BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1.1 Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia merupakan bidang strategis dari organisasi. Manajemen sumber daya manusia harus dipandang sebagai perluasan dari pandangan tradisional untuk mengelola orang secara efektif dan untuk itu membutuhkan pengetahuan tentang perilaku manusia dan kemampuan mengelolanya. Sumber daya manusia saat ini dianggap paling berharga dan memiliki peranan yang sangat penting dalam keberadaan serta kelangsungan hidup suatu perusahaan. Seberapa baik sumber daya manusia dikelola, akan menjadi hal penting bagi kesuksesan perusahaan di masa mendatang. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik dengan sendirinya akan menjadi bagian yang sangat penting dari tugas manajemen perusahaan, sebaliknya jika pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan sangat mempengaruhi proses pencapaian tujuan perusahaan. Menurut Dessler, yang dikutip oleh Sutrisno (2009:5) mengemukakan bahwa, “Manajemen sumber daya manusia dapat di definisikan sebagai suatu kebijakan dan praktik yang dibutuhkan seseorang yang menjalankan aspek “orang” atau sumber daya manusia dari posisi seorang manajemen, meliputi perekrutan, penyaringan, pelatihan, pengimbalan, dan penilaian.” Ada pun pengertian manajemen sumber daya manusia menurut Sofyandi (2009:6) yaitu: “Suatu strategi dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, leading, and controlling, dalam setiap aktifitas/fungsi operasional sumber daya manusia mulai dari proses penarikan, seleksi, pelatihan dan pengembangan, penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian kinerja, pemberian kompensasi, hubungan industrial, hingga pemutusan hubungan kerja, yang ditujukan bagi peningkatan kontribusi produktif dari sumber daya manusia organisasi 13 14 terhadap pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien.“ Menurut Tua dalam Sunyoto (2012:1) menjelaskan bahwa manajemen sumber daya manusia didefinisikan: “Human resources management is the activities undertaken to attact, develop, motivate and maintain a high performing workforce within the organization” atau dapat diartikan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah aktivitas yang dilakukan untuk merangsang, mengembangkan, memotivasi dan memelihara kinerja yang tinggi dalam organisasi. Selain itu terdapat pengertian lain, menurut Bohlarander dan Snell (2010:4) yakni suatu ilmu yang mempelajari bagaimana memberdayakan karyawan dalam perusahaan, membuat pekerjaan, kelompok kerja, mengembangkan para karyawan yang mempunyai kemampuan, mengidentifikasi suatu pendekatan untuk dapat mengembangkan kinerja karyawan dan memberikan imbalan kepada mereka atas usahanya dan bekerja. Menurut Schermerhorn (2013) mengatakan bahwa “ Human Resource Management is a process of attracting,developing,and maintaining a talented workforce”. Sedangkan pengertian manajemen sumber daya manusia Flippo dalam Sunyoto (2012:2) adalah “Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan kegiatan-kegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegerasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat. Dari beberapa pendapat diatas menunjukan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah manajemen yang berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan terhadap berbagai fungsi pelaksanaan usaha selain itu juga sebagai salah satu bidang dari manajemen umum yang mengatur manusia, dan diterima secara universal di dalam sebuah perusahaan agar nantinya sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan dapat berkembang dengan baik. 2.1.1.2 Karakteristik Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Sutrisno (2009) ciri-ciri atau karakteristik dari sumber daya manusia terdiri dari: 1. Memiliki pengetahuan penuh tentang tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya. 15 2. Memiliki pengetahuan (Knowledges) yang diperlukan, terkait dengan pelasanaan tugasnya secara penuh. 3. Mampu melaksanakan tugas-tugas yang harus dilakukannya karena mempunyai keahlian/keterampilan (Skills) yang diperlukan. 4. Bersikap produktif, inovatif/kreatif, mau bekerja sama dengan orang lain, dapat dipercaya dan loyal. 2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Kegiatan sumber daya manusia merupakan bagian dari proses manajemen sumber daya manusia yang paling sentral, dan merupakan suatu rangkaian dalam mencapai tujuan organisasi. Kegiatan tersebut akan berjalan lancar, apabila memanfaatkan fungsi-fungsi manajemen. Menurut Sutrisno (2009:9) fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia terdiri dari : 1. Perencanaan Kegiatan memperkirakan atau menggambarkan di muka tentang keadaan tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan organisasi secara efektif dan efisien, dalam membantu terwujudnya tujuan. perencanaan merupakan tahap awal dari pelaksanaan berbagai aktivitas perusahaan. 2. Pengorganisasian Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengatur karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi dan koordinasi dalam bentuk bagan organisasi. Organisasi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Organisasi yang baik akan membantu terwujudnya tujuan secara efektif. 3. Pengarahan dan pengadaan Kegiatan memberi petunjuk kepada karyawan, agar mau bekerjasama dan bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan organisasi. Adapun pengadaan merupakan proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pengadaan yang baik akan membantu terwujudnya tujuan. 16 4. Pengendalian Pengendalian adalah kegiatan mengendalikan karyawan agar mentaati peraturan organisasi dan bekerja sesuai dengan rencana. Bila terjadi penyimpangan atau kesalahan diadakan tindakan perbaikan. 5. Pengembangan Proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan. 6. Kompensasi Kompensasi merupakan pemberian balas jasa langsung berupa uang atau barang kepada karyawan sebagi imbalan jasa yang diberikan kepada organisasi. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak. Adil diartikan sesuai dengan prestasi kerja, sedangkan layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan primer. 7. Pengintergrasian Kegiatan untuk mempersatukan kepentingan organisasi dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan. Di satu pihak organisasi memperoleh keberhasilan/keuntungan, sedangkan di lain pihak pegawai dapat memenuhi kebutuhan dari hasil pekerjaannya. Pengintegrasian merupakan hal yang penting dan cukup sulit dalam manajemen sumber daya manusia, karena mempersatukan dua kepentingan yang berbeda. 8. Pemeliharaan Kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerjasama sampai pensiun. 9. Kedisiplinan Kedisiplinan merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia yang penting dan merupakan kunci terwujudnya tujuan organisasi, karena tanpa adanya kedisiplinan, maka sulit mewujudkan tujuan yang maksimal. Kedisiplinan merupakan keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan organisasi dan norma sosial. 10. Pemberhentian Pemberhentian merupakan putusnya hubungan kerja seorang karyawan dari suatu organisasi. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan organisasi, berakhirnya kontrak kerja, pensiun, atau sebab 17 lainnya. Penerapan fungsi manajemen dengan sebaik-baiknya dalam mengelola pegawai, akan mempermudah mewujudkan tujuan dan keberhasilan organisasi. 2.1.1.4 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sumber daya manusia dalam organisasi. Tujuannya adalah memberikan kepada organisasi satuan kerja yang efektif. Sudah merupakan tugas manajemen sumber daya manusia untuk mengelola manusia Seefektif mungkin, agar diperoleh suatu satuan sumber daya manusia yang merasa puas dan memuaskan. Sedangkan tujuan umum manajemen sumber daya manusia menurut Cushway dalam Sutrisno (2009) : 1. Memberi pertimbangan manajemen dalam membuat kebijakan sumber daya manusia untuk memastikan bahwa organisasi memiliki pekerja yang bermotivasi dan berkinerja yang tinggi, memiliki pekerja yang selalu siap mengatasi perubahan dan memenuhi kewajiban pekerjaan secara legal. 2. Mengimplentasikan dan menjaga semua kebijakan dan prosedur sumber daya manusia yang memungkinkan organisasi mampu mencapai tujuannya. 3. Membantu dalam pengembangan arah keseluruhan organisasi dan strategi, khususnya yang berkaitan dengan implikasi sumber daya manusia. 4. Memberi dukungan dan kondisi yang akan membantu manajemen lini mencapai tujuannya. 5. Menangani berbagai krisis dan situasi sulit dalam hubungan antar pekerja untuk meyakinkan bahwa mereka tidak menghambat organisasi dalam mencapai tujuannya. 6. Menyediakan media komunikasi antara pekerja dan manajemen organisasi. 7. Bertindak sebagai pemelihara standar organisasional dan nilai dalam manajemen sumber daya manusia. 18 Menurut Simamora dalam Sunyoto (2012:8) ada empat tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu: 1. Tujuan sosial Tujuan sosial manajemen sumber daya manusia adalah agar organisasi bertanggung jawab secara sosial dan etis terhadap kebutuhan dan tantangan masyarakat seraya meminimalkan dampak negatif tuntutan itu terhadap organisasi. Organisasi bisnis diharapkan dapat meningkatkan kualitas masyarakat dan membantu memecahkan masalah sosial. Implikasinya, beberapa organisasi, khususnya perusahaan-perusahaan besar, telah menambahkan tanggung jawab sosial ke dalam tujuan perusahaan mereka dan menghubungkan sumber daya mereka kepada hal-hal seperti program kesehatan lingkungan, proyek perbaikan lingkungan, program pelatihan dan pengembangan golongan minoritas, serta menyelenggarakan dan mensponsori berbagai acara seni. 2. Tujuan organisasional Tujuan organisasional manajemen sumber daya manusia adalah sasaran formal organisasi yang dibuat untuk membantu organisasi mencapai tujuannya. Departemen sumber daya manusia dibentuk untuk membantu Departemen para sumber manajer daya mencapai manusia tujuan organisasi. meningkatkan efektivitas organisasional dengan cara: • Meningkatkan produktivitas perusahaan dengan menyediakan tenaga kerja yang terlatih dan termotivasi dengan baik. • Mendayagunakan tenaga kerja secara efisien dan efektif seraya mampu mengendalikan biaya tenaga kerja. • Mengembangkan dan mempertahankan kualitas kehidupan kerja dengan membuka kesempatan bagi kepuasan kerja dan aktualisasi diri pegawai. • Memastikan bahwa perilaku organisasi sesuai dengan undangundang ketenagakerjaan dengan menyediakan kesempatan kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman, dan perlindungan terhadap hak pegawai. 19 • Membantu organisasi mencapai tujuannya. • Menyediakan organisasi bagi pegawai-pegawai yang termotivasi dan terlatih dengan baik. • Mengkomunikasikan kebijakan etis dan perilaku yang bertanggung jawab secara sosial. • Mengelola perubahan sehingga saling menguntungkan bagi individu, kelompok, perusahaan, dan masyarakat. 3. Tujuan fungsional Tujuan fungsional manajemen sumber daya manusia merupakan tujuan untuk mempertahankan kontribusi departemen sumber daya manusia pada tingkat yang sesua dengan kebutuhan organisasi. Departemen sumber daya manusia harus menghadapi peningkatan kompleksitas pengelolaan sumber daya manusia dengan cara memberikan konsultasi canggih. Tidak ada yang dapat menggantikan pengetahuan terbaik dalam bidang seperti kompensasi, pelatihan, seleksi dan pengembangan organisasi. Departemen semakin dituntut agar menyediakan program-program rekrutmen, pelatihan, dan pengembangan yang inovatif dan menemukan pendekatan manajemen yang akan menahan dan memotivasi orang-orang terbaik. Departemen sumber daya manusia harus sadar dan mengetahui riset dan praktik mutakhir dan mampu berfungsi sebagai penguji realitas ketika manajer lini mengajukan gagasan praktik dan arah yang baru. 4. Tujuan pribadi Tujuan pribadi adalah tujuan individu dari setiap anggota organisasi yang hendak dicapai melalui aktivitasnya di dalam organisasi. Jika tujuan pribadi dan tujuan organisasi tidak cocok atau tidak harmonis, maka pegawai barangkali memilih untuk menarik diri dari perusahaan. Konflik antara tujuan pegawai dan tujuan organisasi dapat menyebabkan keinginan kerja yang lemah, ketidakhadiran, dan bahkan sabotase. Kalangan pegawai mengharapkan organisasi agar memuaskan kebutuhan mereka yang terkait dengan pekerjaan. Para pegawai akan efektif seandainya mereka mencapai organisasional maupun kebutuhan pribadi dalam pekerjaan. tujuan 20 2.1.2 Job Stress 2.1.2.1 Definisi Stress Istilah stres berasal dari istilah latin yaitu “stringere” yang mempunyai arti ketegangan dan tekanan. Menurut Sunyoto (2012:61), menyatakan bahwa stres mempunyai arti berbeda-beda bagi masing-masing individu. Kemampuan setiap orang beraneka ragam dalam mengatasi jumlah, intensitas, jenis dan lamanya stres. Orang lebih mudah membicarakan ketegangan daripada stres. Stres merupakan sesuatu yang menyangkut interaksi antara individu dan lingkungan yaitu interaksi antara stimulasi dan respon, dengan demikian stres kerja (Job Stress) adalah konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik secara berlebihan pada seseorang. Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Menurut Wirawan (2012) stres merupakan reaksi yang tidak diharapkan muncul sebagai akibat tingginya tuntutan lingkungan kepada seseorang. Stres bukanlah sesuatu yang aneh atau yang tidak berkaitan dengan keadaan normal yang terjadi pada orang yang normal atau tidak semua stres bersifat negatif. Stres kerja yang dialami oleh karyawan akibat lingkungan yang dihadapinya akan mempengaruhi kinerja dan kepuasaan kerjanya. Pendapat lain diungkapkan oleh Davis dalam Suharsono (2012:171), stres kerja adalah kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran dan kondisi fisik seseorang saat bekerja. Menurut Fincham & Rhodes yang dikutip oleh Munandar (2008) mengatakan bahwa stres disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecapakannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan tidak ada kemampuan dalam menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif. Stres adalah suatu keadaan yang menekan diri dan jiwa seseorang di luar batas kemampuannya, sehingga jika terus dibiarkan tanpa ada solusi maka ini akan berdampak pada kesehatannya. Stres tidak timbul begitu saja namun sebab-sebab stres timbul umumnya diikuti oleh faktor peristiwa yang mempengaruhi kejiwaan seseorang, dan peristiwa itu terjadi diluar dari kemampuannya sehingga kondisi tersebut telah menekan jiwanya (Fahmi, 2013). Jika dikelola dengan baik stres kerja 21 justru bisa meningkatkan produktivitas dan kematangan individu. Sebaliknya, apabila individu tidak mampu mengelola stres yang dialaminya maka cenderung menjadi tidak produktif (Sekarwangi & Meiyanto, 2012). Dari beberapa definisi mengenai stres kerja dari beberapa para ahli dapat disimpulkan yaitu stres kerja merupakan kondisi yang membuat seseorang menjadi stres karena banyaknya tuntutan, tekanan dan beban kerja yang berlebihan di luar kemampuan saat bekerja, yang akan mempengaruhi kinerjanya. 2.1.2.2 Jenis – jenis Stress Quick dan Quick dalam Waluyo (2013:92) membagi jenis stres menjadi dua, yaitu : 1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat kinerja yang tinggi. 2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteesim) yang tinggi, yang di asosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan , dan kematian. Eustress adalah stres yang mempunyai efek baik dan dapat mendorong perfomance kerja menjadi lebih maksimal. Dan jika seseorang merasa tidak mampu memiliki sumber daya atau modal yang cukup untuk menghadapi tekanan tersebut maka akan mengalami stres yang berakibat negatif atau yang disebut juga dengan distress (Sekarwangi & Meiyanto, 2012). Berdasarkan uraian di atas hubungan eustress dan distress terhadap kinerja lebih jelas di ilustrasikan oleh gambar di bawah ini : 22 Maximum Health level & perfomance level Optimum He alt h an d Pr ob abi Distress Eustress Low Medium High Stress Level Gambar 2.1 Hubungan Eustress & Distress Sumber : Bartlett, dalam Sekarwangi & Meiyanto, 2012 2.1.2.3 Job Stress Menurut Morgan dan King dalam Waluyo (2013:91), stres kerja adalah “...as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by enviromental and social situations which are evaluates as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping”. Menurut Slocum/Hellriegel (2009), mengatakan bahwa stres kerja adalah suatu masalah umum dan mahal di tempat kerja, yang menyentuh beberapa pekerja. Stress juga dapat didefinisikan sebagai respon adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara berlebihan kepada orang tersebut (Moorhead & Griffin, 2010) Stres kerja dapat diartikan sebagai tekanan yang terjadi ketika kita harus mengerjakan sesuatu yang tidak ingin kita kerjakan. S. Sauter et al. yang dikutip Andre (2008) berpendapat bahwa stres kerja adalah respon fisik dan emosional berbahaya yang terjadi ketika persyaratan pekerjaan tidak sesuai kemampuan pekerja, sumber daya, atau kebutuhan. Kondisi stres yang berkepanjangan juga akan menyebabkan terjadinya burnout yang secara signifikan terbukti menyebabkan penurunan tingkat produktivitas, gangguan kesehatan fisik, dan perilaku menyimpang yang lebih ekstrim dalam tempat kerja (Langelaan, Bakker, Van Doornen, & Schaufeli, Chen & Chen dalam Sekarwangi & Meiyanto, 2012). 23 Stres kerja pada intinya merujuk pada kondisi dari pekerjaan yang mengancam individu. Ancaman ini dapat berasal dari tuntutan pekerjaan itu atau karena kurang terpenuhinya kebutuhan individu dengan lingkungan kerjanya (Sari dalam Siska, 2011). Menurut Daft (2010) mengatakan stres kerja yaitu seperti kesulitan, ketidaknyamanan, melelahkan dan bahkan menakutkan. Stres kerja juga dapat menganggu komunikasi atau hubungan antar karyawan, menimbulkan kelelahan/kejenuhan dalam bekerja yang dapat menyebabkan adanya perasaan depersonalisasi, kelelahan emosional, dan memicu terjadinya perilaku menyimpang dalam pekerjaan (Smith, Colbert et al dalam Jurnal Sekarwangi & Meiyanto, 2012). Menurut Ivancevich dan Matteson, yang dikutip oleh Luthans (2011), mengatakan bahwa stres kerja didefinisikan sebagai sebuah respon adaptif (tanggapan penyesuaian) dimediasi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi, sebagai akibat dari aksi lingkungan, situasi atau peristiwa yang menyebabkan tuntutan fisik dan atau psikologi secara berlebihan terhadap seseorang. Menurut Mangkunegara (2011:157) stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres ini tampak dari symptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stres kerja antara lain adalah beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja. Munandar (2008) menyatakan bahwa stres yang dialami tenaga kerja sebagai hasil atau akibat lain dari proses bekerja, yang dapat berkembang menjadikan tenaga kerja sakit fisik dan mental, sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal. Sedangkan Beehr and Newman yang dikutip oleh Luthans (2011) mengartikan stres kerja sebagai sebuah kondisi yang terjadi sebagai hasil interaksi antara pegawai dengan pekerjaan mereka dan dikarakteristikan atau ditandai oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. 24 Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Job Stress adalah respon adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara berlebihan kepada orang tersebut. Stres kerja juga dapat menganggu komunikasi atau hubungan antar karyawan, menimbulkan kelelahan/kejenuhan dalam bekerja. Kondisi stres yang berkepanjangan juga akan menyebabkan terjadinya burnout yang secara signifikan terbukti menyebabkan penurunan tingkat produktivitas, gangguan kesehatan fisik, dan perilaku menyimpang yang lebih ekstrim dalam tempat kerja. 2.1.2.4 Faktor Penyebab Stress Menurut Robbins (2008) ada tiga faktor utama yang menyebabkan timbulnya stres, yaitu: 1. Faktor Lingkungan Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat mempengaruhi tingkat stres para karyawan. Ada tiga hal yang dapat menimbulkan stres pada faktor lingkungan: a) Ketidakpastian ekonomi Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketika ekonomi memburuk, misalnya, orang akan merasa cemas terhadap kelangsungan pekerjaan mereka. b) Politik Ketidakpastian politik juga mampu memicu stres. c) Perubahan teknologi Perubahan teknologi dapat menyebabkan stres karena inovasi inovasi baru dapat membuat ketrampilan dan pengalaman seorang karyawan jadi usang dalam waktu singkat. 2. Faktor Organisasi Tidak sedikit faktor didalam organisasi yang dapat menyebabkan stres. Tekanan untuk menghindari kesalahan atau menyelesaikan tugas dalam waktu singkat, beban kerja yang berlebih, atasan yang selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak menyenangkan. Di dalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres yaitu: 25 a) Tuntutan tugas Faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Meliputi: desain pekerjaan individual (otonomi, keragaman tugas, tingkat otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak fisik pekerjaan. Semakin pentingnya layanan pelanggan, pekerjaan yang menuntut faktor emosional bisa menjadi sumber stres. b) Tuntutan peran Tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi. Konflik peran menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit untuk diselesaikan atau dipenuhi. Beban peran yang berlebihan dialami ketika karyawan diharapkan melakukan lebih banyak daripada waktu yang ada. Ambiguitas peran tercipta manakala ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin apa yang harus dilakukan. c) Tuntutan antar pribadi Tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Tidak adanya dukungan dari keluarga dan hubungan antarpribadi yang buruk dapat menyebabkan stres, terutama di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial tinggi. 3. Faktor Individu Faktor ini melibatkan antara lain: masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang. Survei-survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. Faktor individual yang secara signifikan mempengaruhi stres adalah sifat dasar seseorang. Artinya, gejala-gejala stres yang diekspresikan pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang itu. 26 2.1.2.5 Sumber Job Stress Para ahli yang mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sediri. Dikutip dalam Waluyo (2013: 93-94), berikut sumber-sumber stres kerja menurut para ahli: 1. Menurut Soewondo (1992), penyebab stres kerja terdiri dari empat hal utama,yaitu : • Kondisi dan situasi pekerjaan • Pekerjaannya • Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas • Hubungan interpersonal 2. Menurut Luthans (1992), penyebab stres terdiri atas empat hal utama, yaitu : • Extra Organizational Stressor, yang terjadi dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan komunitas/tempat tinggal. • Organizational Stressor, terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. • Group Stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya, dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup. • Individual Stressor, terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, control personal, learned helplessness, selfefficacy, dan daya tahan psikologis. 2.1.2.6 Dimensi Job Stress Banyak hal yang dapat menyebabkan stres. Menurut moorhead & Griffith (2010) membagi stres menjadi dua kategori besar,yaitu : 1. Stressor Organisasi Berbagai faktor di tempat kerja yang dapat menyebabkan stres, dan di bagi menjadi empat rangkaian umum, yaitu : 27 • Tuntutan tugas (Task Demand) Stressor yang berkaitan dengan tugas spesifik yang dilakukan oleh seseorang. Diluar tekanan-tekanan terkait tugas spesifik, aspek lain dari pekerjaan dapat menghadirkan ancaman fisik pada kesehatan seseorang. Keamanan adalah tuntutan tugas lainnya yang dapat menimbulkan stres. Ancaman terhadap keamanan pekerjaan dapat meningkatkan stres secara dramatis. Stressor tuntutan tugas terkahir adalah kelebihan beban. Kelebihan beban terjadi ketika seseorang mempunyai lebih banyak pekerjaan dari yang dapat ia tangani. kelebihan beban dapat bersifat kuantitatif (orang tersebut mempunyai terlalu banyak tugas untuk dilakukan atau terlalu sedikit waktu untuk melakukannya) atau kualitatif (orang tersebut mungkin meyakini bahwa ia kurang mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan tersebut). Tuntutan tugas rendah dapat menyebabkan kebosanan dan apatis seperti halnya kelebihan beban dapat menyebabkan ketegangan dan kegelisahan. jadi, stres terkait-beban-kerja yang moderat adalah yang optimal karena menyebabkan energi tingakt tinggi dan motivasi. • Tuntutan fisik (Physical Demands) Tuntutan ini merupakan fungsi dari karakteristik fisik dari situasi dan tugas fisik yang dibutuhkan dalam pekerjaan. Salah satu elemen yang penting adalah temperatur. Desain kantor juga dapat menjadi masalah. Kantor yang di desain dengan buruk dapat mempersulit orang untuk memiliki privasi dan menyebabkan terlalu banyak atau terlalu sedikit interaksi sosial. Terlalu banyak interaksi dapat menganggu seseorang dari tugasnya, sedangkan terlalu sedikit interaksi dapat menimbulkan kebosanan. Demikian juga, pencahayaan yang buruk, permukaan kerja yang tidak memadai, dan defisiensidefisensi serupa dapat menciptakan stres. • Tuntutan peran (Role Demands) Sebuah peran (role) adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sehubungan dengan posisi tertentu dalam sebuah 28 kelompok atau organisasi. Dengan demikian, peran mempunyai persyaratan formal (misalnya, terkait pekerjaan dan eksplisit) dan informal (misalnya, sosial dan implisit). Individu-individu dalam suatu organisasi atau kelompok kerja mengharapkan seseorang dengan peran tertentu untuk bertindak dengan cara tertentu. Mereka menyampaikan ekspektasi ini, baik secara formal maupun informal. Individu merasakan ekspektasi peran dengan derajat akurasi yang beragam kemudian berusaha untuk mewujudkan peran tersebut. Namun “kesalahan” dapat muncul dalam proses ini, menghasilkan masalah yang memicu stres yang disebut dengan ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban peran. • Tuntutan antarpersonal (Interpersonal Demands) Stressor ini terdiri dari tiga yaitu : tekanan kelompok, kepimpinan, dan konflik antarpersonal. Tekanan kelompok meliputi tekanan untuk membatasi hasil, tekanan untuk mematuhi norma kelompok. Gaya kepimpinan juga dapat menyebabkan stres, seperti tidak adanya dukungan sosial dari pemimpinnya. Kepribadian dan perilaku yang berkonflik juga dapat menyebabkan stres. konflik dapat terjadi ketika dua orang atau lebih harus bekerja bersama meskipun kepribadian, sikap, dan perilaku mereka berbeda. 2. Stressor Kehidupan Stres dalam situasi organisasi juga dapat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar organisasi. Stressor kehidupan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: • Perubahan kehidupan (Life Change) Semua perubahan berarti dalam situasi pribadi atau kerja seseorang yang terlalu banyak perubahan kehidupan dapat menimbulkan masalah kesehatan. • Trauma kehidupan (Life Trauma) Semua pergolakan dalam kehidupan individu yang mengubah sikap, emosi atau perilakunya. 29 2.1.3 Work Engagement 2.1.3.1 Definisi Work Engagement Work Engagement dalam pekerjaan di konsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja Mujiasih dan Ratnaningsih (2012:3). Benthal dalam Mujiasih & Ratnaningsih (2012) berpendapat bahwa Employee Work Engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa dirinya menemukan arti diri secara utuh, memiliki motivasi dalam bekerja, maupun menerima dukungan orang lain secara positif dan mampu bekerja secara efektif dan efisien di lingkungan kerjanya. Hewit dalam jurnal Mujiasih dan Ratnaningsih (2012) mendefinisikan Employee Work Engagement sebagai sikap positif pegawai dan perusahaan (komitmen, keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya dan pencapaian keberhasilan perusahaan. Menurut Federman (2009), Work Engagement karyawan adalah derajat dimana seorang karyawan mampu berkomiten pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaiamana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Brown dalam jurnal Mujiasih dan Ratnaningsih (2012:3) memberikan definisi Work Engagement yaitu dimana seorang pekerja dikatakan memiliki Work Engagement dalam pekerjaannya apabila pekerja tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya serta untuk organisasi. Pekerja dengan Work Engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dengan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu. Work Engagement juga diterjemahkan sebagai “positive, fulfilling, work related state of mind that is characterized by Vigour, Dedication, and Absorption” Sabine Sonnentag, dalam jurnal Imawati dan Amalia (2011). Work Engagement juga dijelaskan sebagai interaksi dua arah antara pekerja dan pihak yang memberi pekerjaan (Chartered Institute of Personnel and Development, 2006 dalam Mujiasih & Ratnaningsih, 2012) pekerja yang Engaged dikarakterisasikan dengan melingkupi beberapa faktor yang diantaranya: memiliki 30 fokus terhadap motivasi, kepuasan kerja, komitmen, menemukan arti dalam bekerja, kebanggaan serta memiliki sebuah hubungan dengan visi dan misi keselurihan sebuah organisasi. Menurut Development Dimension International dalam Mujiasih dan ratnaningsih (2012:4 ) Work Engagement terjadi ketika seseorang merasa bernilai, menikmati dan percaya pada pekerjaan yang mereka lakukan. Institute of Employee Studies dalam Mujiasih dan ratnaningsih (2012:4) mendefinisikan Employee Work Engagement sebagai suatu sikap positif dari pekerja terhadap organisasi tempat dirinya bekerja. Karyawan yang terpacu akan lebih peduli terhadap bisnis organisasi dan bekerja secara tim untuk meningkatkan performa organisasi. Dari uraian teori di atas bisa di simpulkan mengenai Work Engagement merupakan sikap dan perilaku karyawan dalam pemenuhan kerja dengan mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif, afektif dan emosional. Karyawan akan menemukan arti dalam bekerja, mempunyai kebanggan telah menjadi bagian dari organisasi tempat ia bekerja. Karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam waktu dan energi. 2.1.3.2 Karakteristik Work Engagement Federman (2009:32) mengemukakan bahwa pekerja yang memiliki Work Engagement yang tinggi di cirikan sebagai berikut : a. Fokus dalam menyesuaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya. b. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. c. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan dalam pekerjaan. d. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa. Menurut Hewitt yang dikutip (Schaufeli & Bakker, 2010) karyawan yang memiliki Work Engagement yang tinggi, secara konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku umum, yaitu: 31 1. Say Secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan 2. Stay Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain 3. Strive Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi. Engelbrecht dalam Megani (2012:33) menunjukkan bagaimana Engagement di terjemahkan menjadi perilaku bahwa orang yang memiliki Engagement mampu membangkitkan energy dan tetap mempertahankan semangatnya meskipun mereka berada ditengah-tengah lingkungan kerja yang memiliki moral rendah dan menyebabkan frustasi, ia juga akan mengerjakan apa yang harus di kerjakan, memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, dan merasa bahagia atas apa yang dikerjakannya. Karyawan yang engaged memiliki energi dan berhubungan secara efektif dengan aktivitas kerja mereka. Mereka juga melihat diri mereka mampu menghadapi secara tuntas tuntutan dalam pekerjaan mereka (Schaufeli, dalam Sekarwangi & Meiyanto, 2012). Pada sisi berlawanan, pekerja yang tidak engaged (disengaged) hanya hadir secara “fisik” dalam pekerjaannya. Mereka tidak memiliki hasrat dan semangat untuk bekerja serta hanya sebatas mengikuti kegiatan rutin yang telah ada. Pekerja dalam kategori ini memiliki keterikatan emosi yang sangat kecil terhadap tanggung jawabnya, tidak peduli akan tujuan perusahaan, serta sangat jarang terlihat menikmati pekerjaannya (Inceoglu & Fleck, 2010). Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan, menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan akan mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan (Thomas dalam Mujiasih & Ratnaningsih, 2012). 32 Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik pekerja yang engaged tidak hanya mempunyai kapasitas untuk menjadi energik, tetapi mereka memiliki komitmen terhadap tujuan serta menunjukkan antusiasme terhadap pekerjaan dan organisasi. Sehingga Work Engagement berkembang secara aktif dalam suatu pengaturan di mana adanya hubungan yang kuat antara organisasi dan nilai-nilai pada setiap individu. 2.1.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement Robinson et al, dalam Smythe (2007), faktor kunci pendorong dari engagement karyawan adalah dimana apabila karyawan dapat merasa dihargai dan dilibatkan (feeling valued and involved), yang mempengaruhi hal ini adalah: 1. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan 2. Karyawan dapat menyalurkan ide/ suara sehingga mereka dapat merasa berharga. 3. Kesempatan untuk mengembangkan pekerjaan 4. Organisasi memperhatikan akan keberadaan dan kesehatan karyawan. Penggerak work engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan organisasi. Hewitt dalam jurnal Mujiasih & Ratnaningsih (2012) mengemukakan bahwa engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: penghargaan (total rewards), kondisi perusahaan (company practices), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan (opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work) dan orang lain di sekitar pekerjaan (people). Apabila keenam faktor tersebut terpenuhi maka akan dicapai high level of engagement, dan keenam faktor tersebut merupakan faktor yang saling berhubungan. Menurut Lockwood (2007) engagement merupakan konsep yang kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah budaya di dalam tempat bekerja, komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan penghargaan serta kepemimpinan yang dianut dan reputasi perusahaan itu sendiri. 2.1.3.4 Tipe Karyawan Berdasarkan Tingkat Engagement Seorang karyawan yang Engaged akan merasa loyal dan peduli dengan masa depan organisasinya. Karyawan tersebut memiliki kesediaan untuk melakukan usaha 33 ekstra demi tercapainya tujuan organisasi untuk tumbuh dan berkembang. Gallup dalam (Rich dan Lepine, 2010:629) mengelompokkan 3 jenis karyawan berdasarkan tingkat engagement yaitu: 1. Engaged Karyawan yang engaged adalah seorang pembangun (builder). Mereka selalu menunjukkan kinerja dengan level yang tinggi. Karyawan ini akan bersedia menggunakan bakat dan kekuatan mereka dalam bekerja setiap hari serta selalu bekerja dengan gairah dan selalu mengembangkan inovasi agar perusahaan berkembang. 2. Not Engaged Karyawan dalam tipe ini cenderung fokus terhadap tugas dibandingkan untuk mencapai tujuan dari pekerjaan itu. Mereka selalu menunggu perintah dan cenderung merasa kontribusi mereka diabaikan. 3. Actively Disengaged Karyawan tipe ini adalah penunggu gua “cave dweller”. Mereka secara konsisten menunjukkan perlawanan pada semua aspek. Mereka hanya melihat sisi negatif pada berbagai kesempatan dan setia harinya, tipe actively disengaged ini melemahkan apa yang dilakukan oleh pekerja yang engaged. 2.1.3.5 Dimensi Work Engagement Pengukuran indikator pada variabel work engagement akan menggunakan penelitian menurut Schaufeli (2010), mendefinisikan 3 dimensi dari Work Engagement sebagai berikut: 1. Vigor Merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan. 2. Dedication Aspek ini ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang 34 yang memiliki mengidentifikasi skor dedication pekerjaan yang mereka tinggi karena secara kuat menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. 3. Absorption Ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam, tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu di sekeliling mereka, termasuk waktu. Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young dalam dalam Mujiasih dan ratnaningsih (2012) Work Engagement mencakup 2 dimensi penting, yaitu : a. Work Engagement sebagai energi psikis Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience) dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Work engagement merupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement). b. Work Engagement sebagai energi tingkah laku Bagaimana Work Engagement terlihat oleh orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa: 35 1) Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi. 2) Karyawan yang engaged tidak terikat pada Job Description, karyawan tersebut akan fokus terhadap tujuan dan mencoba untuk mencapai kesuksesan organisasi secara konsisten. 3) Karyawan secara aktif akan mencari jalan untuk memperluas kemampuan yang dimiliki yang disesuaikan dengan kepentingan visi misi perusahaan. 4) Karyawan tidak mudah menyerah walaupun di hadapkan dengan rintangan dan situasi yang rumit. 2.1.4 Career Orientation 2.1.4.1 Definisi Career Karir adalah urutan evolusi kegiatan dan posisi profesional yang orang ikuti, serta sikap, pengetahuan dan keterampilan yang terkait, yang berkembang dari waktu ke waktu (Purda-Nicoară (Netotea-Suciu) Valeria-Liliana-Amelia, 2012). Karir mencakup baik kehidupan profesional dan kehidupan pribadi seseorang, dan link diantara mereka. Karir adalah suatu pekerjaan (jabatan) yang ditangani atau di pegangan selama kehidupan kerja seseorang (Sutrisno, 2012). Menurut Greenhaus, dalam Sutrisno (2012) karir adalah sebuah pola pengalaman yang terkait dengan pekerjaan (misalnya jabatan, tugas-tugas, keputusan-keputusan, dan interpretasi pribadi tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan), dan kegiatan-kegiatan selama masa kerja seseorang. Supriatna (2009:9) mengungkapkan bahwa karir mencakup aspek-aspek kehidupan yang meliputi; (1) peran-peran hidup (life-roles) seperti sebagai pekerja, anggota keluarga dan warga masyarakat; (2) adegan-adegan kehidupan (life-setting) seperti dalam keluarga, lembaga masyarakat, sekolah atau pekerjaan; dan (3) peristiwa kehidupan (life-events) seperti dalam memasuki pekerjaan, perkawinan, mutasi pekerjaan, kehilangan pekerjaan. Karir dapat dijadikan sebagai perwujudan 36 diri yang ditandai dengan adanya kebahagiaan atau kepuasaan bagi diri dan lingkungan sekitar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa karir adalah peranan kehidupan individu masa belajar, bekerja maupun pensiun yang melibatkan keahlian, komitmen, dan tanggung jawab sebagai panggilan dan gaya hidup sehingga memberikan makna bagi diri sendiri dan orang lain sekitarnya dan suksesnya karir sangat dipengaruhi oleh dua aspek, pertama kemampuan dan kemauan untuk melihat jauh kedepan. 2.1.4.2 Definisi Career Orientation Menurut Maier dalam Gerber, et al., (2009) mengungkapkan “Career orientation can be definded as attitudes expressed by super ordinate intentions of an individual that will influence career-related decisions”. Orientasi karir merefleksikan kecenderungan seseorang terhadap hubungan antara kesempatan, keadaan diri sendiri, dan tipe – tipe karir (Gerber et al, 2009). Dalam orientasi karir yang modern karyawan harus terlibat dalam berbagai aktivitas self -management career. Yang kegiatannya untuk membuat pilihan karir yang memungkinkan karyawan untuk mewujudkan target karir masing-masing karyawan. (Javadein et al, 2014). Konsep career anchor adalah pada pola bakat dan kemampuan yang dimiliki, nilai-nilai dasar, dan rasa berevolusi dari motif dan kebutuhan (berhubungan dengan karir) yang mempengaruhi keputusan yang berhubungan dengan karir seseorang (Schein dalam Coetzee & Villiers, 2010). Dengan demikian, orientasi karir didefinisikan sebagai sikap seseorang terhadap pengambilan keputusan karir yang ditunjukkan dengan menetapkan pusat perhatian serta pemahaman diri dan kesempatan karir yang bertujuan untuk mewujudkan target karir. 2.1.4.3 Career Anchor Fakta bahwa orang-orang tertarik pada pilihan karir tertentu adalah ditentukan berdasarkan tujuannya, nilai-nilai dan kebutuhan pribadi, dan berdasarkan jumlah lima pola yang disebut tadi disebut juga dengan karir "anchor". Konsep 37 psikologis ini "mengacu pada citra diri manusia itu sendiri" yang melingkupi "Transfigured way, their condensed motives, values, aspirations, beliefs about their innate skills and abilities or those developed through work". (Craiovan dalam Valeria-Liliana-Amelia, 2012). Teori Anchor Career menurut Edgar Schein dalam Valeria-Liliana-Amelia (2012) : • Technical, functional skill a) Manusia yang memiliki tipe ini lebih teknis dalam pekerjaan operasional. Mereka tertarik dalam konten tenaga kerja, dalam meningkatkan kemampuan mereka dan keterampilan pribadi di daerah yang ditetapkan secara jelas. orang-orang ini tidak tertarik dalam posisi kepemimpinan b) Pengakuan profesional: individu didominasi oleh anchor ini dan didedikasikan untuk kualitas kerja, nilai umpan balik mereka dari para profesional dan mereka menghargai pengakuan rekan yang lebih profesional rekan lebih dari satu dari manajemen c) Bidang favorit: konsultasi, penelitian, proyek pengelolaan d) Remuneration claimed: sesuai dengan kompetensi mereka ditunjukkan oleh tingkat pendidikan dan pengalaman kerja, nilai ekuitas eksternal (gajinya harus di bandingkan dengan yang diperoleh oleh orang-orang lain dengan keterampilan serupa dari organisasi lain), hal itu juga disebut dengan "portable benefit” (asuransi jiwa, pensiun dini, dan sebagainya). mereka tidak menghargai imbalan, perkembangan karir, dan kekuatan. • Managerial competence a) Kategori ini didominasi oleh individu yang memiliki keinginan untuk memimpin, untuk mempromosikan ke posisi manajerial yang tinggi, meskipun orang-orang seperti itu percaya bahwa spesialisasi adalah kesalahan, mereka mengakui bahwa karir manajerial yang sukses 38 melibatkan bakat kombinasi, keterampilan dan kompetensi dalam bidang berikut: a. Analitis (kemampuan untuk menganalisis, synthesize, mengintegrasikan solusi untuk masalah yang kompleks yang terdiri dari beberapa bidang, bahkan dengan informasi yang langka). b. Interpersonal (kemampuan untuk mengawasi, mengendalikan pengaruh, memotivasi dan efektif memimpin orang lain). c. Emotional (kemampuan untuk memobilisasi, untuk membuat keputusan penting dalam waktu singkat; untuk beraksi efektif di bawah tekanan dan menjalankan kekuasaan serta bertanggung jawab, tanpa rasa bersalah dan demotivasi di interpersonal dan krisis organisasi). b) Kegiatan favoritnya bervariasi seperti sesuatu yang menantang dan melibatkan tanggung jawab yang tinggi. c) Orang-orang ini ingin dibayar dengan baik, mereka lebih memilih dinilai oleh kriteria ekuitas domestik (yang akan dibayar lebih baik dibandingkan mereka yang bekerja di posisi yang lebih rendah di organisasi) dan mereka menghargai penghargaan langsung (bonus). d) Pengakuan profesional: mereka sering menilai promosi, sistem meritocratic dan status (kantor mewah, mobil, dll). • Security / stability / safety a) Individu dengan anchor ini adalah tradisional, konformis, mereka dengan mudah memperoleh value organisasi mereka , dan mereka menghormati aturan. Individu seperti ini adil dan nilai yang berlaku adalah bahwa keamanan, tercermin dalam keamanan kerja jangka panjang dalam suatu organisasi yang stabil finansialnya. 39 b) Sistem reward disukai: dengan konstan dan pembayaran dapat diprediksi, pengalamannya tercermin dalam senioritas, dan juga asuransi jiwa atau program pensiun. c) Mereka memilih untuk diakui untuk kesetiaan mereka dan konsistensi kinerja. • Independence, Autonomy a) Individu dengan karir anchor termasuk dalam hal ini nilai segmen paling otonomi dan tidak adanya batasan (jadwal, pakaian, aturan yang diberlakukan, dll). Individu yang intuitif, dengan mobilitas yang besar, yang bertujuan mengambil keuntungan dari kesempatan yang ditawarkan oleh tenaga kerja pasar, percaya diri dalam gaya mereka sendiri dan memiliki kecepatan kerja disesuaikan dengan kriteria pribadi mereka. b) Bidang yang sesuai: seni, media, akademis, proyek manajemen, wirausaha, mandiri. c) Mereka menerima benefit kerja (upah, bonus dan lain-lain) kerja berdasarkan kinerja. d) Prinsip favorit mereka mempromosikan dan meningkatkan otonomi. e) Bentuk pengakuan surat rekomendasi, penghargaan, medali. • Entrepreneurial Creativity Individu dalam yang komponen di dominasi oleh individu kreatif, inventif, dan mereka dalam keadaan kecemasan terusmenerus, tertarik untuk mengembangkan proyek-proyek untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Seringkali individu ini dapat mengembangkan bisnis mereka sendiri atau mereka dapat menjadi penemu bisnis atau produk, tetapi mereka bosan dengan tugas dan mungkin memiliki manajer yang lemah, meskipun semangat kewirausahaan mereka ada, mereka menghargai kekuatan, mobilitas dan mereka tertarik untuk mendapatkan lebih banyak nilai kekayaan sebagai tanda keberhasilan. • The Lifestyle Anchor 40 Individu dengan anchor ini sering ditandai bekerja secara profesional dan kerja terus-menerus bertujuan untuk memperkuat keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka sangat menghargai fleksibilitas dalam upaya untuk memenuhi persyaratan karir dan kehidupan pribadi. • The Competition Anchor Orang-orang ini tertarik dalam berbagai profesi, dan harus semakin menantang. Mereka menganggap karir kompetisinya tidak pernah berakhir, dan sebagai sarana untuk menaklukkan posisi organizatoric baru. • Cause-dedication Anchor a) Orang di segmen ini lebih memilih pekerjaan di mana mereka dapat menempatkan dalam praktek nilai-nilai mereka sendiri, yang didasarkan pada keahlian mereka. b) Pekerjaan favorit mereka adalah yang melibatkan altruism, pekerjaan sosial, kedokteran, pendidikan, lingkungan perlindungan, dan sebagainya. c) Orang-orang ini dibayaran berdasarkan prestasi dan kinerja dan mereka mencari promosi yang meningkatkan otonomi mereka. 2.1.4.4 Dimensi Career Orientation Karir adalah proses dinamis, pemilihan dan evolusi temporal yang dipengaruhi oleh banyak faktor (Căprărescu, Stancu dan Anghel dalam ValeriaLiliana-Amelia, 2012), termasuk: 1. Individual’s Personality Dimensi ini merupakan sebuah perilaku atau sikap dari karyawan. Beberapa indikator dari individu’s personality meliputi perilaku Agreeableness menggambarkan individu yang mudah bekerjasama, perilaku Conscientiousness tentang keteraturan, kedisiplinan dan Risk propensity sejauh mana seorang individu bersedia mengambil risiko dan membuat keputusan-keputusan berisiko. 41 2. Self-perception Karyawan yang memiliki orientasi karir yang tinggi adalah karyawan yang memiliki persepsi bahwa ia dapat berkembang karirnya di suatu perusahaan atau organisasi, dan bagaimana perusahaan atau organisasi tersebut dapat membantu karyawan tersebut dalam perkembangan karirnya. 3. Level and Type of Individual Motivation Tipe motivasi di bagi menjadi dua , yaitu motivasi intrinsik, motivasi intrinsik sebagai motivasi yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri dan selanjutnya adalah motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian seseorang mau melakukan sesuatu. 4. Organization's Attitude Towards Employees Secara ideal, hubungan pegawai dan organisasi berada dalam hubungan yang saling menguntungkan, sehingga pada saat yang demikian organisasi dapat mencapai produktifitas kerja yang lebih tinggi perusahaan yang berorientasi pada karir akan memperlakukan karyawan sebagai sumber daya yang berharga, yang harus dilatih dengan mengadakan training atau pelatihan. Kunci penerapan karir semacam ini adalah adanya mobilitas dan kesempatan karir internal bagi para karyawan. 5. Extent and Pace of Changes in The External Environment Fokus eksternal menyebabkan pengembangan karir seseorang perlu didukung oleh keadaan lingkungan eksternalnya. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah bagaimana perkembangan karir di luar perusahaan, semakin baik karir yang di tawarkan diluar perusahan akan membuat karyawan berpikir untuk dapat mendorong karir karyawan itu sendiri. 6. Changes in The Labor Market Rekrutmen yang efektif memerlukan tersedianya informasi yang akurat dan berkesinambungan mengenai jumlah dan kualifikasi 42 individu yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai pekerjaan dalam organisasi. Tujuan Rekrutmen adalah untuk menarik caloncalon karyawan yang baik agar mau bergabung dengan perusahaan. Semakin banyak jumlah recruitment maka semakin tinggi persaingan yang ada di organisasi atau perusahaan tersebut maka individu tersebut harus meningkatkan orientasi karirnya agar dapat bersaing dengan pencari kerja lainnya. Dan jika recruitment tersebut berkualitas baik maka karyawan akan terdorong untuk meningkatkan orientasi karirnya. 2.2 Kerangka Penelitian Career Orientation (Z) Job Stress (X) Moorhead & Griffin, 2010 • • • • Căprărescu, Stancu dan Anghel, 2009 Work Engagement (Y) Schaufeli. 2010 Tuntutan tugas Tuntutan fisik Tuntutan peran Tuntutan antarpersonal T-2 T-1 • • • Vigour Dedication Absorption • Individual’s personality • Self-perception • Level and type of individual motivation • Organization's attitude towards employees • Extent and pace of changes in the external environment T-3 • Changes market Gambar 2.2 Kerangka Penelitian Sumber: Penulis, 2016 2.3 Hipotesis Berikut ini adalah hipotesis penelitian berdasarkan tujuan-tujuan dari penelitian: • Hipotesis untuk T-1 in the labor 43 Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Job Stress terhadap Work Engagement. Ho : Tidak ada pengaruh antara Job Stress terhadap Work Engagement. Ha : Ada pengaruh antara Job Stress terhadap Work Engagement. • Hipotesis untuk T-2 Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Work Engagement terhadap Career Orientation. Ho : Tidak ada pengaruh antara Work Engagement terhadap Career Orientation. Ha : Ada pengaruh antara Work Engagement terhadap Career Orientation.. • Hipotesis untuk T-3 Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Job Stress terhadap Career Orientation. Ho : Tidak pengaruh antara Job Stress terhadap Career Orientation. Ha : Ada pengaruh antara Job Stress terhadap Career Orientation. • Hipotesis untuk T-4 Untuk mengetahui peranan Work Engagement dalam memediasi pengaruh Job Stress terhadap Career Orientation Ho : Tidak ada pengaruh antara Job Stress terhadap Career Orientation dengan Work Engagement sebagai mediator Ha : Ada pengaruh antara Job Stress terhadap Career Orientation dengan Work Engagement sebagai mediator 44