BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trauma Thoraks 2.1.1 Definisi Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005). Secara anatomis rongga thoraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma dan batas atas dengan leher dapat diraba insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra thorakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga thoraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf, dan sistem limfatik (Kukuh, 2002). Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks dan hematothoraks. (Milisavljevic, et al., 2012). 5 6 2.1.2 Epidemiologi Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25% kematian politrauma disebabkan oleh trauma thoraks (Veysi, et al., 2009). Data yang akurat mengenai trauma thoraks di Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma thoraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma, 25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya trauma pada thoraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Trauma thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks 38%, hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Eggiimann, 2001; Jean, 2005). Trauma thoraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%, pneumothoraks 5%, hematothoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum 20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma thoraks yang sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011). 2.1.3 Etiologi Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan 7 bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003). Trauma thoraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum, rongga pleura saluran nafas intra thoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera (Gallagher, 2014). 2.1.4 Patofisiologi Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding thoraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi pneumothoraks, hematothoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung (Kukuh, 2002). 8 Akibat kerusakan anatomi dinding thoraks dan organ didalamnya dapat mengganggu fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma thoraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (Kukuh, 2002; David, 2005). Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks, perdarahan massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang cenderung sedikit (Milisavljevic, et al., 2012). Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35-40% pada trauma thoraks. Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding dada. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia (Milisavljevic, et al., 2012). Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta-kosta yang berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab 9 yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik, foto thoraks, dan CT scan thoraks (Milisavljevic, et al., 2012). Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium (dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic, et al., 2012). Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul thoraks yang paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto thoraks, dan CT scan thoraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012). Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumothoraks sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan pneumothoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis. Pneumothoraks pada trauma tumpul thoraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba-tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur alveolus. Udara 10 yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke mediastinum menyebabkan pneumothoraks atau emfisema mediastinum. Selain itu pneumothoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic, et al., 2012). Hematothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau mediastinum. Insiden dari hematothoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus berhubungan dengan pneumothoraks (hemopneumothoraks) bahkan dapat terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012). 2.2 Sistem Skoring Trauma Thoraks 2.2.1 Chest Trauma Score (CTS) Beberapa protokol penanganan trauma dada hanya dapat dievaluasi kualitasnya secara ilmiah apabila penilaian keparahan trauma distandardisasi. Beberapa sistem penilaian telah dibuat untuk mengevaluasi prognosis pasien setelah trauma tumpul dada seperti Thoracic Trauma Score (TTS), Pulmonary Contusion Score (PCS) atau Skor Wagner, yang dihitung sebagai indikator independen dari prognosis yang menilai mortalitas dan morbiditas setelah trauma tumpul thoraks. Trauma multipel thoraks dan organ-organ di dalamnya ditemukan pada mayoritas pasien setelah trauma tumpul thoraks (Huber, et al., 2014). 11 Beberapa faktor telah diidentifikasi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pasien trauma tumpul thoraks antara lain umur pasien, jumlah patah tulang kosta, ada tidaknya patah tulang kosta bilateral, dan derajat keparahan dari kontusio pulmonum. Faktor-faktor tersebut diatas berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dari gagal nafas, deep vein thrombosis, dan emboli pulmonum. Nilai Chest Trauma Score (CTS) lebih dari 5 berhubungan dengan outcome pasien yang lebih buruk. Selain itu kelompok pasien tersebut mempunyai risiko empat kali lipat kematian dibandingkan dengan kelompok pasien dengan CTS kurang dari 5 (Chen, et al., 2014). Trauma thoraks yang terlokalisir terjadi bersamaan dengan trauma tumpul yang lokal pada thoraks. Kebanyakan kasus tersebut berhubungan dengan trauma ringan seperti fraktur iga dan lecet pada dada. Tetapi pada trauma thoraks berat dengan AIS > 3 terjadi pada 80-90% pasien dengan multiple trauma (Pinilla, 1982). Sistem CTS dapat memprediksi kemungkinan pasien membutuhkan ventilasi mekanik dan lamanya perawatan. Score CTS 7-8 dapat memprediksi peningkatan risiko mortalitas dan perlunya intubasi (Pressley, et al., 2012). Karena karakteristik yang homogen dari pasien trauma yang datang dengan poli trauma dengan komorbid yang multipel, CTS tidak dapat mengidentifikasikan setiap outcome yang mungkin terjadi. Sebagai tambahan, karena pola manajemen trauma, pasien selalu overtriage sebagai upaya untuk mencegah cedera yang terlewat, CTS dibuat untuk meningkatkan sensitifitas dengan spesifisitas yang lebih rendah untuk mencegah terlewatnya pasien dengan kemungkinan outcome yang lebih jelek. Pada penelitian Chen, et al. (2014) nilai sensitifitas receiver operating 12 characteristics (ROC) CTS pada acute respiratory failure sebesar 0,72. CTS adalah suatu metode yang mudah dan cepat untuk menilai keparahan relatif dari pasien trauma thoraks. Meskipun tidak ada satupun sistem penilaian yang dapat meramalkan secara sempurna dari outcome, CTS menyediakan suatu metode yang mengelompokkan trauma dinding thoraks sehingga ada potensi untuk mengintervensi lebih awal pasien di dalam rumah sakit (Chen, et al., 2014). CTS dibuat dari beberapa faktor yang diidentifikasikan sebelumnya berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, termasuk umur, jumlah fraktur iga, kontusio pulmonum, dan trauma yang bilateral atau tidak (Pressley, et al., 2012). Tabel 2.1. Sistem Chest Trauma Score (Chen, et al., 2014) Age score <45 th 45-65 th >65 th Pulmonary contusion score None Unilateral minor Bilateral minor Unilateral mayor Bilateral mayor Rib score <3 rib fracture 3-5 rib fracture >5 rib fracture Bilateral rib fracture score No Yes 1 2 3 0 1 2 3 4 1 2 3 0 2 13 Bergeron, et al. (2003) menemukan bahwa pasien lebih tua dari 65 tahun dengan 3 atau lebih fraktur kosta mempunyai kemungkinan lebih besar kematian dan komplikasi termasuk pneumonia bahkan kematian dibandingkan dengan pasien yang lebih muda dengan jumlah fraktur kosta yang sama (Bergeron, et al., 2003). 2.2.2 Abbreviated Injury Scale (AIS) Abbreviated Injury Scale (AIS) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971. AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan. AIS71 hanya untuk trauma tumpul, AIS-85 meliputi trauma penetrating dan AIS-90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari banyak sistem skoring trauma. Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS. (Copes, et al., 1990; Chawda, et al., 2004) Tabel 2.2. Derajat penilaian Abbreviated Injury Scale (AIS) (Chawda, et al., 2004) Injury 1 2 3 4 5 6 AIS Minor Moderate Serious Severe Critical Unsurvivable Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam bagian tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur eksternal. Hanya 14 skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS (Chawda, et al., 2004). Tabel 2.3. Abbreviated Injury Scale (AIS) Thoraks (Chawda, et al., 2004) AIS Score 1 Minor 2 moderate 3 severe not live threatening 4 severe live threatening 5 critical survival uncertain Thorax Rib fracture, Thoracic spine strain, Rib cage contusion, Sternal contusion 2-3 rib fracture, Sternum fracture, Dislocation or fracture spinous or transverse proces T-spine, Minor compression fracture (≤20%) T-spine Lung contusion ≤ 1 lobe unilateral hemato or pneumothorax, Diagphragm rupture, ≥ 4 rib fracture, Intial tear/minor laceration/thrombosis inhalation burn, Minor dislocation or fracture of lamina body, Pedicle or facet of Tspine, Compression fracture >1 vertebra or more than 20% height cord contusion with transient, neurological signs Multilobar lung contusion or laceration, Hemopneumomediastinum bilateral Hemopneumothorax flail chest, Myocardial contusion, Tension pneumothorax > 1000cc, Tracheal fracture, Intimal aortic, tear major laceration, Subclavian or innominate, Incomplete cord syndrome Major aortic laceration, Cardiac laceration, Rupture bronchus/trachea Flail chest/inhalation burn requiring mechanical support, Laryngotrach separation, Multilobar lung laceration with tension pneumothorax hemopneumomediastinum or > 1000cc hemothorax, cord laceration or complete cord lesion 15 2.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) 2.3.1 Sejarah dan Definisi ARDS ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967, ketika Asbaugh dan rekannya mendeskripsikan 12 pasien dengan acute respiratory distress, refractori sianosis terhadap terapi oksigen, penurunan komplians paru, infiltrat menyeluruh pada rongent thoraks. Awalnya gejala ini disebut adult respiratory distress syndrome, saat ini istilah tersebut diganti dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada tahun 1988 definisinya diperluas dengan mempertimbangkan kerusakan fisiologi respirasi menggunakan sistem scoring kerusakan paru. Sistem scoring ini berdasarkan tekanan positif akhir ekspirasi, rasio dari PaO2/FiO2, komplians paru dan derajat infiltrat pada radiografi. Pada tahun 1994 definisi baru direkomendasikan berdasarkan American-European Consensus Conference Committee (AECC). Konsensus ini memiliki dua keuntungan. Pertama, dapat mengetahui variasi keparahan cedera paru secara klinis, pasien dengan hipoksia ringan (PaO2/FiO2 <300) merupakan acute lung injury (ALI) dan hipoksia berat (PaO2/FiO2 <200) merupakan ARDS. Kedua, mudah digunakan pada situasi klinis (Ware, et al., 2000). ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan, dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru (Aru, 2010). ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik. Sindrom ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan 16 oksigen di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas normal (Muttaqin, 2008). Tabel 2.4. Definisi ARDS (Ware, et al., 2000) ARDS diakui sebagai bentuk yang paling parah dari acute lung injury (ALI), suatu bentuk cedera difus alveolar. AECC mendefinisikan ARDS sebagai kondisi akut yang ditandai dengan infiltrat paru bilateral dan hipoksemia berat karena tidak adanya bukti untuk edema paru kardiogenik. Menurut kriteria AECC, yaitu aspek keparahan hipoksemia diperlukan untuk membuat diagnosis ARDS yang didefinisikan oleh rasio tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2) dengan fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2). Dalam ARDS, rasio PaO2/FIO2 kurang dari 200, dan ALI kurang dari 300. Selain itu, edema paru kardiogenik harus 17 disingkirkan baik oleh kriteria klinis atau dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) lebih rendah dari 18 mmHg (Milisavljevic, et al., 2012). The European Society of Intensive Care Medicine dengan dorongan dari the American Thoracic Society serta the Society of Critical care Medicine berkumpul pada sebuah acara panel ahli internasional untuk merevisi definisi ARDS. Panel ini bertemu pada tahun 2011 di Berlin, dan dicetuskan sebuah definisi baru yaitu definisi Berlin. Tujuan dari definisi Berlin adalah untuk mencoba dan meningkatkan fisibilitas, realibilitas, penampakan dan validitas prediktif. Yang menarik, definisi ini secara empiris mengevaluasi validitas prediktif untuk mortalitas dibandingkan dengan definisi AECC, dengan menggunakan data yang berasal dari uji klinis multipusat dan pusat tunggal. Terdapat beberapa modifikasi kunci (oksigenasi, waktu onset akut, x-ray thoraks, dan kriteria pulmonary wedge pressure) pada definisi Berlin jika dibandingkan dengan definisi AECC (Fanelli, et al., 2013). Pada definisi Berlin, tidak terdapat penggunaan dari terminologi Acute Lung Injury (ALI). Komite ini menilai bahwa terminologi ini digunakan secara tidak sesuai pada berbagai konteks dan tidak membantu. Pada definisi Berlin, ARDS diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan nilai rasio PaO2/FiO2. Yang penting adalah nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan penggunaan CPAP atau nilai PEEP ≥ 5 cmH2O (Fanelli, et al., 2013). Waktu onset akut kegagalan pernafasan yang digunakan untuk diagnosis ARDS jelas didefinisikan dalam definisi Berlin. Hal ini didefinisikan sebagai paparan terhadap faktor risiko yang diketahui atau perburukan gejala respirasi dalam 18 satu minggu. Hal ini penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang menjelaskan asal kegagalan pernafasan akut (Fanelli, et al., 2013). Radiografi thoraks dikarakteristikkan dengan opasitas bilateral yang melibatkan paling tidak 3 kuadran yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi pleura, atelektasis dan nodul. Jika tidak terdapat faktor risiko yang diketahui, edema akibat kardiogenik harus diekslusi dengan evaluasi objektif dari fungsi kardiak dengan menggunakan ekokardiografi. Akibatnya, pengukuran pulmonary wedge pressure dapat ditinggalkan karena ARDS dapat terjadi bersamaan dengan edema hidrostatik yang diakibatkan dari overload cairan atau kegagalan jantung (Fanelli, et al., 2013). Tabel 2.5. Definisi ARDS Berlin (Fanelli, et al., 2013) Definisi Berlin mengenai Acute Respiratory Distress Syndrome Terjadi dalam 1 minggu pada setelah gangguan klinis yang Waktu sudah diketahui sebelumnya atau baru atau gejala respirasi yang mengalami perburukan. Opasitas bilateral tidak secara penuh dijelaskan oleh efusi, Pencitraan kolaps paru/lobaris, atau nodul. thoraks Kegagalan pernafasan tidak secara penuh dijelaskan oleh Sumber Edema kegagalan jantung atau kelebihan cairan. Memerlukan penilaian objektif (contoh Ekokardiografi) untuk mengeksklusi edema hidrostatik jika faktor risiko tidak ada. Oksigenasi Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg, PEEP atau CPAP ≥5 cmH2O Sedang 100 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, PEEP ≥5 cmH2O Berat PaO2/FIO2 ≤ 100 mmHg, PEEP ≥5 cmH2O Definisi ARDS Berlin secara empiris mengevaluasi tes validitas prediktif untuk mortalitas dengan menggunakan database klinis jumlah besar dari uji klinis 19 multi pusat dan pusat tunggal yang melibatkan 3.670 pasien. Laju mortalitas ARDS dinyatakan sebesar 27% untuk ringan, 32% untuk sedang dan 45% untuk berat. Selain itu, jumlah hari bebas ventilator menurun dari ARDS ringan ke berat, dan stadium ARDS yang lebih berat dihubungkan dengan peningkatan progresif paru yang ditemukan pada evaluasi CT scan dan shunt fraction (Fanelli, et al., 2013). 2.3.2 Epidemiologi Perkiraan angka kejadian yang akurat terhadap ALI dan ARDS sulit ditentukan, hal ini dikarenakan oleh kurangnya definisi yang seragam dan beranekaragam manifestasi klinis. Perkiraan berdasarkan National Institute of Health (NIH), angka kejadian di Amerika 75 per 100.000 populasi. Pada penelitian lain dilaporkan kejadian yang lebih rendah 1,5 – 8,3 per 100.000 populasi (Ware, et al. 2000). Saat ini ARDS memiliki angka kematian yang cukup tinggi 40-60%. Sebagian besar kematian disebabkan oleh sepsis atau multi organ dysfunction (MOD) daripada penyebab respirasi primer. Walaupun terapi saat ini dengan ventilasi tidal volume rendah, pada beberapa kasus kematian langsung disebabkan oleh kerusakan paru. Pada pasien yang berhasil bertahan hidup dari ARDS fungsi paru kembali normal dalam 6-12 bulan tanpa memperhatikan derajat keparahan paru (Ware, et al., 2000). 2.3.3 Faktor Risiko Predisposisi factor risiko untuk ARDS diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari kontusio pulmonum, aspirasi dari cairan 20 lambung, pneumonia, cedera inhalasi dan tenggelam. Pada kelompok kedua terdiri dari syok traumatik berat yang memerlukan resusitasi cairan dan transfusi yang berulang, trauma kepala berat, sepsis abdominal, luka bakar, emboli lemak dan disseminated intravascular coagulation (DIC) (Milisavljevic, et al., 2012). Tabel 2.6. Kelainan klinis yang berkaitan dengan ARDS (Fanelli, et al., 2013) Direk Pneumonia Aspirasi isi gaster Cedera inhalasi Kontusio pulmoner Vaskulitis pulmoner Tenggelam Indirek Sepsis non-pulmoner Trauma mayor Pankreatitis Luka bakar berat Syok non kardiogenik Overdosis obat-obatan Transfusi multipel atau Transfusion associated acute lung injury (TRALI) Faktor risiko pada pasien dapat dibagi menjadi kondisi predisposisi yaitu sepsis, syok, pneumonia, aspirasi, trauma dan operasi berisiko tinggi dan risiko yang dapat dimodifikasi yaitu obesitas, penggunaan alkohol berlebihan, diabetes, hipoalbumin, asidosis, takipneu. Walaupun dapat terjadi ARDS pada pasien memiliki faktor risiko teori dari patogenesis ARDS dapat menjelaskan perkembangan dari kerusakan paru awal menjadi ARDS ringan atau dari ARDS ringan sedang menjadi ARDS berat. Untuk mengakhiri lingkaran pathogenesis ini perlu melibatkan berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor eksternal (sepsis, trauma dan syok) dan penatalaksanaan (Haro, et al., 2013). 21 Gambar 2.1. Faktor predisposisi ARDS (Haro, et al., 2013) 2.3.4 Patofisiologi ARDS ARDS dikaitkan dengan kerusakan difus alveolar dan cedera paru endotel kapiler. Tahap awal digambarkan sebagai eksudatif, sedangkan fase kemudian adalah fibroproliferative. ARDS awal ditandai dengan peningkatan tahanan permeabilitas alveolar-kapiler, menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli. Tahanan alveolarkapiler dibentuk oleh endotel mikrovaskuler dan lapisan epitel alveoli. Berbagai beban mengakibatkan kerusakan baik pada endotel pembuluh darah atau epitel alveolar dapat mengakibatkan ARDS (Corwin, 2009). Cedera pada endothelium kapiler akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan masuknya cairan yang kaya protein ke ruang alveolar. Cedera pada sel-sel lapisan alveolar akan menyebabkan terjadinya edema paru. Ada dua jenis sel epitel alveolar yaitu pneumosit tipe I, yang membentuk 90% dari epitel alveolar. Kerusakan pneumosit tipe I memungkinkan peningkatan masuknya cairan ke dalam alveoli dan 22 penurunan pengeluaran cairan dari ruang alveolar. Pneumosit tipe II relatif lebih tahan terhadap cedera. Namun, pneumosit tipe II memiliki beberapa fungsi penting, termasuk produksi surfaktan, transportasi ion, dan proliferasi dan diferensiasi menjadi pneumosit tipe l setelah cedera selular. Kerusakan pneumosit tipe II menyebabkan penurunan produksi surfaktan sehingga terjadi kerusakan alveolar. Gangguan pada proses perbaikan normal di paru-paru dapat menyebabkan perkembangan fibrosis paru (Milisavljevic, et al., 2012). Seperti telah banyak diketahui, secara patologi anatomi kejadian ARDS dibagi dalam 3 tahap yang berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulan. Tahap pertama yaitu tahap eksudatif ditandai dengan pembentukan cairan yang berlebihan, protein serta sel inflamatori dari kapiler yang kemudian akan menumpuk kedalam alveoli (Milisavljevic, et al., 2012). Gambar 2.2. Sel alveolus normal (kiri) dan sel alveolus pada ARDS (kanan) (Ware, et al., 2000) 23 Tahap kedua, tahap fibroproliferatif pada tahap ini akibat dari respon terhadap stimuli yang merugikan maka akan dibentuk jaringan ikat dengan beberapa perubahan struktur paru sehingga secara mikroskopik jaringan paru tampak seperti jaringan padat. Dalam keadaan ini pertukaran gas pada alveolar akan sangat berkurang sehingga tampilan penderita secara klinis seperti pneumonia (Milisavljevic, et al., 2012). Tahap ketiga yaitu tahap resolusi dan pemulihan. Pada beberapa penderita yang dapat melampaui fase akut akan mengalami resolusi dan pemulihan. Edema paru ditanggulangi dengan transport aktif Na, transport pasif Cl dan transport H2O melalui aquaporins pada pneumosit tipe I, sementara protein yang tidak larut dibuang dengan proses difusi, endositosis sel epitel dan fagositosis oleh sel makrofag. Akhirnya reepitelialisasi terjadi pada pneumosit tipe II dari pneumosit.yang berproliferasi pada dasar membarana basalis. Proses ini distimulasi oleh growth factors seperti keratinocyte growth factor (KGF). Neutrofil dibuang melalui proses apoptosis. Sedangkan beberapa penderita yang lain tetap dalam tahap fibrosis ( hal ini terjadi secara dini yaitu pada hari ke 5-6 setelah diagnosa ARDS). Ruang alveolar akan dipenuhi oleh sel mesenkim dengan produk-produknya serta pembentukan pembuluh darah baru. Pembentukan jaringan fibrosis berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk, apalagi bila muncul prokolagen III secara dini pada cairan broncho alveolar lavage (BAL) maka mortalitas akan meningkat (Milisavljevic, et al., 2012). 24 Gambar 2.3. Fase resolusi pada ARDS (Ware, et al., 2000) 2.3.5 Manifestasi Klinis ARDS Pada ARDS manifestasi klinis tergantung dari penyebabnya. Pada awal setelah cedera (12-24 jam pertama) terjadi takipnea, takikardi, penggunaan otot pernafasan tambahan dan pada auskultasi didapatkan ronki ekspirasi. Pada analisa gas darah didapatkan hipoksia progresif, hiperkapnea dan asidosis. Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan sebaran infiltrat, pada keadaan klinis ARDS yang memburuk didapatkan infiltrat yang berkelompok (Milisavljevic, et al., 2012). Adapun hipoksia digunakan untuk menggambarkan kondisi rendahnya kandungan oksigen jaringan ataupun sel akibat gangguan penghantaran oksigen yang diperlukan pada proses oksidatif. Hipoksemia adalah jumlah oksigen di darah arterial yang tidak adekuat akibat penurunan PaO2, SaO2, atau hemoglobin. Adapun komponen yang harus dipenuhi pada hipoksia adalah kadar O2 rendah, Cardiac 25 output rendah, atau uptake oksigen pada tingkat jaringan rendah dengan ada atau tanpa adanya hipoksemia. Oleh sebab itu, hasil akhir dari pertukaran udara yang tidak efektif disebut hipoksia (Milisavljevic, et al., 2012). 2.3.6 ARDS pada Trauma Thoraks Kontusio pulmonum merupakan cedera pada parenkim paru, yang kemudian berkembang menjadi edema dan berkumpulnya darah di dalam alveolus, sehingga menyebabkan berkurangnya struktur dan fungsi paru normal. Cedera tumpul pada paru selama 24 jam akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas dan menurunnya komplians paru. Juga menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi pada komponen darah pada paru, 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum bilateral akan menjadi ARDS (Miller, et al., 2002). Kontusio pulmonum terjadi sekitar 20% pada pasien dengan injury severity score diatas 15, dan paling sering terjadi pada trauma thoraks anak-anak. Kontusio pulmonum bilateral yang berat akan menyebabkan terjadinya hipoksia, tetapi lebih sering berkembang menjadi ARDS (Miller, et al., 2002; Bakowitz, et al., 2012). 2.3.7 Terapi Oksigen Terapi oksigen adalah upaya pengobatan dengan obat oksigen untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan, dengan cara meningkatkan masukkan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan atau ekstraksi oksigen jaringan. Pada kondisi normal, sistem respirasi menghirup udara atmosfir yang 26 mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHg, selanjutnya sampai di alveoli tekanan parsialnya akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh tekanan uap air yang terjadi pada jalan nafas. Pada alveoli, oksigen akan segera berdifusi ke dalam aliran darah paru melalui proses aktif akibat perbedaan tekanan (Mangku, et al., 2010). Terapi oksigen merupakan upaya untuk meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi oksigen jaringan. Secara umum indikasi klinis terapi oksigen diberikan pada pasien yang menderita ketidakadekuatan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat sumbatan jalan nafas, depresi pusat nafas, penyakit saraf otonom, trauma thoraks atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS yang dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas. Teknik dan alat yang digunakan dalam terapi oksigen hendaknya memenuhi kriteria yaitu, mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2), tidak menyebabkan akumulasi CO2, tahanan terhadap pernafasan minimal, irit dan efisien dalam penggunaan oksigen dan diterima serta enak dipakai oleh pasien. Beberapa alat yang umum digunakan untuk terapi oksigen adalah kanul nasal mampu memberikan FiO2 pada kecepatan aliran 16 liter/menit sebesar 24-44%, sungkup muka pada kecepatan aliran 5-8 liter/menit mampu memberikan FiO2 sebesar 40-60%, sungkup muka dengan kantong penampung dapat memberikan FiO2 antara 60 - 90% (Mangku, et al., 2010).