BAB V PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA MENGENAI TERM AL-MAJU>S > I DAN AL-SA>BI’IN A. Memahami Term al-Maju>si dan al-S}a>bi'in Istilah al-maju>si [ ] المجوسىmerupakan bentuk ism mufrad, yang jamaknya adalah al-maju>s []المجوس, dengan pengertian, adalah orang-orang yang menganut agama majusi, sedangkan agamanya disebut maju>siah []مجوسية.1 Dalam Mu’jam al-Wasit}, Ibrahim Madku>r mendefinisikan, al-maju>s adalah satu kelompok masyarakat yang menyembah matahari, bulan dan api. Istilah ini telah dikenal sejak abad ke-3 M. Dan pengertian al-Maju>si yang sebenarnya, adalah si tukang tenung yang melakukan aktivitas sebagai tukang sihir. Sementara al-maju>siah adalah kepercayaan (aliran) agama terdahulu atau sebagai kepercayaan orang-orang Majusi yang mensucikan terhadap binatang-binatang, seperti, sapi, atau ajaran (aliran) Zardastyt.2 Dalam Lisan al-‘Arab, Ibn Manz}ur, menjelaskan, bahwa menurut satu versi yang dikenal, maju>s adalah nama salah satu kabilah (suku), dan menurut versi lain, maju>s di dalam bahasa Persia adalah nama orang, yaitu minj-kush yang artinya orang yang kecil kedua telinganya, yang pertama kali menganut agama majusi dan mendakwahkannya kepada orang lain. Nama ini kemudian diarabkan dan Imru’ al-Qais pun menggunakan dalam syairnya dengan ungkapan ka na>ri maju>s ( ()كنار مجوسseperti api orang-orang majusi), yaitu, ungkapan terhadap praktek pemujaan api yang dilakukan oleh orang-orang majusi. 3 Di dalam al-Qur’an kata maju>s [ ]مجوسditemukan sekali, yaitu pada QS. al-Hajj/22:17. Ayat ini berbicara tentang pengelompokan manusia dari sudut keyakinan agamanya, yaitu Mukmin, orang-orang Yahudi dan Kristen, serta orang-orang s}a>bi’in dan maju>si. Tiga kelompok pertama, jelas statusnya, orang Mukmin 1 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata) (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 560-561. 2 Ibra>him Madku>r, Al-Mu’jam Al-Wasi>t, ( Kairo : Majma’ Al-Lughah AlArabiyah, 1392 H/1972 M ), 889. 3 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata), 561. 243 mempercayai risalah Nabi Muammad SAW dan Al-Qur’an, orangorang Yahudi dan Kristen sebagai ahl al-kita>b mengakui nabi Musa dan Isa serta kitab Taurat dan Injil, sedangkan orang musyrik adalah penyemah berhala. Sedangkan orang-orang s}a>bi’in dan maju>si tidak mempunyai status sejelas itu. Para Ulama berbeda pendapat tentang keduanya. Mayoritas ulama memandang keduanya tidak termasuk ahl al-kita>b, sedangkan minoritas mereka memasukkan dan memperlakukan sebagai ahl al-kita>b.4 Sedangkan pengertian al-s}a>bi’in[ ]لصابئينatau al-s}a>bi’un [ ]الصابئونadalah orang-orang yang keluar dari suatu agama dan masuk ke agama lain. Kata tersebut berakar pada kata sha>-ba>-a [ ] ص ب أyang berarti keluar. Ra>ghib al-Asfaha>ni mengatakan s}a>bi’in adalah para penganut agama Nabi Nuh a.s, sementara yang lain mengatakan bahwa istilah tersebut digunakan untuk setiap orang yang keluar dari suatu agama dan masuk ke agama lain. 5 Di dalam al-Qur’an kata s}a>bi’in ditemukan 3 kali, terdapat di dalam 3 surat dan digunakan dengan berbagai macam pengertian, yaitu, QS. alBaqarah/2:62, QS. al-Maidah/5:69, dan al-Hajj/22:17. Di dalam surat al-Baqarah/2: 62 kata tersebut, digunakan untuk merujuk pada orangorang yang baru memulai beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sementara sebagian ulama mengatakan, bahwa kata tersebut, merujuk kepada orang yang hendak percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan sebelumnya beriman kepada kitab-kitab terdahulu. Mereka berbuat demikian, karena merasa imannya belum sempurna. 6 Al-Mara>ghi sebagaimana diungkap Quraish Shihab mengatakan bahwa al-S}a>bi’un di dalam al-Qur’an digunakan untuk merujuk kepada sesuatu kaum muwahhidu>n [ ]مو ّحدونyang percaya kepada pengaruh bintang terhadap kehidupan dan mengakui sebagian dari nabi-nabi. 7Sementara al-Nawawi berpendapat bahwa, yang 4 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata) (Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), cet. I, 561. 5 Abu> Qa>sim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni (w. 502 H), Al-Mufrada>t F>i> Ghari>b Al-Qur’an ( Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, t.th ), 274. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata ) (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 891. 6 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata), 891. 7 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata), 891. 244 dimaksud dengan s}a>bi’in, adalah orang yang keluar dari agama Nasrani, kemudian masuk agama lain. Mereka itu yang telah beriman kepada Allah SWT sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, mereka itu di antaranya Qais bin Sai’dah, Buhairah al-Rahi>b, Zaid bin Umar, Ibn Tufail, Waraqah bin Naufal, Salman Al-Fa>risi dan Abu Dha>r Al-Ghifa>ri. Kemudian Al-Nawawi lebih lanjut sebagaimana disebutkan Muhammad Galib, menambahkan bahwa sebagian dari mereka itu, antara lain dicukur rambutnya pada bagian tengah kepala, membaca kitab Zabur, menyembah para Malaikat, dan berkata,” Hati kami kembali kepada Allah S.W.T ”. Selain itu, istilah S}abi’in juga digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang menyembah Malaikat dan sembahyang menghadap kepada selain kiblat. 8 B. Pernikahan dengan orang Maju>si, S}a>bi’ah Menurut Quraish Shihab, prihal pernikahan dengan orangorang maju>si dan s}a>bi’in terdapat dua pendapat, ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkan. Di antara ulama yang mengharamkan, seperti al-T}aba>’taba>’i sebagaimana dikutip Tim Fiqh Lintas Agama, istilah maju>si dikenal sebagai orang-orang yang beriman kepada Zardasyt dan kitab suci Avesta. Namun tentang sejarah masa munculnya sangat tidak jelas, seakan-akan berita terputus. Mereka kehilangan kitab itu, ketika masa Alexander Yang Agung menguasai Iran. Kemudian, penulisannya, diperbaharui pada masa raja-raja Sasan. Karena itu sulit ditemukan mazhab mereka yang sebenarnya. Hanya saja satu hal yang dapat diterima, yaitu mereka mengakui adanya dua kodrat bagi pengaturan alam ini, yaitu kodrat kebaikan dan kodrat kejahatan, Yazdan dan Ah}riman, atau cahaya dan kegelapan. Mereka mengakui kesucian api serta mendekatkan diri kepada malaikat dengan tidak membuat berhala sesembahan. Hal senada dipahami oleh al-T}abari, al-Shahrastani, sementara al-Ra>zi menyatakan, bahwa orang-orang majusi pengikut mutanabbi (orang yang mengklaim kenabian), bukan nabi yang sebenarnya.9 Tetapi menurut Rashi>d Rid}a bahwa, maju>si adalah orang-orang yang diperlakukan sebagai ahl al-kita>b dalam hal berkewajiban membayar jizyah (pajak yang diambil dari orang non8 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata)(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 891. 9 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), 561. 245 muslim), dengan alasan, bahwa orang musyrik tidak diterapkan untuk orang-orang maju>si atau dengan alasan lain, bahwa al-Qur’an menyebutkan orang musyrik satu jenis dan ahl al-Kita>b satu jenis yang lain, dengan pembeda di antara keduanya dengan huruf at}af, sehingga mengakibatkan perbedaan antara keduanya. Bahkan alQur’an membedakan, antara term Yahudi dan Nasrani dalam QS.AlHajj/22:17dan al-Maidah/5:82, sebagaimana dibedakan antara term s}a>bi’in dan maju>si QS. al-Hajj/22:17. Dengan kata lain, kata mushrikin pada masa turunnya al-Qur’an adalah orang-orang musyrik Arab itu sendiri, karena itu, dalam pandangan Rashi>d Rid}a, s}a>bi’in dan maju>si memiliki kitab suci, hanya saja, masa dan waktunya tidak diketahui lagi, dan selanjutnya, maju>si dipandang, dalam hal ini adalah sebagai ahl al-kita>b. Maka dengan demikian, menurut Rashi>d Rid}a, makanan dan wanita-wanita orang-orang maju>si disamakan dengan ahl al-kitab, dan mereka boleh dinikahi, walaupun tidak sepandang dengan minoritas ulama.10 C. Persfektif Ulama Salaf ( Periode Sahabat ) Dalam konteks pernikahan beda agama yang menjadi titik perdebatan adalah munculnya perbedaan batasan yang terdapat dalam teks-teks (QS. al-Baqarah/2:221, QS. al-Ma>idah/5:5, dan QS. alMumtahanah/60:10), terkait istilah, al-Mushrika>t, ahl al-Kita>b [dengan kriteria apakah masuk agama Yahudi dan Nasrani atau tidak], bahkan perselisihan itu meluas pada istilah, al-maju>si, alsa>bi’in dan sebagainya. Untuk memahami persoalan di atas, beberapa penafsiran ulama klasik (priode sahabat), serta mengetahui sejarah sosial dan metode tafsir mereka, menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas dalam kajian bab ini, di antara para mufassir sahabat, adalah: 1. Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M ) Dalam suatu keterangan, Ali bin Abi> T}alh}ah mengungkap pendapatnya, yang bersumber dari Ibn Abbas r.a, terhadap QS.alBaqarah/2:221, sebagai pengecualian terhadap wanita ahl al-Kita>b [Yahudi dan Nasrani] yang boleh dinikahi. Semua kalangan sahabat, bersepakat dengan pendapat Ibn Abbas r.a., dan Abu Daud meriwayatkannya, yang bersumber dari Ibn Abba>s r.a, yang 10 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata) (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 562. 246 menyatakan, bahwa ayat 221 surat al-Baqarah ini, telah di-nasakh dengan ayat 5 surat al-Maidah, karena alasan itulah merupakan sebagai izin kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b bagi seorang muslim, dan karena alasan itu pula, dihalalkan wanita muslimah bagi pria non-muslim. Akan tetapi pendapat tersebut, mendapat tantangan dari kalangan sahabat, di antaranya, Sayyid bin Zubayr (Murid Ibn Abba>s r.a sendiri ),11 yang menyatakan, bahwa, kata (almushrika>t) ditujukan untuk wanita penyembah berhala (ahl awthan), dan Muja>hid menambahkan, untuk wanita musyrik penduduk Arab Makkah saja, karena itu, dibolehkan pernikahan dengan mereka, karena beralasan sebagai ahl al-kita>b, sementara Qata>dah menyatakan, al-mushrikat adalah untuk wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci.12 Bagaimana halnya, dengan term, maju>si dan s}a>bi'in, yang kedua komunitas itu, telah ada pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Beberapa keterangan, kedua istilah tersebut, tidak termasuk dalam kriteria ahl al-Kita>b, meskipun telah dikenal pada masa itu, melainkan mereka diperlakukan, seperti halnya ahl al-Kita>b. Cakupan mengenai batasan ahl al-kita>b, baru 11 Disebutkan, para tabi’in yang termasuk tiga besar murid-murid Ibn Abba>s yang banyak meriwayatkan darinya, mereka adalah Ikrimah Maula Ibn Abbas ( w. 107 H ), Muja>hid bin Jabr (w. 104 H), dan Sayid bin Jubair (w. 95 H ). Mereka adalah para hufa>z al-Qur’an yang thiqa>t (terpercaya) yang dapat diandalkan periwayatannya dari Ibn Abbas. Dan beberapa tabi’in yang lain yang dikatagorikan banyak meriwayatkan dari Ibn Abbas, seperti, diriwayatkan, bahwa T}awu>s al-Yamani seorang yang Thiqa>t ( terpercaya ), akan tetapi ia tidak banyak meriwayatkan dari Ibn Abbas, demikian juga At}iyah Al-Aufi banyak meriwayatkan dari Ibn Abbas, namun statusnya lemah ( d}a>’if ), diceritakan, bahwa Ali Bin Abi T}alh}ah seorang yang terpercaya, akan tetapi ia tidak pernah bertemu Ibn Abbas, tatapi ia mengambil dari Muja>hid yang memiliki bebeapa shahifah dalam catatan tafsir, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab S}ahih-nya, kemudian sebagian banyak di diriwayatkan oleh Ibn Jari>r serta Imam Ahmad di Mesir sebuah shahifah yang riwayatnya bersumber dari Abi T}alhah, dan Ibn Abi T}alhah di sebutkan sebagian ulama tidak bertemu Ibn Abbas, maka ia terputus sanadnya, namun pendapat itu dibantah oleh Ibn Hajar AlAsqala>ni, yang menyebutkan bahwa ia seorang tsiqat, maka tidak ada alasan untuk tidak mengambil darinya. Abdul Aziz bin Abdullah al-Humaidi, Tafsir Ibn Abba>s Wa Marwiyatuhu Fi> Tafsi>r Min Kutub al-Sittah (Makkah : Markaz Abdul Aziz Al-Tura>th Al-Isla>mi, tth ), ce.ke-35, 24. 12 Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’uth Wa Al-Dirathat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, 563. 247 mengalami perkembangan, ketika masa tabi'in, Abu Aliyah (w. 39 H), seorang tabi', yang mengatakan, bahwa kaum s}a>bi'in adalah kelompok ahl al-kita>b yang membaca kitab Zabur. Disamping itu, terdapat pula ulama salaf, yang mengatakan, bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dipandang sebagai kitab samawi, maka mereka juga tercakup dalam penegrtian ahl al-kita>b, seperti halnya orang-orang maju>si.13 2. Abdulla>h bin Mas’u>d ( w. 32 H ) Pada masa Nabi SAW dan para sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud,14 telah mengenal orang-orang maju>si, akan tetapi mereka tidak menyebutnya sebagai ahl al-kita>b, walaupun demikian, Rasulullah S.A.W tetap memerintahkan para sahabatnya, supaya memperlakukan mereka, seperti halnya ahl al-kta>b. Terbukti hal itu, dari salah satu sabdanya, beliau mengatakan, yang diriwayatkan Imam Malik. أن عمر بن, عن أبيه, عن جعفر بن محمد بن على, وحدثنى عن مالك فقال عبد, ما أدرى كيف أصنع فى أمرهم: فقال, الخطاب ذكر المجوس : أشهد لسمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول: الرحمن بن عوف . )( سنوا عليه ُسنة أهل الكتاب Disampaikan kepadaku dari Imam Malik, dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari bapaknya, sesungguhnya Umar bin Khattab menyebut majusi, lalu di berkata : ” Saya tidak tahu bagaimana saya berbuat tentang urusan mereka”. Maka Abdurahman bin Auf berkata : ” Saya bersaksi sungguh saya telah mendengar Rasulullah bersabda : ” Perlakukanlah mereka ( orang-orang Majusi ) seperti ahl al15 Kitab ”. 13 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 28-29. 14 Buku-buku sejarah dan Sirah mencatat, bahwa Abda Wudd bin Sawa bin Quraim dari Huzail menikah dengan Hindun binti Abdul Harits bin Zuhrah dari Quraisy dan melahirkan Ummu Abdu binti Abda Wudd. Lalu Umm Abd dinikahi oleh Mas’ud bin Ghafil bin Hubaib dari Huzail yang kemudian melahirkan seorang anak bernama Abdullah bin Mas’ud yang juga tereknal dengan julukan Ibn Ummu Abd yang juga diberi julukan Abu Abdurahman. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), cet. I, 63. 15 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 29. 248 Keterangan di atas, jelas, bahwa Rasulullah S.A.W tidak memasukkah kaum Maju>si sebagai ahl al-kita>b. Hal demikian diperkuat dengan pernyataan Umar bin al-Khattab yang telah banyak berbicara sekitar permasalahan mereka, jika sekiranya Umar r.a tidak memahami kriteria ahl al-kita>b mencakup kaum maju>si, tentu Umar tidak akan mempermasalahkan mereka.16 3. Abdullah Bin Umar ( w. 72 H ) Terkait pernikahan dengan Maju>si dan S}a>bi’in, yang terkandung dalam penjelasan QS.al-Baqarah/2:221, Abdullah bin Umar17 berpendapat, bahwa, mereka masuk dalam kriteria, ahl alkita>b, dan mereka adalah musyrik. Dalam keretangan lain, sebagaimana dikutip beberapa riwayat darinya, Ibn Abi> Shaibah dan Ibn Abi Ha>tim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. أنه كره نكاح نساء أهل, عن ابن عمر, وابن أبى هاتم, أخرج ابن أبى شيبة .) َّ ( ول ت ْنكحوا ْالم ْشركات ح َّتى ي ْؤمن: ويتأول, الكتاب Dikeluarkan dari Ibn Abi Shaibah dan Ibn Ha>tim, dari Ibn Umar, bahwasanya, ia mencela pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b. Kemudian ia 16 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya I, 29. Dia di lahirkan tidak lama setelah Nabi diutus menjadi Rasul, ketika itu ia baru berumur 10 tahun. Ia ikut masuk Islam bersama ayahnya, Umar bin alKhattab. Kemudian ia mendahului ayahnya hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang, dan Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, diantaranya, perang Qadisiyah, Yarmuk, Khandak, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan Basrah dan Madain. Al-Zuhri tidak pernah meninggalkan pendapat Ibn Umar untuk beralih kepada pendapat orang lain. Imam Malik dan al-Zuhri berkata : ” Sungguh, tak ada satupun dari urusan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibn Umar ”. Ia dikenal seorang yang Zuhud, shaleh, bertaqwa, seketika berkata Rasulullah tentang dirinya, ” Sebaik-baik pemuda adalah Abdullah bin Umar, dan jika ia 17 shalat malam, jarang waktu malamnya terbuang untuk tidur, keculai sedikit sekali ”. Manna’ Al-Qatt{}a>n, Tari>kh Tashri>’ Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh ( Riya>d} : Maktabah Al-Ma’arif Li Al-Nasyr Wa Tawzi’ Lisa>hibiha> Sa’ad bin Abdurahman al-Rashi>d, 1417 H / 1997 ), Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-Atsqalani (w.852 H ), Taqri>b al-Tahzi>b ( Beiru>t : Mu’asasah Al-Risa>lah, 1420 h/ 1999 M ), cet. I, 256257. 249 menafsirkan sebuah ayat ( () وال تنكحوا المشركات حتى يؤمنDan janganlah kamu 18 menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman ). Dari sebuah riwayat di atas, Abdullah bin Umar terlihat kurang setuju dengan adanya pernikahan beda agama, bahkan ia mencela pernikahan dengan orang-orang musyrik. Hal itu terjadi, karena Abdullah bin Umar memahami, bahwa ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani] atau maju>si dan s}a>bi’in, adalah musyrik, sebagaimana dipahami dalam QS. Al-Baqarah/2:221 ini. Oleh karena itu, Abdullah bin Umar r.a, mengharamkan pernikahan seorang mu’min dengan wanita ahl al-kita>b, dengan alasan kemusyrikan. Dasar pelarangan itu atas landasan riwayat, yang disampaikan Imam al-Bukha>ri, dan AlNuha>s, yang bersumber dari Na>fi’ : ان عبد هللا بن عمر, والنحاس فى ( ناسخه ) عن نافع, وأخرج البخارى حرم هللا: قال. كان إذا سئل عن نكاح الرجل النصرانية أو اليهودية ول أعرف شيئا من اإلشراك أعظم من أن تقول, المشركات على المؤمنين . ربها عيسى أو عبد من عباد هللا: المرأة Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab (Nasikh), dari Nafi’, bahwasanya Abdullah bin Umar, acap kali ditanya tentang pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik terhadap pria-pria muslim, dan aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita, yang berkata : “ 19 bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah “. Kwalitas keilmuan Abdullah bin Umar r.a, serta pandangannya tentang pernikahan ini, berbeda dengan para sahabat pada umumnya. Suatu pendapat yang memperkuat pandangan Ibn Umar r.a, dalam riwayat lain, yang tidak menyetujui atas pernikahan semacam ini. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansu>r, bahwa Abdun bin Humaid (dalam musnad-nya) dan Ibn Majah dan Imam al-Baihaqi (dalam kitab Sunnan-nya), yang bersumber dari Ibn Umar r.a, bahwa Rasulullah S.A.W bersabda : 18 Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( 849-911 H ), Al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo : Markaz Hijr Li Bu’u>th Wa Al-Dira>sa>t Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H / 2003 M ), cet. I, 564. 19 Jala>luddin Al-Suyu>t}i (849-911 H), Al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo:Markaz Hijr Li Bu’uts Wa Al-Dira>sa>t Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H/2003 M ), cet. I, 564. 250 عن النبى صلى هللا عليه وسلم,روى عبد بن حميد عن عبد هللا بن عمرو ول تنكحوهن, فعسى حسنهن أن ترديهن, ل تنكحوا النساء لحسنهن: قال فألمة, وانكحوهن على الدين, على أموالهن فعسى أموالهن أن تطغيهن . سوداء خرماء ذات دين ُ أفضل ” Jangan kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena barangkali kecantikan itu akan menjerumuskan mereka, dan jangan kamu menikahi mereka karena hartanya, karena barangkali harta benda membuat kamu kelewat batas, tetapi nikahilah karena agamannya, sesungguhnya budak wanita yang hitam meskipun tidak cantik tetapi beragama itu lebih utama ”. 20 Diriwayatkan dari Abu Harairah ra, bahwa Nabi bersabda : تنكح المرأة: عن أبى هريرة رضى هللا عنه عن النبى صلى هللا عليه وسلم قال . فاظفر بذات الدين تربت يداك, لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها: ألربع ”Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang kuat 21 agamanya, niscaya kamu akan beruntung ”( HR. Bukhari-Muslim ) Kesimpulan penafsiran ketiga sahabat di atas, baik Abdullah bin Abbas r.a, Abdullah bin Mas’ud r.a memiliki kesamaan pendapat tentang menikahi wanita ahl al-Kita>b, Maju>si dan S}a>bi’in, melainkan hanyalah Abdullah bin Umar r.a, yang berbeda dari mereka, yang mengharamkan, pernikahan muslim dengan wanita musyrik, bahkan untuk semua jenis kemusyrikan. Dengan pernyataan, bahwa, ”Tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seseorang, yang berkata : “ Bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah ". Karena pandangan Ibn Umar ini, mengenai 20 Al-Imam Al-Jali>l al-Ha>fidz Ima>duddin Abi> Al-Fida>’ Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasq (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’an Al-Az}i>m (Gizah : Mua’sasah AlQurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), cet.I, 299, Jala>luddin al-Suyu>ti} (879-911 H), alDu>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin alTurky)(Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa alIsla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, 565. 21 Imam Abi Husain Muslim Ibn Haja>j Al-Qushairi al-Naisabu>ry, Mukhtas}ar S}ahi>h Muslim ( di-Tahqi>q oleh : Muhammad Nas}i>ruddin AlBa>ni), Hadith No. 798, Bab Targhi>b Fi> Nika>h (Beiru>t : Maktab Al-Isla>mi, 1407 H/1987 M ), cet. Ke-6, 207. 251 mereka, bahwa, selain yang agama Islam, adalah musyrik. Dan menikahi orang-orang musyrik adalah diharamkan. D. Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Klasik)(6501250 M) Terkait persoalan nikah beda agama, bahwa pernikahan muslim dengan Maju>si atau S}a>bi’in, akan diteliti melalui penafsiran ulama salaf (Periode Klasik ), yang berkisar antara abad IV H hingga VI H. Pada pembahasan bab ini, sosok ulama-ulama tafsir yang akan di kaji cukup banyak, dan mereka telah terbukti, dengan hasil karyakarya mereka yang sangat penomenal. Namun di antara mereka cukup sebagai keterangan, yang mewakili beberapa karya tafsir mereka, seperti, Ibn Jari>r al-T}abari (w.310 H/ 925 M ), al-Jas}a>s} (w. 370 H), Al-Baghawi (w. 510 H/1122 M), Al-Zamakshari (w. 538 H/1144 M), dan sebagainya. Ibn Jari>r Al-Tabari ( w. 310 H / 925 M ), Dalam Tafsirnya, Ja>mi’ al- Baya>n an Ta’wi>l ay Al-Qur’an. Ibn Jari>r al-T}abari dalam karya tafsirnya, menjelaskan konteks pernikahan pria muslim dengan wanita-wanita[Maju>si, S}a>bi’in, Konghuchu, Budha, Hindu], menurut QS.al-Baqarah/2:221 dan al-Maidah/5:5 adalah, bahwa wanita musyrik, menurutnya tidak dibatasi untuk jenis kemusyrikan [penyembah berhala, Yahudi, Nasrani, maju>si, atau s}a>bi’in]. Namun dengan demikian itu, Ia tetap membenarkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5.22 Dengan kata lain, menurutnya, bahwa ahl alKita>b tidak terbatas Yahudi dan Nasrani, melainkan mencakup selain mereka, yang memiliki kriteria, wanita-wanita terpelihara (muh}s}ana>t), beriman kepada Allah dan membenarkan kenabian Muhammad SAW. 23 Karena itu al-Tabari, menjelaskan ayat alBaqarah di atas, disandingkan dengan sasaran ( khita>b) yang ditujukan kepada larangan untuk semua jenis wanita yang tidak 1. 22 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsir AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buh}uth Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/ 2001 M ), Cet. I, Juz ke-3, 711-712. 23 Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari ( 224-310 H ), Tafsir AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buh}u>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/ 2001 M ), Cet. I, Juz ke-3, 715-716. 252 beragama Islam, dikaitkan dengan kasus perjanjian Hudaibiyah (Sulh} H}udaibiyah),24 yaitu, antara kaum Kafir Quraisy Makkah dan kaum Musilimin, yang berakhir dengan turunnya QS. alMumtahanah/60:10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berperang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum 24 Ka’bah atau Baitullah (Masjid al-Haram) di Makkah dikenal tempat beribadah, berabad-abad lamanya. Ia merupakan tempat suci umat Islam. Sekian lama kaum muslimin menanti, sekitar 6 tahun lamanya, untuk menengok sanak keluarga dan orang-orang yang ditinggalkannya dikota Makkah. Maka rencana ibadah umrah di bulan yang dihormati ( al-asyhur al-hurum ) terpenuhi, mereka bersama Rasulullah dengan 1.400 orang, berpakaian ihram, tanpa senjata, kecuali pedang di sarungnya sebagai penjaga diri di jalan. Namun kedatangan kaum muslimin, tidak disambut sesuai harapan, tetapi mereka mendapat berbagai halangan dan rintangan pihak Qurainsy Makkah, oleh karenanya, pada tahun ke-6 H, tepatnya bulan Dzulqa’dah, disepakati antara Nabi SAW dan pihak Kafir Quraisy (Suhail bin ’Amar), kesepakatan yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, dan intinya adalah perdamaian tanpa ada peperangan bagi umat Islam yang memasuki kota Makkah. Ali Mufradi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta : logos, 1417 H /1997), cet. I, 35-36. 253 Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha 25 Bijaksana. [QS. Al-Mumtahanah/60:10 ]. Dalam penjelasannya, al-Tabari tentang ayat al-Mumtahanah di atas, terhadap bunyi teks [[] ولتمْ سكوا بعصم ا ْلكوافرDan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir], yang menyatakan bahwa, keterangan ayat tersebut, merupakan larangan terhadap kaum muslimin untuk tidak menjalin hubungan pernikahan dengan non muslim, atas dasar kemusyrikan, atau terhadap mereka yang menyembah berhala. Berdasarkan indikator yang ditetapkan, laki-laki berstatus kafir tidak halal terhadap wanita-wanita mukmin sejak disepakati perjanjian Hudaibiyah ini, hingga waktu yang tidak ditentukan.26 Dengan kata lain, menurut Al-T}abari, bahwa, jika indikasi jenis kemusyrikan atau kekufuran itu, selain ahl al-kita>b, termasuk maju>si dan sa>bi'in, maka jelas, tidak berarti baginya. Maka dengan demikian, menikahi wanita maju>si dan s}a>bi'in, apalagi pria mereka tetap tidak dibolehkan atau diharamkan. 2. Al-Jas}a>s} ( w. 370 H ), Tafsir Ah}ka>m Al-Qur’a>n Al-Jas}ah, terhadap pernikahan dengan wanita maju>si atau s}a>bi’in, lebih dekat kepada pemahaman status al-mushrika>t [ penyembah berhala ], berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221. Walaupun demikian itu, Ia tetap setuju dengan larangan yang tidak mengenai wanita kita>biyah. Ia menyebutkan pendapat yang bersumber dari Sa’id bin Jubayr, ketika ditanya, bagaimana mengenai pernikahan 25 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-T}abari (224-310 H), Tafsir AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-Turki )(Kairo:Markaz al-Buh}uts Wa Al-Dirasah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M), Cet. I, Juz ke-3, 714, dan Juz ke-22, 580-584, Lihat. Persoalan ini, terkait Hudaibiyah, Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW (Jakarta : Gema Insani Press, 2001 ), Cet. I, 343. 26 Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsir AlTa>bari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n ( ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki )( Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, Juz ke-22, 578-583, Lihat. Penafsiran ayat al-Mumtahanah/60:10, terhadap kasus Umar bin al-Khattab, menceraikan istriistrinya yang musyrik di Makkah (diantaranya, Quraibah binti Abi Umayyah bin Mughirah kemudian dinikahi oleh Muawiyah bin Abi Sofyan, yang lain adalah Ummi Kalthum binti Jarwal, kemudian dinikahi oleh Abu Jahm bin Huzafah, 583584. 254 dengan wanita Yahudi dan Nasrani ?. Ia hanya menjawab : La> ba’sa (boleh). Said bin Jubayr mengatakan lagi, ayat itu, diturunkan untuk penyembah berhala (ahl awthan) dan maju>si. Dan setuju juga AlJas}a>s}, dengan pendapat para sahabat, bahkan dengan para ulama Fiqh saat itu, kecuali Ibn Umar yang mengharamkan pernikahan semacam ini. 27 Mengutip perkataan Said bin Jubayr tadi, yang menyatakan, bahwa ayat (Wala> Tankihu> al-Mushrika>t) itu, dikhususkan untuk selain ahl al-kita>b. Sedangkan mengenai pernikahan dengan ahl alkita>b, diperkuat dengan adanya bukti, bahwa Usman bin Affan, menikahi Nailah binti al-Fara>fis}ah [suku al-Kalibi], seorang yang beragama Nasrani, dan juga T}alh}ah bin Ubaidillah menikah dengan wanita Yahudi negeri Syam. Pernikahan semacam ini, juga dilakukan di kalangan tabi’in, seperti, al-Hasan, Ibrahim dan juga al-Sha’bi. 28 Walaupun, tentang maju>si terdapat perselisihan di kalangan sahabat, yang mayoritas mereka setuju, karena mereka bukan ahl al-kita>b. Meskipun ada yang mengatakannya, mereka adalah ahl al-kita>b, tetapi hal itu segera dibantah dan dibatalkan menurut al-Jas}a>s} dalam tafsirnya yang merujuk kepada QS. al-An’am/6:155-156. وهذا كتاب أنز ْلناه مبارك فا َّتبعوه وا َّتقوا لعلَّك ْم ترْ حمون * أن تقولوا إ َّنمآ أنزل ْالكتاب على طآئفتيْن منْ قبْلنا وإنْ ك َّنا عنْ دراسته ْم لغافلين Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan 27 Sebagaimana yang diceritakan, Nafi dari Ibn Umar, ketika ditanya tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Ibn Umar menjawab : “ Allah mengharamkan pernikahan wanita musyrik dengan muslim, lalu aku berkata, aku tidak mengetahui dosa apa yang terbesar, selain orang yang mengatakan, bahwa Isa bin Maryam adalah hamba di antara hamba Allah “. Lalu , Ali bin Ma’bad ( dari Abi Mulih dari Maymun bin Mahran ), menyangkal Ibn Umar, bukankah kita hidup di bumi ini, disekelilingi dengan wanita ahl al-Kitab, bukankan kita telah mengawini wanita mereka dan memakan makanan mereka ? Berkata Ali bin Ma’bad, bahwa Ali bin Abi T}alib mengulangi bacaan ayat tahrim dan ayat tahlil, lalu Abu Bakar menambahkan, ayat tahlil, yakni, Wa al-Muh}s}ana>t Mi Al-Ladhi>na Utu> al-Kita>b ) dan ayat tahrim, yakni,Wa La> Tankih}u> al-Mushrika>t Hatta Yu’minna. Ketika Ibn Umar usai mendengarnya, ia mengakaui status ayat keduanya, tanpa memberi penjelasan status kebolehannya. Abu Bakar Ahmad alRa>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n ( Beirut : Dar Fikr, t.th ), Juz II, 460. 28 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beiru>t:Dar Fikr, t.th ), Juz II, 460. 255 sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda29 tanda bagi kaum yang berpikir ( al-An’am/6:155-156) Menurut al-Jas}a>s}, bahwa ayat al-An’am ini, mengenai ahl alkita>b, yang hanya dimaksudkan dua kelompok [ ] ظائفتينyaitu agama Yahudi dan Nasrani, dan jika termasuk di dalamnya maju>si, berarti bukan dua kelompok. Maka dengan tegas, segera ditolak pendapat itu oleh al-Jas}a>s}. Selain itu juga, adanya pengakuan, bahwa kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi mereka, dan hal itu memang benar, tetapi sebuah kitab yang diturunkan kepada Zaroaster tersebut itu yang dalam kenyataannya seorang pengaku nabi [ palsu ]. Maka dengan bukti ini, bahwa maju>si bukan ahl al-kita>b.30 Menurutnya, Umar bin al-Khattab, menyatakan mereka bukan ahl al-kita>b, walaupun demikian, Rasulullah memperlakukan mereka, seperti halnya, ahl al-kita>b dalam urusan pajak [Jizyah]. Dalam Riwayat Yahya bin Said, yang disampaikan, bahwa Yahya bin Said dari Abu Ja’far bin Muhammad, bahwa Umar bin Khat}ab berkata : ” Apa yang harus aku perbuat terhadap orang Maju>si, sedangkan mereka bukah ahl al-kitab ?, Disambut oleh Abdurrahman bin Auf : Aku mendengar bahwa Rasulullah bersabda : ” Perlakukanlan [ orangorang maju>si ], seperti halnya ahl al-kitab.31 Demikian halnya, pernikahan dengan wanita S}a>bi’in, juga mendapat tantangan di kalangan ulama mazhab, misalnya, Abu Hanifah menyatakan mereka adalah ahl al-kita>b, Abu Yusuf bin Muhammad, menyatakan, mereka bukan ahl al-kita>b. Abu Hasan alKhurkhi menyatakan, mereka adalah orang-orang yang menganut agama al-Masih yang membaca Injil, yang berarti mereka Nasra>ni. Keterangan Abu Hanifah, segera dibantahnya, yang menurut al-Jas}a>h, mereka suatu kaum pengikut agama Nasrani, yang membaca Injil, akan tetapi hanyalah untuk jalan keselamatan ( taqiyyah ), dan tidak sesungguhnya, dan bukan atas keyakinan, akan tetapi hanyalah pilihan antara Islam atau perang ? Sejalan, dengan pandangan para 29 Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press), 215. 30 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Dar Fikr, t.th ), Juz II, 463. 31 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Dar Fikr, t.th ), Juz II, 463. 256 ulama fiqh, al-Jashash menyatakan, mereka bukan ahl al-Kita>b, dan karenanya dibatalkan menikahi wanita-wanita s}a>bi'in.32 3. Al- Al-Zamakshari (467-538 H/1075-1144 H), Tafsi>r Al-Kasya>f Al-Zamakhshari menjelaskan QS.al-Maidah/5:5, bahwa, wanita ahl al-kita>b yang boleh dinikahi adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani, meskipun di kalangan para sahabat terdapat beberapa perselisihan tentang wanita Nasrani Arab, kecuali Nasrani Bani Taghallub yang menurut pendapat Mazhab al-Shafi’i. AlZamakhshari juga menjelaskan, bahwa Abu Hanifah memasukkan penganut al-s}a>bi’ah dalam katagori ahl al-kita>b, walaupun pendapat ini tidak didukung oleh sebagian muridnya. 33 Tetapi, berbeda dengan al-maju>si mereka adalah orang-orang yang diperlakukan, seperti ahl al-Kita>b dalam hal membayar pajak, kendati demikian, makanan serta wanita-wanita mereka tetap tidak dihalalkan bagi orang-orang Islam. 34 Dari beberapa penafsiran ulama tafsir abad ini (periode klasik), dapat disimpulkan, yaitu, bahwa menurut Ibn Jari>r Al-T}abari, wanita musyrik, tidak terbatas, penyembah berhala, tetapi Yahudi, 32 Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n ( Beiru>t : Dar Fikr, t.th ), Juz II, 465. 33 Tidak disebutkan dua murid Abu Hanifah yang tidak sependapat dengannya, akan tetapi al-Zamakhsyari hanya menyebutkan dua murid Ab Hanifah, tanpa disebutkan nama keduanya, karena alasan lain. Mereka berdua menjelaskan, bahwa orang-orang sabi’in ( pengikut agama sabi’ah ), terbagi kepada dua kelompok, (1). Kelompok yang membaca kitab zabur dan penyembah Malaikat. (2). Kelompok yang tidak membaca kitab Zabur, dan mereka melakukan penyembahan terhadap binatang. Dak kedua kelompok tersbut, bukanlah katagori ahl al-kitab. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar AlZamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An H}aqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad} : Maktabah Abikah, t.th), Juz II, 200. 34 Dalam keterangan selanjutnya, Al-Zamakhshari, menyebutkan riwayat yang bersumber dari Ibn Musayyab, yang berbunyi: “Apabila terdapat seorang muslim yang sakit, maka diperintahkan bagi orang majusi untuk menyebut nama Allah dan diperintahkan juga untuk menyembelih hewan, yang demikian, hal itu tidak masalah ( yaitu halal daging hewan sembelihan mereka ), dan Abu Atsur menambahkan, jika orang Islam tadi dalam keadaan sehat, mereka menyuruh si Majusi untuk melakukan hal yang sama, demikian hukum daging sembelihan mereka, halal. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar AlZamakhsari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An H}aqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l (Riya>d} : Maktabah Abikah, t.th), Juz II, 200. 257 Nasrani, Maju>si, atau S}a>bi’in dan sebagainya termasuk ahl al-Kita>b. Maka Ia membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b berdasarkan QS. Al-Maidah /5:5. Karena itu ahl al-kita>b tidak terbatas, agama Yahudi dan Nasrani, melainkan mencakup selain mereka. Menurut Al-Zamakhshari walaupun dimasukannya, maju>si dan s}a>bi'ah dalam katgori ahl al-kita>b, tetapi Ia tetap tidak halal bagi orang-orang Islam. Menurut al-Jas}a>s}, ahl al-kita>b, hanyalah sebatas Yahudi dan Nasrani saja, sedangkan Maju>si bukan bagian dari ahl alkita>b, walaupun diperintahkan untuk diperlakukannya seperti ahl alkitab. Tetapi menurut al-Jasa>s, sa>bi'in itu, dinyatakan sebagai Nasrani, yang tak lain hanyalah taqiyah, dan bukan sebagai keyakinan. Dengan demikian menurut al-Jas}a>s, baik Maju>si ataupun S}a>bi'ah sama statusnya, maka pernikahan dengan mereka diharamkan. E. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan I ( Masa Kemunduran I / 1250-1500 M ). Dalam sejarah-sosial perkembangan Islam, abad pertengahan ini, adalah antara tahun 1250 M hingga 1500 M, saat itu Islam dibawah kekuasaan Abbasiyah, sudah mulai maju, dengan masuknya kerajaan-kerajaan besar, seperti, Mongol, Tartar, dan sebaginya, tepatnya abad ke-5 H.35 Di masa kepemimpinan Harun Al-Rashid (170-193 H/78-809 M), kekuasan Islam berada di Damasqus, yang kemudian pindah ke Baghdad, Irak, dan dengan hasil kemajuannya didirikan perpustakaan Islam terbesar, yaitu bernama Bait al-Hikmah. Maka mulai saat itu, berkembang ilmu pengetahuan, baik umum, seperti, filsafat, logika, matematika, kimia dan kedokteran, maupun pengetahuan agama, seperti, ilmu Al-Qur'an, Qira'at, al-Hadits, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Untuk pembahasan abad ini, kajian akan melihat karya bidang tafsir, pemikiran, seperti, di antaranya, Fakhruddin Al-Ra>zi (w.606 H), al-Qurtu>bi (w. 671 H), alBaid}a>wi(w.791 H), Jala>luddin al-Mahalli (w.864 H), Jala>luddin alSuyu>t}i (w.911 H), Ibn Kathi>r (w.774 H), dan al-Alu>si (w.1270 H ). 35 Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam (Dirasah Islamiyah II) ( Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. Ke-10, 111. 258 1. Al-Imam Fakhruddin Al-Ra>zi (w. 606 H/1209 M),Tafsir Mafa>tih Al-Ghaib / Tafsi>r al-Fakhru al-Ra>zi /Tafsi>r al-Kabi>r Selanjutnya, Al-Ra>zi, Ia dalam menafsirkan QS.alBaqarah/2:221 ini, mempertanyakan status, apakah al-Maju>si dan alS}a>bi’in masuk dalam kriteria ahl al-kita>b ? Dalam keterangannya, Al-Ra>zi setuju dengan pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan, al-mushrik [ ] المشركitu, masuk dalam kriteria ahl al-kita>b. Maka, menurut al-Ra>zi, ahl al-kita>b adalah musyrik. Dipertegas dengan QS.al-Taubah/9:30-31[ وقالت ا ْليهود عزيْر ابْن هللا وقالت ال َّنصارى ا ْلمسيح ابْن ]هللا, bahwa, Uzair putra Allah menurut Yahudi dan Al-Masi>h putra Allah menurut Nasrani. Menurutnya, ayat ini, secara langsung, menyatakan, bahwa Yahudi dan Nasrani berstatus musyrik, karena i’tiqa>d (keyakinan) mereka, berlandaskan pada trinitas 36, diperkuat lagi dengan ayat lain, dalam QS.al-Maidah/5:73, [ ْللا َْ َِّْْينْ َقالُواْإِن َْ لَّ َقدْْ َك َف َْرْالَّذ ُْ ] َثال,“bahwanya Allah salah satu dari yang tiga“.37 Keterkaitan َْالثة َ ِثْ َث dengan kriteria kemusyrikan, yang dalam teks QS. AlBaqarah/2:221[ ]وال تنكحوا المشركات, Al-Ra>zi mengutip dua katagori jenis kemusyrikan, Pertama, yang hanya memberlakukan untuk penyembah berhala saja,[Wathaniyah], yang ditujukan kepada 36 Konsep Trinitas adalah terjemahan dari trinity ( trinitas, tiga tunggal, trimurti ), sebagai sentral dan karakter doktrin Kristen tentang Tuhan dalam tiga person, bapak, anak, dan roh kudus. Gereja Kristen menegaskan bahwa subtansi Tuhan itu satu dan kombinasi tetap menjadi misteri. Konsep ini kemudian menjelma menjadi Yesus sang tuhan berdimensi manusia dan manusia berdimensi tuhan. Bagi Kristiani Yesus adalah Allah, Allah adalah Yesus. Karena itu sebutan Trinitas menunjuk langsung Yesus, padahal Yesus sendiri akan mengusir umat Kristen pada hari Kiamat lantaran mereka berseru Tuhan kepadanya. Artinya Yesus tidak mau atau tidak pernah mengajarkan bahwa dirinya Tuhan dan klaim Yesus sebagai tuhan merupakan suatu kejahatan. Allah berfirman : .......’’ Janganlah kalian mengatakan : Tuhan itu tiga ......QS. Al-Nisa’/4:171. Lihat. Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas Mencari Alternatif Pemikiran di Tengah Absurditas Modernisme ( Jakarta : LPSI ), 162-163, Lihat. John M. Echos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta : Gramedia, 1996 ), cet. XXIII, 604, Lihat. Hasan Shadilly dkk, Ensiklopedi Indonesia ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990 ), Jilid 6, 3627. 37 Terjemahan QS.Al-Maidah/5:73, Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang kelak berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.Lihat : Muhammad Ar Rāzi Fakhuddin Ar Rāzi (544-604 H ), Tafsīir al-Fakhri al-Rāzi al-Mushtahīr bi alKitāb Al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib ( Kairo : Dar al-Fikr, t.th ), Juz ke-5, 59-61. 259 pendapat kalangan sahabat. Maka untuk pernikahan dengan mereka dilarang. Kedua, yang memberlakukan ayat ini, untuk semua jenis kekafiran (kuffa>r), maka menikahi orang-orang kafir, baik ahl alkita>b atau non ahl al-kita>b, seperti, maju>si, s}a>bi’in, diharamkan, seperti, yang dianut Ulama Zaidiyah, di antaranya, Ibn Umar dan Muhammad bin al-Hanafiyah, sementara menurut Jumhur, mereka menganggapnya, bahwa ayat al-Maidah/5:5 [ والمحصنات من الذين أوتو ] الكتابini, sebagai ayat yang berstatus tetap, tidak me-nasakh atau sebagai mansu>kh, maka ulama kalangan sahabat, membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b, seperti, Huzaifah menikahi wanita Yahudi atau T}alhah menikahi wanita Nasrani. 38 Dalam hal ini, alasan al-Ra>zi mengutip hadith Nabi S.A.W, yang melalui riwayat Ja>bir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda : “ Kita boleh menikahi wanita ahl al-kitab, sedangkan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita muslim “. Menyinggung tentang maju>si, Al-Ra>zi mengutip hadith masyhur, bahwa Abdurahman bin Auf, meriwayatkan, bahwa Nabi Saw mengatakan,“ Perlakukanlah mereka [maju>si], seperti layaknya ahl al-kitab, dan tidak boleh menikahi wanita-wanita mereka, dan tidak pula memakan sembelihan mereka“. Merespon pernyataan tersebut, Al-Ra>zi memiliki dua pendapat, )1(. Jika diharamkan menikahi wanita maju>si, maka hukum pengecualian itu, batal, dengan arti, harus dikembalikan kepada ّ pemahaman [ يؤمن ] وال تنكحوا المشركات حتى, untuk semua jenis kemusyrikan, termasuk ahl al-kita>b. Ke-)2(. Bahwa pengharaman itu untuk semua jenis kemusyrikan, sesuai za>hir ayat, yang dinyatakan dalam teks [] أ ْولئك ي ْدعون إلى ال َّنار, sebagai alasan, menunjukkan sifat orang-orang musyrik, yang slalu mengajak kepada jalan menuju Neraka. Maka kesimpulan kedua alasan al-Ra>zi itu, seakan-akan diartikan, “Diharamkan menikahi mereka, karena orang-orang musyrik yang slalu mengajak ke jalan menuju Neraka, sebagai sasarannya, tertuju kepada pengikut ahl al-kita>b, baik Yahudi dan Nasrani, atau non ahl al-kita>b, yaitu, Maju>si dan Sa>bi’in.39 38 Muhammad Ar Rāzi Fakhuddin Ar Rāzi (544-604 H), Tafsīir al-Fakhri al-Rāzi al-Mushtahīr bi al-Kitāb Al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib (Kairo:Dar al-Fikr, t.th), Juz ke-5, 62. 39 Muhammad Ar Rāzi Fakhuddin Ar Rāzi ( 544-604 H ), Tafsīir al-Fakhri al-Rāzi al-Musytahīr bi al-Kitāb Al-Kabīr Wa Mafātih al-Ghaib, 62. 260 2. Al-Qurt}ubi (w. 671 H / 1273 M), Qur’a>n 40 al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al- Pendapat Al-Qurt}ubi mengenai pria muslim menikahi wanita Maju>si dan S}a>bi’ah, terdapat beberapa athar, yang dikutipnya. Bahwa Al-Qurtubi menyebutkan pendapat Ibn Atiyah, terkait ayat alBaqarah/2:221, bahwa melalui perkataan Ibn Abbas r.a, ayat ini, secara umum ditujukan kepada penyembah berhala (wathaniyah), maju>siyat (wanita maju>si) dan ahl al-kita>b, atau untuk semua penganut agama, selain Islam. Bahkan, terdapat adanya pendapat sahabat yang menyatakan, bahwa ayat di atas, sebagai na>sikh terhadap ayat al-Maidah/5:5, seperti, menurut Ibn Umar. Tetapi Berbeda dengan ayahnya, Umar bin al-Khattab r.a, yang memisahkan (meminta menceraikan), T}alhah bin Ubaidillah dan Hudhaifah bin Yaman di antara kedua istrinya, yang beragama Yahudi dan Nasrani. 41 Hal itu diusung oleh Ibn Munzir, yang membolehkan 40 Dia adalah Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farkh, Abu Abdullah Al-Anshary, al-Khazraji, al-Qut}ubi, Al-Makhzumi, al-Maliky, yang biasa dipanggil Abu Abdullah, kemudian ia terkenal dengan panggilan Al-Qurthubi, kemudian dinisbahkan kepada negara kelahirannya Cordova Andalusia. Ia pergi ke Mesir dan menetap di Maniyah Bani Khusa’ib sebelah Utara Asuyuth sampai akhir hayatnya. Guru-gurunya diantaranya adalah Ibn Rawaj, Ibn Jamizi dan Ibn Muzayyan. Dan Murid-uridnya adalah Syihabuddin Abu Abbas dan Abu Abdullah Wali. Ia berkepribadian yang unik, seoarng hamba yang shaleh, rajin beribadah dan berpengetahuan luas, selain ia seorang yang zahid, sampai kepada puncak kezuhudannya, ia berpergian dengan satu stel pakaian dan kopiah yang dikenakannya, karena satu niat, hanya untu beribaha karena Allah semata. Di satu sisi ia juga seorang yang ulet dalam menulis, salah satu karyanya adalah salah satu kitab tafsir yang sangat bermanfaat, yang dikenal Al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar AlQut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}amanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Lihat. Muhammad H}usain al-Dhahabi, alTafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, cet. II, 336337. 41 Diriwayatkan, bahwa Umar memisahkan Thalhah bin Ubaidillah dan Huzaifah bin Yaman antara dua istrinya yang berasal dari ahl al-Kita>b. Kedua sahabat itu, berkata : Wahai Amirul mukminin, kami akan menceraikannya, dan jangan marah. Kemudian Umar berkata : Jika boleh diceraikan, berarti boleh dinikahinya, tetapi aku memisahkan itu, karena alasan kekwawatiran saja. Dalam keterangan lain, Ibn Athiyah mengomentari, tentang hadits tersebut, yang tidak didukung dengan sanad yang baik. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n 261 pernikahan dengan ahl al-kita>b atas dasar keterangan Umar bin alKhattab tersebut. Dan disetujui pendapat kalangan sahabat, seperti, al-Nuha>s, yang diakhir keterangan, menyatakan, hal itu berlaku di awal Islam, dengan keterangan, QS.al-Baqarah/2:221 ini, tidak berlaku untuk ahl al-kita>b, karena mereka telah dibedakan dengan status mushri>kat dan al-al-Kita>b, dengan teks QS.al-Baqarah/2:105 [ ] مَّايود الَّذين كفروا منْ أهْل ا ْلكتاب ول ا ْلم ْشركين أن ين َّزل عليْ كم مِّنْ خيْر مِّنْ َّربِّك ْم, dan teks QS.al-Bayyinah/98:1[ ل ْم يكن الَّذيْن كفر ْوا منْ أهْل ا ْلكتب وا ْلم ْشركيْن ] م ْنف ِّكيْن ح َّتى يأْ تيهم ا ْلبيِّنة, sehingga teks QS.al-Maidah/5:5,[ وا ْلمحْ صنات من ] ا ْلم ْؤمنات وا ْلمحْ صنات من الَّذين أوتوا ا ْلكتاب من قبْلك ْم,secara khusus diturunkan untuk ahl al-kita>b. Dengan alasan ayat-ayat tersebut, Jumhur Ulama, membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b, walau sebelumnya adalah kafir, kemudian masuk Islam. 42 Al-Qurt}ubi, menjelaskan, pandangan-pandangan para ulama fiqh yang berbeda, dengan status pernikahan dengan wanita maju>si. Dan para ulama yang melarang di antaranya, Imam Ma>liki, al-Sha>fi’ih, Abu Hanifah, Al-Awza’i, serta Ibrahim bin Ishaq, berkata Imam Ibn Hambal : “ Saya tidak tertarik dengan pernikahan semacam ini “. Dalam suatu riwayat yang lain, bahwa Huzaifah bin Yaman, menikah dengan seorang wanita maju>si, lalu Umar bin al-Khattab meminta untuk menceraikannya. 43 Maka berdasarkan Keterangn-keterangan para ulama di atas, Al-Qurtubi menyimpulkan, bahwa QS.al-Baqarah/2:221, telah disepakati para ulama, yang ditujukan larangan itu kepada wanita watsaniyah [penyembah berhala] dan maju>siyat [penyembah api], karena Allah S.W.T, telah menghalalkan pernikahan muslim dengan wanita ahl alkita>b dengan landasan QS. al-Maidah/5:5.44 Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah AlRisa>lah, 1427 H /2006 M ), Cet. I, Juz : 10, 456. 42 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671H), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : 10, 457. 43 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M), Cet. I, Juz : 10, 460. 44 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Quthubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : 10, 461. 262 Berarti dalam hal ini, jelas, bahwa al-Qurtubi tidak menyetujui pernikahan dengan wanita Maju>si dan Sa>bi’in. 3. Al-Baid}a>wi ( w.791 H / 1191 M ), Dalam Tafsirnya, Anwa>r alTanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l. Al-Baid}a>wi menafsirkan QS. al-Baqarah/2:221 ini ditujukan kepada wanita musyrik. Dengan ayat tersebut juga, ditujukkan semua kemusyrikan, maka pria muslim dilarang menikahi wanita musyrik, termasuk ahl al-kita>b, karena berstatus musyrik, bedasarkan QS AlTaubah/9:30-31. Tetapi nampaknya janggal dengan pendapat ini, karena Al-Baid}awi juga setuju dengan adanya pengecualian, berdasarkan QS. al-Maidah/5:5, menyetujui pernikahan dengan wanita ahl-al-kita>b, dengan tanpa syarat, merdeka atau budak sahaya, dengan alasan, bahwa mereka sebagai hamba Allah. 45 Demikian prihal Maju>si, meskipun Rasulullah S.A.W meminta untuk memperlakukan mereka, seperti ahl al-kita>b dalam membayar pajak (jizyah), namun tetap berlaku larangan pernikahan itu. Hal tersebut, dilandasi dengan teks hadits Nabi Muhammad SAW,” Perlakukanlah mereka (maju>si) seperti ahl al-kita>b, dengan tidak menikahi wanita mereka dan tidak memakan makanan hasil sembelihan mereka.46 Dengan kata lain, sepertinya, al-Baida>wi, ingin menyatakan maksudnya, bahwa yang dilarang adalah menikahi wanita Maju>si, sedangkan dalam hal menikahi wanita ahl al-kita>b dibolehkan bagi yang berstatus muh}s}ana>t (terhormat). 4. Imam Al-Kha>zin ( w. 741 H/1341 M ), Tafsir Luba>b al-Ta’wi>l Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l (Tafsir al-Kha>zin ). Menurut Al-Kha>zin, 47 menafsirkan QS. Al-Baqarah/2:221, bahwa, status al-mushrika>t itu untuk semua jenis kemusyrikan, baik 45 Al-Imam Al-Qa>di Nas}i>ruddin Abu Said Abdullah Abu Umar Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l ( Beiru>t : Dar Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3,506. 46 Al-Imam Al-Qa>d}i Nas}iruddin Abu Said Abdullah Abu Umar Muhamma, 297. 47 Ia memiliki nama lengkap Ala>’u al-Di>n Abu> al-Hasa>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Baghdady. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 678 H bertepatan dengan tahun 1279 M, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama alKhazin. Selain sebagai mufassir, beliau juga seorang yang sufi dan fakih. Ia pengikut mazhab al-Syafi’iyah. Wafat di Halaba ( Aleppo ) tanun 741 H/1342 M. 263 wathaniyat (penyembah berhala ), maju>si ( penyembah api), bahkan Yahudi dan Nasrani. Tetapi nampaknya, Kha>zin juga sependapat dengan Baid}a>wi, yang setuju dengan pengkhususan, yang ditujukan kepada ahl al-kita>b, yang merdeka (hara>’ir) berdasarkan QS. alMaidah/5:5. Mengutip keterangan dari Ibn Abbas yang memperjelas, bahwa kata ’muh}s}ana>t’ itu dikhususkan untuk wanita bangsa Arab penyembah berhala. Sementera menurut Qata>dah menyebutnya, adalah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Pendapatpendapat tersebut telah disepakati Jumhur Ulama, dengan memberi stastus musyrik yang masih umum, masuk dalam katagori ahl alKita>b, dan juga para penyembah berhala, baik Maju>si, atau lainnya, berdasarkan QS. al-Taubah/9:30.48 Dengan kata singkat, bahwa alKha>zin, melarang pernikahan dengan wanita maju>si, sedangkan dengan wanita ahl al-kitab, dibolehkan atas dasar pengkhususan yang berstatus muh}s}ana>t. Kesimpulan dari pendapat ulama-ulama tafsir periode abad pertengahan I ini, seperti, al-Kha>zin, menyatakan, bahwa menikahi wanita musyrik haram hukumnya, termasuk, ahl al-Kita>b, Maju>si dan S}a>bi’in. Kecuali status ahl al-kita>b, yang merdeka atau budak, apakah Yahudi atau Nasrani dari kalangan penyembah berhala, bangsa Arab dengan kriteria muh}s}ana>t. Al-Ra>zi jberpendapat ahl alkita>b adalah musyrik, maka menikahi wanita mereka dilarang, dengan alasan, bahwa status kemusyrikan itu, berlandaskan atas keyakinan kepada trinitas (tiga tunggal). Sedangkan Al-Qurt}ubi mengharamkan permenikahan dengan alasan wathaniyah Pada malam Jum’at di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat perkuburan al-Sufiyyah pada hari yang sama. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum ( t.t : Wizarah Al-Thaqa>fah Wa Irsha>d Al-Isla>my,1373 H ), 598, Lihat juga, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 220. 48 Terkait dengan kriteria ahl al-kita>b, Ibn Abba>s, menjelaskan, kata muhsanant berlaku untuk wanita yang merdeka ( hara>’ir ), al-Hasan, al-Sya’bi, dan al-Nakha’i serta al-D}aha>q setuju dengan wanita terjaga dan terpelihara (afa>’if ), oleh kerana itu Ibn Abbas melarang pernikahan dengan wanita budak sahaya dari Ahl akitab, demikian diikuti mazhab Shafi’ih, karena alasan, memiliki dua kekekurangan, yaitu, berpredikat kufur dan sebagai budak sahaya. Berbeda dengan mazhab Hanafi membolehkan, karena alasan pelarangan ayat yang masih bersifat umum. Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Bagdadi ( Kha>zin, w. 725 H), Tafsir al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’ani al-Tanzi>l ( Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), 147. 264 (penyembah berhala] termasuk, maju>siya>t [penyembah api], sa>bi’ah, akan tetapi Ia membolehkan pernikahan dengan ahl al-kita>b dengan alasan, menurut QS. al-Maidah/5:5 telah dihalalkan. Sedangkan alBaid}a>wi, membolehkan pernikahan muslim dengan wanita ahl-alkita>b, dengan tanpa syarat, merdeka atau sebagai budak sahaya, dengan alasan, mereka sebagai hamba Allah. Maka menurutnya, perintah larangan menikahi wanita musyrik, termasuk Maju>si dan S}a>bi’in, tetapi boleh menikahi ahl al-kita>b dengan kriteria yang muh}s}ana>t (terhormat). F. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan II (1500-1800 M) 1. Ibn Kathi>r ( w. 774 H / 1372 M ), Tafsi>r al-Qur’an al-Azi>m. Menurut Ibn Kathi>r dalam konteks pernikahan beda agama, terkait penafsiran QS. Al-Baqarah/2:221, Ia mengharamkan orangorang mukmin menikahi wanita-wanita musyrik, penyembah berhala. Walau pada zahir ayatnya, masih bersifat umum, yang terkandung di dalamnya masuk wanita [kita>biyah dan wathaniyah]. Walaupun dalam ayat ini, tidak menyebutkan larangan menikahi wanita ahl alkita>b, karena alasan Allah SWT telah menghalalkan menikah dengan mereka, berdasarkan firman Allah S.W.T, QS.al-Maidah/5:5. Akan tetapi dalam hal menikahi wanita maju>si, terdapat isyarat perintah untuk memperlakukan mereka, seperti memperlakukan ahl al-kita>b dalam hukum membayar pajak (jizyah), tetapi dalam hukum menikahi mereka, sudah dinyatakan dengan tegas, tidak dibolehkan seperti halnya hasil sembelihan mereka. Berbeda dengan nyatanya yang dipahami Abu Thu>r Ibrahim bin Kha>lid al-Kalibi,[ulama fiqh Mazhab Shafi’i], demikian juga menurut Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikenal dengan keteguhan pendapatnya, membolehkan menikah dengan orang maju>si, dengan pedoman pada hadits Nabi S.A.W, [[ ] سنوا بهم سنة أهل الكتابPerlakukanlah mereka (orang-orang maju>si), seperti, ahl al-kita> ]. Dengan kenyataan ini, kebolehan menikmati sembelihan mereka, dan menikahi wanita-wanita mereka, yang didukung dengan hadith Nabi S.A.W, dengan riwayat al- 265 Bukhari, dari Abdurahman bin Auf, bahwa Rasulullah SAW meminta mengambil upeti (jizyah) dari orang-orang maju>si yang tertawan.49 2. Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( w. 911 H / 1505 M ),Tafsi>r Al-Du>rr Mantsu>r Fi Tafsi>r Bi Al-Ma’tsu>r Al-Suyuti (w.911 H), dalam konteks pernikahan dengan wanita Maju>si dan S}a>bi’in, menjelaskan status QS.al-Baqarah/2:221, dengan mengutip beberapa riwayat, dari Imam Al-Baihaqi dalam kitab sunannya, yang bersumber dari Said bin Zubayr, menyatakan, bahwa maksud wanita musyrik di sini adalah penyembah berhala (ahl al-Awthan), sedangkan menurut Muja>hid adalah wanita penduduk Makkah, dan menurut Qata>dah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci, berbeda dengan Abdun bin Humaid, mereka adalah wanita maju>siya>t dan penyembah berhala. 50 Berdasarkan pada 49 Imaduddin Abi Fida’I Ismail Ibn Katsir al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im > ( Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurthu>bah, 1421 H/2000 M ), Jilid 5, Cet. I, 80-81. 50 Dalam riwayat yang bersumber dari Said bin Zubair, menyatakan : ) والبيهقى فى ( سننه,) والنحاس فى ( ناسخه, وابن أبى حاتم, وابن جرير, أخرج وكيع يعنى أهل األوثان: ت حتَّى ي ُْؤ ِم َّن ) قال ِ ( وال ت ْن ِكحُوا ا ْل ُم ْش ِركا: عن سعيد بن جبير فى قوله . Di sampaikan oleh Waqi’, dan Ibn Jarir, dan Ibn Abi Hatim, dan AlNuhas di dalam kitabnya ( al-Nasikh ), dan al-Baihaqi dalam kitabnya (al-Sunan ), dari Said bin Jubair, terkait firman Allah ( Wala> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna ), Said bin Zubair, berkata : yaitu para penyembah berhala. Riwayat yang bersumber dari Mujahid, menyatakan : ت حتَّى ي ُْؤ ِم َّن ِ ( وال ت ْن ِكحُوا ا ْل ُم ْش ِركا: عن مجاهد, والبيهقى, وعبد بن حميد, وأخرج أدم ّ . أحلهن نساء أهل الكتاب نساء أهل الكتاب مكة من المشركين و ثم: ) قال Di sampaikan oleh Adam, dan Abdun bin Humaid, dan Al-Baihaqi, dari Mujahid ( Wala> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna ), berkata : adalah wanita ahl al-Kitab penduduk kota Makkah yang musyrik, lalu dihalalkan wanita ahl alkitab. Dari riwayat yang bersumber dari Qatadah, menyatakan : ) ت حتَّى ي ُْؤ ِم َّن ِ ( وال ت ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِركا: عن قتادة, وعبد بن حميد, وأحرج عبد الرزاق . مشركات العرب الالتى ليس لهن كتاب: قال Dan dikeluarkan oleh Abu Rizaq, dan Abdun bin Humaid, dari Qatadah (Wala> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna ), berkata : adalah wanita mushrik Arab yang tidak mempunya kitab suci. Sedangkan dari Abdu bin Humaid dengan sumber Hammad, menyatakan : : سألت إبراهيم عن تزويج اليهودى والنصرانى فقال: أخرج عبد بن حميد عن حماد قال إنما ذالك: (ول ت ْنكحوا ا ْلم ْشركات ح َّتى ي ْؤمنَّ ) قال: أليس هللا يقول: فقلت.ل بأس به . المجوسيات و أهل األوثان 266 periwayatan-periwayatan tertsebut, yang merupakan sumber awalnya dari Ibn Abba>s r.a yang disampikan Ibn Jari>r dalam tafsirnya, tentang pelarangan yang masih bersifat umum dalam menikahi musyrika>t, terkecuali, ahl al-kita>b, berdasarkan QS.al-Maidah/5:5, yang telah jelas dihalalkan status pernikahannya. 51 3. Al-Alu>si (w. 1270 H ), dalam tafsirnya, Tafsir Ru>h al-Ma'a>ni Fi Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni Al-Alu>si telah menjelaskan status pernikahan laki-laki muslim menikahi wanita musyrik, selain ahl al-Kita>b yang dibolehkan menurut QS.al-Maidah/5:5.52 Menurut riwayat alA’Mashy, bahwa ayat di atas merupakan pelarangan menikah dengan wanita-wanita musyrik selain ahl al-kita>b, karena firman Allah S.W.T dalam QS.al-Bayyinah/98:1[ ل ْم يكن الَّذيْن كفر ْوا منْ أهْل ا ْلكتب ] وا ْلم ْشركيْن م ْنف ِّكيْن ح َّتى يأْ تيهم ا ْلبيِّنة, menjelasakan kedudukan at}af, yang statusnya membedakan antara al-musrikat dan ahl al-kitab, maka menurut QS.al-Baqarah/2:221, berlaku larangan menikahi wanita musyrik dan boleh menikahi wanita ahl al-kita>b menurut QS. AlMaidah/5:5. Pendapat Ibn Humaid menyatakan, yang bersumber dari Qata>dah, bahwa, al-Mushrikat di sini adalah wanita bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Diperkuat dengan riwayat Hamma>d yang bertanya kepada Ibrahim bin Ishaq mengenai hal menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, lalu dijawab oleh Ibrahim, tidak apa-apa (boleh), lalu berkata lagi lagi, bukankah Allah telah melarangnya Dikeluarkan Abdun bin Humaid dari Hammad, berkata : aku bertanya kepada Ibrahim tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, ia berkata : boleh ( la ba’tsa). Bukankah Allah telah berfirman : Janganlah kamu menikahi wanita musyrik, hingga ia beriman, kemudia Ibrahim mengatakan, mereka adalah wanita majusi dan penyembah berhala. Jala>luddin al-Suyu>t}i ( 879-911 H ), al-Du>r alManthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky) (Kairo:Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sat al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 563. 51 Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r ( tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky )( Kairo : Markaz Hijr Li a-Bu’u>th Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M ), cet. I, Juz ke-8, 562. 52 Abu> Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Azi>m Wa Sab’u al-Matha>ni (Beiru>t : Ida>roh al-T}aba>’ah Al-Muni>riyah Da>r Ihya’ al-Tura>th Al-Arabi, t.th ), Juz ke- 2, 118. 267 dengan firman-Nya, ” [ْْ ] والْتنكحوا ْالمشركاتْ؟. Ibrahim menjawab, hal itu berlaku hanya untuk wanita Maju>si dan penyembah berhala.53 Berdasarkan keterangan-keterangan disimpulkan, penafsiran ulama-ulama salaf abad pertengahan II ini, menurut Ibn Kathi>r, mengharamkan orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita musyrik, penyembah berhala, maju>si dan s}a>bi'in, tetapi boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, demikian menurut Al-Suyu>t}i, walaupun larangan itu masih bersifat umum, dengan kriteria almushrika>t, tetapi dikecualikan ahl al-kita>b yang boleh dinikahi. Sedangkan al-Alu>si, melarangn menikahi wanita maju>si dan penyembah berhala, dan membolehkan menikahi wanita ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani ). G. Perspektif Ulama Tafsir Modern-Kontemporer Beberapa ulama tafsir yang muncul di sekitar abad modern ini [di mulai sejak tahun 1800 M], yang antara lain, Rashi>d Rid}a> (w. 1354 H/1935 M), Al-Mara>ghi (w. 1371 H/1945 M), Sayyid Qutub (w. 1386 H/1966 M ), Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M ), Abu al'Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Syeikh Mohammad Shaltu>t (w. 1963 M), dan sebagainya. Namun dalam kajian ini, tidak membahas semua karya yang muncul abad ini, akan tetapi untuk mewakili pandangan mereka disebutkan beberapa para mufassir di antara, yaitu: 1. Muhammad Rashi>d Rid}a ( 1282-1354 H/1865-1935 ), dalam kitabnya, Tafsir Al-Mana>r. Rashid Rid}a> sependapat dengan al-Alu>si, yang menyatakan, bahwa keterangan al-Suyuti berbeda dengan al-Wa>hidi, yang ditujukan kepada Abu Marthad. Dalam penelitian Rashi>d Rid}a, membenarkan, jalur yang disampaikan al-Suyu>t}i yang bersumber dari Ibn Abbas r.a, mengenai maksud larangan QS.al-Baqarah/2:221, yang ditujukkan kepada Abu Marthad, mengenai larangan menikahi wanita musyrik, walau berbeda dengan kasus yang terdapat dalam ayat alNu>r/24:3[ ] الزاني الينكح إال زانية أو مشركة, terhadap kasus perbuatan zina, 53 Abu Fadl Shihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alu>si al-Baghdadi (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}im > Wa Sab’u al-Matha>ni ( Beirut : Idarah al-T}aba’h Al-Muni>riyah Dar Ih}ya’ al-Turath Al-Arabi, t.th ), Juz ke- 2, 118. 268 yang ditujukan mengenai Abdullah bin Rawahah.54 Rashi>d Rid}a> juga setuju dengan sejumlah pendapat, yang mengatakan, bahwa almushrika>t dalam QS.al-Baqarah/2:221, ditujukan selain ahl al-kita>b yang bukan Arab, walaupun hal itu berbeda pandangan dengan mayoritas ulama, yang memasukan kriteria, orang-orang Arab yang tidak memiliki kitab suci, dengan landasan QS. Al-Baqarah/2:105 dan QS. Al-Bayinah/98:1, sehingga, wanita musyrik dalam surat alBaqarah dimaksudkan mencakup ahl al-kitab dan non ahl al-kita>b. 55 Dalam hal menikahi wanita Maju>si, menurut pendapat Rashi>d Rid}a> merupakan pelarangan yang masuk dalam katagori musyrik yang tidak memiliki kitab suci, walaupun berbeda yang dimaksudkan sebagian ulama Fiqh, masuk dalam kriteria ahl alkitab, atas dasar QS. Al-Hajj/22:17, hanya saja dalam hal membayar pajak (Jizyah).56 Rashi>d Rid}a> nanpaknya, tidak cukup sampai disitu, tetapi memperluas cakupan ahl al-Kita>b, dengan memasukan para penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani, seperti, agama Budha dan Hindu.57 Karena beralasan, bahwa kriteria al-Mushrika>t (penyembah berhala) ditujukkan kepada wanita-wanita Bangsa Arab, sebagaimana menurut pendapat yang dipilih oleh Al-T}abari. Disamping itu, dinyatakan pula oleh Rashi>d Rid|a, bahwa pada dasarnya semua penganut agama yang ada, sampai saat ini, adalah ahl al-kita>b, karena pada setiap umat pasti diturunkan seorang rasul 54 Al-Suyu>t}i menyebutkan, ayat al-Nur/24:3, dipahami dua sebab riwayat diturunkannya, Pertama, ditujukan kepada seseorang laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita yang disebutkan namanya Ummu Mahzul, karena pelaku perbuatan zina, (dalam riwayat al-Nasa’i), yang kedua, disebutkan ditujukan kepada seseorang bernama Mazid ( kemudian diralat, melainkan namanya Marsad ) yang ingin menikahi wanita musyrik yang dicintainya di Makkah, bernama Anaq atas sebab perlaku zina ( dalam riwayat Abu Daud, Al-Tirmizi, al-Nasa’i, dan al-Ha>kim dari sumber Amr bin Syua’ib dari bapaknya dari kakeknya. Walhasil ternyata kasus semacam ini banyak di masa Jahiliyah, namun ayat tersebeut secara umum diturunkan kepada mereka ( masih dalam satu rangkaian, terhadap individu yang berbeda, pada kasus yang sama dalam waktu yang sama pula). Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r alMana>r (Beiru>t : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Jilid 6, 280-281. 55 Al-Sayyid Muhammad Rashid Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 281 56 Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r 281. 57 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, 28. 269 yang membawa risalah atau kitab samawi. Karena lamanya waktu, kemudian terjadi beberapa penyelewengan atas ajaran serta isi kitab suci tersebut, sebagaimana juga terjadi pada agama Yahudi dan Nasrani.58 Maka menurut Rashi>d Rid}a>, dengan mempertimbangkan penggunaaan kaidah, asal segala sesuatu adalah boleh. Kaedah tersebut, merupakan kebalikan dari kaidah yang masyhur di kalangan ulama, yaitu bahwa, asal segala sesuatu itu adalah haram".59 Walaupun demikian, Rashid Rida}, tetap tidak sepakat, dengan perkawinan yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Islam dengan para wanita ahl al-Kita>b, khususnya yang terjadi di belakangan ini, para lelaki muslim menikah dengan wanita-wanita Eropa. Karena dikhawatirkan para wanita tersebut, dengan pengetahuan yang minim dan kecantikannya, akan menjerumuskan orang-orang Islam yang karena kebodohan serta kelemahan akhlaknya, terpikat oleh mereka. Dalam hal ini, akan dapat menimbulkan fitnah. Padahal mencegah kerusakan (saddu al-dhazi>'ah) wajib hukumnya dalam Islam.60 58 Sebuah pernyataan, dikatakan, bahwa cakupan ahl al-kitab, meluas kepada penganut selain ahl al-kitab, sebagaimana yang dilontarkan Abu Mansur Abdul Qahir bin T}ahir al-Baghda>di ( w. 429 H ), dalam kitab al-Fira>q Baina alFira>q yang dikutip Rashi>d Rid}a> dalam al-Mana>r. Dalam hal ini, menyatakan, Orang-orang Yahudi mengakui kenabian Zarathustra, dan turunnya wahyu dari Allah kepadanya. Sedangkan orang-orang S}a>bi'in, mengakui kenabian Hermes, Ilyas, Dauritos, Plato, dan beberapa filosof. Demikian juga umat-umat yang lainnya, masing-masing mengakui turunnya wahyu tersebut memuat prihal, larangan, berita tentang siksa, maut, pahala, serta surga dan neraka, yang merupakan balasan bagi perbuatan yang telah dilakukan. Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a,> Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Haki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r , 6, 253. 59 Kaidah sebagaimana dimaksud di atas, Al-Aslu Al-‘Iba>hah Fi Kulli Sha'i, H}atta> Yarudda al-Nas} bi H}azrihi, Pada saat bersamaan Rashi>d Rida} menyebutkan kaidah, yang masyhur di kalangan ulama, bahwa asal perkawinan adalah haram (Al-Aslu fi> al-Nika>h al-H}urmah ), walaupun pada dasarnya, asal segala sesuatu adalah boleh ( Al-Aslu fi> Sa>iri al-Ashya' al-Iba>hah ). Jika demikian sama halnya pendapat mayoritas Ulama, maka harus ada nas} yang membolehkan suatu perkawinan. Lihat. Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rida}, Tafsi>r Al-Qur’a>n alH}aki>m al-Masyhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 157. 60 Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 159. 270 2. Al-Mara>ghi ( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), Dalam Tafsir Al- Mara>ghi Pendapat Al-Mara>ghi mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita Maju>si atau S}a>bi’ah, yang dipahami menurut QS.alBaqarah/2:221, Ia menyatakan larangan menikahi wanita musyrik, yang dipahami dalam teks, ” Janganlah menikahi wanita musyrik yang tidak memiliki kitab suci, hingga ia beriman dan membenarkan kenabian Muhammad S.A.W ”.61 Al-Mara>ghi melarangan pria non muslim menikahi wanita muslimah, karena alasan, kurangnya kafa>’ah (kesempurnaan). Sedangkan dalam hal menikahi wanita yang berstatus ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), telah diperbolehkan bedasarkan QS. al-Ma>idah/5:5, karena beralasan, untuk menjalin hubungan baik dengan non muslim, menciptakan dakwa Islam, selain menyatukan hubungan dua individu yang berbeda agama dalam sebuah ikatan pernikahan.62 3. Muhammad Sayyid Qutb (1326-1386 H)/(1906-1966 M), dalam kitabnyaTafsi>r Fi> Z}ila>l Al-Qur’a>n Penafsiran Sayyid Qutb dalam konteks QS. al-Baqarah/2:221 ini, sebagai bentuk pelarangan pria muslim menikahi wanita musyrik atau sebaliknya larangan non-muslim menikahi wanita muslimah. walaupun tidak secara tegas, siapa status yang dimaksudkan Maju>si dan S}a>bi’in. Tetapi, bisa dipahami dengan turunnya ayat al-Baqarah tadi, sebagai larangan pernikahan antara muslim dengan orang ka>fir (musyrik) yang pernah terjalin, bahkan Peristiwa Hudaibiyah [6H], sebagai solusi awal, memperbaiki tatanan kehidupan, dilarangnya menjalin hubungan pernikahan dengan orang musyrik. Lalu dengan turunnya QS.al-Mumtahanah/60:10 ini, yang sekaligus, menjelaskan status putusnya hubungan pernikahan dengan mereka, yang pernah terjalin, bertujuan demi mengangkat derajar manusia, di atas derajat makluk lainnya.63 Akan tetapi Sayyid Qutb menyetujui pernikahan 61 Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-H}alabi Wa Awla>duhu, 1365 H / 1945 M ), cet. I, 151. 62 Ahmad Musthafa Al-Maraghi,Tafsir Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah Must}afa Al-Ba>bi al-H}alabi Wa Awla>duhu, 1365 H / 1945 M ), cet. I, 153. 63 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa Nashr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 177. 271 dengan wanita, yang berstatus merdeka atau budak sekalipun, karena, menurutnya, bahwa status yang beriman, adalah tinggi dan mulia derajatnya, [ ] وألمةة مؤمنةة خيةر مةن مشةركة.64 Walau demikian, Ia tetap menyetujui pernikahan dengan ahl al-Kita>b yang berbeda keyakinan, karena menurutnya, Islam dan mereka memiliki latar belakang akar akidah yang sama. Tetapi Sayyid Qutb tidak menyetujui, jika ahl alkita>b itu adalah orang-orang yang berkeyakinan kepada trinitas, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga (QS. al-Maidah/5:73), disebutkan bahwa, Allah sebagai al-Masih putra Maryam ( QS.alMaidah/5:72 ), atau sebagai Uzair putra Allah, ( QS al-Taubah/9:31), yang berbeda menurut Jumhur sebagaimana menurut QS. alMaidah/5:5. Berdasarkan hadits yang riwayat Al-Bukhari, bahwa Abdullah bin Umar berkata : “ Saya tidak melihat kemusyrikan yang lebih besar, dari perkataan wanita, bahwa Tuhannya adalah Isa “. Maka Sayyid Qutb setuju dengan landasan hadith ini, maka status pernikahan dilarang sejalan dengan pendapat Ibn Umar. 65 4. Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni ( w. 1406 H / 1986 M ), Tafsi>r Aya>t Al-Ahka>m Min al-Qur’a>n Penafsiran Ali Al-S}a>bu>ni membenarkan seorang muslim menikahi ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani], sebagaimana kesepakatan pendapat Jumhur Ulama, yang dengan menambah syarat dengan status sebagai zimmi,[QS. al-Maidah/5: 5]. Dan Ia setuju dengan pelarangan terhadap pria muslim menikahi wanita Maju>si dan penyembah berhala, 66 walaupun besebrangan menurut pendapat Ibn Umar r.a tentang pernikahan semacam ini, atas alasan teks QS.alBaqarah/2:221, selain itu juga beranggapan bahwa orang-orang musyrik adalah musuh Islam menurut QS.al-Mumtahanah/60:1.67 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, mengkritik alasan pendapat Ibn Umar r.a yang berbeda berpandangan dengan mayoritas ulama, walaupun hanya, ingin menyatakan, bahwa atas alasan kekwawatiran saja, yang 64 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an ( Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa Nashr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 177. 65 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’an ( Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah Wa Nashr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 178. 66 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ahka>m Min al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999 ), cet. I, 203. 67 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ahka>m Min al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999 ), cet. I, 384. 272 berakibat buruk terhadap langgengnya pernikahan, dan munculnya banyak fitnah. Dari sisi lain menurut al-Sa>buni, cinta dan kebahagian akan tumbuh setelah pasca pernikahan, dengan besarnya cinta membuat lengah, dan pakta dilapangan membuktikan, sebagian wanita lebih banyak berperan, termasuk perihal mendidik anak, akan mungkin dalam hal keyakinan, atau mungkin menjadikan mereka Yahudi atau Nasrani. Jika demikian alasannya, maka menurut Ali AlS}a>bu>ni, batal status pernikahan semacam ini, atau membolehkan pernikahan dengan mengabaikan dampak yang akan mungkin terjadi. 68 Sebagai kesimpulan, menurut penafsiran ulama-ulama tafsir modern-kontemporer abad ini, (1). Menurut Muhammad Rashid Rida, menyatakan menikahi wanita Maju>si, merupakan hal yang dilarang, karena termasuk katagori musyrik yang tidak memiliki kitab suci, walaupun itu boleh masuk dalam kriteria ahl al-kita>b, yang hanya dalam hal membayar pajak (Jizyah). Bahkan, Rid}a memperluas cakupan a> hl al-kita>b, dengan memasukan para penganut agama selain Yahudi dan Nasrani, seperti, agama Budha dan Hindu, dengan alasan kriteria al-Mushrika>t (penyembah berhala) ditujukkan kepada wanita-wanita Bangsa Arab saja. (2).Al-Maraghi mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita Majusi atau Sabi’ah sesuatu hal yang dilarang, dengan alasan, karena paham QS.al-Baqarah/2: 221, adalah wanita musyrik (3). Sedangkan Sayyid Qutb sependapat dengan pendapat Ibn Umar r.a, yang menyatakan, bahwa Ahl alKitab, Majusi serta Sabi’in adalah musyrik, maka dilarang menikahi dari wanita-wanita mereka,(4), al-Shabuni, membolehkan seorang muslim menikah dengan ahl al-kitab[Yahudi dan Nasrani], sebagaimana menurut Jumhur, dengan tambahan syara yang berstatus Zimmy,berdasarkan [QS. al-Maidah/5:5], dengan tidak menyetujui pria muslim menikah dengan wanita Majusi dan penyembah berhala, karena alasan mereka musyrik. 5. Abu Al-‘Ala> Al-Mawdu>di ( w. 1979 M ), Tafsir Tafhi>m alQur’an Tanpaknya menurut al-Maudu>di, sebagaimana dikutip Abdul Muta’al terkait pernikahan dengan orang maju>si dan sa>bi’ah, bahwa 68 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n (Beiru>t : Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999), cet. I, 384. 273 penyembah berhala dan kaum atheis adalah kelompok orang yang amat jauh dari agama Islam, baik peradaban dan kepercayaan. Maka secara mutlak haram menikahi salah satu di antara wanita mereka. 69 Tanpaknya pendapat tersebut, sesuai dengan Jumhur Ulama, yang menyatakan bahwa, wanita musyrik [al-mushrika>t] bukan hanya terbatas pada wanita bangsa Arab saja, melainkan mencakup semua wanita musyrik non-Arab dimanapun mereka berada. Dengan kata lain, semua wanita, baik bangsa Arab atau non-Arab selain Ahl alKita>b [Yahudi dan Nasrani ] tidak boleh dinikahi. Dan menurut pendapat ini, wanita yang non muslimah dan yang bukan pula Yahudi atau Kristen tidak boleh dinikahi oleh pria muslim apapun agama dan kepercayaan mereka, seperti, agama Budha, Hindu, Konghuchu, Maju>si, karena mereka termasuk katagori musyrik.70 6. Muhammad Shaltut ( 1893-1963 M ). Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang sesuai dengan keserasian pandangan dan cita-cita, menyatukan perasaan (cinta), karena sesuai dengan tujuan pernikahan, yang membawa kehidupan berkeluarga dengan landasan, mawaddah dan rahmah.71 Dalam beberapa fatwahnya, Muhammad Shaltut setuju dengan pendapat para ulama, yang membolehkan pernikahan dengan wanita ahl alkita>b, seperti yang dimaksudkan ayat 5 surat al-Maidah, tanpa memandang, status maju>si, atau s}a>bi’ah dan sebagainya, tetapi karena hal itu telah disepakati keharamannya, sesuai QS. al-Baqarah/2:221.72 Nampaknya, Shaltut tidak melihat siapa yang membenarkan, dan siapa yang menolak pernikahan semacam ini, melainkan terletak pada pandangan, bagimana ulama memahami mas}dar al-tashri>’i [sumber hukum Islam]. Karena dalam pernikahan, suami sebagai pemimpin keluarga, dan layaknya, sebagai pemimpin membawa keluarga, kepada kehidupan yang berprilaku Islami. Jika demikian, 69 Saifuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan Kontemporer ( Jakarta : Intirmedia, 2004), 8. 70 Saifuddin Shiddik, Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan Kontemporer ( Jakarta : Intirmedia, 2004), 7. 71 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Dar Shuru>k, 1405 H / 1987 M ), Cet. Ke-14, 238. 72 Muhammad Shaltut, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah, 239. 274 dibolehkannya pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, selain satu harapan dapat menjadikan keluarga teladan, sang suami mencintai ajaran yang dibawa rasulnya, ajaran yang dibawa nabi-nabi, cinta damai dan kasih sayang, sebagai contoh buat sang istri, dan toleransi kebebasan beragama yang disandangnya, tanpa harus memaksakan terhadap keyakinan mereka, sebagai bentuk sama>hah (toleransi) dalam Islam, yang menjadi hikmah dibalik kebolehan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, yang menurut ulama sebagai penerapan ajaran tasyri' ini.73 Tetapi tidak menjadi kendala, jika pelarangan itu, bagi seorang muslim, berbeda dari apa yang dimaksud dari harapkan ulama yang membolehkan, yaitu, sang suami lemah dan bodoh, mengikuti toleransi sang istri, bertentangan dengan akidah, berprilaku tidak Islami, seperti, ikut ke Gereja bersama-sama, bahkan tidak dapat membedakan, antara yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan Islam, bahkan berdampak buruk dalam kehidupan keluarga dan anakanak mereka. Maka kondisi pernikahan seperti ini, bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan berdampak lebih buruk lagi, membawa prilaku kemusyrikan hingga kemurtadan dalam keluarga. Maka pernikahan semacam ini, dapat menjadi haram.74 Kesimpulan perspektif ulama-ulama tafsir modernkontemporer di abad ini, di antaranya, menurut al-Mawdu>di, haram menikahi wanita al-maju>si dan al-s}a>bi’in, penyembah berhala dan kaum atheis, karena mereka dipandang musyrik. Demikian juga menurut Muhammad Shaltut membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, dan mengharamkan wanita maju>si dan s}a>bi’ah, karena alasan mereka musyrik. H. Penafsiran Ulama-Ulama Tafsir Indonesia dan Cendekiawan Muslim Di antara para Mufassir Indonesia yang turut andil dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terkait pernikahan beda agama ini, di antaranya, Mahmud Yunus (w. 1399 H/1982 M), Hamka, Haji Abdul Malik AbdulKarim Amrullah (w.1981M), dan Muhammad 73 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Musykila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Dar Syuruk, 1405 H / 1987 M ), Cet. Ke-14, 240. 74 Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah ( Kairo : Dar Shuru>k, 1405 H/1987 M), Cet. Ke-14, 240. 275 Quraish Shihab serta Sarjana dan Para Cendekiawan Muslim Indonesia lainnya. 1. Hamka (w. 1981 M), Tafsir Al-Azhar, 1973 Setelah Hamka75 menjelaskan, status halalnya pernikahan antara pria muslim dengan perempuan muslimah, di halalkan pula mengawini perempuan ahl al-kita>b menurut QS.al-Maidah/5:5 dengan ketentuan telah membayar mahar mereka. Hamka, memberi kriteria, ahl al-kita>b adalah Yahudi dan Nasrani, tanpa harus masuk Islam terlebih dahulu, karena ajaran Islam tidak ada paksaan, sebagaimana dijelaskan dalam QS.al-Baqarah/2:256 [ ] آلَإِك َراَْه ْفِي ْال ِّدين. Karena keluasaan Islam terhadap faham tasa>muh (toleransi) dan dalam kedua ayat tersebut, kebolehan memakan sembelihan ahl alkita>b dan boleh mengawini perempuan mereka. 76 Walau dalam tafsirnya, Hamka tidak menyinggung kriteria maju>si atau s}a>bi’ah 77 karena mereka telah jelas, status keyakinan mereka, sebagaimana menurut QS.al-Baqarah/2]:221, dan mereka adalah musyrik, maka diharamkan menikahi di antara wanita mereka. Hamka mengutip asba>b nuzu>l, pelarangan pernikahan seorang sahabat yang benama Marthad al-Ghaznawi, yang tertarik ingin menikahi wanita musyrik, lalu turunlah ayat tersebut.78 Dalam hal ini, Hamka cenderung kepada bentuk pernikahan yang ideal, yaitu perintah berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, karena isteri adalah teman hidup, membantu, menegakkan rumah-tangga yang bahagia yang penuh cinta dan kasih sayang karena iman, mewariskan generasi yang salih dan salihah. Karena 75 Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, 17 Safar 1296 H/ 10 Februari 1879 M. Ia sorang Ulama besar abad ke-20 yang berasal dari Minangkabau. Ayah dari Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), semasa kecilnya, ia diberi nama Muhammad Rasul. Ibunya bernama Tarwasa (w. 1943 M). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), cet. ke-2,15-18. 76 Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 144. 77 Lihat. Pengertian Maju>si dan al-s}a>bi’ah, Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata )(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 890-891, 560-561. 78 Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ), Juz 1-3, 193. 276 perkawinan yang bahagia, adalah yang dibangun atas dasar keyakinan yang sama, dan karenanya, menurut Hamka, perkawinan harus ditegakkan atas dasar kafa>’ah [kesempurnaan], baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki pokok dasar, persamaan tujuan, kepercayaan dan anutan agama. 79 Berdasarkan ayat di atas, orang Islam tidak kufu' dengan segala prilaku orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, sehingga tidak boleh dilengahkan, karena rumah tangga yang kokoh dibangun atas dasar iman yang kokoh pula, sehingga pernikahan bercita-cita, bahagia di dunia dan akhirat, serta maghfirah-Nya, menjadikan rumah tangga yang ideal dan bahagia, karena persamaan menuju ridha Allah.80 Kemudian datanglah perintah, yang meringankan, pria muslim boleh menikahi perempuan ahl al-kita>b QS./5:5, baik Yahudi dan Nasrani, karena mereka memiliki persamaan ajaran dengan Islam, sebagaimana ajaran yang mengakui adanya Tuhan Yang Esa.81 2. Muhammad Quraish Shihab (Tafsir Al-Misba>h, 1990 M) Pandangan Quraish Shihab tentang pernikahan beda agama sama dengan pandangan mayoritas ulama, baik mengenai kriteria maju>si atau al-s}a>bi’in.82 Menurut tafsirnya [tafsir al-Misbah], terdapat banyak keterangan-keterangan yang mendukung pemahaman konteks ini, yang secara tegas al-Qur’an melarang perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221. 79 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 193-194 . 80 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 195. 81 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), Juz 1-3, 195. 82 Antara al-Sa>bi’un dan al-Maju>si, Sayyid Sa>biq, mengatakan, bahwa S}a>bi’un adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak memiliki agama. Sedangkan Maju>si, mengutip pendapat pendapat Ibn Munzir, bersepakat tidak menikahi maju>si juga tidak memakan sembelihan mereka, karena mereka tidak memiliki kitab suci, bahkan tidak mengimani kepada para nabi-nabi, selain mereka menyembah api, bahkan Imam Sha>fi’ih, menyatakan mereka bukan ahl al-kita>b, berdasarkan riwayat, Bahwa Umar bin Khattab menyebutkan maju>si, lalu berkata : apa yang aku lakukan terhadap mereka ? berkata Abdurahman bin Auf, ketika mendengar Rasulullah bersabda : Perlakukanlah mereka seperti, ahl alkitab ( dalam hal pajak ). Menurut al-Shafi’ih, jelas bukti, mereka bukan ahl alkitab. Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah ( Kairo : Al-Fath al-I’lamy Al-Arabi, 1365 H), 68-69. 277 Pertanyaannya, siapakah yang dimaksudkan maju>si dan al-s}a>bi’in, dan bagimana status mereka ? Menurut Quraish Shihab berdasarkan QS.al-Maidah/5:5 ini, membolehkan pria muslim menikahi wanita ahl al-Kita>b (penganut agama Yahudi dan Kristen). Karena, menurutnya, definisi kata syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan Islam, seorang musyrik adalah yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan suatu aktivitas yang bertujuan ganda, yang pertama kepada Allah dan yang kedua, kepada selain Allah. Dengan demikian, semua yang mempersekutukan Allah dari sudut tinjauan ini, adalah musyrik. Sebagaimana orang Kristen percaya tentang trinitas, mereka adalah musyrik dari sudut pandangan ayat alBaqarah 221 ini. Namun demikian, ulama-ulama al-Qur’an, telah melahirkan beberapa pandangan hukum, yang menurut pengamatan mereka, kata mushrik atau al-mushrika>t, yang digunakan al-Qur’an untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah, mereka adalah para penyembah berhala, ketika turunnya ayat masih sangat banyak, khususnya yang bertempat tinggal di Makkah. Dengan demikian, istilah Al-Qur’an tentang musyrik berbeda dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama Kristen percaya kepada Tuhan Bapak dan Tuhan Anak yang oleh agama Islam dinilai sebagai orang-orang yang mempersekutukan Allah, namun Al-Qur’an tidak menamai mereka sebagai musyrik, tetapi menamai mereka dengan sebutan ahl al-kita>b. 83 Mayoritas ulama kalangan sahabat tetap berpegang kepada teks yang membolehkan perkawinan semacam ini. Walaupun mereka berkeyakinan, bahwa, aqidah ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi al-Qur’an tidak menamai mereka menganut Kristen atau Yahudi sebagai orang musyik, bedarkan firman Allah QS.al-Bayyinah/98:1.84 Melainkan, dalam pandangan Quraish Shihab, dengan membedakan antara dua pengertian orang kafir, yaitu, (1). Ahl al-Kitab dan (2). Al-Mushrikin. Dari perbedaan kedua pengertian itu, karena atas pemahaman huruf ‘wa>wu’ yang diterjemahkan “ dan “, yang menurut ulama bahasa, sebagai ungkapan yang mengandung makna menghimpun dua hal 83 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), Volume 14, cet. I, 442. 84 Muhammad Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1996), cet. Ke-III, 196. 278 yang berbeda. 85Dan bagi alasan yang melarang, sebagaimana diisyaratkan menurut teks QS.al-Baqarah/2:221, akan berharap, melahirkan suatu ketentraman (saki>nah ) dalam keluarga. Sedangkan alasan bagi yang membolehkan, menurut QS.al-Maidah/5:5, bahwa perempuan u>tu al-kita>b (ahl al-Kitab), walaupun boleh dinikahi, namun bukan sebagai jalan keluar yang mendesak ketika saat itu, melainkan karena, seorang muslim mengakui bahwa, Isa a.s adalah Nabiyallah, pembawa ajaran agama, sehingga pria yang biasanya lebih kuat dari kaum wanita (jika beragama Islam), maka dapat mentoleransi dan mempersilahkan wanita ahl al-kita>b menganut dan menjalankan syariat agamanya menurut QS. Al-Ka>firun/109:6. Akan tetapi berbeda dengan ahl al-Kita>b yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi, menurut Quraish Shihab, dengan menyebutkan macam-macam kafir selain yang lima, yaitu kufr al-Shirk [ ] كفر الشرك, yakni, menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya atau menyembah selain Allah (mengingkari ke-Esaan Allah),86 atau pemahaman yang dimaksudkan sebagai perdustaan, yaitu dusta terhadap Allah dan Rasul-Nya, yaitu lawan dari pembenaran (tasdi>q), sebagaimana dipahami kalangan ahl al-Sunnah Wal Al-Jama>’ah.87 Jika, dipahami, maksud ka>fir dalam konteks pernikahan semacam ini, berdasarkan QS.al-Mumtahanah/60:10, maka esensinya, adalah larangan menjalin hubungan mesra antara kaum muslimin dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana kesepakatan dalam perjanjian hudaibiyah (sulh} h}udaibiyah) tahun VI H, status pernikahan telah dibatalkan (putus), karena status suami sebagai muslim sedangkan istri masih mushrikah (ka>fir) yang bukan ahl alKita>b, sebagaimana menurut QS. al-Mumtahanah/60:10 85 Muhammad Qurasih Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat ( Bandung : Mizan, 1996 ), cet. Ke-III, 197. 86 Dalam beberapa pembagian kafir, terdapat lima hal yang dimaksudkan itu, diantaranya, (1). Kufr Juhu>d, yakni pengakuan terhadap Tuhan di dalam hati, tetapi tidak diiringi dengan ucapan, (2). Kufr al-Inka>r, yakni, kafir terhadap Allah, para Malaikat, para Rasul, serta semua ajarannya, dan hari akhirat. (3). Kufr Nikmah, yakni, menutup-nutupi nikmat Allah di dalam hati mereka tidak mensyukurinya, (4). Kufr al-Nifa>q, yakni, pembenaran dengan ucapan, dan diingkari oleh hati. (5). Kufr al-Shirk, yakni, mempersekutukan Allah dengan makhluk atau menyembah selain Allah. Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata), (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 418-419. 87 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata) (Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), cet. I, 416, 418-419. 279 Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orangorang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berperang pada tali (perkawinan) dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah/60:10). 88 Sejalan dengan larangan ayat di atas, mengutip pendapat alZamakshari, maka Quraish Shihab, dengan tegas, menyatakan atas ketidakhalalan status pernikahan semacam ini, dengan dasar penggalan ayat berbunyi [ ] ال هن حل لهم والهم يحلون لهن. Maka pengertian, bentuk pertama, Hillun [ ] حلmenggunakan bentuk mas}dar (infinitive noun), yang menyatakan bahwa, sejak sekarang hal itu, telah tidak dihalalkan lagi. Kedua, dengan bentuk Mudha>ri, Yahillunna [] يحلون, yang dipahami untuk yang akan datang. T}aba>’taba>’i tidak memahami penggalan kalimat itu, [ hillun dan Yahillunna ], secara hukum, akan tetapi keduanya secara bersamaan, mengandung pengertian, putusnya ikatan perkawinan. Demikian pandangan Quraish Shihab dalam tafsirnya.89 3. Sarjana Muslim dan Cendekiawan Muslim Indonesia Pandangan Nurcholis Madjid (w. 2005)90 tentang wanita Yahudi dan Nasrani, dipahami dengan teks QS.Al-Maidah/5:5 88 Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press), 924. 89 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), Volume 14, cet. I, 171-174 90 Nurcholis Madjid lahir di Jawa Timur, pada tahun 1939 M. Dia adalah seorang cendekiawan Indonesia dan pendukung toleransi beragama. Nurcholis Juga adalah salah seorang teolog Indonesia yang paling berani. Visi Islamnya bersifat pluralistis, toleran, dan bertujuan memenuhi kebutuhan, spiritual populasi urban modern. Seperti pemikir mordernis lainnya, Nurcholis mengakarkan teologisnya dalam doktrin tajdid atau kembali ke Islam Nabi Muhammad SAW. Tidak seperti modernis lainnya, dia lebih peduli pada spirituallitas dari pada prilaku social dan 280 [ ]والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكمadalah ahl al-kita>b. Pertanyaannya, apakah ahl al-Kitab itu, di luar Yahudi dan Nasrani ? Pendapat Imam Syafi’i, menyatakan, ahl al-Kita>b hanyalah untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan Israel, sebab menurutnya, Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan untuk bangsa Israel, bukan untuk bangsa-bangsa lain. Bertolak belakang dengan Imam Abu Hanifah, siapapun yang mempercayai seorang Nabi yang pernah diturunkan Allah S.W.T, maka mereka adalah ahl al-Kita>b. Mengutip pendapat Abu ‘Ala al-Maududi, Nurchalis Madjid, beranggapan, bahwa penganut agama Hindu dan Budha disebut sebagai ahl al-Kitab. 91 Nurchalis merujuk pendapat mufasir modernkontemporer, sekaligus pembaharu Islam, bahwa Muhammad Rasyid itual. Dia dididik di pesantren Gontor yang menekankan bahasa Inggris dan Subjeksekuler serta kurikulum Islam Tradisional. Dia menerima gelar keserjanaan dari Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) di Jakarta pada tahun 1968. Dan apada tahun 1966 hingga 1971 dia menjabat ketua Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ), Dia belajar dibawah bimbinan Fazlur Rahman di Universitas Chicago, dan menerima doctor pada tahun 1984 dengan disertasi mengenai pemahaman Ibn Taymiyah tentang hubungan akal dengan wahyu. Pada tahun 1990-an, Nurcholis memegang jabatan di Intsitut Negeri Islam Jakarta di Jakarta dan Lembaga Pengetahuan Indonesia ( LIPI ). Pemikiran Nurcholis sangat kontrovesial, pada tahun 1960-an, dia menantang posisi’ modernis’ yang menganjurkan penerapan harfiyah al-Qur’an dan hadits dalam masyarakat kontemporer. Sebagai alternative dia menganjurkan kembali pada ruh atau prinsip dasar Islam sebagai bimbingan untuk prilaku kontemporer. Pada tahun 1986, Nucholis bersama pemikir muslim lainnya, menidirikan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Bagi Nurcholis, para madina merupakanmedia untuk membangun suatu tatanan masyarakat madani yang mengacu kepada masyarakat Madinah yang di bangun oleh Nabi Muhammad SAW. Nama Para Madina bias dilihat dari dua sisi. Pertama, Paramadina merupakan gabungan dua kata; parama ( bahasa Sangsekerta ) yang artinya utama dan unggul, dan dina ( bahasa Arab ) yang diadopsi dari kata din, yang artinya agama. Jadi, Paramadian berarti, agama peratama dan utama “. Kedua, Paramadina juga bisa merupakan penggalan dari dua kata : para ( bahasa latin ) yang diadopsi dari kata par yang berarti jejajar atau serasi, sejiwa dan madina (bahasa Arab), yang diadopsi dari kata madinah, yang berarti ‘kota’ atau tempat peradabanmadaniyyah dan tamaddun, nama ini mengisyaraktkan makna paramadina adalah memiliki pandangan dasar, kepasrahan manusi kepada Tuhan ( Allah ) untuk membangun peradaban yang akan membawa kebahagiaan bagi semua. John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern ( Bandung : Mizan, 2002 ), cet II, 186-187. 91 Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004),49. 281 Rid}a, dengan dasar sebuah hadits, yang berasal dari Ali bin Abi T}alib menegaskan, bahwa kaum maju>si tergolong ahl al-kita>b. Abdun bin Humid dalam tafsirnya, terhadap surat al-Buruj meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibn Abza, bahwa setelah kaum muslim mengalahkan penduduk Persia, Umar berkata, Berkumpulah kalian !( yakni, ia berkata kepada para sahabat, berkempullah kalian untuk musyawarah ”, sebagaimana hal itu telah menadai sunah yang diikuti dengan baik dan berkewajiban yang semestinya ). Kemudia Umar berkata, ” Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah ahl al-Kitab, sehingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah berhala, sehingga dapat kita terapkan hukum yang berlaku ”. Maka Ali menyahut, ” Sebaliknya mereka adalah ahl al-Kitab.92 Selain hal di atas, Nurchalis mengutip pendapat Rashi>d Rid}a, yang menyatakan, bahwa di luar Yahudi dan Nasrani terdapat ahl alKitab, tetapi tidak hanya menyebutkan kaum Maju>si (Zaroastri) dan Sa>bi’in saja, melainkan Hindu, Budha dan Khonghuchu.93 Keterangan di atas, dapat disimpulkan, pernikahan seorang muslim dengan ahl al-Kita>b, dibedakan dengan kriteria ka>fir dan mushrik serta ahl al-kita>b. Dengan berdalil ungkapan Abu A’la Al-Maududi, bukalah dan baca Al-Qur’an dari awal, hingga akhir, maka akan ditemukan tiga katagori kepercayaan, yang arti dan maknanya berbeda, al-musyrika>t, ahl al-kita>b dan ahl al-iman. Menurut Nurchalis, mengutip penjelasan QS.al-Maidah/5:17,73, dan QS.alTaubah/9:30, secara ekplisit, bahwa dasar kepercayaan ahl al-kita>b, adalah kemusyrikan, seperti kata mereka,“....Sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih putra Maryam… (al-Maidah [5]:17), dan mereka juga berkata, bahwa Allah yang ketiga dari Trinitas (QS.alMaidah/5:73), dan mereka berkata lagi, ....al-Masih putra Allah ( QS.al-Taubah/9:30. Dan selain itu, orang-orang Yahudi berkata, disebutkan dalam firman-Nya, Uzair putra Allah ... (QS.alTaubah/9:30). Dalam kenyataan, mereka telah melakukan perbuatan syirik, namun al-Qur’an sebagai wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih sebuah kata dan menempatkan istilah yang sangat tepat sekali, maka al-Qur’an tidak pernah menyebut mereka dengan sebutan musyrik, akan tetapi tetap dipanggilnya dengan 92 Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung:Gema Risalah Press), 644. 93 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004 ),51. 282 sebutan ahl al-kita>b.94 Karena itu, pandangan Nurchalis, dapat dimaksudkan orang musyrik dalam al-Qur’an, adalah yang haram dikawini oleh orang-orang Islam. Karena selain itu, dapat dikatakan, orang musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan atau yang masih asli. Sedangkan ahl al-kita>b adalah orang-orang yang mempercayai salah seorang nabi dan salah satu kitab-kitab samawi. 95 Sedangkan yang dimaksudkan mukmin adalah orang-orang yang mempercayai risalah Nabi Muhammad SAW, mereka lahir dalam keadaan Islam, kemudian memeluk Islam yang berasal dari ahl al-Kita>b atau musyrik, atau dari agama lain. 96 Menurut pendapat Nurchalis Madjid jelas, perbedaan ketiga istilah yang disebutkan, dimana tidak memcampuradukan antara makna dan arti tersebut, dimana kata mushrik diartikan ahl al-kita>b dan ahl al-kita>b diartikan adalah musyrik. Bila Allah mengharamkan wanita musyrik, seperti yang disinyalir dalam QS. Al-Baqarah/2:221, [Janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman], dan tidak tepat, bila dimaksudkan perempuan musyrik itu adalah perempuan ahl al-Kita>b. Bahkan Imam Muhammad Abduh secara jelas, berpendapat sebagaimana yang dikutip muridnya, Rashi>d Rid}a, perempuan yang haram dikawini oleh orang muslim, dan menurut QS.al-Baqarah/2:221, adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Pertanyaan, Apakah masih ada orang-orang musyrik Arab itu hingga sekarang ? kalau ada, hukum tetap dapat berlaku, tetapi jika tidak, maka dengan sendirinya, tidak ada kepercayaan manapun menjadi kendala dalam melakukan perkawinan. 97 94 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004),158. 95 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004),158. 96 Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004),159. 97 Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis (Jakarta : Paramadina, 2004),160. 283 Sedangkan menurut Muhammad Ghalib, bahwa ahl al-Kitāb merujuk kepada komunitas Yahudi dan Nasrani secara bersamaan antara lain ditentukan QS. Ali Imran/3:64, dan ayat tersebut berisikan tentang tuntutan kepada umat Islam agar menjalin hubungan yang harmonis dengan dua komunitas agama tersebut. Dan ajakan tersebut tercantum pesan agar kaum Yahudi dan Nasrani, perintah untuk kembali kepada ajaran tauhid yang murni, sebagaimana tercantum dalam kitab suci mereka. Al-Qur’an juga mengingatkan mereka tentang akan diutusnya seorang rasul, yaitu Muhammad SAW yang menjelaskan sebagian ajaran para nabi, sekaligus membawa kabar gembira dan peringatan kepada mereka, meurut QS. al-Maidah/5:59, akan tetapi ajakan itu tidak ditanggapi dengan serius, karena mereka merasa lebih utama dari umat Islam, karena itulah al-Qur’an mengecam mereka, bahwa keutamaan itu akan terwujud jika mereka kembali kepada ajaran Taurat dan Injil yang menjadi pedoman sebelum diutusnya Muhammad S.A.W, akan tetapi hal itu tidak terbukti, karena pada akhirnya mereka menyimpang dari kitab suci yang diturunkan Allah S.W.T, dengan berprilaku yang tidak terpuji, memcampuradukan antara kebenaran dengan kebatilan, bahkan lebih dari itu, mereka cenderung menghalang-halangi orang-orang yang ingin mengamalkan petunjuk Allah, QS. Ali Imran/3:99 98 Mengutip pandangan Quraish Shihab, tentang pernikahan beda agama ini, yang secara garis besar, memahami bentuk keragaman pendapat ulama, namun diujung uraiannya, Islah Gusmian menegaskan, dengan tulisan : Kalau seorang wanita muslim dilarang kawin dengan non-muslim, karena kekwawatiran akan berpengaruh atau berada dibawa kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita ahl al-Kitab harus pula tidak dibenarkan, jika dikwawatirkan ia dan anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang 99 bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pandangan serupa menurut Islah Gusmian, mengutip pendapat yang ditulis Tim Tarjih Muhammadiyah, dalam Tafsir Tematik Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, menjadi 98 Lihat, Muhammad Ghālib, Ahl al-Kitāb Makna Dan Cakupnnya, (Jakarta : Penerbit Paramadian, 1998), cet. I, h. 22-23. 99 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta : Penerbit Teraju, 2003), cet. I, 338. 284 alasan yang harus dipertimbangkan, yaitu kemaslahatan sosial. Sebab, menurut pandangan tafsir ini, meskipun perkawinan itu telah dilakukan oleh pribadi-pribadi, namun lembaga berkaitan dengan kepentingan publik, diatur oleh intitusi formal agama. 100 Yang kedua, pertimbangan faktor psikologis, bahwa pernikahan beda agama dapt menjadi kendala bagi terwujudnya, keluarga sakinah, bahkan bisa menimbulkan kemudharatan serta kerusakan. Dengan merujuk pada kaidah Ushul Fiqh, [ []درء المفاسد مقّدم ٌ على جلب المصالحmencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan ], maka menurut Islah, cenderung tidak membolehkan pernikahan beda agama. 101 Kesimpulan terakhir penafsiran ulama tafsir Indonesia, menurut Hamka, bahwa telah dihalalkan mengawini perempuan yang sesama mukmin, dan boleh mengawini perempuan ahl al-kita>b setelah membayar mahar. Dan tidak memberikan ruang untuk kriteria maju>si atau s}a>bi’ah, karena mereka berstatus musyrik. Sedangkan Quraish Shihab, membolehkan menikahi perempuan ahl al-Kita>b, walaupun sebagai jalan keluar yang mendesak ketika saat itu, karena seorang muslim mengakui bahwa, Isa a.s adalah Nabiyallah, pembawa ajaran agama, tetapi berbeda bagi ahl al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi. Maka menikahi wanita mereka diharamkan, sebagaimana menikahi musyrik, penyembah berhala, Maju>si dan s}a>bi'ah. Menurut Cendekiawan Muslim, Nurchalis Madjid mengutip pendapat Rashi>d Rid}a, yang menyatakan, bahwa di luar Yahudi dan Nasrani terdapat ahl al-Kita>b, tetapi ia tidak hanya menyebutkan kaum Maju>si (Zaroastri) dan Sa>bi’in saja, melainkan Hindu, Budha dan Khonghuchu. Walaupun masih tetap menyatakan larangan menikahi wanita musyrik, karena maksud kata mushrik dalam al-Qur’an, yang haram dikawini adalah orang musyrik yang bukan hanya mempersekutukan Allah, tetapi 100 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta : Penerbit Teraju, 2003), cet. I, 338. 101 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta:Penerbit Teraju, 2003 ), cet. I, 339, Lihat. ‘Azat Ubaid al-Da’as, al-Qawa>’id al-Fiqhiyah Ma’a al-Sharh al-Mu>jaz, (Beirut: Dar al-Tirmizi, 1409 H/1989 M ), cet. ke-3, 34. 285 tidak mempercayai kitab-kitab samawi, baik yang telah terjadi penyimpangan atau yang masih asli. * 286 287 Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orangorang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berperang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( QS. Al-Mumtahanah/60:10 ) 288