5. BAB IV

advertisement
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN SAKSI IKRAR WAKAF DAN
METODE ISTINBATH DALAM PASAL 17 AYAT (1) UU NO. 41 TAHUN
2004 TENTANG WAKAF
A.
Analisis terhadap Kedudukan Saksi Ikrar Wakaf dalam Pasal 17 ayat (1)
UU No. 41 Tahun 2004
Dalam konteks yuridis normatif bahwa kedudukan saksi memberikan
arti arti pentingnya di dalam pelaksanaan ikrar wakaf yang paling tidak
disaksikan oleh dua orang saksi sebagai syarat sempurnanya wakaf setelah
dilakukan ikrar. Tinggal selanjutnya diserahkan kepada pengelola (nadzir)
untuk melakukan pengelolaan terhadap barang atau benda wakaf. Kedudukan
saksi tersebut berimplikasi terhadap peristiwa-peristiwa hukum di kemudian
hari terkait dengan harta atau benda yang diwakafkan. Sebab kalau tidak
melibatkan peran dari saksi, maka dianggap kurang sempurna dan kemantaban
orang yang mewakafkan juga tidak dirasakan sendiri.
Lembaga wakaf mengatur berbagai permasalahan perwakafan tanah
yang mana berhubungan juga dengan masalah keagamaan. Wakaf yang
disyariatkan Islam mempunyai 2 (dua) dimensi sekaligus. Pertama, dimensi
religius, bahwa wakaf merupakan anjuran agama Allah yang perlu
dipraktekkan dalam masyarakat muslim, sehingga mereka yang memberi
wakaf (wakif) mendapat pahala dari Allah karena menaatinya. Kedua, dimensi
sosial ekonomi, dimana kegiatan wakaf melalui uluran tangan sang dermawan
67
68
telah membantu sesamanya untuk saling tenggang rasa sehingga dapat
menimbulkan rasa cinta kasih kepada sesama manusia.
Kedudukan saksi yang dihadiri minimal 2 (dua) orang sebagai bentuk
dari persaksian atau yang menyaksikan memberi tahu apa yang ia saksikan
dan lihat dalam mengikrarkan harta atau benda wakaf kepada pihak nadzir di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Perbuatan hukum
tersebut mempunyai akibat hukum bagi pengelola wakaf (nadzir) dan saksi
khususnya. Terutama saksi, yang dapat juga disebut pihak ketiga (orang lain)
dapat mengerti dan tahu bahwa harta atau benda tersebut sudah menjadi benda
atau harta wakaf dan menyosialisasikan kepada orang lain yang tidak tahu.
Selain itu saksi juga memiliki fungsi untuk dimintai persaksiannya ketika di
kemudian hari terjadi sengketa terkait dengan harta atau benda wakaf, baik
sebagai saksi di pengadilan ataupun di luar pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pembuat
undang-undang tidak menjelaskan apakah saksi dalam kedudukannya yang
dihadirkan dalam pelaksanaan wakaf tersebut berjenis kelamin laki-laki
ataupun perempuan. Menurut hukum Islam, pada umumnya saksi yang
dihadiri minimal dua orang itu laki-laki, berakal dan dewasa. Sebab, kalau
perempuan masih diperdebatkan. Hal-hal yang diperdebatkan antara lain
mengenai posisi perempuan sendiri yang secara fisik tidak begitu kuat, kurang
memberikan rasa keadilan, banyak halangan-halangan yang dihadapinya,
misalnya hamil, keadaan haid atau nifas. Jadi, penulis berpendapat bahwa
69
saksi ikrar wakaf dalam konteks hukum Islam hukumnya diqiyaskan dengan
saksi dalam perkawinan dan saksi dalam perbuatan jarimah hudud.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang dipakai selama ini
memberikan angin segar bagi keberlangsungan perbuatan ikrar wakaf dan
kedudukan dari saksi yang sangat penting menjadi porsi yang utama dalam
pelaksanaan wakaf demi mewujudkan kemashlahatan umat (mashlahah
mursalah).
Secara implementatif, kedudukan saksi di daerah pedesaan seringkali
diabaikan karena banyak faktor. Salah satunya kurang mengerti regulasi yang
sudah dibuat oleh pemerintah melalui UU No. 41 Tahun 2004, sehingga
penerapan untuk mengikarkan terhadap obyek benda atau harta yang
diwakafkan tidak melibatkan peran dari saksi. Maka dari itu, perlu adanya
sosialisasi dari pemerintah tentang eksistensi dari regulasi undang-undang
perwakafan tersebut agar kepastian hukum terlaksana dengan baik. Kemudian
juga di setiap Kecamatan terdapat Kantor Urusan Agama (KUA), selain
mengurus tentang pendafaran perkawinan juga terdapat Pejabat Pembuat Akta
Ikar Wakaf (PPAIW).
Disinilah peran yang dibutuhkan dari PPAIW yang mewakili
pemerintah pusat di setiap Kecamatan untuk melakukan penyuluhanpenyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat pedesaan dengan melihat
urgensi dari regulasi wakaf dan terlebih lagi kedudukan saksi ikrar wakaf
dalam pasal 17 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004 yang menduduki peranan
sangat dominan. Secara teoritis, hal tersebut mudah sekali untuk dibuat atau
70
diucapkan. Namun, dalam praktiknya di lapangan, kendala-kendala pasti
menghadangnya sekalipun itu ada komitmen bersama untuk melakukan
pencerahan kepada masyarakat pedesaan tentang arti pentingnya regulasi
wakaf, khususnya saksi dalam ikrar wakaf.
Sistem peraturan yang ada sekarang ini tinggal diterapkan ketika akan
melakukan perbuatan hukum perwakafan. Di setiap desa pasti terdapat tokohtokoh agama dan tokoh masyarakat yang selalu memberikan warna baru
terhadap masyarakat di sekitarnya dimana mereka tinggal. Hal ini tentu saja
mudah untuk melakukan pemberitahuan kepada orang yang akan mewakafkan
harta atau benda wakaf. Sebab saksi apabila tidak diperlukan lagi, maka akan
timbul masalah-masalah baru yang akan datang di kemudian hari.
Sampai disini, secara otomatis akan mengganggu nilai kepastian
hukum yang sudah tertuang secara eksplisit dalam UU No. 41 Tahun 2004 itu.
Selain nilai-nilai yang lainnya, yakni nilai keadilan dan kemanfaatan. Jelaslah,
nilai kemanfaatan sudah memberikan kemanfaatan bagi khalayak ramai
(masyarakat umum) karena ditujukan kepada orang banyak dan dimanfaatkan
oleh semuanya. Kemudian nilai keadilan sudah terpenuhi, yaitu bisa membagi
harta atau benda sesuai dengan porsinya dan dibagi secara merata demi
kepentingan banyak orang.
Jadi, lebih singkatnya, kedudukan saksi memberikan peran yang
penting selain sudah ada nilai kepastian hukum (yuridis), juga nilai keadilan
dan kemanfaatan pun ikut terbawa secara otomatis. Sehingga orang banyak
yang mengetahui akan arti pentingnya dari saksi dalam urusan-urusan yang
71
menyangkut banyak orang, dalam hal ini persoalan perwakafan yang
mengandung dua dimensi, yaitu dimensi ritual dan dimensi sosial. Peran
ganda yang terakhir inilah dimiliki wakaf selain perbuatan zakat mempunyai
makna secara komprehensif, yang bukan hanya urusan ilahiah semata,
melainkan urusan yang lebih luas dan komprehensif, yaitu kemanusiaan.
Aspek inilah yang diharapkan dapat dimengerti oleh banyak pihak.
B.
Analisis terhadap Metode Istinbath Saksi Ikrar Wakaf dalam Pasal 17
ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004
Dalam Islam, pada masa Rasulullah tidak dijelaskan tata cara dan
pendaftaran secara rinci. Akan tetapi ada yang dapat dipelajari dari tindakan
Nabi ataupun sahabatnya atau hasilnya. Kemudian dalam bentuk lain harta
wakaf diwakafkan keseluruhannya yakni asalnya dan hasilnya, berpindah
milik dari wakif kepada maukuf alaih. Sedangkan perwakafan secara
administratif ketika itu belum dikenal. Namun dalam masalah urusan
muamalah, ada tuntutan al-Qur’an yang menganjurkan untuk menuliskan dan
disaksikan dua orang saksi.1
Ayat dalam makna umum itu, juga berarti Islam menghendaki masalah
wakaf dengan tertulis atau memakai administrasi serta saksi karena masalah
wakaf juga termasuk muamalah yang sudah diatur Allah SWT. Jadi lahirnya
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 ini dapat dikatakan sebagai
implementasi terhadap Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 282.
1
hlm. 104.
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2005,
72
Mashlahah dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, mashlahah
yang mempunyai bukti tekstual. Kedua, mashlahah yang tidak didukung
tekstual. Ketiga, mashlahah yang tidak didukung teks, namun juga tidak di
larang oleh teks. Yang pertama boleh dijadikan landasan berijtihad. Yang
kedua tidak boleh digunakan sebagai ijtihad karena mashlahah tersebut
dipandang bertentangan dengan nash. Yang ketiga memerlukan pemikiran
lebih lanjut. Yang perlu diingat adalah al-Ghazali menolak mashlahah yang
dikaitkan dengan kepentingan manusia.
Dalam perspektif al-Syathibi dalam teori maqashid al-syari’ah,
menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Baginya, yang dimaksud dengan
mashlahah adalah mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan
manusia dan pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas emosional dan
intelektual secara mutlak.
Substansi kehidupan manusia tersebut penggolongannya dibagi
menjadi tiga, yakni dlaruriyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Dalam substansi
tersebut, saksi ikrar wakaf menempatkan sebagai aspek mashlahah mursalah
dapat memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan pelaksanaan
perwakafan setelah dilakukan ikrar merupakan substansi yang kedua, yaitu
aspek hajiyyah. Sebab kalau peran dari saksi yang memberikan mashlahah
tersebut disingkirkan, maka akan banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan
yang dihadapinya di kemudian hari, seperti masalah sengketa dan pembuktian,
baik proses secara litigasi maupun non litigasi.
73
Dari pembatasan di atas, mashlahah merupakan salah satu metode
istinbath hukum Islam yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk
menjawab masalah-masalah baru yang muncul belakangan. Mashlahah adalah
segala upaya dan kegiatan yang dimaksudkan untuk mendatangkan kebaikan
bagi banyak orang dan menjauhi kerusakan. Ukuran utama mashlahah adalah
(1) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dalam al-Qur’an maupun
al-Hadits, (2) kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, (3) kemashlahatan
itu menyangkut kepentingan orang banyak.
Dengan kelima ukuran tersebut, terlihat jelas bahwa penggunaan saksi
dalam ikrar wakaf memberikan mashlahah tersendiri karena untuk mengetahui
bahwa wakaf tersebut sudah diikrarkan dan diserahkan kepada nadzir untuk
dikelola sebagaimana mestinya. Kemashlahatan yang diambil dari saksi
sendiri tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an maupun alSunnah, lalu bersifat rasional dan pasti karena telah diketahui ciri-ciri yang
dapat dikategorikan sebagai saksi dalam wakaf, diantaranya adil, dewasa dan
berakal. Kemudian kemashlahatan saksi dalam perwakafan itu menyangkut
kepentingan banyak orang. Terlihat jelas ketika seseorang mengikrarkan
wakaf lalu disaksikan oleh minimal dua orang saksi. Faktor terpenting disini
saksi dapat menjelaskan dan memberitahukan kepada orang lainnya bahwa
benda atau harta tersebut sudah berwakaf atau hal-hal lainnya, misalnya terjadi
sebuah sengketa harta atau benda wakaf. Disinilah saksi mempunyai aspek
mashlahah demi mewujudkan kemanfaatan masyarakat.
74
Setelah kemashlahatan saksi ikrar wakaf sudah diketahui, tinggal
pengelolaan harta wakaf sendiri dan tentunya dilakukan pengawasan terhadap
nadzir secara optimal agar dijalankan sesuai dengan syari’at dan tidak
menyimpang darinya.
Saat ini, ada beberapa negara yang pengelolaan dan manajemen
wakafnya sangat memprihatinkan. Sebagai dampaknya cukup banyak harta
wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang.
Salah satu sebabnya antara lain adalah karena umat Islam pada umumnya
hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, dalam hal ini wakif kurang
memikirkan biaya operasional sekolah, dan nadzirnya kurang profesional.
Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf ini sangat
dilakukan. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat
di Indonesia dikarenakan wakaf tidak dikelola secara produktif, untuk
mengatasi masalah secara produktif dengan menggunakan manajemen
modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang
perlu dilakukan sebelumnya. Selain perumusan konsepsi wakif wakaf dan
peraturan
perundang-undangan,
nadzir
harus
profesional
untuk
mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut
berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional,
juga diperlukan badan khusus yang antara lain melakukan pembinaan nadzir,
seperti badan wakaf Mesir. Alhamdulillah pada saat ini sudah ada keputusan
Presiden tentang pengangkatan anggota Badan Wakaf Indonesia.
75
Mengenai pengembangan objek wakaf, perlu dicari nilai filosofisnya
atau menurut istilah Fazlul Rahman Ideal Moral dari adanya pengembangan
objek
wakaf
tersebut.
Sebab
ketika
pengembangan
objek
wakaf
ditranformasikan ke dalam tataran praktis tanpa melihat nilai dasar
perwakafan, dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dari tujuan wakaf
itu sendiri. Objek wakaf dalam perwakafan tidak lebih sebagai instrumen
untuk menyediakan berbagai sarana ibadah sosial dan atau menjadi kekuatan
ekonomi untuk memajukan kesejahteraan umum.
Sebagai sebuah instrumen, formula-formula objek perwakafan akan
sangat mungkin untuk berubah dan diformulasikan kembali seiring dengan
perubahan persepsi masyarakat. Formula perwakafan yang ditawarkan oleh
para ulama fiqih terdahulu merupakan hasil pemahaman dan interpretasi nash
dengan melihat kondisi masyarakat pada waktu itu. Sebagaimana diketahui,
produk hukum pada dasarnya merupakan artikulasi dari keinginan masyarakat
yang ada. Sementara itu transformasi sosial dengan berbagai dinamikanya
telah berubah.
Perubahan sosial pada lembaga perwakafan dapat dilihat bahwa
sekarang perwakafan harus memiliki peran sosial yang lebih baik, dan
memiliki implikasi positif. Terjaminya status hukum objek wakaf bagi para
pihak yang berkaitan dengan perwakafan, adanya ketertiban dari segi
prosedural, tekhnik dan administratif di bidang penyelenggaraan perwakafan,
dan menjamin maksimalisasi perolehan manfaat secara optimal dengan tetap
memperhatikan azas dan hukum syariat Islam. Adanya implikasi ekonomis
76
yang signifikan sebagai hasil dari pemanfaatan harta benda wakaf (obyek
wakaf) yang selanjutnya akan dapat mengangkat harkat dan martabat
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Perwakafan sekarang harus mendorong terbentuknya azas transparansi,
akuntabilitas, dan profesionalisme dalam pengelolaanya. Dengan demikian
perwakafan yang merupakan transformasi vertikal ibadah lillahi ta’ala, akan
menjadi lebih bersifat horizontal yang berguna bagi kesejahteraan umum.
Di antara perubahan sosial lain dalam perwakafan adalah terjadinya
pengembangan obyek wakaf (benda wakaf) seperti bolehnya wakaf tunai atau
uang. Wakaf tunai atau uang merupakan hal yang baru dan belum dikenal
masyarakat, oleh karena itu perlu pengelolaan yang tepat oleh lembaga
keuangan syari’ah untuk menjamin transparansi, likuiditas dan akuntabilitas.
Di dalam wakaf uang ini harus ada lembaga penjamin, mengingat harta benda
wakaf bukan sesuatu yang langsung habis. Lembaga penjamin terhadap wakaf
uang adalah untuk mengantisipasi kemungkinanan habisnya benda wakaf ini
jika mengalami pailit.
Saksi
yang
dengan
kerelaannya
menyampaikan
kesaksiannya
merupakan saksi yang baik dan kemashlahatan yang dibutuhkan umat manusia
di setiap ruang dan waktu menjadi terabaikan jika tidak ada syari’at hukum
yang berdasarkan mashlahah mursalah berkenaan dengan arti penting saksi
atas ikrar wakaf yang setiap saat dibutuhkan sesuai dengan perkembangan
zaman yang terus bergerak dinamis. Tentunya semakin berkembang, semakin
kompleks pula masalah-masalah yang dihadapi dalam permasalahan wakaf,
77
ketika tidak dilibatkan saksi, disamping memiliki peran sentral, juga aspek
mashlahah bagi kepentingan masyarakat (umat).
Sehubungan dengan aspek mashlahah yang sifatnya umum, bahwa
dalam kaitannya dengan pembentukan hukum atas suatu peristiwa
mengikrarkannya wakaf oleh pemilik kepada nadzir (pengelola wakaf) sebagai
outputnya dapat melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang
benar-benar terwujud atau bisa menolak madharat, atau tidak hanya
mendatangkan kemanfaatan bagi seorang atau beberapa orang saja. Karena itu
hukum tidak bisa disyariatkan lantaran hanya membuahkan kemashlahatan
secara khusus kepada pimpinan atau orang-orang tertentu dengan tidak
menaruh perhatian kepada kemashlahatan umat. Dengan kata lain,
kemashlahatan itu harus memberikan manfaat bagi seluruh umat, termasuk
dalam memberikan persaksian atas ikrar wakaf, yang dapat menginformasikan
atau memberitahukan kepada pihak ketiga selaku saksi bahwa telah terjadi
ikrar wakaf dan bendanya dapat digunakan untuk orang lain yang sifatnya
makro, selain dapat bertindak sebagai saksi untuk menyatakan persaksiannya
ketika di kemudian hari terdapat sengketa atau problem lainnya berkenaan
dengan harta wakaf itu.
Masalah pengembangan obyek wakaf tersebut juga harus mendapat
respon yuridis, dengan mengedepankan aspek mashlahah, sebab Indonesia
yang dalam kontitusinya mendeklarasikan sebagai negara hukum (recht staat).
Konsekuensinya penegakan hukum pada lembaga yudikatif harus berdasarkan
78
pada azas legalitas, yakin pengadilan mengadili berdasarkan aturan hukum
yang ada (rule of law), bukan menurut selera atau kemauan hukum.
Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan
erat, bahkan dapat dikatakan dua sisi dari satu mata uang. Sulit untuk
mengatakan adanya masyarakat tanpa adanya suatu ketertiban. Jadi, ketertiban
dalam hal persaksian terhadap ikrar wakaf dan pengelolaannya mesti
dilakukan. Ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat akan mengejawantah
apabila didukung adanya suatu tatanan. Tatanan inilah yang menciptakan
hubungan-hubungan yang tetap dan teratur antara anggota-anggota masyarakat
yang memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga konflik kepentingan
diantara entitas masyarakat tersebut merupakan keniscayaan.
Dalam tesis yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, tatanan yang
merupakan instrumen
untuk mewujudkan ketertiban tersebut adalah
kebiasaan, hukum dan kesusilaan. Diantara ketiga tatanan tersebut, hukum
merupakan institusi yang mencerminkan kehendak manusia bagaimana sebuah
kondisi diciptakan. Ia mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingankepentingan yang bersinggungan, sehinga conflict of intereset bisa
diminimalisir, dan hukum dapat mewujudkan keadilan, kegunaan, dan
kepastian hukum.
Melihat tesis Satjipto di atas, akan lebih bermakna ketika
kemashlahatan saksi wakaf dapat diakomodir oleh semua pihak dan kalangan
dalam suatu masyarakat agar tidak terjadi suatu disharmonisasi antar warga
untuk urusan yang lebih besar dan berfungsi sosial, yaitu wakaf. Selain itu,
79
manfaatnya juga kembali kepada individu masing-masing dalam bentuk ikut
merasakan dan memanfaatkan harta wakaf yang sudah diwakafkan dan
berkepastian hukum. Akhirnya, tercapailah juga keadilan dan kegunaan itu.
Sampai pada titik itulah wujud dari kemashlahatan saksi dalam urusan
wakaf dapat teramati, yang tiada lain banyak mengandung manfaat dan
pastinya menolak berbagai mafsadat yang menghadangnya. Hal yang
demikian sesuai dengan prinsip prinsip ajaran Islam untuk lebih mengetahui
sisi mashlahah dari wakaf sendiri dan manfaatnya kembali individu masingmasing.
Download