BAB VI KESIMPULAN DAN PELUANG 6.1. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan untuk melihat berbagai bentuk dukungan para pemangku kepentingan serta faktor-faktor penyebab tidak optimalnya pengelolaan PPP’s dalam implementasi kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja. Berbagai bentuk dukungan para pemangku kepentingan dalam kebijakan tersebut masih menunjukkan kondisi yang kurang optimal. Banyak peluang variasi dukungan lain yang bisa dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan serta berbagai perbaikan dalam kerja sama ini. Pemaparan lebih lanjut terkait dukungan setiap pemangku kepentingan dapat dilihat dalam tulisan ini. Sementara itu, beberapa faktor yang mempengaruhi tidak optimalnya implementasi kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja, yaitu: Kegagalan dalam penentuan skala prioritas pengembangan Trans Jogja; Keterbatasan mekanisme survei pasar dalam perumusan sebuah produk kebijakan seringkali berimplikasi pada rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap sebuah produk kebijakan. Kegagalan pemerintah dalam mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan masyarakat menjadi fenomena kelatahan yang sering terjadi di berbagai lembaga pemerintahan. Kondisi pengembangan kebijakan tersebut ternyata transportasi juga publik terjadi di dalam Yogyakarta. Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan keinginan masyarakat dengan 135 kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja berimplikasi pada rendahnya tingkat apresiasi masyarakat terhadap produk kebijakan tersebut. Fakta tersebut menjadi contoh nyata kegagalan pemerintah dalam menentuka skala prioritas pengembangan Trans Jogja sebagai bentuk perbaikan pelayanan publik ideal di sektor transportasi publik. Mekanisme koordinasi dan monitoring antar pemangku kepentingan yang minim; Keberadaan mekanisme koordinasi serta monitoring yang sistematis dan keberlanjutan menjadi instrumen penting dalam melihat hasil capaian dan keberlanjutan pengembangan terkait sebuah produk kebijakan. Dalam konteks kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja, yang terjadi malah sebaliknya. Koordinasi secara berkala masih dianggap sebagai pelengkap formalitas saja dan penyelenggaraannya hanya bersifat accidental. Kondisi tersebut dapat dilihat dari fakta dimana koordinasi tatap muka langsung yang sebelumnya (3 bulan awal peluncuran) dilakukan sebulan sekali, kini hanya dilakukan ketika ada masalah serius (accidental). Kondisi tersebut memunculkan temuan peneliti terkait dugaan a fraud dalam hasil rekapitulasi data transaksi tiket elektronik non tunai. Penyelewengan tersebut dapat dilihat dari selisih rekapitulasi yang terus terjadi setiap bulan antara rekapitulasi transaksi dari pihak UPTD Trans Jogja dengan bank Mandiri. Sehingga, peneliti tidak mengetahui data rekapitulasi transaksi mana yang valid. Sementara itu, kegiatan monitoring hanya dilakukan dengan melihat kuantitas transaksi melalui IWM yang telah dibuat sebelumnya. Kondisi 136 tersebut secara tidak langsung berimplikasi pada rendahnya respon para pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi sekaligus mengantisipasi dinamika kebutuhan dan keinginan pengguna serta calon pengguna Trans Jogja terutama terkait kebijakan tiket elektronik non tunai. Strategi pemasaran yang parsial, konvensional, dan tidak jelas; Strategi pemasaran yang belum dipahami secara sistematis dan komprehensif berimplikasi pada minimnya nilai tambah yang dapat disampaikan dalam proses customer education terkait kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja. Sementara itu, tidak adanya strategi pemasaran yang sistematis dan terjadwal menyebabkan kegiatan promosi dilakukan seadanya oleh setiap pemangku kepentingan. Sehingga, keberadaan peran pemerintah DIY sebagai regulator dalam merumuskan MoU yang lebih strategis dinilai masih rendah. Terlebih lagi, tidak adanya kejelasan target pasar berimplikasi pada strategi pemasaran yang masih bersifat umum dan konvensional. Pemahaman terkait target pasar yang heterogen belum direspon secara komprehensif dimana masing-masing kelompok target pasar membutuhkan pendekatan yang berbeda. Keterbatasan sumber daya dari setiap pemangku kepentingan belum dapat dikelola secara komprehensif. Akibatnya, kondisi tersebut berimplikasi pada ketidakjelasan strategi pemasaran yang dilakukan dalam proses implementasi kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja. Kebijakan pendukung yang rendah; 137 Keberadaan peran pemerintah DIY sebagai regulator belum dapat dimaksimalkan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari tidak adanya kebijakan pendukung yang dihasilkan serta dapat mendukung proses implementasi kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja. Fakta tersebut terjadi dikarenakan pemerintah DIY secara umum belum melihat kebijakan tiket elektronik non tunai sebagai kebutuhan masyarakat yang bersifat penting. Implikasinya, hingga saat ini intensitas penggunaan Trans Jogja umumnya serta tiket elektronik non tunai khususnya belum dapat meningkat secara signifikan. Bahkan, fakta yang terjadi malah sebaliknya. Intensitas penggunaan tiket elektronik non tunai Trans Jogja terus mengalami penurunan secara signifikan. Kondisi ini seharusnya disikapi secara komprehensif oleh setiap pemangku kepentingan sehingga potensi Trans Jogja sebagai transportasi publik andalan dapat lebih dimaksimalkan. 6.2. Peluang Pemaparan berbagai bentuk masalah di atas telah mengarahkan peneliti untuk merumuskan beberapa saran yang dapat digunakan dalam menyelesaikan beberapa masalah tersebut. Dengan melihat beberapa data serta referensi terkait yang dikumpulkan melalui proses wawancara, analisis data sekunder serta studi referensi, dihasilkan beberapa rumusan peluang saran sebagai berikut : a. Perlu adanya mekanisme koordinasi dan monitoring yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan; Keberadaan proses mekanisme koordinasi dan monitoring yang sistematis, berkala, dan berkelanjutan seringkali terlupakan dalam 138 implementasi sebuah kebijakan publik. Fenomena kelatahan yang sering terjadi adalah kegiatan koordinasi dan monitoring hanya dilakukan secara formalitas saja. Rendahnya keinginan pemerintah untuk melihat sendiri kondisi riil di lapangan menjadi salah satu masalah yang menyebabkan kegiatan koordinasi dan monitoring dilakukan secara formalitas saja. Dalam konteks kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja, kegiatan koordinasi yang bersifat accidental dinilai sangat kurang. Koordinasi yang bersifat accidental akan berimplikasi pada rendahnya respon pemerintah untuk mengevaluasi capaian serta pengembangan kebijakan ke depan. Dalam kasus tersebut seharusnya kegiatan koordinasi dimungkinkan dilakukan setiap bulan dan menghadirkan seluruh pemangku kepentingan sehingga berbagai perkembangan terkait implementasi kebijakan tersebut dapat didiskusikan lebih lanjut. Sementara itu, kegiatan monitoring yang dilakukan melalui web hanya akan menunjukkan kondisi kuantitas penggunaan tiket elektronik non tunai saja. Akan tetapi, terkait kualitas pelayanan serta dinamika kebutuhan dan keinginan masyarakat belum dapat dikelola secara lebih komprehensif. Selain itu, temuan peneliti terkait adanya kondisi a fraud dalam sistem rekapitulasi transaksi tiket elektronik non tunai melalui IWM, semakin menunjukkan lemahnya kegiatan monitoring dalam kerja sama ini. Untuk itu, diperlukan adanya mekanisme monitoring yang dilakukan secara berkala dan keberlanjutan serta turun langsung ke lapangan sehingga kondisi riil yang ada dapat teridentifikasi. 139 b. Perlu adanya mekanisme survei pasar secara berkala dan sistematis; Mekanisme survei pasar secara berkala dan sistematis seharusnya menjadi landasan utama dalam proses perumusan kebijakan. Mekanisme survei pasar dinilai lebih mampu mengidentifikasikan kebutuhan dan keinginan masyarkat sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat sesuai tujuan awal. Selain itu, mekanisme survei pasar sedikit banyak juga akan mulai mengurangi fenomena kelatahan yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan yang seringkali hanya menempatkan agenda pemerintah sebagai dasar perumusan kebijakan tanpa melihat dinamika kebutuhan dan keinginan masyarakat. c. Perlu adanya sebuah strategi pemasaran yang sistematis dan strategis; Keberadaan mekanisme survei pasar secara berkala dan sistematis akan memunculkan kondisi riil terkait dinamika kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dari hasil identifikasi tersebut, dapat dijadikan dasar dalam merumuskan sebuah strategi pemasaran yang sesuai dengan target pasar yang akan dicapai. Namun, aspek penting lain yang seringkali dilupakan adalah heterogenitas dari masyarakat terdampak dari sebuah kebijakan seharusnya dipahami secara lebih komprehensif. Kondisi heterogenitas tersebut seharusnya dapat dikelola secara lebih baik dengan pendekatan yang berbeda-beda sehingga kebijakan dapat mendapatkan apresiasi maksimal dari masyarakat. Pengelolaan strategi pemasaran yang sistematis dan strategis dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme yang sesuai. Dalam konteks ini, para pemangku kepentingan dapat mengadopsi konsep Integrated 140 Marketing Communications (IMC). Dalam konsep tersebut para marketer dapat menggunakan berbagai sumber daya yang dimiliki untuk melakukan kegiatan promosi. Beberapa bentuk saluran kegiatan promosi yang dapat dikembangkan, misalnya : Pergunakan perkembangan teknologi; Pemerintah memiliki web kota, web promosi wisata, dsb., sehingga sangat dimungkinkan untuk melakukan kegiatan promosi di saluran tersebut. Hal ini mengingat intensitas pengguna internet di Yogyakarta tergolong tinggi dengan didukung keberadaan berbagai intansi pendidikan di berbagai tingkatan. Perbanyak saluran promosi; Promosi juga dapat dilakukan melalui berbagai media saluran informasi, seperti koran lokal, billboard, dari mulut ke mulut (pengguna layanan), bahkan melalui interior halte, bus Trans Jogja, dan seragam pramugara/i Trans Jogja sendiri. Untuk promosi yang dilakukan melalui media koran lokal dan billboard dapat digunakan pemerintah dengan memberikan insentif pajak kepada pemilik layanan billboard, misalnya berupa potongan pajak, dsb. Sementara itu, kegiatan promosi yang dilakukan melalui desain interior halte, bus Trans Jogja, dan seragam pramugara/i Trans Jogja dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk investasi dari pemerintah daerah sehingga nilai manfaatnya dapat terus dirasakan sekaligus mengoptimalkan 141 kegiatan promosi wisata Yogyakarta. Selain itu, upaya promosi lain yang dapat dilakukan dengan mengarahkan PNS menggunakan layanan Trans Jogja di hari tertentu. Inovasi tersebut diharapkan mampu memobilisasi masyarakat untuk ikut menggunakan fasilitas layanan tersebut. Asumsi yang digunakan dalam inovasi ini juga sangat sederhana. Ketika para pejabat saja tidak mau atau enggan menggunakan Trans Jogja, bagaimana dengan masyarakat. Sehingga diperlukan adanya aktor percontohan yang mampu merubah pola pikir masyarakat untuk beralih menggunakan Trans Jogja dalam mendukung berbagai aktivitas harian mereka. Beberapa bentuk kegiatan promosi tersebut dapat dilakukan mengingat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dan dapat dilibatkan dalam implementasi kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja. Akan tetapi, kondisi tersebut tinggal melihat bagaimana kreativitas pemerintah DIY untuk mengelola dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia sehingga dapat dimaksimalkan keberadaannya. d. Perlu adanya upaya konsolidasi secara komprehensif dalam perumusan kebijakan pendukung; Kebijakan pendukung menjadi bentuk nyata dari dukungan pemerintah dalam mengoptimalkan peran regulator yang dimiliki. Melalui perumusan kebijakan pendukung yang tepat diharapkan mampu dijadikan sebagai stimulus kebijakan yang dapat mendukung pengimplementasian sebuah kebijakan. Sementara itu, komprehensif 142 disini dimaksudkan dalam perumusan sebuah kebijakan pendukung pemerintah mampu menempatkan berbagai pihak untuk ikut andil mensukseskan perumusan sebuah kebijakan. Sehingga, sebuah kebijakan mempunyai penerimaan publik yang baik serta mampu memunculkan kepercayaan publik dari masyarakat. Keberadaan kebijakan pendukung yang baik sangat memungkinkan untuk mampu mendukung proses adopsi konsep pull and push strategy dalam pengimplementasian sebuah kebijakan. Untuk itu, dalam konteks kebijakan tiket elektronik non tunai Trans Jogja diperlukan adanya perumusan kebijakan pendukung yang tepat sehingga upaya peningkatan apresiasi masyarakat pengguna Trans Jogja untuk mengakses layanan tiket elektronik dimaksimalkan. 143 non tunai dapat lebih