DINAMIKA PERGESERAN PERAN TUAN GURU DI

advertisement
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
DINAMIKA PERGESERAN
PERAN TUAN GURU DI LOMBOK:
Studi analisis melalui Pendekatan Teori
Diferensiasi Struktural Talcott Parsons
M. Zaidi Abdad
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri IAIN Mataram
Abstrak
Pergeseran peran tuan guru di Lombok dewasa ini merupakan
tindakan penyesuaian dengan kondisi dan lingkungan
zamannya. Pergeseran peran ini sangat selaras dengan teori
sosial yang dibangun Parsons bahwa dalam sebuah perubahan
harus melalui empat pendekatan. Pertama, adalah adaptasi. Ini
merupakan fungsi mendasar dari peranan, karena tuan guru
bersama komunitas pesantren memiliki peran yang besar,
maka tuan guru harus bisa berperan secara optimal. Kedua,
Pencapaian tujuan. Fungsi kedua ini merupakan peranan
kolektif dari berbagai rumpun yang ada di pesantren, mulai
dari tuan guru, pengurus pesantren, sampai kepada santri
(wali santri) harus komiten membuat keputusan bersama,
sehingga tujuan dapat tercapai, Ketiga, Integrasi. Fungsi ini
tergantung pada norma–norma yang mengatur berbagai
proses yang memberikan sumbangan terhadap implementasi
nilai–nilai bersama yang telah terpola. Keempat, Pemeliharaan
Pola. Dalam kaitan dengan peran tuan guru, panggung
politik adalah ladang yang tepat dalam rangka menjaga
stabilitas nilai–nilai keagamaan yang selama ini dibangun di
pesantren.
Kata Kunci: Pergeseran Peran, Tuan Guru, Lombok, Diferensiasi.
18
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
A. Pendahaluan
Disadari
maupun
tidak,
peran tuan guru di Lombok telah
mengalami perubahan. Hal ini
akan lebih mudah terlihat oleh
orang-orang yang ‘jeli’ mengenal
perubahan sosial politik di Lombok.
Sebagai ‘tokoh yang dituakan’, tuan
guru memiliki peran yang cukup
strategis dalam mempengaruhi suatu
masyarakat.1Tuan Guru pada zaman
dahulu seperti diketahui masih
sangat tradisional dan konvensional,
yakni cenderung melakukan dakwah
yang benar-benar agamis. Ketulusan
dalam mendakwakan agama menjadi
peran utama di masyarakat. Konsep «
al-‘ulama waratsah al-anbiya» menjadi
bagian yang ditonjolkan, sehingga
mereka murni ingin mengajarkan
agama untuk melanjutkan risalah
Nabi.
Kenyataan ini dapat kita saksikan di
hampir belahan nusantara, bahwa Tuan Guru
adalah actor penting dalam membentuk
corak dan sistem budaya masyarakat sehingga
dapat dikatakan bahwa hampir semua
nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan
yang berkembang sampai sekarang
ini
merupakan konstribusi, warisan (legacy) yang
terus terpelihara keberlangsungannya lewat
figur tuan guru tersebut. Bahkan menurut
pengamatan penulis, kelompok elit agama ini
juga melakukan koordinasi ke dalam untuk
membangun solidaritas internal (internal
group solidarity) di antara mereka. Mereka
menyadari solidaritas internal tidak hanya
dapat menkoordinasikan peran mereka sebagai
pemegang otoritas keagamaan di masyarakat,
tetapi juga dapat menyatukan visi mereka
dalam berkoalisi dengan kelompok penguasa.
Kontroversialyang dimaksud penulis
adalah tindakan yang dilakukan seseorang yang
dapat melahirkan berbagai ragam pandangan
di tengah masyarakat. Dalam pandangan Greg,
banyak tindakan di dunia ini yang membuat
seseorang akan menjadi semakin populis
ketika dia berusaha melakukan sesuatu yang
dipandang kurang lazim di masyarakat.
Greh mencontohkan sosok Abdurrahman
Wahid, ketika dia melerai pihak–pihak yang
terlibat kekerasan, dan ketika dia berusaha
menyeberangi badai dan gelombang besar
pada akhir pemerintahan Soeharto dan era
Indonesia pasca Soeharto menuai tantangan
yang besar. Kendati demikian,
menurut
Greg, Abdurrahman tetap bahkan semakin
populer sebagai figur karismatik dan tokoh
selalu memberi cinta bahkan pada orang yang
mengkritiknya atau para penentangnya. Lihat
1
Namun, ketika globalisasi dunia
mulai merambah di negeri ini
dan kepentingan politik menjadi
bagian yang tidak terpisahkan,
tuan gurumau tidak mau harus
terlibat di dalamnya. Oleh karena
itu, perubahan peran pasti terjadi.
Semakin banyaknya tuan guru yang
terlibat dalam pentas politik, semakin
menunjukkan adanya pergeseran
perantuan guru. Fakta kongkrit atas
peran tuan guru, dapat dilihat ketika
seorang tuan guru menjadi pucuk
pimpinan di pentas publikwalaupun
sering kontroversial2 di tengah
masyarakat. Namun, masyarakat
2
M. Zaidi Abdad
19
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
(terutama muslim) yang sangat
fanatik mengidolakan sosok tuan
guru akan tetap menganggap katakatanya sebagai kebenaran mutlak.
dilahirkan di Colorado Spring,
Colorado pada tahun 1902.
Kereligiusan Parson nampaknya
tidak lepas dari kehidupan
Karena posisi penting tuan
guru tersebut, bisa dibilang bahwa
mereka adalah golongan pencetus
dan sekaligus penggerak perubahan
dalam masyarakat (perubahan
sosial). Atas alasan penting inilah,
penulis tertarik untuk mengangkat
tema ”dinamika Tuan Guru di
Lombok”
(analisis
pergeseran
fungsi dan peran dalam masyarakat
melalui pendekatan teori diferensiasi
struktual Talcoott Parsons) sebagai
bahan diskusi kali ini.
keluarganya. Ayahnya seorang
pendeta, profesor dan akhirnya
menjadi rektor di sebuah perguruan
tinggi kecil. Parson mendapat
gelar sarjana muda dari Universitas
Amherst pada tahun 1924, kemudian
menyiapkan disertasinya di London
School of Economics. Di tahun
berikutnya ia pindah ke Heidelbergh
Jerman.3
Sebelum membahas lebih jauh
tentang dinamika pergeseran peran
Tuan Guru di Lombok melalui
teori Parsons, terlebih dahulu dalam
makalah ini penulis paparkan sekilas
biografi Parsons dan Teori yang
dibangunnya.
B. Biografi Singkat Talcott
Parsons
Talcoot Parson
adalah seorang
intlektual yang
berlatang belakang
religius. Ia
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus
Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), xxi–xxii.
20
Parsons mengajar di Harvard
pada tahun 1927 dan meski berganti
jurusan beberapa kali, ia tetap di
Harvard hingga akhir hayatnya di
tahun 1979. Kemajuan kariernya tak
begitu cepat. Ia tak mendapatkan
jabatan profesor hingga tahun
1939. Dua tahun sebelumnya ia
menerbitkan The Structure of Social
Action4, sebuah buku yang tak hanya
George Ritzer, Douglas J. Gooman, Teori
Sosiologi Modern, Cet. IV( Jakarta: Kencana,
2010), 128.
4
Karya–karya awal Parsons lebih
berhubungan dengan usahanya membangun
teori aksi atau teori tindakan sebagaoimana
nampak dalam bukunya The Structure of
Social Action (1937). Sedangkan karya–karya
berikutnya lebih berhubungan dengan teori
fungsionalisme
struktural
sebagaimana
diuraikan dalam bukunya The Social System
(1951). Lihat Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi
3
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
memperkenalkan
pSemikiran
sosiolog utama seperti Weber kepada
sejumlah besar sosiolog, tetapi juga
meletakkan landasan bagi teori yang
dikembangkan Parsons sendiri.5
Sesudah itu karier akademis
Parsons maju dengan pesat. Dia
menjadi ketua jurusan sosiolog
di Harvard pada tahuan 1944 dan
dua tahun kemudian mendirikan
Departemen Hubungan Sosial, yang
tak hanya memasukkan sosiolog,
tetapi juga berbagai sarjana ilmu
sosial lainnya. Tahun 1949 ia terpilih
menjadi Presiden The Amerecan
Sociological Association.Tahun 1950–
an dan menjelang tahun 1960–an,
dengan diterbitkan buku The Social
System (1951) Parsons menjdi tokoh
dominan dalam sosiologi Amerika.
Tetapi di tahun 1960–an Parsons
mendapat serangan dari sayap radikal
sosiologi Amerika yang baru muncul.
Parsons dinilai berpandangan politik
konservatif dan teorinya dianggap
sangat konservatif dan tak lebih
dari sebuah skema kategorisasi yang
rumit.6 Tetapi tahun 1980–an timbul
Modern, ( Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,
2007), 53.
5
George Ritzer, Douglas J. Gooman, Op–
cit, 128.
6
Dalam pandangan Robert Lauer, Perkara
yang paling sering diserang adalah gaya
tulisnnya yang berliku–liku. Pada awalnya
kembali terhadap teori Parsons, tak
hanya di Amerika Serikat, tetapi di
seluruh dunia.7
Setelah
kematian
Parson
sejumlah bekas mahasiswanya,
semuanya sosiolog yang sangat
terkenal, merenungkan arti penting
teorinya maupun penciptaan teori
itu sendiri. Dalam renungan mereka,
para sosiolog ini mengemukakan
pengertian menarik tentang Parson
dan karyanya. Beberapa pandangan
selintas mengenai Parson yang di
reproduksi di sini bukan di maksudkan
untuk membuat gambaran yang
masuk akal, tetapi di maksudkan
untuk mengemukakan pandangan
selintas yang provokatif mengenai
parson dan karya karyanya.8
Robert Merton adalah salah
seorang mahasiswanya ketika Parson
baru saja mulai mengajar di Harvad.
Merton yang menjadi teoritis
terkenal karena teori ciptaannya
ia memusatkan perhatian pada struktur
sosial dan menurutnya pengutamaan pada
struktur sosial akan menjuruskan perhatian
pada evolusi sosial. Untuk lebih jelasnya lihat
Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan
Sosial, ( Jakarta: Rineka Cipta, 193), 106.
7
George Ritzer, Op.cit, 129, atau untuk lebih
jelasnya lihat Jeffrey C Alexander, Theoritecal
Logic in Sociology, (Berkeley: University of
California Press, 1982), 83.
8
Ibid.
M. Zaidi Abdad
21
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
sendiri9 menjelaskan bahwa maha­
siswa pascasarjana yang datang ke
Harvad di tahun tahun itu bukan
kehendak belajar dengan Parson,
tetapi dengan Sorokin, anggota
senior jurusan sosiologi yang telah
menjadi musuh utama Parsons.10
Generasi mahasiswa pascasarjana
yang paling awal datang ke Harvad,
dan tak seorang pun yang ingin
belajar dengan Parson. Mereka tak
Salah satu sumbangan Merton yang
paling terkenal adalah analisisnya “mengenai
hubungan antara kultur, struktur, dan anomie,
yang sering dikenal dengan ”Struktur Sosial
dan Anomie”. Merton mendefinisikan
kultur sebagai seperangkat nilai normatif
yang terorganisir, yang dengan berbagai
cara meloibatkan anggota masyarakat atau
anggota kelompok. Sedangkan
Struktur
Sosial adalah seperangkat hubungan sosial
yang terorganisir, yang dengan berbagai cara
melibatkan anggota masyarakat atau anggota
kelompok di dalamnya. Sementara Anomie
terjadi ”bila ada keterputusan hubungan
antara norma kultural dan tujuan dengan
kapasitas yang terstruktur secara sosial dari
anggota kelompok untuk bertindak sesuai
dengan nilai kultural”. Artinya, karena posisi
mereka di dalam struktur sosial masyarakat,
beberapa orang tak mampu bertindak sesuai
dengan nilai normatif. Kultur menghendaki
tipe perilaku tertentu yang justru dicegah oleh
struktur soaial. Lihat Ritzer, Ibid, 142.
10
Milan Zafirovski, “Parsons and Sorokin:
A Comparisonof the Founding of American
Sociological Theory Schools”, Journal of
Classical Sociology, (USA, 2001), No. 1, 227–
256.
9
22
mungkin berbuat demikian selain
karena alasan paling sederhana,
yakni pada tahun 1931 ia belum di
kenal publik apalagi sebagai seorang
sosiolog. Meski kami mahasiswa
yang belajar dengan Sorokin yang
masyhur, sehingga dari kami
diharuskan bekerja dengan Parson
yang tak terkenal itu.11
Celaan Merton tentang kuliah
pertama Parson dalam teori juga
menarik, terutama karena materi
yang disajikan adalah basis untuk
salah satu buku teori paling
berpengaruh dalam sejarah sosiologi.
Dia menyatakan:
”Lama sebelum Parson menjadi
salah seorang tokoh tua terkenal
di dunia sosiologi, bagi kami
mahasiswa angkatan paling awal, dia
adalah seorang pemuda yang sudah
tua. Kemasyhurannya berawal dari
kuliah pertamanya dalam teori
yang kemudian menjadi inti karya
besarnya The Structure of Social
Action, yang tidak terbit hingga
lima tahun setelah publikasi lisan di
kelas.”12
Robert K. Merton, “Remembering the
Young Talcott Parsons”, American Sociologist,
(USA: Harvard University, 1980), 69.
12
Ibid, 70.
11
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
C. Para Sosiolog Yang Mem­
penga­r uhi Pemikiran Parsons
Mengawali kariernya sebagai
seorang sosiolog, Parsons berawal
sebagai seorang instruktur muda
dalam bidang sosiologi, dia sangat
tertarik dengan karya empat
ilmuan ternama, yaitu sosiolog
Emile Durkheim, ekonom Alfred
Marshall, sosiolog–engineer Vilfredo
Pareto, dan sosiolog–ekonom Max
Weber. Hasil dari minat terhadap
karya Marshall, Pareto, Weber, dan
Durkeim nampaknya memberikan
pengaruh besar terhadap pe­
mikiran Parsons. Terbukti karya
monumentalnya Parsons banyak
terinspirasi dari tokoh tokoh tersebut.
Sebuah buku yang terbit di tahun
1937 dengan judul The Structure of
Social Action, merupakan sintesa
dari karya empat ilmuan tersebut
menyangkut masalah tata sosio
ekonomi, dan menandai apa yang
disebut oleh Parsons sebagai ”titik
balik yang mendasar dalam karya
saya”. Menurut Parsons sintesa ini
bertujuan untuk mengetengahkan
”studi tentang satu teori sosial,
bukan beberapa teori sosial”, dengan
niat menyiapkan ”seperangkat
penalaran teori yang sistematis yang
perkembangannya dapat dijajaki
melalui telaah kritis karya– karya
kelompok ini (Marshall, Durkheim,
Pareto, dan Weber).13
Titik perhatian buku Parsons
The Structure of Social Action
adalah konsep tindakan sosial yang
rasional, suatu konsep yang semula
merupakan sumbangan teoritis
Max Weber. Definisi sosiologi klasik
Weber membuat tindakan sosial
menjadi inti pembahasan para
sosiolog. Dalam pandangan Weber,
“sosiologi adalah ilmu yang mencoba
memahami tindakan sosial secara
interpretatif sehingga sampai pada
suatu penjelasan kausal terhadap
tujuan ataupun makna pristiwa–
pristiwanya”. Bagi Weber, studi
“tindakan sosial” berarti mencari
pengertian subjectif atau motivasi
yang terkait pada tindakan–tindakan
sosial. The Protestan Ethic and The
Spirit of Capitalism (1958) adalah
contoh studi tindakan sosial yang
demikian itu.14
Di sini Weber membahas
hubungan antara suatu gerakan ke
arah rasional, agama duniawiah
(Protestan Calvinism) dengan usaha
mengejar keuntungan secara rasional
(kapitalisme). Kecendrungan lain
dalam gerakan ke arah tindakan
Margaret
M.
Poloma,
Sosiologi
Kontemporer, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), 168–169.
14
Ibid.
13
M. Zaidi Abdad
23
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
rasional ini ditunjukkan pula oleh
kelahiran organisasi birokratis (yang
dipertentangkan dengan struktur
yang kurang berorientasi pada
tujuan) dan pemimpin–pemimpin
legal rasional (yaitu pemimpin yang
lebih dipilih berdasarkan kualifikasi,
ketimbang pemimpin tradisional atau
kharismatis).15 Pandangan Weber
inilah pada akhirnya mempengaruhi
teori sosialnya Parsons.
Sekalipun demikian, perlu
dicatat bahwa masalah utama
bagi Parsons sebagai ahli teori
makro berpandangan bahwa faktor
yang
mempengaruhi
tingkah
laku manusia bukanlah faktor
situasional yang dapat membantu
tindakan individu sebagaimana yang
dikatakan oleh Marshall, Pareto,
maupun Weber. Tetapi norma dan
nilai–nilai sosial yang menuntun
dan mengatur tingkah laku.
Kondisi objektif disatukan dengan
komitmen kolektif terhadap suatu
nilai untuk perkembangan suatu
bentuk tindakan sosial tertentu.
Protestanisme misalnya, tidak akan
membantu kelahiran kapitalisme
bila penganutnya tidak tunduk
kepada prinsip keagamaan atau jika
semua orang Protestan itu dibasmi.
Menurut Parsons struktur maupun
15
24
Ibid.
tindakan sosial harus merupakan
tantangan bagi para ilmuan sosial.
Berkembangnya permasalahan
struktur ini mengakibatkan The
Stuctur of Social Action dapat
dilihat sebagai langkah ke arah
pengembangan teori struktural
fungsional Parsons.16 Dalam teori
kaum Parsonian, konsep “tindakan
rasional” Weber dilanjutkan sebagai
ide inti, tetapi di tahap kedua Parsons
terlihat lebih banyak didominir oleh
perspektif organisme dan fungsional
dari Durkheim dan Pareto. Dalam
pandangan Durkheim, “masyarakat
sebagai analogi dari suatu organisme
hidup yang terdiri dari bagian–bagian
yang saling berkaitan satu sama
lain.” Sementara konsep Pareto
dalam melihat masyarakat sebagai
suatu keseluruhan dan berada dalam
keseimbangan. Durkheim dan
Pareto jugalah yang menyediakan
konsep–konsep sosiologis yang
Teori struktural fungsional Parsons ini
akan dimulai dengan empat fungsi penting
untuk semua sistem ”tindakan”, dan empat
sistem tersebut lebih dikenal dengan skema
AGIL (Adaptation (adaptasi), Goal Attainment
(pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan
Latency (pemeliharaan). Parsons mendesain
skema AGIL ini untuk digunakan di semua
tingkat dalam system teoritisnya. Dalam
bahasan tentang empat system tindakan ini
akan dibahas lebih lanjut pada sub bahasan di
makalah ini selanjutnya.
16
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
dipakai Parsons untuk membangun
sebuah teori masyarakat makro–
fungsional.17
D. Teori Diferensiasi Struktural:
Perspektif Talcott Parsons
Pembahasan teori diferensiasi
struktural Parson diawali dengan
empat skema penting mengenai
fungsi untuk semua system
tindakan, skema tersebut dikenal
dengan sebutan skema AGIL. Teori
AGIL untuk menjelaskan hierarkhi
pengendalian Sibernetika. Hierarkhi
sibernatika dapat dicermati melalui
energi dan integrasi, yang meliputi
sistem budaya, sistem sosial, sistem
kepribadian dan sistem organisasi,
serta sub sistem–sub sistem dalam
kesatuan holistik. Tindakan individu
dan tindakan sosial yang dapat
diamati menekankan pada sistem
dan kondisi energi.18
Parsons mencetuskan teori
fungsional
struktural
tentang
perubahan. Sama halnya dengan
teori sebelumnya, Parsons juga
menganalogikan perubahan sosial
pada masyarakat seperti halnya
pertumbuhan pada mahkluk hidup.
Komponen utama pemikiran Parsons
Ibid, 170.
Muhammad Basrowi & Soenyono, Teori
Sosial dalam Tiga Paradigma, (Surabaya: V de
Press, 2004), 12.
17
18
adalah adanya proses diferensiasi.19
Parsons
berasumsi
bahwa
setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang berbeda
berdasarkan strukturnya maupun
berdasarkan makna fungsionalnya
bagi masyarakat yang lebih luas.
Ketika
masyarakat
berubah,
umumnya masyarakat tersebut akan
tumbuh dengan kemampuan yang
lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya. Dikatakan
Parsons termasuk dalam golongan
yang memandang optimis sebuah
proses perubahan. 20
Seperti dijelaskan di atas, pada
kajian tentang struktural fungsional
Parsons terdapat empat fungsi
penting dalam sebuah tindakan.
Parsons menyampaikan bahwa
harus ada empat fungsi penting agar
sebuah system mampu bertahan,
yaitu :
Dalam proses diferensiasi, berbagai
fungsi dalam suatu system membentuk
satuan–satuan structural yang tersendiri.
Misalnya, fungsi produksi dan sosialisasi yang
pada mulanya dilakukan pada satuan keluarga,
kini diambil alih oleh struktur–struktur sosial
yang berbeda, seperti pabrik, sekolah, dan
arena pekerjannya lainnya yang umum. Lihat
Judistira K. Garma, Teori–Teori Perubahan
Sosial, (Bandung: Pascasarjana Uiversitas
Padjadjaran, 1992), 61.
20
http://www.averroes.or.id/research/
agama-perubahan-sosial-dan-sublimasiidentitas.html, diakses tanggal 24 April 2013.
19
M. Zaidi Abdad
25
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
1. Adaptation
(Adaptasi),
sebuah sistem harus mampu
menanggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistem harus dapat
menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan menyesuaikan
itu dengan kebutuhannya.
2. Goal attainment (Pencapaian
tujuan), sebuah sistem harus
mendefinisikan dan mencapai
tujuan utamanya.
3. Integration (Integrasi), sebuah
sistem
harus
mengatur
hubungan antar bagian yang
menjadi komponennya. Sistem
juga harus dapat mengelola
hubungan antara ketiga fungsi
penting lainnya (A, G, L).
4. Latency (Pemeliharaan pola),
sebuah sistem harus melengkapi,
memelihara dan memperbaiki,
baik
motivasi
individual
maupun pola-pola kultural yang
menciptakan dan menopang
motivasi.21
Parsons mendesain skema
AGIL ini untuk digunakan di
semua tingkat dalam sistem semua
teoritisnya. Dalam bahasan tentang
empat sistem tindakan diatas, dapat
dicontohkan bagaimana cara Parsons
menggunakan skema AGIL.
Organisme prilaku adalah sistem
tindakan yang melaksanakan fungsi
adaptasi dengan menyesuaikan
diri dengan mengubah lingkungan
eksternal.
Sistem
Kepribadian
melaksanakan fungsi pencapaian
tujuan dengan menetapkan tujuan
sistem dan memobilisasi sumber
daya yang ada untuk mencapainya.
Sistem sosial menanggulangi fungsi
integrasi dengan mengendalikan
bagian–bagian
yang
menjadi
komponennya. Terakhir, Sistem
kultural
melaksanakan
fungsi
pemeliharaan
pola
dengan
menyediakan aktor seperangkat
norma dan nilai yang memotivasi
mereka untuk bertindak. Untuk
menggambarkan struktur sistem
tindakan menurut skema AGIL
dapat dilihat gambar berikut:
Gambar 1. Struktur Sistem
Tindakan Umum
L
SISTEM KULTURAL
SISTEM SOSIAL
ORGANISME
PERILAKU
SISTEM
KEPERIBADIAN
A 21 George Ritzer, Op–cit, 121.
26
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
I
G
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Gambar 2. Skema Tindakan Parsons
Informasi Tinggi
(Kontrol)
Informasi Tinggi
(Kontrol)
1.
2.
3.
Hierarkhi faktor yang 4.
5.
mengkondisikan
6.
Lingkungan tindakan:
Reaksi akhir
Sistem kultural
Sistem sosial
Hierarkhi faktor yang
Sistem kepribadian
mengkondisikan
Organisme perilaku
Lingkunan tindakan:
lingkungan fisik-organis
Energi Tinggi
(Kontrol)
Energi Tinggi
(Kontrol)
Dari skema di atas, nyata bahwa
Parsons mempunyai gagasan yang
jelas mengenai ”tingkatan” analisis
sosial maupun mengenai hubungan
antara berbagai tingkatan itu.
Susunan hierarkisnya jelas, dan
tingkat integrasi menurut sistem
Parsons terjadi dalam dua cara:
pertama, masing–masing tingkat
yang lebih rendah menyediakan
kondisi atau kekuatan yang
diperlukan untuk tingkat yang lebih
tinggi, kedua, tingkat yang lebih
tinggi mengendalikan tingkat yang
berada di bawahnya.
Dengan demikian, mengacu
pada skema Parsons diatas dapat
ditarik benang merah bahwa setiap
sistem mempunyai empat fungsi
memaksa. Artinya, setiap sistem
harus menghadapi dan harus berhasil
menyelesaikan masalah–masalah:
adaptasi,
pencapaian
tujuan,
integrasi, dan pemeliharaan pola
yang tersembunyi. Keempat fungsi
memaksa ini diterapkan pada semua
sistem tindakan – alamiah, kultur,
kepribadian, dan masyarakat. Dalam
kenyataannya, keempat fungsi ini
diterapkan pada tingkat ”tindakan
umum”. Adaptasi adalah fungsi
prilaku organisme; pencapaian
tujuan adalah fungsi kepribadian;
integrasi adalah fungsi sistem sosial;
dan pemeliharaan pola adalah fungsi
kultur.22 Pada tingkat sistem sosial,
fungsi adaptasi, pencapaian tujuan,
Talcot Parsons, Edward A. Shils, Kaspar
D. Naegele, nad Jesse R. Pitta, Theories of
Society, (New York: Fre Press, 1961), 61.
22
M. Zaidi Abdad
27
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
integrasi, dan pemeliharaan pola,
secara berurutan berhubungan
dengan ekonomi, pemerintahan,
hukum, dan keluarga.23
Dalam pandangan Parsons,
diferensiasi akan memperlihatkan
reformasi struktur sosial, pada
awal proses akan tampak suatu
sistem dalam keadaan seimbang
yang terganggu, bukan hanya pada
sebagian sistem saja, maelainkan
terhadap
keseluruhan
satuan.
Namun, pada tahap akhir proses
tampak bahwa suatu keseimbangan
baru telah terbentuk. Dengan model
tersebut akan memungkinkan me­
lakukan analisis yang dalam batasbatas tertentu dapat melakukan
prediksi terhadap arah beberapa
perubahan struktural. Tekanan
Parsons yang sangat kuat adalah
terhadap ”keteraturan sosial dan
keseimbangan”.24
Model sibernetika Parsons me­
ngajukan teori revolusioner yang
menjelaskan gerakan masyarakat
dari primitif ke modern melalui
Talcot Parsons, Sociological Theory and
Modern Society, (New York: Fre Press, 1967),
348.
24
George Peter Murdock, Social Structur,
(New York: The Mac Millan Compani, 1949),
10. Atau bandingkan dengan Judistira K.
Garna, Teori–Teori Perubahan Sosial, 1992;
Phil Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial, ( Jakarta: Bina Cipta, 1982).
23
28
empat proses perubahan struktural
yang utama, yaitu: (1) diferensiasi;
(2) pembaharuan itu bersifat
penyesuaian (adaptve upgrading);
(3) pemasukan (inklusi); dan (4)
generalisasi nilai–nilai. Adapun
proses diferensiasi struktural dan
perkembangan yang berkaitan
dengannya mempengaruhi proses
evolusi, seperti munculnya sistem
stratifikasi
sosial,
organisasi
birokratis, sistem uang, jaringan
pasar internasional, dan pola–
pola asosiasi demokratis, disebut
universal evolusioner yang berperan
untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam adaptasi mereka.25
Universal revolusioner tersebut
dapat dimasukkan kedalam pe­
rangkat ’proses perkembangan’
yang dihubungkan dengan empat
subsistem fungsional seperti yang
dijelaskan sebelumnya, yaitu A G I
L. Adapun proses dan hubungannya
dengan model AGIL ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Peningkatan adaptif
Adaptation
A
Diferensiasi
Goal attainment G
Inklusi
Integration
I
Generalisasi nilai
Latent Patern in maintenance L
25
Judistira, Op–cit, 62.
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Pembaharuan bersifat adaptif
adalah proses yang sejumlah besar
sumber–sumber disediakan untuk
satuan–satuan sosial, sehingga
fungsi mereka bebas dari beberapa
batasan askriptif yang dibebankan
kepada satuan–satuan yang kurang
berkembang. Contohnya yaitu
kemampuan pesantren modern yang
membangun sebuah usaha untuk
menghasilkan berbagai barang
yang lebih ekonomis dari pada yang
dilakukan oleh pesantren tradisional
yang bejalan apa adanya.
Diferensiasi adalah proses dari
satuan atau subsistem yang memiliki
tempat tertentu dalam masyarakat
itu terbagi kedalam satuan–satuan
berbeda dalam struktur dan fungsi
pada sistem yang lebih luas. Satuan–
satuan yang baru itu harus mampu
melakukan kegiatan yang lebih
baik dalam memenuhi kebutuhan
sistem dari pada yang dilakukan oleh
subsistem yang belum mengalami
diferensiasi, seperti fungsi keluarga
sekarang dan pembagian kerja dalam
masyarakat industri modern.
Proses perkembangan in­k lusi
memastikan integrasi dari berbagai
strutur kedalam suatu sistem
yang lebih besar, seperti meng­
organisasikan masyarakat atas dasar
demokrasi, memperluas hak milik
dan turut serta sebagai warganya,
dan memperbesar kesetiaan anggota
masyarakat pada komunitas.
Adapun generalisasi nilai–
nilai memberikan legitimasi bagi
perkembangan–perkembangan
baru, yaitu norma dan aturan yang
baru itu dikembangkan untuk
mengatur keluarga maupun pabrik,
sehingga dapat menjamin integrasi
dari suatu struktur terdiferensiasi itu
tadi. Justru dengan demikian arah
teori evolusioner Parsons mem­
perlihatkan peningkatan kemam­
puan sistem untuk mengendalikan
lingkungan, yaitu bergerak dari
skripsi ke artikularisme ke achievement
dan universalisme.
Walaupun pilihan Parsons itu
diakui sebagai suatu studi struktur
sistem bertindak (action system),
tetapi dalam karyanya yang terakhir
terdapat lebih banyak bukti akan
minatnya tentang proses 26. Hal itu
tampak dalam teori evolusioner
dan penggunaan model sibernetika.
Dan dalam karya akhir Parson
tampak tidak hanya upaya guna
Proses sosial: setiap perubahan sosial atau
interaksi yang dilihat sebagai ualitas kea rah
konsisten sehingga dengan mengabstraksikan
suatu pola umum dapat diamati serta disebut;
seperti peniruan, akulturasi, konflik, dan
stratifikasi. Baik buruknya suatu proses sosial
tergantung di mana situasi proses itu berlaku
yang berkaitan dengan nilai atau norma yang
subjektif.
26
M. Zaidi Abdad
29
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
menciptakan suatu kesatuan teori
bertindak yang dapat diterapkan di
abad 20, tetapi juga usaha membahas
pengembangan sistem melalui
penggunaan data arkeologis dan
historis.
Model evolusi umum Parsons
tersebut diterapkan terutama pada
perkembangan sejarah jangka
panjang dari masyarakat Barat
modern. Ia mulai dari masyarakat
primitif, kemudian bergerak ke
tingkat menengah yang dilihat secara
historis, seperti kerajaan Cina, India,
Islam dan kerajaan Roma. Israel
dan Yunani dilihat sebagai kebun
pembenihan yang menghasilkan
unsur–unsur
dan
kemudian
membantu perkembangan evolusi
pada masyarakat lain. Proses evolusi
ini mencapai puncak pada demokrasi
kapitalistik industri kota modern.
Parsons juga mengemukakan
bahwa meskipun ada kesepakatan
yang tinggi terhadap orientasi nilai–
nilai umum dalam suatu masyarakat,
selalu ada kemungkinan untuk tidak
adanya kesepakatan antara berbagai
pihak untuk melakukan interpretasi
nilai–nilai itu sejauh ada hubungannya
degan implikasi prilakunya bagi
peran–peran khusus dan situasi
tertentu. Walaupun Parsons tidak
memberikan tekanan tentang proses
konflik, proses itu tampak dalam
30
teorinya. Adapun teori pendekatan
Parsons yang mendasar bahwa
masyarakat bukanlah meniadakan
konflik, tetapi konflik dalam tipe
sistem apapun yang terpadu akan
terjadi dalam suatu kerangka nilai
dan norma hukum yang mengatur
konflik tersebut.27
Teori struktural fungsional
mengasumsikan bahwa masyarakat
merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari berbagai bagian atau
subsistem yang saling berhubungan.
Bagian–bagian tersebut berfungsi
dalam segala kegiatan yang dapat
meningkatkan kelangsungan hidup
dari sistem. Fokus utama dari berbagai
pemikir teori fungsionalisme adalah
untuk mendefinisikan kegiatan
yang dibutuhkan guna menjaga
kelangsungan hidup sistem sosial.
Terdapat beberapa bagian dari
sistem sosial yang perlu dijadikan
fokus perhatian, antara lain ; faktor
individu, proses sosialisasi, sistem
ekonomi, pembagian kerja dan nilai
atau norma yang berlaku.28
Pemikir fungsionalis menegas­
kan bahwa perubahan diawali
oleh tekanan–tekanan kemudian
terjadi integrasi dan berakhir pada
27
Judistira, Op–cit, 64.
28
http://www.averroes.or.id/research/agama-
perubahan-sosial-dan-sublimasi-identitas.html,
tanggal 24 April 2013.
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
diakses
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
titik keseimbangan yang selalu
berlangsung
tidak
sempurna.
Artinya teori ini melihat adanya
ketidakseimbangan yang abadi
yang akan berlangsung seperti
sebuah siklus untuk mewujudkan
keseimbangan baru. Variabel yang
menjadi perhatian teori ini adalah
struktur sosial serta berbagai
dinamikanya. Penyebab perubahan
dapat berasal dari dalam maupun
dari luar sistem sosial.
menjadi satu kekuatan karismatik
tersendiri. Seni berbicara dan
berpidato yang terlatih, digabung
dengan kecakapaan mendalami jiwa
penduduk desa, mengakibatkan
tuan guru dapat tampil sebagai
juru bicara masyarakat yang diakui.
Dengan segala kecakapan yang
dimiliki, akhirnya membuat seorang
tuan guru mempunyai kemungkinan
yang besar untuk mempengaruhi
pembentukan opini dan kehendak
di kalangan penduduk.
E. Tuan Guru dan Pergeseran
Pe­rannya di Pesantren: Se­buah
Analisis Teori
Diakui atau tidak sebagaimana
yang penulis paparkan sebelumnya
bahwa tuanguru di Lombok
telah mengalami perubahan dan
pergeseran peran di masyarakat.
Pada masa kolonial, tuan guru
merupakan salah satu tokoh penting
bagi para masyarakat awam yang
dulunya adalah masyarakat dengan
pola pikirnya yang masih sangat
terbatas dan terikat dengan aturan
agama dalam berperilaku. Mungkin
orang terdahulu yang tidak pernah
menjadi pengikut para tuan guru
nyaris tidak dapat menyadari
betapa besar kekuasaan moral
sang tuan guru atas nama rakyat.
Pengaruh tuan guru pesantren dan
daya motivasi mereka di kalangan
penduduk pedesaan seringkali
Namun pada saat itu, kolonial
Belanda yang cukup pintar
melihat cara berpikir masyarakat
terhadap keberadaan tuan guru,
memanfaatkan keberadaan tuan
guru tersebut untuk membuat
masyarakat akhirnya patuh kepada
koloni dengan cara yang cukup
halus namun sangat efektif. Dan
terbukti saat itu siasat koloni
menaklukkan masyarakat berhasil
dengan sangat mudah tanpa disadari
oleh masyarakat itu sendiri.
Berawal dari pengalaman itulah
kemudian akhirnya, kehidupan
politik di era sekarang ini seperti
meniru siasat yang dipakai
oleh koloni untuk mengontrol
masyarakat dengan menjadikan
tuan guru sebagai tameng pemegang
kendali pion masyarakat. Semenjak
keberadaan koloni Belanda itulah
M. Zaidi Abdad
31
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
akhirnya kemudian dari masa–
masa selanjutnya, fungsi tuan guru
bukan lagi semata–mata sebagai
pemuka agama, melainkan juga
sebagai motor penggerak politisasi
masyarakat
dengan
berbagai
macam tujuan tertentu yang tidak
kita ketahui, dan ini terbukti saat
ini peranan tuan guru dalam dunia
politik sudah demikian besar.
Oleh karena itu, tidak heran
bila dalam studi–studi terakhir
menunjukkan adanya berbagai
perubahan posisi tuan guru dalam
masyarakat29 dan juga pandangan
sosio politik mereka,30 sehingga
membutuhkan pendekatan baru.
Peran tuan guru di pedesaan khu­
susnya Lombok, yang sebelumnya
sangat menentukan dan karismatik
serta meliputi semua aspek
kehidupan para penduduk, sudah
mulai terkikis. Usman dalam
studinya tentang desa di Jombang
sebagaimana dikutip oleh Turmudi
misalnya, merupakan contoh kasus
di Indonesia umumnya dan tanah
Lihat Endang Turmudi, Perselingkuan
kiai dam Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004),
2 mengutip Sunyoto Usman, “The Structural
Interaction of Elite Groups in Development”.
Makalah pada Forum Asean Muslim Social
Scientis.
30
Taufiq Abdullah, Laporan Pandangan
Hidup Ulama’ Indonesia, ( Jakarta: IPSK–LIPI,
1988)
29
32
jawa khususnya, menunjukkan
bahwa kebanyakan para pemimpin
agama31 yang ia teliti ternyata
kurang populer di desa–desa mereka
dibandingkan dengan elite–elite desa
yang lain, seperti kepala desa atau
orang–orang kaya. Para pemimpin
agama tidak terlalu banyak terlibat
dalam proyek–proyek pemerintahan
lokal untuk meningkatkan standar
kesejahteraan penduduk. Kondisi
ini menurut penulis sangat berbeda
dengan kondisi di Lombok,
tuan guru masih menjadi patner
yang sangat diperhitungkan oleh
masyarakat, walaupun harus diakui
bahwa pada dekade 10 tahun terakhir
juga mengalami pergeseran peran
mereka.
Dalam banyak kasus, menurut
Usman, penduduk tidak lagi
menemui para pemimpin keagamaan
untuk membahas masalah yang
terkait dengan kehidupan dunia
mereka dan lebih suka mendatangi
para pegawai di tingkat desa.
Meskipun fokus Usman lebih umum
Apa yang dimaksudkan Usman dengan
‘pemimpin agama’ adalah Tuan Guru dalam
terminologinya sebagai seorang penulis.
Istilah ‘pemimpin agama’ Usman lebih umum
memberikan maknanya dan tidak mengikuti
terminology local. Ini karena focus studi
Usman buka pada pemimpin agama semata–
mata, melainkan lebih pada elit–elit desa,
seperti orang kaya atau para pegawai desa.
31
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
dan berada diluar bidang tempat
tokoh agama secara tradisional dan
kultural terlibat, namun temuannya
menunjukkan bahwa kepemimpinan
kyai (jawa)/ tuan guru secara umum
sedang mengalami pergeseran
dan perubahan. Perubahan inilah
juga akan mempengaruhi persepsi
masyarakat
mengenai
peran
32
kepemimpinan tuan guru.
Dengan melihat hasil penelitian
yang dilakukan oleh Usman diatas,
menurut hemat penulis bisa benar
bisa salah, tetapi tidak mengurangi
nilai akademik penelitian yang
dilakukan oleh Usman, perubahan
pola bertindak dan prilaku yang
dilakukan oleh kiya di Jawa atau
tokoh-tokoh agama lainnya di negeri
ini, seperti tuan gurudi Lombok,
sesungguhnya merupakan tindakan
penyesuaian dengan kondisi dan
lingkungan jamannya. Para tuan guru
justru berupaya untuk menstabilkan
pesantren
yang
dipimpinnya,
mereka harus beradaptasi dengan
lingkungan dan keadaan jamannya
agar proses keseimbangan itu dapat
terwujudkan. Kita harus menyadari
bahwa pesantren itu merupakan
bagian atau unit dalam sistem
Sosial. Oleh karena itu, teori Parsons
sangatlah tepat digunakan untuk
32
Endang Turmudi, Op–cit, 3.
menganalisis dinamika perubahan
tuan guru di Lombok saat ini.
Dalam teori Parsons, seperti yang
telah dipaparkan diatas dinyatakan
bahwa setiap sistem mempunyai
empat fungsi memaksa. Artinya,
setiap sistem harus menghadapi
dan harus berhasil menyelesaikan
masalah–masalah:
adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi, dan
pemeliharaan pola. Ini dimaksudkan
agar sistem sosial itu bisa terjaga,
yang menurut istilah Parsons
adalah ”keteraturan sosial dan
keseimbangan”. Dan inilah yang
sangat ditekankan dalam teorinya.33
Untuk melihat secara jelas
penggunaan dari keempat teori yang
dibangun oleh Parsons tersebut dalam
rangka menganalisis pergeseran
peran tuan guru di Lombok, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, adalah adaptasi. Ini
merupakan fungsi mendasar dari
peranan. Karena tuanguru bersama
komunitas pesantren memiliki
peran yang besar, maka tuan guru
harus bisa berperan secara optimal.
Disinilah tuanguru harus dapat
adaptasi dengan lingkungan sesuai
dengan kondisi yang diharapkan
sehingga pencapaian tujuan dapat
terwujudkan.
Memang peran
33
Judistira, Op–cit, 62.
M. Zaidi Abdad
33
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
tuanguru di pesantren tidak lepas
dari bagian komunitas pesantren.
Kalau tuan guru berperan menjamin
penyediaan dana, maka pengurus
pesantren menjamin suplai barang–
barang yang dibutuhkan untuk
pesantren, sementara para santri
bersama pengurus lainnya berupaya
merekrut santri baru. Peran ini harus
dijalankan untuk menstabilkan
komunitas pesantren.
tradisional.34 Namun demikian,
yang harus diingat bahwa sekalipun
ini merupakan peran utama tuan
guru dalam memerankan perannya
sebagai figur pesantren, dia harus
tetap memegang teguh pada prinsip
pesantren sebagai politisi dengan
menjunjung tinggi prinsip: i’tidal,
tawazun, dan tasamuh{ yang telah
dibangun oleh konsensus para kyai
pesantren (NU).
Karena tuntutan yang demikian
besar, maka adaptasi tuanguru
dewasa ini mulai banyak yang
merambah ke dunia politik. Ini
disebabkan karena pesantren harus
didukung oleh dana yang kuat dan
secara politis pesantren agar dapat
legitimasi dari pihak luar, khususnya
dari kalangan politisi dan birokrat/
pemerintahan, apalagi dunia politik
sangat menjanjikan ‘kemudahan
mendapatkan dana’. Pandangan
ini, mungkin benar mungkin salah,
tetapi
demikianlah
kenyataan
dewasa ini, banyak tuanguru yang
terjun dalam dunia politik dan
membesarkan pesantrennya melalui
politik/kekuasaan.
Kedua, Pencapaian tujuan. Fungsi
kedua ini sesungguhnya merupakan
peranan kolektif. Berbagai rumpun
yang ada di pesantren, mulai dari
tuan guru, pengurus pesantren,
maupun santri (wali santri) mem­
buat keputusan mengenai sesuatu
perkara, misalnya menyusun ang­
garan, program, dan sampai pada
tindakan yang tepat (peraturan)
Tentu apa yang dilakukan para
tuan guru tersebut, tidaklah dapat
dipersalahkan karena memang untuk
menentukan sebuah perubahan
harus ada sikap berani melawan arus
diluar koredor tuan guru pesantren
34
Sebagai contoh dalam kasus kontroversial
ini adalah kasusnya K. H. Musta’in Ramli
Rejoso ketika bergabung dengan Golkar
menjelang pemilu tahun 1977. Beliau
yang dipandang sebagai mursyid Thariqat
Qadiriyah wa al Naqsyabandiyah, dan juga
menjadi pemimpin Jam’iyyah Ahli Thariqah al
Mu’tabarah yang didirikan oleh NU tahun 1957
dipandang sebagai sesuatu yang tidak lazim,
sehingga membingungkan para pengikutnya
pada saat itu, yang pada gilirannya beberapa
khalifah merasa perlu untuk memisahkan diri
dari thariqah yang dipimpin oleh K. H. Mustain
Ramli dengan mendirikan Thariqat Qadiriyah
wa al Naqsyabandiyah baru dengan pemimpin
yang baru juga. Lihat Turmudi, Op–cit, 76.
34
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
bagi pesantren. Ini diharapkan agar
pesantren yang dibina tuanguru
dengan upaya adaptasi untuk
pencarian dana melalui panggung
politik dapat terwujud sesuai dengan
keinginannya dan tujuannya.
Sekalipun demikian,
untuk
menggapai tujuan yang diinginkan
oleh pesantren, tuan guru sebagai
sosok yang karismtaik dan memiliki
pengaruh besar di masyarakat,
terutama yang dapat memainkan
peran dalam panggung politik,
terlihat akan lebih besar pengaruhnya
dalam
mengembangkan
dan
memberdayakan program pesantren.
Tidak dipungkiri bahwa keterlibatan
tuan guru di panggung politik sangat
berpengaruh terhadap perubahan
pesantren, walaupun tidak bisa
dikatakan
sepenuhnya
bahwa
perubahan pesantren itu sematamata karena tuan gurunya memiliki
kekuasaan politik yang bisa merubah
segalanya. Berbagai pengamatan
penulis, banyak dijumpai pesantren
di Lombok yang demikian pesat
perkembangannya karena para tuan
gurunya terlibat secara langsung
dalam pentas politik, apakah menjadi
gubernur, bupati, DPR, dll.35
Diantara pesantren di Lombok yang tuan
gurunya terjun ke dunia politik antara lain:
Ponpes Hamzan Wadi NW Pancor, Ponpes
Maraqit Taklimat Lombok Timur, Ponpes
35
Dari upaya yang dilakukan
pesantren melalui peran tuanguru,
jelas menggambarkan bahwa peran
tuan guru tidak hanya sebagai guru
ngaji, pendidik, tokoh agama, dan
tokoh masyarakat. Tetapi,tuan guru
bisa berperan sebagai tokoh public,
tokoh perubahan, direksi sebuah
perusahaan, atau paling tidak
penasehat dan pengendali dunia
usaha di lingkungan pesantren dan
masyarakat sekitar. Dari gambaran
ini, jelas dapat dibuktikan bahwa
peran tuanguru sudah mengalami
pergeseran yang luar biasa, dari
religion area menuju public area.
Ketiga, Integrasi. Fungsi ini
tergantung pada norma–norma
yang mengatur berbagai proses
yang memberikan sumbangan
terhadap implementasi nilai–nilai
bersama yang telah terpola.36 Norma
menetapkan harapan–harapan, ka­
renanya hal ini digunakan untuk
menentukan
antar
hubungan
intern dalam pondok pesantren.
Itu sebabnya, sekalipun tuanguru
sibuk diluar dalam urusan politik,
norma yang telah dibangun itu akan
Taklimus sibyan Lombok Tengah, Ponpes alKamal Lombok Barat, Ponpes Darul Falah
Pagutan Mataram, dan masih banyak lagi
pesantren yang tidak dapat penulis sebutkan
di sini.
36
Lihat Robert H. Lauer, Op–cit, 110.
M. Zaidi Abdad
35
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
tetap kuat. Karena itu, pengurus,
santri, wali santri, masyarakat
sekitar, harus dapat berintegrasi
dengan baik sehingga norma atau
aturan kongkrit yang dicetuskan
oleh pesantren dapat terjaga penuh
dengan keharmonisan.
Keempat, Pemeliharaan Pola.
Dalam kaitan dengan peran tuan
guru, panggung politik adalah ladang
yang tepat dalam rangka menjaga
stabilitas nilai–nilai keagamaan yang
selama ini dibangun di pesantren.
Ketika nilai pendidikan itu sudah
merambah ke pendidikan yang ’lebih
liberal’, peran tuan guruyang terjun
di pentas politik sangat diharapkan
dalam menjembatani aturan main
dunia pendidikan. Dia harus punya
komitmen secara akademis untuk
menyuarakan secara moral nilai–
nilai yang dibangun di pesantren
untuk kepentingan masyarakat luas.
Disnilah peran tuan guru dalam
mengawal moralitas bangsa menjadi
urgen dan sangat diharapkan.
Barangkali
fungsi
keempat
sebagaimana yang dibangun oleh
Parsons ini menjadi bagian yang
sangat penting untuk mewujudkan
perubahan pesantren oleh tuan
guru.
36
Penutup
Perubahan sosial tidak selelalu
terjadi pada lingkungan masyarakat
yang lebih besar dan luas, tetapi juga
bisa terjadi pada lingkungan yang
terbatas. Pesantren sebagai lingkup
kecil di bawah pengawasan tuan guru/
kyai juga dapat mengalami sebuah
perubahan. Semua itu tergantung
peran taun guru atau top leader-nya.
Ketika tuan guru berperan dalam
pentas politik dan dapat memberikan
sebuah
perubahan
pesantren
serta memberikan kemaslahatan
masyarakat sekitar, tentu peran yang
dilakukan memiliki nilai positif,
baik dalam perjuangan mengawal
agama
maupun
membantu
menyejahterakan
masyarakat.
Tetapi, apabila peran tuan guru
melalui jalur politiknya hanya
membesarkan pesantrennya dan
tanpa mempedulikan pihal lain, jelas
itu melanggar nilai-nilai humanisasi
dan sekaligus mencederai pesantren,
karena kyai atau tuan guru yang
memiliki predikat sebagai tokoh
agama harus dapat memberikan
uswah dan manfaat positif pada
masyarakat luas.
Dinamika Pergeseran Peran Tuan Guru di lombok
Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq. Laporan Pandangan
Hidup
Ulama’
Indonesia.
( Jakarta: IPSK LIPI, 1988)
Alexander C, Jeffrey. Theoritecal
Logic in Sociology. (Berkeley:
University of California Press,
1982)
Abdullah,
Sutrisno.
“Agama,
Perubahan
Sosial
dan
Sublimasi Identitas”, http://
www.averroes.or.id/research/
agama-perubahan-sosial-dansublimasi-identitas.html, (24
April 2010)
Basrowi, Muhammad, & Soenyono.
Teori Sosial dalam Tiga
Paradigma. (Surabaya: V de
Press, 2004)
Garma K, Judistira. Teori–Teori
Perubahan Sosial. (Bandung:
Pascasarjana
Uiversitas
Padjadjaran, 1992)
Lauer, H. Robert. Perspektif tentang
Perubahan Sosial. ( Jakarta:
Rineka Cipta, 1993)
Murdock, George Peter. Social
Structur. (New York: The Mac
Millan Compani, 1949)
Merton K., Robert. “Remembering
the Young Talcott Parsons”,
American Sociologist. (USA:
HarvardUniversity, 1980)
Margaret M. Poloma. Sosiologi
Kontempore, ( Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2010)
Parsons, Talcot, Edward A. Shils,
Kaspar D. Naegele, nad Jesse R.
Pitta. Theories of Society. (New
York: Fre Press, 1961)
––––––––––. Sociological Theory and
Modern Society. (New York: Fre
Press, 1967)
Ritzer, George, Douglas J. Gooman.
Teori Sosiologi Modern. cet. IV.
( Jakarta: Kencana, 2010)
Raho, S.V.D., Bernard. Teori Sosiologi
Modern. ( Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2007)
Turmudi, Endang. Perselingkuan Kiai
dam Kekuasaan. (Yogyakarta:
LKiS, 2004)
Wahid,
Adurrahman.
Prisma
Pemikiran Gus Dur. Pengantar:
Greg Barton, Yogyakarta: LKiS,
2010)
Zafirovski, Milan. “Parsons and
Sorokin: A Comparisonof
the Founding of American
Sociological Theory Schools”.
(Journal of Classical Sociology.
No. 1. USA: 2001)
M. Zaidi Abdad
37
Download