HdH hak asasi manusia dan hiv Edisi perdana: Nomor 01, Juli 2010 Kabar Komunitas Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks, dan wanita-pria. Bergulat dengan UU Narkotika Ketika Hukum Belum Peka Terhadap Waria Bantuan Hukum bagi ODHA Berjuang dalam Gelap Mari Bicara Hukum dan HAM Human Rights Now More Than Ever, mengurai sepuluh alasan mengapa hak asasi manusia harus berada di tengah perjuangan global dalam melawan epidemi HIV/AIDS. Dokumen kampanye tersebut disusun oleh Ralf Jurgens dan Jonathan Cohen. Kedua penulis ini sudah lama berkecimpung di dunia advokasi hak asasi manusia dan HIV/AIDS di tingkat internasional. Mereka pernah bekerja di AIDS Law Project, Human Rights Watch dan Canadian HIV/AIDS Legal Network. Suara Komunitas Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bertanya kepada empat teman yang berasal dari empat populasi kunci HIV/AIDS, mengenai bantuan hukum bagi mereka. Temukan pandangan mereka di halaman 9, dan suarakan pendapat kamu juga sekarang. HdH | 1 Daftar Isi Dari Meja Redaksi Kabar Komunitas Bergulat dengan UU Narkotika Ketika Hukum Belum Peka Terhadap Waria Bantuan Hukum bagi ODHA Berjuang dalam Gelap Mari Bicara Hukum dan HAM Suara Komunitas Agenda Terdekat 1 2 2 3 4 5 6 9 9 Yang terhormat pembaca budiman, Sungguh lega akhirnya ketika LBH Masyarakat berhasil merampungkan edisi pertama publikasi bulanan kami yang baru, yang diberi nama dengan HdH atau hak asasi manusia dan hiv. Publikasi ini adalah terbitan bulanan pertama LBH Masyarakat yang dibuat dalam Bahasa Indonesia, karena terbitan reguler kami lainnya yakni CAVEAT ditulis dalam Bahasa Inggris. Jika sasaran utama pembaca CAVEAT adalah kelompok pemerhati hak asasi manusia, rule of law dan demokrasi di Indonesia juga di internasional – baik di lingkungan donor, agen pembangunan, mitra organisasi nonpemerintah internasional maupun lembaga-lembaga UN, HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut. Awalnya begitu sulit bagi kami untuk menyusun sebuah publikasi bulanan baru mengingat sebelumnya kami telah menerbitkan CAVEAT secara reguler setiap bulan. Sehingga ketika meramu dan mendesain tampilan HdH ini, sulit untuk melepas citra yang sudah melekat di CAVEAT. Belum lagi soal sumber daya manusia yang tentu menjadi isu klasik di setiap institusi ketika hendak melakukan aktifitas baru. Tetapi kami beruntung berhasil mengatasi tantangan tersebut. Kami akan selalu berusaha agar materi yang dimuat dalam HdH akan ditulis bahasa yang seringan mungkin, namun, kami menyadari tidak mungkin sepenuhnya seluruh artikel dapat dibuat dalam bahasa yang terlalu ringan. Oleh karena itu, apabila sewaktu-waktu menemukan istilah yang tidak lazim terdengar, akan kami muat pula pengertiannya agar dapat memberikan penjelasan yang memadai dan utuh mengenai artikel yang tengah dibaca. Akhir kata, selamat membaca. Semoga informasi yang kami sajikan dalam HdH edisi perdana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Kritik dan saran dapat ditujukan kepada redaksi yang informasinya termuat di bawah ini. Terima kasih, dan salam hangat Dari Meja Redaksi Dewan Redaksi: Ricky Gunawan, Dhoho A. Sastro, Andri G. Wibisana, Ajeng Larasati, Alex Argo Hernowo, Answer C. Styannes, Pebri Rosmalina, Antonius Badar, Feri Sahputra, Grandy Nadeak, Vina Fardhofa, dan Magdalena Blegur Keuangan dan Sirkulasi: Rizky Halida dan Zaki Wildan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Tebet Timur Dalam III B No. 10, Jakarta 12820 Telp. 021 830 54 50 Faks. 021 829 80 67 Email. [email protected] Website. http://www.lbhmasyarakat.org HdH diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) dengan dukungan oleh International Development Law Organization (IDLO) dan OPEF Funds for International Development (OFID). HdH | 2 Kabar Komunitas Bergulat dengan UU Narkotika Harus bergulat dengan Undang-Undang Narkotika. Begitulah kesan ketika pertama kali LBH Masyarakat datang ke komunitas pemakai narkotika dengan bekerjasama dengan Forum Korban Napza (FORKON), sebagai salah satu mitra kerja yang menaungi beberapa komunitas pemakai narkotika di Jakarta dan sekitarnya. Lebih dari 70% peserta yang ikut dalam penyuluhan selalu bertanya dan banyak mencari tahu tentang masalah undang-undang undang-undang terutama undang-undang narkotika yaitu undang-undang “Selain No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Banyak hal yang mereka tanyakan narkotika, tindak pidana yang mereka tentang UU tersebut, terutama dalam hal tindak pidana narkotika serta lakukan kerapkali disangkut-pautkan pengaturan rehabilitasi yang diatur di dalamnya. Selalu ada pertanyaan dengan status HIV yang diderita beberapa pemakai narkotika. seputar perbuatan seperti apa yang dapat dianggap sebagai tindak pidana Minimnya pengetahuan mereka soal narkotika, tindak pidana yang seperti apa, bagaimana kedudukan alat bukti UU Narkotika pada khususnya dan dan barang bukti, proses hukum yang seharusnya berjalan, dan lain proses hukum acara pidana pada sebagainya. Dengan adanya UU yang baru, pertanyaan yang juga selalu umumnya membuat mereka tidak tahu muncul adalah mengenai wajib rehabilitasi yang telah memicu perdebatan menahu apa yang harus diperbuat di kalangan pemakai narkotika. Selain masalah undang-undang narkotika, ketika dirinya atau temannya ditangkap polisi. Pasrah adalah sikap tindak pidana yang mereka lakukan kerapkali disangkut-pautkan dengan yang lebih banyak mereka pilih.” status HIV yang diderita beberapa pemakai narkotika. Minimnya pengetahuan mereka soal UU Narkotika pada khususnya dan proses hukum acara pidana pada umumnya membuat mereka tidak tahu menahu apa yang harus diperbuat ketika dirinya atau temannya ditangkap polisi. Pasrah adalah sikap yang lebih banyak mereka pilih. Di Komunitas Metadon Bekasi (KOMBES) misalnya, banyak di antara mereka yang belum begitu paham tentang UU Narkotika yang baru. Perubahan kebijakan narkotika yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal pengaturan peredaran narkotika ternyata tidak sampai pada telinga para pemakai narkotika. Pertanyaan yang mereka sampaikan selalu berputar pada kasus-kasus riil yang dialami beberapa teman-teman mereka; dan harus diakui beberapa kasus tersebut sungguh terkadang tidak masuk akal dalam logika hukum. (Rencananya untuk edisi berikutnya kami akan mengulas sedikit beberapa kasus narkotika yang ‘unik’ yang pernah kami temui). Beberapa teman mereka ada yang ditangkap, ditahan, dan ada yang sudah sampai tahap persidangan karena berbagai macam hal yang tentunya semua ini berurusan dengan narkotika. Yang menjadi pertanyaan mereka adalah mengapa teman-teman mereka ditangkap oleh polisi padahal menurut mereka tindakan yang dilakukan tersebut tidaklah salah. Hal ini wajar adanya dan menjadi perdebatan yang cukup menarik pada penyuluhan saat itu karena ini menyangkut teman mereka dan bukan tidak mungkin keesokan harinya merekalah yang akan terkena masalah hukum tersebut. Selain permasalahan tindak pidana narkotika, pertanyaan seputar wajib rehabilitasi juga menjadi pertanyaan yang wajib ditanyakan para peserta diskusi saat itu. Saat membicarakan tentang Pasal 127 UU Narkotika, beberapa dari Pasal 127 (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. mereka mulai melihat celah rehabilitasi yang tercantum dalam pasal tersebut. Awalnya mereka hanya mengetahui adanya upaya rehabilitasi dari pemerintah, namun tidak mengetahui bagaimana proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan hak mereka agar dapat menjalani proses rehabilitasi tersebut. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa rehabilitasi merupakan sesuatu yang tidak mungkin mereka dapatkan, karena banyak dari teman-teman mereka yang juga pemakai namun tidak mendapatkan rehabilitasi seperti apa yang diamanatkan UU Narkotika. Pasal tersebut seolah “pasal karet” yang tidak mungkin pemakai narkotika peroleh. HdH | 3 Saat penyuluhan di komunitas Metadon Gambir, pertanyaan seputar UU Narkotika kembali muncul dan cukup menarik perhatian para pemakai narkotika yang saat itu tengah mengikuti diskusi. Terdapat kurang lebih 15 (lima belas) orang peserta dan semuanya terlihat antusias mengikuti jalannya diskusi. Pertanyaan seputar pasal-pasal tindak pidana narkotika masih menjadi perhatian mereka karena belum pahamnya mereka mengenai hal tersebut. Selain itu persoalan status HIV yang dialami beberapa dari mereka menjadi isu tersendiri yang diperbincangkan saat itu. Berdasarkan cerita dari pengalaman mereka dan teman-teman mereka, ternyata seorang HIV positif dapat mempengaruhi proses hukum yang mereka alami, terutama misalnya ketika berhadapan dengan penyidik di kepolisian. Tidak jarang mereka yang HIV dan tertangkap oleh polisi, kemudian diperlakukan berbeda – dalam arti yang baik – dibandingkan dengan tahanan lainnya yang tidak terinfeksi HIV. Hampir pasti mereka dipisahkan dengan tahanan lain, dan ketika sakit sudah pasti ditempatkan di ruang isolasi. Yang lebih menarik lagi adalah tidak jarang ketika polisi yang menangkap mereka mengetahui bahwa mereka HIV positif, mereka akan dilepas. Seringnya kejadian tersebut muncul menimbulkan mispersepsi di antara mereka bahwa jika mereka HIV, mereka akan dilepaskan dari penangkapan dan tidak akan mendapat hukuman atas tindak pidana yang mereka lakukan. Beberapa hal di atas menjadi isu-isu yang penting untuk dibahas secara mendalam dalam komunitas selain masalah lainnya. Sudah tentu, narkotika telah menjadi dunia yang tidak asing lagi bagi mereka. Ditangkap, ditahan, menjalani persidangan, dan mendekam dipenjara seolah biasa. Apalagi mendapat penyiksaan dari kepolisian, sudah bukan barang asing bagi mereka. Namun tak jarang, menjadi ketakutan yang terus membayangi mereka akan ketiadaan informasi yang benar dan memadai mengenai hukum dan hak asasi manusia. Karena besok atau di lain hari mereka bisa saja menjadi orang yang berurusan dengan hukum karena tindak pidana narkotika. Karena besok atau di lain hari mereka bisa saja menjadi korban penyiksaan. Oleh karena itu pengetahuan tentang hukum dan hak asasi manusia menjadi penting dan baik untuk mereka ketahui. Hal ini dimaksudkan bukan untuk melawan hukum atau aparat yang menangkap dan menyidik mereka, namun dapat mereka gunakan sebagai modal untuk mengadvokasi dirinya sendiri bahkan teman mereka. (AB) Ketika Hukum Belum Peka Terhadap Waria Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transjender atau yang lebih dikenal dengan komunitas LGBT adalah kelompok populasi kunci yang rentan dengan stigma dan diskriminasi. Stigma pendosa, amoralis, bahkan tidak jarang (maaf) setan, menjadi label pembenar bagi sebagian kalangan masyarakat untuk mendiskriminasi kelompok ini. Pandangan negatif masyarakat diperparah oleh pandangan pemuka agama garis keras yang mengutuk keberadaan mereka. Perlakuan buruk dari masyarakat bukanlah hal baru bagi mereka, bahkan bisa dikatakan merupakan hal yang identik sebagai konsekuensi dari “dosa” yang mereka perbuat. Kaum gay, lesbian dan biseksual, di satu sisi, sedikit beruntung karena masih bisa menutupi jati diri mereka secara fisik, dibandingkan dengan waria yang secara penampilan mudah dikenali orang. Dahulu, mereka lebih sering merasa pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa. Namun dalam beberapa tahun terakhir mereka sudah mampu dan terbiasa menyuarakan kegelisahan mereka dan pengalaman pahit yang kerap mereka alami. Apa yang dulu mereka sebut dengan “dosa” telah dianggap sebagai pilihan hidup yang mereka ambil. Perlahan namun pasti, keberanian mereka mulai tumbuh sejalan dengan keinginan kuat mereka untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas keberadaan mereka. Sebagai komunitas yang rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah proses hukum, kelompok LGBT, khususnya waria, tentu memerlukan pengetahuan akan hukum dan hak asasi manusia. Melalui pendidikan dan pelatihan hukum yang disediakan kepada mereka, kini sebagian besar generasi muda di komunitas LGBT telah mengetahui dan menyadari tentang hak-hak mereka. Sulitnya mendapatkan bukti-bukti ketika peristiwa hukum yang terjadi menimpa waria menjadi kendala tersendiri ketika kita memperjuangkan keadilan di hadapan hukum. Oleh karena itulah, di sinilah letak peran pendidikan hukum bagi waria penting adanya. Karena dapat berfungsi sebagai penyedia informasi yang diperlukan ketika mengalami pelanggaran hukum. Sehingga di kemudian hari terjadi pelanggaran, korban dapat melakukan apa yang harus pertama kali mereka lakukan untuk dapat memastikan bahwa proses hukum tidak kekurangan bukti. Yayasan Srikandi Sejati (YSS), misalnya, adalah salah satu organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang advokasi hak-hak waria, dan juga melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap kelompok waria. YSS telah merampungkan programnya dalam memberikan pendidikan jender dan seksualitas kepada dua puluh lima waria di DKI Jakarta. Kegiatan yang diberi nama Transkul telah memberikan banyak pengetahuan tentang jender dan penyadaran hak pada waria tentang hak-haknya HdH | 4 dan bagaimana caranya untuk mendapatkan dan mempertahankan hak-hak tersebut. Bagi komunitas waria pendidikan akan hukum dan hak asasi manusia kan melengkapi pemahaman jender dan seksualitas yang telah mereka peroleh sebelumnya, oleh karenanya hal tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Paling tidak dapat melalui penyuluhan hukum misalnya dapat memberikan informasi apa saja yang harus mereka lakukan ketika haknya dilanggar atau ketika mendapat kekerasan atau perlakuan yang diskriminatif. Ambil contoh kasus yang beberapa kali pernah terjadi, saat salah satu dari mereka mendapat kekerasan ketika bekerja sebagai pekerja seks waria. Misalnya setelah selesai berinteraksi dengan pelanggan ternyata pelanggan melakukan penipuan dengan tidak membayar sesuai apa yang disepakai di awal, sehingga membuat pekerja seks waria emosi yang akhirnya menyebabkan perselisihan dan mengakibatkan keduanya luka-luka. Hal ini akan membawa waria pada suatu proses hukum, dan biasanya pihak yang akan disalahkan adalah waria dan biasanya juga waria hanya menerima “nasib” mereka. Sudah menjadi hal yang biasa pula bagi kaum waria jika proses hukum yang mereka jalani berhenti ditengah jalan karena aparat hukum memandang proses hukum tersebut tidak cukup bukti. Sulitnya mendapatkan bukti-bukti ketika peristiwa hukum yang terjadi menimpa waria menjadi kendala tersendiri ketika kita memperjuangkan keadilan di hadapan hukum. Oleh karena itulah, di sinilah letak peran pendidikan hukum bagi waria penting adanya. Karena dapat berfungsi sebagai penyedia informasi yang diperlukan ketika mengalami pelanggaran hukum. Sehingga di kemudian hari terjadi pelanggaran, korban dapat melakukan apa yang harus pertama kali mereka lakukan untuk dapat memastikan bahwa proses hukum tidak kekurangan bukti. Selain itu, daripada memperpanjang persoalan hukum yang sulit untuk dimenangkan, kaum waria lebih memilih untuk “menerima” apa yang mereka alami. Banyak di antara mereka yang berpikir kalau hal ini diteruskan hanya akan mempersulit masa depan mereka terutama ketika mereka bekerja. Mereka akhirnya lebih memilih untuk melupakannya dan kembali bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang cuma mereka sendiri yang bisa memenuhi kebutuhannya. Tentu hal ini tidak dapat disalahkan kepada mereka, tetapi memilih menyelesaikan pelanggaran hak yang mereka alami di jalur hukum tentu akan menjadi pembelajaran bagi para calon pelaku kejahatan. Sehingga di kemudian hari, tidak akan ada yang berani melakukan kekerasan terhadap waria, karena kelompok waria telah menyadari haknya, memperjuangkannya dan memastikan bahwa setiap pelaku dihukum. (VF) Bantuan Hukum bagi ODHA LBH Masyarakat percaya bahwa akses bantuan hukum bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat menjadi alat intervensi atas pelanggaran hak maupun praktik stigma dan diskriminasi yang kerap dialami oleh mereka baik di dalam proses hukum ataupun bahkan ketika dalam proses layanan kesehatan. Perlakuan buruk semacam itu justru hanya meminggirkan ODHA dari akses kesehatan yang mereka butuhkan seperti pengobatan, perawatan dan dukungan. Sehingga dengan adanya layanan hukum yang efektif dan memadai bagi ODHA, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ODHA untuk mengakses layanan kesehatan tersebut. Langkah LBH Masyarakat ini diawali dengan membina jalinan dengan beberapa organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang HIV/AIDS. Salah satu organisasi yang menyambut positif inisiatif LBH Masyarakat dan membuka diri untuk memulai penyuluhan hukum adalah Yayasan Pelita Ilmu (YPI). Pada tanggal 21 Juni 2010 LBH Masyarakat melakukan penyuluhan hukum di komunitas orang yang hidup dengan HIV/AIDS, dengan mengambil tempat di YPI. Dalam kesempatan ini, LBH Masyarakat mengambil tema besar yaitu bantuan hukum dan akses keadilan bagi ODHA. LBH Masyarakat juga membuka sesi tanya jawab dan menyediakan konsultasi hukum bagi mereka yang memerlukan. Salah seorang dari anggota komunitas bernama sebut saja Melati (22 tahun) bertanya mengenai kasusnya tentang waris. Anaknya yang kini berusia 10 tahun merupakan anak dari pernikahan pertamanya, suami pertamanya telah meninggal dunia dan mendapatkan harta warisan dari orang tuanya. Pada saat pembagian warisan, Melati yang saat itu menyandang status janda karena ditinggal mati oleh suaminya tengah mempersiapkan pernikahan keduanya, sehingga atas keputusan sepihak hak waris anak dari suaminya yang seharusnya menjadi ahli waris sah berdasarkan undang-undang ditiadakan oleh pihak LBH Masyarakat percaya bahwa akses bantuan hukum bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat menjadi alat intervensi atas pelanggaran hak maupun praktik stigma dan diskriminasi yang kerap dialami oleh mereka baik di dalam proses hukum ataupun bahkan ketika dalam proses layanan kesehatan. Perlakuan buruk semacam itu justru hanya meminggirkan ODHA dari akses kesehatan yang mereka butuhkan seperti pengobatan, perawatan dan dukungan. Sehingga dengan adanya layanan hukum yang efektif dan memadai bagi ODHA, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ODHA untuk mengakses layanan kesehatan tersebut. HdH | 5 keluaraga almarhum suami Melati dengan alasan karena dia akan menikah lagi. Atas laporan tersebut, LBH Masyarakat memberikan saran hukum kepada Melati untuk melakukan upaya mediasi terlebih dahulu kepada pihak keluarga almarhum suami pertama guna memperoleh solusi terbaik bagi kedua belah pihak. LBH Masyarakat juga menawarkan pendampingan hukum kepada Melati apabila dibutuhkan. Hingga kini upaya perdamaian masih ditempuh oleh Melati dan keluarga almarhum suaminya dengan panduan dari LBH Masyarakat. Hal ini menjadi salah satu contoh bagaimana konsep pemberdayaan hukum masyarakat yang diusung oleh LBH Masyarakat benar-benar diwujudkan dalam realita. Pilihan untuk menjadi kuasa hukum dan bertindak untuk dan atas nama Melati dan langsung berhadap dengan keluarga almarhum suami tentu bisa menjadi pilihan utama. Namun, sebagai bagian dari pemberdayaan, LBH Masyarakat lebih memilih mendorong Melati untuk melakukan advokasi bagi dirinya sendiri dengan berbekal panduan yang telah diberikan oleh LBH Masyarakat, hal mana yang juga banyak dilakukan oleh pencari keadilan lainnya dan sering berujung pada keberhasilan ketika berhadapan dalam proses hukum. Tindakan seperti inilah yang diharapkan dapat juga dilakukan oleh mereka yang mengalami pelanggaran hukum atau hak asasi manusia. Tidak memilih diam, bukan karena tidak tahu menahu, karena informasi yang diperlukan telah disediakan. Tidak memilih diam bukan juga karena tidak berani, melainkan mau memperjuangkan haknya yang telah dilanggar kejadian serupa tidak terjadi pada dirinya lagi dan pada teman-temannya yang lain di masa mendatang. Berjuang dalam Gelap Malam hari bagi sebagian orang adalah saat untuk mengisitirahatkan tubuh dan pikiran karena telah lelah bekerja seharian. Namun tidak bagi Eka, seorang waria yang memilih malam hari untuk memulai aktivitas luar rumahnya. Eka adalah salah satu waria yang saat ini aktif bekerja untuk Yayasan Srikandi Sejati (YSS) sekaligus mencari kehidupan di daerah Taman Lawang, Jakarta. “perjalanan singkat ke Taman Lawang memberi banyak arti kepada LBH Masyarakat. Semuanya tentang perjuangan hidup, cita-cita, dan cinta. Satu hal yang pasti waria adalah juga manusia. Sama sepeti saya, kami, kamu, mereka, dan kita” Perkenalan LBH Masyarakat dengan Eka terjadi ketika ia dan teman-temannya menjadi korban penganiayaan yang dilakukan orang tak dikenal saat mereka sedang menunggu pelanggan di Jalan Blora. Eka sendiri mendapat beberapa pukulan dari orang yang tidak dikenal itu, bahkan kedua temannya harus mendapatkan beberapa jahitan karena selain dipukul juga ditabrak dengan mobil. Ketika mereka melapor ke Kepolisian Sektor Menteng, pihak kepolisian sulit untuk menindaklanjuti kasus tersebut karena terbatasnya bukti yang ada. Merasa kesulitan dengan proses yang mereka hadapi di kantor polisi, akhirnya Eka memutuskan untuk bersama-sama dengan LBH Masyarakat melakukan advokasi sendiri dan mencari bukti-bukti pendukung. Untuk menindaklanjuti, LBH Masyarakat berniat untuk mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) secara langung. Setelah kesulitan mencocokkan jadwal dengan Eka setelah beberapa kali, kami berempat berangkat pada Rabu (14/7) pagi dini hari. Tujuan kami untuk datang kesana untuk menemui Firman. Seorang petugas penjaga keamanan di dearah tersebut yang melihat langsung kejadian pemukulan tersebut. Firman merupakan saksi kunci dalam kasus tersebut. Setibanya di sana, ternyata Eka sedang bekerja. Kami memutuskan untuk menunggu di Jalan Cimahi. Menunggu Eka ternyata tidak menjadi hal yang membosankan, karena kami memperhatikan tingkah laku para waria ketika menarik pelanggan. Hampir semua waria yang kami jumpai memiliki gaya yang khas, yaitu mendandani wajah mereka dengan bedak dan cermin kecil di tangan sambil berlenggak-lenggok di jalan. Tingkah para calon pelanggan juga beragam. Ada yang terlihat bernegosiasi dengan sang waria, ada yang sekedar berhenti menghampiri sang waria kemudian pergi lagi, tapi tak jarang ada yang ngebut ke arah waria seperti ingin menabrak tubuh waria dengan kendaraan yang meraka kendarai. Kebanyakan dari mereka mengendarai mobil. Setelah lama menunggu, akhirnya Eka menemui kami. Wajahnya yang ayu membuat kami hampir tidak mengenalinya. Setelah ngobrol santai dengannya, kami memutuskan untuk mendatangi pos jaga dimana Firman setiap hari bertugas. Keberuntungan ternyata belum berpihak kepada kami. Ketika kami tiba di pos jaga, beberapa lelaki yang mengaku mengenal Firman mengatakan bahwa Firman sedang tidak bertugas. Firman memang belum berhasil kami ketemui. Tapi perjalanan singkat ke Taman Lawang memberi banyak arti kepada LBH Masyarakat. Semuanya tentang perjuangan hidup, cita-cita, dan cinta. Satu hal yang pasti waria adalah juga manusia. Sama sepeti saya, kami, kamu, mereka, dan kita. HdH | 6 Mari Bicara Hukum dan HAM 10 Alasan Mengapa Hak Asasi Manusia Harus Berada di Tengah Perjuangan Global Melawan AIDS Lingkar advokasi hak asasi manusia dan HIV/AIDS di level internasional telah menghasilkan sebuah pernyataan bersama yang cukup krusial yang berkenaan dengan respon global terhadap AIDS. Pernyataan bersama tersebut diberi judul Human Rights and HIV/AIDS: Now More Than Ever. Pernyataan ini awalnya disusun untuk Konferensi AIDS Internasional di Toronto, Kanada, tahun 2006, oleh 25 organisasi non-pemerintah internasional terkemuka yang bergerak di bidang advokasi HAM dan HIV/AIDS, dengan koordinasi oleh Law and Health Initiative yang bernaung di bawah Program Public Health dari Open Society Institute. Hingga, akhir Juli 2010, lebih dari 700 organisasi yang bergerak di bidang advokasi HAM dan HIV/AIDS di seluruh dunia, termasuk Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, telah mendukung pernyataan bersama tersebut. Pernyataan bersama tersebut juga secara khusus didukung oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), United Nations Development Programme (UNDP), dan Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Lebih dari 600 individu juga telah menyatakan dukungannya terhadap pernyataan bersama ini. Now More Than Ever mewakili harapan dari para aktivis AIDS di seluruh dunia untuk meletakkan hak asasi manusia di tengah perjuangan global melawan HIV/AIDS. Pernyataan ini memuat sepuluh alasan sederhana mengapa perlindungan terhadap hak asasi manusia sangat esensial bagi kesehatan publik, terutama oleh infeksi penyakit seperti HIV yang berpengaruh cukup besar terhadap mereka yang paling terpinggirkan di masyarakat: perempuan, anak-anak, pemakai narkotika, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, waria, narapidana, mereka yang membutuhkan perawatan paliatif, dan yang lainnya yang suaranya nyaris tidak terdengar di dalam diskursus mengenai pengalokasian sumber daya untuk kesehatan. Kampanye Now More Than Ever telah berkembang secara signifikan selama tiga Konferensi AIDS Internasional mulai dari Toronto (2006), ketika pernyataan bersama pertama kali dipublikasikan; Mexico City (2008), ketika para aktivis mengorganisir Zona Jaringan HAM untuk pertama kalinya dan aksi damai di konferensi tersebut; dan Vienna (2010), ketika ribuan peserta konferensi dan warga kota Vienna bersama-sama turun ke jalan, melakukan aksi damai. Now More Than Ever telah diterjemahkan ke hampir dua belas bahasa. Pada tahun 2008, kampanye ini menerima penghargaan Gold Award di Council on Foundations’ Wilmer Shields Rich Awards for Excellence in Communications. Berikut ini kesepuluh alasan mengapa hak asasi manusia harus berada di tengah perjuangan global melawan HIV/AIDS. 1. Akses universal tidak akan pernah dicapai tanpa hak asasi manusia. Pada tahun 2006, para pemimpin dunia menyatakan komitmennya “untuk melakukan segala hal yang diperlukan agar dapat mewujudkan tujuan akses universal atas program pencegahan, perawatan, pengobatan, dan dukungan yang komprehensif di tahun 2010.” Di banyak negara, tantangan seperti diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan berbasis jender, pendidikan seks yang minim terhadap anak-anak, dan kriminalisasi terhadap populasi kunci seperti pemakai narkotika, pekerja seks dan perilaku berhubungan seks sesama jenis, dan lain sebagainya, telah menjadi faktor halangan utama untuk mencapai akses universal. Sayangnya, di dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS, sulit ditemukan adanya komitmen politik, dana maupun program yang didedikasikan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. 2. Ketidaksetaraan jender membuat perempuan semakin rentan terhadap HIV, mengingat perempuan tua dan muda menempati peringkat tertinggi terkena HIV di negara-negara yang paling rentan. Hampir setengah dari infeksi HIV di seluruh dunia ditemukan di kelompok perempuan dan mayoritas diantaranya terdapat di wilayah Sub-Sahara Afrika. Hal ini dikarenakan posisi perempuan yang secara politis, sosial, ekonomi dan seksual terlalu tersubordinasi, yang mana hal tersebut banyak tertuang dalam hukum dan hidup dalam budaya dan praktik. Diskriminasi, stigma, dan kekerasan juga menjadi realita sehari-hari bagi perempuan dengan HIV/AIDS. HdH | 7 3. Hak dan kebutuhan anak dan kelompok anak muda lebih sering terabaikan dalam hal respon terhadap HIV, sekalipun mereka termasuk kelompok rentan di banyak tempat. HIV adalah epidemik yang cukup signifikan di kelompok muda. Jumlah anak yang lahir dengan HIV menunjukkan statistik yang mengkhawatirkan sekalipun metode pencegahan transmisi HIV selama masa kehamilan dan melahirkan terbukti berhasil. Lebih dari setengah infeksi HIV baru di seluruh dunia adalah kelompok muda berusia 15 – 24 tahun, sekalipun upaya peningkatan kesadaran HIV/AIDS sudah banyak dilakukan. Anak yatim piatu karena atau terinfeksi AIDS kerap terabaikan hak atas perlindungan sosialnya, walaupun angkanya terus meninggi mencapai lebih dari sepuluh juta di lingkup Sub-Sahara Afrika sendiri. 4. Mereka yang paling rentan terkena dampak justru mendapat perhatian yang paling kurang dalam respon nasional terhadap HIV. Kebanyakan dari mereka yang berisiko tinggi terinfeksi HIV memiliki satu kesamaan yaitu: statusnya yang dikriminalisasi oleh hukum. Kepolisian yang berurusan dengan pemakai narkotika, pekerja seksa, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, sering menyuap dan menekan mereka untuk mendapatkan keterangan dan informasi, dan terkadang melakukan tindak kekerasan yang eksesif berupa pemerkosaan dan pembunuhan. Pendekatan yang punitif terhadap pemakaian narkotika, pekerja seks, dan homoseksualitas hanya memicu stigma dan kebencian terhadap kelompok yang secara sosial terpinggirkan, dan menjauhkan mereka dari layanan yang dapat mencegah, merawat dan memitigasi dampak HIV/AIDS. 5. Program pencegahan, perawatan dan dukungan HIV yang efektif berada dalam ancaman. Selama 25 tahun terakhir, telah terbukti bahwa program HIV yang efektif adalah yang berdasarkan pada kerelaan seseorang, program yang terinformasikan dengan baik, dan hubungan yang terbuka dengan layanan kesehatan yang berbasiskan pada bukti ilmiah. Layanan semacam itu harus memberikan informasi dan mengedukasi orang yang hidup dengan HIV, mendukung mereka untuk menjalani perilaku hidup sehat, dan menawarkan mereka beragam pilihan program pencegahan dan perawatan yang telah terbukti berhasil yang juga mengakui realita kehidupan mereka dan memperbolehkan mereka untuk memilih mana yang paling efektif bagi mereka. Namun, tren selama ini dengan adanya pendekatan-pendekatan yang koersif dan ‘satu untuk semua’ telah menunjukkan bahwa layanan HIV/AIDS tengah di bawah ancaman. 6. Aktivis AIDS mempertaruhkan keselamatannya dengan mendesak bahwa pemerintah harus menyediakan akses seluas-luasnya untuk pelayanan HIV/AIDS. Di banyak negara, aktivis yang menuntut adanya akses luas akan layanan HIV/AIDS menghadapi ancaman pencemaran nama baik, kekerasan, pemenjaraan dan bentuk perlakuan buruk lainnya dari pemerintah mereka. Aturan hukum yang melarang pembentukan organisasi semakin mempersulit masyarakat sipil untuk mengembangkan diri dan menyuarakan akan kebijakan AIDS yang efektif di negara mereka. 7. Perlindungan hak asasi manusia adalah cara untuk melindungi kesehatan publik. Perlindungan terhadap serangkaian hak asasi manusia adalah kunci bagi perlindungan kesehatan publik. Berangkat dari realita ini, aktivis HAM telah mencapai beberapa keberhasilan dalam upaya melawan AIDS seperti misalnya pengakuan hak atas non-diskriminasi berdasar status HIV; hak atas perawatan kesehatan sebagai bagian esensial dari layanan kesehatan; dan hak orang yang hidup dengan HIV/AIDS untuk berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan dan program AIDS. Namun, sebagian kalangan mengkritisi para aktivis karena mereka lebih fokus pada hak individu daripada kesehatan publik. Kenyataannya, hak asasi manusia adalah penting bagi kesehatan publik dan berhasil dalam respon terhadap HIV. 8. AIDS meletakkan tantangan unik dan mensyaratkan respon yang khusus. Lebih daripada epidemi dunia modern lainnya, AIDS menantang tanggung jawab dan akuntabilitas pemerintah. Ketakutan, prasangka buruk seputar seks, darah, infeksi penyakit, dan kematian – sekaligus juga persepsi bahwa HIV berhubungan dengan perilaku yang menyimpang atau amoral seperti hubungan seks di luar pernikahan, hubungan seks sesama lelaki, dan pemakaian narkotika – menyebabkan para pemimpin untuk tidak dapat bersikap berani dalam merespon epidemi AIDS. Isu kontroversial seperti kesetaraan jender dan seksualitas sering terabaikan dalam respon global terhadap AIDS, tidak hanya karena perempuan dan anak belum memiliki akses terhadap agenda politik para pemimpin dunia. Oleh sebab itulah, pemerintah harus terus mendedikasikan dirinya dan sumber daya yang dimiliki untuk mengintervensi HIV dengan menyasar pada kelompok yang HdH | 8 termarjinalkan, sebuah pola yang UNAIDS sebut dengan ‘mismanajemen serius akan sumber daya dan kegagalan penghormatan atas hak asasi manusia yang fundamental.’ 9. Respon ‘berbasis hak asasi manusia’ terhadap HIV sangat praktis dan benar-benar berfungsi. Pendekatan hak asasi manusia terhadap HIV tidak pernah abstrak, melainkan sungguhan, praktis, dan efisien. Negara-negara yag meletakkan hak asasi manusia di tengah perjuangannya melawan AIDS telah melihat bahwa epideminya berhasil ditekan atau diperlambat. 10. Aksi nyata mengenai HIV/AIDS dan hak asasi manusia kurang optimal sementara retorika sudah banyak disuarakan. Di atas kertas, respon hak asasi manusia terhadap HIV sudah banyak tertera. Pemerintah yang terlibat dalam Deklarasi Komitmen terhadap HIV/AIDS tahun 2001 telah mensepakati untuk mengambil langkah nyata dalam hal HIV dan hak asasi manusia dan menegaskan ulang komitmen ini lima tahun kemudian. Namun, dalam praktik, sedikit sekali upaya di level nasional yang mendukung perlindungan hukum dan hak asasi manusia orang yang hidup dengan, terdampak oleh atau rentan terhadap HIV. -Tulisan di atas diintisarikan dan diterjemahkan dari Human Rights and HIV/AIDS: Now More Than Ever yang ditulis oleh Ralf Jurgens dan Jonathan Cohen berdasarkan pengalaman kerja mereka di AIDS Law Project, Human Rights Watch dan Canadian HIV/AIDS Legal Network. (RG) HdH | 9 Suara Komunitas LBH Masyarakat bertanya: Apa pendapat kamu soal bantuan hukum bagi ODHA dan populasi kunci lainnya? Pentingkah? Jika iya, seberapa pentingkah hal tersebut? Melati, ODHA: “Coba dari dulu LBH Masyarkat datang ke sini, kan jadinya pas suami saya meninggal dan keluarganya lagi bagi bagi warisan saya bisa minta tolong bapak pengacara dari LBH.” Pingkan, Pekerja Seks: “Keberadaan bantuan hukum itu sangat penting untuk teman-teman di komunitas pekerja seks karena ada dua hal, yang pertama adalah dengan adanya bantuan hukum, teman-teman pekerja seks yang awalnya tidak tahu tentang hakhaknya akhirnya menjadi tahu. Dengan demikian, pada saat mereka mengalami pelanggaran atas hak mereka, mereka bisa tahu bahwa hal tersebut tidak seharusnya mereka alami. Terkadang, teman-teman pekerja seks diam saat haknya terlanggar karena mereka tidak tahu apakah hal tersebut merupakan hal yang benar/wajar atau tidak untuk dilakukan. Yang kedua adalah dengan adanya bantuan hukum dari LBH, mereka jadi tahu harus mengadu kemana saat mengalami permasalahan hukum.” Bunga, ODHA: “Pak kalo bantuan hukum itu bayar apa gratis pak?” Lulu, Yayasan Srikandi Sejati: “Bagaimanapun juga bantuan hukum tetap diperlukan dan penting bagi waria namun terkadang hal tersebut bukan merupakan kebutuhan mendasar bagi kaum waria.” Kiki, FORKON: “Sangat banyak pengguna narkotika yang masih trauma di kepolisian. Trauma tersebut muncul dari pengalaman yang mereka alami ataupun cerita-cerita dari rekan-rekan yang lain. Keberadaan bantuan hukum sangat penting untuk memberikan dampingan dan pemantauan dalam prosedur yang mereka akan lalui sebagai tersangka guna tercapainya fair trial,terutama di tahapan upaya paksa.” Ary, ODHA: “Menurut saya bagus banget ya, dengan adanya LBH yang memberikan bantuan hukum jadi bisa melindungi ODHA dari diskriminasi” Agenda Terdekat Sabtu, 31 Juli 2010 Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat akan memberikan presentasi diri dan konsep pemberdayaan hukum masyarakat yang kami usung di hadapan komunitas orang yang hidup dengan HIV/AIDS dalam acara Ngobrol Santai (Ngobras), bertempat di Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Asem Baris. Senin, 2 Agustus 2010 – Jumat, 13 Agustus 2010 Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bekerjasama dengan Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC) mengadakan program pemberdayaan perempuan yang diberi nama Women’s International Shared Experience (WISE). Program ini akan menyediakan latihan bagi sepuluh perempuan yang berasal dari komunitas pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, untuk membuat film dan menggunakan teknologi internet guna memultiplikasi efek pengaruh film tersebut. Pelatihan akan bertempat di LBH Masyarakat. Di hari Jumat, 13 Agustus 2010, film yang telah selesai dibuat oleh kesepuluh perempuan tersebut akan diputar untuk publik, bertempat di Pusat Kebudayaan Italia, Menteng. HdH | 10 Galeria Konferensi AIDS Internasional ke-18 18 – 23 Juli 2010, Vienna, Austria Beberapa placard yang bertuliskan pesan-pesan HAM dan HIV, ketika aksi damai di Vienna. Salah satu stand di Global Village di Konferensi AIDS Internasional, Vienna, 2010. Salah satu peserta aksi membawakan placard bertuliskan: Lindungi HAM, Stop AIDS. HdH | 11 Tentang LBH Masyarakat Berangkat dari ide bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk turut berpartisipasi aktif mewujudkan negara hukum yang demokratis, sekelompok Advokat, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mendirikan sebuah organisisasi masyarakat sipil nirlaba bernama Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat). Visi LBH Masyarakat adalah terwujudnya partisipasi aktif dan solidaritas masyarakat dalam melakukan pembelaan dan bantuan hukum, penegakan keadilan serta pemenuhan HAM. Sementara misinya adalah mengembangkan potensi hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk secara mandiri dapat melakukan gerakan bantuan hukum serta penyadaran hak-hak warga negara, dari dan untuk masyakarat. Secara ringkas, visi dan misi LBH Masyarakat diimplementasikan melalui tiga program kerja utama, yakni: (1) Pemberdayaan hukum masyarakat melalui pendidikan hukum, penyadaran hak-hak masyarakat, pemberian informasi mengenai hukum dan hak-hak masyarakat serta pelatihan-pelatihan bantuan hukum bagi masyarakat; (2) Advokasi kasus dan kebijakan publik; (3) Penelitian permasalahan publik dan kampanye hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.