Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 DINAMIKA PERGESERAN PERAN TUAN GURU DI LOMBOK: Studi analisis melalui Pendekatan Teori Diferensiasi Struktural Talcott Parsons M. Zaidi Abdad Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri IAIN Mataram Abstrak Pergeseran peran tuan guru di Lombok dewasa ini merupakan tindakan penyesuaian dengan kondisi dan lingkungan zamannya. Pergeseran peran ini sangat selaras dengan teori sosial yang dibangun Parsons bahwa dalam sebuah perubahan harus melalui empat pendekatan. Pertama, adalah adaptasi. Ini merupakan fungsi mendasar dari peranan, karena tuan guru bersama komunitas pesantren memiliki peran yang besar, maka tuan guru harus bisa berperan secara optimal. Kedua, Pencapaian tujuan. Fungsi kedua ini merupakan peranan kolektif dari berbagai rumpun yang ada di pesantren, mulai dari tuan guru, pengurus pesantren, sampai kepada santri (wali santri) harus komiten membuat keputusan bersama, sehingga tujuan dapat tercapai, Ketiga, Integrasi. Fungsi ini tergantung pada norma–norma yang mengatur berbagai proses yang memberikan sumbangan terhadap implementasi nilai–nilai bersama yang telah terpola. Keempat, Pemeliharaan Pola. Dalam kaitan dengan peran tuan guru, panggung politik adalah ladang yang tepat dalam rangka menjaga stabilitas nilai–nilai keagamaan yang selama ini dibangun di pesantren. Kata Kunci: Pergeseran Peran, Tuan Guru, Lombok, Diferensiasi. 18 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 A. Pendahaluan Disadari maupun tidak, peran tuan guru di Lombok telah mengalami perubahan. Hal ini akan lebih mudah terlihat oleh orang-orang yang ‘jeli’ mengenal perubahan sosial politik di Lombok. Sebagai ‘tokoh yang dituakan’, tuan guru memiliki peran yang cukup strategis dalam mempengaruhi suatu masyarakat.1Tuan Guru pada zaman dahulu seperti diketahui masih sangat tradisional dan konvensional, yakni cenderung melakukan dakwah yang benar-benar agamis. Ketulusan dalam mendakwakan agama menjadi peran utama di masyarakat. Konsep « al-‘ulama waratsah al-anbiya» menjadi bagian yang ditonjolkan, sehingga mereka murni ingin mengajarkan agama untuk melanjutkan risalah Nabi. Kenyataan ini dapat kita saksikan di hampir belahan nusantara, bahwa Tuan Guru adalah actor penting dalam membentuk corak dan sistem budaya masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa hampir semua nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan yang berkembang sampai sekarang ini merupakan konstribusi, warisan (legacy) yang terus terpelihara keberlangsungannya lewat figur tuan guru tersebut. Bahkan menurut pengamatan penulis, kelompok elit agama ini juga melakukan koordinasi ke dalam untuk membangun solidaritas internal (internal group solidarity) di antara mereka. Mereka menyadari solidaritas internal tidak hanya dapat menkoordinasikan peran mereka sebagai pemegang otoritas keagamaan di masyarakat, tetapi juga dapat menyatukan visi mereka dalam berkoalisi dengan kelompok penguasa. Kontroversialyang dimaksud penulis adalah tindakan yang dilakukan seseorang yang dapat melahirkan berbagai ragam pandangan di tengah masyarakat. Dalam pandangan Greg, banyak tindakan di dunia ini yang membuat seseorang akan menjadi semakin populis ketika dia berusaha melakukan sesuatu yang dipandang kurang lazim di masyarakat. Greh mencontohkan sosok Abdurrahman Wahid, ketika dia melerai pihak–pihak yang terlibat kekerasan, dan ketika dia berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto dan era Indonesia pasca Soeharto menuai tantangan yang besar. Kendati demikian, menurut Greg, Abdurrahman tetap bahkan semakin populer sebagai figur karismatik dan tokoh selalu memberi cinta bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya. Lihat 1 Namun, ketika globalisasi dunia mulai merambah di negeri ini dan kepentingan politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan, tuan gurumau tidak mau harus terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, perubahan peran pasti terjadi. Semakin banyaknya tuan guru yang terlibat dalam pentas politik, semakin menunjukkan adanya pergeseran perantuan guru. Fakta kongkrit atas peran tuan guru, dapat dilihat ketika seorang tuan guru menjadi pucuk pimpinan di pentas publikwalaupun sering kontroversial2 di tengah masyarakat. Namun, masyarakat 2 M. Zaidi Abdad 19 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 (terutama muslim) yang sangat fanatik mengidolakan sosok tuan guru akan tetap menganggap katakatanya sebagai kebenaran mutlak. dilahirkan di Colorado Spring, Colorado pada tahun 1902. Kereligiusan Parson nampaknya tidak lepas dari kehidupan Karena posisi penting tuan guru tersebut, bisa dibilang bahwa mereka adalah golongan pencetus dan sekaligus penggerak perubahan dalam masyarakat (perubahan sosial). Atas alasan penting inilah, penulis tertarik untuk mengangkat tema ”dinamika Tuan Guru di Lombok” (analisis pergeseran fungsi dan peran dalam masyarakat melalui pendekatan teori diferensiasi struktual Talcoott Parsons) sebagai bahan diskusi kali ini. keluarganya. Ayahnya seorang pendeta, profesor dan akhirnya menjadi rektor di sebuah perguruan tinggi kecil. Parson mendapat gelar sarjana muda dari Universitas Amherst pada tahun 1924, kemudian menyiapkan disertasinya di London School of Economics. Di tahun berikutnya ia pindah ke Heidelbergh Jerman.3 Sebelum membahas lebih jauh tentang dinamika pergeseran peran Tuan Guru di Lombok melalui teori Parsons, terlebih dahulu dalam makalah ini penulis paparkan sekilas biografi Parsons dan Teori yang dibangunnya. B. Biografi Singkat Talcott Parsons Talcoot Parson adalah seorang intlektual yang berlatang belakang religius. Ia Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), xxi–xxii. 20 Parsons mengajar di Harvard pada tahun 1927 dan meski berganti jurusan beberapa kali, ia tetap di Harvard hingga akhir hayatnya di tahun 1979. Kemajuan kariernya tak begitu cepat. Ia tak mendapatkan jabatan profesor hingga tahun 1939. Dua tahun sebelumnya ia menerbitkan The Structure of Social Action4, sebuah buku yang tak hanya George Ritzer, Douglas J. Gooman, Teori Sosiologi Modern, Cet. IV( Jakarta: Kencana, 2010), 128. 4 Karya–karya awal Parsons lebih berhubungan dengan usahanya membangun teori aksi atau teori tindakan sebagaoimana nampak dalam bukunya The Structure of Social Action (1937). Sedangkan karya–karya berikutnya lebih berhubungan dengan teori fungsionalisme struktural sebagaimana diuraikan dalam bukunya The Social System (1951). Lihat Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi 3 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 memperkenalkan pSemikiran sosiolog utama seperti Weber kepada sejumlah besar sosiolog, tetapi juga meletakkan landasan bagi teori yang dikembangkan Parsons sendiri.5 Sesudah itu karier akademis Parsons maju dengan pesat. Dia menjadi ketua jurusan sosiolog di Harvard pada tahuan 1944 dan dua tahun kemudian mendirikan Departemen Hubungan Sosial, yang tak hanya memasukkan sosiolog, tetapi juga berbagai sarjana ilmu sosial lainnya. Tahun 1949 ia terpilih menjadi Presiden The Amerecan Sociological Association.Tahun 1950– an dan menjelang tahun 1960–an, dengan diterbitkan buku The Social System (1951) Parsons menjdi tokoh dominan dalam sosiologi Amerika. Tetapi di tahun 1960–an Parsons mendapat serangan dari sayap radikal sosiologi Amerika yang baru muncul. Parsons dinilai berpandangan politik konservatif dan teorinya dianggap sangat konservatif dan tak lebih dari sebuah skema kategorisasi yang rumit.6 Tetapi tahun 1980–an timbul Modern, ( Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), 53. 5 George Ritzer, Douglas J. Gooman, Op– cit, 128. 6 Dalam pandangan Robert Lauer, Perkara yang paling sering diserang adalah gaya tulisnnya yang berliku–liku. Pada awalnya kembali terhadap teori Parsons, tak hanya di Amerika Serikat, tetapi di seluruh dunia.7 Setelah kematian Parson sejumlah bekas mahasiswanya, semuanya sosiolog yang sangat terkenal, merenungkan arti penting teorinya maupun penciptaan teori itu sendiri. Dalam renungan mereka, para sosiolog ini mengemukakan pengertian menarik tentang Parson dan karyanya. Beberapa pandangan selintas mengenai Parson yang di reproduksi di sini bukan di maksudkan untuk membuat gambaran yang masuk akal, tetapi di maksudkan untuk mengemukakan pandangan selintas yang provokatif mengenai parson dan karya karyanya.8 Robert Merton adalah salah seorang mahasiswanya ketika Parson baru saja mulai mengajar di Harvad. Merton yang menjadi teoritis terkenal karena teori ciptaannya ia memusatkan perhatian pada struktur sosial dan menurutnya pengutamaan pada struktur sosial akan menjuruskan perhatian pada evolusi sosial. Untuk lebih jelasnya lihat Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, ( Jakarta: Rineka Cipta, 193), 106. 7 George Ritzer, Op.cit, 129, atau untuk lebih jelasnya lihat Jeffrey C Alexander, Theoritecal Logic in Sociology, (Berkeley: University of California Press, 1982), 83. 8 Ibid. M. Zaidi Abdad 21 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 sendiri9 menjelaskan bahwa maha­ siswa pascasarjana yang datang ke Harvad di tahun tahun itu bukan kehendak belajar dengan Parson, tetapi dengan Sorokin, anggota senior jurusan sosiologi yang telah menjadi musuh utama Parsons.10 Generasi mahasiswa pascasarjana yang paling awal datang ke Harvad, dan tak seorang pun yang ingin belajar dengan Parson. Mereka tak Salah satu sumbangan Merton yang paling terkenal adalah analisisnya “mengenai hubungan antara kultur, struktur, dan anomie, yang sering dikenal dengan ”Struktur Sosial dan Anomie”. Merton mendefinisikan kultur sebagai seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang dengan berbagai cara meloibatkan anggota masyarakat atau anggota kelompok. Sedangkan Struktur Sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau anggota kelompok di dalamnya. Sementara Anomie terjadi ”bila ada keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural”. Artinya, karena posisi mereka di dalam struktur sosial masyarakat, beberapa orang tak mampu bertindak sesuai dengan nilai normatif. Kultur menghendaki tipe perilaku tertentu yang justru dicegah oleh struktur soaial. Lihat Ritzer, Ibid, 142. 10 Milan Zafirovski, “Parsons and Sorokin: A Comparisonof the Founding of American Sociological Theory Schools”, Journal of Classical Sociology, (USA, 2001), No. 1, 227– 256. 9 22 mungkin berbuat demikian selain karena alasan paling sederhana, yakni pada tahun 1931 ia belum di kenal publik apalagi sebagai seorang sosiolog. Meski kami mahasiswa yang belajar dengan Sorokin yang masyhur, sehingga dari kami diharuskan bekerja dengan Parson yang tak terkenal itu.11 Celaan Merton tentang kuliah pertama Parson dalam teori juga menarik, terutama karena materi yang disajikan adalah basis untuk salah satu buku teori paling berpengaruh dalam sejarah sosiologi. Dia menyatakan: ”Lama sebelum Parson menjadi salah seorang tokoh tua terkenal di dunia sosiologi, bagi kami mahasiswa angkatan paling awal, dia adalah seorang pemuda yang sudah tua. Kemasyhurannya berawal dari kuliah pertamanya dalam teori yang kemudian menjadi inti karya besarnya The Structure of Social Action, yang tidak terbit hingga lima tahun setelah publikasi lisan di kelas.”12 Robert K. Merton, “Remembering the Young Talcott Parsons”, American Sociologist, (USA: Harvard University, 1980), 69. 12 Ibid, 70. 11 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 C. Para Sosiolog Yang Mem­ penga­r uhi Pemikiran Parsons Mengawali kariernya sebagai seorang sosiolog, Parsons berawal sebagai seorang instruktur muda dalam bidang sosiologi, dia sangat tertarik dengan karya empat ilmuan ternama, yaitu sosiolog Emile Durkheim, ekonom Alfred Marshall, sosiolog–engineer Vilfredo Pareto, dan sosiolog–ekonom Max Weber. Hasil dari minat terhadap karya Marshall, Pareto, Weber, dan Durkeim nampaknya memberikan pengaruh besar terhadap pe­ mikiran Parsons. Terbukti karya monumentalnya Parsons banyak terinspirasi dari tokoh tokoh tersebut. Sebuah buku yang terbit di tahun 1937 dengan judul The Structure of Social Action, merupakan sintesa dari karya empat ilmuan tersebut menyangkut masalah tata sosio ekonomi, dan menandai apa yang disebut oleh Parsons sebagai ”titik balik yang mendasar dalam karya saya”. Menurut Parsons sintesa ini bertujuan untuk mengetengahkan ”studi tentang satu teori sosial, bukan beberapa teori sosial”, dengan niat menyiapkan ”seperangkat penalaran teori yang sistematis yang perkembangannya dapat dijajaki melalui telaah kritis karya– karya kelompok ini (Marshall, Durkheim, Pareto, dan Weber).13 Titik perhatian buku Parsons The Structure of Social Action adalah konsep tindakan sosial yang rasional, suatu konsep yang semula merupakan sumbangan teoritis Max Weber. Definisi sosiologi klasik Weber membuat tindakan sosial menjadi inti pembahasan para sosiolog. Dalam pandangan Weber, “sosiologi adalah ilmu yang mencoba memahami tindakan sosial secara interpretatif sehingga sampai pada suatu penjelasan kausal terhadap tujuan ataupun makna pristiwa– pristiwanya”. Bagi Weber, studi “tindakan sosial” berarti mencari pengertian subjectif atau motivasi yang terkait pada tindakan–tindakan sosial. The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism (1958) adalah contoh studi tindakan sosial yang demikian itu.14 Di sini Weber membahas hubungan antara suatu gerakan ke arah rasional, agama duniawiah (Protestan Calvinism) dengan usaha mengejar keuntungan secara rasional (kapitalisme). Kecendrungan lain dalam gerakan ke arah tindakan Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 168–169. 14 Ibid. 13 M. Zaidi Abdad 23 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 rasional ini ditunjukkan pula oleh kelahiran organisasi birokratis (yang dipertentangkan dengan struktur yang kurang berorientasi pada tujuan) dan pemimpin–pemimpin legal rasional (yaitu pemimpin yang lebih dipilih berdasarkan kualifikasi, ketimbang pemimpin tradisional atau kharismatis).15 Pandangan Weber inilah pada akhirnya mempengaruhi teori sosialnya Parsons. Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa masalah utama bagi Parsons sebagai ahli teori makro berpandangan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia bukanlah faktor situasional yang dapat membantu tindakan individu sebagaimana yang dikatakan oleh Marshall, Pareto, maupun Weber. Tetapi norma dan nilai–nilai sosial yang menuntun dan mengatur tingkah laku. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai untuk perkembangan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Protestanisme misalnya, tidak akan membantu kelahiran kapitalisme bila penganutnya tidak tunduk kepada prinsip keagamaan atau jika semua orang Protestan itu dibasmi. Menurut Parsons struktur maupun 15 24 Ibid. tindakan sosial harus merupakan tantangan bagi para ilmuan sosial. Berkembangnya permasalahan struktur ini mengakibatkan The Stuctur of Social Action dapat dilihat sebagai langkah ke arah pengembangan teori struktural fungsional Parsons.16 Dalam teori kaum Parsonian, konsep “tindakan rasional” Weber dilanjutkan sebagai ide inti, tetapi di tahap kedua Parsons terlihat lebih banyak didominir oleh perspektif organisme dan fungsional dari Durkheim dan Pareto. Dalam pandangan Durkheim, “masyarakat sebagai analogi dari suatu organisme hidup yang terdiri dari bagian–bagian yang saling berkaitan satu sama lain.” Sementara konsep Pareto dalam melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan berada dalam keseimbangan. Durkheim dan Pareto jugalah yang menyediakan konsep–konsep sosiologis yang Teori struktural fungsional Parsons ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem ”tindakan”, dan empat sistem tersebut lebih dikenal dengan skema AGIL (Adaptation (adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency (pemeliharaan). Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam system teoritisnya. Dalam bahasan tentang empat system tindakan ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bahasan di makalah ini selanjutnya. 16 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 dipakai Parsons untuk membangun sebuah teori masyarakat makro– fungsional.17 D. Teori Diferensiasi Struktural: Perspektif Talcott Parsons Pembahasan teori diferensiasi struktural Parson diawali dengan empat skema penting mengenai fungsi untuk semua system tindakan, skema tersebut dikenal dengan sebutan skema AGIL. Teori AGIL untuk menjelaskan hierarkhi pengendalian Sibernetika. Hierarkhi sibernatika dapat dicermati melalui energi dan integrasi, yang meliputi sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem organisasi, serta sub sistem–sub sistem dalam kesatuan holistik. Tindakan individu dan tindakan sosial yang dapat diamati menekankan pada sistem dan kondisi energi.18 Parsons mencetuskan teori fungsional struktural tentang perubahan. Sama halnya dengan teori sebelumnya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons Ibid, 170. Muhammad Basrowi & Soenyono, Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Surabaya: V de Press, 2004), 12. 17 18 adalah adanya proses diferensiasi.19 Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. 20 Seperti dijelaskan di atas, pada kajian tentang struktural fungsional Parsons terdapat empat fungsi penting dalam sebuah tindakan. Parsons menyampaikan bahwa harus ada empat fungsi penting agar sebuah system mampu bertahan, yaitu : Dalam proses diferensiasi, berbagai fungsi dalam suatu system membentuk satuan–satuan structural yang tersendiri. Misalnya, fungsi produksi dan sosialisasi yang pada mulanya dilakukan pada satuan keluarga, kini diambil alih oleh struktur–struktur sosial yang berbeda, seperti pabrik, sekolah, dan arena pekerjannya lainnya yang umum. Lihat Judistira K. Garma, Teori–Teori Perubahan Sosial, (Bandung: Pascasarjana Uiversitas Padjadjaran, 1992), 61. 20 http://www.averroes.or.id/research/ agama-perubahan-sosial-dan-sublimasiidentitas.html, diakses tanggal 24 April 2013. 19 M. Zaidi Abdad 25 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 1. Adaptation (Adaptasi), sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan itu dengan kebutuhannya. 2. Goal attainment (Pencapaian tujuan), sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integration (Integrasi), sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). 4. Latency (Pemeliharaan pola), sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.21 Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistem semua teoritisnya. Dalam bahasan tentang empat sistem tindakan diatas, dapat dicontohkan bagaimana cara Parsons menggunakan skema AGIL. Organisme prilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan mengubah lingkungan eksternal. Sistem Kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian–bagian yang menjadi komponennya. Terakhir, Sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Untuk menggambarkan struktur sistem tindakan menurut skema AGIL dapat dilihat gambar berikut: Gambar 1. Struktur Sistem Tindakan Umum L SISTEM KULTURAL SISTEM SOSIAL ORGANISME PERILAKU SISTEM KEPERIBADIAN A 21 George Ritzer, Op–cit, 121. 26 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok I G Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 Gambar 2. Skema Tindakan Parsons Informasi Tinggi (Kontrol) Informasi Tinggi (Kontrol) 1. 2. 3. Hierarkhi faktor yang 4. 5. mengkondisikan 6. Lingkungan tindakan: Reaksi akhir Sistem kultural Sistem sosial Hierarkhi faktor yang Sistem kepribadian mengkondisikan Organisme perilaku Lingkunan tindakan: lingkungan fisik-organis Energi Tinggi (Kontrol) Energi Tinggi (Kontrol) Dari skema di atas, nyata bahwa Parsons mempunyai gagasan yang jelas mengenai ”tingkatan” analisis sosial maupun mengenai hubungan antara berbagai tingkatan itu. Susunan hierarkisnya jelas, dan tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi dalam dua cara: pertama, masing–masing tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi, kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada di bawahnya. Dengan demikian, mengacu pada skema Parsons diatas dapat ditarik benang merah bahwa setiap sistem mempunyai empat fungsi memaksa. Artinya, setiap sistem harus menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan masalah–masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola yang tersembunyi. Keempat fungsi memaksa ini diterapkan pada semua sistem tindakan – alamiah, kultur, kepribadian, dan masyarakat. Dalam kenyataannya, keempat fungsi ini diterapkan pada tingkat ”tindakan umum”. Adaptasi adalah fungsi prilaku organisme; pencapaian tujuan adalah fungsi kepribadian; integrasi adalah fungsi sistem sosial; dan pemeliharaan pola adalah fungsi kultur.22 Pada tingkat sistem sosial, fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, Talcot Parsons, Edward A. Shils, Kaspar D. Naegele, nad Jesse R. Pitta, Theories of Society, (New York: Fre Press, 1961), 61. 22 M. Zaidi Abdad 27 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 integrasi, dan pemeliharaan pola, secara berurutan berhubungan dengan ekonomi, pemerintahan, hukum, dan keluarga.23 Dalam pandangan Parsons, diferensiasi akan memperlihatkan reformasi struktur sosial, pada awal proses akan tampak suatu sistem dalam keadaan seimbang yang terganggu, bukan hanya pada sebagian sistem saja, maelainkan terhadap keseluruhan satuan. Namun, pada tahap akhir proses tampak bahwa suatu keseimbangan baru telah terbentuk. Dengan model tersebut akan memungkinkan me­ lakukan analisis yang dalam batasbatas tertentu dapat melakukan prediksi terhadap arah beberapa perubahan struktural. Tekanan Parsons yang sangat kuat adalah terhadap ”keteraturan sosial dan keseimbangan”.24 Model sibernetika Parsons me­ ngajukan teori revolusioner yang menjelaskan gerakan masyarakat dari primitif ke modern melalui Talcot Parsons, Sociological Theory and Modern Society, (New York: Fre Press, 1967), 348. 24 George Peter Murdock, Social Structur, (New York: The Mac Millan Compani, 1949), 10. Atau bandingkan dengan Judistira K. Garna, Teori–Teori Perubahan Sosial, 1992; Phil Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, ( Jakarta: Bina Cipta, 1982). 23 28 empat proses perubahan struktural yang utama, yaitu: (1) diferensiasi; (2) pembaharuan itu bersifat penyesuaian (adaptve upgrading); (3) pemasukan (inklusi); dan (4) generalisasi nilai–nilai. Adapun proses diferensiasi struktural dan perkembangan yang berkaitan dengannya mempengaruhi proses evolusi, seperti munculnya sistem stratifikasi sosial, organisasi birokratis, sistem uang, jaringan pasar internasional, dan pola– pola asosiasi demokratis, disebut universal evolusioner yang berperan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam adaptasi mereka.25 Universal revolusioner tersebut dapat dimasukkan kedalam pe­ rangkat ’proses perkembangan’ yang dihubungkan dengan empat subsistem fungsional seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu A G I L. Adapun proses dan hubungannya dengan model AGIL ini dapat digambarkan sebagai berikut: Peningkatan adaptif Adaptation A Diferensiasi Goal attainment G Inklusi Integration I Generalisasi nilai Latent Patern in maintenance L 25 Judistira, Op–cit, 62. Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 Pembaharuan bersifat adaptif adalah proses yang sejumlah besar sumber–sumber disediakan untuk satuan–satuan sosial, sehingga fungsi mereka bebas dari beberapa batasan askriptif yang dibebankan kepada satuan–satuan yang kurang berkembang. Contohnya yaitu kemampuan pesantren modern yang membangun sebuah usaha untuk menghasilkan berbagai barang yang lebih ekonomis dari pada yang dilakukan oleh pesantren tradisional yang bejalan apa adanya. Diferensiasi adalah proses dari satuan atau subsistem yang memiliki tempat tertentu dalam masyarakat itu terbagi kedalam satuan–satuan berbeda dalam struktur dan fungsi pada sistem yang lebih luas. Satuan– satuan yang baru itu harus mampu melakukan kegiatan yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhan sistem dari pada yang dilakukan oleh subsistem yang belum mengalami diferensiasi, seperti fungsi keluarga sekarang dan pembagian kerja dalam masyarakat industri modern. Proses perkembangan in­k lusi memastikan integrasi dari berbagai strutur kedalam suatu sistem yang lebih besar, seperti meng­ organisasikan masyarakat atas dasar demokrasi, memperluas hak milik dan turut serta sebagai warganya, dan memperbesar kesetiaan anggota masyarakat pada komunitas. Adapun generalisasi nilai– nilai memberikan legitimasi bagi perkembangan–perkembangan baru, yaitu norma dan aturan yang baru itu dikembangkan untuk mengatur keluarga maupun pabrik, sehingga dapat menjamin integrasi dari suatu struktur terdiferensiasi itu tadi. Justru dengan demikian arah teori evolusioner Parsons mem­ perlihatkan peningkatan kemam­ puan sistem untuk mengendalikan lingkungan, yaitu bergerak dari skripsi ke artikularisme ke achievement dan universalisme. Walaupun pilihan Parsons itu diakui sebagai suatu studi struktur sistem bertindak (action system), tetapi dalam karyanya yang terakhir terdapat lebih banyak bukti akan minatnya tentang proses 26. Hal itu tampak dalam teori evolusioner dan penggunaan model sibernetika. Dan dalam karya akhir Parson tampak tidak hanya upaya guna Proses sosial: setiap perubahan sosial atau interaksi yang dilihat sebagai ualitas kea rah konsisten sehingga dengan mengabstraksikan suatu pola umum dapat diamati serta disebut; seperti peniruan, akulturasi, konflik, dan stratifikasi. Baik buruknya suatu proses sosial tergantung di mana situasi proses itu berlaku yang berkaitan dengan nilai atau norma yang subjektif. 26 M. Zaidi Abdad 29 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 menciptakan suatu kesatuan teori bertindak yang dapat diterapkan di abad 20, tetapi juga usaha membahas pengembangan sistem melalui penggunaan data arkeologis dan historis. Model evolusi umum Parsons tersebut diterapkan terutama pada perkembangan sejarah jangka panjang dari masyarakat Barat modern. Ia mulai dari masyarakat primitif, kemudian bergerak ke tingkat menengah yang dilihat secara historis, seperti kerajaan Cina, India, Islam dan kerajaan Roma. Israel dan Yunani dilihat sebagai kebun pembenihan yang menghasilkan unsur–unsur dan kemudian membantu perkembangan evolusi pada masyarakat lain. Proses evolusi ini mencapai puncak pada demokrasi kapitalistik industri kota modern. Parsons juga mengemukakan bahwa meskipun ada kesepakatan yang tinggi terhadap orientasi nilai– nilai umum dalam suatu masyarakat, selalu ada kemungkinan untuk tidak adanya kesepakatan antara berbagai pihak untuk melakukan interpretasi nilai–nilai itu sejauh ada hubungannya degan implikasi prilakunya bagi peran–peran khusus dan situasi tertentu. Walaupun Parsons tidak memberikan tekanan tentang proses konflik, proses itu tampak dalam 30 teorinya. Adapun teori pendekatan Parsons yang mendasar bahwa masyarakat bukanlah meniadakan konflik, tetapi konflik dalam tipe sistem apapun yang terpadu akan terjadi dalam suatu kerangka nilai dan norma hukum yang mengatur konflik tersebut.27 Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian–bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan guna menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.28 Pemikir fungsionalis menegas­ kan bahwa perubahan diawali oleh tekanan–tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada 27 Judistira, Op–cit, 64. 28 http://www.averroes.or.id/research/agama- perubahan-sosial-dan-sublimasi-identitas.html, tanggal 24 April 2013. Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok diakses Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial. menjadi satu kekuatan karismatik tersendiri. Seni berbicara dan berpidato yang terlatih, digabung dengan kecakapaan mendalami jiwa penduduk desa, mengakibatkan tuan guru dapat tampil sebagai juru bicara masyarakat yang diakui. Dengan segala kecakapan yang dimiliki, akhirnya membuat seorang tuan guru mempunyai kemungkinan yang besar untuk mempengaruhi pembentukan opini dan kehendak di kalangan penduduk. E. Tuan Guru dan Pergeseran Pe­rannya di Pesantren: Se­buah Analisis Teori Diakui atau tidak sebagaimana yang penulis paparkan sebelumnya bahwa tuanguru di Lombok telah mengalami perubahan dan pergeseran peran di masyarakat. Pada masa kolonial, tuan guru merupakan salah satu tokoh penting bagi para masyarakat awam yang dulunya adalah masyarakat dengan pola pikirnya yang masih sangat terbatas dan terikat dengan aturan agama dalam berperilaku. Mungkin orang terdahulu yang tidak pernah menjadi pengikut para tuan guru nyaris tidak dapat menyadari betapa besar kekuasaan moral sang tuan guru atas nama rakyat. Pengaruh tuan guru pesantren dan daya motivasi mereka di kalangan penduduk pedesaan seringkali Namun pada saat itu, kolonial Belanda yang cukup pintar melihat cara berpikir masyarakat terhadap keberadaan tuan guru, memanfaatkan keberadaan tuan guru tersebut untuk membuat masyarakat akhirnya patuh kepada koloni dengan cara yang cukup halus namun sangat efektif. Dan terbukti saat itu siasat koloni menaklukkan masyarakat berhasil dengan sangat mudah tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Berawal dari pengalaman itulah kemudian akhirnya, kehidupan politik di era sekarang ini seperti meniru siasat yang dipakai oleh koloni untuk mengontrol masyarakat dengan menjadikan tuan guru sebagai tameng pemegang kendali pion masyarakat. Semenjak keberadaan koloni Belanda itulah M. Zaidi Abdad 31 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 akhirnya kemudian dari masa– masa selanjutnya, fungsi tuan guru bukan lagi semata–mata sebagai pemuka agama, melainkan juga sebagai motor penggerak politisasi masyarakat dengan berbagai macam tujuan tertentu yang tidak kita ketahui, dan ini terbukti saat ini peranan tuan guru dalam dunia politik sudah demikian besar. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam studi–studi terakhir menunjukkan adanya berbagai perubahan posisi tuan guru dalam masyarakat29 dan juga pandangan sosio politik mereka,30 sehingga membutuhkan pendekatan baru. Peran tuan guru di pedesaan khu­ susnya Lombok, yang sebelumnya sangat menentukan dan karismatik serta meliputi semua aspek kehidupan para penduduk, sudah mulai terkikis. Usman dalam studinya tentang desa di Jombang sebagaimana dikutip oleh Turmudi misalnya, merupakan contoh kasus di Indonesia umumnya dan tanah Lihat Endang Turmudi, Perselingkuan kiai dam Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 2 mengutip Sunyoto Usman, “The Structural Interaction of Elite Groups in Development”. Makalah pada Forum Asean Muslim Social Scientis. 30 Taufiq Abdullah, Laporan Pandangan Hidup Ulama’ Indonesia, ( Jakarta: IPSK–LIPI, 1988) 29 32 jawa khususnya, menunjukkan bahwa kebanyakan para pemimpin agama31 yang ia teliti ternyata kurang populer di desa–desa mereka dibandingkan dengan elite–elite desa yang lain, seperti kepala desa atau orang–orang kaya. Para pemimpin agama tidak terlalu banyak terlibat dalam proyek–proyek pemerintahan lokal untuk meningkatkan standar kesejahteraan penduduk. Kondisi ini menurut penulis sangat berbeda dengan kondisi di Lombok, tuan guru masih menjadi patner yang sangat diperhitungkan oleh masyarakat, walaupun harus diakui bahwa pada dekade 10 tahun terakhir juga mengalami pergeseran peran mereka. Dalam banyak kasus, menurut Usman, penduduk tidak lagi menemui para pemimpin keagamaan untuk membahas masalah yang terkait dengan kehidupan dunia mereka dan lebih suka mendatangi para pegawai di tingkat desa. Meskipun fokus Usman lebih umum Apa yang dimaksudkan Usman dengan ‘pemimpin agama’ adalah Tuan Guru dalam terminologinya sebagai seorang penulis. Istilah ‘pemimpin agama’ Usman lebih umum memberikan maknanya dan tidak mengikuti terminology local. Ini karena focus studi Usman buka pada pemimpin agama semata– mata, melainkan lebih pada elit–elit desa, seperti orang kaya atau para pegawai desa. 31 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 dan berada diluar bidang tempat tokoh agama secara tradisional dan kultural terlibat, namun temuannya menunjukkan bahwa kepemimpinan kyai (jawa)/ tuan guru secara umum sedang mengalami pergeseran dan perubahan. Perubahan inilah juga akan mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai peran 32 kepemimpinan tuan guru. Dengan melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Usman diatas, menurut hemat penulis bisa benar bisa salah, tetapi tidak mengurangi nilai akademik penelitian yang dilakukan oleh Usman, perubahan pola bertindak dan prilaku yang dilakukan oleh kiya di Jawa atau tokoh-tokoh agama lainnya di negeri ini, seperti tuan gurudi Lombok, sesungguhnya merupakan tindakan penyesuaian dengan kondisi dan lingkungan jamannya. Para tuan guru justru berupaya untuk menstabilkan pesantren yang dipimpinnya, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan jamannya agar proses keseimbangan itu dapat terwujudkan. Kita harus menyadari bahwa pesantren itu merupakan bagian atau unit dalam sistem Sosial. Oleh karena itu, teori Parsons sangatlah tepat digunakan untuk 32 Endang Turmudi, Op–cit, 3. menganalisis dinamika perubahan tuan guru di Lombok saat ini. Dalam teori Parsons, seperti yang telah dipaparkan diatas dinyatakan bahwa setiap sistem mempunyai empat fungsi memaksa. Artinya, setiap sistem harus menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan masalah–masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola. Ini dimaksudkan agar sistem sosial itu bisa terjaga, yang menurut istilah Parsons adalah ”keteraturan sosial dan keseimbangan”. Dan inilah yang sangat ditekankan dalam teorinya.33 Untuk melihat secara jelas penggunaan dari keempat teori yang dibangun oleh Parsons tersebut dalam rangka menganalisis pergeseran peran tuan guru di Lombok, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, adalah adaptasi. Ini merupakan fungsi mendasar dari peranan. Karena tuanguru bersama komunitas pesantren memiliki peran yang besar, maka tuan guru harus bisa berperan secara optimal. Disinilah tuanguru harus dapat adaptasi dengan lingkungan sesuai dengan kondisi yang diharapkan sehingga pencapaian tujuan dapat terwujudkan. Memang peran 33 Judistira, Op–cit, 62. M. Zaidi Abdad 33 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 tuanguru di pesantren tidak lepas dari bagian komunitas pesantren. Kalau tuan guru berperan menjamin penyediaan dana, maka pengurus pesantren menjamin suplai barang– barang yang dibutuhkan untuk pesantren, sementara para santri bersama pengurus lainnya berupaya merekrut santri baru. Peran ini harus dijalankan untuk menstabilkan komunitas pesantren. tradisional.34 Namun demikian, yang harus diingat bahwa sekalipun ini merupakan peran utama tuan guru dalam memerankan perannya sebagai figur pesantren, dia harus tetap memegang teguh pada prinsip pesantren sebagai politisi dengan menjunjung tinggi prinsip: i’tidal, tawazun, dan tasamuh{ yang telah dibangun oleh konsensus para kyai pesantren (NU). Karena tuntutan yang demikian besar, maka adaptasi tuanguru dewasa ini mulai banyak yang merambah ke dunia politik. Ini disebabkan karena pesantren harus didukung oleh dana yang kuat dan secara politis pesantren agar dapat legitimasi dari pihak luar, khususnya dari kalangan politisi dan birokrat/ pemerintahan, apalagi dunia politik sangat menjanjikan ‘kemudahan mendapatkan dana’. Pandangan ini, mungkin benar mungkin salah, tetapi demikianlah kenyataan dewasa ini, banyak tuanguru yang terjun dalam dunia politik dan membesarkan pesantrennya melalui politik/kekuasaan. Kedua, Pencapaian tujuan. Fungsi kedua ini sesungguhnya merupakan peranan kolektif. Berbagai rumpun yang ada di pesantren, mulai dari tuan guru, pengurus pesantren, maupun santri (wali santri) mem­ buat keputusan mengenai sesuatu perkara, misalnya menyusun ang­ garan, program, dan sampai pada tindakan yang tepat (peraturan) Tentu apa yang dilakukan para tuan guru tersebut, tidaklah dapat dipersalahkan karena memang untuk menentukan sebuah perubahan harus ada sikap berani melawan arus diluar koredor tuan guru pesantren 34 Sebagai contoh dalam kasus kontroversial ini adalah kasusnya K. H. Musta’in Ramli Rejoso ketika bergabung dengan Golkar menjelang pemilu tahun 1977. Beliau yang dipandang sebagai mursyid Thariqat Qadiriyah wa al Naqsyabandiyah, dan juga menjadi pemimpin Jam’iyyah Ahli Thariqah al Mu’tabarah yang didirikan oleh NU tahun 1957 dipandang sebagai sesuatu yang tidak lazim, sehingga membingungkan para pengikutnya pada saat itu, yang pada gilirannya beberapa khalifah merasa perlu untuk memisahkan diri dari thariqah yang dipimpin oleh K. H. Mustain Ramli dengan mendirikan Thariqat Qadiriyah wa al Naqsyabandiyah baru dengan pemimpin yang baru juga. Lihat Turmudi, Op–cit, 76. 34 Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 bagi pesantren. Ini diharapkan agar pesantren yang dibina tuanguru dengan upaya adaptasi untuk pencarian dana melalui panggung politik dapat terwujud sesuai dengan keinginannya dan tujuannya. Sekalipun demikian, untuk menggapai tujuan yang diinginkan oleh pesantren, tuan guru sebagai sosok yang karismtaik dan memiliki pengaruh besar di masyarakat, terutama yang dapat memainkan peran dalam panggung politik, terlihat akan lebih besar pengaruhnya dalam mengembangkan dan memberdayakan program pesantren. Tidak dipungkiri bahwa keterlibatan tuan guru di panggung politik sangat berpengaruh terhadap perubahan pesantren, walaupun tidak bisa dikatakan sepenuhnya bahwa perubahan pesantren itu sematamata karena tuan gurunya memiliki kekuasaan politik yang bisa merubah segalanya. Berbagai pengamatan penulis, banyak dijumpai pesantren di Lombok yang demikian pesat perkembangannya karena para tuan gurunya terlibat secara langsung dalam pentas politik, apakah menjadi gubernur, bupati, DPR, dll.35 Diantara pesantren di Lombok yang tuan gurunya terjun ke dunia politik antara lain: Ponpes Hamzan Wadi NW Pancor, Ponpes Maraqit Taklimat Lombok Timur, Ponpes 35 Dari upaya yang dilakukan pesantren melalui peran tuanguru, jelas menggambarkan bahwa peran tuan guru tidak hanya sebagai guru ngaji, pendidik, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Tetapi,tuan guru bisa berperan sebagai tokoh public, tokoh perubahan, direksi sebuah perusahaan, atau paling tidak penasehat dan pengendali dunia usaha di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitar. Dari gambaran ini, jelas dapat dibuktikan bahwa peran tuanguru sudah mengalami pergeseran yang luar biasa, dari religion area menuju public area. Ketiga, Integrasi. Fungsi ini tergantung pada norma–norma yang mengatur berbagai proses yang memberikan sumbangan terhadap implementasi nilai–nilai bersama yang telah terpola.36 Norma menetapkan harapan–harapan, ka­ renanya hal ini digunakan untuk menentukan antar hubungan intern dalam pondok pesantren. Itu sebabnya, sekalipun tuanguru sibuk diluar dalam urusan politik, norma yang telah dibangun itu akan Taklimus sibyan Lombok Tengah, Ponpes alKamal Lombok Barat, Ponpes Darul Falah Pagutan Mataram, dan masih banyak lagi pesantren yang tidak dapat penulis sebutkan di sini. 36 Lihat Robert H. Lauer, Op–cit, 110. M. Zaidi Abdad 35 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 tetap kuat. Karena itu, pengurus, santri, wali santri, masyarakat sekitar, harus dapat berintegrasi dengan baik sehingga norma atau aturan kongkrit yang dicetuskan oleh pesantren dapat terjaga penuh dengan keharmonisan. Keempat, Pemeliharaan Pola. Dalam kaitan dengan peran tuan guru, panggung politik adalah ladang yang tepat dalam rangka menjaga stabilitas nilai–nilai keagamaan yang selama ini dibangun di pesantren. Ketika nilai pendidikan itu sudah merambah ke pendidikan yang ’lebih liberal’, peran tuan guruyang terjun di pentas politik sangat diharapkan dalam menjembatani aturan main dunia pendidikan. Dia harus punya komitmen secara akademis untuk menyuarakan secara moral nilai– nilai yang dibangun di pesantren untuk kepentingan masyarakat luas. Disnilah peran tuan guru dalam mengawal moralitas bangsa menjadi urgen dan sangat diharapkan. Barangkali fungsi keempat sebagaimana yang dibangun oleh Parsons ini menjadi bagian yang sangat penting untuk mewujudkan perubahan pesantren oleh tuan guru. 36 Penutup Perubahan sosial tidak selelalu terjadi pada lingkungan masyarakat yang lebih besar dan luas, tetapi juga bisa terjadi pada lingkungan yang terbatas. Pesantren sebagai lingkup kecil di bawah pengawasan tuan guru/ kyai juga dapat mengalami sebuah perubahan. Semua itu tergantung peran taun guru atau top leader-nya. Ketika tuan guru berperan dalam pentas politik dan dapat memberikan sebuah perubahan pesantren serta memberikan kemaslahatan masyarakat sekitar, tentu peran yang dilakukan memiliki nilai positif, baik dalam perjuangan mengawal agama maupun membantu menyejahterakan masyarakat. Tetapi, apabila peran tuan guru melalui jalur politiknya hanya membesarkan pesantrennya dan tanpa mempedulikan pihal lain, jelas itu melanggar nilai-nilai humanisasi dan sekaligus mencederai pesantren, karena kyai atau tuan guru yang memiliki predikat sebagai tokoh agama harus dapat memberikan uswah dan manfaat positif pada masyarakat luas. Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 Daftar Pustaka Abdullah, Taufiq. Laporan Pandangan Hidup Ulama’ Indonesia. ( Jakarta: IPSK LIPI, 1988) Alexander C, Jeffrey. Theoritecal Logic in Sociology. (Berkeley: University of California Press, 1982) Abdullah, Sutrisno. “Agama, Perubahan Sosial dan Sublimasi Identitas”, http:// www.averroes.or.id/research/ agama-perubahan-sosial-dansublimasi-identitas.html, (24 April 2010) Basrowi, Muhammad, & Soenyono. Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. (Surabaya: V de Press, 2004) Garma K, Judistira. Teori–Teori Perubahan Sosial. (Bandung: Pascasarjana Uiversitas Padjadjaran, 1992) Lauer, H. Robert. Perspektif tentang Perubahan Sosial. ( Jakarta: Rineka Cipta, 1993) Murdock, George Peter. Social Structur. (New York: The Mac Millan Compani, 1949) Merton K., Robert. “Remembering the Young Talcott Parsons”, American Sociologist. (USA: HarvardUniversity, 1980) Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontempore, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010) Parsons, Talcot, Edward A. Shils, Kaspar D. Naegele, nad Jesse R. Pitta. Theories of Society. (New York: Fre Press, 1961) ––––––––––. Sociological Theory and Modern Society. (New York: Fre Press, 1967) Ritzer, George, Douglas J. Gooman. Teori Sosiologi Modern. cet. IV. ( Jakarta: Kencana, 2010) Raho, S.V.D., Bernard. Teori Sosiologi Modern. ( Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007) Turmudi, Endang. Perselingkuan Kiai dam Kekuasaan. (Yogyakarta: LKiS, 2004) Wahid, Adurrahman. Prisma Pemikiran Gus Dur. Pengantar: Greg Barton, Yogyakarta: LKiS, 2010) Zafirovski, Milan. “Parsons and Sorokin: A Comparisonof the Founding of American Sociological Theory Schools”. (Journal of Classical Sociology. No. 1. USA: 2001) M. Zaidi Abdad 37