Sebuah Peta Pemikiran Islam

advertisement
Ahmadiyah: Sebuah Peta Pemikiran Islam
Oleh:
Ngutsman Mukromin, M.Phil
1. Posisi Mirza Ghulam Ahmad dalam Pemikiran Islam
Islam sebagai tradisi memang telah mengakar kuat semenjak 14 abad yang
lalu dan hingga sekarang telah mengalami perkembangan pesat. Puncak
perkembangannya terjadi di era Abasiyyah (Baghdad) dan Umawiyah II (Andalusia)
yang berlangsung selama beratus-ratus tahun. Pada masa itu, Islam sudah tidak
lagi dikenal sebagai kebudayaan gurun pasir yang kasar dan kolot, melainkan
suatu kebudayaan yang telah banyak bersinggungan dengan kebudayaan dari
bangsa lain (Yunani, Romawi, Persia dan sebagainya). Hal tersebut membawa
dampak positif tersendiri, yakni cahaya ilmu-pengetahuan Islam yang telah
1
bersinar menjadi semakin benderang.
Puncak perkembangan peradaban Islam dapat diketahui dari munculnya
berbagai ilmu pengetahuan (seperti Matematika, Geometri, Astronomi, Medis,
Arsitek atau ilmu yang tentang penjelasan agama seperti Fiqh, Teologi, Tasawuf),
setelah Harun al-Rasyid membangun mega library, Bait al-Hikmah. Kemunculan
pemikir-pemikir besar seperti al-Kindi, al-Ghazali, Abu Dawud, Idris al-Syafi’i,
Washil Ibn ‘Atho, Abu Hasan al-‘Asy’ari termasuk Ibn Miskawaih, Ibn Rusyd, Ibn
Khaldun dan sebagainya adalah bintang-bintang yang menghiasi atmosfer
peradaban Islam kala itu.
Namun seiring berjalannya waktu kejayaan Islam pun mengalami titik
jenuhnya. Kerajaan besar Islam kemudian terpecah-pecah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil yang menyebar di beberapa tempat, bahkan saling
bermusuhan. Masyarakat Islam mengalami kejenuhan dengan rasionalitasnya
sehingga sebagian mereka bermigrasi ke dunia gnostik atau pengalaman batin.
Bukan hanya itu, kemunduran moral pun terjadi di kalangan atas (pejabat
kerajaan) yang akhirnya menyebar ke seluruh pelosok negeri, tak terkecuali pula
di Mesir dan India.
Pada waktu orang-orang Eropa mulai berkenalan dengan dunia Islam (abad
ke-15 M), umat Islam sendiri berada pada titik rendahnya, bid’ah ataupun tahayul
merejalela. Setiap saat mereka hanya disibukkan oleh banyak hal yang itu-itu saja,
diskusi-diskusi ilmiah yang terjadi di kalangan sarjana Islam tidak pernah
mengalami perkembangan, sampai kemudian tatkala bangsa Eropa datang ke
dunia Islam mereka terheran-heran melihat peralatan canggih orang-orang Eropa.
Menyadari akan kondisi semacam itulah, akhirnya muncul tokoh-tokoh pembaharu
semacam Ibn Taimiyyah, Muhammad Ibn Abd Wahhab (1703-1778 M), Muhammad
Ali Pasya (1765-1848), Jalaluddin al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, Syah Waliyullah (1703-1762 M), Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908 M),
Ahmad Khan (1817-1898 M), Muhammad Iqbal (1873-1938 M), dan sebagainya.
Mereka semua adalah tokoh-tokoh besar dari Mesir, Turki, India dan
sebagainya. Mereka para pembaharu yang dengan ajaran-ajarannya, gigih
memperjuangkan Islam dari kehancurannya. Dalam hal ini, tak terkecuali pula
dengan Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India. Ia merupakan seorang mujaddid
(pembaharu) abad ke-14 H yang telah berjuang keras mempertahankan Islam dari
1 Sayyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam terj. J. Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1997), hlm. 1
serangan-serangan pemuka agama lain. Bukan hanya itu, ia pun diyakini oleh
sebagian pengikutnya sebagai Masih dan Mahdi yang selalu ditunggu-tunggu
kedatangannya.
Diskursus mengenai pembaharuan (tajdi>d) dalam Islam ini memang tidaklah
asing di telinga karena jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah meramalkannya dalam
sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Sulaiman Ibn Daud al-Huriy,
dari Abi Wahab, dari Sa’id Ibn Abi Ayyub, dari Sarahil Ibn Yazid al-Mu’afiri, dari Abi
‘Alqamah, dari Abi Hurairah sebagai berikut: “Apa yang aku ketahui dari Rasulullah
SAW bahwasanya beliau bersabda: Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat (Islam) pada
permulaan seratus tahun (abad) seseorang yang akan memperbaharui agamanya.” (HR.
2
Abu Dawud).
Iskandar Zukarnain menuturkan bahwa istilah 'pembaharuan (tajdi>d)'
merupakan istilah yang interpretable, mengandung berbagai konotasi yang
berbeda. Kata “pembaharuan” bisa diartikan sebagai pengembangan (to
elaborate further), menafsirkan ulang (to reinterprete), kepada ajaran yang
dipandang asli (to return to the supposedly original teaching), membangkitkan
kembali (to revify), dan sebagainya. Masing-masing konotasi yang ada memiliki
penekanan yang berbeda pula yang, pada gilirannya akan mempengaruhi
pengertian dan pemahaman yang makin sulit untuk dirumuskan tipologi
pemikirannya. Jika pembaharuan yang dimaksudkan adalah “pengembangan”
(elaborasi ajaran-ajaran Islam), maka apa yang dilakukan oleh para imam
madzhab dan para pemikir Islam era klasik termasuk dalam kategori pembaharuan.
Sementara bila pembaharuan dipahami sebagai “penafsiran kembali” terkadang
memunculkan “gap” yang, bagi sebagian kalangan dinilai melangkah terlalu jauh
dari pakem al-Qur'an dan Hadis. Kondisi demikianlah yang akhirnya memunculkan
Ibn Taimiyah misalnya, suatu gerakan pembaharuan yang dengan gencar
menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Kemudian
pembaharuan dapat pula diartikan sebagai “revivication” (menghidupkan kembali
2 Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, juz IV (Mesir: Dar al-Hadis, 1998), hlm.
106-107.
“Man yujaddi>d” artinya “orang yang akan memperbaharui” tak menetapkan hanya
seorang, bisa jadi lebih dari seorang. Sejarah mencatat, bahwa dalam satu abad lebih dari satu
orang mujaddi>d pada tempat yang sama atau berbeda dimana banyak umat Islamnya. Menurut
Nawab Sidiq Hasan Khan (1258-1307 H / 1832-1889 M) dalam kitabnya Khujajul-Karamah
hlm135-139 nama-nama para mujaddid dari abad ke abad itu ialah :
a. ‘Umar Ibn Abd al-Aziz (abad I) tajdi>d-nya di bidang pemerintahan dan dakwah,
b. Idris al-Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambal (abad II) tajdi>d-nya di bidang hukum dan hadis,
c. Imam Abu Syarh dan Abu H}asan al-Asy’ari (Abad III) tajdi>d-nya di bidang akidah,
d. Abu Bakr al-Baqillani (abad IV) tajdi>d-nya di bidang tarikat dan filsafat,
e. Abu Hamid al-Ghazali (Abad V) tajdi>d-nya di bidang syari’at, tarikat dan filsafat,
f. Abd al-Qadir al-Jailan (abad VI) tajdi>d-nya di bidang tarikat,
g. Ibn Taimiyyah (abad VII) tajdi>d-nya di bidang akidah dan Khawaja Mu’inuddin Khisti
tajdi>d-nya di bidang tarekat,
h. Ibn Hajar al-Asqalani (abad VIII) tajdi>d-nya di bidang hadis dan hukum,
i. Sayd Muhammad Jonpuri (abad IX) tajdi>d-nya di bidang tarikat,
j. Imam al-Suyuti (abad X) tajdi>d-nya di bidang ‘ulum al-qur’a>n dan hadis,
k. Syaikh Ahmad Sirhind (abad XI) tajdi>d-nya di bidang tarekat dan akidah,
l. Syah Waliyullah (Abad XII) tajdi>d-nya di bidang hadis, tasawuf dan hukum,
m. Sayd Ahmad Barelvi (abad XIII) tajdi>d-nya di bidang akidah,
n. Mirza Ghulam Ahmad (abad XIV) tajdi>d-nya di bidang syari’ah dan tarekat. Sekaligus
sebagai Masih dan Mahdi yang menghadapi umat Kristen dan memimpin umat menegakkan
kembali kebenaran Islam atas semua agama secara damai.
doktrin dan praktik keagamaan), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu
Hamid al-Ghazali. Dalam kerangka demikian, partisipasi al-Ghazali patut diberi
penghargaan setinggi-tingginya karena berhasil merobohkan dinding pemisah
antara syari’at di satu sisi dan tasawuf di sisi yang lain. Dengan demikian, konflik
3
panjang antara kaum fuqaha dan kaum sufi dapat diakhiri.
Sedangkan menurut Simon Ali Yasir, sebagaimana dalam penjelasannya
ke-mujaddi>d-an Mirza Ghulam Ahmad bahwa pembaharuan tidaklah berdasar
atas inisiatif manusia untuk mengadakan perubahan, melainkan atas perintah
Allah kepada seseorang yang dikehendaki-Nya. Sedang mengenai maksud
pembaharuan, tidak lain supaya menyelamatkan umat Islam dari kerusakan,
4
kebodohan ataupun kebejatan moral.
2. Ciri Pemikiran Mirza Ghulam Ahmad
Anak Benua Asia atau yang sering disebut India dalam perkembangannya
pernah diduduki oleh sebelas dinasti Islam, yakni dimulai oleh Ghaznawiyah
(997-1186 M) sampai dengan Mughal (1526-1605 M).5 Pada saat-saat itu di India
sering terjadi ketegangan perebutan kekuasaan politik. Hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap karakter penduduknya di samping juga setiap perubahan
kekuasaan diikuti pula dengan perubahan kebijaksanaan.
Islam hadir di India dibawa oleh orang-orang Arab, Persia, dan Turki. Mereka
mampu mempertahankan kekuasaannya di tanah India selama 8,5 abad.
Keberadaan mereka telah membawa perubahan yang sangat berarti bagi
masyarakat setempat. Banyak pula warga yang awalnya beragama Hindu atau
Budha akhirnya memeluk Islam, mereka pun larut terbawa dalam persaingan keras
antarberbagai aliran (madzhab) yang berkembang di dunia Islam pada umumnya.
Sementara itu, paham keagamaan yang mereka anut pun mempengaruhi pula
terhadap pola pikir dan perilaku keseharian mereka.
Seiring dengan keruntuhan Dinasti Mughal menjelang abad ke-19 M, mereka
semakin menjauh dari sinar-sinar Islam, paham taqlid serta konserfatif pun
menjadi racun akut bagi mereka. Sementara itu Inggris, Portugis, Prancis, dan
Belanda sudah memasuki India semanjak abad ke-15 untuk tujuan perdagangan.
Sampai akhirnya maksud tersebut berubah menjadi penjajahan, terutama setelah
mereka berhasil mengalahkan Dinasti Mughal pada tahun 1857 M6 Pendudukan
Inggris tersebut rupanya semakin memperparah kondisi umat Islam di negerinya
sendiri.
Memang pada masa itu cahaya Islam sedang redup, kaum muslim banyak
mendapat serangan teologis dari para penganut agama lain sementara umat Islam
sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itulah, Ghulam kemudian angkat
bicara "membalaskan dendam" derita kaum muslimin. Ia sangat serius,
perlawanannya tidak tanggung-tanggung, untuk itulah ia mengeluarkan senjata
pamungkasnya, yakni klaim sebagai mujaddi>d, al-masi>h dan mah}di sekaligus.
Sedangkan untuk mempertegas gagasan-gagasan teologis yang diusung,
3 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di, hlm. 98.
4 Wawancara dengan Simon Ali Yasir, Pengurus Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah
Indonesia Bidang Kerohanian, di Berbah, Sleman, Yogyakarta tanggal 26 Nopember 2008.
5 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di, hlm. 45.
6 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di, hlm. 50.
digunakanlah dalil-dalil naqli dan ‘aqli.
Ghulam merupakan tokoh yang kontroversial dalam gagasannya, ia berani
melawan gelombang dahsyat pakem dunia Islam. Sebagai risikonya, banyak
menuai rintangan baik dari kawan maupun lawannya. Ghulam memang telah
mengibarkan bendera perang pemikiran (g{azw al-fikr) dengan musuh-musuhnya,
perang yang akan terus berkecamuk hingga akhir zaman. Ia termasuk sosok
limited edition yang begitu yakin dengan pendirian bahwa Islam selalu on going
process, bukan produk jadi atau tinggal pakai. Dengan segenap kemampuan, ia
berupaya keras membuktikan bahwa al-Isla>m s}alih li kull zama>n wa maka>n.
Dalam Malfuz}a>t dengan semangat dikatakan bahwa zaman ini adalah zaman
perang pena melawan orang-orang kafir, peperangan argumentasi untuk
menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama wahyu yang mulia.7
Berbeda dengan para mujaddi>d Islam lainnya, sebagaimana yang dikutip
Hamka Haq dari Mirza Basir Ahmad, Ghulam tidak lebih dari seorang pemimpin
spiritual belaka dan bukan seorang politikus atau pemimpin duniawi.8 Pendapat
demikian tidaklah berlebihan, pasalnya Ghulam dalam mendakwahkan ide-ide
segarnya tidak menggunakan bendera politik sebagaimana Jalalaluddin al-Afghani,
Ali Syariati maupun Muhammad Iqbal dan tidak juga melalui jalur pendidikan
formal seperti Ahmad Khan dengan MAOC (Mohammadan Anglo Oriental College).
Ia merasa lebih yakin bila cahaya Islam harus dihidupkan kembali melalui cara
9
sebagaimana yang dicontohkan Muhammad SAW. Ghulam memilih menanggapi
para penentangnya waktu itu, dengan cara diskusi, adu argumentasi secara
langsung (berdebat), menulis di beberapa media, menerbitkan buku, juga
mendirikan organisasi bagi para pengikutnya. Ghulam selalu menekankan
pentingnya berdamai dengan siapapun, terutama dengan Kerajaan Inggris, di
samping karena Islam mengajarkan perdamaian juga supaya bisa lebih leluasa
10
dalam berdakwah.
Dari sekian gagasan-gagasan yang mucul dan melalui sosoknya yang
11
sederhana tercermin bahwasanya Ghulam adalah seorang teolog.
Bagaikan
serdadu yang bertugas menjaga benteng pertahanan, tugas seorang teolog ialah
mempertahankan kekokohan Islam terutama bila ada pihak luar (non muslim) yang
berusaha merongrong ajaran Islam dengan argumentasi mereka. Isu besar yang
umumnya diusing oleh para teolog ialah isu-isu seputar ketuhanan dan keimanan,
kecenderungan semacam itu pun muncul dalam Ghulam. Hanya saja, berhubung
isu-isu teologis yang berkembang saat itu berbeda dengan isu-isu teologis zaman
dahulu (genarasi tabi’in) maka dapat dimaklumi bila ajaran teologi Ghulam sedikit
7 Mulyono, Bunga Rampai Paham Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Yogyakarta: Darul Kutubil
Islamiyah, 2003), hlm. 46.
8 Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total terhadap Ahmadiyah (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1981), hlm. 39.
9
Tim Penyusun,
dalam
situs
resmi
Gerakan Ahmadiyah
Indonesia,
http://www.ahmadiyah.org, diakses tanggal 17 Oktober 2008.
10 Wawancara dengan S. Ali Yasir, Pengurus Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia
Bidang Kerohanian, di PIRI Yogyakarta, tanggal 10 Februari 2009.
11 Ilmu Kalam (Teologi Islam), sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain adalah rumusan
sistematis keprihatinan dan pergumulan pemikiran manusia tentang persoalan-persoalan
ketuhanan yang terjadi pada era tertentu. Amin Abdulah, Studi Islam: Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 121.
berbeda dengan teologi Islam sebegaimana yang berkembang semenjak zaman
dahulu.
Menurut hemat penulis, perbedaan ajaran teologi tersebut hanya berada
pada kulit luarnya sementara esensinya sama, yakni mengagungkan ajaran Islam.
Meskipun demikian, ide-ide teologis Ghulam yang dinilai kontroversial itu
disampaikannya kepada khalayak dengan menggunakan cara yang tegas,
berargumentasi rasional, dan tidak meninggalkan cara-cara yang lemah lembut,
terutama kepada para penganut agama lain. Di sisi lain penulis menyadari bahwa
ide-ide Ghulam ternyata tidak bisa dipisahkan dari pengalaman spiritual yang
dijalaninya setiap hari. Sehingga bila kami mengikuti pengertian Baldick mengenai
12
sufisme, dapat dipastikan bahwasanya Ghulam ialah seorang sufi (tasawuf).
Ghulam dalam suatu karangannya, mengakui bahwa segenap pengetahuannya
diperoleh melalui pengalaman kasyf, sewaktu mendekatkan diri kepada Allah.
Berdasarkan perilaku keseharian pun terlihat bahwa Ghulam merupakan seorang
yang selalu meneladani kesederhanaan Rasulullah SAW, sehingga tidaklah
berlebihan bila sebagian kaum ahmadi menganggap Ghulam sebagai nabi z{illi
13
(nabi bayangan) dari Nabi Muhammad SAW.
3. Seputar Ahmadiyah
a)
Munculnya Ahmadiyah
Ghulam sewaktu menulis Barahin Ahmadiyah di kamarnya pada bulan Maret
1882 M, mendapat wahyu dari Allah SWT mengenai pengangkatannya sebagai
mujaddid. Setelah lima tahun berikutnya, yaitu pada 1 Desember 1889 M, mendapat
wahyu untuk menerima bai’ah dari para pengikutnya. Sampai pada 23 Maret 1889
secara resmi organisasi Ahmadiyah pun didirikan. Pemilihan nama Ahmadiyah
didasarkan atas pertimbangan nama Rasulullah SAW, yakni Ahmad dan Muhammad.
Nama Ahmad mengandung makna jama>li (keindahan) sementara nama Muhammad
mengandung makna jala>li (keagungan). Berdasarkan pertimbangan itu Ghulam
memutuskan untuk menamai organisasi baru tersebut dengan Ahmad - Ahmadiyah,
dengan filosofi sebagai gerakan Islam yang menekankan nilai keindahan (jama>li).
Karakteristik sifat jama>li ada empat syarat yang dijunjung tinggi, yaitu: (a)
kekuatan ilmu, (b) kekuatan burhan (bukti, argumentasi), (c) kekuatan taqwa atau
berbakti kepada Allah SWT dan (d) kekuatan rohani atau pertolongan Allah.
Tiga tahun sepeninggal Ghulam Ahmad, mulailah terjadi perpecahan dalam
tubuh Ahmadiyah. Perpecahan tersebut dipicu adanya perbedaan pendapat
mengenai masalah khilafah (sistem kepemimpinan) dan iman terhadap kenabian
Ghulam Ahmad. Khilafah merupakan model khas sistem kepemimpinan Islam di
12 Sufisme ialah tradisi mistis, yang bila dibandingkan dengan tradisi Eropa dapat
diposisikan antara monastisisme dan freemasonry. Sufisme memiliki ciri monastisisme meski tidak
menganjurkan pelakunya untuk hidup selibat. Sufisme juga menganjurkan hidup dengan
kesederhanaan namun tidak membeda-bedakan antara kaum agamawan dan kaum awam. Sufisme
menekankan cinta kepada Tuhan dan mengajarkan bahwa antara Tuhan dan manusia memiliki
hubungan khusus yang bisa dirujuk pada perjanjian azali. Sufisme mempunyai doktrin tentang
t}ari>qat seperti maqa>mat dan ahwa>l yang kesemuanya bermuara pada fana’ (keterleburan
sang mistikus) dan baqa’ (kekal dalam atmosfer ilahiah). Sedangkan tema pokok sufisme ialah
gnostik (makrifa>t). Lihat, Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf terj.
Satrio Wahono (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 11-12.
13 Nabi z{illi (nabi ummati) ialah nabi bayangan. Nabi ini menjadi bayangan dari nabi
sebelumnya karena ia tunduk, mengikuti dan mencontoh sifat-sifat nabi sebelumnya (nabi haqi>qi),
yakni Muhammad SAW. Selain itu, nabi z{illi juga diangkat oleh Allah SWT. Lihat, Mirza Ghulam
Ahmad, Penampakan Kebesaran Tuhan terj. R. Ahmad Anwar (tk: Yayasan Wisma Damai, 1975), hlm.
35. Lihat juga, Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 104-105.
zaman Khulafa al-Rasyidin, di mana seorang khalifah (pemimpin) dipilih secara
musyawarah dan bertanggung jawab penuh terhadap maju-mundurnya Islam di
seluruh wilayah “negara Islam”. Sistem tersebut telah diberlakukan semenjak awal
untuk memanajemen Ahmadiyah sebagai gerakan mahdi yang telah memiliki
jangakaun luas, baik di kalangan muslim maupun non muslim. Namun semenjak
meninggalnya khalifah I yakni Maulwi Nuruddin pada 30 Mei 1908, sistem
kepemimpinan tersebut menjadi bahan perdebatan sengit, pihak pertama tetap
mendukung diberlakukannya khilafah dengan alasan mengikuti tradisi Islam dan
sekaligus wasiat Ghulam Ahmad sendiri. Sementara pihak kedua berpendapat bahwa
khilafah tidak diperlukan lagi melainkan cukup dengan Anjuman (organisasi) saja.
Sistem khilafah mengharuskan adanya khalifah yang memegang kontrol secara
terpusat, berlaku bagi seluruh “negara Islam”. Sementara dalam Anjuman, sistem
kepemimpinan “negara Islam” tidaklah terpusat sebagaimana khilafah, melainkan
diserahkan kepada masing-masing wilayah untuk mengatur organisasinya secara
independen.14
Demikian pula mengenai keimanan terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad,
telah memunculkan dua kubu yang sulit dipertemukan. Kubu pertama meyakini
bahwa Ghulam adalah seorang nabi hakiki, yaitu “Ahmad” sebagaimana yang
disebutkan dalam al-Qur’an al-Shaff: 6. Barangsiapa yang tak berbai’at dan
mengimani kenabian Ghulam hukumnya kafir, secara otomatis keluar dari Islam.
Pandangan ekstrim tersebut rupanya ditentang keras oleh kubu kedua, Ghulam
Ahmad bukanlah seorang nabi hakiki dan bukan pula “Ahmad” yang disebutkan
dalam QS. al-Shaff: 6. Ghulam Ahmad hanyalah seorang mujaddid biasa dan
barangsiapa yang mengucapkan kalimat syahadat adalah Islam. Di satu sisi kubu
kedua ini tetap mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi, tapi nabi dzilli (nabi
bayangan dari Muhammad SAW), bukan nabi haiki. Sementara menurut hemat
penulis, perpecahan yang terjadi dalam tubuh Ahmadiyah tersebut hanya
dikarenakan adanya perbedaan tafsir ketika memahami al-Qur’an, Hadits serta
pernyataan Ghulam Ahmad sendiri tentang kenabian yang tidak konsisten.
Sementara menurut Syafi’i R. Batuah, berdasar penuturan Iskandar Zulkarnain,
bahwa terjadinya perpecahan dua Ahmadiyah tersebut sebetulnya dipicu oleh
kegagalan Muhammad Ali dalam bursa pencalonan sebagai khalifah II, pengganti
Maulwi Nuruddin sebagai khalifah I. Mayoritas warga Ahmadiyah sangat berharap
kalau Muhammad Ali menjadi khalifah II, tapi rupanya sejarah berkata lain dengan
memutuskan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai khalifah baru. Kekecewaan
pun akhirnya menyebabkan Muhammad Ali hijrah ke Lahore dan mendirikan
organisasi baru di sana, peristiwa ini terjadi pada tahun 1914 M. Setelah kejadian itu,
secara resmi Ahmadiyah telah terpecah menjadi dua, yakni Ahmadiyah Qadian di
bawah kepemimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah II) dan Ahmadiyah
Lahore (Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam) yang dikelola oleh Muhammad Ali dan
Kwaja Kamaluddin. Ahmadiyah Qadian tetap berpegang pada kekhilafahan dan
meyakini Ghulam Ahmad sebagai nabi hakiki sementara Ahmadiyah Lahore
memberlakukan sistem anjuman dan meyakini Ghulam Ahmad hanyalah sebagai
mujaddid biasa.15
Hingga detik ini kedua Ahmadiyah tersebut tetap eksis bahkan telah tersebar
hampir ke seluruh belahan dunia, masing-masing golongan mendirikan masjid-masjid
sebagai pusat kegiatan, menerjemahkan al-Qur’an ke berbagai bahasa dunia serta
mengutamakan pentingnya pendidikan, bahkan Ahmadiyah Qadian telah mendirikan
stasiun TV internasional yang bisa diakses selama 24 jam. Pusat kekhalifahan
Ahmadiyah Qadian akhirnya pindah ke London dan masing-masing jemaat yang
berada di setiap negara tunduk di bawah perintah khalifah. Sementara Ahmadiyah
14 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 70
15 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 70-74
Lahore yang berada di Indonesia misalnya, secara struktur keorganisasian tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan sesama Ahmadiyah Lahore di negara
manapun, akan tetapi mereka selalu menjalin komunikasi.
b)
Kedatangan Ahmadiyah di Indonesia
Awalnya Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito merupakan salah
seorang kader muda Muhammadiyah di Yogyakarta, namun karena pola pemikirannya
yang liberal sehingga banyak mengalami ketidaksepahaman dengan KH. Ahmad
Dahlan. Hingga kemudian tatkala mendengar berita mengenai Ahmadiyah hatinya
menjadi berbunga-bunga. Djojosugito mengenal Ahmadiyah semenjak tahun 1918 M
melalui majalah Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura dan baru dapat
mengenal lebih dalam setelah Kwaja Kamaluddin datang ke Indonesia pada 23
Oktober 1920 untuk berdakwah dan sekaligus berobat di Surabaya.
Tanggal 10 Desember 1928 secara resmi Djojosugito mendirikan organisasi
Ahmadiyah di Indonesia, tempat kediamannya sendiri di Jalan Kemuning No. 14
Baciro, Yogyakarta dijadikan sebagai pusat kegiatannya. Dan pada tanggal 28
September 1929 diajukan permohonan pengakuan sebagai badan hukum: Badan
Hukum No. IX keluar pada tanggal 30 April 1930, dengan nama Indonesische
Ahmadiyah Beweging atau Gerakan Ahmadiyah Indonesia (centrum Lahore) disingkat
GAI. Kini di tempat kediaman Djojosugito tersebut telah berdiri pusat pendidikan
(SMP, SMA dan SMK) yang dikelola oleh Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI).
Kemudian mengenai kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia didahului oleh
kisah keberangkatan dua orang pemuda alumni perguruan Sumatra Thawalib, Padang
Panjang asuhan Haji Rasul (ayahanda HAMKA) ke India. Mereka adalah Abu Bakar
Ayyub dan Ahmad Nuruddin, berangkat ke India melalui Medan dengan tujuan untuk
menemui seorang ulama di Lucknow. Sewaktu belajar di Madrasah Nizamiah di
Lucknow, datanglah seorang teman dari Pajang Panjang bernama Zaini Dahlan.
Akhirnya mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju Qadian, semat singgah
juga di Lahore. Di Qadian mereka disambut baik oleh Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad dan diperbolehkan mengikuti pelajaran di Madrasah Ahmadiyah dan berbai’at.
Selang beberapa waktu mereka berkirim surat kepada keluarganya di tanah air dan
menceritakan kondisi belajar di Qadian. Dari surat tersebut akhirnya banyak pelajar
tanah air yang berdatangan ke Qadian hingga total jumlah mereka menjadi 19 orang.
Pada suatu kesempatan mereka dapat bertemu kembali dengan Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad dan memintanya untuk bersedia melakukan kunjungan
ke Indonesia. Akhirnya pada bulan Agustus 1924 M khalifah II Ahmadiyah tersebut
mengutus Maulana Rahmat Ali untuk berdakwah di Indonesia. Beberapat tahun
kemudian yakni tahun 1929 berdirilah cabang Ahmadiyah Qadian berkat usaha gigih
Rahmat Ali dan beberapa pelajar yang pulang dari Qadian. Pengurus Besar
Ahmadiyah Qadian baru terbentuk setelah diadakan konferensi pada 15-16 Desember
1935 M di Clubgebow Kleykampweg No. 14 Jakarta. Dan pada 13 Maret 1953 M
organisi ini secara resmi telah berbadan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman
No. J.A/5/23/13 yang diumumkan dalam Berita Negara Nomor 26 tanggal 31 Maret
1953 M, bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Hingga kini Pengurus Besar
Jemaat Ahmadiyah Indonesia berkedudukan di Jalan Balikapan 1/10 Jakarta.16
4. Konsep Kenabian
Satu tema yang paling sering menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat
mengenai Ahmadiyah ialah masalah kenabian. Pemahaman kaum ahmadi terhadap
kenabian memang tergolong kontroversial, baik dalam kalangan Qadian maupun Lahore,
terlebih lagi dengan paham kaum muslim pada umumnya. Kenyataan inilah yang sering
16 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 194-196
kali luput dari pikiran kita sehingga tanpa sadar kita telah menjebak mereka dalam
penjara “sesat”. Padahal satu-satunya “lembaga” yang berhak memutuskan sesatnya
suatu kaum ialah “lembaga keilahian”, yakni Allah SWT. Sementara manusia hanya diberi
kebebasan untuk berijtihad, jika benar ijtihadnya ia berhak mendapatkan dua pahala dan
jika salah dalam berijtihad maka pahalanya hanya satu.
Kesamaan yang dimiliki oleh kaum ahmadi dengan kaum muslim pada umumnya
ialah mereka menggunakan sumber yang sama, yakni al-Qur’an dan Hadits. Namun karena
historisitas sehingga antara satu kaum dengan lainnya memiliki tafsir yang berbeda.
Secara umum, baik Ahmadiyah maupun paham Islam lainnya memandang bahwasanya
nabi ialah seseorang yang terpilih. Seorang nabi dipilih secara langsung oleh Allah SWT
dan mendapatkan wahyu.17 Sedangkan keterpilihannya tersebut menjadikan nabi itu
diberi tugas “melakukan sesuatu” atau tidak, hal inilah yang harus dijelaskan lebih
lanjut.
Ahmadiyah Qadian memiliki tiga klasifikasi terkait masalah kenabian tersebut,
yaitu:18
1. Nabi Tasyri’ dan Mustaqi>l
Nabi Tasyri’ ialah nabi yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan syari’at.
Sementara nabi Mustaqi>l yakni nabi yang tidak mengikuti nabi sebelumnya.
Contohnya Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad SAW, mereka diutus
untuk menyebarkan syari’at khusus. Nabi Muhammad SAW diutus untuk
menyebarkan al-Qur’an (Syari’at Islam), bukan untuk melanjutkan syari’at Injil.
Begitu pula Nabi Isa a.s. diutus dengan membawa Injil, tidak mengikuti syari’at Nabi
Musa a.s. (Taurat). Dengan demikian ketiga nabi tersebut disebut nabi Tasyri’ dan
sekaligus nabi Mustaqi>l.
2. Nabi Mustaqi>l Ghair al-Tasyri’
Nabi Mustaqi>l Ghair al-Tasyri’ ialah seorang nabi yang tidak mengikuti nabi
sebelumnya (secara langsung)19 dan tidak pula membawa syari’at baru. Namun
dalam bersyari’at mereka melanjutkan bahkan mengoreksi syari’at nabi sebelumnya.
Sebagai contoh Nabi Sulaiman, Zakaria dan Yahya a.s., mereka dipilih menjadi nabi
secara langsung oleh Allah SWT namun syari’at mereka mengikuti syari’at nabi
sebelumnya.
3. Nabi Z~illi Ghair al-Tasyri’
Nabi Z~illi Ghair al-Tasyri’ yakni seorang hamba yang terpilih menjadi nabi berkat
kepatuhannya mengikuti nabi sebelumnya. Hamba Allah SWT yang masuk dalam
kategorisasi ini ialah Mirza Ghulam Ahmad.
Lebih lanjut kaum ahmadi Qadian meyakini bahwa nabi-nabi yang bersifat tasyri’
memang telah berakhir karena lembaga kenabian telah tertutup. Sementara nabi-nabi
yang bersifat z~illi masih akan terus berlanjut selama masih ada hamba Allah SWT yang
patuh terhadap syari’at Islam. Menurut hemat kami, pengertian nabi z~illi dalam
Ahmadiyah ini memiliki pengertian yang sama dengan konsep wali (kekasih Allah SWT)
17 Istilah nabi berasal dari kata naba’ yang berarti membawa kabar, berarti juga ramalan
tentang peristiwa yang akan terjadi. Dalam Ahmadiyah istilah nabi dan rasul memiliki satu
pengertian, seorang nabi bisa disebut pula rasul. Mereka menggunakan dasar pengertian dalam
QS Yunus (10): 47 dan QS al-Maidah (16): 36. Lihat Muhammad Ali, Quran Suci, terj. M. Bachrun,
(Jakarta: darul Kutubil Islamiyah), hlm. 864.
Sedangkan keberadaan wahyu, dalam Ahmadiyah, tidak terbatas hanya diperuntukkan
kepada para nabi. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW bukan berarti Malaikat Jibril a.s. pensiun
tetapi wahyu akan tetap turun sampai hari akhir. Bahkan wahyu Allah SWT diperuntukkan juga
bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Lihat Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 101.
18 Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, hlm. 103-104.
19 Nabi yang mengikuti nabi sebelumnya secara langsung, contohnya Nabi Harun a.s yang
direkomendasikan oleh Nabi Musa a.s. untuk menjadi nabi guna membantu perjuangan Nabi
Musa a.s.
dalam pemahaman kaum NU.
Adapun Ahmadiyah Lahore hanya memunculkan dua klasifikasi mengenai tafsir
kenabian ini, yakni: (1) Nabi Haqiqi, yaitu nabi yang membawa syari’at; dan (2) Nabi
Lughawi (Z~illi), yaitu seorang hamba terpilih yang memiliki persamaan cukup besar
dengan nabi, ia menerima wahyu tetapi tidak bersifat tasyri’.
Dalam “Katekismus Ahmadiyah” Lahore terdapat catatan sebagai berikut;20
Cara menafsirkan pernyataan H.M. Ghulam Ahmad, Ahmadiyah Qadian tak
membedakan antara arti harfiah dengan arti istilah, antara arti hakiki dengan
majasi dan antara istilah syar’i dengan istilah shufi, dengan demikian H.M. Ghulam
Ahmad sebagai Nabi juga tanpa syariat atau Nabi majasi. Sedang Ahmadiyah Lahore
membedakan antara ketiga “pasangan” tersebut, sehingga kesimpulannya “H.M.
Ghulam Ahmad itu bukan Nabi menurut istilah syar’i”. Nabi majasi atau zhilli dalam
istilah shufi adalah bukan Nabi dalam istilah syar’i. Jika istilah shufi dipahami
secara syar’i akan menimbulkan fitnah.
H.M. Ghulam Ahmad menyatakan: “julukan sebagai nabi dari Tuhan untuk Masih
Mau’ud, yang terdapat di Hadits Shahih Muslim, dan lain-lain dari lidah yang
diberkahi dari Nabi Suci diartikan dalam arti kiasan, sama dengan yang terjadi
dipustaka shufi sebagai terminologi umum yang diterima sebagai penerima
komunikasi dengan Tuhan” (Anjam Atham, footnote, hlm 28).
Sedangkan mengenai pemaknaan terhadap istilah Kha>tam al-Nabiyyi>n, Ahmadiyah
Qadian dan Lahore pun tidak memiliki tafsir yang berdekatan. Ahmadiyah Qadian
berpendapat bahwa kata “kha>tam” apabila dilekatkan pada ayat Kha>tam al-Nabiyyi>n,
yaitu berhubungan dengan jamak (meervood), maka tidak berarti penghabisan atau
penyudah melainkan yang termulia. Namun dalam tafsir Qadiani ungkapan “Nabi terakhir
(Rasulullah SAW) adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa syariat”. Jadi
memungkinkan datangnya nabi baru tanpa syariat. Sedangkan menurut Ahmadiyah Lahore
Kha>tam al-Nabiyyi>n artinya segel (penegas) para Nabi selaras dengan pendapat Ghulam
Ahmad, bahwa “Muhammad SAW adalah nabi terakhir dari nabi-nabi dan sekaligus nabi
terbesar dari semua nabi”.
Mirza Ghulam Ahmad pernah menjelaskan:21
… tidakkah engkau ketahui bahwa Tuhan Yang Maha-penyayang telah menamakan
Nabi kita saw. dengan Khâtamul-ambiya’ dengan tanpa kecuali dan ditafsirkan
perkataan itu oleh Nabi kita dengan sabdanya lâ nabiyya ba’dî (tak ada Nabi
sesudahku) dengan terang. Jika kita bolehkan lahirnya seorang nabi sesudah Nabi
kita saw., berarti kita membolehkan terbukanya pintu wahyu kenabian sesudah
tertutupnya. Yang demikian ini suatu ucapan yang jelek. Bagaimana bisa jadi datang
seorang nabi sesudah Nabi kita saw., padahal telah terputus wahyu kenabian
sesudah wafatnya Nabi (saw), dan Allah telah akhiri dengan dia (nabi saw) sekalian
para nabi? (Hamamatul-Busyra, hlm 74-77).
Quran
Suci
ayat-ayatnya
“alyauma
akmaltu
lakum
dînakum”
dan
“walâkîr-rasûlallâhi wa khâtaman-nabiyyîn telah dengan jelas menutup pintu
kenabian dan mengakhirinya dalam pribadi Nabi Suci Muhammad saw”. (Tuhfah
Golarwiyah, hlm 83).
20 Tim Penyusun, Katekismus Ahmadiyah, Soal No. 80, tidak diterbitkan
21 Tim Penyusun, Katekismus Ahmadiyah, Soal No. 81, tidak diterbitkan.
Download