feasibility common currency pada asean+6

advertisement
FEASIBILITY COMMON CURRENCY PADA ASEAN+6:
ANALISIS GENERALIZED PURCHASING POWER PARITY
DAN KONVERGENSI KURS
ANGGA FEBRIAWAN PUTRA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Feasibility Common
Currency pada ASEAN+6: Analisis Generalized Purchasing Power Parity dan
Konvergensi Kurs adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Angga Febriawan Putra
H14100043
ABSTRAK
ANGGA FEBRIAWAN PUTRA. Feasibility Common Currency pada ASEAN+6:
Analisis Generalized Purchasing Power Parity dan Konvergensi Kurs. Dibimbing
oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Semakin dalamnya integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+6, memunculkan
gagasan untuk membentuk common currency di kawasan ini. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan menganalisis feasibility untuk membentuk common
currency di kawasan ASEAN+6 serta menentukan mata uang yang cocok
digunakan sebagai common currency. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data time series bulanan periode Januari 2000 sampai Juni 2012.
Pendekatan Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) dengan menggunakan
analisis Vector Error Correction Model (VECM) dilakukan untuk menjawab
tujuan yang pertama. Hasil penelitian menunjukkan validitas dari G-PPP dan
Optimum Currency Area di kawasan ASEAN+6. Oleh karena itu, ASEAN+6
sebagai suatu kesatuan mulai dapat melakukan persiapan untuk melakukan
penyatuan mata uang secara bertahap. Selanjutnya, analisis kedua yaitu analisis
konvergensi kurs dilakukan untuk menentukan mata uang yang cocok digunakan
sebagai common currency. Pada analisis ini dilakukan pengujian terhadap Dollar
Amerika, Yuan China, dan Yen Jepang. Pemilihan ketiga mata uang tersebut
didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pergerakan bersama mata uang negara ASEAN+6 memiliki hubungan
yang kuat dengan Dollar Amerika Serikat dibandingkan dengan Yuan China dan
Yen Jepang. Lebih jauh lagi, penelitian ini menyarankan penggunaan Yuan China
sebagai common currency di kawasan ASEAN+6.
Kata kunci: ASEAN+6, G-PPP, Konvergensi Kurs, OCA, Real Exchange Rate,
VECM
ABSTRACT
ANGGA FEBRIAWAN PUTRA. Feasibility Common Currency of ASEAN+6:
Analysis of Generalized Purchasing Power Parity and Exchange Rate
Convergence. Supervised by LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Deepening economic integration in ASEAN+6, bring up the idea to form a
common currency in this region. Therefore, this study aims to analyze the
feasibility to establish a common currency in ASEAN+6 and determine the
appropriate currency used as a common currency. The data used in this study are
monthly time series data from January 2000 to June 2012. Generalized Approach
Purchasing Power Parity (G-PPP) analysis using the Vector Error Correction
Model (VECM) method was conducted to answer the first goal. The results show
the validity of the G-PPP and Optimum Currency Area in ASEAN+6. Therefore,
ASEAN+6 as a whole, could make preparations to conduct monetary union step
by step. Subsequently, a second analysis is exchange rate convergence analysis,
which is to determine which currency is suitable to be used as a common currency
in this region. In this analysis U.S. Dollar, Chinese Yuan, and Japanese Yen are
used as based currencies. The selection of those currencies were based on
previous studies. The results show that the co-movements of ASEAN+6 countries
currency have a strong relationship with U.S. Dollar compared to Chinese Yuan
and Japanese Yen. Furthermore, this study suggests the use of China's Yuan as a
common currency in ASEAN+6.
Keywords: ASEAN+6, G-PPP, Kurs Convergence, OCA, Real Exchange Rate,
VECM
FEASIBILITY COMMON CURRENCY PADA ASEAN+6:
ANALISIS GENERALIZED PURCHASING POWER PARITY
DAN KONVERGENSI KURS
ANGGA FEBRIAWAN PUTRA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Feasibility Common Currency pada ASEAN+6 : Analisis
Generalized Purchasing Power Parity dan Konvergensi Kurs
Nama
: Angga Febriawan Putra
NIM
: H14100043
Disetujui oleh
Lukytawati Anggraeni, Ph.D.
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah analisis optimum
currency area, dengan judul Feasibility Common Currency pada ASEAN+6:
Analisis Generalized Purchasing Power Parity dan Konvergensi Kurs. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu
Saridaya, Ayah Agus Toni, adik dari penulis Anggi Apriyanti dan Lukman Nur
Hanif serta seluruh keluarga yang senantiasa salalu mendoakan, serta
dukungannya dalam memotivasi penulis. Selain itu, penulis mengucapkan terima
kasih pada berbagai pihak atas bimbingan, dukungan, dan masukannya kepada:
1. Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D. selaku dosen pembimbing skripsi, atas
transfer ilmu, bimbingan, dan arahan yang sangat berharga pada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Alla Asmara selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan
banyak saran yang membangun demi kebaikan karya ini.
3. Ibu Laily Dwi Arsyianti, M.Sc selaku komisi pendidikan yang telah
memberikan saran dan masukan terkait tata cara penulisan yang baik.
4. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
5. Sahabat-sahabat terdekat, Afanina Meithasari, Ayu Frianka, Rengganis Risky,
Penny Septina, Erlangga Ryansha, Okviyesha Hasislam, Nurjaelani Sidiq, dan
Desi Kristiani yang telah meberikan dukungan tanpa henti terhadap penulis.
6. Teman-teman satu bimbingan, Dara Ayu, Nadila A., Aldesta N., Iin Z., M.
Haris, Astika S., dan Ayu Widya yang telah memberikan bantuan, saran, kritik,
motivasi, dan dukungannya pada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 terima kasih atas segala persahabatan,
kenangan, perjuangan, dan asa untuk mencapai tujuan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014
Angga Febriawan Putra
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Integrasi Ekonomi
5
Optimum Currency Area (OCA)
7
Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP)
8
Konvergensi Kurs
9
Penelitian Terdahulu
9
Kerangka Pemikiran
11
Hipotesis Penelitian
12
METODE
13
Jenis dan Sumber Data
13
Variabel dan Definisi Operasional
13
Metode Analisis dan Pengolahan Data
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Gambaran Umum Variabel yang Digunakan dalam Penelitian
16
Analisis Feasibility Common Currency pada ASEAN+6
18
Analisis Konvergensi Kurs pada ASEAN+6
23
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
26
RIWAYAT HIDUP
39
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tahapan integrasi ekonomi Bela Balasaa
Manfaat dan biaya penerapan konsep OCA
Persyaratan Optimum Currency Area (OCA)
Hasil uji stasioneritas data
Indikator kunci makroekonomi pada negara kawasan ASEAN+6 tahun
2013
Hasil uji kointegrasi multivariate Johansen
Hasil dari estimasi Vector-Error Correction
Co-Movement nilai tukar terhadap USD, JPY, dan CNY periode
2000:1-2012:6
Hasil dari pengujian untuk Converging Trends (Ψ) periode 2000:12012:6
6
7
8
19
20
21
22
23
25
DAFTAR GAMBAR
1 Tingkat pertumbuhan ekonomi negara kawasan ASEAN+6 tahun 2005
- 2012
2 Kerangka Pemikiran
3 Pergerakan nilai tukar nominal negara Advanced ASEAN+6 periode
2000-2012
4 Pergerakan nilai tukar nominal negara Developing ASEAN+6 periode
2000-2011
5 Perkembangan CPI negara Advanced ASEAN+6 periode 2000-2012
6 Perkembangan CPI negara Developing ASEAN+6 periode 2000-2012
2
12
16
17
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kestasioneran data semua variabel penelitian pada analisis feasibility
common currency di ASEAN+6
2 Hasil dari Uji ADF terhadap residual dari estimasi nilai tukar bilateral
29
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Regionalisasi merupakan konsep baru dari proses integrasi ekonomi selain
globalisasi ekonomi. Konsep ini menitikberatkan pada pergeseran ekonomi politik
dunia ke arah persaingan yang berbasis kompetisi antara blok-blok regional. Jenis
integrasi ekonomi ini biasanya dilandasi oleh kedekatan geografis dan historis
serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan. Semakin berkembangnya
konsep regionalisasi ekonomi, melahirkan berbagai organisasi maupun bentuk
kerja sama ekonomi regional. Sebagai contoh, di belahan Amerika Utara muncul
North America Free Trade Area (NAFTA), di Eropa muncul European Union, di
Asia Tenggara muncul ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan terakhir adalah Asia
Pasific Economic Cooperation (APEC).
Berkaitan dengan regionalisasi ekonomi, ASEAN muncul sebagai wadah
integrasi ekonomi dengan pasar yang potensial. ASEAN dalam berbagai hal telah
berhasil memanfaatkan peluang pasar internasional, sehingga memungkinkan
semakin mantapnya jalinan perekonomian ASEAN dengan perekonomian dunia.
Langkah penting yang diambil selama kerja sama ASEAN adalah pembentukan
ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992, yang semakin memperlancar
arus kerja sama perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Pada perkembangannya, kerja sama ASEAN tidak hanya sebatas antar
sesama negara anggota saja. Melihat keadaan ekonomi yang semakin mengglobal,
ASEAN membuka peluang kerja sama dengan negara lainnya. Salah satu
peristiwa penting yang menandakan terdapatnya kerja sama ASEAN dengan
negara lain adalah dibentuknya Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000
terkait Bilateral Swap Agreement (BSA) yang menandai terobosan lain dari upaya
Asia Timur dalam hal kerjasama moneter. Selanjutnya, negara-negara ASEAN+3
(ASEAN, China, Jepang, dan Korea Selatan) sepakat untuk memperpanjang CMI
dan mendirikan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) Agreement
yang resmi diluncurkan pada Maret 2010. Melalui peresmian CMIM ini,
menandakan terdapatnya komitmen yang kuat di antara negara-negara ASEAN+3
untuk melakukan integrasi keuangan yang lebih mendalam (Sun dan Simons,
2011).
Kerja sama ASEAN dengan wilayah Asia lainnya juga terjadi dengan India.
Kerja sama ini diawali sejak ditandatanganinya Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and India pada tanggal 8
Oktober 2003. Bahkan dalam perkembangannya, India memiliki peran penting
dalam program-program ASEAN seperti sebagai lima negara donor utama dalam
program Initiative for ASEAN Integration (IAI). Bentuk kerja sama ASEAN juga
terjadi dengan negara-negara di benua lain. Pada tanggal 27 Februari 2009
dilakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke 14 di Hua Hin, Thailand
yang melahirkan kesepakatan ASEAN, Australia, New Zealand Free Trade Area
(AANZFTA). Kedepannya telah disepakati untuk melakukan integrasi keuangan
dan moneter yang lebih mendalam di antara negara-negara tersebut (Direktorat
Jenderal Kerja Sama ASEAN, 2011).
2
Melihat perkembangan kerja sama ekonomi di kawasan ASEAN yang
semakin mendalam, terlebih kawasan ekonomi ASEAN memiliki nilai strategis
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Asia maupun dunia, maka muncul
gagasan untuk melanjutkan proses integrasi ekonomi ke tahap selanjutnya. Salah
satu wujud integrasi ekonomi yang berusaha dicapai oleh negara-negara di
ASEAN adalah dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) yang
direalisasikan melalui pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan
untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota (Ayuningtyas,
2009).
Pembentukan kerja sama ekonomi dan keuangan yang lebih mendalam yang
memunculkan wacana pembentukan common currency di kawasan Asia
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, keberhasilan European Union
(EU) dalam menerapkan kebijakan pasar bebas dan single currency di negaranegara Eropa memunculkan pertanyaan apakah pendekatan yang sama akan
menghasilkan hasil yang sama jika diterapkan di kawasan negara lainnya. Kedua,
terjadinya peningkatan share dalam perdagangan intra regional di kawasan Asia.
Pertumbuhan tersebut telah memicu berkembangnya ide bahwa kawasan Asia
memerlukan suatu mata uang bersama (common currency). Ketiga, setelah
terjadinya Asian Financial Crisis (AFC) pada 1997 mendorong negara-negara di
Asia untuk membentuk sistem nilai tukar yang resisten terhadap serangan nilai
tukar dan membantu stabilisasi nilai tukar. Oleh karena itu, salah satu alternatif
yang mungkin dijalankan adalah pembentukan single currency area seperti yang
dilakukan oleh European Monetary Union (EMU). Pembentukan single currency
juga dipercaya mampu menjamin negara-negara di kawasan Asia mendapatkan
manfaat dalam proses globalisasi melalui pengurangan resiko nilai tukar yang
akan menghasilkan iklim perdagangan dan investasi yang lebih baik
(Bunyaratavej dan Hahn, 2003).
20.00
Indonesia
Malaysia
15.00
Thailand
% Growth
10.00
Filipina
Singapura
5.00
Jepang
China
0.00
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Korea Selatan
India
-5.00
New Zealand
-10.00
Tahun
Australia
Sumber : World Development Indicator, 2013 (diolah)
Gambar 1 Tingkat pertumbuhan ekonomi negara kawasan ASEAN+6 tahun 20052012
Terkait dengan usaha dalam menghindari krisis serupa yang terjadi di Asia
pada 1997, maka diperlukan usaha penyeimbangan perekonomian dunia agar
perekonomian dunia tidak hanya terfokus pada dua kutub saja yaitu perekonomian
3
Eropa dan Amerika. Perekonomian Asia yang dulunya terpuruk, kini perlahanlahan muncul kembali sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Berdasarkan
publikasi dari IMF, diketahui bahwa China dan Jepang menyumbang lebih dari 15
persen total GDP dunia. Sehingga sangat memungkinkan untuk membentuk kutub
perekonomian baru di kawasan Asia. Selain itu, jika dilihat trend pertumbuhan
ekonominya dalam Gambar 1, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi di
kawasan ASEAN+6 semakin konvergen terutama pada tahun 2011 dan 2012.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kutub perekonomian baru, dalam hal ini ASEAN+6,
yang dapat menciptakan keseimbangan perekonomian dunia yang secara khusus
diharapkan mampu meminimumkan dampak jika adanya krisis yang melanda
negara-negara di Asia.
Pasca Asian Financial Crisis (AFC) penelitian terkait integrasi moneter dan
pembentukan common currency di kawasan Asia telah banyak dilakukan dengan
berbagai metode. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut,
terdapat pro dan kontra terkait kesiapan negara-negara di kawasan Asia untuk
menerapkan kebijakan common currency. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih
lanjut terkait penerapan common currency di kawasan Asia.
Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, terjadi pro dan kontra terkait
proses integrasi moneter dan pembentukan common currency di kawasan Asia.
Sato dan Zhang (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa pasangan negara
yang memiliki pergerakan GDP riil yang simetrik baik pada jangka pendek
maupun jangka panjang di kawasan Asia Timur. Sebuah monetary union dianggap
layak dibentuk di antara pasangan-pasangan negara tersebut selama siklus bisnis
jangka pendeknya terkorelasi dan memiliki co-movement GDP rill yang serupa.
Hal ini memiliki implikasi penting bagi ekonomi di kawasan Asia Timur ketika
mempertimbangkan untuk mengadopsi monetary union dan common currency.
Menentang pendapat tersebut, Achsani dan Prastiwi (2010) menyatakan
bahwa tidak semua negara di kawasan ASEAN+3 siap untuk bergabung ke dalam
penyatuan mata uang, terutama Indonesia. Mendukung hasil penelitian ini,
Ibrahim (2008) menyatakan bahwa tingkat homogenitas di kawasan ASEAN+3
rendah dan pembentukan integrasi moneter dalam waktu dekat dapat
menimbulkan biaya yang serius.
Meskipun banyak pandangan skeptis terkait pembentukan currency union di
kawasan Asia dalam waktu dekat, namun dapat dilihat dengan jelas telah tumbuh
minat dan kemungkinan potensi pembentukan currency union di kawasan Asia.
Dalam hal ini ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia dapat menjadi
motor penggerak untuk menuju tahapan integrasi ekonomi tersebut, dengan
diawali oleh pembentukan komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah
ASEAN Economic Community (AEC) pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003,
dipercaya proses integrasi ekonomi di kawasan Asia akan menuju tahap yang
lebih tinggi lagi.
Sebelum dilakukan proses integrasi mata uang (currency integration), perlu
dipenuhi terlebih dahulu syarat perlu untuk menuju ke tahap tersebut yaitu
terpenuhinya kriteria optimum currency area. Oleh karena itu, penelitian ini akan
4
membahas tentang fenomena kemungkinan pembentukan common currency area
di kawasan ASEAN+6 dengan menggunakan analisis generalized purchasing
power parity (G-PPP). Selanjutnya, untuk mengetahui mata uang mana yang
cocok untuk digunakan sebagai common currency di kawasan ASEAN+6 maka
dilakukan analisis konvergensi kurs yang terdiri dari analisis co-movement of
currencies dan converging trends. Pada analisis yang ke dua ini, Yen Jepang
(JPY) dan Yuan China (CNY) dijadikan sebagai mata uang peg. Pemilihan kedua
mata uang tersebut sebagai peg dipilih berdasarkan studi sebelumnya yang
menyatakan bahwa mata uang yang relatif sesuai untuk digunakan sebagai
common currency di kawasan Asia Timur adalah Yen Jepang (Kwan, 2001) dan
Yuan China (Lim, 2011).
Berdasarkan pada latar belakang dan uraian di atas, maka perumusan
masalah yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah kawasan ASEAN+6 memenuhi kriteria OCA untuk membentuk
sebuah currency union?
2. Apakah mata uang yang cocok digunakan sebagai common currency di
kawasan ASEAN+6?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
1. Menganalisis feasibility dibentuknya currency union di kawasan ASEAN+6.
2. Menentukan mata uang yang cocok digunakan sebagai common currency di
kawasan ASEAN+6.
Manfaat Penelitian
Penulis berharap adanya kontribusi positif dari penelitian ini dan diharapkan
dapat bermanfaat yaitu :
1. Bagi pemerintah, adanya penelitian ini dijadikan sebagai masukan sehingga
diharapkan pemerintah mempertimbangkan apakah Indoensia sudah siap
bergabung atau tidak ke dalam suatu currency union.
2. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan kesempatan belajar sebagai
penerapan ilmu yang telah diperoleh salama menjalani masa perkuliahan.
3. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan, penelitian ini dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan mengkaji secara empiris terkait kemungkinan
pembentukan common currency di kawasan ASEAN+6 dengan cara
menggunakan variabel nominal exchange rate (national currency/USD) dan
Consumer Price Index (CPI). Selanjutnya, dalam menentukan mata uang yang
cocok digunakan sebagai common currency dilakukan analisis konvergensi kurs
yang terdiri dari analisis co-movement of currencies dan converging trends
5
dengan menggunakan variabel nominal exchange rate (USD/national currency)
dan Consumer Price Index (CPI).
Fokus penelitian adalah pada enam belas negara yang terdiri dari sepuluh
negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei,
Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam), tiga negara Asia Timur (Jepang, Korea
Selatan, dan China), dua negara Benua Australia (Australia dan New Zealand),
dan India. Khusus untuk analisis konvergensi kurs, Yen Jepang (JPY) dan Yuan
China (CNY) dijadikan sebagai currency peg. Selain itu, digunakan pula data
Amerika Serikat sebagai dasar untuk analisis penyatuan mata uang.
TINJAUAN PUSTAKA
Integrasi Ekonomi
Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi mengacu kepada suatu
kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif
menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di
antara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi
ekonomi terbatas. Sehingga bagi negara-negara yang menjadi anggota, berbagai
bentuk hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif sengaja diturunkan atau
bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negara-negara yang bukan
merupakan anggota, masing-masing negara anggota diberikan kebabasan untuk
memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau non-tarif) atau tidak.
Lebih jauh lagi, Basri dan Munandar (2010) membedakan antara konsep
organisasi regional dan integrasi ekonomi. Dalam bukunya dijelaskan bahwa
organisasi regional merupakan suatu wadah kerja sama ekonomi yang tujuannya
hanya sekedar menghimpun negara-negara anggota untuk mengadakan koordinasi
dalam suatu kerja sama ekonomi tanpa secara eksplisit mencantumkan perangkat
kerja sama untuk mencapai suatu integrasi ekonomi. Sementara itu, integrasi
ekonomi bertujuan untuk memadukan pasar dan perekonomian negara-negara
anggotanya melalui suatu struktur organisasi yang bersifat “supranasional”,
dimana negara-negara anggota bersedia melimpahkan sebagian kedaulatannya
melalui pengambilan keputusan-keputusan bersama oleh “organ pusat” yang
bersifat mengikat.
Balasaa dalam Sholihah dan Saicu (2007) membedakan integrasi sebagai
konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara yang berbeda,
maupun dalam konsep statis yang melihat ada atau tidaknya perbedaan dalam
diskriminsai. Selanjutnya, Balasaa menyebutkan bahwa usaha-usaha untuk
menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan yang dapat dilihat
pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Tahapan integrasi ekonomi Bela Balasaa
Tahapan
Preferential
Trading Area
(PTA)
Free Trade Area
(FTA)
Custom Union
Common Market
Economic Union
Integration
Total Economic
Keterangan
Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk
produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan
melakukan pengurangan tarif (bukan menghilangkan).
Suatu kawasan dimana tarif dan kuota antar negara anggota
dihapuskan,
namun
masing-masing
negara
tetap
menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara
bukan anggota.
Merupakan FTA yang meniadakan hambatan peregerakan
komoditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang
sama terhadap negara bukan anggota.
Merupakan Custom Union yang juga meniadakan hambatanhambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang,
jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor
produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber
daya yang efisien.
Merupakan suatu Common Market dengan tingkat
harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan
(termasuk kebijakan struktural).
Penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti
dengan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan
yang mengikat bagi seluruh negara anggota.
Sumber : Sholihah dan Saicu, 2007
Hingga penelitian ini disusun, proses integrasi ekonomi di kawasan ASEAN
memperlihatkan pergerakan ke arah pembentukan integrasi keuangan. Proses
integrasi keuangan ini dimulai sejak tahun 1997, ketika para pemimpin ASEAN
mendeklarasikan ASEAN Vision 2020 dengan tujuan utama untuk membentuk
perekonomian wilayah ASEAN yang stabil, kompetitif, dan makmur melalui arus
barang, jasa, investasi, dan modal yang bebas serta pembangunan ekonomi yang
adil dalam upaya mengurangi kemiskinan dan disparitas sosial-ekonomi. Sebagai
tujuan akhir, para pemimpin ASEAN membuat kesepakatan untuk
mempromosikan liberalisasi sektor keuangan dan kerja sama yang lebih dekat
dalam pasar uang dan pasar modal, pajak, asuransi, bea cukai juga konsultasi yang
lebih dekat terkait kebijakan keuangan dan makroekonomi (Volz, 2013).
Melihat perkembangan proses integrasi ekonomi dan moneter di kawasan
ASEAN, terlihat bahwa kawasan ASEAN berusaha untuk mencapai tingkatan
integrasi ekonomi yang lebih tinggi. Tahapan paling tinggi dari sebuah integrasi
ekonomi adalah disepakatinya sebuah mata uang tunggal untuk kawasan tertentu.
Sistem mata uang tunggal seperti yang telah berhasil diterapkan di Eropa adalah
penerapan dari pemikiran Robert Mundell yang dikenal dengan teori Optimum
Currency Area (OCA).
7
Optimum Currency Area (OCA)
Teori tentang Optimum Currency Areas pertama kali dikemukakan oleh
Robert A. Mundell dengan papernya yang berjudul A Theory of Optimum
Currency Areas. Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Areas (OCA)
mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply
dan demand yang simetrik dan memenuhi beberapa kriteria tertentu. Mundell
mengusulkan suatu sistem di mana mata uang tidak digambarkan oleh karakter
suatu negara, tetapi oleh suatu area di mana mobilitas faktor-faktor produksi
memiliki derajat yang tinggi. Keuntungan dari mata uang bersama ini adalah nilai
valuta asing yang lebih stabil dan tingkat harga yang lebih transparan karena
setiap harga ditunjukkan dalam mata uang yang sama. Meskipun demikian, sejak
awal Mundell menyadari bahwa teorinya secara politis tidak mungkin karena
kedaulatan suatu negara tidak akan pernah meninggalkan mata uang nasional
mereka untuk suatu mata uang tunggal.
Selain Mundell, McKinnon (1963) juga merupakan pelopor teori Optimum
Currency Areas. Dalam penelitiannya McKinnon menyatakan bahwa istilah
"Optimum" digunakan untuk menggambarkan area mata uang tunggal di mana
kebijakan moneter dan fiskal serta nilai tukar dapat digunakan untuk memberikan
resolusi terbaik terhadap tiga tujuan yaitu pemeliharaan kesempatan kerja penuh,
pemeliharaan neraca pembayaran internasional yang seimbang, dan pemeliharaan
tingkat harga rata-rata internal yang stabil.
Selanjutnya, Mongeli (2002) menyatakan bahwa sekelompok negara akan
membentuk OCA jika manfaat yang diberikan dari keanggotaan OCA lebih besar
dari kerugian karena kehilangan kendali kebijakan moneter. Kemudian Warjiyo
(2004), membuat suatu rangkuman atas manfaat dan biaya dimaksud, yang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Manfaat dan biaya penerapan konsep OCA
No
1
2
3
Manfaat
Peningkatan efisiensi mikro karena
penggunaan uang yang lebih luas.
Perbaikan stabilitas makro dan
pertumbuhan karena stabilitas harga
dan akses dana yang lebih besar
dari integrasi finansial.
Eksternalitas positif dari biaya
transaksi dan cadangan devisa yang
lebih rendah serta koordinasi
kebijakan yang lebih efektif.
Biaya
Beberapa kelemahan di tingkat mikro
terutama pada tahap awal integrasi.
Terbatasnya
pilihan
instrumen
kebijakan untuk stabilisasi ekonomi
makro.
Permasalahan disiplin : ada insentif
bagi negara anggota untuk melakukan
deviasi dari traktat ekonomi bersama.
Sumber : Warjiyo, 2004
Untuk mencapai optimalitas wilayah mata uang bersama perlu dipenuhi
beberapa karakteristik tertentu. Karakteristik ini menunjukkan kondisi yang
diperlukan agar manfaat OCA yang diperoleh para anggotanya dapat maksimal.
Tabel 3 merangkum karakteristik OCA yang dimaksud (Mongeli, 2002).
8
Tabel 3 Persyaratan Optimum Currency Area (OCA)
Karakteristik OCA
Fleksibilitas harga dan
upah
Mobilitas faktor
produksi
Integrasi pasar keuangan
Tingkat keterbukaan
ekonomi
Diversifikasi produksi
dan konsumsi
Kesamaan tingkat inflasi
Integrasi fiskal
Integrasi politis
Persyaratan Untuk OCA
Fleksibilitas harga dan upah di dalam dan di antara
negara OCA memperkecil penyesuaian nilai tukar
apabila terjadi guncangan.
Mobilitas faktor produksi, termasuk tenaga kerja
antar negara OCA memperkecil penyesuaian harga
faktor produksi dan nilai tukar terhadap guncangan.
Integrasi finansial dalam bentuk mobilitas modal
(FDI, portofolio investment, pinjaman) antar negara
OCA memungkinkan penyesuaian guncangan
melalui aliran modal.
Keterbukaan ekonomi antara negara OCA yang
tinggi
akan
memperbesar
transmisi
harga
internasional ke harga domestik.
Keberagaman tenaga kerja, sektor ekonomi, dan
produksi
antar
negara
OCA
memperkecil
penyesuaian Term of Trade.
Kesamaan inflasi (dalam arti rendah dan stabil) antar
negara OCA mendorong stabilitas term of trade dan
menyeimbangkan current account.
Sistem transfer fiskal antar negara OCA
memungkinkan distribusi dana ke negara yang
membutuhkan.
Kemauan politik memperkuat kepatuhan komitmen
bersama, kerja sama berbagai kebijakan ekonomi,
dan hubungan kelembagaan antar negara OCA.
Sumber : Mongeli, 2002
Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP)
Konsep G-PPP pertama kali dikembangkan oleh Enders dan Hurn (1994)
yang secara esensial merupakan sebuah cara alternatif yang efektif dalam
mengevaluasi perilaku nilai tukar antar negara. Teori G-PPP dikembangkan
berdasarkan sebuah pemikiran bahwa variabel ekonomi fundamental yang
menentukan nilai tukar dalam sekelompok perekonomian tidak stasioner di level.
Sebagai konsekuensinya, nilai tukar riil dalam perekonomian pun bersifat tidak
stasioner juga. Namun, variabel fundamental tersebut masih dapat diintegrasikan
dalam kondisi tertentu, di mana nilai tukar akan memiliki share common trends
dan membentuk suatu hubungan kointegrasi. Jika hal tersebut dapat dibuktikan,
maka wilayah tersebut sudah memenuhi salah satu pra syarat Optimum Currency
Area (OCA) (Sideris, 2009).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Mundell (1961) bahwa dua
perekonomian dapat dikatakan sebuah Optimum Currency Area (OCA) jika kedua
perekonomian tersebut memiliki real disturbance yang serupa. Sehingga
berdasarkan pemikiran tersebut, terdapatnya keseimbangan bagi kombinasi linear
dari nilai tukar riil membuktikan terdapatnya hubungan yang simetris dan
9
menunjukkan suatu keseimbangan jangka panjang dalam suatu wilayah moneter.
Teori G-PPP juga menyatakan bahwa ketika suatu wilayah memiliki
ketergantungan perekonomian yang tinggi, setiap negara akan saling
mempengaruhi nilai tukar riil negara lain satu sama lainnya. Secara lebih spesifik,
G-PPP dapat dirumuskan dalam persamaan di bawah ini:
R12t = α13R13t + α13R13t + … + α1mR1mt + εt
(1)
di mana:
R1it
: logaritma nilai tukar riil bilateral pada periode t di antara negara 1
dengan negara i
α1i
: parameter vektor kointegrasi
εt
: error term
Konvergensi Kurs
Konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan
dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama.
Angeloni et al dalam Ayuningtyas (2009) menyatakan bahwa konvergensi kurs
merupakan pergerakan searah atau menuju ke suatu titik yang sama pada kurs
suatu negara. Melalui tercapainya konvergensi kurs berarti apa yang terjadi pada
kurs suatu negara akan berdampak pada kurs negara lainnya demikian pula
sebaliknya.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang bertujuan untuk membahas kemungkinan untuk menerapkan
konsep satu mata uang (single currency) untuk negara-negara di kawasan
ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand) dilakukan
oleh Xu et al. (2006). Pada penelitian ini, dilakukan pengujian terhadap dua pra
syarat pembentukan OCA yang terdiri dari konvergensi ekonomi dan guncangan
simetri pada permintaan dan penawaran menggunakan metode SVAR (data
tahunan dari 1970-2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tukar
nominal dan tingkat inflasi di antara negara ASEAN-3 (Malaysia, Thailand, dan
Singapura) bersifat konvergen. Selain itu, diketahui bahwa ketiga negara tersebut
memiliki kebijakan moneter yang dapat dikatakan serupa. Hal tersebut terlihat
dari tingginya korelasi tingkat inflasi di antara ketiga negara tersebut. Hasil
analisis SVAR menunjukkan beberapa bukti yang menyatakan efek guncangan
pada grup inti yang terdiri dari Singapura, Malaysia, dan Thailand dapat dikatakan
simetrik yang menjadikan ketiga negara ini memiliki kemungkinan membentuk
currency union.
Penelitian terkait pembentukan monetary union dilihat dari sinkronisasi
siklus bisnis dilakukan oleh Augustine (2008). Penelitian ini secara umum
bertujuan untuk menilai kelayakan usulan pembentukan Caribbean Monetary
Union (CMU) dengan memeriksa sinkronisasi siklus bisnis di antara negaranegara anggota CARICOM (Caribbean Community). Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan Hodrick-Prescott (HP) filter dan Band Pass (BP) filter
10
untuk mengekstrak siklus bisnis. Selain itu, untuk keperluan pengukuran
sinkronisasi digunakan dua konsep yaitu the simple correlation coefficient dan the
concordance statistic of Pagan and Harding. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat sinkronisasi siklus bisnis dalam wilayah ini dikatakan lemah. Hal
ini memunculkan keraguan terkait kelayakan Caribbean Monetary Union (CMU)
yang diusulkan. Sehingga tidak disarankan bagi wilayah ini untuk membentuk
monetary union dalam waktu dekat.
Kelayakan pembentukan currency union juga dapat dilihat dari konvergensi
inflasi di antara negara-negara anggota yang bermaksud membentuk sistem
tersebut. Penelitian dengan pendekatan konvergensi inflasi salah satunya
dilakukan oleh Kishor dan Ssozi (2010). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menyelidiki konvergensi inflasi di antara negara-negara anggota East African
Community (EAC) yang bercita-cita untuk membentuk suatu currency union
dengan menggunakan an unobserved dynamic factor model untuk menguraikan
variasi inflasi menjadi komponen yang umum di negara-negara di kawasan EAC.
Penelitian ini menggunakan data quartal dan membagi data objek penelitian ke
dalam dua periode yaitu periode pra-Treaty ketika EAC mulai berlaku (1981:32000:2) dan periode pasca Treaty (2000:3-2009:1). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat konvergensi inflasi mengalami peningkatan secara signifikan
setelah penandatanganan Perjanjian EAC. Hal ini menunjukkan bahwa dorongan
ke arah pembentukan currency union di Afrika Timur telah menyebabkan tingkat
yang lebih besar dari sinkronisasi inflasi di antara negara-negara di wilayah ini.
Taguchi (2010), melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat
feasibility pembentukan currency unions di kawasan Asia dengan menggunakan
pendekatan generalized purchasing power parity yang dianalisis dengan
menggunakan metode VECM. Menggunakan data nilai tukar riil bulanan (1999:42009:8), hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi bilateral di
antara beberapa mata uang di kawasan Asia. Selanjutnya, penelitian ini mencoba
membahas hubungan kointegrasi multivariate dalam beberapa kelompok negara di
kawasan Asia, dan diketahui bahwa terdapat hubungan kointegrasi multivariate di
antara kelompok negara-negara tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah
terpenuhinya salah satu pra syarat Optimum Currency Area (OCA) terkait share
common trends dalam nilai tukar antar negara.
Pendekatan lain untuk melihat kelayakan pembentukan single currency
dilakukan oleh Rangkakulnuwat et al. (2010) yang melakukan analisis G-PPP dan
extended G-PPP untuk negara-negara di wilayah Asia Timur (Korea, Malaysia,
Filipina, Singapura, Thailand, Jepang) dengan menjadikan Jepang sebagai negara
pusat (base country). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Korea, Malaysia,
Filipina, Singapura, Thailand, dan Jepang memenuhi salah satu kondisi yang
diperlukan untuk membentuk optimum currency area. Sehingga dapat dikatakan
berdasarkan analisis G-PPP negara di wilayah Asia Timur dapat membentuk
single currency area.
Suatu studi yang secara lebih khusus mendalami hubungan mata uang di
wilayah Asia (yakni IDR, THB, PHP, SGD, KRW, MYR, TWD, HKD) terhadap
tiga mata uang utama dunia, yakni USD, CNY dan JPY dilakukan oleh Lim
(2011). Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan time series yang terdiri
dari co-movement of currencies dan converging trends selama 1990-2010 (data
tahunan). Selain itu, sebelumnya dilakukan analisis OCA dengan menggunakan
11
metode hierarchical clustering analysis untuk mengatahui potensi pembentuakan
common currency di kawasan Asia Timur. Berdasarkan hasil cluster analysis
periode pasca krisis, diketahui bahwa beberapa mata uang di Asia Timur tidak
terlalu berbeda dalam beberapa tahun terakhir. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa telah terjadi integrasi ekonomi yang lebih mendalam di antara negaranegara di Asia Timur (China, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan)
dengan negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan
Filipina). Secara keseluruhan mata uang negara-negara di Asia Timur memiliki
nilai co-movement yang tinggi dengan USD dibandingkan dengan JPY dan CNY
dengan pengecualian Rupiah Indoensia. Setelah dilakukan percobaan dengan
menjadikan JPY dan CNY sebagai mata uang peg, diketahuai bahwa seluruh mata
uang negara-negara Asia Timur (kecuali Dollar Hong Kong) memiliki comovement yang tinggi dengan CNY daripada JPY dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ariefianto dan Warjiyo (2010)
menggunakan metode VECM untuk mengidentifikasi hubungan co-movement
jangka pendek dan jangka panjang di antara mata uang negara ASEAN 4 (Filipina,
Singapura, Thailand, Indonesia) dari tahun 1997-2005 (data bulanan), dengan
menggunakan OCA sebagai landasan penelitian. Terdapat tiga hasil penting dari
penelitian ini, (i) co-movement di antara mata uang ASEAN 4 tidak terbukti secara
empiris, (ii) teori OCA tidak dapat menjelaskan pola co-movement secara jelas di
ASEAN 4, dan (iii) keberadaan OCA sebagai fenomena global ditunjukkan dari
pentingnya mata uang Yen di ASEAN 4. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa proses integrasi ekonomi yang sedang berjalan di ASEAN, seperti integrasi
keuangan tidak cukup untuk mendorong terbentuknya pengaturan penyatuan
moneter maupun common currency di wilayah ini.
Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai suatu integrasi ekonomi seperti yang dicita-citakan oleh
negara-negara ASEAN dan negara mitra dagang utamanya yaitu Jepang, China,
Korea Selatan, India, Australia, dan New Zealand terlebih dahulu harus
dipenuhinya pra syarat Optimim Currency Area sebagai syarat perlu untuk
mencapai tingkatan integrasi ekonomi yang paling tinggi. Selanjutnya akan
dilakukan analisis konvergensi kurs melalui pengujian co-movement of currencies
dan converging trends untuk mengetahui mata uang mana yang paling cocok
digunakan sebagai mata uang jangkar (anchor currency) di kawasan ASEAN+6.
Rangkaian kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2
di bawah ini.
12
Integrasi Ekonomi
ASEAN+6
Adanya hambatan integrasi memunculkan gagasan
pembentukan mata uang tunggal di kawasan ASEAN+6
untuk menjaga stabilitas mata uang regional dalam
pelaksanaan pasar tunggal.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pembentukan
Mata Uang Tunggal (Analisis
Optimum Currency Area)
Sinkronisasi
Siklus Suku
Bunga Riil
Keragaman
Nilai Tukar
Konvergensi
Inflasi
Fleksibilitas
Pasar Tenaga
Kerja
Analisis Generalized
Purchasing Power
Parity (G-PPP)
Pra Syarat
OCA Terpenuhi
Analisis
Konvergensi Kurs
China
Jepang
Mata uang yang
cocok digunakan
sebagai common
currency di
ASEAN+6
Keterangan :
: Alur Penelitian
: Fokus Penelitian
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu
tentang optimum currency area dan konvergensi kurs maka dapat diberikan
jawaban sementara atas permasalahan yang ada. Hipotesis tersebut antara lain :
1. Terdapat kemungkinan pembentukan common currency bagi negara-negara di
kawasan ASEAN+6.
13
2. Yuan China merupakan mata uang yang lebih stabil dibandingkan mata uang
negara lain di kawasan ASEAN+6, sehingga lebih cocok untuk digunakan
sebagai common currency di ASEAN+6.
METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang
merupakan data deret waktu bulanan periode Januari 2000 sampai Juni 2012. Data
tersebut diperoleh dari International Financial Statistic. Data yang digunakan
merupakan data dari 16 negara ASEAN+6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia,
Singapura, Filipina, Thailand, Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam, Cina,
Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand, dan India. Selain itu, digunakan
pula data Amerika Serikat sebagai dasar untuk analisis penyatuan mata uang.
Variabel dan Definisi Operasioanal
Adapun variabel dan definisi operasioanl variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Consumer Price Index (CPI) adalah gambaran tingkat harga barang dan jasa
yang dikonsumsi masyarakat, dalam penelitian ini digunakan data CPI dengan
tahun dasar 2005.
2. Nominal exchange rate didefinisikan sebagai harga satuan mata uang
domestik terhadap mata uang asing, dalam hal ini adalah Dollar Amerika
Serikat. Pada penelitian ini untuk pendekatan pertama data nominal exchange
rate yang digunakan adalah dalam unit national currency/USD, sedangkan
untuk pendekatan kedua digunakan unit USD/national currency.
3. Real exchange rate didefinisikan sebagai nilai tukar yang digunakan dalam
transaksi barang dan jasa antara suatu negara dengan negara lainnya. Pada
pendekatan pertama, data nilai tukar riil disajikan dalam bentuk logaritma
natural yang didapatkan dari hasil perhitungan logaritma natural CPI domestik
ditambah logaritma natural nilai tukar nominal domestik terhadap Dollar
Amerika Serikat dikurangi logaritma natural CPI Amerika Serikat. Sedangkan
pada pendekatan kedua, nilai tukar riil didapatkan dari hasil kali nilai tukar
nominal terhadap CPI relatif.
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Dalam menganalisis feasibility common currency di ASEAN+6 dilakukan
pendekatan Generalized Purchasing Power Parity (G-PPP) yang akan dianalisis
dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM).
Kemudian, untuk menganalisis konvergensi kurs akan dilakukan analisis comovement of currencies dan test for converging trend. Perangkat lunak yang
14
digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2007 untuk
mengelompokkan data dan selanjutnya diolah menggunakan program Eviews 6.
Metode Analisis Feasibility Common Currency pada ASEAN+6
Metode analisis yang digunakan dalam pendekatan pertama adalah metode
Vector Error Correction Model (VECM). Pendekatan pertama ini dilakukan untuk
menjawab tujuan yang pertama terkait analisis feasibility common currency di
kawasan ASEAN+6. Penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh
Taguchi (2010). Berdasarkan jurnal acuan, diketahui bahwa dalam analisis VECM
yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dua langkah estimasi.
Langkah pertama, dilakukan dua tahapan estimasi untuk menguji
terdapatnya hubungan kointegrasi bilateral. Pada tahapan yang pertama, dilakukan
pengujian untuk membuktikan bahwa nilai tukar riil terintegrasi pada orde yang
sama yaitu pada I(1). Uji ADF dilakukan untuk membuktikan bahwa nilai tukar
riil tidak stasioner di level, tetapi stasioner setelah pada first difference.
Selanjutnya dilakukan pengujian tahap kedua untuk melihat apakah nilai tukar riil
terkointegrasi atau tidak. Tahap kedua ini dilakukan dengan melakukan regresi
antara nilai tukar riil suatu negara dengan nilai tukar riil negara lainnya dengan
menggunakan OLS. Setelah melakukan regresi, dilakukan pengujian terhadap
estimate residual dengan menggunakan uji ADF statistik untuk mengetahui
apakah estimated residual stasioner atau tidak. Jika residual term terbukti
stasioner, maka dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan kointegrasi bilateral di
antara nilai tukar riil.
Langkah kedua, dinamakan uji kointegrasi multilateral yang dilakukan
terhadap sekelompok negara. Pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik
kointegrasi multivariate Johansen. Metode ini menerapkan prosedur maximum
likelihood untuk menentukan jumlah vektor kointegrasi dalam sistem vector
autoregressive (VAR). Selanjutnya, jika suatu model setidaknya memiliki satu
vektor kointegrasi, model tersebut dapat dirubah ke dalam bentuk vector error
correction model yang mengkombinasikan hubungan jangka pendek dengan
hubungan jangka panjang di antara variabel. Adapun spesifikasi model VECM
secara umum adalah sebagai berikut:
k-1
Δyt = μ0x + μ1xt + πxyt-1 + ∑i=1 Γix Δyt-i + εt
(2)
di mana:
yt
= vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian
µ0x
= vektor intercept
µ1x
= vektor koefisien regresi
t
= time trend
πx
= αxβ’ di mana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang
yt-1
= variabel in-level
Γix
= matriks koefisien regresi
k-1
= ordo VECM dari VAR
εt
= error term
15
Metode Analisis Konvergensi Kurs pada ASEAN+6
Terkait dengan tujuan kedua dari penelitian ini, maka dilakukan analisis
konvergensi kurs untuk mengetahui mata uang yang paling cocok digunakan
sebagai common currency. Berdasarkan jurnal acuan Lim (2011), analisis
konvergensi kurs dapat dilakukan melalui dua pendekatan statistik yang terdiri
dari pendekatan co-movement of currencies dan pendekatan test for converging
trends.
Co-movement of Currencies
Alesina et al. dalam Lim (2011) mengusulkan pendekatan co-movement
dari harga antar negara i dan j menggunakan second-order autoregression. Di
bawah ini adalah metode yang sama digunakan untuk mengukur pergerakan
bersama mata uang antara dua negara:
ln
= + !" , $% + & !" , $' + ()*,+
(3)
, $%
, $'
di mana, Pi,t mengukur berapa banyak unit dolar Amerika Serikat yang dapat
ditukarkan dengan satu unit mata uang negara i pada waktu t. Menurut definisi,
nilai tukar ini selalu satu ketika negara i adalah Amerika Serikat.
Selanjutnya residual dari persamaan (3) digunakan untuk menghitung root
mean square error berikut:
&
,-)* = ./01 ∑/+2 ()*,+
(4)
Nilai VPij yang lebih tinggi menunjukkan bahwa terdapat co-movement yang
lemah antara mata uang negara i dan j. Alesina et al. dalam Lim (2011)
menyatakan bahwa biaya mengadopsi mata uang negara lain sebagai jangkar
(anchor) akan lebih rendah jika negara memiliki co-movement output dan harga
yang tinggi dengan potential anchor.
Test for Converging Trend
Dalam kerangka time series, uji statistik sederhana dilakukan untuk
mengetahui konvergen atau divergen tren dari seri nilai tukar, seperti yang
diusulkan oleh Verspagen dalam Lim (2011), dapat ditulis sebagai berikut:
3),+ = !"-),+ − !"-+∗
(5)
∗
dimana Pi,t adalah nilai tukar riil untuk negara i pada waktu t dan -+ adalah
rata-rata nilai tukar riil n negara dalam sampel (-+∗ = (∑8+2 -),+ )/"). Selanjutnya,
diasumsikan bahwa untuk setiap periode waktu, Wi berubah sesuai dengan proses
berikut:
3),+9 = Ψ3),+ + ษณ),+
(6)
Jika Ψ> 1, maka mata uang di negara i divergen dari kelompok sampel.
Jika Ψ <1, maka terjadi konvergensi mata uang.
Penelitian ini juga membahas apakah mata uang masing-masing negara
dalam sampel konvergen atau divergen terhadap Yen Jepang dan Yuan China.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Variabel yang Digunakan dalam Penelitian
Gambaran Umum Nominal Exchange Rate pada ASEAN+6
Negara-negara di kawasan ASEAN+6 memiliki sistem nilai tukar yang
beragam. Akan tetapi, sebagian besar diantaranya menerapkan sistem nilai tukar
mengambang baik itu sistem managed floating maupun free floating. Gambar 3
menunjukkan pergerakan nilai tukar nominal dalam satuan USD/national
currency negara-negara advanced ASEAN+6. Australia merupakan negara yang
memiliki nilai tukar nominal yang paling tinggi dibandingkan negara lainnya,
yang mencapai nilai tertinggi pada tahun 2012 sebesar 1.04 USD/AUD. Pada
kelompok advanced ASEAN, Singapura memiliki nilai tukar nominal tertinggi di
antara yang lainnya. Sedangkan negara advanced ASEAN lainnya berada pada
kisaran di bawah 0.30 USD/national currency.
1.20
Indonesia
USD/National Currency
1.00
Malaysia
0.80
Singapura
Thailand
0.60
Filipina
China
0.40
Jepang
0.20
Korea Selatan
India
0.00
Australia
New Zealand
Tahun
Sumber: International Financial Statictic, 2013 (diolah)
Gambar 3 Pergerakan nilai tukar nominal negara Advanced ASEAN+6
periode 2000-2012
Pada kelompok developing ASEAN+6, Brunei muncul sebagai negara
dengan nilai tukar nominal tertinggi di antara negara developing ASEAN lainnya,
yang mencapai angka tertinggi sebesar 0.80 USD/BND pada tahun 2011.
Sedangkan negara developing ASEAN lainnya memiliki nilai tukar yang berada
pada kisaran di bawah 0.20 USD/national currency. Pada kelompok developing
ASEAN+6, Australia juga muncul sebagai negara yang memiliki nilai tukar riil
yang paling tinggi di antara negara lainnya. Gambar 4 menunjukkan pergerakan
17
nilai tukar nominal dalam satuan USD/national currency negara-negara
developing ASEAN+6.
1.20
USD/National Currency
Brunei
1.00
Kamboja
0.80
Laos
Myanmar
0.60
Vietnam
China
0.40
Jepang
0.20
Korea Selatan
0.00
India
Australia
New Zealand
Tahun
Sumber: International Financial Statictic, 2013 (diolah)
Gambar 4 Pergerakan nilai tukar nominal negara Developing ASEAN+6
periode 2000-2011
Gambaran Umum Consumer Price Index (CPI) pada ASEAN+6
200.00
180.00
160.00
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Filipina
China
Jepang
Tahun
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
Korea Selatan
2000
Index Number
Consumer Price Index (CPI) merupakan ukuran harga rata-rata berbagai
komoditi yang biasa dibeli oleh rumah tangga dan merupakan indikator yang
dapat digunakan untuk menghitung laju inflasi. Gambar 5 menunjukkan
perkembangan CPI pada kelompok advanced ASEAN+6 dalam periode 20002012. Dapat dilihat bahwa pada kelompok ini, India merupakan negara dengan
nilai CPI tertinggi dibandingkan negara lainnya dengan rata-rata CPI sebesar
116.93 selama tiga belas tahun terakhir.
India
Australia
Sumber: International Financial Statictic, 2013 (diolah)
Gambar 5 Perkembangan CPI negara Advanced ASEAN+6 periode 20002012
18
Gambar 6 menunjukkan perkembangan CPI pada kelompok developing
ASEAN+6 dalam periode 2000-2012. Myanmar merupakan negara yang
konsisten mengalami peningkatan CPI setiap tahunnya dan mencapai angka
tertinggi sebesar 239.30 pada tahun 2012. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa tingkat inflasi pada Myanmar sangat tinggi jika dibandingkan
dengan negara developing ASEAN+6 lainnya. Jika dilihat dari keseluruhan
kelompok, Jepang merupakan negara yang relatif konstan dengan nilai rata-rata
CPI sebesar 100.42 dalam tiga belas tahun terakhir.
300.00
Brunei
250.00
Index Number
Kamboja
200.00
Laos
Myanmar
150.00
Vietnam
China
100.00
Jepang
Korea Selatan
50.00
India
0.00
Australia
New Zealand
Tahun
Sumber: International Financial Statictic, 2013 (diolah)
Gambar 6 Perkembangan CPI negara Developing ASEAN+6 periode 20002012
Analisis Feasibility Common Currency pada ASEAN+6
Berdasarkan teori generalized purchasing power parity (G-PPP), diketahui
bahwa seluruh nilai tukar riil tidak akan stasioner di level, akan tetapi baru
stasioner setelah pada first difference. Maka dari itu langkah pertama dilakukan
uji stasioneritas data dengan menggunakan uji ADF. Setelah dilakukan uji
stasioneritas, diketahui bahwa sebagian besar data nilai tukar riil yang digunakan
pada penelitian ini stasioner pada first difference, sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 4.
19
Tabel 4 Hasil uji stasioneritas data
Variabel
LN_IDR
LN_MRY
LN_SGD
LN_THB
LN_PHP
LN_BND
LN_KHR
LN_LAK
LN_MMK
LN_VND
LN_CNY
LN_JPY
LN_KRW
LN_INR
LN_AUD
LN_NZD
ADF Stat
-3.748794
-3.120200
-3.133150
-3.764391
-3.243819
-3.426085
-2.596212
-2.432376
-0.871311
-1.261162
-1.612114
-2.268809
-2.112797
-0.716216
-3.561622
-2.240792
Level
t-stat 5%
-3.440471
-3.440471
-3.440471
-3.440471
-3.440471
-3.440471
-3.440471
-3.440263
-3.440263
-3.440263
-3.440471
-3.440263
-3.440471
-3.440471
-3.440471
-3.440471
Prob*
0.0221
0.1055
0.1026
0.0212
0.0801
0.0518
0.2828
0.3615
0.9555
0.8932
0.7838
0.4479
0.5341
0.9695
0.0367
0.4632
First Difference
ADF Stat
t-stat 5%
-9.556815 -3.440471
-8.064767 -3.440471
-8.720736 -3.440471
-8.530224 -3.440471
-7.880246 -3.440681
-9.805595 -3.440471
-7.819487 -3.440471
-11.59613 -3.440471
-12.31559 -3.440471
-11.10433 -3.440471
-9.670070 -3.440471
-11.08554 -3.440471
-8.011742 -3.440681
-7.548109 -3.440471
-7.588534 -3.440471
-8.418700 -3.440471
Prob*
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
Keterangan : cetak tebal menunjukkan signifikan pada taraf nyata 5%
Selanjutnya, dilakukan pengujian terhadap estimate residual dengan
menggunakan uji ADF statistic. Berdasarkan hasil pengujian, diketahui terdapat
beberapa pasang negara yang memiliki hubungan kointegrasi bilateral dalam nilai
tukar riil. Terdapatnya hubungan kointegrasi bilateral nilai tukar riil dapat
disebabkan oleh dua alasan utama. Pertama, kemungkinan negara B melakukan
penyesuaian kebijakan moneter untuk menjaga daya saingnya setelah mengamati
perubahan dalam nilai tukar riil negara A yang dilakukan melalui koordinasi
kebijakan. Kedua, negara B mungkin memiliki guncangan makroekonomi yang
serupa dengan negara A yang disebabkan oleh kebijakan stabilisasi yang serupa,
sehingga perubahan nilai tukar riil di antara kedua negara tersebut sama.
Indonesia memiliki hubungan kointegrasi bilateral paling banyak
dibandingkan negara lainnya dalam kelompok advanced ASEAN. Pada kelompok
developing ASEAN, Kamboja memiliki hubungan kointegrasi bilateral yang
paling banyak. Sedangkan dalam keseluruhan sampel ASEAN+6, China, Jepang,
dan Australia terlihat memiliki hubungan kointegrasi bilateral yang paling banyak.
Selain itu, terdapat temuan menarik yang menunjukkan terdapatnya interaksi di
antara negara ASEAN dengan negara mitra utama, diantaranya hubungan
kointegrasi bilateral antara Indonesia dengan Jepang, China dengan Kamboja,
Australia dengan Filipina, dan masih banyak yang lainnya. Informasi lebih
lengkap terkait dengan kointegrasi bilateral nilai tukar riil dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Pada langkah estimasi yang kedua dilakukan uji kointegrasi multivariate
Johansen untuk menguji terdapatnya vektor kointegrasi multilateral di antara nilai
tukar riil dalam kelompok tertentu. Dilakukan pengujian kointegrasi multivariate
Johansen dalam setiap kelompok negara ASEAN, yang terbagi ke dalam
kelompok advanced ASEAN, developing ASEAN, dan ASEAN+6.
Pengelompokkan negara-negara ASEAN tersebut didasarkan pada beberapa
indikator makroekonomi kunci seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.
20
Tabel 5 Indikator kunci makroekonomi pada negara kawasan ASEAN+6 tahun
2013
Negara
Tingkat
pertumbuhan
ekonomi
(%)
7.7
2.6
2.8
4.9
2.8
3.1
Inflasi
Keseimbangan
fiskal
Keseimbangan
current account
Cadangan
devisa
(%)
(% of GDP)
(% of GDP)
(US$ juta)
China
2.6
-1.9
2.1
3,951,756
Jepang
1.6
-7.6
1.1
1,228,470
Korea Selatan
1.3
-1.8
5.8
346,460
India
5.9
-6.4
-2.2
297,287
Australia
2.7
-1.2
-2.9
45,004
New Zealand
1.5
-2.1
-3.4
17,583
Negara ASEAN
Indonesia
5.8
6.4
-2.3
-3.3
99,387
Malaysia
4.7
2.1
-3.9
3.8
134,601
Singapura
4.1
2.4
1.1
18.2
273,065
Thailand
2.9
2.2
-2
-0.7
167,233
Filipina
7.2
3
-1.4
3.5
83,187
Brunei
-1.4
0.4
20.2
43
3,377
Kamboja
7.2
2.9
-5
-10.8
3,642
Laos
7.6
6.4
-12.4
-29.5
666
Myanmar
7.5
5.8
-4.9
-4.8
4,913
Vietnam
5.4
6.6
-7.1
6.5
25,745
Sumber : Asian Development Bank dan www.tradingeconomics.com, 2014 (diolah)
Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, terdapat perbedaan yang cukup besar
dalam ukuran perekonomian di antara negara-negara di kawasan ASEAN+6.
Rentang ukuran perekonomian dapat dilihat dari China dengan jumlah penduduk
sebesar 1,377.06 juta orang dan GDP sebesar US$ 8,358.4 milyar sampai Laos
dengan jumlah penduduk mencapai 6.65 juta orang dan GDP sebesar US$ 9.3
milyar. Selain itu, tahapan perkembangan perekonomian pada kawasan
ASEAN+6 pun cukup beragam. Low income countries sangat bergantung pada
sektor pertanian, sedangkan middle income countries dan high income countries
lebih bergantung pada sektor manufaktur dan industri jasa. Mengingat terdapatnya
perbedaan ukuran ekonomi dan tahapan perkembangan ekonomi seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka pada pengujian kointegrasi multivariate akan
dibagi menjadi kelompok advanced ASEAN, developing ASEAN, dan terakhir
ASEAN+6. Selain didasarkan pada fakta perkembangan perekonomian masingmasing negara, pengelompokkan antara advanced ASEAN dan developing
ASEAN juga didasarkan pada keterlibatan negara-negara tersebut dalam
perjanjian-perjanjian bilateral serta multilateral antara negara ASEAN dengan
negara mitra utama. Pengelompokkan ini dilakukan untuk melihat apakah
perbedaan ukuran ekonomi, struktur perekonomian, dan peran aktif negara di
kawasan ASEAN+6 akan berpengaruh terhadap hasil pengujian kointegrasi
multivariate atau tidak.
Selanjutnya, Tabel 6 menunjukkan hasil dari uji kointegrasi multivariate
Johansen. Berdasarkan uji kointegrasi multivariate Johansen diketahui bahwa
terdapat hubungan kointegrasi di setiap kelompok spesifik ASEAN. Hasil
pengujian tersebut menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tersebut mungkin
memiliki lebih dari satu vektor kointegrasi multilateral, dengan demikian
dimungkinkan untuk dilakukan estimasi VECM. Hal ini menjadi salah satu bukti
21
pendorong terkait validitas dari G-PPP dan OCA dalam suatu wilayah. Selain itu,
terdapatnya hubungan kointegrasi nilai tukar di antara negara di kawasan
ASEAN+6 menandakan bahwa fundamental makroekonomi yang menentukan
nilai tukar riil saling berhubungan satu sama lainnya.
Tabel 6 Hasil uji kointegrasi multivariate Johansen
-Advanced ASEAN
Hypothesized No. of CE(s)
Max-Eigen Statistic
None
29.05662
At most 1
25.86068
At most 2
12.05993
At most 3
8.360403
At most 4
7.082573
-Developing ASEAN
Hypothesized No. of CE(s)
Max-Eigen Statistic
None
39.78753*
At most 1
15.91404
At most 2
11.85761
At most 3
7.041133
At most 4
0.000195
-ASEAN+6
Hypothesized No. of CE(s)
Max-Eigen Statistic
None
114.9579
At most 1
94.49718
At most 2
86.83898
At most 3
82.98930
At most 4
73.93668
At most 5
57.29468
At most 6
50.16250
At most 7
42.51556
At most 8
35.65662
At most 9
32.64707
At most 10
29.58716
At most 11
26.23919
At most 12
18.87084
At most 13
13.27777
At most 14
10.20403
At most 15
6.590294
Keterangan: * menunjukkan signifikan pada taraf nyata 5%
Trace Statistic
82.42020*
53.36359
27.50291
15.44298
7.082573
Trace Statistic
74.60051*
34.81298
18.89894
7.041328
0.000195
Trace Statistic
776.2658
661.3078
566.8107
479.9717
396.9824*
323.0457*
265.7510*
215.5885*
173.0730*
137.4164*
104.7693*
75.18213
48.94293
30.07210
16.79433
6.590294
Tabel 7 menunjukkan hasil dari estimasi VECM, yang menunjukkan bahwa
kelompok developing ASEAN memiliki demand parameters yang serupa jika
dibandingkan dengan kelompok advanced ASEAN. Pada kelompok advance
ASEAN, digunakan Rupiah Indonesia untuk memperoleh normalized equation
pada model. Jika nilai tukar riil Indonesia meningkat (depresiasi) sebesar 1%,
akan menyebabkan apresiasi pada Ringgit Malaysia sebesar 2.8%. Untuk
kelompok developing ASEAN, digunakan Riel Kamboja untuk memperoleh
normalized equation pada model. Jika nilai tukar riil Kamboja meningkat
(depresiasi) sebesar 1% akan menyebabkan apresiasi terhadap nilai riil Dollar
Brunei sebesar 0.1%, apresiasi Dong Vietnam sebesar 0.5%, apresiasi Kyat
Myanmar sebesar 0.3%, tetapi depresiasi sebesar 0.4% terhadap New Kip Laos.
Pada kelompok ASEAN+6, digunakan Yuan China untuk memperoleh
normalized equation pada model. Terdapat beberapa nilai tukar yang mengalami
22
depresiasi dan apresiasi ketika nilai tukar riil China meningkat (depresiasi). New
Zealand, Filipina, Kamboja, dan Laos merupakan negara yang nilai tukarnya
mengalami apresiasi ketika nilai tukar riil China meningkat. Sedangkan Australia
dan Malaysia merupakan negara yang mengalami depresiasi.
Tabel 7 Hasil dari estimasi Vector Error-Correction
Negara
China
Jepang
Australia
New
Zealand
Korea
India
Indonesia
Thailand
Malaysia
Singapura
Filipina
Kamboja
Brunei
Vietnam
Laos
Myanmar
ASEAN + 6
Equation
Adj.Speed
for EC
1
-0.06*
-0.01
0.04
2.05*
-0.13*
-1.81*
-0.02
0.31
0.15
-0.38
0.68
2.41*
-1.96
-0.85*
-1.50*
1.24
0.09
-1.07*
0.01
-0.11*
-0.17*
-0.06
0.00
-0.08*
-0.06*
-0.05
0.05*
-0.04
-0.08*
0.06
0.62
Advanced ASEAN
Developing ASEAN
Equation
Equation
Adj.Speed
Adj.Speed
for EC
for EC
1
1.22
-2.78*
1.57
0.71
-0.07*
-0.01
0.000
-0.01
-0.02*
1
-0.10*
-0.53*
0.41*
-0.31*
0.00
0.04*
0.04*
-0.09*
-0.08
Keterangan: * menunjukkan signifikan pada taraf nyata 5%
Selanjutnya, kolom kedua pada Tabel 7 menunjukkan koefisien penyesuaian
dari setiap nilai tukar riil. Koefisien penyesuaian ini menunjukkan kecepatan dari
setiap nilai tukar riil yang berada dalam sistem untuk menyesuaikan terhadap
keseimbangan jangka panjang dalam merespon segala bentuk guncangan atau
deviasi dari GPPP. Nilai koefisien penyesuaian tertinggi dari setiap kelompok
dimiliki oleh India pada kelompok ASEAN+6, Indonesia pada kelompok
advanced ASEAN, dan Laos pada kelompok developing ASEAN. Nilai 0.17 dari
Rupe India, menunjukkan bahwa nilai tukar India yang didasarkan terhadap
Dollar Amerika Serikat mampu menyesuaikan dalam tingkat 17% per bulan
terhadap keseimbangan jangka panjang. Jika nilai koefisien penyesuaian
menunjukkan angka yang tidak signifikan, hal tersebut menunjukkan
kemungkinan bahwa nilai tukar tersebut lemah secara eksogen. Lemahnya nilai
tukar riil tersebut secara eksogen dapat disebabkan oleh intervensi secara berkala
dalam pasar valuta asing dan juga dapat disebabkan oleh regulasi harga pada
masing-masing negara.
Pada akhirnya, keputusan untuk bergabung ke dalam suatu optimum
currency area dan membentuk common currency kembali kepada masing-masing
negaranya itu sendiri. Karena pada dasarnya keputusan untuk bergabung dalam
suatu optimum currency area tidak hanya didasarkan pada suatu pertimbangan
ekonomi saja, tetapi juga kental akan pertimbangan politiknya juga. Pada kasus
Indonesia, berdasarkan beberapa penelitian terdahulu masih terdapatnya pro dan
23
kontra terkait kesiapan Indonesia untuk bergabung dalam suatu optimum currency
area. Achsani dan Prastiwi (2010) serta Ogawa dan Yoshimi (2010), berpendapat
bahwa Indonesia belum siap untuk bergabung ke dalam sebuah mekanisme
pembentukan common currency. Hal tersebut dikarenakan perbedaan yang
mencolok dari struktur perekonomian Indonesia dibandingkan negara lainnya
serta masih tingginya disparitas ekonomi untuk kawasan Indonesia itu sendiri.
Sebaliknya, Sato dan Zhang (2006) serta Sun dan Simons (2011) berpendapat
bahwa Indonesia sudah layak untuk bergabung ke dalam sebuah optimum
currency area. Anggapan tersebut muncul dikarenakan semakin mendalamnya
proses integrasi ekonomi antara Indonesia dengan negara lainnya yang
menyebabkan struktur perekonomian Indonesia semakin menyesuaikan terhadap
negara lainnya dalam kawasan. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai korelasi yang
tinggi dan positif pada beberapa indikator perekonomian Indonesia seperti nilai
tukar dan GDP dengan negara lainnya.
Analisis Konvergensi Kurs pada ASEAN+6
Currency Co-movement
Tabel 8 menunjukkan hasil estimasi terhadap VPij, yang mengukur
pergerakan bersama nilai tukar di antara setiap negara di kawasan ASEAN+6
dengan Amerika Serikat, China, dan Jepang. Semakin kecil nilai dari VPij,
menandakan semakin tingginya pergerakan bersama nilai tukar di antara negara i
dengan negara anchor.
Tabel 8 Co-Movement nilai tukar terhadap USD, JPY, dan CNY periode 2000:12012:6
Negara
China
Jepang
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Filipina
Brunei
Kamboja
Laos
Myanmar
Vietnam
Korea
India
Australia
New Zealand
USD
0.078
0.123
0.093
0.021
0.045
0.018
0.040
0.249
0.076
0.083
0.412*
0.099
0.025
0.033
0.062
0.048
CNY
0.023
0.180
0.046
0.019
0.035
0.093
0.015
0.406
0.145
0.410*
0.112
0.075
0.040
0.033
0.031
JPY
0.219
0.103
0.032
0.076
0.115
0.022
0.194
0.169
0.410*
0.114
0.121
0.053
0.037
0.037
Keterangan: * menunjukkan co-movement terendah di antara semua nilai tukar terhadap USD,
CNY, dan JPY
24
Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa Myanmar memiliki co-movement
terendah terhadap Dollar Amerika Serikat, Yuan China, dan Yen Jepang di antara
seluruh negara di kawasan ASEAN+6. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya
yang harus dikeluarkan Myanmar ketika menetapkan mata uang lain sebagai
anchor currency akan sangat tinggi. Sedangkan negara yang memiliki comovement tertinggi terhadap Dollar Amerika Serikat adalah Thailand. Selain itu,
Brunei merupakan negara yang memiliki co-movement tertinggi terhadap Yuan
China dan Yen Jepang.
Secara keseluruhan, sebagian besar nilai tukar negara ASEAN+6 memiliki
co-movement yang relatif tinggi dengan Dollar Amerika Serikat dibandingkan
dengan Yuan China, dan Yen Jepang. Selanjutnya, seluruh negara ASEAN+6
dengan pengecualian Kamboja, memiliki co-movement yang relatif tinggi dengan
Yuan China dibandingkan dengan Yen Jepang dalam tiga belas tahun terakhir.
Temuan ini, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lim (2010) yang
menunjukkan bahwa co-movement terhadap Dollar Amerika Serikat relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan Yuan China, dan Yen Jepang. Akan tetapi, terdapat
sedikit perbedaan di mana pada penelitian Lim (2010) diketahui bahwa seluruh
negara memiliki co-movement yang tinggi terhadap Dollar Amerika Serikat
(terkecuali Indonesia). Sedangkan pada penelitian ini diketahui terdapat enam
negara yang memiliki co-movement yang lebih tinggi terhadap Yuan China,
diantaranya Jepang, Singapura, Brunei, Myanmar, Australia, dan New Zealand.
Converging Trends
Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan pengujian statistik secara
sederhana terkait divergen atau konvergennya suatu data nilai tukar. Dikatakan
konvergen jiga nilai converging trend-nya kurang dari 1 (Ψ<1). Sedangkan jika
nilai converging trend-nya lebih dari satu (Ψ>1), maka dikatakan mata uang
tersebut divergen terhadap mata uang anchor dalam sampel. Hasil estimasi
terhadap negara ASEAN+6 dapat dilihat pada Tabel 9.
Pada Tabel 9, diketahui terdapat lima mata uang negara yang divergen
terhadap Dollar Amerika Serikat, lima mata uang negara yang divergen terhadap
Yuan China, dan tujuh mata uang negara yang divergen terhadap Yen Jepang.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ogawa dan Yoshimi
(2010), yang menyatakan bahwa seluruh nilai tukar negara Asia Timur, memiliki
hubungan yang kuat terhadap Dollar Amerika Serikat dibandingkan terhadap Euro
dan Yen Jepang. Oleh karena itu, nilai tukar tersebut konvergen terhadap Dollar
Amerika Serikat. Akan tetapi, diketahui juga bahwa tingkat konvergen nilai tukar
terhadap Dollar Amerika Serikat tersebut mengalami penurunan setiap tahunnya,
terlebih setelah China melakukan reformasi dalam sistem nilai tukarnya yang juga
diikuti oleh Malaysia.
25
Tabel 9 Hasil dari pengujian untuk Converging Trends (Ψ) periode 2000:1-2012:6
Negara
China
USD
CNY
JPY
1.005559
(0.008422)
Jepang
1.005559
0.967705
(0.008422)
(0.022214)
Indonesia
0.968124
0.988705
0.993686
(0.013235)
(0.007775)
(0.008010)
Malaysia
0.988355
1.001019
1.001254
(0.012723)
(0.010727)
(0.013007)
Singapura
0.995729
0.993557
0.999777
(0.008307)
(0.017230)
(0.015627)
Thailand
0.994052
0.982287
1.001513
(0.011506)
(0.015739)
(0.013259)
Filipina
0.943058
0.984016
0.992683
(0.015815)
(0.007185)
(0.008864)
Brunei
1.001060
0.959116
0.975857
(0.006679)
(0.023763)
(0.021403)
Kamboja
0.999767
1.003635
1.005249
(0.007067)
(0.004233)
(0.005872)
Laos
0.965937
0.981616
0.988632
(0.008348)
(0.005391)
(0.006588)
Myanmar
1.021821
1.028321
1.031243
(0.041895)
(0.036025)
(0.034889)
Vietnam
0.996862
1.003234
1.004808
(0.014354)
(0.009818)
(0.009689)
0.999177
1.002981
Korea
0.975158
(0.018762)
(0.010373)
(0.010252)
India
1.020675
1.015003
1.015161
(0.009736)
(0.005162)
(0.006501)
Australia
0.988104
0.961835
0.955329
(0.015106)
(0.021420)
(0.025434)
New Zealand
0.988363
0.980134
0.980241
(0.012879)
(0.017039)
(0.018753)
Keterangan: Angka dalam tanda kurung menunjukkan standar error
Berdasarkan informasi pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa peran Yuan
China dalam kegiatan perekonomian di kawasan ASEAN+6 semakin meningkat.
Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya mata uang negara di kawasan
ASEAN+6 yang konvergen terhadap Yuan China. Penemuan ini didukung oleh
hasil temuan sebelumnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Lim (2011), yang
menyatakan bahwa semakin banyak mata uang yang konvergen terhadap Yuan
China pada periode pasca Asian Financial Crisis (AFC) 1997. Hal tersebut
disebabkan oleh semakin luasnya penggunaan Yuan China dalam kegiatan
perekonomian di kawasan ASEAN+6, sehingga sebagian besar negara di kawasan
ini sedikit demi sedikit mulai melakukan penyesuaian nilai tukarnya terhadap
Yuan China (Park dan Song, 2011).
Jika dilihat secara keseluruhan, diketahui bahwa Rupe India dan Kyat
Myanmar merupakan mata uang yang konsisten divergen baik terhadap Dollar
Amerika Serikat, Yuan China, maupun Yen Jepang. Artinya, Kyat Myanmar dan
Rupe India sama sekali berbeda dan memiliki keterkaitan yang kecil terhadap
Dollar Amerika Serikat, Yuan China, dan Yen Jepang. Kedepannya, jika kedua
negara tersebut tidak melakukan penyesuaian nilai tukar terhadap anchor currency,
26
maka akan mengakibatkan kegagalan dalam koordinasi sistem nilai tukar yang
menyebabkan tingginya tingkat volatilitas nilai tukar dan misalignment dalam
sistem nilai tukar intra regional kawasan ASEAN+6.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan,
diantaranya adalah:
1. ASEAN dan mitra utama ASEAN, sebagai suatu kesatuan kelompok, telah
memenuhi kriteria G-PPP. Sehingga dapat dikatakan ASEAN+6 telah
memenuhi salah satu pra-syarat dari Optimum Currency Area.
2. Pergerakan bersama mata uang negara ASEAN+6 memiliki hubungan yang
kuat dengan Dollar Amerika Serikat dibandingkan dengan Yuan China dan
Yen Jepang. Di antara seluruh negara di kawasan ASEAN+6, Kyat Myanmar
memiliki co-movement terendah baik terhadap Dollar Amerika Serikat, Yuan
China, maupun Yen Jepang. Selanjutnya, pergerakan bersama mata uang
terhadap Yuan China lebih kuat dibandingkan dengan Yen Jepang. Oleh
karena itu, hasil penelitian ini menyarankan bahwa Yuan China merupakan
kandidat mata uang yang lebih baik daripada Yen Jepang untuk dijadikan
sebagai mata uang anchor di kawasan ASEAN+6.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang
dapat diajukan, diantaranya:
1. Jika mempertimbangkan hasil dari analisis konvergensi kurs, maka perlu
dipertimbangkan Yuan China sebagai anchor currency dalam pembentukan
common currency di kawasan ASEAN+6. Sehingga China dapat disiapkan
sebagai pusat integrasi ekonomi di kawasan ini.
2. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut terkait pembentukan common
currency di kawasan ASEAN+6 yang memfokuskan pada pra-syarat Optimum
Currency Area (OCA) lainnya, diantaranya konvergensi inflasi, sinkronisasi
siklus suku bunga riil, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N.A. dan Prastiwi, T. 2010. Testing the Feasibility of ASEAN+3 Single
Currency Comparing Optimum Currency Area and Clustering Approach.
International Research Journal of Finance and Economics. 37:79-84.
Ariefianto, M. D. dan Warjiyo, P. 2010. Pergerakan Bersama Mata Uang Asean 4
Periode 1997-2005: Suatu Aplikasi Teori Optimal Currency Area dengan
27
Menggunakan Model Vector Error Correction. Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan. 12(4):481-516.
ASEAN Development Bank. 2014. Asian Development Outlook 2014: Fiscal
Policy for Inclusive Growth. Manila (PH): ADB.
Augustine, C. 2008. The Synchronization of Business Cycles in CARICOM : Is
There a Case for a Caribbean Monetary Union?. International Journal of
Development Issues. 7(1):29-40.
Ayuningtyas, A. 2009. Kajian Empiris Integrasi Ekonomi ASEAN+3 : Analisis
Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Basri, F dan Munandar, H. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Internasional. Jakarta
(ID): Kencana Prenada Media Group.
Bunyaratavej, K. dan Hahn, E. D. 2003. Convergence and Its Implications for a
Common Currency in ASEAN. ASEAN Economic Bulletin. 20(1):49-59.
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. 2011. Cetak Biru Komunitas Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Blueprint). Jakarta (ID): Kementrian Luar
Negeri Republik Indonesia.
Enders, W, dan Stan, H. 1994. The Theory of Generalized Purchasing Power
Parity: Tests in the Pacific Rim. Review of International Economics.
2(2):179-190.
Ibrahim, S. 2008. A Study of Optimum Currency Area in East Asia: a Cluster
Analysis. Journal of Economic Integration 23(4):765-790.
Kishor, N dan Ssozi, J. 2010. Inflation Convergence and Currency Unions: The
Case of The East African Community. Indian Growth and Development
Review. 3(1):36-52.
Kwan, C. H. 1998. The Theory of Optimum Currency Areas and The Possibility of
Forming a Yen Bloc In Asia. Journal of Asian Economics. 9(4):555–580.
Lim, Lee K. 2011. Common Currency in East Asia : An Analysis of Currency
Convergence. International Journal of Business Studies. 19(1):53-67.
McKinnon, R. I. 1963. Optimum Currency Areas. The American Economic
Review. 53(4):717-725.
Mongeli, Fransesco P.2002. New Views On The Optimum Currency Area Theory:
What Is EMU Telling US?. ECB Working Paper, European Central Bank.
Mundell, R. 1961. A Optimum Currency Areas. American Theory of Optimum
Economics Review. 51:657-665.
Ogawa, E dan Yoshimi, T. 2010. Analysis on β and σ Convergences of East Asian
Currencies. International Journal of Intelligent Technologies and Applied
Statistics. 3(2):235-261.
Park, Yung C., Song, Chi Y. 2011. Renminbi Internationalization: Prospects and
Implications for Economic Integration in East Asia. Asian Economic
Paper, The Earth Institute at Columbia University and the Massachusetts
Institute of Technology.
Rangkakulnuwat, P. Ahn, S. Wang, H. dan He, S. 2010. Extended Generalized
Purchasing Power Parity and Optimum Currency Area In East Asian
Countries. Applied Economics. 42:497–513.
Sato, K. dan Zhang, Z. 2006. Real Output Co-movements in East Asia: Any
Evidence for a Monetary Union?. Journal compilation. Blackwell
28
Publishing Ltd, 9600 Garsington Road, Oxford, OX4 2DQ, UK dan 350
Main St, Malden, MA, 02148, USA
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional (International Economic). Edisi
Kelima. Jilid 1. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Intregrasi Keuangan Regional.
(Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan
Internasional. Jakarta (ID): Bank Indonesia.
Sideris, D. 2009. Optimum Currency Areas Structural Changes and The
Endogenity of The OCA Criteria: Evidence from Six New EU Member
States. Working Paper, Bank of Greece.
Sun, W. dan Simons, G. 2011. Monetary Integration in East Asia: Evidence from
Real Effective Exchange Rates. Review of International Economics. 19(5):
865–876.
Taguchi, H. 2010. Feasibility of Currency Unions in Asia-An Assessment Using
Generalized Purchasing Power Parity. Public Policy Review. 6(5):859-871.
[TE] Trading Economics. 2014. [Internet diunduh pada 2014 April 17]. New York
(US): TE.
Volz, U. 2013. ASEAN Financial Integration in the Light of Recent European
Experiences. Journal of Southeast Asian Economies. 30(2):124-142.
Warjiyo, P. 2004. Materi Kuliah Ekonomi Keuangan Internasional. Depok (ID):
Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia.
World Bank Catalog. 2013. World Development Indicators 2013. Washington
DC (US): WB.
Xu, Z. L., B. D. Ward, dan C. Gan. 2006. Looking at A Single Currency for
ASEAN-5: An Empirical Study of Economic Convergence and Symmetry.
Dipresentasikan dalam Econometric Study Group Conference di
University of Otago, Dunedin, Otago, New Zealand, Agustus 2006.
29
LAMPIRAN
Lampiran 1
Kestasioneran data semua variabel penelitian pada analisis feasibility
common currency di ASEAN+6
LN_IDR
LEVEL
Null Hypothesis: LN_IDR has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.748794
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0221
t-Statistic
Prob.*
-9.556815
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.120200
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0221
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_IDR) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_MYR
LEVEL
Null Hypothesis: LN_MYR has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
30
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_MYR) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.064767
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.133150
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.1026
t-Statistic
Prob.*
-8.720736
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_SGD
LEVEL
Null Hypothesis: LN_SGD has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_SGD) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_THB
LEVEL
Null Hypothesis: LN_THB has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
31
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
-3.764391
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0212
t-Statistic
Prob.*
-8.530224
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.243819
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0801
t-Statistic
Prob.*
-7.880246
-4.021691
-3.440681
-3.144830
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_THB) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_PHP
LEVEL
Null Hypothesis: LN_PHP has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_PHP) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_BND
LEVEL
Null Hypothesis: LN_BND has a unit root
32
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.426085
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0518
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_BND) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.805595
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.596212
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.2828
t-Statistic
Prob.*
-7.819487
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_KHR
LEVEL
Null Hypothesis: LN_KHR has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_KHR) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
33
LN_LAK
LEVEL
Null Hypothesis: LN_LAK has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.432376
-4.020822
-3.440263
-3.144585
0.3615
t-Statistic
Prob.*
-11.59613
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.871311
-4.020822
-3.440263
-3.144585
0.9555
t-Statistic
Prob.*
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_LAK) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_MMK
LEVEL
Null Hypothesis: LN_MMK has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_MMK) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
34
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
-12.31559
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_VND
LEVEL
Null Hypothesis: LN_VND has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.261162
-4.020822
-3.440263
-3.144585
0.8932
t-Statistic
Prob.*
-11.10433
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.612114
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.7838
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_VND) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_CNY
LEVEL
Null Hypothesis: LN_CNY has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_CNY) has a unit root
35
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.670070
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.268809
-4.020822
-3.440263
-3.144585
0.4479
t-Statistic
Prob.*
-11.08554
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.112797
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.5341
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_JPY
LEVEL
Null Hypothesis: LN_JPY has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_JPY) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_KRW
LEVEL
Null Hypothesis: LN_KRW has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
36
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_KRW) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.011742
-4.021691
-3.440681
-3.144830
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.716216
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.9695
t-Statistic
Prob.*
-7.548109
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_INR
LEVEL
Null Hypothesis: LN_INR has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_INR) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_AUD
LEVEL
Null Hypothesis: LN_AUD has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
37
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
-3.561622
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0367
t-Statistic
Prob.*
-7.588534
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.240792
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.4632
t-Statistic
Prob.*
-8.418700
-4.021254
-3.440471
-3.144707
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_AUD) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
LN_NZD
LEVEL
Null Hypothesis: LN_NZD has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
FIRST DIFFERENCE
Null Hypothesis: D(LN_NZD) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2
Hasil dari Uji ADF terhadap residual dari estimasi nilai tukar bilateral
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Filipina
Brunei
Kamboja
Laos
Myanmar
Vietnam
China
Jepang
Korea
India
Malaysia
-3.40**
Singapura
-4.17***
-2.56
Thailand
-4.02***
-3.88***
-4.29***
Filipina
-1.15
-1.43
-0.84
-1.00
Brunei
-4.01***
-3.02**
-1.53
-4.02***
-3.42**
Kamboja
-4.35***
-2.98**
-2.58*
-3.54***
-3.46**
-2.41
Laos
-1.66
-1.41
-0.97
-1.54
-2.58*
-0.27
-0.19
Myanmar
-2.24
-1.69
-1.26
-1.38
-3.16**
-1.58
-1.31
-1.74
Vietnam
-3.40**
-2.99**
-1.71
-2.46
-3.44**
-1.58
-2.19
-2.90**
-1.39
China
-4.07***
-2.91**
-2.17
-3.20**
-3.36**
-2.17
-3.77***
-3.07**
-1.13
-1.46
Jepang
-3.35**
-2.82*
-2.15
-2.63*
-3.42**
-2.32
-2.53
-3.41**
-1.11
-3.05**
-2.43
Korea
-2.39
-1.22
-0.25
-0.86
-3.61***
0.45
-0.66
-3.90***
0.48
1.43
0.42
0.40
India
-2.40
-2.21
-1.92
-1.86
-3.19**
-1.95
-1.46
-3.44**
-1.90
-2.46
-1.77
-2.08
-2.02
Australia
-3.67***
-2.85*
-2.77*
-3.13**
-3.56***
-2.63*
-1.80
-3.28**
-0.68
-1.85
-2.05
-2.51
-1.76
-0.96
New
Zealand
-3.04**
-1.80
-1.20
-1.82
-3.50***
-1.10
-1.28
-3.51***
-0.20
-0.59
-0.96
-1.12
-1.96
-0.51
Keterangan: ***, **, dan * menunjukkan signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%
38
Australia
-2.39
39
RIWAYAT HIDUP
Angga Febriawan Putra lahir di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 13
Februari tahun 1993 dan merupakan putra pertama dari Bapa Agus Toni dan Ibu
Saridaya. Penulis mengecap pendidikan dasar di SD Negeri Sukaraja II pada
tahun 1998 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sumedang
pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Sumedang. Tahun 2010 penulis resmi menjadi civitas
akademika Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penulis di luar akademik adalah mengikuti
organisasi, kepanitiaan, serta pelatihan bahasa pada lembaga di luar kampus.
Penulis pernah menjabat sebagai sekretaris Divisi Pengembangan Sumber Daya
Manusia Paduan Suara Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Agria Swara, sebagai
staff Departemen Budaya dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, dan menjabat sebagai ketua komisi tiga Dewan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selain itu, penulis
aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Bogor Art Festival, Economic Contest,
dan COAST Art Show. Sejak menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis
telah menorehkan beberapa prestasi. Pada tahun 2011 penulis memperoleh juara
kedua lomba karya tulis ilmiah The Exchange yang dilaksanakan oleh
Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Pada tahun yang
sama, penulis memperoleh dana hibah DIKTI untuk Program Kreativitas
Mahasiswa bidang kewirausahaan. Selain itu, penulis juga mengikuti kompetisi di
luar kampus di mana menjadi lima besar finalis Mojang Jajaka Kabupaten
Sumedang pada tahun yang sama.
Download