digambarkan seperti ini :
Liat - Al
Al3+
+ H2 O
Al3+
Al (OH) 2+ + H+
Al (OH) 2+ + H2 O
Al (OH) 2+ + H2 O
Al (OH) 2+ + H+
Al (OH) 3 (pengendapan)
Unsur kimia Al yang dihasilkan mempunyai peranan penting dalam
transformasi dan nasib hara dan bahan toksik bagi lingkungan. Menurut Huang
dan Violante (1983), terdapat empat spesies ion Al sebagai hasil reaksi
hidrolisis, yakni AlOH2+, Al(OH)2+, Al(OH)30, dan Al(OH)4-.
bentuk ketersediaan Al tergantung pH. pH larutan
Oleh karena itu,
< 4.5 didominasi Al 3+; pH
larutan 4.5 - 6.5 didominasi Al (OH)2+ dan Al(OH)+; pH larutan 5.0 - 5.5
8
didominasi Al3+ ; pH larutan 6.3 (aktivitas Al-dd dan Al hidroksida rendah); pH >
6.3 semua Al dalam bentuk hidroksida tidak terekstrak dengan NH4Oac; pH
larutan > 6.5 Al(OH)3 mengalami pengendapan.
Akibat dari Al yang larut yang lebih besar, maka pengaruh lain terhadap
sifat kimia tanah yakni cenderung mengikat ion fosfor. Reaksi kimianya yang
berlangsung antara ion fosfat dengan Al larut telah menghasilkan bentuk
hidroksi fosfat yang tidak larut. Konsekuensi dari reaksi di atas ini, akan selalu
terjadi bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO-4 yang tersedia
bagi tanaman. Mekanisme reaksinya yakni ion OH digantikan kedudukan oleh
ion fosfat dari koloid tanah atau mineral.
Pengaruh langsung Al terhadap pertumbuhan tanaman yakni : (i)
mengakibatkan
keracunan
terhadap
tanaman,
terutama
menyebabkan
kerusakan pada akar sehingga efisiensi akar dalam menyerap hara dan air
menjadi rendah. Hal ini akan mengganggu sistem translokasi hara; (ii) terjadinya
penimbunan/pengendapan
fosfat
dalam
jaringan
akar
sehingga
dapat
menghalangi translokasi unsur Ca dan P ke berbagai bagian tanaman. Dengan
demikian menyebabkan tanaman kekurangan unsur P; dan (iii) Al mencegah
penetrasi akar ke lapisan tanah bagian bawah.
Peranan Kapur pada Tanah Masam
Pengapuran adalah suatu istilah pertanian yang sering dipergunakan
untuk menyatakan penambahan bahan kapur dari senyawa oksida, hidroksida
atau karbonat Ca dan Mg dalam tanah. Pengapuran dilakukan pada tanah-tanah
yang mempunyai pH rendah (masam). Tujuan utama pengapuran untuk
menaikkan pH tanah dan meniadakan pengaruh racun Al dan Mn serta
menyediakan hara kalsium (Sulaeman et al. 1990) . Berkaitan dengan ini, maka
pemberian kapur dapat bermanfaat ganda yakni : pertama, kapur dapat
menggantikan dan mengendapkan Al, yang telah diikat sangat kuat dalam tanah
masam. Kedua, jika suatu tanah yang dikapur akan lebih banyak situs
pertukaran yang lebih aktif.
Selain itu menurut Kamprath dan Foy (1997), bahwa, pemberian kapur
pada tanah masam juga mempunyai kaitan dengan perbaikan terhadap KTK
efektif dan retensi kation.
KTK
yang tergantung pH dari tanah masam
berasosiasi dengan ionisasi H+ dari oksida-oksida hidrolisis Fe dan Al dan
hidrolisis ion-ion logam trivalent yang diikat oleh bahan organik. Dengan
9
demikian jika tanah masam dikapur, KTK efektifnya meningkat. Pada tanah
Ultisol KTK meningkat sebesar 60% jika pH tanah dinaikkan dari 4.9 menjadi
5.9.
Selain itu, menurut Sulaiman et al. (1990) pengapuran selain untuk
meniadakan pengaruh racun dari Al dan Mn, juga berperan dalam menyediakan
hara kalsium. Namun, tanggap tanaman terhadap kapur berbeda-beda )Al-Jabri
et al. 1998), dinyatakan bahwa kapur berpengaruh terhadap bobot kering jerami,
bahkan cenderung menurunkan hasil padi pada level 2.87 ton/ha, tetapi pada
sisi lain kapur berpengaruh positif terhadap bobot kering jerami di Barasang
(takaran 1/4 Al-dd= 2.56 – 2.62 ton.ha-1)
Pendugaan kebutuhan kapur pada tanah-tanah masam dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti :
•
pemberian kapur secara bertingkat di lapangan untuk mendapatkan
takaran kapur yang memberi hasil tanaman yang optimum;
•
inkubasi tanah dengan pemberian kapur bertingkat untuk mencapai
takaran pupuk yang dapat memberikan pH tanah yang diinginkan;
•
titrasi tanah menggunakan larutan basa;
•
titrasi tanah menggunakan larutan sangga;
•
menggunakan Al-dd sebagai indeks kebutuhan kapur (McLean 1973)
Perilaku Fosfat dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman
Sumber Fosfor dan Ketersediaannya dalam Tanah
Menurut Thompson and Troeh (1973), fosfor seperti halnya nitrogen dan
sulfur, membentuk anion kompleks dengan oksigen. Karena tingkat kelarutannya
yang rendah maka ketersediaannya bagi tanaman menjadi rendah, sehingga ini
merupakan hal yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Fosfor
dalam tanah ditemukan dalam dua bentuk, yakni pada kondisi fosfat anorganik
dan fosfat organik (Bennet, 1994). Fosfor yang berada dalam bahan organik
biasanya terikat dengan struktur senyawa lain. Sedangkan fosfor anorganik
biasanya berasal dari apatite Ca5(PO4)3. Apatite ini biasanya dikandung oleh
fosfat alam, dan di alam sumbernya sedikit, hanya pada tempat-tempat tertentu.
10
Kandungan fosfat dalam larutan tanah umumnya relatif rendah yakni
antara 0.02 hingga 0.10 % . Pada konsentrasi ini aliran massa tak cukup untuk
menjelaskan laju pengambilan oleh tanaman. Akan tetapi, konsentrasi P total
biasanya paling tinggi dalam lapisan permukaan, dan terendah dalam horizon A
bagian bawah atau pada horizon B bagian atas, yang merupakan hasil
pendauran P oleh tanaman yang tumbuh (Young et al.1997; Fisher dan Dunham
1992).
Tiga bentuk ion fosfor yang dapat diserap tanaman
adalah
H2PO4- ;
HPO42-, atau PO43- Ion-ion ini dibentuk dari ionisasi satu, dua dan tiga hidrogen
dari asam fosfat (H3PO4). Namun sebagian besar fosfor yang diserap tanaman
adalah dalam bentuk monovalen orto-fosfat seperti H2PO4- (ortofosfat primer).
Meskipun hanya sedikit, ada juga tanaman tertentu menggunakannya dalam
bentuk HPO42- (ortofosfat sekunder). Biasanya ion divalen orto-fosfat (HPO42-)
penting pada kondisi pH yang tinggi, atau ion ini akan lebih dominan jika larutan
tanahnya di atas pH 7.2 (Bennettt 1994; Maschner 1995; Thompson dan Troeh
1973; Young et al., 1997)
Ion-ion tersebut
bisanya bergerak secara difusi dan mengalami
intersepsi dengan akar dan hanya sedikit yang masuk secara aliran massa
bersama air. Laju transportasi menuju akar biasanya sangat lambat jika jarak
transportasinya lebih dari 5 sampai 10 mm (Maschner 1995; Thompson dan
Troeh 1973). Oleh sebab itu, tujuan pemupukan adalah menaikkan level
konsentrasi di mana penyerapan fosfor tidak lagi membatasi hasil.
Tiga variabel penting yang berkaitan dengan ketersediaan fosfor yakni
kelarutan, jumlah dan jarak pergerakan ion. Variabel ini masih tergantung dari
beberapa faktor, di antaranya, kelarutan dan macam ion fosfor yang hadir, serta
konsentrasi ion lain. Kedua faktor ini dipengaruhi oleh pH. Oleh karena itu
menurut Maschner (1995), bahwa, setiap tanaman berkemampuan berbeda
dalam menyerap fosfor dari tanah, karena berbeda dalam morfologi akar
(misalnya densitas rambut akar, diameter akar) dan karakter fisiologisnya.
Dua faktor berkaitan erat dengan ketersediaan P bagi tanaman yakni
faktor intensitas dan faktor relatif.
Faktor intensitas, adalah suatu ukuran
perbedaan potensial elektrokimia sepanjang permukaan akar tanaman yang
menyerap hara; sedangkan faktor relatif adalah pengaruh ion lain dalam larutan
terhadap serapan P. Faktor relatif untuk P mendekati satu karena ion lain tidak
11
begitu bersaing dengan serapan P. Faktor intensitas tidaklah memadai untuk
menggambarkan ketersediaan P bagi tanaman, karena jumlah P dalam larutan
tanah pada setiap saat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan P tanaman.
Sedangkan mekanisme yang terlibat dalam perbedaan serapan dan
penggunaan P oleh tanaman dikaitkan dengan tiga ciri akar : (i) kemampuan
menyerap P dari larutan encer; (ii) aktivitas metabolik yang dapat meningkatkan
ke larutan P tanah; dan (iii) kemampuan mengeksplorasi volume tanah.
Kemampuan menyerap P tampaknya terbentuk dalam beberapa jam setelah
akar lembaga (radikal) tumbuh, tetapi kemampuan untuk mentranslokasi P ke
bagian atas tanaman dapat menunggu beberapa minggu
pada berbagai
spesies tertentu.
Keberadaan Fosfor pada Tanah Masam
Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa bentuk ion fosfor yang
diserap tanaman dipengaruhi oleh pH tanah. Pengaruh pH tanah terhadap
ketersediaan P bagi tanaman adalah dengan dua cara. Pertama, pH larutan
tanah adalah yang paling menentukan bentuk ion yang ada. Kedua, pH tanah
juga mengendalikan tipe dan kelarutan mineral-mineral tanah. Mineral-mineral
ini dapat merubah produk-produk reaksi pupuk, mineral-mineral sekunder atau
primer. Menurut Young et al. (1997), ketika suatu pupuk ditambahkan pada
suatu tanah masam, ia bereaksi dengan senyawa-senyawa Fe dan Al
membentuk produk-produk kompleks yang
tidak begitu larut dan kurang
tersedia bagi tanaman. Senyawa-senyawa yang terbentuk dapat mengendap
dalam larutan, terjerap pada permukaan oksida Fe dan Al, atau terjerap pada
partikel-partikel lempung.
Berkaitan dengan tanah masam, Ruaysoongnern dan Keerativ-kasikorn
(1996), menyatakan bahwa, ketersediaan fosfor yang sangat terbatas adalah
salah satu masalah penting
pada tanah masam. Fosfor selalu menunjukkan
afinitas yang kuat dengan Al dan Fe pada tanah masam, sehingga
pengendapannya bersama aluminium dan besi atau dijerap pada permukaan liat
(clay). Reaksi kimianya yang berlangsung antara ion fosfat dengan Aluminium
yang larut, menghasilkan bentuk hidroksi fosfat yang tidak larut. Mekanisme
reaksinya yakni, ion fosfat menggantikan kedudukan ion OH dari koloid tanah
atau mineral. Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai berikut :
Al+++
+ H2PO-4
AlPO4.2H2O + 2H+
12
Konsekuensi dari reaksi di atas ini, akan selalu terjadi bentuk fosfat yang tidak
larut, atau hanya sedikit ion H2PO-4 yang tersedia bagi tanaman.
Peranan Fosfor dalam Pertumbuhan Tanaman
Fosfor adalah hara makro yang esensial bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, dan sebagai salah satu faktor pembatas produksi
kedua setelah nitrogen (Willet et al. 1996, Bennett 1994). Karena pentingnya
fosfor bagi tanaman, oleh Thompson dan Troeh (1973) disebut sebagai “kunci
bagi kehidupan” karena secara langsung berpengaruh terhadap sebagian besar
proses kehidupan.
Konsentrasi fosfor untuk pertumbuhan yang optimal menurut Maschner
(1995)
adalah
antara
0,3-0,5%
dari
bobot
kering.
Namun
demikian,
kemungkinan akibat keracunan fosfor dapat terjadi ketika kandungan fosfor lebih
dari 1% dari bobot kering. Bahkan pada tanaman Cajanus cajan cukup sensitif
dan mengalami keracunan jika kandungan fosfor pada pucuk telah mencapai
antara 0.3 - 0.4% dan 0.6 – 0.7% (pada Vigna mungo). Selanjutnya Goswami et
al. (1990) melaporkan bahwa kandungan fosfor pada biji jagung 4.4 kg.ton-1 atau
setara kebutuhan pupuk fosfor 26 - 66 kg P.ha-1.
Tanaman yang menderita kahat fosfor, tampak pada laju penurunan luas
daun dan permukaan daun, serta jumlah daun. Namun demikian kondisi ini
tidak banyak berpengaruh terhadap kandungan protein daun serta kandungan
klorofilnya, bahkan sering kandungan klorofil bertambah di bawah kondisi ini.
Akan tetapi, efisiensi fotosintesis per unit klorofil semakin menurun pada kondisi
kahat fosfor. Gejala kahat fosfor khususnya pada jagung menurut Voss (1994),
yakni pada daun berwarna hijau gelap dengan ungu kemerahan pada bagian
ujung dan tepi daun.
Pada kondisi tanaman kahat fosfor, pertumbuhan akar sedikit banyak
dihambat
akibatnya penurunan nisbah pucuk/akar. Kasus ini terjadi
pada
tanaman kedelai yang nisbah pucuk/akarnya menurun dari 5.0 (pada kondisi
kecukupan fosfor) menjadi 1.9. Dalam kondisi ini, variabel ini berkorelasi dengan
kenaikan dalam pembagian (partitioning) karbohidrat akar. Pada species
tanaman tertentu, dalam kondisi defisiensi, maka total respirasi akar tidak
berubah, tetapi proporsi respirasi alternatif naik 40-50% pada kondisi kecukupan
menjadi 80-90% pada kondisi kekurangan. Pada pertumbuhan generatif,
defisiensi fosfor nampak pada tertundanya inisiasi pembungaan, jumlah bunga
13
menurun, formasi biji yang terganggu, produksi biji dan senesens daun yang
prematur. Namun demikian gejala defisiensi bervariasi antar spesies dan juga
tergantung dari kondisi pertumbuhan.
Secara seluler, defisiensi fosfor mengakibatkan terjadinya penurunan
kandungan fosfolipid yang berdampak pada kerusakan membran sel dan
berpengaruh juga terhadap transfer energi dalam sel. Ada juga gejala defisiensi
fosfor yang tidak kelihatan, karena kebutuhan P yang tinggi langsung
ditranslokasikan ke jaringan muda yang sedang mengalami metabolisme aktif.
Oleh karena itu, gejala defisiensi fosfor nampak pada jaringan tua.
Fisiologi Fosfor dalam Tanaman
Tidak seperti nitrat, fosfat tidak direduksi dalam tanaman akan tetapi
dioksidasi. Setelah diserap, terutama dalam bentuk H2PO4- yang selanjutnya
digunakan sebagai fosfat anorganik (Pi) atau diesterifikasi sebagai suatu
senyawa fosfat-ester sederhana
(C--O-(P) ) (misalnya gula fosfat) atau fosfat
bentuk lain seperti ikatan energi-pirofosfat
(P)∼(P) ) (misalnya ATP).
Fosfor diserap akar dan didistrubusi menuju sel hidup pada tanaman.
Sebagian besar ion fosfor terkonsentrasi pada bagian-bagian reproduktif
tanaman, seperti pada biji dan bunga. Bersama dengan C, H, O, N dan unsur
lainnya, fosfor di dalam sel bergabung membentuk senyawa organik kompleks.
Oleh karena itu, fosfor dianggap sebagai unsur yang esensial terutama bagi
material genetik dalam nukleus sel. Sel tidak dapat membelah jika terbatas
fosfornya. Kekahatan fosfor menyebabkan tanaman kerdil dan gagal dalam
pemasakan (Thompson dan Troeh 1973)
Dua peranan esensial yang dimainkan fosfor yakni: (i) sebagai
komponen strutural dan; (ii) sebagai relasi energi dari sel. Peranan struktural
terjadi pada asam nukleat (DNA dan RNA) di mana fosfor sebagai penghubung
antara molekul deoxyribosa atau ribosa dalam kontruksi molekul makro.
Peranan struktural lainnya yaitu pada fosfolipid yang merupakan komponen dari
membran sel. Di sini fosfor berperan sebagai agen penghubung struktural.
Menurut Maschner (1995), meskipun kehadiran fosfor dalam sel dengan
konsentrasi yang rendah, fosfat-ester dan energi-firofosfat berperan sebagai
mesin dari sel. Lebih dari 50 bentuk ester dari fosfat dan gula alkohol telah
diidentifikasi, dan kira-kira ada 10 bentuknya ditemukan dalam sel dalam jumlah
yang relatif tinggi. Misalnya glukosa-6-fosfat dan fosfogliseraldehida.
14
Salah satu bentuk fosfor yang ditemukan dalam jaringan tanaman adalah
fitat yang adalah suatu bentuk dari fosfat yang disimpan dalam jaringan
penyimpan seperti biji-bijian. Fitat adalah garam dari asam fitic, myoinositol,
1,2,3,4,5,6-hexabisphosphate. Asam fitic ini disintesis dari cyclic alcohol
myoinositol
melalui esterifikasi dari grup hidroksil dengan grup fosfat.
Kandungan fitat-fosfor dari total fosfor adalah 60-70% pada biji serealia atau
lebih dari 50% pada biji legum. Kandungan fitat pada serealia dan legum selama
awal pembentukan biji adalah rendah, tetapi kenaikannya jelas ketika mencapai
periode sintesis pati. Hal ini kontras dengan kandungan Pi selama tahapan
proses yang sama di mana kandungan Pi rendah dan menurun ketika
fitat
dibentuk.
Pupuk dan Sumber-sumber Fosfat
Pupuk fosfat yang sudah umum dikenal masyarakat Indonesia di
antaranya adalah TSP dan SP-36. Perbedaan kedua pupuk ini terutama pada
kandungan P2O5, di mana TSP mengandung 46% dan SP-36 adalah 36% P2O5.
Pupuk-pupuk ini sudah cukup populer bagi petani di Indonesia. Akhir-akhir ini,
pupuk SP-36
lebih dominan ditemukan di pasaran dibanding pupuk TSP.
Keadaan ini merupakan kebijakan pemerintah Indonesia, dalam rangka efisiensi
terhadap penggunaan pupuk fosfat oleh petani, sekaligus mengurangi dampak
buruk bagi lingkungan, di mana penggunaan
TSP selama ini, 20% diserap
tanaman dan sisanya 80% terfiksasi dalam tanah.
Bumi kaya dengan endapan fosfat. Hampir 40% dari batuan fosfat dunia
pada
tahun
1980
memasuki
perdagangan
dunia.
Maroko
merupakan
pengekspor yang utama, yang diikuti oleh Amerika Serikat. Sebagian besar
penambangan fosfat di dunia dilakukan dengan tambang terbuka (strip mining),
dan hanya sedikit saja yang menggunakan penambangan bawah tanah. Setelah
batuan fosfat ditambang dan diperkaya selanjutnya mengkonversi struktur
fluorapatit menjadi bentuk yang lebih melarut dan secara efektif digunakan oleh
tanaman (Weast et al. 1989),
Selain sumber pupuk fosfat tersebut, fosfat alam (FA) dalam dekade
terakhir ini telah menjadi perhatian penting dan sebagai salah satu sumber
pupuk fosfat yang mempunyai prospek yang baik, terutama ditinjau dari aspek
ekonomisnya (Hedley et al. 1990). Pupuk FA mengandung apatit yang
mempunyai nilai agronomik yang tinggi.
15
Batuan fosfat merupakan titik awal untuk semua pupuk P (Young et al.
1997). Menurutnya dengan beberapa perkecualian, endapan yang lebih besar di
dunia secara langsung ataupun tidak langsung berasal-usul dari sedimenter,
yang terhampar pada lapisan bawah laut dan kemudian terangkat ke massamassa daratan dan terendapkan kembali dari air permukaan yang terperkolasi
melalui lapisan tersebut. Fosfat tersebut biasanya dalam bentuk butiran kecil
yang terekat bersama oleh CaCO3. Bentuk utama mineral fosfat dalam
kebanyakkan endapan adalah fronkolit yang merupakan suatu fluorapatit
carbonat (Ca10F2(PO4)6.XCaCO3). Ikutan-ikutan utama adalah Fe, Al dan Mg.
Fosfat alam merupakan pupuk sumber fosfat yang cukup prospektif di
masa depan. Hal ini karena pengadaan FA relatif lebih murah, dan diketahui
mempunyai nilai efektivitas pada tanah-tanah tertentu lebih tinggi dari pupuk
fosfat yang diproduksi pabrik seperti TSP dan SP-36. Penelitian Hartatik et al.,
(1998) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk FA yang diasamkan pada level
dari 15 - 30% ternyata mempunyai nilai efektivitas agronomik (RAE) mencapai
100.2 –109.8% dibanding pupuk TSP pada dosis pemupukan 90 kg P2O5 ha-1.
Selanjutnya dijelaskan bahwa makin tinggi kelarutan P dalam pupuk PARP
makin tinggi tanggapan tanaman.
Peranan Bahan Organik Tanah pada Tanah Masam
Bahan organik tanah merupakan bagian integral dari tanah yang
berpengaruh terhadap sifat fisik , kimia dan biologi tanah. Keberadaan pada
lahan-lahan pertanian mutlak diperlukan guna memelihara keserasian fungsi
ekologis, kesinambungan produksi pertanian dan kelestarian lingkungan. Peran
kunci yang dimainkan bahan organik yaitu meningkatkan ketersediaan hara bagi
tanaman dan dalam mengurangi pengaruh keracunan akibat kation bebas.
Keuntungan penambahan bahan organik tanah dan peranannya yang berkaitan
dengan perubahan sifat kimia tanah telah banyak didokumentasi secara meluas
(Stevenson
dan Fitch 1997; Sikora 1996;
Schnitzer dan Khan 1978; Geus
1985; Mulongoy et al. 1993; Obatolu and Agboola 1993).
Berkaitan dengan penggunaan pupuk, bahan organik mempunyai
peranan dalam siklus hara, seperti (i) retensi air dan kualitas tanah secara
keseluruhan; dan (ii) kemampuan dalam
daya sangganya terhadap pupuk;
Dinyatakan bahwa, terdapat korelasi positif antara bahan organik tanah dan
produktivitas lahan. Pada tanah-tanah yang miskin bahan organik akan
16
berkurang daya sangganya terhadap pupuk sehingga efisiensi penggunaan
pupuk menjadi rendah karena sebagian hilang tercuci dari lingkungan
perakaran. Kehilangan bahan organik tanah terutama pada lahan yang
berkelerengan tinggi berdampak pada penurunan terhadap produktivitas lahan.
Oleh karena itu, kadar bahan organik dijadikan sebagai parameter/kriteria untuk
penetapan tingkat degradasi lahan (Mulongoy et al. 1993)
Studi oleh Gerzabek et al. (1997) yang menekankan terhadap peranan
bahan organik, di mana akumulasi humus pada tanah setelah diberi bahan
organik tergantung pada kondisi tanah dan jumlah yang ditambahkan. Stabilitas
agregat tanah meningkat secara nyata dengan kenaikan kandungan humusnya.
Hal lain juga
nampak pada jumlah biomas mikrobial yang dianggap sebagai
faktor penting kedua dalam menentukan stabilitas agregat. Pada percobaan di
mana tanah-tanah yang diberi kotoran hewan yang mengandung humus 30%
lebih rendah dibanding tanah-tanah yang mengandung humus yang berasal dari
gambut yang ditambahkan sedikit biomas mikrobial tenyata memberikan
pengaruh yang sama terhadap stabilitas agregat tanah.
Kandungan C-organik tanah menunjukkan perubahan dari waktu ke
waktu. Tanah yang tidak diberi bahan organik terjadi penurunan C-organiknya
dari 15 g.kg-1 menjadi 9.8 g.kg-1. Sebaliknya pada tanah yang diberi bahan
organik yang berasal dari gambut
terjadi peningkatan C-organiknya menjadi
-1
30.1 g.kg . Perubahan ini terjadi dalam jangka waktu 37 tahun. Perubahan
kandungan C-organik pada lapisan top soil akan berbeda-beda sesuai sumber
bahan organik, dan perubahannya bersifat linier dengan waktu aplikasinya.
Tan (1997), mendefinisikan bahwa bahan organik adalah suatu materi
yang terdiri atas bahan yang belum dan telah terhumifikasi. Bahan yang belum
terhumifikasi, dapat berasal dari pembusukan tanaman, fauna dan jaringan
mikroba, dalam bentuk asli atau sedikit termodifikasi. Sedangkan bahan yang
telah terhumifikasi adalah produk yang telah terbentuk selama proses
dekomposisi dari bahan yang belum terhumifikasi dan terdiri atas satu kelompok
senyawa kompleks seperti asam fulfat (AF) dan asam humat (AH) serta
turunannya (hidroksi benzoatnya).
Menurut Stevenson dan Fitch (1997), AF adalah senyawa yang bertindak
sebagai pembawa unsur mikro dalam larutan tanah. Meskipun berkompetisi
dengan ligan lain, baik organik maupun anorganik dan memiliki kemampuan
17
membentuk kompleks yang mantap dengan logam. Kemampuan ini disebabkan
karena mengandung gugus fungsional seperti O yang tinggi, termasuk COOH,
fenolik, alkoholik, dan fenolik-OH dan struktur C=O dari berbagai jenis. Senyawa
ini larut dalam alkali maupun asam. Keasaman total AF berkisar dari 640 hingga
1420 cmol (H+) kg-1; kadar COOH beragam dari 520 hingga 1120 cmol (H+). kg-1
Sebaliknya, AH adalah bahan yang terekstrak dari tanah oleh larutan
alkali dan mengendap oleh pengasaman. AH mempengaruhi pelarutan mineral
melalui pengaruh keasaman (ion H+) dan pembentuk kompleks atau kelat.
Peranan kelat dalam kesuburan tanah khususnya ketersediaan unsur mikro dan
dapat dibuat tersedia bagi tanaman melalui pertukaran. Akibat pengkelatan
maka difusi dan aliran massa unsur hara mikro ke akar meningkat. Kelat
tersebut diperkirakan akan membantu mekanisme pembawa yang merupakan
cara pengisian unsur hara di permukaan akar yang terkuras. Asam organik yang
paling efektif dalam pelarutan adalah hasil hancuran bahan organik tanah dan
mengandung asam organik sederhana dan kompleks asam berbobot molekul
tinggi .
Menurut Hayes dan Himes (1983), bahan humat adalah polianion dan
polidispersi, yang pada saat terionisasi penuh mempunyai nilai KTK berkisar 3 x
103 hingga 6 x 103 µe/g untuk AH dan mencapai 10 x 103 µe/g untuk AF. Hal ini
kontradiksi dengan hasil studi oleh Mulongoy et al. (1993) yang menyatakan
bahwa kandungan C-organik, bukan asam humid berkorelasi positif dengan
KTK, karena itu menurutnya C-organik adalah salah satu sumber KTK.
Selanjutnya menurut Gerzabek et al. (1997) pengaruh dari bahan organik yang
diberi pada tanah akan berbeda kandungan C-organiknya tergantung jumlah dan
sumber bahan organiknya. Bahkan, sumbangan perubahan sifat fisik tanah
seperti stabilitas agregat meningkat secara nyata dengan kenaikan kandungan
humusnya. Pengaruh terhadap perubahannya bersifat linier dengan waktu
aplikasiya.
Menurut Bhatti et al. (1998), pengaruh dari bahan organik pada tanah
masam cukup berkaitan dengan aluminium bebas yang bersifat toksik bagi
tanaman. Hal ini disebabkan oelh kemampuan menekan ketersediaan fosfat
melalui pengkelatan oleh bahan humid. Kemampuan ini berasal dari pengaruh
asam–asam organik yang seperti asam oksalat, yang merupakan hasil dari
dekomposisi bahan organik tanah. Pengaruh dari asam oksalat terutama
18
terhadap erapan dan ketersediaan P melalui pengkompleksan dengan Al dan
Fe. Ligan organik akan mengkompleks Al dan Fe dalam larutan dan permukaan
Fe
dan Al . Oleh karena itu, prinsipnya
peranan bahan organik melaui
senyawa-senyawa organiknya dalam larutan tanah, membentuk dua jenis
kompleks dengan unsur mikro yaitu : (i) biokimia yang diketahui terdapat dari
organisme hidup seperti asam alifatik sederhana, asam amino, asam gula,
siderofor hidroksamat dan polifenol; (ii) satu seri asam, polielektrolit berwarna
kuning hingga hitam yang disebut asam fulvat (AF).
Mekanisme
perubahan
kimia
tanah
ini
diterangkan
melalui
tiga
mekanisme yakni : (i) menggantikan P yang terjerap pada permukaan Al oksida
atau Fe melalui pertukaran ligan; (ii) melalui pelarutan permukaan logam oksida
dan melepas P yang terjerap; dan (iii) melalui pengkompleksan Al dan Fe pada
larutan, lalu mencegah pengendapan ulang dari senyawa P-logam (Bhatti, et al.
1990).
Bahan Organik dan Kompos
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada prinsipnya bahan organik
seperti humus pada tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan residu tanaman,
hewan dan jaringan mikrobia. Menurut Hayes dan Himes (1997), humus terdiri
atas bahan makromolekul organik yang ada di dalam tanah berasal dari
transformasi sisa-sisa tanaman dan hewan, tetapi tidak lagi memiliki kemiripan
dengan bahan aslinya.
Seperti halnya humus, maka sifat kompos yang juga merupakan bahan
organik yang mengalami degradasi yang dikelola oleh bantuan manusia dengan
dimediasi proses dekomposisi oleh mikrobia. Kompos mengandung hara makro
seperti fosfor, yang dapat mengkontribusi kenaikan hasil tanaman. Hara makro
dan bahan organik seperti kompos dapat juga menaikkan hasil pertanaman di
bawah kondisi kekahatan mikro-nutrien. Dilaporkan juga, bahwa kadang-kadang
tanah sandy soils di bawah kondisi kering, yang bahan organiknya diperbaiki
ternyata dapat memberikan hasil yang baik.
Penggunaan kompos alang-alang, umumnya kurang populer dibanding
kompos yang berasal dari sumber bahan organik lainnya. Hal ini karena proses
pembuatan kompos alang-alang secara praktis sulit mengalami dekomposisi jika
dibanding dengan teknik umum pengomposan. Kesulitan dekomposisi bahan ini
karena bahan penyusun utamanya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin
19
(Harrey 1993). Ketiga bahan tersebut hanya bisa dirombak oleh mikroorganisme
yang berkemampuan tinggi seperti mikroorganisme selulolitik dan lignolitik.
Karena mikroorganisme selulotik itu menghasilkan komplek enzim yang mampu
memecahkan ikatan β-1,4-glukosida dari struktur selulosa. Komplek ini dikenal
dengan nama selulase yang terdiri dari endo- β-1,4-glukonase (Cx), ekso-β-1,4glukonase (C1) dan β-1,4-glukodase (Gong dan Tsao, 1979; Tangarone et al.,
1989).
Sebagai sumber unsur hara, alang-alang mengandung unsur yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman seperti N, P, K, Ca, Mg, Si, Fe dan Cu. (Tabel 1.).
Namun untuk dapat tersedia bagi tanaman diperlukan waktu yang cukup lama,
melalui suatu dekomposisi
bahan organik alang-alang (Soerpardi dalam
Situmorang, 1999). Jasad penghancur (decomposer) yang efektif saat ini adalah
jamur Trichoderma sp. yang diinokulasi dari kayu busuk. Bahkan, telah tersedia
di pasaran berbagai dekomposer berbagai merek dagang dalam rangka
membuat kompos secara cepat (Indriani 2000).
Tabel 1. Komposisi Kimia Alang-alang
Bagian
Komposisi Kimia
tanaman
Bagian
N
P
K
Ca
Mg
Si
Fe
-------------------------------% -------------------------------
Mn
Zn
Cu
---------- ppm ----------
Daun
0.17
0.33
0.56
0.35
0.28
2.66
0.13
97.8
9.0
6.3
Akar
0.35
0.17
0.38
0.19
0.20
1.90
0.10
105.9
33.4
19.7
Sumber : Soepardi, 1976 dalam Sitomurang, 1999.
Keberadaan Kalsium dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman
Dilaporkan oleh Kurnia et al.,(1999) bahwa salah satu ciri tanah masam,
khususnya pada tanah Ultisol (Typic Hapluhumults) di Jasinga, Jawa Barat
adalah miskin akan hara kalsium. Pemberian kapur pertanian, terutama yang
berbahan CaCO3
selain meningkatkan pH tanah, juga dapat bermanfaat
sebagai penyedia hara kalsium bagi tanaman.
Peranan Kalsium terhadap Pertumbuhan Tanaman
Seperti halnya unsur lain seperti N, P, K, S, Mg, maka kalsium juga
diketahui sebagai hara makro bagi kebutuhan tanaman. Kalsium yang
merupakan hara metal esensial ini diambil oleh tanaman melalui penyerapan
20
oleh akar (Bennet 1994). Gejala defisiensi hara ini menurut Voss (1994), akan
nampak seperti tanaman yang kerdil (stunted). Selain itu, pada kondisi
defisiensi, di pucuk dan daun berikutnya akan nampak gejala ladderlike. Gejalagejala tersebut dapat dipahami karena Ca termasuk hara yang tidak mobil pada
sistem transport dalam jaringan tanaman.
Meskipun defisiensi Ca jarang terjadi bagi tanaman umumnya, namun
level kritis yang telah diketahui adalah
<0.1% serta rentang kecukupannya
antara 0.1 – 1.0%. Tetapi, jika lebih dari batas ini, tidak menimbulkan keracunan
bagi tanaman. Pada tanaman jagung, gejala defisiensi jarang ditemui. Batas
kecukupannya yang terukur pada daun telinga adalah 0.2 – 1.0% dan 0.9 –1.6
pada seluruh tanaman serta daun ke 3 dan ke 4.
Menurut Maschner (1995), fungsi kalsium secara komprehensif bagi
proses fisiologis tanaman serta molekuler biologi adalah sebagai suatu second
messenger dalam konduksi sinyal tanaman dalam merespon faktor lingkungan
bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Keunikan bagi kalsium, secara
kuantitas ditemukannya dalam jumlah yang berlimpah dalam jaringan tanaman
yakni pada dinding sel (apoplas). Hal ini kontras
makro yang lain.
dengan keberadaan hara
Bentuk kalsium dalam jaringan tanaman adalah sebagian
besar (50%) dalam bentuk kalsium pektat, 4% kalsium oksalat sedangkan
sisanya dalam bentuk larutan (water soluble) dan kalsium fosfat.
Tipe distrusbusi kalsium pada sel jaringan tanaman dewasa yakni
dengan menjaga konsentrasi kalsium dalam
sitoplasma dalam kondisi yang
sangat rendah (0,1-0,2 µM sebagai Ca2+ bebas), sebaliknya pada lamela tengah
dinding sel, bagian luar permukaan membran sel retikulum endoplasma serta
vakuola berada pada konsentrasi yang tinggi. Sebagian besar bentuk kalsium
larutan yang ditemukan dalam vakuola, umumnya dapat bergabung bersama
anion-anion asam organik (misalnya asam malat) dan anion-anion inorganik
(misalnya nitrat, klorida, dll.). Oleh karena itu, tanaman telah mempunyai
mekanisme untuk membatasi transport kalsium ke organ-organnya untuk
menjaga konsentrasi kalsium yang rendah dalam phloem sap.
Secara seluler, untuk tetap terjaga
konsentrasi
Ca2+ yang sangat
rendah dalam sitoplasma, maka akan dikendalikan melalui peran transporter
Ca2+ pada membran plasma yang juga pada retikulum endoplasma
calsium pumping ATP-ase (Ca
2+
/H
+
adalah
antiporter). Pada tonoplas, untuk
21
meningkatkan transport Ca2+, maka Ca2+ /H+ antiporter memperoleh energi dari
proton-motive force dari pompa proton ATP-ase dan Ppi-ase. Dengan demikian,
peranan dasar dari kalsium adalah menciptakan stabilitas membran dan
integritas sel. Pada jaringan yang mengalami defisiensi kalsium, maka akan
terjadi kerusakan integritas membran yang dapat menyebabkan meningkatnya
laju respirasi.
Secara singkat peranan kalsium dalam sistem tanaman menurut Bennet,
(1994) yakni sebagai berikut:
v sebagai pembawa (charge carrier) dalam reaksi reduksi-oksidasi
(redoks)
v merupakan bagian dari komponen semua dinding sel (struktur dan
permeabilitas sel). Hal ini juga meliputi pemanjangan dan pembelahan
sel.
v sebagai regulator ion dalam translokasi karbohidrat melalui pengaruhnya
pada sel dan dinding sel.
v kalsium merupakan bagian dari senyawa struktur tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium pektat, dan lain-lain.
Kalsium dalam Tanah
Kandungan Ca pada kerak bumi rata-rata adalah 36.4 g/kg. Sebagian
besarnya kalsium yang ada sebagai mineral primer yang sulit larut, seperti
mineral feldspars, amphibole, calfosfat dan kalsium karbonat. Sedangkan
mineral utama sebagai sumber penting bagi kalsium adalah plagioclase dan
anorthite (CaAl 12Si2O8). Kalsium karbonat atau kalsit (CaCO3) adalah cukup
sering digunakan sebagai sumber kalsium dalam tanah khususnya pada daerah
arid dan semi arid. Sedangkan dolomit [CaMg(CO3) 2] juga selalu ditemukan
sebagai asosiasi dengan kalsit.
Menurut Haby et al. (1990), kekurangan hara Ca pada tanaman jarang
terjadi. Pada tanah-tanah yang ber-pH netral dan alkalin secara normal cukup
mengandung kalsium. Sementara pada tanah masam, defisiensi hara dapat
terjadi,
karena
aluminium
memblokir saluran Ca
2+
menghambat
serapan
kalsium,
dengan
cara
pada membran plasma (Maschner, 1995). Selanjutnya,
untuk mengurangi pengaruh fisiologis dari aluminium, yang biasanya pada
pemanjangan akar, maka menaikkan konsentrasi kalsium eksternal. Dengan
22
demikian, salah satu sumber kalsium khususnya bagi tanah-tanah masam
adalah melalui pengapuran.
Selanjutnya oleh Kamprath dan Foy (1995),
menegaskan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan Ca bagi
tanaman dipengaruhi oleh persentasi kejenuhan Ca pada koloid tanah, pasokan
Ca total, kosentrasi ion H, konsentrasi Ca dalam larutan tanah dan adanya ionion beracun seperti Al dan Mn.
Kebutuhan kalsium didefinisikan dalam tiga bagian sebagai berikut :
•
kebutuhan kalsium larutan – yaitu suatu konsentrasi Ca minimum yang
diperbolehkan dalam larutan untuk laju pertumbuhan minimum.
•
kebutuhan kalsium fungsional
- yaitu konsentrasi Ca minimum yang
dibutuhkan pada situs-situs fungsional dalam jaingan tanaman untuk
mempertahankan laju pertumbuhan maksimal.
•
konsentrasi kalsium kritis – yaitu kalsium aktual yang terdapat dalam
tanaman atau organnya pada saat kalsium
menjadi pembatas
pertumbuhan.
Di dalam tanah, kalsium terklasifikasi sebagai bentuk yang tidak dapat
ditukar (di antaranya mineral-mineral yang telah disebutkan sebelumnya),
kalsium dapat ditukar (Ca-dd) dan larutan Ca2+. Ca-dd pada tanah mempunyai
range < 25 mg.kg-1 sampai >5000 g.kg-1. Konsentrasi Ca-dd yang rendah
biasanya terutama pada tanah-tanah yang mempunyai KTK rendah, pH rendah
dan pada tanah daerah lembab (humid). Kalsium diserap tanaman sebagai Ca2+
dari larutan tanah. Keseimbangan secara cepat terjadi antara Ca-dd dan larutan
Ca2+.
Kalsium mempunyai diameter ion 9.9 x 10-9. Pergerakan ion kalsium
pada permukaan akar melalui aliran massa melalui jalur transpirasi oleh
intersepsi akar atau melalui jalur difusi. Ketersediaan Ca pada tanaman
dipengaruhi oleh sifat kimia maupun fisika tanah. Tanah-tanah yang didominasi
oleh tekstur pasir dan tanah asam yang KTK-nya rendah maka akan
memberikan suplai Ca yang rendah. Oleh para peneliti menunjukkan bahwa Ca
mempunyai mobilitas yang rendah antara organ tanaman, sehingga konsentrasi
kritis dapat sangat beragam dengan kondisi yang menghasilkan defisiensi dan
tidak begitu mempunyai hubungan dengan kebutuhan fungsional.
23
Faktor-faktor yang sangat menentukan ketersediaan Ca bagi tanaman
yakni : (i) jumlah Ca tersedia, (ii). pH tanah, (iii). KTK, (iv). persentasi kejenuhan
kalsium
koloid tanah, (iv). tipe koloid tanah, dan rasio dari kation Ca2+ dan
kation lainnya.
a. Jumlah Ca Tersedia : Khusus pada tanah-tanah tua seperti Ultisol,
Alfisol dan Oxisols, kandungan CaO tanah umumnya lebih rendah (<10 g/kg)
dibanding tanah-tanah lainnya seperti Aridisol (55 mg.kg-1), Mollisols (16 g. kg-1).
b. pH : pH tanah cukup berpengaruh pada konsentrasi kalsium larutan
tanah. Pada tanah-tanah alkalin, sebagian besar kalsium berasal dari bentuk
CaCO3 yang
kelarutannya kurang lebih 5.6 mg.L-1 (air). Sebagian besar
kebutuhan Ca bagi tanaman yang tumbuh di daerah tersebut cukup tersuplai.
Pada tanah yang ber-pH 5.6 dengan konsentrasi kalsium 0.25 mg. L-1 sudah
cukup memberikan laju pertumbuhan yang maksimum. Sedangkan pada larutan
tanah yang pada pH 4.5 dianggap cukup jika konsentrasinya 2.5 mg Ca2+ L-1.
Akan tetapi bila pH 4,0, pada konsentrasi larutan 5 mg Ca2+ L-1 tidak cukup bagi
tanaman.
c. KTK, Kejenuhan Kalsium, Tipe Koloid Tanah : KTK adalah penting
bagi ketersediaan Ca dalam hubungannya dengan kejenuhan Ca pada koloid
tanah dan tipe koloid tanah. KTK akan meningkat dengan meningkatnya pH
tanah.. Banyak tanaman cukup respon bila kejenuhan Ca menurun di bawah
25%. Liat kaolinit dapat mencapai kejenuhan Ca hanya pada tingkat kejenuhan
antara 40 sampai 50%.
d. Nisbah Kation dengan Kation Lain : Idealnya, distrubusi kation dapat
ditukar pada suatu tanah adalah : 65% Ca; 10% Mg; 5% K dan 20% H, atau
nisbah Ca terhadap kation lainnya adalah : Ca/Mg = 6.5; Ca/K= 13 dan Mg/K=
21. Sedangkan kejenuhan kation Ca yang ideal bagi pertumbuhan tanaman
adalah 65%.
Download