PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING, INVESTMENT, DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) Oleh Titi Khairunnisa (104081002596) PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008/1429 H PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING, INVESTMENT DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi Oleh Titi Khairunnisa NIM: 104081002596 Di bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM Titi Dewi Warninda. SE., M Si NIP. 150317955 NIP. 150 368 746 JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008/1429H PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING, INVESTMENT DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi Oleh Titi Khairunnisa NIM: 104081002596 Di bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM Titi Dewi Warninda. SE., M Si NIP. 150317955 NIP. 150 368 746 Penguji Ahli Prof. Dr. Abdul Hamid, MS NIP. 131 474 891 JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008/1429H Hari ini Selasa Tanggal 10 Bulan Juni Tahun Dua Ribu Delapan telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama Titi Khairunnisa NIM: 104081002596 dengan judul Skripsi “PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING, INVESTMENT DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)”. Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 10 Juni 2008 Tim Penguji Ujian Komprehensif Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM Herni Ali , SE, MM Ketua Sekretaris Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Penguji Ahli DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI 1. Nama : Titi Khairunnisa 2. Tempat & Tgl. Lahir : Serang, 31 Januari 1986 3. Alamat : Komplek Cigadung Mandiri Blok i No.6 RT 01/ RW 10 Kecamatan Karang Tanjung, Kelurahan Cigadung, Kabupaten Pandeglang, Banten 42254 4. Telepon : 085693397741 II. PENDIDIKAN FORMAL 1. SDN Catihan Pandeglang : 1992 s/d 1998 2. MTs Assa’adah Serang : 1998 s/d 2001 3. MA Negeri 2 Serang : 2001 s/d 2004 4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2004 s/d 2008 III. PENDIDIKAN NON FORMAL 1. Kursus Komputer di Lembaga Komputer Stapkom – Serang : 2003 2. Kursus Bahasa Inggris di Lembaga bahasa LIA – Ciputat : 2005 s/d 2006 3. Pelatihan Operasional Perbankan Fakultas Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Pelatihan Zahir Accounting : 2006 : 2007 IV. PENGALAMAN ORGANISASI 1. Div. Keuangan Organisasi Kopma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006 2. Kabid Keuangan Kopma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2007 3. Pengawas Bid. Keuangan Kopma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2008 ABSTRACT This study aims to analyze signaling hypothesis in initial public offering context. Its predicts whether ownership retention, the level of underpricing, the level of investment, and firm size have a positif influence to value of the firm. This study examines whether the stock price of the company executing IPO has a tendency of underpricing in a secondary market using one sample t test. This study also examines the influence of ownership retention, the level of underpricing, the level of investment, and firm size toward value of the firm using an ordinary least square regression (OLS). Using sample of 84 firms that go public at Indonesia Stock Exchange (IDX) for periods of 2001-2007, the result of one sample t test show that the stock price of the company executing IPO is underpricing. The result of an ordinary least square regression show that ownership retention, the level of underpricing, and the level of investment have a positif influence to value of the firm. While firm size, has no significant influence to value of the firm. Its contrast to the expectation which predicts a significant influence to value of the firm. This study also finds that there is no significant difference between raw return or adjusted return as the underpricing’s measurement. Keywords: Initial Public Offering, Ownership Retention, Underpricing, Investment, Firm Size, Value of The Firm. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang signaling hypothesis (teori sinyal) dalam konteks penawaran saham perdana. Diduga bahwa ownership retention, underpricing, investment, dan firm size mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengujian dilakukan terhadap 84 sampel perusahaan yang melakukan IPO di BEI pada tahun 2001-2007 dengan menggunakan one sample t test untuk membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan IPO mengalami underpricing. Penelitian ini juga menguji pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI dengan menggunakan regresi linier berganda. Hasil uji one sample t test menunjukkan bahwa terjadi underpricing pada saham perusahaan yang melakukan IPO di BEI. Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa ownership retention, underpricing, dan investment berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI sedangkan firm size tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan pengukuran tingkat underpricing yang belum disesuaikan dengan return pasar (raw underpricing) dengan underpricing yang telah disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing). Kata Kunci : Penawaran Umum Perdana, Ownership Retention, Underpricing, Investment, Firm Size, Nilai Perusahaan KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji serta syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan, kesabaran, dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Rasulullah SAW junjungan umat, semoga kita sebagai umatnya menjadi bagian dari orang yang mendapat syafaat darinya. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan yang Melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI)” disusun dalam rangka memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai manusia biasa yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, tentu saja banyak pihak yang dengan tulus membantu selama penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Faisal Badroen, MBA. Selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM dan Ibu Titi Dewi Warninda, SE., M.Si Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, membimbing, dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. 3. Seluruh dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pelajaran hidup yang telah diberikan kepada peneliti selama masa studi. 4. Ibu dan Abah yang selalu memberikan do’a, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat menjadi tanda terima kasih dan baktiku atas segala apa yang telah ibu dan abah berikan demi kebaikan dan keberhasilanku. You are really the great parents…...I’ll love you all the way. 5. Kakak-kakak serta adik-adikku, terima kasih atas segala motivasi, nasehat, dan keceriaan yang telah kalian berikan selama ini. 6. Habibie, Thank 4 everything u do n you’re the one that Allah has sent to me.. 7. Untuk sahabat-sahabatku : Santi, Lia, Harni, Ceu2, Miftah, Dodo, Rahman, Vandy, Apri, dan Hendro, kalian semua membuatku semakin mengerti apa arti persahabatan. 8. Anak-anak Manajemen E angkatan 2004 & Kopma UIN serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih ’n luv u all... Segala daya upaya serta kemampuan penulis curahkan sepenuhnya demi terselesaikan skripsi ini, namun semua itu tidak lepas dari segala kekurangan yang ada. Akhir kata penulis berharap agar apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Wassalamualaikum wr.wb Jakarta, 15 September 2008 Titi Khairunnisa DAFTAR ISI Lembar Pengesahan............................................................................................ii Daftar Riwayat Hidup..........................................................................................v Abstract................................................................................................................vi Abstrak................................................................................................................vii Kata Pengantar………………...……………………………………….……..viii Daftar Tabel……………………………...…………………………….……....xii Daftar Gambar..................................................................................................xiv Daftar Grafik......................................................................................................xv Daftar Lampiran...............................................................................................xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian..............................................................1 B. Perumusan Masalah……………………………………………..11 C. Tujuan Penelitian………………………………………………..11 D. Manfaat Penelitian………………………………………………11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Initial Public Offering (IPO)……………….………….…….…13 B. Nilai Perusahaan…………………………..………….………...26 C. Ownership Retention……………………………….……..……27 D. Firm Size…………………………..……………………….…...28 E. Signaling Theory……………………………..…………….…..29 F. Investment………………………………………………...……29 G. Underpricing.................................................................................35 1. Hubungan Underpricing Dengan Nilai Perusahaan................36 2. Teori-Teori Tentang Underpricing.........................................38 H. Penelitian Terdahulu.....................................................................43 I. Kerangka Pemikiran......................................................................46 J. Hipotesis.......................................................................................51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian………………………………...……..52 B. Metode Penentuan Sampel……………………………...……….52 C. Metode Pengumpulan Data………………………………...……56 D. Metode Analisis…………………………………………...…….57 E. Operasional Variabel Penelitian....................................................65 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Sejarah dan Perkembangan Bursa Efek di Indonesia.....................71 B. Analisis Deskriptif……………………………………………......81 C. Analisis Statistik……………………………………………….…84 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan........................................................................................108 B. Implikasi............................................................................................109 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................111 LAMPIRAN.......................................................................................................114 DAFTAR TABEL No. Keterangan Hal. 3.1 : Proses Pemilihan Sampel........................................................................53 3.2 : Daftar Sampel Perusahaan yang Melakukan IPO Tahun 2001 s/d 2007 Di Bursa Efek Indonesia (BEI)..............................................................54 3.3 : Kriteria Keputusan Durbin Watson........................................................61 4.1 : Statistik Deskriptif .................................................................................81 4.2 : Frekuensi Firm Size.................................................................................83 4.3 : Uji Normalitas Initial Return Model 1....................................................85 4.4 : Uji Normalitas Initial Return Model 2....................................................85 4.5 : One Sample t Test Inial Return Model 1................................................87 4.6 : One Sample t Test Inial Return Model 1................................................87 4.7 : Uji Normalitas Regresi Model 1.............................................................88 4.8 : Uji Normalitas Regresi Model 2.............................................................89 4.9 : Uji Multikolinearitas Model 1.................................................................90 4.10 : Uji Multikolinearitas Model 1.................................................................90 4.11 : Uji Autokorelasi Model 1........................................................................93 4.12 : Uji Autokorelasi Model 2........................................................................94 4.13 : Hasil Uji t Model 1..................................................................................94 4.14 : Hasil Uji t Model 2..................................................................................95 4.15 : Hasil Uji F Model 1...............................................................................100 4.16 : Hasil Uji F Model 2...............................................................................101 4.17 : Hasil Analisis Regresi Model 1.............................................................101 No. Keterangan Hal. 4.18 : Hasil Analisis Regresi Model 2.............................................................103 4.19 : Koefisien Determinasi Model 1.............................................................106 4.20 : Koefisien Determinasi Model 2.............................................................106 DAFTAR GAMBAR No. Keterangan Hal. 2.1 : Skema Tahapan-Tahapan Dalam IPO………………………………… 26 2.2 : Kerangka Pemikiran Untuk Model 1......................................................49 2.3 : Kerangka Pemikiran Untuk Model 2......................................................50 DAFTAR GRAFIK No. Keterangan Hal. 4.1 : Scaterplot Heteroskedastisitas Model 1..................................................91 4.2 : Scaterplot Heteroskedastisitas Model 2..................................................92 DAFTAR LAMPIRAN No 1 Keterangan Hal. : Data Variabel Nilai Perusahaan, Ownership Retention, Raw Underpricing, Adjusted Underpricing, dan Investment……..….....114 2 : Data Perusahaan yang Memiliki Initial Return Positif (Mengalami Underpricing)………………………………………………..……..…...117 3 : Variabel Dummy Firm Size……………………………………….…...119 4 : Underpricing…………………………………………………………....121 5 : Adjusted Underpricing………………………………………….…...…122 6 : Uji Asumsi Klasik Regresi Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO (Model 1)……………………………………….……123 7 : Uji Asumsi Klasik Regresi Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO (Model 2)……………………………………….…...125 8 : Regresi Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO (Model 1)……..….127 9 : Regresi Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO (Model 2)……..….129 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap perusahaan yang berkembang (grow up) akan memerlukan dana untuk ekspansi dan/atau keperluan investasi baru. Salah satu alternatif sumber permodalan yang dipilih perusahaan yaitu melakukan go public. Proses go public ini melalui initial public offering (IPO), merupakan penawaran saham perdana dari emiten kepada investor dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan sebelum saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder (Khomsiyah, 2005). Keputusan Perusahaan untuk menjadi perusahaan publik (go public) merupakan suatu keputusan yang tidak tanpa perhitungan karena dengan go public perusahaan dihadapkan pada beberapa konsekuensi langsung baik yang bersifat menguntungkan (benefit) maupun yang merugikan (cost). Salah satu alasan utama perusahaan untuk go public adalah adanya dorongan atas kebutuhan modal (capital need). Perusahaan yang go public biasanya adalah perusahaan yang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Alasan lain dari keputusan go public adalah kemungkinan akses kepada pihak luar. Dengan go public, suatu perusahaan akan otomatis lebih dikenal oleh khalayak ramai (publik). Apabila sebelumnya akses perusahaan mungkin terbatas pada pihak-pihak tertentu saja, maka go public akan semakin memungkinkan perusahaan untuk bersosialisasi dengan lebih baik. Keuntungan bagi para investor dari adanya IPO adalah mereka dapat memilih efek dalam upaya mendiversifikasikan portofolio efeknya, sehingga jika menginvestasikan dananya ke berbagai perusahaan yang dianggap potensial bisa mendatangkan keuntungan baik berupa dividen maupun capital gain. Setiap perusahaan, memiliki tujuan untuk dapat memaksimalkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang go public tercermin dalam harga pasar saham perusahaan (Fama, 1978 ; Wrights & Ferris,1997; Walker, 2000 dalam Sri Hasnawati 2005). Harga saham digunakan sebagai proksi nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila investor ingin memiliki suatu perusahaan. Jadi semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar kemakmuran yang akan diterima pemilik perusahaan. Para investor menilai bahwa nilai perusahaan yang akan go public, tersirat dari beberapa sinyal yang melekat pada perusahaan tersebut. Untuk itu, para pemilik perusahaan harus selalu berusaha menunjukan kepada investor sinyal-sinyal yang menyiratkan bahwa nilai perusahan mereka tinggi. Penilaian investor terhadap kondisi dan prospek perusahaan akan menentukan besarnya dana yang dapat diakumulasi perusahaan (emiten) dari pasar modal. Bagi investor, harus diakui bahwa investasi saham di pasar perdana secara teoritis lebih sulit dibandingkan dengan investasi pada saham yang sudah go public. Hal ini terkait dengan keberadaan informasi untuk keperluan analisis. Pada perusahaan yang sudah listed, informasi yang terkait dengan perusahaan lebih mudah diperoleh karena memang perusahaan memiliki kewajiban untuk menerbitkan atau melaporkan segala aktifitasnya kepada publik. Perusahaan non publik tidak memiliki kewajiban untuk menerbitkan atau melaporkan segala kegiatan yang terjadi serta rencana yang akan dilakukan. Selain itu, ada kecenderungan bahwa kinerja keuangan perusahaan yang akan go public tidak dapat diketahui dengan mudah. Jadi, dalam banyak hal, informasi yang terkait untuk keperluan analisis pada perusahaan pribadi (non public) lebih sulit diakses. Investor perlu mengetahui sinyal-sinyal apa saja yang dapat menunjukkan bahwa prospek perusahaan tersebut baik di masa yang akan datang sehingga dapat meminimalisasi ketidakpastian. Bagi Issuer, penetapan pada harga berapa sebuah sekuritas (saham) seharusnya ditawarkan kepada calon pembeli merupakan pekerjaan yang tidak mudah, karena suatu kesalahan kecil dapat menyebabkan gagalnya suatu IPO. Harga saham pada saat IPO ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten (issuer) dengan penjamin emisi (underwriter). Penjamin emisi (underwriter) harus melakukan analisis menyeluruh untuk dapat menyimpulkan bahwa harga yang ditetapkan merupakan harga yang paling wajar. Perusahaan penerbit sekuritas (issuer) menghadapi biaya potensial terhadap kesalahan dalam penetapan harga sekuritas. Harga jual yang terlalu mahal akan menyebabkan sekuritas tidak laku. Sebaliknya, harga yang terlalu murah akan menyebabkan perusahaan menghadapi opportunity loss yang berdampak negatif pada tingkat kesejahteraan pemilik lama. Menurut Husnan (1996), bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan underpricing saat Initial Public Offering (IPO) yaitu harga saham hari pertama di pasar sekunder lebih tinggi dari harga saham penawaran perdananya (Prihartanto, 2002 dalam Apriliani Triani dan Nikmah, 2006). Underpricing di satu sisi, merupakan keuntungan yang diterima oleh investor di pasar perdana, bila mereka menjual saham, tetapi sebaliknya, merupakan kerugian potensial bagi perusahaan yang melakukan penawaran saham (issuers), karena perusahaan issuers dinilai lebih rendah dari kondisi yang sebenarnya sehingga potensi untuk meraup dana lebih besar tidak dapat diraih. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada para investor (Beatty, 1989 dalam Apriliani Triani dan Nikmah, 2006). Hal yang sebaliknya dapat dikatakan terjadi pada adanya overpricing, yaitu investor di pasar perdana mengalami kerugian karena saham yang mereka beli di pasar perdana mengalami penurunan harga. Sementara di sisi issuers, overpricing tidak dapat dikatakan sebagai keuntungan, karena secara eksplisit memang tidak ada uang yang masuk ke perusahaan. Dari sudut pandang issuers, tidak terjadinya perubahan harga saham merupakan cermin dari ‘ketepatan’ dalam penentuan harga penawaran, dengan catatan bahwa selama hari perdagangan pertama di pasar ada perubahan harga, baik naik ataupun turun, dan ditutup dengan harga awal, yaitu harga pada saat penawaran. Guinness (1992) dalam Apriliani Triani dan Nikmah (2006) menjelaskan terjadinya underpricing karena adanya asymmetric information antara perusahaan emiten dengan penjamin emisi dan antara investor yang memiliki informasi tentang prospek perusahaan emiten dengan investor yang tidak memiliki informasi prospek perusahaan emiten. Informasi yang disajikan dalam prospektus memberikan gambaran perusahaan emiten yang berguna bagi investor untuk membuat keputusan. Adanya asymmetric information menyebabkan harga saham pada penawaran perdana lebih rendah dari pada harga saham di pasar sekunder (Cheung et.al., 1994 dalam Khomsiyah, 2005). Ibbotson (1991) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) mengemukakan bahwa asymmetric information pada saat IPO, underwriter memiliki informasi penting yang lebih baik dari emiten. Perusahaan menggunakan underpricing sebagai sinyal yang dapat dipercaya investor untuk menandai kualitas perusahaan (Allen dan Faulhaber, 1988 dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati, 2007). Hal ini berarti bahwa perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan sinyal tentang tipe dan kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari pengiriman sinyal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. Hal tersebut serupa dengan yang dinyatakan Grinblat dan Hwang (1989) dalam Budhi Sumarno (2002), bahwa untuk mengatasi asymmetric information, issuer akan memberi sinyal akan nilai perusahaannya dengan cara melakukan underpricing. Hal ini dikarenakan investor menganggap bahwa hanya perusahaan yang berkualitas baik dapat menutupi kerugian akibat underpricing. Tatang A Gumanti (2004) melakukan penelitian tentang hubungan antara nilai perusahaan, underpricing, dan ownership retention pada perusahaan yang baru go public di BEJ yang hasil penelitiannya menunjukan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif tetapi tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan underpricing berhubungan secara negatif dengan nilai perusahaan Presentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik (insiders) menunjukan adanya private information yang dimiliki pemilik (Balvers et.al., 1988 dalam Khomsiyah, 2005). Entrepreneur (pemilik sebelum perusahaan go public) akan tetap menginvestasikan pada perusahaannya apabila mereka yakin akan prospek di masa mendatang. Informasi tingkat kepemilikan saham oleh entrepreneur akan digunakan oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek perusahaannya baik. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditahan (atau semakin kecil presentase saham yang ditawarkan) akan memperkecil tingkat ketidakpastian di masa mendatang berarti semakin kecil tingkat underpricing. Hal ini berhasil dibuktikan oleh Beatty (1989); Caster dan Dark (1993); How et. al. (1995) dalam Khomsiyah (2005). Leland dan Pyle (1977) dalam Luciana Spica Almilia dan Meliza Silvy (2003) menyatakan bahwa prosentase retensi kepemilikan oleh pemilik (insider ownership) menunjukan adanya informasi privat yang dimiliki hanya oleh pemilik. Retensi kepemilikan oleh pemilik lama mengisyaratkan bahwa mereka yakin akan prospek perusahaan. Informasi ini digunakan oleh investor sebagai pertanda prospek perusahaan yang baik di masa mendatang sehingga menurunkan ketidakpastian investor. Penurunan persentase kepemilikan oleh pemegang saham lama adalah suatu konsekuensi yang harus dipertimbangkan ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan IPO. Bila mereka yakin bahwa saham perusahaan akan terjual pada harga yang cukup menguntungkan sehingga dapat mengumpulkan dana yang signifikan bagi pembiayaan perusahaan. (Aggarwal et. al., 2001 dalam Helen dan Sulistio, 2005) membuktikan bahwa underpricing berasosiasi positif dengan semakin rendahnya jumlah saham yang diterbitkan dan semakin tinggi pemegang saham lama. Konsisten dengan penelitian Aggarwal, penelitian Ljunfqvist dan Wilhelm (2003) dalam Helen dan Sulistio (2005) mendapati kecenderungan initial return yang semakin tinggi dengan semakin tingginya proporsi pemegang saham lama. Proporsi kepemilikan saham yang ditahan pemilik saham lama menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan pemegang saham lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan manajemen tidak akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan bila mereka tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi kepemilikan yang ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan sebagai factor yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan IPO perusahaan. How dan Low (1993) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan (firm value) yang melakukan IPO bisa dihubungkan dengan volume penawaran. Perusahaan pada umumnya memiliki proyek tunggal. Nilai perusahaan tersebut akan sangat tergantung pada pembiayaan investasi pada proyek tunggal tersebut. IPO disinyalir merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendanai proyek tunggal. Jadi semakin besar volume penawaran semakin besar dana yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Semakin tinggi investasi, semakin tinggi pula penilaian pasar terhadap nilai perusahaan. Ukuran perusahaan (firm size) turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan maka semakin dikenal masyarakat, hal ini berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Kemudahan mendapatkan informasi akan meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi faktor ketidakpastian karena investor dapat mengambil keputusan lebih tepat bila dibandingkan dengan pengambilan keputusan tanpa informasi. Banz (1981) dalam Helen dan Sulistio (2005) mengungkapkan kecenderungan perusahaan berukuran kecil mengalami abnormal return yang besar dibandingkan dengan perusahaan besar. Ritter (1987); Hanley (1993) dalam Helen dan Sulistio, (2005) menyatakan bahwa perusahaan berukuran kecil cenderung mengalami underpricing. Reese, Jr (1998) menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara ukuran perusahaan dengan terjadinya underpricing dan besarnya volume penjualan. Hasil penelitian Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko (2007) membuktikan bahwa firm size berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, hal ini menandakan bahwa pasar lebih mengapresiasi perusahaan besar. Ukuran perusahaan yang besar dapat menjadi indikasi bahwa perusahaan mempunyai komitmen yang tinggi untuk terus memperbaiki kinerjanya, sehingga pasar akan mau membayar lebih mahal untuk mendapatkan sahamnya karena percaya akan mendapatkan pengembalian yang menguntungkan dari perusahaan tersebut. Apriliani Triani dan Nikmah (2006) menunjukkan bahwa firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap return awal dan kinerja perusahaan satu tahun setelah IPO. Ini mengindikasikan bahwa investor menggunakan ukuran perusahaan untuk membeli saham perusahaan pada saat IPO. Sehingga dimata investor, ukuran perusahaan pun dapat memproksikan nilai perusahaan yang akan go public. Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) melakukan penelitian untuk menelaah apakah ownership retention, underpricing dan investment dapat dijadikan sebagai sinyal dalam menunjukan nilai perusahaan emiten yang melakukan IPO. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa tingkat ownership retention, underpricing, dan investment berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan kembali penelitian serupa, dengan menambah rentang waktu penelitian dari tahun 2001 sampai dengan 2007. Dengan memperpanjang periode penelitian, jumlah sampel penelitian yang didapatkan lebih banyak sehingga diharapkan akan memberikan hasil yang lebih akurat. Selain itu, alasan dipilihnya tahun 2001 sampai dengan 2007 karena merupakan periode setelah krisis moneter. Hal ini memungkinkan ada perubahaan perilaku investor pasca krisis. Selain itu, periode tersebut dinilai sangat aktual untuk menggambarkan kondisi bursa saat ini. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian kali ini menambahkan variabel firm size sebagai faktor yang berhubungan dengan underpricing dan initial return dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian, penelitian ini berjudul “Pengaruh Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).” B. Perumusan Masalah Berdasarkan fakta di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terjadi fenomena underpricing pada hari pertama pelaksanaan IPO pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI? 2. Apakah terdapat pengaruh tingkat ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI)? C. Tujuan Penelitian 1. Mendeteksi fenomena underpricing pada hari pertama pelaksanaan IPO pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI. 2. Menganalisis pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode penelitian. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya: 1. Bagi Investor Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan dan acuan dalam melakukan investasi terhadap perusahaan yang pertama kali go public. 2. Bagi Perusahaan Penelitian ini menjadi masukan dan bahan acuan dalam pengambilan kebijakan khususnya yang berkaitan dengan informasi yang bisa mempengaruhi nilai perusahaan di mata investor. 3. Bagi Akademisi Dapat memberikan informasi empirik mengenai pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI. Penelitian ini diharapkan juga memberikan hasil berdayaguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah sehingga dapat digunakan oleh penelitianpenelitian selanjutnya. 4. Bagi Penulis Dapat memperdalam ilmu ekonomi khususnya manajemen keuangan dan pasar modal yang diperoleh selama masa perkuliahan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Initial Public Offering (IPO) Initial public offering (IPO) adalah penawaran saham perusahaan kepada masyarakat untuk pertama kali. IPO merupakan kegiatan penawaran saham, atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU pasar modal dan peraturan pelaksanaannya. Bagi Perusahaan melakukan penjualan sahamnya melalui pasar modal mempunyai beberapa alasan. Ada enam alasan perusahaan menawarkan sahamnya melalui pasar modal (Syahrir, 1995 dalam Intan Imam Sutanto, 2000) yaitu: 1. Kebutuhan akan dana untuk melunasi hutang, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga mengurangi beban bunga. 2. Meningkatkan modal kerja. 3. Membiayai perluasan perusahaan (pembangunan pabrik baru, peningkatan kapasitas produksi). 4. Memperluas jaringan pemasaran dan distribusi. 5. Meningkatkan teknologi produksi. 6. Membayar sarana penunjang (pabrik, perawatan, kantor, dan lain-lain). Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin (2006:77) Keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan melakukan penawaran umum saham ini antara lain: 1. Dapat memperoleh dana yang relatif besar dan diterima sekaligus (tidak dengan termin-termin). 2. Biaya go public relatif murah. 3. Proses relatif mudah. 4. Pembagian dividen berdasarkan keuntungan. 5. Penyertaan masyarakat biasanya tidak masuk dalam manajemen. 6. Perusahaan biasanya dituntut lebih terbuka, sehingga hal ini dapat memacu perusahaan untuk meningkatkan profesionalisme. 7. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta memiliki saham perusahaan, sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial. 8. Emiten akan lebih dikenal oleh masyarakat (go public merupakan media promosi secara gratis). 9. Memberikan kesempatan bagi koperasi dan karyawan perusahaan untuk membeli saham. Sedangkan konsekuensi atas penawaran umum saham adalah Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin (2006:77) : 1. Keharusan untuk melakukan keterbukaan (full disclosure). 2. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai kewajiban pelaporan. 3. Gaya manajemen perusahaan berubah dari informal menjadi formal. 4. Kewajiban membayar dividen bila perusahaan mendapatkan laba. 5. Senantiasa berusaha meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Proses penawaran umum saham dapat dikelompokan menjadi empat tahap: 1. Tahap Persiapan Tahapan ini merupakan tahapan awal dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses Penawaran Umum. Adapun persiapan-persiapan intern yang dilakukan, yaitu: 1. Manajemen harus membuat dan memutuskan suatu rencana untuk memperoleh dana melalui publik. 2. Rencana ini harus diajukan di rapat umum pemegang saham dan harus disetujui Perusahaan bersangkutan harus melibatkan lembaga-lembaga pendukung untuk membantu dalam penyediaan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Adapun lembaga dan profesi penunjang pasar, yaitu: a. Penjamin emisi (underwriter), merupakan pihak yang paling banyak keterlibatannya dalam membantu emiten menerbitkan saham. Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain: menyiapkan berbagai dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan atas penerbitan. b. Akuntan publik ( Auditor Independen), bertugas melakukan audit atau pemeriksaan atas laporan keuangan calon emiten. c. Penilai untuk melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan dan menentukan nilai wajar dari aktiva tetap tersebut. d. Konsultan hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum (legal option). 3. Notaris untuk membuat akta-akta perubahan Anggaran Dasar, akta perjanjian dalam rangka penawaran umum, dan membuat notulennotulen rapat. 4. Mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk penawaran ke publik. 5. Konfirmasi sebagai agen penjual oleh penjamin emisi 6. Mempersiapkan kontrak awal dengan bursa efek 7. Menandatangani perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan go public. Untuk yang akan menjual obligasi, perusahaan harus mendaftarkannya ke agen peringkat untuk mendapatkan peringkat untuk obligasi yang akan ditawarkan. Agen peringkat yang ditunjuk adalah PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). 8. Mengumumkan ke publik (Public expose) 9. Mengirimkan pernyataan registrasi dan dokumen-dokumen pendukung lainnya ke Bapepam. 2. Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran Pada tahap ini, dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung, calon emiten menyampaikan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) untuk menyatakan pernyataan pendaftaran menjadi efektif. Setelah semua persiapan yang dibutuhkan diselesaikan dan semua dokumen yang dibutuhkan untuk registrasi di Bapepam tersedia, berikutnya adalah tugas dari Bapepam untuk mengevaluasi usul go public emiten. Bapepam melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Menerima pernyataan registrasi dan dokumen-dokumen pendukung dari perusahaan yang akan go public dari underwiter. 2. Ekspose (pengumuman) terbatas di Bapepam 3. Mempelajari dokumen-dokemen yang telah disampaikan emiten. 4. Memberikan tanggapan mengenai kelengkapan dokumen, kebenaran dan kejelasan informasi dan pengungkapan (disclosure) tentang aspekaspek legalitas, akuntansi, keuangan dan manajemen. Jika selama 45 hari Bapepam tidak memberi jawaban. 5. Jika 45 hari Bapepam tidak memberi jawaban, pernyataan dianggap secara otomatis efektif. 3. Tahap penawaran saham Setelah memperoleh izin dari Bapepam, penjamin emisi (underwiter) dengan bantuan agen penjualan menawarkan saham bersangkutan ke pasar perdana. Proses penawaran saham perdana meliputi beberapa tahap, sebagai berikut: a. Pengumuman dan pendistribusian prospektus Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum, bertujuan agar pihak lain membeli efek. Beberapa bagian penting dari prospektus yang patut mendapatkan perhatian dari calon investor adalah: 1) Bidang usaha. Merupakan bidang usaha yang saat ini dijalankan oleh perusahaan. Informasi ini perlu diketahui oleh calon investor, karena dengan mengetahui bidang usaha perusahaan, kita dapat mengetahui posisi sektor ekonomi perusahaan. Informasi tentang bidang usaha biasanya tercantum pada bagian tengah dari halaman muka prospektus. 2) Jumlah saham yang ditawarkan. Jumlah saham yang ditawarkan kepada masyarakat menunjukan jumlah modal yang disetor oleh publik. Semakin besar jumlah saham yang ditawarkan, akan semakin memiliki potensi untuk likuidnya perdagangan saham tersebut di bursa. Informasi mengenai jumlah saham yang ditawarkan tercantum pada bagian tengah dari halaman muka prospektus. 3) Nilai nominal dan harga penawaran. Nilai nominal merupakan suatu nilai yang menunjukkan besarnya modal suatu perusahaan yang dimuat dalam Anggaran Dasar perusahaan tersebut. Harga saham yang ditawarkan kepada masyarakat tidak harus sama dengan nilai nominal per saham. Harga setiap saham yang ditawarkan kepada masyarakat disebut dengan harga penawaran. Informasi tentang nilai nominal dan harga penawaran terdapat pada bagian tengah halaman muka prospektus. 4) Riwayat singkat perusahaan. Riwayat singkat perusahaan terdapat pada bagian dalam, yaitu pada Bab Keterangan tentang Perseroan dan Anak Perusahaan. 5) Tujuan go public (Rencana penggunaan dana). Rencana penggunaan dana yang diperoleh dari hasil penawaran umum disajikan dalam bab tersendiri. Rencana penggunaan dana yang diperoleh dari penawaran umum diberikan secara presentase dari kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, biasanya berkisar pada: a) Ekspansi b) Pembayaran sebagian hutang c) Investasi pada anak perusahaan d) Penambahan pada modal kerja 6) Kegiatan dan prospek usaha. Pada dasarnya, seorang investor yang membeli saham adalah membeli prospek usaha dari perusahaan tersebut. Kegiatan dan prospek usaha dari perusahaan disajikan dalam bab tersendiri, biasanya meliputi aspek-aspek produksi, penjualan, pemasaran, dan distribusi dari produk atau jasa yang dihasilkan, prospek usaha, kompetisi dan strategi usaha, serta penelitian dan pengembangan. 7) Risiko usaha. Penjelasan mengenai risiko usaha diberikan dalam bab tersendiri, biasanya risiko usaha meliputi: a) Risiko tingkat persaingan usaha emiten yang go public b) Risiko ketersedian pasokan bahan baku c) Ketentuan negara lain atau peraturan internasional d) Peraturan dan kebijakan pemerintah mengenai kegiatan usaha emiten e) Risiko pergerakan nilai tukar valuta asing f) Risiko kenaikan suku bunga g) Risiko iklim h) Risiko lainnya. 8) Kebijakan dividen Kebijakan Dividen, yaitu informasi tentang kebijakan dividen yang direncanakan oleh perusahaan yang diberikan dalam bentuk rentang jumlah presentase dividen tunai yang direncanakan yang dikaitkan dengan jumlah laba bersih. 9) Kinerja keuangan perusahaan. Perkembangan kinerja keuangan perusahaan, paling tidak untuk lima tahun terakhir, sangat perlu diketahui oleh calon investor sebelum mengambil keputusan. Dengan mengetahui data keuangan masa lalu dapat dibuat suatu perkiraan (analisis trend) untuk tahuntahun berikutnya. 10) Agen penjualan Agen Penjualan yaitu perusahaan efek yang ditunjuk oleh penjamin emisi untuk bertindak selaku agen penjualan dalam rangka memasarkan saham-saham yang ditawarkan pada penawaran umum. Investor yang akan melakukan pemesanan saham harus menghubungi agen penjualan bersangkutan, yang daftarnya tercantum pada bagian akhir dari prospektus. Dalam prospektus juga terdapat beberapa jadwal yang berhubungan dengan penawaran umum, antara lain: 1) Tanggal efektif adalah tanggal yang menunjukan saat dikeluarkannya Surat Pernyataan Efektif oleh BAPEPAM, dan berdasarkan surat tersebut, perusahaan dapat melakukan penawaran umum kepada masyarakat. 2) Masa penawaran adalah periode dilakukannya penawaran umum atas efek yang ditawarkan kepada masyarakat. Masa penawaran ini sekurang-kurangnya tiga hari kerja. 3) Tanggal akhir penjatahan adalah tanggal di saat hasil akhir dari proses penjatahan atas pesanan efek akan diumumkan kepada masyarakat. Penjatahan akan muncul apabila jumlah pesanan atas efek melebihi jumlah efek yang ditawarkan. 4) Tanggal pengembalian uang pesanan adalah tanggal dimulainya pengembalian uang kepada pemesan yang terkena penjatahan atau yang pesanannya tidak terpenuhi seluruhnya. 5) Tanggal pencatatan adalah tanggal di saat suatu efek mulai dicatatkan atau didaftarkan pada suatu Bursa Efek, yang berarti mulai tanggal itu pula efek tersebut dapat diperdagangkan di Bursa Efek. b. Masa penawaran saham pasar perdana Masa penawaran saham jangka waktunya ditetapkan tiga hari kerja, dan jangka waktu pemberian izin emisi dan surat pendaftaran dibursa ditetapkan maksimal selam 90 hari kerja. Masa penawaran merupakan saat yang menentukan, apakah saham yang ditawarkan oleh emiten akan terjual seluruhnya (full atau oversubcribed) atau masih tersisa, jumlah saham yang dipesan lebih kecil dari jumlah yang ditawarkan (undersubcribed) dalam masa penawaran. c. Penjatahan saham di pasar perdana Apabila jumlah saham yang dipesan lebih besar dari jumlah saham yang ditawarkan, maka penjamin emisi (underwiter) akan melakukan pen-jatahan (allotment). Masa penjatahan saham ditetapkan maksimum selama 12 hari kerja, terhitung masa penawaran. Pelaksanaan penjatahan saham di pasar perdana menggunakan beberapa sistem berikut: 1) Fixed allotment, yaitu cara penjatahan dimana anggota penjamin emisi maupun agen penjual telah memiliki pembeli sehingga jatah saham yang diberikan oleh penjamin emisi tidak dijual kepada klien lainnya. Fixed allotment dilakukan apabila jumlah saham yang ditawarkan minimal 20 juta lembar saham atau minimum 30% dari jumlah modal yang telah ditempatkan atau disetor. Fixed allotment tersebut dibatasi maksimum 60% dari jumlah saham yang ditawarkan, termasuk bagian bagi para karyawan perusahaan yang melakukan emisi. Cara ini ditempuh untuk menarik pemodal institusional (yang mempunyai dana sangat besar) membeli saham yang ditawarkan (Suad Husnan 1998:25). 2) Separate account, pada sistem ini disamping ada jatah untuk klien dekat, juga tersedia saham yang akan dijual kepada investor di luar klien dekat. 3) Pooling, disebut juga penjatahan terpusat sesuai dengan keputusan ketua Bappepam Nomor: Kep-36/Pm/1993. Dalam sistem ini seluruh pemesanan saham di-pool (dikumpulkan) pada pemjamin emisi pelaksana. Jika terjadi kelebihan permintaan (oversubcribed), dilakukan penjatahan secara proposional. Seluruh pemesanan diberi jatah satu-satuan perdagangan (lot) yaitu sebanyak 500 lembar saham yang akan dicatatkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang sekarang telah berganti nama mnejadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Apabila jumlah saham yang tersedia tidak mencukupi, maka penjatahan dilakukan dengan cara diundi. Jika dalam penjatahan satu-satuan perdagangan terdapat sisa, maka setalah satu-satuan perdagangan dibagikan kepada pemesan, barulah pembagian lebih lanjut dilakukan secara proposional berdasakan jumlah pesanan dari pemesan. Prioritas dapat diberikan kepada para pemesan yang menjadi pegawai emiten, sampai dengan maksimum 10% dari emisi. 4) Gabungan fixed allotment dan pooling. Kelemahan kedua sistem ini adalah tidak mencerminkan pemerataan. Karena investor diluar klien harus berebutan sisa saham yang tidak dibeli klien dekat penjamin emisi dan agen penjual. Untuk mengimbangi kelemahan tersebut akhir-akhir ini penjamin emisi mulai mengambil langkah kebijaksanaan dengan cara menggabungkan sistem fixed allotment dengan sistem pooling. d. Masa pengembalian dana Kalau jumlah yang memesan lebih banyak dari yang ditawarkan, dikatakan terjadi oversubcribed. Apabila yang terjadi sebaliknya, disebut undersubcribed, maka tidak semua pesanan kita dapat dipenuhi. Dengan demikian maka pesanan yang tidak terpenuhi akan dikembalikan oleh penjamin emisi (underwiter) kepada para pemesan. Biasanya waktu yang diperlukan berkisar 10-14 hari untuk pengembalian tersebut (Suad Husnan 1998:24). Adapun batas maksimum untuk pengembalian dana ditetapkan selama 4 hari terhitung berakhirnya masa pengembalian dana kepada investor. e. Pendistribusian saham Maksimum waktu untuk pendistribusian saham kepada investor adalah 12 hari kerja tehitung mulai berakhirnya masa penawaran saham. Saham yang telah dipesan dan dibayar investor, harus diserahkan emiten kepada investor melalui penjamin emisi atau egen penjualan 4. Tahap Pencatatan di Bursa Efek. Setelah penawaran perdana selesai dilaksanakan, emiten dapat melakukan proses pencatatan sahamnya dipasar sekunder. Pencatatan saham (Listing) di bursa efek dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Share listing, yaitu pencatatan saham di bursa efek sejumlah emisi yang dilakukan. Misalnya, modal disetor satu juta lembar saham, sedangkan jumlah emisi 20%, maka yang dicatatkan di bursa efek adalah 20% itu saja. Bila perusahaan bersangkutan menawarkan saham atas sisa sahamnya yang 80% di masa yang akan datang, perusahaan tersebut harus menempuh proses emisi dari awal lagi. b. Partial listing, yaitu pencatatan saham di bursa efek melebihi jumlah yang diemisikan tetapi masih di bawah jumlah modal disetor. Misalnya, total emisi 20% dari modal disetor perusahaan, maka yang dicatatkan di bursa melebihi 20%. c. Company listing, yaitu pencatatan saham sejumlah modal yang telah disetor. Dengan kata lain perusahaan bersangkutan mencatatkan seluruh sahamnya sesuai dengan jumlah saham yang telah disetor. Misalnya, modal disetor 1 (satu) juta saham lembar saham, total emisi 20%, yang dicatatkan di bursa efek adalah 1 (satu) juta saham Sebelum Emisi Sesudah Emisi Emisi Internal Perusahaan BAPEPAM 1. Rencana go public 2. RUPS 3. Penunjukan: Underwriter (jika ada) Profesi Penunjang Lembaga Penunjang 4. Mempersiapka n dokumendokumen 5. Konfirmasi Sebagi agen Penjual oleh Penjamin Emisi 6. Kontrak Pendahuluan dengan Bursa Efek 7. Public Expose 8. Penandatanga nan Perjanjian 1. Pernyataan Pendaftaran 2. Expose terabatas di BAPEPAM 3. Tanggapan atas: Kelengkapa n dokumen Kecukupan & kejelasan informasi Keterbukaan (aspek hukum, akuntansi, keuangan, & manajemen) 4. Komentar tertulis dalam waktu 30 hari 5. Penyataan pendaftaran dinyatakan efektif Pasar Perdana 1. Penawaran oleh sindikasi penjamin emisi dan agen penjual 2. Penjatahan kepada investor oleh sindikasi penjamin emisi dan emiten 3. Pengembal ian dana (Refund) 4. Distribusi efek kepada investor secara elektronik Pasar Sekunder Pasar Sekunder 1. Emiten mencatatkan sahamnya di Bursa Efek 2. Perdagangan efek di Bursa Efek 1. Laporan berkala, misalya laporan tahunan dan laporan tengah tahunan 2. Laporan kejadian penting dan relevan, misalnya akuisisi, pergantian direksi, dan lain-lain Sumber: Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhrudin, 2006 Gambar 2.1. Skema Tahapan-Tahapan dalam IPO B. Nilai Perusahaan Nilai Perusahaan adalah sama dengan nilai pasar saham ditambah dengan nilai pasar hutang. Apabila besarnya nilai hutang konstan maka setiap peningkatan nilai saham dengan sendirinya akan meningkatkan nilai perusahaan. Apabila besarnya nilai hutang berubah,maka tentunya struktur modal akan ikut berubah juga. Perubahan dalam struktur modal akan menguntungkan bagi para pemegang saham hanya jika nilai perusahaan meningkat. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa dikatakan peningkatan nilai perusahaan adalah sama dengan peningkatan nilai saham (Rudianto; 2005). Nilai perusahaan yang sudah go public tercermin dalam harga pasar saham perusahaan (Fama, 1978 ; Wrights & Ferris, 1997; Walker, 2000 dalam Sri Hasnawati, 2005). Harga saham digunakan sebagai proksi nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila investor ingin memiliki suatu perusahaan. Jadi semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar kemakmuran yang akan diterima pemilik perusahaan. Pengertian nilai perusahaan yang belum go public nilainya terealisasi apabila perusahaan akan dijual (total aktiva, prospek perusahaan, risiko usaha, lingkungan usaha). C. Ownership Retention Proporsi kepemilikan saham yang ditahan oleh pemilik saham lama menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan pemegang saham lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan manajemen tidak akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan bila mereka tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi kepemilikan yang ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan sebagai factor yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan IPO dalam Helen dan Sulistio (2005). Leland dan Pyle (1977) dalam Gumanti (2000) mendemonstrasikan adanya hubungan yang kuat antara proporsi saham yang ditahan oleh pemilik lama (ownership retention) dengan nilai perusahaan. Teori ini menyatakan bahwa issuer akan menjual sebagian kecil sahamnya apabila mereka mengetahui bahwa perusahaan memiliki prospek yang bagus dimasa mendatang. Informasi mengenai jumlah saham yang ditawarkan di masyarakat diperoleh dari prospektus ringkas emiten (Nurhayati dan Indriantoro, 1998 dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati, 2007). Besarnya presentase ownership retention ini, diukur dari selisih presentase total saham dikurangi dengan jumlah presentase saham yang ditawarkan ke masyarakat (Khomsiyah, 2005). Atau dapat pula dihitung dengan cara: Ownership Retention Total saham - Jumlah saham yang ditawarkan ke publik Total saham D. Firm Size Besar ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu. Ketiga variabel ini digunakan untuk menentukan ukuran perusahaan karena dapat mewakili seberapa besar perusahaan tersebut. Semakin besar aktiva maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ia dikenal di dalam masyarakat. Dari ketiga variabel ini nilai aktiva relatif stabil dibandingkan dengan nilai market capitalized dan penjualan dalam mengukur ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan yang besar menunjukan perusahaan mengalami perkembangan sehingga investor akan merespon positif dan nilai perusahaan akan meningkat. Pengukuran atas ukuran perusahaan dilakukan berdasarkan total aktiva pada tahun terakhir sebelum perusahaan melakukan IPO (Helen dan Sulistio, 2005). E. Signaling Theory Isyarat atau sinyal menurut Brigham dan Houston (1999) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham, sangat dipengaruhi peluang-peluang investasi. Pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan (signaling theory). F. Investment (Investasi) Investasi adalah menanamkan atau menempatkan asset, baik berupa harta maupun dana, pada sesuatu yang diharapkan akan memberikan hasil pendapatan atau akan meningkatkan nilainya di masa mendatang. Atau secara sederhana, investasi berarti mengubah cashflow agar mendapatkan keuntungan atau jumlah yang lebih besar di kemudian hari. Sedangkan investasi keuangan adalah menanamkan dana pada surat berharga (financial assets) yang diharapkan akan meningkat nilainya di masa mendatang. Secara investasi dibedakan menjadi dua, yaitu: investasi pada asetaset finansial (financial assets) dan investasi pada aset-aset riil (real assets). Investasi pada aset-aset finansial dilakukan di pasar uang dan pasar modal. Sedangkan investasi pada aset-aset riil dapat berbentuk pembelian aset produktif, pendirian pabrik, pembukaan pertambangan, pembukaan perkebunan, dan lainnya (Drs. Abdul Halim, 2005: 4). Investasi pada aset riil termasuk dalam penganggaran modal (capital budgeting), yaitu keseluruhan proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pengeluaran dana yang jangka waktu pengembaliannya lebih dari satu tahun. Keterbatasan dana yang tersedia untuk membiayai usulan proyek investasi sering kali merupakan penghambat utama dalam proses penganggaran modal. Oleh karena hampir semua perusahaan mempunyai dana yang jumlahnya terbatas untuk membiayai usulan proyek investasi, maka beberapa usulan proyek investasi tersebut akan saling berkompetisi untuk mendapatkan dana yang jumlahnya terbatas. Dengan demikian, perusahaan perlu mengalokasikan dana dalam usulan proyek investasi yang dapat menghasilkan tingkat pengembalian paling tinggi dalam jangka panjang. Banyaknya usulan proyek investasi yang akan dibiayai dapat diperkecil dengan cara dikelompokan berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Proyek saling lepas (mutually exlusive projects), merupakan proyek investasi yang mempunyai fungsi yang sama. Maksudnya jika perusahaan menerima salah satu usulan proyek investasi yang mutually exlusive, maka usulan proyek investasi lainnya akan ditolak. Misalnya, perusahaan dihadapkan pada 3 usulan proyek investasi, yaitu A, B, dan C yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan bahan baku dari gudang ke pabrik. Jika usulan proyek investasi A yang diterima, maka usulan proyek B dan C akan ditolak. 2. Proyek Independen (Independents projects), merupakan proyek investasi yang mempunyai fungsi berbeda. Maksudnya penerimaan usulan proyek investasi yang satu tidak akan menghilangkan kesempatan penerimaan usulan proyek investasi yang lainnya. Misalnya, perusahaan dihadapkan pada dua usulan proyek investasi, yaitu A dan B. Usulan proyek A berfungsi untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan bahan baku dari gudang ke pabrik, sedangkan usulan proyek B berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Apabila usulan proyek investasi A diterima, maka tidak akan menutup kemungkinan usulan proyek investasi B juga diterima. Untuk menentukan usulan poyek investasi mana yang akan diterima atau ditolak, maka usulan proyek investasi tersebut harus dinilai. Adapun metode-metode penilaian yang sering digunakan untuk menilai suatu usulan proyek investasi adalah: 1. Payback Period (PP) yaitu jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai investasi awal melalui penerimaan-penerimaan yang dihasilkan oleh proyek investasi tersebut. Suatu usulan proyek diterima jika periode pengembalian yang dihasilkan lebih cepat dari yang disyaratkan. Sebaliknya, jika periode pengembalian yang dihasilkan lebih lama dari yang disyaratkan, maka usulan proyek investasi tersebut ditolak. 2. Net Present Value (NPV) yaitu selisih antara PV arus kas dengan investasi awal. Jika NPV positif, maka investasi tersebut diterima. Sebaliknya, jika NPV bernilai negatif, maka usulan investasi tersebut ditolak. 3. Profitability Index (PI) yaitu Rasio PV arus kas terhadap nilai investasi awal. Suatu investasi akan diterima jika indeks profitabilitasnya lebih besar dari satu, dan sebaliknya akan ditolak jika indeks profitabilitasnya lebih kecil dari satu. 4. Internal Rate of Return (IRR) yaitu tingkat bunga yang menyamakan PV arus kas dengan nilai investasi awal. Suatu usulan investasi diterima jika IRR-nya sama atau lebih tinggi dari tingkat bunga yang disyaratkan. Sebaliknya, investasi ditolak jika IRR-nya lebih rendah dari tingkat bunga yang disyaratkan. Investasi juga dapat dibagi ke dalam empat golongan, diantaranya: 1. Investasi yang tidak menghasilkan laba (non profit investment) Investasi ini timbul karena adanya peraturan pemerintah atau karena syarat-syarat kontrak yang telah disetujui, yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakannya tanpa mempertimbangkan laba atu rugi. Misalnya karena air limbah yang telah digunakan dalam proses produksi jika dialirkan keluar pabrik akan mengakibatkan timbulnya pencemaran lingkungan, maka pemerintah mewajibkan perusahaan untuk memasang instalasi pembersih air limbah, sebelum air tersebut dibuang ke luar pabrik. Karena sifatnya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, maka investasi jenis ini tidak memerlukan pertimbangan ekonomis sebagai kriteria untuk mengukur perlu atau tidaknya pengeluaran tersebut. 2. Investasi yang tidak dapat di ukur labanya (non measureable profit investment) Investasi ini dimaksudkan untuk menaikan laba namun laba yang diharapkan perusahaan akan diperoleh perusahaan dengan adanya investasi ini sulit diukur secara teliti. Sebagai contoh adalah pengeluaran biaya promosi produk untuk jangka panjang, biaya penelitian dan pengembangan, biaya program pelatihan dan pendidikan karyawan. 3. Investasi dalam penggantian mesin dan equipment (replacement investment) Investasi jenis ini meliputi pengeluaran untuk penggantian mesin dan equipment yang ada. Penggantian mesin dan equipment biasanya dilakukan atas dasar pertimbangan adanya penghematan biaya yang akan diperoleh atau adanya kenaikan produktivitas dengan adanya penggantian tersebut. Bila penghematan biaya yang diperoleh dari penggantian mesin dan equipment berjumlah pantas bila dibandingkan dengan tambahan investasi untuk penggantian tersebut, maka penggantian tersebut secara ekonomis memang diperlukan. 4. Investasi dalam perluasan usaha (expansion investment) Investasi jenis ini merupakan pengeluaran untuk menambah kapasitas produksi atau operasi menjadi lebih besar dari sebelumnya. Tambahan kapasitas akan memerlukan adanya biaya tambahan investasi dan akan menghasilkan tambahan pendapatan serta akan memerlukan tambahan biaya. How dan Low (1993) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan (firm value) yang melakukan IPO bisa dihubungkan dengan volume penawaran. Perusahaan pada umumnya memiliki proyek tunggal. Nilai perusahaan tersebut akan sangat tergantung pada pembiayaan investasi pada proyek tunggal tersebut. IPO disinyalir merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendanai proyek tunggal. Jadi semakin besar volume penawaran semakin besar dana yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Semakin tinggi investasi, semakin tinggi pula penilaian pasar terhadap nilai perusahaan. Pada saat issuer menjual sahamnya di pasar, maka akan diperoleh proceeds dari penjualan saham tersebut. Proceeds menunjukan besarnya ukuran penawaran (volume penawaran) pada saat IPO. Proceeds ini disinyalir digunakan perusahaan untuk investasi. Dengan semakin besarnya investasi maka diharapkan prospek perusahaan di masa mendatang membaik. Sehingga akan meningkatkan harga saham sebagai proksi peningkatan nilai perusahaan. G. Underpricing Underpricing adalah suatu kondisi dimana, secara rata-rata, harga pasar saham perusahaan yang baru go public, biasanya dalam hitungan hari atau minggu, lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawarannya di pasar perdana (Tatang Ary Gumanti, 2002). Apabila penentuan harga saham pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi di pasar sekunder, maka fenomena ini disebut dengan underpricing (Almira Santosa dan Titik Indrawati, 2007). Underpricing ini diukur dengan initial return yang diterima investor, yaitu selisih antara harga penutupan saham (closing price) pada hari pertama perdagangan dibursa dengan harga di pasar perdana dibagi dengan harga perdana (Apriliani Triani dan Nikmah, 2006). Rumusan yang digunakan adalah metode sederhana (mean adjusted model): R0 Pt1 Pto 100% Pto Untuk menghindari bias karena pengaruh magnitude pembaginya, maka digunakan rumus sebagai berikut (Aminul Amin, 2007): Rit = ln (P1/P0) Selain itu, dikarenakan adanya kemungkinan bahwa kenaikan harga saham di pasar sekunder disebabkan oleh indeks harga di pasar yang sedang bergairah (Almira Santosa dan Titik Indriati ; 2007) maka penghitungan underpricing disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing). Untuk adjusted underpricing, digunakan rumus sebagai berikut AUP ln P1 / P0 ln IHSG1 / IHSG0 Dimana: R0 = Return awal Pt0 = Harga penawaran perdana (offering price) Pt1 = Harga penutupan (closing price) pada hari pertama perusahaan melakukan IPO di IHSG0 BEI. = Indeks harga saham gabungan pada hari saat melakukan go public. IHSG1 = Indeks harga saham gabungan sehari sebelum go public. 1. Hubungan underpricing dengan nilai perusahaan Fenomena underpricing secara umum dapat dijelaskan berdasarkan teori asymmetric information dan teori signaling. Asymmetric information menyatakan bahwa adanya informasi yang tidak sempurna yang dimiliki antar partisipan dalam IPO. Teori ini menganggap bahwa underwriter memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan issuer, sedangkan issuer memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan investor. Karena sedikitnya informasi yang dimiliki konsumen, maka sangat sulit bagi investor untuk dapat membedakan secara objektif perusahaan yang berkualitas “baik” dan “buruk”. Oleh karena itu, perusahaan harus berusaha meyakinkan investor bahwa perusahaan merekalah yang terbaik. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan sinyal positif kepada investor. Berdasarkan teori signaling, issuer menggunakan underpricing sebagai sinyal bagi investor yang dapat menunjukan nilai perusahaan mereka. Allen dan Faulhaber (1989) dalam Tatang A Gumanti (2004) menyatakan teori tentang adanya hubungan positif antara nilai perusahaan dan besarnya underpricing. Underpricing selain dapat memberikan sinyal negatif, dapat juga memberi sinyal positif. Hwang (1990) dalam Y. Dwi Widodo (2005) melakukan studi yang menunjukkan bahwa underpricing merupakan suatu fenomena equilibrium yang memberikan suatu sinyal bahwa perusahaan menjanjikan keuntungan bagi investor. Pada model ini harga penawaran umum dan presentase pemegang saham lama menunjukkan nilai instrinsik perusahaan. Kedua sinyal ini, merupakan future cash dan menambah nilai instrinsik perusahaan. Underpricing berkorelasi secara positif dengan nilai instrinsik perusahaan karena underpricing memberikan sinyal bahwa hanya perusahaan yang mempunyai prospek yang menguntungkan yang dapat menutupi modal akibat kerugian perusahaan karena harga perdana yang dinilai lebih rendah (underpriced). Grinblat dan Hwang (1989) dalam Budhi Sumarno (2002), menyatakan bahwa untuk mengatasi asymmetric information, issuer akan memberi sinyal akan nilai perusahaannya dengan cara melakukan underpricing. Hal ini dikarenakan investor menanggap bahwa hanya perusahaan yang berkualitas baik dapat menutupi kerugian akibat underpricing. Karena investor menganggap bahwa perusahaan berkualitas baik maka harga saham pun akan meningkat, yang berarti nilai perusahaan pun meningkat. Hal ini dikarenakan harga saham merupakan proksi dari nilai perusahaan, karena harga saham merupakan harga yang bersedia dibayar investor untuk memiliki saham perusahaan tersebut. 2. Teori-teori tentang Underpricing Underpricing bisa disebabkan oleh beberapa hal dan ada teoriteori yang mendasari mengapa underpricing terjadi. Berikut ini adalah teori-teori yang mendasari terjadinya underpricing : a. Informasi Asimetris Kebanyakan teori yang menjelaskan Harga Penawaran Perdana yang underpriced didasarkan pada asumsi bahwa terjadi perbedaan informasi antara berbagai pihak terhadap nilai saham yang baru tersebut. Salah satu dari teori tersebut menganggap bahwa underwriter secara signifikan mempunyai informasi yang lebih baik dari pada issuer (Baron dan Holmstrom, 1980 dalam Sautma Ronni B, 2003). Oleh karena underwriter memiliki informasi yang lebih lengkap, underwriter akan mampu meyakinkan issuer bahwa harga yang rendah lebih baik jika issuer tidak pasti terhadap nilai sahamnya sendiri. Perspektif ini didasarkan pada anggapan bahwa meskipun issuer mengetahui lebih banyak karakteristik bisnisnya, tetapi underwriter lebih mengetahui harga pasar sebab underwriter melakukan survei pasar, melakukan investigasi terhadap issuer, mendapatkan informasi dari issuer dan juga punya pengalaman dalam pengeluaran saham baru (Ibbotson, Sindelar, dan Ritter,1988 dalam Sutma Ronni B, 2003). b. Tulah Bagi Pemenang (Winner’s Curse) Penjelasan lain dari Underpricing dikembangkan oleh Rock (1986) dalam Sautma Ronni. B (2003), yang dikenal sebagai istilah “Winner’s Curse”. Winner’s Curse ini menekankan adanya informasi asimetris di antara investor potensial. Menurut pandangan ini, beberapa investor (informed investor) mempunyai akses informasi mengetahui berapa sesungguhnya nilai saham yang akan dikeluarkan. Investor lainnya (uninformed investor) tidak mengetahui karena sangat sulit atau mahal untuk mendapatkan informasi tersebut. Underwriter diasumsikan tidak mengetahui dengan pasti nilai saham tersebut. Underwriter (sekaligus issuer) melakukan kesalahan acak (random error) dalam penetapan harga: beberapa saham ditetapkan overvalued dan lainnya undervalued. Investor yang punya informasi akan membeli saham yang undervalued dan menghindari saham yang overvalued. Akibatnya, investor yang tidak punya informasi sulit mendapatkan saham undervalued, karenanya akan mendapatkan return yang lebih kecil. Karena issuers harus terus menerus menarik investor yang tidak mendapatkan informasi seperti investor yang punya informasi, maka rata-rata harga saham baru tersebut harus underpriced agar investor yang tidak punya informasi tersebut mendapatkan return yang memadai (Rock,1986). c. Tradisional Selain teori Underpricing IPO yang berdasarkan informasi asimetris, ada juga penjelasan tradisional yang diberikan (Ibbotson, 1975 dalam Sautma Ronni B, 2003) antara lain: a. Undang-Undang membuat underwriter menetapkan harga perdana di bawah harga yang diharapkan (walaupun pada kenyataannya tidak semua negara secara eksplisit menetapkan ini). b. Terjadi kolusi di antara para underwriter dengan menetapkan kondisi underpriced, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi, untuk mengeksploitasi issuer yang tidak berpengalaman dan menyenangkan investor. c. Saham yang underpriced meninggalkan kesan yang baik terhadap investor sehingga pada waktu berikutnya, saham baru yang dikeluarkan dapat dijual pada harga yang lebih menarik. d. ”Firm Commitment” membuat underwriter mencoba mengurangi resiko dengan cara underpriced saham perdana untuk mengkompensasinya. Pada situasi ini, investor jelas akan mendapat keuntungan dan mau membeli saham tersebut untuk mendapatkan keuntungan. e. Proses underwriting biasanya memasukkan unsur underpricing dalam IPO, kondisi ini terjadi karena kebiasaan/tradisi atau berdasarkan perjanjian yang disepakati antara issuer dan underwriter. f. Perusahaan yang mengeluarkan saham (issuer) dan underwriter menganggap bahwa underpricing merupakan bentuk jaminan terhadap tuntutan hukum. SEC Act of 1993 memberlakukan Civil Liability Act pada situasi atau kasus misinformasi yang dilakukan issuer dan underwriter. d. Signaling Equilibrium Phenomenon Teori yang lainnya dalam menjelaskan underpricing IPO adalah sebagai Signaling Equilibrium Phenomenon (Allen dan Faulhaber, 1989; Grinbaltt dan Hwang, 1989; dan Welch, 1989; dalam Sautma Ronni B, 2003). Dasar fundamental dari teori ini adalah perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan signal (tanda) tentang tipe atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari pengiriman sinyal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. e. Risk-Averse Underwiter Hypothesis Penjelasan yang populer tentang adanya underpricing pada saham perdana adalah didasarkan pada underwiter (penjamin) yang menghindari risiko (risk averse), underwiter akan berusaha membuat harga saham perdana dibawah harga pasar (underprice) untuk mengurangi resiko dan biaya dari penjaminan (underwriting). Dengan kata lain, underpricing adalah cara untuk mengurangi kemungkinan emisi saham perdana yang tidak sukses (Sudiyono, 1999:8). Hanafi dan Husnan (1996) dalam Sudiyono (1999:8) mendukung hipotesa tersebut, mereka mengatakan bahwa sebenarnya penawaran sahamsaham di pasar perdana sulit dilakukan dengan harga yang terlalu tinggi (overvalue). Penjamin (underwiter) harus membeli saham tersebut kalau tidak laku dijual pada pasar perdana, kecuali kalau komitmen penjamin hanya best effort saja. Mereka tentunya tidak ingin membeli saham-saham yang tidak laku karena harganya terlalu tinggi, upaya yang dibuat adalah dengan bernegosiasi dengan emiten agar saham-saham tersebut harganya tidak terlalu tinggi, bahkan cenderung sedikit underprice. Namun, Chalik dan Peavy (1987) dalam Sudiyono, (1999:9) menemukan fakta yang bertentangan dengan hipotesa diatas, mereka menemukan bukti bahwa ternyata saham perdana dengan best effort kontrak mempunyai underprice yang lebih tinggi dibandingkan dengan saham perdana yang mempunyai firm-commitment agreement (Tinic, 1988 dalam Sudiyono, 1999:9). H. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai ownership retention, underpricing, investment, firm size, nilai perusahaan, dan IPO memberikan hasil yang beragam. Almira Santosa dan Titik Indriati (2007) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif antara ownership retention, underpricing dan investment terhadap nilai perusahaan yang IPO. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga variabel independen tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Penelitian lain dilakukan oleh Sujoko dan Ugy Soebiantoro (2007) bertujuan untuk menguji pengaruh struktur kepemilikan, leverage, faktor ekstern, dan faktor intern terhadap nilai perusahaan di Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitian ini, salah satu yang diuji adalah pengaruh ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, hal ini menunjukkan bahwa investor akan mempertimbangkan ukuran perusahaan jika akan membeli saham. Tatang A Gumanti (2004) melakukan penelitian tentang hubungan antara nilai perusahaan, underpricing, dan ownership retention pada perusahaan yang baru go public di BEJ yang hasil penelitiannya menunjukan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif tetapi tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan underpricing berhubungan secara negatif dengan nilai perusahaan. Apriliani Triani dan Nikmah (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, presentase penjamin emisi, ukuran perusahaan terhadap initial return. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap return awal dan kinerja perusahaan satu tahun setelah IPO. Ini mengindikasikan bahwa investor menggunakan ukuran perusahaan untuk membeli saham perusahaan pada saat IPO. Sehingga dimata investor, ukuran perusahaan pun dapat memproksikan nilai perusahaan yang akan go public. Luciana Spica Almilia dan Meliza Silvy (2003) meneliti pengaruh factor-faktor yang mempengaruhi status perusahaan pasca IPO dengan menggunakan teknik analisis multinomial logit, salah satu factor yang diteliti adalah prensentase kepemilikan saham oleh pemilik lama (ownership retention). Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor kepemilikan saham yang dipegang pemilik lama dapat digunakan sebagai alat prediksi status perusahaan pasca IPO. Khomsiyah (2005) meneliti pengaruh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat underpricing, diantaranya : reputasi penjamin emisi saham, reputasi auditor, ukuran perusahaan, presentase kepemilikan pemegang saham lama, dan variabelvariabel keuangan. Salah satu kesimpulan penelitian ini menemukan bahwa variabel presentase kepemilikan saham lama tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Sedangkan ukuran perusahaan secara signifikan mempunyai pengaruh terhadap tingkat underpricing. Helen dan Sulistio (2005) meneliti pengaruh informasi akuntansi dan non akuntansi terhadap initial return, dan menyimpulkan bahwa informasi akuntansi berupa ukuran perusahaan, EPS,PER, dan tingkat leverage berpengaruh negatif dan signifikan terhadap initial return dan informasi non akuntansi berupa presentase pemegang saham lama, reputasi auditor, dan reputasi underwriter berpengaruh positif dan signifikan terhadap initial return. Euis Soleha dan Taswan (2002) melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan hutang, insider ownership, firm size, dan profitabilitas terhadap nilai perusahaan, kemudian membuat kesimpulan bahwa variabel size berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Perusahaan besar dapat dengan mudah mengakses ke pasar modal. Kemudahan mengakses ke pasar modal berarti perusahaan memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dana. Dengan kemudahan tersebut ditangkap oleh investor sebagai sinyal positif dan prospek yang baik sehingga firm size bisa memberikan pengaruh yang positif terhadap nilai perusahaan. Manas Mayur, Manoj Kumar, dan Jitendra Mahakud (2007) Meneliti tentang hubungan antara struktur kepemilikan pada saat IPO dengan kinerja perusahaan pasca IPO. Hasil penelitian membuktikan bahwa perusahaan yang kepemilikan sahamnya sebagian besar dipertahankan pemegang saham lama pada saat IPO, memiliki kemungkinan lebih kecil mengalami penurunan kinerja dibandingkan dengan perusahaan yang proporsi kepemilikan saham yang dipertahankan pemegang saham lamanya lebih sedikit. Eddy Suranta dan Pranata Puspa Midiastuty (2003) menyimpulkan bahwa investasi mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Iturriaga dan Sanz (1998); Cho (1998) dalam Eddy Suranta dan Pranata Puspa Midiastuty (2003) menyimpulkan bahwa nilai perusahaan akan dipengaruhi oleh investasi yang dilakukan perusahaan. Penelitian dilakukan oleh Tatang A Gumanti (2000) yang menyimpulkan bahwa ternyata nilai perusahaan berhubungan negatif dengan tingkat ownership retention. Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko (2007) membuktikan bahwa firm size berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, hal ini menandakan bahwa pasar lebih mengapresiasi perusahaan besar. I. Kerangka Pemikiran Nilai perusahaan yang melakukan IPO dapat diindikasikan atau tersirat dari sejumlah variabel atau sinyal yang melekat pada perusahaan tersebut. Pemilik perusahaan akan senantiasa berusaha untuk menunjukkan kepada calon investor bahwa perusahaan mereka menarik untuk dijadikan sebagai alternatif investasi. Jika pemilik tidak mampu menyiratkan nilai perusahaannya, akibatnya bagi perusahaan yang berkualitas baik, nilai yang diterima akan dibawah nilai sebenarnya, sedangkan perusahaan yang berkualitas buruk akan menerima nilai di atas sebenarnya. Di mata investor, ownership retention, underpricing, investment, dan firm size dapat diindikasikan sebagai variabel-variabel yang dapat menyiratkan nilai perusahaan pada saat IPO. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Adapun untuk model penelitian dibagi menjadi 2 yaitu : 1) Model penelitian yang menggunakan variabel underpricing yang belum disesuaikan dengan return pasar (raw underpricing), 2) Model penelitian yang menggunakan underpricing yang sudah disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing). Pada kedua model penelitian tersebut, selain variabel underpricing, variabel-variabel lain yang digunakan tidak ada perbedaan. Pada dasarnya, pembedaan ini dilakukan untuk melihat adanya kemungkinan bahwa kenaikan harga saham di pasar sekunder disebabkan oleh indeks harga di pasar yang sedang bergairah (Almira Santosa dan Titik Indriati ; 2007). Data penelitian diperoleh dari Bursa Efek Indonesia dan metode pemilihan sampel menggunakan purposive sampling. Sebelum menguji adanya pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI), terlebih dahulu dilakukan pengujian satu sampel terhadap variabel underpricing. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi apakah nilai underpricing tersebut benar-benar berbeda dari nilai estimasi. Jika benar nilai saham mengalami underpricing pada hari pertama perdagangan di bursa, maka rata-rata initial return (R ) adalah positif. t Sebaliknya jika nilai saham tidak mengalami underpricing, maka rata-rata initial return (R ) adalah negatif. t Selanjutnya, model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linier berganda. Model regresi linier berganda dikatakan model yang baik jika model tersebut memenuhi asumsi normalitas data dan terbebas dari asumsi-asumsi klasik statistik, baik itu multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Untuk itu, sebelum melakukan uji regresi terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dan uji asumsi klasik. Setelah itu, barulah dilakukan uji regresi yaitu: uji t untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial, uji F untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan, kemudian menentukan Adjusted R Square untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel-variabel independen menjelaskan variabel dependen. Secara skematis, alur kerangka pemikiran terlihat pada skema di bawah ini. Data Ownership Retention Underpricing Invesment Firm Size Uji Normalitas One sample t test Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO Uji Normalitas Data Uji Asumsi Klasik Regresi Berganda Uji t Uji F Adj. Square Interpretasi Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Untuk Model 1 Data Ownership Retention Adj Underpricing* Invesment Firm Size Uji Normalitas One sample t test Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO Uji Normalitas Data Uji Asumsi Klasik Regresi Berganda Uji t Uji F Adj. Square Interpretasi Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Untuk Model 2 J. Hipotesis Berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang telah dikemukakan di awal, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1 : Perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal). 2 : Ownership retention mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO. 3 : Underpricing mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO. 4 : Invesment mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO. 5 : Firm size mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO. 6 : Ownership retention, underpricing, investment, dan firm size secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) di BEI selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2007. Objek penelitian ini adalah mendeteksi fenomena underpricing pada hari pertama perdagangan saham di pasar sekunder dan meneliti pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size sebagai variabel independen terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO sebagai variabel dependen. Ownership retention ditunjukkan oleh proporsi kepemilikan saham yang dipertahankan pemegang saham lama pada saat IPO. Underpricing ditunjukan oleh adanya return awal yang positif pada hari pertama perdagangan di pasar perdana. Invesment ditunjukan oleh besarnya jumlah saham yang ditawarkan sebagai upaya untuk mendanai suatu proyek investasi. Firm size ditunjukan oleh total aktiva yang dimiliki perusahaan pada satu tahun terakhir sebelum IPO. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah one sample t test dan model regresi linier berganda. B. Metode Penetuan Sampel Teknik pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling untuk mendapatkan sampel yang dapat mewakili kriteria-kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria-kriterianya sebagai berikut: 1. Perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2007. 2. Perusahaan memiliki data laporan keuangan minimal 1 tahun sebelum melakukan IPO. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi total aktiva terkait dengan pengukuran variabel firm size. 3. Prospektus perusahaan tersedia lengkap. Kriteria ini penting karena prospectus merupakan sumber utama untuk digunakan dalam penelitian ini. 4. Memiliki data-data harga saham yang lengkap. Adapun proses pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebagai berikut: Tabel 3.1 Proses Pemilihan Sampel Identifikasi perusahaan Jumlah Perusahaan yang melakukan IPO tahun 2001 s/d 2007 113 Prospektus tidak tersedia dengan lengkap (25) Data harga saham tidak lengkap (2) Data laporan keuangan yang tidak lengkap (2) Jumlah Sampel 84 Daftar perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.2 Daftar Sampel Perusahaan yang Melakukan IPO Tahun 2001 s/d 2007 Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun IPO 2001 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 EMITEN Akbar Indo Makmur Stimec Tbk Arwana Citra Mulia Tbk Asia Kapitalindo Securities Tbk Bank Eksekutif International Tbk Bank Nusantara Parahyangan Tbk Betonjaya Manunggal Tbk Bhakti Capital Indonesia Tbk Central Korporindo Internasional Tbk Centrin Online Tbk Colorpak Indonesia Tbk Daeyu Orchid Indonesia Tbk Indoexchange Dot Com Tbk Indofarma Tbk Indosiar Visual Mandiri Tbk Infoasia Teknologi Global Tbk Integrasi Teknologi Tbk Karka Yasa Profilia Tbk Kimia Farma Tbk Kopitime Dot Com Tbk Lamicitra Nusantara Tbk Lapindo Packaging Tbk Limas Stockhomindo Tbk Metamedia Technologies Tbk Panorama Sentrawisata Tbk Plastpack Prima Industri Tbk Pyridam Farma Tbk Roda Panggon Harapan Tbk Tempo Inti Media Tbk Wahana Phonix Tbk KODE AIMS ARNA AKSI BEKS BBNP BTON BCAP CNKO CENT CLPI DOID INDX INAF IDSR IATG ITTG KARK KAEF KOPI LAMI LAPD LMAS META PANR PLAS PYFA RODA TMPO WAPO Tahun IPO 2002 2003 2004 NO EMITEN KODE 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 Fortune Indonesia Tbk Anta Express Tour & Travel Service Tbk Fishindo Kusuma Sejahtera Tbk Cipta Panelutama Tbk Fatrapolindo Nusa Industri Tbk Abdi Bangsa Tbk Jasuindo Tiga Perkasa Tbk Anugrah Tambak Perkasindo Tbk United Capital Indonesia Tbk Bank Swadesi Tbk Sugi Samapersada Tbk Kresna Graha Sekurindo Tbk Apexindo Pratama Duta Tbk Bank Bumi Putera Indonesia Tbk Surya Citra Media Tbk Gema Grahasarana Tbk Inti Indah Karya Plasindo Tbk Artha Sekurities Tbk Bank Kesawan Tbk Trust Finance Indonesia Tbk Artha Pacific Sekurities Tbk Tambang Batubara Bukit Asam Tbk Pelayaran Tempuran Emas Tbk Bank Mandiri Tbk Bank Rakyat Indonesia Tbk Perusahaan Gas Negara Tbk Asuransi Jasa Tania Tbk Adhi Karya (Persero) Tbk Adira Dinamika Multi Finance Tbk Hortus Danavest Tbk Energi Mega Persada Tbk Pembangunan Jaya Ancol Tbk Sanex Qianjiang Motor International Tbk Indosiar Karya Media Tbk Aneka Kemasindo Utama Tbk Yulie Sekurindo Tbk FORU ANTA FISH CITA FPNI ABBA JPTE ATPK UNIT BSWD SUGI KREN APEX BABP SCMA GEMA IIKP ARTA BKSW TRUS APIC PTBA TMAS BMRI BBRI PGAS ASJT ADHI ADMF HADE ENRG PJAA SQMI IDKM AKKU YULE Tahun IPO 2005 NO EMITEN 66 Apeny Pratama Ocean Line Tbk 67 Asuransi Multi Artha Guna Tbk 68 Excelcomindo Pratama Tbk 69 Multistrada Arah Sarana Tbk 70 Panca Global Securities Tbk 2006 71 Bakrie Telecom Tbk 72 Bank Himpunan Saudara 1906 Tbk 73 Central Proteinaprima Tbk 74 Indonesia Air Transport Tbk 75 Malindo Feedmill Tbk 76 Mobile-8 Telecom Tbk 77 Radiant Utama Interisco Tbk 78 Total Bangun Persada Tbk 79 Truba Alam Manunggal Engineering Tbk 2007 80 Ace Hardware Indonesia Tbk 81 Alam Sutera Realty Tbk 82 Catur Sentosa Adiprana Tbk 83 Perdana Gapuraprima Tbk 84 Wijaya Karya (Persero) Tbk Sumber : JSX Statistics KODE APOL AMAG EXCL MASA PEGE BTEL SDRA CPRO IATA MAIN FREN RUIS TOTL TRUB ACES ASRI CSAP GPRA WIKA C. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data-data sekunder tersebut diperoleh dari: 1. Prospektus yang dikeluarkan oleh setiap perusahaan-perusahaan yang melakukan kebijakan IPO. 2. Studi pustaka, yaitu mencari, mengumpulkan, mengidentifikasi, dan menganalisis buku-buku teks, jurnal-jurnal, makalah-makalah, artikelartikel dan sebagainya yang terkait dengan topik penelitian. 3. Jakarta Stock Exchange (JSX) Statistic Bursa Efek Indonesia untuk mengetahui daftar perusahaan yang go public. 4. Melalui download dari beberapa situs terkait, seperti: http://www.bei.co.id, http://www.bapepam.go.id, http://puslit.petra.ac.id, http:// www.yahoofinance.com dan lain-lain. D. Metode Analisis 1. Pengujian Hipotesis 1 Pengujian hipotesis 1 menggunakan uji one sample t test yang pada prinsipnya ingin menguji apakah suatu nilai tertentu berbeda secara nyata ataukah tidak dengan rata-rata sebuah sampel. Nilai tertentu di sini pada umumnya adalah sebuah nilai parameter untuk mengukur suatu populasi. Untuk menentukan apakah suatu nilai tertentu berbeda secara nyata ataukah tidak dengan rata-rata sebuah sampel, maka digunakan dasar keputusan yang digunakan adalah jika nilai signifikansi t lebih kecil dari pada taraf keyakinan 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya bahwa nilai suatu variabel tidak berbeda secara nyata dengan rata-rata sebuah sampel. Sebelum dilakukan pengujian menggunakan one sample t test, maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan uji kolmogorov smirnov untuk menunjukkan kenormalan distribusi data yang digunakan. Jika nilai signifikansi kolmogorov smirnov lebih besar dari α = 5%, maka data berdistribusi dengan normal. Jika data terbukti normal, maka selanjutnya dilakukan pengujian one sample t test. Pengujian hipotesis menggunakan one sample test untuk melihat apakah initial return (R ) berbeda secara signifikan atau tidak i,t dengan rata-rata initial return (R ) selama pengamatan. One sample test t digunakan untuk melihat nilai underpricing selama pengamatan pada hari pertama perdagangan di bursa. Apakah nilai underpricing tersebut benarbenar berbeda dari nilai estimasi. Ketentuan untuk pengambilan keputusan bila signifikansi < 0,05 maka H ditolak dan H diterima. 0 a Jika benar nilai saham mengalami underpricing pada hari pertama perdagangan di bursa, maka rata-rata initial return (R ) adalah positif. t Sebaliknya jika nilai saham tidak mengalami underpricing, maka rata-rata initial return (R ) adalah negatif. t 2. Pengujian Hipotesis 2,3,4,5, dan 6 a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi dependent variable, independent variable ataupun keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian normalitas menggunakan uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov. Pengujian dilakukan terhadap nilai residual. Uji dilakukan dengan membuat hipotesis: H0 : Data residual berdistribusi normal Ha : Data residual tidak berdistribusi dengan normal. Jika nilai signifikansi K-S > 0,05 maka Ho diterima, berarti model regresi yang akan digunakan berdistribusi normal. Jika nilai signifikansi K-S < 0,05 maka Ho ditolak, berarti model regresi yang akan digunakan tidak berditribusi normal. b. Uji Asumsi Klasik Dalam menggunakan analisis regresi agar menunjukkan hubungan yang valid atau tidak bias maka perlu dilakukan pengujian asumsi klasik pada model regresi yang digunakan. Adapun asumsiasumsi klasik diantaranya diantaranya: 1) Uji Multikolinieritas Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol. Menurut Imam Ghozali (2003: 91) ada beberapa indikasi adanya multikolinieritas, yaitu: (a) Jika statistic F signifikan tetapi statistik t banyak atau tidak ada yang signifikan. (b) Jika R2 relatif besar tetapi statistik t banyak atau tidak ada yang signifikan. Untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dapat juga dilihat dari besarnya VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Menurut Imam Ghozali (2001: 92), pedoman suatu model regresi yang terbebas dari gejala multikolinearitas adalah: (a) Mempunyai nilai VIF < 10. (b) Mempunyai angka tolerance > 0,1. 2) Uji Autokorelasi Salah satu asumsi dari model regresi linier klasik adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial (autocorrelation or serial correlation) antara kesalahan penggangu (ei). Autokorelasi dapat didefinisikan pula terjadinya korelasi diantara data pengamatan sebelumnya, dengan kata lain bahwa munculnya suatu data dipengaruhi oleh data sebelumnya. Tujuan dari uji autokorelasi ini adalah untuk menguji apakah dalam model linier ada korelasi antara kesalahan penggangu dengan periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Sebelumnya, jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi atau tidak, dapat dilihat melalui nilai Durbin-Watson. Bila nilai DW terletak diantara du < d < 4 – du maka dapat dikatakan tidak terjadi autokorelasi baik positif maupun negatif, dimana du adalah batas atas dan dl adalah batas bawah. Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : Tidak terjadi autokorelasi Ha : Ada autokorelasi Tabel 3.3 Kriteria Keputusan Durbin Watson Syarat Keputusan Kesimpulan d<dl Tolak H0 dl ≤ d ≤ du Tidak ada keputusan Ragu-ragu ada autokorelasi positif du < d < 4-du Terima H0 Tidak ada autokorelasi positif atau negatif 4-du ≤ d ≤ 4-dl Tidak ada keputusan Ragu-ragu ada autokorelasi negatif 4-dl < d <4 Tolak H0 Ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Sumber: N.D Nachrowi dan Hardius Usman, 2006 3) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan dimana varian dari kesalahan pengganggu tidak konstan untuk semua nilai variabel bebas. Uji heteroskedastisitas ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika tetap (konstan), maka disebut homoskedastisitas dan bila berbeda disebut heteroskedastisitas. Menurut Imam Ghozali (2001:105) ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, antara lain: (a) Melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu X dan Y yang telah diprediksi dan sumbu Y adalah residual (Y prediksi –Y sesungguhnya) yang telah distudentized. (b) Dasar analisis, jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka telah terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas serta titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. c. Regresi Berganda Persamaan regresi adalah persamaan matematika yang mendefinisikan hubungan dua variabel atau lebih. Hubungan yang dimaksud yaitu variabel independen (X) dan variabel dependen (Y). Pada penelitian ini, nilai perusahaan yang melakukan IPO sebagai variabel dependen sedangkan ownership retension, underpricing, investment, dan firm size sebagai variabel independen. Variabel firm size adalah variabel dummy dengan memberikan nilai 1 untuk kategori perusahaan besar serta nilai 0 untuk perusahaan kecil. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan 2 model regresi, sehingga model analisis untuk penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: NPj = a + b1 OWNj + b2 UPj + b3 INVj + b4 SIZEj + εj NPj = a + b1 OWNj + b2 AUPj + b3 INVj + b4 SIZEj + εj Keterangan ; NPj = Nilai perusahaan yang melakukan IPO a = Konstanta b1 - b4 = Koefisien regresi OWNj = Ownership Retention UPj = Underpricing AUPj = Adjusted Underpricing yaitu tigkat underpricing yang sudah disesuaikan dengan return pasar. INVj = Investment SIZEj = Firm Size, merupakan variabel dummy, 0 untuk kategori perusahaan kecil dan 1 untuk kategori perusahaan besar. d. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) Uji t adalah untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Dalam hal ini, variabel independen terdiri dari ownership retention, underpricing, investment, dan firm size, sedangkan variabel dependennya adalah nilai perusahaan yang melakukan IPO. Uji t digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh yang signifikan antara variabel ownership investment, dan firm size secara parsial. T bi i Sb retension, underpricing, Dimana bi : Koefisien variabel ke i βi : Parameter ke I yang dihipotesiskan Sb : Kesalahan standar, atau standar error sample. Adapun Sb dapat dihitung dengan cara: Sb SC X 2 r X i 2 Y 2 i dan S C a Yi b X i Yi nk Adapun untuk menguji hipotesis digunakan statistik t dengan kriteria pengambilan keputusan: Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Jika nilai signifikansi t lebih kecil dari pada taraf keyakinan 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. e. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel independen (ownership retension, underpricing, investment, dan firm size) secara simultan atau bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (nilai perusahan yang melakukan IPO). F hitung Dimana : R2 = Koefisien Regresi R 2 (K - 1) 1 - R 2 n - K K = Jumlah variabel penelitian n = Jumlah sample Adapun untuk menguji hipotesis digunakan statistik F dengan kriteria pengambilan keputusan: Jika F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel-variabel independen secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Jika nilai signifikansi F lebih kecil dari pada taraf keyakinan 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel-variabel independen secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. f. Adj R Square Uji ketepatan perkiraan (R2) dilakukan untuk mendeteksi ketepatan paling baik dari garis regresi. Uji ini dilakukan dengan melihat besarnya nilai koefisien determinasi R2 merupakan besaran nilai non negatif. Besarnya nilai koefisien determinasi adalah antara nol sampai dengan 1 (1≥ R2 ≤ 0). Koefisien determinasi bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel independent dengan variabel dependen, sebaliknya nilai koefisien determinasi 1 berarti suatu kecocokan sempurna dari ketepatan perkiraan model. E. Operasional Variabel 1. Dependen Variabel Variabel tidak bebas dari penelitian ini adalah nilai perusahaan yang melakukan IPO. Nilai Perusahaan adalah sama dengan nilai pasar saham ditambah dengan nilai pasar hutang. Apabila besarnya nilai hutang konstan atau nol maka setiap peningkatan nilai saham dengan sendirinya akan meningkatkan nilai perusahaan (Rudianto; 2005). Pengukuran nilai perusahaan dalam penelitian ini menggunakan nilai kapitalisasi pasar pada hari ke-20 setelah IPO karena nilai perusahaan dalam penelitian ini dalam konteks IPO saham dan diasumsikan nilai hutang adalah konstan, sehingga setiap peningkatan nilai saham dengan sendirinya akan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai saham ini terjadi karena investor, dengan melihat sinyal-sinyal positif yang ada pada perusahaan, tertarik dan bersedia untuk membayar lebih mahal untuk mendapatkan saham perusahaan tersebut karena percaya bahwa akan memperoleh pengembalian yang menguntungkan. Nilai perusahaan yang sudah go public tercermin dalam harga pasar saham perusahaan (Fama, 1978 ; Wrights & Ferris 1997; Walker, 2000 dalam Sri Hasnawati 2005). Harga saham digunakan sebagai proksi nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon investor apabila ingin memiliki suatu perusahaan. Jadi nilai perusahaan merupakan hasil kali antara harga saham perlembar pada hari ke-20 setelah perusahaan IPO dengan jumlah saham, yang kemudian dinyatakan dalam logaritma natural. Alasan memilih harga saham pada hari ke-20 setelah IPO sebagai salah satu perhitungan mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu: a. Gumanti (2004) melakukan penelitian tentang pengaruh ownership retention dan underpricing terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitiannya bertentangan dengan hipotesa yang menyatakan bahwa ownership retention dan underpricing berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan . Diduga hasil ini karena ketidaktepatan pemilihan proxy untuk nilai perusahaan yang menggunakan nilai kapitalisasi pasar pada hari pertama perdagangan di pasar sekunder (jumlah saham beredar hari ke 1x harga perdana saham), sehingga menyarankan alternatif penggunaan nilai kapitalisasi pasar beberapa hari setelah go public berdasarkan penelitian How dan Low (1993). b. Aharony dan Swary (1980) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) menyimpulkan bahwa tidak banyak berbeda antara menggunakan harga saham per lembar pada hari ke-5 dengan menggunakan harga saham per lembar pada hari ke-20 sebagai ukuran nilai perusahaan. c. How dan Low (1993) dalam Adiana dan Kamarun (2004); Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) membuktikan bahwa ownership retention, underpricing dan investment mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan yang diproksi dengan kapitalisasi pasar pada hari ke 20 setelah IPO. Alasan penggunaan kapitalisasi pasar pada hari ke 20 setelah IPO karena akan lebih mencerminkan nilai sesungguhnya saham perusahaan dan selama periode tersebut tidak mengalami penurunan harga kembali. Berdasarkan alasan di atas, maka dalam penelitian ini, dipilih harga saham perlembar pada hari ke-20 setelah perusahaan melakukan IPO sebagai salah satu perhitungan untuk menentukan nilai perusahaan. Secara ringkas rumusannya sebagai berikut: Nilai perusahaan = Ln (P20 x Jumlah saham beredar) Ket: P20 = Harga saham pada hari ke-20 setelah IPO 2. Independen Variabel Dalam penelitian ini digunakan empat variabel bebas, yaitu: a. Ownership retention yaitu proporsi kepemilikan saham yang dipertahankan pemegang saham lama pada saat IPO. Besarnya proporsi ownership retention ini, diukur dari selisih total saham dikurangi dengan jumlah saham yamg ditawarkan ke masyarakat (Khomsiyah, 2005). Atau dapat pula dihitung dengan cara: Ownership Retention Total saham - Jumlah saham yang ditawarkan ke publik Total saham b. Underpricing yaitu selisih antara harga penutupan saham (closing price) pada hari pertama perdagangan dibursa dengan harga di pasar perdana dibagi dengan harga perdana (Apriliani Triani dan Nikmah, 2006). Rumusan yang digunakan adalah metode sederhana (mean adjusted model): Rit P1 P0 100% P0 Untuk menghindari bias karena pengaruh magnitude pembaginya, maka digunakan rumus sebagai berikut (Aminul Amin, 2007): Rit = ln (P1/P0) Dimana: R0 = Return awal P0 = Harga penawaran perdana (offering price) P1 = Harga penutupan (closing price) pada hari pertama perusahaan melakukan IPO di BEI. c. Adjusted Underpricing yaitu tingkat underpricing yang disesuaikan dengan return pasar, yang dihitung dengan cara sebagai berikut: AUP P1 P0 / P0 IHSG1 IHSG0 / IHSG0 Untuk menghindari bias karena pengaruh magnitude pembaginya, maka pada initial return rumus dinyatakan dalam ln (Aminul Amin, 2007). Sehingga digunakan rumus sebagai berikut: AUP ln P1 / P0 ln IHSG1 / IHSG0 Dimana: AUP = Adjusted Underpricing P0 = Harga penawaran perdana (offering price) P1 =Harga penutupan (closing price) pada hari pertama perusahaan melakukan IPO di BEI. IHSG0 = Indeks harga saham gabungan pada hari saat melakukan go public. IHSG1 = Indeks harga saham gabungan sehari sebelum go public. d. Investment Investasi ini merupakan investasi riil yang didanai dari proceed IPO. Semakin besar saham yang ditawarkan kepada masyarakat, maka semakin besar dana yang diperoleh melalui IPO untuk membiayai investasi. Tingkat investasi ini dihitung dengan rumus: Invesment = Ln (Jumlah saham yang ditawarkan x harga penawaran) e. Firm size berdasarkan total aktiva pada tahun terakhir perusahaan melakukan IPO (Helen dan Sulistio, 2005). Firm size merupakan variabel dummy, 0 = perusahaan kecil dan 1= perusahaan besar. Yenny Charlemagne (2005) dalam Said Kelana dan Chandra Wijaya (2006) melakukan pengkategorian firm size berdasarkan total aktiva, yaitu: (1) Perusahaan besar, jika total aset > 400 Milyar , (2) Perusahaan kecil, jika total aset < 400 Milyar. BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN F. Sejarah dan Perkembangan Bursa Efek di Indonesia 1. Awal Pendirian Bursa Efek Pasar modal Indonesia dimulai ketika Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bursa Efek di Jakarta (Batavia) pada akhir 1912. Efek-efek yang diperdagangkan dalam bursa ini terdiri atas saham-saham dan obligasi yang diterbitkan perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi Pemerintah Hindia Belanda dan efek-efek Belanda lain. Pendirian bursa efek oleh pemerintah Belanda tersebut bertujuan untuk memobilisasi dana dalam rangka membiayai perkebunan milik Belanda yang saat itu sedang dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia. Pendirian bursa efek di Batavia tersebut diikuti dengan pendirian bursa efek di Semarang dan Surabaya pada tahun 1925. Dengan berbekal pengalaman bursa efek di negeri Belanda yang cukup lama, bursa efek yang didirikan tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat sampai akhirnya kegiatannya terhenti akibat pecahnya Perang Dunia Kedua. 2. Pasca Perang Dunia II Pada saat Perang Dunia II, Jerman berhasil menduduki Belanda lalu saham-saham orang Belanda pun direbut Jerman. Tentu saja, pasar modal Indonesia yang amat bergantung pada eksistensi Belanda ikut terpengaruh. Maka pada 10 Mei 1940 bursa efek Batavia harus tutup dan saat itu terdapat 250 jenis saham dengan nilai 1,4 miliar gulden. Pada 23 Desember 1940 para direktur Economische Zaken, Handelsvereeniging dan Javashe Bank membuka kembali kantor bursa Batavia. Tapi hal ini tidak berlangsung lama karena Jepang masuk ke Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bursa efek kembali diaktifkan dan pemerintah mengeluarkan UU Darurat tentang Bursa No.13 Tahun 1951 yang kemudian ditetapkan dengan UU No.15 Tahun 1952. Penyelenggaraan bursa efek yang dibuka di Jakarta tersebut dilakukan oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) di mana Bank Indonesia terlihat sebagai penasihat. Untuk lebih memantapkan pelaksanaan pasar modal telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 3. Era Pra Deregulasi (1977-1987) Di masa ini pasar modal mengalami masa yang cukup suram. Sebab saat itu perusahaan-perusahaan masih kental diwarnai dengan budaya perusahaan keluarga dan enggan untuk go public di pasar modal. Kondisi ini tentu membuat pemerintah bekerja keras untuk mendorong perusahaan go public. Berbagai kemudahan diberikan pemerintah seperti tax incentive. Tetapi itu pun ternyata tak cukup merangsang minat pengusaha untuk go public. Ini bisa terlihat dari sedikitnya jumlah perusahaan yang masuk ke pasar modal di masa itu. Dalam satu dekade pertama (1977-1987) hanya ada 24 perusahaan yang menawarkan sahamnya ke publik dan 3 perusahaan yang menawarkan obligasi melalui pasar modal. Sementara jumlah dana yang dapat dihimpun dari penjualan saham hanya berkisar Rp. 131,4 miliar, sedangkan dari emisi obligasi sekitar Rp. 535,7 miliar. Masalah lain yang membuat pasar modal Indonesia di masa itu diliputi kesuraman disebabkan pula oleh faktor yang muncul dari lembaga pasar modal itu sendiri. Banyak aturan pasar modal yang dianggap oleh pemilik perusahaan tidak terlalu menguntungkan mereka yang go public. Berdasarkan catatan, paling tidak ada lima persyaratan yang menghambat minat para pemilik perusahaan masuk ke pasar modal, yaitu: 1) Adanya persyaratan lab minimum sebesar 10% dari modal sendiri bagi perusahaan yang ingin go public. Artinya perusahaan yang ingin go public harus memiliki keuntungan 10% selama 2 tahun sebelum menawarkan sahamnya ke masyarakat. Persayaratan ini cukup memberatkan bagi perusahaan terkait yang ingin go public. 2) Tertutupnya kesempatan bagi investor asing untuk ikut berpartisipasi dalam pemilikan saham. Masyarakat belum banyak yang mengerti dan memahami betul tentang manfaat investasi pasar modal. Akibatnya, jumlah investor tidak berkembang dan volume serta nilai transaksi pun bisa dibilang stagnan. 3) Adanya batas maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4% dari harga awal dalam setiap hari perdagangan di bursa. Batasan ini membuat pasar kurang menarik bagi investor. Fluktuasi harga saham yang terjadi tidak berlangsung berdasarkan mekanisme pasar yang sebenarnya. 4) Tidak adanya perlakuan yang sama terutama dalam hal pajak terhadap penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan dividen. Akibatnya, investor masih lebih suka menanamkan uangnya di deposito dari pada investasi melalui pembelian saham di bursa. 5) Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa. 4. Era Deregulasi (1987-1990) Usaha pengaktifan bursa efek agaknya tidak mengalami perkembangan atau bahkan dapat dikatakan tidak begitu banyak pengaruhnya. Keadaan tersebut berlangsung sampai memasuki dekade 1970-an. Tentu saja hal ini tidak boleh berlanjut. Pada 1987 sejalan dengan semakin besarnya kebutuhan dana investasi dan pembangunan, serta perlunya menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah mulai menyadari peran strategis pasar modal. Dari sini pemerintah merombak berbagai aturan yang dianggap menghambat minat perusahaan untuk masuk bursa. Karenanya pemerintah lantas meluncurkan tiga perangkat paket penting kebijakan pasar modal. Intinya berupa penyederhanaan aturan yang dikemas dalam paket-paket deregulasi. Ketiga paket itu masing-masing: 1) Paket Desember 1987 yang dikenal dengan Pakdes. Isinya antara lain penghapusan persayaratan laba minimum 10% dari modal sendiri. Diperkenalkannya instrumen baru pasar modal yaitu saham atas unjuk. Dibukanya bursa parallel sebagai arena perdagangan efek bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Dihapuskannya ketentuan batas maksimum fluktuasi harga 4%. 2) Paket Oktober 1988 yang dikenal dengan Pakto. Lewat Pakto ini pemerintah melakukan terobosan-terobosan yang amat signifikan, berupa pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian kredit bank kepada nasabah perorangan dan nasabah grup yaitu secara berturut-turut tidak melebihi 20% dan 50% dari modal sendiri bank pemberi kredit. Penetapan persyaratan model minimum untuk mendirikan bank umum swasta nasional, bank pembangunan swasta nasional dan bank campuran. Kebijakan ini juga memberi peluang kepada bank untuk memanfaatkan pasar modal untuk memperluas permodalannya. 3) Paket Desember 1988. Melalui paket ini, pemerintah memberi kesempatan kepada swasta untuk mendirikan dan menyelenggarakan bursa di luar Jakarta. Dengan kebijakan ini, dibuka peluang bagi investor di Indonesia bagian lain untuk memperdagangkan efeknya di Bursa efek Jakarta (BEJ). Paket ini memungkinkan pula perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa (company listing) Dengan demikian, diharapkan bahwa saham perusahaan akan lebih marketable. 4) Dibukanya izin bagi investor asing untuk membeli saham di bursa Indonesia. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1055/KMK /013/1989 tentang Pembelian Saham oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal. Melalui keputusan ini, pemerintah membuka kesempatan kepada investor asing untuk berpartisipasi di pasar modal Indonesia dalam pemilikan saham-saham perusahaan sampai dengan makimum 49% di pasar perdana, maupun 49% saham yang tercatat di bursa efek dan bursa paralel. 5) Kebijakan ini disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK/013/1990. Lantas diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199/KMK/010/1991. Dalam keputusan terakhir ini, dijelaskan bahwa tugas Bapepam yang mulanya juga penyelenggara bursa, kini menjadi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Selain itu pemerintah pun membentuk lembaga-lembaga baru seperti lembaga kliring penyelesaian dan penyimpangan (LKPP), reksadana dan manajer investasi. 5. Era Pasca Deregulasi Lahirnya berbagai kebijakan ini telah menebalkan kepercayaan investor tehadap pasar modal Indonesia. Puncak kepercayaan itu terjadi sesudah pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berlaku secara efektif 1 Januari 1996. UU ini lantas disusul pula dengan meluncurnya dua Peraturan Pemerintah (PP). Pertama, PP Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Kedua, PP Nomor 46 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal. Di tingkat menteri pun terlahir pula tiga keputusan pendukung UU itu. Keputusan itu masingmasing Nomor 646/KMK.010/1995 tentang Pemilikan Saham atau Unit Penyertaan Reksadana oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal, dan Nomor 467/KMK.010/1997 tentang Pemilikan Saham Perusahaan Efek oleh Pemodal Asing. Pemberlakuan kebijakan ini bisa dikatakan sebagai momentum penting dalam perjalanan pasar modal Indonesia untuk menuju pasar modal yang bisa bersaing di dunia. Sampai dengan tahun 1996 Bapepam telah mengeluarkan 102 peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari undang-undang itu. Mulai dari tahun 1991 sampai akhir 1996, pasar modal Indonesia terus bergerak maju. Dari segi hukum, UU No.8 Tahun 1995 dan aturan pendukung lainnya telah memberdayakan Bapepam dalam penegakan hukum. Selain itu Bapepam pun seperti diamanatkan dalam UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah membentuk Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) dengan nama PT. Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP) yang berwujud PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Lembagalembaga ini menggantikan peran PT. Kliring Deposit Efek Indonesia (KDEI) yang sudah berdiri sejak 1992. 6. Pembentukan Bursa Efek Indonesia (BEI) Pada tahun 2007 BEJ melakukan merger dengan Bursa Efek Surabaya dan berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia. Penggabungan ini menjadikan Indonesia hanya memiliki satu pasar modal. Perusahaan hasil penggabungan usaha ini memulai operasinya pada 1 Desember 2007. Bursa Efek Indonesia dipimpin oleh Direktur Utama Erry Firmansyah, mantan direktur utama BEJ. Mantan Direktur Utama BES Guntur Pasaribu menjabat sebagai Direktur Perdagangan Fixed Income dan Derivatif, Keanggotaan dan Partisipan. BEI menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak 22 Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya. Sistem JATS ini sendiri direncanakan akan digantikan sistem baru yang akan disediakan OMX. Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut: 14 Desember 1912 : Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda. 1914 - 1918 : Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I 1925 - 1942 : Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya Awal tahun 1939 : Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup. 1942 - 1952 : Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II 1952 : Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950) 1956 : Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif. 1956 - 1977 : Perdagangan di Bursa Efek vakum. 10 Agustus 1977 : Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. 1977 - 1987 : Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal. 1987 : Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia. 1988 - 1990 : Paket deregulasi di bidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat. 2 Juni 1988 : Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer. Desember 1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal. 16 Juni 1989 : Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya. 13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ. 22 Mei 1995 : Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems). 10 November 1995 : Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996. 1995 : Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya. 2000 : Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia. 2002 : BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading). 2007 : Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). G. Analisis Deskriptif Penelitian ini menggunakan sample 84 perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007. Hasil dari statistik deskriptif dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Statistik Deskriptif Variabel NP OWN UP Adj. UP INV Mean 1,317,867,912,869 0,75 0,29 0,29 261,332,773,306 Min 28,807,930,200 0,50 -0,39 -0,39 7,800,000,000 Sumber: Data diolah Keterangan: NP : Nilai Perusahaan OWN : Ownership Retention Max 20,207,212,500,000 0,93 1,31 1,30 4,169,116,875,000 Std. Deviasi 3,207,415,276,581 0,10 0,33 0,33 651,524,794,165 UP : Underpricing Adj UP : Adjusted Underpricing INV : Investment Tabel 4.1 menyajikan gambaran statistik dari variabel Nilai perusahaan, Ownership retention, Underpricing, dan Investment. Secara statistik dapat diketahui bahwa dari 84 perusahaan yang dijadikan sampel, variabel nilai perusahaan memiliki nilai minimum Rp. 28.807.930.200,- yang terdapat pada perusahaan Daeyu Orchid Indonesia Tbk dan nilai terbesar Rp. 20.207.212.500.000,- pada perusahaan Excelcomindo Pratama Tbk, dengan nilai mean Rp. 1.317.867.912.869,- dan standar deviasi Rp. 3.207.415.276.581,Variabel Ownership Retention memiliki nilai minimum 0,50 atau 50 % yang terdapat pada perusahaan Abdi Bangsa Tbk dan nilai maximum 0,93 atau 93 % pada perusahaan Lamicitra Nusantara Tbk, dengan nilai rata-rata 0,75 atau 75 % dan standar deviasi 0,10 atau 10 %. Variabel Underpricing memiliki nilai minimum -0,39 atau 39% yang terdapat pada perusahaan Kresna Graha Sekurindo Tbk dan nilai maximum 1,31 atau 131% pada perusahaan Roda Panggon Harapan Tbk, dengan nilai rata-rata 0,29 atau 29% dan standar deviasi 0,33 atau 33%. Rata-rata initial return pada hari pertama perdagangan di pasar modal ( 0,29 atau 29%) adalah positif, baik pada model 1 (menggunkan raw undepricing) maupun pada model 2 (adjusted underpricing), menunjukkan bahwa saham perusahaan mengalami underpricing pada hari pertama diperdagangkan di pasar sekunder. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian Aminul Amin (2007) dan Husnan (1996) dalam Prihartanto (2002) yang menyatakan bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal). Variabel Adj.Underpricing memiliki nilai minimum -0,39 atau 39% yang terdapat pada perusahaan Kresna Graha Sekurindo Tbk dan nilai maximum 1,30 atau 130% pada perusahaan Roda Panggon Harapan Tbk, dengan nilai rata-rata 0,29 atau 29% dan standar deviasi 0,33 atau 33%. Variabel Investment memiliki nilai minimum Rp. 7.800.000.000,- yang terdapat pada perusahaan Betonjaya Manunggal Tbk dan nilai maximum Rp. 4.169.116.875.000 pada perusahaan Bank Rakyat Indonesia Tbk, dengan nilai rata-rata Rp.261.332.773.306 dan standar deviasi Rp. 651.524.794.165 . Oleh karena variabel firm size merupakan variabel dummy (kategori), maka tidak perlu dilakukan deskripsi statistik hanya perlu dibuat tabel frekuensi. Frekuensi variabel firm size dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Frekuensi variabel firm size Valid Perusahaan Kecil Perusahaan Besar Total Sumber : Output SPSS Frequency 59 25 84 Percent 70.2 29.8 100.0 Valid Percent 70.2 29.8 100.0 Cumulative Percent 70.2 100.0 Tabel 2 menggambarkan bahwa perusahaan kecil tercatat sebanyak 59 perusahaan atau 70,2% dari total perusahaan yang dijadikan sampel, sedangkan perusahaan besar tercatat sebanyak 25 perusahaan atau 29,8% dari total perusahaan yang dijadikan sampel. H. Analisis Statistik 1. Hasil Pengujian Hipotesis 1 Pengujian underpricing, baik pada raw underpricing (model 1) maupun pada adjusted underpricing (model 2), yang menggunakan initial return (Rit) pada analisis deskriptif telah membuktikan hipotesis pertama yang menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder. Hal ini terlihat dari rata-rata initial return yang menunjukan nilai positif. Hasil pengujian underpricing tersebut didukung dengan pengujian one sample t test. Sebelum dilakukan pengujian one sample t test, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan distribusi data dengan kolmogorov-smirnov test pada model 1 maupun model 2. Pengujian normalitas tersebut terlihat pada tabel 4.3 dan 4.4. MODEL 1 Tabel 4.3. Uji Normalitas Initial Return N Normal Parameters Underpricing 84 .2907 .32950 .141 .141 -.117 1.296 .069 Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Sumber : Output SPSS Tabel 4.3 di atas menunjukan nilai signifikansi kolmogorov-smirnov test sebesar 0,069 yang lebih besar dari 0,05, hal ini berarti distribusi data initial return adalah normal. Oleh karena itu, pengujian one sample t test dapat dilakukan. MODEL 2 Tabel 4.4. Uji Normalitas Initial Return N Normal Parameters Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Sumber : Output SPSS Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Adj Underpricing 84 .2901 .33074 .144 .144 -.103 1.316 .063 Tabel 4.4 di atas menunjukan nilai signifikansi kolmogorovsmirnov test sebesar 0,063 yang lebih besar dari 0,05, hal ini berarti distribusi data initial return adalah normal. Oleh karena itu, pengujian one sample t test dapat dilakukan. Untuk pengujian one sample t test, terlebih dahulu dibuat hipotesis operasional. Adapun hipotesis tersebut sebagai berikut: H0 : Tidak terjadi underpricing pada hari pertama perdagangan di pasar sekunder. Ha : Terjadi underpricing pada hari pertama perdagangan di pasar sekunder. Ketentuan untuk pengambilan keputusan : Jika probabilitas (Sig-t) < 0,05, maka H ditolak 0 Jika probabilitas (Sig-t) > 0,05, maka H diterima 0 Jika benar nilai saham mengalami underpricing pada hari pertama perdagangan di bursa, maka rata-rata initial return (R ) adalah t positif. Sebaliknya jika nilai saham tidak mengalami underpricing, maka rata-rata initial return (R ) adalah negatif. t MODEL 1 Berdasarkan tabel 4.5, dapat diketahui bahwa signifikansi 0,00 < 0,05 sehingga Ho ditolak dah Ha diterima. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal). Tabel 4.5. One Sample t Test Initial Return Test Value = 0 Underpricing t 8.087 df 83 Sig. (2-tailed) .000 Mean Difference .29073 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .2192 .3622 Sumber : Output SPSS MODEL 2 Sama halnya dengan model 1, pada model 2 pun terbukti bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal). Hal ini dapat dilihat dari signifikansi 0,00 < 0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Tabel 4.6. One Sample t Test Initial Return Test Value = 0 Adj Underpricing t 8.040 df 83 Sig. (2-tailed) .000 Mean Difference .29012 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .2183 .3619 Sumber : Output SPSS 2. Hasil Pengujian Hipotesis 2,3,4,5, dan 6 1) Uji Normalitas Pengujian hipotesis 2,3,4,5, dan 6 menggunakan analisis regresi berganda untuk melihat pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaaan yang melakukan IPO. Sebelum dilakukan analisis regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data menggunakan kolmogorov smirnov test pada model 1 dan model 2. Distribusi data dikatakan normal jika nilai signifikansi kolmogorov smirnov > 0,05 dan dikatakan tidak normal jika signifikansi kolmogorov < 0,05. Pengujian normalitas tersebut terlihat pada tabel 4.7 dan 4.8 dengan hasil sebagai berikut: MODEL 1 Gambar 4.7. Uji Normalitas Model Regresi Model 1 N Normal Parameters Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Unstandardiz ed Residual 84 .0000000 .44116453 .119 .057 -.119 1.086 .189 Sumber : Ouput SPSS MODEL 2 Gambar 4.8. Uji Normalitas Model Regresi Model 2 N Normal Parameters Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Sumber : Ouput SPSS Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Unstandardiz ed Residual 84 .0000000 .44069652 .120 .064 -.120 1.101 .177 Nilai signifikansi pada model 1 dan 2 masing-masing 0,189 dan 0,177 lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti data yang digunakan pada model regresi terdistribusi normal. 2) Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik meliputi : multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi a. Uji Multikolinieritas Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Diagnosis untuk mengetahui adanya multikolinieritas adalah menentukan nilai Variance Inflaction Factor (VIF) dan Tolerance. Batas tolerance value adalah > 0,10 dan VIF < 10. Hasil perhitungan nilai tolerance dan VIF dapat dilihat pada tabel berikut. MODEL 1 Tabel 4.9. Hasil Uji Multikoleniaritas Variabel Independen Tolerance VIF Ownership retention 0.934 1.070 Underpricing 0.900 1.111 LnInvestment 0.589 1.699 0.583 1.714 Firm size Sumber : Ouput SPSS MODEL 2 Tabel 4.10. Hasil Uji Multikoleniaritas Variabel Independen Tolerance VIF Ownership retention 0.932 1.073 Underpricing 0.892 1.121 LnInvestment 0.586 1.706 0.584 1.714 Firm size Sumber : Ouput SPSS Dari tabel 4.9 dan 4.10 dapat diketahui bahwa pada model 1 dan model 2 nilai tolerance diatas 0,10 dan VIF dibawah 10, sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas. b. Uji Heteroskedastisitas Konsekuensi adanya heteroskedastisitas dalam model regresi adalah estimator yang diperoleh tidak efisien, baik pada sampel kecil maupun besar. Diagnosis adanya heteroskedastisitas dalam uji regresi dapat diidentifikasi dari pola scatter plot diagram. Dari grafik di bawah terlihat bahwa titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y dan tidak terlihat pola yang jelas (tidak ada pola tertentu dalam scatter plot diagram). Dengan demikian pada persamaan regresi linier berganda dalam penelitian ini tidak ada gejala atau tidak terjadi heteroskedastisitas. MODEL 1 Scatterplot Dependent Variable: Ln_Nilai Perusahaan Regression Studentized Residual 2 0 -2 -4 -2 -1 0 1 2 3 Regression Standardized Predicted Value Grafik 4.1. Uji Heteroskedastisitas Menggunakan Scatterplot MODEL 2 Begitu pula pada model 2, pada gambar 4.2 terlihat bahwa titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y dan tidak terlihat pola tertentu. Dengan demikian pada persamaan regresi linier berganda dalam model ini tidak ada gejala atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Scatterplot Dependent Variable: Ln_Nilai Perusahaan Regression Studentized Residual 2 0 -2 -4 -2 -1 0 1 2 3 Regression Standardized Predicted Value Grafik 4.2. Uji Heteroskedastisitas Menggunakan Scatterplot c. Uji Autokorelasi Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Untuk mendeteksi autokorelasi dalam penelitian ini maka digunakan uji Durbin Watson (DW). MODEL 1 Pada tabel 4.11 diketahui nilai Durbin Watson (d) sebesar 2,014, nilai ini akan dibandimgkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%, jumlah sample (n) 84 dan jumlah variabel independen (k) adalah 4. Maka dari tabel didapat nilai du = 1,74 dan 4 – du = 4 – 1,74 = 2,26. Oleh karena nilai du < d < 4-du atau 1,74 < 2,014 < 2,26 maka dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi baik posistif maupun negatif. Tabel 4.11. Uji Autokorelasi Model 1 N Durbin Watson 84 2,014 Sumber : Output SPSS du 1,74 4-du 2,26 MODEL 2 Pada tabel 4.12 diketahui pada model 2 nilai Durbin Watson (d) tida berbeda jauh dengan model 1 yaitu sebesar 2,017, nilai ini akan dibandimgkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%, jumlah sampel (n) 84 dan jumlah variabel independen (k) adalah 4. Maka dari tabel didapat nilai du = 1,74 dan 4 – du = 4 – 1,74 = 2,26. Oleh karena nilai du < d < 4-du atau 1,74 < 2,017 < 2,26 maka dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi baik positif maupun negatif. Tabel 4.12. Uji Autokorelasi Model 2 N Durbin Watson 84 2,017 Sumber : Ouput SPSS du 1,74 4-du 2,26 3) Uji Signifikansi a. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) Uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen yang terdiri dari ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia secara parsial. MODEL 1 Tabel 4.13. Hasil Uji-t Model 1 Variabel Ownership retention Undepricing LnInvestment Firm size t-hitung t-tabel Sig. 7,802 1,990 0,000 8,018 22,057 1,104 0,000 1,990 0,000 1,990 0,273 1,990 Hasil H ditolak o H ditolak o H ditolak o H diterima o Sumber : Output SPSS Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), ownership retention mempunyai t-hitung 7,802 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H 2 diterima yang berarti terdapat pengaruh ownership retention terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), underpricing mempunyai t-hitung 8,018 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang 3 berarti terdapat pengaruh underpricing terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), investment mempunyai t-hitung 22,057 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang berarti 4 terdapat pengaruh investment terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), firm size mempunyai t-hitung 1,104 < t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,273 lebih besar dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H ditolak yang berarti 5 tidak terdapat pengaruh firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . MODEL 2 Tabel 4.14. Hasil Uji-t Model 2 Variabel Ownership retention t-hitung t-tabel Sig. 7,858 1,990 0,000 Undepricing 8,037 1,990 0,000 LnInvestment 22,150 1,990 0,000 Firm size 1,074 1,990 0,286 Hasil H ditolak o H ditolak o H ditolak o H diterima o Sumber : Output SPSS Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), ownership retention mempunyai t-hitung 7,858 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H2 diterima yang berarti terdapat pengaruh ownership retention terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), underpricing mempunyai t-hitung 8,037 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang 3 berarti terdapat pengaruh underpricing terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), investment mempunyai t-hitung 22,150 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang berarti 4 terdapat pengaruh investment terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%), firm size mempunyai t-hitung 1,074 < t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t 0,286 lebih besar dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H ditolak yang berarti 5 tidak terdapat pengaruh firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia . Berdasarkan uji-t diketahui bahwa ownership retention pada model 1 maupun model 2 berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Tatang A Gumanti (2004) dan Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) yang menunjukkan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan. Proporsi kepemilikan saham yang ditahan oleh pemilik saham lama menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan pemegang saham lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan manajemen tidak akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan bila mereka tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi kepemilikan yang ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan sebagai factor yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan IPO (Helen dan Sulistio : 2005). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Leland dan Pyle (1977) dalam Gumanti (2004) yang menyatakan bahwa ownership retention dapat dijadikan sebagai kualitas dari sebuah IPO. Akan tetapi hasil ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Gumanti (2000) yang menyimpulkan bahwa ternyata nilai perusahaan berhubungan negatif dengan tingkat ownership retention. Berdasarkan uji-t diketahui bahwa Underpricing pada model maupun model 2 berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) yang menyatakan bahwa underpricing terbukti mempengaruhi nilai perusahaan secara positif dan signifikan. Hal ini dikarenakan investor menanggap bahwa hanya perusahaan yang berkualitas baik yang dapat menutupi kerugian akibat underpricing. Allen dan Faulhaber (1989) dalam Tatang A Gumanti (2004) menyatakan teori tentang adanya hubungan positif antara nilai perusahaan dan besarnya underpricing. Hal ini sesuai dengan signaling theory yang menyatakan bahwa perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan sinyal tentang tipe dan kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara peurusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari pengiriman sinyal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. Hasil penelitian ini tidak mendukung temuan dari Tatang A Gumanti (2004) bahwa underpricing berhubungan secara negatif dengan nilai perusahaan. Berdasarkan uji-t diketahui bahwa investment pada model 1 maupun model 2 berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung temuan dari Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) ; Eddy Suranta dan Pranata Puspa Midiastuty (2003) yang menyatakan bahwa investment terbukti mempengaruhi nilai perusahaan secara positif dan signifikan. IPO disinyalir merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendanai proyek investasi. Proceeds yang diperoleh dari saham yang ditawarkan ke publik disinyalir digunakan perusahaan untuk investasi. Dengan semakin besarnya investasi maka diharapkan prospek perusahaan di masa mendatang membaik. Sehingga akan meningkatkan harga saham sebagai proksi peningkatan nilai perusahaan. Berdasarkan uji-t diketahui bahwa firm size pada model 1 maupun pada model model 2 tidak mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan IPO. Hasil yang didapat dari penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko (2007) ; Sujoko dan Ugy Soebiantoro (2007) yang membuktikan bahwa firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa firm size tidak dijadikan sinyal bagi investor dalam memprediksikan nilai perusahaan yang melakukan IPO. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan sampel, perbedaan kriteria penggolongan skala ukuran perusahaan, dan perbedaan variabel yang digunakan sebagai proksi firm size. Firm size dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar. Dalam penelitian ini, proksi yang digunakan adalah total aktiva. Diantara variabel-variabel yang diduga mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI, variabel yang paling dominan mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan IPO dalam penelitian ini adalah investment dengan nilai t statistic pada model 1 sebesar 22,057 dan pada model 2 sebesar 22,150. Apabila dikaji melalui signaling theory, hasil penelitian ini mendukung hal tersebut. Proceed IPO disinyalir untuk membiayai proyek investasi, pengeluaran modal perusahaan tampak sangat penting dalam upaya meningkatkan nilai perusahaan. Karena jenis investasi tersebut akan memberikan sinyal kepada investor tentang pertumbuhan pendapatan perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang, dan mampu meningkatkan nilai pasar perusahaan yang diproksi melalui harga saham (Sri Hasnawati : 2005) b. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen yang terdiri dari ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia secara simultan. MODEL 1 Berdasarkan analisis data diketahui F-hitung sebesar 221,865 lebih besar dari F-tabel sebesar 2,487 dan nilai signifikansi F sebesar 0,000 lebih kecil dari (α) = 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan H diterima yang 6 berarti variabel independen yang terdiri ownership retention, underpricing, investment, dan firm size berpengaruh secara simultan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. Tabel 4.15. Uji Signifikansi Simultan Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 181.468 16.154 197.622 df 4 79 83 Mean Square 45.367 .204 F 221.865 Sig. .000 F 222.378 Sig. .000 Sumber : Ouput SPSS MODEL 2 Tabel 4.16. Uji Signifikansi Simultan Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 181.502 16.120 197.622 df 4 79 83 Mean Square 45.376 .204 Sumber : Ouput SPSS Berdasarkan analisis data diketahui F-hitung sebesar 222,378 lebih besar dari F-tabel sebesar 2,487 dan nilai signifikansi F sebesar 0,000 lebih kecil dari (α) = 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan H diterima yang 6 berarti variabel independen yang terdiri ownership retention, underpricing, investment, dan firm size berpengaruh secara simultan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. 4) Analisis Regresi Linier Berganda Adapun hasil regresi linier berganda pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia adalah sebagai berikut: MODEL 1 Tabel 4.17. Hasil Analisis Regresi Model 1 Variabel (Constant) Ownership Retention Underpricing Investment Firm Size Sumber : Data diolah Beta 0,915 3,848 2,273 0,901 0,156 t-hitung 0,832 7,802 8,018 22,057 1,104 Sig. 0,408 0,000 0,000 0,000 0,273 Berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) diketahui bahwa hanya variabel ownership retention, underpricing, dan investment, sedangkan firm size tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Sehingga suatu persamaan regresi untuk nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI pada model 1 dapat dirumuskan sebagai berikut: NP = 0,915 + 3,848 OWN + 2,273 UP + 0,901 INV Keterangan: NP : Variabel dependen Nilai Perusahaan yang melakukan IPO di BEI a : Konstanta OWN : Variabel independen ownership retention UP : Variabel independen underpricing INV : Variabel independen investment OWN, UP, INV : Koefisien regresi variabel independen Koefisien-koefisien persamaan regresi linier berganda di atas dapat diartikan sebagai berikut: a. Tanda pada koefisien regresi mencerminkan hubungan antara variabel bebas (ownership retention, underpricing, investment, dan firm size) dengan variabel terikat (nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia). Tanda (+) berarti terdapat hubungan yang positif atau searah antara variabel independen dengan variabel dependen. Semakin meningkat nilai variabel independen (ownership retention, underpricing, dan investment) maka semakin meningkat pula nilai variabel dependen (nilai perusahaan yang melakukan IPO), begitu juga sebaliknya. b. Koefisien regresi untuk variabel ownership retention (OWN) sebesar 3,848 menunjukkan bahwa jika variabel ownership retention (OWN) meningkat 1 % maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 3,848 %, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan. c. Koefisien regresi untuk variabel underpricing (UP) sebesar 2,273 menunjukkan bahwa jika variabel underpricing (UP) meningkat 1% maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 2,273 %, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan. d. Koefisien regresi variabel investment (INV) sebesar 0,156 menunjukkan bahwa jika variabel investment (INV) meningkat 1% maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 0,156 %, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan. MODEL 2 Tabel 4.18. Hasil Analisis Regresi Model 2 Variabel (Constant) Ownership Retention Underpricing Investment Firm Size Sumber : Output SPSS Beta 0,778 3,876 1,275 0,905 0,152 t-hitung 0,706 7,858 8,037 22,150 1,074 Sig. 0,483 0,000 0,000 0,000 0,286 Berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) diketahui bahwa hanya variabel ownership retention, underpricing, dan investment, sedangkan firm size tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Sehingga suatu persamaan regresi untuk nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI pada model 2 dapat dirumuskan sebagai berikut: NP = 0,778 + 3,876 OWN + 1,275 AUP + 0,905 INV Keterangan: NP : Variabel dependen Nilai Perusahaan yang melakukan IPO di BEI a : Konstanta OWN : Variabel independen ownership retention AUP : Variabel independen adjusted underpricing INV : Variabel independen investment OWN, AUP, INV : Koefisien regresi variabel independen Koefisien-koefisien persamaan regresi linier berganda di atas dapat diartikan sebagai berikut: a. Tanda pada koefisien regresi mencerminkan hubungan antara variabel bebas (ownership retention, underpricing, dan investment) dengan variabel terikat (nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia). Tanda (+) berarti terdapat hubungan yang positif atau searah antara variabel independen dengan variabel dependen. Semakin meningkat nilai variabel independen (ownership retention, underpricing, dan investment) maka semakin meningkat pula nilai variabel dependen (nilai perusahaan yang melakukan IPO), begitu juga sebaliknya. b. Koefisien regresi untuk variabel ownership retention (OWN) sebesar 3,876 menunjukkan bahwa jika variabel ownership retention (OWN) meningkat 1 % maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 3,876 %, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan. c. Koefisien regresi untuk variabel underpricing (AUP) sebesar 1,275 menunjukkan bahwa jika variabel underpricing (UP) meningkat 1% maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 1,275 %, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan. d. Koefisien regresi variabel investment (INV) sebesar 0,905 menunjukkan bahwa jika variabel investment (INV) meningkat 1% maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 0,905%, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan. 3. Koefisien Determinasi ( Adj R Square) Melalui pengujian simultan dapat diketahui besarnya koefisien 2 2 determinasi (Adj R ). Dari koefisien determinasi (Adj R ) dapat diketahui derajat ketepatan dari analisis regresi linier berganda menunjukkan besarnya variasi sumbangan seluruh variabel bebas terhadap variabel terikatnya. MODEL 1 Besarnya nilai pengaruh variabel bebas ditunjukkan oleh nilai (Adj 2 R ) = 0,914 yaitu persentase pengaruh variabel adalah ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sebesar 91,4%. Variabel lain diluar variabel bebas tersebut yang menjelaskan variasi perubahan nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia secara menyeluruh adalah 8,6%. Tabel 4.19. Koefisien Determinasi Model 1 Model 1 R .958 R Square .918 Adjusted R Square .914 Std. Error of the Estimate .45220 DurbinWatson 2.014 Sumber : Ouput SPSS MODEL 2 Besarnya nilai pengaruh variabel bebas ditunjukkan oleh nilai (Adj 2 R ) = 0,914 yaitu persentase pengaruh variabel adalah ownership retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sebesar 91,4%. Variabel lain diluar variabel bebas tersebut yang menjelaskan variasi perubahan nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia secara menyeluruh adalah 8,6%. Tabel 4.20. Koefisien Determinasi Model 2 Model 1 R .958 R Square .918 Adjusted R Square .914 Std. Error of the Estimate .45172 DurbinWatson 2.017 Sumber : Ouput SPSS Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara penggunaan tingkat underpricing yang belum disesuaikan (raw underpricing) dengan timgkat underpricing yang sudah disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing). Hal ini ditunjukan dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara hasil persamaan regresi model 1 dan model 2. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian Gumanti (2004) dan Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007). BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh ownership retention, underpricing, investment dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode penelitian tahun 2001 sampai tahun 2007 dengan menggunakan 84 sampel. Adapun kesimpulan penelitian ini sebagai berikut: 1. Hasil pengujian terhadap underpricing membuktikan bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder, baik underpricing yang belum disesuaikan dengan return pasar maupun yang sudah disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing) . Hal ini dibuktikan oleh hasil one sample t test yang signifikan pada tingkat 5% pada kedua model. 2. Ownership retention, Underpricing, dan Investment berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI baik pada model pertama maupun pada model kedua. 3. Firm Size tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI baik pada model pertama maupun pada model kedua. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan proksi untuk firm size karena firm size dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar sedangkan dalam penelitian ini, proksi yang digunakan adalah total aktiva. Selain itu bisa juga disebabkan oleh perbedaan kriteria penggolongan skala ukuran perusahaan, dan perbedaan jumlah sampel.. 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara penggunaan tingkat underpricing yang belum disesuaikan (raw underpricing) dengan timgkat underpricing yang sudah disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing). Hal ini ditunjukan dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara hasil persamaan regresi model 1 dan model 2. B. IMPLIKASI Tentunya banyak hal yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini sehingga membuat hasil penelitian ini tidak sempurana. Namun penulis berharap hasil penelitian ini dapat berimplikasi kepada beberapa pihak, diantaranya: 1. Implikasi Bagi Emiten Banyak cara yang yang dapat dilakukan emiten untuk menarik investor. Tentu saja dengan cara menunjukan sinyal-sinyal bahwa perusahaan mereka berkualitas baik. Ownership retention, underpricing, investment, dan firm size dapat dijadikan pertimbangan untuk dapat menunjukan bahwa perusahaan mereka mempunyai prospek yang baik di masa depan yaitu memiliki nilai perusahaan yang tinggi, yang pada akhirnya dapat mensejahterakan pemegang saham. Sehingga, investor tertarik untuk berinvestasi. 2. Implikasi Bagi Investor Hasil Penelitian ini dapat dijadikan informasi tambahan yang bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan investasi di pasar modal, khususnya di pasar perdana. 3. Implikasi Bagi Penelitian Selanjutnya Disarankan untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dapat membedakan perusahaan sesuai dengan sektor industrinya karena secara teoritis karakteristik setiap sektor industri berbeda. Selain itu, disarankan pula menambah variabel lainnya yang diduga mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan IPO guna hasil yang lebih baik. 4. Implikasi Bagi Pembaca Penelitian ini memberikan kontribusi pengujian ulang terhadap penelitian terdahulu mengenai nilai perusahaan yang melakukan IPO, sehingga diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dalam bidang pasar modal khususnya tentang penawaran saham perdana. DAFTAR PUSTAKA Almilia, Luciana S dan Silvy, Meliza. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Perusahaan Pasca IPO Dengan Menggunakan Teknik Analisis Multinomial Logit”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.18. No.4. Oktober 2003. ISSN:0215-2487. Alwi, Iskandar Z. ”Pasar Modal, Teori dan Aplikasi”. Cetakan Pertama.Yayasan Pancur Siwah, Jakarta, 2003. Amin, Aminul. ”Pendeteksian Earning Management, Underpricing, dan Pengukuran Kinerja Saham Perusahaan yang Melakukan Kebijakan Initial Public Offering (IPO) di Indonesia”. STIE Malangkucewa. Simposium Nasional Akuntansi X. UNHAS Makassar 26-28 Juli 2007. Ary Suta, I Putu Gede. “Menuju Pasar Modal Modern”. Yayasan SAD SATRIA BAKTI. Cetakan Pertama. Jakarta, 2000. Darmadji, Tjiptono dan M. Fakhrudin, Hendy. “Pasar Modal Di Indonesia”. Edisi 2. Salemba Empat, Jakarta, 2006. Firdaus NH, Dr. Muhammad, et.all. “Sistem Keuangan dan Investasi Syariah” . Renaisan, Jakarta, 2005. Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001. Gumanti, Tatang A. “Hubungan Antara Nilai Perusahaan Dan Informasi Dalam Prospektus Pada Perusahaan Yang Baru Go Public Di Bursa Efek Jakarta (1991-1997)”. Jurnal Managerial Vol. 1 No. 1 2000. . “Hubungan Antara Nilai Perusahaan, Undrpricing, Dan Ownership Retention Pada Perusahaan Yang Baru Go Public Di Bursa Efek Jakarta (1991-1996)”. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Vol. X No. 2, September 2004. Hal 187-199. . “Underpricing dan Biaya-biaya di Sekitar Initial Public Offering”. Wahana Vol.5. No.2. Agustus 2002. Hal. 135-147. . “Strategi Penetapan Harga Dalam Penawaran Saham Perdana”. Wahana. Vol.6. No.1.Februari 2003. Hasnawati, Sri. “ Implikasi Keputusan Investasi, Pendanaan, Dan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Publik Di BEJ”. Usahawan No.9. September 2005. Helen dan Sulistio. “Pengaruh Informasi Akuntasi dan Non Akuntansi Terhadap Initial Return : Studi Pada Perusahaan Yang Melakukan Initial Public Offering Di Bursa Efek Jakarta”. Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo. 15-16 September 2005. Husnan, MBA, Dr. Suad. “Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas”. Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1998. Khomsiyah. “Reputasi Penjamin Emisi Saham, Reputasi Auditor dan Tingkat Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana Di Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol.7. No. 2. Agustus 2005. Hal 168-189. Margaretha, M.E., Dra. Farah. “Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan”, Grafindo, Jakarta, 2005. Mayur, Manas, Kumar, Manoj dan Mahakud, Jitendra. “Relationship between the Changes in Ownership and Performance of Indian Firms around IPO: A Panel Data Analysis”. MPRA Paper No. 6192, posted 09. December 2007. Diakses tanggal 20 Maret 2008, dari http://mpra.ub.unimuenchen.de Nachrawi, D.N., dan Usman, Hardius. “Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan”, Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Prasetiadi, Rudianto. “Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan : Penelitian Pada Perusahaan-Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEJ Tahun 2005”, Thesis S2 UI, Depok, 2007. Ronni B, Sautma. “Problema Anomali Dalam Initial Public Offering (IPO)”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol.5. No.2. September 2003. Diakses tanggal 15 Maret 2008, dari http://puslit.petra.ac.id Santosa, Almira, dan Indrawati, Titik. “ Pengaruh Ownership Retention, Underpricing, dan Invesment Terhadap Nilai Perusahaan Yang IPO Di Bursa Efek Jakarta”. DeReMa Jurnal Manajemen. Vol. 2 No. 2 Mei 2007. Hal 127-142. Siamat, Dahlan. “Manajemen Lembaga Keuangan” . Edisi Keempat, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Soliha, Euis dan Taswan. “Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai Perusahaan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. STIE Stikubank. Semarang. September 2002. Sudarmadji, A. Murdoko dan Sularto, Lana. “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, Dan Tipe Kepemilikan Perusahaan Terhadap Luas Voluntary DisclosureLaporan Keuangan Tahunan”. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek, dan Sipil) Gunadarma. Vol.2. Depok. 21-22 Agustus 2007. Sudiyono. “Analisis Kinerja Jangka Panjang Saham Perdana: Pengamatan di BEJ Tahun 1993-1997”. Tesis S2 Universitas Indonesia, Jakarta, 1999. Sujoko dan Soebiantoro, Ugy. “ Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham, Leverage, Faktor Intern Dan Faktor Ekstern Terhadap Nilai Perusahaan”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol.9. No.1. Maret 2007 : 41-47. Diakses tanggal 13 April 2008, dari http://puslit.petra.ac.id Sumarno, Budhi. “Ketidakpastian ExAnte, Sinyal Positif, Dan Underpricing Saham Pada Penawran Perdana Di Indonesia". Tesis S2 UGM. Yogyakarta. 2002. Suranta, Eddy dan Midiastuty. Pranata P. “Analisis Hubungan Struktur Kepemilikan Manajerial, Nilai Perusahaan dan Investasi dengan Model Persamaan Linear Simultan”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.6 No.1, Januari 2003. Sutanto, Intan Imam. “Indikasi Manajemen Laba Menjelang IPO Oleh Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Di BEJ”. Thesis S2 UGM., Yogyakarta, 2000. Triani, Apriliani dan Nikmah. “ Reputasi Penjamin Emisi, Reputasi Auditor, Presentase Penjamin Emisi, Ukuran Perusahaan, dan Fenomena Underpricing: Studi Empiris Pada Bursa Efek Jakarta”. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. Padang. 23-26 Agustus 2006. Tritmoko, Drs. Hanung dan Rachmawati, Andri. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Laba Dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi Unhas Makassar, Makassar, 26-28 Juli 2007. Widodo, Y. Dwi. “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Return Awal Saham Dan Return 15 Hari Setelah Initial Public Offering (IPO)”, Thesis S2 UI, Depok, 2005. Wijaya, Chandra dan Asnawi, S Kelana. “Metodologi Penelitian Keuangan Prosedur, Ide, dan Kontrol”. Graha Ilmu.Yogyakarta, 2006. www. ipo-underpricing.com