pengaruh ownership retention, underpricing

advertisement
PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING,
INVESTMENT, DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Oleh
Titi Khairunnisa
(104081002596)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008/1429 H
PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING,
INVESTMENT DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
YANG MELAKUKAN IPO
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana
Ekonomi
Oleh
Titi Khairunnisa
NIM: 104081002596
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM
Titi Dewi Warninda. SE., M Si
NIP. 150317955
NIP. 150 368 746
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008/1429H
PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING,
INVESTMENT DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
YANG MELAKUKAN IPO
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana
Ekonomi
Oleh
Titi Khairunnisa
NIM: 104081002596
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM
Titi Dewi Warninda. SE., M Si
NIP. 150317955
NIP. 150 368 746
Penguji Ahli
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS
NIP. 131 474 891
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008/1429H
Hari ini Selasa Tanggal 10 Bulan Juni Tahun Dua Ribu Delapan telah dilakukan
Ujian Komprehensif atas nama Titi Khairunnisa NIM: 104081002596 dengan
judul Skripsi “PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERPRICING,
INVESTMENT DAN FIRM SIZE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)”.
Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka
skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Juni 2008
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM
Herni Ali , SE, MM
Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS
Penguji Ahli
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama
: Titi Khairunnisa
2. Tempat & Tgl. Lahir : Serang, 31 Januari 1986
3. Alamat
: Komplek Cigadung Mandiri Blok i No.6 RT 01/
RW 10 Kecamatan Karang Tanjung, Kelurahan
Cigadung, Kabupaten Pandeglang, Banten 42254
4. Telepon
: 085693397741
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SDN Catihan Pandeglang
: 1992 s/d 1998
2. MTs Assa’adah Serang
: 1998 s/d 2001
3. MA Negeri 2 Serang
: 2001 s/d 2004
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
: 2004 s/d 2008
III. PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Kursus Komputer di Lembaga Komputer Stapkom – Serang
: 2003
2. Kursus Bahasa Inggris di Lembaga bahasa LIA – Ciputat
: 2005
s/d 2006
3. Pelatihan Operasional Perbankan Fakultas Ekonomi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Pelatihan Zahir Accounting
: 2006
: 2007
IV. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Div. Keuangan Organisasi Kopma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006
2. Kabid Keuangan Kopma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
: 2007
3. Pengawas Bid. Keuangan Kopma UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2008
ABSTRACT
This study aims to analyze signaling hypothesis in initial public offering
context. Its predicts whether ownership retention, the level of underpricing, the
level of investment, and firm size have a positif influence to value of the firm.
This study examines whether the stock price of the company executing
IPO has a tendency of underpricing in a secondary market using one sample t test.
This study also examines the influence of ownership retention, the level of
underpricing, the level of investment, and firm size toward value of the firm using
an ordinary least square regression (OLS).
Using sample of 84 firms that go public at Indonesia Stock Exchange
(IDX) for periods of 2001-2007, the result of one sample t test show that the stock
price of the company executing IPO is underpricing. The result of an ordinary
least square regression show that ownership retention, the level of underpricing,
and the level of investment have a positif influence to value of the firm. While
firm size, has no significant influence to value of the firm. Its contrast to the
expectation which predicts a significant influence to value of the firm.
This study also finds that there is no significant difference between raw
return or adjusted return as the underpricing’s measurement.
Keywords: Initial Public Offering, Ownership Retention, Underpricing,
Investment, Firm Size, Value of The Firm.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang signaling hypothesis
(teori sinyal) dalam konteks penawaran saham perdana. Diduga bahwa ownership
retention, underpricing, investment, dan firm size mempengaruhi nilai perusahaan
yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pengujian dilakukan terhadap 84 sampel perusahaan yang melakukan IPO
di BEI pada tahun 2001-2007 dengan menggunakan one sample t test untuk
membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan IPO mengalami underpricing.
Penelitian ini juga menguji pengaruh ownership retention, underpricing,
investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI
dengan menggunakan regresi linier berganda.
Hasil uji one sample t test menunjukkan bahwa terjadi underpricing pada
saham perusahaan yang melakukan IPO di BEI. Hasil uji regresi linier berganda
menunjukkan bahwa ownership retention, underpricing, dan investment
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di BEI sedangkan firm size tidak berpengaruh terhadap nilai
perusahaan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara penggunaan pengukuran tingkat underpricing yang belum
disesuaikan dengan return pasar (raw underpricing) dengan underpricing yang
telah disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing).
Kata Kunci : Penawaran Umum Perdana, Ownership Retention, Underpricing,
Investment, Firm Size, Nilai Perusahaan
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji serta syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan, kemudahan, kesabaran, dan waktu kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Rasulullah SAW
junjungan umat, semoga kita sebagai umatnya menjadi bagian dari orang yang
mendapat syafaat darinya.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Ownership Retention, Underpricing,
Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan yang Melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia (BEI)” disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
akademis untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan manajemen Fakultas
Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai manusia biasa yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, tentu
saja banyak pihak yang dengan tulus membantu selama penyusunan skripsi ini. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Faisal Badroen, MBA. Selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM dan Ibu Titi Dewi Warninda, SE., M.Si
Selaku
dosen
pembimbing
skripsi
yang
telah
memberikan waktu,
membimbing, dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.
3. Seluruh dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pelajaran hidup yang telah diberikan
kepada peneliti selama masa studi.
4. Ibu dan Abah yang selalu memberikan do’a, dukungan, dan kasih sayang
kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat menjadi tanda terima kasih dan
baktiku atas segala apa yang telah ibu dan abah berikan demi kebaikan dan
keberhasilanku. You are really the great parents…...I’ll love you all the way.
5. Kakak-kakak serta adik-adikku, terima kasih atas segala motivasi, nasehat,
dan keceriaan yang telah kalian berikan selama ini.
6. Habibie, Thank 4 everything u do n you’re the one that Allah has sent to me..
7. Untuk sahabat-sahabatku : Santi, Lia, Harni, Ceu2, Miftah, Dodo, Rahman,
Vandy, Apri, dan Hendro, kalian semua membuatku semakin mengerti apa
arti persahabatan.
8. Anak-anak Manajemen E angkatan 2004 & Kopma UIN serta semua pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih ’n luv u all...
Segala daya upaya serta kemampuan penulis curahkan sepenuhnya demi
terselesaikan skripsi ini, namun semua itu tidak lepas dari segala kekurangan yang
ada. Akhir kata penulis berharap agar apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat
memberikan informasi dan bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
Wassalamualaikum wr.wb
Jakarta, 15 September 2008
Titi Khairunnisa
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan............................................................................................ii
Daftar Riwayat Hidup..........................................................................................v
Abstract................................................................................................................vi
Abstrak................................................................................................................vii
Kata Pengantar………………...……………………………………….……..viii
Daftar Tabel……………………………...…………………………….……....xii
Daftar Gambar..................................................................................................xiv
Daftar Grafik......................................................................................................xv
Daftar Lampiran...............................................................................................xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian..............................................................1
B. Perumusan Masalah……………………………………………..11
C. Tujuan Penelitian………………………………………………..11
D. Manfaat Penelitian………………………………………………11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Initial Public Offering (IPO)……………….………….…….…13
B. Nilai Perusahaan…………………………..………….………...26
C. Ownership Retention……………………………….……..……27
D. Firm Size…………………………..……………………….…...28
E. Signaling Theory……………………………..…………….…..29
F.
Investment………………………………………………...……29
G. Underpricing.................................................................................35
1. Hubungan Underpricing Dengan Nilai Perusahaan................36
2. Teori-Teori Tentang Underpricing.........................................38
H. Penelitian Terdahulu.....................................................................43
I.
Kerangka Pemikiran......................................................................46
J.
Hipotesis.......................................................................................51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian………………………………...……..52
B. Metode Penentuan Sampel……………………………...……….52
C. Metode Pengumpulan Data………………………………...……56
D. Metode Analisis…………………………………………...…….57
E. Operasional Variabel Penelitian....................................................65
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Bursa Efek di Indonesia.....................71
B. Analisis Deskriptif……………………………………………......81
C. Analisis Statistik……………………………………………….…84
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan........................................................................................108
B. Implikasi............................................................................................109
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................111
LAMPIRAN.......................................................................................................114
DAFTAR TABEL
No.
Keterangan
Hal.
3.1
: Proses Pemilihan Sampel........................................................................53
3.2
: Daftar Sampel Perusahaan yang Melakukan IPO Tahun 2001 s/d 2007
Di Bursa Efek Indonesia (BEI)..............................................................54
3.3
: Kriteria Keputusan Durbin Watson........................................................61
4.1
: Statistik Deskriptif .................................................................................81
4.2
: Frekuensi Firm Size.................................................................................83
4.3
: Uji Normalitas Initial Return Model 1....................................................85
4.4
: Uji Normalitas Initial Return Model 2....................................................85
4.5
: One Sample t Test Inial Return Model 1................................................87
4.6
: One Sample t Test Inial Return Model 1................................................87
4.7
: Uji Normalitas Regresi Model 1.............................................................88
4.8
: Uji Normalitas Regresi Model 2.............................................................89
4.9
: Uji Multikolinearitas Model 1.................................................................90
4.10
: Uji Multikolinearitas Model 1.................................................................90
4.11
: Uji Autokorelasi Model 1........................................................................93
4.12
: Uji Autokorelasi Model 2........................................................................94
4.13
: Hasil Uji t Model 1..................................................................................94
4.14
: Hasil Uji t Model 2..................................................................................95
4.15
: Hasil Uji F Model 1...............................................................................100
4.16
: Hasil Uji F Model 2...............................................................................101
4.17
: Hasil Analisis Regresi Model 1.............................................................101
No.
Keterangan
Hal.
4.18
: Hasil Analisis Regresi Model 2.............................................................103
4.19
: Koefisien Determinasi Model 1.............................................................106
4.20
: Koefisien Determinasi Model 2.............................................................106
DAFTAR GAMBAR
No.
Keterangan
Hal.
2.1
: Skema Tahapan-Tahapan Dalam IPO………………………………… 26
2.2
: Kerangka Pemikiran Untuk Model 1......................................................49
2.3
: Kerangka Pemikiran Untuk Model 2......................................................50
DAFTAR GRAFIK
No.
Keterangan
Hal.
4.1
: Scaterplot Heteroskedastisitas Model 1..................................................91
4.2
: Scaterplot Heteroskedastisitas Model 2..................................................92
DAFTAR LAMPIRAN
No
1
Keterangan
Hal.
: Data Variabel Nilai Perusahaan, Ownership Retention,
Raw Underpricing, Adjusted Underpricing, dan Investment……..….....114
2
: Data Perusahaan yang Memiliki Initial Return Positif (Mengalami
Underpricing)………………………………………………..……..…...117
3
: Variabel Dummy Firm Size……………………………………….…...119
4
: Underpricing…………………………………………………………....121
5
: Adjusted Underpricing………………………………………….…...…122
6
: Uji Asumsi Klasik Regresi Ownership Retention, Underpricing,
Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan Yang
Melakukan IPO (Model 1)……………………………………….……123
7
: Uji Asumsi Klasik Regresi Ownership Retention, Underpricing,
Investment, dan Firm Size Terhadap Nilai Perusahaan Yang
Melakukan IPO (Model 2)……………………………………….…...125
8
: Regresi Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size
Terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO (Model 1)……..….127
9
: Regresi Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size
Terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO (Model 2)……..….129
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Setiap perusahaan yang berkembang (grow up) akan memerlukan
dana untuk ekspansi dan/atau keperluan investasi baru. Salah satu
alternatif sumber permodalan yang dipilih perusahaan yaitu melakukan go
public. Proses go public ini melalui initial public offering (IPO),
merupakan penawaran saham perdana dari emiten kepada investor dalam
jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan sebelum saham tersebut
diperdagangkan di pasar sekunder (Khomsiyah, 2005).
Keputusan Perusahaan untuk menjadi perusahaan publik (go
public) merupakan suatu keputusan yang tidak tanpa perhitungan karena
dengan go public perusahaan dihadapkan pada beberapa konsekuensi
langsung baik yang bersifat menguntungkan (benefit) maupun yang
merugikan (cost). Salah satu alasan utama perusahaan untuk go public
adalah adanya dorongan atas kebutuhan modal (capital need). Perusahaan
yang go public biasanya adalah perusahaan yang mengalami pertumbuhan
yang cukup pesat.
Alasan lain dari keputusan go public adalah kemungkinan akses
kepada pihak luar. Dengan go public, suatu perusahaan akan otomatis
lebih dikenal oleh khalayak ramai (publik). Apabila sebelumnya akses
perusahaan mungkin terbatas pada pihak-pihak tertentu saja, maka go
public akan semakin memungkinkan perusahaan untuk bersosialisasi
dengan lebih baik.
Keuntungan bagi para investor dari adanya IPO adalah mereka
dapat memilih efek dalam upaya mendiversifikasikan portofolio efeknya,
sehingga jika menginvestasikan dananya ke berbagai perusahaan yang
dianggap potensial bisa mendatangkan keuntungan baik berupa dividen
maupun capital gain.
Setiap perusahaan, memiliki tujuan untuk dapat memaksimalkan
nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang go public tercermin dalam harga
pasar saham perusahaan (Fama, 1978 ; Wrights & Ferris,1997; Walker,
2000 dalam Sri Hasnawati 2005). Harga saham digunakan sebagai proksi
nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga yang bersedia
dibayar oleh calon pembeli apabila investor ingin memiliki suatu
perusahaan. Jadi semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar
kemakmuran yang akan diterima pemilik perusahaan.
Para investor menilai bahwa nilai perusahaan yang akan go public,
tersirat dari beberapa sinyal yang melekat pada perusahaan tersebut. Untuk
itu, para pemilik perusahaan harus selalu berusaha menunjukan kepada
investor sinyal-sinyal yang menyiratkan bahwa nilai perusahan mereka
tinggi. Penilaian investor terhadap kondisi dan prospek perusahaan akan
menentukan besarnya dana yang dapat diakumulasi perusahaan (emiten)
dari pasar modal.
Bagi investor, harus diakui bahwa investasi saham di pasar perdana
secara teoritis lebih sulit dibandingkan dengan investasi pada saham yang
sudah go public. Hal ini terkait dengan keberadaan informasi untuk
keperluan analisis. Pada perusahaan yang sudah listed, informasi yang
terkait dengan perusahaan lebih mudah diperoleh karena memang
perusahaan memiliki kewajiban untuk menerbitkan atau melaporkan
segala aktifitasnya kepada publik. Perusahaan non publik tidak memiliki
kewajiban untuk menerbitkan atau melaporkan segala kegiatan yang
terjadi serta rencana yang akan dilakukan. Selain itu, ada kecenderungan
bahwa kinerja keuangan perusahaan yang akan go public tidak dapat
diketahui dengan mudah. Jadi, dalam banyak hal, informasi yang terkait
untuk keperluan analisis pada perusahaan pribadi (non public) lebih sulit
diakses.
Investor perlu mengetahui sinyal-sinyal apa saja yang dapat
menunjukkan bahwa prospek perusahaan tersebut baik di masa yang akan
datang sehingga dapat meminimalisasi ketidakpastian.
Bagi Issuer, penetapan pada harga berapa sebuah sekuritas (saham)
seharusnya ditawarkan kepada calon pembeli merupakan pekerjaan yang
tidak mudah, karena suatu kesalahan kecil dapat menyebabkan gagalnya
suatu IPO. Harga saham pada saat IPO ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara perusahaan emiten (issuer) dengan penjamin emisi
(underwriter). Penjamin emisi (underwriter) harus melakukan analisis
menyeluruh untuk dapat menyimpulkan bahwa harga yang ditetapkan
merupakan harga yang paling wajar. Perusahaan penerbit sekuritas (issuer)
menghadapi biaya potensial terhadap kesalahan dalam penetapan harga
sekuritas. Harga jual yang terlalu mahal akan menyebabkan sekuritas tidak
laku. Sebaliknya, harga yang terlalu murah akan menyebabkan perusahaan
menghadapi opportunity loss yang berdampak negatif pada tingkat
kesejahteraan pemilik lama.
Menurut
Husnan
(1996),
bahwa
di
Indonesia
terdapat
kecenderungan underpricing saat Initial Public Offering (IPO) yaitu harga
saham hari pertama di pasar sekunder lebih tinggi dari harga saham
penawaran perdananya (Prihartanto, 2002 dalam Apriliani Triani dan
Nikmah, 2006). Underpricing di satu sisi, merupakan keuntungan yang
diterima oleh investor di pasar perdana, bila mereka menjual saham, tetapi
sebaliknya,
merupakan kerugian potensial bagi perusahaan yang
melakukan penawaran saham (issuers), karena perusahaan issuers dinilai
lebih rendah dari kondisi yang sebenarnya sehingga potensi untuk meraup
dana lebih besar tidak dapat diraih. Para pemilik perusahaan menginginkan
agar dapat meminimalisir underpricing, karena terjadinya underpricing
akan menyebabkan transfer kemakmuran (wealth) dari pemilik kepada
para investor (Beatty, 1989 dalam Apriliani Triani dan Nikmah, 2006).
Hal yang sebaliknya dapat dikatakan terjadi pada adanya
overpricing, yaitu investor di pasar perdana mengalami kerugian karena
saham yang mereka beli di pasar perdana mengalami penurunan harga.
Sementara di sisi issuers, overpricing tidak dapat dikatakan sebagai
keuntungan, karena secara eksplisit memang tidak ada uang yang masuk
ke perusahaan. Dari sudut pandang issuers, tidak terjadinya perubahan
harga saham merupakan cermin dari ‘ketepatan’ dalam penentuan harga
penawaran, dengan catatan bahwa selama hari perdagangan pertama di
pasar ada perubahan harga, baik naik ataupun turun, dan ditutup dengan
harga awal, yaitu harga pada saat penawaran.
Guinness (1992) dalam Apriliani Triani dan Nikmah (2006)
menjelaskan
terjadinya
underpricing
karena
adanya
asymmetric
information antara perusahaan emiten dengan penjamin emisi dan antara
investor yang memiliki informasi tentang prospek perusahaan emiten
dengan investor yang tidak memiliki informasi prospek perusahaan
emiten. Informasi yang disajikan dalam prospektus memberikan gambaran
perusahaan emiten yang berguna bagi investor untuk membuat keputusan.
Adanya asymmetric information menyebabkan harga saham pada
penawaran perdana lebih rendah dari pada harga saham di pasar sekunder
(Cheung et.al., 1994 dalam Khomsiyah, 2005). Ibbotson (1991) dalam
Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) mengemukakan bahwa
asymmetric information pada saat IPO, underwriter memiliki informasi
penting yang lebih baik dari emiten. Perusahaan menggunakan
underpricing sebagai sinyal yang dapat dipercaya investor untuk menandai
kualitas perusahaan (Allen dan Faulhaber, 1988 dalam Almira Santosa dan
Titik Indrawati, 2007). Hal ini berarti bahwa perusahaan yang baik atau
bagus dapat memberikan sinyal tentang tipe dan kondisi perusahaannya
dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara
perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing
karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari
pengiriman sinyal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan
masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. Hal
tersebut serupa dengan yang dinyatakan Grinblat dan Hwang (1989) dalam
Budhi Sumarno (2002), bahwa untuk mengatasi asymmetric information,
issuer akan memberi sinyal akan nilai perusahaannya dengan cara
melakukan underpricing. Hal ini dikarenakan investor menganggap bahwa
hanya perusahaan yang berkualitas baik dapat menutupi kerugian akibat
underpricing.
Tatang A Gumanti (2004) melakukan penelitian tentang hubungan
antara nilai perusahaan, underpricing, dan ownership retention pada
perusahaan yang baru go public di BEJ yang hasil penelitiannya
menunjukan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif tetapi
tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan underpricing
berhubungan secara negatif dengan nilai perusahaan
Presentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik (insiders)
menunjukan adanya private information yang dimiliki pemilik (Balvers
et.al., 1988 dalam Khomsiyah, 2005). Entrepreneur (pemilik sebelum
perusahaan go public) akan tetap menginvestasikan pada perusahaannya
apabila mereka yakin akan prospek di masa mendatang. Informasi tingkat
kepemilikan saham oleh entrepreneur akan digunakan oleh investor
sebagai pertanda bahwa prospek perusahaannya baik. Semakin besar
tingkat kepemilikan yang ditahan (atau semakin kecil presentase saham
yang ditawarkan) akan memperkecil tingkat ketidakpastian di masa
mendatang berarti semakin kecil tingkat underpricing. Hal ini berhasil
dibuktikan oleh Beatty (1989); Caster dan Dark (1993); How et. al. (1995)
dalam Khomsiyah (2005).
Leland dan Pyle (1977) dalam Luciana Spica Almilia dan Meliza
Silvy (2003) menyatakan bahwa prosentase retensi kepemilikan oleh
pemilik (insider ownership) menunjukan adanya informasi privat yang
dimiliki hanya oleh pemilik. Retensi kepemilikan oleh pemilik lama
mengisyaratkan bahwa mereka yakin akan prospek perusahaan. Informasi
ini digunakan oleh investor sebagai pertanda prospek perusahaan yang
baik di masa mendatang sehingga menurunkan ketidakpastian investor.
Penurunan persentase kepemilikan oleh pemegang saham lama
adalah suatu konsekuensi yang harus dipertimbangkan ketika perusahaan
memutuskan untuk melakukan IPO. Bila mereka yakin bahwa saham
perusahaan akan terjual pada harga yang cukup menguntungkan sehingga
dapat mengumpulkan dana yang signifikan bagi pembiayaan perusahaan.
(Aggarwal et. al., 2001 dalam Helen dan Sulistio, 2005) membuktikan
bahwa underpricing berasosiasi positif dengan semakin rendahnya jumlah
saham yang diterbitkan dan semakin tinggi pemegang saham lama.
Konsisten dengan penelitian Aggarwal, penelitian Ljunfqvist dan Wilhelm
(2003) dalam Helen dan Sulistio (2005) mendapati kecenderungan initial
return yang semakin tinggi dengan semakin tingginya proporsi pemegang
saham lama.
Proporsi kepemilikan saham yang ditahan pemilik saham lama
menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan pemegang saham
lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan manajemen tidak
akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan bila mereka
tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi kepemilikan yang
ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan sebagai factor
yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan IPO
perusahaan.
How dan Low (1993) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati
(2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan (firm value) yang melakukan
IPO bisa dihubungkan dengan volume penawaran. Perusahaan pada
umumnya memiliki proyek tunggal. Nilai perusahaan tersebut akan sangat
tergantung pada pembiayaan investasi pada proyek tunggal tersebut. IPO
disinyalir merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendanai
proyek tunggal. Jadi semakin besar volume penawaran semakin besar dana
yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Semakin tinggi
investasi, semakin tinggi pula penilaian pasar terhadap nilai perusahaan.
Ukuran perusahaan
(firm
size)
turut
menentukan
tingkat
kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan maka semakin dikenal
masyarakat, hal ini berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi
mengenai
perusahaan.
Kemudahan
mendapatkan
informasi
akan
meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi faktor ketidakpastian
karena investor dapat mengambil keputusan lebih tepat bila dibandingkan
dengan pengambilan keputusan tanpa informasi. Banz (1981) dalam Helen
dan Sulistio (2005) mengungkapkan kecenderungan perusahaan berukuran
kecil mengalami abnormal return yang besar dibandingkan dengan
perusahaan besar. Ritter (1987); Hanley (1993) dalam Helen dan Sulistio,
(2005) menyatakan bahwa perusahaan berukuran kecil cenderung
mengalami underpricing.
Reese, Jr (1998) menemukan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara ukuran perusahaan dengan terjadinya underpricing dan
besarnya volume penjualan. Hasil penelitian Andri Rachmawati dan
Hanung Triatmoko (2007) membuktikan bahwa firm size berpengaruh
positif terhadap nilai perusahaan, hal ini menandakan bahwa pasar lebih
mengapresiasi perusahaan besar. Ukuran perusahaan yang besar dapat
menjadi indikasi bahwa perusahaan mempunyai komitmen yang tinggi
untuk terus memperbaiki kinerjanya, sehingga pasar akan mau membayar
lebih mahal untuk mendapatkan sahamnya karena percaya akan
mendapatkan pengembalian yang menguntungkan dari perusahaan
tersebut.
Apriliani Triani dan Nikmah (2006) menunjukkan bahwa firm size
berpengaruh positif dan signifikan terhadap return awal dan kinerja
perusahaan satu tahun setelah IPO. Ini mengindikasikan bahwa investor
menggunakan ukuran perusahaan untuk membeli saham perusahaan pada
saat IPO. Sehingga dimata investor, ukuran perusahaan pun dapat
memproksikan nilai perusahaan yang akan go public.
Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) melakukan penelitian
untuk menelaah apakah ownership retention, underpricing dan investment
dapat dijadikan sebagai sinyal dalam menunjukan nilai perusahaan emiten
yang melakukan IPO. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa tingkat
ownership retention, underpricing, dan investment berpengaruh positif dan
signifikan terhadap nilai perusahaan.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan kembali penelitian serupa, dengan menambah rentang waktu
penelitian dari tahun 2001 sampai dengan 2007. Dengan memperpanjang
periode penelitian, jumlah sampel penelitian yang didapatkan lebih banyak
sehingga diharapkan akan memberikan hasil yang lebih akurat. Selain itu,
alasan dipilihnya tahun 2001 sampai dengan 2007 karena merupakan
periode setelah krisis moneter. Hal ini memungkinkan ada perubahaan
perilaku investor pasca krisis. Selain itu, periode tersebut dinilai sangat
aktual untuk menggambarkan kondisi bursa saat ini.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian kali ini
menambahkan variabel firm size sebagai faktor yang berhubungan dengan
underpricing dan initial return dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Dengan demikian, penelitian ini berjudul “Pengaruh Ownership Retention,
Underpricing, Investment, dan Firm Size terhadap Nilai Perusahaan Yang
Melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan fakta di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Apakah terjadi fenomena underpricing pada hari pertama pelaksanaan
IPO pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI?
2. Apakah terdapat pengaruh tingkat ownership retention, underpricing,
investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan
IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeteksi fenomena underpricing pada hari pertama pelaksanaan
IPO pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI.
2. Menganalisis pengaruh ownership retention, underpricing, investment,
dan firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia (BEI) selama periode penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak,
diantaranya:
1. Bagi Investor
Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan dan acuan dalam
melakukan investasi terhadap perusahaan yang pertama kali go public.
2. Bagi Perusahaan
Penelitian ini menjadi masukan dan bahan acuan dalam pengambilan
kebijakan khususnya yang berkaitan dengan informasi yang bisa
mempengaruhi nilai perusahaan di mata investor.
3. Bagi Akademisi
Dapat memberikan informasi empirik mengenai pengaruh ownership
retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO di BEI. Penelitian ini diharapkan juga
memberikan
hasil
berdayaguna
dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan ilmiah sehingga dapat digunakan oleh penelitianpenelitian selanjutnya.
4. Bagi Penulis
Dapat memperdalam ilmu ekonomi khususnya manajemen keuangan
dan pasar modal yang diperoleh selama masa perkuliahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Initial Public Offering (IPO)
Initial public offering (IPO) adalah penawaran saham perusahaan
kepada masyarakat untuk pertama kali. IPO merupakan kegiatan
penawaran saham, atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten
(perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham atau efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU pasar modal dan
peraturan pelaksanaannya.
Bagi Perusahaan melakukan penjualan sahamnya melalui pasar
modal mempunyai beberapa alasan. Ada enam alasan perusahaan
menawarkan sahamnya melalui pasar modal (Syahrir, 1995 dalam Intan
Imam Sutanto, 2000) yaitu:
1. Kebutuhan akan dana untuk melunasi hutang, baik jangka pendek
maupun jangka panjang, sehingga mengurangi beban bunga.
2. Meningkatkan modal kerja.
3. Membiayai
perluasan
perusahaan
(pembangunan
pabrik
baru,
peningkatan kapasitas produksi).
4. Memperluas jaringan pemasaran dan distribusi.
5. Meningkatkan teknologi produksi.
6. Membayar sarana penunjang (pabrik, perawatan, kantor, dan lain-lain).
Tjiptono
Darmadji
dan Hendy M.
Fakhruddin (2006:77)
Keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan melakukan penawaran
umum saham ini antara lain:
1. Dapat memperoleh dana yang relatif besar dan diterima sekaligus
(tidak dengan termin-termin).
2.
Biaya go public relatif murah.
3. Proses relatif mudah.
4. Pembagian dividen berdasarkan keuntungan.
5. Penyertaan masyarakat biasanya tidak masuk dalam manajemen.
6. Perusahaan biasanya dituntut lebih terbuka, sehingga hal ini dapat
memacu perusahaan untuk meningkatkan profesionalisme.
7. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta
memiliki saham perusahaan, sehingga dapat mengurangi kesenjangan
sosial.
8. Emiten akan lebih dikenal oleh masyarakat (go public merupakan
media promosi secara gratis).
9. Memberikan kesempatan bagi koperasi dan karyawan perusahaan
untuk membeli saham.
Sedangkan konsekuensi atas penawaran umum saham adalah
Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin (2006:77) :
1. Keharusan untuk melakukan keterbukaan (full disclosure).
2. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai
kewajiban pelaporan.
3. Gaya manajemen perusahaan berubah dari informal menjadi formal.
4. Kewajiban membayar dividen bila perusahaan mendapatkan laba.
5. Senantiasa berusaha meningkatkan pertumbuhan perusahaan.
Proses penawaran umum saham dapat dikelompokan menjadi
empat tahap:
1. Tahap Persiapan
Tahapan
ini
merupakan
tahapan
awal
dalam
rangka
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses Penawaran
Umum. Adapun persiapan-persiapan intern yang dilakukan, yaitu:
1. Manajemen harus membuat dan memutuskan suatu rencana untuk
memperoleh dana melalui publik.
2. Rencana ini harus diajukan di rapat umum pemegang saham dan harus
disetujui
Perusahaan bersangkutan harus melibatkan lembaga-lembaga
pendukung untuk membantu dalam penyediaan dokumen-dokumen
yang dibutuhkan. Adapun lembaga dan profesi penunjang pasar, yaitu:
a.
Penjamin emisi (underwriter), merupakan pihak yang paling
banyak keterlibatannya dalam membantu emiten menerbitkan
saham. Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain:
menyiapkan
berbagai
dokumen,
membantu
menyiapkan
prospektus, dan memberikan penjaminan atas penerbitan.
b.
Akuntan publik ( Auditor Independen), bertugas melakukan audit
atau pemeriksaan atas laporan keuangan calon emiten.
c.
Penilai untuk melakukan penilaian terhadap aktiva tetap
perusahaan dan menentukan nilai wajar dari aktiva tetap tersebut.
d.
Konsultan hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum
(legal option).
3. Notaris untuk membuat akta-akta perubahan Anggaran Dasar, akta
perjanjian dalam rangka penawaran umum, dan membuat notulennotulen rapat.
4. Mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk penawaran ke
publik.
5. Konfirmasi sebagai agen penjual oleh penjamin emisi
6. Mempersiapkan kontrak awal dengan bursa efek
7. Menandatangani perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan go
public. Untuk yang akan menjual obligasi, perusahaan harus
mendaftarkannya ke agen peringkat untuk mendapatkan peringkat
untuk obligasi yang akan ditawarkan. Agen peringkat yang ditunjuk
adalah PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).
8. Mengumumkan ke publik (Public expose)
9. Mengirimkan pernyataan registrasi dan dokumen-dokumen pendukung
lainnya ke Bapepam.
2. Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
Pada tahap ini, dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung,
calon emiten menyampaikan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar
Modal (BAPEPAM) untuk menyatakan pernyataan pendaftaran menjadi
efektif. Setelah semua persiapan yang dibutuhkan diselesaikan dan semua
dokumen yang dibutuhkan untuk registrasi di Bapepam tersedia,
berikutnya adalah tugas dari Bapepam untuk mengevaluasi usul go public
emiten. Bapepam melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menerima pernyataan registrasi dan dokumen-dokumen pendukung
dari perusahaan yang akan go public dari underwiter.
2. Ekspose (pengumuman) terbatas di Bapepam
3. Mempelajari dokumen-dokemen yang telah disampaikan emiten.
4. Memberikan tanggapan mengenai kelengkapan dokumen, kebenaran
dan kejelasan informasi dan pengungkapan (disclosure) tentang aspekaspek legalitas, akuntansi, keuangan dan manajemen. Jika selama 45
hari Bapepam tidak memberi jawaban.
5. Jika 45 hari Bapepam tidak memberi jawaban, pernyataan dianggap
secara otomatis efektif.
3. Tahap penawaran saham
Setelah
memperoleh
izin
dari
Bapepam,
penjamin
emisi
(underwiter) dengan bantuan agen penjualan menawarkan saham
bersangkutan ke pasar perdana. Proses penawaran saham perdana meliputi
beberapa tahap, sebagai berikut:
a. Pengumuman dan pendistribusian prospektus
Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan
Penawaran Umum, bertujuan agar pihak lain membeli efek. Beberapa
bagian penting dari prospektus yang patut mendapatkan perhatian dari
calon investor adalah:
1) Bidang usaha.
Merupakan bidang usaha yang saat ini dijalankan oleh
perusahaan. Informasi ini perlu diketahui oleh calon investor, karena
dengan mengetahui bidang usaha perusahaan, kita dapat mengetahui
posisi sektor ekonomi perusahaan. Informasi tentang bidang usaha
biasanya tercantum pada bagian tengah dari halaman muka prospektus.
2) Jumlah saham yang ditawarkan.
Jumlah
saham
yang
ditawarkan
kepada
masyarakat
menunjukan jumlah modal yang disetor oleh publik. Semakin besar
jumlah saham yang ditawarkan, akan semakin memiliki potensi untuk
likuidnya perdagangan saham tersebut di bursa. Informasi mengenai
jumlah saham yang ditawarkan tercantum pada bagian tengah dari
halaman muka prospektus.
3) Nilai nominal dan harga penawaran.
Nilai nominal merupakan suatu nilai yang menunjukkan
besarnya modal suatu perusahaan yang dimuat dalam Anggaran Dasar
perusahaan tersebut. Harga saham yang ditawarkan kepada masyarakat
tidak harus sama dengan nilai nominal per saham. Harga setiap saham
yang ditawarkan kepada masyarakat disebut dengan harga penawaran.
Informasi tentang nilai nominal dan harga penawaran terdapat pada
bagian tengah halaman muka prospektus.
4) Riwayat singkat perusahaan.
Riwayat singkat perusahaan terdapat pada bagian dalam, yaitu
pada Bab Keterangan tentang Perseroan dan Anak Perusahaan.
5) Tujuan go public (Rencana penggunaan dana).
Rencana penggunaan dana yang diperoleh dari hasil penawaran
umum disajikan dalam bab tersendiri. Rencana penggunaan dana yang
diperoleh dari penawaran umum diberikan secara presentase dari
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, biasanya berkisar pada:
a)
Ekspansi
b) Pembayaran sebagian hutang
c)
Investasi pada anak perusahaan
d) Penambahan pada modal kerja
6) Kegiatan dan prospek usaha.
Pada dasarnya, seorang investor yang membeli saham adalah
membeli prospek usaha dari perusahaan tersebut. Kegiatan dan
prospek usaha dari perusahaan disajikan dalam bab tersendiri, biasanya
meliputi aspek-aspek produksi, penjualan, pemasaran, dan distribusi
dari produk atau jasa yang dihasilkan, prospek usaha, kompetisi dan
strategi usaha, serta penelitian dan pengembangan.
7) Risiko usaha.
Penjelasan mengenai risiko usaha diberikan dalam bab
tersendiri, biasanya risiko usaha meliputi:
a)
Risiko tingkat persaingan usaha emiten yang go public
b) Risiko ketersedian pasokan bahan baku
c)
Ketentuan negara lain atau peraturan internasional
d) Peraturan dan kebijakan pemerintah mengenai kegiatan usaha
emiten
e)
Risiko pergerakan nilai tukar valuta asing
f)
Risiko kenaikan suku bunga
g) Risiko iklim
h) Risiko lainnya.
8) Kebijakan dividen
Kebijakan Dividen, yaitu informasi tentang kebijakan dividen
yang direncanakan oleh perusahaan yang diberikan dalam bentuk
rentang jumlah presentase dividen tunai yang direncanakan yang
dikaitkan dengan jumlah laba bersih.
9) Kinerja keuangan perusahaan.
Perkembangan kinerja keuangan perusahaan, paling tidak
untuk lima tahun terakhir, sangat perlu diketahui oleh calon investor
sebelum mengambil keputusan. Dengan mengetahui data keuangan
masa lalu dapat dibuat suatu perkiraan (analisis trend) untuk tahuntahun berikutnya.
10) Agen penjualan
Agen Penjualan yaitu perusahaan efek yang ditunjuk oleh
penjamin emisi untuk bertindak selaku agen penjualan dalam rangka
memasarkan saham-saham yang ditawarkan pada penawaran umum.
Investor yang akan melakukan pemesanan saham harus menghubungi
agen penjualan bersangkutan, yang daftarnya tercantum pada bagian
akhir dari prospektus.
Dalam prospektus juga terdapat beberapa jadwal yang
berhubungan dengan penawaran umum, antara lain:
1) Tanggal efektif
adalah tanggal yang menunjukan saat
dikeluarkannya Surat Pernyataan Efektif oleh BAPEPAM, dan
berdasarkan
surat
tersebut,
perusahaan
dapat
melakukan
penawaran umum kepada masyarakat.
2) Masa penawaran adalah periode dilakukannya penawaran umum
atas efek yang ditawarkan kepada masyarakat. Masa penawaran
ini sekurang-kurangnya tiga hari kerja.
3) Tanggal akhir penjatahan adalah tanggal di saat hasil akhir dari
proses penjatahan atas pesanan efek akan diumumkan kepada
masyarakat. Penjatahan akan muncul apabila jumlah pesanan atas
efek melebihi jumlah efek yang ditawarkan.
4) Tanggal pengembalian uang pesanan adalah tanggal dimulainya
pengembalian uang kepada pemesan yang terkena penjatahan atau
yang pesanannya tidak terpenuhi seluruhnya.
5) Tanggal pencatatan adalah tanggal di saat suatu efek mulai
dicatatkan atau didaftarkan pada suatu Bursa Efek, yang berarti
mulai tanggal itu pula efek tersebut dapat diperdagangkan di
Bursa Efek.
b. Masa penawaran saham pasar perdana
Masa penawaran saham jangka waktunya ditetapkan tiga hari
kerja, dan jangka waktu pemberian izin emisi dan surat pendaftaran
dibursa ditetapkan maksimal selam 90 hari kerja. Masa penawaran
merupakan saat yang menentukan, apakah saham yang ditawarkan
oleh emiten akan terjual seluruhnya (full atau oversubcribed) atau
masih tersisa, jumlah saham yang dipesan lebih kecil dari jumlah yang
ditawarkan (undersubcribed) dalam masa penawaran.
c. Penjatahan saham di pasar perdana
Apabila jumlah saham yang dipesan lebih besar dari jumlah saham
yang ditawarkan, maka penjamin emisi (underwiter) akan melakukan
pen-jatahan (allotment). Masa penjatahan saham ditetapkan maksimum
selama 12 hari kerja, terhitung masa penawaran. Pelaksanaan
penjatahan saham di pasar perdana menggunakan beberapa sistem
berikut:
1) Fixed allotment, yaitu cara penjatahan dimana anggota penjamin
emisi maupun agen penjual telah memiliki pembeli sehingga jatah
saham yang diberikan oleh penjamin emisi tidak dijual kepada
klien lainnya. Fixed allotment dilakukan apabila jumlah saham
yang ditawarkan minimal 20 juta lembar saham atau minimum
30% dari jumlah modal yang telah ditempatkan atau disetor. Fixed
allotment tersebut dibatasi maksimum 60% dari jumlah saham
yang ditawarkan, termasuk bagian bagi para karyawan perusahaan
yang melakukan emisi. Cara ini ditempuh untuk menarik pemodal
institusional (yang mempunyai dana sangat besar) membeli saham
yang ditawarkan (Suad Husnan 1998:25).
2) Separate account, pada sistem ini disamping ada jatah untuk klien
dekat, juga tersedia saham yang akan dijual kepada investor di
luar klien dekat.
3) Pooling, disebut juga penjatahan terpusat sesuai dengan keputusan
ketua Bappepam Nomor: Kep-36/Pm/1993. Dalam sistem ini
seluruh pemesanan saham di-pool (dikumpulkan) pada pemjamin
emisi
pelaksana.
Jika
terjadi
kelebihan
permintaan
(oversubcribed), dilakukan penjatahan secara proposional. Seluruh
pemesanan diberi jatah satu-satuan perdagangan (lot) yaitu
sebanyak 500 lembar saham yang akan dicatatkan di Bursa Efek
Jakarta (BEJ) yang sekarang telah berganti nama mnejadi Bursa
Efek Indonesia (BEI). Apabila jumlah saham yang tersedia tidak
mencukupi, maka penjatahan dilakukan dengan cara diundi. Jika
dalam penjatahan satu-satuan perdagangan terdapat sisa, maka
setalah satu-satuan perdagangan dibagikan kepada pemesan,
barulah pembagian lebih lanjut dilakukan secara proposional
berdasakan jumlah pesanan dari pemesan. Prioritas dapat
diberikan kepada para pemesan yang menjadi pegawai emiten,
sampai dengan maksimum 10% dari emisi.
4) Gabungan fixed allotment dan pooling. Kelemahan kedua sistem
ini adalah tidak mencerminkan pemerataan. Karena investor diluar
klien harus berebutan sisa saham yang tidak dibeli klien dekat
penjamin emisi dan agen penjual. Untuk mengimbangi kelemahan
tersebut akhir-akhir ini penjamin emisi mulai mengambil langkah
kebijaksanaan dengan cara menggabungkan sistem fixed allotment
dengan sistem pooling.
d. Masa pengembalian dana
Kalau jumlah yang memesan lebih banyak dari yang ditawarkan,
dikatakan terjadi oversubcribed. Apabila yang terjadi sebaliknya,
disebut undersubcribed, maka tidak semua pesanan kita dapat
dipenuhi. Dengan demikian maka pesanan yang tidak terpenuhi akan
dikembalikan oleh penjamin emisi (underwiter) kepada para pemesan.
Biasanya waktu yang diperlukan berkisar
10-14 hari untuk
pengembalian tersebut (Suad Husnan 1998:24). Adapun batas
maksimum untuk pengembalian dana ditetapkan selama 4 hari
terhitung berakhirnya masa pengembalian dana kepada investor.
e. Pendistribusian saham
Maksimum waktu untuk pendistribusian saham kepada investor
adalah 12 hari kerja tehitung mulai berakhirnya masa penawaran
saham. Saham yang telah dipesan dan dibayar investor, harus
diserahkan emiten kepada investor melalui penjamin emisi atau egen
penjualan
4. Tahap Pencatatan di Bursa Efek.
Setelah penawaran perdana selesai dilaksanakan, emiten dapat melakukan proses pencatatan sahamnya dipasar sekunder. Pencatatan saham
(Listing) di bursa efek dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.
Share listing, yaitu pencatatan saham di bursa efek sejumlah emisi
yang dilakukan. Misalnya, modal disetor satu juta lembar saham,
sedangkan jumlah emisi 20%, maka yang dicatatkan di bursa efek
adalah 20% itu saja. Bila perusahaan bersangkutan menawarkan
saham atas sisa sahamnya yang 80% di masa yang akan datang,
perusahaan tersebut harus menempuh proses emisi dari awal lagi.
b.
Partial listing, yaitu pencatatan saham di bursa efek melebihi
jumlah yang diemisikan tetapi masih di bawah jumlah modal
disetor. Misalnya, total emisi 20% dari modal disetor perusahaan,
maka yang dicatatkan di bursa melebihi 20%.
c.
Company listing, yaitu pencatatan saham sejumlah modal yang
telah disetor. Dengan kata lain perusahaan bersangkutan
mencatatkan seluruh sahamnya sesuai dengan jumlah saham yang
telah disetor. Misalnya, modal disetor 1 (satu) juta saham lembar
saham, total emisi 20%, yang dicatatkan di bursa efek adalah 1
(satu) juta saham
Sebelum
Emisi
Sesudah
Emisi
Emisi
Internal
Perusahaan
BAPEPAM
1. Rencana go
public
2. RUPS
3. Penunjukan:
 Underwriter
(jika ada)
 Profesi
Penunjang
 Lembaga
Penunjang
4. Mempersiapka
n dokumendokumen
5. Konfirmasi
Sebagi agen
Penjual oleh
Penjamin
Emisi
6. Kontrak
Pendahuluan
dengan Bursa
Efek
7. Public Expose
8. Penandatanga
nan Perjanjian
1. Pernyataan
Pendaftaran
2. Expose
terabatas di
BAPEPAM
3. Tanggapan
atas:
 Kelengkapa
n dokumen
 Kecukupan
& kejelasan
informasi
 Keterbukaan
(aspek
hukum,
akuntansi,
keuangan, &
manajemen)
4. Komentar
tertulis
dalam waktu
30 hari
5. Penyataan
pendaftaran
dinyatakan
efektif
Pasar
Perdana
1. Penawaran
oleh
sindikasi
penjamin
emisi dan
agen
penjual
2. Penjatahan
kepada
investor
oleh
sindikasi
penjamin
emisi dan
emiten
3. Pengembal
ian dana
(Refund)
4. Distribusi
efek
kepada
investor
secara
elektronik
Pasar
Sekunder
Pasar
Sekunder
1. Emiten
mencatatkan
sahamnya di
Bursa Efek
2. Perdagangan
efek di Bursa
Efek
1. Laporan
berkala,
misalya
laporan
tahunan dan
laporan
tengah
tahunan
2. Laporan
kejadian
penting dan
relevan,
misalnya
akuisisi,
pergantian
direksi, dan
lain-lain
Sumber: Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhrudin, 2006
Gambar 2.1. Skema Tahapan-Tahapan dalam IPO
B. Nilai Perusahaan
Nilai Perusahaan adalah sama dengan nilai pasar saham ditambah
dengan nilai pasar hutang. Apabila besarnya nilai hutang konstan maka
setiap peningkatan nilai saham dengan sendirinya akan meningkatkan nilai
perusahaan. Apabila besarnya nilai hutang berubah,maka tentunya struktur
modal akan ikut berubah juga. Perubahan dalam struktur modal akan
menguntungkan bagi para pemegang saham hanya jika nilai perusahaan
meningkat. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa dikatakan
peningkatan nilai perusahaan adalah sama dengan peningkatan nilai saham
(Rudianto; 2005). Nilai perusahaan yang sudah go public tercermin dalam
harga pasar saham perusahaan (Fama, 1978 ; Wrights & Ferris, 1997;
Walker, 2000 dalam Sri Hasnawati, 2005). Harga saham digunakan
sebagai proksi nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga
yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila investor ingin memiliki
suatu perusahaan. Jadi semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar
kemakmuran yang akan diterima pemilik perusahaan. Pengertian nilai
perusahaan yang belum go public nilainya terealisasi apabila perusahaan
akan dijual (total aktiva, prospek perusahaan, risiko usaha, lingkungan
usaha).
C. Ownership Retention
Proporsi kepemilikan saham yang ditahan oleh pemilik saham lama
menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan pemegang saham
lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan manajemen tidak
akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan bila mereka
tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi kepemilikan yang
ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan sebagai factor
yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan IPO dalam
Helen dan Sulistio (2005). Leland dan Pyle (1977) dalam Gumanti (2000)
mendemonstrasikan adanya hubungan yang kuat antara proporsi saham
yang ditahan oleh pemilik lama (ownership retention) dengan nilai
perusahaan. Teori ini menyatakan bahwa issuer akan menjual sebagian
kecil sahamnya apabila mereka mengetahui bahwa perusahaan memiliki
prospek yang bagus dimasa mendatang. Informasi mengenai jumlah saham
yang ditawarkan di masyarakat diperoleh dari prospektus ringkas emiten
(Nurhayati dan Indriantoro, 1998 dalam Almira Santosa dan Titik
Indrawati, 2007). Besarnya presentase ownership retention ini, diukur dari
selisih presentase total saham dikurangi dengan jumlah presentase saham
yang ditawarkan ke masyarakat (Khomsiyah, 2005).
Atau dapat pula dihitung dengan cara:
Ownership Retention 
Total saham - Jumlah saham yang ditawarkan ke publik
Total saham
D. Firm Size
Besar ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva,
penjualan, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan,
dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu.
Ketiga variabel ini digunakan untuk menentukan ukuran perusahaan
karena dapat mewakili seberapa besar perusahaan tersebut. Semakin besar
aktiva maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak
penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar
kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ia dikenal di dalam
masyarakat. Dari ketiga variabel ini nilai aktiva relatif stabil dibandingkan
dengan nilai market capitalized dan penjualan dalam mengukur ukuran
perusahaan. Ukuran perusahaan yang besar menunjukan perusahaan
mengalami perkembangan sehingga investor akan merespon positif dan
nilai perusahaan akan meningkat. Pengukuran atas ukuran perusahaan
dilakukan berdasarkan total aktiva pada tahun terakhir sebelum perusahaan
melakukan IPO (Helen dan Sulistio, 2005).
E. Signaling Theory
Isyarat atau sinyal menurut Brigham dan Houston (1999) dalam
Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007) adalah suatu tindakan yang
diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor
tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Nilai
perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham, sangat
dipengaruhi peluang-peluang investasi. Pengeluaran investasi memberikan
sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang,
sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan
(signaling theory).
F. Investment (Investasi)
Investasi adalah menanamkan atau menempatkan asset, baik
berupa harta maupun dana, pada sesuatu yang diharapkan akan
memberikan hasil pendapatan atau akan meningkatkan nilainya di masa
mendatang. Atau secara sederhana, investasi berarti mengubah cashflow
agar mendapatkan keuntungan atau jumlah yang lebih besar di kemudian
hari. Sedangkan investasi keuangan adalah menanamkan dana pada surat
berharga (financial assets) yang diharapkan akan meningkat nilainya di
masa mendatang.
Secara investasi dibedakan menjadi dua, yaitu: investasi pada asetaset finansial (financial assets) dan investasi pada aset-aset riil (real
assets). Investasi pada aset-aset finansial dilakukan di pasar uang dan
pasar modal. Sedangkan investasi pada aset-aset riil dapat berbentuk
pembelian aset produktif, pendirian pabrik, pembukaan pertambangan,
pembukaan perkebunan, dan lainnya (Drs. Abdul Halim, 2005: 4).
Investasi pada aset riil termasuk dalam penganggaran modal
(capital
budgeting),
yaitu
keseluruhan
proses
perencanaan
dan
pengambilan keputusan tentang pengeluaran dana yang jangka waktu
pengembaliannya lebih dari satu tahun. Keterbatasan dana yang tersedia
untuk membiayai usulan proyek investasi sering kali merupakan
penghambat utama dalam proses penganggaran modal. Oleh karena
hampir semua perusahaan mempunyai dana yang jumlahnya terbatas untuk
membiayai usulan proyek investasi, maka beberapa usulan proyek
investasi tersebut akan saling berkompetisi untuk mendapatkan dana yang
jumlahnya terbatas. Dengan demikian, perusahaan perlu mengalokasikan
dana dalam usulan proyek investasi yang dapat menghasilkan tingkat
pengembalian paling tinggi dalam jangka panjang.
Banyaknya usulan proyek investasi yang akan dibiayai dapat
diperkecil dengan cara dikelompokan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Proyek saling lepas (mutually exlusive projects), merupakan proyek
investasi yang mempunyai fungsi yang sama. Maksudnya jika
perusahaan menerima salah satu usulan proyek investasi yang mutually
exlusive, maka usulan proyek investasi lainnya akan ditolak. Misalnya,
perusahaan dihadapkan pada 3 usulan proyek investasi, yaitu A, B, dan
C yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan bahan
baku dari gudang ke pabrik. Jika usulan proyek investasi A yang
diterima, maka usulan proyek B dan C akan ditolak.
2. Proyek Independen (Independents projects), merupakan proyek
investasi yang mempunyai fungsi berbeda. Maksudnya penerimaan
usulan proyek investasi yang satu tidak akan menghilangkan
kesempatan penerimaan usulan proyek investasi yang lainnya.
Misalnya, perusahaan dihadapkan pada dua usulan proyek investasi,
yaitu A dan B. Usulan proyek A berfungsi untuk meningkatkan
efisiensi pengangkutan bahan baku dari gudang ke pabrik, sedangkan
usulan proyek B berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Apabila usulan proyek investasi A diterima, maka tidak akan menutup
kemungkinan usulan proyek investasi B juga diterima.
Untuk menentukan usulan poyek investasi mana yang akan
diterima atau ditolak, maka usulan proyek investasi tersebut harus dinilai.
Adapun metode-metode penilaian yang sering digunakan untuk menilai
suatu usulan proyek investasi adalah:
1. Payback Period (PP) yaitu jangka waktu yang dibutuhkan untuk
mengembalikan nilai investasi awal melalui penerimaan-penerimaan
yang dihasilkan oleh proyek investasi tersebut. Suatu usulan proyek
diterima jika periode pengembalian yang dihasilkan lebih cepat dari
yang disyaratkan. Sebaliknya, jika periode pengembalian yang
dihasilkan lebih lama dari yang disyaratkan, maka usulan proyek
investasi tersebut ditolak.
2. Net Present Value (NPV) yaitu selisih antara PV arus kas dengan
investasi awal. Jika NPV positif, maka investasi tersebut diterima.
Sebaliknya, jika NPV bernilai negatif, maka usulan investasi tersebut
ditolak.
3. Profitability Index (PI) yaitu Rasio PV arus kas terhadap nilai investasi
awal. Suatu investasi akan diterima jika indeks profitabilitasnya lebih
besar
dari
satu,
dan
sebaliknya
akan
ditolak
jika
indeks
profitabilitasnya lebih kecil dari satu.
4. Internal Rate of Return (IRR) yaitu tingkat bunga yang menyamakan
PV arus kas dengan nilai investasi awal. Suatu usulan investasi
diterima jika IRR-nya sama atau lebih tinggi dari tingkat bunga yang
disyaratkan. Sebaliknya, investasi ditolak jika IRR-nya lebih rendah
dari tingkat bunga yang disyaratkan.
Investasi juga dapat dibagi ke dalam empat golongan, diantaranya:
1. Investasi yang tidak menghasilkan laba (non profit investment)
Investasi ini timbul karena adanya peraturan pemerintah atau karena
syarat-syarat
kontrak yang telah disetujui,
yang
mewajibkan
perusahaan untuk melaksanakannya tanpa mempertimbangkan laba atu
rugi. Misalnya karena air limbah yang telah digunakan dalam proses
produksi jika dialirkan keluar pabrik akan mengakibatkan timbulnya
pencemaran lingkungan, maka pemerintah mewajibkan perusahaan
untuk memasang instalasi pembersih air limbah, sebelum air tersebut
dibuang ke luar pabrik. Karena sifatnya merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan, maka investasi jenis ini tidak memerlukan
pertimbangan ekonomis sebagai kriteria untuk mengukur perlu atau
tidaknya pengeluaran tersebut.
2. Investasi yang tidak dapat di ukur labanya (non measureable profit
investment)
Investasi ini dimaksudkan untuk menaikan laba namun laba yang
diharapkan perusahaan akan diperoleh perusahaan dengan adanya
investasi ini sulit diukur secara teliti. Sebagai contoh adalah
pengeluaran biaya promosi produk untuk jangka panjang, biaya
penelitian dan pengembangan, biaya program pelatihan dan pendidikan
karyawan.
3. Investasi dalam penggantian mesin dan equipment (replacement
investment)
Investasi jenis ini meliputi pengeluaran untuk penggantian mesin dan
equipment yang ada. Penggantian mesin dan equipment biasanya
dilakukan atas dasar pertimbangan adanya penghematan biaya yang
akan diperoleh atau adanya kenaikan produktivitas dengan adanya
penggantian tersebut. Bila penghematan biaya yang diperoleh dari
penggantian mesin dan equipment berjumlah pantas bila dibandingkan
dengan tambahan investasi untuk penggantian tersebut, maka
penggantian tersebut secara ekonomis memang diperlukan.
4. Investasi dalam perluasan usaha (expansion investment)
Investasi jenis ini merupakan pengeluaran untuk menambah kapasitas
produksi atau operasi menjadi lebih besar dari sebelumnya. Tambahan
kapasitas akan memerlukan adanya biaya tambahan investasi dan akan
menghasilkan tambahan pendapatan serta akan memerlukan tambahan
biaya.
How dan Low (1993) dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati
(2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan (firm value) yang melakukan
IPO bisa dihubungkan dengan volume penawaran. Perusahaan pada
umumnya memiliki proyek tunggal. Nilai perusahaan tersebut akan sangat
tergantung pada pembiayaan investasi pada proyek tunggal tersebut. IPO
disinyalir merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendanai
proyek tunggal. Jadi semakin besar volume penawaran semakin besar dana
yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Semakin tinggi
investasi, semakin tinggi pula penilaian pasar terhadap nilai perusahaan.
Pada saat issuer menjual sahamnya di pasar, maka akan diperoleh
proceeds dari penjualan saham tersebut. Proceeds menunjukan besarnya
ukuran penawaran (volume penawaran) pada saat IPO. Proceeds ini
disinyalir digunakan perusahaan untuk investasi. Dengan semakin
besarnya investasi maka diharapkan prospek perusahaan di masa
mendatang membaik. Sehingga akan meningkatkan harga saham sebagai
proksi peningkatan nilai perusahaan.
G. Underpricing
Underpricing adalah suatu kondisi dimana, secara rata-rata, harga
pasar saham perusahaan yang baru go public, biasanya dalam hitungan
hari atau minggu, lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawarannya
di pasar perdana (Tatang Ary Gumanti, 2002). Apabila penentuan harga
saham pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan yang terjadi di
pasar sekunder, maka fenomena ini disebut dengan underpricing (Almira
Santosa dan Titik Indrawati, 2007).
Underpricing ini diukur dengan initial return yang diterima
investor, yaitu selisih antara harga penutupan saham (closing price) pada
hari pertama perdagangan dibursa dengan harga di pasar perdana dibagi
dengan harga perdana (Apriliani Triani dan Nikmah, 2006).
Rumusan yang digunakan adalah metode sederhana (mean adjusted
model):
R0 
Pt1  Pto
 100%
Pto
Untuk menghindari bias karena pengaruh magnitude pembaginya, maka
digunakan rumus sebagai berikut (Aminul Amin, 2007):
Rit = ln (P1/P0)
Selain itu, dikarenakan adanya kemungkinan bahwa kenaikan harga saham
di pasar sekunder disebabkan oleh indeks harga di pasar yang sedang
bergairah (Almira Santosa dan Titik Indriati ; 2007) maka penghitungan
underpricing disesuaikan dengan return pasar (adjusted underpricing).
Untuk adjusted underpricing, digunakan rumus sebagai berikut
AUP  ln P1 / P0   ln IHSG1 / IHSG0 
Dimana:
R0
= Return awal
Pt0
= Harga penawaran perdana (offering price)
Pt1
= Harga penutupan (closing price) pada hari pertama perusahaan
melakukan IPO di
IHSG0
BEI.
= Indeks harga saham gabungan pada hari saat melakukan go
public.
IHSG1 = Indeks harga saham gabungan sehari sebelum go public.
1. Hubungan underpricing dengan nilai perusahaan
Fenomena underpricing secara umum dapat dijelaskan berdasarkan
teori asymmetric information dan teori signaling. Asymmetric information
menyatakan bahwa adanya informasi yang tidak sempurna yang dimiliki
antar partisipan dalam IPO. Teori ini menganggap bahwa underwriter
memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan issuer, sedangkan issuer
memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan investor. Karena
sedikitnya informasi yang dimiliki konsumen, maka sangat sulit bagi
investor untuk dapat membedakan secara objektif perusahaan yang
berkualitas “baik” dan “buruk”. Oleh karena itu, perusahaan harus
berusaha meyakinkan investor bahwa perusahaan merekalah yang terbaik.
Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan sinyal positif kepada investor.
Berdasarkan teori signaling, issuer menggunakan underpricing sebagai
sinyal bagi investor yang dapat menunjukan nilai perusahaan mereka.
Allen dan Faulhaber (1989) dalam Tatang A Gumanti (2004)
menyatakan teori tentang adanya hubungan positif antara nilai perusahaan
dan besarnya underpricing. Underpricing selain dapat memberikan sinyal
negatif, dapat juga memberi sinyal positif.
Hwang (1990) dalam Y. Dwi Widodo (2005) melakukan studi
yang menunjukkan bahwa underpricing merupakan suatu fenomena
equilibrium yang memberikan suatu sinyal bahwa perusahaan menjanjikan
keuntungan bagi investor. Pada model ini harga penawaran umum dan
presentase
pemegang
saham
lama
menunjukkan
nilai
instrinsik
perusahaan. Kedua sinyal ini, merupakan future cash dan menambah nilai
instrinsik perusahaan. Underpricing berkorelasi secara positif dengan nilai
instrinsik perusahaan karena underpricing memberikan sinyal bahwa
hanya perusahaan yang mempunyai prospek yang menguntungkan yang
dapat menutupi modal akibat kerugian perusahaan karena harga perdana
yang dinilai lebih rendah (underpriced).
Grinblat dan Hwang (1989) dalam Budhi Sumarno (2002),
menyatakan bahwa untuk mengatasi asymmetric information, issuer akan
memberi sinyal akan nilai perusahaannya dengan cara melakukan
underpricing. Hal ini dikarenakan investor menanggap bahwa hanya
perusahaan yang berkualitas baik dapat menutupi kerugian akibat
underpricing. Karena investor menganggap bahwa perusahaan berkualitas
baik maka harga saham pun akan meningkat, yang berarti nilai perusahaan
pun meningkat. Hal ini dikarenakan harga saham merupakan proksi dari
nilai perusahaan, karena harga saham merupakan harga yang bersedia
dibayar investor untuk memiliki saham perusahaan tersebut.
2. Teori-teori tentang Underpricing
Underpricing bisa disebabkan oleh beberapa hal dan ada teoriteori yang mendasari mengapa underpricing terjadi. Berikut ini adalah
teori-teori yang mendasari terjadinya underpricing :
a. Informasi Asimetris
Kebanyakan teori yang menjelaskan Harga Penawaran Perdana yang
underpriced didasarkan pada asumsi bahwa terjadi perbedaan
informasi antara berbagai pihak terhadap nilai saham yang baru
tersebut. Salah satu dari teori tersebut menganggap bahwa underwriter
secara signifikan mempunyai informasi yang lebih baik dari pada
issuer (Baron dan Holmstrom, 1980 dalam Sautma Ronni B, 2003).
Oleh karena underwriter memiliki informasi yang lebih lengkap,
underwriter akan mampu meyakinkan issuer bahwa harga yang rendah
lebih baik jika issuer tidak pasti terhadap nilai sahamnya sendiri.
Perspektif ini didasarkan pada anggapan bahwa meskipun issuer
mengetahui lebih banyak karakteristik bisnisnya, tetapi underwriter
lebih mengetahui harga pasar sebab underwriter melakukan survei
pasar, melakukan investigasi terhadap issuer, mendapatkan informasi
dari issuer dan juga punya pengalaman dalam pengeluaran saham baru
(Ibbotson, Sindelar, dan Ritter,1988 dalam Sutma Ronni B, 2003).
b. Tulah Bagi Pemenang (Winner’s Curse)
Penjelasan lain dari Underpricing dikembangkan oleh Rock (1986)
dalam Sautma Ronni. B (2003), yang dikenal sebagai istilah “Winner’s
Curse”. Winner’s Curse ini menekankan adanya informasi asimetris di
antara investor potensial. Menurut pandangan ini, beberapa investor
(informed investor) mempunyai akses informasi mengetahui berapa
sesungguhnya nilai saham yang akan dikeluarkan. Investor lainnya
(uninformed investor) tidak mengetahui karena sangat sulit atau mahal
untuk mendapatkan informasi tersebut. Underwriter diasumsikan tidak
mengetahui dengan pasti nilai saham tersebut. Underwriter (sekaligus
issuer) melakukan kesalahan acak (random error) dalam penetapan
harga:
beberapa
saham
ditetapkan
overvalued
dan
lainnya
undervalued. Investor yang punya informasi akan membeli saham
yang undervalued
dan menghindari saham
yang overvalued.
Akibatnya, investor yang tidak punya informasi sulit mendapatkan
saham undervalued, karenanya akan mendapatkan return yang lebih
kecil. Karena issuers harus terus menerus menarik investor yang tidak
mendapatkan informasi seperti investor yang punya informasi, maka
rata-rata harga saham baru tersebut harus underpriced agar investor
yang tidak punya informasi tersebut mendapatkan return yang
memadai (Rock,1986).
c. Tradisional
Selain teori Underpricing IPO yang berdasarkan informasi asimetris,
ada juga penjelasan tradisional yang diberikan (Ibbotson, 1975 dalam
Sautma Ronni B, 2003) antara lain:
a.
Undang-Undang membuat underwriter menetapkan harga perdana
di bawah harga yang diharapkan (walaupun pada kenyataannya
tidak semua negara secara eksplisit menetapkan ini).
b.
Terjadi kolusi di antara para underwriter dengan menetapkan
kondisi underpriced, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi,
untuk mengeksploitasi issuer yang tidak berpengalaman dan
menyenangkan investor.
c.
Saham yang underpriced meninggalkan kesan yang baik terhadap
investor sehingga pada waktu berikutnya, saham baru yang
dikeluarkan dapat dijual pada harga yang lebih menarik.
d.
”Firm Commitment” membuat underwriter mencoba mengurangi
resiko
dengan
cara
underpriced
saham
perdana
untuk
mengkompensasinya. Pada situasi ini, investor jelas akan
mendapat keuntungan dan mau membeli saham tersebut untuk
mendapatkan keuntungan.
e.
Proses underwriting biasanya memasukkan unsur underpricing
dalam IPO, kondisi ini terjadi karena kebiasaan/tradisi atau
berdasarkan perjanjian yang disepakati antara issuer dan
underwriter.
f.
Perusahaan yang mengeluarkan saham (issuer) dan underwriter
menganggap bahwa underpricing merupakan bentuk jaminan
terhadap tuntutan hukum. SEC Act of 1993 memberlakukan Civil
Liability Act pada situasi atau kasus misinformasi yang dilakukan
issuer dan underwriter.
d. Signaling Equilibrium Phenomenon
Teori yang lainnya dalam menjelaskan underpricing IPO adalah
sebagai Signaling Equilibrium Phenomenon (Allen dan Faulhaber,
1989; Grinbaltt dan Hwang, 1989; dan Welch, 1989; dalam Sautma
Ronni B, 2003). Dasar fundamental dari teori ini adalah perusahaan
yang baik atau bagus dapat memberikan signal (tanda) tentang tipe
atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang
underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau
melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat
underpricing. Motivasi dari pengiriman sinyal lewat underpricing
adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO
lebih besar dari kerugiannya.
e. Risk-Averse Underwiter Hypothesis
Penjelasan yang populer tentang adanya underpricing pada saham
perdana adalah didasarkan pada underwiter (penjamin)
yang
menghindari risiko (risk averse), underwiter akan berusaha membuat
harga saham perdana dibawah harga pasar (underprice) untuk
mengurangi resiko dan biaya dari penjaminan (underwriting). Dengan
kata lain, underpricing adalah cara untuk mengurangi kemungkinan
emisi saham perdana yang tidak sukses (Sudiyono, 1999:8). Hanafi
dan Husnan (1996) dalam Sudiyono (1999:8) mendukung hipotesa
tersebut, mereka mengatakan bahwa sebenarnya penawaran sahamsaham di pasar perdana sulit dilakukan dengan harga yang terlalu
tinggi (overvalue). Penjamin (underwiter) harus membeli saham
tersebut kalau tidak laku dijual pada pasar perdana, kecuali kalau
komitmen penjamin hanya best effort saja. Mereka tentunya tidak ingin
membeli saham-saham yang tidak laku karena harganya terlalu tinggi,
upaya yang dibuat adalah dengan bernegosiasi dengan emiten agar
saham-saham tersebut harganya tidak terlalu tinggi, bahkan cenderung
sedikit underprice. Namun, Chalik dan Peavy (1987) dalam Sudiyono,
(1999:9) menemukan fakta yang bertentangan dengan hipotesa diatas,
mereka menemukan bukti bahwa ternyata saham perdana dengan best
effort kontrak mempunyai underprice yang lebih tinggi dibandingkan
dengan saham perdana yang mempunyai firm-commitment agreement
(Tinic, 1988 dalam Sudiyono, 1999:9).
H. Penelitian Terdahulu
Penelitian
mengenai
ownership
retention,
underpricing,
investment, firm size, nilai perusahaan, dan IPO memberikan hasil yang
beragam. Almira Santosa dan Titik Indriati (2007) melakukan penelitian
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh positif antara ownership
retention, underpricing dan investment terhadap nilai perusahaan yang
IPO. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga variabel independen
tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
Penelitian lain dilakukan oleh Sujoko dan Ugy Soebiantoro (2007)
bertujuan untuk menguji pengaruh struktur kepemilikan, leverage, faktor
ekstern, dan faktor intern terhadap nilai perusahaan di Bursa Efek Jakarta.
Dalam penelitian ini, salah satu yang diuji adalah pengaruh ukuran
perusahaan terhadap nilai perusahaan. Dari penelitian ini disimpulkan
bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap nilai perusahaan, hal ini menunjukkan bahwa investor akan
mempertimbangkan ukuran perusahaan jika akan membeli saham.
Tatang A Gumanti (2004) melakukan penelitian tentang hubungan
antara nilai perusahaan, underpricing, dan ownership retention pada
perusahaan yang baru go public di BEJ yang hasil penelitiannya
menunjukan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif tetapi
tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan underpricing
berhubungan secara negatif dengan nilai perusahaan.
Apriliani Triani dan Nikmah (2006) melakukan penelitian tentang
pengaruh reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, presentase penjamin
emisi, ukuran perusahaan terhadap initial return. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap
return awal dan kinerja perusahaan satu tahun setelah IPO. Ini
mengindikasikan bahwa investor menggunakan ukuran perusahaan untuk
membeli saham perusahaan pada saat IPO. Sehingga dimata investor,
ukuran perusahaan pun dapat memproksikan nilai perusahaan yang akan
go public. Luciana Spica Almilia dan Meliza Silvy (2003) meneliti
pengaruh factor-faktor yang mempengaruhi status perusahaan pasca IPO
dengan menggunakan teknik analisis multinomial logit, salah satu factor
yang diteliti adalah prensentase kepemilikan saham oleh pemilik lama
(ownership retention). Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor
kepemilikan saham yang dipegang pemilik lama dapat digunakan sebagai
alat prediksi status perusahaan pasca IPO. Khomsiyah (2005) meneliti
pengaruh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat underpricing,
diantaranya : reputasi penjamin emisi saham, reputasi auditor, ukuran
perusahaan, presentase kepemilikan pemegang saham lama, dan variabelvariabel keuangan. Salah satu kesimpulan penelitian ini menemukan
bahwa variabel presentase kepemilikan saham lama tidak berpengaruh
terhadap tingkat underpricing. Sedangkan ukuran perusahaan secara
signifikan mempunyai pengaruh terhadap tingkat underpricing. Helen dan
Sulistio (2005) meneliti pengaruh informasi akuntansi dan non akuntansi
terhadap initial return, dan menyimpulkan bahwa informasi akuntansi
berupa ukuran perusahaan, EPS,PER, dan tingkat leverage berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap initial return dan informasi non akuntansi
berupa presentase pemegang saham lama, reputasi auditor, dan reputasi
underwriter berpengaruh positif dan signifikan terhadap initial return.
Euis Soleha dan Taswan (2002) melakukan penelitian tentang pengaruh
kebijakan hutang, insider ownership, firm size, dan profitabilitas terhadap
nilai perusahaan, kemudian membuat kesimpulan bahwa variabel size
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Perusahaan
besar dapat dengan mudah mengakses ke pasar modal. Kemudahan
mengakses ke pasar modal berarti perusahaan memiliki fleksibilitas dan
kemampuan untuk mendapatkan dana. Dengan kemudahan tersebut
ditangkap oleh investor sebagai sinyal positif dan prospek yang baik
sehingga firm size bisa memberikan pengaruh yang positif terhadap nilai
perusahaan. Manas Mayur, Manoj Kumar, dan Jitendra Mahakud (2007)
Meneliti tentang hubungan antara struktur kepemilikan pada saat IPO
dengan kinerja perusahaan pasca IPO. Hasil penelitian membuktikan
bahwa perusahaan yang kepemilikan sahamnya
sebagian besar
dipertahankan pemegang saham lama pada saat
IPO, memiliki
kemungkinan lebih kecil mengalami penurunan kinerja dibandingkan
dengan perusahaan yang proporsi kepemilikan saham yang dipertahankan
pemegang saham lamanya lebih sedikit.
Eddy Suranta dan Pranata Puspa Midiastuty (2003) menyimpulkan
bahwa investasi mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap
nilai perusahaan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Iturriaga dan Sanz
(1998); Cho (1998) dalam Eddy Suranta dan Pranata Puspa Midiastuty
(2003) menyimpulkan bahwa nilai perusahaan akan dipengaruhi oleh
investasi yang dilakukan perusahaan.
Penelitian dilakukan oleh Tatang A Gumanti (2000) yang
menyimpulkan bahwa ternyata nilai perusahaan berhubungan negatif
dengan tingkat ownership retention.
Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko (2007) membuktikan
bahwa firm size berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, hal ini
menandakan bahwa pasar lebih mengapresiasi perusahaan besar.
I.
Kerangka Pemikiran
Nilai perusahaan yang melakukan IPO dapat diindikasikan atau
tersirat dari sejumlah variabel atau sinyal yang melekat pada perusahaan
tersebut. Pemilik perusahaan akan senantiasa berusaha untuk menunjukkan
kepada calon investor bahwa perusahaan mereka menarik untuk dijadikan
sebagai alternatif investasi. Jika pemilik tidak mampu menyiratkan nilai
perusahaannya, akibatnya bagi perusahaan yang berkualitas baik, nilai
yang diterima akan dibawah nilai sebenarnya, sedangkan perusahaan yang
berkualitas buruk akan menerima nilai di atas sebenarnya.
Di mata investor, ownership retention, underpricing, investment,
dan firm size dapat diindikasikan sebagai variabel-variabel yang dapat
menyiratkan nilai perusahaan pada saat IPO.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh ownership
retention, underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Adapun untuk model penelitian dibagi menjadi 2 yaitu : 1) Model
penelitian yang menggunakan variabel underpricing yang belum
disesuaikan dengan return pasar (raw underpricing), 2) Model penelitian
yang menggunakan underpricing yang sudah disesuaikan dengan return
pasar (adjusted underpricing). Pada kedua model penelitian tersebut,
selain variabel underpricing, variabel-variabel lain yang digunakan tidak
ada perbedaan. Pada dasarnya, pembedaan ini dilakukan untuk melihat
adanya kemungkinan bahwa kenaikan harga saham di pasar sekunder
disebabkan oleh indeks harga di pasar yang sedang bergairah (Almira
Santosa dan Titik Indriati ; 2007).
Data penelitian diperoleh dari Bursa Efek Indonesia dan metode
pemilihan sampel menggunakan purposive sampling. Sebelum menguji
adanya pengaruh ownership retention, underpricing, investment, dan firm
size terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia (BEI), terlebih dahulu dilakukan pengujian satu sampel terhadap
variabel underpricing. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi
apakah nilai underpricing tersebut benar-benar berbeda dari nilai estimasi.
Jika benar nilai saham mengalami underpricing pada hari pertama
perdagangan di bursa, maka rata-rata initial return (R ) adalah positif.
t
Sebaliknya jika nilai saham tidak mengalami underpricing, maka rata-rata
initial return (R ) adalah negatif.
t
Selanjutnya, model analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model regresi linier berganda. Model regresi linier berganda
dikatakan model yang baik jika model tersebut memenuhi asumsi
normalitas data dan terbebas dari asumsi-asumsi klasik statistik, baik itu
multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Untuk itu, sebelum
melakukan uji regresi terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dan uji
asumsi klasik. Setelah itu, barulah dilakukan uji regresi yaitu: uji t untuk
melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara
parsial, uji F untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen secara simultan, kemudian menentukan Adjusted R
Square untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel-variabel
independen menjelaskan variabel dependen. Secara skematis, alur
kerangka pemikiran terlihat pada skema di bawah ini.
Data
Ownership
Retention
Underpricing
Invesment
Firm Size
Uji Normalitas
One sample t test
Nilai Perusahaan Yang
Melakukan IPO
Uji Normalitas Data
Uji Asumsi Klasik
Regresi Berganda
Uji t
Uji F
Adj. Square
Interpretasi
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Untuk Model 1
Data
Ownership
Retention
Adj
Underpricing*
Invesment
Firm Size
Uji Normalitas
One sample t test
Nilai Perusahaan Yang
Melakukan IPO
Uji Normalitas Data
Uji Asumsi Klasik
Regresi Berganda
Uji t
Uji F
Adj. Square
Interpretasi
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Untuk Model 2
J.
Hipotesis
Berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang telah
dikemukakan di awal, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
1
: Perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada
hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar
modal).
2
: Ownership retention mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO.
3
: Underpricing mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai perusahaan yang melakukan IPO.
4
: Invesment mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai perusahaan yang melakukan IPO.
5
: Firm size mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai perusahaan yang melakukan IPO.
6
: Ownership retention, underpricing, investment, dan firm size
secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan Initial
Public Offering (IPO) di BEI selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2007.
Objek penelitian ini adalah mendeteksi fenomena underpricing pada
hari pertama perdagangan saham di pasar sekunder dan meneliti pengaruh
ownership retention, underpricing, investment, dan firm size sebagai variabel
independen terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO sebagai variabel
dependen. Ownership retention ditunjukkan oleh proporsi kepemilikan saham
yang dipertahankan pemegang saham lama pada saat IPO. Underpricing
ditunjukan oleh adanya return awal yang positif pada hari pertama
perdagangan di pasar perdana. Invesment ditunjukan oleh besarnya jumlah
saham yang ditawarkan sebagai upaya untuk mendanai suatu proyek
investasi. Firm size ditunjukan oleh total aktiva yang dimiliki perusahaan
pada satu tahun terakhir sebelum IPO.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah one sample
t test dan model regresi linier berganda.
B. Metode Penetuan Sampel
Teknik pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode purposive sampling untuk mendapatkan sampel yang dapat mewakili
kriteria-kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria-kriterianya sebagai berikut:
1. Perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2001
sampai dengan tahun 2007.
2. Perusahaan memiliki data laporan keuangan minimal 1 tahun sebelum
melakukan IPO. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi total
aktiva terkait dengan pengukuran variabel firm size.
3. Prospektus perusahaan tersedia lengkap. Kriteria ini penting karena
prospectus merupakan sumber utama untuk digunakan dalam penelitian
ini.
4. Memiliki data-data harga saham yang lengkap.
Adapun proses pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sebagai berikut:
Tabel 3.1
Proses Pemilihan Sampel
Identifikasi perusahaan
Jumlah
Perusahaan yang melakukan IPO tahun 2001 s/d 2007
113
Prospektus tidak tersedia dengan lengkap
(25)
Data harga saham tidak lengkap
(2)
Data laporan keuangan yang tidak lengkap
(2)
Jumlah Sampel
84
Daftar perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.2
Daftar Sampel Perusahaan yang Melakukan IPO Tahun 2001 s/d 2007
Di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Tahun
IPO
2001
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
EMITEN
Akbar Indo Makmur Stimec Tbk
Arwana Citra Mulia Tbk
Asia Kapitalindo Securities Tbk
Bank Eksekutif International Tbk
Bank Nusantara Parahyangan Tbk
Betonjaya Manunggal Tbk
Bhakti Capital Indonesia Tbk
Central Korporindo Internasional Tbk
Centrin Online Tbk
Colorpak Indonesia Tbk
Daeyu Orchid Indonesia Tbk
Indoexchange Dot Com Tbk
Indofarma Tbk
Indosiar Visual Mandiri Tbk
Infoasia Teknologi Global Tbk
Integrasi Teknologi Tbk
Karka Yasa Profilia Tbk
Kimia Farma Tbk
Kopitime Dot Com Tbk
Lamicitra Nusantara Tbk
Lapindo Packaging Tbk
Limas Stockhomindo Tbk
Metamedia Technologies Tbk
Panorama Sentrawisata Tbk
Plastpack Prima Industri Tbk
Pyridam Farma Tbk
Roda Panggon Harapan Tbk
Tempo Inti Media Tbk
Wahana Phonix Tbk
KODE
AIMS
ARNA
AKSI
BEKS
BBNP
BTON
BCAP
CNKO
CENT
CLPI
DOID
INDX
INAF
IDSR
IATG
ITTG
KARK
KAEF
KOPI
LAMI
LAPD
LMAS
META
PANR
PLAS
PYFA
RODA
TMPO
WAPO
Tahun
IPO
2002
2003
2004
NO
EMITEN
KODE
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
Fortune Indonesia Tbk
Anta Express Tour & Travel Service Tbk
Fishindo Kusuma Sejahtera Tbk
Cipta Panelutama Tbk
Fatrapolindo Nusa Industri Tbk
Abdi Bangsa Tbk
Jasuindo Tiga Perkasa Tbk
Anugrah Tambak Perkasindo Tbk
United Capital Indonesia Tbk
Bank Swadesi Tbk
Sugi Samapersada Tbk
Kresna Graha Sekurindo Tbk
Apexindo Pratama Duta Tbk
Bank Bumi Putera Indonesia Tbk
Surya Citra Media Tbk
Gema Grahasarana Tbk
Inti Indah Karya Plasindo Tbk
Artha Sekurities Tbk
Bank Kesawan Tbk
Trust Finance Indonesia Tbk
Artha Pacific Sekurities Tbk
Tambang Batubara Bukit Asam Tbk
Pelayaran Tempuran Emas Tbk
Bank Mandiri Tbk
Bank Rakyat Indonesia Tbk
Perusahaan Gas Negara Tbk
Asuransi Jasa Tania Tbk
Adhi Karya (Persero) Tbk
Adira Dinamika Multi Finance Tbk
Hortus Danavest Tbk
Energi Mega Persada Tbk
Pembangunan Jaya Ancol Tbk
Sanex Qianjiang Motor International Tbk
Indosiar Karya Media Tbk
Aneka Kemasindo Utama Tbk
Yulie Sekurindo Tbk
FORU
ANTA
FISH
CITA
FPNI
ABBA
JPTE
ATPK
UNIT
BSWD
SUGI
KREN
APEX
BABP
SCMA
GEMA
IIKP
ARTA
BKSW
TRUS
APIC
PTBA
TMAS
BMRI
BBRI
PGAS
ASJT
ADHI
ADMF
HADE
ENRG
PJAA
SQMI
IDKM
AKKU
YULE
Tahun
IPO
2005
NO
EMITEN
66 Apeny Pratama Ocean Line Tbk
67 Asuransi Multi Artha Guna Tbk
68 Excelcomindo Pratama Tbk
69 Multistrada Arah Sarana Tbk
70 Panca Global Securities Tbk
2006
71 Bakrie Telecom Tbk
72 Bank Himpunan Saudara 1906 Tbk
73 Central Proteinaprima Tbk
74 Indonesia Air Transport Tbk
75 Malindo Feedmill Tbk
76 Mobile-8 Telecom Tbk
77 Radiant Utama Interisco Tbk
78 Total Bangun Persada Tbk
79 Truba Alam Manunggal Engineering Tbk
2007
80 Ace Hardware Indonesia Tbk
81 Alam Sutera Realty Tbk
82 Catur Sentosa Adiprana Tbk
83 Perdana Gapuraprima Tbk
84 Wijaya Karya (Persero) Tbk
Sumber : JSX Statistics
KODE
APOL
AMAG
EXCL
MASA
PEGE
BTEL
SDRA
CPRO
IATA
MAIN
FREN
RUIS
TOTL
TRUB
ACES
ASRI
CSAP
GPRA
WIKA
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Adapun data-data sekunder tersebut diperoleh dari:
1. Prospektus yang dikeluarkan oleh setiap perusahaan-perusahaan yang
melakukan kebijakan IPO.
2. Studi pustaka, yaitu mencari, mengumpulkan, mengidentifikasi, dan
menganalisis buku-buku teks, jurnal-jurnal, makalah-makalah, artikelartikel dan sebagainya yang terkait dengan topik penelitian.
3. Jakarta Stock Exchange (JSX) Statistic Bursa Efek Indonesia untuk
mengetahui daftar perusahaan yang go public.
4. Melalui
download
dari
beberapa
situs
terkait,
seperti:
http://www.bei.co.id, http://www.bapepam.go.id, http://puslit.petra.ac.id,
http:// www.yahoofinance.com dan lain-lain.
D. Metode Analisis
1. Pengujian Hipotesis 1
Pengujian hipotesis 1 menggunakan uji one sample t test yang pada
prinsipnya ingin menguji apakah suatu nilai tertentu berbeda secara nyata
ataukah tidak dengan rata-rata sebuah sampel. Nilai tertentu di sini pada
umumnya adalah sebuah nilai parameter untuk mengukur suatu populasi.
Untuk menentukan apakah suatu nilai tertentu berbeda secara nyata
ataukah tidak dengan rata-rata sebuah sampel, maka digunakan dasar
keputusan yang digunakan adalah jika nilai signifikansi t lebih kecil dari
pada taraf keyakinan 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya bahwa
nilai suatu variabel tidak berbeda secara nyata dengan rata-rata sebuah
sampel.
Sebelum dilakukan pengujian menggunakan one sample t test,
maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan uji kolmogorov
smirnov untuk menunjukkan kenormalan distribusi data yang digunakan.
Jika nilai signifikansi kolmogorov smirnov lebih besar dari α = 5%, maka
data berdistribusi dengan normal.
Jika data terbukti normal, maka selanjutnya dilakukan pengujian
one sample t test. Pengujian hipotesis menggunakan one sample test untuk
melihat apakah initial return (R ) berbeda secara signifikan atau tidak
i,t
dengan rata-rata initial return (R ) selama pengamatan. One sample test
t
digunakan untuk melihat nilai underpricing selama pengamatan pada hari
pertama perdagangan di bursa. Apakah nilai underpricing tersebut benarbenar berbeda dari nilai estimasi. Ketentuan untuk pengambilan keputusan
bila signifikansi < 0,05 maka H ditolak dan H diterima.
0
a
Jika benar nilai saham mengalami underpricing pada hari pertama
perdagangan di bursa, maka rata-rata initial return (R ) adalah positif.
t
Sebaliknya jika nilai saham tidak mengalami underpricing, maka rata-rata
initial return (R ) adalah negatif.
t
2. Pengujian Hipotesis 2,3,4,5, dan 6
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi dependent variable, independent variable ataupun keduanya
mempunyai distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini,
pengujian normalitas menggunakan uji statistik non parametrik
Kolmogorov-Smirnov. Pengujian dilakukan terhadap nilai residual. Uji
dilakukan dengan membuat hipotesis:
H0 : Data residual berdistribusi normal
Ha : Data residual tidak berdistribusi dengan normal.
Jika nilai signifikansi K-S > 0,05 maka Ho diterima, berarti model
regresi yang akan digunakan berdistribusi normal.
Jika nilai signifikansi K-S < 0,05 maka Ho ditolak, berarti model
regresi yang akan digunakan tidak berditribusi normal.
b. Uji Asumsi Klasik
Dalam menggunakan analisis
regresi agar menunjukkan
hubungan yang valid atau tidak bias maka perlu dilakukan pengujian
asumsi klasik pada model regresi yang digunakan. Adapun asumsiasumsi klasik diantaranya diantaranya:
1) Uji Multikolinieritas
Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi diantara variabel independen. Jika variabel independen
saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal.
Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi
antar sesama variabel independen sama dengan nol.
Menurut
Imam Ghozali (2003: 91) ada beberapa indikasi adanya
multikolinieritas, yaitu:
(a) Jika statistic F signifikan tetapi statistik t banyak atau tidak ada
yang signifikan.
(b) Jika R2 relatif besar tetapi statistik t banyak atau tidak ada yang
signifikan.
Untuk mendeteksi adanya multikolinieritas dapat juga
dilihat dari besarnya VIF (Variance Inflation Factor) dan
Tolerance.
Menurut Imam Ghozali (2001: 92), pedoman suatu model
regresi yang terbebas dari gejala multikolinearitas adalah:
(a) Mempunyai nilai VIF < 10.
(b) Mempunyai angka tolerance > 0,1.
2) Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi dari model regresi linier klasik adalah
bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial (autocorrelation
or serial correlation) antara kesalahan penggangu (ei).
Autokorelasi dapat didefinisikan pula terjadinya korelasi
diantara data pengamatan sebelumnya, dengan kata lain bahwa
munculnya suatu data dipengaruhi oleh data sebelumnya. Tujuan
dari uji autokorelasi ini adalah untuk menguji apakah dalam model
linier ada korelasi antara kesalahan penggangu dengan periode t
dengan kesalahan pada periode t-1. Sebelumnya, jika terjadi
korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi.
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi atau tidak, dapat
dilihat melalui nilai Durbin-Watson. Bila nilai DW terletak
diantara du < d < 4 – du maka dapat dikatakan tidak terjadi
autokorelasi baik positif maupun negatif, dimana du adalah batas
atas dan dl adalah batas bawah.
Hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : Tidak terjadi autokorelasi
Ha : Ada autokorelasi
Tabel 3.3
Kriteria Keputusan Durbin Watson
Syarat
Keputusan
Kesimpulan
d<dl
Tolak H0
dl ≤ d ≤ du
Tidak ada keputusan
Ragu-ragu ada autokorelasi positif
du < d < 4-du
Terima H0
Tidak ada autokorelasi positif atau
negatif
4-du ≤ d ≤ 4-dl
Tidak ada keputusan
Ragu-ragu ada autokorelasi negatif
4-dl < d <4
Tolak H0
Ada autokorelasi positif
Tidak ada autokorelasi negatif
Sumber: N.D Nachrowi dan Hardius Usman, 2006
3) Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan dimana varian
dari kesalahan pengganggu tidak konstan untuk semua nilai
variabel bebas. Uji heteroskedastisitas ini bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari
residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika tetap
(konstan), maka disebut homoskedastisitas dan bila berbeda
disebut heteroskedastisitas.
Menurut Imam Ghozali (2001:105) ada beberapa cara
untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, antara lain:
(a) Melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat
(ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Deteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas dengan melihat ada tidaknya pola tertentu
pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana
sumbu X dan Y yang telah diprediksi dan sumbu Y adalah
residual
(Y
prediksi
–Y
sesungguhnya)
yang
telah
distudentized.
(b) Dasar analisis, jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada
membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang,
melebar,
kemudian
menyempit),
maka
telah
terjadi
heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas serta titik
menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka
tidak terjadi heteroskedastisitas.
c. Regresi Berganda
Persamaan regresi adalah persamaan matematika
yang
mendefinisikan hubungan dua variabel atau lebih. Hubungan yang
dimaksud yaitu variabel independen (X) dan variabel dependen (Y).
Pada penelitian ini, nilai perusahaan yang melakukan IPO sebagai
variabel dependen sedangkan ownership retension, underpricing,
investment, dan firm size sebagai variabel independen. Variabel firm
size adalah variabel dummy dengan memberikan nilai 1 untuk kategori
perusahaan besar serta nilai 0 untuk perusahaan kecil. Pengujian
hipotesis pada penelitian ini menggunakan 2 model regresi, sehingga
model analisis untuk penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
NPj = a + b1 OWNj + b2 UPj + b3 INVj + b4 SIZEj + εj
NPj = a + b1 OWNj + b2 AUPj + b3 INVj + b4 SIZEj + εj
Keterangan ;
NPj
= Nilai perusahaan yang melakukan IPO
a
= Konstanta
b1 - b4
= Koefisien regresi
OWNj
= Ownership Retention
UPj
= Underpricing
AUPj
= Adjusted Underpricing yaitu tigkat underpricing yang
sudah disesuaikan dengan return pasar.
INVj
= Investment
SIZEj
= Firm Size, merupakan variabel dummy, 0 untuk kategori
perusahaan kecil dan 1 untuk kategori perusahaan besar.
d. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)
Uji t adalah untuk menguji pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen. Dalam hal ini, variabel independen terdiri
dari ownership retention, underpricing, investment, dan firm size,
sedangkan variabel dependennya adalah nilai perusahaan yang
melakukan IPO.
Uji t digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh yang
signifikan
antara
variabel
ownership
investment, dan firm size secara parsial.
T
bi   i 
Sb
retension,
underpricing,
Dimana bi : Koefisien variabel ke i
βi : Parameter ke I yang dihipotesiskan
Sb : Kesalahan standar, atau standar error sample.
Adapun Sb dapat dihitung dengan cara:
Sb 
SC
X
2
r
  X i 
2
Y
2
i
dan S C 
 a  Yi  b X i Yi
nk
Adapun untuk menguji hipotesis digunakan statistik t
dengan kriteria pengambilan keputusan:
 Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya
variabel independen secara parsial mempunyai pengaruh signifikan
terhadap variabel dependen.
 Jika nilai signifikansi t lebih kecil dari pada taraf keyakinan 5%
maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel independen
secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel
dependen.
e. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji F dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel
independen (ownership retension, underpricing, investment, dan firm
size) secara simultan atau bersama-sama mempunyai pengaruh
terhadap variabel dependen (nilai perusahan yang melakukan IPO).
F hitung 
Dimana : R2 = Koefisien Regresi
R 2 (K - 1)
1 - R 2 n - K 


K = Jumlah variabel penelitian
n = Jumlah sample
Adapun untuk menguji hipotesis digunakan statistik F dengan
kriteria pengambilan keputusan:
 Jika F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya
variabel-variabel independen secara simultan mempunyai pengaruh
signifikan terhadap variabel dependen.
 Jika nilai signifikansi F lebih kecil dari pada taraf keyakinan 5%
maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya variabel-variabel
independen secara simultan mempunyai pengaruh signifikan
terhadap variabel dependen.
f. Adj R Square
Uji ketepatan perkiraan (R2) dilakukan untuk mendeteksi
ketepatan paling baik dari garis regresi. Uji ini dilakukan dengan
melihat besarnya nilai koefisien determinasi R2 merupakan besaran
nilai non negatif. Besarnya nilai koefisien determinasi adalah antara
nol sampai dengan 1 (1≥ R2 ≤ 0). Koefisien determinasi bernilai nol
berarti tidak ada hubungan antara variabel independent dengan
variabel dependen, sebaliknya nilai koefisien determinasi 1 berarti
suatu kecocokan sempurna dari ketepatan perkiraan model.
E. Operasional Variabel
1. Dependen Variabel
Variabel tidak bebas dari penelitian ini adalah nilai perusahaan
yang melakukan IPO. Nilai Perusahaan adalah sama dengan nilai pasar
saham ditambah dengan nilai pasar hutang. Apabila besarnya nilai
hutang konstan atau nol maka setiap peningkatan nilai saham dengan
sendirinya akan meningkatkan nilai perusahaan (Rudianto; 2005).
Pengukuran nilai perusahaan dalam penelitian ini menggunakan
nilai kapitalisasi pasar pada hari ke-20 setelah IPO karena nilai
perusahaan dalam penelitian ini dalam konteks IPO saham dan
diasumsikan nilai hutang adalah konstan, sehingga setiap peningkatan
nilai saham dengan sendirinya akan meningkatkan nilai perusahaan.
Peningkatan nilai saham ini terjadi karena investor, dengan melihat
sinyal-sinyal positif yang ada pada perusahaan, tertarik dan bersedia
untuk membayar lebih mahal untuk mendapatkan saham perusahaan
tersebut karena percaya bahwa akan memperoleh pengembalian yang
menguntungkan.
Nilai perusahaan yang sudah go public tercermin dalam harga
pasar saham perusahaan (Fama, 1978 ; Wrights & Ferris 1997; Walker,
2000 dalam Sri Hasnawati 2005). Harga saham digunakan sebagai
proksi nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga yang
bersedia dibayar oleh calon
investor apabila ingin memiliki suatu
perusahaan. Jadi nilai perusahaan merupakan hasil kali antara harga
saham perlembar pada hari ke-20 setelah perusahaan IPO dengan jumlah
saham, yang kemudian dinyatakan dalam logaritma natural. Alasan
memilih harga saham pada hari ke-20 setelah IPO sebagai salah satu
perhitungan mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu:
a.
Gumanti (2004) melakukan penelitian tentang pengaruh ownership
retention dan underpricing terhadap nilai perusahaan. Hasil
penelitiannya bertentangan dengan hipotesa yang menyatakan
bahwa ownership retention dan underpricing berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan . Diduga hasil ini
karena ketidaktepatan pemilihan proxy untuk nilai perusahaan yang
menggunakan
nilai
kapitalisasi
pasar
pada
hari
pertama
perdagangan di pasar sekunder (jumlah saham beredar hari ke 1x
harga
perdana
saham),
sehingga
menyarankan
alternatif
penggunaan nilai kapitalisasi pasar beberapa hari setelah go public
berdasarkan penelitian How dan Low (1993).
b.
Aharony dan Swary (1980) dalam Almira Santosa dan Titik
Indrawati (2007) menyimpulkan bahwa tidak banyak berbeda antara
menggunakan harga saham per lembar pada hari ke-5 dengan
menggunakan harga saham per lembar pada hari ke-20 sebagai
ukuran nilai perusahaan.
c.
How dan Low (1993) dalam Adiana dan Kamarun (2004); Almira
Santosa dan Titik Indrawati (2007) membuktikan bahwa ownership
retention, underpricing dan investment mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap nilai perusahaan yang diproksi dengan
kapitalisasi pasar pada hari ke 20 setelah IPO. Alasan penggunaan
kapitalisasi pasar pada hari ke 20 setelah IPO karena akan lebih
mencerminkan nilai sesungguhnya saham perusahaan dan selama
periode tersebut tidak mengalami penurunan harga kembali.
Berdasarkan alasan di atas, maka dalam penelitian ini, dipilih harga
saham perlembar pada hari ke-20 setelah perusahaan melakukan IPO
sebagai salah satu perhitungan untuk menentukan nilai perusahaan.
Secara ringkas rumusannya sebagai berikut:
Nilai perusahaan = Ln (P20 x Jumlah saham beredar)
Ket:
P20 = Harga saham pada hari ke-20 setelah IPO
2. Independen Variabel
Dalam penelitian ini digunakan empat variabel bebas, yaitu:
a. Ownership
retention
yaitu
proporsi
kepemilikan
saham
yang
dipertahankan pemegang saham lama pada saat IPO. Besarnya proporsi
ownership retention ini, diukur dari selisih total saham dikurangi dengan
jumlah saham yamg ditawarkan ke masyarakat (Khomsiyah, 2005).
Atau dapat pula dihitung dengan cara:
Ownership Retention 
Total saham - Jumlah saham yang ditawarkan ke publik
Total saham
b. Underpricing yaitu selisih antara harga penutupan saham (closing price)
pada hari pertama perdagangan dibursa dengan harga di pasar perdana
dibagi dengan harga perdana (Apriliani Triani dan Nikmah, 2006).
Rumusan yang digunakan adalah metode sederhana (mean adjusted
model):
Rit 
P1  P0
 100%
P0
Untuk menghindari bias karena pengaruh magnitude pembaginya, maka
digunakan rumus sebagai berikut (Aminul Amin, 2007):
Rit = ln (P1/P0)
Dimana:
R0 = Return awal
P0 = Harga penawaran perdana (offering price)
P1 = Harga penutupan (closing price) pada hari pertama perusahaan
melakukan IPO di BEI.
c. Adjusted Underpricing yaitu tingkat underpricing yang disesuaikan
dengan return pasar, yang dihitung dengan cara sebagai berikut:
AUP  P1  P0  / P0   IHSG1  IHSG0  / IHSG0 
Untuk menghindari bias karena pengaruh magnitude pembaginya, maka
pada initial return rumus dinyatakan dalam ln (Aminul Amin, 2007).
Sehingga digunakan rumus sebagai berikut:
AUP  ln P1 / P0   ln IHSG1 / IHSG0 
Dimana:
AUP
= Adjusted Underpricing
P0
= Harga penawaran perdana (offering price)
P1
=Harga penutupan (closing price) pada hari pertama perusahaan
melakukan IPO di BEI.
IHSG0 = Indeks harga saham gabungan pada hari saat melakukan go
public.
IHSG1 = Indeks harga saham gabungan sehari sebelum go public.
d. Investment
Investasi ini merupakan investasi riil yang didanai dari proceed IPO.
Semakin besar saham yang ditawarkan kepada masyarakat, maka semakin
besar dana yang diperoleh melalui IPO untuk membiayai investasi.
Tingkat investasi ini dihitung dengan rumus:
Invesment = Ln (Jumlah saham yang ditawarkan x harga penawaran)
e. Firm size
berdasarkan total aktiva pada tahun terakhir perusahaan
melakukan IPO (Helen dan Sulistio, 2005). Firm size merupakan variabel
dummy, 0 = perusahaan kecil dan 1= perusahaan besar. Yenny
Charlemagne (2005) dalam Said Kelana dan Chandra Wijaya (2006)
melakukan pengkategorian firm size berdasarkan total aktiva, yaitu: (1)
Perusahaan besar, jika total aset > 400 Milyar , (2) Perusahaan kecil, jika
total aset < 400 Milyar.
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
F. Sejarah dan Perkembangan Bursa Efek di Indonesia
1. Awal Pendirian Bursa Efek
Pasar modal Indonesia dimulai ketika Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Bursa Efek di Jakarta (Batavia) pada akhir 1912. Efek-efek
yang diperdagangkan dalam bursa ini terdiri atas saham-saham dan
obligasi yang diterbitkan perusahaan milik Belanda yang beroperasi di
Indonesia, obligasi Pemerintah Hindia Belanda dan efek-efek Belanda
lain. Pendirian bursa efek oleh pemerintah Belanda tersebut bertujuan
untuk memobilisasi dana dalam rangka membiayai perkebunan milik
Belanda yang saat itu sedang dikembangkan secara besar-besaran di
Indonesia.
Pendirian bursa efek di Batavia tersebut diikuti dengan pendirian
bursa efek di Semarang dan Surabaya pada tahun 1925. Dengan berbekal
pengalaman bursa efek di negeri Belanda yang cukup lama, bursa efek
yang didirikan tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat
sampai akhirnya kegiatannya terhenti akibat pecahnya Perang Dunia
Kedua.
2. Pasca Perang Dunia II
Pada saat Perang Dunia II, Jerman berhasil menduduki Belanda
lalu saham-saham orang Belanda pun direbut Jerman. Tentu saja, pasar
modal Indonesia yang amat bergantung pada eksistensi Belanda ikut
terpengaruh. Maka pada 10 Mei 1940 bursa efek Batavia harus tutup dan
saat itu terdapat 250 jenis saham dengan nilai 1,4 miliar gulden.
Pada 23 Desember 1940 para direktur Economische Zaken,
Handelsvereeniging dan Javashe Bank membuka kembali kantor bursa
Batavia. Tapi hal ini tidak berlangsung lama karena Jepang masuk ke
Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bursa efek kembali
diaktifkan dan pemerintah mengeluarkan UU Darurat tentang Bursa No.13
Tahun 1951 yang kemudian ditetapkan dengan UU No.15 Tahun 1952.
Penyelenggaraan bursa efek yang dibuka di Jakarta tersebut dilakukan
oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) di mana Bank
Indonesia
terlihat
sebagai
penasihat.
Untuk
lebih
memantapkan
pelaksanaan pasar modal telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
3. Era Pra Deregulasi (1977-1987)
Di masa ini pasar modal mengalami masa yang cukup suram.
Sebab saat itu perusahaan-perusahaan masih kental diwarnai dengan
budaya perusahaan keluarga dan enggan untuk go public di pasar modal.
Kondisi ini tentu membuat pemerintah bekerja keras untuk
mendorong perusahaan go public. Berbagai kemudahan diberikan
pemerintah seperti tax incentive. Tetapi itu pun ternyata tak cukup
merangsang minat pengusaha untuk go public. Ini bisa terlihat dari
sedikitnya jumlah perusahaan yang masuk ke pasar modal di masa itu.
Dalam satu dekade pertama (1977-1987) hanya ada 24 perusahaan yang
menawarkan sahamnya ke publik dan 3 perusahaan yang menawarkan
obligasi melalui pasar modal. Sementara jumlah dana yang dapat
dihimpun dari penjualan saham hanya berkisar Rp. 131,4 miliar,
sedangkan dari emisi obligasi sekitar Rp. 535,7 miliar.
Masalah lain yang membuat pasar modal Indonesia di masa itu
diliputi kesuraman disebabkan pula oleh faktor yang muncul dari lembaga
pasar modal itu sendiri. Banyak aturan pasar modal yang dianggap oleh
pemilik perusahaan tidak terlalu menguntungkan mereka yang go public.
Berdasarkan catatan, paling tidak ada lima persyaratan yang menghambat
minat para pemilik perusahaan masuk ke pasar modal, yaitu:
1) Adanya persyaratan lab minimum sebesar 10% dari modal sendiri bagi
perusahaan yang ingin go public. Artinya perusahaan yang ingin go
public harus memiliki keuntungan 10% selama 2 tahun sebelum
menawarkan sahamnya ke masyarakat. Persayaratan ini cukup
memberatkan bagi perusahaan terkait yang ingin go public.
2) Tertutupnya kesempatan bagi investor asing untuk ikut berpartisipasi
dalam pemilikan saham. Masyarakat belum banyak yang mengerti dan
memahami betul tentang manfaat investasi pasar modal. Akibatnya,
jumlah investor tidak berkembang dan volume serta nilai transaksi pun
bisa dibilang stagnan.
3) Adanya batas maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4% dari harga
awal dalam setiap hari perdagangan di bursa. Batasan ini membuat
pasar kurang menarik bagi investor. Fluktuasi harga saham yang
terjadi tidak berlangsung berdasarkan mekanisme pasar yang
sebenarnya.
4) Tidak adanya perlakuan yang sama terutama dalam hal pajak terhadap
penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan dividen.
Akibatnya, investor masih lebih suka menanamkan uangnya di
deposito dari pada investasi melalui pembelian saham di bursa.
5) Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan
seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa.
4. Era Deregulasi (1987-1990)
Usaha pengaktifan bursa efek agaknya tidak mengalami
perkembangan atau bahkan dapat dikatakan tidak begitu banyak
pengaruhnya. Keadaan tersebut berlangsung sampai memasuki dekade
1970-an. Tentu saja hal ini tidak boleh berlanjut. Pada 1987 sejalan
dengan semakin besarnya kebutuhan dana investasi dan pembangunan,
serta perlunya menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah mulai
menyadari peran strategis pasar modal. Dari sini pemerintah merombak
berbagai aturan yang dianggap menghambat minat perusahaan untuk
masuk bursa. Karenanya pemerintah lantas meluncurkan tiga perangkat
paket penting kebijakan pasar modal. Intinya berupa penyederhanaan
aturan yang dikemas dalam paket-paket deregulasi. Ketiga paket itu
masing-masing:
1) Paket Desember 1987 yang dikenal dengan Pakdes. Isinya antara lain
penghapusan persayaratan laba minimum 10% dari modal sendiri.
Diperkenalkannya instrumen baru pasar modal yaitu saham atas unjuk.
Dibukanya bursa parallel sebagai arena perdagangan efek bagi
perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Dihapuskannya ketentuan
batas maksimum fluktuasi harga 4%.
2) Paket Oktober 1988 yang dikenal dengan Pakto. Lewat Pakto ini
pemerintah melakukan terobosan-terobosan yang amat signifikan,
berupa pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan tabungan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan
pemberian kredit bank kepada nasabah perorangan dan nasabah grup
yaitu secara berturut-turut tidak melebihi 20% dan 50% dari modal
sendiri bank pemberi kredit. Penetapan persyaratan model minimum
untuk mendirikan bank umum swasta nasional, bank pembangunan
swasta nasional dan bank campuran. Kebijakan ini juga memberi
peluang kepada bank untuk memanfaatkan pasar modal untuk
memperluas permodalannya.
3) Paket Desember 1988. Melalui paket ini, pemerintah memberi
kesempatan kepada swasta untuk mendirikan dan menyelenggarakan
bursa di luar Jakarta. Dengan kebijakan ini, dibuka peluang bagi
investor di Indonesia bagian lain untuk memperdagangkan efeknya di
Bursa efek Jakarta (BEJ). Paket ini memungkinkan pula perusahaan
untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh
di bursa (company listing) Dengan demikian, diharapkan bahwa saham
perusahaan akan lebih marketable.
4) Dibukanya izin bagi investor asing untuk membeli saham di bursa
Indonesia. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1055/KMK /013/1989 tentang Pembelian Saham
oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal. Melalui keputusan ini,
pemerintah membuka kesempatan kepada investor asing untuk
berpartisipasi di pasar modal Indonesia dalam pemilikan saham-saham
perusahaan sampai dengan makimum 49% di pasar perdana, maupun
49% saham yang tercatat di bursa efek dan bursa paralel.
5) Kebijakan ini disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1548/KMK/013/1990. Lantas diubah lagi dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199/KMK/010/1991. Dalam
keputusan terakhir ini, dijelaskan bahwa tugas Bapepam yang mulanya
juga penyelenggara bursa, kini menjadi Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam). Selain itu pemerintah pun membentuk lembaga-lembaga
baru seperti lembaga kliring penyelesaian dan penyimpangan (LKPP),
reksadana dan manajer investasi.
5. Era Pasca Deregulasi
Lahirnya berbagai kebijakan ini telah menebalkan kepercayaan
investor tehadap pasar modal Indonesia. Puncak kepercayaan itu terjadi
sesudah pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal yang berlaku secara efektif 1 Januari 1996.
UU ini lantas disusul pula dengan meluncurnya dua Peraturan
Pemerintah (PP). Pertama, PP Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Kedua, PP Nomor 46
tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal. Di tingkat menteri
pun terlahir pula tiga keputusan pendukung UU itu. Keputusan itu masingmasing Nomor 646/KMK.010/1995 tentang Pemilikan Saham atau Unit
Penyertaan Reksadana oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal, dan
Nomor 467/KMK.010/1997 tentang Pemilikan Saham Perusahaan Efek
oleh Pemodal Asing.
Pemberlakuan kebijakan ini bisa dikatakan sebagai momentum
penting dalam perjalanan pasar modal Indonesia untuk menuju pasar
modal yang bisa bersaing di dunia. Sampai dengan tahun 1996 Bapepam
telah mengeluarkan 102 peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan teknis
dari undang-undang itu. Mulai dari tahun 1991 sampai akhir 1996, pasar
modal Indonesia terus bergerak maju. Dari segi hukum, UU No.8 Tahun
1995 dan aturan pendukung lainnya telah memberdayakan Bapepam
dalam penegakan hukum.
Selain itu Bapepam pun seperti diamanatkan dalam UU No.8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah membentuk Lembaga Kliring dan
Penjaminan (LKP) dengan nama PT. Kliring dan Penjaminan Efek
Indonesia (KPEI) dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP)
yang berwujud PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Lembagalembaga ini menggantikan peran PT. Kliring Deposit Efek Indonesia
(KDEI) yang sudah berdiri sejak 1992.
6. Pembentukan Bursa Efek Indonesia (BEI)
Pada tahun 2007 BEJ melakukan merger dengan Bursa Efek
Surabaya
dan
berganti
nama
menjadi
Bursa
Efek
Indonesia.
Penggabungan ini menjadikan Indonesia hanya memiliki satu pasar modal.
Perusahaan hasil penggabungan usaha ini memulai operasinya pada 1
Desember 2007. Bursa Efek Indonesia dipimpin oleh Direktur Utama Erry
Firmansyah, mantan direktur utama BEJ. Mantan Direktur Utama BES
Guntur Pasaribu menjabat sebagai Direktur Perdagangan Fixed Income
dan Derivatif, Keanggotaan dan Partisipan. BEI menggunakan sistem
perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak 22
Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya.
Sistem JATS ini sendiri direncanakan akan digantikan sistem baru yang
akan disediakan OMX.
Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia
dapat dilihat sebagai berikut:

14 Desember 1912 : Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di
Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.

1914 - 1918 : Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I

1925 - 1942 : Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan
Bursa Efek di Semarang dan Surabaya

Awal tahun 1939 : Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di
Semarang dan Surabaya ditutup.

1942 - 1952 : Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang
Dunia II

1952 : Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat
Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman
(Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro
Djojohadikusumo).
Instrumen
yang
diperdagangkan:
Obligasi
Pemerintah RI (1950)

1956 : Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin
tidak aktif.

1956 - 1977 : Perdagangan di Bursa Efek vakum.

10 Agustus 1977 : Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden
Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar
Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal.
Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public
PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama.

1977 - 1987 : Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten
hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen
perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.

1987 : Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87)
yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan
Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di
Indonesia.

1988 - 1990 : Paket deregulasi di bidang Perbankan dan Pasar Modal
diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat
meningkat.

2 Juni 1988 : Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan
dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE),
sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.

Desember 1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88
(PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go
public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan
pasar modal.

16 Juni 1989 : Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan
dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek
Surabaya.

13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan
Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ.

22 Mei 1995 : Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan
dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).

10 November 1995 : Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang No.
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai
diberlakukan mulai Januari 1996.

1995 : Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.

2000 : Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai
diaplikasikan di pasar modal Indonesia.

2002 : BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh
(remote trading).

2007 : Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek
Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
G. Analisis Deskriptif
Penelitian ini menggunakan sample 84 perusahaan yang melakukan IPO
pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007. Hasil dari statistik deskriptif
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.1.
Statistik Deskriptif
Variabel
NP
OWN
UP
Adj. UP
INV
Mean
1,317,867,912,869
0,75
0,29
0,29
261,332,773,306
Min
28,807,930,200
0,50
-0,39
-0,39
7,800,000,000
Sumber: Data diolah
Keterangan:
NP
: Nilai Perusahaan
OWN
: Ownership Retention
Max
20,207,212,500,000
0,93
1,31
1,30
4,169,116,875,000
Std. Deviasi
3,207,415,276,581
0,10
0,33
0,33
651,524,794,165
UP
: Underpricing
Adj UP
: Adjusted Underpricing
INV
: Investment
Tabel 4.1 menyajikan gambaran statistik dari variabel Nilai perusahaan,
Ownership retention, Underpricing, dan Investment. Secara statistik dapat
diketahui bahwa dari 84 perusahaan yang dijadikan sampel, variabel nilai
perusahaan memiliki nilai minimum Rp. 28.807.930.200,- yang terdapat pada
perusahaan
Daeyu
Orchid
Indonesia
Tbk
dan
nilai
terbesar
Rp.
20.207.212.500.000,- pada perusahaan Excelcomindo Pratama Tbk, dengan
nilai
mean
Rp.
1.317.867.912.869,-
dan
standar
deviasi
Rp.
3.207.415.276.581,Variabel Ownership Retention memiliki nilai minimum 0,50 atau 50 %
yang terdapat pada perusahaan Abdi Bangsa Tbk dan nilai maximum 0,93 atau
93 % pada perusahaan Lamicitra Nusantara Tbk, dengan nilai rata-rata 0,75
atau 75 % dan standar deviasi 0,10 atau 10 %.
Variabel Underpricing memiliki nilai minimum -0,39 atau 39% yang
terdapat pada perusahaan Kresna Graha Sekurindo Tbk dan nilai maximum
1,31 atau 131% pada perusahaan Roda Panggon Harapan Tbk, dengan nilai
rata-rata 0,29 atau 29% dan standar deviasi 0,33 atau 33%. Rata-rata initial
return pada hari pertama perdagangan di pasar modal ( 0,29 atau 29%) adalah
positif, baik pada model 1 (menggunkan raw undepricing) maupun pada
model 2 (adjusted underpricing), menunjukkan bahwa saham perusahaan
mengalami underpricing pada hari pertama diperdagangkan di pasar sekunder.
Hal ini konsisten dengan hasil penelitian Aminul Amin (2007) dan Husnan
(1996) dalam Prihartanto (2002) yang menyatakan bahwa perusahaan yang
melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham
diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal).
Variabel Adj.Underpricing memiliki nilai minimum -0,39 atau 39%
yang terdapat pada perusahaan Kresna Graha Sekurindo Tbk dan nilai
maximum 1,30 atau 130% pada perusahaan Roda Panggon Harapan Tbk,
dengan nilai rata-rata 0,29 atau 29% dan standar deviasi 0,33 atau 33%.
Variabel Investment memiliki nilai minimum Rp. 7.800.000.000,- yang
terdapat pada perusahaan Betonjaya Manunggal Tbk dan nilai maximum Rp.
4.169.116.875.000 pada perusahaan Bank Rakyat Indonesia Tbk, dengan nilai
rata-rata Rp.261.332.773.306 dan standar deviasi Rp. 651.524.794.165 .
Oleh karena variabel firm size merupakan variabel dummy (kategori),
maka tidak perlu dilakukan deskripsi statistik hanya perlu dibuat tabel
frekuensi. Frekuensi variabel firm size dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2.
Frekuensi variabel firm size
Valid
Perusahaan Kecil
Perusahaan Besar
Total
Sumber : Output SPSS
Frequency
59
25
84
Percent
70.2
29.8
100.0
Valid Percent
70.2
29.8
100.0
Cumulative
Percent
70.2
100.0
Tabel 2 menggambarkan bahwa perusahaan kecil tercatat sebanyak 59
perusahaan atau 70,2% dari total perusahaan yang dijadikan sampel,
sedangkan perusahaan besar tercatat sebanyak 25 perusahaan atau 29,8% dari
total perusahaan yang dijadikan sampel.
H. Analisis Statistik
1. Hasil Pengujian Hipotesis 1
Pengujian underpricing, baik pada raw underpricing (model 1)
maupun pada adjusted underpricing (model 2), yang menggunakan
initial return (Rit) pada analisis deskriptif telah membuktikan hipotesis
pertama yang menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan IPO
mengalami
underpricing
pada
hari
pertama
ketika
saham
diperdagangkan di pasar sekunder. Hal ini terlihat dari rata-rata initial
return yang menunjukan nilai positif.
Hasil
pengujian
underpricing
tersebut
didukung
dengan
pengujian one sample t test. Sebelum dilakukan pengujian one sample t
test, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan distribusi data dengan
kolmogorov-smirnov test pada model 1 maupun model 2. Pengujian
normalitas tersebut terlihat pada tabel 4.3 dan 4.4.
MODEL 1
Tabel 4.3.
Uji Normalitas Initial Return
N
Normal Parameters
Underpricing
84
.2907
.32950
.141
.141
-.117
1.296
.069
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Most Extreme
Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Sumber : Output SPSS
Tabel
4.3
di
atas
menunjukan
nilai
signifikansi
kolmogorov-smirnov test sebesar 0,069 yang lebih besar dari 0,05, hal
ini berarti distribusi data initial return adalah normal. Oleh karena itu,
pengujian one sample t test dapat dilakukan.
MODEL 2
Tabel 4.4.
Uji Normalitas Initial Return
N
Normal Parameters
Most Extreme
Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Sumber : Output SPSS
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Adj
Underpricing
84
.2901
.33074
.144
.144
-.103
1.316
.063
Tabel 4.4 di atas menunjukan nilai signifikansi kolmogorovsmirnov test sebesar 0,063 yang lebih besar dari 0,05, hal ini berarti
distribusi data initial return adalah normal. Oleh karena itu, pengujian
one sample t test dapat dilakukan.
Untuk pengujian one sample t test, terlebih dahulu dibuat
hipotesis operasional. Adapun hipotesis tersebut sebagai berikut:
H0 : Tidak terjadi underpricing pada hari pertama perdagangan di pasar
sekunder.
Ha : Terjadi underpricing pada hari pertama perdagangan di pasar
sekunder.
Ketentuan untuk pengambilan keputusan :
Jika probabilitas (Sig-t) < 0,05, maka H ditolak
0
Jika probabilitas (Sig-t) > 0,05, maka H diterima
0
Jika benar nilai saham mengalami underpricing pada hari
pertama perdagangan di bursa, maka rata-rata initial return (R ) adalah
t
positif. Sebaliknya jika nilai saham tidak mengalami underpricing, maka
rata-rata initial return (R ) adalah negatif.
t
MODEL 1
Berdasarkan tabel 4.5, dapat diketahui bahwa signifikansi 0,00 <
0,05 sehingga Ho ditolak dah Ha diterima. Hal ini membuktikan bahwa
perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari
pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal).
Tabel 4.5.
One Sample t Test Initial Return
Test Value = 0
Underpricing
t
8.087
df
83
Sig. (2-tailed)
.000
Mean
Difference
.29073
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
.2192
.3622
Sumber : Output SPSS
MODEL 2
Sama halnya dengan model 1, pada model 2 pun terbukti bahwa
perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari
pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder (pasar modal).
Hal ini dapat dilihat dari signifikansi 0,00 < 0,05 sehingga Ho ditolak
dan Ha diterima.
Tabel 4.6.
One Sample t Test Initial Return
Test Value = 0
Adj Underpricing
t
8.040
df
83
Sig. (2-tailed)
.000
Mean
Difference
.29012
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
.2183
.3619
Sumber : Output SPSS
2. Hasil Pengujian Hipotesis 2,3,4,5, dan 6
1) Uji Normalitas
Pengujian hipotesis 2,3,4,5, dan 6 menggunakan analisis regresi
berganda untuk melihat pengaruh ownership retention, underpricing,
investment, dan firm size terhadap nilai perusahaaan yang melakukan IPO.
Sebelum dilakukan analisis regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas data menggunakan kolmogorov smirnov test pada model 1 dan
model 2. Distribusi data dikatakan normal jika nilai signifikansi kolmogorov
smirnov > 0,05 dan dikatakan tidak normal jika signifikansi kolmogorov <
0,05.
Pengujian normalitas tersebut terlihat pada tabel 4.7 dan 4.8 dengan
hasil sebagai berikut:
MODEL 1
Gambar 4.7.
Uji Normalitas Model Regresi Model 1
N
Normal Parameters
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Unstandardiz
ed Residual
84
.0000000
.44116453
.119
.057
-.119
1.086
.189
Sumber : Ouput SPSS
MODEL 2
Gambar 4.8.
Uji Normalitas Model Regresi Model 2
N
Normal Parameters
Most Extreme
Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Sumber : Ouput SPSS
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Unstandardiz
ed Residual
84
.0000000
.44069652
.120
.064
-.120
1.101
.177
Nilai signifikansi pada model 1 dan 2 masing-masing 0,189 dan 0,177 lebih
besar dari 0,05. Hal ini berarti data yang digunakan pada model regresi
terdistribusi normal.
2) Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik meliputi : multikolinearitas, heteroskedastisitas,
dan autokorelasi
a. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menguji apakah dalam
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen.
Diagnosis untuk mengetahui adanya multikolinieritas adalah menentukan
nilai Variance Inflaction Factor (VIF) dan Tolerance. Batas tolerance value
adalah > 0,10 dan VIF < 10. Hasil perhitungan nilai tolerance dan VIF dapat
dilihat pada tabel berikut.
MODEL 1
Tabel 4.9.
Hasil Uji Multikoleniaritas
Variabel Independen
Tolerance
VIF
Ownership retention
0.934
1.070
Underpricing
0.900
1.111
LnInvestment
0.589
1.699
0.583
1.714
Firm size
Sumber : Ouput SPSS
MODEL 2
Tabel 4.10.
Hasil Uji Multikoleniaritas
Variabel Independen
Tolerance
VIF
Ownership retention
0.932
1.073
Underpricing
0.892
1.121
LnInvestment
0.586
1.706
0.584
1.714
Firm size
Sumber : Ouput SPSS
Dari tabel 4.9 dan 4.10 dapat diketahui bahwa pada model 1 dan
model 2 nilai tolerance diatas 0,10 dan VIF dibawah 10, sehingga dapat
dikatakan tidak terjadi multikolinearitas.
b. Uji Heteroskedastisitas
Konsekuensi adanya heteroskedastisitas dalam model regresi adalah
estimator yang diperoleh tidak efisien, baik pada sampel kecil maupun besar.
Diagnosis adanya heteroskedastisitas dalam uji regresi dapat diidentifikasi
dari pola scatter plot diagram.
Dari grafik di bawah terlihat bahwa titik-titik menyebar di atas dan di
bawah angka nol pada sumbu Y dan tidak terlihat pola yang jelas (tidak ada
pola tertentu dalam scatter plot diagram). Dengan demikian pada persamaan
regresi linier berganda dalam penelitian ini tidak ada gejala atau tidak terjadi
heteroskedastisitas.
MODEL 1
Scatterplot
Dependent Variable: Ln_Nilai Perusahaan
Regression Studentized Residual
2
0
-2
-4
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
Grafik 4.1.
Uji Heteroskedastisitas Menggunakan Scatterplot
MODEL 2
Begitu pula pada model 2, pada gambar 4.2 terlihat bahwa titik-titik menyebar
di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y dan tidak terlihat pola tertentu.
Dengan demikian pada persamaan regresi linier berganda dalam model ini
tidak ada gejala atau tidak terjadi heteroskedastisitas.
Scatterplot
Dependent Variable: Ln_Nilai Perusahaan
Regression Studentized Residual
2
0
-2
-4
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
Grafik 4.2.
Uji Heteroskedastisitas Menggunakan Scatterplot
c. Uji Autokorelasi
Autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka
dinamakan ada problem autokorelasi. Untuk mendeteksi autokorelasi dalam
penelitian ini maka digunakan uji Durbin Watson (DW).
MODEL 1
Pada tabel 4.11 diketahui nilai Durbin Watson (d) sebesar 2,014,
nilai ini akan dibandimgkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai
signifikansi 5%, jumlah sample (n) 84 dan jumlah variabel independen (k)
adalah 4. Maka dari tabel didapat nilai du = 1,74 dan 4 – du = 4 – 1,74 = 2,26.
Oleh karena nilai du < d < 4-du atau 1,74 < 2,014 < 2,26 maka dapat
disimpulkan tidak ada autokorelasi baik posistif maupun negatif.
Tabel 4.11.
Uji Autokorelasi Model 1
N
Durbin Watson
84
2,014
Sumber : Output SPSS
du
1,74
4-du
2,26
MODEL 2
Pada tabel 4.12 diketahui pada model 2 nilai Durbin Watson (d) tida
berbeda jauh dengan model 1 yaitu sebesar 2,017, nilai ini akan
dibandimgkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%,
jumlah sampel (n) 84 dan jumlah variabel independen (k) adalah 4. Maka dari
tabel didapat nilai du = 1,74 dan 4 – du = 4 – 1,74 = 2,26. Oleh karena nilai
du < d < 4-du atau 1,74 < 2,017 < 2,26 maka dapat disimpulkan tidak ada
autokorelasi baik positif maupun negatif.
Tabel 4.12.
Uji Autokorelasi Model 2
N
Durbin Watson
84
2,017
Sumber : Ouput SPSS
du
1,74
4-du
2,26
3) Uji Signifikansi
a. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)
Uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen yang
terdiri dari ownership retention, underpricing, investment, dan firm size
terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia
secara parsial.
MODEL 1
Tabel 4.13.
Hasil Uji-t Model 1
Variabel
Ownership retention
Undepricing
LnInvestment
Firm size
t-hitung
t-tabel
Sig.
7,802
1,990
0,000
8,018
22,057
1,104
0,000
1,990
0,000
1,990
0,273
1,990
Hasil
H ditolak
o
H ditolak
o
H ditolak
o
H diterima
o
Sumber : Output SPSS
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
ownership retention mempunyai t-hitung 7,802 > t-tabel 1,990 dan nilai
signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H
2
diterima yang berarti terdapat pengaruh ownership retention terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia .
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
underpricing mempunyai t-hitung 8,018 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi
t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang
3
berarti terdapat pengaruh underpricing terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia .
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
investment mempunyai t-hitung 22,057 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t
0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang berarti
4
terdapat pengaruh investment terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO
di Bursa Efek Indonesia .
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
firm size mempunyai t-hitung 1,104 < t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t
0,273 lebih besar dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H ditolak yang berarti
5
tidak terdapat pengaruh firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan
IPO di Bursa Efek Indonesia .
MODEL 2
Tabel 4.14.
Hasil Uji-t Model 2
Variabel
Ownership retention
t-hitung
t-tabel
Sig.
7,858
1,990
0,000
Undepricing
8,037
1,990
0,000
LnInvestment
22,150
1,990
0,000
Firm size
1,074
1,990
0,286
Hasil
H ditolak
o
H ditolak
o
H ditolak
o
H diterima
o
Sumber : Output SPSS
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
ownership retention mempunyai t-hitung 7,858 > t-tabel 1,990 dan nilai
signifikansi t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H2
diterima yang berarti terdapat pengaruh ownership retention terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia .
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
underpricing mempunyai t-hitung 8,037 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi
t 0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang
3
berarti terdapat pengaruh underpricing terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia .
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
investment mempunyai t-hitung 22,150 > t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t
0,000 lebih kecil dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H diterima yang berarti
4
terdapat pengaruh investment terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO
di Bursa Efek Indonesia .
Dari hasil uji-t dengan menggunakan derajat signifikansi (α = 5%),
firm size mempunyai t-hitung 1,074 < t-tabel 1,990 dan nilai signifikansi t
0,286 lebih besar dari α = 5%. Maka dari hasil uji ini H ditolak yang berarti
5
tidak terdapat pengaruh firm size terhadap nilai perusahaan yang melakukan
IPO di Bursa Efek Indonesia .
Berdasarkan uji-t diketahui bahwa ownership retention pada model 1
maupun model 2 berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di BEI. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan
Tatang A Gumanti (2004) dan Almira Santosa dan Titik Indrawati (2007)
yang menunjukkan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif
terhadap nilai perusahaan. Proporsi kepemilikan saham yang ditahan oleh
pemilik saham lama menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan
pemegang saham lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan
manajemen tidak akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan
bila mereka tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi
kepemilikan yang ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan
sebagai factor yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan
IPO (Helen dan Sulistio : 2005). Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan Leland dan Pyle (1977) dalam Gumanti (2004) yang
menyatakan bahwa ownership retention dapat dijadikan sebagai kualitas dari
sebuah IPO. Akan tetapi hasil ini tidak konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Gumanti (2000) yang menyimpulkan bahwa ternyata nilai
perusahaan berhubungan negatif dengan tingkat ownership retention.
Berdasarkan uji-t diketahui bahwa Underpricing pada model maupun
model 2 berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Almira Santosa dan
Titik Indrawati (2007) yang menyatakan bahwa underpricing terbukti
mempengaruhi nilai perusahaan secara positif dan signifikan. Hal ini
dikarenakan investor menanggap bahwa hanya perusahaan yang berkualitas
baik yang dapat menutupi kerugian akibat underpricing.
Allen dan Faulhaber (1989) dalam Tatang A Gumanti (2004)
menyatakan teori tentang adanya hubungan positif antara nilai perusahaan
dan besarnya underpricing. Hal ini sesuai dengan signaling theory yang
menyatakan bahwa perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan
sinyal tentang tipe dan kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan
IPO yang underpricing. Sementara peurusahaan yang jelek atau buruk tidak
mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat
underpricing. Motivasi dari pengiriman sinyal lewat underpricing adalah
asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar
dari kerugiannya. Hasil penelitian ini tidak mendukung temuan dari Tatang A
Gumanti (2004) bahwa underpricing berhubungan secara negatif dengan nilai
perusahaan.
Berdasarkan uji-t diketahui bahwa investment pada model 1 maupun
model 2 berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
Hasil penelitian ini mendukung temuan dari Almira Santosa dan Titik
Indrawati (2007) ; Eddy Suranta dan Pranata Puspa Midiastuty (2003) yang
menyatakan bahwa investment terbukti mempengaruhi nilai perusahaan
secara positif dan signifikan. IPO disinyalir merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk mendanai proyek investasi. Proceeds yang diperoleh dari
saham yang ditawarkan ke publik disinyalir digunakan perusahaan untuk
investasi. Dengan semakin besarnya investasi maka diharapkan prospek
perusahaan di masa mendatang membaik. Sehingga akan meningkatkan harga
saham sebagai proksi peningkatan nilai perusahaan.
Berdasarkan uji-t diketahui bahwa firm size pada model 1 maupun
pada model model 2 tidak mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan
IPO. Hasil yang didapat dari penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian
yang sebelumnya telah dilakukan Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko
(2007) ; Sujoko dan Ugy Soebiantoro (2007) yang membuktikan bahwa firm
size berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa firm size tidak dijadikan
sinyal bagi investor dalam memprediksikan nilai perusahaan yang melakukan
IPO. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan sampel, perbedaan
kriteria penggolongan skala ukuran perusahaan, dan perbedaan variabel yang
digunakan sebagai proksi firm size. Firm size dapat dinyatakan dalam total
aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar. Dalam penelitian ini, proksi yang
digunakan adalah total aktiva.
Diantara
variabel-variabel
yang
diduga
mempengaruhi
nilai
perusahaan yang melakukan IPO di BEI, variabel yang paling dominan
mempengaruhi nilai perusahaan yang melakukan IPO dalam penelitian ini
adalah investment dengan nilai t statistic pada model 1 sebesar 22,057 dan
pada model 2 sebesar 22,150. Apabila dikaji melalui signaling theory, hasil
penelitian ini mendukung hal tersebut. Proceed IPO disinyalir untuk
membiayai proyek investasi, pengeluaran modal perusahaan tampak sangat
penting dalam upaya meningkatkan nilai perusahaan. Karena jenis investasi
tersebut akan memberikan sinyal kepada investor tentang pertumbuhan
pendapatan perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang, dan
mampu meningkatkan nilai pasar perusahaan yang diproksi melalui harga
saham (Sri Hasnawati : 2005)
b. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen yang
terdiri dari ownership retention, underpricing, investment, dan firm size
terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia
secara simultan.
MODEL 1
Berdasarkan analisis data diketahui F-hitung sebesar 221,865 lebih
besar dari F-tabel sebesar 2,487 dan nilai signifikansi F sebesar 0,000 lebih
kecil dari (α) = 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan H diterima yang
6
berarti variabel independen yang terdiri ownership retention, underpricing,
investment, dan firm size berpengaruh secara simultan terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia.
Tabel 4.15.
Uji Signifikansi Simultan
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
181.468
16.154
197.622
df
4
79
83
Mean Square
45.367
.204
F
221.865
Sig.
.000
F
222.378
Sig.
.000
Sumber : Ouput SPSS
MODEL 2
Tabel 4.16.
Uji Signifikansi Simultan
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
181.502
16.120
197.622
df
4
79
83
Mean Square
45.376
.204
Sumber : Ouput SPSS
Berdasarkan analisis data diketahui F-hitung sebesar 222,378 lebih
besar dari F-tabel sebesar 2,487 dan nilai signifikansi F sebesar 0,000 lebih
kecil dari (α) = 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan H diterima yang
6
berarti variabel independen yang terdiri ownership retention, underpricing,
investment, dan firm size berpengaruh secara simultan terhadap nilai
perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia.
4) Analisis Regresi Linier Berganda
Adapun hasil regresi linier berganda pengaruh ownership retention,
underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia adalah sebagai berikut:
MODEL 1
Tabel 4.17.
Hasil Analisis Regresi Model 1
Variabel
(Constant)
Ownership Retention
Underpricing
Investment
Firm Size
Sumber : Data diolah
Beta
0,915
3,848
2,273
0,901
0,156
t-hitung
0,832
7,802
8,018
22,057
1,104
Sig.
0,408
0,000
0,000
0,000
0,273
Berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) diketahui bahwa hanya
variabel ownership retention, underpricing, dan investment, sedangkan firm
size tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Sehingga suatu
persamaan regresi untuk nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI pada
model 1 dapat dirumuskan sebagai berikut:
NP = 0,915 + 3,848 OWN + 2,273 UP + 0,901 INV
Keterangan:
NP
: Variabel dependen Nilai Perusahaan yang melakukan IPO di BEI
a
: Konstanta
OWN
: Variabel independen ownership retention
UP
: Variabel independen underpricing
INV
: Variabel independen investment
OWN, UP, INV : Koefisien regresi variabel independen
Koefisien-koefisien persamaan regresi linier berganda di atas dapat diartikan
sebagai berikut:
a. Tanda pada koefisien regresi mencerminkan hubungan antara variabel
bebas (ownership retention, underpricing, investment, dan firm size)
dengan variabel terikat (nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia). Tanda (+) berarti terdapat hubungan yang positif atau
searah antara variabel independen dengan variabel dependen. Semakin
meningkat nilai variabel independen (ownership retention, underpricing,
dan investment) maka semakin meningkat pula nilai variabel dependen
(nilai perusahaan yang melakukan IPO), begitu juga sebaliknya.
b. Koefisien regresi untuk variabel ownership retention (OWN) sebesar
3,848 menunjukkan bahwa jika variabel ownership retention (OWN)
meningkat 1 % maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 3,848
%, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan.
c. Koefisien regresi untuk variabel underpricing (UP) sebesar 2,273
menunjukkan bahwa jika variabel underpricing (UP) meningkat 1% maka
akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 2,273 %, dengan ketentuan
variabel lain dianggap konstan.
d. Koefisien regresi variabel investment (INV) sebesar 0,156 menunjukkan
bahwa jika variabel investment (INV) meningkat 1% maka akan
meningkatkan nilai perusahaan sebesar 0,156 %, dengan ketentuan
variabel lain dianggap konstan.
MODEL 2
Tabel 4.18.
Hasil Analisis Regresi Model 2
Variabel
(Constant)
Ownership Retention
Underpricing
Investment
Firm Size
Sumber : Output SPSS
Beta
0,778
3,876
1,275
0,905
0,152
t-hitung
0,706
7,858
8,037
22,150
1,074
Sig.
0,483
0,000
0,000
0,000
0,286
Berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) diketahui bahwa hanya
variabel ownership retention, underpricing, dan investment, sedangkan firm
size tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Sehingga suatu
persamaan regresi untuk nilai perusahaan yang melakukan IPO di BEI pada
model 2 dapat dirumuskan sebagai berikut:
NP = 0,778 + 3,876 OWN + 1,275 AUP + 0,905 INV
Keterangan:
NP
: Variabel dependen Nilai Perusahaan yang melakukan IPO di BEI
a
: Konstanta
OWN
: Variabel independen ownership retention
AUP
: Variabel independen adjusted underpricing
INV
: Variabel independen investment
OWN, AUP, INV : Koefisien regresi variabel independen
Koefisien-koefisien persamaan regresi linier berganda di atas dapat
diartikan sebagai berikut:
a. Tanda pada koefisien regresi mencerminkan hubungan antara variabel
bebas (ownership retention, underpricing, dan investment) dengan
variabel terikat (nilai perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek
Indonesia). Tanda (+) berarti terdapat hubungan yang positif atau searah
antara variabel independen dengan variabel dependen. Semakin
meningkat nilai variabel independen (ownership retention, underpricing,
dan investment) maka semakin meningkat pula nilai variabel dependen
(nilai perusahaan yang melakukan IPO), begitu juga sebaliknya.
b. Koefisien regresi untuk variabel ownership retention (OWN) sebesar
3,876 menunjukkan bahwa jika variabel ownership retention (OWN)
meningkat 1 % maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 3,876
%, dengan ketentuan variabel lain dianggap konstan.
c. Koefisien regresi untuk variabel underpricing (AUP) sebesar 1,275
menunjukkan bahwa jika variabel underpricing (UP) meningkat 1% maka
akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 1,275 %, dengan ketentuan
variabel lain dianggap konstan.
d. Koefisien regresi variabel investment (INV) sebesar 0,905 menunjukkan
bahwa jika variabel investment (INV) meningkat 1% maka akan
meningkatkan nilai perusahaan sebesar 0,905%, dengan ketentuan
variabel lain dianggap konstan.
3. Koefisien Determinasi ( Adj R Square)
Melalui pengujian simultan dapat diketahui besarnya koefisien
2
2
determinasi (Adj R ). Dari koefisien determinasi (Adj R ) dapat diketahui
derajat ketepatan dari analisis regresi linier berganda menunjukkan besarnya
variasi sumbangan seluruh variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
MODEL 1
Besarnya nilai pengaruh variabel bebas ditunjukkan oleh nilai (Adj
2
R ) = 0,914 yaitu persentase pengaruh variabel adalah ownership retention,
underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sebesar 91,4%. Variabel lain diluar
variabel bebas tersebut yang menjelaskan variasi perubahan nilai perusahaan
yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia secara menyeluruh adalah
8,6%.
Tabel 4.19.
Koefisien Determinasi Model 1
Model
1
R
.958
R Square
.918
Adjusted
R Square
.914
Std. Error of
the Estimate
.45220
DurbinWatson
2.014
Sumber : Ouput SPSS
MODEL 2
Besarnya nilai pengaruh variabel bebas ditunjukkan oleh nilai (Adj
2
R ) = 0,914 yaitu persentase pengaruh variabel adalah ownership retention,
underpricing, investment, dan firm size terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia sebesar 91,4%. Variabel lain diluar
variabel bebas tersebut yang menjelaskan variasi perubahan nilai perusahaan
yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia secara menyeluruh adalah
8,6%.
Tabel 4.20.
Koefisien Determinasi Model 2
Model
1
R
.958
R Square
.918
Adjusted
R Square
.914
Std. Error of
the Estimate
.45172
DurbinWatson
2.017
Sumber : Ouput SPSS
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti
antara penggunaan tingkat underpricing yang belum disesuaikan (raw
underpricing) dengan timgkat underpricing yang sudah disesuaikan dengan
return pasar (adjusted underpricing). Hal ini ditunjukan dengan tidak adanya
perbedaan yang signifikan antara hasil persamaan regresi model 1 dan model
2. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian Gumanti (2004) dan Almira
Santosa dan Titik Indrawati (2007).
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh ownership retention,
underpricing, investment dan firm size terhadap nilai perusahaan yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode penelitian tahun 2001
sampai tahun 2007 dengan
menggunakan 84 sampel. Adapun kesimpulan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Hasil pengujian terhadap underpricing membuktikan bahwa perusahaan
yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama
ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder, baik underpricing yang
belum disesuaikan dengan return pasar maupun yang sudah disesuaikan
dengan return pasar (adjusted underpricing) . Hal ini dibuktikan oleh
hasil one sample t test yang signifikan pada tingkat 5% pada kedua
model.
2. Ownership retention, Underpricing, dan Investment berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang melakukan IPO di
BEI baik pada model pertama maupun pada model kedua.
3. Firm Size tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang melakukan
IPO di BEI baik pada model pertama maupun pada model kedua. Hal ini
dapat disebabkan oleh perbedaan proksi untuk firm size karena firm size
dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan, dan kapitalisasi pasar
sedangkan dalam penelitian ini, proksi yang digunakan adalah total
aktiva. Selain itu bisa juga disebabkan oleh perbedaan kriteria
penggolongan skala ukuran perusahaan, dan perbedaan jumlah sampel..
4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti
antara penggunaan tingkat underpricing yang belum disesuaikan (raw
underpricing) dengan timgkat underpricing yang sudah disesuaikan
dengan return pasar (adjusted underpricing). Hal ini ditunjukan dengan
tidak adanya perbedaan yang signifikan antara hasil persamaan regresi
model 1 dan model 2.
B. IMPLIKASI
Tentunya banyak hal yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini
sehingga membuat hasil penelitian ini tidak sempurana. Namun penulis
berharap hasil penelitian ini dapat berimplikasi kepada beberapa pihak,
diantaranya:
1. Implikasi Bagi Emiten
Banyak cara yang yang dapat dilakukan emiten untuk menarik
investor. Tentu saja dengan cara menunjukan sinyal-sinyal bahwa
perusahaan mereka berkualitas baik. Ownership retention, underpricing,
investment, dan firm size dapat dijadikan pertimbangan untuk dapat
menunjukan bahwa perusahaan mereka mempunyai prospek yang baik di
masa depan yaitu memiliki nilai perusahaan yang tinggi, yang pada
akhirnya dapat mensejahterakan pemegang saham. Sehingga, investor
tertarik untuk berinvestasi.
2. Implikasi Bagi Investor
Hasil Penelitian ini dapat dijadikan informasi tambahan yang bisa
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan investasi di
pasar modal, khususnya di pasar perdana.
3. Implikasi Bagi Penelitian Selanjutnya
Disarankan untuk penelitian selanjutnya,
sebaiknya dapat
membedakan perusahaan sesuai dengan sektor industrinya karena secara
teoritis karakteristik setiap sektor industri berbeda. Selain itu, disarankan
pula menambah variabel lainnya yang diduga mempengaruhi nilai
perusahaan yang melakukan IPO guna hasil yang lebih baik.
4. Implikasi Bagi Pembaca
Penelitian ini memberikan kontribusi pengujian ulang terhadap
penelitian terdahulu mengenai nilai perusahaan yang melakukan IPO,
sehingga diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan pemahaman yang
lebih komprehensif dalam bidang pasar modal khususnya tentang penawaran
saham perdana.
DAFTAR PUSTAKA
Almilia, Luciana S dan Silvy, Meliza. “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Status Perusahaan Pasca IPO Dengan Menggunakan
Teknik Analisis Multinomial Logit”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
Vol.18. No.4. Oktober 2003. ISSN:0215-2487.
Alwi, Iskandar Z. ”Pasar Modal, Teori dan Aplikasi”. Cetakan Pertama.Yayasan
Pancur Siwah, Jakarta, 2003.
Amin, Aminul. ”Pendeteksian Earning Management, Underpricing, dan
Pengukuran Kinerja Saham Perusahaan yang Melakukan Kebijakan
Initial Public Offering (IPO) di Indonesia”. STIE Malangkucewa.
Simposium Nasional Akuntansi X. UNHAS Makassar 26-28 Juli 2007.
Ary Suta, I Putu Gede. “Menuju Pasar Modal Modern”. Yayasan SAD SATRIA
BAKTI. Cetakan Pertama. Jakarta, 2000.
Darmadji, Tjiptono dan M. Fakhrudin, Hendy. “Pasar Modal Di Indonesia”. Edisi
2. Salemba Empat, Jakarta, 2006.
Firdaus NH, Dr. Muhammad, et.all. “Sistem Keuangan dan Investasi Syariah” .
Renaisan, Jakarta, 2005.
Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001.
Gumanti, Tatang A. “Hubungan Antara Nilai Perusahaan Dan Informasi Dalam
Prospektus Pada Perusahaan Yang Baru Go Public Di Bursa Efek Jakarta
(1991-1997)”. Jurnal Managerial Vol. 1 No. 1 2000.
. “Hubungan Antara Nilai Perusahaan, Undrpricing, Dan
Ownership Retention Pada Perusahaan Yang Baru Go Public Di Bursa
Efek Jakarta (1991-1996)”. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Vol. X No. 2,
September 2004. Hal 187-199.
. “Underpricing dan Biaya-biaya di Sekitar Initial Public
Offering”. Wahana Vol.5. No.2. Agustus 2002. Hal. 135-147.
. “Strategi Penetapan Harga Dalam Penawaran Saham
Perdana”. Wahana. Vol.6. No.1.Februari 2003.
Hasnawati, Sri. “ Implikasi Keputusan Investasi, Pendanaan, Dan Dividen
Terhadap Nilai Perusahaan Publik Di BEJ”. Usahawan No.9. September
2005.
Helen dan Sulistio. “Pengaruh Informasi Akuntasi dan Non Akuntansi Terhadap
Initial
Return : Studi Pada Perusahaan Yang Melakukan Initial Public
Offering Di Bursa Efek Jakarta”. Simposium Nasional Akuntansi VIII.
Solo. 15-16 September 2005.
Husnan, MBA, Dr. Suad. “Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas”.
Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1998.
Khomsiyah. “Reputasi Penjamin Emisi Saham, Reputasi Auditor dan Tingkat
Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana Di Bursa Efek Jakarta”.
Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol.7. No. 2. Agustus 2005. Hal 168-189.
Margaretha, M.E., Dra. Farah. “Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan”,
Grafindo,
Jakarta, 2005.
Mayur, Manas, Kumar, Manoj dan Mahakud, Jitendra. “Relationship between the
Changes in Ownership and Performance of Indian Firms around IPO: A
Panel Data Analysis”. MPRA Paper No. 6192, posted 09. December
2007. Diakses tanggal 20 Maret 2008, dari http://mpra.ub.unimuenchen.de
Nachrawi, D.N., dan Usman, Hardius. “Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan”, Lembaga Penerbit
FE Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.
Prasetiadi, Rudianto. “Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan :
Penelitian Pada Perusahaan-Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di
BEJ Tahun 2005”, Thesis S2 UI, Depok, 2007.
Ronni B, Sautma. “Problema Anomali Dalam Initial Public Offering (IPO)”.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol.5. No.2. September 2003.
Diakses tanggal 15 Maret 2008, dari http://puslit.petra.ac.id
Santosa, Almira, dan Indrawati, Titik. “ Pengaruh Ownership Retention,
Underpricing, dan Invesment Terhadap Nilai Perusahaan Yang IPO Di
Bursa Efek Jakarta”. DeReMa Jurnal Manajemen. Vol. 2 No. 2 Mei 2007.
Hal 127-142.
Siamat, Dahlan. “Manajemen Lembaga Keuangan” . Edisi Keempat, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
Soliha, Euis dan Taswan. “Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai
Perusahaan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya”. Jurnal Bisnis
dan Ekonomi. STIE Stikubank. Semarang. September 2002.
Sudarmadji, A. Murdoko dan Sularto, Lana. “Pengaruh Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, Dan Tipe Kepemilikan Perusahaan Terhadap
Luas Voluntary DisclosureLaporan Keuangan Tahunan”. Proceeding
PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek, dan Sipil) Gunadarma.
Vol.2. Depok. 21-22 Agustus 2007.
Sudiyono. “Analisis Kinerja Jangka Panjang Saham Perdana: Pengamatan di
BEJ Tahun 1993-1997”. Tesis S2 Universitas Indonesia, Jakarta, 1999.
Sujoko dan Soebiantoro, Ugy. “ Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham,
Leverage, Faktor Intern Dan Faktor Ekstern Terhadap Nilai Perusahaan”.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol.9. No.1. Maret 2007 : 41-47.
Diakses tanggal 13 April 2008, dari http://puslit.petra.ac.id
Sumarno, Budhi. “Ketidakpastian ExAnte, Sinyal Positif, Dan Underpricing
Saham Pada Penawran Perdana Di Indonesia". Tesis S2 UGM.
Yogyakarta. 2002.
Suranta, Eddy dan Midiastuty. Pranata P. “Analisis Hubungan Struktur
Kepemilikan Manajerial, Nilai Perusahaan dan Investasi dengan Model
Persamaan Linear Simultan”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.6
No.1, Januari 2003.
Sutanto, Intan Imam. “Indikasi Manajemen Laba Menjelang IPO Oleh
Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Di BEJ”. Thesis S2 UGM.,
Yogyakarta, 2000.
Triani, Apriliani dan Nikmah. “ Reputasi Penjamin Emisi, Reputasi Auditor,
Presentase Penjamin Emisi, Ukuran Perusahaan, dan Fenomena
Underpricing: Studi Empiris Pada Bursa Efek Jakarta”. Simposium
Nasional Akuntansi 9 Padang. Padang. 23-26 Agustus 2006.
Tritmoko, Drs. Hanung dan Rachmawati, Andri. “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kualitas Laba Dan Nilai Perusahaan”, Simposium
Nasional Akuntansi Unhas Makassar, Makassar, 26-28 Juli 2007.
Widodo, Y. Dwi. “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Return Awal Saham Dan
Return 15 Hari Setelah Initial Public Offering (IPO)”, Thesis S2 UI,
Depok, 2005.
Wijaya, Chandra dan Asnawi, S Kelana. “Metodologi Penelitian Keuangan
Prosedur, Ide, dan Kontrol”. Graha Ilmu.Yogyakarta, 2006.
www. ipo-underpricing.com
Download