TANTANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2014 Permasalahan Perekonomian Indonesia Meskipun perubahan asumsi makro secara legal formal diatur dalam UU APBN dan meskipun pemerintah berpendapat bahwa perubahan tersebut karena pertimbangan penyesuaian dengan perkembangan perekonomian namun tentunya harus dilihat bagaimana pencapaian atas target-target asumsi tersebut serta dampaknya terhadap masyarakat dan perekonomian. Setidaknya masih ada beberapa tantangan perekonomian makro yang dihadapi Indonesia pada 2014 antara lain yaitu : - Kualitas pertumbuhan ekonomi masih dipertanyakan - Perekonomian masih mengahdapi tekanan inflasi - Nilai Tukar Petani (NTP) masih lemah - Defisit Neraca Perdagangan khususnya sektor migas Asumsi Makro dalam APBN 2014 Adapun asumsi makro dalam APBN 2014 yang sudah disepakati Pemerintah dan DPR adalah sebagai berikut: Tabel 1 Asumsi Makro dalam APBN 2014 Asumsi Makro Kesepakatan Pertumbuhan Ekonomi (%) Inflasi (%) y-o-y Kurs (IDR/USD1) Tk. Suku Bunga SPN 3 bln (%) Harga Minyak (USD/brl) Lifting Minyak (Ribu brl/hari) Lifting Gas (Ribu brl/hari setara minyak) Sumber : Kementerian Keuangan 6,0 5,5 10.500 5,5 105 870 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 1,24 1 Alasan Perubahan1 Alasan yang disampaikan pemerintah terkait dengan perubahan APBN 2014 adalah adanya sejumlah tanntangan yang menuntut pemerintah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Diantaranya adalah : - Masalah kinerja neraca perdagangan, terutama dari ekspor minyak yang diprediksi menurun seiring dengan penurunan lifting minyak yang sudah ditetapkan dalam APBN 2014. Penurunan tersebut diperkirakan jauh deviasinya di bawah 870 ribu barel per hari . Di sisi lain, konsumsi BBM terus meningkat Sementara lifting minyak rata-rata hanya berada pada kisaran 800.000-830.000 barel per hari sepanjang 2014. . Berdasarkan data SKK migas lifting minyak hanya bisa mencapai 814 ribu parel per hari. - Selain itu nilai tukar rupiah tidak bisa sesuai dengan target dalam APBN 2014 sebesar Rp 10.500 per dolar AS. asumsi Rp 10.500 terlalu rendah dibandingkan kondisi sekarang. Berdasarkan perkiraan Kementerian Keuangan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rata-rata sepanjang tahun akan berada pada kisaran Rp11.500-Rp12.000 per dolar AS atau lebih tinggi dari asumsi dalam APBN sebesar Rp10.500 per dolar AS Tidak sesuainya asumsi nilai tukar akan berdampak pada defisit anggaran. Akan terjadi pelebaran defisit anggaran dalam APBNPerubahan, lebih tinggi dari target APBN 2014 yang ditetapkan sebesar 1,69 persen terhadap PDB. - Lifting gas juga diperkirakan hanya berada pada kisaran 1.200 ribu-1.225 ribu barel per hari setara minyak, dibandingkan asumsi dalam APBN 2014 sebesar 1.240 ribu barel per hari setara minyak. - Namun asumsi makro lainnya masih dalam perkiraan pemerintah sepanjang tahun, yaitu pertumbuhan ekonomi 5,86,0 persen, inflasi 5,4-5,7 persen, suku bunga SPN 3 bulan 5,56,0 persen dan harga ICP minyak 103-105 dolar AS per barel - Perubahan asumsi makro tentunya akan berdampak pada penerimaan maupun belanja negara. Jika pertumbuhan ekonomi rendah, pajak akan lebih rendah. 1 http://www.tempo.co/read/news/2014/03/12/087561687/APBN-Perubahan-Diajukan-Setelah-Pemilu dan http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=318474:defisitanggaran-apbn-p-2014-melebar&catid=18:bisnis&Itemid=95 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 2 Kerangka Hukum APBNP 2014 Hampir setiap tahun Pemerintah mengajukan Rancangan UU APBN Perubahan untuk dibahas dengan DPR. Mekanisme APBN Perubahan memang sudah diakomodir dalam UU APBN. Mekanisme UU APBN Perubahan 2014 yang akan diajukan Pemerintah sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 yatu dalam pasal 34. Dalam Pasal 34 UU APBN TA 2014 disebutkan bahwa: (1) Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2014 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2014, apabila terjadi : a. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2014 b. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, c. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi , antar program, dan atau antar jenis belanja dan, atau d. Keadaan yang menyebabkan SAL tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. (2) SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah SAL yang ada di rekening Bank Indonesia yang penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dilaporkan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. (3) Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Anggaran pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 berdasarkan perubahan sebagamana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat sebelum Tahun Anggaran 2014 berakhir. Tantangan Ekonomi Indonesia 2014 1. Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 3 Pertumbuhan ekonomi adalah sama dengan pertumbuhan PDB. Apabila diibaratkan “kue”, PDB adalah besarnya kue tersebut. Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2013 mencapai Rp 9.084 triliun2. Pertubuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 tumbuh 5,78 persen. Pertumbuhan tersebut masih di bawah target ,capaian ini tergolong tinggi di tengah usaha mengurangi defisit transaksi berjalan. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,78 persen termasuk tinggi bahkan di atas prediksi sejumlah pihak yang memproyeksikan 5,6 persen. Pertumbuhan ekonomi tidak sebatas dilihat dari sisi kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya sekedar peningkatan nilai nominal PDB atau peningkatan angka pertumbuhan tetapi bagaimana kualitas dari pertumbuhan ekonomi tersebut tercapai. Alasannya, pertumbuhan ekonomi tidak menciptakan banyak lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Ujung-ujungnya, kesenjangan sosial melebar. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ditopang oleh sektor jasa (nontradable) yang rata-rata tumbuh di atas pertumbuhan PDB itu sendiri. Sementara pertumbuhan rata-rata sektor tradable di bawah laju PDB. Hal ini mengakibatkan minim penyerapan buruh. Sektor penghasil barang terdiri dari sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri manufaktur. Grafik 1. Pertumbuhan Berdasarkan Sektor Keuangan, Real estate, Jasa Perusahaan Pengangkutan dan Komunikasi Perdagangan, Hotel dan Restoran 2014 Konstruksi 2013 2012 Listrik, Gas & Air Bersih 2011 Industri Pengolahan 2010 Pertambangan Pertanian 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Sumber : Kementerian Keuangan, diolah 2 Badan Pusat Statistik Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 4 Dalam Undang-undang APBN dinyatakan bahwa pemerintah harus mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang tercermin dalam penurunan tingkat kemiskinan, penyerapan tenaga kerja maupun penurunan tingkat pengangguran terbuka. Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara target dan capaian pemerintah dalam mengupayakan pertumbuhan yang berkualitas dalam UU APBN. Tabel 2. Ukuran Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas dalam UU APBN Undang-Undang Kemiskinan Penyerapan Tenaga Kerja UU APBN 2010 Target na Capaian 13,33% Target Capaian Penurunan tenaga kerja 3,34 400.000 tenaga sebanyak Kenaikan orang kerja / 1% bekerja pertumbuhan sebanyak 1,46 ekonomi juta orang UU APBN 2011 11,5%-12,5% 12,36% UU APBN 2012 10,5%-11,5% 11,66% 450.000 tenaga kerja/1% pertumbuhan ekonomi UU APBN 2013 9,5%-10,5% 11,37% UU APBN 2014 9%-10,5% na Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Target na Capaian 7,14% na 6,56% Peningkatan orang bekerja sebanyak 1,4 juta orang 6,4%-6,6% 6,14% 450.000 tenaga Penurunan kerja/1% orang bekerja pertumbuhan sebesar 0,01 juta orang 200.000 tenaga na kerja/1% pertumbuhan ekonomi 5,8%-6,1% 6,25% 5,7%-5,9% na na Sumber : UU APBN berbagai tahun & data BPS, diolah Berdasarkan data BPS, nilai gini rasio Indonesia sepanjang tahun 2010-2013 berturut-turut adalah 0.38, 0,41, 0,41 dan 0,413. Pada grafik 2 terlihat bahwa pola pertumbuhan ekonomi cenderung hampir sama dengan pola gini rasio dimana pada tahun 2010-2011 terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain gini rasio meningkat. Tahun 2011-2012 terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi namun gini rasio tetap sama dengan tahun sebelumnya. Untuk tahun 2012-2013 kembali lagi terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan sedikit peningkatan gini rasio. Lima provinsi yang memiliki gini rasio tertinggi untuk tahun 2013 adalah Provinsi Papua (0,442), Provinsi DI Yogyakarta (0,439), Provinsi Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 5 Gorontalo (0,437), Provinsi DKI Jakarta (0.433), dan Provinsi Papua Barat (0,431) Grafik 2. Pertumbuhan Ekonomi dan GIni Rasio Sumber : Kementerian Keuangan dan BPS, diolah 2. Perekonomian Menghadapi Tekanan Inflasi Permasalahan utama lain yang menjadi momok bagi Indonesia adalah tekanan inflasi yang semakin tinggi. Inflasi IHK bulan Januari 2014 mencapai 1,07% (mtm) atau 8,22% (yoy) lebih tinggi bila dibandingkan inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,55% (mtm). Sumber utama pendorong inflasi Januari bersumber dari kelompok volatile food yang mencatat inflasi sebesar 2,89% (mtm), akibat pola penurunan produksi beberapa komoditas di awal tahun yang diperburuk dengan bencana alam dan banjir. Hal ini kemudian mengganggu produksi dan distribusi pangan di berbagai daerah terutama Jawa dan Sumatera. Sementara itu, inflasi administered prices tercatat 1,00% (mtm), akibat dampak kenaikan harga LPG 12 kg. Inflasi inti mencapai 0,56% (mtm), antara lain karena dampak pelemahan nilai tukar Rupiah yang mulai ditransmisikan ke harga jual di Januari , setelah pada tahun sebelumnya sempat ditahan kenaikannya oleh pelaku usaha. Namun, mulai Maret 2014 terjadi pengurangan tekanan inflasi yang berlanjut hingga Aril 2014. yang mencatat deflasi 0,02% (mtm) atau 7,25% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi Maret 2014 sebesar 0,08% (mtm) atau 7,32% (yoy). Namun demikian pengendalian inflasi di 2014 masih cukup berat, apalagi pada bulan-bulan mendatang terjadi momen –momen besar seperti Ramadhan, Idul Fitri dan Natal. Selain itu 2014 juga merupakan tahun politik. Dari dalam negeri, risiko inflasi terutama Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 6 bersumber dari gangguan cuaca dan bencana alam yang menjadi kendala dalam produksi dan kel ancaran distribusi bahan pangan Selain itu, risiko tekanan inflasi juga bersumber dari berlanjutnya dampak pelemahan nilai tukar Rupiah. Untuk mengendalikan inflasi Pemerintah, BI dan TPID perlu koordinasi secara lebih intensif3 3. Nilai Tukar Petani Lemah Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barangbarang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian4. Angka NTP yang tercipta sejatinya merupakan indikator tingkat daya beli masyarakat/petani dan hal ini yang bisa digunakan mengukur kesejahteraan petani dari sisi daya beli terhadap harga barang non pertanian. NTP yang naik berarti daya beli petani meningkat, tetapi bukan berarti tingkat kesejahteraan petani secara nominal meningkat (Muchjidin Rachmat, PSEKP 2011). Kenaikan angka NTP mencerminkan kenaikan harga komoditas pertanian, namun perlu dilihat dan diwaspadai penyebab utama kenaikan tersebut. Secara umum naiknya harga komoditas pertanian dipicu oleh tingginya permintaan, tetapi dari sisi stok dan produksi perlu dilihat juga barangkali justru terjadi penurunan produksi. NTP petani pada Maret 2014 mencapai 101,89 naik dari NTP Februari yang hanya 101,79. Untuk petani perkebunan rakyat naik 0,93% yang terdiri dari perkebunan kakao, perkebunan kopi, perkebunan sawit dan cengkeh. NTP naik nampak pula pada peternakan. NTP peternakan naik 0,04% pada ternak domba, sapi potong, ayam buras. NTP naik artinya menguntungkan petani dengan indeks lebih tinggi dibanding yang dibayarkan pada saat membeli komoditas usaha tani dan konsumsi. Namun ada dua komoditas pertanian yang NTP-nya mengalami penurunan. Itu terjadi pada tanaman pangan seperti jagung, gabah dan cabai sebesar 0,43% termasuk pada sektor hortikultura NTP-nya turun sebesar 0,01%.NTP turun artinya indeks dibayar dan konsumsi meningkat sementara indeks yang diterima nggak naik signifikan. NTP nasional April 2014 sebesar 101,80 atau turun 0,06 persen dibanding NTP bulan sebelumnya.Penurunan NTP dikarenakan Indeks Yanuar Rizki dlam Diskusi Internal dengan Biro Analisa APBN, 7 Mei 2014 4 Kementerian Pertanian 3 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 7 Harga yang Diterima Petani (It) turun 0,05 persen sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) naik sebesar 0,01 persen. Pencapaian angka NTP yang tinggi dan ideal bukan merupakan harga mutlak karena bukan jaminan bahwa kesejahteraan petani meningkat. Nilai NTP tetap pun bukan masalah selama diikuti oleh kenaikan harga komoditas pertanian. Dan yang lebih penting kenaikan harga komoditas pertanian tersebut didorong oleh permintaan konsumsi yang tinggi bukan karena dipicu oleh kelangkaan produk pertanian karena produksi turun. Ada hubungan timbal balik antara kenaikan harga dengan inflasi, sehingga stabilitas harga perlu dijaga dan perlu dilakukan upaya efektif untuk menekan fluktuasi harga komoditas pertanian. Jadi, yang harus menjadi perhatian utama pemerintah dan juga DPR adalah bagaimana upaya peningkatan harga komoditas hasil pertanian agar mampu bersaing dengan harga-harga non pertanian. Dengan demikian komoditas pertanian mampu memiliki daya tukar yang tinggi atas harga faktor produksi dan barang konsumsi rumah tangga dan pada akhirnya bermuara pada keasejahteraan petani secara nyata. 4. Defisit Neraca Perdagangan Masalah lain adalah tingginya impor yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tinggi. Impor yang tinggi karena tingginya impor BBM dan bahan pangan serta bahan-bahan baku industri. Defisit neraca perdagangan Indonesia terbesar disebabkan oleh tingginya importasi minyak Indonesia. Akibatnya, defisit perdagangan migas menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Indonesia. Tabel 3. Neraca Perdagangan Periode : 2009-2014 (Nilai : Juta US$) NO I II Uraian EXPORT 2009 2010 2011 2012 2013 116.510,0 157.779,1 203.496,6 190.020,1 182.551,8 28.039,6 19.018,3 32.633,0 14,53 - NON OIL & GAS 97.491,7 129.739,5 162.019,6 153.042,8 149.918,8 IMPORT **) - OIL & GAS Jan-Mar* 2013 2014 45.415,7 44.317,9 -2,42 -3,41 10,80 37.266,2 36.446,4 -2,20 96.829,2 135.663,3 177.435,6 191.689,5 186.628,7 18,03 45.650,5 43.245,2 -5,27 18.980,7 24,34 11.511,2 11.012,3 -4,33 42.564,2 45.266,4 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 8.149,5 CHANGE (%) 2014/2013 7.871,5 40.701,5 36.977,3 11,45 - OIL & GAS 27.412,7 41.477,0 TREN D(%) 20092013 8 NO Uraian 2009 - NON OIL & GAS III TOTAL IV 2011 2012 2013 Jan-Mar* 2013 2014 CHANGE (%) 2014/2013 77.848,5 108.250,6 136.734,0 149.125,3 141.362,3 16,34 34.139,3 32.232,9 -5,58 213.339,3 293.442,4 380.932,2 381.709,6 369.180,5 14,57 91.066,2 87.563,1 -3,85 77.899,4 19,68 19.660,7 18.883,8 -3,95 175.340,2 237.990,1 298.753,6 302.168,1 291.281,1 13,36 71.405,5 68.679,3 -3,82 - OIL & GAS - NON OIL & GAS 2010 TREN D(%) 20092013 37.999,0 BALANCE 55.452,3 82.178,6 19.680,8 22.115,8 26.061,1 - OIL & GAS 37,6 626,9 775,5 - NON OIL & GAS 19.643,2 21.488,9 25.285,5 79.541,4 -1.669,4 -4.076,9 0,00 -5.586,9 -12.633,4 0,00 3.917,6 8.556,5 -28,57 -234,8 1.072,7 -556,78 -3.361,7 -3.140,8 -6,57 3.126,9 4.213,5 34,75 Sumber : Kementerian Perdagangan Merujuk pada neraca perdagangan tahun 2013, total volume perdagangan Indonesia (ekspor dan impor) mencapai US$ 369 miliarTerjadi defisist neraca perdagangan US$-4,076 M. Defisit neraca perdagangan disumbang oleh besarnya defisit perdagangan migas Indonesia yang mencapai US$ -12,6, miliar. Sementara di sisi lain, perdagangan sektor nonmigas hanya mengalami surplus US$ 8,5 miliar. Pada Triwulan I 2014 memang telah terjadi surplus neraca perdagangan sebesar US$1,07 namun jika dikupas lebih dalam neraca perdagangan migas kita masih deffisit sebesar US$-3,14 dan surplus di neraca peardagangan non migas seabesar US$4,21. Defisit migas menjadi begitu tinggi, akibat importasi minyak kita yang besar sekali. Di samping itu devisa hasil ekspor banyak ditanamkan di bank-bank di luar negeri. Laba investasi asing juga banyak dikirim pulang ke negara asalnya dan tidak ditanamkan kembali di Indonesia5. Kesimpulan - Pertumbuhan ekonomi jangan hanya dilihat secara kuantittaif tetapi juga kualitatif yaitu bagaimana kualitas dari pertumbuhan ekonomi tersebut berupa sejauhmana pertumbuhan ekonmi mampu mengurangi pengangguran, kemiskinan serta mampu mengurangi ketimpangan. - Risiko tekanan inflasi baik yang besrumber dari dalam negeri maupun dari berlanjutnya dampak pelemahan nilai tukar Yanuar Rizki dlam Diskusi Internal dengan Biro Analisa APBN, 7 Mei 2014 5 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 9 Rupiahdapat dikenadalikan jika Pemerintah, BI dan TPID mampu bekerja sama dan koordinasi secara lebih intensif - Terkait dengan Nilai Tukar Petani (NTP) yang perlu diperhatikan adalah bagaimana upaya peningkatan harga komoditas hasil pertanian agar mampu bersaing dengan harga-harga non pertanian. Dengan demikian komoditas pertanian mampu memiliki daya tukar yang tinggi atas harga faktor produksi dan barang konsumsi rumah tangga dan pada akhirnya bermuara pada keasejahteraan petani. - Defisit perdagangan migas menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Indonesia dan devisa hasil ekspor banyak ditanamkan di bank-bank di luar negeri menjadi permasalhan krusial dalamsektor migas Indonesia. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – Setjen DPR RI 10