5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun 1805. Gejala khas pada penyakit ini adalah terjadinya demam dalam waktu beberapa minggu, sehingga penyakit ini disebut Undulant Fever atau Crimean Fever, karena terjadi pertama kali di Crimea, Malta (Adman, 2008). Brucellosis dikenal sebagai penyakit keluron menular yang disebabkan bakteri dari genus Brucella. Genus ini termasuk famili Brucellaceae seperti Pasteurella sp., Bordetella sp., Haemophilus sp., dan Actinobacillus sp., berbentuk coccobacillus atau batang pendek dan termasuk gram negatif yang kesemuanya bersifat patogenik, baik pada manusia maupun hewan. Bakteri ini adalah parasit obligat karena berpredileksi di dalam sel (intraseluler) dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Gul dan Khan, 2007; Chin, 2007). Brucellosis dapat menyerang bebagai ternak diantaranya sapi, domba, kambing dan babi. Brucelosis ini bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Sumber penularan penyakit ini adalah cairan genital, semen dan susu. Dijelaskan juga bahwa padang rumput, pakan dan air yang tercemar merupakan sarana utama penyebarannya. Pada sapi dewasa yang sudah dewasa kelamin 6 terutama sapi bunting sangat peka terhadap infeksi Brucella abortus. Namun sapi dara dan tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi ini. Penularan penyakit ini juga dapat melalui kontak langsung dengan kulit luka, ambing terinfeksi dan inseminasi dengan semen yang tercemar (Manthei et al, 1950; Neta et al., 2009). Organisme ini bersifat patogen intraselular fakultatif. Kekerabatan di dalam famili Brucellaceae sangat erat sekali, sangat kecil perbedaan genetik diantara serovar yang ada. Salah satu serovar yang penting adalah Brucella abortus (1-9) (CFSPH, 2009). Kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi, suhu rendah, dan tidak ada sinar matahari, organisme ini dapat bertahan hidup selama beberapa bulan dalam air, fetus abortus, wol, jerami, lumpur, peralatan dan pakaian. Brucella mampu bertahan pada kondisi kering, terutama bila ada bahan organik dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah (Boschiroli et al., 2002; Corbel, 2006). Bakteri ini mempunyai komponen yang terdiri dari membran sitoplasma dan dinding sel. Dinding sel Brucella abortus terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar. Membran luar terdiri dari peptidoglikan dan lipopolisakarida. Protein dinding sel dari setiap galur Brucella abortus sebagian mempunyai kesamaan dalam komposisi asam aminonya. Namun juga mempunyai perbedaan seperti dalam komposisi metionin, isoleusin, tirosin dan histidin (Verstreate et al., 1982). Protein yang paling bersifat antigenik diharapkan mampu merangsang timbulnya antibodi spesifik sedini mungkin. Antibodi tersebut berguna dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi Brucella abortus, sedangkan proteinnya sangat berguna sebagai reagen diagnosis (Noor, 2006). 7 2.2 Kejadian Brucellosis di Indonesia Kejadian infeksi brucellosis meluas hingga seluruh dunia, sekarang ini terutama pada negara-negara berkembang. Akan tetapi, kasus brucellosis dapat menjadi sangat umum di negara yang program pengendalian penyakit hewannya belum dapat mengurangi jumlah penyakit antar hewan. Negara-negara ini biasanya tidak memiliki program kesehatan hewan domestik dan kesehatan masyarakat yang efektif dan sesuai standar (Karimuribo, et al, 2007; Aulakh, et al., 2008; Widiasih dan Budiharta, 2012). Di Indonesia, secara serologi penyakit brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati-Pasuruan, Jawa Timur. Kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Tingginya angka prevalensi brucellosis pada ternak di Indonesia mencapai angka 40 % dan menyebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Peternakan di tahun 2000 menyebutkan bahwa kerugian ekonomi industri peternakan sapi akibat brucellosis mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun angka mortalitasnya relatif kecil (Noor, 2006). 2.3 Kejadian Brucellosis di Sulawesi Selatan Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 24 kabupaten / kota dengan luas wilayah 62.482,54 km² dan populasi sapi sebanyak 1.152.053 ekor pada data sensus ternak tahun 2012. Jumlah sapi potong Provinsi Sulawesi Selatan berada di 8 urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan populasi 983.985 ekor, dimana rata-rata kenaikan populasi 12,83% lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya sebesar 6,4%. Hal ini membuktikan bahwa potensi Sulawesi Selatan sangat tinggi untuk mensukseskan program swasembada daging. Kejadian brucellosis di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara signifikan namun jumlah kasus masih cukup tinggi, dimana pada tahun 2012 saja terdapat 684 kasus (Noor, 2006). Target untuk membebaskan Provinsi Sulawesi Selatan dari brucellosis merupakan prioritas yang tidak bisa ditunda lagi, sehingga diperlukan terobosan penelitian terkait seroprevalensi brucellosis dengan metode diagnosis yang lebih baik agar hasilnya benar-benar akurat dan data yang diperoleh merupakan data yang sahih sebagai dasar langkah penanggulangan lebih lanjut. 2.4 Diagnosis Brucellosis Diagnosis definitif kejadian brucellosis harus didukung oleh uji laboratorium, meliputi uji serologis atau melalui direct diagnostic test, seperti isolasi dan karakterisasi sifat biokimia agen infeksi. Diagnosis berbasis biologi molekuler telah banyak dilakukan dalam pendeteksian secara tepat kejadian brucellosis pada manusia. Metode molekuler yang terus dikembangkan untuk mendeteksi brucellosis pada manusia dan hewan yaitu PCR-based assay (Widiasih dan Budiharta, 2012). Uji screening terhadap kejadian brucellosis biasanya menggunakan buffer acidified plate antigen test dan Milk Ring Test (MRT), kedua uji screening 9 tersebut merupakan uji serologis dengan sensitifitas paling tinggi. Metode uji tidak langsung seperti uji competitive ELISA dan flourescent polarisation assay dapat juga digunakan sebagai uji konfirmasi. Uji serologi yang sering digunakan di laboratorium adalah Serum Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Rose Bengal Test (RBT) yang telah digunakan secara luas di berbagai negara untuk menentukan diagnosis brucellosis (Mohammed et al, 2011; Scacchia et al., 2013; Widiasih dan Budiharta, 2012). 2.5 Metode Uji ELISA Terhadap Brucellosis Uji ELISA adalah salah satu metode yang sederhana, mudah dilakukan, cepat, sensitif, akurat, dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah banyak. Cara kerja ELISA didasarkan pada konjugasi antara virus, antibodi, dan enzim, dengan menambahkan substrat pewarna (Tittarelli, 2008). Hasil uji ELISA lebih spesifik dibandingkan dengan CFT. Uji ELISA mampu mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil dan khususnya IgG dalam serum. Kemampuan ini diperoleh karena adanya antibodi monoklonal yang digunakan dalam kit diagnosis. ELISA mampu mendeteksi antibodi pada seluruh kasus infeksi Brucella abortus dan pada ternak yang mendapatkan vaksin dan mengkonfirmasi pada daerah yang tidak divaksin (Tittarelli, 2008) 2.6 Faktor Risiko Brucellosis Kemampuan daya tahan hidup Brucella sp. pada tanah kering selama 4 hari di luar suhu kamar, selama 66 hari pada tanah yang lembab, pada tanah yang 10 becek 151-185 hari dan 180 hari pada fetus yang diabortuskan. Faktor yang berisiko terhadap penularan brucellosis antar ternak adalah status vaksinasi, ukuran/skala peternakan, kepadatan populasi, model atau tipe kandang, cara pemeliharaan dan sistem perkawinan (Makita et al, 2011; Putra, 2006; Widiasih dan Budiharta, 2012) Brucella abortus tahan hidup di luar tubuh hospes antara 4-180 hari tergantung pada kondisi lingkungan dan hal ini mempengaruhi cara penyebaran penyakit di lapangan (Crawford et al., 1990).