BAB I PENDAHULUAN Child abuse atau kekerasan pada anak didefinisikan secara luas oleh WHO sebagai kekerasan dan penelantaran anak, termasuk tindakan penganiayaan fisik dan emosional, pelecehan seksual, penelantaran dan eksploitasi anak yang menghasilkan gangguan kesehatan anak, gangguan perkembangan dan martabat. Terdapat 5 tipe kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran, lalai terhadap pengobatan, dan eksploitasi.1 Berdasarkan data yang didapat dari Yayasan Kesejahteraan Anak indonesia melalui center for tourism research and development Universitas Gajah Mada, tentang kekerasan pada anak yang terjadi dari tahun 1992-2002 di 7 kota besar di Indonesia, ditemukan bahwa terdapat 3969 kasus, dengan rincian kekerasan seksual 65,8 %, kekerasan fisik 19,6 %, kekerasan emosi 6,3 % dan penelantaran 8,3 %. Sebanyak 80 % kekerasan yag menimpa anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10 % terjadi dilingkungan pendidikan dan sisanya orang tak dikenal.2 Kekerasan fisik terhadap anak merupakan tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh orang dewasa, melibatkan tindakan pemukulan, tendangan, dorongan, tamparan, pembakaran, penarikan telinga maupun rambut, penusukan, dan penguncangan anak. Henry kempe pada tahun 1962 menggambarkan tentang battered child syndrome, yaitu suatu kondisi pada anak yang mendapatkan kekerasan fisik yang menghasilkan trauma neurologi permanen atau kematian.3,4 Trauma skeletal merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada kekerasan fisik anak. Dari berbagai penelitian yang telah dilaporkan, fraktur terjadi pada 11-55% kekerasan fisik anak dengan tipe fraktur sangat bervariasi. Sekitar 12 % anak dengan kekerasan fisik mengalami trauma kepala atau non accidental head injury (NIHA) dengan umur dibawah 2 tahun dan 80 % anak meninggal karenanya. Pada anak kurang dari 1 tahun 95 % memiliki trauma kepala yang serius dan 64 % dari semua trauma kepala akibat kekerasan. Retardasi mental dan kecacatan terjadi pada anak yang bertahan hidup.5 1 Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu kunci dari diagnosis kekerasan fisik terhadap anak. John caffey merupakan peneliti yang pertama kali menjelaskan secara sistematik klinis dan gambaran radiologi kekerasan pada anak. Temuan radiologis yang diungkapkan meliputi trauma kepala, subdural hematom, fraktur di berbagai tempat, lesi metaphisis, reaksi periosteal, pembentukan tulang baru di ektermitas atas dan bawah. 1,4 Latar belakang diambilnya kasus ini bermula dari diterimanya CT scan kepala bayi berusia 1 bulan dari sebuah rumah sakit swasta yang dikonsultasikan kembali ke RSUP dr. Sardjito saat bayi berusia 2 bulan dengan klinis encephalitis, adapun hasil dari RS swasta adalah lesi hipodens cerebral parenkim difus, suspect acute necrotizing encephalitis. Setelah beberapa hari CT scan diterima, pasien menjalani pemeriksaan foto antebrachii dextra dan cruris sinistra karena adanya kecurigaan selulitis, dengan hasil fraktur komplet os humeri dextra pars tertia media dengan aposisi dan alignment kurang baik curiga non accidental injury dan curiga osteomyelitis femur, fibula, tibia sinistra. Berdasarkan temuan pada CT scan kepala dan foto polos ektermitas, diduga kedua foto ini memiliki hubungan atau keterkaitan dan merupakan suatu penyakit yang sama. Adanya temuan kecurigaan non accidental injury pada foto polos menimbulkan kecurigaan pula adanya non accidental head injury pada CT scan kepala. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui gambaran foto polos non accidental injury pada bayi sehingga ahli radiologis dapat menganalisa dan mendiagnosis dengan tepat. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Definisi Child abuse atau kekerasan pada anak didefinisikan secara luas oleh WHO sebagai kekerasan dan penelantaran anak, termasuk tindakan penganiayaan fisik dan emosional, pelecehan seksual, penelantaran dan eksploitasi anak yang menghasilkan gangguan kesehatan anak, gangguan perkembangan dan martabat. Terdapat 5 tipe kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran, lalai terhadap pengobatan, dan eksploitasi.1 Kekerasan fisik terhadap anak merupakan tindakan agresi fisik terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa, melibatkan tindakan pemukulan, tendangan, dorongan, tamparan, pembakaran, penarikan telinga maupun rambut, penusukan, dan penguncangan anak. Henry kempe pada tahun 1962 menggambarkan tentang battered child syndorme, yaitu suatu kondisi pada anak yang mendapatkan kekerasan fisik yang menghasilkan trauma neurologi permanen atau kematian.1,4 II. Epidemiology Diperkirakan terdapat kematian 5 orang anak setiap hari di Amerika serikat akibat kekerasan dan penelantaran anak oleh orangtua maupun pengasuh anak. Terjadi kematian sekitar 2000 pertahunnya dengan sebagian besar anak berumur kurang dari 4 tahun, 40 % berada di bawah usia 1 tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Yayasan Kesejahteraan Anak indonesia melalui center for tourism research and development Universitas Gajah Mada, tentang kekerasan pada anak yang terjadi dari tahun 1992-2002 di 7 kota besar di Indonesia, ditemukan bahwa terdapat 3969 kasus, dengan rincian kekerasan seksual 65,8 %, kekerasan fisik 19,6 %, kekerasan emosi 6,3 % dan penelantaran 8,3 %. Sebanyak 80 % kekerasan yag menimpa anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10 % terjadi dilingkungan pendidikan dan sisanya orang tak dikenal.1,2 Sekitar 12 % anak dengan kekerasan fisik mengalami trauma kepala atau non accidental head injury (NIHA), dengan umur dibawah 2 tahun dan 80 % anak meninggal karenanya. Pada anak kurang 3 dari 1 tahun 95 % memiliki trauma kepala yang serius dan 64 % dari semua trauma kepala akibat kekerasan. Retardasi mental dan kecacatan terjadi pada anak yang bertahan hidup.5 Trauma skeletal merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada kekerasan fisik anak. Tipe dan lokasi trauma skeletal telah dapat didokumentasikan. Fraktur terjadi pada 11-55% kekerasan fisik anak. Dari berbagai penelitian yang telah dilaporkan, tipe fraktur yang terjadi sangat bervariasi. Pada sebuah penelitian fraktur pada kekerasan fisik anak tanpa pengelompokan umur didapatkan 76 % fraktur terjadi di tulang panjang, 8 % fraktur kepala dan 8 % pada costa.5 III. Etiology Sebagian besar kekerasan anak terjadi di lingkungan keluarga sehingga mengidentifikasi faktor-faktor etiologi berbagai bentuk kekerasan dan penelantaran sangat berguna untuk mengetahui akibat kekerasan tumah tangga secara luas. Faktor penyebab kekerasan pada anak diantaranya kemiskinan, stress dan kepribadian yang kasar. Pelaku kekerasan biasanya menunjukkan gejala stres yang berhubungan dengan depresi, psikotik maupun perilaku sosiopati. Kebanyakan pelaku kekerasan anak merupakan orang yang tidak mampu menangani stress dan dapat merupakan akibat pemakaian obat-obatan, alkohol serta kondisi lingkungan. Faktor resiko lainnya yaitu orang tua muda, situasi keluarga yang tidak stabil dan anak lahir cacat atau prematur.4,6 Kekerasan fisik paling sering dilakukan oleh ayah atau pengasuh laki-laki (ayah, tiri, pacar, teman dekat, saudara). Kemarahan dari seorang pria sangat mungkin dengan memukul anak, mengguncang maupun mencekik, hal ini sering dilakukan untuk menghentikan tangisan bayi. Sedangkan ibu biasanya lebih bertanggung jawab atas tindakan kekerasan anak berupa menenggelamkan dan membakar anak dan membiarkan anak kelaparan.7 IV. Manifestasi klinis Trauma skeletal merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada kekerasan fisik anak. Tipe dan lokasi trauma skeletal telah dapat didokumentasikan. Fraktur terjadi pada 11-55% kekerasan fisik anak. Dari berbagai penelitian yang telah dilaporkan, tipe fraktur yang terjadi sangat bervariasi. 4 Pada sebuah penelitian fraktur pada kekerasan fisik anak tanpa pengelompokan umur didapatkan 76 % fraktur terjadi di tulang panjang, 8 % fraktur kepala dan 8 % pada costa.5 Bayi yang mengalami guncangan keras dapat ditemukan gejala sistem saraf pusat seperti kejang, lesu hingga koma. Kebanyakan bayi tiba di rumah sakit dalam keadaan kritis dengan ubunubun tegang. Sebagian kecil bayi memiliki klinis yang lebih ringan seperti perubahan kesadaran, tersedak, muntah atau tidak mau makan. Walaupun bukti trauma biasanya tidak ditemukan, dengan melakukan pemeriksaan yang teliti dapat ditemukan adanya memar di tubuh. Smith dan hanson menemukan memar berbentuk jari dan lengan beberapa bayi yang mengalami guncangan keras.4 Hampir semua bayi dengan riwayat guncangan keras memiliki perdarahan retina. Perdarahan dapat terjadi pada subretinal, retina, preretina, dalam vitreus dan sepanjang saraf optik. Perdarahan retina terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, dapat terjadi pada trauma tumpul yang disengaja, dapat terkait dengan hematom subdural akut. Perdarahan retina juga dipengaruhi oleh adanya peningkatan tekanan intravascular yang mendadak akibat guncangan dan kompresi dada. Pendarahan retina akan hilang setelah 8 hari, dapat juga bertahan sampai dengan 3 bulan.4,8 Trauma visceral pada kekerasan fisik pada anak diperkirakan hanya 2- 4 % kasus, dan merupakan penyebab kematian pada 12 % kasus. Laporan-laporan ini berasal dari literatur lama. Trauma abdomen tidak terlihat sampai timbul gejala peritonitis, sepsis atau kolaps pembuluh darah.5 V. Mekanisme trauma Kekerasan fisik terhadap anak merupakan tindakan agresi fisik terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa, melibatkan tindakan pencekikan, pemukulan, tendangan, dorongan, tamparan, pembakaran, penarikan telinga maupun rambut, penusukan, dan penguncangan anak. Universitas Massachuset melaporkan 5 kasus kekerasan bayi berupa guncangan memiliki pola trauma yang hampir sama. Bayi tersebut di pegang di daerah thorax, menghadap ke pelaku dan diguncang ke berbagai arah (gambar 1). Kepala akan berputar dalam serangkaian guncangan terutama ke anteroposterior. Thorax tertekan, lengan dan kaki bergerak seperti pukulan cemeti. Setelah serangan, 5 bayi biasanya tampak lemas dengan respirasi yang dangkal. Selama serangan, kepala bayi dapat terbentur benda padat dan kemudian bayi mungkin dijatuhkan, dilempar maupun dibanting ke permukaan padat. Mekanisme ini dapat menjelaskan trauma tumpul yang timbul pada kekerasan anak, seperti fraktur tulang kepala.3,4 Pada dasarnya trauma kepala terdiri dari 2 mekanisme, yaitu serangan kontak dan non kontak. Trauma kontak terjadi ketika kepala terbentur suatu benda dan trauma non kontak terjadi akibat adanya akselerasi dan deselerasi kranial. Serangan kontak akan menimbulkan trauma pada daerah yang terkena, seperti laserasi tulang kepala atau fraktur. Trauma kontak dengan fraktur tulang kepala dapat disertai dengan perdarahan (epidural, subdural maupun subarachnoid) dan distrupsi parenkim (kontusio dan lacerasi). Trauma non kontak disebabkan karena adanya akselarasi kranial dimana terjadi perpindahan otak dari tulang ke durameter dengan ruptur pembuluh darah dan penekanan otak itu sendiri. Terdapat 2 mekanisme akselerasi, yaitu akselarasi translasi dan akselarasi rotasi atau angular. Akselerasi translasi terjadi ketika daerah sentral gravitasi otak, sekitar kelenjar pineal bergerak dalam garis lurus. Akselerasi rotasi terjadi ketika kepala berubah dari pusat gravitasi.8 VI. Temuan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu kunci dari diagnosis adanya kekerasan fisik terhadap anak. John caffey merupakan peneliti yang pertama kali menjelaskan secara sistematik klinis dan gambaran radiologi kekerasan pada anak. Temuan radiologis yang diungkapkan meliputi trauma kepala, subdural hematom, fraktur di berbagai tempat, lesi metaphiseal, reaksi periosteal, pembentukan tulang baru di ektermitas atas dan bawah. Secara garis besar temuan radiologis kekerasan fisik anak paling sering berupa trauma skeletal dan trauma kepala.1,4 1. Trauma skeletal Fraktur akibat kekerasan fisik dapat ditemukan di seluruh kerangka tubuh, terjadi di berbagai tempat dan menunjukkan tahap penyembuhan yang berbeda pada pemeriksaan radiologi tulang. Anak kurang dari 18 bulan memiliki penahan trauma yang tidak biasa karena tulang yang bersifat imatur dan memiliki mekanis trauma yang unik (seperti guncangan keras). Fraktur metaphisis dan 6 fraktur costa yang ditemukan pada bayi merupakan temuan spesifik kekerasan fisik. Pada penelitian pola fraktur 35%-60% bayi dengan kekerasan fisik terjadi fraktur costa.1,5 Fraktur metaphisis merupakan temuan spesifik kekerasan fisik pada anak. Fraktur ini pertama kali digambarkan john caffey seorang ahli radiologi anak dan dia mengungkapkan istilah bucket handle dan corner fracture untuk menggambarkan fraktur metaphisis yang merupakan pathognomonik kekerasan fisik anak (gambar 2). Kleinsman menemukan istilah classic metaphiseal lession (CML) untuk menggambarkan kekerasan fisik anak. CML biasa terjadi di femur distal, tibia proximal, tibia distal dan humerus proximal. Kelainan ini hanya ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun.4,5,9 CML merupakan fraktur kecil yang menyebrangi metaphisis, garis fraktur pararel terhadap phisis, dan tidak masuk dalam tebal tulang. Terjadi akibat tarikan dan torsional pada tubuh, atau ketika tubuh digunakan sebagai pegangan pada saat tindakan penguncangan. Secara histologi CML didefinisikan sebagai mikro fraktur pada subephipiseal tulang. Subephipiseal merupakan spongiosa primer dan merupakan area matrix mineral yang belum matang pada daerah metaphisis. Mikrofraktur dapat meluas ke seluruh metafisis, baik secara komplet maupun sebagian. Ketika fraktur komplet, fragmen fraktur disebut sebagai wafer atau disk tulang (spongiosa primer), yang dipisahkan oleh mikrofraktur metaphisis. Tepi dari CML cenderung lebih tebal, karena mikro fraktur miring ke arah diaphisis sehingga tepi tulang relatif tebal dan fragmen fraktur akan berbentuk cakram. Bagian tengah mikro fraktur lebih dekat dengan epiphisis sehingga daerah tengah lebih tipis dari fragmen fraktur. Komplet CML tampak sebagai lempeng dengan bagian pusat tipis dan tepi tebal. CML akut akan bermanifestasi sebagai gangguan trabekulasi tulang di daerah spongiosa primer. Kolom kalsifikasi tulang rawan yang meluas ke metaphisis juga terganggu, adanya gangguan periosteal dan perluasan ke fisis relatif jarang. Ketika CML akut mengalami penyembuhan, terjadi peningkatan jumlah osteoblas darah dan osteoklas serta deposit fibrin.5,9 Gambaran radiologis dari CML berhubungan erat dengan histologinya. CML tampak sebagai area lusen di subphyseal metafisis, yang meluas seluruhnya atau sebagian ke metaphysis, tegak lurus dengan sumbu panjang tulang. Karena bagian sentral fragmen fraktur tipis, daerah ini akan sulit 7 dilihat. Semakin tebal tepi fraktur akan semakin mudah dilihat dan tampak berbentuk segitiga. Jika fragmen fraktur terpisah dari tulang panjang oleh lusensi fraktur yang menonjol atau fraktur dilihat dari sudut miring, tepi fraktur tampak sebagai struktur yang melengkung berbentuk seperti pegangan ember atau bucket handle. Gambaran fraktur bervariasi tergantung pada panjang dan lebar fragmen fraktur (seberapa jauh perluasan fraktur menyebrangi metaphisis) serta posisi radiografi. CML yang mengalami penyembuhan sulit dinilai dengan radiografi karena kalus dan pembentukan subperiosteal tulang baru jarang terjadi. Ekstensi fokal atau difus kartilago phisis ke metafisis tampak sebagai area lusensi metaphisis, dan hal ini merupakan indikator spesifik penyembuhan, walaupun tidak dapat digunakan dalam penentuan usia fraktur.5 Pada bayi dan anak, periosteum melekat longgar pada tulang dan mudah terpisah jika terjadi tarikan maupun putaran. Perdarahan subperiosteal terjadi ketika periosteum terpisah dari korteks tulang, dan kemudian dapat terbentuk kalsifikasi. Lesi ini biasanya tidak bergejala, jika perdarahan besar dapat ditemukan pembengkakan dan nyeri. Temuan ini disebut sebagai involucrum oleh caffey (gambar 3). Pemeriksaan radiologi akan tampak sebagai penebalan periosteum 2 mm atau kurang, berbatas tegas, terpisah dari korteks tulang dan dibatasi diaphisis. Biasanya ditemukan pada tulang tibia, femur, humerus, ulna dan radius.7,9 Pada anak dengan kekerasan fisik dapat terjadi lebih dari satu fraktur dengan lokasi dan waktu terjadinya berbeda. Proses penyembuhan fraktur dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu inflamasi, pembentukan kalus lunak (reparatif), pembentukan kalus keras dan remodeling. Awalnya, respon inflamasi muncul dengan adanya fraktur yang mengalami nekrosis tulang. Sel dihantarkan oleh pembuluh darah (terutama periosteum) yang masuk kedalam hematoma yang berfungsi sebagai pencetus proses perbaikan. Sel-sel yang menyerang akan menghasilkan jaringan fibrosa, kartilago dan akhirnya membentuk tulang yang belum matang. Fase kalus halus didahului dengan penampakan anyaman tulang dan kartilago. Anyaman tulang akan berkembang menjadi lamelar tulang matur (kalus keras), pada tahap ini akan tampak jembatan garis fraktur berupa kalus. Pada bulan-bulan berikutnya trabekula tulang akan berada di sepanjang garis tekanan dan sumsum tulang akan 8 direkontruksi. Pada fraktur dengan letak yang berbeda, aktivitas inflamasi dan pembentukan kalus dapat terjadi bersamaan.5,7 Pada sebuah penelitian didapatkan pembentukan kalus lunak terjadi setelah 10 hari trauma. Penelitian lainnya mengevaluasi tanda penyembuhan fraktur pada anak berusia 1-17 tahun. Temuan awal tampak tepi fraktur mengabur pada 60 % kasus. Pertumbuhan tulang baru diamati setelah 2 minggu paska trauma dan baru tampak pada 4 minggu paska trauma. Kalus tampak setelah 4 minggu paska trauma dan pada beberapa kasus tampak di awal minggu kedua. Jembatan fraktur inkomplet tampak 3 minggu setelah trauma dan jembatan fraktur lengkap terbentuk pada 10 minggu pada 40 % kasus. Penyembuhan fraktur pada bayi lebih cepat daripada anak maupun dewasa.5 Fraktur costa pada kekerasan fisik anak lebih sering ditemukan daripada fraktur tulang panjang. Biasanya terjadi akibat kompresi anterior dinding dada. Serangan dari depan ke belakang menyebabkan fraktur aspek lateral. Pada pemeriksaan radiologis fraktur costa akan tampak sebagai area lusensi linier baik komplet maupun inkomplet. Fraktur costa akan sulit dilihat jika fraktur inkomplet, fraktur dengan aposisi baik dan superposisi dengan struktur lainnya atau jika garis fraktur miring ke arah sinar X-Ray. Fraktur pada ujung proximal costa (pada articulatio costovertebral) juga sangat sulit dilihat. Adanya proses penyembuhan, fraktur costa akan lebih mudah dilihat karena adanya tulang baru subperiosteal dan kalus (gambar 4). Sehingga diperlukan evaluasi radiografi setelah cedera untuk mendeteksi adanya fraktur costa.5,7 Fraktur vertebra jarang ditemukan pada anak, fraktur bisa terjadi akibat gerakan flexi maupun ekstensi pada tindakan pengguncangan keras atau penekanan keras sebagai akibat pembantingan ke permukaan keras. Dengan adanya pengetahuan fraktur yang disengaja, penemuan fraktur pada lokasi dan mekanisme trauma yang tidak biasa, harus dipertimbangkan adanya kekerasan fisik. Fraktur yang jarang ditemukan pada kekerasan fisik yaitu os phalank, metacarpal, metatarsal, pelvis dan scapula. Fraktur pelvis berhubungan dengan kekerasan seksual.9 9 2. Trauma Kepala Shaken baby sindrom biasa disebut juga dengan Shaken impact syndrome, Whiplash-shaking injury, Inflicted head trauma, Abusive head trauma dan Non-accidental head injury. Pada kondisi ini otak dapat rusak sebagai akibat dari adanya efek desak ruang oleh perdarahan subdural, oedema cerebri, hipoksia cerebri, kontusio cerebri, difuse axonal injury dan tears of the brain.8 Edema, fokal maupun difus merupakan temuan yang paling sering ditemukan pada non accidental head injury (NAHI). Merupakan manifestasi trauma primer akibat hipoksia, yang dapat terlihat pada berbagai kasus termasuk pencekikan, kesulitan bernapas, apneu post trauma dan kasus lainnya. Edema biasanya disebabkan oleh terhambatnya aliran balik vena akibat kompresi dada. Seperti otak yang bengkak, penekanan pembuluh darah dan peningkatan tekanan intrakranial berpengaruh pada asupan pembuluh darah cerebral, menghasilkan trauma, edema dan dapat menyebabkan herniasi. Apnu post trauma juga dikatakan sebagai penyebab edema pada kasus kekerasan. Teori ini didukung dengan beberapa penemuan, salah satunya menunjukkan trauma craniocervical junction dan vertebra cervical pada korban yang mengalami guncangan keras.5 Pada 24 jam pertama trauma hipoksia iskemik, CT scan kepala tidak terdapat kelainan atau menunjukkan adanya hipoatenuasi ringan dari struktur gray matter. Selanjutnya CT akan menunjukkan kelainan difus di basal ganglia yang bersamaan dengan edema cerebral difus, tampak hipoatenuasi kortikal, hilangnya batas white matter dan gray matter, penipisan sisterna dan sulci. Sejumlah pasien menunjukkan reversal sign, dimana terdapat pembalikan atenuasi normal white matter dan gray matter (gambar 5), adanya oedema difus menyebabkan sumbatan parsial aliran vena sehingga terjadi distensi vena medularis profunda dan hasil akhirnya berupa atenuasi white matter lebih tinggi dari gray matter. Temuan CT lainnya pada trauma hipoksia iskemik yaitu white cerebellum sign (gambar 6) yang berhubungan dengan reversal sign. Adanya edema difus dan hipoatenuasi hemispherium cerebri dari cerebellum dan batang otak menyebabkan peningkatan atenuasi cerebellum dan batang otak terhadap hemispherium cerebri. Temuan ini terjadi akibat adanya aliran balik darak ke sirkulasi posterior yang terjadi selama anoxia. Infark perdarahan pada 10 basal ganglia dapat terjadi setelah 4-6 hari, gambaran radiologi pada fase kronik akan tampak diffuse atropi dengan pembesaran sulci dan ventrikel (gambar 7).10 Perdarahan subdural (SDH) dan perdarahan subarachnoid (SAH) sering ditemukan pada kekerasan fisik. Sedangkan perdarahan epidural lebih sering ditemukan pada kecelakaan daripada jatuh dari ketinggian. Saat otak mengalami akselerasi rotasi, pembuluh darah pada sinus dural tertarik, pecah dan darah masuk kedalam ruang subdural dan subarachnoid. SAH juga dapat terjadi akibat serangan kontak langsung, yang menyebabkan robeknya pembuluh darah. Darah terakumulasi di bawah membran arachnoid, ruang subarachnoid (biasanya berisi cariran cerebrospinal). SAH mengisi celah dan sulci di daerah perdarahan. SDH juga dapat terjadi akibat adanya serangan kontak yang menyebabkan pecahnya pembuluh. SDH akan tampak berbentuk bulat sabit atau terkumpul di interhemisfer (parafalcine). Pada CT scan SDH akut akan tampak perdarahan dengan atenuasi tinggi, yang kemudian menjadi isoatenuasi relatif terhadap otak dan akhirnya menjadi hipoatenuasi setelah satu minggu (gambar 8).5 Fraktur tulang kepala terjadi akibat adanya trauma kontak. Fraktur linier tulang bukan temuan khas pada non accidental injury tetapi adanya temuan fraktur tulang kepala kompleks dapat meningkatkan kecurigaan non accidental injury. Pola fraktur tulang kepala telah diamati untuk menentukan ada tidaknya kekerasan fisik. Penelitian telah menunjukkan fraktur yang melewati sutura dan fraktur bilateral terkait dengan kekerasan fisik anak (gambar 9). Selain itu terdapat juga laporan adanya diastasis lebih dari 3 mm terkait dengan kekerasan fisik anak. Pada foto polos kepala, fraktur tampak sebagai area lusensi linier atau bercabang dengan tepi yang tajam.5,7 VII. Diagnosis Banding 1. Skeletal Meskipun dalam diagnosis banding patah tulang anak harus tetap dicurigai adanya trauma akibat kecelakaan, harus juga dipertimbangkan adanya kelainan kongenital dan kelainan dapatan yang menimbulkan kecurigaan kekerasan fisik anak. Berdasarkan kombinasi riwayat pasien, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi dapat dihasilkan diagnosis yang benar. 11 Diagnosis banding pada kekerasan fisik anak berupa OI, rikets, penyakit tulang prematur dan osteomyelitis (tabel 1).1,9 Terdapat variasi tulang yang akan mempengaruhi tulang pertumbuhan terutama metaphisis dan akan menyebabkan kebingungan dalam menginterpretasi CML. Yang paling penting adalah membedakannya dengan spur metaphisis dan paruh metaphisis. Sebanyak 4 % bayi menunjukkan iregularitas kortek fokal sepanjang diametaphisis tibia proximal aspek medial. Pada 25 % kasus terjadi bilateral.9 Dalam kasus yang dicurigai non accidental injury, adanya kerapuhan tulang dan patah tulang akibat osteogenesis imperfecta sebagai diagnosis banding utama. Osteogenesis imperfekta (OI) merupakan kelainan bawaan jaringan ikat berupa abnormalitas kualitas dan jumlah dari kolagen tipe I yang merupakan protein utama tulang. Presentasi fenotipik sangat bervariasi, mulai dari patah tulang multipel hingga kematian perinatal. Patah tulang merupakan kondisi serius pada OI dan harus dipertimbangkan dalam kasus patah tulang anak yang tidak dapat dijelaskan. Terdapat 4 jenis OI berdasarkan klasifikasi sillence (tabel 2). Secara umum, terdapat 4 ciri utama OI, yaitu kerapuhan tulang abnormal dengan osteoporosis, sklera biru, dentinogenesis imperfecta dan gangguan pendengaran. Fraktur pertama dalam tipe I, III, dan IV dapat bermanifestasi kapan saja selama masa kanak-kanak.9,11 Tipe IV merupakan jenis OI yang jarang. Mayoritas anak dengan OI memiliki tulang kepala wormian dan hal ini merupakan kondisi penting untuk menegakkan diagnosis fraktur yang tidak dapat dijelaskan atau hasil dari trauma yang tidak mungkin menyebabkan fraktur tersebut. Saat terjadi fraktur sebagian besar penderita OI memiliki osteopenia, dimana secara radiologis sulit untuk menilainya karena 30 % mineral tulang harus hilang sebelum radiografi terlihat abnormal. Dan sulit untuk mendiagnosis osteopeni karena tidak ada data normal kepadatan tulang yang diukur dengan dual energy X-Ray absorptiometry (DEXA) pada bayi dan anak. Fraktur metaphisis dapat terjadi pada OI, tetapi hanya pada penyakit tulang yang jelas dengan abnormalitas radiologi tulang.9,11 Kunci untuk membedakan OI dengan kekerasan fisik anak adalah adanya sklera biru dengan gigi yang abnormal, klinis dan riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. 12 Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mendeteksi adanya wormian tulang, osteoporosis, fraktur corner dan fraktur bucket handle yang merupakan temuan khas pada kekerasan fisik anak.11 2. Kepala Trauma kepala merupakan penyebab morbiditas dan kematian anak yang paling sering pada kekerasan fisik anak. Menentukan apakah trauma kepala ditimbulkan akibat kesengajaan atau ketidak sengajaan merupakan sesuatu yang tidak mudah, karena keduanya dapat menimbulkan cedera yang sejenis seperti fraktur tulang kepala, perdarahan, edema cerebri dan kontusio cerebri. Adanya temuan lain seperti fraktur depresi, fraktur diastatik, perdarahan retina, dan temuan terkait seperti fraktur metafisis mengarahkan kemungkinan diagnosis non accidental injury lebih besar. Namun jika tidak adanya temuan ini, diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat trauma.12 VIII. Protokol radiologi Radiologi memiliki peran penting dalam mengidentifikasi trauma pada anak, khususnya trauma yang disengaja, dan jika trauma tidak didiagnosis dengan benar maka anak memiliki resiko mengalami kembali non accidental injury kembali.1,9 The British Society of Paediatric Radiology dan the American College of Radiology telah membuat pedoman investigasi radiologi pada kecurigaan kekerasan. Pencitraan anatomi vital sangat penting, termasuk tangan, kaki dan tulang belakang. Proyeksi oblique tulang costa dilakukan untuk mengidentifikasi fraktur yang tersembunyi. Kualitas tinggi radiografi diperlukan untuk mengidentifikasi trauma tulang yang halus seperti pada CML.9 Kemp et al. Memberikan pedoman secara sistematis tentang pencitraan skeletal dalam kecurigaan adanya kekerasan pada anak. Semua anak yang berumur dibawah 2 tahun dengan kecurigaan mengalami kekerasan fisik harus menjalani pemeriksaan radiologi untuk menyingkirkan adanya fraktur. Investigasi radiologi harus dipertimbangkan pada anak lebih dari 2 tahun dan anak cacat dengan dasar klinis masing-masing. Skeletal survei atau skintigrafi tulang saja dapat melewatkan fraktur tersembunyi. Proyeksi oblique thorax harus dilakukan pada skeletal survei. 13 Mengulang skeletal survei dalam 2 minggu harus dipertimbangkan, minimal terdiri dari foto thorax frontal dengan proyeksi oblique costa, pengulangan ini dapat meningkatkan pendeteksian fraktur, termasuk waktu dan sifat alaminya. Jika skintigrafi tulang merupakan pilihan pertama investigasi, radografi tulang kepala dan proyeksi coned dari metaphisis harus dijadikan investigasi tambahan karena mudah terjadi kesalahan.1,9 IX. Diagnosis radiologi Faktor penting untuk mengidentifikasi adanya kekerasan fisik anak yaitu umur anak, adanya multipel fraktur dan pemeriksaan oleh dokter spesialis anak. Lesi tulang yang ditemukan pada kekerasan fisik anak dapat mirip dengan lesi tulang yang ditemukan pada kecelakaan. Mengidentifikasi fraktur pada kekerasan fisik anak ditentukan dengan melihat jenis fraktur, usia dan perkembangan anak, cara fraktur dipertahankan dan pernyataan anak, orang tua dan pengasuh tentang asal fraktur. Ketika kombinasi ini menunjukkan adanya perbedaan antara tiga faktor pertama dan terakhir, pernyataan dari orang tua dan anak, sangat mungkin adanya kekerasan fisik anak.1 Kekerasan fisik anak harus dipertimbangkan bila didapatkan multipel fraktur dengan berbagai tahap penyembuhan tanpa adanya tanda trauma seperti hematom atau luka di kulit, kerusakan pada epiphisis dan metaphisis, cedera otak traumatis yang ditimbulkan akibat guncangan atau shaken baby syndrome, satu atau lebih fraktur costa, formasi periosteal tulang baru, fraktur tulang kepala dengan atau tanpa tanda trauma intrakranial. Kleinman menggungkapkan spesifitas penemuan radiologis pada kekerasan anak. Specifitas di bagi menjadi tiga, yaitu spesifitas tinggi, sedang dan rendah (tabel 3). Dia menetapkan bahwa kekerasan fisik anak menjadi penyebab ketika lesi rata-rata atau lesi dengan spesifitas rendah dimana tidak ada penjelasan penyebab trauma atau apabila penjelasan tidak sesuai dengan sifat trauma.1,9 14 BAB III LAPORAN KASUS Seorang bayi laki-laki usia 2 bulan dibawa oleh orangtuanya ke RS Sardjito dengan keluhan utama demam dan bengkak pada tungkai bawah kiri. Pasien ini merupakan rujukan dari rumah sakit swasta di Yogyakarta, dengan diagnosis dari rumah sakit sebelumnya sepsis post encephalitis. Bayi lahir di bidan dari seorang ibu berusia 21 tahun, P1A0, kehamilan cukup bulan, melahirkan secara spontan dengan berat badan lahir bayi 3250 gr dan panjang badan 48 cm. Pada saat lahir bayi menangis spontan, dengan APGAR skor 10. Pada usia 8 hari ibu mengeluhkan badan bayinya kuning. Bayi segera dibawa kerumah sakit negeri di Yogyakarta. Saat itu bayi tidak demam maupun kejang, hasil laboratorium bilirubin total 16, kemudian menjalani fototerapi dan setelah perawatan selama 7 hari bayi dinyatakan boleh pulang dengan kondisi baik. Pada usia 3 minggu, ibu mengatakan anak diare (4-5 x sehari), tanpa kejang dan tanpa demam. Ibu membawanya ke rumah sakit dan diberi obat paracetamol dan candistatin. Bayi menjalani rawat jalan. Pada usia 24 hari bayi kembali diare yang diikuti dengan demam dan kejang. Kejang terjadi satu kali dengan lama kejang 20 menit. Setelah bayi sadar, ibu membawanya ke puskesmas dan kemudian disarankan untuk ke rumah sakit. Di rumah sakit swasta, anak dirawat di NICU selama 17 hari. Saat itu bayi menjalani berbagai pemeriksaan, baik laboratorium, CT scan kepala dan foto rongent thorax. Hasil laboratorium Hb 10,8 Hct 31,2% AL 22,72, neutrofil 35,5%, limfosit 51,8%, AT 352rb, elektrolit (N), kultur darah: tdk tumbuh, CMV IgG 95,5 IgM 0,10; Toxo IgG 103,3 IgM 0,03. Hasil CT scan saat itu tampak lesi hipodens cerebral parenkim difus, suspect Acute necrotizing encephalitis (gambar 10) dan untuk hasil foto rongent thorax tak tampak adanya kelainan baik pada pulmo, cor, abdomen dan sistema tulang (gambar 11). Setelah kondisi membaik, bayi dipindah ke bangsal dan menjalani perawatan di bangsal selama 3 hari dan diijinkan pulang dengan kondisi kesadaran bayi belum baik. Pada usia 1 bulan 21 hari, bayi kembali demam hingga 40 derajat celcius dan tungkai bawah kiri bengkak, bayi tidak kejang. Ibu membawa bayi ke rumah sakit swasta yang sama dengan 15 sebelumnya. Dirumah sakit tersebut bayi menjalani perawatan selama 4 hari dengan diagnosis sepsis post encephalitis. Empat hari perawatan, bengkak di tungkai bawah kiri sudah berkurang, tetapi punggung kaki kanan membengkak. Bayi disarankan untuk dirujuk ke RS sardjito tetapi orang tua menolak dan membawa bayi pulang ke rumah. Setelah 1 minggu dirumah, ibu baru membawa bayi ke RS. Sardjito. Pada hari perawatan pertama bayi demam tidak tinggi tanpa kejang, tampak tungkai bawah kiri bengkak dan memar dengan gerakan terbatas. Bayi tampak gelisah dan sering menangis dengan suara melengking seperti kesakitan. Pada pemeriksaan fisik, kondisi umum bayi lemah dan letargis, HR 150x/m, RR 40x/m t 37,8ᵒC SpO2 96% (O2 NK 1 lpm), leher : KK (-), thoraks (J/P) normal, abdomen (H/L) normal. Pemeriksaan ekstremitas regio cruris bagian proksimal hingga medial tampak bengkak, kebiruan, teraba hangat dan nyeri saat disentuh. Untuk pemeriksaan ekstermitas superior, gerakan kedua lengan bebas. Status neurologis bayi paraparesis spastik, dengan pemeriksaan kepala normocephal, UUB datar kemerahan, pupil isokor 4/4 mm, RC (+/+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasi sebagai berikut : Hb 10,1, AL 12.340, AT 732000, neutrofil 69%, limfosit 21,3%, albumin 4,25, Na 142, K 4,3, Cl 106, Ca 2,22, dan CRP 30. Hari perawatan ke 2 di RS sardjito, bengkak dan memar di tungkai bawah kiri sedikit berkurang dan tampak lengan kanan atas mulai membengkak, dengan gerakan baik. Hari ke 5 perawatan bengkak dan memar tungkai kiri berkurang dan masih tampak pembengkakan di lengan kanan atas, berwarna kebiruan, nyeri bila dipegang dan gerakan lengan terbatas, mata kanan bayi tampak tidak membuka dengan sempurna. Setelah perawatan hari ke 11, dilakukan pemeriksaan serologi HSV dengan hasil negatif dan dilakukan foto rongent ektermitas kanan atas dan ekstermitas kanan-kiri bawah dengan hasil ekstermitas kanan atas adalah fraktur komplet os humeri dextra pars tertia media dengan aposisi dan alignment kurang baik curiga non accidental injury (gambar 12). Hasil foto ekstermitas kanan-kiri bawah adalah susp osteomyelitis femur, fibula, tibia sinistra. Satu hari setelahnya mata bayi tampak anisokor 5/7 mm dan mata kanan masih tak bisa membuka sempurna, sehingga dilakukan pemeriksaan CT scan. Hasil pemeriksaan CT scan adalah encephalomalacia di kedua hemispher cerebri dengan sisa parenkim di paraventrikuler lateral 16 bilateral disertai multiple lesi hipodense di dalamnya, ventrikulomegali lateralis bilateral, dilatasi cysterna magna, tak tampak perdarahan cerebral maupun intracerbellar dan tak tampak fraktur pada sistema tulang (gambar 13). Berdasarkan pemeriksaan radiologis yang telah dilakukan terdapat kecurigaan adanya kekerasan pada bayi sehingga dilakukan pemeriksaan foto polos babygram, ekstermitas atas, manus kanan-kiri dan pedis kanan-kiri. Serta menggali informasi lebih lanjut tentang kedua orang tuanya. Adapun hasil pemeriksaan ektermitas atas yaitu fraktur kompleta os humeri dextra, fraktur inkompleta os humeri sinistra, fraktur lama os ulna dan radius dextra, avulsi fracture ujung distal os ulna sinistra, sangat mungkin non accidental injury. Pada foto babygram didapat pulmo, cor dan abdomen tak tampak kelainan, fraktur lama costa IV-VII aspek posterolateral sinistra. Foto polos manus dan pedis bilateral tak tampak kelainan (gambar 14). Ibu bayi adalah seorang ibu rumah tangga berusia 21 tahun, suku jawa dan ayah bayi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri, berusia 21 tahun, suku padang. Mereka tinggal bertiga di sebuah kos-kosan kecil di Yogyakarta dan mememelihara 3 ekor kucing. Ayah bayi memiliki sifat tempramental. Ibu mengatakan bahwa selama kehamilan dia sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami seperti ditendang pada bagian perut maupun dipukul pada bagian mulut, ibu juga mengatakan bahwa suaminya menginginkan anak perempuan daripada anak laki-laki, anak sering digigit di beberapa bagian tubuh dan anak sering menangis bila bersama suaminya. Menurut ibu bayi, suami lebih menyayangi 3 ekor kucingnya daripada anaknya. Bayi mendapatkan terapi O2 NK 1 lpm, injeksi cefotaxim 200 mg/kg/hari, injeksi ampisilin 200mg/kg/hari, injeksi dexametason 0,6 mg/kg/hari, paracetamol 10 mg/kg sejak awal perawatan. Dan mendapatkan tambahan terapi zinc 1 x 10 mg po dan wood splint regio brachium dextra dan sinistra sejak diketahui adanya multiple fraktur. Kedua orangtua bayi menjalani pemeriksaan psikologis. Dari pemeriksaan psikologis MMPI terhadap orang tua bayi didapatkan hasil MMPI ayah psikopat, antisosial, impulsif, bizzare thought, potensi agresif tinggi dan membahayakan. Hasil MMPI ibu yaitu cemas, paranoid, depresi ringan dan tidak terdapat potensi agresif. Saat kondisi anak sudah 17 stabil dan diizinkan pulang, anak dijauhkan dari sang ayah dan mendapatkan perlindungan sosial. Saat ini anak berada di rumah perlindungan sosial. 18 BAB IV PEMBAHASAN Kekerasan fisik atau non accidental injury terhadap anak merupakan tindakan agresi fisik terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa, melibatkan tindakan pemukulan, tendangan, dorongan, tamparan, pembakaran, penarikan telinga maupun rambut, penusukan, dan penguncangan anak. Henry kempe pada tahun 1962 menggambarkan tentang battered child, yaitu suatu kondisi pada anak yang mendapatkan kekerasan fisik yang menghasilkan trauma neurologi permanen atau kematian.3,4 Kekerasan fisik anak harus dipertimbangkan bila didapatkan multipel fraktur dengan berbagai tahap penyembuhan tanpa atau dengan adanya tanda trauma seperti hematom atau luka di kulit, kerusakan pada epiphisis dan metaphisis, cedera otak traumatis yang ditimbulkan akibat guncangan atau shaken baby syndrome, satu atau lebih fraktur costa, formasi tulang baru subperiosteal, fraktur tulang kepala dengan atau tanpa tanda trauma intrakranial.1 Pada pasien dalam laporan kasus ini, yaitu bayi laki-laki berumur 2 bulan didapatkan kelainan berupa oedema cerebri diffuse yang berkembang menjadi encephalomalasia, fraktur metaphisis, fraktur multipel dengan proses penyembuhan yang berbeda-beda, dan memar serta bengkak pada ekstermitas atas maupun bawah. Kondisi umum pasien gelisah dan sering menangis. Orang tua pasien merupakan pasangan muda, yaitu berusia 21 tahun, dimana ayah merupakan seorang mahasiswa dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Dari hasil pemeriksaan MMPI, ayah bayi memiliki kepribadian psikopat, antisosial, impulsif, bizzare thought, potensi agresif tinggi dan membahayakan. Dengan temuan tersebut sangat mungkin pasien mengalami non accidental injury. CT scan pasien pertama kali dilakukan di rumah sakit swasta dengan hasil lesi hipodens cerebral parenkim difus, suspect Acute necrotizing encephalitis. Pada CT scan saat itu tampak gyrus mendatar dengan jarak antar sulci menyempit, tak tampak adanya batas cortex dan medula, tampak gambaran hipodens di seluruh hemispherium cerebri bilateral, dengan bercak hiperdens (potongan axial, slice 13-16 ) di superior frontal dan precentral gyrus sinistra, tampak ventrikel lateralis bilateral 19 dan ventrikel ke 3 sempit (0,4 cm), ventrikel ke 4 dan cisterna magna lebar (1 cm), Midline di tengah, tak tampak perpindahan hemispherium cerebri. Tampak gambaran densitas, ukuran dan letak serebellum normal. Temuan ini menunjukkan adanya gambaran oedema difus dengan cerebellum yang normal (gambar 10). Satu bulan setelah CT scan ini, dilakukan evaluasi CT scan kepala dengan hasil encephalomalacia di kedua hemispher cerebri dengan sisa parenkim di paraventrikuler lateral bilateral disertai multiple lesi hipodense di dalamnya, ventrikulomegali lateralis bilateral, dilatasi cysterna magna, tak tampak perdarahan cerebral maupun intracerbellar dan tak tampak fraktur pada sistema tulang. Tidak ditemukannya perdarahan baik SDH maupun EDH serta tidak ditemukannya fraktur pada CT scan anak, serta adanya edema cerebri difus dengan cerebellum yang normal, pasien diduga mengalami trauma hipoksia iskemik, seperti pencekikan, kesulitan bernapas atau apnue post trauma. Edema biasanya disebabkan oleh terhambatnya aliran balik vena akibat kompresi dada. Seperti otak yang bengkak, penekanan pembuluh darah dan peningkatan tekanan intracranial berpengaruh pada asupan pembuluh darah cerebral, menghasilkan trauma, edema dan dapat menyebabkan herniasi. Edema cerebri difus pada kekerasan fisik anak memiliki kecenderungan yang tidak biasa yaitu memberikan gambaran atenuasi normal pada basal ganglia, thalamus, batangotak dan cerebellum. Gambaran ini disebut dengan reversal sign dan white cerebellum sign. Pada reversal fase akut dan subakut, peningkatan densitas pada struktur otak berkaitan dengan edema yang rendah dan tampak ada bercak perdarahan, kerusakan neuron akut yang luas berkaitan dengan densitas otak. Pada fase kronik, tampak hubungan antara kerusakan jaringan kistik dengan area dengan densitas rendah pada CT. CT scan kepala pertama pada kasus ini menunjukkan adanya reversal sign akut dan white cerebellum sign dan CT scan kepala kedua menunjukkan adanya reversal sign kronik, yaitu tampak encephalomalasia dengan atrophy cerebri.5,13 Pada kasus ini, pasien memiliki hasil laboratorium darah kadar IG G chytomegalovirus (CMV) dan toxoplasmosis yang tinggi menimbulkan kecurigaan infeksi CMV dan toxoplasmosis. Infeksi CMV ditandai dengan adanya kalsifikasi intrakranial, kelainan migrasi, penyakit white matter, ventrikulomegali dan kista periventrikuler (gambar 15). Sedangkan pada toxoplasmosis kongenital 20 pada CT kepala tampak hidrocephalus difus yang berhubungan dengan nodul ireguler multipel, cystlike maupun kalsifikasi berbentuk kurva linier di periventrikular dan plexus choroideus (gambar 16), selain itu juga dapat ditemukan tulang kepala yang menebal serta sutura yang bertumpuk. Pada pasien ini tidak ditemukan kelainan-kelainan tersebut sehingga infeksi CMV dan toxoplasmosis dapat disingkirkan.14,15 Pada foto polos tulang pasien yaitu baby gram, ektermitas superior dan inferior ditemukan fraktur kompleta os humeri dextra, fraktur inkompleta os humeri sinistra, fraktur lama os ulna dan radius dextra, fraktur avulsi ujung distal os ulna sinistra (fraktur metaphisis), fraktur lama costa IV-VII aspek posterolateral sinistra dan subperiosteal bone formation pada os femur, tibia dan fibula sinistra. Kleinman menggungkapkan specifitas penemuan radiologis pada kekerasan anak. Specifitas di bagi menjadi tiga, yaitu spesifitas tinggi, sedang dan rendah. Dikatakan spesifisitas tinggi jika ditemukan CML, fraktur costa terutama posterior dan fraktur yang tidak biasa seperti fraktur vertebra dan akromion. Spesifisifisitas rendah jika terdapat fraktur multipel terutama bilateral, fraktur dengan umur yang berbeda, fraktur digital dan fraktur kompleks tulang kepala. Dan dikatakan spesifisitas rendah jika ditemukan formasi tulang baru subperiosteal, fraktur clavicula, fraktur tulang panjang dan fraktur linier tulang kepala. Berdasarkan pembagian tersebut pada pasien ini dapat dimasukkan dalam spesifisitas tinggi kekerasan fisik anak dengan didapatkan kelainan fraktur metaphisis ujung distal os ulna sinistra dan fraktur lama costa IV-VII aspek posterolateral sinistra. Osteogenesis imperfecta (OI) merupakan salah satu diferential diagnosis pada kekerasan fisik anak dan OI merupakan kelainan bawaan jaringan ikat yang berupa abnormalitas kualitas dan jumlah dari kolagen tipe I yang merupakan protein utama tulang. OI grade IV dikatakan sebagai diferensial diagnosis kekerasan fisik anak, dimana gambaran klinis OI grade IV berupa kerapuhan tulang, deformitas pada vertebra dan tulang panjang serta kehilangan pendengaran dan tidak terdapat sklera biru. Pada pasien dalam laporan kasus ini, tidak terdapat sklera biru,tidak terdapat riwayat keluarga dengan OI, tidak terdapat tulang panjang yang melengkung. Dan fraktur pada pasien ini terjadi lebih dari usia 24 hari, hal ini dapat dilihat dari hasil foto babygram yang dilakukan pada usia 21 tersebut. Pada OI fraktur dapat terjadi baik intra maupun ekstrauterin, sehingga pada saat lahir dapat ditemukan adanya multipel fraktur dengan penyembuhan yang berbeda-beda.9,11 Selain OI, pasien ini juga dicurigai dengan osteomyelitis di os femur, fibula dan tibia sinistra berdasarkan adanya temuan pembentukan formasi tulang baru subperiosteal di tulang tersebut. Osteomyelitis merupakan infeksi pada tulang dengan perubahan awal radiografi berupa penebalan periosteal, lesi litik, endosteal scalloping, trabekulasi berkurang dan pembentukan tulang baru, temuan ini pada anak akan tampak 5 sampai 7 hari setelah infeksi. Formasi tulang baru subperiosteal formation dapat ditemukan di beberapa penyakit tulang seperti infeksi, penyakit metabolik dan proses keganasan, diagnosis ditegakkan dengan melihat temuan secara menyeluruh, adanya lesi lain di tempat berbeda seperti multipel fraktur, fraktur metafisis dapat menyingkirkan diagnosis banding.9,16 22 BAB V KESIMPULAN Pemeriksaan radiografi pada kasus non accidental injury pada anak memiliki peran penting dalam penegakan diagnosis. Dimana dengan menganalisa secara sistematis temuan radiologis kasus pada bayi laki-laki berusia 2 bulan memiliki gambaran yang sesuai dengan non accidental Injury yaitu adanya fraktur metaphisis, Subperiosteal new bone formation, Fraktur costa aspek posterior, multipel fraktur dengan waktu penyembuhan yang berbeda serta encephalomalasia. CT scan kepala menunjukkan gambaran hipoksia iskemik yang diakibatkan non accidental head injury. Mengidentifikasi fraktur pada non accidental injury anak ditentukan dengan melihat jenis fraktur, usia dan perkembangan anak dan pernyataan anak, orang tua dan pengasuh tentang asal fraktur. Pada kasus ini ibu bayi menyatakan adanya kekerasan fisik anak yang dilakukan oleh ayah bayi. Dimana ayah bayi berdasarkan hasil MMPI berkepribadian psikopat, antisosial, impulsif, bizzare thought, potensi agresif tinggi dan membahayakan 23 DAFTAR PUSTAKA 1. Cilo RA. Robben SG. Rijn RR. Forensic aspects of paediatric fractures : differentiating accidental trauma from child abuse. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2010. 2. Solihin L. Tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga. Jurnal pendidikan penabur. 2004; 3:129-38. 3. Anonim. Child abuse. Wikipedia, the free encyclopedia (Cited: 2013 Sept 1) Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Child_abuse. 4. Kleinman KP. Diagnostic imaging in infant abuse. AJR. 1990; 155 :703-11. 5. Lonergan GJ, Baker AM, Morey MK, Boos SC. Child abuse Radiologic-pathologic correlation. Radiographic. 2003; 23: 811-40. 6. Duhaime AC, Christian CW, Rorke LB, Zimmerman RA. Nonaccidental head injury in infant-the “shaken-baby syndrome”. The New England Journal of Medicine. 1998; 338 (25) 1822-8. 7. Brogdon BG. Child abuse. In : Brogdon BG. Forensic radiologi. CRC Press LLC; 1998. pp 278309. 8. David TJ. Shaken baby (shaken impact) syndrome: non-accidental head injury in infancy. J R Soc Med. 1999; 92: 556-561 9. Chapman S. Non-accidental Injury. In : Johnson KJ, Bache E, editors. Imaging in Pediatric Skeletal Trauma. Springer; 2008. pp 159-171. 10. Huang YB. Castilo M. Hypoxic-ischemic brain injury: imaging findings from birth to adulthood. RadioGraphics. 2008; 28:417–439. 11. Ablin DS, Greenspan A, Reinhart M, Grix A. Differentiation of child abuse from osteogenesis imperfecta. AJR. 1990; 154: 1035-44. 12. Billmire ME, Myers PA. Serious head injury in infant: accident or abuse?. Pediatric. 1985: 75(2); 340-2. 13. Han BK, Towbin RB, Myers GDC, McLaurin RL, Ball WS. Reversal sign on CT : effect of anoxic/ischemic cerebral injury in children. AJR. 1990; 154: 361-8. 14. Fink KR. Thapa MM. Ishak GE. Neurimaging of pediatric central nervous system cytomegalovirus infection. Radiographic. 2010; 30: 1779-1796. 15. Khan AN. Imaging CNS Toxoplasmosis. Medscape (Updated: Jun 11, 2013, Cited: 2013 Sept 1). Available from : http://emedicine.medscape.com/article/344706-overview. 16. Pineda C. Espinosa R. Pena A. Radiographic imaging in osteomyelitis: the role of plain radiography, computed tomography, ultrasonography, magneticResonance imaging, and scintigraphy. Semin Plast Surg. 2009; 23:80–89. 17. Williams HJ. Imaging the child with developmental delay. Imaging. 2004; 16 :174-185. 24 LAMPIRAN Gambar 1. Guncangan keras dan peremasan bayi dapat menyebabkan perdarahan subdural (gambar kanan atas) dan cedera otak, fraktur costa (diagram kanan tengah) dan fraktur metaphisis (diagram kanan bawah). (Lanergan, 2003) a b c (Chapman, 2008) Gambar 2 (a) Fraktur metaphisis akut (b) Hasil follow up, tidak terdapat bukti adanya calus atau subperiosteal new bone formation (c) Foto genu joint proyeksi AP, tampak corner fracture (panah) dan bucket handle fracture (kepala panah) 25 Gambar 3. Kalsifikasi subperiosteal hematoma mengelilingi os humerus (Chapman, 2008) Gambar 4. Penyembuhan fraktur trasversal os humerus dengan angulasi (panah besar). Terdapat fraktur costa aspek lateral (panah kecil). (Brogdon BG, 1998) Gambar 5. Reversal sign akut pada anak usia 3 bulan dengan non accidental injury, A dan B tampak penurunan densitas korteks difus dengan peningkatan densitas relatif white matter yang disebabkan pembalikan dari densitas gray/white matter. Peningkatan densitas relatif juga tampak pada thalamus, batang otak dan cerebellum. (Han BK, AJR. 1990) Gambar 6. CT menunjukkan white cerebellum sign, hemispherium cerebelli (*) hiperatenuasi terhadap stuktur supratentorial yang mengalami hipoatenuasi akibat edema. (Huang YB,. 2008) 26 Gambar 7. Kronik reversal sign dengan atrofi otak (Han BK, AJR. 1990) Gambar 8. SDH dengan atenuasi campuran dan edema cerebri pada bayi 8 bulan. CT potongan axial pada tingkat ventrikel lateral menggambarkan SDH sinistra dengan atenuasi campuran (panah). Tampak perdarahan tipis intrahemispherium (kepala panah) dan edema cerebri sinistra. (Lanergan, 2003) Gambar 9. Kompleks fraktur tulang kepala pada non accidental injury. Foto kepala lateral tampak multipl fraktur tulang kepala. (Lanergan, 2003) 27 Gambar 10. Oedema cerebri diffuse di hemispherium cerebri bilateral, ec iskemik Gambar 11. Cor dan Pulmo tak tampak kelainan, tak tampak fraktur pada sistema tulang yang tervisualisasi Gambar 12. Fraktur komplet os humeri dextra pars tertia media dengan aposisi dan alignment kurang susp non accidental injury. Curiga osteomyelitis femur, fibula, tibia sinistra 28 Gambar 13. Encephalomalacia di kedua hemispher cerebri dgn sisa parenkim di paraventrikuler lateral bilateral disertai multiple lesi hipodense di dalamnya. Ventrikulomegali lateralis bilateral & dilatasi cysterna magna. Tak tampak fraktur Gambar 14. fraktur kompleta os humeri dextra, fraktur inkompleta os humeri sinistra, fraktur lama os ulna dan radius dextra, avulsi fracture ujung distal os ulna sinistra, fraktur lama costa IV-VII aspek posterolateral sinistra sangat mungkin non accidental injury. 29 Gambar 15. Kalsifikasi periventrikuler pada 3 pasien dengan infeksi CMV. CT tampak kalsifikasi periventrikuler (panah) pada bayi baru lahir (a), akhir trimester kedua (b) dan perinatal akhir (c) . (Fink KR, 2010) Gambar 16. Bayi 4 bulan dengan lingkar kepala kecil dan berat badan rendah dengan gangguan perkembangan. Pada CT tampak dilatasi ventrikel lateralis dan ventrikel 3 dengan fokus punctata di periventrikuler dan kalsifikasi di basal ganglia. Gambaran ini sesuai dengan kongenital infeksi toxoplasmosis atau CMV. (Williams HJ. 2004) Tabel 1. Diagnosis banding lesi tulang non accidental injury (Chapman, 2008) 30 Tabel 2. Klasifikasi Osteogenesis imperfekta (Ablin DS. AJR. 1990) Tabel 3. Spesifitas fraktur pada non accidental injury (Chapman, 2008) 31