SGB - IPB Repository

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ciri Umum Streptokokus Grup B
Lancefield pada tahun 1933 menemukan 2 antigen karbohidrat pada
Streptokokus Grup B (SGB) berdasarkan serologi yaitu antigen karbohidrat
spesifik-grup pada dinding sel (substansi “C”) yang ada pada semua
golongan streptokokus dan antigen karbohidrat spesifik-tipe (substansi “S”)
pada kapsul bakteri SGB. Berdasarkan antigen spesifik-grup, sampai saat
ini telah ditemukan 20 grup streptokokus yang terdiri dari serogrup A
hingga V kecuali I dan J. Streptokokus grup B yang termasuk ke dalam
genus ini, memiliki komposisi karbohidrat spesifik-grup tertentu yang
terdiri dari D-glukosamin, D-galaktosa, glusitol dan L-rhamnosa (Lancefield
1933; Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995).
Pada pemeriksaan mikroskopis, streptokokus grup B tergolong ke
dalam bakteri Gram-positip, berbentuk bulat atau ovoid dengan diameter
0,6-1,2 µm, tidak bergerak dan tidak berspora (Joklik et al. 1992; Edwards
dan Baker 1995). Bakteri ini umumnya tersusun dengan rantai yang pendek
(diplokoki), namun panjang rantainya dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Pada medium cair umumnya tumbuh dengan rantai yang lebih
panjang (Joklik et al. 1992). Menurut Wahyuni (2002), panjang rantai juga
dipengaruhi oleh sifat hidrofobisitas dari komponen permukaan bakteri.
Bakteri yang memiliki sifat hidrofilik tersusun dengan rantai yang pendek
sedangkan bakteri yang hidrofobik tersusun dengan rantai yang panjang.
Streptokokus grup B yang diisolasi dari manusia umumnya memiliki rantai
yang pendek, sedangkan SGB yang diisolasi dari mastitis subklinis pada sapi
perah umumnya memiliki rantai yang panjang.
Bakteri SGB jika diinkubasi pada agar darah domba 5%, akan diperoleh
koloni berbentuk bulat kecil (1-4 mm) dengan permukaan yang sedikit mukoid,
berwarna bening seperti titik embun atau putih keabu-abuan dengan zona βhemolitik pada 11-89% strain. Namun demikian 5-15% strain adalah non
hemolitik, sedangkan α-hemolitik jarang ditemukan. Jika diinkubasi secara
anaerob terutama pada medium Islam, 97% strain dapat memproduksi pigmen
kuning, merah atau orange. Bakteri ini umumnya resisten terhadap basitrasin, hal
ini membedakan bakteri SGB dengan Streptokokus Grup A yang sensitif
basitrasin (Wibawan et al. 1991; Joklik et al. 1992; Holt et al. 1994).
2.2 Identifikasi Bakteri
Untuk melakukan preidentifikasi SGB, uji CAMP memberikan hasil
98-100% positip. Hal ini disebabkan karena faktor CAMP yang dimiliki oleh
SGB, yang merupakan protein ekstrasel yang termostabil, menghasilkan
hemolisis yang sinergis pada agar darah domba dengan Staphylococcal βlysin (sphingomyelinase C) yang dimiliki oleh Staphylococcus aureus.
Fenomena hemolisis sempurna dari uji CAMP akan membentuk zona seperti
kepala panah (arrowhead) (Joklik et al. 1992; Edwards dan Baker 1995;
Ruoff 1995). Sphingomyelinase menginisiasi sphingomielin menjadi seramida
yang membuat eritrosit mudah dilisiskan oleh aktivitas faktor CAMP.
Eritrosit mamalia mempengaruhi kinerja faktor CAMP secara berbeda-beda
tergantung dari kandungan sphingomielin pada membran sel. Pada darah
domba kandungan sphingomielin sebesar 51% sedangkan pada darah kelinci
dan
manusia
adalah
26%
dan
19%.
Semakin
besar
kandungan
sphingomielin maka semakin jelas reaksi positip yang terbentuk pada uji
CAMP (Lang dan Palmer 2003).
Identifikasi definitip untuk SGB, dapat dideteksi berdasarkan antigen
dinding sel spesifik-grup B melalui uji serologi dengan menggunakan
antiserum spesifik grup B. Sejumlah metode diagnosis baik untuk
menentukan serogrup maupun serotipe yang dapat digunakan antara lain
adalah imunodifusi, countercurrent immunoelectrophoresis, enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), imunofloresen tidak langsung, koaglutinasi
dengan stafilokokus dan aglutinasi lateks. Salah satu metode yang sering
digunakan
untuk
identifikasi
SGB
adalah
metode
imunodifusi
(Ouchterlony). Metode ini sangat mudah dilakukan dan memberi hasil yang
akurat. Kelemahannya adalah waktu pembacaan yang sangat lama yaitu 1824 jam dan memerlukan bahan yang relatif mahal. Untuk mendukung uji
imunodifusi, tes koaglutinasi dengan menggunakan stafilokokus merupakan
suatu alternatif. Metode ini juga mudah dilakukan dan cepat (30 detik) serta
memberi hasil yang akurat (Wibawan dan Pasaribu 1993; Edwards dan
Baker 1995; Ruoff 1995).
2.3 Diagnosa Penyakit SGB Neonatal
Untuk mengisolasi bakteri SGB pada neonatus, bahan pemeriksaan
dapat diambil dari darah, cairan serebrospinal, trakhea dan lain-lain.
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan jumlah darah
komplit, level C-reactive protein (CRP), interleukin-6 (IL-6), IL-8, uji antigen
dan pemeriksaan radiografi paru untuk mendiagnosa adanya pneumonia
(Tumbaga dan Philip 2003).
Pengukuran IL-6 dilakukan untuk membantu melakukan identifikasi
adanya infeksi SGB intraamniotik secara non progresif dalam sekresi
serviks. Level sitokin ini akan meningkat secara signifikan bila adanya
infeksi intraamnion, hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang
signifikan antara konsentrasi reseptor antagonis IL-6 dalam cairan amnion
dan sekresi serviks (Rizzo et al. 1996). Interleukin-6 adalah suatu mediator
awal dari proses inflamasi, pada infeksi sistemik level IL-6 awalnya
meningkat tapi kemudian menurun dengan cepat. Pengukuran C-reactive
protein (CRP) yang merupakan suatu acute-phase reactant seperti halnya
IL-6, biasanya juga meningkat pada keadaan inflamasi. Nilai normal CRP
pada neonatus adalah kurang dari 1 mg/dL (Tumbaga dan Philip 2003).
Pemeriksaan darah rutin dapat mendukung diagnosa adanya infeksi
walaupun mungkin akan dijumpai nilai normal pada fase awal. Jumlah sel
darah putih mungkin kurang dari 5.0x103/mcL namun hal ini tidak begitu
menolong memprediksi adanya infeksi, sedangkan jumlah neutrofil yang
kurang dari 1.75x103/mcL banyak digunakan untuk memprediksi adanya
infeksi (Tumbaga dan Philip 2003).
Identifikasi SGB dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction
(PCR) sangat sensitif dan spesifik. Teknik biologi molekuler ini telah dijabarkan
untuk deteksi cepat SGB sehingga dapat menentukan resiko pascasalin baik untuk
ibu maupun bayinya (Tumbaga dan Philip 2003).
2.4 Epidemiologi Penyakit SGB
Streptokokus Grup B (SGB) yang disebut juga dengan Streptococcus
agalactiae, sudah sejak lama dikenal sebagai penyebab mastitis sub klinis pada
sapi perah (Wibawan et al. 1993). Pada tahun 1935, bakteri ini pertama kali
dilaporkan oleh Fry sebagai patogen pada manusia yang menyebabkan sepsis
pascasalin. Sejalan dengan berkembangnya pemahaman kolonisasi bakteri pada
neonatus, sejak tahun 1970-an SGB mulai diperhitungkan sebagai penyebab
penting infeksi neonatal (Rubens et al. 1992; Tamura et al. 1994; Edwards dan
Baker 1995). Sejak saat itu pula penelitian tentang SGB di luar negeri telah
berkembang dengan pesat.
Kolonisasi SGB dapat dijumpai pada traktus genital dan gastrointestinal
bagian bawah ibu hamil sehat sebagai kolonisasi asimtomatik (asymptomatic
colonization). Sedangkan pada traktus urinarius saat kehamilan, bakteri ini
dikaitkan dengan bakteriuria asimtomatik yang disebabkan oleh adanya
rekolonisasi secara asenden. Kira-kira 5-30% wanita hamil memiliki kolonisasi
SGB dan 29-72% bayi-bayi yang dilahirkannya, akan mendapatkan kolonisasi
yang sama melalui transmisi vertikal, yaitu melalui saluran kelamin ibu pada saat
melahirkan (Antony 1992; McKenzie dan Patel 1994; Edwards dan Baker 1995;
Chaaya et al. 1996).
Maniatis et al. (1996) mengutip beberapa hasil penelitian mengenai angka
prevalensi kolonisasi SGB pada ibu hamil antara lain di Israel 5,4%; di Arab
1,6%; di Jerman 3,8%; di Italia 7,5% sedangkan di Inggris sebanyak 28%. Di
Jepang, Lachenauer et al. (1999), berhasil mengisolasi 71 isolat SGB dari 441
wanita hamil (16%). Variasi angka prevalensi ini bukan hanya disebabkan oleh
perbedaan metode kultur yang digunakan, tetapi juga disebabkan oleh perbedaan
intrinsik dari populasi yang diteliti seperti ras dan sosioekonomi (Edwards &
Baker 1995). Di Meksiko, dari 2669 sampel serum wanita berusia 15-40 tahun
yang diuji titer antibodi IgG terhadap SGB, 2405 orang (90,12%) memberi hasil
positip. Seroprevalensi tinggi tersebut mengindikasikan bahwa wanita meksiko
sering terekspose dengan infeksi SGB (Saucedo et al. 2002). Sementara itu di
Barcelona Teresa (1997) memperoleh 5,05% wanita yang memeriksakan
kehamilannya di Rumah Sakit Sant Joan de Deu sejak Januari 1991 sampai Juni
1992 terisolasi bakteri SGB. Di dalam negeri Hayati (2003) mendapatkan angka
kejadian kolonisasi SGB asimtomatik pada ibu hamil sehat sebesar 10,09%.
Bakteri SGB umumnya diperoleh bayi dari ibunya ketika ia melewati jalan
lahir. Helmig et al. (1993) telah membuktikan bahwa kolonisasi SGB yang
dijumpai pada traktus genital ibu berkaitan dengan kolonisasi SGB pada bayinya.
Dari 31 pasang isolat SGB yang diisolasi dari ibu dan anaknya (26 pasang dengan
sepsis dan meningitis neonatal, 2 pasang dengan abortus dan 3 pasang dengan
KPSW), didapatkan bahwa serotipe isolat yang dijumpai pada ibu semuanya
identik dengan serotipe isolat yang dijumpai pada anak kecuali satu koloni dari
ibu dengan serotipe Ib, sedangkan pada anaknya dijumpai serotipe Ia.
Beberapa keadaan komplikasi obstetri merupakan faktor resiko penting
timbulnya infeksi neonatal SGB early-onset antara lain adalah kelahiran prematur
(preterm delivery) sebelum usia kehamilan 37 minggu, partus lama (prolonged
rupture of membranes) >18 jam, ketuban pecah sebelum waktu/KPSW (preterm
prematur rupture of membranes) 18 jam sebelum kelahiran dan demam maternal
> 380C (Tumbaga dan Philip 2003; Anthony et al. 1994). Pada wanita dengan
KPSW yang terkolonisasi SGB, induksi kelahiran dapat menjadi pencetus
berkembangnya infeksi neonatal. Pada keadaan tersebut induksi kelahiran dengan
oksitosin intra vena mungkin lebih baik dari pada penggunaan induksi dengan gel
vaginal prostaglandin E2 dan kelompok ekspektan (Hannah et al. 1997).
Pada orang dewasa bakteri ini juga dapat menyebabkan infeksi invasif
dimana dijumpai adanya beberapa keadaan sebagai faktor predisposisi antara lain
malignan neoplasma, diabetes melitus, infeksi human immunodeficiency virus tipe
1, trauma dan usia tua (Edwards dan Baker 1995; Maniatis et al. 1996; Marodi et
al. 2000). Bakteri SGB bukan hanya dapat diisolasi dari darah namun juga dapat
diisolasi dari tempat-tempat lain yang secara normal steril. Schrag et al. (2000)
melaporkan dari 7867 kasus penyakit SGB invasif yang disurvei di Amerika
Serikat tahun 1993-1998, bakteri ini dapat diisolasi dari darah sebanyak 84%
kasus, dari cairan cerebrospinal 4%, dari cairan sinovial 4%, dari tulang 2%, dari
cairan peritoneal 2%, dari spesimen bedah 2%, dari cairan pleura 1%dan dari
tempat-tempat lain 1%.
2.5 Spektrum Penyakit
Infeksi neonatal SGB dapat terjadi dalam dua bentuk sindroma yaitu infeksi
neonatal dengan onset-dini (early-onset) dan infeksi neonatal dengan onset-lambat
(late-onset). Kira-kira 75% dari kasus infeksi SGB adalah bentuk early-onset.
Infeksi early-onset biasanya terjadi usia 1 hingga 6 hari, umumnya bayi sudah
menderita sakit dalam 24 jam setelah lahir. Spektrum klinik yang paling terjadi
adalah pneumonia (35-55% kasus). Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi
sepsis yang disertai dengan kegagalan pernafasan (respiratory distress), apnea,
perfusi yang jelek dan shok. Septikemia terjadi pada 25-40% kasus, keadaan ini
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Spektrum klinik yang lain
adalah meningitis pada 5-10% kasus. Insidensi infeksi early-onset meningkat pada
infan prematur, hal ini mungkin disebabkan karena adanya defisiensi opsonin dan
terbatasnya transfer antibodi maternal (Edwards dan Baker 1995; Tumbaga &
Philip 2003).
Infeksi late-onset terjadi setelah minggu pertama kelahiran hingga usia 2-3
bulan dimana spektrum klinik yang paling sering terjadi adalah meningitis. Pada
bayi-bayi yang selamat dari infeksi meninggal, 25-50% kasus akan meninggalkan
gejala sisa neurologik yang permanen. Spektrum klinik lain dari bentuk infeksi
late-onset pada neonatus adalah artritis septik. Pada keadaan ini memerlukan
pemberian antibiotik dalam jangka waktu yang lama untuk menghindari
timbulnya komplikasi. Streptokokus grup B serotipe III adalah tipe yang paling
sering menimbulkan infeksi late-onset di Amerika Serikat, sedangkan yang
menyebabkan artritis septik dilaporkan tidak ada perbedaan serotipe yang nyata
(Edwards dan Baker 1995; Gibbs dan Sweet, 1994; Eriksen dan Blanko 1993;
Tissi et al. 1998).
Bakteri-bakteri patogen yang biasa ditemukan sebagai penyebab meningitis
adalah Streptokokus pneumonia, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae
dan lain-lain, namun bakteri SGB adalah yang paling sering ditemukan pada kasus
meningitis neonatal (Tunkel dan Scheld 1995) (Tabel 1).
Tabel 1. Bakteri patogen terbanyak penyebab meningitis menurut usia
Usia penderita
Bakteri patogen terbanyak
0-4 minggu
Streptokokus agalactiae, Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Klebsiella pneumonia, Enterococcus
spp., Salmonella spp.
4-12 minggu
Streptokokus agalactiae, Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis .
3 bulan-18 tahun
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis,
Streptococcus pneumonia.
18-50 tahun
Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis.
> 50 tahun
Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis,
Listeria monocytogenes, aerobic gram-negative
bacilli
2.6 Faktor Virulensi SGB
Faktor virulensi bakteri SGB dapat dibagi menjadi faktor virulensi
struktural dan non struktural. Faktor virulensi struktural dibentuk oleh
komponen-komponen penyusun sel baik komponen permukaan maupun
komponen penyusun dinding sel bakteri. Faktor virulensi tersebut antara
lain adalah antigen kapsul polisakarida, antigen protein dan asam
lipoteikoat. Faktor virulensi non struktural (metabolit) yang merupakan
produk ekstraseluler dari bakteri ini antara lain adalah hialuronidase,
protease, hipurikase, nuclease, C5a-ase, hemolisin dan faktor CAMP
(Pritchard and Lin 1993; Pagala et al. 1994; Edwards dan Baker 1995;
Takahashi et al. 1999; Lang dan Palmer 2003).
2.6.1 Antigen Kapsul Polisakarida
Pada tahun 1933 Lancefield menemukan 4 klasifikasi antigen kapsul
polisakarida SGB berdasarkan uji serologi yaitu serotipe Ia, Ib, II dan III.
Antigen ini dapat berdiri sendiri namun dapat juga bergabung bersamasama dengan antigen protein permukaan. Antigen protein c dapat ditemukan
bergabung bersama-sama dengan antigen Ia atau Ib. Sampai saat ini antigen
kapsul polisakarida pada permukaan bakteri SGB telah ditemukan sebanyak
9 serotipe yaitu Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII. Komposisi antigen
polisakarida spesifik-tipe tersebut adalah galaktosa, glukosa, N-asetil
glukosamin dan asam N-asetilneuraminik (sialic acid = asam sialat) (Tissi et
al. 1998; Hulse et al. 1993; Takahashi et al. 1998).
Perbedaan untuk masing-masing serotipe terletak pada rantai tulang
punggung dan ikatan rantai antar cabang gugus polisakarida serta ketebalan
kandungan asam sialat. Perbedaan antigenisitas dari masing-masing serotipe
disebabkan oleh molar rasio residu monosakarida. Kapsul polisakarida SGB
tipe IV mempunyai berat molekul 81.000 Dalton (Paoletti and Kasper 2002).
Kapsul polisakarida tipe VI mempunyai berat molekul 200.000 Dalton dan
mengandung galaktosa, glukosa dan asam sialat dengan molar rasio 2:2:1
(Paoletti et al. 1999). Kapsul polisakarida tipe VII mengandung D-glukosa,
D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin dan asam N-asetilneuraminat (asam
sialat) dengan molar rasio 2:2:1:1 (Kogan et al. 1995). Kapsul polisakarida
tipe VIII mempunyai berat molekul 200.000 Dalton dan mengandung Dglukosa, D-galaktosa, L-rhamnosa dan asam sialat dengan molar rasio
1:1:1:1. (Kogan et al. 1996).
Streptokokus grup B yang memiliki tipe Ia, II dan III mempunyai
kandungan asam sialat yang tinggi sedangkan tipe IV dan V mempunyai
kandungan asam sialat yang rendah. Antigen polisakarida sebagai
pembentuk kapsul bakteri merupakan faktor virulensi yang berperan
sebagai antifagositosis. Kapsul polisakarida yang mempunyai kandungan
asam sialat yang tinggi, diketahui dapat menghambat jalur komplemen
alternatif, sehingga lebih tahan terhadap fagositosis. Resistensi SGB strain
tipe III-3 terhadap opsonofagositosis disebabkan karena kandungan asam
sialat yang tinggi dalam kapsul polisakaridanya, sedangkan pada strain III-2
dan III-1 yang telah dibuang asam sialatnya dengan suatu treatmen
neuraminidase atau dengan transposon-insertional mutagenesis, terbukti
dapat meningkatkan deposisi fragmen C3 opsonik (C3b dan C3bi) sehingga
terjadi aktivasi komplemen jalur alternatif (Takahashi et al. 1999)
Tipe Ia dan Ib memiliki kesamaan struktur tulang punggung dan rantai
samping, perbedaannya hanya pada ikatan cabang galaktosa ke gugus
glukosamin. Tipe II memiliki dua monosakarida rantai samping yaitu
galaktosa dan asam sialat yang secara langsung memanjang dari
pengulangan tulang punggungnya. Tipe III terdiri dari suatu polimer yang
mengandung pengulangan unit-unit tulang punggung trisakarida glukosa –
N-asetilglukosamin – galaktosa dan rantai samping asam sialat – galaktosa
yang terikat ke gugus N-asetilglukosamin (Takahashi et al. 1999; Wessels et
al. 1998; Campbell et al. 1992).
2.6.2 Antigen Protein Permukaan
Antigen protein yang dijumpai pada permukaan bakteri merupakan faktor
virulensi struktural yang imunogenik, berperan dalam proses adhesi dan
kolonisasi. Antigen ini terdiri dari protein C, protein R, protein X dan protein Rib.
Protein C dibagi lagi menjadi Cα yang merupakan komponen resisten tripsin dan
Cβ yang merupakan komponen sensitif tripsin. Sekarang bahkan sudah ditemukan
Cγ dan Cδ. Antigen protein R dibagi lagi menjadi R1 hingga R4, antigen ini
jarang ditemukan pada SGB asal sapi. Sebaliknya antigen protein X biasanya
dijumpai pada SGB asal sapi, jarang ditemukan pada SGB asal manusia
(Gravekamp et al. 1997; Kling et al. 1997; Maeland 1997; Larsson et al. 1996).
Protein C SGB memiliki regio N-terminal dan C-terminal dimana regio Cterminal menancap pada dinding sel bakteri. Regio
C-terminal tidak
memperlihatkan peranan dalam imunitas protektif, sebaliknya regio N-terminal
mengandung epitop protektif (Gravekamp et al. 1997).
2.6.3 Asam Lipoteikoat (Lipoteichoic Acid/LTA)
Asam lipoteikoat adalah komponen pada permukaan bakteri SGB
yang merupakan suatu polimer besar yang mengandung poligliserol fosfat
pada tulang punggungnya dengan asam lemak pada rantai sampingnya.
Asam lipoteikoat dapat memperantarai penempelan (adhesi) bakteri pada
permukaan sel epitel (Tamura et al. 1994).
2.6.4 Produk-produk Ekstraseluler
Hialuronidase
Beberapa produk ekstraseluler dari SGB berkaitan dengan virulensi bakteri
diantaranya adalah hialuronidase. Hialuronidase adalah enzim ekstraseluler yang
dihasilkan oleh kebanyakan streptokokus, merupakan faktor virulensi bakteri yang
dapat mendegradasi asam hialuronat jaringan konektif untuk memudahkan
penyebaran bakteri, sehingga enzim ini disebut juga sebagai “ spreading factor”
(Wibawan et al. 1999).
Asam hialuronat (hialuronan) dapat didegradasi oleh hialuronidase yang
menghidrolisa ikatan β(1-4). Molekul asam hialuronat mempunyai komposisi
250-25.000 β(1-4)- ikatan unit disakarid mengandung asam D-glukuronat dan Nasetil-D-glukosamin yang terikat oleh suatu ikatan β(1-3). Asam hialuronat adalah
suatu komponen glikosaminoglikan yang merupakan matriks ekstraseluler (ECM)
yang banyak dijumpai sebagai substansi dasar cairan sinovial. Lavel hialuronan
meningkat selama perkembangan embriologik, pada penyembuhan luka, bila
terjadi regenerasi jaringan dan selama pertumbuhan tumor. Asam hialuronat juga
dijumpai dalam kapsul bakteri patogen seperti Streptokokus grup A,
Streptococcus equi subsp. zooepidemicus dan Staphylococcus aureus. Pemotongan
chondroitin sulfat oleh enzim telah dilaporkan oleh Baker et al (1997).
Glikosaminoglikan lain selain asam hialuronat adalah khondroitin-4-sulfat,
khondroitin-6-sulfat, dermatan sulfat, keratan sulfat dan heparin (Afifi et al. 1993;
Voet and Voet, 1995; Wibawan et al. 1999).
β-hemolisin
Produksi β-hemolisin SGB dikaitkan dengan injuri sel epitel paru dan brain
microvascular endothelial cells (BMEC) secara in vitro. Hal ini mengindikasikan
peran patogenik dari enzim ini pada tahap invasif dari penyakit neonatal SGB
early-onset (Nizet et al. 1997).
C5a-ase
Beberapa strain bakteri SGB telah dipelajari dapat mengekspresikan C5aase. Enzim ini memberi kontribusi terhadap patogenesis infeksi neonatal SGB
dengan melakukan inaktivasi secara cepat terhadap C5a, suatu molekul proinflamatori yang potensial (Takahashi et al. 1999; Bohsak et al. 1993).
2.7 Patogenesis Infeksi Neonatal SGB
Patogenesis infeksi SGB terjadi dalam proses multistep. Perlekatan SGB
pada sel epitel mungkin intergral dari beberapa step tersebut. Kolonisasi SGB
pada rektum dan vagina ibu berkorelasi dengan sepsis pada bayi baru lahir, hal ini
mengindikasikan bahwa kolonisasi pada tempat tersebut adalah prasyarat
terjadinya infeksi. Perlekatan SGB pada sel epitel vagina dan rektum mengawali
kolonisasi pada tempat tersebut. Bakteri ini dapat menempel dengan derajat yang
tinggi pada sel amnion dan sel khorion monolayer kemudian melakukan invasi
dalam sel tersebut secara in vitro. Bakteri masuk ke dalam vakuola intraseluler
dari sel khorion dengan cara transitosis tanpa disrupsi intraseluler junctions yang
diperlihatkan dengan transmisi mikroskop elektron. Infeksi pada fetus terjadi
setelah adanya infeksi dalam cavitas amnion dan selalu dimulai dengan timbulnya
pneumonia, implikasi dari paru-paru sebagai tempat infeksi inisial. Bakteri masuk
dalam alveolar space setelah fetus teraspirasi dengan cairan amnion yang telah
terinfeksi. Invasi bakteri dalam sel epitel paru merupakan step penting timbulnya
infeksi pada infan. Bakteri SGB intraseluler dijumpai dalam sel epitel dan endotel
paru dari neonatus primata setelah dipapar dengan SGB secara in utero melalui
inokulasi ke dalam cairan amnion. Selain itu SGB juga memperlihatkan invasi ke
dalam sel epitel dan sel endotel paru secara in vitro. Kemudian SGB diduga
merusak endotel paru dimana proses ini merupakan suatu jalan untuk masuk ke
dalam sirkulasi (Edwards dan Baker 1995; Tamura et al. 1994; Gibson et al. 1993;
Winram et al. 1998).
Kemampuan SGB masuk ke dalam barier sel endotel telah memberikan
suatu mekanisme untuk masuknya SGB dalam vasculer space dari alveolar space
atau masuk dalam interstisial space dari vasculer kompartemen
menimbulkan septikemia (Gibson et al. 1993).
2.8 Mekanisme Pertahanan Inang
sehingga
Inang mempunyai sejumlah mekanisme pertahanan yang dapat menghalangi
agregasi bakteri. Mekanisme pertahanan tersebut dapat dikatagorikan dalam 2
kelompok: (1) Non-spesifik/kekebalan alamiah dan (2) spesifik/kekebalan
didapat. Respons imun spesifik tergantung pada adanya pemaparan benda asing
dan pengenalan selanjutnya, serta reaksi terhadapnya. Sebaliknya respons imun
nonspesifik terjadi pada saat pertemuan pertama antara hospes dengan benda
asing (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).
a. Fagositosis
Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan non-spesifik yang sangat penting
yang diperantarai oleh sel-sel scavenger dengan memakan organisme-organisme
yang menyerang dan menghancurkannya secara intraseluler melalui aksi enzimenzim. Fagositosis dapat dilakukan oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) yang
disebut mikrofag dan dapat dilakukan oleh fagosit mononuklear yaitu makrofag.
Mikrofag dihasilkan di sum-sum tulang dan ketika matur ia masuk dalam
sirkulasi pembuluh darah selama 6-7 jam. Sel- sel yang mempunyai masa hidup
yang pendek tiba secara cepat pada lokasi infeksi yang ditarik oleh bahan-bahan
kemotaktik yang meningkat selama proses inflamasi. Makrofag dihasilkan dalam
sum-sum tulang dan sel ini dibawa sebagai monosit-monosit didalam pembuluh
darah yang berperan sebagai “makrofag bebas”
(didalam
alveoli paru,
peritoneum dan granuloma-granuloma radang), atau “makrofag terikat” yang
berintegrasi dalam jaringan (dalam limfnode, limfa, hati yang disebut sel-sel
kupfer, CNS yang disebut mikroglia, dan jaringan ikat yang disebut histiosit)
(Bellanti 1993; Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).
Makrofag menghasilkan beberapa sitokin yang penting antara lain adalah
interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor (TNF) yang dapat berperan
sebagai mediator-mediator radang dan menyebabkan demam. Makrofag
memproses antigen bakteri dan membawanya kepada limfosit untuk merangsang
suatu respon imun spesifik, ia juga memainkan suatu bahagian penting dalam
imunitas berperantara sel (Abbas et al. 1994; Roitt dan Delves 2001).
Sel-sel fagositik mampu melakukan proses kemotaksis yaitu menarik fagosit
ketempat mikroorganisme kemudian terjadi perlekatan bakteri pada membran
fagosit. Sel-sel fagositik memperlihatkan pseudopods yang kecil untuk
membungkus bakteri, fusi ini membentuk suatu kawah atau fagosom. Lisosomlisosom yang mengandung enzim hidrolitik dan substansi bakterisidal lain
bermigrasi kearah fagosom dan berfusi dengan membrannya untuk membentuk
suatu fagolisosom sehingga terjadi proses ingesti. Pembunuhan intraseluler
terhadap bakteri yang diingesti, dapat terjadi dalam beberapa menit, walaupun
degradasi sel bakteri dapat menghabiskan waktu dalam beberapa jam (Bellanti
1993).
b. Komplemen
Komplemen adalah suatu famili dari protein-protein yang ada dalam serum
yang bereaksi bersama satu sama lainnya dalam suatu kaskade. Bakteri SGB
dapat melakukan pengelakan terhadap komplemen. Hal ini disebabkan karena
adanya kapsul pada permukaan bakteri dimana kapsul tersebut mengandung asam
sialat yang mempunyai sifat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aktivasi jalur
komplemen alternatif. Kapsul tersebut mempunyai afinitas yang sangat rendah
terhadap C3b, dengan demikian opsonisasi tidak terjadi. Streptococcus Grup B
juga dapat menghasilkan Streptococcal C5a peptidase (C5aAse) yang dapat
menguraikan C5a sehingga tidak terjadi fagositosis (Abbas et al. 1994; Roitt dan
Delves 2001).
2.9 Pencegahan Infeksi Neonatal SGB
a. Kemoprofilaksis
Sebelum era penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum awal tahun
1990-an, diperkirakan 8000 kasus infeksi SGB early-onset terjadi di Amerika
Serikat terjadi tiap tahun (2 kasus per 1000 kelahiran hidup). Setelah era
penggunaan antibiotika profilaksis intrapartum, insidensi sepsis neonatal SGB
early-onset menurun hingga 70% (Schuchat et al. 2000; Tumbaga dan Philip
2003).
Kemoprofilaksis yang dianjurkan untuk mencegah infeksi SGB adalah
ampisilin intravena intrapartum (2 gram inisial, kemudian dilanjutkan 1-2 gram
setiap 4-6 jam) atau penisilin G 5 juta unit setiap 6 jam sampai melahirkan
(Tunkel dan Scheld 1995). Vellapi et al. (2003) mengusulkan protokol kombinasi
kemoprofilaksis maternal dan neonatal dengan pemberian ampisilin intravena
intrapartum 2 gram per 6 jam untuk maternal yang dikombinasikan dengan
penisilin G dosis tunggal intramuskular dalam waktu 1 jam setelah lahir untuk
semua neonatus yang dilahirkan oleh ibu dengan faktor resiko. Penisilin G
diberikan dengan dosis 60.000 U (1 ml) untuk bayi yang cukup bulan dan 30.000
U (0.5 ml) untuk bayi dengan berat lahir < 2 kg. Untuk maternal dengan
chorioamnionitis selain ampisilin diberikan juga gentamisin dengan dosis awal
120 mg dilanjutkan 80 mg intravena setiap 8 jam. Klindamisin diberikan untuk
wanita yang mempunyai riwayat alergi terhadap antibiotika β-laktam dengan dosis
900 mg intravena setiap 8 jam. Protokol tersebut telah terbukti secara signifikan
mengurangi infeksi SGB early-onset.
Penggunaan antibiotik profilaksis terhadap ibu hamil resiko tinggi yang
diidentifikasi melalui skrining dapat mencegah kira-kira 3300 kasus (47%)
penyakit neonatal SGB tiap tahunnya di Amerika Serikat sehingga dapat
menghemat biaya kesehatan kira-kira 16 juta dollar. Penggunaan kemoprofilaksis
pada ibu hamil resiko tinggi yang diidentifikasi dengan menggunakan kriteria
epidemiologi juga efektif dalam mencegah penyakit neonatal SGB (mencegah
kira-kira 3200 kasus tiap tahunnya), namun karena kriteria ini tidak memerlukan
skrining sehingga dapat menghemat biaya kira-kira 66 juta dollar. Akan tetapi
vaksinasi dapat mencegah kira-kira 4100 kasus penyakit neonatal tiap tahunnya
sehingga dapat menghemat 131 juta dollar. Dengan demikian skrining prenatal
yang universal terhadap SGB dan kemoprofilaksis untuk ibu hamil yang
terkolonisasi masih membutuhkan biaya yang sangat besar dibanding vaksinasi
(Mohle-Boetani et al. 1993).
b. Imunoprofilaksis
Suatu
vaksin
yang
efektif
dapat
mengeradikasi
penyakit
SGB,
mengeliminasi resiko resistensi antibiotika dan menurunkan angka kematian bayi
serta kelahiran prematur. Di beberapa negara maju dewasa ini penelitianpenelitian tentang vaksin SGB telah dikembangkan dengan pesat. Imunisasi aktif
untuk wanita yang akan melahirkan telah diteliti dalam beberapa dekade. Konsep
ini dibuat berdasarkan pemikiran tentang adanya antibodi IgG ibu yang dapat
melintas secara transplasental ke janinnya. Namun pemberian vaksin pada infan
prematur yang lahir sebelum usia kehamilan 32 minggu, tidak ada manfaatnya
karena transfer antibodi maternal sangat terbatas pada usia kehamilan yang masih
muda (Schuchat et al. 1996; Cunningham et al. 1997; Tumbaga & Philip 2003).
Kapsul polisakarida SGB adalah merupakan target imunitas antibodi. Hal ini
desebabkan karena antibodi terhadap kapsul polisakarida sangat protektif dalam
mencegah penyakit SGB. Karena kapsul polisakarida SGB terdiri dari beberapa
serotipe maka vaksin SGB harus multivalen, termasuk di dalamnya adalah kapsul
polisakarida dari serotipe yang dominan pada suatu wilayah. Vaksin yang efektif
untuk digunakan di Amerika Serikat telah diteliti berdasarkan serotipe yang
dominan adalah serotipe Ia, Ib, II, III dan V (Tumbaga & Philip 2003).
2.10 Pengobatan Penyakit SGB
Penisilin G sampai saat ini masih merupakan obat pilihan untuk penyakit
SGB. Untuk orang dewasa dengan bakteremia, dosis penisilin G adalah 10-12 juta
Unit/hari, sedangkan untuk kasus meningitis 20-30 juta Unit/hari. Untuk neonatus
dengan kasus bakteremia dapat diberikan ampisilin dengan dosis inisial 150
mg/kg/hr ditambah aminoglikosida, kemudian diteruskan dengan penisilin G
dengan dosis 200.000 unit/kg/hr. Pada kasus tanpa komplikasi bakteremia, terapi
diberikan selama 7-10 hari, sedangkan pada kasus dengan bakteremia terapi
dilanjutkan sampai 14 hari, namun bila ada komplikasi menigitis terapi diberikan
selama 21-28 hari. Pada kasus dengan osteomilitis atau endokarditis, pemberian
antibiotika memerlukan waktu 4-6 minggu (Edwards & Baker 1995; Tumbaga &
Philip 2003).
Download