A. Pengertian Lupus adalah penyakit yang terjadi karena

advertisement
A. Pengertian
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan
tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan
yang disebabkan oleh tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun
sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh
terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus,
sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh
karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan
di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau
erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu
penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh
kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya
dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-anggota
badan, ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan
meninggalkan parut, ulser di dalam mulut, keguguran rambut, demam
berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap pancaran sinar matahari.
B. Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 10:1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64 tahun.
Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda–beda untuk
tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per
2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi
di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,
terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
populasi (Bartels, 2006).
C. Etiologi
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
• Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria
dewasa
• Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
• Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga
yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko
ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah
:
• Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
• Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan
kuinidin
• Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
D. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
• Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut
di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
• Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
• Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh
tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
E. Patofisiologi
F. Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria
baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini
mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian
obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas,
datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari,
menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
• anemia hemolitik,
• Leukosit < 4000/mm³,
• Limfosit<1500/mm³,
• Trombosit <100.000/mm³
7. Salah satu Kelainan Ginjal;
• Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
• Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari
sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
• Pleuritis,
• Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis;
• Konvulsi / kejang,
• Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi
•
•
•
•
Sel LE+
Anti dsDNA diatas titer normal
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
Tes serologi sifilis positif palsu
G. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada
penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan
beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala
(remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya
menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
• Muskuloskleletal
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakanmenderitaar tr itis. Persendian yang sering terkena adalah persendian
padajari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan
padatulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di
daerahtersebut.
• Integumen
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar
matahari.
• Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita
perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal.
• Sistem Neuron
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling seringditemukan
adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa terjadi pada
bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf. Kejang,ps ikos a,
sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa kelainan sistem saraf
yang bisa terjadi.
• Sistem Hematologi
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan
darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkanstroke danemboli
paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan
faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
• Sistem Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar
ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat
darikeadaan tersebut.
• Sistem Respirasi
Pada lupus bisa terjadipleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
H. Pemeriksaan Laboratorium
• Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk
SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti dsDNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).
Anti ssDNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun
yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan
penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and
Pagana, 2002).
• Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil
tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang
diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB
(La) (Pagana and Pagana, 2002).
• Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
I. Tinjauan Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari
penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi
dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam
manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat
individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE
meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
• Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau
diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE.
Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi
penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and
500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,
TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al.,
1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang
terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente,
2002).
• Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada
setiap pasien.
• NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat
dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat.
COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari
ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,
dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID
adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan
perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada
pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi
NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek
samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.
Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti
kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul
(Herfindal et al., 2000).
• Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ
penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi
membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat
DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin
dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama.
Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%
selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria
dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
• Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit
baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid
topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid
menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi
seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta
menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi
ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga
mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada
SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid
dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon
terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon
dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti
dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan
perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang
menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk.
Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar
komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai
3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai
19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu
paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day
therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya
didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat.
Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah
menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu
berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya
kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah
ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang
dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi
insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamuspituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam,
atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu
dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan
organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu
dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi
lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau
hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar
glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi
sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang
merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga
terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat
menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium
dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium,
oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan
dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
• Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas
mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA
yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam
inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung
pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis
tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko
terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara
rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan
adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy,
kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada
penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas endstage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare,
dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara
pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma
(Herfindal et al., 2000).
• Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi
pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif
diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun
seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah.
Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan
mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan
pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat
digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme
secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
• Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang
adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall,
1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau
vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat
diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan
kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin
tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat
memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari
Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan
itrakonazol (Katzung, 2002).
J. Asuhan Keperawatan
• Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh
• Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan
fisik.
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan
fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
• Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas
/dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai;
teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa
nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk
memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup seharihari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
1.
Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas penyakit
dan keletihan
• menjelaskan
tindakan
untuk
memberikan
kenyamanan
sementara
melaksanakannya
• mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air
hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
• menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan
emosional
• menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
• kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan
fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
aturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
elakukan aktivitas.
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan
ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
an menganli masahnya.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang
melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor
lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan
aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody
polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan.
Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan
urine yang abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis
rematoid atau demam rheumatic.
3.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena
penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan.
Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi.
Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup
10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan
pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. buku Kedokteran.
Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat. Buku
Kedoktreran.
Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku Kedokteran.
Robins dan kumar. 1995. Buku ajar patologi(eds.4). buku Kedokteran
Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5). buku
Kedokteran.
Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku Kedokteran.
Download