BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Pemasaran (marketing)
Kotler dan Keller (2009:36) mengemukakan inti dari pemasaran adalah memuaskan
kebutuhan dan keinginan konsumen. Sasaran dari bisnis adalah mengantarkan nilai pelanggan
untuk menghasilkan laba. Untuk penciptaan dan menghantarkan nilai dapat meliputi fase
memilih nilai, fase menyediakan nilai, fase mengkomunikasikan nilai.
Menurut Donald Trump pemasaran adalah tentang memahami apa yang diinginkan
kemudian berupaya memberi hal yang diinginkan dengan harga yang bersedia mereka bayar,
tentang menetapkan dan memilih secara strategic customer mana saja yang ingin anda
puaskan, tentang mendesain suatu produk atau jasa yang memiliki kegunaan atau manfaat
yang diinginkan orang dan tidak dapat diperoleh ditempat lain, dan tentang iklan.
Berdasarkan pendapat Donald Trump (2007:9)
Dari kedua definisi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasarnya pemasaran bukan
hanya menjual barang atau jasa tapi juga meliputi kegiatan pemenuhan kebutuhan dan
keinginan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran, untuk dapat menciptakan suatu
nilai pelanggan dan untuk membangun hubungan pelanggan, agar pada akhirnya tercipta
kepuasan konsumen, serta dapat menghasilkan laba bagi perusahaan.
2.1.1.1 Proses Pemasaran
Dalam proses pemasaran terdapat lima langkah sederhana. Dalam empat langkah
pertama,perusahaan bekerja untuk memahami konsumen,menciptakan nilai pelanggan dan
membangun hubungan pelanggan yang kuat dan di langkah terakhir,perusahaan menuai
manfaat dari penciptaan nilai pelanggan yang unggul. Oleh karena itu,mereka pada waktunya
menangkap nilai dari konsumen dalam bentuk penjualan,keuntungan dan ekuitas pelanggan
jangka panjang. (Kotler dan Armstrong,2010).
Gambar 2.1 Proses Pemasaran
Sumber : Kotler dan Armstrong (2010)
2.1.1.2 Bauran Pemasaran
Sebuah respon yang diinginkan oleh target pasar berdasarkan positioning,yang dapat
dikontrol melalui bagian pemasaran yaitu berupa produk,harga,lokasi dan promosi. (Kotler
dan Armstrong,2010).
Gambar 2.2 Bauran Pemasaran
Sumber : Kotler dan Armstrong (2010)
1. Produk
Sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk diperhatikan, digunakan, diakusisi,
atau dikonsumsi untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan target pasar. Termasuk
di dalamnya : ragam, kualitas, desain, fitur, merek, kemasan, dan layanan. (Kotler dan
Armstrong, 2010)
2. Harga
Sejumlah uang yang harus dibayarkan pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa.
Termasuk di dalamnya : harga pokok, diskon, syarat pembayaran, potongan harga dan
kredit. (Kotler dan Armstrong, 2010)
3. Tempat
Kegiatan perusahaan yang membuat produk tersedia bagi pelanggan yang ditargetkan.
Termasuk di dalamnya : jaringan, jangkauan, lokasi, persediaan, transportasi, logistik.
(Kotler dan Armstrong, 2010)
4. Promosi
Aktivitas penyampaian informasi manfaat dari sebuah produk atau jasa yang tersedia
bagi pelanggan yang ditargetkan. Termasuk di dalamnya : iklan, penjualan Personal,
promosi penjualan, hubungan masyarakat. (Kotler dan Armstrong, 2010)
2.1.1.3 Produk
Produk adalah segala sesuatu yang diterima oleh konsumen pada saat melakukan
pembelian atau menggunakan produk. Secara lebih formal, produk adalah jumlah seluruh
kepuasan fisik dan psikologis yang dinikmati oleh konsumen sebagai akibat pembelian atau
penggunaan sebuah produk (Simamora, 2000, p440).
Sedangkan menurut Kotler dan Armstrong (2010, p248), produk adalah sesuatu yang
dapat ditawarkan kepada pasar untuk diperhatikan, digunakan, diakusisi, atau dikonsumsi
untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan target pasar.
Supranto dan Limakrisna (2007, p11), produk adalah segala sesuatu yang dibutuhkan
dan diinginkan seorang konsumen, untuk memenuhi kebutuhan yang dipersepsikan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan sebagai solusi
untuk mengatasi masalah atau kebutuhan atau keinginan yang dihadapi dan dibutuhkan oleh
calon pembeli.
2.1.1.4 Tingkatan Produk
Tingkatan sebuah produk, menurut Kotler dan Armstrong (2010, p250) bahwa ada
lima tingkatan di dalamnya :
Gambar 2.3 Tingkatan Produk
Sumber : Kotler dan Armstrong (2010, p250)
1. Tingkat dasar / Inti produk
Manfaat inti, bagian untuk mencari tahu apa yang benar- benar dibutuhkan oleh
konsumen. Pemasar harus mendefinisikan inti ketika merancang produk. (Kotler dan
Armstrong, 2010)
2. Aktual Produk (Actual Product)
Para perencana produk harus mengubah manfaat inti menjadi produk aktual. Mereka
harus mengembangkan fitur produk, desain, tingkat kualitas, nama merek, dan
kemasan. (Kotler dan Armstrong, 2010)
3. Tambahan Produk (Augmented Product)
Perencanaan produk harus membangun produk tambahan di sekitar manfaat inti dan
produk aktual dengan menawarkan pelayanan dan manfaat tambahan bagi konsumen.
(Kotler dan Armstrong, 2010).
2.1.1.5 Klasifikasi Produk
Dalam bukunya yang berjudul “Principles of Marketing” edisi ke-13 , Kotler dan
Armstrong (2010, p250) mengklasifikasikan produk dalam :
1. Produk Konsumen (Consumer Product)
Produk yang dibeli oleh konsumen akhir, untuk digunakan secara pribadi yang
mencakup produk kebutuhan sehari-hari, produk belanja, produk khusus, produk yang
tidak dicari. (Kotler dan Armstrong, 2010)
a) Produk Kebutuhan Sehari-hari (Convenience Product)
Merupakan produk konsumen yang biasa dibeli konsumen secara rutin, segera,
tidak
memerlukan
pertimbangan
besar
dan
usaha
yang
besar
untuk
mendapatkannya. (Kotler dan Armstrong, 2010)
b) Produk Belanja (Shopping Product)
Produk konsumen yang dalam proses pemilihan dan pembeliannya, biasanya
dibandingankan berdasarkan kecocokan, kualitas, harga dan style konsumen
tersebut. (Kotler dan Armstrong, 2010)
c) Produk Khusus (Speciality Product)
Produk konsumen yang memiliki keunikan karakteristik atau identifikasi merek
yang digunakan oleh sekelompok pembeli yang siginifikan bersedia untuk
melakukan pembelian tersebut. (Kotler dan Armstrong, 2010)
d) Produk yang Tidak dicari (Unsought Product)
Produk konsumen yang mungkin tidak dikenal konsumen atau produk yang
mungkin dikenal konsumen tetapi biasanya tidak terpikir oleh konsumen untuk
membeli produk tersebut. (Kotler dan Armstrong, 2010)
e) Produk Industri (Industrial Product)
Produk yang dibeli untuk pemrosesan lebih lanjut atau untuk digunakan dalam
menjalankan suatu bisnis. Oleh karena itu, perbedaan antara produk konsumen
dan produk industri didasarkan pada tujuan untuk apa produk itu dibeli. (Kotler
dan Armstrong, 2010)
2.1.2 Brand
Menurut Kertajaya (2009:11) merek adalah indikator value yang ditawarkan oleh
perusahaan terhadap pelanggan, aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan
memperkuat kepuasan dan loyalitas pelanggan, merek juga menjadi “alat ukur” bagi kualitas
value yang digunakan perusahaan. Secara sederhana Kertajaya (2004:14) mendefenisikan
value sebagai total get atau semua manfaat yang didapat oleh pelanggan dibagi dengan total
give atau semua pengorbanan yang diberikan oleh konsumen . Total get mencakup dua
komponen, yaitu functional benefit dan emotional benefit. Fungsional benefit biasanya
berkaitan langsung dengan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh sebuah produk. Sementara itu,
emotional benefit adalah manfaat yang diperoleh konsumen berdasarkan pengalaman
menggunakan produk berupa stimulasi terhadap emosi dan perasaannya.
Merek itu menggambarkan sebuah citra dan pengalaman didalam ingatan konsumen.
Diantaranya memiliki dua fungsi yakni janji yang diberikan kepada suatu produk yakni
sertifikasi mutu yang diberikan kepada konsumen. Kedua merek memungkinkan untuk
memudahkan mencari barang sesuai pengalaman konsumen tersendiri saat belanja. Berikut
menurut Keegan dan Green (2013 : 213)
Di samping itu, menurut Kotler dan Keller (2009:258), merek adalah produk atau jasa
yang dimensinya mendiferensiasikan merek tersebut dengan beberapa cara dari produk atau
jasa lainnya dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama. Brand bisa menjadi mind set
bagi seseorang jika seseorang itu telah mengalami komunikasi (proses pengiriman pesan) dan
pengalaman terhadap brand tersebut berdasarkan pengalaman emosional ataupun telah
mengalami fungsi dari produk suatu brand tersebut. Kotler & Keller (2009:152) menjelaskan
dalam suatu merek terkandung enam macam makna, yaitu :
1. Atribut (Attributes)
Merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu dan memberikan gambaran tentang
sifat dari model itu sendiri
2. Manfaat (Benefit)
Atribut dari sebuah merek itu harus dapat diterjemahkan dalam bentuk manfaat
fungsional maupun emosional
3. Nilai (Value)
Merek tersebut juga dapat turut serta memberikan nilai lebih tinggi bagi produsennya
4. Budaya (Culture)
Sebuah merek dapat turut serta mencerminkan budaya tertentu
5. Kepribadian (Personality)
Merek tersebut dapat mencerminkan kepribadian dari individu pemakainya.
6. Pemakai (User)
Merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan
produk.
2.1.3 Brand Community
Brand community adalah suatu komunitas yang disusun atas dasar kedekatan dengan
suatu produk atau merek. Perkembangan terakhir dalam pemasaran dan penelitian perilaku
konsumen sebagai hasil dari hubungan antara merek, identitas individu dan budaya. Diantara
konsep yang menjelaskan perilaku konsumen dengan suatu merek tertentu.Istilah “brand
community” pertama dikemukakan oleh Muniz & O’Guinn (1995),mereka menjelaskan
konsep brand community sebagai “suatu bentuk komunitas yang terspesialisasi, komunitas
yang memiliki ikatan yang tidak berbasis pada ikatan secara geografis, namun lebih
didasarkan pada seperangkat struktur hubungan
Komunitas merek adalah komunitas yang tidak terikat secara geografi dan
mempunyai struktur sosial yang mengatur hubungan di antara pencinta merek (Muniz dan
O'Guinn, 2001)
Philip Kotler (2003) dalam bukunya “Marketing Management” edisi 11 menyatakan
bahwa, didalam brand community terdapat consumer community atau komunitas konsumen
yang merupakan salah satu alat yang penting dalam membangun merek. Consumer
community. Consumer community membuat konsumen mencurahkan perhatiannya kepada
merek yang mereka miliki. Dijelaskan kembali oleh Kevin Keller dalam bukunya yang
berjudul “Manajemen Pemasaran” (2006), yang dikembangkan bersama Philip Kotler
dijelaskan bahwa komunitas merek atau klub merek dapat terbuka bagi setiap orang yang
membeli produk atau jasa. Brand community berawal dari essensinya yaitu merek itu sendiri
dan selanjutnya berfungsi dalam membangun relasi dari setiap angggota yang merupakan
pengguna atau yang tertarik dengan merek tersebut.
Lebih lanjut dari hasil temuan Muniz (2001:414), terdapat tiga tanda penting dari
suatu masyarakat yang muncul pada komunitas merek, yaitu :
1. Share Consciousness (kesadaran bersama)
Para anggota merasakan hubungan yang erat berkaitan dengan suatu merek, tetapi
yang lebih penting adalah bahwa mereka merasakan hubungan yang lebih erat
antara satu dengan lainnya. Para anggota berasumsi bahwa mereka merasa
mengenal satu sama lain pada suatu tingkatan tertentu, meskipun mereka belum
pernah bertemu sebelumnya. Elemen shared consciousness ditemukan dalam
komunitas merek melampaui batasan geografis. Hal ini terlihat jelas dalam
pengamatan pada kumpulan komunitas, terutama komunitas merek yang berbasis
pada social media. Komunitas merek merupakan komunitas yang terbentuk secara
abstrak (Anderson, 2003). Para anggota menjadi bagian atas suatu komunitas yang
besar, minim tatap muka, namun terbentuk secara mudah.
2. Rituals and traditions (ritual dan tradisi)
Rituals and traditions (ritual dan tradisi) mewakili proses sosial yang penting
dimana arti dari komunitas itu adalah mengembangkan dan menyalurkan sesuatu
dalam komunitas. Beberapa diantara ritual dan tradisi merupakan hal yang baru
berkembang dan dimengerti oleh seluruh anggota komunitas, sementara yang lain
dapat berupa pemahaman masa lalu dalam asal usul komunitas dan diapliksikan
pada komunitas yang ada Elemen ritual and tradition ini umumnya mengarah pada
pengalaman berbagi konsumsi dengan suatu merk. Ritual dan tradisi yang
berlangsung dalam komunitas merek bermanfaat untuk mempertahankan budaya
komunitas tersebut.
3. Sense of moral responsibility (rasa tanggung jawab moral)
Elemen sense of moral responsibility merupakan suatu ‘sense of duty' terhadap
komunitas secara keseluruhan, dan terhadap masng-masing anggota individunya.
Tanggung jawab moral inilah yang membentuk tindakan kolektif dan kontribusi
terhadap pembauran dalam kelompok. Tanggung jawab moral memang tidak
dibatasi oleh hukum yang berkaitan dengan persoalan hidup dan mati, tetapi lebih
pada komitmen sosial yang terjadi sehari-hari. Sistem moral dapat menjadi lunak
dan kontekstual seperti yang muncul pada komunitas merek
Muniz dan O Guinn (2001) menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakteristik dalam
brand community, diantaranya yaitu:
1. Online brand community bebas dari batasan ruang dan wilayah.
2. Komunitas dibangun dari produk atau jasa komersial.
3. Merupakan tempat saling berinteraksi dimana setiap anggota memiliki budaya
untuk mendukung dan mendorong anggota lainnya untuk membagikan
pengalaman bersama produk yang mereka miliki.
4. Relatif stabil dan mensyaratkan komitmen yang kuat karena tujuan.
5. Anggota komunitas memiliki identitas dengan level diatas rata-rata konsumen
awam karena mereka mengetahui seluk beluk produk.
2.1.3.1 Karakteristik yang Mendorong Terbentuknya Brand Community
Sebuah penelitian tentang komunitas merek dalam industri majalah di New Zeeland
(Davidson et.al,2007) menemukan terdapat 5 karakteristik yang mendorong terbentuknya
komunitas merek, yaitu :
a. Brand Image
Citra merek yang terdefinisi dengan baik akan membentuk komunitas merek.
b. Aspek Hedonis
Komunitas merek umumnya lebih pada produk yang kaya akan kualitas daya
ekspresi, pengalaman dan hedonis.
c. Sejarah
Merek yang memiliki sejarah hidup yang panjang akan lebih memungkinkan
terciptanya komunitas merek secara alamiah.
d. Konsumsi publik
Produk-produk yang dikonsumsi secara publik mampu menciptakan komunitas
mereknya. Produk yang dikonsumsi publik akan melahirkan konsumen yang
saling berbagi apresiasi dengan sesamanya, hal ini menjadikan kesempatan untuk
menciptakan komunitas merek lebih tinggi.
e. Persaingan yang tinggi
Tingginya persaingan produk mendorong konsumen setianya untuk bersatu dan
membentuk komunitas terhadap merek yang disukai.
2.1.3.2 Motif Pelanggan untuk Bergabung dalam Komunitas Merek
Motif pelanggan bergabung dalam komunitas merek menjadi hal penting untuk
dipahami, sebuah pernyataan yang secara langsung merujuk pada isu pemenuhan keinginan
dari konsumen. Komunitas-komunitas pada dasarnya membantu konsumen untuk mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkannya. Motivasi pelanggan untuk bergabung dalam sebuah
komunitas beragam menurut perilaku konsumen (Ouwersloot and Schro¨der, 2007),
diantaranya:
1. Penjaminan kualitas produk dengan atribut kepercayaan (Customer-company
relationship)
Konsumen berpartisipasi dalam komunitas merek karena kebutuhan akan
penjaminan kualitas. Komunitas merek dapat berfungsi sebagai kelompok
konsumen yang menyediakan jaminan kepercayaan akan kualitas barang. Lebih
lanjut, hubungan komunitas yang ada pada perusahaan akan mereduksi
ketidakpastian dari pelanggan, sehingga komunitas dilihat sebagai sebuah
platform untuk bertukar pengalaman terkait pemeliharaan, pembenahan, adaptasi
atau bahkan penggunaan dasar produk.
2. Keterlibatan tinggi dengan kategori produk bermerek (Customer-product
relationship).
Konsumen berpartisipasi dalam sebuah komunitas untuk mengekspresikan
keterlibatan mereka dengan produk bermerek .Konsumen pada umumnya mencari
secara ekstensif produkproduk dengan keterlibatan tinggi dan kemudian merasa
kebutuhan untuk berbagi pengalaman konsumsi secara timbal balik.
3. Peluang untuk konsumsi bersama (Customer-customer relationship)
Konsumen memiliki keinginan untuk melakukan konsumsi bersama. Beberapa
jenis produk terkadang lebih bermanfaat saat dikonsumsi bersama dibanding
secara individu. Hal ini terjadi dalam komunitas dimana mereka menggunakan
produk secara bersama-sama.
4. Fungsi simbolik merek (Customer-brand relationship)
Konsumen memutuskan untuk berpartisipasi dalam komunitas merek karena
mereka ingin hidup sesuai dengan fungsi simbolis sebuah merek. Bagi merek yang
memiliki arti simbol yang penting, seperti Harley Davidson, sebuah komunitas
memperkuat arti dan menawarkan kegiatan atau tempat berkumpul dimana para
anggotanya dapat mengekspresikan kesetiaan mereka terhadap simbol.
2.1.4 Virtual Brand Community
Komunitas berasal dari bahasa latin,yakni communis yang berarti masyarakat, publik
atau banyak orang (Kornum,2011). Muniz dan O’Guinn (2001) mendefinisikan komunitas
sebagai sekelompok orang yang memiliki latar belakang berbeda yang dihubungkan oleh
ikatan sosial (social ties), yakni berbagi nilai-nilai tertentu, dan terlibat dalam kegiatan
bersama dalam suatu lokasi geografis tertentu. Berdasarkan definisi diatas, penulis
menyimpulkan bahwa komunitas merupakan bentuk dari keterlibatan sekelompok dimana
suatu kelompok orang tersebut memiliki kepentingan yang sama dalam berinteraksi, dan
saling berbagi informasi serta pengetahuan pada suatu tempat serta jangka waktu tertentu.
Interaksi antar anggota dalam suatu komunitas dewasa ini tidak lagi terbatasi oleh
lokasi (Carlson et al., 2008). Setiap anggota komunitas bebas berkomunikasi, berinteraksi
dengan anggota komunitas meskipun anggota komunitas lainnya tersebut tidak berada dalam
lokasi yang sama (Carlson et al.,2008). Hal ini menjadi titik awal lahir nya komunitas virtual
(Hiltz et al 1997; Szmigin et al 2004)
Menurut jurnal, komunitas virtual merujuk pada sekelompok orang yang
berkomunikasi memalu internet (Zhang, 2010). Sproull dan Arriaga (2007) mendifinisikan
komunitas virtual sebagia bentuk dari komunitas terbuka, yang terdiri atas anggota yang
terpisah dan tidak memerlukan identifikasi khusus (special identification), akan tetapi
mempunyai kepentingan yang sama dengan individu lain untuk memenuhi kepentingan dan
komunitas nya. Gupata dan kim (2004) mendefinsikan komunitas virtual sebagai tempat
dimana orang dapat menemukan dan kemudian secara elektronik “berbicara” kepada orang
lain dengan minat yang sama. Komunitas virtual berperan dalam aspek kehidupan, seperti:
tempat untuk membentuk dan mempertahankan hubungan persahabatan, serta digunakan
untuk tempat belajar, membentuk opini, transaksi pembelian atau penjualaan produk (Hagel
& Amstrong., 2007).
2.1.5 Customer Virtual Brand Community Interactions
Customer Interactions yaitu apa yang yang mereka pikirkan (kognisi) dan mereka
rasakan (pengaruh), apa yang mereka lakukan (perilaku), dan apa serta dimana (kejadian di
sekitar) yang mempengaruhi serta dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan, dirasa, dan
dilakukan konsumen (J.Paul Peter & Jerry C.Olson, 2000 : 8). Menurut Cecep Hidayat (1998;
32) perilaku konsumen dipengaruhi oleh tingkat usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan,
pendapatan, gaya hidup, konsep pribadi, persepsi pendidikan, kepercayaan dan pendirian.
Dari definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa Customer VBC Interactions adalah
konsumen yang berinteraksi langsung terhadap sesama anggota dan bertukar pikiran dan
informasi yang terkait pada suatu brand. Dimana virtual tersebut adalah wadah atau tempat
dari perkumpulan komunitas tersebut. Tempat nya melalui social media yaitu Facebook.
2.1.5.1 Dimensi Customer Virtual Brand Community Interactions
Menurut wang et al(2013) ada 3 dimensi Customer Virtual Brand Community
Interactions :
a. Product-Content
Interaksi produk-konten termasuk topik diskusi mengenai penggunaan produk,
pengetahuan merek, teknologi dan informasi pasar, peningkatan interaksi tersebut
harus mengarah pada lebih banyak kesempatan bagi pelanggan untuk penggunaan
produk, atau untuk mendapatkan manfaat yang dirasakan lebih tinggi [Hertel et al.
2003; Nambisan & Baron 2009].
b. Human-Computer
Kedua adalah pada dampak dari Human-komputer interaksi VBC pada manfaat
pelanggan dirasakan. Interaksi Human-komputer tentang pengalaman situs atau
kegunaan, pengalaman yaitu dalam menjelajahi dalam secara online lingkungan
masyarakat [Chitturi dkk. 2008; Mathwick & Rigdon 2004; Nambisan & Baron
2007]. Pengalaman website memudahkan partisipasi dalam diskusi VBC, dan
lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan informasi produk
terkait dengan demikian meningkatkan manfaat kognitif yang dirasakan [Fiore et
al. 2005]
c. Interpersonal
Interaksi yang lebih interpersonal yang membantu mengembangkan efektif
saluran pertukaran informasi, mendorong diskusi masalah terkait dengan produk,
dan mengurangi waktu dan upaya dan diperlukan untuk menemukan solusi,
memfasilitasi pembelajaran, sehingga lebih banyak manfaat kognitif [Chang &
Chuang 2011; Nambisan & Baron 2009]. Interaksi antarpribadi juga diharapkan
untuk mengasosiasikan positif dengan manfaat sosial-integratif. Teori media
sosial menunjukkan bahwa sering interaksi antarpribadi memungkinkan
pelanggan untuk membangun dan memperkuat sosial aringan dan hubungan, dan
mempromosikan rasa belongingness ke VBC [Chang & Chuang 2011; Choi &
Kim]
2.1.6 Customer Perceived Benefits
Perceived benefits adalah kumpulan manfaat yang diharapkan diperoleh pelanggan
dari produk atau jasa tertentu. Konsumen sering memandang harga sebagai indikator nilai
dimana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau
jasa Chapman (1999:55). Nilai dapat didefiniskan antara manfaat yang diarasakan terhadap
harga. Berdasarkan tersebut diatas maka perceived value adalah nilai yang diterima
konsumen terhadap suatu produk/ jasa yang merupakan trade off antara benefit yang diterima
suatu produk yang diwujudkan dalam perceived quality dan perceived sacrifice yang harus
dilakukan untuk memperoleh barang tersebut. Perceived value orang berbeda – beda, karena
dilator belakangi oleh berbagai norma dalam keluarga,lingkungan, tujuan hidup, cita-cita, dan
lain sebagainya (sifatnya sangat individual).
Customer perceived benefits (ekonomis, fungsional dan psikologis) dan sumber
dayanya (kondisi keuangan, waktu, upaya dan psikologisnya) yang digunakan untuk
mendapatkan benefit tersebut. Hal yang sama diungkapkan oleh Tam (2004) dimana
dijelaskan bahwa ketika konsumen menerima nilai yang lebih tinggi pada suatu jasa jika
mereka merasa bahwa perceived quality yang mereka dapatkan jauh melebihi apa yang
mereka korbankan untuk mendapatkan layanan tertentu. Hal tersebut menyimpulkan bahwa
konsumen akan sangat senang jika mereka mendapatkan benefit yang lebih tinggi dari apa
yang dibayarkan oleh mereka.
2.1.6.1 Dimensi Customer Perceived Benefits
Menurut wang et al(2013) ada 4 dimensi Customer Perceived Benefits :
a. Cognitive
Manfaat kognitif didefinisikan sebagai pengetahuan produk seperti sebagai
penggunaan, teknologi, dan informasi pasar terkait [Nambisan & Baron 2009].
b. Social-Integrative
Manfaat sosial-integratif dapat di identifikasi yang berasal dari anggota
masyarakat
dan
masyarakat,
dan
sosial
dalam
membangun
hubungan
sesama[Nambisan & Baron 2007, 2009; Handley dkk. 2006; Tajfel & Turner,
1979].
c. Personal-Integrative
Manfaat pribadi-integratif terkait dengan prestasi, self-efficacy, dan keuntungan
dalam status dan reputasi, dan pengetahuan produk dicapai melalui penerapan
keterampilan pemecahan masalah di VBC [Katz et al. 1974; Nambisan & Baron
2007, 2009].
d. Affective
Manfaat afektif mengacu estetika atau pengalaman yang menyenangkan dan yang
dihasilkan dari partisipasi masyarakat [2007 Nambisan & Baron, 2009; Katz et al.
1974; Zhou et al. 2011].
2.1.7 Brand Identity
Brand identity merupakan asosiasi merek yang unik yang menunjukkan janji kepada
konsumen. Agar menjadi efektif, identitas merek perlu beresonansi dengan konsumen,
membedakan merek dari pesaing, dan mewakili apa organisasi dapat dan akan lakukan dari
waktu ke waktu. (Ghodeswar, 2008).
Elemen brand adalah upaya visual bahkan kadangkala fisik yang bertindak
mengidentifikasi dan mendeferensiasi suatu produk atau jasa perusahaan. Elemen brand
formal seperti nama, jenis logo, dan slogan bersatu membentuk identitas visual suatu brand
atau perusahaan. (Kotler & Pfoertsch, 2008). Beberapa elemen brand identity adalah sebagai
berikut:
a. Nama Brand
Nama brand adalah yang pertama dan mungkin ekspresi terbesar atau wajah dari
suatu produk. Nama yang dipilih dengan baik untuk suatu perusahaan, produk,
atau jasa dapat menjadi aset berharga, seperti halnya brand itu sendiri. Nama
brand akan digunakan dalam segala bentuk komunikasi antar perusahaan dengan
konsumen prospektifnya (Kotler & Pfoertsch, 2008).
b. Logo
Logo adalah tampilan grafis dari nama brand atau perusahaan. Kekuatan simbol
tidak boleh dianggap remeh “karena manusia cenderung menjadi lebih mudah
menerima citra dan simbol dibanding yang lainnya, logo yang kuat dapat memberi
kohesi dan membangun kesadaran identitas brand, memudahkan pengenalan dan
ingatan kembali” (Kotler & Pfoertsch, 2008).
c. Slogan (Tagline)
Slogan brand adalah kalimat yang mudah dikenal dan diingat yang seringkali
menyertai nama brand dalam program komunikasi pemasaran. Tujuan utama
slogan adalah mendukung citra brand yang diproyeksikan oleh nama dan logo
brand (Kotler & Pfoertsch, 2008). Contohnya, XL dengan “XLangkah lebih
maju”.
d. Kisah Merek
Kisah dapat menjadi lebih dan lebih penting dalam kehidupan perusahaan.
Sebagai suatu konsep, kisah bahkan memenangkan tempat berpijak yang penting
dalam perdebatan tentang cara brand masa depan akan dibentuk. Jika Anda ingin
brand menjadi benar-benar spesial, Anda perlu memiliki kisah semacam legenda
tentang bagaimana perusahaan dimulai (Kotler & Pfoertsch, 2008).
Lebih lanjut, Reid (2006) mengemukakan beberapa langkah dalam membentuk brand
identity, yaitu sebagai berikut :
1. Membuat rancangan bisnis, visi dan misi, dan beberapa hal yang menunjukkan
bahwa merek tersebut berbeda dengan lainnya.
2. Melakukan survey atau wawancara kepada masyarakat mengenai persepsi mereka
terhadap suatu merek.
3. Melakukan penelitian terhadap merek pesaing yang memiliki kemiripan.
4. Membuat logo, tagline, dan hal-hal lainnya yang mendukung dalam pembentukan
brand identity.
5. Melakukan survey secara berkala mengenai persepsi masyarakat terhadap merek
tersebut.
2.1.8 Customer Satisfaction
Akbar & Parvez (2009) mengatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah konsep
terkenal dan didirikan konsep dalam beberapa area seperti pemasaran, riset konsumen,
psikologi ekonomi, kesejahteraan ekonomi, dan ekonomi. Interpretasi yang paling umum
yang diperoleh dari berbagai penulis mencerminkan gagasan bahwa kepuasan adalah
perasaan yang dihasilkan dari proses mengevaluasi apa yang telah diterima terhadap apa yang
diharapkan, termasuk keputusan pembelian itu sendiri dan kebutuhan, keinginan yang terkait
dengan pembelian
Menurut Boselie, Hesselink, dan Wiele dalam Akbar & Parvez, (2009) kepuasan
adalah keadaan, afektif positif yang dihasilkan dari penilaian semua aspek dari sebuah
hubungan kerja dengan yang lainnya. Mengukur kepuasan pelanggan merupakan hal yang
penting bagi perusahaan, karena pelanggan adalah orang yang membeli atau menggunakan
produk atau jasa dan mereka juga yang merasakan bagaimana pelayanan yang telah diberikan
dari suatu jenis pelayanan.
Menurut Kotler & Armstrong (2010), kepuasan pelanggan adalah dilihat dari sejauh
mana kinerja suatu produk yang dirasakan cocok dengan harapan pembeli sehingga dapat
menimbulkan perasaan senang atau kecewa pada seorang pembeli. Perasaan senang atau
kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja (hasil) produk yang
dipikirkan terhadap (atau hasil) yang diharapkan. Jika kinerja berada dibawah harapan,
pelanggan merasa tidak puas akan tetapi jika kinerja melebihi harapan maka pelanggan akan
sangat senang atau puas.
Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasar pengertian
kepuasan pelanggan mencangkup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang
dirasakan. Konsep kepuasan pelanggan ini dapat dilihat pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Konsep kepuasan pelanggan
Sumber : Tjiptono (2008:25)
2.1.8.1 Komponen Kepuasan Pelanggan
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa ada banyak pengertian kepuasan pelanggan.
Giese & Cote (2000) berpendapat bahwa sekalipun banyak definisi kepuasan, namun secara
umum tetap mengarah kepada tiga komponen utama, yaitu :
a. Respon : Tipe dan intensitas
Kepuasan konsumen merupakan respon emosional dan juga kognitif. Intensitas
responnya mulai dari sangat puas dan menyukai produk sampai sikap yang apatis
terhadap produk tertentu.
b. Fokus
Fokus pada performasi objek yang di sesuaikan pada beberapa standar. Nilai standar
ini secara langsung berhubungan dengan produk konsumsi, keputusan bebelanja,
penjual dan toko.
c. Waktu Respon
Respon terjadi pada waktu tertentu, antara lain : setelah konsumsi, setelah pemilihan
produk atau jasa, berdasarkan pengalaman akumulatif. Durasi kepuasan mengarah
kepada berapa lama respon kepuasan itu berakhir.
2.1.8.2 Faktor Kepuasan Pelanggan
Kuswadi (2004) Kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a. Mutu Produk atau Jasa
Mengenai mutu produk dan jasa yang lebih bermutu dilihat dari fisiknya.
b. Mutu Pelayanan
Berbagai jenis pelayanan akan selalu dikritik oleh pelanggan, tetapi bila pelayanan
memenuhi harapan pelanggan maka secara tidak langsung pelayanan dikatakan
bermutu.
c. Harga
Harga adala hal yang paling sensitif untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Pelanggan akan cenderung memilih produk atau jasa yang meberikan penawaran
harga lebih rendah dari yang lain.
d. Waktu Penyerahan
Adalah bahwa baik pendistribusian maupun penyerahan produk atau jasa dari
perusahaan bisa tepat waktu dan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
e. Keamanan
Pelanggan akan merasa puas bila produk atau jasa yang digunakan ada jaminan
keamanannya yang tidak membahayakan pelanggan tersebut.
2.2
Hubungan Antar Variabel Berdasarkan Jurnal
1. Menurut jurnal “Customers’ perceived benefits of interacting In a virtual brand
community in china” (Yonggui Wang, S. Fiona Chan dan Zhilin Yang: 2013)
mengatakan bahwa customer vbc interactions secara positif berdampak pada
dimensi variabel customer perceived benefits dikarenakan dimana interaksi
sesama pelanggan akan mendapatkan manfaat lebih yang diterima di dalam suatu
komunitas. Selain itu dalam jurnal ini mengatakan bahwa brand identity
memoderasi antara interpersonal vbc interaction dengan customer perceived
benefits.
2. Menurut jurnal “The Role of the Perceived Benefits on the Relationship between
Service Quality and Customer Satisfaction: A Study on the Islamic
Microfinance and SMEs in Yemen Using PLS Approach” (Fahmi Shaaban
Fararah dan Abdullah Kaid Al-Swidi: 2013) mengatakan bahwa perceived
benefits secara positif berpengaruh pada customer satisfaction. Tambahan dijurnal
ini mengatakan jika perceived benefit yang diterima dari konsumen tinggi maka
efek dari customer satisfaction untuk perusahaan tersebut juga tinggi.
2.3
Kerangka pemikiran
Customer
Customer
Customer
VBC
Perceived
Satisfaction
Interactions
Benefits
Brand
Identity
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran
Sumber : Penulis (2015)
Berdasarkan teori penunjang dan kerangka pemikiran yang dihubungkan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
2.4
Hipotesis
Hipotesis 1
Ho = Customer Vbc Interactions tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Customer
Perceived Benefits.
Ha = Customer Vbc Interactions memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Customer
Perceived Benefits.
Hipotesis 2
Ho = Customer Vbc Interactions tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Customer
Satisfaction.
Ha = Customer Vbc Interactions memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Customer
Satisfaction.
Hipotesis 3
Ho = Customer Perceived Benefits tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
Customer Satisfaction
Ha = Customer Perceived Benefits memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Customer
Satisfaction
Hipotesis 4
Ho = Customer Perceived Benefits tidak memediasi hubungan antara Customer Vbc
Interactions dengan Customer Satisfaction.
Ha = Customer Perceived Benefits memediasi hubungan antara Customer Vbc Interactions
dengan Customer Satisfaction.
Hipotesis 5
Ho = Brand Identity tidak memoderasi hubungan antara Customer Vbc Interactions dengan
Customer Perceived Benefits.
Ha = Brand Identity memoderasi hubungan antara Customer Vbc Interactions dengan
Customer Perceived Benefits.
Download