BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Autisme 2.1.1 Definisi Autisme Istilah autisme pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943 yaitu kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif, minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial, keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di lingkungannya (Astuti, 2008). Autisme adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat (Safaria dalam Lubis, 2009). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak-anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, gangguan komunikasi, pembalikan kalimat atau kata, serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya. 2.1.2 Penyebab Autisme Sintowati, 2007 menyebutkan penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli berpendapat penyebab autisme bersifat multifaktorial. 8 9 Beberapa peneliti mengungkapkan terhadap gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun dan mengakibatkan kerusakan pada usus besar. Kerusakan ini mengakibatkan timbulnya masalah dalam tingkah laku dan fisik. Oleh karena itu, hingga kini penelitian mengenai penyebab autisme masih terus berjalan dan berkembang. Berikut beberapa hasil penelitian dari para ahli mengenai penyebab autisme. 1. Faktor Psikososial Ketika autisme pertama kali ditemukan, Leo Kanner menduga autisme disebabkan oleh pola asuh yang salah. Kasus-kasus ini banyak ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan, tetapi orang tuanya bersikap dingin dan kaku. Kanner berpendapat bahwa sikap keluarga tersebut kurang bisa diberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak, dan menghambat kemampuan interaksi sosial pada anak. Namun dalam penelitian-penelitian berikutnya disimpulkan bahwa autisme tidak disebabkan oleh pola asuh orang tua yang salah. 2. Faktor Genetik Sekitar tahun 2002 para ilmuwan telah berhasil menemukan gen penyebab autisme. Gen tersebut bernama neurexin 11. Neurexin ini bagian dari kumpulan gen yang membantu komunikasi sel saraf. Menurut para ilmuwan, neurexin berperan dalam terbentuknya sindrom autisme. 10 3. Kelainan Otak Dari sejumlah penelitian, dikatakan bahwa autisme disebabkan adanya kelainan otak terutama pada otak bagian depan. Kondisi ini menyebabkan otak kanan pada penderita autisme memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan otak kiri. 4. Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/logam dapat mengakibatkan munculnya autisme. Zat-zat yang termasuk beracun seperti timah (Pb) dari asap knalpot mobil, pabrik, dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan raksa (Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (amalgam). 2.1.3 Klasifikasi Anak Autisme Untuk mengetahui seseorang menderita autisme dapat dilihat dari criteria yang telah didefinisikan oleh ahli medis. Criteria yang paling sering digunakan adalah yang didefinisikan oleh World Health Organization, yang terdapat dalam ICD-10 (international Classification of Disease), edisi ke-10 dan the DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual, edisi ke 4) dikembangkan oleh American Psychiatric Association (APA, 1994 dalam Peeters, 2009). Definisi gangguan autismetik dalam DSM-IV sebagai berikut: A. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok 1,2, dan 3 yang meliputi paling sedikit dua pokok dari kelompok 1, paling sedikit satu pokok dari kelompok 2 dan paling sedikit satu pokok dari kelompok 3. 1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara berikut : 11 a. Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata, ekspresi wajah, gestur, dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial. b. Ketidakmampuan mengembangkan hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. c. Ketidakmampuan turt merasakan kegembiraan orang lain. d. Kekurangmampuan dalam berhubungan emosional secara timbal balik dengan orang lain. 2. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit salah satu dari yang berikut : a. Keterbatasan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi). b. Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana. c. Penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau bersifat indiosinkratik (aneh). d. Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. 3. Pola minat perilaku terbatas, repetitif, dan stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini : 12 a. Meliputi satu keasyikan dengan satu atau lebih pola minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat abnormal baik dalam intensitas maupun fokus. b. Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu) yang nonfungsional (tidak brhubungan dengan fungsi). c. Perilaku gerakan stereotip dan repetitif ( seperti terus menerus membuka-tutup genggaman, memutar jari atau tangan atau menggerakkan tubuh dengan cara yang kompleks. d. Keasyikan yang terus-menerus terhadap bagian-bagian dari sebuah benda. B. Perkembangan abnormal atau terganggu pada usia 3 tahun seperti yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut ini : (1) interaksi sosial, bahasa yang digunakan dalam perkembangan sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif. C. Sebaiknya tidak disebut dengan istilah gangguan Rett, Gangguan Integratif kanak-kanak, atau Sindrom Asperger. 2.1.4 Gejala Autisme Menurut Kemenkes RI 2011, autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang sangat beragam yang ditandai dengan adanya tiga gejala, yaitu gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan tingkah laku terbatas dan berulang, yang dapat terjadi sebelum usia anak tiga tahun. 13 1. Gangguan Perkembangan Sosial Gangguan perkembangan sosial pada anak yang mengalami gangguan autisme dapat terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak. Pada bayi umur 18 bulan, gejala gangguan dapat dilihat dari kurangnya perhatian bayi terhadap rangsangan sosial, jarang tersenyum dan melihat seseorang, dan tidak ada tanggapan saat dipanggil. Gejala pada balita dapat dilihat dari kurangnya kontak mata, tidak ada komunikasi timbal balik. Pada usia 3-5 tahun dapat terjadi kesulitan dalam bermain dengan teman sebaya, mendekati orang secara spontan, meniru, dan bereaksi secara emosional. Untuk anak yang lebih besar dan dewasa mengalami kesulitan dalam mengenali wajah sedih, gembira, atau marah. 2. Gangguan Perkembangan Komunikasi Lebih dari setengah anak autisme tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, dan menjerit. Gejala autisme juga dapat dilihat dari kelakuan anak yang sering mengulang potongan kata atau kalimat tanpa arti, anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung monoton, bahasayang tidak lazim yang selalu di ulang-ulang. Intinya anak autisme tidak dapat berkomunikasi dua arah dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal. 14 3. Gangguan Tingkah Laku Gangguan tingkah laku yang terjadi dapat berupa : a. Melakukan gerakan yang tidak bertujuan yang diulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan. b. Tidak mau melakukan hal yang berbeda. c. Mengerjakan sesuatu secara rutin terhadap kebiasaan. d. Bertingkah laku terbatas. e. Menyakiti diri sendiri. 2.1.5 Pengelompokan Autisme Menurut Faisal dalam Yatim, 2003 Autisme dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Autisme Persepsi Autisme persepsi dianggap autisme asli dan disebut juga autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Anak yang terlalu peka atau sangat kurang peka terhadap rangsangan dan pengaruh luar, pada tahap awal sulit didiagnosa. Hanya bisa dilakukan dengan pengawasan dan pengamatan yang ketat. Gejala yang dapat diamati, antara lain : a. Rangsangan dari luar baik yang kecil maupun yang kuat akan menimbulkan kecemasan. Tubuh akan mengadakan mekanisme dan reaksi pertahanan hingga terlihat timbul pengembangan masalah. b. Banyaknya pengaruh rangsangan dari orang tua, tidak bisa ditentukan. Orang tua tidak ingin peduli terhadap kebingungan dan kesengsaraan anaknya. Kebingungan anaknya berubah menjadi kekecewaan. Dan 15 kemudian lama kelamaan rangsangan dari orang tua akan ditolak atau anak merasa masa bodoh. 2. Autisme Reaktif Pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang. Gejala yang dapat diamati, antara lain : a. Autisme ini biasa mulai terlihat pada anak usia besar (6-7 tahun) sebelum anak memasuki tahap berpikir logis. b. Mempunyai sifat rapuh, mudah terkena pengaruh luar yang timbul setelah lahir, baik karena trauma fisik atau psikis, tetapi bukan disebabkan karena kehilangan ibu. c. Setiap kondisi, bisa saja merupakan trauma pada anak yang berjiwa rapuh ini, sehingga mempengaruhi perkembangan normal kemudian harinya. 3. Autisme yang timbul kemudian Kelainan ini dapat dikenali setelah anak berumur lebih besar, ini akan sulit dilakukan pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dan mungkin diperberat dengan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah lahir. 16 2.2 Pola Asuh 2.2.1 Definisi Pola Asuh Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangat besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Pola asuh orang tua dapat diartikan bagaimana orang tua memperlakukan anak atau cara perlakuan orang tua yang diterapkan kepada anak. Pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak berupa proses interaksi antara orang tua (pengasuh) dengan anak (yang diasuh). Orang tua dalam berinteraksi dengan anak cenderung menggunakan caracara tertentu yang dianggapnya paling baik bagi anak, dengan demikian terjadilah beberapa perbedaan dalam pola asuh. Dalam hal ini, anak autisme memiliki perlakuan khusus terhadap pola asuhnya. Pola asuh orang tua dalam membantu anak yang terdiagnosis autisme dalam proses perkembangannya adalah upaya orang tua yang diaktualisasikan terhadap : 1) Dukungan keluarga dalam perkembangan anak autisme ; 2) Penerimaan orang tua dalam penanganan anak autisme; 3) Kepatuhan orang tua terhadap diet anak autisme. Berikut adalah penjabaran dari masing-masing upaya yang dapat diaktualisasikan untuk perkembangan anak autisme : 1. Dukungan Keluarga Dalam Perkembangan Anak Autisme Sebenarnya seorang anak autisme dengan anak normal lainnya memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang tertentu, karena akibat dari gangguan proses perkembangan 17 yang mereka alami. Sehingga mereka memerlukan pelayanan untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih kompleks. Selain memperhatikan pekembangan anak autisme dari segi nutrisinya, dukungan dalam bentuk motivasi dalam kehidupan sehari-hari anak autisme juga sangat diperlukan. Dukungan dalam hal ini dapat di artikan memberikan perhatian dan kehangatan yang diperlukan anak yang menderita autisme, baik dukungan dari keluarga inti (ayah, ibu, dan saudara kandung) maupun daukungan dan perhatian dari keluarga besar (kakek, nenek, saudara laki/perempuan, paman/bibi). Anak autisme memerlukan perlakuan khusus, terapi dan sekolah khusus. Maka dari itu, orang tua dan anggota keluarga lainnya diharapkan agar memiliki kesiapan dan dukungan secara mental dan emosional dalam mendukung perkembangan anaknya. 2. Penerimaan Orang Tua Dalam Penanganan Anak Autisme Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna, namun orang tua yang memiliki anak yang perkembangannya tidak sempurna seperti penyandang autisme biasanya akan bereaksi dengan menunjukkan rasa tidak percaya( shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang tua untuk melewati fase ini sampai dengan fase penerimaan. Orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan, orang tua dituntut mengerti hal-hal seputar autisme dan mampu mengorganisir kegiatan terapi penyembuhan untuk anaknya. Keterlibatan langsung ini sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Menurut Puspita seorang psikolog dalam Rachmayanti, 2008 bentuk penerimaan orang tua dalam penanganan autisme adalah sebagai berikut : 18 a. Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan). Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua karena banyak diantara orang tua sulit atau enggan menangani sendiri anaknya seharihari dirumah. Mereka mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak. Padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya. b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak. c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak. d. Memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak. e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan. Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan masuk kembali kedunianya. Ada baiknya orang tua bisa bersikap lebih santai dan hangat setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autisme yang sulit untuk diarahkan, di didik dan dibina. 19 f. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak. Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua yang tidak tahu harus memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter atau petugas terapis disini sangat penting dalam membantu memberikan keterampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak. Berdasarkan baik dan buruknya penyesuaian diri, ada dua jenis penyesuaian diri menurut Lazarus dalam (Lubis, 2009) yaitu : a. Penyesuaian diri kurang baik (poor adjustment) dimana seseorang menerima kenyataan dengan pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pada kasus autisme, penyesuaian diri yang buruk dimana orang tua kehadiran anak autisme secara pasif dan tidak mengoptimalkan kemampuan dirinya dan anak tersebut untuk mengatasi masalah yang muncul. b. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya yang tidak dapat diubah namun individu tetap berusaha memodifikasi keterbatasan-keterbatasan tersebut seoptimal mungkin. Penyesuaian diri orang tua yang baik dimana orang tua dapat menerima keterbatasan-keterbatasan dari anak sehingga akan tercipta hubungan baik antara anak dengan dirinya. 3. Kepatuhan Orang Tua Terhadap Diet Anak Autisme Pola makan pada anak terutama anak autisme harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa jenis makanan yang menyebabkan reaksi alergi 20 pada anak autisme seperti gula, susu sapi, gandum, coklat, telur, kacang maupun ikan. Selain itu konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penderita autisme umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein (Tajudin, 2009). Anak dengan autisme umumnya alergi terhadap makanan. Pengalaman dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi. Dalam penelitian (Evawany Aritonang, 2009) dengan judul Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Ibu Dalam Pola Makan Anak Autisme Di Yayasan Tali Kasih menunjukkan sebagian responden di Yayasan Tali Kasih yaitu 37,5% responden menyatakan tidak selalu mematuhi aturan diet untuk anak autisme dan sekali waktu dalam frekuensi 1-3 kali/ bulan mengizinkan anak mengkonsumsi roti terigu,es krim atau pizza. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI (2009) diet yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap anak autisme adalah sebagai berikut : a. Diet tanpa gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak. Makanan tradisional Indonesia bisa memberi solusi bagi anak autisme dalam menghindari gluten dan kasein. Untuk anak autisme, orangtua bisa 21 memilihkan nasi, mi dari tepung singkong, susu kedelai sayuran, buah segar, serta menghindari zat penyedap dan pewarna makanan. b. Diet untuk alergi & Intoleransi. Anak autisme umumnya menderita alergi berat. Makanan yang menimbulkan alergi biasanya ikan, udang, susu coklat, gandum, dan banyak lagi. Untuk mengatur makan bagi anak yang alergi dan intoleransi makanan. : 1. Perhatikan sumber penyebab. 2. Hindari makanan pemicu alergi / intoleransi. Contohnya,bila alergi telur, hindari makan telur, meski bukan harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak dapat dikenalkan lagi pada makanan tersebut sedikit demi sedikit. 2.3 Interaksi Sosial 2.3.1 Definisi Interaksi Sosial Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orangperorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Apabila masing-masing ditinjau secara lebih mendalam, faktor imitasi misalnya, mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya 22 adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidahkaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya halhal yang negative, dimana misalnya yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang member suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Sedangkan untuk identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini (Soekanto, 2010). Pola interaksi anak autisme dapat di lihat dari aspek interaksi sosial menurut Widayanti dalam (Septiani, 2012) yaitu komunikasi, anak autisme hanya dapat berinteraksi dengan cara komunikasi yang berbeda dengan anak-anak normal. Anak autisme berkomukasi dengan cara mereka sendiri misalnya saja melakukan sesuatu dengan berulang-ulang, membentur-benturkan kepala, berteriak-teriak, dll. Hal-hal tersebut cara anak autisme melakukan komunikasi karena mereka tidak mampu untuk melakukan komunikasi secara verbal (Peeters, 2009). Kedua sikap, anak autisme akan cenderung menarik diri dari segala kontak sosial apalagi jika di hadapkan pada suatu lingkungan baru karena mereka menganggap orang-orang sekitar mereka itu aneh. Ketiga tingkah laku kelompok, anak autisme jarang mengucapkan salam ketika bertemu atau berpisah, baik secara verbal atau senyuman dan anak autisme cenderung melakukan 23 gerakan yang berulang-ulang. Keempat norma sosial, dalam norma sosial anak autisme jarang melakukan aktfitas dengan orang lain secara spontan dan kurang ketimbalbalikan sosial dan emosional. 2.3.2 Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi (Soekanto, 2010). 1. Kontak Sosial Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan kontak sosial negative. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. 24 2. Komunikasi Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain atau orang lain. Hal ini kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antar perorangan dan atau antar kelompok. Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian yang terjadi karena salah paham yang masingmasing tidak mau mengalah. 2.3.3 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial 1. Kerja Sama ( Cooperation) Kerja sama sebagai suatu proses merupakan bentuk interaksi yang pokok dan merupakan proses yang utama. Dikatakan demikian Karena segala macam interaksi dapat dikembalikan pada kerja sama. Dan bentuk kerja sama ini dapat ditemukan pada setiap manusia. Yang dimaksud dengan kerja sama disini, adalah suatu usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu tujuan atau beberapa tujuan bersama. 2. Akomodasi (Accomodation) Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu 25 keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-peorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. 3. Asimilasi (Assimilation) Asimilasi merupakan proses sosial alam taraf lanjut. Ini ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran dan tindakan. 2.3.4 Ciri-Ciri Interaksi Sosial Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang. b. Ada komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol. c. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedan berlangsung. d. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.