13 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1.1 Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia merupakan bidang strategis dari organisasi.
Manajemen sumber daya manusia harus dipandang sebagai perluasan dari pandangan
tradisional untuk mengelola orang secara efektif dan untuk itu membutuhkan
pengetahuan tentang perilaku manusia dan kemampuan mengelolanya.
Sumber daya manusia saat ini dianggap paling berharga dan memiliki
peranan yang sangat penting dalam keberadaan serta kelangsungan hidup suatu
perusahaan. Seberapa baik sumber daya manusia dikelola, akan menjadi hal penting
bagi kesuksesan perusahaan di masa mendatang. Pengelolaan sumber daya manusia
yang baik dengan sendirinya akan menjadi bagian yang sangat penting dari tugas
manajemen perusahaan, sebaliknya jika pengelolaan sumber daya manusia yang baik
akan sangat mempengaruhi proses pencapaian tujuan perusahaan.
Menurut Dessler, yang dikutip oleh Sutrisno (2009:5) mengemukakan bahwa,
“Manajemen sumber daya manusia dapat di definisikan sebagai suatu kebijakan dan
praktik yang dibutuhkan seseorang yang menjalankan aspek “orang” atau sumber
daya manusia dari posisi seorang manajemen, meliputi perekrutan, penyaringan,
pelatihan, pengimbalan, dan penilaian.”
Ada pun pengertian manajemen sumber daya manusia menurut Sofyandi
(2009:6) yaitu:
“Suatu strategi dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen yaitu
planning, organizing, leading, and controlling, dalam setiap
aktifitas/fungsi operasional sumber daya manusia mulai dari
proses
penarikan,
seleksi,
pelatihan
dan
pengembangan,
penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian
kinerja, pemberian kompensasi, hubungan industrial, hingga
pemutusan hubungan kerja, yang ditujukan bagi peningkatan
kontribusi produktif dari sumber daya manusia organisasi
13
14
terhadap pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan
efisien.“
Menurut Tua dalam Sunyoto (2012:1) menjelaskan bahwa manajemen sumber
daya manusia didefinisikan: “Human resources management is the activities
undertaken to attact, develop, motivate and maintain a high performing workforce
within the organization” atau dapat diartikan bahwa manajemen sumber daya
manusia adalah aktivitas yang dilakukan untuk merangsang, mengembangkan,
memotivasi dan memelihara kinerja yang tinggi dalam organisasi.
Selain itu terdapat pengertian lain, menurut Bohlarander dan Snell (2010:4)
yakni suatu ilmu yang mempelajari bagaimana memberdayakan karyawan dalam
perusahaan, membuat pekerjaan, kelompok kerja, mengembangkan para karyawan
yang mempunyai kemampuan, mengidentifikasi suatu pendekatan untuk dapat
mengembangkan kinerja karyawan dan memberikan imbalan kepada mereka atas
usahanya dan bekerja. Menurut Schermerhorn (2013) mengatakan bahwa “ Human
Resource Management is a process of attracting,developing,and maintaining a
talented workforce”.
Sedangkan pengertian manajemen sumber daya manusia Flippo dalam Sunyoto
(2012:2) adalah “Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan
kegiatan-kegiatan
pengadaan,
pengembangan,
pemberian
kompensasi,
pengintegerasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai
berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Dari beberapa pendapat diatas menunjukan bahwa manajemen sumber daya
manusia
adalah
manajemen
yang
berhubungan
dengan
perencanaan,
pengorganisasian dan pengawasan terhadap berbagai fungsi pelaksanaan usaha selain
itu juga sebagai salah satu bidang dari manajemen umum yang mengatur manusia,
dan diterima secara universal di dalam sebuah perusahaan agar nantinya sumber daya
manusia dalam sebuah perusahaan dapat berkembang dengan baik.
2.1.1.2 Karakteristik Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Sutrisno (2009) ciri-ciri atau karakteristik dari sumber daya manusia
terdiri dari:
1. Memiliki pengetahuan penuh tentang tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya.
15
2. Memiliki pengetahuan (Knowledges) yang diperlukan, terkait dengan
pelasanaan tugasnya secara penuh.
3. Mampu melaksanakan tugas-tugas yang harus dilakukannya karena
mempunyai keahlian/keterampilan (Skills) yang diperlukan.
4. Bersikap produktif, inovatif/kreatif, mau bekerja sama dengan orang
lain, dapat dipercaya dan loyal.
2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Kegiatan sumber daya manusia merupakan bagian dari proses manajemen
sumber daya manusia yang paling sentral, dan merupakan suatu rangkaian dalam
mencapai tujuan organisasi. Kegiatan tersebut akan berjalan lancar, apabila
memanfaatkan fungsi-fungsi manajemen. Menurut Sutrisno (2009:9) fungsi-fungsi
manajemen sumber daya manusia terdiri dari :
1. Perencanaan
Kegiatan memperkirakan atau menggambarkan di muka tentang keadaan
tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan organisasi secara efektif dan
efisien, dalam membantu terwujudnya tujuan. perencanaan merupakan tahap
awal dari pelaksanaan berbagai aktivitas perusahaan.
2. Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengatur karyawan dengan
menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi
dan koordinasi dalam bentuk bagan organisasi. Organisasi hanya merupakan
alat untuk mencapai tujuan. Organisasi yang baik akan membantu
terwujudnya tujuan secara efektif.
3. Pengarahan dan pengadaan
Kegiatan memberi petunjuk kepada karyawan, agar mau bekerjasama dan
bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan organisasi.
Adapun pengadaan merupakan proses penarikan, seleksi, penempatan,
orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Pengadaan yang baik akan membantu terwujudnya
tujuan.
16
4. Pengendalian
Pengendalian adalah kegiatan mengendalikan karyawan agar mentaati
peraturan organisasi dan bekerja sesuai dengan rencana. Bila terjadi
penyimpangan atau kesalahan diadakan tindakan perbaikan.
5. Pengembangan
Proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual dan moral
karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.
6. Kompensasi
Kompensasi merupakan pemberian balas jasa langsung berupa uang atau
barang kepada karyawan sebagi imbalan jasa yang diberikan kepada
organisasi. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak. Adil diartikan sesuai
dengan prestasi kerja, sedangkan layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan
primer.
7. Pengintergrasian
Kegiatan untuk mempersatukan kepentingan organisasi dan kebutuhan
karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan.
Di satu pihak organisasi memperoleh keberhasilan/keuntungan, sedangkan
di lain pihak pegawai dapat memenuhi kebutuhan dari hasil pekerjaannya.
Pengintegrasian merupakan hal yang penting dan cukup sulit dalam
manajemen sumber daya manusia, karena mempersatukan dua kepentingan
yang berbeda.
8. Pemeliharaan
Kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental dan
loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerjasama sampai pensiun.
9. Kedisiplinan
Kedisiplinan merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia
yang penting dan merupakan kunci terwujudnya tujuan organisasi, karena
tanpa adanya kedisiplinan, maka sulit mewujudkan tujuan yang maksimal.
Kedisiplinan merupakan keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan
organisasi dan norma sosial.
10. Pemberhentian
Pemberhentian merupakan putusnya hubungan kerja seorang karyawan dari
suatu organisasi. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan,
keinginan organisasi, berakhirnya kontrak kerja, pensiun, atau sebab
17
lainnya. Penerapan fungsi manajemen dengan sebaik-baiknya dalam
mengelola pegawai,
akan mempermudah mewujudkan tujuan dan
keberhasilan organisasi.
2.1.1.4 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia diperlukan untuk meningkatkan efektivitas
sumber daya manusia dalam organisasi. Tujuannya adalah memberikan kepada
organisasi satuan kerja yang efektif. Sudah merupakan tugas manajemen sumber
daya manusia untuk mengelola manusia Seefektif mungkin, agar diperoleh suatu
satuan sumber daya manusia yang merasa puas dan memuaskan.
Sedangkan tujuan umum manajemen sumber daya manusia menurut
Cushway dalam Sutrisno (2009) :
1. Memberi pertimbangan manajemen dalam membuat kebijakan sumber
daya manusia untuk memastikan bahwa organisasi memiliki pekerja
yang bermotivasi dan berkinerja yang tinggi, memiliki pekerja yang
selalu siap mengatasi perubahan dan memenuhi kewajiban pekerjaan
secara legal.
2. Mengimplentasikan dan menjaga semua kebijakan dan prosedur
sumber daya manusia yang memungkinkan organisasi mampu
mencapai tujuannya.
3. Membantu dalam pengembangan arah keseluruhan organisasi dan
strategi, khususnya yang berkaitan dengan implikasi sumber daya
manusia.
4. Memberi dukungan dan kondisi yang akan membantu manajemen lini
mencapai tujuannya.
5. Menangani berbagai krisis dan situasi sulit dalam hubungan antar
pekerja untuk meyakinkan bahwa mereka tidak menghambat
organisasi dalam mencapai tujuannya.
6. Menyediakan media komunikasi antara pekerja dan manajemen
organisasi.
7. Bertindak sebagai pemelihara standar organisasional dan nilai dalam
manajemen sumber daya manusia.
18
Menurut Simamora dalam Sunyoto (2012:8) ada empat tujuan manajemen
sumber daya manusia, yaitu:
1. Tujuan sosial
Tujuan sosial manajemen sumber daya manusia adalah agar organisasi
bertanggung jawab secara sosial dan etis terhadap kebutuhan dan
tantangan masyarakat seraya meminimalkan dampak negatif tuntutan
itu
terhadap
organisasi.
Organisasi
bisnis
diharapkan
dapat
meningkatkan kualitas masyarakat dan membantu memecahkan
masalah sosial. Implikasinya,
beberapa organisasi, khususnya
perusahaan-perusahaan besar, telah menambahkan tanggung jawab
sosial ke dalam tujuan perusahaan mereka dan menghubungkan
sumber daya
mereka kepada hal-hal seperti program kesehatan
lingkungan, proyek perbaikan lingkungan, program pelatihan dan
pengembangan golongan minoritas, serta menyelenggarakan dan
mensponsori berbagai acara seni.
2. Tujuan organisasional
Tujuan organisasional manajemen sumber daya manusia adalah
sasaran formal organisasi yang dibuat untuk membantu organisasi
mencapai tujuannya. Departemen sumber daya manusia dibentuk
untuk
membantu
Departemen
para
sumber
manajer
daya
mencapai
manusia
tujuan
organisasi.
meningkatkan
efektivitas
organisasional dengan cara:
•
Meningkatkan produktivitas perusahaan dengan menyediakan
tenaga kerja yang terlatih dan termotivasi dengan baik.
•
Mendayagunakan tenaga kerja secara efisien dan efektif seraya
mampu mengendalikan biaya tenaga kerja.
•
Mengembangkan dan mempertahankan kualitas kehidupan kerja
dengan membuka kesempatan bagi kepuasan kerja dan
aktualisasi diri pegawai.
•
Memastikan bahwa perilaku organisasi sesuai dengan undangundang ketenagakerjaan dengan menyediakan kesempatan kerja
yang sama, lingkungan kerja yang aman, dan perlindungan
terhadap hak pegawai.
19
•
Membantu organisasi mencapai tujuannya.
•
Menyediakan organisasi bagi pegawai-pegawai yang termotivasi
dan terlatih dengan baik.
•
Mengkomunikasikan
kebijakan
etis
dan
perilaku
yang
bertanggung jawab secara sosial.
•
Mengelola perubahan sehingga saling menguntungkan bagi
individu, kelompok, perusahaan, dan masyarakat.
3. Tujuan fungsional
Tujuan fungsional manajemen sumber daya manusia merupakan
tujuan untuk mempertahankan kontribusi departemen sumber daya
manusia pada tingkat yang sesua dengan kebutuhan organisasi.
Departemen sumber daya manusia harus menghadapi peningkatan
kompleksitas pengelolaan sumber daya manusia dengan cara
memberikan konsultasi canggih. Tidak ada yang dapat menggantikan
pengetahuan terbaik dalam bidang seperti kompensasi, pelatihan,
seleksi dan pengembangan organisasi. Departemen semakin dituntut
agar menyediakan program-program rekrutmen, pelatihan, dan
pengembangan yang inovatif dan menemukan pendekatan manajemen
yang akan menahan dan memotivasi orang-orang terbaik. Departemen
sumber daya manusia harus sadar dan mengetahui riset dan praktik
mutakhir dan mampu berfungsi sebagai penguji realitas ketika
manajer lini mengajukan gagasan praktik dan arah yang baru.
4. Tujuan pribadi
Tujuan pribadi adalah tujuan individu dari setiap anggota organisasi
yang hendak dicapai melalui aktivitasnya di dalam organisasi. Jika
tujuan pribadi dan tujuan organisasi tidak cocok atau tidak harmonis,
maka pegawai barangkali memilih untuk menarik diri dari perusahaan.
Konflik antara tujuan pegawai dan tujuan organisasi dapat
menyebabkan keinginan kerja yang lemah, ketidakhadiran, dan
bahkan sabotase. Kalangan pegawai mengharapkan organisasi agar
memuaskan kebutuhan mereka yang terkait dengan pekerjaan. Para
pegawai
akan
efektif
seandainya
mereka
mencapai
organisasional maupun kebutuhan pribadi dalam pekerjaan.
tujuan
20
2.1.2 Job Stress
2.1.2.1 Definisi Stress
Istilah stres berasal dari istilah latin yaitu “stringere” yang mempunyai arti
ketegangan dan tekanan. Menurut Sunyoto (2012:61), menyatakan bahwa stres
mempunyai arti berbeda-beda bagi masing-masing individu. Kemampuan setiap
orang beraneka ragam dalam mengatasi jumlah, intensitas, jenis dan lamanya stres.
Orang lebih mudah membicarakan ketegangan daripada stres. Stres merupakan
sesuatu yang menyangkut interaksi antara individu dan lingkungan yaitu interaksi
antara stimulasi dan respon, dengan demikian stres kerja (Job Stress) adalah
konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan tuntutan
psikologis dan fisik secara berlebihan pada seseorang.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh
tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak
dan tidak terkontrol. Menurut Wirawan (2012) stres merupakan reaksi yang tidak
diharapkan muncul sebagai akibat tingginya tuntutan lingkungan kepada seseorang.
Stres bukanlah sesuatu yang aneh atau yang tidak berkaitan dengan keadaan normal
yang terjadi pada orang yang normal atau tidak semua stres bersifat negatif. Stres
kerja yang dialami oleh karyawan akibat lingkungan yang dihadapinya akan
mempengaruhi kinerja dan kepuasaan kerjanya. Pendapat lain diungkapkan oleh
Davis dalam Suharsono (2012:171), stres kerja adalah kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses pikiran dan kondisi fisik seseorang saat bekerja.
Menurut Fincham & Rhodes yang dikutip oleh Munandar (2008) mengatakan
bahwa stres disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku,
psikologikal dan somatik adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara
orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecapakannya) dan lingkungannya,
yang mengakibatkan tidak ada kemampuan dalam menghadapi berbagai tuntutan
terhadap dirinya secara efektif.
Stres adalah suatu keadaan yang menekan diri dan jiwa seseorang di luar
batas kemampuannya, sehingga jika terus dibiarkan tanpa ada solusi maka ini akan
berdampak pada kesehatannya. Stres tidak timbul begitu saja namun sebab-sebab
stres timbul umumnya diikuti oleh faktor peristiwa yang mempengaruhi kejiwaan
seseorang, dan peristiwa itu terjadi diluar dari kemampuannya sehingga kondisi
tersebut telah menekan jiwanya (Fahmi, 2013). Jika dikelola dengan baik stres kerja
21
justru bisa meningkatkan produktivitas dan kematangan individu. Sebaliknya,
apabila individu tidak mampu mengelola stres yang dialaminya maka cenderung
menjadi tidak produktif (Sekarwangi & Meiyanto, 2012).
Dari beberapa definisi mengenai stres kerja dari beberapa para ahli dapat
disimpulkan yaitu stres kerja merupakan kondisi yang membuat seseorang menjadi
stres karena banyaknya tuntutan, tekanan dan beban kerja yang berlebihan di luar
kemampuan saat bekerja, yang akan mempengaruhi kinerjanya.
2.1.2.2 Jenis – jenis Stress
Quick dan Quick dalam Waluyo (2013:92) membagi jenis stres menjadi dua,
yaitu :
1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat,
positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk
kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan
dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat
kinerja yang tinggi.
2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak
sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut
termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit
kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteesim) yang tinggi,
yang di asosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan , dan kematian.
Eustress adalah stres yang mempunyai efek baik dan dapat mendorong
perfomance kerja menjadi lebih maksimal. Dan jika seseorang merasa tidak mampu
memiliki sumber daya atau modal yang cukup untuk menghadapi tekanan tersebut
maka akan mengalami stres yang berakibat negatif atau yang disebut juga dengan
distress (Sekarwangi & Meiyanto, 2012). Berdasarkan uraian di atas hubungan
eustress dan distress terhadap kinerja lebih jelas di ilustrasikan oleh gambar di
bawah ini :
22
Maximum Health
level & perfomance
level
Optimum
He
alt
h
an
d
Pr
ob
abi
Distress
Eustress
Low
Medium
High
Stress Level
Gambar 2.1 Hubungan Eustress & Distress
Sumber : Bartlett, dalam Sekarwangi & Meiyanto, 2012
2.1.2.3 Job Stress
Menurut Morgan dan King dalam Waluyo (2013:91), stres kerja adalah “...as
an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease
conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by enviromental and
social situations which are evaluates as potentially harmful, uncontrollable, or
exceeding our resources for coping”.
Menurut Slocum/Hellriegel (2009), mengatakan bahwa stres kerja adalah
suatu masalah umum dan mahal di tempat kerja, yang menyentuh beberapa pekerja.
Stress juga dapat didefinisikan sebagai respon adaptif seseorang terhadap rangsangan
yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara berlebihan kepada orang
tersebut (Moorhead & Griffin, 2010)
Stres kerja dapat diartikan sebagai tekanan yang terjadi ketika kita harus
mengerjakan sesuatu yang tidak ingin kita kerjakan. S. Sauter et al. yang dikutip
Andre (2008) berpendapat bahwa stres kerja adalah respon fisik dan emosional
berbahaya yang terjadi ketika persyaratan pekerjaan tidak sesuai kemampuan
pekerja, sumber daya, atau kebutuhan. Kondisi stres yang berkepanjangan juga akan
menyebabkan terjadinya burnout yang secara signifikan terbukti menyebabkan
penurunan
tingkat
produktivitas,
gangguan
kesehatan
fisik,
dan
perilaku
menyimpang yang lebih ekstrim dalam tempat kerja (Langelaan, Bakker, Van
Doornen, & Schaufeli, Chen & Chen dalam Sekarwangi & Meiyanto, 2012).
23
Stres kerja pada intinya merujuk pada kondisi dari pekerjaan yang
mengancam individu. Ancaman ini dapat berasal dari tuntutan pekerjaan itu atau
karena kurang terpenuhinya kebutuhan individu dengan lingkungan kerjanya (Sari
dalam Siska, 2011).
Menurut Daft (2010) mengatakan stres kerja yaitu seperti kesulitan,
ketidaknyamanan, melelahkan dan bahkan menakutkan. Stres kerja juga dapat
menganggu
komunikasi
atau
hubungan
antar
karyawan,
menimbulkan
kelelahan/kejenuhan dalam bekerja yang dapat menyebabkan adanya perasaan
depersonalisasi, kelelahan emosional, dan memicu terjadinya perilaku menyimpang
dalam pekerjaan (Smith, Colbert et al dalam Jurnal Sekarwangi & Meiyanto, 2012).
Menurut Ivancevich dan Matteson, yang dikutip oleh Luthans (2011),
mengatakan bahwa stres kerja didefinisikan sebagai sebuah respon adaptif
(tanggapan penyesuaian) dimediasi oleh perbedaan individu dan atau proses
psikologi, sebagai akibat dari aksi lingkungan, situasi atau peristiwa yang
menyebabkan tuntutan fisik dan atau psikologi secara berlebihan terhadap seseorang.
Menurut Mangkunegara (2011:157) stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami
karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres ini tampak dari symptom, antara lain
emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok
berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan
mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stres kerja antara lain adalah beban
kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan
kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai
yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara
karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja.
Munandar (2008) menyatakan bahwa stres yang dialami tenaga kerja
sebagai hasil atau akibat lain dari proses bekerja, yang dapat berkembang
menjadikan tenaga kerja sakit fisik dan mental, sehingga tidak dapat bekerja lagi
secara optimal.
Sedangkan Beehr and Newman yang dikutip oleh Luthans (2011)
mengartikan stres kerja sebagai sebuah kondisi yang terjadi sebagai hasil interaksi
antara pegawai dengan pekerjaan mereka dan dikarakteristikan atau ditandai oleh
perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal
mereka.
24
Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Job Stress adalah respon
adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau
fisik secara berlebihan kepada orang tersebut. Stres kerja juga dapat menganggu
komunikasi atau hubungan antar karyawan, menimbulkan kelelahan/kejenuhan
dalam bekerja. Kondisi stres yang berkepanjangan juga akan menyebabkan
terjadinya burnout yang secara signifikan terbukti menyebabkan penurunan tingkat
produktivitas, gangguan kesehatan fisik, dan perilaku menyimpang yang lebih
ekstrim dalam tempat kerja.
2.1.2.4 Faktor Penyebab Stress
Menurut Robbins (2008) ada tiga faktor utama yang menyebabkan timbulnya
stres, yaitu:
1. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat mempengaruhi
tingkat stres para karyawan. Ada tiga hal yang dapat menimbulkan
stres pada faktor lingkungan:
a) Ketidakpastian ekonomi
Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan ketidakpastian
ekonomi. Ketika ekonomi memburuk, misalnya, orang akan
merasa cemas terhadap kelangsungan pekerjaan mereka.
b) Politik
Ketidakpastian politik juga mampu memicu stres.
c) Perubahan teknologi
Perubahan teknologi dapat menyebabkan stres karena inovasi inovasi baru dapat membuat ketrampilan dan pengalaman
seorang karyawan jadi usang dalam waktu singkat.
2. Faktor Organisasi
Tidak sedikit faktor didalam organisasi yang dapat menyebabkan
stres. Tekanan untuk menghindari kesalahan atau menyelesaikan
tugas dalam waktu singkat, beban kerja yang berlebih, atasan yang
selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak
menyenangkan. Di dalam organisasi terdapat beberapa faktor yang
dapat menimbulkan stres yaitu:
25
a) Tuntutan tugas
Faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Meliputi:
desain pekerjaan individual (otonomi, keragaman tugas,
tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak fisik
pekerjaan.
Semakin
pentingnya
layanan
pelanggan,
pekerjaan yang menuntut faktor emosional bisa menjadi
sumber stres.
b) Tuntutan peran
Tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi
dari peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi.
Konflik peran menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit
untuk diselesaikan atau dipenuhi. Beban peran yang
berlebihan dialami ketika karyawan diharapkan melakukan
lebih banyak daripada waktu yang ada. Ambiguitas peran
tercipta manakala ekspektasi peran tidak dipahami secara
jelas dan karyawan tidak yakin apa yang harus dilakukan.
c) Tuntutan antar pribadi
Tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Tidak
adanya dukungan dari keluarga dan hubungan antarpribadi
yang buruk dapat menyebabkan stres, terutama di antara
para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial tinggi.
3. Faktor Individu
Faktor ini melibatkan antara lain: masalah keluarga, masalah ekonomi
pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri
seseorang. Survei-survei nasional secara konsisten menunjukkan
bahwa orang sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi.
Faktor individual yang secara signifikan mempengaruhi stres adalah
sifat dasar seseorang. Artinya, gejala-gejala stres yang diekspresikan
pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang
itu.
26
2.1.2.5 Sumber Job Stress
Para ahli yang mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sediri.
Dikutip dalam Waluyo (2013: 93-94), berikut sumber-sumber stres kerja menurut
para ahli:
1. Menurut Soewondo (1992), penyebab stres kerja terdiri dari empat hal
utama,yaitu :
• Kondisi dan situasi pekerjaan
• Pekerjaannya
• Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
• Hubungan interpersonal
2. Menurut Luthans (1992), penyebab stres terdiri atas empat hal utama,
yaitu :
• Extra Organizational Stressor, yang terjadi dari perubahan
sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan komunitas/tempat
tinggal.
• Organizational Stressor, terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi
dalam organisasi.
• Group Stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam
grup,
kurangnya,
dukungan
sosial,
serta
adanya
konflik
intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
• Individual
Stressor,
terdiri
dari
terjadinya
konflik
dan
ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola
kepribadian Tipe A, control personal, learned helplessness, selfefficacy, dan daya tahan psikologis.
2.1.2.6 Dimensi Job Stress
Banyak hal yang dapat menyebabkan stres. Menurut moorhead & Griffith
(2010) membagi stres menjadi dua kategori besar,yaitu :
1. Stressor Organisasi
Berbagai faktor di tempat kerja yang dapat menyebabkan stres, dan di
bagi menjadi empat rangkaian umum, yaitu :
27
•
Tuntutan tugas (Task Demand)
Stressor yang berkaitan dengan tugas spesifik yang dilakukan
oleh seseorang. Diluar tekanan-tekanan terkait tugas spesifik,
aspek lain dari pekerjaan dapat menghadirkan ancaman fisik
pada kesehatan seseorang. Keamanan adalah tuntutan tugas
lainnya yang dapat menimbulkan stres. Ancaman terhadap
keamanan
pekerjaan
dapat
meningkatkan
stres
secara
dramatis. Stressor tuntutan tugas terkahir adalah kelebihan
beban. Kelebihan beban terjadi ketika seseorang mempunyai
lebih banyak pekerjaan dari yang dapat ia tangani. kelebihan
beban dapat bersifat kuantitatif (orang tersebut mempunyai
terlalu banyak tugas untuk dilakukan atau terlalu sedikit waktu
untuk melakukannya) atau kualitatif (orang tersebut mungkin
meyakini bahwa ia kurang mempunyai kemampuan untuk
melakukan pekerjaan tersebut). Tuntutan tugas rendah dapat
menyebabkan kebosanan dan apatis seperti halnya kelebihan
beban dapat menyebabkan ketegangan dan kegelisahan. jadi,
stres terkait-beban-kerja yang moderat adalah yang optimal
karena menyebabkan energi tingakt tinggi dan motivasi.
•
Tuntutan fisik (Physical Demands)
Tuntutan ini merupakan fungsi dari karakteristik fisik dari
situasi dan tugas fisik yang dibutuhkan dalam pekerjaan. Salah
satu elemen yang penting adalah temperatur. Desain kantor
juga dapat menjadi masalah. Kantor yang di desain dengan
buruk dapat mempersulit orang untuk memiliki privasi dan
menyebabkan terlalu banyak atau terlalu sedikit interaksi
sosial. Terlalu banyak interaksi dapat menganggu seseorang
dari tugasnya, sedangkan terlalu sedikit interaksi dapat
menimbulkan kebosanan. Demikian juga, pencahayaan yang
buruk, permukaan kerja yang tidak memadai, dan defisiensidefisensi serupa dapat menciptakan stres.
•
Tuntutan peran (Role Demands)
Sebuah peran (role) adalah serangkaian perilaku yang
diharapkan sehubungan dengan posisi tertentu dalam sebuah
28
kelompok
atau
organisasi.
Dengan
demikian,
peran
mempunyai persyaratan formal (misalnya, terkait pekerjaan
dan eksplisit) dan informal (misalnya, sosial dan implisit).
Individu-individu dalam suatu organisasi atau kelompok kerja
mengharapkan
seseorang
dengan
peran
tertentu
untuk
bertindak dengan cara tertentu. Mereka menyampaikan
ekspektasi ini, baik secara formal maupun informal. Individu
merasakan ekspektasi peran dengan derajat akurasi yang
beragam kemudian berusaha untuk mewujudkan peran
tersebut. Namun “kesalahan” dapat muncul dalam proses ini,
menghasilkan masalah yang memicu stres yang disebut dengan
ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban peran.
•
Tuntutan antarpersonal (Interpersonal Demands)
Stressor ini terdiri dari tiga yaitu : tekanan kelompok,
kepimpinan, dan konflik antarpersonal. Tekanan kelompok
meliputi tekanan untuk membatasi hasil, tekanan untuk
mematuhi norma kelompok. Gaya kepimpinan juga dapat
menyebabkan stres, seperti tidak adanya dukungan sosial dari
pemimpinnya. Kepribadian dan perilaku yang berkonflik juga
dapat menyebabkan stres. konflik dapat terjadi ketika dua
orang atau lebih harus bekerja bersama meskipun kepribadian,
sikap, dan perilaku mereka berbeda.
2. Stressor Kehidupan
Stres dalam situasi organisasi juga dapat dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar organisasi. Stressor
kehidupan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
•
Perubahan kehidupan (Life Change)
Semua perubahan berarti dalam situasi pribadi atau kerja
seseorang yang terlalu banyak perubahan kehidupan dapat
menimbulkan masalah kesehatan.
•
Trauma kehidupan (Life Trauma)
Semua pergolakan dalam kehidupan individu yang mengubah
sikap, emosi atau perilakunya.
29
2.1.3 Work Engagement
2.1.3.1 Definisi Work Engagement
Work Engagement dalam pekerjaan di konsepsikan sebagai anggota
organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya
secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja Mujiasih dan Ratnaningsih
(2012:3). Benthal dalam Mujiasih & Ratnaningsih (2012) berpendapat bahwa
Employee Work Engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa dirinya
menemukan arti diri secara utuh, memiliki motivasi dalam bekerja, maupun
menerima dukungan orang lain secara positif dan mampu bekerja secara efektif dan
efisien di lingkungan kerjanya.
Hewit dalam jurnal Mujiasih dan Ratnaningsih (2012) mendefinisikan
Employee Work Engagement sebagai sikap positif pegawai dan perusahaan
(komitmen, keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya dan pencapaian
keberhasilan perusahaan.
Menurut Federman (2009), Work Engagement karyawan adalah derajat
dimana seorang karyawan mampu berkomiten pada suatu organisasi dan hasil dari
komitmen tersebut ditentukan pada bagaiamana mereka bekerja dan lama masa
bekerja.
Brown dalam jurnal Mujiasih dan Ratnaningsih (2012:3) memberikan definisi
Work Engagement yaitu dimana seorang pekerja dikatakan memiliki Work
Engagement dalam pekerjaannya apabila pekerja tersebut dapat mengidentifikasikan
diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting
untuk dirinya serta untuk organisasi. Pekerja dengan Work Engagement yang tinggi
dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dengan benar-benar
peduli dengan jenis kerja itu. Work Engagement
juga diterjemahkan sebagai
“positive, fulfilling, work related state of mind that is characterized by Vigour,
Dedication, and Absorption” Sabine Sonnentag, dalam jurnal Imawati dan Amalia
(2011).
Work Engagement juga dijelaskan sebagai interaksi dua arah antara pekerja
dan pihak yang memberi pekerjaan (Chartered Institute of Personnel and
Development, 2006 dalam Mujiasih & Ratnaningsih, 2012) pekerja yang Engaged
dikarakterisasikan dengan melingkupi beberapa faktor yang diantaranya: memiliki
30
fokus terhadap motivasi, kepuasan kerja, komitmen, menemukan arti dalam bekerja,
kebanggaan serta memiliki sebuah hubungan dengan visi dan misi keselurihan
sebuah organisasi.
Menurut Development Dimension International dalam Mujiasih dan
ratnaningsih (2012:4 ) Work Engagement terjadi ketika seseorang merasa bernilai,
menikmati dan percaya pada pekerjaan yang mereka lakukan. Institute of Employee
Studies dalam Mujiasih dan ratnaningsih (2012:4) mendefinisikan Employee Work
Engagement sebagai suatu sikap positif dari pekerja terhadap organisasi tempat
dirinya bekerja. Karyawan yang terpacu akan lebih peduli terhadap bisnis organisasi
dan bekerja secara tim untuk meningkatkan performa organisasi.
Dari uraian teori di atas bisa di simpulkan mengenai Work Engagement
merupakan sikap dan perilaku karyawan dalam pemenuhan kerja dengan
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif, afektif dan emosional. Karyawan
akan menemukan arti dalam bekerja, mempunyai kebanggan telah menjadi bagian
dari organisasi tempat ia bekerja. Karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan
sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam waktu dan energi.
2.1.3.2 Karakteristik Work Engagement
Federman (2009:32) mengemukakan bahwa pekerja yang memiliki Work
Engagement yang tinggi di cirikan sebagai berikut :
a.
Fokus dalam menyesuaikan suatu pekerjaan dan juga pada
pekerjaan yang berikutnya.
b.
Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang
lebih besar daripada diri mereka sendiri.
c.
Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam
membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan.
d.
Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan
tingkah laku yang dewasa.
Menurut Hewitt yang dikutip (Schaufeli & Bakker, 2010) karyawan yang
memiliki Work Engagement yang tinggi, secara konsisten mendemonstrasikan tiga
perilaku umum, yaitu:
31
1. Say
Secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia
bekerja kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan
juga kepada pelanggan
2. Stay
Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia
bekerja dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain
3. Strive
Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat
berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi.
Engelbrecht dalam Megani (2012:33) menunjukkan bagaimana Engagement
di terjemahkan menjadi perilaku bahwa orang yang memiliki Engagement mampu
membangkitkan energy dan tetap mempertahankan semangatnya meskipun mereka
berada ditengah-tengah lingkungan kerja yang memiliki moral rendah dan
menyebabkan frustasi, ia juga akan mengerjakan apa yang harus di kerjakan,
memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, dan merasa bahagia atas apa yang
dikerjakannya.
Karyawan yang engaged memiliki energi dan berhubungan secara efektif
dengan aktivitas kerja mereka. Mereka juga melihat diri mereka mampu menghadapi
secara tuntas tuntutan dalam pekerjaan mereka (Schaufeli, dalam Sekarwangi &
Meiyanto, 2012). Pada sisi berlawanan, pekerja yang tidak engaged (disengaged)
hanya hadir secara “fisik” dalam pekerjaannya. Mereka tidak memiliki hasrat dan
semangat untuk bekerja serta hanya sebatas mengikuti kegiatan rutin yang telah ada.
Pekerja dalam kategori ini memiliki keterikatan emosi yang sangat kecil terhadap
tanggung jawabnya, tidak peduli akan tujuan perusahaan, serta sangat jarang terlihat
menikmati pekerjaannya (Inceoglu & Fleck, 2010).
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih
dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan,
menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk
menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa
yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan
mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas dalam Mujiasih
& Ratnaningsih, 2012).
32
Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik pekerja yang engaged tidak
hanya mempunyai kapasitas untuk menjadi energik, tetapi mereka memiliki
komitmen terhadap tujuan serta menunjukkan antusiasme terhadap pekerjaan dan
organisasi. Sehingga Work Engagement berkembang secara aktif dalam suatu
pengaturan di mana adanya hubungan yang kuat antara organisasi dan nilai-nilai
pada setiap individu.
2.1.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement
Robinson et al, dalam Smythe (2007), faktor kunci pendorong dari
engagement karyawan adalah dimana apabila karyawan dapat merasa dihargai dan
dilibatkan (feeling valued and involved), yang mempengaruhi hal ini adalah:
1. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan
2. Karyawan dapat menyalurkan ide/ suara sehingga mereka dapat
merasa berharga.
3. Kesempatan untuk mengembangkan pekerjaan
4. Organisasi memperhatikan akan keberadaan dan kesehatan
karyawan.
Penggerak work engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan
organisasi. Hewitt dalam jurnal Mujiasih & Ratnaningsih (2012) mengemukakan
bahwa engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
penghargaan (total rewards), kondisi perusahaan (company practices), kualitas
kehidupan (quality of life), kesempatan (opportunities), aktivitas pekerjaan yang
dihadapi (work) dan orang lain di sekitar pekerjaan (people). Apabila keenam faktor
tersebut terpenuhi maka akan dicapai high level of engagement, dan keenam faktor
tersebut merupakan faktor yang saling berhubungan.
Menurut Lockwood (2007) engagement merupakan konsep yang kompleks
dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah budaya di dalam tempat bekerja,
komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan
penghargaan serta kepemimpinan yang dianut dan reputasi perusahaan itu sendiri.
2.1.3.4 Tipe Karyawan Berdasarkan Tingkat Engagement
Seorang karyawan yang Engaged akan merasa loyal dan peduli dengan masa
depan organisasinya. Karyawan tersebut memiliki kesediaan untuk melakukan usaha
33
ekstra demi tercapainya tujuan organisasi untuk tumbuh dan berkembang. Gallup
dalam (Rich dan Lepine, 2010:629) mengelompokkan 3 jenis karyawan berdasarkan
tingkat engagement yaitu:
1. Engaged
Karyawan yang engaged adalah seorang pembangun (builder).
Mereka selalu menunjukkan kinerja dengan level yang tinggi.
Karyawan ini akan bersedia menggunakan bakat dan kekuatan
mereka dalam bekerja setiap hari serta selalu bekerja dengan gairah
dan selalu mengembangkan inovasi agar perusahaan berkembang.
2. Not Engaged
Karyawan dalam tipe ini cenderung fokus terhadap tugas
dibandingkan untuk mencapai tujuan dari pekerjaan itu. Mereka
selalu menunggu perintah dan cenderung merasa kontribusi mereka
diabaikan.
3. Actively Disengaged
Karyawan tipe ini adalah penunggu gua “cave dweller”. Mereka
secara konsisten menunjukkan perlawanan pada semua aspek.
Mereka hanya melihat sisi negatif pada berbagai kesempatan dan
setia harinya, tipe actively disengaged ini melemahkan apa yang
dilakukan oleh pekerja yang engaged.
2.1.3.5 Dimensi Work Engagement
Pengukuran indikator pada variabel work engagement akan menggunakan
penelitian menurut Schaufeli (2010), mendefinisikan 3 dimensi dari Work
Engagement sebagai berikut:
1. Vigor
Merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan
dan resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi
kesulitan.
2. Dedication
Aspek ini ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias,
inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang
34
yang
memiliki
mengidentifikasi
skor
dedication
pekerjaan
yang
mereka
tinggi
karena
secara
kuat
menjadikannya
pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu,
mereka biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan
mereka. Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak
mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki
pengalaman bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih lagi
mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka.
3. Absorption
Ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam,
tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan
individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan
segala sesuatu disekitarnya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi
pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh
pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan
untuk
memisahkan
diri
dari
pekerjaan.
Akibatnya,
apapun
disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya
orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan
tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk
berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu di
sekeliling mereka, termasuk waktu.
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young dalam dalam Mujiasih dan
ratnaningsih (2012) Work Engagement mencakup 2 dimensi penting, yaitu :
a. Work Engagement sebagai energi psikis
Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience)
dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam
pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari
perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam
pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga
keterlibatan (involvement).
b. Work Engagement sebagai energi tingkah laku
Bagaimana Work Engagement terlihat oleh orang lain. Work
engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang
berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
35
1) Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan
mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan
akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan
tujuan organisasi.
2) Karyawan yang engaged tidak terikat pada Job Description,
karyawan tersebut akan fokus terhadap tujuan dan mencoba
untuk mencapai kesuksesan organisasi secara konsisten.
3) Karyawan secara aktif akan mencari jalan untuk memperluas
kemampuan
yang
dimiliki
yang
disesuaikan
dengan
kepentingan visi misi perusahaan.
4) Karyawan tidak mudah menyerah walaupun di hadapkan
dengan rintangan dan situasi yang rumit.
2.1.4 Career Orientation
2.1.4.1 Definisi Career
Karir adalah urutan evolusi kegiatan dan posisi profesional yang orang
ikuti, serta sikap, pengetahuan dan keterampilan yang terkait, yang berkembang dari
waktu ke waktu (Purda-Nicoară (Netotea-Suciu) Valeria-Liliana-Amelia, 2012).
Karir mencakup baik kehidupan profesional dan kehidupan pribadi seseorang, dan
link diantara mereka.
Karir adalah suatu pekerjaan (jabatan) yang ditangani atau di pegangan
selama kehidupan kerja seseorang (Sutrisno, 2012). Menurut Greenhaus, dalam
Sutrisno (2012) karir adalah sebuah pola pengalaman yang terkait dengan pekerjaan
(misalnya jabatan, tugas-tugas, keputusan-keputusan, dan interpretasi pribadi tentang
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan), dan kegiatan-kegiatan selama
masa kerja seseorang.
Supriatna (2009:9) mengungkapkan bahwa karir mencakup aspek-aspek
kehidupan yang meliputi; (1) peran-peran hidup (life-roles) seperti sebagai pekerja,
anggota keluarga dan warga masyarakat; (2) adegan-adegan kehidupan (life-setting)
seperti dalam keluarga, lembaga masyarakat, sekolah atau pekerjaan; dan (3)
peristiwa kehidupan (life-events) seperti dalam memasuki pekerjaan, perkawinan,
mutasi pekerjaan, kehilangan pekerjaan. Karir dapat dijadikan sebagai perwujudan
36
diri yang ditandai dengan adanya kebahagiaan atau kepuasaan bagi diri dan
lingkungan sekitar.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa karir
adalah peranan kehidupan individu masa belajar, bekerja maupun pensiun yang
melibatkan keahlian, komitmen, dan tanggung jawab sebagai panggilan dan gaya
hidup sehingga memberikan makna bagi diri sendiri dan orang lain sekitarnya dan
suksesnya karir sangat dipengaruhi oleh dua aspek, pertama kemampuan dan
kemauan untuk melihat jauh kedepan.
2.1.4.2 Definisi Career Orientation
Menurut Maier dalam Gerber, et al., (2009) mengungkapkan “Career
orientation can be definded as attitudes expressed by super ordinate intentions of an
individual
that
will
influence
career-related
decisions”.
Orientasi
karir
merefleksikan kecenderungan seseorang terhadap hubungan antara kesempatan,
keadaan diri sendiri, dan tipe – tipe karir (Gerber et al, 2009). Dalam orientasi karir
yang modern karyawan harus terlibat dalam berbagai aktivitas self -management
career. Yang kegiatannya untuk membuat pilihan karir yang memungkinkan
karyawan untuk mewujudkan target karir masing-masing karyawan. (Javadein et al,
2014).
Konsep career anchor adalah pada pola bakat dan kemampuan yang
dimiliki, nilai-nilai dasar, dan rasa berevolusi dari motif dan kebutuhan
(berhubungan dengan karir) yang mempengaruhi keputusan yang berhubungan
dengan karir seseorang (Schein dalam Coetzee & Villiers, 2010).
Dengan demikian, orientasi karir didefinisikan sebagai sikap seseorang
terhadap pengambilan keputusan karir yang ditunjukkan dengan menetapkan pusat
perhatian serta pemahaman diri dan kesempatan karir yang bertujuan untuk
mewujudkan target karir.
2.1.4.3 Career Anchor
Fakta bahwa orang-orang tertarik pada pilihan karir tertentu adalah
ditentukan berdasarkan tujuannya, nilai-nilai dan kebutuhan pribadi, dan berdasarkan
jumlah lima pola yang disebut tadi disebut juga dengan karir "anchor". Konsep
37
psikologis ini "mengacu pada citra diri manusia itu sendiri" yang melingkupi
"Transfigured way, their condensed motives, values, aspirations, beliefs about their
innate skills and abilities or those developed through work". (Craiovan dalam
Valeria-Liliana-Amelia, 2012). Teori Anchor Career menurut Edgar Schein dalam
Valeria-Liliana-Amelia (2012) :
•
Technical, functional skill
a)
Manusia yang memiliki tipe ini lebih teknis dalam
pekerjaan operasional. Mereka tertarik dalam konten
tenaga kerja, dalam meningkatkan kemampuan mereka dan
keterampilan pribadi di daerah yang ditetapkan secara
jelas.
orang-orang
ini
tidak
tertarik
dalam
posisi
kepemimpinan
b)
Pengakuan profesional: individu didominasi oleh anchor
ini dan didedikasikan untuk kualitas kerja, nilai umpan
balik mereka dari para profesional dan mereka menghargai
pengakuan rekan yang lebih profesional rekan lebih dari
satu dari manajemen
c)
Bidang
favorit:
konsultasi,
penelitian,
proyek
pengelolaan
d)
Remuneration claimed: sesuai dengan kompetensi
mereka
ditunjukkan
oleh
tingkat
pendidikan
dan
pengalaman kerja, nilai ekuitas eksternal (gajinya harus di
bandingkan dengan yang diperoleh oleh orang-orang lain
dengan keterampilan serupa dari organisasi lain), hal itu
juga disebut dengan "portable benefit” (asuransi jiwa,
pensiun dini, dan sebagainya). mereka tidak menghargai
imbalan, perkembangan karir, dan kekuatan.
•
Managerial competence
a)
Kategori ini didominasi oleh individu yang memiliki
keinginan untuk memimpin, untuk mempromosikan ke
posisi manajerial yang tinggi, meskipun orang-orang
seperti itu percaya bahwa spesialisasi adalah kesalahan,
mereka mengakui bahwa karir manajerial yang sukses
38
melibatkan bakat kombinasi, keterampilan dan kompetensi
dalam bidang berikut:
a.
Analitis (kemampuan untuk menganalisis,
synthesize,
mengintegrasikan
solusi
untuk
masalah yang kompleks yang terdiri dari
beberapa bidang, bahkan dengan informasi
yang langka).
b.
Interpersonal (kemampuan untuk mengawasi,
mengendalikan
pengaruh,
memotivasi
dan
efektif memimpin orang lain).
c.
Emotional (kemampuan untuk memobilisasi,
untuk membuat keputusan penting dalam waktu
singkat; untuk beraksi efektif di bawah tekanan
dan menjalankan kekuasaan serta bertanggung
jawab, tanpa rasa bersalah dan demotivasi di
interpersonal dan krisis organisasi).
b)
Kegiatan favoritnya bervariasi seperti sesuatu yang
menantang dan melibatkan tanggung jawab yang tinggi.
c)
Orang-orang ini ingin dibayar dengan baik, mereka lebih
memilih dinilai oleh kriteria ekuitas domestik (yang akan
dibayar lebih baik dibandingkan mereka yang bekerja di
posisi yang lebih rendah di organisasi) dan mereka
menghargai penghargaan langsung (bonus).
d)
Pengakuan profesional: mereka sering menilai promosi,
sistem meritocratic dan status (kantor mewah, mobil, dll).
• Security / stability / safety
a) Individu dengan anchor ini adalah tradisional, konformis,
mereka
dengan mudah memperoleh value organisasi
mereka , dan mereka menghormati aturan. Individu seperti
ini adil dan nilai yang berlaku adalah bahwa keamanan,
tercermin dalam keamanan kerja jangka panjang dalam
suatu organisasi yang stabil finansialnya.
39
b) Sistem reward disukai: dengan konstan dan pembayaran
dapat
diprediksi,
pengalamannya
tercermin
dalam
senioritas, dan juga asuransi jiwa atau program pensiun.
c) Mereka memilih untuk diakui untuk kesetiaan mereka dan
konsistensi kinerja.
• Independence, Autonomy
a) Individu dengan karir anchor termasuk dalam hal ini nilai
segmen paling otonomi dan tidak adanya batasan (jadwal,
pakaian, aturan yang diberlakukan, dll). Individu yang
intuitif, dengan mobilitas yang besar, yang bertujuan
mengambil keuntungan dari kesempatan yang ditawarkan
oleh tenaga kerja pasar, percaya diri dalam gaya mereka
sendiri dan memiliki kecepatan kerja disesuaikan dengan
kriteria pribadi mereka.
b) Bidang yang sesuai: seni, media, akademis, proyek
manajemen, wirausaha, mandiri.
c) Mereka menerima benefit kerja (upah, bonus dan lain-lain)
kerja berdasarkan kinerja.
d) Prinsip favorit mereka mempromosikan dan meningkatkan
otonomi.
e) Bentuk pengakuan surat rekomendasi, penghargaan,
medali.
• Entrepreneurial Creativity
Individu dalam yang komponen di dominasi oleh individu
kreatif, inventif, dan mereka dalam keadaan kecemasan terusmenerus, tertarik untuk mengembangkan proyek-proyek untuk
mendapatkan sesuatu yang baru. Seringkali individu ini dapat
mengembangkan bisnis mereka sendiri atau mereka dapat menjadi
penemu bisnis atau produk, tetapi mereka bosan dengan tugas dan
mungkin memiliki manajer yang lemah, meskipun semangat
kewirausahaan mereka ada, mereka menghargai kekuatan, mobilitas
dan mereka tertarik untuk mendapatkan lebih banyak nilai kekayaan
sebagai tanda keberhasilan.
•
The Lifestyle Anchor
40
Individu dengan anchor ini sering ditandai bekerja secara
profesional dan kerja terus-menerus bertujuan untuk memperkuat
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka sangat
menghargai fleksibilitas dalam upaya untuk memenuhi persyaratan
karir dan kehidupan pribadi.
•
The Competition Anchor
Orang-orang ini tertarik dalam berbagai profesi, dan harus
semakin menantang. Mereka menganggap karir kompetisinya tidak
pernah berakhir, dan sebagai sarana untuk menaklukkan posisi
organizatoric baru.
•
Cause-dedication Anchor
a) Orang di segmen ini lebih memilih pekerjaan di mana mereka
dapat menempatkan dalam praktek nilai-nilai mereka sendiri,
yang didasarkan pada keahlian mereka.
b) Pekerjaan favorit mereka adalah yang melibatkan altruism,
pekerjaan
sosial,
kedokteran,
pendidikan,
lingkungan
perlindungan, dan sebagainya.
c) Orang-orang ini dibayaran berdasarkan prestasi dan kinerja
dan mereka mencari promosi yang meningkatkan otonomi
mereka.
2.1.4.4 Dimensi Career Orientation
Karir adalah proses dinamis, pemilihan dan evolusi temporal yang
dipengaruhi oleh banyak faktor (Căprărescu, Stancu dan Anghel dalam ValeriaLiliana-Amelia, 2012), termasuk:
1. Individual’s Personality
Dimensi ini merupakan sebuah perilaku atau sikap dari
karyawan. Beberapa indikator dari individu’s personality meliputi
perilaku Agreeableness menggambarkan individu yang mudah
bekerjasama,
perilaku
Conscientiousness
tentang
keteraturan,
kedisiplinan dan Risk propensity sejauh mana seorang individu
bersedia mengambil risiko dan membuat keputusan-keputusan
berisiko.
41
2. Self-perception
Karyawan yang memiliki orientasi karir yang tinggi adalah
karyawan yang memiliki persepsi bahwa ia dapat berkembang
karirnya di suatu perusahaan atau organisasi, dan bagaimana
perusahaan atau organisasi tersebut dapat membantu karyawan
tersebut dalam perkembangan karirnya.
3. Level and Type of Individual Motivation
Tipe motivasi di bagi menjadi dua , yaitu motivasi intrinsik,
motivasi intrinsik sebagai motivasi yang timbul dari dalam diri
individu itu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas
dasar kemauan sendiri dan selanjutnya adalah motivasi ekstrinsik.
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul akibat pengaruh dari
luar individu, apakah karena ajakan, suruhan atau paksaan dari orang
lain sehingga dengan keadaan demikian seseorang mau melakukan
sesuatu.
4. Organization's Attitude Towards Employees
Secara ideal, hubungan pegawai dan organisasi berada dalam
hubungan yang saling menguntungkan, sehingga pada saat yang
demikian organisasi dapat mencapai produktifitas kerja yang lebih
tinggi perusahaan yang berorientasi pada karir akan memperlakukan
karyawan sebagai sumber daya yang berharga, yang harus dilatih
dengan mengadakan training atau pelatihan. Kunci penerapan karir
semacam ini adalah adanya mobilitas dan kesempatan karir internal
bagi para karyawan.
5. Extent and Pace of Changes in The External Environment
Fokus eksternal menyebabkan pengembangan karir seseorang
perlu didukung oleh keadaan lingkungan eksternalnya. Dalam hal ini
yang menjadi fokus adalah bagaimana perkembangan karir di luar
perusahaan, semakin baik karir yang di tawarkan diluar perusahan
akan membuat karyawan berpikir untuk dapat mendorong karir
karyawan itu sendiri.
6. Changes in The Labor Market
Rekrutmen yang efektif memerlukan tersedianya informasi
yang akurat dan berkesinambungan mengenai jumlah dan kualifikasi
42
individu yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai pekerjaan
dalam organisasi. Tujuan Rekrutmen adalah untuk menarik caloncalon karyawan yang baik agar mau bergabung dengan perusahaan.
Semakin banyak jumlah recruitment maka semakin tinggi persaingan
yang ada di organisasi atau perusahaan tersebut maka individu
tersebut harus meningkatkan orientasi karirnya agar dapat bersaing
dengan pencari kerja lainnya. Dan jika recruitment tersebut
berkualitas baik maka karyawan akan terdorong untuk meningkatkan
orientasi karirnya.
2.2 Kerangka Penelitian
Career Orientation (Z)
Job Stress (X)
Moorhead & Griffin,
2010
•
•
•
•
Căprărescu, Stancu dan
Anghel, 2009
Work Engagement
(Y)
Schaufeli. 2010
Tuntutan tugas
Tuntutan fisik
Tuntutan peran
Tuntutan
antarpersonal
T-2
T-1
•
•
•
Vigour
Dedication
Absorption
•
Individual’s personality
•
Self-perception
•
Level
and
type
of
individual motivation
•
Organization's
attitude
towards employees
•
Extent
and
pace
of
changes in the external
environment
T-3
•
Changes
market
Gambar 2.2 Kerangka Penelitian
Sumber: Penulis, 2016
2.3 Hipotesis
Berikut ini adalah hipotesis penelitian berdasarkan tujuan-tujuan dari
penelitian:
•
Hipotesis untuk T-1
in
the
labor
43
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Job Stress terhadap Work
Engagement.
Ho : Tidak ada pengaruh antara Job Stress terhadap Work
Engagement.
Ha : Ada pengaruh antara Job Stress terhadap Work Engagement.
•
Hipotesis untuk T-2
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Work Engagement
terhadap Career Orientation.
Ho : Tidak ada pengaruh antara Work Engagement terhadap
Career Orientation.
Ha : Ada pengaruh antara Work Engagement terhadap Career
Orientation..
•
Hipotesis untuk T-3
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Job Stress terhadap
Career Orientation.
Ho : Tidak pengaruh antara Job Stress terhadap Career
Orientation.
Ha : Ada pengaruh antara Job Stress terhadap Career Orientation.
•
Hipotesis untuk T-4
Untuk mengetahui peranan Work Engagement dalam memediasi
pengaruh Job Stress terhadap Career Orientation
Ho : Tidak ada pengaruh antara Job Stress terhadap Career
Orientation dengan Work Engagement sebagai mediator
Ha : Ada pengaruh antara Job Stress terhadap Career Orientation
dengan Work Engagement sebagai mediator
44
Download