Agama sebagai pembentuk kebudayaan Tujuan

advertisement
Matakuliah
: Filsafat Kebudayaan
Perternuan ke : 13 (K 13)
Materi
: Agama sebagai pembentuk kebudayaan
Tujuan
: Mahasiswa mernahami keberadaan agama dalam
menentukan wujud dan corak kebudayaan serta
bagaimana perkembangan di dalamnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------A. Isi kajian/Materi
Hubungan antara agama dan kebudayaan dapat dilihat pada tulisan Sartini di
bawah ini.
Agama atau religi, dalam bahasa Inggris religion. Dilihat dari rasa bahasanya
dua istilah tersebut sering dibedakan. lstilah agama sering digunakan untuk menunjuk
Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Budha, dan Hindu, yaitu kepercayaan yang
diakui secara formal oleh negara. Sementara istilah religi bersifat lebih luas dan sering
merujuk kepada sifat kepercayaan akan objek religius, termasuk kepercayaan
tradisional lainnya. Istilah ini akan berbeda bila digunakan untuk menerangkan
Japanese Religion. Shinto, dalam pemahaman istilah keindonesiaan, mungkin lebih
pas sebagai religi saja. Oleh karena itu di dalam penelitian akan dipakai istilah religi
sebagai sifat yang melengkapi identitas keilahian (kepercayaan terhadap entitas
supranatural) untuk menunjuk kepercayaan yang ada di Jepang termasuk Shinto,
Buddhisme, Kristen, dan kepercayaan lainnya. Religion sendiri dalam kamus bahasa
lnggris diartikan sebagai agama dan religious diartikan sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan agama, beragama, beriman. Artinya berhubungan dengan
kepercayaan.
Ninian Smart dalam The World’s Religion (Billington ,1997:l-2) mendiskusikan
tujuh kategori yang berhubungan dengan pendefinisian agama (religion) yaitu: (1)
praktek dan ritual, (2) yang bersifat pengalaman dan emosional, (3) yang bersifat
naratif dan mitis, (4) yang berifat doktrinal dan filosofis, (5) yang berhubungan hal etis
dan legal, (6) yang bersifat sosial dan institusional, (7) yang material, yaitu bangunan.
Smart tidak mengatakan bahwa semua religion mempunyai ketujuh kategori ini. Smart
mengutip kategori lain yang sering diasosiasikan dengan istilah ini, diambil pendapat
W.P. Alston dalam Introduction to Philosophycal Analysis -nya John Hospers , yaitu:
(1) kepercayaan pada yang supranatural (dewa-dewa), (2) adanya perbedaan antara
objek yang sakral dan profan, (3) ada ritual yang difokuskan pada objek-objek yang
sakral tersebut, (4) ada kode moral yang dipercayai diberikan sangsi oleh dewa-dewa
tersebut, (5) perasaan-perasaan religius (kekaguman, perasaan akan misteri, persaan
bersalah, pemujaan), yang cenderung dimunculkan pada adanya objek-objek sakral,
dan selama praktek ritual, dan yang diasosiasikan dengan dewa-dewa, (6) doa dan
bentuk-bentuk komunikasi lain dengan dewa, (7) suatu pandangan dunia, yang
merupakan gambaran umum tentang dunia sebagai keseluruhan dan tentang tempat
individu di dalamnya, termasuk spesifikasi dan arti keseluruhannya, (8) organisasi yang
kurang-lebih total dari kehidupan seseorang yang didasarkan atas pandangan hidup
tersebut, (9) organisasi sosial yang diwarnai oleh keseluruhan karakteristik di atas. Di
dalam penelitian ini akan dikaji religi pada unsur: kepercayaan pada yang supranatural,
doktrin yarg bersifat etis-filosofis dan berakibat pada kegiatan sosial, organisasi,
kegiatan ritual, dan tempat ritual (objek sakral).
Istilah religi, dan bahasa Inggris religion, sering juga diartikan dengan agama,
dipahami dengan makna percaya pada tuhan, kekuatan supranatural atau kehidupan
akhirat. Khusus istilah agama, biasanya mengacu pada sebutan agama-agama besar
dunia seperti Hindu, Budha atau Islam (Pals, 2001 :15). Dengan demikian istilah religi
Iebih bersifat umum, dapat dikonotasikan dengan istilah-istilah lain yang dekat seperti:
Tuhan, dewa, malaikat, wahyu, roh, puasa, monoteisme, mistik, totemisme, tabu,
sakral, kudus, duniawi. Kata-kata tersebut mempunyai persamaan dengan istilah
boven-ntuuurlijk (gaib), yang mengandung nilai boven-natuur (di atas alam). Kata-kata
tersebut ada hubungannya dengan hal-hal yang tidak dapat diamati melalui persepsi
normal. Oleh karenanya, religi termasuk semua yang berkaitan dengan kenyataan
yang tidak dapat ditentukan secara empiris dan semua gagasan tentang perbuatan
yang bersifat dugaan dan hal tersebut dianggap benar. Magi dan ramalan yang ada di
masyarakat termasuk di dalamnya (Baal, 1987: 32, 34). Sebagai cacatan terminologis,
religi menurut Baal dapat dibicarakan dengan dua cara yaitu sebagai religi pada
umumnya yang merupakan gejala manusiawi dan juga sebagai kompleks gagasan
yang muncul dalam kelompok manusia tententu. Oleh karenanya religi selamanya
seperti juga kebudayaan (dan religi merupakan bagian di dalamnya), terikat pada
kelompok (Baal, 1987:34).
Menurut Geertz, agama menjadi menarik secara sosiologis karena agama
begitu juga religi, tidak hanya akan menggambarkan suatu tatanan sosial tertentu,
meskipun kabur dan tidak lengkap, tetapi juga akan membentuk tatanan sosial tertentu
seperti: lingkungan, kekuasaan politis, kesejahteraan, kewajiban hukum, afeksi
personal, juga rasa akan keindahan (Geertz, 1992:4 1). Bilamana ada satu bentuk
religi tertentu maka akan muncul satu bentuk dan corak masyanakat tententu.
Munculnya satu religi baru menurut Barbu, normalnya akan diikuti dengan munculnya
kelompok sosial baru yang didalamnya ada yang memprakarsai dan diprakarsai
(Barbu, 1971:64). Ada pimpinan dan yang dipimpin. Ada masyarakat dan ada yang
mengatur dan mengendalikan masyarakat. Fungsi masyarakat akan bekerja
sebagaimana lazimnya sehingga masyarakat akan berjalan sesuai dengan jalan
sejarahnya. Agama dan religi sebagai bagian dan masyarakat tersebut mempunyai
andil
yang
signifikan
dalam
memberi
dan
membentuk
corak
masyarakat.
Hendropuspita (1983:34), khusus dengan menyebut agama, mengatakan bahwa
agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya
yang berporos pada kekuatan-kekuatan yang bersifat non-empiris yang dipercayai dan
didayagunakan dalam pencapaian keselamatan bagi diri dan juga masyarakat
kelompoknya. Secara lebih tegas dijelaskan setidaknya keterkaitan antara agama
dengan masyarakat dapat dilihat pada lima kategori fungsi: edukatif, penyelamatan,
pengawasan sosial, pemupukan persudaraan dan fungsi tranformatif (Hendropuspita,
1983:38-56). Dengan fungsi-fungsi ini agama dan religi akan hidup di masyarakat.
Agama begitu juga religi akan hidup dalam masyarakat dan bergerak sesuai
dengan fungsi-fungsinya dan bersinergi dengan fungsi masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian hidup religi dan hidup masyarakat akan berjalan sesuai dengan sejarahnya
yang meliputi segala unsur yang sifatnya fisik dan non fisik bahkan yang supranatural.
Kesemua unsur akan berjalan dalam fungsi kebudayaan yang merupakan wadah
kreativitas manusia. Kebudayaan masyarakat adalah sekaligus pandangan hidup yang
mendasari yang di dalamnya adalah orde spiritual itu sendiri. Kebudayaan sebagai
jalan hidup ini tidak terpisah dari tradisi bahasa dan pikir serta pewarisan pengetahuan.
Termasuk dalam hal ini adalah usaha-usaha terorganisasi dan kegiatan manusia
dengan kekuatan ilahiah transenden yang mengatur dunia dan tempat manusia
menggantungkan hidupnya. Faktor material dan spiritual saling memasuki secara
sempuma dan tidak terpisahkan sehingga religi dan kehidupan menyatu. Oleh
karenanya setiap kejadian dalam hidup dapat dikatakan sebagai bagian dan tradisi
religius dan biasa ditanamkan dalam arti religius (Dawson,1959:197). Dawson
mengatakan, dalam banyak kasus tidak ada konflik terbuka dalam proses ini tetapi
yang terjadi adalah suatu penyesuaian diri yang gradual dan hampir keseluruhannya
tidak disadani hidup dalam tradisinya sampai akhirnya memunculkan suatu integrasi
budaya yang baru (Dawson,1959:200).
B. Metode Pembelajaran
−
Ceramah dan dialog untuk menyampaikan pokok-pokok pembicaraan dan atau
seminar dengan menugaskan mahasiswa menyampaikan hasil pembacaannya
tentang materi.
−
Diskusi untuk memperdalam pemahaman dan merangsang mahasiswa untuk
mengembangkan kajian.
−
Penugasan: mahasiswa menunjukkan bukti secara tertulis dengan kajian pustaka
atau bukti lain tentang peran agama terhadap kebudayaan. Mahasiswa membuat
makalah secara lengkap dengan mendasarkan kajian ilmiah.
C. Evaluasi
−
Memberi penilaian terhadap aktivitas mahasiswa, hasil pembacaan dan presentasi
mahasiswa.
−
Memberi penilaian pemahaman mahasiswa terhadap materi (post test).
−
Memberi penilaian akhir terhadap makalah yang akan dibuat mahasiswa.
D. Pustaka
Pustaka acuan lain:
− Hendropuspito, 1983, Sosiologi Agama, Gunung Mulia, Jakarta.
− Geertz, Clifford, 1992, Kebudayan dan Agama, Kanisius. Yogyakarta.
− Tillich, Paul, 2003, Teologi Kebudayaan, alih bahasa: Miming Muhaimin, Ircisod,
Yogyakarta.
− Morris, Brian, Antropologi Agama, alih bahasa: Imam Khoiri, Ircisod, Yogyakarta.
− Turner, Briyan S., 2003, Agama dan Teori Sosial, alih bahasa: lnyiak Ridwan Munir,
Ircisod, Yogyakarta.
− Pals, Daniel L., 1996, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Gama, alih
bahasa: Inyiak Ridwan Munir dan M. Syukri Ircisod, Yogyakarta.
Download