27 BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI

advertisement
27
BAB II
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT
PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA CABANG KABANJAHE
A. Perjanjian Kredit Bank
Hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur khusus mengenai perjanjian
kredit, baik dari segi bentuk maupun materil yang luas di muat dalam perjanjian
kredit. Oleh karena itu ketentuan hukum yang sebagai acuan dalam perjanjian kredit
tersebut adalah ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur
dalam Buku III KUH Perdata.
a. Dasar Hukum Perjanjian Kredit Harus Tertulis
Dari pengertian kredit pada pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan
Nomor 10 Tahun 1998 dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada
nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam (debitur).
Pembuatan perjanjian kredit tersebut diperlukan dalam rangka memberikan
kepastian hukum bagi para pihak, sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian
hari maka para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan perjanjian kredit yang
telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah dirugikan.
Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian
kredit, setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan
surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalam SK Direksi Bank Indonesia No.
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPPB masing-masing
27
Universitas Sumatera Utara
28
tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan
Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang perjanjian kredit yang dinyatakan
setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan
dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Baik di bawah tangan ataupun di
hadapan Notaris.
Sebelum ketentuan ini terdapat ketentuan yang sama dalam instruksi Presidium
Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966 dan Surat Bank Indonesia
kepada semua bank devisa No.3/1093/UPK/KPD angka 4 tanggal 29 Desember
1970.52
Ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. Dalam perjanjian kredit
tersebut tidak dapat ditentukan apa yang harus dimasukkan, karena ada beberapa
perubahan-perubahan dalam kebutuhan pelayanan kredit bagi bermacam-macam
usaha debitur yang masing-masing membutuhkan pelayanan yang spesifik. Syaratsyarat tersebut diperjanjikan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dari debitur
sehingga tidak mungkin dibuatkan formulir perjanjian yang sama untuk semua
debitur.
b. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok
Mengingat belum ada kejelasan dalam peraturan perundang-undangan, maka
para pakar hukum perbankan di Indonesia belum ada persamaan pendapat, mengenai
bentuk hukum, hubugan antara bank dengan nasabah/debitur maka akan
52
Widjanarto., Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Umum Grafiti,
Jakarta, 2003, hal 81-82.
Universitas Sumatera Utara
29
dikemukakan beberapa pendapat yakni sebagai berikut :
Marhainis Abdul Hay berpendapat bahwa : Perjanjian kredit identik dengan
perjanjian pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH Perdata, sebagai konsekuensi
logis dari pendirian ini, harus dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil.53
Sedangkan pendapat R. Subekti menyatakan bahwa dalam bentuk apapun juga
pemberian kredit itu diadakan dan semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah
suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata
Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.54
Menurut Mariam Darus, perjanjian kredit tersebut adalah “Perjanjian
Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang, ini merupakan hasil
permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan
hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat Konsensual obligatoir, sedangkan
penyerahan uang bersifat riil.55
Dengan demikian, bentuk hukum perjanjian kredit tergantung pada sudut
pandang mana pendekatan dilakukan. Dilihat dari materi dan isi perjanjian kredit
merupakan perjanjian baku atau perjanjian standart, karena hampir dari seluruh
klausul-klausul yang dimuat dalam perjanjian kredit tersebut sudah dibakukan oleh
bank, pada dasarnya isi dari perjanjian telah dipersiapkan terlebih dahulu tanpa
diperbincangkan dengan pemohon dan hanya pemohon dimintakan pendapat apakah
53
Marhainis Abdul Hay., Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal
67.
54
R.Subekti., Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 3.
55
Mariam Darus Badrulzaman., Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991, hal 32.
Universitas Sumatera Utara
30
dapat menerima syarat-syarat yang tercantum didalam perjanjian tersebut.
Bila dilihat dari sifatnya, perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual
artinya dengan ditanda tanganinya perjanjian kredit oleh bank dengan nasabah debitur
tidaklah langsung nasabah debitur dapat menarik kredit melainkan harus memenuhi
syarat-syarat penarikan terlebih dahulu. Misalnya nasabah debitur harus menyerahkan
barang jaminan yang telah diikat sesuai ketentuan yang berlaku, dapat pula perjanjian
kredit merupakan perjanjian obligatoir karena dengan ditanda tangani perjanjian
kredit tersebut sebelum kredit cair, para pihak harus memenuhi kewajibannya yaitu
bank harus menyediakan sejumlah dana dalam waktu tertentu, sedangkan debitur
wajib menyerahkan jaminan yang cukup.
Perjanjian kredit dapat dikonstuksikan sebagai perjanjian pokok, karena di
dalam perjanjian dapat terlaksana dengan adanya jaminan maka tidak dapat berdiri
sendiri. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit tersebut pada umumnya selalu diikuti
dengan perjanjian ikutan (accessoir) berupa perjanjian jaminan.56
Kredit berasal dari kata Yunani “Credere” yang berati kepercayaannya (truth
atau faith).57 Karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Dengan demikian
sesorang yang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan,
artinya pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit
(debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.58 Baik
menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi dan kontra – prestasinya. Dengan
56
Eugenia Liliawati Moejono., Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvavindo, 2003, hal
18.
57
Thomas Suyatno,dkk., Op.Cit, hal 12.
58
Ibid., hal 13.
Universitas Sumatera Utara
31
demikian kredit berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang,
uang dan jasa kepada pihak lain, sedangkan kontra prestasi akan diterima kemudian
(dalam jangka waktu tertentu).
Dalam praktek perbankan istilah kredit tidak asing lagi dunia bisnis, apabila
bagi mereka yang selalu berhubungan baik dengan bank. Namun demikian definisi
mengenai kredit sangat beragam meskipun bila disimak subtansi yang terkandung
dalamnya adalah sama. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa definisi
tentang kredit.
Muchdarsyah Sinungan memberikan definisi bahwa : “Kredit adalah suatu
pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan
dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu akan datang disertai dengan suatu kontra
prestasi berupa bunga”.59
Pengertian kredit yang rumuskan pada pasal 1 ayat 11 Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan : penyediaan yang dan tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.60
B. Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian Kredit.
Bank merupakan salah satu lembaga yang memegang peranan penting dalam
perekonomian nasional. Dari segi fungsinya, bank merupakan perantara dari dan
kepentingan masyarakat dibidang dana, yaitu kepentingan dari masyarakat yang
59
60
Muchdarsyah Sinungan., Op.Cit, hal 11.
Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
32
berkelebihan dana dengan kepentingan dari masyarakat yang membutuhkan dana.
Cara menghimpun dana dari masyarakat luas dengan menyalurkan kembali kepada
masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit yang merupakan dua fungsi
utama bank dari ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam rangka menyediakan dana bagi pemerintah untuk melaksanakan
pembangunan ekonomi atau bagi masyarakat untuk malakukan kegiatan yang
produktif, bank membantu dalam menyediakan dana tersebut, yang dilakukan antara
lain melalui usaha pemberian kredit. Karena itu tidaklah berlebihan bilamana
dikatakan bahwa kredit merupakan salah satu usaha untuk yang sangat vital.
Mengingat kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko maka “pemberian
kredit oleh bank harus dilandasi oleh keyakinan bank atas kemampuan debitur untuk
dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.61 Oleh karena itu untuk
meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya dan tidak
mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan
asas-asas perkreditan yang sehat dalam setiap pemberian kredit.
Bila Undang–Undang Perbankan diteliti, ada beberapa syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh bank untuk menjalankan kegiatan usahanya dibidang perkreditan yakni
akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Keharusan pemberian kredit berdasarkan analisis 5C dan 7P.
Dalam pelaksanaannya untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian
kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
61
Kasmir., Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 241.
Universitas Sumatera Utara
33
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan oleh bank.
Dalam hal ini pihak bank harus melakukan penilaian yang umum untuk
mendapatkan nasabah yang benar-benar membutuhkan dan beritikad baik, maka
dilakukan dengan analisis lima 5C dan selanjutnya penilaian suatu ktedit dapat pula
dilakukan dengan analisis 7P kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:
1) Personality yakni mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah
dalam menghadapi suatu maslah dan menyelesaikannya.
2) Party yakni mengklasifikasikan nasabah dalam golongan-golongan tertentu,
berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya dan ini mendapat fasilitas yang
berbeda dari bank.
3) Perpose yakni menilai usaha tujuan nasabah dalam mengambil kredit sesuai
dengan kebutuhan.
4) Prospect yakni menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang
menguntungkan atau tidak, karena tanpa mempunyai prospek, bukan saja bank
yang rugi akan tetapi juga nasabah.
5) Payment yakni cara pembayaran dari mana sumber dana untuk pengemabalian
kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur ini semakin baik karena
jika salah satu rugi dapat ditutupi dengan usaha yang lain.
6) Profitability yakni menganalisis kemampuan nasabah dalam mencari laba yang
diukur dalam periode ke periode apakah sama atau meningkat dengan adanya
tambahan kredit yang diperoleh.
7) Protection yakni untuk mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit
yang diberikan benar-benar aman, ini berupa jaminan barang atau jaminan
asuransi.62
Dengan penilaian tersebut di atas dapat dikatakan sebagai studi kelayakan usaha
dan biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai besar dan berjangka
waktu panjang.
2.
Batas maksimum pemberian kredit
Berdasarkan Pasal 11 penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia
62
Kasmir., Op.Cit, hal 119-120.
Universitas Sumatera Utara
34
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatakan :
Pemberian kredit pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank
mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga
dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit tersebut
bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, resiko yang dihadapi
bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dan masyarakat tersebut. Oleh
karena itu untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank
diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas
lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah atau kelompok
nasabah debitur tertentu.63
Dalam hal ini untuk mengantisipasi hal tersebut Bank Indonesia telah
mengeluarkan Surat Keputusan No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998
yang mengatur tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bank umum
dengan tujuan untuk dilakukan penyebaran resiko dalam pemberian kredit.64
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dapat digolongkan sebagai
berikut :
1. Batas maksimum Pemberian Kredit bagi peminjam yang merupakan pihak
terkait :
a. 10 % dari modal bagi pihak terkait sebagai satu pinjaman atau kelompok
peminjam.
b. 10 % dari modal untuk jumlah seluruh pihak terkait.
2. Batas maksimum Pemberian Kredit bagi pihak tidak terkait
a. 30 % dari modal sejak berlaku SK s/d akhir 2001.
b. 25 % dari modal selama tahun 2002.
c. 20 % dari modal sejak 1 Januari 2003.65
Oleh karena itu, praktek pemberian kredit oleh bank sebaiknya bagi pihak
terkait perlu dihindarkan atau sekurang-kurangnya sangat dibatasi, begitu juga bagi
63
Pasal 11 Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang No.10 tahun 1998, tentang Perbankan.
Suharno., Op.Cit, hal 36.
65
Ibid., hal 37.
64
Universitas Sumatera Utara
35
pihak tidak terkait hendaknya pemberian kredit jangan terlalu berlebihan yang
berakibat bank dalam keadaan beresiko tinggi. Untuk itu perlu ada ketentuan tentang
batas maksimum pemberian kredit yang harus dipatuhi oleh setiap bank.
3.
Kegiatan Bank Tidak Merugikan Nasabah Penyimpan Dana
Sebagaimana diketahui bahwa pemberian kredit dari sisi bank merupakan
sumber pendapatan bank itu sendiri.66 Oleh karena itu evaluasi dan seleksi terhadap
objek yang akan dibiayai bank sangat penting, baik guna kelangsungan bank itu
sendiri maupun perlindungan terhadap nasabah yang menitipkan dananya pada bank.
Hal ini merupakan perwujudan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
29 ayat 3 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang menentukan
bahwa : dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank.67
Dengan demikian peningkatan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam
menyalurkan kredit, mutlak diperlukan meskipun disadari bahwa persaingan bisnis
perbankan di bidang penyaluran kredit sangat ketat. Bank harus tetap selektif,
komitmen kredit yang diberikan hendaknya dapat dibiayai oleh sumber dana yang
cukup, tanpa harus berlomba-lomba secara kurang wajar dalam menghimpun dana
masyarakat. Karenanya bank seharusnya tidak hanya mengejar target pertumbuhan
66
67
Suharno., Op.Cit, hal 2.
Pasal 29 ayat 3 Undang-Undang No.10 tahun 1998, tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
36
kredit yang tinggi, tetapi juga tetap memperhatikan pula dampaknya terhadap
kesehatan bank.
Haruslah dibedakan antara hak penggunaan dana, selama dana berada dalam
simpanan bank atas resiko pihak bank sendiri, dengan hak milik dana oleh
karenanya menjadi alas hak bagi penarikan kembali oleh si penyimpan dana pada
bank. Dengan pengertian ini, adalah suatu sikap melawan hak atau melawan
hukum bila bank menggunakan dana secara semena-mena, tidak berhati-hati
dengan melawan substansi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan
Pasal 37 B ayat 1 dan menempatkan deposan pada resiko yang tidak semestinya.68
Dalam hal dana yang dipakai untuk pemberian kredit, bank hanya boleh
memberikan kredit apabila bank benar-benar telah meyakini bahwa debitur
mempunyai kemampuan, kesanggupan dan beritikad baik untuk melunasi hutangnya
sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila tidak demikian resiko yang dihadapi oleh
bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh
karena itu hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual yang
dilandasi oleh prinsip kehati-hatian.
4.
Restrukturisasi Kredit
Seperti halnya dengan ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan
ketentuan tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP),
ketentuan restrukturisasi kredit ini pun dikeluarkan pada tanggal 12 November 1998,
dengan Surat Keputusan Bank Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR. Surat Keputusan
ini kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PB/2000tanggal
12 Juni 2000. Perubahan mana hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 12 ayat (1)
huruf b.
68
Gunarto Suharid., Op.Cit, hal 19.
Universitas Sumatera Utara
37
Dalam
pasal
1
huruf
c
Surat
Keputusan
Bank
Indonesia
Nomor
31/150/KEP/DIR tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan restrukturisasi
kredit adalah upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar
debitur dapat memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui :
1. Penurunan suku bunga kredit;
2. Pengurangan tunggakan bunga kredit;
3. Pengurangan tunggakan pokok kredit;
4. Perpanjangan jangka waktu kredit;
5. Penambahan fasilitas kredit;
6. Pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
7. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur;
Dengan Restrukturisasi kredit ini debitur dapat diberi keringanan dalam rangka
upaya pelaksanaan kewajibannya sebagai debitur, yaitu untuk melunasi hutanghutangnya dari bank. Namun demikian, tidak semua debitur dapat diberikan keringan
karena permasalahan dalam kredit perbankan dapat terjadi berbagi hal termasuk
didalamnya kemampuan debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang bersumber
dari usahanya. Dalam Surat keputusan Bank Indonesia tersebut bahwa restrukturisasi
kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha
yang baik dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok
dan/atau bunga kredit. Oleh karena itu, kredit yang akan direstrukturisasi wajib
dianalisis berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai
proyeksi arus kas dan bagi kredit yang diberikan kepada pihak terkait yang akan
Universitas Sumatera Utara
38
direstrukturisasi, wajib dianalisis oleh konsultan atau tanaga ahli yang independen
yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik.
Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk
menghindari :
1. Penusuran penggolongan kualitas kredit; atau
2. Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang lebih
besar; atau
3. Penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual.69
Untuk itu bank diwajibkan membuat kebijakan restrukturisasi kredit secara
tertulis. Kemudian, direksi bank wajib terlibat langsung dalam perumusan kebijakan
restrukturisasi kredit tersebut dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya, yang
pelaksanaannya wajib diikuti secara saksama oleh Komisaris/Badan Pengawas bank
yang bersangkutan.
Untuk menjaga objektivitas, restrukturisasi kredit dilakukan oleh satuan kredit
yang terpisah dari satuan kerja pemberian kredit, dan pejabat atau pegawai dalam
satuan kerja restrukturisasi kredit tidak terlibat dalam pemberian kredit yang akan
direstrukrisasi. Satuan kerja restrukturisasi kredit ini dipimpin oleh pejabat yang
berpengalaman dalam restrukturisasi kredit serta memiliki kewenangan untuk
melakukan negosiasi dengan debitur dalam setiap tahapan restrukturisasi kredit.
Didalam kebijakan restrukturisasi kredit tersebut termuat penjabaran ketentuan
restrukturisasi kredit yang tertuang pada pasal-pasal Surat Keputusan Bank Indonesia
Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 sebagaimana telah diubah
69
H.R. Daeng Naja., Op.Cit, hal 317
Universitas Sumatera Utara
39
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000, antara
lain sebagai berikut;
1. Penggolongan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan
sebagai berikut:
a. Setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan
restrukturiasasi tergolong diragukan dan macet.
b. Kualitas tidak berubah untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi
tergolong lancar, dalam perhatian khusus atau kurang lancar.
2. Kualitas kredit yang telah diubah tersebut, selanjutnya dapat berubah menjadi:
a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bunga selama
tiga kali pembayaran dan secepat-cepatnya dalam waktu tiga bulan.
b. Kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi atau yang sebenarnya
apabila lebih buruk, jika debitur tidak memenuhi kriteria dalam huruf a
dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian restrukturisasi kredit.
3. Kualitas tambahan kredit dalam rangka restrukturisasi digolongkan lancar
apabila diberikan sesuai dengan prosedur yang ketat dan memiliki agunan yang
cukup.
4. Pendapatan bunga dan penerimaan lain dari kredit yang direstrukturisasi hanya
boleh diakui apabila telah diterima secara tunai sebelum kualitas kredit menjadi
lancar.
5. Restrukturisasi kredit dalam bentuk penyertaan hanya dilakukan untuk kualitas
kredit kurang lancar atau diragukan atau macet, dan wajib ditarik kembali
apabila:
a. Telah melebihi jangka waktu paling lama lima tahun; atau
b. Perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba bersih selama
dua tahun buku berturut-turut dan wajib dihapusbukukan dari neraca bank
apabila telah melebihi jangka waktu lima tahun.70
Selain itu, dalam pedoman Umum Restrukturisasi Kredit disebutkan bahwa
penyusunan pedoman restrukturisasi kredit hendaknya mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut;
1. Analisis dan Dokumentasi
Informasi dan dokumentasi yang diperlukan dalam menganalisis kredit-kredit
yang akan direstrukturisasi sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
70
H.R. Daeng Naja., Op.Cit, hal 318.
Universitas Sumatera Utara
40
a. Evaluasi terhadap permasalahan debitur, meliputi:
1) Penjelasan rinci mengenai penyebab terjadinya tunggakan pokok dan/atau
bunga yang didasarkan atas laporan keuangan, arus kas (cash flow),
proyeksi keuangan, kondisi pasar, serta faktor-faktor lain yang berkaitan
dengan usaha debitur.
2) Perkiraan pengambilan seluruh pokok dan bunga kredit berdasarkan akad
kredit sebelum dan setelah restrukturisasi kredit. Perkiraan tersebut
hendaknya didasarkan pada rasio-rasio keuangan yang mencerminkan
kondisi keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali
pinjamannya.
3) Peninjauan efisiensi manajemen debitur untuk menentukan diperlukannya
restrukturisasi organisasi perusahaan debitur, misalnya dengan penggantian
pemegang saham, direksi, dan pendekatan manajerial lainnya. Jika
diperlukan dapat digunakan bantuan tenaga ahli dari luar untuk melakukan
restrukturisasi organisasi tersebut. Dalam hal debitur merupakan debitur
perorangan harus dipersyaratkan adanya agunan tambahan baru atau
jaminan perorangan (personal guarantee) yang terpercaya.
b. Kriteria kredit yang akan direstrukturisasi sesuai kebijakan yang telah
ditetapkan bank, misalnya jenis penggunaan kredit serta sektor ekonomi yang
dibiayai.
c. Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam menetapkan proyeksi arus kas
(projected future cash flows) debitur serta dalam memperhitungkan nilai tunai
(present value) dari angsuran pokok danbunga yang akan diterima.
d. Analisis, kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian
persyaratan kredit seperti penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan
pokok dan/atau bunga, perubahan jangka waktu, dan penambahan fasilitas.
Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan
kemampuan membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban
pembayaran angsuran pokok dan bunga hingga jatuh tempo.
e. Tujuan dan penggunaan tambahan kredit apabila restrukturisasi kredit dilakukan
dengan cara pemberian tambahan kredit. Tambahan kredit tidak diperkenankan
untuk melunasi tunggakan pokok dan/atau bunga kredit.
f. Jadwal pembayaran kembali yang telah direvisi yang mencerminkan
persyaratan yang telah disesuaikan dengan kemampuan membayar debitur.
g. Rincian yang terkait dengan persyaratan kredit termasuk kesepakatan keuangan
dalam akad kredit, misalnya rekapitalisasi perusahaan debitur atau dalam hal
bank di masa mendatang memiliki hak untuk meningkatkan suku bunga sejalan
dengan kemampuan membayar debitur.
h. Rincian kelengkapan dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
restrukturisasi kredit.
i. Persyaratan bahwa akad kredit dan konsumen lainnya yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
41
pelaksanaan restrukturisasi kredit harus mempunyai kekuatan hukum.71
2. Prosedur Pemantauan
Bank wajib memiliki prosedur tindak lanjut untuk memantau kredit yang telah
direstrukturisasi
guna
memastikan
kesanggupan
debitur
untuk
melakukan
pembayaran kembali sesuai persyaratan dalam akad kredit baru. Beberapa hal yang
wajib dilakukan oleh satuan kerja restrukturisasi kredit dalam rangka pemantauan
tersebut, antara lain;
a. Menyusun laporan bulan mengenai perkembangan usaha debitur yang memuat
perincian perkembangan usaha, pelaksanaan rencana kegiatan (action plan) dan
kemungkinan pembayaran kembali.
b. Mewajibkan debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang dilengkapi
dengan rasio-rasio keuangan pokok dalam rangka memonitor kondisi usaha dan
keuangan debitur secara terus-menerus. Debitur juga diwajibkan untuk
melaporkan dampak dari berbagai tindakan yang ditempuh sebagai bagian dari
restrukturisasi kredit, seperti rekapitalisasi perusahaan debitur dan kebijakan
untuk tidak membagikan deviden.
c. Menyusun langkah-langkah yang akan diambil jika debitur ternyata mengalami
kesulitan membayar setelah restrukturisasi kredit.72
Hal – hal tersebut diatas perlu benar-benar diperhatikan dan diindahkan oleh
bank mengingat Bank Indonesia dapat melakukan koreksi terhadap penggolongan
kualitas kredit, pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan
pendapatan bunga yang telah diakui secara aktual apabila restrukturiasasi tidak
didukung dokumen yang lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan
membayar dan prospek usaha debitur.
71
Agus Sudiarto., Membangun Fundamental Perbankan yang Kuat (Artikel), Media Indonesia,
Jakarta, 2004, hal 320.
72
Agus Sudiarto., Op. Cit, hal 320
Universitas Sumatera Utara
42
C.
Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Perjanjian Kredit Pada PT Bank
Negara Indonesia Cabang Kabanjahe.
PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk lebih dikenal dengan Bank BNI,
merupakan satu dari beberapa bank tertua dan terbesar yang pernah dan sampai saat
ini ada di Indonesia.
Sejarah berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, erat hubungannya
dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945.
Berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada sidang
Dewan Menteri Republik Indonesia tanggal 19 September 1945, diputuskan untuk
mendirikan sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai bank sirkulasi.
Walaupun menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan, pada tanggal 5 Juli
1946 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946,
berhasil didirikan bank sirkulasi atau Bank Sentral Milik Negara Republik Indonesia
dengan nama Bank Negara Indonesia.73
Pada tahun-tahun selanjutnya telah dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah
untuk
memantapkan kedudukan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi.
Namun usahanya,sehingga dapat dikatakan bahwa kredit sangat memegang peran
yang sangat penting bagi sukses pembangunan, yang pada saat ini salah satu kantor
cabangnya adalah PT. Bank Indonesia Negara (BNI) Cabang Kabanjahe.
Adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kredit
73
Sumber dari Modul BNI ICONS (Integrated & Centralized On Line System).
Universitas Sumatera Utara
43
perbankan sehingga merupakan rambu–rambu yang harus dipatuhi dan mengingat
pemberian kredit mengandung risiko (kegagalan atau kemacetan pelunasan), maka
kegiatan usaha pemberian kredit perlu dikelola secara baik dan sehat. Bank sebagai
usaha yang melakukan kegiatan usaha pemberian kredit harus mengelolanya dengan
Baik. Kegiatan pemberian kredit itu harus dikelola secara baik dan berhati-hati agar
dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank. Sehubungan dengan itu, kegiatan usaha
pemberian kredit perbankan harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
Bank harus membuat perencanaan kredit yang baik sesuai dengan kondisi bank
dengan memperhatikan berbagai hal yang dikaitkan dengan materi perencanaan
tersebut. Terdapat banyak hal yang dapat dipertimbangkan dalam menyusun rencana
perkreditan suatu bak, baik dari segi intern bak maupun dari segi ekstern bank. Suatu
rencana perkreditan bank antara lain meliputi target kredit yang akan diberikan,
Langkah-langkah untuk mencapai target, dan upaya penanganan kredit bemasalah.
Mengenai perincian dan rencana perkreditan tersebut akan dapat ditetapkan sesuai
jenis rencana kerja bank, yaitu apakah berupa rencana kerja jangka pendek (tahunan)
atau menengah (3 tahunan) yang oleh ketentuan Bank Indonesia disebut Rencana
Bisnis, atau jangka panjang (5 tahunan atau lebih). Suatu rencana perkreditan untuk
jangka pendek (tahunan) harus lebih rinci, misalnya mencantumkan Tentang jenis
kredit yang akan diberikan (kredit mikro, kredit kecil, kredit menengah, dan kredit
korporasi), target nasabah dan jumlah maksimal masing-masing jenis kredit, sektor
ekonomi yang akan dibiayai, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pemberian kredit
maka bank harus berhati-hati dalam proses penilaian dan keputusan kredit termasuk
Universitas Sumatera Utara
44
pengikatan agunan atau jaminan dalam pemberian kredit kepada calon debitur,
demikian juga halnya yang harus dilakukan PT. Bank Negara Indonesia (BNI) abang
Kabanjahe dalam pemberian kredit kepada nasabah.
Adapun penerapan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian kredit yang dilakukan
Bank sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1. Proses Penilaian Dan Keputusan Kredit
Setiap permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur harus segera
diproses melalui penilaian dan selanjutnya diberikan keputusannya oleh bank.
Penilaian diwujudkan dalam bentuk pembuatan analisis kredit. Semua pemberian
kredit harus disertai dengan analisis kredit yang memenuhi ketentuan peraturan intern
masing-masing bank. Analisis kredit memuat penilaian tentang berbagai aspek yang
berkaitan dengan calon debitur, yaitu
aspek-aspek hukum, teknis produksi,
pemasaran, keuangan, manajemen dan organisasi, sosio ekonomi, lingkungan
hidup,jaminan, dan risiko. Analisis kredit tersebut dibuat oleh bank berdasarkan
pedoman dan prosedur
tertulis
yang ditetapkan sebagai peraturan intern bank.
Sejauh mana pendalaman penilaian atas masing-masing aspek yang harus dilakukan
adalah terkait kepada jenis kredit, jumah (nilai) kredit, sektor ekonomi yang akan
dibiayai, dari calon debitur.74
Berdasarkan analisis kredit yang telah dilakukannya yang antara lain untuk
mengetahui kelayakan calon debitur, kelayakan usaha (kegiatan atau profesi) calon
74
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Press,
Jakarta, 2007, hal. 99-100.
Universitas Sumatera Utara
45
debitur, kondisi keuangan dan kemampuan membayar kredit calon debitur dan risiko
yang terkait, bank dapat memberikan keputusan atas permohonan kredit dari calon
debitur yang bersangkutan, yaitu menolak atau menyetujuinya. Pemberian keputusan
termaksud harus oleh pejabat yang diberikan kewenangan memutus sesuai dengan
peraturan intern bank. Keputusan bank mengenai permohonan kredit harus segera
diberitahukan kepada calon debitur, dan dalam hal keputusan tersebut berupa
persetujuan kredit harus ditindaklanjuti pelaksanaanya sesuai dengan pedoman dan
prosedur tertulis yang berlaku.75
Menurut nara sumber dari PT. Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang
Kabanjahe, proses penyaluran kredit dimulai dari masuknya permohonan kredit ke
bank, yang bisa berawal dari hasil perbincangan calon debitur dengan pihak Bank
atau melalui pengajuan tertulis. Setelah permohonan kredit yang diterima maka
dilakukan investigasi awal dengan cara mencari tahu mengenai diri debitur ke
berbagai sumber. Jika bank menilai bahwa permohonan kredit layak diproses lebih
lanjut, maka akan dilakukan kunjungan dengan terlebih dahulu menginformasikan
kepada calon debitur. Kunjungan dilakukan dalam rangka bank untuk mengetahui
bisnis calon debitur sejelas-jelasnya.76
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi calon debitur dalam mengajukan
permohonan kredit, harus melengkapi data-data antara lain:
1. Surat permohonan dari nasabah dengan melampirkan:
75
76
M. Bahsan, Op.Cit., hal. 100.
Hasil Wawancara dengan Pegawai Bank BNI Kabajahe, tanggal 13 Juni 2007, di Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
46
a. Foto copy KTP (identitas diri).
b. Foto copy Kartu Keluarga.
2. Mengisi Surat Permohonan Kredit (SPK) yang telah disediakan oleh bank.
3. Foto copy NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
4. Foto copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP) untuk kredit atas nama perusahaan.
5. Foto copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) untuk kredit atas nama
perusahaan.
6. Foto copy Akta Pendirian Perusahaan dan akta-akta perubahannya.
7. Foto copy Laporan Keuangan.
8. Rekening Koran/buku tabungan di bank manapun (umumnya bank yang
bersangkutan mengiinginkan kas tabungan pada bank yang memberikan kredit
tersebut) selama 3-6 bulan terakhir.
9. Foto copy dokumen, bukti kepemilikan yang akan menjadi jaminan (sertifikat
tanah tersebut).
10. Data-data keuangan, laporan rugi laba, catatan penjualan dan pembelian harian
dan data harga yang dianggap perlu, akan tetapi dalam proses analisa pihak bank
dapat meminta data-data lain yang dibutuhkan sepanjang itu berkaitan dengan
proses kredit tersebut.77
Setiap permohonan kredit harus diperiksa secara teliti oleh bagian kredit dalam
hal ini Account/Credit Officer tentang kelengkapan data-data dokumen yang
diserahkan, kebenaran data-data dan dokumen yang diserahkan antara lain:
77
Hasil Wawancara dengan Pegawai Bank BNI Kabajahe, tanggal 13 Juni 2007, di Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
47
1. Jumlah pengajuan kredit harus sesuai dengan kebutuhan (jika jumlah kredit
yang diminta berlebihan akan dibebani bunga yang cukup besar).
2. Penggunaan kredit sesuai dengan tujuan pengembangan usaha.
3. Kredit yang diterima ditatausahakan sebaik mungkin sehingga jadwal
angsuran dan pelunasan dapat terpenuhi.
Selanjutannya dilakukan analisis keuangan calon debitur tersebut yakni:
1. Liquidity ratio, yaitu rasio likuiditas, digunakan untuk mengukur likuiditas
perusahaan.
2. Leverage ratio,yaitu untuk mengukur seberapa jauh aktiva yang dibiayai dari
hutang.
3. Activity ratio, yaitu rasio untuk mengukur seberapa jauh efektivitas
perusahaan dalam mengelola sumber-sumber keuangan.
4. Profitability ratio, yaitu rasio untuk menunjukkan hasil akhir yang dicapai
manajemen dari setiap kebijaksanaan dan keputusannya.
Tujuan dari analisa kredit yang dilakukan oleh pihak bank ini adalah :
1. Untuk
membuktikan/mengetahui
secara
pasti
kebutuhan
dana
yang
dimintakan adalah benar jumlahnya.
2. Untuk membuktikan apakah laporan keuangan perusahaan yang diberikan
tidak direkayasa.
3. Untuk memastikan Repayment Capacity calon debitur.
4. Untuk menentukan besar/kecilnya kredit diberikan.
Setelah dianalisa dan diproses, maka berkas dilaporkan ke kantor pusat dan
Universitas Sumatera Utara
48
keputusan adalah wewenang direktur bagian kredit. Apakah disetujui atau ditolak.
Apabila disetujui kontor pusat oleh direktur bagian kredit atau kepala bagian kredit
ini harus membicarakan kepada direksi-direksi lainnya, walaupun ini adalah tanggung
jawab bagian kredit.
2. Pengikatan Jaminan Kredit
Selanjutnya dalam penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
maka PT.BNI cabang
Kabanjahe menyertakan adanya agunan dalam pemberian
kredit kepada debitur, dalam hal ini adalah jaminan kebendaan.
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan mengemukakan, dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi hutangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Selanjutnya
dalam penjelasan pasal ini disebutkan kredit adalah pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaanya
bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi
risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor
Universitas Sumatera Utara
49
penting yang harus diperhatikan oleh bank.78
Menurut Jopie Jusuf, mengenai jaminan adalah walaupun tidak secara eksplisit,
dari berbagai jenis jaminan yang ada, ada jenis-jenis tertentu yang “lebih disukai”
adalah jenis jaminan yang memiliki nilai stabil, mudah dijual, dan memiliki kepastian
hukum. Contohnya, deposito dan tanah/bangunan. Contoh golongan ekstrem lainnya
yang “lebih tidak disukai” adalah persediaan barang, piutang dagang, dan saham.79
Hal ini juga dibenarkan nara sumber dari PT. BNI Cabang Kabanjahe, bahwa tanah
dan atau bangunan merupakan jenis jaminan kebendaan yang lebih disukai oleh pihak
bank.80
Dalam melakukan pengikatan jaminan kredit berupa tanah dan bangunan maka
akan dilakukan dengan pembebanan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
Menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, hak tanggungan itu selalu mengikuti
perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit, maka setelah perjanjian kredit itu
disepakati oleh kedua belah pihak antara kreditur dan debitur dalam suatu akta yang
dinamakan “akad kredit” lalu diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT.
78
H.M.N. Purwosutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8,
Djambatan, Jakarta, 1992, hal. 54.
79
Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memperoleh Kredit Bank, PT.Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 163.
80
Hasil Wawancara dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabajahe, tanggal 13 Juni 2007, di
Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
50
Menurut keterangan nara sumber, dokumen yang harus dilengkapi dalam rangka
pengikatan jaminan dalam perjanjian kredit yaitu pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) adalah sebagai berikut :
1. SKMHT dalam hal pembuatan APHT melalui suatu akta SKMHT. Pada
umumnya terhadap tanah belum terdaftar maupun tanah sudah terdaftar sebagai
obyek hak tanggungan, maka pembuatan APHT yang diajukan pihak bank
(kreditur) atas dasar SKMHT dari debitur.
2. Bukti identitas para pihak yang bersangkutan dan/atau data-data lengkap dari
pihak-pihak bersangkutan;
3. Surat persetujuan dan suami/istri; jika menurut peraturan perundang-undangan
harus ada.
4. Sertifikat hak atas tanah yang akan dibebani Hak TAnggungan (Hak Milik, HGB
atau HGU berikut surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan), bila di atas tanah
tersebut terdapat bangunannya.
5. Perjanjian kredit yang tercantum di dalam Akta Otentik atau Akta di Bawah
Tangan.81
Semua syarat-syarat tersebut di atas, merupakan persyaratan pemberian hak
tanggungan yang pemohon kredit atau debitur adalah perorangan. Sedangkan apabila
pemohon kredit atau debitur itu adalah perusahaan atau badan hokum, syaratsyaratnya ialah:
81
Hasil Wawancara dengan Nurleli Pulungan, SH, Notaris/PPAT Deli Serdang, tanggal 7 Juni
2007.
Universitas Sumatera Utara
51
1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau lainnya sesuai
Anggaran Dasar Perusahaan dan Direksi ;
2. Akta Pendirian Perusahaan (badan hukum)/ Anggaran Dasar Perusahaan ;
3. Sertifikat hak atas tanah yang akan dibebani hak tanggungan (Hak Milik, HGB
atau HGU) berikut surat IMB, bila tanah tersebut terdapat bangunan ;
4. Perjanjian kredit yang dimuat di dalam akta otentik atau akta di bawah tangan.82
Ketentuan akta perjanjian kredit sebagai dokumen persyaratan dalam
pembuatan APHT boleh dengan akta di bawah tangan, walaupun begitu dari hasil
penelitian pada PT. Bank Negara Indonesia Cabang Kabanjahe, dalam membuat
perjanjian kredit selalu dilakukan secara akta otentik atau dihadapan Notaris, karena
akta perjanjian kredit secara akta otentik itu adalah sebagai bukti yang sempurna
dalam bersengketa atau dihadapan pengadilan.83
Pasal 13 dan Pasal 14 UUHT mewajibkan pemberian hak tanggungan
didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan Kantor Pertanahan berkewajiban
menerbitkan sertifikat sebagai bukti adanya hak tanggungan. Dalam hal ini sertifikat
hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan
dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Sedangkan
sertifikat hak tanggungan diserahkan oleh Kantor Pertanahan kepada pemegang hak
tanggungan. Namun demikian pemegang hak tanggungan (bank/kreditur) dapat
82
Hasil Wawancara dengan Nurleli Pulungan, SH, Notaris/PPAT Deli Serdang, tanggal 7 Juni
2007.
83
Hasil Wawancara dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabanjahe, tanggal 13 Juni 2007 di
Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
52
memperjanjikan lain di dalam APHT, yaitu agar sertifikat hak atas tanah tersebut
diserahkan dalam penyimpanan bank (kreditur).
Dalam prakteknya pada PT. BNI Cabang Kabanjahe, sertifikat hak atas tanah
yang telah dibebankan hak tanggungan disimpan oleh bank tersebut, hal mana apabila
terdapat pelunasan kredit/hutang maka bank selaku kreditur akan mengembalikan
semua jaminan yang menjadi agunan milik debitur, kemudian pembebanan hak
tanggungan pada sertifikat hak atas tanah akan segera diroya.84
Persyaratan yang harus disampaikan oleh bank sebagai pemohon melalui PPAT
kepada Kantor Pertanahan, dalam hal pendaftaran pemberian hak tanggungan adalah :
1. Surat pengantar dari PPAT dua rangkap memuat jenis daftar surat yang
disampaikan ;
2. Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan
(kreditur) ;
3. Sertifikat hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan yang telah dicek
keabsahannya pada Kantor Pertanahan setempat, yaitu :
a. Lembar kedua APHT dan salinan APHT yang sudah diparaf PPAT yang
bersangkutan untuk pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan ;
b. Akta SKMHT bila pembuatan APHT didasarkan pada suatu akta SKMHT;
c. Surat Kuasa mengurus dan fotocopy bukti identitas Penerima Kuasa bila
dikuasakan ;
84
Hasil Wawancara dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabanjahe, tanggal 13 Juni 2007 di
Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
53
d. Fotocopy bukti identitas pemberi dan pemegang hak tanggungan.85
Dengan demikian dari pembahasan di atas, penerapan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit yang dilakukan PT. Bank Negara Indonesia Cabang
Kabanjahe adalah berdasarkan data yang telah terkumpul, petugas Bank dalam hal ini
bagian kredit melakukan analisis kredit. Pada dasarnya, ada dua golongan data yang
dianalisis. Yang pertama adalah analisis terhadap data kuantitatif yaitu menghitung
kebutuhan modal kerja yang dibutuhkan, kemampuan membayar bunga dan pokok
pinjaman serta analisis keuangan calon debitur. Yang kedua adalah analisis terhadap
data kualitatif yaitu cara calon debitur menghadapi persaingan, kemampuan
manajemen dalam mengelola bisnis dan lain-lain. Dan berdasarkan hasil analisis
kredit yang dilakukan pihak bank maka akan sampai pada kesimpulan mengenai
kelayakan proposal kredit. Jika layak, maka pegawai bagian kredit PT. BNI Cabang
Kabanjahe akan menyusun proposal kredit untuk diajukan ke pejabat kredit yang
berwenang agar disetujui.
Proposal kredit yang telah dinilai layak untuk dibiayai akan diinformasikan
kepada calon debitur dan sekaligus meminta kepada calon debitur untuk melengkapi
berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam rangka realisasi permohonan kredit,
seperti dokumen jaminan kredit berupa tanah dan bangunan di atasnya yang asli dan
kelengkapan data calon debitur.
Dokumen dan data tersebut akan diperiksa oleh bagian kredit bank, misalnya
untuk badan hukum maka kelengkapan dokumen pendirian/perubahan akta
85
Hasil Wawancara dengan Nurleli Pulungan, SH, Notaris/PPAT Deli Serdang, tanggal 7 Juni
2007.
Universitas Sumatera Utara
54
perusahaan untuk menentukan pihak-pihak yang berwenang mewakili perusahaan
untuk menandatangani perjanjian kredit, memeriksa sertifikat tanah dan bangunan di
atasnya ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk memastikan bahwa tanah yang
dijadikan jaminan kredit tidak dalam sengketa.
Selanjutnya dalam pemberian kredit kepada debitur yang dilakukan PT. BNI
Cabang Kabanjahe, pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan dengan
menandatangani perjanjian kredit dan perjanjian jaminan yaitu pihak PT. BNI Cabang
Kabanjahe dan calon debitur menyepakati berbagai hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan kredit yang akan diberikan tersebut. Artinya ada dua perjanjian yang akan
ditandatangani, yaitu :
1. Perjanjian kredit yang berisi berbagai aspek yang berkaitan dengan kredit, yaitu
jumlah, mata uang, suku bunga, jangka waktu, persyaratan penarikan dana,
pembayaran bunga dan pokok.
2. Perjanjian jaminan yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari suatu kredit,
yaitu pemasangan hak tanggungan untuk jaminan tanah dan bangunan yang
dijadikan jaminan tersebut.
Bank dalam memberikan kredit kepada debitur wajib melakukan upaya
pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan, karena
kredit yang tidak dilunasi oleh debitur, baik seluruhnya maupun sebagian akan
merupoakan kerugian bagi bank. Kerugian yang menunjukkan jumlah yang relatif
besar akan memengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank. Oleh
Universitas Sumatera Utara
55
karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur
harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum,
pengamanan kredit dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui
penerapan ketentuan hukum yang berlaku, diantaranya menyertakan agunan atau
jaminan kredit sebagai upaya lain atau alternatif yang dapat digunakan bank untuk
memperoleh pelunasan kredit apabila debitur tidak dapat membayar kredit yang
diterimanya atau terjadi kredit macet pada bank. Jika terjadi kredit macet sesuai
dengan ketentuan perjanian kredit, maka pembayaran kreedit dapat dilakukan dengan
cara penjualan atas objek jaminan kredit yang dijaminkan debitur. Hasil penjualan
objek jaminan kredit tersebut selanjutnya diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan
kredit debitur yang telah dinyatakan sebagai kredit macet.
Di samping itu, proses pemberian dan pengikatan kredit serta pengikatan
jaminan kebendaan yang dilakukan guna kehati-hatian yang dilakukan pihak bank,
maka salah satu tindak lanjut keputusan persetujuan pemberian kredit adalah berupa
pengadministrasian dan pendokumentasian kredit.
Sebelum debitur disetujui untuk menarik dana yang bersal dari pemberian
kredit, terlebih dahulu telah diselesaikan berbagai dokumen perkreditan dan
persyaratan administrasinya sebagaimana yang diatur oleh peraturan bank. Dalam hal
ini telah diselesaikan perjanjian kredit yang menunjukkan perikatan antara debitur
dengan bank, perjanjian pengikatan jaminan kredit, dan dokumen lainnya yang
dipersyaratkan misalnya perjanjian penutupan asuransi untuk kredit dan atau untuk
Universitas Sumatera Utara
56
jaminan kredit, penerimaan penguasaan jaminan kredit yang diikat dengan hak
tanggungan untuk tanah dan atau bangunan, serta persyaratan administrasi misalnya
pembukaan rekening pinjaman sesuai dengan prosedur akuntansi yang berlaku guna
menampung transaksi yang berkaitan dengan kredit yang diterima debitur. Dengan
demikian, bank tidak akan memberikan persetujuan penarikan dana kredit sebelum
semua hal yang berkaitan dengan pengadministrasian kredit diselesaikan.
Menurut narasumber dari PT. BNI Cabang Kabanjahe, setelah kredit disetujui
bank dan debitur melakukan penarikan dana kredit sesuai dengan ketentuan
perjanjian kredit, maka bank wajib menindaklanjutinya dengan melakukan
pengawasan kredit dengan meneliti dan menilai laporan-laporan yang wajib
disampaikan debitur dan atau dengan melakukan pemeriksaan lapangan kepada
debitur sesuai dengan ketentuan peraturan bank. Sehingga, dengan pengawasan yang
efektif ini akan dapat mencegah terjadinya penyimpangan kredit oleh debitur dan
bank dapat secara dini mengetahui permasalahan yang mungkin timbul terhadap
kelancaran pelunasan kredit yang telah diberikan kepada debitur tersebut.86
86
Hasil Wawancara dengan Heny Pegawai Bank BNI Kabanjahe, tanggal 13 Juni 2007 di
Kabanjahe.
Universitas Sumatera Utara
Download