BAB V PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA

advertisement
BAB V
PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA MENGENAI
TERM AL-MAJU>S
> I DAN AL-SA>BI’IN
A. Memahami Term al-Maju>si dan al-S}a>bi'in
Istilah al-maju>si [‫ ] المجوسى‬merupakan bentuk ism mufrad,
yang jamaknya adalah al-maju>s [‫]المجوس‬, dengan pengertian, adalah
orang-orang yang menganut agama majusi, sedangkan agamanya
disebut maju>siah [‫]مجوسية‬.1 Dalam Mu’jam al-Wasit}, Ibrahim Madku>r
mendefinisikan, al-maju>s adalah satu kelompok masyarakat yang
menyembah matahari, bulan dan api. Istilah ini telah dikenal sejak
abad ke-3 M. Dan pengertian al-Maju>si yang sebenarnya, adalah si
tukang tenung yang melakukan aktivitas sebagai tukang sihir.
Sementara al-maju>siah adalah kepercayaan (aliran) agama terdahulu
atau sebagai kepercayaan orang-orang Majusi yang mensucikan
terhadap binatang-binatang, seperti, sapi, atau ajaran (aliran)
Zardastyt.2 Dalam Lisan al-‘Arab, Ibn Manz}ur, menjelaskan, bahwa
menurut satu versi yang dikenal, maju>s adalah nama salah satu
kabilah (suku), dan menurut versi lain, maju>s di dalam bahasa Persia
adalah nama orang, yaitu minj-kush yang artinya orang yang kecil
kedua telinganya, yang pertama kali menganut agama majusi dan
mendakwahkannya kepada orang lain. Nama ini kemudian diarabkan
dan Imru’ al-Qais pun menggunakan dalam syairnya dengan
ungkapan ka na>ri maju>s (‫ ()كنار مجوس‬seperti api orang-orang majusi),
yaitu, ungkapan terhadap praktek pemujaan api yang dilakukan oleh
orang-orang majusi. 3
Di dalam al-Qur’an kata maju>s [‫ ]مجوس‬ditemukan sekali,
yaitu pada QS. al-Hajj/22:17. Ayat ini berbicara tentang
pengelompokan manusia dari sudut keyakinan agamanya, yaitu
Mukmin, orang-orang Yahudi dan Kristen, serta orang-orang s}a>bi’in
dan maju>si. Tiga kelompok pertama, jelas statusnya, orang Mukmin
1
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata)
(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 560-561.
2
Ibra>him Madku>r, Al-Mu’jam Al-Wasi>t, ( Kairo : Majma’ Al-Lughah AlArabiyah, 1392 H/1972 M ), 889.
3
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata),
561.
243
mempercayai risalah Nabi Muammad SAW dan Al-Qur’an, orangorang Yahudi dan Kristen sebagai ahl al-kita>b mengakui nabi Musa
dan Isa serta kitab Taurat dan Injil, sedangkan orang musyrik adalah
penyemah berhala. Sedangkan orang-orang s}a>bi’in dan maju>si tidak
mempunyai status sejelas itu. Para Ulama berbeda pendapat tentang
keduanya. Mayoritas ulama memandang keduanya tidak termasuk
ahl al-kita>b, sedangkan minoritas mereka memasukkan dan
memperlakukan sebagai ahl al-kita>b.4
Sedangkan pengertian al-s}a>bi’in[ ‫ ]لصابئين‬atau al-s}a>bi’un
[‫ ]الصابئون‬adalah orang-orang yang keluar dari suatu agama dan
masuk ke agama lain. Kata tersebut berakar pada kata sha>-ba>-a
[ ‫ ] ص ب أ‬yang berarti keluar. Ra>ghib al-Asfaha>ni mengatakan s}a>bi’in
adalah para penganut agama Nabi Nuh a.s, sementara yang lain
mengatakan bahwa istilah tersebut digunakan untuk setiap orang
yang keluar dari suatu agama dan masuk ke agama lain. 5 Di dalam
al-Qur’an kata s}a>bi’in ditemukan 3 kali, terdapat di dalam 3 surat dan
digunakan dengan berbagai macam pengertian, yaitu, QS. alBaqarah/2:62, QS. al-Maidah/5:69, dan al-Hajj/22:17. Di dalam surat
al-Baqarah/2: 62 kata tersebut, digunakan untuk merujuk pada orangorang yang baru memulai beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad SAW, sementara sebagian ulama mengatakan, bahwa
kata tersebut, merujuk kepada orang yang hendak percaya kepada
Nabi Muhammad SAW dan sebelumnya beriman kepada kitab-kitab
terdahulu. Mereka berbuat demikian, karena merasa imannya belum
sempurna. 6 Al-Mara>ghi sebagaimana diungkap Quraish Shihab
mengatakan bahwa al-S}a>bi’un di dalam al-Qur’an digunakan untuk
merujuk kepada sesuatu kaum muwahhidu>n [ ‫ ]مو ّحدون‬yang percaya
kepada pengaruh bintang terhadap kehidupan dan mengakui sebagian
dari nabi-nabi. 7Sementara al-Nawawi berpendapat bahwa, yang
4
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata)
(Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), cet. I, 561.
5
Abu> Qa>sim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni
(w. 502 H), Al-Mufrada>t F>i> Ghari>b Al-Qur’an ( Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, t.th ),
274. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata )
(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 891.
6
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata),
891.
7
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata),
891.
244
dimaksud dengan s}a>bi’in, adalah orang yang keluar dari agama
Nasrani, kemudian masuk agama lain. Mereka itu yang telah beriman
kepada Allah SWT sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW,
mereka itu di antaranya Qais bin Sai’dah, Buhairah al-Rahi>b, Zaid
bin Umar, Ibn Tufail, Waraqah bin Naufal, Salman Al-Fa>risi dan Abu
Dha>r Al-Ghifa>ri. Kemudian Al-Nawawi lebih lanjut sebagaimana
disebutkan Muhammad Galib, menambahkan bahwa sebagian dari
mereka itu, antara lain dicukur rambutnya pada bagian tengah kepala,
membaca kitab Zabur, menyembah para Malaikat, dan berkata,” Hati
kami kembali kepada Allah S.W.T ”. Selain itu, istilah S}abi’in juga
digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang menyembah
Malaikat dan sembahyang menghadap kepada selain kiblat. 8
B. Pernikahan dengan orang Maju>si, S}a>bi’ah
Menurut Quraish Shihab, prihal pernikahan dengan orangorang maju>si dan s}a>bi’in terdapat dua pendapat, ada yang
mengharamkan dan ada yang membolehkan. Di antara ulama yang
mengharamkan, seperti al-T}aba>’taba>’i sebagaimana dikutip Tim Fiqh
Lintas Agama, istilah maju>si dikenal sebagai orang-orang yang
beriman kepada Zardasyt dan kitab suci Avesta. Namun tentang
sejarah masa munculnya sangat tidak jelas, seakan-akan berita
terputus. Mereka kehilangan kitab itu, ketika masa Alexander Yang
Agung menguasai Iran. Kemudian, penulisannya, diperbaharui pada
masa raja-raja Sasan. Karena itu sulit ditemukan mazhab mereka
yang sebenarnya. Hanya saja satu hal yang dapat diterima, yaitu
mereka mengakui adanya dua kodrat bagi pengaturan alam ini, yaitu
kodrat kebaikan dan kodrat kejahatan, Yazdan dan Ah}riman, atau
cahaya dan kegelapan. Mereka mengakui kesucian api serta
mendekatkan diri kepada malaikat dengan tidak membuat berhala
sesembahan. Hal senada dipahami oleh al-T}abari, al-Shahrastani,
sementara al-Ra>zi menyatakan, bahwa orang-orang majusi pengikut
mutanabbi (orang yang mengklaim kenabian), bukan nabi yang
sebenarnya.9 Tetapi menurut Rashi>d Rid}a bahwa, maju>si adalah
orang-orang yang diperlakukan sebagai ahl al-kita>b dalam hal
berkewajiban membayar jizyah (pajak yang diambil dari orang non8
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa
kata)(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 891.
9
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
561.
245
muslim), dengan alasan, bahwa orang musyrik tidak diterapkan untuk
orang-orang maju>si atau dengan alasan lain, bahwa al-Qur’an
menyebutkan orang musyrik satu jenis dan ahl al-Kita>b satu jenis
yang lain, dengan pembeda di antara keduanya dengan huruf at}af,
sehingga mengakibatkan perbedaan antara keduanya. Bahkan alQur’an membedakan, antara term Yahudi dan Nasrani dalam QS.AlHajj/22:17dan al-Maidah/5:82, sebagaimana dibedakan antara term
s}a>bi’in dan maju>si QS. al-Hajj/22:17. Dengan kata lain, kata
mushrikin pada masa turunnya al-Qur’an adalah orang-orang musyrik
Arab itu sendiri, karena itu, dalam pandangan Rashi>d Rid}a, s}a>bi’in
dan maju>si memiliki kitab suci, hanya saja, masa dan waktunya tidak
diketahui lagi, dan selanjutnya, maju>si dipandang, dalam hal ini
adalah sebagai ahl al-kita>b. Maka dengan demikian, menurut Rashi>d
Rid}a, makanan dan wanita-wanita orang-orang maju>si disamakan
dengan ahl al-kitab, dan mereka boleh dinikahi, walaupun tidak
sepandang dengan minoritas ulama.10
C. Persfektif Ulama Salaf ( Periode Sahabat )
Dalam konteks pernikahan beda agama yang menjadi titik
perdebatan adalah munculnya perbedaan batasan yang terdapat dalam
teks-teks (QS. al-Baqarah/2:221, QS. al-Ma>idah/5:5, dan QS. alMumtahanah/60:10), terkait istilah, al-Mushrika>t, ahl al-Kita>b
[dengan kriteria apakah masuk agama Yahudi dan Nasrani atau
tidak], bahkan perselisihan itu meluas pada istilah, al-maju>si, alsa>bi’in dan sebagainya.
Untuk memahami persoalan di atas, beberapa penafsiran
ulama klasik (priode sahabat), serta mengetahui sejarah sosial dan
metode tafsir mereka, menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas
dalam kajian bab ini, di antara para mufassir sahabat, adalah:
1.
Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M )
Dalam suatu keterangan, Ali bin Abi> T}alh}ah mengungkap
pendapatnya, yang bersumber dari Ibn Abbas r.a, terhadap QS.alBaqarah/2:221, sebagai pengecualian terhadap wanita ahl al-Kita>b
[Yahudi dan Nasrani] yang boleh dinikahi. Semua kalangan sahabat,
bersepakat dengan pendapat Ibn Abbas r.a., dan Abu Daud
meriwayatkannya, yang bersumber dari Ibn Abba>s r.a, yang
10
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata)
(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 562.
246
menyatakan, bahwa ayat 221 surat al-Baqarah ini, telah di-nasakh
dengan ayat 5 surat al-Maidah, karena alasan itulah merupakan
sebagai izin kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b bagi seorang
muslim, dan karena alasan itu pula, dihalalkan wanita muslimah bagi
pria non-muslim. Akan tetapi pendapat tersebut, mendapat
tantangan dari kalangan sahabat, di antaranya, Sayyid bin Zubayr
(Murid Ibn Abba>s r.a sendiri ),11 yang menyatakan, bahwa, kata (almushrika>t) ditujukan untuk wanita penyembah berhala (ahl awthan),
dan Muja>hid menambahkan, untuk wanita musyrik penduduk Arab
Makkah saja, karena itu, dibolehkan pernikahan dengan mereka,
karena beralasan sebagai ahl al-kita>b, sementara Qata>dah
menyatakan, al-mushrikat adalah untuk wanita bangsa Arab yang
tidak memiliki kitab suci.12 Bagaimana halnya, dengan term, maju>si
dan s}a>bi'in, yang kedua komunitas itu, telah ada pada masa
Rasulullah dan para sahabatnya. Beberapa keterangan, kedua istilah
tersebut, tidak termasuk dalam kriteria ahl al-Kita>b, meskipun telah
dikenal pada masa itu, melainkan mereka diperlakukan, seperti
halnya ahl al-Kita>b. Cakupan mengenai batasan ahl al-kita>b, baru
11
Disebutkan, para tabi’in yang termasuk tiga besar murid-murid Ibn
Abba>s yang banyak meriwayatkan darinya, mereka adalah Ikrimah Maula Ibn
Abbas ( w. 107 H ), Muja>hid bin Jabr (w. 104 H), dan Sayid bin Jubair (w. 95 H ).
Mereka adalah para hufa>z al-Qur’an yang thiqa>t (terpercaya) yang dapat
diandalkan periwayatannya dari Ibn Abbas. Dan beberapa tabi’in yang lain yang
dikatagorikan banyak meriwayatkan dari Ibn Abbas, seperti, diriwayatkan, bahwa
T}awu>s al-Yamani seorang yang Thiqa>t ( terpercaya ), akan tetapi ia tidak banyak
meriwayatkan dari Ibn Abbas, demikian juga At}iyah Al-Aufi banyak
meriwayatkan dari Ibn Abbas, namun statusnya lemah ( d}a>’if ), diceritakan, bahwa
Ali Bin Abi T}alh}ah seorang yang terpercaya, akan tetapi ia tidak pernah bertemu
Ibn Abbas, tatapi ia mengambil dari Muja>hid yang memiliki bebeapa shahifah
dalam catatan tafsir, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam
kitab S}ahih-nya, kemudian sebagian banyak di diriwayatkan oleh Ibn Jari>r serta
Imam Ahmad di Mesir sebuah shahifah yang riwayatnya bersumber dari Abi
T}alhah, dan Ibn Abi T}alhah di sebutkan sebagian ulama tidak bertemu Ibn Abbas,
maka ia terputus sanadnya, namun pendapat itu dibantah oleh Ibn Hajar AlAsqala>ni, yang menyebutkan bahwa ia seorang tsiqat, maka tidak ada alasan untuk
tidak mengambil darinya. Abdul Aziz bin Abdullah al-Humaidi, Tafsir Ibn Abba>s
Wa Marwiyatuhu Fi> Tafsi>r Min Kutub al-Sittah (Makkah : Markaz Abdul Aziz
Al-Tura>th Al-Isla>mi, tth ), ce.ke-35, 24.
12
Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’uth Wa Al-Dirathat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I,
563.
247
mengalami perkembangan, ketika masa tabi'in, Abu Aliyah (w. 39
H), seorang tabi', yang mengatakan, bahwa kaum s}a>bi'in adalah
kelompok ahl al-kita>b yang membaca kitab Zabur. Disamping itu,
terdapat pula ulama salaf, yang mengatakan, bahwa setiap umat
yang memiliki kitab yang dipandang sebagai kitab samawi, maka
mereka juga tercakup dalam penegrtian ahl al-kita>b, seperti halnya
orang-orang maju>si.13
2. Abdulla>h bin Mas’u>d ( w. 32 H )
Pada masa Nabi SAW dan para sahabat, termasuk Abdullah
bin Mas’ud,14 telah mengenal orang-orang maju>si, akan tetapi
mereka tidak menyebutnya sebagai ahl al-kita>b, walaupun demikian,
Rasulullah S.A.W tetap memerintahkan para sahabatnya, supaya
memperlakukan mereka, seperti halnya ahl al-kta>b. Terbukti hal itu,
dari salah satu sabdanya, beliau mengatakan, yang diriwayatkan
Imam Malik.
‫ أن عمر بن‬, ‫ عن أبيه‬, ‫ عن جعفر بن محمد بن على‬, ‫وحدثنى عن مالك‬
‫ فقال عبد‬, ‫ ما أدرى كيف أصنع فى أمرهم‬: ‫ فقال‬, ‫الخطاب ذكر المجوس‬
: ‫ أشهد لسمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬: ‫الرحمن بن عوف‬
. )‫( سنوا عليه ُسنة أهل الكتاب‬
Disampaikan kepadaku dari Imam Malik, dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari
bapaknya, sesungguhnya Umar bin Khattab menyebut majusi, lalu di berkata : ”
Saya tidak tahu bagaimana saya berbuat tentang urusan mereka”. Maka
Abdurahman bin Auf berkata : ” Saya bersaksi sungguh saya telah mendengar
Rasulullah bersabda : ” Perlakukanlah mereka ( orang-orang Majusi ) seperti ahl al15
Kitab ”.
13
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 28-29.
14
Buku-buku sejarah dan Sirah mencatat, bahwa Abda Wudd bin Sawa
bin Quraim dari Huzail menikah dengan Hindun binti Abdul Harits bin Zuhrah dari
Quraisy dan melahirkan Ummu Abdu binti Abda Wudd. Lalu Umm Abd dinikahi
oleh Mas’ud bin Ghafil bin Hubaib dari Huzail yang kemudian melahirkan seorang
anak bernama Abdullah bin Mas’ud yang juga tereknal dengan julukan Ibn Ummu
Abd yang juga diberi julukan Abu Abdurahman. Muhammad H}usain al-Dhahabi,
al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), cet. I,
63.
15
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 29.
248
Keterangan di atas, jelas, bahwa Rasulullah S.A.W tidak
memasukkah kaum Maju>si sebagai ahl al-kita>b. Hal demikian
diperkuat dengan pernyataan Umar bin al-Khattab yang telah banyak
berbicara sekitar permasalahan mereka, jika sekiranya Umar r.a tidak
memahami kriteria ahl al-kita>b mencakup kaum maju>si, tentu Umar
tidak akan mempermasalahkan mereka.16
3. Abdullah Bin Umar ( w. 72 H )
Terkait pernikahan dengan Maju>si dan S}a>bi’in, yang
terkandung dalam penjelasan QS.al-Baqarah/2:221, Abdullah bin
Umar17 berpendapat, bahwa, mereka masuk dalam kriteria, ahl alkita>b, dan mereka adalah musyrik. Dalam keretangan lain,
sebagaimana dikutip beberapa riwayat darinya, Ibn Abi> Shaibah dan
Ibn Abi Ha>tim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a.
‫ أنه كره نكاح نساء أهل‬, ‫ عن ابن عمر‬, ‫ وابن أبى هاتم‬, ‫أخرج ابن أبى شيبة‬
.) َّ‫ ( ول ت ْنكحوا ْالم ْشركات ح َّتى ي ْؤمن‬: ‫ ويتأول‬, ‫الكتاب‬
Dikeluarkan dari Ibn Abi Shaibah dan Ibn Ha>tim, dari Ibn Umar, bahwasanya, ia
mencela pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b. Kemudian ia
16
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya I, 29.
Dia di lahirkan tidak lama setelah Nabi diutus menjadi Rasul, ketika itu
ia baru berumur 10 tahun. Ia ikut masuk Islam bersama ayahnya, Umar bin alKhattab. Kemudian ia mendahului ayahnya hijrah ke Madinah. Pada saat perang
Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang, dan Rasulullah tidak
mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti
peperangan, diantaranya, perang Qadisiyah, Yarmuk, Khandak, Penaklukan
Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan Basrah dan Madain. Al-Zuhri tidak
pernah meninggalkan pendapat Ibn Umar untuk beralih kepada pendapat orang
lain. Imam Malik dan al-Zuhri berkata : ” Sungguh, tak ada satupun dari urusan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibn Umar ”. Ia
dikenal seorang yang Zuhud, shaleh, bertaqwa, seketika berkata Rasulullah
tentang dirinya, ” Sebaik-baik pemuda adalah Abdullah bin Umar, dan jika ia
17
shalat malam, jarang waktu malamnya terbuang untuk tidur, keculai sedikit sekali
”. Manna’ Al-Qatt{}a>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh ( Riya>d} :
Maktabah Al-Ma’arif Li Al-Nasyr Wa Tawzi’ Lisa>hibiha> Sa’ad bin Abdurahman
al-Rashi>d, 1417 H / 1997 ), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-Atsqalani (w.852 H ),
Taqri>b al-Tahzi>b ( Beiru>t : Mu’asasah Al-Risa>lah, 1420 h/ 1999 M ), cet. I, 256257.
249
menafsirkan sebuah ayat ( ‫ () وال تنكحوا المشركات حتى يؤمن‬Dan janganlah kamu
18
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman ).
Dari sebuah riwayat di atas, Abdullah bin Umar terlihat
kurang setuju dengan adanya pernikahan beda agama, bahkan ia
mencela pernikahan dengan orang-orang musyrik. Hal itu terjadi,
karena Abdullah bin Umar memahami, bahwa ahl al-kita>b [Yahudi
dan Nasrani] atau maju>si dan s}a>bi’in, adalah musyrik, sebagaimana
dipahami dalam QS. Al-Baqarah/2:221 ini. Oleh karena itu, Abdullah
bin Umar r.a, mengharamkan pernikahan seorang mu’min dengan
wanita ahl al-kita>b, dengan alasan kemusyrikan. Dasar pelarangan itu
atas landasan riwayat, yang disampaikan Imam al-Bukha>ri, dan AlNuha>s, yang bersumber dari Na>fi’ :
‫ ان عبد هللا بن عمر‬, ‫ والنحاس فى ( ناسخه ) عن نافع‬, ‫وأخرج البخارى‬
‫ حرم هللا‬: ‫ قال‬. ‫كان إذا سئل عن نكاح الرجل النصرانية أو اليهودية‬
‫ ول أعرف شيئا من اإلشراك أعظم من أن تقول‬, ‫المشركات على المؤمنين‬
.‫ ربها عيسى أو عبد من عباد هللا‬: ‫المرأة‬
Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab (Nasikh), dari Nafi’, bahwasanya
Abdullah bin Umar, acap kali ditanya tentang pernikahan seorang pria muslim
dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah mengharamkan
wanita-wanita musyrik terhadap pria-pria muslim, dan aku tidak mengetahui
kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita, yang berkata : “
19
bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah “.
Kwalitas keilmuan Abdullah bin Umar r.a, serta
pandangannya tentang pernikahan ini, berbeda dengan para sahabat
pada umumnya. Suatu pendapat yang memperkuat pandangan Ibn
Umar r.a, dalam riwayat lain, yang tidak menyetujui atas pernikahan
semacam ini. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansu>r, bahwa Abdun bin
Humaid (dalam musnad-nya) dan Ibn Majah dan Imam al-Baihaqi
(dalam kitab Sunnan-nya), yang bersumber dari Ibn Umar r.a, bahwa
Rasulullah S.A.W bersabda :
18
Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( 849-911 H ), Al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo : Markaz Hijr Li Bu’u>th Wa Al-Dira>sa>t Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H / 2003 M ), cet. I, 564.
19
Jala>luddin Al-Suyu>t}i (849-911 H), Al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo:Markaz Hijr Li Bu’uts Wa Al-Dira>sa>t Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H/2003 M ), cet. I, 564.
250
‫ عن النبى صلى هللا عليه وسلم‬,‫روى عبد بن حميد عن عبد هللا بن عمرو‬
‫ ول تنكحوهن‬, ‫ فعسى حسنهن أن ترديهن‬, ‫ ل تنكحوا النساء لحسنهن‬: ‫قال‬
‫ فألمة‬, ‫ وانكحوهن على الدين‬, ‫على أموالهن فعسى أموالهن أن تطغيهن‬
. ‫سوداء خرماء ذات دين ُ أفضل‬
” Jangan kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena barangkali
kecantikan itu akan menjerumuskan mereka, dan jangan kamu menikahi mereka
karena hartanya, karena barangkali harta benda membuat kamu kelewat batas,
tetapi nikahilah karena agamannya, sesungguhnya budak wanita yang hitam
meskipun tidak cantik tetapi beragama itu lebih utama ”. 20
Diriwayatkan dari Abu Harairah ra, bahwa Nabi bersabda :
‫ تنكح المرأة‬: ‫عن أبى هريرة رضى هللا عنه عن النبى صلى هللا عليه وسلم قال‬
.‫ فاظفر بذات الدين تربت يداك‬, ‫ لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها‬: ‫ألربع‬
”Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang kuat
21
agamanya, niscaya kamu akan beruntung ”( HR. Bukhari-Muslim )
Kesimpulan penafsiran ketiga sahabat di atas, baik Abdullah
bin Abbas r.a, Abdullah bin Mas’ud r.a memiliki kesamaan pendapat
tentang menikahi wanita ahl al-Kita>b, Maju>si dan S}a>bi’in, melainkan
hanyalah Abdullah bin Umar r.a, yang berbeda dari mereka, yang
mengharamkan, pernikahan muslim dengan wanita musyrik, bahkan
untuk semua jenis kemusyrikan. Dengan pernyataan, bahwa, ”Tidak
ada kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seseorang, yang
berkata : “ Bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari
hamba-hamba Allah ". Karena pandangan Ibn Umar ini, mengenai
20
Al-Imam Al-Jali>l al-Ha>fidz Ima>duddin Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r
al-Dimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’an Al-Az}i>m (Gizah : Mua’sasah AlQurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), cet.I, 299, Jala>luddin al-Suyu>ti} (879-911 H), alDu>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin alTurky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa alIsla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, 565.
21
Imam Abi Husain Muslim Ibn Haja>j Al-Qushairi al-Naisabu>ry,
Mukhtas}ar S}ahi>h Muslim ( di-Tahqi>q oleh : Muhammad Nas}i>ruddin AlBa>ni),
Hadith No. 798, Bab Targhi>b Fi> Nika>h (Beiru>t : Maktab Al-Isla>mi, 1407 H/1987
M ), cet. Ke-6, 207.
251
mereka, bahwa, selain yang agama Islam, adalah musyrik. Dan
menikahi orang-orang musyrik adalah diharamkan.
D. Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Klasik)(6501250 M)
Terkait persoalan nikah beda agama, bahwa pernikahan
muslim dengan Maju>si atau S}a>bi’in, akan diteliti melalui penafsiran
ulama salaf (Periode Klasik ), yang berkisar antara abad IV H hingga
VI H. Pada pembahasan bab ini, sosok ulama-ulama tafsir yang akan
di kaji cukup banyak, dan mereka telah terbukti, dengan hasil karyakarya mereka yang sangat penomenal. Namun di antara mereka
cukup sebagai keterangan, yang mewakili beberapa karya tafsir
mereka, seperti, Ibn Jari>r al-T}abari (w.310 H/ 925 M ), al-Jas}a>s} (w.
370 H), Al-Baghawi (w. 510 H/1122 M), Al-Zamakshari (w. 538
H/1144 M), dan sebagainya.
Ibn Jari>r Al-Tabari ( w. 310 H / 925 M ), Dalam Tafsirnya,
Ja>mi’ al- Baya>n an Ta’wi>l ay Al-Qur’an.
Ibn Jari>r al-T}abari dalam karya tafsirnya, menjelaskan
konteks pernikahan pria muslim dengan wanita-wanita[Maju>si,
S}a>bi’in, Konghuchu, Budha, Hindu], menurut QS.al-Baqarah/2:221
dan al-Maidah/5:5 adalah, bahwa wanita musyrik, menurutnya tidak
dibatasi untuk jenis kemusyrikan [penyembah berhala, Yahudi,
Nasrani, maju>si, atau s}a>bi’in]. Namun dengan demikian itu, Ia tetap
membenarkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b berdasarkan
QS. Al-Maidah/5:5.22 Dengan kata lain, menurutnya, bahwa ahl alKita>b tidak terbatas Yahudi dan Nasrani, melainkan mencakup selain
mereka, yang memiliki kriteria, wanita-wanita terpelihara
(muh}s}ana>t), beriman kepada Allah dan membenarkan kenabian
Muhammad SAW. 23 Karena itu al-Tabari, menjelaskan ayat alBaqarah di atas, disandingkan dengan sasaran ( khita>b) yang
ditujukan kepada larangan untuk semua jenis wanita yang tidak
1.
22
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsir AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buh}uth Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/ 2001 M ), Cet. I, Juz ke-3, 711-712.
23
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari ( 224-310 H ), Tafsir AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buh}u>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/ 2001 M ), Cet. I, Juz ke-3, 715-716.
252
beragama Islam, dikaitkan dengan kasus perjanjian Hudaibiyah (Sulh}
H}udaibiyah),24 yaitu, antara kaum Kafir Quraisy Makkah dan kaum
Musilimin,
yang
berakhir
dengan
turunnya
QS.
alMumtahanah/60:10.
          
             
              
          
             
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah
kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa
atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berperang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan
hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum
24
Ka’bah atau Baitullah (Masjid al-Haram) di Makkah dikenal tempat
beribadah, berabad-abad lamanya. Ia merupakan tempat suci umat Islam. Sekian
lama kaum muslimin menanti, sekitar 6 tahun lamanya, untuk menengok sanak
keluarga dan orang-orang yang ditinggalkannya dikota Makkah. Maka rencana
ibadah umrah di bulan yang dihormati ( al-asyhur al-hurum ) terpenuhi, mereka
bersama Rasulullah dengan 1.400 orang, berpakaian ihram, tanpa senjata, kecuali
pedang di sarungnya sebagai penjaga diri di jalan. Namun kedatangan kaum
muslimin, tidak disambut sesuai harapan, tetapi mereka mendapat berbagai
halangan dan rintangan pihak Qurainsy Makkah, oleh karenanya, pada tahun ke-6
H, tepatnya bulan Dzulqa’dah, disepakati antara Nabi SAW dan pihak Kafir
Quraisy (Suhail bin ’Amar), kesepakatan yang dikenal dengan Perjanjian
Hudaibiyah, dan intinya adalah perdamaian tanpa ada peperangan bagi umat Islam
yang memasuki kota Makkah. Ali Mufradi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab
(Jakarta : logos, 1417 H /1997), cet. I, 35-36.
253
Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
25
Bijaksana. [QS. Al-Mumtahanah/60:10 ].
Dalam penjelasannya, al-Tabari tentang ayat al-Mumtahanah
di atas, terhadap bunyi teks [‫[] ولتمْ سكوا بعصم ا ْلكوافر‬Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir], yang menyatakan bahwa, keterangan ayat tersebut,
merupakan larangan terhadap kaum muslimin untuk tidak menjalin
hubungan pernikahan dengan non muslim, atas dasar kemusyrikan,
atau terhadap mereka yang menyembah berhala. Berdasarkan
indikator yang ditetapkan, laki-laki berstatus kafir tidak halal
terhadap wanita-wanita mukmin sejak disepakati perjanjian
Hudaibiyah ini, hingga waktu yang tidak ditentukan.26
Dengan kata lain, menurut Al-T}abari, bahwa, jika indikasi jenis
kemusyrikan atau kekufuran itu, selain ahl al-kita>b, termasuk maju>si
dan sa>bi'in, maka jelas, tidak berarti baginya. Maka dengan demikian,
menikahi wanita maju>si dan s}a>bi'in, apalagi pria mereka tetap tidak
dibolehkan atau diharamkan.
2. Al-Jas}a>s} ( w. 370 H ), Tafsir Ah}ka>m Al-Qur’a>n
Al-Jas}ah, terhadap pernikahan dengan wanita maju>si atau
s}a>bi’in, lebih dekat kepada pemahaman status al-mushrika>t
[ penyembah berhala ], berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221. Walaupun
demikian itu, Ia tetap setuju dengan larangan yang tidak mengenai
wanita kita>biyah. Ia menyebutkan pendapat yang bersumber dari
Sa’id bin Jubayr, ketika ditanya, bagaimana mengenai pernikahan
25
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-T}abari (224-310 H), Tafsir AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki )(Kairo:Markaz al-Buh}uts Wa Al-Dirasah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, Juz ke-3, 714, dan Juz ke-22, 580-584, Lihat. Persoalan
ini, terkait Hudaibiyah, Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad
SAW (Jakarta : Gema Insani Press, 2001 ), Cet. I, 343.
26
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsir AlTa>bari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n ( ditahqi>q : Abdullah bin
Muhaisin al-Turki )( Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a
Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, Juz ke-22, 578-583, Lihat. Penafsiran ayat
al-Mumtahanah/60:10, terhadap kasus Umar bin al-Khattab, menceraikan istriistrinya yang musyrik di Makkah (diantaranya, Quraibah binti Abi Umayyah bin
Mughirah kemudian dinikahi oleh Muawiyah bin Abi Sofyan, yang lain adalah
Ummi Kalthum binti Jarwal, kemudian dinikahi oleh Abu Jahm bin Huzafah, 583584.
254
dengan wanita Yahudi dan Nasrani ?. Ia hanya menjawab : La> ba’sa
(boleh). Said bin Jubayr mengatakan lagi, ayat itu, diturunkan untuk
penyembah berhala (ahl awthan) dan maju>si. Dan setuju juga AlJas}a>s}, dengan pendapat para sahabat, bahkan dengan para ulama Fiqh
saat itu, kecuali Ibn Umar yang mengharamkan pernikahan semacam
ini. 27 Mengutip perkataan Said bin Jubayr tadi, yang menyatakan,
bahwa ayat (Wala> Tankihu> al-Mushrika>t) itu, dikhususkan untuk
selain ahl al-kita>b. Sedangkan mengenai pernikahan dengan ahl alkita>b, diperkuat dengan adanya bukti, bahwa Usman bin Affan,
menikahi Nailah binti al-Fara>fis}ah [suku al-Kalibi], seorang yang
beragama Nasrani, dan juga T}alh}ah bin Ubaidillah menikah dengan
wanita Yahudi negeri Syam. Pernikahan semacam ini, juga dilakukan
di kalangan tabi’in, seperti, al-Hasan, Ibrahim dan juga al-Sha’bi. 28
Walaupun, tentang maju>si terdapat perselisihan di kalangan sahabat,
yang mayoritas mereka setuju, karena mereka bukan ahl al-kita>b.
Meskipun ada yang mengatakannya, mereka adalah ahl al-kita>b,
tetapi hal itu segera dibantah dan dibatalkan menurut al-Jas}a>s} dalam
tafsirnya yang merujuk kepada QS. al-An’am/6:155-156.
‫وهذا كتاب أنز ْلناه مبارك فا َّتبعوه وا َّتقوا لعلَّك ْم ترْ حمون * أن تقولوا إ َّنمآ أنزل‬
‫ْالكتاب على طآئفتيْن منْ قبْلنا وإنْ ك َّنا عنْ دراسته ْم لغافلين‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
27
Sebagaimana yang diceritakan, Nafi dari Ibn Umar, ketika ditanya
tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Ibn Umar menjawab : “ Allah
mengharamkan pernikahan wanita musyrik dengan muslim, lalu aku berkata, aku
tidak mengetahui dosa apa yang terbesar, selain orang yang mengatakan, bahwa
Isa bin Maryam adalah hamba di antara hamba Allah “. Lalu , Ali bin Ma’bad
( dari Abi Mulih dari Maymun bin Mahran ), menyangkal Ibn Umar, bukankah
kita hidup di bumi ini, disekelilingi dengan wanita ahl al-Kitab, bukankan kita
telah mengawini wanita mereka dan memakan makanan mereka ? Berkata Ali bin
Ma’bad, bahwa Ali bin Abi T}alib mengulangi bacaan ayat tahrim dan ayat tahlil,
lalu Abu Bakar menambahkan, ayat tahlil, yakni, Wa al-Muh}s}ana>t Mi Al-Ladhi>na
Utu> al-Kita>b ) dan ayat tahrim, yakni,Wa La> Tankih}u> al-Mushrika>t Hatta
Yu’minna. Ketika Ibn Umar usai mendengarnya, ia mengakaui status ayat
keduanya, tanpa memberi penjelasan status kebolehannya. Abu Bakar Ahmad alRa>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n ( Beirut : Dar Fikr, t.th ), Juz II, 460.
28
Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beiru>t:Dar Fikr,
t.th ), Juz II, 460.
255
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda29
tanda bagi kaum yang berpikir ( al-An’am/6:155-156)
Menurut al-Jas}a>s}, bahwa ayat al-An’am ini, mengenai ahl alkita>b, yang hanya dimaksudkan dua kelompok [ ‫ ] ظائفتين‬yaitu agama
Yahudi dan Nasrani, dan jika termasuk di dalamnya maju>si, berarti
bukan dua kelompok. Maka dengan tegas, segera ditolak pendapat itu
oleh al-Jas}a>s}. Selain itu juga, adanya pengakuan, bahwa kitab suci
yang diturunkan Allah kepada nabi mereka, dan hal itu memang
benar, tetapi sebuah kitab yang diturunkan kepada Zaroaster tersebut
itu yang dalam kenyataannya seorang pengaku nabi [ palsu ]. Maka
dengan bukti ini, bahwa maju>si bukan ahl al-kita>b.30 Menurutnya,
Umar bin al-Khattab, menyatakan mereka bukan ahl al-kita>b,
walaupun demikian, Rasulullah memperlakukan mereka, seperti
halnya, ahl al-kita>b dalam urusan pajak [Jizyah]. Dalam Riwayat
Yahya bin Said, yang disampaikan, bahwa Yahya bin Said dari Abu
Ja’far bin Muhammad, bahwa Umar bin Khat}ab berkata : ” Apa yang
harus aku perbuat terhadap orang Maju>si, sedangkan mereka bukah
ahl al-kitab ?, Disambut oleh Abdurrahman bin Auf : Aku
mendengar bahwa Rasulullah bersabda : ” Perlakukanlan [ orangorang maju>si ], seperti halnya ahl al-kitab.31
Demikian halnya, pernikahan dengan wanita S}a>bi’in, juga
mendapat tantangan di kalangan ulama mazhab, misalnya, Abu
Hanifah menyatakan mereka adalah ahl al-kita>b, Abu Yusuf bin
Muhammad, menyatakan, mereka bukan ahl al-kita>b. Abu Hasan alKhurkhi menyatakan, mereka adalah orang-orang yang menganut
agama al-Masih yang membaca Injil, yang berarti mereka Nasra>ni.
Keterangan Abu Hanifah, segera dibantahnya, yang menurut al-Jas}a>h,
mereka suatu kaum pengikut agama Nasrani, yang membaca Injil,
akan tetapi hanyalah untuk jalan keselamatan ( taqiyyah ), dan tidak
sesungguhnya, dan bukan atas keyakinan, akan tetapi hanyalah
pilihan antara Islam atau perang ? Sejalan, dengan pandangan para
29
Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya
(Bandung : Gema Risalah Press), 215.
30
Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Dar
Fikr, t.th ), Juz II, 463.
31
Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Dar
Fikr, t.th ), Juz II, 463.
256
ulama fiqh, al-Jashash menyatakan, mereka bukan ahl al-Kita>b, dan
karenanya dibatalkan menikahi wanita-wanita s}a>bi'in.32
3. Al- Al-Zamakshari (467-538 H/1075-1144 H), Tafsi>r Al-Kasya>f
Al-Zamakhshari menjelaskan QS.al-Maidah/5:5, bahwa,
wanita ahl al-kita>b yang boleh dinikahi adalah pemeluk agama
Yahudi dan Nasrani, meskipun di kalangan para sahabat terdapat
beberapa perselisihan tentang wanita Nasrani Arab, kecuali Nasrani
Bani Taghallub yang menurut pendapat Mazhab al-Shafi’i. AlZamakhshari juga menjelaskan, bahwa Abu Hanifah memasukkan
penganut al-s}a>bi’ah dalam katagori ahl al-kita>b, walaupun pendapat
ini tidak didukung oleh sebagian muridnya. 33 Tetapi, berbeda dengan
al-maju>si mereka adalah orang-orang yang diperlakukan, seperti ahl
al-Kita>b dalam hal membayar pajak, kendati demikian, makanan
serta wanita-wanita mereka tetap tidak dihalalkan bagi orang-orang
Islam. 34
Dari beberapa penafsiran ulama tafsir abad ini (periode
klasik), dapat disimpulkan, yaitu, bahwa menurut Ibn Jari>r Al-T}abari,
wanita musyrik, tidak terbatas, penyembah berhala, tetapi Yahudi,
32
Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n ( Beiru>t : Dar
Fikr, t.th ), Juz II, 465.
33
Tidak disebutkan dua murid Abu Hanifah yang tidak sependapat
dengannya, akan tetapi al-Zamakhsyari hanya menyebutkan dua murid Ab
Hanifah, tanpa disebutkan nama keduanya, karena alasan lain. Mereka berdua
menjelaskan, bahwa orang-orang sabi’in ( pengikut agama sabi’ah ), terbagi
kepada dua kelompok, (1). Kelompok yang membaca kitab zabur dan penyembah
Malaikat. (2). Kelompok yang tidak membaca kitab Zabur, dan mereka melakukan
penyembahan terhadap binatang. Dak kedua kelompok tersbut, bukanlah katagori
ahl al-kitab. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar AlZamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An H}aqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa
‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah Abikah, t.th), Juz II,
200.
34
Dalam keterangan selanjutnya, Al-Zamakhshari, menyebutkan riwayat
yang bersumber dari Ibn Musayyab, yang berbunyi: “Apabila terdapat seorang
muslim yang sakit, maka diperintahkan bagi orang majusi untuk menyebut nama
Allah dan diperintahkan juga untuk menyembelih hewan, yang demikian, hal itu
tidak masalah ( yaitu halal daging hewan sembelihan mereka ), dan Abu Atsur
menambahkan, jika orang Islam tadi dalam keadaan sehat, mereka menyuruh si
Majusi untuk melakukan hal yang sama, demikian hukum daging sembelihan
mereka, halal. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar AlZamakhsari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An H}aqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n
al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riya>d} : Maktabah Abikah, t.th), Juz II, 200.
257
Nasrani, Maju>si, atau S}a>bi’in dan sebagainya termasuk ahl al-Kita>b.
Maka Ia membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b
berdasarkan QS. Al-Maidah /5:5. Karena itu ahl al-kita>b tidak
terbatas, agama Yahudi dan Nasrani, melainkan mencakup selain
mereka. Menurut Al-Zamakhshari walaupun dimasukannya, maju>si
dan s}a>bi'ah dalam katgori ahl al-kita>b, tetapi Ia tetap tidak halal bagi
orang-orang Islam. Menurut al-Jas}a>s}, ahl al-kita>b, hanyalah sebatas
Yahudi dan Nasrani saja, sedangkan Maju>si bukan bagian dari ahl alkita>b, walaupun diperintahkan untuk diperlakukannya seperti ahl alkitab. Tetapi menurut al-Jasa>s, sa>bi'in itu, dinyatakan sebagai
Nasrani, yang tak lain hanyalah taqiyah, dan bukan sebagai
keyakinan. Dengan demikian menurut al-Jas}a>s, baik Maju>si ataupun
S}a>bi'ah sama statusnya, maka pernikahan dengan
mereka
diharamkan.
E. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan I
( Masa Kemunduran I / 1250-1500 M ).
Dalam sejarah-sosial perkembangan Islam, abad pertengahan
ini, adalah antara tahun 1250 M hingga 1500 M, saat itu Islam
dibawah kekuasaan Abbasiyah, sudah mulai maju, dengan masuknya
kerajaan-kerajaan besar, seperti, Mongol, Tartar, dan sebaginya,
tepatnya abad ke-5 H.35 Di masa kepemimpinan Harun Al-Rashid
(170-193 H/78-809 M), kekuasan Islam berada di Damasqus, yang
kemudian pindah ke Baghdad, Irak, dan dengan hasil kemajuannya
didirikan perpustakaan Islam terbesar, yaitu bernama Bait al-Hikmah.
Maka mulai saat itu, berkembang ilmu pengetahuan, baik umum,
seperti, filsafat, logika, matematika, kimia dan kedokteran, maupun
pengetahuan agama, seperti, ilmu Al-Qur'an, Qira'at, al-Hadits, fiqh,
ilmu kalam, bahasa dan sastra. Untuk pembahasan abad ini, kajian
akan melihat karya bidang tafsir, pemikiran, seperti, di antaranya,
Fakhruddin Al-Ra>zi (w.606 H), al-Qurtu>bi (w. 671 H), alBaid}a>wi(w.791 H), Jala>luddin al-Mahalli (w.864 H), Jala>luddin alSuyu>t}i (w.911 H), Ibn Kathi>r (w.774 H), dan al-Alu>si (w.1270 H ).
35
Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam (Dirasah Islamiyah II) ( Jakrta :
PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. Ke-10, 111.
258
1. Al-Imam Fakhruddin Al-Ra>zi (w. 606 H/1209 M),Tafsir
Mafa>tih Al-Ghaib / Tafsi>r al-Fakhru al-Ra>zi /Tafsi>r al-Kabi>r
Selanjutnya, Al-Ra>zi, Ia dalam menafsirkan QS.alBaqarah/2:221 ini, mempertanyakan status, apakah al-Maju>si dan alS}a>bi’in masuk dalam kriteria ahl al-kita>b ? Dalam keterangannya,
Al-Ra>zi setuju dengan pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan,
al-mushrik [ ‫ ] المشرك‬itu, masuk dalam kriteria ahl al-kita>b. Maka,
menurut al-Ra>zi, ahl al-kita>b adalah musyrik. Dipertegas dengan
QS.al-Taubah/9:30-31[ ‫وقالت ا ْليهود عزيْر ابْن هللا وقالت ال َّنصارى ا ْلمسيح ابْن‬
‫]هللا‬, bahwa, Uzair putra Allah menurut Yahudi dan Al-Masi>h putra
Allah menurut Nasrani. Menurutnya, ayat ini, secara langsung,
menyatakan, bahwa Yahudi dan Nasrani berstatus musyrik, karena
i’tiqa>d (keyakinan) mereka, berlandaskan pada trinitas 36, diperkuat
lagi dengan ayat lain, dalam QS.al-Maidah/5:73, [ ْ‫للا‬
َْ َّْْ‫ِينْ َقالُواْإِن‬
َْ ‫لَّ َقدْْ َك َف َْرْالَّذ‬
ُْ ‫] َثال‬,“bahwanya Allah salah satu dari yang tiga“.37 Keterkaitan
َْ‫الثة‬
َ ‫ِثْ َث‬
dengan kriteria kemusyrikan, yang dalam teks QS. AlBaqarah/2:221[ ‫]وال تنكحوا المشركات‬, Al-Ra>zi mengutip dua katagori
jenis kemusyrikan, Pertama, yang hanya memberlakukan untuk
penyembah berhala saja,[Wathaniyah], yang ditujukan kepada
36
Konsep Trinitas adalah terjemahan dari trinity ( trinitas, tiga tunggal,
trimurti ), sebagai sentral dan karakter doktrin Kristen tentang Tuhan dalam tiga
person, bapak, anak, dan roh kudus. Gereja Kristen menegaskan bahwa subtansi
Tuhan itu satu dan kombinasi tetap menjadi misteri. Konsep ini kemudian
menjelma menjadi Yesus sang tuhan berdimensi manusia dan manusia berdimensi
tuhan. Bagi Kristiani Yesus adalah Allah, Allah adalah Yesus. Karena itu sebutan
Trinitas menunjuk langsung Yesus, padahal Yesus sendiri akan mengusir umat
Kristen pada hari Kiamat lantaran mereka berseru Tuhan kepadanya. Artinya Yesus
tidak mau atau tidak pernah mengajarkan bahwa dirinya Tuhan dan klaim Yesus
sebagai tuhan merupakan suatu kejahatan. Allah berfirman : .......’’ Janganlah
kalian mengatakan : Tuhan itu tiga ......QS. Al-Nisa’/4:171. Lihat. Didin
Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas Mencari Alternatif
Pemikiran di Tengah Absurditas Modernisme ( Jakarta : LPSI ), 162-163, Lihat.
John M. Echos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta : Gramedia,
1996 ), cet. XXIII, 604, Lihat. Hasan Shadilly dkk, Ensiklopedi Indonesia ( Jakarta
: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990 ), Jilid 6, 3627.
37
Terjemahan QS.Al-Maidah/5:73, Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan (yang kelak berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka
tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir
diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.Lihat : Muhammad Ar Rāzi
Fakhuddin Ar Rāzi (544-604 H ), Tafsīir al-Fakhri al-Rāzi al-Mushtahīr bi alKitāb Al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib ( Kairo : Dar al-Fikr, t.th ), Juz ke-5, 59-61.
259
pendapat kalangan sahabat. Maka untuk pernikahan dengan mereka
dilarang. Kedua, yang memberlakukan ayat ini, untuk semua jenis
kekafiran (kuffa>r), maka menikahi orang-orang kafir, baik ahl alkita>b atau non ahl al-kita>b, seperti, maju>si, s}a>bi’in, diharamkan,
seperti, yang dianut Ulama Zaidiyah, di antaranya, Ibn Umar dan
Muhammad bin al-Hanafiyah, sementara menurut Jumhur, mereka
menganggapnya, bahwa ayat al-Maidah/5:5 [ ‫والمحصنات من الذين أوتو‬
‫ ] الكتاب‬ini, sebagai ayat yang berstatus tetap, tidak me-nasakh atau
sebagai mansu>kh, maka ulama kalangan sahabat, membolehkan
menikahi wanita ahl al-kita>b, seperti, Huzaifah menikahi wanita
Yahudi atau T}alhah menikahi wanita Nasrani. 38
Dalam hal ini, alasan al-Ra>zi mengutip hadith Nabi S.A.W,
yang melalui riwayat Ja>bir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda :
“ Kita boleh menikahi wanita ahl al-kitab, sedangkan mereka tidak
boleh menikahi wanita-wanita muslim “. Menyinggung tentang
maju>si, Al-Ra>zi mengutip hadith masyhur, bahwa Abdurahman bin
Auf, meriwayatkan, bahwa Nabi Saw mengatakan,“ Perlakukanlah
mereka [maju>si], seperti layaknya ahl al-kitab, dan tidak boleh
menikahi wanita-wanita mereka, dan tidak pula memakan sembelihan
mereka“. Merespon pernyataan tersebut, Al-Ra>zi memiliki dua
pendapat, )1(. Jika diharamkan menikahi wanita maju>si, maka hukum
pengecualian itu, batal, dengan arti, harus dikembalikan kepada
ّ
pemahaman [ ‫يؤمن‬
‫] وال تنكحوا المشركات حتى‬, untuk semua jenis
kemusyrikan, termasuk ahl al-kita>b. Ke-)2(. Bahwa pengharaman itu
untuk semua jenis kemusyrikan, sesuai za>hir ayat, yang dinyatakan
dalam teks [‫] أ ْولئك ي ْدعون إلى ال َّنار‬, sebagai alasan, menunjukkan sifat
orang-orang musyrik, yang slalu mengajak kepada jalan menuju
Neraka. Maka kesimpulan kedua alasan al-Ra>zi itu, seakan-akan
diartikan, “Diharamkan menikahi mereka, karena orang-orang
musyrik yang slalu mengajak ke jalan menuju Neraka, sebagai
sasarannya, tertuju kepada pengikut ahl al-kita>b, baik Yahudi dan
Nasrani, atau non ahl al-kita>b, yaitu, Maju>si dan Sa>bi’in.39
38
Muhammad Ar Rāzi Fakhuddin Ar Rāzi (544-604 H), Tafsīir al-Fakhri
al-Rāzi al-Mushtahīr bi al-Kitāb Al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib (Kairo:Dar al-Fikr,
t.th), Juz ke-5, 62.
39
Muhammad Ar Rāzi Fakhuddin Ar Rāzi ( 544-604 H ), Tafsīir al-Fakhri
al-Rāzi al-Musytahīr bi al-Kitāb Al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib, 62.
260
2. Al-Qurt}ubi (w. 671 H / 1273 M),
Qur’a>n
40
al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-
Pendapat Al-Qurt}ubi mengenai pria muslim menikahi wanita
Maju>si dan S}a>bi’ah, terdapat beberapa athar, yang dikutipnya.
Bahwa Al-Qurtubi menyebutkan pendapat Ibn Atiyah, terkait ayat alBaqarah/2:221, bahwa melalui perkataan Ibn Abbas r.a, ayat ini,
secara umum ditujukan kepada penyembah berhala (wathaniyah),
maju>siyat (wanita maju>si) dan ahl al-kita>b, atau untuk semua
penganut agama, selain Islam. Bahkan, terdapat adanya pendapat
sahabat yang menyatakan, bahwa ayat di atas, sebagai na>sikh
terhadap ayat al-Maidah/5:5, seperti, menurut Ibn Umar. Tetapi
Berbeda dengan ayahnya, Umar bin al-Khattab r.a, yang memisahkan
(meminta menceraikan), T}alhah bin Ubaidillah dan Hudhaifah bin
Yaman di antara kedua istrinya, yang beragama Yahudi dan
Nasrani. 41 Hal itu diusung oleh Ibn Munzir, yang membolehkan
40
Dia adalah Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu
Bakar bin Farkh, Abu Abdullah Al-Anshary, al-Khazraji, al-Qut}ubi, Al-Makhzumi,
al-Maliky, yang biasa dipanggil Abu Abdullah, kemudian ia terkenal dengan
panggilan Al-Qurthubi, kemudian dinisbahkan kepada negara kelahirannya
Cordova Andalusia. Ia pergi ke Mesir dan menetap di Maniyah Bani Khusa’ib
sebelah Utara Asuyuth sampai akhir hayatnya. Guru-gurunya diantaranya adalah
Ibn Rawaj, Ibn Jamizi dan Ibn Muzayyan. Dan Murid-uridnya adalah Syihabuddin
Abu Abbas dan Abu Abdullah Wali. Ia berkepribadian yang unik, seoarng hamba
yang shaleh, rajin beribadah dan berpengetahuan luas, selain ia seorang yang zahid,
sampai kepada puncak kezuhudannya, ia berpergian dengan satu stel pakaian dan
kopiah yang dikenakannya, karena satu niat, hanya untu beribaha karena Allah
semata. Di satu sisi ia juga seorang yang ulet dalam menulis, salah satu karyanya
adalah salah satu kitab tafsir yang sangat bermanfaat, yang dikenal Al-Ja>mi’ Li
Ah}ka>m al-Qur’a>n. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar AlQut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima>
Tad}amanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah,
1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Lihat. Muhammad H}usain al-Dhahabi, alTafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, cet. II, 336337.
41
Diriwayatkan, bahwa Umar memisahkan Thalhah bin Ubaidillah dan
Huzaifah bin Yaman antara dua istrinya yang berasal dari ahl al-Kita>b. Kedua
sahabat itu, berkata : Wahai Amirul mukminin, kami akan menceraikannya, dan
jangan marah. Kemudian Umar berkata : Jika boleh diceraikan, berarti boleh
dinikahinya, tetapi aku memisahkan itu, karena alasan kekwawatiran saja. Dalam
keterangan lain, Ibn Athiyah mengomentari, tentang hadits tersebut, yang tidak
didukung dengan sanad yang baik. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin
Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n
261
pernikahan dengan ahl al-kita>b atas dasar keterangan Umar bin alKhattab tersebut. Dan disetujui pendapat kalangan sahabat, seperti,
al-Nuha>s, yang diakhir keterangan, menyatakan, hal itu berlaku di
awal Islam, dengan keterangan, QS.al-Baqarah/2:221 ini, tidak
berlaku untuk ahl al-kita>b, karena mereka telah dibedakan dengan
status mushri>kat dan al-al-Kita>b, dengan teks QS.al-Baqarah/2:105
[ ‫] مَّايود الَّذين كفروا منْ أهْل ا ْلكتاب ول ا ْلم ْشركين أن ين َّزل عليْ كم مِّنْ خيْر مِّنْ َّربِّك ْم‬,
dan teks QS.al-Bayyinah/98:1[ ‫ل ْم يكن الَّذيْن كفر ْوا منْ أهْل ا ْلكتب وا ْلم ْشركيْن‬
‫] م ْنف ِّكيْن ح َّتى يأْ تيهم ا ْلبيِّنة‬, sehingga teks QS.al-Maidah/5:5,[ ‫وا ْلمحْ صنات من‬
‫] ا ْلم ْؤمنات وا ْلمحْ صنات من الَّذين أوتوا ا ْلكتاب من قبْلك ْم‬,secara khusus diturunkan
untuk ahl al-kita>b. Dengan alasan ayat-ayat tersebut, Jumhur Ulama,
membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b, walau sebelumnya
adalah kafir, kemudian masuk Islam. 42 Al-Qurt}ubi, menjelaskan,
pandangan-pandangan para ulama fiqh yang berbeda, dengan status
pernikahan dengan wanita maju>si. Dan para ulama yang melarang di
antaranya, Imam Ma>liki, al-Sha>fi’ih, Abu Hanifah, Al-Awza’i, serta
Ibrahim bin Ishaq, berkata Imam Ibn Hambal : “ Saya tidak tertarik
dengan pernikahan semacam ini “. Dalam suatu riwayat yang lain,
bahwa Huzaifah bin Yaman, menikah dengan seorang wanita maju>si,
lalu Umar bin al-Khattab meminta untuk menceraikannya. 43 Maka
berdasarkan Keterangn-keterangan para ulama di atas, Al-Qurtubi
menyimpulkan, bahwa QS.al-Baqarah/2:221, telah disepakati para
ulama, yang ditujukan larangan itu kepada wanita watsaniyah
[penyembah berhala] dan maju>siyat [penyembah api], karena Allah
S.W.T, telah menghalalkan pernikahan muslim dengan wanita ahl alkita>b dengan landasan QS. al-Maidah/5:5.44
Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah AlRisa>lah, 1427 H /2006 M ), Cet. I, Juz : 10, 456.
42
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671H), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu
Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M),
Cet. I, Juz : 10, 457.
43
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M),
Cet. I, Juz : 10, 460.
44
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Quthubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet.
I, Juz : 10, 461.
262
Berarti dalam hal ini, jelas, bahwa al-Qurtubi tidak
menyetujui pernikahan dengan wanita Maju>si dan Sa>bi’in.
3. Al-Baid}a>wi ( w.791 H / 1191 M ), Dalam Tafsirnya, Anwa>r alTanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l.
Al-Baid}a>wi menafsirkan QS. al-Baqarah/2:221 ini ditujukan
kepada wanita musyrik. Dengan ayat tersebut juga, ditujukkan semua
kemusyrikan, maka pria muslim dilarang menikahi wanita musyrik,
termasuk ahl al-kita>b, karena berstatus musyrik, bedasarkan QS AlTaubah/9:30-31. Tetapi nampaknya janggal dengan pendapat ini,
karena Al-Baid}awi juga setuju dengan adanya pengecualian,
berdasarkan QS. al-Maidah/5:5, menyetujui pernikahan dengan
wanita ahl-al-kita>b, dengan tanpa syarat, merdeka atau budak sahaya,
dengan alasan, bahwa mereka sebagai hamba Allah. 45 Demikian
prihal Maju>si, meskipun Rasulullah S.A.W meminta untuk
memperlakukan mereka, seperti ahl al-kita>b dalam membayar pajak
(jizyah), namun tetap berlaku larangan pernikahan itu. Hal tersebut,
dilandasi dengan teks hadits Nabi Muhammad SAW,” Perlakukanlah
mereka (maju>si) seperti ahl al-kita>b, dengan tidak menikahi wanita
mereka dan tidak memakan makanan hasil sembelihan mereka.46
Dengan kata lain, sepertinya, al-Baida>wi, ingin menyatakan
maksudnya, bahwa yang dilarang adalah menikahi wanita Maju>si,
sedangkan dalam hal menikahi wanita ahl al-kita>b dibolehkan bagi
yang berstatus muh}s}ana>t (terhormat).
4. Imam Al-Kha>zin ( w. 741 H/1341 M ), Tafsir Luba>b al-Ta’wi>l
Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l (Tafsir al-Kha>zin ).
Menurut Al-Kha>zin, 47 menafsirkan QS. Al-Baqarah/2:221,
bahwa, status al-mushrika>t itu untuk semua jenis kemusyrikan, baik
45
Al-Imam Al-Qa>di Nas}i>ruddin Abu Said Abdullah Abu Umar
Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma
Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l ( Beiru>t : Dar Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz
ke-1, 3,506.
46
Al-Imam Al-Qa>d}i Nas}iruddin Abu Said Abdullah Abu Umar
Muhamma, 297.
47
Ia memiliki nama lengkap Ala>’u al-Di>n Abu> al-Hasa>n Ali bin
Muhammad bin Ibra>him al-Baghdady. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 678 H
bertepatan dengan tahun 1279 M, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama alKhazin. Selain sebagai mufassir, beliau juga seorang yang sufi dan fakih. Ia
pengikut mazhab al-Syafi’iyah. Wafat di Halaba ( Aleppo ) tanun 741 H/1342 M.
263
wathaniyat (penyembah berhala ), maju>si ( penyembah api), bahkan
Yahudi dan Nasrani. Tetapi nampaknya, Kha>zin juga sependapat
dengan Baid}a>wi, yang setuju dengan pengkhususan, yang ditujukan
kepada ahl al-kita>b, yang merdeka (hara>’ir) berdasarkan QS. alMaidah/5:5. Mengutip keterangan dari Ibn Abbas yang memperjelas,
bahwa kata ’muh}s}ana>t’ itu dikhususkan untuk wanita bangsa Arab
penyembah berhala. Sementera menurut Qata>dah menyebutnya,
adalah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Pendapatpendapat tersebut telah disepakati Jumhur Ulama, dengan memberi
stastus musyrik yang masih umum, masuk dalam katagori ahl alKita>b, dan juga para penyembah berhala, baik Maju>si, atau lainnya,
berdasarkan QS. al-Taubah/9:30.48 Dengan kata singkat, bahwa alKha>zin, melarang pernikahan dengan wanita maju>si, sedangkan
dengan wanita ahl al-kitab, dibolehkan atas dasar pengkhususan yang
berstatus muh}s}ana>t.
Kesimpulan dari pendapat ulama-ulama tafsir periode abad
pertengahan I ini, seperti, al-Kha>zin, menyatakan, bahwa menikahi
wanita musyrik haram hukumnya, termasuk, ahl al-Kita>b, Maju>si dan
S}a>bi’in. Kecuali status ahl al-kita>b, yang merdeka atau budak,
apakah Yahudi atau Nasrani dari kalangan penyembah berhala,
bangsa Arab dengan kriteria muh}s}ana>t. Al-Ra>zi jberpendapat ahl alkita>b adalah musyrik, maka menikahi wanita mereka dilarang,
dengan alasan, bahwa status kemusyrikan itu, berlandaskan atas
keyakinan kepada trinitas (tiga tunggal). Sedangkan Al-Qurt}ubi
mengharamkan
permenikahan
dengan
alasan
wathaniyah
Pada malam Jum’at di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat perkuburan
al-Sufiyyah pada hari yang sama. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa
Minhajuhum ( t.t : Wizarah Al-Thaqa>fah Wa Irsha>d Al-Isla>my,1373 H ), 598,
Lihat juga, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo :
Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 220.
48
Terkait dengan kriteria ahl al-kita>b, Ibn Abba>s, menjelaskan, kata
muhsanant berlaku untuk wanita yang merdeka ( hara>’ir ), al-Hasan, al-Sya’bi, dan
al-Nakha’i serta al-D}aha>q setuju dengan wanita terjaga dan terpelihara (afa>’if ),
oleh kerana itu Ibn Abbas melarang pernikahan dengan wanita budak sahaya dari
Ahl akitab, demikian diikuti mazhab Shafi’ih, karena alasan, memiliki dua
kekekurangan, yaitu, berpredikat kufur dan sebagai budak sahaya. Berbeda dengan
mazhab Hanafi membolehkan, karena alasan pelarangan ayat yang masih bersifat
umum. Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bagdadi ( Kha>zin, w. 725 H),
Tafsir al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’ani al-Tanzi>l ( Beiru>t : Da>r
Fikr, t.th ), 147.
264
(penyembah berhala] termasuk, maju>siya>t [penyembah api], sa>bi’ah,
akan tetapi Ia membolehkan pernikahan dengan ahl al-kita>b dengan
alasan, menurut QS. al-Maidah/5:5 telah dihalalkan. Sedangkan alBaid}a>wi, membolehkan pernikahan muslim dengan wanita ahl-alkita>b, dengan tanpa syarat, merdeka atau sebagai budak sahaya,
dengan alasan, mereka sebagai hamba Allah. Maka menurutnya,
perintah larangan menikahi wanita musyrik, termasuk Maju>si dan
S}a>bi’in, tetapi boleh menikahi ahl al-kita>b dengan kriteria yang
muh}s}ana>t (terhormat).
F. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan II
(1500-1800 M)
1. Ibn Kathi>r ( w. 774 H / 1372 M ), Tafsi>r al-Qur’an al-Azi>m.
Menurut Ibn Kathi>r dalam konteks pernikahan beda agama,
terkait penafsiran QS. Al-Baqarah/2:221, Ia mengharamkan orangorang mukmin menikahi wanita-wanita musyrik, penyembah berhala.
Walau pada zahir ayatnya, masih bersifat umum, yang terkandung di
dalamnya masuk wanita [kita>biyah dan wathaniyah]. Walaupun
dalam ayat ini, tidak menyebutkan larangan menikahi wanita ahl alkita>b, karena alasan Allah SWT telah menghalalkan menikah dengan
mereka, berdasarkan firman Allah S.W.T, QS.al-Maidah/5:5. Akan
tetapi dalam hal menikahi wanita maju>si, terdapat isyarat perintah
untuk memperlakukan mereka, seperti memperlakukan ahl al-kita>b
dalam hukum membayar pajak (jizyah), tetapi dalam hukum
menikahi mereka, sudah dinyatakan dengan tegas, tidak dibolehkan
seperti halnya hasil sembelihan mereka. Berbeda dengan nyatanya
yang dipahami Abu Thu>r Ibrahim bin Kha>lid al-Kalibi,[ulama fiqh
Mazhab Shafi’i], demikian juga menurut Imam Ahmad bin Hanbal,
yang dikenal dengan keteguhan pendapatnya, membolehkan menikah
dengan orang maju>si, dengan pedoman pada hadits Nabi S.A.W,
[‫[ ] سنوا بهم سنة أهل الكتاب‬Perlakukanlah mereka (orang-orang
maju>si), seperti, ahl al-kita> ]. Dengan kenyataan ini, kebolehan
menikmati sembelihan mereka, dan menikahi wanita-wanita mereka,
yang didukung dengan hadith Nabi S.A.W, dengan riwayat al-
265
Bukhari, dari Abdurahman bin Auf, bahwa Rasulullah SAW meminta
mengambil upeti (jizyah) dari orang-orang maju>si yang tertawan.49
2. Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( w. 911 H / 1505 M ),Tafsi>r Al-Du>rr
Mantsu>r Fi Tafsi>r Bi Al-Ma’tsu>r
Al-Suyuti (w.911 H), dalam konteks pernikahan dengan
wanita Maju>si dan S}a>bi’in, menjelaskan status QS.al-Baqarah/2:221,
dengan mengutip beberapa riwayat, dari Imam Al-Baihaqi dalam
kitab sunannya, yang bersumber dari Said bin Zubayr, menyatakan,
bahwa maksud wanita musyrik di sini adalah penyembah berhala (ahl
al-Awthan), sedangkan menurut Muja>hid adalah wanita penduduk
Makkah, dan menurut Qata>dah wanita bangsa Arab yang tidak
memiliki kitab suci, berbeda dengan Abdun bin Humaid, mereka
adalah wanita maju>siya>t dan penyembah berhala. 50 Berdasarkan pada
49
Imaduddin Abi Fida’I Ismail Ibn Katsir al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}im
> ( Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurthu>bah, 1421 H/2000 M ), Jilid 5,
Cet. I, 80-81.
50
Dalam riwayat yang bersumber dari Said bin Zubair, menyatakan :
)‫ والبيهقى فى ( سننه‬,) ‫ والنحاس فى ( ناسخه‬, ‫ وابن أبى حاتم‬, ‫ وابن جرير‬, ‫أخرج وكيع‬
‫ يعنى أهل األوثان‬: ‫ت حتَّى ي ُْؤ ِم َّن ) قال‬
ِ ‫ ( وال ت ْن ِكحُوا ا ْل ُم ْش ِركا‬: ‫عن سعيد بن جبير فى قوله‬
.
Di sampaikan oleh Waqi’, dan Ibn Jarir, dan Ibn Abi Hatim, dan AlNuhas di dalam kitabnya ( al-Nasikh ), dan al-Baihaqi dalam kitabnya (al-Sunan ),
dari Said bin Jubair, terkait firman Allah ( Wala> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta
Yu’minna ), Said bin Zubair, berkata : yaitu para penyembah berhala. Riwayat
yang bersumber dari Mujahid, menyatakan :
‫ت حتَّى ي ُْؤ ِم َّن‬
ِ ‫ ( وال ت ْن ِكحُوا ا ْل ُم ْش ِركا‬: ‫ عن مجاهد‬, ‫ والبيهقى‬, ‫ وعبد بن حميد‬, ‫وأخرج أدم‬
ّ
. ‫أحلهن نساء أهل الكتاب‬
‫ نساء أهل الكتاب مكة من المشركين و ثم‬: ‫) قال‬
Di sampaikan oleh Adam, dan Abdun bin Humaid, dan Al-Baihaqi, dari
Mujahid ( Wala> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna ), berkata : adalah wanita
ahl al-Kitab penduduk kota Makkah yang musyrik, lalu dihalalkan wanita ahl alkitab. Dari riwayat yang bersumber dari Qatadah, menyatakan :
) ‫ت حتَّى ي ُْؤ ِم َّن‬
ِ ‫ ( وال ت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِركا‬: ‫ عن قتادة‬, ‫ وعبد بن حميد‬, ‫وأحرج عبد الرزاق‬
. ‫ مشركات العرب الالتى ليس لهن كتاب‬: ‫قال‬
Dan dikeluarkan oleh Abu Rizaq, dan Abdun bin Humaid, dari Qatadah
(Wala> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna ), berkata : adalah wanita mushrik
Arab yang tidak mempunya kitab suci. Sedangkan dari Abdu bin Humaid dengan
sumber Hammad, menyatakan :
: ‫ سألت إبراهيم عن تزويج اليهودى والنصرانى فقال‬: ‫أخرج عبد بن حميد عن حماد قال‬
‫ إنما ذالك‬: ‫ (ول ت ْنكحوا ا ْلم ْشركات ح َّتى ي ْؤمنَّ ) قال‬: ‫ أليس هللا يقول‬: ‫ فقلت‬.‫ل بأس به‬
. ‫المجوسيات و أهل األوثان‬
266
periwayatan-periwayatan tertsebut, yang merupakan sumber awalnya
dari Ibn Abba>s r.a yang disampikan Ibn Jari>r dalam tafsirnya, tentang
pelarangan yang masih bersifat umum dalam menikahi musyrika>t,
terkecuali, ahl al-kita>b, berdasarkan QS.al-Maidah/5:5, yang telah
jelas dihalalkan status pernikahannya. 51
3. Al-Alu>si (w. 1270 H ), dalam tafsirnya, Tafsir Ru>h al-Ma'a>ni Fi
Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni
Al-Alu>si telah menjelaskan status pernikahan laki-laki
muslim menikahi wanita musyrik, selain ahl al-Kita>b yang
dibolehkan menurut QS.al-Maidah/5:5.52 Menurut riwayat alA’Mashy, bahwa ayat di atas merupakan pelarangan menikah
dengan wanita-wanita musyrik selain ahl al-kita>b, karena firman
Allah S.W.T dalam QS.al-Bayyinah/98:1[ ‫ل ْم يكن الَّذيْن كفر ْوا منْ أهْل ا ْلكتب‬
‫] وا ْلم ْشركيْن م ْنف ِّكيْن ح َّتى يأْ تيهم ا ْلبيِّنة‬, menjelasakan kedudukan at}af, yang
statusnya membedakan antara al-musrikat dan ahl al-kitab, maka
menurut QS.al-Baqarah/2:221, berlaku larangan menikahi wanita
musyrik dan boleh menikahi wanita ahl al-kita>b menurut QS. AlMaidah/5:5. Pendapat Ibn Humaid menyatakan, yang bersumber dari
Qata>dah, bahwa, al-Mushrikat di sini adalah wanita bangsa Arab
yang tidak memiliki kitab suci. Diperkuat dengan riwayat Hamma>d
yang bertanya kepada Ibrahim bin Ishaq mengenai hal menikahi
wanita Yahudi dan Nasrani, lalu dijawab oleh Ibrahim, tidak apa-apa
(boleh), lalu berkata lagi lagi, bukankah Allah telah melarangnya
Dikeluarkan Abdun bin Humaid dari Hammad, berkata : aku bertanya kepada
Ibrahim tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, ia berkata : boleh ( la
ba’tsa). Bukankah Allah telah berfirman : Janganlah kamu menikahi wanita
musyrik, hingga ia beriman, kemudia Ibrahim mengatakan, mereka adalah wanita
majusi dan penyembah berhala. Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>r alManthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)
(Kairo:Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424
H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 563.
51
Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )( Kairo : Markaz Hijr Li
a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I,
Juz ke-8, 562.
52
Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Azi>m Wa Sab’u al-Matha>ni
(Beiru>t : Ida>roh al-T}aba>’ah Al-Muni>riyah Da>r Ihya’ al-Tura>th Al-Arabi, t.th ), Juz
ke- 2, 118.
267
dengan firman-Nya, ” [ْْ ‫] والْتنكحوا ْالمشركاتْ؟‬. Ibrahim menjawab, hal
itu berlaku hanya untuk wanita Maju>si dan penyembah berhala.53
Berdasarkan keterangan-keterangan disimpulkan, penafsiran
ulama-ulama salaf abad pertengahan II ini, menurut Ibn Kathi>r,
mengharamkan orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita
musyrik, penyembah berhala, maju>si dan s}a>bi'in, tetapi boleh
menikahi wanita ahl al-kita>b, demikian
menurut Al-Suyu>t}i,
walaupun larangan itu masih bersifat umum, dengan kriteria almushrika>t, tetapi dikecualikan ahl al-kita>b yang boleh dinikahi.
Sedangkan al-Alu>si, melarangn menikahi wanita maju>si dan
penyembah berhala, dan membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b
(Yahudi dan Nasrani ).
G. Perspektif Ulama Tafsir Modern-Kontemporer
Beberapa ulama tafsir yang muncul di sekitar abad modern ini
[di mulai sejak tahun 1800 M], yang antara lain, Rashi>d Rid}a> (w.
1354 H/1935 M), Al-Mara>ghi (w. 1371 H/1945 M), Sayyid Qutub
(w. 1386 H/1966 M ), Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M ), Abu al'Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Syeikh Mohammad Shaltu>t (w. 1963
M), dan sebagainya. Namun dalam kajian ini, tidak membahas semua
karya yang muncul abad ini, akan tetapi untuk mewakili pandangan
mereka disebutkan beberapa para mufassir di antara, yaitu:
1. Muhammad Rashi>d Rid}a ( 1282-1354 H/1865-1935 ), dalam
kitabnya, Tafsir Al-Mana>r.
Rashid Rid}a> sependapat dengan al-Alu>si, yang menyatakan,
bahwa keterangan al-Suyuti berbeda dengan al-Wa>hidi, yang
ditujukan kepada Abu Marthad. Dalam penelitian Rashi>d Rid}a,
membenarkan, jalur yang disampaikan al-Suyu>t}i yang bersumber dari
Ibn Abbas r.a, mengenai maksud larangan QS.al-Baqarah/2:221, yang
ditujukkan kepada Abu Marthad, mengenai larangan menikahi wanita
musyrik, walau berbeda dengan kasus yang terdapat dalam ayat alNu>r/24:3[ ‫] الزاني الينكح إال زانية أو مشركة‬, terhadap kasus perbuatan zina,
53
Abu Fadl Shihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alu>si al-Baghdadi
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}im
> Wa Sab’u al-Matha>ni
( Beirut : Idarah al-T}aba’h Al-Muni>riyah Dar Ih}ya’ al-Turath Al-Arabi, t.th ), Juz
ke- 2, 118.
268
yang ditujukan mengenai Abdullah bin Rawahah.54 Rashi>d Rid}a> juga
setuju dengan sejumlah pendapat, yang mengatakan, bahwa almushrika>t dalam QS.al-Baqarah/2:221, ditujukan selain ahl al-kita>b
yang bukan Arab, walaupun hal itu berbeda pandangan dengan
mayoritas ulama, yang memasukan kriteria, orang-orang Arab yang
tidak memiliki kitab suci, dengan landasan QS. Al-Baqarah/2:105
dan QS. Al-Bayinah/98:1, sehingga, wanita musyrik dalam surat alBaqarah dimaksudkan mencakup ahl al-kitab dan non ahl al-kita>b. 55
Dalam hal menikahi wanita Maju>si, menurut pendapat
Rashi>d Rid}a> merupakan pelarangan yang masuk dalam katagori
musyrik yang tidak memiliki kitab suci, walaupun berbeda yang
dimaksudkan sebagian ulama Fiqh, masuk dalam kriteria ahl alkitab, atas dasar QS. Al-Hajj/22:17, hanya saja dalam hal membayar
pajak (Jizyah).56 Rashi>d Rid}a> nanpaknya, tidak cukup sampai disitu,
tetapi memperluas cakupan ahl al-Kita>b, dengan memasukan para
penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani, seperti, agama Budha
dan Hindu.57 Karena beralasan, bahwa kriteria al-Mushrika>t
(penyembah berhala) ditujukkan kepada wanita-wanita Bangsa Arab,
sebagaimana menurut pendapat yang dipilih oleh Al-T}abari.
Disamping itu, dinyatakan pula oleh Rashi>d Rid|a, bahwa pada
dasarnya semua penganut agama yang ada, sampai saat ini, adalah
ahl al-kita>b, karena pada setiap umat pasti diturunkan seorang rasul
54
Al-Suyu>t}i menyebutkan, ayat al-Nur/24:3, dipahami dua sebab riwayat
diturunkannya, Pertama, ditujukan kepada seseorang laki-laki yang ingin menikahi
seorang wanita yang disebutkan namanya Ummu Mahzul, karena pelaku perbuatan
zina, (dalam riwayat al-Nasa’i), yang kedua, disebutkan ditujukan kepada
seseorang bernama Mazid ( kemudian diralat, melainkan namanya Marsad ) yang
ingin menikahi wanita musyrik yang dicintainya di Makkah, bernama Anaq atas
sebab perlaku zina ( dalam riwayat Abu Daud, Al-Tirmizi, al-Nasa’i, dan al-Ha>kim
dari sumber Amr bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya. Walhasil ternyata
kasus semacam ini banyak di masa Jahiliyah, namun ayat tersebeut secara umum
diturunkan kepada mereka ( masih dalam satu rangkaian, terhadap individu yang
berbeda, pada kasus yang sama dalam waktu yang sama pula). Al-Sayyid
Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r alMana>r (Beiru>t : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Jilid 6, 280-281.
55
Al-Sayyid Muhammad Rashid Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 281
56
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r 281.
57
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, 28.
269
yang membawa risalah atau kitab samawi. Karena lamanya waktu,
kemudian terjadi beberapa penyelewengan atas ajaran serta isi kitab
suci tersebut, sebagaimana juga terjadi pada agama Yahudi dan
Nasrani.58 Maka menurut Rashi>d Rid}a>, dengan mempertimbangkan
penggunaaan kaidah, asal segala sesuatu adalah boleh. Kaedah
tersebut, merupakan kebalikan dari kaidah yang masyhur di kalangan
ulama, yaitu bahwa, asal segala sesuatu itu adalah haram".59
Walaupun demikian, Rashid Rida}, tetap tidak sepakat, dengan
perkawinan yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Islam dengan
para wanita ahl al-Kita>b, khususnya yang terjadi di belakangan ini,
para lelaki muslim menikah dengan wanita-wanita Eropa. Karena
dikhawatirkan para wanita tersebut, dengan pengetahuan yang
minim dan kecantikannya, akan menjerumuskan orang-orang Islam
yang karena kebodohan serta kelemahan akhlaknya, terpikat oleh
mereka. Dalam hal ini, akan dapat menimbulkan fitnah. Padahal
mencegah kerusakan (saddu al-dhazi>'ah) wajib hukumnya dalam
Islam.60
58
Sebuah pernyataan, dikatakan, bahwa cakupan ahl al-kitab, meluas
kepada penganut selain ahl al-kitab, sebagaimana yang dilontarkan Abu Mansur
Abdul Qahir bin T}ahir al-Baghda>di ( w. 429 H ), dalam kitab al-Fira>q Baina alFira>q yang dikutip Rashi>d Rid}a> dalam al-Mana>r. Dalam hal ini, menyatakan,
Orang-orang Yahudi mengakui kenabian Zarathustra, dan turunnya wahyu dari
Allah kepadanya. Sedangkan orang-orang S}a>bi'in, mengakui kenabian Hermes,
Ilyas, Dauritos, Plato, dan beberapa filosof. Demikian juga umat-umat yang
lainnya, masing-masing mengakui turunnya wahyu tersebut memuat prihal,
larangan, berita tentang siksa, maut, pahala, serta surga dan neraka, yang
merupakan balasan bagi perbuatan yang telah dilakukan. Al-Sayyid Muhammad
Rashi>d Rid}a,> Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r , 6, 253.
59
Kaidah sebagaimana dimaksud di atas, Al-Aslu Al-‘Iba>hah Fi Kulli
Sha'i, H}atta> Yarudda al-Nas} bi H}azrihi, Pada saat bersamaan Rashi>d Rida}
menyebutkan kaidah, yang masyhur di kalangan ulama, bahwa asal perkawinan
adalah haram (Al-Aslu fi> al-Nika>h al-H}urmah ), walaupun pada dasarnya, asal
segala sesuatu adalah boleh ( Al-Aslu fi> Sa>iri al-Ashya' al-Iba>hah ). Jika demikian
sama halnya pendapat mayoritas Ulama, maka harus ada nas} yang membolehkan
suatu perkawinan. Lihat. Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rida}, Tafsi>r Al-Qur’a>n alH}aki>m al-Masyhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ),
Jilid 6, 157.
60
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 159.
270
2. Al-Mara>ghi ( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), Dalam Tafsir Al-
Mara>ghi
Pendapat Al-Mara>ghi mengenai pernikahan pria muslim dengan
wanita Maju>si atau S}a>bi’ah, yang dipahami menurut QS.alBaqarah/2:221, Ia menyatakan larangan menikahi wanita musyrik,
yang dipahami dalam teks, ” Janganlah menikahi wanita musyrik
yang tidak memiliki kitab suci, hingga ia beriman dan membenarkan
kenabian Muhammad S.A.W ”.61 Al-Mara>ghi melarangan pria non
muslim menikahi wanita muslimah, karena alasan, kurangnya
kafa>’ah (kesempurnaan). Sedangkan dalam hal menikahi wanita
yang berstatus ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), telah
diperbolehkan bedasarkan QS. al-Ma>idah/5:5, karena beralasan,
untuk menjalin hubungan baik dengan non muslim, menciptakan
dakwa Islam, selain menyatukan hubungan dua individu yang
berbeda agama dalam sebuah ikatan pernikahan.62
3. Muhammad Sayyid Qutb (1326-1386 H)/(1906-1966 M), dalam
kitabnyaTafsi>r Fi> Z}ila>l Al-Qur’a>n
Penafsiran Sayyid Qutb dalam konteks QS. al-Baqarah/2:221 ini,
sebagai bentuk pelarangan pria muslim menikahi wanita musyrik atau
sebaliknya larangan non-muslim menikahi wanita muslimah.
walaupun tidak secara tegas, siapa status yang dimaksudkan Maju>si
dan S}a>bi’in. Tetapi, bisa dipahami dengan turunnya ayat al-Baqarah
tadi, sebagai larangan pernikahan antara muslim dengan orang ka>fir
(musyrik) yang pernah terjalin, bahkan Peristiwa Hudaibiyah [6H],
sebagai solusi awal, memperbaiki tatanan kehidupan, dilarangnya
menjalin hubungan pernikahan dengan orang musyrik. Lalu dengan
turunnya QS.al-Mumtahanah/60:10 ini, yang sekaligus, menjelaskan
status putusnya hubungan pernikahan dengan mereka, yang pernah
terjalin, bertujuan demi mengangkat derajar manusia, di atas derajat
makluk lainnya.63 Akan tetapi Sayyid Qutb menyetujui pernikahan
61
Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-H}alabi Wa Awla>duhu, 1365 H / 1945
M ), cet. I, 151.
62
Ahmad Musthafa Al-Maraghi,Tafsir Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Must}afa Al-Ba>bi al-H}alabi Wa Awla>duhu, 1365 H / 1945
M ), cet. I, 153.
63
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah
Wa Nashr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 177.
271
dengan wanita, yang berstatus merdeka atau budak sekalipun, karena,
menurutnya, bahwa status yang beriman, adalah tinggi dan mulia
derajatnya, [ ‫] وألمةة مؤمنةة خيةر مةن مشةركة‬.64 Walau demikian, Ia tetap
menyetujui pernikahan dengan ahl al-Kita>b yang berbeda keyakinan,
karena menurutnya, Islam dan mereka memiliki latar belakang akar
akidah yang sama. Tetapi Sayyid Qutb tidak menyetujui, jika ahl alkita>b itu adalah orang-orang yang berkeyakinan kepada trinitas,
bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga (QS. al-Maidah/5:73),
disebutkan bahwa, Allah sebagai al-Masih putra Maryam ( QS.alMaidah/5:72 ), atau sebagai Uzair putra Allah, ( QS al-Taubah/9:31),
yang berbeda menurut Jumhur sebagaimana menurut QS. alMaidah/5:5. Berdasarkan hadits yang riwayat Al-Bukhari, bahwa
Abdullah bin Umar berkata : “ Saya tidak melihat kemusyrikan yang
lebih besar, dari perkataan wanita, bahwa Tuhannya adalah Isa “.
Maka Sayyid Qutb setuju dengan landasan hadith ini, maka status
pernikahan dilarang sejalan dengan pendapat Ibn Umar. 65
4. Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni ( w. 1406 H / 1986 M ), Tafsi>r Aya>t
Al-Ahka>m Min al-Qur’a>n
Penafsiran Ali Al-S}a>bu>ni membenarkan seorang muslim
menikahi ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani], sebagaimana
kesepakatan pendapat Jumhur Ulama, yang dengan menambah syarat
dengan status sebagai zimmi,[QS. al-Maidah/5: 5]. Dan Ia setuju
dengan pelarangan terhadap pria muslim menikahi wanita Maju>si dan
penyembah berhala, 66 walaupun besebrangan menurut pendapat Ibn
Umar r.a tentang pernikahan semacam ini, atas alasan teks QS.alBaqarah/2:221, selain itu juga beranggapan bahwa orang-orang
musyrik adalah musuh Islam menurut QS.al-Mumtahanah/60:1.67
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, mengkritik alasan pendapat Ibn Umar r.a
yang berbeda berpandangan dengan mayoritas ulama, walaupun
hanya, ingin menyatakan, bahwa atas alasan kekwawatiran saja, yang
64
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an ( Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah
Wa Nashr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 177.
65
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an ( Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa
Nashr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 178.
66
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ahka>m Min al-Qur’a>n
(Beiru>t : Da>r Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999 ), cet. I, 203.
67
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ahka>m Min al-Qur’a>n
(Beiru>t : Da>r Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999 ), cet. I, 384.
272
berakibat buruk terhadap langgengnya pernikahan, dan munculnya
banyak fitnah. Dari sisi lain menurut al-Sa>buni, cinta dan kebahagian
akan tumbuh setelah pasca pernikahan, dengan besarnya cinta
membuat lengah, dan pakta dilapangan membuktikan, sebagian
wanita lebih banyak berperan, termasuk perihal mendidik anak, akan
mungkin dalam hal keyakinan, atau mungkin menjadikan mereka
Yahudi atau Nasrani. Jika demikian alasannya, maka menurut Ali AlS}a>bu>ni, batal status pernikahan semacam ini, atau membolehkan
pernikahan dengan mengabaikan dampak yang akan mungkin
terjadi. 68
Sebagai kesimpulan, menurut penafsiran ulama-ulama tafsir
modern-kontemporer abad ini, (1). Menurut Muhammad Rashid
Rida, menyatakan menikahi wanita Maju>si, merupakan hal yang
dilarang, karena termasuk katagori musyrik yang tidak memiliki
kitab suci, walaupun itu boleh masuk dalam kriteria ahl al-kita>b,
yang hanya dalam hal membayar pajak (Jizyah). Bahkan, Rid}a
memperluas cakupan a> hl al-kita>b, dengan memasukan para penganut
agama selain Yahudi dan Nasrani, seperti, agama Budha dan Hindu,
dengan alasan kriteria al-Mushrika>t (penyembah berhala) ditujukkan
kepada wanita-wanita Bangsa Arab saja. (2).Al-Maraghi mengenai
pernikahan pria muslim dengan wanita Majusi atau Sabi’ah sesuatu
hal yang dilarang, dengan alasan, karena paham QS.al-Baqarah/2:
221, adalah wanita musyrik (3). Sedangkan Sayyid Qutb sependapat
dengan pendapat Ibn Umar r.a, yang menyatakan, bahwa Ahl alKitab, Majusi serta Sabi’in adalah musyrik, maka dilarang menikahi
dari wanita-wanita mereka,(4), al-Shabuni, membolehkan seorang
muslim menikah dengan ahl al-kitab[Yahudi dan Nasrani],
sebagaimana menurut Jumhur, dengan tambahan syara yang berstatus
Zimmy,berdasarkan [QS. al-Maidah/5:5], dengan tidak menyetujui
pria muslim menikah dengan wanita Majusi dan penyembah berhala,
karena alasan mereka musyrik.
5. Abu Al-‘Ala> Al-Mawdu>di ( w. 1979 M ), Tafsir Tafhi>m alQur’an
Tanpaknya menurut al-Maudu>di, sebagaimana dikutip Abdul
Muta’al terkait pernikahan dengan orang maju>si dan sa>bi’ah, bahwa
68
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Beiru>t : Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999), cet. I, 384.
273
penyembah berhala dan kaum atheis adalah kelompok orang yang
amat jauh dari agama Islam, baik peradaban dan kepercayaan. Maka
secara mutlak haram menikahi salah satu di antara wanita mereka. 69
Tanpaknya pendapat tersebut, sesuai dengan Jumhur Ulama, yang
menyatakan bahwa, wanita musyrik [al-mushrika>t] bukan hanya
terbatas pada wanita bangsa Arab saja, melainkan mencakup semua
wanita musyrik non-Arab dimanapun mereka berada. Dengan kata
lain, semua wanita, baik bangsa Arab atau non-Arab selain Ahl alKita>b [Yahudi dan Nasrani ] tidak boleh dinikahi. Dan menurut
pendapat ini, wanita yang non muslimah dan yang bukan pula Yahudi
atau Kristen tidak boleh dinikahi oleh pria muslim apapun agama dan
kepercayaan mereka, seperti, agama Budha, Hindu, Konghuchu,
Maju>si, karena mereka termasuk katagori musyrik.70
6. Muhammad Shaltut ( 1893-1963 M ).
Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang sesuai dengan
keserasian pandangan dan cita-cita, menyatukan perasaan (cinta),
karena sesuai dengan tujuan pernikahan, yang membawa kehidupan
berkeluarga dengan landasan, mawaddah dan rahmah.71 Dalam
beberapa fatwahnya, Muhammad Shaltut setuju dengan pendapat
para ulama, yang membolehkan pernikahan dengan wanita ahl alkita>b, seperti yang dimaksudkan ayat 5 surat al-Maidah, tanpa
memandang, status maju>si, atau s}a>bi’ah dan sebagainya, tetapi karena
hal itu telah disepakati keharamannya, sesuai QS. al-Baqarah/2:221.72
Nampaknya, Shaltut tidak melihat siapa yang membenarkan, dan
siapa yang menolak pernikahan semacam ini, melainkan terletak pada
pandangan, bagimana ulama memahami mas}dar al-tashri>’i
[sumber hukum Islam]. Karena dalam pernikahan, suami sebagai
pemimpin keluarga, dan layaknya, sebagai pemimpin membawa
keluarga, kepada kehidupan yang berprilaku Islami. Jika demikian,
69
Saifuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan
Kontemporer ( Jakarta : Intirmedia, 2004), 8.
70
Saifuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan
Kontemporer ( Jakarta : Intirmedia, 2004), 7.
71
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Dar Shuru>k, 1405 H / 1987
M ), Cet. Ke-14, 238.
72
Muhammad Shaltut, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah, 239.
274
dibolehkannya pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, selain satu
harapan dapat menjadikan keluarga teladan, sang suami mencintai
ajaran yang dibawa rasulnya, ajaran yang dibawa nabi-nabi, cinta
damai dan kasih sayang, sebagai contoh buat sang istri, dan toleransi
kebebasan beragama yang disandangnya, tanpa harus memaksakan
terhadap keyakinan mereka, sebagai bentuk sama>hah (toleransi)
dalam Islam, yang menjadi hikmah dibalik kebolehan pernikahan
dengan wanita ahl al-kita>b, yang menurut ulama sebagai penerapan
ajaran tasyri' ini.73 Tetapi tidak menjadi kendala, jika pelarangan itu,
bagi seorang muslim, berbeda dari apa yang dimaksud dari harapkan
ulama yang membolehkan, yaitu, sang suami lemah dan bodoh,
mengikuti toleransi sang istri, bertentangan dengan akidah, berprilaku
tidak Islami, seperti, ikut ke Gereja bersama-sama, bahkan tidak
dapat membedakan, antara yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan
Islam, bahkan berdampak buruk dalam kehidupan keluarga dan anakanak mereka. Maka kondisi pernikahan seperti ini, bertentangan
dengan ajaran Islam, bahkan berdampak lebih buruk lagi, membawa
prilaku kemusyrikan hingga kemurtadan dalam keluarga. Maka
pernikahan semacam ini, dapat menjadi haram.74
Kesimpulan perspektif ulama-ulama tafsir
modernkontemporer di abad ini, di antaranya, menurut al-Mawdu>di, haram
menikahi wanita al-maju>si dan al-s}a>bi’in, penyembah berhala dan
kaum atheis, karena mereka dipandang musyrik. Demikian juga
menurut Muhammad Shaltut membolehkan pernikahan dengan
wanita ahl al-kita>b, dan mengharamkan wanita maju>si dan s}a>bi’ah,
karena alasan mereka musyrik.
H. Penafsiran Ulama-Ulama Tafsir Indonesia dan Cendekiawan
Muslim
Di antara para Mufassir Indonesia yang turut andil dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terkait pernikahan beda agama ini,
di antaranya, Mahmud Yunus (w. 1399 H/1982 M), Hamka, Haji
Abdul Malik AbdulKarim Amrullah (w.1981M), dan Muhammad
73
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Musykila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Dar Syuruk, 1405 H / 1987
M ), Cet. Ke-14, 240.
74
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Dar Shuru>k, 1405 H/1987
M), Cet. Ke-14, 240.
275
Quraish Shihab serta Sarjana dan Para Cendekiawan Muslim
Indonesia lainnya.
1. Hamka (w. 1981 M), Tafsir Al-Azhar, 1973
Setelah Hamka75 menjelaskan, status halalnya pernikahan
antara pria muslim dengan perempuan muslimah, di halalkan pula
mengawini perempuan ahl al-kita>b menurut QS.al-Maidah/5:5
dengan ketentuan telah membayar mahar mereka. Hamka, memberi
kriteria, ahl al-kita>b adalah Yahudi dan Nasrani, tanpa harus masuk
Islam terlebih dahulu, karena ajaran Islam tidak ada paksaan,
sebagaimana dijelaskan dalam QS.al-Baqarah/2:256 [ ‫] آلَإِك َراَْه ْفِي ْال ِّدين‬.
Karena keluasaan Islam terhadap faham tasa>muh (toleransi) dan
dalam kedua ayat tersebut, kebolehan memakan sembelihan ahl alkita>b dan boleh mengawini perempuan mereka. 76 Walau dalam
tafsirnya, Hamka tidak menyinggung kriteria maju>si atau s}a>bi’ah 77
karena mereka telah jelas, status keyakinan mereka, sebagaimana
menurut QS.al-Baqarah/2]:221, dan mereka adalah musyrik, maka
diharamkan menikahi di antara wanita mereka. Hamka mengutip
asba>b nuzu>l, pelarangan pernikahan seorang sahabat yang benama
Marthad al-Ghaznawi, yang tertarik ingin menikahi wanita musyrik,
lalu turunlah ayat tersebut.78
Dalam hal ini, Hamka cenderung kepada bentuk pernikahan
yang ideal, yaitu perintah berhati-hati dalam memilih pasangan
hidup, karena isteri adalah teman hidup, membantu, menegakkan
rumah-tangga yang bahagia yang penuh cinta dan kasih sayang
karena iman, mewariskan generasi yang salih dan salihah. Karena
75
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di
Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, 17 Safar 1296 H/ 10
Februari 1879 M. Ia sorang Ulama besar abad ke-20 yang berasal dari
Minangkabau. Ayah dari Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),
semasa kecilnya, ia diberi nama Muhammad Rasul. Ibunya bernama Tarwasa
(w. 1943 M). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), cet. ke-2,15-18.
76
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 144.
77
Lihat. Pengertian Maju>si dan al-s}a>bi’ah, Muhammad Quraish Shihab,
Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata )(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I,
890-891, 560-561.
78
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ),
Juz 1-3, 193.
276
perkawinan yang bahagia, adalah yang dibangun atas dasar keyakinan
yang sama, dan karenanya, menurut Hamka, perkawinan harus
ditegakkan atas dasar kafa>’ah [kesempurnaan], baik laki-laki maupun
perempuan, yang memiliki pokok dasar, persamaan tujuan,
kepercayaan dan anutan agama. 79 Berdasarkan ayat di atas, orang
Islam tidak kufu' dengan segala prilaku orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan, sehingga tidak boleh dilengahkan, karena
rumah tangga yang kokoh dibangun atas dasar iman yang kokoh pula,
sehingga pernikahan bercita-cita, bahagia di dunia dan akhirat, serta
maghfirah-Nya, menjadikan rumah tangga yang ideal dan bahagia,
karena persamaan menuju ridha Allah.80 Kemudian datanglah
perintah, yang meringankan, pria muslim boleh menikahi perempuan
ahl al-kita>b QS./5:5, baik Yahudi dan Nasrani, karena mereka
memiliki persamaan ajaran dengan Islam, sebagaimana ajaran yang
mengakui adanya Tuhan Yang Esa.81
2. Muhammad Quraish Shihab (Tafsir Al-Misba>h, 1990 M)
Pandangan Quraish Shihab tentang pernikahan beda agama
sama dengan pandangan mayoritas ulama, baik mengenai kriteria
maju>si atau al-s}a>bi’in.82 Menurut tafsirnya [tafsir al-Misbah],
terdapat banyak keterangan-keterangan yang mendukung pemahaman
konteks ini, yang secara tegas al-Qur’an melarang perkawinan pria
muslim dengan wanita musyrik berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221.
79
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 193-194 .
80
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 195.
81
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982),
Juz 1-3, 195.
82
Antara al-Sa>bi’un dan al-Maju>si, Sayyid Sa>biq, mengatakan, bahwa
S}a>bi’un adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak
memiliki agama. Sedangkan Maju>si, mengutip pendapat pendapat Ibn Munzir,
bersepakat tidak menikahi maju>si juga tidak memakan sembelihan mereka, karena
mereka tidak memiliki kitab suci, bahkan tidak mengimani kepada para nabi-nabi,
selain mereka menyembah api, bahkan Imam Sha>fi’ih, menyatakan mereka bukan
ahl al-kita>b, berdasarkan riwayat, Bahwa Umar bin Khattab menyebutkan maju>si,
lalu berkata : apa yang aku lakukan terhadap mereka ? berkata Abdurahman bin
Auf, ketika mendengar Rasulullah bersabda : Perlakukanlah mereka seperti, ahl alkitab ( dalam hal pajak ). Menurut al-Shafi’ih, jelas bukti, mereka bukan ahl alkitab. Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah ( Kairo : Al-Fath al-I’lamy Al-Arabi, 1365 H),
68-69.
277
Pertanyaannya, siapakah yang dimaksudkan maju>si dan al-s}a>bi’in,
dan bagimana status mereka ? Menurut Quraish Shihab berdasarkan
QS.al-Maidah/5:5 ini, membolehkan pria muslim menikahi wanita
ahl al-Kita>b (penganut agama Yahudi dan Kristen). Karena,
menurutnya, definisi kata syirik adalah mempersekutukan sesuatu
dengan sesuatu. Dalam pandangan Islam, seorang musyrik adalah
yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang
melakukan suatu aktivitas yang bertujuan ganda, yang pertama
kepada Allah dan yang kedua, kepada selain Allah. Dengan
demikian, semua yang mempersekutukan Allah dari sudut tinjauan
ini, adalah musyrik. Sebagaimana orang Kristen percaya tentang
trinitas, mereka adalah musyrik dari sudut pandangan ayat alBaqarah 221 ini. Namun demikian, ulama-ulama al-Qur’an, telah
melahirkan beberapa pandangan hukum, yang menurut pengamatan
mereka, kata mushrik atau al-mushrika>t, yang digunakan al-Qur’an
untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah, mereka
adalah para penyembah berhala, ketika turunnya ayat masih sangat
banyak, khususnya yang bertempat tinggal di Makkah. Dengan
demikian, istilah Al-Qur’an tentang musyrik berbeda dengan istilah
keagamaan di atas. Walaupun penganut agama Kristen percaya
kepada Tuhan Bapak dan Tuhan Anak yang oleh agama Islam dinilai
sebagai orang-orang yang mempersekutukan Allah, namun Al-Qur’an
tidak menamai mereka sebagai musyrik, tetapi menamai mereka
dengan sebutan ahl al-kita>b. 83
Mayoritas ulama kalangan sahabat tetap berpegang kepada
teks yang membolehkan perkawinan semacam ini. Walaupun mereka
berkeyakinan, bahwa, aqidah ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen
tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi al-Qur’an tidak
menamai mereka menganut Kristen atau Yahudi sebagai orang
musyik, bedarkan firman Allah QS.al-Bayyinah/98:1.84 Melainkan,
dalam pandangan Quraish Shihab, dengan membedakan antara dua
pengertian orang kafir, yaitu, (1). Ahl al-Kitab dan (2). Al-Mushrikin.
Dari perbedaan kedua pengertian itu, karena atas pemahaman huruf
‘wa>wu’ yang diterjemahkan “ dan “, yang menurut ulama bahasa,
sebagai ungkapan yang mengandung makna menghimpun dua hal
83
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), Volume 14, cet. I, 442.
84
Muhammad Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i
Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1996), cet. Ke-III, 196.
278
yang berbeda. 85Dan bagi alasan yang melarang, sebagaimana
diisyaratkan menurut teks QS.al-Baqarah/2:221, akan berharap,
melahirkan suatu ketentraman (saki>nah ) dalam keluarga. Sedangkan
alasan bagi yang membolehkan, menurut QS.al-Maidah/5:5, bahwa
perempuan u>tu al-kita>b (ahl al-Kitab), walaupun boleh dinikahi,
namun bukan sebagai jalan keluar yang mendesak ketika saat itu,
melainkan karena, seorang muslim mengakui bahwa, Isa a.s adalah
Nabiyallah, pembawa ajaran agama, sehingga pria yang biasanya
lebih kuat dari kaum wanita (jika beragama Islam), maka dapat
mentoleransi dan mempersilahkan wanita ahl al-kita>b menganut dan
menjalankan syariat agamanya menurut QS. Al-Ka>firun/109:6. Akan
tetapi berbeda dengan ahl al-Kita>b yang tidak mengakui Muhammad
SAW sebagai nabi, menurut Quraish Shihab, dengan menyebutkan
macam-macam kafir selain yang lima, yaitu kufr al-Shirk [ ‫] كفر الشرك‬,
yakni, menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya atau menyembah
selain Allah (mengingkari ke-Esaan Allah),86 atau pemahaman yang
dimaksudkan sebagai perdustaan, yaitu dusta terhadap Allah dan
Rasul-Nya, yaitu lawan dari pembenaran (tasdi>q), sebagaimana
dipahami kalangan ahl al-Sunnah Wal Al-Jama>’ah.87 Jika, dipahami,
maksud ka>fir dalam konteks pernikahan semacam ini, berdasarkan
QS.al-Mumtahanah/60:10, maka esensinya, adalah larangan menjalin
hubungan mesra antara kaum muslimin dengan orang-orang yang
memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana kesepakatan dalam
perjanjian hudaibiyah (sulh} h}udaibiyah) tahun VI H, status
pernikahan telah dibatalkan (putus), karena status suami sebagai
muslim sedangkan istri masih mushrikah (ka>fir) yang bukan ahl alKita>b, sebagaimana menurut QS. al-Mumtahanah/60:10
85
Muhammad Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i
Atas Pelbagai Persoalan Umat ( Bandung : Mizan, 1996 ), cet. Ke-III, 197.
86
Dalam beberapa pembagian kafir, terdapat lima hal yang dimaksudkan
itu, diantaranya, (1). Kufr Juhu>d, yakni pengakuan terhadap Tuhan di dalam hati,
tetapi tidak diiringi dengan ucapan, (2). Kufr al-Inka>r, yakni, kafir terhadap Allah,
para Malaikat, para Rasul, serta semua ajarannya, dan hari akhirat. (3). Kufr
Nikmah, yakni, menutup-nutupi nikmat Allah di dalam hati mereka tidak
mensyukurinya, (4). Kufr al-Nifa>q, yakni, pembenaran dengan ucapan, dan
diingkari oleh hati. (5). Kufr al-Shirk, yakni, mempersekutukan Allah dengan
makhluk atau menyembah selain Allah. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi
Al-Qur’an (kajian kosa kata), (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 418-419.
87
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata)
(Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), cet. I, 416, 418-419.
279
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah
kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa
atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berperang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan
hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum
Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah/60:10). 88
Sejalan dengan larangan ayat di atas, mengutip pendapat alZamakshari, maka Quraish Shihab, dengan tegas, menyatakan atas
ketidakhalalan status pernikahan semacam ini, dengan dasar
penggalan ayat berbunyi [ ‫] ال هن حل لهم والهم يحلون لهن‬. Maka
pengertian, bentuk pertama, Hillun [ ‫ ] حل‬menggunakan bentuk
mas}dar (infinitive noun), yang menyatakan bahwa, sejak sekarang hal
itu, telah tidak dihalalkan lagi. Kedua, dengan bentuk Mudha>ri,
Yahillunna [‫] يحلون‬, yang dipahami untuk yang akan datang.
T}aba>’taba>’i tidak memahami penggalan kalimat itu, [ hillun dan
Yahillunna ], secara hukum, akan tetapi keduanya secara bersamaan,
mengandung pengertian, putusnya ikatan perkawinan. Demikian
pandangan Quraish Shihab dalam tafsirnya.89
3. Sarjana Muslim dan Cendekiawan Muslim Indonesia
Pandangan Nurcholis Madjid (w. 2005)90 tentang wanita
Yahudi dan Nasrani, dipahami dengan teks QS.Al-Maidah/5:5
88
Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya
(Bandung : Gema Risalah Press), 924.
89
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), Volume 14, cet. I, 171-174
90
Nurcholis Madjid lahir di Jawa Timur, pada tahun 1939 M. Dia adalah
seorang cendekiawan Indonesia dan pendukung toleransi beragama. Nurcholis Juga
adalah salah seorang teolog Indonesia yang paling berani. Visi Islamnya bersifat
pluralistis, toleran, dan bertujuan memenuhi kebutuhan, spiritual populasi urban
modern. Seperti pemikir mordernis lainnya, Nurcholis mengakarkan teologisnya
dalam doktrin tajdid atau kembali ke Islam Nabi Muhammad SAW. Tidak seperti
modernis lainnya, dia lebih peduli pada spirituallitas dari pada prilaku social dan
280
[‫ ]والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم‬adalah ahl al-kita>b.
Pertanyaannya, apakah ahl al-Kitab itu, di luar Yahudi dan Nasrani ?
Pendapat Imam Syafi’i, menyatakan, ahl al-Kita>b hanyalah untuk
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan Israel,
sebab menurutnya, Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan untuk bangsa
Israel, bukan untuk bangsa-bangsa lain. Bertolak belakang dengan
Imam Abu Hanifah, siapapun yang mempercayai seorang Nabi yang
pernah diturunkan Allah S.W.T, maka mereka adalah ahl al-Kita>b.
Mengutip pendapat Abu ‘Ala al-Maududi, Nurchalis Madjid,
beranggapan, bahwa penganut agama Hindu dan Budha disebut
sebagai ahl al-Kitab. 91 Nurchalis merujuk pendapat mufasir modernkontemporer, sekaligus pembaharu Islam, bahwa Muhammad Rasyid
itual. Dia dididik di pesantren Gontor yang menekankan bahasa Inggris dan Subjeksekuler serta kurikulum Islam Tradisional. Dia menerima gelar keserjanaan dari
Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) di Jakarta pada tahun 1968. Dan apada tahun
1966 hingga 1971 dia menjabat ketua Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ), Dia
belajar dibawah bimbinan Fazlur Rahman di Universitas Chicago, dan menerima
doctor pada tahun 1984 dengan disertasi mengenai pemahaman Ibn Taymiyah
tentang hubungan akal dengan wahyu. Pada tahun 1990-an, Nurcholis memegang
jabatan di Intsitut Negeri Islam Jakarta di Jakarta dan Lembaga Pengetahuan
Indonesia ( LIPI ). Pemikiran Nurcholis sangat kontrovesial, pada tahun 1960-an,
dia menantang posisi’ modernis’ yang menganjurkan penerapan harfiyah al-Qur’an
dan hadits dalam masyarakat kontemporer. Sebagai alternative dia menganjurkan
kembali pada ruh atau prinsip dasar Islam sebagai bimbingan untuk prilaku
kontemporer. Pada tahun 1986, Nucholis bersama pemikir muslim lainnya,
menidirikan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Bagi Nurcholis, para madina
merupakanmedia untuk membangun suatu tatanan masyarakat madani yang
mengacu kepada masyarakat Madinah yang di bangun oleh Nabi Muhammad
SAW. Nama Para Madina bias dilihat dari dua sisi. Pertama, Paramadina
merupakan gabungan dua kata; parama ( bahasa Sangsekerta ) yang artinya utama
dan unggul, dan dina ( bahasa Arab ) yang diadopsi dari kata din, yang artinya
agama. Jadi, Paramadian berarti, agama peratama dan utama “. Kedua, Paramadina
juga bisa merupakan penggalan dari dua kata : para ( bahasa latin ) yang diadopsi
dari kata par yang berarti jejajar atau serasi, sejiwa dan madina (bahasa Arab),
yang diadopsi dari kata madinah, yang berarti ‘kota’ atau tempat peradabanmadaniyyah dan tamaddun, nama ini mengisyaraktkan makna paramadina adalah
memiliki pandangan dasar, kepasrahan manusi kepada Tuhan ( Allah ) untuk
membangun peradaban yang akan membawa kebahagiaan bagi semua. John L.
Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern ( Bandung : Mizan, 2002 ), cet
II, 186-187.
91
Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004),49.
281
Rid}a, dengan dasar sebuah hadits, yang berasal dari Ali bin Abi T}alib
menegaskan, bahwa kaum maju>si tergolong ahl al-kita>b.
Abdun bin Humid dalam tafsirnya, terhadap surat al-Buruj meriwayatkan dengan
sanad yang shahih dari Ibn Abza, bahwa setelah kaum muslim mengalahkan
penduduk Persia, Umar berkata, Berkumpulah kalian !( yakni, ia berkata kepada
para sahabat, berkempullah kalian untuk musyawarah ”, sebagaimana hal itu telah
menadai sunah yang diikuti dengan baik dan berkewajiban yang semestinya ).
Kemudia Umar berkata, ” Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah ahl al-Kitab,
sehingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah
berhala, sehingga dapat kita terapkan hukum yang berlaku ”. Maka Ali menyahut, ”
Sebaliknya mereka adalah ahl al-Kitab.92
Selain hal di atas, Nurchalis mengutip pendapat Rashi>d Rid}a,
yang menyatakan, bahwa di luar Yahudi dan Nasrani terdapat ahl alKitab, tetapi tidak hanya menyebutkan kaum Maju>si (Zaroastri) dan
Sa>bi’in saja, melainkan Hindu, Budha dan Khonghuchu.93
Keterangan di atas, dapat disimpulkan, pernikahan seorang muslim
dengan ahl al-Kita>b, dibedakan dengan kriteria ka>fir dan mushrik
serta ahl al-kita>b. Dengan berdalil ungkapan Abu A’la Al-Maududi,
bukalah dan baca Al-Qur’an dari awal, hingga akhir, maka akan
ditemukan tiga katagori kepercayaan, yang arti dan maknanya
berbeda, al-musyrika>t, ahl al-kita>b dan ahl al-iman. Menurut
Nurchalis, mengutip penjelasan QS.al-Maidah/5:17,73, dan QS.alTaubah/9:30, secara ekplisit, bahwa dasar kepercayaan ahl al-kita>b,
adalah kemusyrikan, seperti kata mereka,“....Sesungguhnya Allah itu
adalah al-Masih putra Maryam… (al-Maidah [5]:17), dan mereka
juga berkata, bahwa Allah yang ketiga dari Trinitas (QS.alMaidah/5:73), dan mereka berkata lagi, ....al-Masih putra Allah
( QS.al-Taubah/9:30. Dan selain itu, orang-orang Yahudi berkata,
disebutkan dalam firman-Nya, Uzair putra Allah ... (QS.alTaubah/9:30). Dalam kenyataan, mereka telah melakukan perbuatan
syirik, namun al-Qur’an sebagai wahyu yang datang langsung dari
Allah telah memilih sebuah kata dan menempatkan istilah yang
sangat tepat sekali, maka al-Qur’an tidak pernah menyebut mereka
dengan sebutan musyrik, akan tetapi tetap dipanggilnya dengan
92
Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya
(Bandung:Gema Risalah Press), 644.
93
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004 ),51.
282
sebutan ahl al-kita>b.94 Karena itu, pandangan Nurchalis, dapat
dimaksudkan orang musyrik dalam al-Qur’an, adalah yang haram
dikawini oleh orang-orang Islam. Karena selain itu, dapat dikatakan,
orang musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi tidak
mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah
terdapat penyimpangan atau yang masih asli. Sedangkan ahl al-kita>b
adalah orang-orang yang mempercayai salah seorang nabi dan salah
satu kitab-kitab samawi. 95 Sedangkan yang dimaksudkan mukmin
adalah orang-orang yang mempercayai risalah Nabi Muhammad
SAW, mereka lahir dalam keadaan Islam, kemudian memeluk Islam
yang berasal dari ahl al-Kita>b atau musyrik, atau dari agama lain. 96
Menurut pendapat Nurchalis Madjid jelas, perbedaan ketiga
istilah yang disebutkan, dimana tidak memcampuradukan antara
makna dan arti tersebut, dimana kata mushrik diartikan ahl al-kita>b
dan ahl al-kita>b diartikan adalah musyrik. Bila Allah mengharamkan
wanita musyrik, seperti yang disinyalir dalam QS. Al-Baqarah/2:221,
[Janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik
sebelum mereka beriman], dan tidak tepat, bila dimaksudkan
perempuan musyrik itu adalah perempuan ahl al-Kita>b. Bahkan
Imam Muhammad Abduh secara jelas, berpendapat sebagaimana
yang dikutip muridnya, Rashi>d Rid}a, perempuan yang haram
dikawini oleh orang muslim, dan menurut QS.al-Baqarah/2:221,
adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Pertanyaan, Apakah
masih ada orang-orang musyrik Arab itu hingga sekarang ? kalau
ada, hukum tetap dapat berlaku, tetapi jika tidak, maka dengan
sendirinya, tidak ada kepercayaan manapun menjadi kendala dalam
melakukan perkawinan. 97
94
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004),158.
95
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004),158.
96
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004),159.
97
Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004),160.
283
Sedangkan menurut Muhammad Ghalib, bahwa ahl al-Kitāb
merujuk kepada komunitas Yahudi dan Nasrani secara bersamaan
antara lain ditentukan QS. Ali Imran/3:64, dan ayat tersebut berisikan
tentang tuntutan kepada umat Islam agar menjalin hubungan yang
harmonis dengan dua komunitas agama tersebut. Dan ajakan tersebut
tercantum pesan agar kaum Yahudi dan Nasrani, perintah untuk
kembali kepada ajaran tauhid yang murni, sebagaimana tercantum
dalam kitab suci mereka. Al-Qur’an juga mengingatkan mereka
tentang akan diutusnya seorang rasul, yaitu Muhammad SAW yang
menjelaskan sebagian ajaran para nabi, sekaligus membawa kabar
gembira dan peringatan kepada mereka, meurut QS. al-Maidah/5:59,
akan tetapi ajakan itu tidak ditanggapi dengan serius, karena mereka
merasa lebih utama dari umat Islam, karena itulah al-Qur’an
mengecam mereka, bahwa keutamaan itu akan terwujud jika mereka
kembali kepada ajaran Taurat dan Injil yang menjadi pedoman
sebelum diutusnya Muhammad S.A.W, akan tetapi hal itu tidak
terbukti, karena pada akhirnya mereka menyimpang dari kitab suci
yang diturunkan Allah S.W.T, dengan berprilaku yang tidak terpuji,
memcampuradukan antara kebenaran dengan kebatilan, bahkan lebih
dari itu, mereka cenderung menghalang-halangi orang-orang yang
ingin mengamalkan petunjuk Allah, QS. Ali Imran/3:99 98
Mengutip pandangan Quraish Shihab, tentang pernikahan
beda agama ini, yang secara garis besar, memahami bentuk
keragaman pendapat ulama, namun diujung uraiannya, Islah Gusmian
menegaskan, dengan tulisan :
Kalau seorang wanita muslim dilarang kawin dengan non-muslim, karena
kekwawatiran akan berpengaruh atau berada dibawa kekuasaan yang berlainan
agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria
Muslim dengan wanita ahl al-Kitab harus pula tidak dibenarkan, jika
dikwawatirkan ia dan anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang
99
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pandangan serupa menurut Islah Gusmian, mengutip
pendapat yang ditulis Tim Tarjih Muhammadiyah, dalam Tafsir
Tematik Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, menjadi
98
Lihat, Muhammad Ghālib, Ahl al-Kitāb Makna Dan Cakupnnya,
(Jakarta : Penerbit Paramadian, 1998), cet. I, h. 22-23.
99
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi (Jakarta : Penerbit Teraju, 2003), cet. I, 338.
284
alasan yang harus dipertimbangkan, yaitu kemaslahatan sosial.
Sebab, menurut pandangan tafsir ini, meskipun perkawinan itu telah
dilakukan oleh pribadi-pribadi, namun lembaga berkaitan dengan
kepentingan publik, diatur oleh intitusi formal agama. 100 Yang kedua,
pertimbangan faktor psikologis, bahwa pernikahan beda agama dapt
menjadi kendala bagi terwujudnya, keluarga sakinah, bahkan bisa
menimbulkan kemudharatan serta kerusakan. Dengan merujuk pada
kaidah Ushul Fiqh, [ ‫ []درء المفاسد مقّدم ٌ على جلب المصالح‬mencegah
kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan ], maka
menurut Islah, cenderung tidak membolehkan pernikahan beda
agama. 101
Kesimpulan terakhir penafsiran ulama tafsir Indonesia,
menurut Hamka, bahwa telah dihalalkan mengawini perempuan yang
sesama mukmin, dan boleh mengawini perempuan ahl al-kita>b
setelah membayar mahar. Dan tidak memberikan ruang untuk
kriteria maju>si atau s}a>bi’ah, karena mereka berstatus musyrik.
Sedangkan Quraish Shihab, membolehkan menikahi perempuan ahl
al-Kita>b, walaupun sebagai jalan keluar yang mendesak ketika saat
itu, karena seorang muslim mengakui bahwa, Isa a.s adalah
Nabiyallah, pembawa ajaran agama, tetapi berbeda bagi ahl al-Kitab
yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi. Maka menikahi
wanita mereka diharamkan, sebagaimana menikahi musyrik,
penyembah berhala, Maju>si dan s}a>bi'ah. Menurut Cendekiawan
Muslim, Nurchalis Madjid mengutip pendapat Rashi>d Rid}a, yang
menyatakan, bahwa di luar Yahudi dan Nasrani terdapat ahl al-Kita>b,
tetapi ia tidak hanya menyebutkan kaum Maju>si (Zaroastri) dan
Sa>bi’in saja, melainkan Hindu, Budha dan Khonghuchu. Walaupun
masih tetap menyatakan larangan menikahi wanita musyrik, karena
maksud kata mushrik dalam al-Qur’an, yang haram dikawini adalah
orang musyrik yang bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi
100
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi (Jakarta : Penerbit Teraju, 2003), cet. I, 338.
101
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi (Jakarta:Penerbit Teraju, 2003 ), cet. I, 339, Lihat. ‘Azat Ubaid al-Da’as,
al-Qawa>’id al-Fiqhiyah Ma’a al-Sharh al-Mu>jaz, (Beirut: Dar al-Tirmizi, 1409
H/1989 M ), cet. ke-3, 34.
285
tidak mempercayai kitab-kitab samawi, baik yang telah terjadi
penyimpangan atau yang masih asli. *
286
287
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orangorang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar.
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berperang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara
kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
( QS. Al-Mumtahanah/60:10 )
288
Download