Patogenesis Mastitis Subkllnls Yang Disebabkan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mastitis pada Sapi Perah
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar
ambing. Penyakit ini umum terjadi pada petemakan sapi perah di s e l u ~ hdunia
(Duval 1997). Peradangan dapat tejadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah
dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas.
Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tandetanda
peradangan lainnya, sepetti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakii dan
penurunan fungsi. Akan tetap~seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya
suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastiis sering dilakukan melalui
pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan
jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).
Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya
penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastiis.
Kewgian lain timeul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan
dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu
terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualiias susu (Kirk et a/.
1994; Hurley dan Morin 2000).
2.2
Penyebab dan Tipe Mastitis
Matiiis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
lntramammary infecton (/MI),yalu karena adanya infeksi oleh bakteri termasuk juga
mywplasma, jamur atau alga. Selain l u juga disebabkan karena adanya trauma
Secara mekanik, trauma temnal dan trauma kimiawi sebagai f&or
predisposisi
tejadinya /MIpada kdenjar ambing (Hurley dan Morin. 2000). lnfeksi pada kdenjar
ambing tergantung dari tiga faktor, yaitu faktor induk semang, agen penyaki dan
lingkungan. lnfeksi pada umumnya terjadi pada masa keluamya kolostrum, saat sapi
mengalami masa kering kandang dan awal masa laktasi, namun infeksi dapat tejadi
kapan saja.
Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengamhi oleh organisme
penyebabnya, sehingga ada beberapa tipe mastiis yang dapat tejadi pada sapi
perah (Duval 1997). Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat
dibedakan menjadi : matiiis perakut, akut, sub akut, sub Minis dan kronis (Hurley
dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991).
Matiiis perakut, diindai dengan adanya peradangan yang tiba-tiba pada
puting. susu bersifat serous dan tejadi gejala sistemik serta kematian pada sapi;
MaMls akut, ditandai dengan kejadian yang tiba-tiba dengan peradangan pada
puting, penurunan produksi susu dengan susu yang bersifat serous serta gejala
sistemik yang mirip dengan kasus mastitis perakut, tetapi gejalanya lebih ringan.
Mastitis subakut. yaitu adanya peradangan ringan sehingga hampir tidak terlihat
adanya perubahan pada puting, ilamun secara umum terdapat gumpalan-gumpalan
pada susu. Tidak terlihat adanya gejala sistemik pada kasus ini. Matiiis subklinis,
merupakan matiiis yang paling umum tejadi, yaitu kira-kira 15
banyak dibandingkan dengan m a m ~ sWinis. Sedangkan mastis
- 40
kali lebih
kronis umumnya
terjadi sebagai kelanjutan dari mastitii subklinis yang bedangsung selama b%berapa
bulan atau beberapa tahun (Hurley dan Morin 2000).
Mastitis subklinis mempakan peradangan jaringan intema ambing tanpa
diimukan gejala Minis baik pada susu maupun ambingnya. Namun tejadi
peningkatan jumlah sef radang, diiemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi
perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Menurut Hurley dan Morin (2000). jumlah
sel somatik yang mdebihi 200.000 sel I 1 ml susu dapat berindikasi terjadinya
mastitis pada sapi. Tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring
dengan bettambahnya umur sapi (Duirs dan Mamillan 1979).
2.3
Stephflococcus auraw sebagai Penyebab Mastitis
S. a u w s tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kdainan
pada kuli dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifal @am
positif, fakultatii anaemb, katalase positii, koagulase positii dan menghasilkan asam
laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998).
S. aumus t i a k membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37" C
dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.
Bebagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi
adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam
dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein
fibmnectin (Ndson et a/. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses
kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). lnvasin yang berperan dalam penyebaran
bakteri di dalam janngan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul
dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;
(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan pmduk katalase, dapat membuat
bakteri beahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan dumping factor
untuk menghindarkan din dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase
negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor
coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis
membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastiis subklinis
karena bakteri ini dapat rnenyebar ke rnana-mana dan dapat membentuk koloni
dengan balk pada kuli dan puting ambing. Keberadaannya pada kuli merupakan
suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri
menjadi persisten (Todar 1997). S. aueus dapat dimusnahkan dari permukaan kuli
arnbing dengan tempi antibiiika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan
ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aueus cenderung menjadi resisten terhadap
antibiotika (Hoblet and Eastridge 1992 ; Arpin et a/. 1996). S i i resistensi ini juga
diientukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et a\. 1998).
Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai
jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya
bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab
mastitie subklinis,(Bramley 1991).
Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal
pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan
tubuh. Bakteri ini bersifat ''shin-host spedfid, artinya ada kaiin antara biotipe
dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aumus merupakan flora
normal pada manusia, terutama diternukan pada saluran pemapasan bagian atas,
kulii dan mukosa. Pada babi sehat. S. aumus banyak diiemukan pada cairan
bmnahoaIvedar(Hensel et a\. 1994).
Kemarnpuan S. aureus menginvasi dan hiiup dalam set-sel endotel diyakini
dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan
menimbulkan kerusakan pada seCsel endotel. Kerusakan set-sel endotel ini diduga
sebagai bagiin dari proses apoptasis yang disebabkan oleh infeksi S. a u m s
(Menzies dan K w M a 1998).
2.4
Histologi Kelenjar Ambing Mencit
Sampai saat ini mencit adalah hewan percobaan yang banyak sekali
digunakan dalam dunia biomedis untuk keperluan pengujian dan pendiiikan. Mencit
dewasa mempunyai panjang antara 12
- 15 crn dan
pada betina memiliki lima
pasang kelenjar ambing, tiga pasang di antaranya terletak di regio cewMco-thorasica
dan dua pasang lainnya berada pada regio inguino-abdominal (Vandenberg 2000).
Struktur keknjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma
(connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar
tubule-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol
dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sei epitel ini dikelilingi oleh sel-sel
myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap horrnon oxytocin dan
selanjutnya dikelilingi oleh stroma ber~pa
jaringan ikat rnembrana basalis. Pembuluh
darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa
alveol bersatu membentuk suatu s t ~ k t u rlobulus dan beberapa lubulus bergabung
dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula
sistema melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiifems (Hurley 2000).
Sel yang melapisi alveol be~ariasipenampilannya, tergantung aktivitas
fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktii
menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke
dalam lumen, meregang, seCsel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh
lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991). SeCsel sekretoris ahreol
kaya akan ribosom, kompleks gdgi dan droplet lemak seda banyak memiliki vakuol
sekretoris (Russo dan Russo 1996).
Pada rnendt, masa laktasi berlangsung selama 3
-4
minggu tergantung
strain mend dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari post partus.
Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun
aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan stnrktur
rnassa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan
lemak (fat pad).
2.5
HistopatologiMastitis Subklinis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat diemukan adanya
peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain
itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang
1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit
berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitan pada matiiis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae
menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri
pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu
menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi
alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi invdusi
kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persernbuhan berupa pembentukan
jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat diiantikan
oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih
2001).
Knight dan Peaker (1991) menyatakan bahwa peradangan yang t%jadi pada
satu kelenjar ambing akan mengakibatkan adanya efek kompensasi pada kelenjar
ambing yang sehat, ditandai dengan adanya dirensiasi dan prolirasi jaringan
kelenjar yang sehat. Mekanisme ini belum banyak dimengerti, tetapi kemungkinan
besar karena kelenjar ambing mempunyai sistem kontrol tersendiri melalui produksi
sejumlah faktor kimia aktif yang bemifat lokal maupun sistemik.
2.6
Patogenesis Bakteri Staphylococcus aureus
Pada kasus mastiis, infeksi tejadi melalui puting ambing karena kontaminasi
dari tangan pemerah atau mesin pemerah susu, kemudiin melewati ductus
lactife~sdan akhimya mencapai sisterna. lnfeksi ini berhasil apabila bakteri dapat
bertahan dalam saluran kelenjar ambing, bertahan terhadap mekanisme pertahanan
spesifik dan nonspesifik dan harus mampu melawan arus pengeluaran air susu
(Nelson et a/. 1991). Patogenesis infeksi bakteri pada kejadian mastitis belum
banyak diketahui. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus
lapisan tanduk puting ambing, lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi.
Tampaknya kemampuan adhesi dan berkolonisasi bakteri pada sel epitel merupakan
tahap kritis untuk keberhasilan infeksi (Jonsson dan WadstrcTm 1993). Pembaan
secara in vitro menggunakan sel epitel ambing menunjukkan bahwa kdonisasi
bakteri S. aumus merupakan suatu tahap penting dalam perkembangan matiiis
(Nelson et a/. 1991).
Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam
kolonisasinya pada pemukaan sel inang. Adanya adhesi memparpendek jarak
antara bakteri dengan permukaan tubuh inang sehingga mempermudah toksin yang
dihasilkan bakteri untuk melekat pada reseptomya. Dalam proses adhesi dikenal
dua bentuk, yalu adhesi yang bersifat nonspesifik dan adhesi yang bersifat spesifik.
Pada adhesi yang nonspesifik, perlekatan tidak melibatkan peran reseptor
pennukaan, tetapi dibabkan karena sifat hidrofobisitas agen dan perbedaan
muatan listrik permukaan bakteri dengan permukaan sel sehingga perbkatan pada
umumnya tidak kuat (Todar 1997). Sedangkan pada adhesi spesifik, perlekatan
diperantarai oleh reseptor permukaan sel inang yang mampu berikatan dengan
antigen permukaan bakteri yang umum disebut adhesin (Foster dan McDevitt 1994;
Todar 1997 ; Todar 1998). Antigen permukaan ini dapat berupa fimbria, pilli. kapsul
atau komponen struktural bakteri lainnya (Wibawan dan Lammler 1991; Wibawan et
a/. 1992; Shutter et a/. 1996) serla protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998)
yang bertanggungjawab terhadap aktiiitas hemaglutinasi (Gottschalk et al. 1990 ;
Wibawan et al. 1993). Hemaglutinin merupakan salah satu faktor virulen yang
dimiliki bakteri patogen dan bertanggungjawab dalam patogenesis infeksi (Kurl et a/.
1989) dan dari sisi inang, melibatkan peran reseptor hemaglutinin (Estuningsih
1998).
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui
beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan rnikroorganisme dimana sejumlah
mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),
kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang
terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada
induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukositleukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel
ambing. Apabila respon ini gagal, maka rnikroorganisme akan rnengalami
multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
P e n d i n pada mencit yang diinfeksi dengan S. aumus, memperlihatkan
bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil
dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi
S. aurws melalui kelenjar
ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi.
Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrotil mengalami perubahan-perubahan yang
bersifat degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen ahreol dan
terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada I 8 jam setelah infeksi
(Anderson dan Chandler 1975).
Hurley dan Morin (2000),menjelaskan bahwa peradangan pada ambing
diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan
multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami
vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilis
pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi,
seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat
meningkatkan permeabilis kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan
menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel
fagosl (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang
terinfeksi dilanjutkan dengan _fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap
berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi
kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah :
jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada
kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah
melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan
karena adanya komponen lipid pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor
Fc pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang bedebihan dan meningkatnya
gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat
menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kernampun PMN
dalam fagositosis dan mernbunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan
detisiensi vitamin E atau selenium.
Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan
oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah
daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber
energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis
diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen
opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang relatit sedikit dan dalam susu
hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan Morin 2000).
Download