Laporan Kasus DEMODIKOSIS DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA Moerbono Mochtar, Synthia Sari Toha, Alamanda Murasmita Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sebelas Maret/RSUD dr. Moewardi - Surakarta ABSTRAK Demodikosis adalah suatu kepekaan terhadap kelebihan populasi Demodex sp. yang tidak dapat dikontrol oleh sistem kekebalan tubuh manusia dan menyebabkan inflamasi. Keadaan ini mungkin sering terjadi namun sering luput dari pengamatan. Dibutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi para klinisi, apabila menjumpai kasus jerawat dan tinea yang tidak kunjung sembuh dengan berbagai modalitas terapi. Dilaporkan empat orang pasien terdiri atas tiga laki-laki dengan keluhan penyakit jamur dan seorang perempuan dengan keluhan jerawat yang sulit sembuh walau sudah diterapi secara teratur. Gambaran klinis pada pasien penyakit jamur berupa makula atau bercak eritematosa multipel diskret sebagian konfluens dengan skuama tipis di atasnya, sedangkan pada jerawat didapatkan papul dan pustul eritematosa multipel diskret. Hasil pemeriksaan mikroskopik KOH dari kerokan lesi kulit dan pustul tampak Demodex. Pasien diberikan terapi permetrin 5% topikal dan cetirizin 10 mg sekali sehari yang memberikan hasil penyembuhan cepat dan memuaskan.(MDVI 2015; 42/1:28 - 33) Kata Kunci: demodikosis, penyakit jamur, jerawat, permetrin ABSTRACT Demodicosis is a sensitivity to the overpopulation of Demodex sp. that can not be controlled by the human immune system and causing inflammation. This situation may occur, but mostly missed from regular inspection. Increased level of awareness of clinicians are needed, when encountering cases of acne or tinea that do not heal with various therapeutic modalities . Four patients consisted of three men with chief complaint of fungal diseases that difficult to heal, and a woman with acne that difficult to be treat were reported. The clinical features of the fungal infections were multiple discrete erythematous macules and patch, partially confluent with thin scales, while on acne, patient there were multiple erythematous papules and pustules. KOH microscopic examination from lesional skin scrapings and pustules, showed Demodex. Patients were treated with topical 5% permethrin and 10 mg cetirizine tablet once a day yielded fast improvement and satisfactory results.(MDVI 2015; 42/1:28 - 33) Keyword: demodicosis, fungal diseases, acne, permethrin Korespondensi : Jl. Kol. Sutarto 132, Surakarta Telp (0271) 661095 Ema il: moerbonomoctarmd@ya hoo.com 28 M Mochtar, dkk PENDAHULUAN Demodex, genus tungau parasitik kecil yang hidup di atau dekat folikel rambut mamalia adalah salah satu artropoda terkecil.1 Spesies Demodex merupakan tungau berukuran mikroskopis, berbentuk memanjang, bersifat obligat, yang tergolong, family Demodicidae, super famili Cheyletoidea, sub kelas Acari dari kelas Arachnida. 2 Demodex folliculorum dan Demodex bravis adalah dua tungau Demodex, parasit permanen yang ditemukan pada manusia3 Demodex folliculorum terdapat dalam folikel rambut di atas lapisan kelenjar sebasea, sementara Dermodex bravis (Db) terdapat di lapisan sebasea yang lebih dalam dan kelenjar meibom. Kedua sampel spesies Demodex dapat ditemukan dari hampir seluruh area kulit manusia, tetapi predileksi tersering di wajah.4 Tungau dapat ditemukan dalam setiap kelompok umur kecuali pada bayi baru lahir yang diduga kemudian mengalami kontak dengan tungau segera setelah lahir.3,4 Populasi tungau meningkat dengan usia pasien, dan pada populasi dewasa, dua spesies Demodex ini merupakan parasit kulit normal dengan prevalensi 23-100% dan kepadatan normal <5 tungau/cm2.1,4 Tungau Demodex biasanya memiliki hubungan simbiosis dengan manusia.5 Dalam keadaan biasa hidup sebagai komensal yang memakan sebum sel inang dengan menelan bakteri atau organisme lain dalam kanal folikel. Sistem kekebalan tubuh bawaan sel inang tampaknya mentolerir kehadiran tungau ini (mungkin karena efek penekanan oleh tungau sendiri) tetapi mungkin memiliki efek 'pemusnahan' atau penghambatan terhadap proliferasi tungau 1.A Demodikosis di RSUD dr. Moewardi Surakarta dan menjaga jumlahnya dalam kanal terkontrol tanpa merangsang respons inflamasi.5 Tungau Demodex dianggap patogenik ketika muncul dalam jumlah berlebihan atau menembus ke dalam dermis,4 mungkin menyebabkan distensi fisik folikel dengan kerusakan keratinosit. Dengan demikian, pelepasan sitokin/kemokin dimulai, dan respons inflamasi imun humoral terjadi dengan perubahan klinis kulit. Jika folikel rusak sampai ruptur maka akan terjadi reaksi tipe granulomatosa 'foreign-body'.5 Tungau ini dihubungkan dengan berbagai kelainan klinis, antara lain pityriasis folliculorum, rosasea granulomatosa dan papulopustular, papul inflamasi, folikulitis, dermatitis seboroik, dermatitis perioral, dan blefaritis, meskipun masih banyak kontroversi pendapat. Juga diduga bahwa tungau Demodex dapat menjadi salah satu faktor pemicu karsinogenesis pada karsinoma sel basal kelopak mata dan adenoma sebasea. Selain itu, tingkat infestasi pada populasi imunokompromais dengan leukositemia atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS) masih sangat tinggi dan erupsi pustular atau dermatitis seboroik menjadi lebih mencolok.2,4 Diagnosis akhir demodikosis membutuhkan gambaran klinis yang sesuai dan Demodex lebih dari 5 tungau/cm2.4 Kami melaporkan empat kasus yang ditemui di RSUD Dr. Moewardi, Solo selama setahun dari Juni 2013 sampai dengan Juni 2014. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan untuk lebih mengenali manifestasi klinis demodikosis, sehingga tidak terjadi kesalahan diagnosis dengan akibat kesalahan pengobatan jangka lama. 1.B Gambar 1. A. Regio torakal inferior tampak bercak eritematosa batas tegas dengan skuama tipis di atasnya. B. Gambaran mikroskopik Demodex dengan pembesaran 40x. 29 MDVI Vol. 42 No. 1 Tahun 2015; 28 - 33 LAPORAN KASUS Kasus 1. Seorang laki-laki berusia 68 tahun sejak satu tahun sebelum berobat mengalami bercak kemerahan di punggung yang semakin melebar dan gatal terutama saat berkeringat. Pasien sudah berobat ke dokter umum dan puskesmas, diberi obat minum dan oles tetapi tidak ada perubahan, serta hanya dinyatakan pasien menderita penyakit jamur. Pasien baru pertama kali sakit seperti ini dan tidak dijumpai sakit serupa pada keluarga. Riwayat alergi dan atopi disangkal tidak ada tekanan darah tinggi, meskipun pasien dengan kencing manis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 65 kg, tinggi badan 168 cm. Lesi kulit pada punggung didapatkan bercak eritematosa batas tegas dengan skuama tipis di atasnya (gambar 1.A). Diagnosis banding kelainan ini ialah tinea korporis, kandidosis dan eritrasma. Hasil pemeriksaan KOH dari kerokan kulit lesi (gambar 1.B) menunjukkan hifa dan Demodex. Pasien diterapi dengan tablet cetirizin 1x10mg secara oral, krim mikonazol 2% yang dioles 2 kali sehari selama 1 bulan dan krim permetrin 5% yang dioles pada malam hari seluruh tubuh selama 8 jam dan diulang seminggu kemudian. Pasien tidak kembali untuk kontrol. Kasus 2. Seorang laki-laki berusia 33 tahun mengeluh sejak 6 bulan sebelum datang berobat terdapat bercak kemerahan di pipi kanan yang meluas ke daerah wajah lainnya dan gatal terutama saat berkeringat. Pasien sudah berobat ke dokter umum diberi 2.A obat minum dan oles, dan dinyatakan pasien menderita penyakit jamur, namun tidak terjadi perbaikan. Pasien baru pertama kali sakit seperti ini dan tidak dijumpai sakit serupa pada keluarga. Riwayat alergi dan atopi disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 60 kg, tinggi badan 170 cm. Lesi kulit pada wajah didapatkan makula dan bercak eritematosa multipel diskret sebagian konfluens dengan skuama tipis di atasnya (gambar 2.A). Diagnosis banding kelainan ini ialah tinea fasialis, morbus Hansen dan dermatitis seboroik. Hasil pemeriksaan KOH didapatkan Demodex. (gambar 2.B). Pasien diberi terapi tablet cetrizin 1x10mg oral dan krim permetrin 5% yang dioles pada malam hari pada seluruh wajah selama 8 jam, dan diulang seminggu kemudian. Pasien tersebut tidak kembali untuk kontrol. Kasus 3. Seorang laki-laki berusia 71 tahun, sejak 8 bulan sebelum berobat timbul bercak kemerahan di pipi kiri yang meluas ke daerah wajah lainnya dan gatal terutama saat berkeringat. Pasien sudah berobat ke dokter umum dan puskesmas, dinyatakan menderita penyakit jamur dan diberi obat minum dan oles tetapi tidak ada perubahan. Pasien baru pertama kali sakit seperti ini dan tidak dijumpai sakit serupa pada keluarga. Riwayat alergi dan atopi disangkal, tidak diketahui apakah ada kencing manis maupun tekanan darah tinggi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 67 kg, tinggi badan 162 cm. Lesi kulit pada wajah berupa plak eritematosa multipel diskret dengan batas tegas dan skuama tipis di atasnya.(gambar 3.A,B,C). Diagnosis banding kelainan ini ialah tinea fasialis dan dermatitis seboroik. 2.B Gambar 2. A. Regio fasialis tampak makula bercak eritematosa multipel diskret sebagian konfluens dengan skuama tipis di atasnya. B. Gambaran mikroskopik Demodex dengan pembesaran 40x. 30 M Mochtar, dkk Demodikosis di RSUD dr. Moewardi Surakarta 3. A 3.C 3. B 3.D Gambar 3.A, B, C Regio fasialis tampak plak eritematosa multipel diskret dengan batas tegas dan skuama tipis di atasnya. D. Gambaran mikroskopik Demodex dengan pembesaran 40x. Hasil pemeriksaan penunjang dengan KOH, pada wajah terdapat Demodex. (Gambar 3.D). Pasien diberi terapi tablet cetirizin 1x10mg oral dan krim permetrin 5% yang dioles pada malam hari di seluruh wajah selama 8 jam dan diulang seminggu kemudian. Pasien ini juga tidak datang untuk kontrol. Kasus 4. Seorang perempuan berusia 23 tahun sejak 5 bulan sebelum berobat mengalami jerawat di pipi kiri yang meluas ke daerah wajah yang lain. Lesi terasa gatal dan kadang nyeri. Pasien sudah berobat ke dokter umum, dinyatakan menderita jerawat dan diberi obat minum dan oles tetapi tidak ada perubahan. Pasien baru pertama kali sakit seperti ini dan tidak dijumpai sakit serupa pada keluarga, tidak ada riwayat alergi dan atopi, serta riwayat menstruasi normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 55 kg, tinggi badan 157 cm. Lesi kulit pada wajah didapatkan papul eritematosa dan pustul multipel diskret (gambar 4. A,B,C). Diagnosis banding kelainan ini yaitu akne papulopustular dan folikulitis. Hasil pemeriksaan KOH didapatkan Demodex (gambar 4.D). Pasien diberi terapi tablet cetirizin 1x10mg secara oral dan krim permetrin 5% yang dioles pada malam hari di seluruh wajah selama 8 jam dan diulang seminggu kemudian. Kelainan kulit pasien perlahan-lahan berkurang dan tidak ditemukan 31 MDVI Vol. 42 No. 1 Tahun 2015; 28 - 33 4. B 4. A 4.C 4.D Gambar 4.A, B, C. Regio fasialis tampak papul eritematosa dan pustul multipel diskret diatas kulit yang eritematosa. D. Gambaran mikroskopis demodex dengan pembesaran 40x 5.A 5.B 5.C Gambar 5.A, B,C. Setelah 3 bulan pengobatan lesi tampak perbaikan hanya masih terlihat papul eritematosa multipel diskret di atas kulit yang eritematosa. lesi baru, seperti tampak pada gambar 5.A,B,C masih tampak beberapa papul eritematosa dengan beberapa area hiperpigmentasi. 32 PEMBAHASAN D. folliculorum dan D.brevis bertahan hidup lebih lama pada suhu 16-22oC dan lebih cepat mati pada suhu 36-37oC, serta hidup lebih lama pada serum manusia dan 1640/seroculture M Mochtar, dkk solution.6 Tungau Demodex dalam folikel sebaseus mungkin menginduksi katelisidin pada kulit sekitarnya dan menciptakan lingkungan proinflamasi sebagai bagian respons imun bawaan terhadap tungau dengan demikian berkontribusi pada manifestasi klinis rosasea berupa eritema dan pustul.7Terdapat banyak laporan menyampaikan bahwa tungau ini dalam jumlah tinggi di kulit yang terkena, dan askarisidal merupakan obat yang sering digunakan untuk penatalaksanaan penyakit ini termasuk lindan, permetrin, ivermektin, dan sulfur.7 Ivermektin sangat efektif sebagai terapi mikrofilarisida dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Ivermektin juga telah terbukti efektif sebagai skabisida dalam dosis tunggal 200µg/kg berat badandengan toleransi yang baik.8 Tungau Demodex ditemukan membawa spora jamur dalam perutnya dan bahkan dibahas sebagai vektor penyakit kusta. Efek terapi antibiotik, misalnya tetrasiklin pada rosasea mendukung teori bahwa bakteri endosymbionts mungkin memainkan peran penting. Diaz-Perez, dkk. membuktikan penurunan jumlah tungau Demodex yang bermakna setelah pengobatan dengan tetrasiklin pada pasien yang menderita rosasea. 9 Keberadaan tungau Demodex dipengaruhi oleh usia, jenis kulit, dan higienes kulit.4 Jumlah Demodex terus meningkat antara usia 30-60 tahun. Hal tersebut mungkin berkaitan langsung dengan pengembangan sekresi sebum yang lebih matang pada usia 30-60 tahun.4 B e b e r a p a penelitian menunjukkan, bahwa jenis kulit berhubungan erat dengan tungau Demodex; yakni tingkat deteksi tungau pada pasien dermatosis dengan kulit berminyak atau campuran kulit berminyak dan kering lebih tinggi dibandingkan pada pasien dengan kulit netral atau kering.4 Higiene kulit individu juga ditemukan berkorelasi secara statistik dengan Demodex; penggunaan alat pribadi, peningkatan frekuensi cuci muka setiap hari, dan penggunaan pembersih wajah dapat membantu membersihkan tungau Demodex pada permukaan kulit dan mengurangi populasi tungau dan kemungkinan tungau terlepas dari folikel rambut dan kelenjar sebasea.3,4 Penelitian oleh Okay, dkk. dikutip dari Zao Y, dkk. melaporkan bahwa Demodex terkait dengan konsumsi alkohol, tetapi tidak memberikan kesimpulan yang pasti karena ukuran kecil dari kelompok yang meminum alkohol. Ia juga melaporkan bahwa makanan pedas (misalnya cabai) memberikan kontribusi terhadap tingkat infestasi yang lebih tinggi, karena makanan pedas bisa membuat hiperplasia epitel folikular dan kelenjar sebasea yang dapat memberikan banyak nutrisi untuk reproduksi Demodex.4 Jenis kelamin dan tempat tinggal pasien juga secara statistik tidak berkorelasi dengan tungau Demodex.3,4 Telah dilaporkan empat kasus demodecosis yang awalnya terjadi kesalahan diagnosa. Tetapi dengan anamnesis yang mendukung dan pemeriksaan penunjang berupa kerokan lesi kulit dan ekstraksi pustule ditemukan parasit demodex sehingga dapat ditegakkan diagnosis pasti dan pasien mendapatkan terapi yang sesuai. Kelemahan laporan Demodikosis di RSUD dr. Moewardi Surakarta kasus ini ialah teknik pemeriksaan penunjang tidak dapat mendukung temuan jumlah tungau >5/cm2. Pengobatan yang ditujukan untuk eradikasi Demodex menunjukkan hasil baik yang mendukung diagnosis demodikosis. Pada kasus tersebut kelainan kulit pasien perlahan-lahan berkurang dan tidak ditemukan lesi baru dengan pengobatan spesifik yaitu permetrin 5% krim. Pada praktek pribadi cukup banyak pasien akne kronis yang sudah berobat di klinik lain didiagnosis sebagai jerawat menahun, dengan kelainan kulit yang mirip jerawat tetapi lebih eritematosa dan terdapat skuama halus di atasnya. Pemeriksaan laboratorium pada kasus demikian sering mendukung demodikosis, dan dengan pengobatan krim permetrin 5%, kemudian diulang satu minggu lagi, memberikan hasil yang mengejutkan dan memuaskan. Selain itu, pasien perlu disarankan mempunyai vacum cleaner, karena Demodex sering terdapat di tempat tidur dan tidak dapat hilang dibersihkan dengan pembersih biasa (sapu lidi). DAFTAR PUSTAKA 1. Rather PA, Hassan I. Human demodex mite: the versatile mite of dermatological importance. Indian J Dermatol. 2013; 59: 60. 2. Zhao Y, Hu L, Wu L-p, Ma J-x. A meta-analysis of association between acne vulgaris and demodex infestation. J Zhejiang Univ-Sci B (Biomed & Biotechnol). 2012; 13(3). 3. Zhao Y, Guo N, Xun M, Xu J-r, Wang M, Wang D-l. Sociodemographic characteristics and risk factor analysis of demodex infestation (acari: demodicidae). J Zhejiang UnivSci B (Biomed & Biotechnol). 2012; 12(12). 4. Zhao Y, Peng Y, Wang X-l, Wu L-p, Wang M, YAn H-l, Xiao S-x. Facial dermatosis associated with demodex: a case-control study. J Zhejiang Univ-Sci B (Biomed & Biotechnol). 2011; 12(12). 5. Lacey N, Raghallaigh SN, Powel FC. Demodex mitescommensals, parasites or mutualistic organism? Dermatology. 2011; 222: 128-30. 6. Zhao Y, Guo N, Wu L-p. Influence of temperature and medium on viability of demodex folliculorum and demodex brevis (acari:demodicidae). Exp Appl Acarol. 2011; 54: 421-5. 7. Kligman MA, Christensen MS. Demodex folliculorum: requirements for understanding its role in human skin disease. J Investigate Dermatol. 2011; 131: 8-10. 8. Aquilina C, Viraben R, Sire S. Ivermectin in-responssive demodex infestation during human immunodeficiency virus infection. Dermatology. 2002; 205: 394-7. 9. Borgo SN, Satller EC, Hogardt M, Adler K, Plewig G. PCR analysis for wolbachia in human and canine demodex mites. Arch Dermatol Res. 2009; 301: 747-52 10. Chen W, Plewig G. Human Demodecosis: Revisit and A Proposed Classification. Br J Dermatol. 2014; 170: 1219-25. 33